Anda di halaman 1dari 41

Laporan Kasus

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun Oleh:

Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Periode 2 September – 6 Oktober 2019

Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026


Lathifah Nadiah, S.Ked 04084821921009

Pembimbing: dr. Bintang Arroyantri Prananjaya, SpKJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RS ERNALDI BAHAR PROVINSI SUMATERA SELATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:


SKIZOFRENIA PARANOID

Oleh:

Silvi Silvania, S.Ked 04054821820026


Lathifah Nadiah, S.Ked 04084821921009

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Palembang periode 2 September-6 Oktober 2019.

Palembang, September 2019

dr. Bintang Arroyantri Prananjaya, SpKJ


KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ilmiah dengan judul
“SKIZOFRENIA PARANOID” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada


dr. Bintang Arroyantri Prananjaya, SpKJ selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan bimbingan dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat
selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan tugas ilmiah
ini, semoga bermanfaat.

Palembang, September 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 3

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 5

BAB II STATUS PASIEN .................................................................................... 6

2.1. Identifikasi Pasien .................................................................................. 6


2.2 Anamnesis ............................................................................................... 6
2.3 Pemeriksaan .......................................................................................... 11
2.4 Diagnosis Multiaksial ........................................................................... 16
2.5 Diagnosis Banding ................................................................................ 16
2.6 Terapi .................................................................................................... 16
2.7 Prognosis ............................................................................................... 17

BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................... 36


BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata, yaitu
skizo yang berarti pecah dan frenia yang berarti kepribadian. Skizofrenia
merupakan gangguan otak, dengan kelainan struktural dan fungsional yang
dikarakterisasikan dengan gangguan kognitif, emosi, persepsi, pikiran dan
perilaku. Skizofrenia biasanya bersifat kronis yang meliputi fase prodromal, fase
aktif, dan fase residu.1
Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 21 juta orang terkena
skizofrenia. Prevalensi skizofrenia di Indonesia mencapai sekitar 400.000 orang
atau sebanyak 1,7 per 1000 penduduk.2 Prevalensi kejadian skizofrenia antara pria
dan wanita hampir sama. Onset yang lebih awal biasanya terjadi pada pria dengan
puncak awitan skizofrenia antara 15 dan 35 tahun. Dengan berbagai faktor
biologis, psikologis dan sosial dengan keanekaragaman penduduk, jumlah kasus
gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara
dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. 3
Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang terdiri dari kumpulan gejala
sehingga faktor risiko skizofrenia hingga saat ini masih belum jelas. Teori yang
berperan sebagai faktor risiko skizofrenia adalah teori genetik, teori biologi serta
teori psikososial dan lingkungan.4 Diagnosis dari skizofrenia ini dapat ditegakkan
secara klinis dengan anamnesis gejala dengan pedoman diagnostik menurut
PPDGJ III.5 Prognosis skizofrenia sangat berhubungan erat dengan pengobatan
yang penderita dapatkan, onset terjadinya, faktor premorbid yang menyertai baik
dalam sosial, seksual dan pekerjaan. Penatalaksanaan skizofrenia bersifat holistik
dengan mengombinasikan terapi farmakologi dan intervensi psikososial untuk
mendapatkan hasil yang optimal.6
BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi Pasien


Nama : MN
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Cerai Hidup
Suku/Bangsa : Sumatera selatan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ojek
Agama : Islam
Alamat : KM 12, Palembang
Datang ke RS : Rabu, 11 September 2019
Cara ke RS : Diantar adik kandung
Tempat Pemeriksaan : Bangsal Merpati RSUD Ernaldi Bahar
Palembang

2.2 Anamnesis
Autoanamnesis dan Alloanamnesis
a. Sebab utama
Mengamuk dan mengoceh terus-menerus di rumah.
b. Keluhan utama
Os mengeluh sulit mengendalikan emosi dan sulit tidur.
c. Riwayat perjalanan penyakit
Kurang lebih 8 tahun yang lalu, keluarga os mengatakan bahwa
os mengalami perubahan perilaku. Os menjadi pendiam, sering marah-
marah dan kurang tidur. Perubahan perilaku ini terus berlangsung
namun tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari dari os.
Kurang lebih 3 tahun yang lalu, menurut pengakuan keluarga, os
menjadi marah-marah memukul dan mencekik istri os. Saat ditanya, os
tidak mau mengatakan apa yang terjadi pada saat itu. Os juga kurang
tidur, dan sering mondar-mandir saat malam. Keluarga lalu membawa
os ke RS Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan dan menjalani rawat
jalan, dengan terapi berupa cepezet 1x100 mg, haloperidol 2x5 mg, dan
THP 2x2 mg. Namun menurut pengamatan keluarga, os tidak rutin
minum obat, dan sering marah saat diingatkan untuk meminum obat,
sehingga pengobatan tidak teruskan setelah kunjungan rawat jalan
tersebut.
Kurang lebih 2 tahun yang lalu, os menghadapi pertengkaran
hebat dengan istri os saat itu. Os mengaku sudah melakukan yang
terbaik namun tidak kunjung menemukan solusi terkait kondisi rumah
tangganya, namun saat ditanya permasalahan apa yang dihadapi, os
juga kembali tidak mau menceritakan apa yang terjadi. Akhirnya os
memutuskan berpisah dengan istri os. Dua orang anak os dibawa oleh
mantan istri os, dan os pindah ke Palembang dan tinggal bersama
ibunya. Os mengaku sering merindukan anaknya dan berharap bisa
menemui mereka kembali, walaupun mantan istrinya selalu
menghindar saat dimintai kesempatan bertemu dengan anak-anaknya.
Kurang lebih 1 tahun yang lalu, menurut pengakuan keluarga os
tiba-tiba marah-marah, melempar barang-barang, dan mengancam
untuk membunuh ibu os sehingga ibu os kabur dari rumah. Os tidak
ingat mengenai kejadian tersebut dan mengatakan tidak tahu mengapa
ibunya pergi meninggalkan dirinya. Os akhirnya tinggal sendirian di
rumahnya, dan anggota keluarga lainnya secara bergantian datang
setiap hari untuk membantu merawat os. Saat diajak berobat kembali
oleh keluarga, os menolak dan mengatakan dirinya baik-baik saja. Os
sering curiga, merasa ada yang menjahati os dengan cara merusak
motornya dan tanaman yang ada di halaman belakang rumahnya. Os
juga pernah melempari rumah tetangga karena merasa curiga dengan
tetangga tersebut akan kerusakan yang terjadi pada motor dan
tanamannya.
Kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, os tiba-tiba
mengamuk kembali dan mengoceh-oceh tidak jelas saat malam hari di
rumah os. Os mengaku mendengar suara-suara yang menyuruhnya
untuk menjaga tanamannya dari orang-orang jahat yang akan merusak
tanamannya. Hal ini dikeluhkan oleh tetangga dan disampaikan ke
keluarga. Keesokan harinya, keluarga memutuskan untuk secara paksa
membawa os berobat dengan cara mengikat tangan dan kaki os saat os
sedang berbaring. Lalu os dibawa ke IGD RS Ernaldi Bahar Provinsi
Sumatera Selatan.

