Anda di halaman 1dari 44

Tanggal Identitas Pasien

Anamnesis
masuk (Umur/RM)
14/08/19 Ny. S (46 thn. (RM: Seorang wanita umur 46 tahun GVIPIAVI gravid 36 minggu
357811) masuk ke IGD dengan keluhan Nyeri perut tembus ke
belakang sejak 2 jam SMRS. Pelepasan lendir (+), darah (-)
GVIPIAVI dan air (+) Riwayat Operasi sebelumnya (-), riwayat HT (-) .
HPHT : 25/11/2018 Riwayat DM(-), riwayat Asma(-). Riwayat konsumsi Obat-
TP: 31/08/2019 obatan (-). Riw ANC 2x. Suntik TT (+) 2x. Pasien memelihara
UK : 36 minggu kucing di rumah, pasien juga sering memakan sayur-sayuran
lebih banyak dibandingkan daging selama hamil.Riwayat
nyeri tenggorokan (+), sakit kepala (+), demam (+), kram-
kram pada tangan dan kaki (+). Riwayat Trauma (-). Riwayat
Alergi (-)

Riwayat Obstetri
• 1995/aterm/PPN/PR/Dukun

• 1997/Abortus

• 200?/ Abortus

• 200?/ Abortus

• 200?/ Abortus

• 2019/kehamilan sekarang
Pemeriksaan fisik Pemeriksaan Penunjang
KU: Baik/ sadar/ gizi baik Pemeriksaan Laboratorim
TD: 110/80 mmHg - WBC : 11 x 103 U/L
N: 80x/i - Hb : 11,9 gr/dl
S: 37,5 ⁰C - Ht : 36 %
P: 20x/I - PLT : 270 x 103 U/L
BB : 57 kg - RBC : 3,56 x 10 6 U/L
TB : 151 cm
Pemeriksaan Imunologi Infeksi
Pemeriksaan luar:
- HbsAg (-)
Leopold 1 : Tfu 32 cm / LP 97,5 cm
- Syphilis (-)
Leopold 2 : puki
Leopold 3 : kepala Pemeriksaan Anti bodi HIV

Leopold 4 : BAP - Non Reaktif

His : 1x10” (15 detik) Diagnosis


DJJ:144x/i GVIPIAVI Gravid 36 minggu Inpartu Fase Laten
TBJ: 3740 gr + KPD + Abortus habitualis
Pemeriksaan Dalam Vagina Penatalaksanaan:
Vulva/vagina : TAK/TAK - Observasi HIS, DJJ, KU, dan TTV
Portio : lunak - IVFD RL 28 tpm
Pembukaan : 2 cm - Cefotaxime 1 gr/12 Jam/IV
Ketuban : (+) merembes -Rencana Persalinan Pervaginam
Bagian terdepan : kepala - Obsevasi KU dan TTV
Panggul kesan cukup Outcome:
Pelepasan lendir(+) darah (-) dan air (+) -JK : Laki-laki
-BBL: 2760 gram
-PBL: 47 cm
-AS: 8/9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pada wanita hamil dan janin rentan terhadap banyak penyakit infeksi.Infeksi

maternal yang bertransmisi ke dalam rahim pada beberapa tahap kehamilan dapat

disebabkan banyak organisme, beberapa diantaranya cukup berbahaya dan

menyebabkan penyakit infeksi TORCH yang diakibatkan oleh Toxoplasmosis,

Rubella, Cytomegalovirus (CMV) dan Herpes Simplex Virus (HSV).1 Besarnya

pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi agennya, umur kehamilan serta

imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung.2 (refarat torch)

TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex Virus)

merupakan kelompok kelainan konginetal yang didapat akibat infeksi. Infeksi TORCH

pada wanita hamil seringkali tidak menimbulkan gejala atau asimtomatik, tetapi dapat

memberikan dampak serius bagi janin yang dikandungnya.1

Infeksi TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan

yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria

maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan

pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari 100 sampel ibu hamil yang pernah mengalami

infeksi salah satu unsur TORCH didapatkan 12% ibu pernah melahirkan anak dengan
kelainan kongenital, 70% pernah mengalami abortus dan 18% pernah mengalami Intra

Uterine Fetal Death (IUFD).3 (2810)

Pada ibu hamil yang terinfeksi TORCH dapat menyebabkan keguguran atau

kelainan kongenital (cacat fisik maupun mental). Kelainan kongenital ini dapat

menyerang semua jaringan organ tubuh, termasuk sistem saraf pusat dan perifer yang

mengakibatkan gangguan penglihatan, pendengaran, sistem kardiovaskuler serta

metabolisme tubuh. Infeksi TORCH dapat menyebabkan kelainan kongenital pada

janin meliputi gangguan pendengaran, retardasi mental serta kebutaan.3 (2810).

Karena Infeksi TORCH merupakan kontributor utama kecacatan dan kematian

prenatal, perinatal, dan postnatal. Bukti infeksi dapat dilihat pada saat lahir, bayi, atau

beberapa tahun kemudian. Pengenalan awal, termasuk skrining prenatal merupakan

kunci. Infeksi TORCH sering subklinis dan diagnosisnya hanya dapat dilakukan secara

serologis mengukur kadar antibody IgM dan IgG.2 (Refarat)


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.) Toxoplasma

Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi. Pada

umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang spesifik. Kira-kira

hanya 10-20% kasus infeksi. Toxoplasma yang disertai gejala ringan, mirip gejala

influenza, bisa timbul rasa lelah, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan

masalah. Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada

orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien

transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun). Jika wanita hamil

terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi adalah abortus spontan atau

keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita Toxoplasmosis bawaan. Pada

Toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata

dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitasi.4 (hasdina)

Siklus Hidup (torch (bahan))

