Anda di halaman 1dari 30

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kecelakaan Lalu Lintas

2.1.1 Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009, kecelakaan lalu lintas

adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan

kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban

manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan merupakan tindakan tidak

direncanakan dan tidak terkendali, ketika aksi dan reaksi objek, bahan, atau

radiasi menyebabkan cedera atau kemungkinan cedera (Heinrich dkk, 1980).

Menurut D.A. Colling, 1990 dalam Bhaswata, (2009) kecelakaan dapat diartikan

sebagai tiap kejadian yang tidak direncanakan dan terkontrol yang dapat

disebabkan oleh manusia, situasi, faktor lingkungan, ataupun kombinasi-

kombinasi dari hal-hal tersebut yang mengganggu proses kerja dan dapat

menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan property

ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.

2.1.2 Faktor-faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas

Menurut Hobbs, F.D. (1995) keselamatan jalan dapat ditingkatkan dan

kecelakaan dapat dikurangi atau konsekuensinya diperkecil. Terjadinya suatu

kecelakan tidak selalu ditimbulkan oleh suatu sebab tetapi oleh kombinasi

berbagai efek dari sejumlah kelemahan ataupun gangguan yang berkaitan dengan

pemakai kendaraannya dan tata letak jalan. Begitu juga kondisi lingkungan juga

sangat mempengaruhi, misalnya permukaan jalan, pengaruh cuaca, tergesa–gesa.

Laju kecelakaan waktu malam, untuk jalan yang tidak berlampu adalah sekitar 2

8
9

kali laju kecelakan pada siang hari. Kesalahan yang dilakukan pengemudi dan

kesulitannya dalam memahami sistem jalan.

Menurut Austroads (2002) kecelakaan lalu lintas dipengaruhi oleh faktor

manusia, kendaraan, dan lingkungan jalan, serta interaksi dan kombinasi dua atau

lebih faktor tersebut:

a. Faktor manusia (human factors)

Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam

kecelakaan. Manusia menggunakan jalan sebagai pejalan kaki dan pengemudi

kendaraan. Pejalan kaki tersebut menjadi korban kecelakaan dan dapat juga

menjadi penyebab kecelakaan. Kejadian kecelakaan lalu lintas jalan juga

dipengaruhi oleh faktor usia, pengetahuan, jenis kelamin dan perilaku

pengemudi. Kecelakaan lalu lintas akibat faktor usia pengemudi, biasanya

makin tua usia pengemudi umumnya mempunyai tingkat disiplin dan

kematangan mengemudi lebih baik. Berbeda bila dibandingkan dengan usia

muda yang agak rentan kecelakaan karena pada umumnya mereka mengemudi

kendaraan kurang hati-hati. (Warpani, S;Simposium IV FSTPT Universitas

Udayana, Bali).

Menurut Sartono (1993), faktor penyebab pengemudi kecelakaan lalu

lintas ada dua faktor yaitu faktor fisiologis dan faktor psikologis. Faktor

fisiologis penyebab pengemudi kecelakaan lalu lintas adalah sebagai berikut :

1) Pengemudi mabuk (drunk driver), yaitu keadaan dimana pengemudi

mengalami hilang kesadaran karena pengaruh alkohol, obat–obatan,

narkotika dan sejenisnya.


10

2) Pengemudi mengantuk atau lelah (fatigue or overly tired driver), yaitu

keadaan dimana pengemudi membawa kendaraan dalam keadaan lelah

atau mengantuk akibat kurang istirahat sedemikian rupa sehingga

mengakibatkan kurang waspada serta kurang tangkas bereaksi terhadap

perubahan–perubahan yang terjadi.

3) Pengemudi lengah (emotional or distracted driver), yaitu keadaan dimana

pengemudi mengemudikan kendaraannya dalam keadaan terbagi

konsentrasinya karena melamun, ngobrol, menyalakan rokok,

menggunakan ponsel, melihat kanan–kiri, dan lain - lain.

4) Pengemudi yang agresif

Mengemudi dilakukan secara sengaja cenderung meningkatkan resiko

tabrakan dan dimotivasi oleh ketidaksabaran, permusuhan, dan atau upaya

untuk menghemat waktu yang melibatkan berbagai perilaku mengikuti,

mengklakson, melakukan gerakan kasar, mengedipkan lampu jauh

disuasana lalu lintas tenang sehinggadapat membahayakan orang lain

dapat menempatkan pengguna jalan lain beresiko tabrakan (Houston,

Harris dan Norman, 2003).