d. Riwayat penyakit dahulu


- Riwayat kejang : tidak ada
- Riwayat trauma : (+) 11 tahun yang lalu
- Riwayat diabetes mellitus : tidak ada
- Riwayat hipertensi : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada
- Riwayat alergi obat : tidak ada
- Riwayat makanan : (+) makanan laut

e. Riwayat pengobatan
 Cepezet 1x100 mg
 Haloperidol 2x5 mg
 Trihexylphenidyl 2x2 mg

f. Riwayat premorbid
- Lahir : lahir spontan, langsung menangis
- Bayi : tumbuh kembang baik
- Anak-anak : sosialisasi baik
- Remaja : sosialisasi baik, memiliki banyak teman
- Dewasa : sosialisasi tidak baik, tidak memiliki teman
- Riwayat minum alkohol (+) sejak remaja dan berhenti saat os
menikah 19 tahun yang lalu
- Riwayat NAPZA (-)

g. Riwayat keluarga
- Os merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
- Anggota keluarga dengan gangguan jiwa disangkal.
- Riwayat pada keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
- Hubungan dengan anggota keluarga tidak terjalin baik.
- Ayah kandung dulunya bekerja sebagai petani. Hubungan os dengan
ayah kandung tidak terjalin harmonis.
- Ibu kandung tidak bekerja. Hubungan os dengan ibu kandung tidak
terjalin harmonis.

Keterangan:
: Pasien : Perempuan

: Laki-laki
D
a
l
h. Riwayat
a pendidikan
m
K
e
d
o
SMA (tamat). Os dulunya mencoba untuk memasuki ABRI sebanyak 2
kali, namun tidak lulus.

i. Riwayat pekerjaan
Ojek,

j. Riwayat gaya hidup


Os sulit tidur saat malam. Biasanya os baru mulai tidur jam 1-2 pagi
dan bangun saat jam 5 pagi. Os tidak mengetahui mengapa ia tidak
dapat tidur. Biasanya saat tidak bisa tidur os berjalan mengelilingi
kebun kecil di belakang rumahnya.

k. Riwayat perkawinan
Os cerai hidup.

l. Keadaan sosial ekonomi


Os berasal dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi bawah.
2.3 Pemeriksaan
A. Status Internus
1) Keadaan Umum
Sensorium : Compos Mentis
Frekuensi nadi : 87 x/menit
Tekanan darah : 135/83 mmHg
Suhu : 36,70 C
Frekuensi napas : 20 x/menit

B. Status Neurologikus
1) Urat syaraf kepala (panca indera) : tidak ada kelainan
2) Gejala rangsang meningeal : tidak ada kelainan
3) Mata:
Gerakan : baik ke segala arah
Persepsi mata : baik, diplopia tidak ada, visus normal
Pupil : bentuk bulat, sentral, isokor, Ø
3mm/3mm
Refleks cahaya : +/+
Refleks kornea : +/+
Pemeriksaan oftalmoskopi : tidak dilakukan

4) Motorik
Lengan Tungkai
Fungsi Motorik
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal
Kekuatan 5/5
Tonus Eutonik Eutonik Eutonik Eutonik
Klonus - - - -
Refleks fisiologis + + + +
Refleks patologis - - - -

11
5) Sensibilitas : normal
6) Susunan saraf vegetatif : tidak ada kelainan
7) Fungsi luhur : tidak ada kelainan
8) Kelainan khusus : tidak ada

C. Status Psikiatrikus
Keadaan Umum
a. Sensorium : Compos Mentis
b. Perhatian : Atensi adekuat
c. Sikap : Kurang kooperatif
d. Inisiatif : Adekuat
e. Tingkah laku motorik : Normal
f. Ekspresi fasial : Cenderung marah
g. Verbalisasi : Jelas
h. Cara bicara : Lancar
i. Kontak psikis : adekuat
j. Kontak fisik : adekuat
k. Kontak mata : adekuat
l. Kontak verbal : adekuat