Siklus hidup toksoplasma ada 5 tingkat :

 fase proliferatif

 stadium kista

 fase schizogoni

 gametogoni
 fase ookista

Siklus aseksual terdiri dari fase proliferasi dan stadium kista. Fase ini dapat

terjadi dalam bermacam-macam inang. Siklus seksual secara spesifik hanya terdapat

pada kucing.5

Fase proliferatif, yang menghasilkan tropozoit, terjadi secara intraseluler

dalam banyak jaringan saat terjadi infeksi primer. Tropozoit menjadi berkurang

jumlahnya pada saat imunitas inang terbentuk, dan infeksi dapat masuk ke dalam

stadium kronis. Apabila terjadi penurunan dan penekanan daya tahan tubuh,

tropozoit dapat kembali berproliferasi dan menjadi banyak. Fase proliferasi ini juga

terjadi saat pembelahan sel.5

Kista dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus proliferasi dimana

terbentuk tropozoit. Kista ini dapat terbentuk selama infeksi kronis yang

berhubungan dengan imunitas tubuh. Kista terbentuk intrasel dan kemudian terdapat

secara bebas di dalam jaringan sebagai stadium tidak aktif dan dapat menetap dalam

jaringan tanpa menimbulkan reaksi inflamasi. Pada saat ini antibodi dapat menurun

meskipun masih terdapat infeksi. Pada saat daya tahan tubuh menurun dan pada saat

fase proliferasi, kista tidak terbentuk. Kista pada binatang yang terinfeksi menjadi

infeksius bila termakan oleh karnivora dan toksoplasma masuk melalui usus.5

Siklus seksual Toksoplasma gondii hanya terdapat pada kucing. Kucing dapat

terinfeksi saat makan kista, pseudokista, atau ookista. Kemudian tropozoit masuk ke

dalam epitel usus kucing dan membentuk schizon dan kemudian membentuk

makrogamet dan mikrogamet. Ookista kemudian terbentuk dan dikeluarkan bersama

feses kucing 3-5 hari setelah terinfeksi dan menetap didalamnya selama 1-2 minggu.
Ookista kemudian menjadi sangat infeksius saat terjadi sporulasi setelah 1-3 hari

pada suhu 22º C. Ookista dapat bertahan pada berbagai macam kondisi lingkungan

dan pada udara bebas selama 1 tahun atau lebih.5

Infeksi pada manusia dapat terjadi saat makan daging yang kurang matang,

sayur-sayuran yang tidak dimasak, makanan yang terkontaminasi kotoran kucing,

melalui lalat atau serangga. Juga ada kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara

yang terdapat ookista yang berterbangan.5

Cara penularan lain yang sangat penting adalah pada jalur maternofetal. Ibu

yang mendapat infeksi akut saat kehamilannya dapat menularkannya pada janin

melalui plasenta.2,3,8,9. Risiko terjadinya infeksi janin dalam rahim meningkat

menuruit lamanya atau umur kehamilan. Pada ibu yang mendapat infeksi sebelum

terjadinya konsepsi sangat jarang menularkannnya pada janin. Meskipun resiko

infeksi meningkat sesuai umur kehamilan, tetapi > 90% dari infeksi yang didapat

saat trimester III biasanya tidak memberikan gejala saat bayi lahir.5

Gambar 1. Siklus hidup Toxoplasma Gondii.5


Epidemiologi

Transmisis toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut

terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah

memiliki antibodi antitoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir

memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat

menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibody spesifik.6

Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan

parasite dapat mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasite

berkembangbiak serta sebagian yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi

janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta

dan infeksi neonatus, artinya bahwa hasil isolasi negative menegaskan infeksi

neonatus tidak ada.6

Berdasarkan hasil pemeriksaan otopsi neonatus yang meninggal dengan

toksoplasmosis kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh

janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat

toksoplasmosis merupakan tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum

terinfeksinya janin. Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasil-

hasil penelitian sebagai berikut:6

 Frekuensi infeksi toksoplasmosis kongenital sama dengan frekuensi infeksi

plasenta

 Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi

maternal serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan


Etiologi

Infeksi toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma gondi.

Tokoplasma gondi adalah protozoa yang dapat ditemukan pada pada hampir semua

hewan dan unggas berdarah panas. Akan tetapi kucing adalah inang primernya.

Kotoran kucing pada makanan yang berasal dari hewan yang kurang masak, yang

mengandung oocysts dari toxoplasma gondi dapat menjadi jalan penyebarannya.

Contoh lainnya adalah pada saat berkebun atau saat membenahi tanaman

dipekarangan, kemudian tangan yang masih belum dibersihkan melakukan kontak

dengan mulut.7 (makalah)

Cara Penularan Toxoplasmosis

Infeksi dapat terjadi bila manusia makan daging mentah atau kurang matang

yang mengandung kista. Infeksi ookista dapat ditularkan dengan vektor lalat, kecoa,

tikus, dan melalui tangan yang tidak bersih. Transmisi toxoplasma ke janin terjadi

utero melalui placenta ibu hamil yang terinfeksi penyakit ini. Infeksi juga terjadi di

laboratorium, pada peneliti yang bekerja dengan menggunakan hewan percobaan

yang terinfeksi dengan toxoplasmosis atau melalui jarum suntik dan alat laboratorium

lainnya yang terkontaminasi dengan toxoplasma gondii.6

Melihat cara penularan diatas maka kemungkinan paling besar untuk terkena

infeksi toxoplamosis gondii melalui makanan daging yang mengandung ookista dan

yang dimasak kurang matang. Kemungkinan kedua adalah melalui hewan peliharaan.

Hal ini terbutki bahwa di negara Eropa yang banyak memelihara hewan peliharaan
yang suka makan daging mentah mempunyai frekuensi toxoplasmosis lebih tinggi

dibandingkan dengan negara lain.8(124)

Gejala Klinis ( Refarat)

Sebagian besar infeksi akut pada ibu dan neonatus bersifat subklinis dan hanya

dapat dideteksi melalui pemeriksaan penapisan serologis prenatal atau neonatus. Pada

sebagian kasus, gejala ibu mungkin berupa lesu, demam, nyeri otot, dan kadang ruam

makulopapular dan limfadenopati serviks posterior. Pada orang dewasa

imunokompeten, infeksi awal memicu kekebalan, dan infeksi sebelum hamil hampir

mengeliminasi risiko penularan vertikal. Namun, infeksi pada wanita dengan

gangguan imunitas mungkin parah disertai reaktivasi yang menyebabkan ensefalitis

atau lesi massa.2

Neonatus yang memperlihatkan gejala klinis biasanya mengalami penyakit

generalisata dengan berat lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus dan anemia.