5) Jarak terlalu rapat, pengemudi kurang memperhatikan jarak minimal

dengan kendaraan di depan dan kecepatan kendaraannya sehingga kurang

dari jarak pandang henti.


11

Faktor psikologis penyebab pengemudi kecelakaan lalu lintas adalah

sebagai berikut (Sartono, 1993):

1) Kemampuan mengemudi

Mengemudi dengan aman ditentukan oleh faktor yang saling berkaitan,

yaitu keterampilan mengemudi untuk mengendalikan arah kendaraan

meliputi cara membelok atau merubah arah, cara mundur, cara mendahului

kendaraan lain, cara mengikuti kendaraan lain serta mengendalikan

kecepatan kendaraan yang dikemudikan melalui sistem gas, rem dan

perseneling (Kementerian Perhubungan Darat RI, 2006).

2) Pola berlalu lintas (kebiasaan dalam mengemudi)

Kebiasaan dalam mengambil jarak atau posisi antar kendaraan dan cara

menangani instrument kendaraan.

3) Percaya diri berlebihan

Perilaku ugal-ugalan saat berkendara merupakan salah satu bentuk

kesombongan dan membanggakan diri terhadap orang lain, dalam hal ini

pengguna jalan yang lain memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi

dengan tujuan agar cepat sampai ke tujuan adalah sikap mementingkan diri

sendiri. Tidak peduli dengan perilakunya bisa mendatangkan celaka bagi

orang lain maupun dirinya sendiri.

4) Pengalaman

Sebagai pengendara pemula, keberadaan pengalaman dalam berkendara

menjadi kendala yang dapat meningkatkan risiko kecelakaan. Dari

keberadaan pengalaman dalam berkendara mengarahkan pada sejauh mana

tingkat kemampuan pengendara didalam menguasai kendaraannya baik


12

ketika dalam kondisi yang biasa maupun dalam kondisi tiba-tiba yang

membutuhkan respon secara cepat.

5) Kurang antisipasi

Pengemudi dalam kondisi tidak mampu memperkirakan bahaya yang

mungkin dapat terjadi sehubungan dengan kondisi kendaraan dan

lingkungan lalu lintas.

b. Faktor kendaraan (vehicle factors)

Kendaraan bermotor sebagai hasil produksi suatu pabrik, telah

dirancang dengan suatu nilai faktor keamanan untuk menjamin keselamatan

bagi pengendaranya. Kendaraan harus siap pakai sehingga harus dipelihara

dengan baik agar semua bagian mobil berfungsi dengan baik, seperti mesin,

rem kemudi, ban, lampu, kaca spion, dan sabuk pengaman. Dengan demikian

pemeliharaan kendaraan tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah

kecelakaan, mengurangi jumlah korban kecelakaan lalu lintas pada pengguna

jalan lainnya dan mengurangi besar kerusakan pada kendaraan bermotor.

c. Faktor kondisi jalan dan kondisi alam

Kondisi jalan yang rusak dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas.

Begitu juga tidak berfungsinya marka, rambu, dan alat pemberi isyarat lalu

lintas (APILL) dengan optimal juga dapat menyebabkan kecelakaan lalu

lintas. Ahli jalan raya dan ahli lalu lintas merencanakan jalan dan aturan-

aturannya dengan spesifikasi standar yang dilaksanakan secara benar dan

perawatan secukupnya supaya keselamatan transportasi jalan dapat terwujud.

Hubungan lebar jalan, kelengkungan, dan jarak pandang memberikan efek

besar terjadinya kecelakaan.


13

Jalan dibuat untuk menghubungkan suatu tempat ke tempat lain dari

berbagai lokasi baik di dalam kota maupun di luar kota. Berbagai faktor

kondisi jalan yang sangat berpengaruh dalam kegiatan berlalu lintas. Hal ini

mempengaruhi pengemudi dalam mengatur kecepatan (mempercepat,

memperlambat, berhenti) jika menghadapi situasi seperti lokasi jalan didalam

kota (di daerah pasar, pertokoan, perkantoran, sekolah, perumahan) dan jalan di

luar kota (pedesaan) dan cuaca saat hujan jarak pengereman menjadi lebih

jauh, jalan menjadi lebih licin serta asap dan kabut juga mengganggu jarak

pandang.