Keadaan Khusus (Spesifik)


a. Keadaan afektif
Afek : Sesuai
Mood : Distimik (irritable)

b. Hidup emosi
Stabilitas : labil
Dalam-dangkal : dangkal
Pengendalian : lemah
Adekuat-Inadekuat : inadekuat
Echt-unecht : echt

12
Skala diferensiasi : menyempit
Einfuhlung : bisa dirabarasakan
Arus emosi : cepat

c. Keadaan dan fungsi intelektual


Daya ingat : baik
Daya konsentrasi : kurang baik
Orientasi orang/waktu/tempat : baik
Luas pengetahuan umum : sulit dinilai
Discriminative judgement : terganggu
Discriminative insight : terganggu
Dugaan taraf intelegensi : sulit dinilai
Depersonalisasi dan derealisasi : tidak ada

d. Kelainan sensasi dan persepsi


Ilusi : tidak ada
Halusinasi : halusinasi auditorik (+) os mendengar suara yang
mengatakan ada yang ingin menjahatinya dan menyuruhnya untuk
berjaga saat malam.

Keadaan Proses Berfikir


a. Arus pikiran
Flight of ideas : tidak ada
Inkoherensi : tidak ada
Sirkumstansial : tidak ada
Tangensial : tidak ada
Terhalang (blocking) : tidak ada
Terhambat (inhibition) : tidak ada
Perseverasi : tidak ada
Verbigerasi : tidak ada

13
b. Isi Pikiran
Waham : ada, waham presekutorik
Pola Sentral : tidak ada
Fobia : tidak ada
Konfabulasi : tidak ada
Perasaan inferior : tidak ada
Kecurigaan : ada
Rasa permusuhan : ada
Perasaan berdosa : tidak ada
Hipokondria : tidak ada
Ide bunuh diri : tidak ada
Ide melukai diri : tidak ada
Lain-lain : tidak ada

Pemilikan pikiran
Obsesi : tidak ada
Aliensi : tidak ada

Bentuk pikiran
Autistik : Ada
Dereistik : Ada
Simbolik : Tidak ada
Paralogik : Tidak ada
Simetrik : Tidak ada
Konkritisasi : Tidak ada
Lain-lain
Neologisme : Tidak ada

c. Keadaan dorongan instinktual dan perbuatan


Hipobulia : tidak ada
Vagabondage : tidak ada

14
Stupor : tidak ada
Pyromania : tidak ada
Raptus/Impulsivitas : ada
Mannerisme : tidak ada
Kegaduhan umum : ada
Autisme : tidak ada
Deviasi seksual : tidak ada
Logore : tidak ada
Ekopraksi : tidak ada
Mutisme : tidak ada
Ekolalia : tidak ada
Lain-lain : tidak ada

e. Kecemasan : ada

f. Dekorum
Kebersihan : kurang
Cara berpakaian : kurang
Sopan santun : cukup

g. Reality testing ability : RTA terganggu alam pikiran, perasaan dan


perbuatan

D. Pemeriksaan Lain
2.1. Pemeriksaan radiologi/foto thoraks : tidak dilakukan
2.2. Pemeriksaan radiologi/ CT scan : tidak dilakukan
2.3. Pemeriksaan darah rutin : tidak dilakukan
2.4. Pemeriksaan laboratorium : tidak dilakukan
2.5. Pemeriksaan urin : tidak dilakukan
2.6. Pemeriksaan LCS : tidak dilakukan
2.7. Pemeriksaan elektroensefalogram : tidak dilakukan

15
2.4 Diagnosis Multiaksial
Aksis I : F20.0 Skizofrenia paranoid
Aksis II : Belum ada diagnosis
Aksis III : Tidak ada diagnosis
Aksis IV: Masalah dengan “primary support group” (keluarga)
Aksis V : GAF scale 60-51

2.5 Diagnosis Banding


1. F22.0 Gangguan waham menetap
2. F20.5 Skizofrenia Residual

2.6 Terapi
a. Psikofarmaka
- Inj. sikzonoat 1 mg IM
- Inj. lodomer 1 mg IM
- Olanzapin 1x10 mg PO
b. Psikoterapi
Suportif
- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya.
- Memberi dukungan dan perhatian kepada pasien dalam menghadapi
penyakit.
- Memotivasi pasien agar minum obat secara teratur.
Kognitif
Menerangkan tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara
berpikir yang salah, mengatasi perasaan, dan sikapnya terhadap masalah
yang dihadapi.
Keluarga
Memberikan pengertian kepada keluarga tentang penyakit pasien
sehingga diharapkan keluarga dapat membantu dan mendukung
kesembuhan pasien (pro family meeting).

16
Religius
Bimbingan keagamaan agar pasien selalu menjalankan ibadah sesuai
ajaran agama yang dianutnya, yaitu menjalankan sholat lima waktu,
menegakkan amalan sunah seperti mengaji, berzikir, dan berdoa kepada
Allah SWT.