Sebagian mengalami kelainan neurologis primer disertai kalsifikasi intrakranium,

serta hidrosefalus atau mikrosefalus. Banyak yang akhirnya mengalami korioretinitis

dan memperlihatkan gangguan belajar. Trasik klasik ini korioretinitis, kalsifikasi

intrakranium, dan hidrosefalus sering disertai oleh kejang-kejang.2

Diagnosis Pranatal

Menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada janin, bayi, serta

anak-anak diserati kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin prenatal pada ibu hamil,

maka para klinisi/obstetrikus memperkenalkan metode baru yang merupakan koreksi

atas konsep dasar pengobatan toksoplasmosis kongenital yang lampau. Konsep lama
hanya bersifat empiris dan berpedoman pada hasil uji serologic ibu hamil. Saat ini

pemanfaatan tindakan kordosintesis dan amniosintesis dengan panduan ultrasonografi

guna memperoleh darah janin ataupun cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostic

merupak ciri obtetrikus pada dekade 90-an. Selanjutnya segera dilakukan

pemeriksaan spesifik dan rumit yang sifatnya biomolekuler atas komponen janin

tersebut (darah atau cairan ketuban) dalam waktu relative singkat dengan ketepatan

yang tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya. Upaya ini

dikenal dengan diagnostic prenatal.6

Bahkan, diagnosis prenatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau menekan

risiko toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi primer pada ibu hamil berupa

nasihat menghindari makanan/minuman yang kurang dimasak kurang berhasil. Oleh

karena itu, upaya diagnostic prenatal disebut sebagai prevensi sekunder.6

Diagnosis prenatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trisemester

II). Aktivitas diagnosis prenatal meliputi sebagai berikut:6

 Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun

amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi

 Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast, ataupun

diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasite, ditunjukkan

untuk mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan dengan teknik PCR guna mendeteksi

DNA T. gondii pada darah janin atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik

ELISA pada darah janin guna mendeteksi antibody IgM janin spesifik

(antitoksoplasma).
 Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan

eosinophil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8. Daffos et al. (1988)

mengembangkan tindakan diagnosis prenatal untuk toksoplasmosis kongenital

dengan serial/berulang. Dikatakan prosedur ini relative aman bila mulai dilakukan

pada umur kehamilan 19 minggu dan seterusnya.6

Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang

menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari darah janin.

Ditemukan parasite pada kultur ataupun inokulasi tikus dan DNA dari T. gondii

dengan PCR darah janin ataupun cairan ketuban.

Beberapa factor yang harus diperhatikan karena sangat menetukan agar upaya

diagnostic prenatal menjadin aman, terpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut:

 Didahului oleh skrining serologik maternal/ ibu hamil, hasilnya harus

memenuhi kriteria terntentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostic

prenatal. Jika satu dari empat syarat dibawah ini terpenuhi, akan dilakukan

kordosintesis atau amniosintesis.

- Antibody IgM +

- Serokonversi dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu, perubahan dari

seronegatif menjadi seropositive IgM dan IgG

- Titer IgG yang sangat tinggi ≥ 1/1024 (ELISA)

- Aviditas IgG ≤ 200

 Keterampilan klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan

tuntutan ultrasonografi
 Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit

dan khusus di laboratorium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik

ELISA, dan PCR.

Diagnosis infeksi toksoplasmosis. Infeksi toksoplasmosis ditegakkan atas dasar:2


(refarat)

1. Pemeriksaan serologis: titer IgG yang meningkat atau sebesar 1/512 dianggap

infeksi aktif.

2. Melakukan biopsi jaringan: kelenjar yang membesar, biopsi dari jaringan otak,

pewarnaan dengan Giemsa atau Wright.

Gambar 2. Respon Antibodi dari infeksi Toksoplasma .2

Terapi dan Pencegahan

Terapi diberkan terhadap 3 kelompok penderita berikut:

 Kehamilan dengan infeksi akut

- Spiramisin

Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan spectrum antibacterial,

konsentrasi terntentu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun

membunuh organisme belum diketahui. Dijaringan obat ini ditemukan kadar/


konsentrasi yang tinggi terutama pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif

membunuh takizoit sehingga menekan transmisi transplasental. Spiramisin pada

orang dewasa diberikan 2-4 g/hari per oral dibagi dalam 4 dosis untuk 3 minggu,

diulangi setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm.6

- Piremitamin

Piremitamin adalah fenilpirimidin obat antimalaria, terbukti juga sebagai

pengobatan radikal pada hewan eksperimental yang dikenakan infeksi

toksoplasmosis. Obat ini bertahan lama dalam darah dengan waktu paruh

plasma 100 jam (4-5 hari. Piremitamn dan sulfadiazine bekerja sinergik

menghasilkan khasiat 8 kali lebih besar terhadap toksoplasma. Kedua obat ini

bekerja memblokir jalur metabolism asam folat dan asam para aminobenzoat

parasite karena menghambat kerja renzim dihidrofolat reduktase dengan akibat

terganggunya pertumbuhan stadium takizoit parasite. Kombinasi kedua obat ini

mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.6

Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan hipersensitivitas.

Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual dan reversible

dengan akibat penurunan platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan

tendensi perdarahan.

Untuk mengantisipasi hal ini perlu pemeriksaan sel darah tepi dan platelet 2 kali

seminggu serta penggunaan asam folinik dalam bentuk kalsium leukovorin yang

menghambat efek depresi sumsum tulang dari piremitamin. Bersama asam

folinik ditambahkan pula ragi yang akan merugikan pengobatan

toksoplasmosis.6
Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer dan Kraubig

menganjurkan pemakaian obat ini dimulai trisemester II setelah umur kehamilan

14 minggu guna menghindari efek tetarogenik pada janin. Kombinasi

piremitamin, sulfadiazine, dan asam folinik sebagai penggunaan stimultan

diberikan selama 21 hari. Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta

asam folinik 2 kali 5 mg injeksi intramuscular tiap minggu selama pemakaian

piremitamin. Klindamisin cukup efektif terhadap takizot, tetapi dapat

menyebabkan kolitis ulseratif

 Toksoplasma Kongenital

Sulfadiazin dengan dosis 50-100 mg/kg/hari dan piremitamin 0,5 – 1 mg/kg

diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi intramuscular

asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin

terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika anak berumur 1 tahun

karena diharapkan imunitas selulernya telah memadai untuk melawan penyakit

pada masa tersebut.

 Penderita imunodefisiensi

Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati.

Pengobatan disini sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu

menggunakan piremitamin, sulfadiazine, dan asam folinik dalam jangka panjang.

Piremitamin dan sulfadiazine dapat melalui barrier otak.