2.1.3 Dampak akibat Kecelakaan Lalu Lintas

Dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan lalu lintas dapat menimpa

sekaligus atau hanya beberapa diantaranya. Berikut beberapa kodisi yang

digunakan untuk mengklasifikasikan korban kecelakaan lalu lintas (PP RI No. 43

tahun 1993), yaitu:

a. Meninggal dunia

Korban kecelakaan yang dipastikan meninggal dunia sebagai akibat

kecelakkaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah

kecelakaan tersebut.

b. Luka berat

Korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus

dirawat inap di rumah sakit dalam jangka waktu lebih dari 30 hari sejak terjadi

kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan sebagai cacat tetap jika sesuatu

anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat

sembuh atau pulih untuk selama-lamanya.


14

c. Luka ringan

Korban kecelakaan yang mengalami luka-luka yang tidak memerlukan waktu

inap atau yang harus dirawat inap di rumah sakt dari 30 hari.

2.1.4 Peraturan Mengenai Lalu Lintas

Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi Lalu Lintas, eksistensi polisi

tengah masyarakat bergantung pada tingkah laku anggotanya. Pekerjaan dasar

Polisi Lalu Lintas adalah “mengawasi lalu lintas”. Mengawasi lalu lintas,

membantu menjaga agar sistem transportasi jalan raya berfungsi secara lancar dan

efisien. Jika seseorang diijinkan untuk menggunakan jalan raya sesuka hati

mereka, yang terjadi adalah kekacauan. Jika cacat-cacat di dalam sistem jalan

dibiarkan tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan, lalu lintas pada akhirnya akan

berhenti sama sekali. Karena itu, tugas pengawasan lalu lintas pada dasarnya

adalah menyediakan sistem bagi masyarakat yang bersama-sama menggunakan

jalan tersebut agar bisa melakukan perjalan dengan tingkat kekesalan, penundaan,

dan bahaya seminimal mungkin (Soekanto, 2010).

Penegakan hukum di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan merupakan

proses dilakukannya upaya untuk berfungsinya norma-norma hukum di bidang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Norma-norma hukum dalm

penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah di atur dalam Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam

upaya mendorong masyarakat mengikuti ketentuan-ketentuan dalam peraturan

perundang-undangan di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tersebut,

ketentuan-ketentuan sanksi pidana kepada masyarakat/pengguna jalan yang


15

melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perlu ditegakkan

(Soekanto, 2010).

2.2 Konsep Fraktur

2.2.1 Pengertian Fraktur

Fraktur dalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan

eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang (Rendy &

Margareth TH, 2012). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang

umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Padila, 2012). Fraktur biasanya oleh

trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, tenaga, sudut, keadaan tulang dan jaringan

lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut

lengkap atau tidak. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,

sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang

(Muttaqin, 2008).

2.2.2 Etiologi Fraktur

Untuk menentukan mengapa dan bagaimana tulang mengalami patah,

perawat perlu mengenal anatomi dan fisiologi tulang.Untuk mengetahui lebih jauh

perawat harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang

menyebabkan tulang patah. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang

menahan tekanan, trauma tekanan membengkok, memutar dan menarik

(Chairudin, 1998 dalam Muttaqin, 2008).


16

Trauma muskuloskeletal yang dapat mengakibatkan fraktur adalah sebagai

berikut (Rendy dan Margareth, 2012):

a. Trauma langsung

Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang. Hal tersebut

dapat mengakibatkan fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi

biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

b. Trauma tidak langsung

Apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur,

trauma tersebut disebut trauma tidak langsung. Misalnya jatuh dengan ekstensi

dapat menyebabkan fraktur klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak

tetap utuh.

2.2.3 Tanda Dan Gejala

Tanda dan gejala fraktur menurut (Sugeng dkk, 2010) yaitu :

a. Deformitas

Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari

tempatnya, perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti rotasi

pemendekan tulang dan penekanan.

b. Bengkak: Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravasasi darah

dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.

c. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.

d. Tenderness atau keempukan.

e. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya

dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.


17

f. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf atau

perdarahan).

g. Pergerakan yang abnormal.

h. Krepitasi.

2.2.4 Klasifikasi Fraktur

Menurut Chairudin Rasjad, (1998) dalam Muttaqin, (2008)

mengklasifikasikan fraktur dalam beberapa keadaan berikut:

a. Fraktur Traumatik

Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang dengan kekuatan yang

besar dan tulang tidak mampu menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.

b. Fraktur Patologis

Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di

dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah

menjadi lemah karena tumor atau proses patologis lainnya.

c. Fraktur Stress

Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu.