2.7 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Skizofrenia
3.1.1 Definisi
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang ditandai dengan delusi,
halusinasi, dan/ atau bicara tidak teratur, yang menyebabkan gangguan fungsional
yang signifikan. Skizofrenia meliputi berbagai disfungsi kognitif, perilaku, dan
emosional meskipun terdapat banyak variasi pada individu yang mengalami
gejala-gejala ini. Skizofrenia dianggap sebagai gangguan mental kronis dengan
prevalensi antara 0,3 persen dan 0,7 persen. Meskipun prevalensinya tidak terlalu
tinggi, skizofrenia bertanggung jawab atas lebih dari $7,6 miliar per tahun dalam
biaya langsung (misalnya penggunaan layanan kesehatan mental, biaya penegakan
hukum) dan tambahan $ 2,4 miliar per tahun untuk biaya tidak langsung (misalnya
hilangnya produktivitas).1
Berdasarkan PPDGJ III, skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan
variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu
bersifat kronis atau “deteriorating”) yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya. Pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau tumpul
(blunted), kesadaran yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual
biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian.5

3.1.2 Epidemiologi
a. Insidensi dan prevalensi
Di Amerika Serikat, prevalensi dari penyakit ini sekitar 1%, yang berarti
bahwa 1 dari 100 orang dapat menderita gangguan ini semasa hidupnya. Di
dunia, masing-masing 2 juta kasus baru muncul setiap tahunnya. Di

18
Amerika Serikat, hanya sekitar 0,05% dari total populasi yang dirawat
karena skizofrenia dalam satu tahun dan hanya sekitar setengahnya pasien
yang mendapatkan perawatan. Terdapat lebih dari 2 juta orang yang
menderita skizofrenia di Amerika Serikat.4
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi
skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2%-2,0%. Di Indonesia angka
prevalensi skizofrenia yang tercatat di Depkes berdasarkan survey di rumah
sakit (1983), antara 0,5%-0,15%, dengan perkiraan bahwa 90% dari
penderita skizofrenia mengalami halusinasi pada saat mereka sakit. Empat
besar kasus penderita yakni klien dengan paranoid sebanyak 359 orang,
skizofrenia 290 orang, depresi 286 orang dan gangguan psikologis akut 269
orang. Penderita lainnya mengalami neurosa, epilepsi, gangguan afektif,
parafrenia, retardasi mental, sindrom ketergantungan obat dan lainnya.4
b. Jenis kelamin dan usia
Prevalensi kejadian skizofrenia antara pria dan wanita hampir sama.
Namun, onset yang lebih awal biasanya terjadi pada pria. Usia puncak
awitan skizofrenia antara 15 dan 35 tahun (50% dari kasus terjadi sebelum
usia 25 tahun). Onset sebelum usia 10 tahun (disebut onset dini skizofrenia)
atau setelah usia 45 tahun (disebut onset lambat) jarang terjadi.4
c. Ras dan agama
Orang Yahudi lebih jarang terkena dampak daripada orang Protestan dan
Umat Katolik, dan prevalensi lebih tinggi pada populasi non-kulit putih.4
d. Penyakit medis dan mental
Penyebab kematian utama pasien skizofrenia di Indonesia adalah bunuh diri
(10% bunuh diri). Lebih dari 40% dari pasien skizofrenia menyalahgunakan
narkoba dan alkohol.4

3.1.3 Etiologi
Skizofrenia merupakan gangguan psiksis yang sering dijumpai Oleh karena
heterogenitas dari gejala dan prognosis dari skizofrenia, tidak ada faktor tunggal
yang dianggap sebagai penyebab skizofrenia. Suatu studi menunjukkan bahwa

19
skizofrenia berkembang dipicu oleh stres. Stres tersebut dapat bersifat genetik,
biologis dan psikososial maupun lingkungan.
a. Genetik
Dapat dipastikan bahwa faktor genetik turut menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga
penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri adalah 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-15%;
bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%;
bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 12-15%; bagi kembar satu ttelur (monozigot) 45-50%.
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan
skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada
lingkungan individu yang dapat menentukan timbulnya manifestasi
skizofrenia atau tidak.1,4
b. Biologi
1. Hipotesis Dopamin
Gejala skizofrenia merupakan hasil dari peningkatan aktifitas dopamine
pada system limbic (gejala positif) dan penurunan aktifitas dopamine
(gejala negatif). Patologi dopamine ini bisa karena abnormalitas jumlah
reseptor atau sensitifitasnya, atau abnormalitas pelepasan dopamine
(terlalu banyak atau terlalu sedikit).
2. Hipotesis Norepinefrin
Peningkatan level norepinefrin pada skizofrenia menyebabkan
peningkatan sensitisasi masukan sensorik.
3. Hipotesis GABA
Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas
dopamine.
4. Hipotesis Serotonin
Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa pasien
skizofrenia, dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun

20
hiposerotoninemia. Secara spesifik, antagonis dari reseptor serotonin 5-
HT2 ditegaskan memiliki peran penting dalam mengurangi gejala
psikotik dan dalam melawan perkembangan dari gangguan gerak yang
berhubungan dengan antagonis D2.
5. Halusinogen
Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak bertindak sebagai
substrat untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan dalam
endogenous hallucinogens. Hipotesis ini tidak didukung oleh data yang
akurat.
6. Hipotesis Glutamat
Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun negatif
dari skizofrenia.
7. Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif
Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama
trimester ke dua dari perkembangan janin. Teori dari abnormalitas
fungsi neuron pada orang dewasa merujuk kepada gejala-gejala
emergency. Reseptor glutamat yang memediasi kematian sel mungkin
terjadi. Semua ini dapat menjelaskan kematian sel tanpa gliosis yang
terlihat pada skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit ini pada
beberapa pasien.1,4
c. Psikososial dan Lingkungan
Skizofrenia ditinjau dari faktor psikososial sangat dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan stresor psikososial. Pasien dengan keluarga yang
memiliki tingkat ekspresi emosi yang tinggi memiliki tingkat kekambuhan
lebih tinggi daripada mereka yang keluarga memiliki tingkat ekspresi emosi
yang rendah. Ekspresi emosi ini telah didefinisikan sebagai terlalu banyak
terlibat, perilaku mengganggu, baik itu bermusuhan dan kritis atau
mengendalikan dan infantilisasi. Tingkat kekambuhan lebih baik ketika
perilaku keluarga dimodifikasi untuk menurunkan tingkat ekspresi emosi.

