A. Gerakan Benteng
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Soemitro
Djojohadikusumo Menteri Perdagangan pada masa Kabinet Natsir yang berpendapat bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Sumitro
yang merupakan wakil Partai Sosialis Indonesia dalam kabinet Natsir (Masyumi) melihat
menumpuknya beban pemerintahan RI karena utang warisan penjajah Belanda sangat membebani
Republik Indonesia. Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam
wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan Plan
Soemitro. Wujud dari RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng.
Program Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur
ekonomi ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia).
Istilah ‘Benteng’ dari ide Sumitro ini diberikan karena pada dasarnya program tersebut berusaha
membangun kewirausahaan pribumi agar mampu membentengi perekonomian negara yang baru
merdeka seperti Indonesia. Tujuan dari program Gerakan Benteng antara lain sebagai berikut:
1. Menumbuhkan dan membina wiraswasta Indonesia sambil menumbuhkan ekonomi nasional.
2. Mendorong importir-importir nasional hingga mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan
impor asing (Belanda dan China).
3. Membatasi impor barang-barang agar memberikan lisensi impor hanya kepada importir Indonesia
4. Memberikan bantuan dalam bentuk kredit kepada importir Indonesia.
Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng,
pemberian lisensi impor banyak yang disalahgunakan. Penyebab masalah dalam Program benteng
antara lain sebagai berikut.
1. Mereka yang menerima lisensi adalah orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan
kalangan birokrat yang berwenang mendistribusikan lisensi dan kredit. Pengusaha-pengusaha yang
masuk dalam Program Benteng bahkan ada yang menyalahgunakan untuk mencari keuntungan
yang cepat dengan menjual lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang
sesungguhnya, yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina.
2. Penyelewengan lainnya adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya
merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi.
Program Benteng akhirnya secara resmi dihentikan pada tahun 1957 oleh Menteri Perekonomian, Ir.
Rooseno Surjohadikusumo, atas dasar menghilangkan diskriminasi rasial dalam praktik
perekonomian negara.
Kebijakan ini digambarkan Ali sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi khususnya Cina. Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-
usaha swasta nasional. Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
1. Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan
kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam
memperoleh bantuan kredit.
2. Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
3. Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
C. Gerakan Asaat
Usaha lain yang pernah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan
melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Assat merupkan suatu gerakan ekonomi yang diprakarsai Mr. Asaat
yang merupakan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Natsir.
Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala
aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada terhadap
gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa
pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan
pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina.
Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta
benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat
pribumi.
D. Gunting Syafrurudin
Pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan
jangka pendek untuk menguatkan perekonomian Salah satunya yang dikenal dengan istilah Gunting
Syafrudin. Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin
Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00
tanggal 10 Maret 1950. Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan memotong
uang dengan memberlakukan nilai setengahnya.
Menurut kebijakan tersebut, uang NICA dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas
digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai
setengah dari nilai semula, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan
tempat-tempat yang telah ditunjuk. Guntingan kanan dapat ditukar dengan obligasi Pemerintah.
Pecahan Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang
Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat itu sedang terpuruk—utang
menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan kebijaksanaan yang kontroversial itu,
Sjafruddin bermaksud sekali pukul menembak beberapa sasaran: penggantian mata uang yang
bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan
inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah.
Program Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya.
Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta mencakup prioritas-prioritas
proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana Lima Tahun adalah mendorong munculnya industri
besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor
publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor swasta. RPLT
tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
1. Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun
1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
2. Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
3. Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan
ekonominya masing-masing.
5. Nasionalisasi Perusahaan
Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi adalah proses di mana negara mengambil alih
kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Undang-Undang nasionalisasi disahkan pada
tanggal 27 Desember 1958. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958 tersebut ditetapkan bahwa
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah RI menjadi milik penuh dan bebas
negara RI.
Pada tahun 1956, PM Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda secara
sepihak, karena Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat kepada RI. Namun, pemerintah RI masih
mengusahakan perjuangan diplomasi melalui Perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Hasilnya, Indonesia
kembali gagal memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke dalam naungan RI dalam Sidang Umum
PBB di bulan November 1957. Pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil kebijakan untuk
melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda. Sejak tahun 1957 nasionalisasi yang dilakukan
pemerintah terbagi dalam dua tahap;
1. Pertama, tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan atau sering disebut “di bawah
pengawasan”.
2. Kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni perusahaan-perusahaan yang
diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan.