Anda di halaman 1dari 21

A.

BAB 1
B. PENDAHULUAN
C. LATAR BELAKANG
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Konsep IPTEKS dan Peradaban Muslim
Salah satu jabatan termulia manusia selain sebagai hamba Allah
(abdullah) sebagaimana diamanatkan oleh Allah ialah pengutusan manusia
sebagai khalifatullah. Dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah [2]: 30 disebutkan:

Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:


"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.

Dari ayat di atas dapatlah dipahami bahwa khalifah berarti wakil,


pengganti, pengemban tugas dan kewajiban, suksesor. Manusia sebagai
khalifah Allah diberikan amanah dalam dua hal penting. Pertama, tugas
manusia untuk selalu memelihara bumi dari pengerusakan secara sengaja
dan kerusakan yang disebabkan oleh alam sehingga bumi diwariskan kepada
generasi penerus dalam keadaan tetap lestari. Kedua, kewajiban manusia
untuk selalu menciptakan perdamaian dengan penuh cinta kasih dan
menghindari pertumpahan darah. Hal ini sejalan dengan visi Risalah
Islamiyyah untuk selalu menebar rahmat kepada alam (wa maa arsalnaaka
illa rahmatan lil ‘aalamiiin).

Kedua tugas dan kewajiban manusia di atas sejalan dan terkait erat
dengan konsep pemikiran IPTEKS dan Peradaban. Tugas manusia untuk
menjaga, merawat, dan memelihara bumi dari berbagai macam
pengerusakan yang dilakukan oleh ulah manusia yang tak bertanggungjawab
dengan melakukan eksploitasi berlebihan dapat mengancam keselamatan
umat manusia.
Islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan. Banyak disebutkan dalam Al Qur‟an ayat-ayat yang
menganjurkan manusia untuk senantiasa mencari ilmu. Allah senantiasa
meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana telah
dijelaskan dalam QS. Al- Mujadalah [58]: 11 yang artinya:

“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu:


"Berlapang- lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Yang terpenting adalah ilmu itu tujuannya tidak boleh keluar dari nilai-
nilai islami yang sudah pasti nilai-nilai tersebut membawa kepada
kemaslahatan manusia. Seluruh ilmu, baik ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-
ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan
selama memerankan peranan ini, maka ilmu itu suci. (Mahdi Ghulsyani,
1998: 57).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan konsekuensi


dari konsep ilmu dalam Al Qur‟an yang menyatakan bahwa hakikat ilmu itu
adalah menemukan sesuatu yang baru bagi masyarakat, artinya penemuan
sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui orang (Imam Mushoffa, dan
Aziz.Musbikin. 2001: XII)

Namun satu fenomena yang paling memilukan yang dialami umat Islam
seluruh dunia saat ini adalah ketertinggalan dalam persoalan iptek, padahal
untuk kebutuhan kontemporer kehadiran iptek merupakan suatu keharusan
yang tidak dapat ditawar, terlebih-lebih iptek dapat membantu dan
mempermudah manusia dalam memahami (mema‟rifati) kekuasaan Allah
dan melaksanakan tugas kekhalifahan (Zalbawi Soejoeti, 1998: XIII).

Realitas tersebut sebenarnya tidak akan terjadi jika umat Islam kembali
kepada ajaran Islam yang hakiki. Untuk itulah sudah saatnya umat Islam
bangkit untuk mengejar ketertinggalannya dalam hal iptek, karena
sebenarnya dalam sejarah dijelaskan bahwa umat Islam pernah memegang
kendali dalam dunia intelektual, jadi sangat mungkin jika saat ini umat Islam
bangkit dan meraih kembali kejayaan Islam tersebut.