Dalam beberapa keadaan gangguan sistem muskuloskeletal, perawat di

hadapkan padabeberapa masalah klinis klien akibat trauma pada tulang.

Manifestasi kelainan akibat trauma pada tulang yang bervariasi. Menurut Nurarif

& Kusuma (2015) secara klinis keadaan patah tulang dapat di klasifikasikan

sebagai berikut:
18

a. Fraktur Tertutup (Simple Fracture)

Adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat

fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/ tidak mempunyai hubungan dengan

dunia luar.

b. Fraktur Terbuka (Compound Fracture)

Adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka

pada kulit dan jaringan lunak dapat terbentuk dari dalam maupun luar.

Menurut Mansjoer (2002), bentuk garis patah dan hubungannya dengan

mekanisme trauma yaitu:

a. Fraktur transversal

Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma

angulasi atau langsung.

b. Fraktur Oblique

Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan

merupakan akibat dari trauma angulasi juga.

c. Fraktur Spiral

Fraktur yang arah garis patahnya spiral yang disebabkan oleh trauma rotasi.

d. Fraktur Komunitif

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan (Smeltzer

dan Bare, 2001).

e. Fraktur Segmental

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan (Smeltzer

dan Bare, 2001).


19

f. Butterfly fraktur

Potongan tulang fraktur berbentuk kupu-kupu, biasanya menyertai fraktur

segmental.

g. Impact fraktur

Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

Menurut Muttaqin (2008) ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang

dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok berdasarkan bentuknya:

a. Tulang panjang (long bone), misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan humerus.

Daerah batas disebut diafisi dan daerah yang berdekatan dengan garis epifisis

disebut metafasis. Di daerah ini sangat sering ditemukan adanya kelainan atau

penyakit karena daerah ini merupakan daerah metabolik yang aktif dan banyak

mengandung pembuluh darah. Kerusakan atau kelainan perkembangan pada

daerah lempeng epifisis akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.

b. Tulang pendek (short bone) bentuknya tidak teratur dan inti dari cancellous

(spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat, misalnya tulang-

tulang karpal.

c. Tulang sutura (sutural bone) terdiri atas dua lapisan tulang padat dengan

lapisan luar adalah tulang concellous, misalnya tulang tengkorak.

d. Tulang tidak beraturan (irreguler bone) sama seperti dengan tulang

pendekmisalnya tulang vertebrata

e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang

berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial,

misalnya patella.

f. Tulang pipih (flat bone), misalnya parietal, iga, skapula dan pelvis.
20

2.2.5 Derajat Fraktur

Fraktur terbuka dibagi menjadi 3 derajat (Nurarif & Kusuma, 2015),

yaitu:

a. Derajat I

Tandanya adanya luka < 1 cm; kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada

tanda luka remuk; fraktur yang sederhana, transversal, atau kominutif ringan;

dan kontaminasi yang minimal.

b. Derajat II

Adanya laserasi > 1 cm; kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi;

fraktur komunif sedang dan kontaminasi sedang.

c. Derajat III

Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan

neurovaskuler serta kontaminsi derajat tinggi.

2.2.6 Patofisiologi Fraktur

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas

untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar daripada

yang diserap oleh tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan

rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum

dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang

membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan

terbentuklah hematoma di rongga medulla tulang. Jaringan tulang segera

berdekatan kebagian tulang yang patah. Jaringan mengalami nekrosis ini

menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi,


21

eksudat plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang

merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Pratama, 2017).

2.2.7 Komplikasi Fraktur

Setiap perawat perlu mengetahui komplikasi yang biasa terjadi pada pasien

yang mengalami fraktur. Dengan mengetahui kemungkinan masalah yang dapat

dialami klien perawat dapat mengantisipasi agar masalah tersebut tidak terjadi.

Menurut Henderson (1995), Komplikasi Fraktur meliputi :

a. Komplikasi awal

1) Kerusakan arteri adalah pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai

dengan tidak adanya nadi CRT menurun, sianosis pada bagian distal,

hematoma melebar dan dingin pada ekstermitas yang disebabkan oleh

tindakan darurat perubahan posisi pada yang sakit tindakan reduksi dan

pembedahan.

2) Syndrom kompartemen adalah komplikasi serius yang terjadi karena

terjebak otot tulang saraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini

disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan otot saraf dan

pembuluh darah atau karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan

yang terlalu kuat.