21
Sebagian besar pengamat percaya bahwa disfungsi keluarga adalah
konsekuensi, bukan penyebab, skizofrenia.1,4
Disamping itu, stres psikologik dan lingkungan paling mungkin
mencetuskan dekompensasi psikotik yang lebih terkontrol. Di negara
industri, sejumlah pasien skizofrenia berada dalam kelompok sosioekonomi
rendah. Pengamatan tersebut telah dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke
bawah (Downward drift hypothesis), yang menyatakan bahwa orang yang
terkena skizofrena bergeser ke kelompok sosioekonomi rendah karena
penyakitnya. Suatu penjelasan alternatif adalah hipotesis akibat sosial, yang
menyatakan stress yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi
rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia. Beberapa pendapat
mengatakan bahwa penyebab sosial dari skizofenia di setiap kultur berbeda
tergantung dari bagaim ana penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat
peranan pasien, tersedianya sistem pendukung sosial dan keluarga, dan
kompleksitas komunikasi sosial.1,4
d. Teori Infeksi
Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan neuropatologi
karena infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody dalam CSF
serum pada beberapa pasien skizofrenia.1,4
3.1.4 Gejala- gejala Skizofrenia
a. Gejala Positif Skizofrenia :
1. Delusi atau Waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional.
Meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu
tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya.
2. Halusinansi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada rangsangan.
Misalnya penderita mendengar bisikan - bisikan di telinganya padahal tidak
ada sumber dari bisikan itu.
3. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya.
4. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.

22
5. Merasa dirinya “Orang Besar”, merasa serba mampu, serba hebat dan
sejenisnya.
6. Pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman
terhadap dirinya.
7. Menyimpan rasa permusuhan.

b. Gejala negatif skizofrenia :


1) Alam perasaan “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
2) Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun.
3) Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
4) Pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
5) Sulit dalam berfikir abstrak.
6) Tidak ada/kehilangan dorongan kehendak dan tidak ada inisiatif dan
serba malas.4,6
3.1.5 Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase berikut
ini:
1. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa
minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi
jelas. Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial,
fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-
perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan
teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak seperti yang dulu”.
Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
2. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat

23
pengobatan, gejala-gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu
saat mengalami eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan).
Fase aktif akan diikuti oleh fase residual.
3. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal tetapi
gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala yang
terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan
peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan
sosial).4

3.1.6 Diagnosis
Saat ini belum terdapat uji laboratorium dan fisik yang dapat secara pasti
mendiagnosis skizofrenia. Diagnosis skizofrenia dilakukan secara klinis
dengan anamnesis gejala. Pedoman diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ III,
yaitu
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas)
:
a) - “Thought echo“ = isi pikiran dirinyasendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras) , dan isi pikiran ulangan,
walaupun isi sama, namun kualitasnya berbeda; atau
-“Thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar
masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
-“Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
b) -“Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
-“Delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau

24
-“Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar;
(tentang “dirinya“ = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau
anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
-“Delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna, sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;
c) Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
- jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu bagian tubuh
d) Waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
a) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide – ide berlebihan (over loaded ideas) yang menetap, atau yang
apabila terjadi setiap hari selama berminggu – minggu atau berbulan
– bulan terus menerus;
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan atau neologisme;

25
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme dan stupor;
d) Gejala – gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodormal);
4. Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.5

3.1.7 Klasifikasi
A. Skizofrenia Paranoid (Maslim, 2003).
1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
2. Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a) Suara – suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain – lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada
tetapi jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (deusion of

26
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar – kejar beraneka ragam, adalah yang paling khas;
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.5

B. Skizofrenia Hebefrenik (Maslim, 2013).


1. Memenuhi kriteria umu diagnosis skizofrenia.
2. Diagnosis henefrenia untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada
usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15 – 25 tahun)
3. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
4. Untuk diagnosis henefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :
a) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan atau hampa
perasaan;
b) Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropiate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri
(self satisfied), senyum sendiri (self absorbed smilling) atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai ( grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluahan
hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang – ulang
(reiterated phrase).
c) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
5. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol halusinasi atau waham mungkin ada tetapi

27
biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and
hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan
(determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku
penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan
(aimless)dan tanpa maksud ( empty of puspose) adanya suatu
preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat – buat terhadap agama,
filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang
memahamijalan pikiran pasien.5

C. Skizofrenia Katatonik (Maslim, 2013).


1. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia
2. Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
a) Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktifitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara);
b) Gaduh gelisah ( tampak jelas aktifitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil
dan mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi tubuh
tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakan kearah yang berlawanan);
e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuhyang kaku untuk melawan
upaya menggerakan dirinya);
f) Fleksibilitas cerea/”waxy flexibility (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g) Gejala – gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata - kata
serta kalimat – kalimat.