Pencegahan

Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi

yang beresiko seperti ibu hamil dengan seronegatif. Upaya tersebut:

 Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang dimasak. Ookista mati

dengan pemanasan 90◦C selama 30 detik, 80◦C untuk 1 menit dan 70◦C untuk 2

menit. Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi

 Skrining serologik premarital yang dianjurkan skrining bulanan selama kehamilan

bagi ibu hamil dengan seronegatif.

Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak factor, seperti

kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang terutama dipelihara

sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hospes perantara yang

merupakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vector seperti lipas atau lalat

yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga

berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.6

Walaupun makan daging kurang matang merupakan caar transmisi yang penting

untuk T. gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabakan. Seekor kucing dapat

mengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi

matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun ditanah yang panas

dan lembab. Ookista mati pada suhu 45◦ - 55◦ C, juga mati bila dikeringkan atau bila

bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium.Transmisi melalui bentuk Ookista

menunjukkan infeksi T.gondii pada orang yang tidak senang makan daging atau

terjadi pada binatang herbivora.6


Untuk mencegah infeksi T gondii (terutama pada ibu hamil) harus dihindari

makan daging kurang matang yang mungkin mengandung kista jaringan dan menelan

ookista matang yang terdapat dalam tinja kucing. Kista jaringan dalam daging tidak

infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai 66◦C atau diasap. Setelah memegang

daging mentah, sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan harus dicuci

bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan

dicegah berburu tikus dan burung.6

Pada prinsipnya penggunaan vaksin belum dimulai untuk toksoplasmosis pada

manusia. Akan tetapi, menyadari bahwa toksoplasma terhadap individu-indivu

imunodefisiensi, ibu hamil, dan meningkatnya kerugian ekonomis akibat

toksoplasmosis pada hewan, maka pengembangan vaksin mulai dipikirkan.6

Prinsipnya adalah menginduksi respons imun dalam usus karena infeksi dengan

T. gondii utama terjadi pada kelenjar getah bening mesentrik. Disini tidak digunakan

adjuvant tetapi fungsinya diganti oleh immunostumulating complexes (ISCOMS),

yaitu suatu formulasi protein dalam matriks yang tderdiri atas lipid dan Quikl A

(saponin yang dimurnikan). Kemudian ke dalamnya ditumpangkan membrane antigen

(P30 dan P22).6

2) Rubela

Infeksi Rubela atau dikenal sebagai German measles menyerupai campak, hanya

saja bercaknya sedikit lebih kasar. Infeksi Rubella pada trisemester pertama

memberikan dampak buruk untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan bawaan

(sindroma rubella kongenital). Kelainan bawaan yang banyak ialah defek pada
jantung, katarak, retinitis, dan ketulian. Oleh karena itu, infeksi pada trisemester

pertama memberi pilihan untuk aborsi. Kepastian infeksi dinyatakan pada konversi

dari IgM negatif menjadi positif dan meningkatnya IgG secara bermakna. Kadar IgM

ini dapat pula dibuktikan dalam darah tali pusat.6

Definisi (torch bahan)

Rubella atau campak jerman adalah infeksi virus RNA dari golongan Togavirus

yang ditandai dengan ruam merah muda, demam, dan pembesaran kelenjar

limfe. Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas dan mortalitas yang

rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat kehamilan, dapat

menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan mengakibatkan kecacatan.5

Gambar 3. Rubella. 5

Epidemiologi (refarat)

Kejadian Luar Biasa rubella besar terjadi di Kanada pada 1990-an. Pada tahun

2005, 220 kasus rubella yang dikonfirmasi di tiga kabupaten di Ontario. Sebagian

besar dari kasus ini berada di anggota komunitas keagamaan yang banyak anggota
belum divaksinasi atau belum diterima berbagai vaksin rutin yang direkomendasikan.

Insiden rubella telah menurun 99% dari 57.686 kasus pada 1969 menjadi 271 kasus

pada tahun 1999. Di luar kehamilan, rubella tidak berbahaya. Namun, dalam

kehamilan, penyakit ini menyebabkan kelainan bawaan janin. Wanita hamil dengan

rubella mempunyai distribusi angka cacat bawaan pada janin bergantung pada tuanya

kehamilan. Trisemester I ke bawah 30-50%, trisemester II 6,8% dan trisemester III

5,3%.5 Dengan upaya vaksinasi pada remaja, prevalensi infeksi virus ini menjadi

sangat jarang (1:1000).6

Etiologi

Gambar 4. Virus Rubella.5

Rubella disebabkan oleh virus RNA beruntai tunggal yang merupakan anggota

dari togaviridae. Terdapat dua genotip utama, dengan eropa, amerika utara, dan

jepang isolat berbeda dari beberapa ditemukan di India dan Cina. Penularan terjadi

melalui sekresi nasofaring, dan angka penularan adalah 80% pada orang yang rentan.5
Patogenesis

Infeksi terjadi melalui selaput lendir saluran pernafasan bagian atas. Setelah

tujuh hari timbul viremia yang berlangsung sampai timbulnya antibodi pada hari ke

12-14. Pembentukan antibodi bertepatan dengan timbulnya ruam. Setelah timbulnya

ruam, virus dapat ditemukan dalam nasopharing.2

Virus rubella disebabkan oleh droplet. Virus ini ada di dalam nasofaring dan

menyebar melalui sistem limfatik dan darah. Infeksi janin terjadi jika terdapat viremia

maternal dan terjadi melalui transmisi plasenta. Infeksi janin diperoleh secara

hematogen, dan tingkat transmisi bervariasi dengan usia kehamilan di mana infeksi

ibu terjadi. Setelah menginfeksi plasenta, virus rubella menyebar melalui sistem

vaskular dari perkembangan janin, menyebabkan kerusakan sitopatik ke pembuluh

darah dan iskemia dalam perkembangan organ. Ketika ibu infeksi/paparan terjadi

pada trimester pertama, tingkat infeksi janin mendekati 80%, turun menjadi 25%

pada akhir trimester kedua dan meningkat lagi di trimester ketiga dari 35% pada usia

kehamilan 27-30 minggu untuk hampir 100% melewati 36 minggu gestation. Risiko

cacat bawaan telah dilaporkan 90% bila infeksi maternal terjadi sebelum 11 minggu

kehamilan, 33% di 11-12 minggu, 11% di 13-14 minggu, 24% di 15-16 minggu, dan

0% setelah 16 minggu.2 Infeksi virus ini sangat menular dan periode inkubasi berkisar

antara 2 – 3 minggu.8
Gejala Klinis

Infeksi Virus pada masa perinatal:8 (124)