3) Infeksi adalah sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada

jaringan. Pada trauma orthopedi infeksi dimulai dari kulit dan masuk

kedalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka tetapi dapat

juga karena penggunaanbahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF &

OREF) dan plat.


22

4) Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya

permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun.

b. Komplikasi Lama

1) Delayed union

Merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang

dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah ke

tulang menurun.Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah

selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan

untuk anggota gerak bawah).

2) Non-union

Adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan

konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis

dapat terjadi infeksi, tetapi dapat juga terjadi bersama-sama infeksi yang

disebut infected pseudoarthrosis.

3) Mal-union

Adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada saatnya tetapi terdapat

deformitas yang berbentuk angulasi, pemendekan atau union secara

menyilang, misalnya pada fraktur tibia-fibula.


23

2.2.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Jitowiyono dan Kristianasari (2012), penegakan diagnosa fraktur

dapat dilakukan melalui :

a. Foto Rontgen

Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktursecara langsung dan

mengetahui tempat dan tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah

dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan secara periodik.

b. Skor tulang tomography (CT-scan), MRI (Magnetik Resonance Imaging)

Digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler

Hitung darah lengkap, hematokrit mungkin meningkat (hemokonsentrasi)

atau menurun (perdarahan bermakana pada sisi fraktur tau organ jauh pada

trauma).

2.2.9 Tahap atau Fase penyembuhan luka jaringan


Menurut Buckwater J.A., et al tahun 2000, ada tiga tahap dalam

penyembuhan luka post operasi yaitu:

a. Fase inflamasi

Adanya respon vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan yang terjadi

pada jaringan lunak. Tujuan yang dicapai adalahmenghentikan perdarahan

dan membersihkan area luka benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk

mempersiapkan proses penyembuhan. Pada awal fase ini kerusakan

pembuluh darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi

hemostasis. Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit dan setelah itu akan

terjadi vasodilatasi kapiler dan adanya substansi vasodilator histamin,

serotonin dan sitokin. Histamin selain menyebabkan vasodilatasi juga


24

mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena sehingga cairan plasma

darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis

terjadi edema jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis.

Eksudasi ini juga mengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke

ekstra vaskuler. Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan

bakteri di daerah luka selama 3 hari dan kemudian akan digantikan oleh sel

makrofag yang berperan lebih besar jika dibanding dengan netrofil pada

proses penyembuhan luka. Dengan adanya luka yang bersih, tidak terdapat

infeksi atau kuman serta terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini

dapat dipakai sebagai parameter bahwa fase inflamasi ditandai dengan

adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa sakit yang berlangsung

sampai hari ke-3 atau hari ke-4.

b. Fase Proliferasi

Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan

menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas

sangat besar pada proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan

menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses

rekonstruksi jaringan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan),

pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matriks

jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari

jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka kemudian akan berkembang

(proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin,

hyaluronic acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam

membangun jaringan baru. Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah


25

membentuk bakal jaringan baru dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh

fibroblas, memberikan tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga

fibroblas sebagai satu kesatuan unit dapat memasuki kawasan luka. Sejumlah

sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut

disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas

dengan aktifitas sintetiknya disebut fibroblasia. Dengan sintesa kolagen oleh

fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan kualitasnya

dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk

membantu jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah

strukturnya menjadi myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan

kontraksi pada jaringan. Fungsi kontraksi akan lebih menonjol pada luka

dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka minimal. Fase proliferasi

akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat

proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai faktor yang dibentuk oleh

makrofag dan platelet.

c. Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir

sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah

menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi jaringan penyembuhan

yang kuat. Fibroblas sudah mulai meninggalkan jaringan granulasi, warna

kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai regresi dan

serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.

Kekuatan dari jaringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10

setelah perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi
26

akan dilanjutkan pada fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan

terjadi pemecahan kolagen fase proliferasi oleh enzim kolagenase. Kolagen

muda yang terbentuk pada akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang,

yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih baik. Untuk mencapai penyembuhan

yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen yang diproduksi

dengan yang dipecahkan.

Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan jaringan parut

sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan kekuatan jaringan

parut dan luka akan selalu terbuka. Luka dikatakan sembuh jika terjadi

kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan jaringan kulit mampu atau tidak

mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses

penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun hasil yang dicapai

sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta

luasnya luka.

2.2.10 Tahap-tahap Penyembuhan Tulang

Menurut Muttaqin, (2008) ada lima tahapan dalam penyembuhan tulang

yaitu sebagai berikut:

a. Fase Inflamasi

Dengan adanya patah tulang tubuh mengalami respons yang sama dengan bila

ada cedera di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan

yang cedera dan terjadi pembentukan hematoma pada tempat patah tulang.

Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan

darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih

besar), yang akan membersihkan daerah tersebut. Terjadi inflamasi,


27

pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan

hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.

b. Fase Proliferasi

Dalam waktu 5 hari hematoma akan mengalami organisasi. Terbentuknya

benang-benang fibrin dalam jendela darah, memebentuk jaringan untuk

revaskularisasi dan terjadi invasi fibroblas dan psteoblas.

c. Fase Pembentukan kalus

Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai

sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan

dengan jaringan fibrosa, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus

yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara langsung berhubungan

dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu 3 sampai 4

minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan

fibrosa. Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3

minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus-

menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu dengan keras.

Permukaan kalus tetap bersifat elektronegatif. Pada patah tulang panjang

orang dewasa normal, penulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.

d. Fase Konsolidasi

Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus-menerus, tulang yang

immatur (move bone) diubah menjadi matur (lamellar bone). Keadaan tulang

ini menjadi lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan debris

pada daerah fraktur dan diikuti osteoblas tyang akan mengisi celah diantara

fragmen dengan tulang yang baru. Proses ini berjalan perlahan-lahan selama
28

beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang

normal.

e. Fase Remodelling

Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan

reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling

memerlukan waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun bergantung pada

beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang kasus yang

melibatkan tulang kompak dan kanselus serta stress fungsional pada tulang.

Tulang kanselus mengalami penyembuhan dan remodeling lebih cepat

daripada tulang kortikal kompak, khususnya pada titik kontak langsung.

Ketika remodeling telah sempurna, muatan permukaan patah tulang tidak lagi

negatif.

2.3 Konsep Usia

2.3.1 Pengertian Usia

Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur dalam

satuan waktu dipandang dari segi kronologi, individu normal yang

memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik sama (Nuswantari,

1998). Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan)

(Qodratillah dkk, 2011).

2.3.2 Karakteristik Usia


a. Remaja (usia 12-25 tahun)

Menurut Depkes RI tahun 2009, masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu

masa remaja awal (usia 12-16 tahun) dan masa remaja akhir (usia 17–25
29

tahun). Menurut Gunarsa (1989), karakteristik remaja yang dapat menimbulkan

berbagai permasalahan, yaitu:

1) Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.

2) Ketidakstabilan emosi.

3) Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk

hidup.

4) Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.

5) Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab

pertentangan-pertentang dengan orang tua.

6) Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup

memenuhi semuanya. Senang bereksperimentasi.

7) Senang bereksplorasi.

8) Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.

9) Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan

berkelompok.

10) Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat

memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan

tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang.

Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang

kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang

terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan

mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk

meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan,

maupun untuk kompensasi.


30

b. Dewasa (usia 26-45 tahun)

Dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian terhadap pola-pola

kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial yang baru. Masa dewasa

adalah kelanjutan dari masa remaja. Karakteristik usia dewasa, yaitu:

1) Berlangsungnya pengalaman moral

Melalui pengalaman moral, orang dewasa mengubah pemikiran-pemikiran

moral menjadi perbuatan moral.

2) Pengalaman hidup

Pengalaman hidup dan proses pembelajaran membiarkan individu

berkembang dengan mengaplikasikan apa yang telah dipelajari. Tahapan

proses pembelajaran mengenali kebutuhan penguasaan ketrampilan,

menjalankan tugas, integrasi ke dalam seluruh fungsi dan mengembangkan

penampilan perilaku yang efektif.

c. Masa tua (usia 46 tahun – ke atas)

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang.

Menurut Depkes RI tahun 2009, masa ini dibagi menjadi tiga, yaitu masa lansia

awal (usia 46-55 tahun), masa lansia akhir (usia 56-65 tahun) dan masa manula

(usia 65-ke atas). Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai

adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling

berinteraksi satu sama lain. Menurut Bernice Neugarten (1968) James C.

Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana orang dapat merasa puas

dengan keberhasilannya. Badan kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun

sebagai usia yang menunjukkan proses penuaan yang berlangsung secara nyata

dan seseorang telah disebut lanjut usia.


31

Pada umumnya perubahan pada masa lansia meliputi perubahan dari

tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan,

pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,

muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen.