28
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dan
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala – gejala
lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala –gejala katatonik bukan
petunjuk untuk diagnosis skizofrenia. Geja katatonik dapat dicetuskan
oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat –
obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.5

D. Skizofrenia Tak Terinci (Maslim, 2003).


1. Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
2. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
3. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.5

E. Depresi Pasca Skizofrenia (Maslim, 2003).


1. Diagnosis harus ditegakan hanya kalau:
a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi ggambaran klinisnya) dan ;
c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi
paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada
dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
2. Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis
menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai (F20.0-F20.3).5

F. Skizofrenia Residual (Maslim, 2003).

29
1. Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yan menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk
sperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi
tubuh, erawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotikyang jelas dimasa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;
c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negatif” dari skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negatif tersebut.5

G. Skizofrenia Simpleks (Maslim, 2003).


1. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkankarena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan
dan progresif dari :
a) Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa
didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari
episode psikotik; dan
b) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang
mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan
diri secara sosial.
2. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.5

30
H. Skizofrenia lainnya
I. Skizofrenia YTT

3.1.8 Tatalaksana
3.1.8.1 Non farmakologi
Obat antipsikotik belum efektif dalam tatalaksana pasien skizofrenia bila
dibandingkan dengan kombinasi obat dan intervensi psikososial
1) Terapi psikososial
Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali
beradaptasi dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu
mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi
keluarga atau masyarakat, pasien diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak
melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul.4,7
- Terapi perilaku
Perilaku yang diinginkan diperkuat dan dipertahankan secara positif
dengan cara menghadiahi mereka dengan suatu penghargaan tertentu,
seperti perjalanan atau hak istimewa. Terapi ini bermaksud secara
langsung membentuk dan mengembangkan perilaku penderita
skizofrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk
kembali berperan dalam masyarakat.
- Terapi kelompok
Fokus terapi ini adalah pada dukungan dan pengembangan
keterampilan sosial (kegiatan hidup sehari-hari). Kelompok sangat
membantu dalam mengurangi isolasi sosial dan peningkatan
pengujian realitas.
- Terapi keluarga
Teknik terapi keluarga dapat secara signifikan mengurangi tingkat
kekambuhan untuk anggota keluarga penderita skizofrenia. Interaksi
keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dapat dikurangi melalui
terapi keluarga. Kelompok keluarga skizofrenia, di mana anggota

31
keluarga pasien skizofrenia saling berdiskusi dan berbagi masalah
dapat sangat membantu.
Ungkapan-ungkapan emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan
penyakit penderita kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga
diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-
perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif
dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-
sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan
cara-cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan
tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita
dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
pengungkapan emosi anggota keluarga diatu dan disusun sedemikian
rupa serta dievaluasi.4,7

2) Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai terapi
elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat
karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini digunakan di berbagai rumah sakit
jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak
membuahkan hasil yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien.
Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan
mengakibatkan ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan
pikiran dan hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot
yang menyertai serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.4,7

Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien diberi obat
bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot. Aliran listrik yang sangat
lemah dialirkan ke otak melalui kedua pelipisatau pada pelipis yang mengandung
belahan otak yang tidak dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk
menghasilkan serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang
bersifat terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya

32
kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa menit dan
tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan. Kerancuan pikiran dan
hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran listrik hanya diberikan kepada
belahan otak yang tidak dominan (nondominan hemisphere).4,7
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi
pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau
tidak adanya perbaikan setelah pemberian antipsikotik.
Kontra indikasi
elektrokonvulsif terapi adalah dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit
tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada
pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah tumor
otak.4,7

3.1.8.2 Farmakologi
Obat-obatan anti-psikotik meliputi dopamine reseptor antagonis dan
serotonin-dopamin antagonis, seperti risperidon (Risperdal) dan clozapine
(Clozaril).
1. Obat Pilihan
a. Dopamin reseptor antagonis (tipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala positif pada skizofrenia.
Dapat menimbulkan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal,
terutama pada penggunaan haloperidol.
b. Serotonin-dopamin antagonis (atipikal antipsikotik)
Efektif untuk mengobati gejala-gejala negatif pada skizofrenia.
Memiliki efek samping gejala ekstrapiramidal yang minimal,
terutama clozapine.4,7
2. Dosis
Untuk gejala psikotik akut, pemberian obat diberikan selama 4-6
minggu, atau lebih pada kasus yang kronis. Dosis untuk terapi tipikal
adalah 4-6 minggu risperidone per hari, 10-20 mg olanzapine (Zyprexa)
per hari, dan 6-20 mg haloperidol per hari.4,7

33
3. Maintenance
Skizofrenia merupakan penyakit kronis, dan pemberian terapi
jangka panjang sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah
kekambuhan. Apabila keadaan pasien sudah stabil selama 1 tahun, maka
dosis pemberian obat dapat diturunkan secara perlahan, sekitar 10-20%
per bulan. Selama penurunan dosis, pasien dan keluarga pasien
diberikan edukasi agar melaporkan bisa terjadi kekambuhan, termasuk
insomnia, kecemasan, withdrawal, dan kebiasaan yang aneh.4,7
4. Obat lainnya
Apabila pengobatan standart dengan antipsikotik tidak berhasil,
beberapa obat lainnya telah dilaporkan dapat meningkatan keefektifan
pengobatan. Penambahan lithium dapat meningkatkan keefektifan
pengobatan pada sebagian besar pasien. propanolol (Inderal),
benzodiazepine, asam valproat (Depakene) atau divalproex (Depakote),
dan carbamazepine (Tegretol) telah dilaporkan dapat meningkatkan
keefektifan pengobatan pada beberapa kasus.4,7

3.1.9 Prognosis
Untuk waktu pendek (1 tahun), prognosis skizofrenia berhubungan erat
dengan pengobatan yang penderita dapatkan. Tanpa pengobatan, 70 hingga 80
persen penderita yang penah menderita skizofrenia akan mengalami kekambuhan
setelah 2 bulan berikutnya dari masa sakit yang lalu. Pemberian obat terus menerus
dapat mengurangi tingkat kekambuhan hingga 30 persen. 4
Untuk jangka panjang, prognosis penderita skizofrenia bervariasi. Pada
umumnya, sepertiga penderita mengalami kesembuhan yang berarti dan tetap,
sepertiga penderita mengalami sedikit perbaikan yang diselingi dengan
kekambuhan, dan sepertiga penderita kondisinya menjadi buruk dan permanen. 4