Imunitas selama kehamilan :

o Pada saat kehamilan: terjadi penurunan fungsi kekebalan yang bersifat “cell

mediated”

o Infeksi virus pada wanita hamil akan memperlihatkan gejala yang lebih berat

dibanding tidak hamil ( infeksi poliomyelitis, cacar air / chicken pox )

o Sistem kekebalan yang masih belum matang pada janin akan menyebabkan

janin atau neonatus lebih rentan terhadap komplikasi yang diakibatkan infeksi

virus

Gejala berupa :

 Biasanya terjadi demam ringan, sakit kepala, rasa lelah dan perasaan tidak

karuan, sakit tenggorokan, batuk

 30-50% tidak bergejala

 Ruam akan timbul sekitar 16-18 hari setelah terpapar

 Pada orang dewasa kadang-kadang disertai sakit pada persendian


Risiko Transmisi Infeksi dan Kecacatan pada Janin

Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada

trimester I. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap

dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga

menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.5

Infeksi ibu pada trimester II juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada

organ. Menetapnya virus dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat

menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemiahemolitika

dengan hematopoesis extra meduler, hepatitis, nefritis interstitial, encefalitis,

pancreatitis interstitial, dan osteomielitis.5

Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :

1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu:

a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum

umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala yang

timbul.
b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD, dan stenosis katup pulmonal.

c. Gangguan mata : katarak dan glukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri

d. Retardasi mental

2. Extended-sindroma rubella kongenital. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental,

keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus, dan gangguan

imunologi (hipogamaglobulin).

3. Delayed-sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes

Mellitus tipe 1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul

bertahun-tahun kemudian.

Gambar 5. Sinrom Rubella pada neonatus.5

Diagnosis

Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis

rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas

menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah timbul ruam, diagnosis

dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan

sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1-2 minggu setelah infeksi primer
dan menetap selama 1-3 bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi

primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi. Diagnosa ditegakkan dengan

adanya peningkatan titer 4 kali lipat dari hemagglutination-inhibiting (HAI) antibody

dari dua serum yang diperoleh dua kali selang waktu 2 minggu atau setelah adanya

IgM.5

Diagnosis prenatal ditegakkan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin

melalui CVS (chorionic villus sampling) atau kordosintesis. Konfirmasi infeksi fetus

pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan

RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil

konsepsi.

Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella kongenital

(CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :

a. virus rubella yang dapat diisolasi

b. adanya IgM spesifik rubella

c. menetapnya IgG spesifik rubella

2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium tidak lengkap.

Didapatkan 2 defek dari item a atau satu dari item a dan b

a. katarak dan/ atau glaucoma kongenital. Penyakit jantung kongenital, tuli,

retinopati

b. purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi mental, meningo

encefalitis, penyakit tulang radiolusen.

c. CRS posible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria untuk CRS compatible.
d. CRI (Congenital Rubella Infection). Temuan serologi tanpa defek

e. Stillbirth. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal.

f. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai dengan CRS, yaitu tidak

adanya antibodi rubella pada anak umur 24 tahun

 Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan serologi.

IgM

 IgM akan cepat memberi respon setelah muncul 2 -3 hari keluar ruam dan

kemudian akan menurun dan hilang dalam waktu 4 – 8 minggu ini

merupakan kadar puncak.

 Dapat dideteksi pada 3 - 8 minggu.

 Menetap hingga 6 - 12 bulan

IgG

 Terdeteksi 5 - 10 hari setelah ruam (bisa lebih awal)

 Kadar puncak dicapai sekitar 15 - 30 hari

 Menurun perlahan sampai beberapa tahun hingga mencapai titer rendah dan

konstan

Diagnosa Rubella juga dapat ditegakkan melalui biakan dan isolasi virus pada

fase akut. Ditemukannya IgM dalam darah tali pusat atau IgG pada neonatus atau

bayi 6 bulan mendukung diagnosa infeksi Rubella.5


DAMPAK TERHADAP KEHAMILAN :

10 – 15% wanita dewasa rentan terhadap infeksi Rubella. Perjalanan penyakit tidak

dipengaruhi oleh kehamilan dan ibu hamil dapat atau tidak memperlihatkan adanya

gejala penyakit. Derajat penyakit terhadap ibu tidak berdampak terhadap resiko

infeksi janin. Infeksi yang terjadi pada trimester I memberikan dampak besar

terhadap janin. Infeksi fetal :

1. Tidak berdampak terhadap bayi dan janin dilahirkan dalam keadaan normal

2. Abortus spontan

3. Sindroma Rubella kongenital

Secara spesifik, infeksi pada trimester I berdampak terjadinya sindroma rubella

kongenital sebesar 25% ( 50% resiko terjadi pada 4 minggu pertama ), resiko

sindroma rubella kongenital turun menjadi 1% bila infeksi terjadi pada trimester II

dan III.5

SINDROMA RUBELLA KONGENITAL :

Intra uterine growth retardation simetrik

Gangguan pendengaran

Kelainan jantung :PDA (Patent Ductus

Arteriosus) dan hiplasia arteri pulmonalis

Gangguan Mata :

Katarak
Retinopati

Mikroptalmia

Hepatosplenomegali

Gangguan sistem saraf pusat :

Mikrosepalus

Panensepalus

Kalsifikasiotak

Retardasi psikomotor

Hepatitis

Trombositopenik purpura

Pemeriksaan rubella harus dikerjakan pada semua pasien hamil dengan mengukur

IgG Mereka yang non-imune harus memperoleh vaksinasi pada masa pasca

persalinan. Tindak lanjut pemeriksaan kadar rubella harus dilakukan oleh karena

20% yang memperoleh vaksinasi ternyata tidak memperlihatkan adanya respon

pembentukan antibodi dengan baik.5

Infeksi rubella tidak merupakan kontra indikasi pemberian ASI. Tidak ada terapi

khusus terhadap infeksi Rubella dan pemberian profilaksis dengan gamma globulin

pasca paparan tidak dianjurkan oleh karena tidak memberi perlindungan terhadap

janin.9

Yang Perlu melakukan Pemeriksaan Rubella:8 (124)


 Wanita sebelum hamil (idealnya) Pada kehamilan dini dan pada usia

 kehamilan menjelang 20 minggu (bagi yang seronegatif)