Selain itu pada masa tua juga sering terjadi gangguan-gangguan psikologis

yang dapat berupa gangguan persepsi, proses berpikir, gangguan sensorik dan

kognitif, gangguan kesadaran, gangguan orientasi. Gangguan orientasi terhadap

waktu, tempat dan orang berhubungan dengan gangguan kognisi. Gangguan

orientasi sering ditemukan pada gangguan kognitif, gangguan kecemasan,

gangguan buatan, gangguan konversi dan gangguan kepribadian, terutama

selam periode stres fisik atau lingkungan yang tidak mendukung.

2.3.3 Kategori Usia


Kategori pembagian usia menurut Depkes RI tahun 2009, sebagai berikut:
Tabel 2.1
Kategori Usia
No Kategori Usia Usia
1 Massa balita 0 - 5 tahun
2 Massa kanak – kanak 5 - 11 tahun
3 Massa remaja awal 12 - 16 tahun
4 Massa remaja akhir 17 - 25 tahun
5 Massa dewasa awal 26 - 35 tahun
6 Massa dewasa akhir 36 - 45 tahun
7 Massa lansia awal 46 - 55 tahun
8 Massa lansia akhir 56 - 65 tahun
9 Masa manula 65 - ke atas
32

2.4 Model Konsep dan Teori Keperawatan Lawrence Green:

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dan tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor

pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor luar lingkungan (Nursalam,2016).

Faktor pendorong:
Faktor pendukung: 1. Keluarga
1. Adanya sarana 2. Guru
Faktor disposisi : 3. Sebaya
kesehatan
1. Pengetahuan 4. Petugas
2. Terjangkaunya
2. Sikap kesehatan
sarana kesehatan
3. Kepercayaan 5. Tokoh
3. Peraturan
4. Nilai dan masyarakat
kesehatan
norma 6. Pengambil
4. Keterampilan
terkait kesehatan keputusan

Spesifik prilaku Lingkungan


yang dipengaruhi (kondisi
oleh individu atau tempat tinggal)
masyarakat

SEHAT

Gambar 2.1 Kerangka Teori Lawrence Green


Sumber: (Lawrence Green dalam Nursalam, 2016)

Selanjutnya dalam program promosi kesehatan dikenal adanya model

pengkajian dan penindak lanjutkan yang diadaptasi dari konsep Lawerence Green.

Model ini mengkaji masalah perilaku manusia dan faktor yang mempengaruhi

serta cara menindaklanjutinya dengan berusaha mengubah, memelihara atau


33

meningkatkan perilaku tersebut terarah yang lebih positif. Proses pengkajian atau

pada tahap precede dan proses penindaklanjutan pada tahap proceed. Dengan

demikian suatu program untuk memperbaiki perilaku kesehatan adalah penerapan

keempat proses pada umumnya kedalam model pengkajian dan penindaklanjutan

(Nursalam, 2016):

a. Kualitas hidup (quality of life) adalah sasaran utama yang ingin dicapai

dibidang pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat

sejahtera. Diharapkan semakin sejahtera maka kualitas hidup semakin tinggi.

Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin

tinggi derajat kesehatan seseorang maka kualtas hidup juga semakin tinggi.

b. Derajat kesehatan (health) adalah sesuatu yang ingin dicapai dalam bidang

kesehatan, dengan adanya derajat kesehatan akan tergambarkan masalah

kesehatan yang sedang dihadapi. Pengaruh yang paling besar terhadap derajat

kesehatan seseorang adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.

c. Faktor lingkungan, environment (condition of living) adalah faktor fisik, biologi

dan sosial budaya yang langsung/ tidak langsung mempengaruhi derajat

kesehatan.

d. Faktor perilaku dan gaya hidup (specific behavior by individuals or by

organizations) adalah suatu faktor yang imbul karena adanya aksidan reaksi

seseorang atau organisasi terhadap lingkungannya. Faktor perilaku akan

terjadi apabila ada rangsangan. Sedangkan gaya hidup merupakan pola

kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan. Karena jenis

pekerjaannya mengikuti trend yang berlaku dalam kelompok sebayanya,

ataupun hanya untuk meniru dari tokoh idolanya.


34

Hasil dari suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau

perilaku tertentu. Selanjutnya perilaku itu sendiri di tentukan atau dibentuk dari 3

faktor (Nursalam, 2016):

a. Faktor predisposisi (predisposing factors), merupakan faktor internal yang ada

pada diri individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang mempermudah

individu untuk berperilaku yang terwujud dalam sikap, keyakinan,

pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, nilai nilai, dan sebagainya.

b. Faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan fisik,

atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor pendorong (reinforcing factors) merupakan faktor yang memperkuat

perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan,teman

sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok refrensi dari prilaku

masyarakat.