34
Tabel 1. Prognosis dari skizofrenia4
Prognosis baik Prognosis buruk
Onset terlambat Onset dini
Faktor pencetus jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset berbahaya
Premorbid yang baik social, seksual Premorbid yang buruk dalam social,
dan pekerjaan seksual dan pekerjaan
Gejala gangguan mood (terutama Menarik, perilaku autistic
depresi)
Menikah Lajang, cerai atau janda
Riwayat keluarga gangguan mood dan
skizofrenia
Sistem pendukung baik System pendukung buruk
Gejala positif Gejala negative
Perempuan Gejala dan tanda neurologic
Riwayat trauma perinatal
Tidak remisi dalam 3 tahun
Sering kambuh
Riwayat kekerasan

35
BAB IV
ANALISIS KASUS

Penilaian diagnosis pada pasien dinilai secara multiaksial menurut PPDGJ III yaitu:
1) Aksis I
Berdasarkan autoanamnesis dan alloanamnesis, pada pasien terdapat gejala
klinis yang bermakna yaitu pasien mudah tersinggung dan marah-marah,
mendengar bisikan dari seseorang untuk tetap terjaga, dan berkeyakinan bahwa ada
orang yang ingin menjahatinya. Pasien juga tampak sering berbicara sendiri. Hal
ini menimbulkan penderitaan dan hendaya bagi pasien dan orang lain (hendaya
sosial sehingga dapat dikatakan pasien mengalami gangguan jiwa).
Pada pemeriksaan status mental, ditemukan adanya hendaya dalam menilai
realita yaitu adanya halusinasi auditorik. Pada pemeriksaan status internus dan
neurologis tidak ditemukan adanya kelainan organobiologik sehingga
kemungkinan gangguan mental organik dapat disingkirkan dan pasien pada kasus
ini dapat dikatakan mengalami gangguan jiwa psikotik non organik.
Pada pasien, ditemukan adanya halusinasi auditorik, waham, adanya sifatnya
penarikan diri dari sosial yang merupakan beberapa gejala khas dari skizofrenia.
Berdasarkan PPDGJ-III dapat dinilai dengan kriteria diagnosis berikut
Gejala Pasien Keterangan
Thought
Thought echo Tidak ada Pasien merasa yakin bahwa
Thought insertion or withdrawal Ada ada oraang yang ingin
menjahatinya.
Thought broadcasting Tidak ada
Delusion Pasien merasa diperintah oleh
Delusion of control Tidak ada suara seseorang untuk tetap
Delusion of influence Ada terjaga saat malam untuk
Delusion of passivity Tidak ada mengantisipasi serangan dari
Delusion of perception Tidak ada orang jahat
Halusinasi Auditorik Ada Pasien merasa mendengar
bisikan dari seseorang yang

36
mengatakan bahwa ada yang
ingin menjahatinya dan
menyuruhnya tetap terjaga
saat malam hari.
Waham menetap Ada Waham curiga di mana pasien
menganggap bahwa ada orang
yang ingin menjahatinya.
Gejala-gejala negatif Ada Respons emosional tidak
wajar, menarik diri dari
lingkungan sosial, sering
marah-marah
Gejala khas tersebut berlangsung Ada Sejak 8 tahun yang lalu
> 1 bulan

Berdasarkan tabel diatas terdapat beberapa gejala yang amat jelas pada pasien
seperti halusinasi auditorik, waham menetap, disfungsi sosial sehingga dapat
memenuhi kriteria Skizofrenia (F.20). Pada kasus ini terdapat dua diagnosis
banding yang mendekati yaitu skizofrenia paranoid dan residual. Pada Skizofrenia
residual menurut PPDGJ III harus terdapat semua gejala berupa gejala negatif dari
skizofrenia yang menonjol, adanya riwayat satu episode psikotik dimasa lampau,
sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi waham
dan halusinasi sangat berkurang, dan tidak terdapat dementia atau panyakit
gangguan otak organik lainnya. Pada pasien ini hampir semua kriteria skizofrenia
residual terpenuhi namun diagnosis ini dapat disingkirkan karena berdasarkan
anamnesis dan autoanamnesis terdapat gejala negatif dan positif yang sama-sama
menonjol pada pasien ini, sedangkan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia
residual gejala yang harusnya paling menonjol adalah gejala negatif sehingga
pasien digolongkan ke dalam Skizofrenia Paranoid (F20.0). Diagnosis banding lain
yakni gangguan waham menetap dapat disingkirkan dengan adanya halusinasi
auditorik yang menetap, sedangkan skizoafektif tipe campuran dapat disingkirkan
karena gangguan afektif tidak terlalu menonjol dibandingkan gejala skizofrenia.