 Neonatus yang ibunya terinfeksi primerpada saat hamil

 Penderita yang diduga terinfeksi

 Setelah vaksinasi

Penatalaksanaan

Terapi antivirus (124)

o Acyclovir adalah anti virus yang digunakan secara luas dalam kehamilan

o Acyclovir diperlukan untuk terapi infeksi primer herpes simplek atau virus

varicella zoster yang terjadi pada ibu hamil

o Selama kehamilan dosis pengobatan tidak perlu disesuaikan

o Obat antivirus lain yang masih belum diketahui keamanannya selama

kehamilan : Amantadine dan Ribavirin

Penanggulangan infeksi rubella adalah dengan pencegahan infeksi salah

satunya dengan cara pemberian vaksinasi. Pemberian vaksinasi rubella secara

subkutan dengan virus hidup rubella yang dilemahkan dapat memberi kekebalan

yang lama dan bahkan bisa seumur hidup.8

Vaksin rubella dapat diberikan bagi orang dewasa terutama wanita yang tidak

hamil. Vaksin rubella tidak boleh diberikan pada wanita yang hamil atau akan hamil

dalam 3 bulan setelah pemberian vaksin. Hal ini karena vaksin berupa virus rubella
hidup yang dilemahkan dapat beresiko menyebabkan kecacatan meskipun sangat

jarang.8

Tidak ada preparat kimiawi atau antibiotik yang dapat mencegah viremia pada

orang-orang yang tidak kebal dan terpapar rubella. Bila didapatkan infeksi rubella

dalam uterus, sebaiknya ibu diterangkan tentang resiko dari infeksi rubella

kongenital. Dengan adanya kemungkinan terjadi defek yang berat dari infeksi pada

trimester I, pasien dapat memilih untuk mengakhiri kehamilan, bila diagnosis dibuat

secara tepat.8

Pencegahan (124)

 Pencegahan Rubella bagi ibu pada saat kehamilan berupa 9:

o Vaksin dengan virus hidup tidak boleh digunakan selama kehamilan termasuk polio

oral, MMR (measles – mumps – rubella), varicella

o Vaksin dengan virus mati seperti influenza, hepatitis A dan B boleh digunakan

selama kehamilan

o Imunoglobulin dapat digunakan selama kehamilan

 Pemberian Vaksinasi diberikan pada9 :

 Bayi pada usia 1 tahun

 Anak-anak remaja usia 11-12 tahun

 Wanita usia subur yang seronegatif

* sebelum hamil (jika mungkin)

* setelah melahirkan
 Para pekerja ‘Healthcare’

Batas waktu Vaksinasi

Dewasa : bertahan > 8 thn (bila titer tinggi)

Anak-anak : 25% akan kehilangan antibodinya 5 tahu kemudian

Oleh sebab itu perlu diperiksa kembali IgG Rubella pada saat merencanakan akan

hamil (3-6 bulan sebelumnya). 8

3) Sitomegalovirus (CMV)

Sitomegalovirus (CMV) trmasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini

berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini

menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar

(sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu.6

Gambar 6. Cytomegalovirus Nuclear Inclusion with perinuclear halo. 5


Epidemiologi (Refarat)

Lebih dari separuh wanita hamil menunjukkan tanda serologik pernah

terinfeksi CMV. Satu persen wanita mungkin terinfeksi CMV selama kehamilan,

yang semuanya asimptomatik. Infeksi primer CMV terjadi pada 1-2% wanita hamil,

diperkirakan bahwa sekitar 50 % dari wanita usia reproduksi rentan terhadap infeksi

CMV. Serokonversi terjadi pada 1 % sampai 4 % dari seluruh kehamilan dan lebih

tinggi pada wanita yang status sosial ekonomi rendah atau yang memiliki

kebersihan pribadi yang buruk. Infeksi ini dikaitkan dengan peningkatan mortalitas

perinatal dan 3-7 persen bayi mendapatkan kelainan kongenital.2

Etiologi (Refarat)

Gambar 7. Cytomegalovirus.2

Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini

berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini

menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar

(sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu.2


Penularan

Penularan/transmisi CMV ini berlangsung secara horizontal, vertical, dan

hubungan seksual. Transmisi horizontal terjadi melalui droplet infection dan kontak

dengan air ludah dan air seni. Sementara itu, transmisi vertical adalah penularan

proses infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena

transmisi transplasenta selama kehamilan dan diperkirakan 0,5 % - 2,5 % dari

populasi neonatal. Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan

terhadap serviks yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transfusi

darah. Dengan cara ini prevalensi diperkirakan 3-5 %.6

Patogenesis

Infeksi CMV yang sering terjadi karena pemaparan pertama kali atas invidu

disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun

asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang

tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam

jaringan. Proses ini disebut infeksi laten.6

Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi

virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi

imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-

resipien ataupun penderita dengan keganasan.6

Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit

tertentu serta keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul
stimulasi antigenic yang kronis. Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari

periode laten disertai berbagai sindrom.6

 Infeksi CMV pada Kehamilan

Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi

pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.

Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola

imunologik seronegatif dan nonprime bila ibu hamil dalam keadaan seropositive.6

Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam

keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh

lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).6

Gejala klinik (Refarat)

Kehamilan tidak meningkatkan risiko atau keparahan infeksi CMV pada

ibu. Sebagian besar infeksi tidak menimbulkan gejala, tetapi sekitar 15% orang

dewasa yang terinfeksi memperlihatkan sindrom mirip-mononukleosis infeksiosa

yang ditandai oleh demam, faringitis, limfadenopati, dan poliarthritis. Wanita

dengan gangguan imunitas mungkin mengalami miokarditis, pneumonitis,

hepatitis, retinitis, gastroenteritis, atau meningoensefalitis. Wanita dengan infeksi

primer memperlihatkan peningkatan kadar aminotransferase serum atau

limfositosis.2

Infeksi primer CMV pada ibu hamil ditularkan ke janinnya pada sekitar 40

persen kasus dan dapat menyebabkan morbiditas berat. Sebaliknya infeksi rekuren
pada ibu hanya menginfeksi janin pada 0,15 sampai 1 persen kasus. Infeksi janin

transplasenta lebih besar kemungkinannya terjadi pada paruh pertama kehamilan.2

Karakteristik infeksi janin yang dapat membantu dalam diagnosis prenatal

termasuk hambatan pertumbuhan dalam kandungan, serebral ventrikulomegali,

asites, mikrosepali, hidrosepali, kalsifikasi periventrikuler, hepatosplenomegali,

kardiomegali, dan oligo atau polihidramnion. Sebagian besar bayi yang terinfeksi

tidak memperlihatkan gejala saat lahir, tetapi sebagian mengalami sekuele yang

muncul belakangan misalnya gangguan pendengaran, defisit neurologis,

korioretinitis, retardasi psikomotor, dan gangguan belajar.2

Diagnosis

Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik

maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal primer

dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositive

(tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan

interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologic infeksi primer dapat pula

ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibody klas IgG menunjukkan

fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20

minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer

menunjukkan IgG aviditas rendah (Low Avidity IgG) terhadap CMV.6

Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan

menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoclonal antibody

yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65

kilo dlaton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.6
Diagnosis Pranatal

Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan yang

menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini

karena diperkirakan 70% dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan

demikian, diagnosis prenatal dapat mencegah terminasi kehamilan yang tidak perlu

terhadap janin yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat

berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi inversi

karena pengobatan dengan antivirus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif

dan memuaskan.6

Diagnosis prenatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi

virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis

dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu

karena tiga hal berikut6:

 Mencegah hasil negative palsu sebab diuresis janin belum sempurna umur

kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi virus

sitomegalo melalui urin ke dalam cairan ketuban.

 Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus

dapat ditemukan dalam cairan ketuban

 Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi

maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.

Penelitian menunjukan bahwa untuk diagnosis prenatal hasil amniosentesis

lebih baik jika dibandingkan dengan kordosintesis. Demikian pula halnya biopsi vili
korialis dikatakan tidak meningkatkan kemampuan mendiagnosis infeksi CMV

intrauterine. Kedua prosedur ini korodosentesis dan biopsy membawa risiko bagi

janin, bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan.6

Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal

sangat membantu dalam mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi/diduga

terinfeksi CMV.6

Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterine bila

didapatkan hal-hal berikut ini pada janin:

Olgohidramnion, polihidramnion, hidrops nonimun, asites janin, gangguan

pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi

intracranial, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatic.

Terapi dan Konseling

Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususya pada pengobatan

infeksi kongenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang terjadi

pada umur kehamilan ≤ 20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal

kemungkinan dapat dipertimbagkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna

mengobati infeksi CMV yang serius seperti renitis, esophagitis pada penderita

dengan Acquired Immunodenficiency Syndroe (AIDS) serta tindakan profilaksis

untuk mencegah infeksi CMV setelah transplatasi organ.6

Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat ini adalah Ganciclovir,

Foscarnet, Cidofivir dan Valanciclovir, tetapi sampai saat ini belum dilakukan
evaluasi disamping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi.

Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah morbiditas dan mortalitas

akibat infeksi kongenital.6

4) Herpes Simplex Virus

Pada suatu survey di India kejadian IgM pada kelompok pasien dengan riwayat

obstetric buruk (lahir mati, kematian neonatal) ditemukan hanya 3,6%. Infeksi yang

terjadi pada bayi relative jarang, berupa infeksi paru, mata, dan kulit. Kini terbukti

bahwa jika ibu sudah mempunyai infeksi (vesikel yang nyeri pada vulva secara

kronik), kemungkinan infeksi pada bayi hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan

persalinan pervaginam. Tetapi, sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan

akan mempunyai risiko, sehingga dianjurkan persalinan dengan seksio saserea.6

Definisi (torch(bahan)

Virus herpes simpleks adalah merupakan virus DNA, dan seperti virus

DNA yang lain mempunyai karakteristik melakukan replikasi didalam inti sel

dan membentuk intranuclear inclusion body. Intranuclear inclusion body yang

matang perlu dibedakan dari sitomegalovirus. Karakteristik dari lesi ini adalah

adanya central intranuclear inclusion body eosinofilik yang ireguler yang

dibatasi oleh fragmen perifer darin kromatin pada tepi membran inti.5

Berdasarkan perbedaan imunologis dan klinis, virus herpes simpleks dapat

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :

a. virus herpes simpleks tipe 1 yang menyebabkan infeksi herpes non

genital, biasanya pada daerah mulut, meskipun kadang-kadang dapat


menyerang daerah genital. Infeksi virus ini biasanya terjadi saat anak-

anak dan sebagian besar seropositif telah didapat pada waktu umur 7

tahun.

b. virus herpes simpleks tipe 2 hampir secara ekslusif hanya ditemukan pada

traktus genitalis dan sebagian besar ditularkan lewat kontak seksual.

Gambar 8. Virus Herpes Simpleks.2

Penyebaran

Virus herpes simpleks menyebar melalui kontak tubuh secara langsung dan

sebagian besar dengan kontak seksual. Dalam keadaan tanpa adanya antibodi,

kontak dengan partner seksual yang menderita lesi herpes aktif, sebagian besar akan

mengakibatkan panyakit yang bersifat klinis.5

Penyebaran transplasenta sangat jarang terjadi dan masih belum jelas, tetapi

diduga tidak jauh berbeda dengna penularan virus herpes yang lain seperti

sitomegalovirus, Eipstein-Barr virus dan lain-lain.5

Penularan pada bayi dapat terjadi bila janin yang lahir kontak dengan virus

pada ibu yang terinfeksi virus aktif dari jalan lahirnya dan ini merupakan penularan

pada neonatal yang paling sering terjadi. Meskipun demikian kejadian herpes

neonatal kecil sekali yaitu 1:25.000 kelahiran. Beberapa keadaan yang


mempengaruhi terjadinya herpes neonatal adalah banyak sedikitnya virus, kulit

ketuban masih utuh atau tidak, ada atau tidaknya lesi herpes genital, dan ada atau

tidaknya antibodi virus herpes simpleks. Pada ibu hamil dengan infeksi primer dan

belum terbentuk antibodi maka penularan dapat terjadi sampai 50% sedangkan pada

infeksi rekuren hanya 2,5-5%.5

Gambar 9. Herpes Infection.5

Patogenesis (Refarat)

Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan

gangguan kekebalan sel T, seperti pada penerima transplantasi organ dan pada

individu dengan AIDS. HSV didistribusikan di seluruh dunia. Manusia adalah

satu-satunya penerima alami, dan tidak ada vektor yang terlibat dalam transmisi.