Ketiga faktor penyebab tersebut diatas dipengaruhi oleh faktor penyuluhan

dan faktor kebijakan, peraturan serta organisasi. Semua faktor tersebut merupakan

ruang lingkup promosi kesehatan. Faktor lingkungan adalah segala faktor baik

fisik, biologis maupun sosial budaya yang langsung dapat mempengaruhi derajat

kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang

kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan

sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan (Nursalam, 2016).


35

2.5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat

dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan antar

variabel (baik variabel yang diteliti maupun yang tidak diteliti) (Nursalam, 2016).
Faktor Faktor pendukung: Faktor pendorong:
predisposisi: 1. Puskesmas 1. Keluarga
1. Pengetahuan 2. Posyandu 2. Suami
2. Sikap 3. Rumah sakit 3. Guru
3. Keyakinan 4. Lingkungan
4. Petugas kesehatan
4. Kepercayaan 5. Obat-obatan
5. Nilai-nilai 6. Ekonomi/uang 5. Tokoh agama
6. Tradisi 6. Tokoh masyarakat
7. Usia 7. Teman sebaya
7. Usia

 Faktor fisiologis:
1. Pengemudi mabuk
2. Pengemudi mengantuk atau lelah
3. Pengemudi lengah
4. Pengemudi yang agresif
5. Jarak terlalu rapat
 Faktor psikologis:
1. Kemampuan mengemudi
2. Pola berlalu lintas (kebiasaan
dalam mengemudi)
3. Percaya diri berlebihan
4. Pengalaman
5. Kurang antisipasi

Kecelakaan lalu lintas

Trauma langsung Trauma tidak langsung

Fraktur

Fraktur terbuka Fraktur tertutup


Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.2 Kerangka konseptual hubungan faktor usia dengan fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas
36

Keterangan:
Dalam penjelasan kerangka konsep ini menjelaskan bahwa derajat
kesehatan disini dipengaruhi oleh faktor perilaku dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan meliputi faktor fisik an faktor biologis, sedangkan faktor perilaku
dipengaruhi oleh sikap. Faktor perilaku disini agar dapat menghasilkan reaksi atau
perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu:
1. Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan yang dimiliki dapat mempengaruhi
derajat kesehatan seseorang, kepercayaan yang dimiliki masyarakat tentang
kebiasannya dapat mempengaruhi kesehatannya.
2. Faktor pendukung terdiri dari adanya sumber kesehatan, tersedia atau tidaknya
atau sumber kesehatan, komunitas/ pemerintahan hukum, prioritas dan
komunitas untuk kesehatan, keahlian yang yang berhubungan dengan
kesehatan dengan tercapainya sumber daya kesehatan informasi yang baik
maka disini faktor pendukung sangat berperan penting terhadap terjadinya
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas.
3. Faktor pendorong terdiri dari keluarga yang pendorong untuk memenuhi
derajat kesehatan, teman sebaya yang mendorong seseorang untuk memenuhi
derajat kesehatanya, guru sebagai contoh untuk meningkatkan derajat
kesehatan, petugas kesehatan memberikan penyuluhan informasi tentang
kesehatan agar derajat kesehatan seseorang semakin tinggi.
Faktor usia pengemudi kendaraan di jalan raya mempengaruhi terjadinya
kecelakaan lalu lintas, hal ini dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan faktor
psikologis. Faktor fisiologis terdiri dari pengemudi yang mabuk, mengantuk atau
lelah, lengah, agresif dan jarak yang terlalu dekat saat berkendara. Faktor
psikologis terdiri dari kemampuan mengemudi yang kurang terampil, kebiasaan
mengemudi, percaya diri berlebihan, pengamalan dan kurang antisipasi saat
mengemudi. Kecelakaan lalu lintas dapat menyebabkan fraktur akibat dari trauma
langsung dan trauma tidak langsung. Fraktur yang dialami oleh pengemudi dapat
berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
37

2.6 Hipotesa
HI : Ada hubungan antara faktor usia dengan kejadian fraktur akibat kecelakaan
lalu lintas.
H0 : Tidak ada hubungan antara antara faktor usia dengan kejadian fraktur akibat
kecelakaan lalu lintas.

Anda mungkin juga menyukai