37
2) Aksis II
Belum ada diagnosis
3) Aksis III
Tidak ada kelainan
4) Aksis IV
Pada aksis 4 didapatkan diagnosis yakni putus pengobatan. Aksis IV
merupakan berbagai keadaan yang dapat menjadi faktor penyebab seseorang
mengalami gangguan kejiwaan. Keadaan-keadaan tersebut misalnya masalah pada
keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, perumahan, ekonomi, akses ke
pelayanan kesehatan, interaksi dengan hukum/kriminal, dan psikososial atau
lingkungan lain.
5) Aksis V
Pasien mengalami gejala sedang (moderate), disabilitas sedang GAF Scale
60-51. Pasien tergolong ke dalam GAF 60-51 karena pasien datang dengan gejala
positif yang cukup kuat yakni halusinasi auditorik dan waham curiga sehingga
pasien membakar selimut. Secara fungsional pasien masih mampu melakukan
activity daily living (ADL). Pasien masih dapat berinteraksi sosial dengan
keluarganya kecuali suaminya.
Pengobatan yang dilakukan kepada pasien ini adalah dengan dua pengobatan.
Pengobatan psikoterapi dan juga dengan pengobatan farmakoterapi. Pengobatan
psikoterapi dapat berupa psikoterapi suportif seperti memberi dukungan dan
perhatian kepada pasien, mengingatkan pasien untuk meminum obat dan
pentingnya untuk rutin minum obat, psikoterapi kognitif dengan menerangkan
tentang gejala penyakit pasien yang timbul akibat cara berpikir yang salah,
psikoterapi keluarga dengan memberi perngertian kepada keluarga agar lebih
perhatian, dan psikoterapi religius dengan memberi bimbingan keagaman agar
pasien selalu menjalankan agama yang dianutnya
Pengobatan farmakoterapi yang diberikan oleh DPJP merupakan injeksi
fluphenazine decanoat 1 mg intramuskular, injeksi haloperidol 1 mg intramuskular,
dan olanzapin 1x10 mg peroral. Haloperidol dan olanzapin merupakan antipsikosis
yang dapat digunakan untuk mengurangi gejala dari skizoprenia. Obat antipsikosis

38
yang tersedia dipasaran saat ini terdiri dari dua golongan yaitu antipsikosis generasi
1 (APG-I) dan antisikosis generasi 2 (APG-II). Haloperidol merupakan salah satu
obat APG-I yang cara kerjanya adalah dengan memblokade atau menghambat
pengikatan dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di
sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist),
APG-I lebih efektif untuk mengatasi gejala positif pada pasien seperti gangguan
asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham), halusinasi
dibandingkan dengan gejala negatif (hubungan sosial, penarikan diri).
Pada penggunaan obat APG-I memiliki efek samping seperti timbulnya gejala
parkinsonisme (efek ekstrapiramidal/EPS) seperti distonia akut, akathisia, sindrom
parkinson (tremor, bradikensia, rigiditas). Oleh karena itu, setiap pemberian obat
APG-I, dapat disertakan dengan trihexylphenidyl (THP) 2 x 2 mg selama 2 minggu
sebagai antidotum. Menurut pertimbangan penulis, pemberian THP dapat ditunda
terlebih dahulu karena saat ini pasien tidak memiliki gejala ekstrapiramidal
walaupun THP sudah biasa diresepkan pada pasien. Namun jika sewaktu-waktu
gejala muncul, pemberian THP harus segera diinisiasikan.
Pemberian olanzapin pada kasus juga digunakan sebagai antipsikosis untuk
pasien. Olanzapin merupakan salah satu APG-II atau yang juga dikenal sebagai
antipsikotik golongan atipikal, disebut atipikal karna obat ini sedikit menyebabkan
reaksi ekstrapiramidal. Mekanisme kerja obat APG-II ini berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap
“Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif
terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif
(afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri). Apabila pada pasien
skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, isi pikir miskin) lebih
menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau), maka obat anti-
psikosis atipikal perlu dipertimbangkan, pada pasien gejala sosial juga lebih
menonjol seperti penarikan diri dan sering melamun, maka diberikan obat ini.
Pada pasien ini diberikan dua golongan didasarkan pada cara kerjanya, pada
APG-I obat ini akan lebih bekerja untuk mengatasi gejala positif pada pasien

39
sedangkan APG-II lebih besar mengatasi gejala negatif sehingga diberikan terapi
kombinasi.
Prognosis pasien ini baik karena berdasarkan tabel prognosis pasien memiliki
faktor pencetus yang jelas, onset akut, riwayat sosial, pekerjaan dan premorbid yang
baik, dan tidak ada keluarga yang menderita skizofrenia.
Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda
Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset tidak jelas
Riwayat sosial, seksual, dan Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan
pekerjaan pramorbid yang baik pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama Perilaku menarik diri, autistik
gangguan depresif)
Menikah dan telah berkeluarga Tidak menikah, bercerai, atau
janda/duda
Riwayat keluarga gangguan mood Riwayat keluarga skizofrenia
(tidak ada keluarga yang menderita
skizofrenia)
Sistem pendukung yang baik Sistem pendukung yang buruk
(terutama dari keluarga) untuk untuk kesembuhan pasien
kesembuhan pasien
Gejala positif Gejala negative
Jenis kelamin perempuan Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam tiga tahun
Sering timbul relaps
Riwayat penyerangan

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Wu, E. Q., Birnbaum, H. G., Shi, L., Ball, D. E., Kessler, R. C., Moulis, M.,
& Aggarwal, J. 2005. The economic burden of schizophrenia in the United
States in 2002. Journal of Clinical Psychiatry, 66(9), 1122-1129
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar;
RISKESDAS. Jakara: Balitbang Kemenkes RI
3. Zahnia, S., Sumekar, DW. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. MAJORITY.
VOl 5. No 5. 2016. p: 160-166.
4. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. 2015. Kaplan & Sadock’s Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry Edisi 11. Philadelphia:
Lippicott Wolters Kluwer.
5. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan
Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK Unika Atma Jaya.
6. Elvira SD, Hadisukanto G. 2013. Buku ajar psikiatri. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Chisholm-Burns, M. A. et al. 2016. Pharmacotherapy Principles &
Practice Fourth Edition. New York: McGraw-Hill Education.

41

Anda mungkin juga menyukai