Endemisitas mudah dipelihara di masyarakat kebanyakan manusia karena

infeksi laten, reaktivasi periodik, dan asimptomatis virus shedding. HSV

ditularkan melalui kontak pribadi yang dekat, dan infeksi terjadi melalui

inokulasi virus ke permukaan mukosa rentan (misalnya, orofaring, serviks,

konjungtiva) atau melalui celah-celah kecil di kulit. Virus ini mudah

dinonaktifkan pada suhu kamar dan dengan pengeringan; karenanya,

penyebaran aerosol jarang terjadi.2


Gejala Klinik

Secara umum gejala klinik infeksi virus herpes simpleks dapat dibagi menjadi:

 Infeksi Primer

 Merupakan paparan pertama kali terhadap HSV 1 atau 2 yang dapat

menyebabkan lesi vulva dan disuria namun kadang - kadang juga tanpa gejala.

Seringkali di diagnosa sebagai infeksi traktus urinarius atau candidiasis.9

 Pada pemeriksaan ditemukan ulkus multiple yang disertai rasa nyeri hebat.

Kadang disertai dengan pembesaran kelenjar inguinal.9

 Infeksi non-primer, episode pertama herpes genitalis

Terjadi pada penderita dengan riwayat lesi oro-labial HSV-1 yang kemudian

mendapatkan infeksi genital-HSV 2. Terdapat perlindungan silang dari infeksi

oro-labial sehingga gejala yang ditimbulkan oleh HSV 2 lebih ringan

dibandingkan gejala yang ditimbulkan oleh infeksi HSV 1. Infeksi non primer

ini biasanya lebih asimptomatik dibandingkan infeksi primer.9

 Herpes Rekuren

 Episode ulangan dapat asimptomatik (subklinis). Gejala yang timbul biasanya

ebih ringan dibandingkan infeksi pertama. Seringkali didahului oleh rasa gatal,

pedih di area yang akan timbul erupsi

 Pada pemeriksaan dijumpai satu atau dua ulcus yang meliputi area kecil 90%

penderita infeksi HSV 2 dan 60% pada infeksi HSV 1 akan mengalami

kekambuhan dalam tahun pertama. Rata rata kekambuhan 2 kali pertahun ,

namun beberapa penderita memperlihatkan gejala ulangan yang lebih sering


Gambar 10. Gejala Herpes Simplex.5

Diagnosis

Ditemukannya virus dalam kultur jaringan. Sayangnya pemeriksaan ini

cukup mahal dan membutuhkan waktu lebih dari 48 jam. Cara yang lebih cepat

adalah dengan memeriksa adanya antibodi secara ELISA, dengan sensitivitas

97,5 % dan spesifitas 98% meskipun waktu yang dibutuhkan tetap lebih dari 24

jam.

Penatalaksanaan

Herpes primer dan episode infeksi pertama kali (dr Indah)

Obat antivirus untuk menurunkan berat dan lamanya gejala. Obat ini tidak dapat

mencegah latensi sehingga tidak dapat mencegah serangan ulang.

 Regimen

– Acyclovir 200 mg 3 x 1 selama 5 hari (untuk ibu hamil dan menyusui)

– Famcyclovir 250 mg 2 x 1 selama 5 hari

– Valciclovir 500 mg 2 x 1 selama 5 hari.


 Analgesik

Herpes genital rekuren

 Rekurensi bersifat “self limiting” dengan terapi suportif.

 Rekurensi dapat diringankan dengan obat antiviral sedini mungkin saat erupsi

belum muncul.

 Dosis

– Acyclovir 200 mg 5 x 1 selama 5 hari

– Famcyclovir 125 2 x 1 selama 5 hari

– Valciclovir 500 mg 1 x 1 selama 5 hari.

Pencegahan
Pencegahan antara lain dengan cara menjaga kebersihan perseorangan dan

pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan

kondom dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani

lesi infeksius.2

Komplikasi (124)

Infeksi primer yang terjadi pada masa kehamilan, khususnya bila terjadi pada

trimester III akan dapat menular ke neonatus saat melewati jalan lahir. Herpes

Genitalis meningkatkan kemungkinan infeksi HIV 2 – 3 kali lipat. Masalah psikologi

akibat serangan yang sering berulang. Infeksi primer dapat menyebabkan meningitis

atau neuropatia otonomik. Infeksi jarang menyebar keseluruh tubuh hingga “life

threatening”. Keadaan ini sering terjadi pada ganguan kekebalan dan masa

kehamilan. 8
BAB III

KESIMPULAN

TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella, Cyto

Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri

dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya

lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia,

virus Polio, dan virus Coxsackie-B). Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil

karena dapat mengakibatkan keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum

hamil bisa akan sulit mendapatkan kehamilan.8(124)

Penapisan atau tes TORCH merupakan kontroversi, bergantung pada infeksi

pada suatu daerah. Apabila ternyata infeksi pada bayi jarang, maka penapisan

agaknya tidak layak dilakukan. Terlebih lagi pengobatan pada penyakit ini tidak

memberi manfaat nyata.6

Perlu disarankan untuk selalu waspada terhadap penyakit TORCH dengan

cara mengetahui media dan cara penyebaran penyakit ini kita dapat menghindari

kemungkinan tertular. Hidup bersih dan makan makanan yang dimasak dengan

matang.8 (124)
DAFTAR PUSTAKA

1. Christin MCG. Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Upaya Pencegahan


Infeksi Torch (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex
Virus) ada Wanita Usia Subur di Komunitas Pencinta Kucing. Pontianak.
Kalimantan Barat. 2015
2. M. Azis. Indah Pratiwi , Ridwan S. Infeksi Torch pada Kehamilan.
Kendari. 2016
3. Zida Maulina Aini, Juminten Saimin. Hubungan Infeksi Torch Pada
Kehamilan Dengan Kejadian Kelainan Kongenital Pada Bayi Baru Lahir.
Bagian Kedokteran Tropis FK UHO. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK
UHO. 2017
4. Hasdina. Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Infeksi Torch di
Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak Pertiwi, Rumah Sakit Khusus
Daerah Ibu dan Anak Siti Fatimah, dan Rumah Sakit Ibu dan Anak Sitii
Khadijah di Makassar. UIN Alauddin. 2016
5. Dachlan E. G. Infeksi Torch. Buku Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. 2016. h. 935-943
6. Lestari Indah. Infeksi TORCH pada kehamilan. FK Umi. Makassar. 2019

Anda mungkin juga menyukai