1. Pengertian IPTEK
Mengenai kata Ipteks orang berbeda pendapat, ada yang
menganggap merupakan singkatan dari dua komponen yaitu “ilmu
pengetahuan” dan “teknologi” dan ada pula yang memasukkan unsur seni
di dalamnya sehingga singkatannya menjadi ipteks.
Mengenai definisi ilmu pengetahuan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan sebagai gabungan berbagai pengetahuan yang di
susun secara logis dan bersistem dengan memperhitungkan sebab dan
akibat (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999:371)
Lebih jauh Zalbawi Soejati mendefinisikan ilmu pengetahuan atau
sains sebagai sunnatullah artinya adalah ilmu yang mengarah
perhatiaannya kepada perilaku alam (bagaimana alam bertingkah laku).
(Zalbawi Soejoeti, 1998: 148).
Menurut Ali Syariati dalam buku Cakrawala Islam yang ditulis oleh
Amin Rais, Ilmu adalah pengetahuan manusia tentang dunia fisik dan
fenomenanya. Ilmu merupakan imagi mental manusia mengenai hal yang
kongkret. Ia bertugas menemukan hubungan prinsip, kausalitas,
karakteistik di dalam diri manusia, alam, dan entitas-entitas lainnya
(M.Amin Rais, 1999: 108)
Sedangkan kata teknologi berasal dari bahasa Yunani "teknikos"
berarti "teknik". Apabila ilmu bertujuan untuk berbuat sesuatu, maka
teknologi bertujuan untuk membuat sesuatu. Karena itu maka teknologi
itu berarti suatu metode penerapan ilmu untuk keperluan kehidupan
manusia (Komaruddin, 1987: 275-276)
Menurut Zalbawi Soejati, teknologi adalah wujud dari upaya
manusia yang sistematis dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu
pengetahuan / sains sehingga dapat memberikan kemudahan dan
kesejahteraan bagi umat manusia (Zalbawi Soejoeti, 1998: 150)
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan kumpulan beberapa pengetahuan
manusia tentang alam empiris yang disusun secara logis dan sistematis.
Sedangkan Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan
tersebut, yang tujuan sebenarnya adalah untuk kemaslahatan manusia.

Berkaitan dengan terma teknologi ini, Achmad Baiquni menambahkan


bahwa dalam perjalanan umat manusia menuju masyarakat industrial,
proses yang menyertainya akan menimbulkan pergeseran nilai dan
benturan budaya yang tidak dapat dielakkan karena memang budaya
santai dari masyarakat agraris yang bertenaga hewani berlainan dengan
budaya tepat waktu pada masyarakat industrial yang tenaganya serba
mesin, dan nilai-nilai bergeser pada saat wanita, yang semula sangat
terikat dengan rumah dan keluarga, merasa bebas menggunakan
kendaraan bermesin sebagai sarana transportasi dan pesawat telpon
sebagai alat komunikasi. Dengan keimanan dan ketakwaan dapatlah
dipilih nilai-nilai baru dan budaya baru yang sesuai dengan ajaran
agama (Achmad Baiquni, 1995: 154).
Untuk definisi seni, dalam Ensiklopedia Indonesia diartikan
sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia,
dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang
dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni
lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama)
(Tim Penyusun Ensiklopedia Indonesia, 3080-3081)
Berbicara mengenai seni, identik dengan istilah estetika yaitu
cabang filsafat yang berurusan dengan keindahan, entah menurut
realisasinya entah menurut pandangan subyektif (Dick Hartoko, 1993:
16)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seni identik
dengan rasa yang timbulnya dari dalam jiwa, namun demikian gejala
keindahan yang ditimbulkan oleh seni bisa juga didekati dari sudut
sains. Sebuah lukisan misalnya dapat dianalisa menurut pembagian
bidang, jadi menurut matematika. Komposisi warna dapat dianalisa
secara eksperimental menurut efek psikologis.
2. Konsep IPTEK dalam Islam
Sudah menjadi pemikiran yang umum bahwasanya agama yang
identik dengan kesakralan dan stagnasi tidak sejalan atau bahkan
bertentangan dengan ipteks yang notabene selalu berkembang dengan
pesat. Namun pemikiran ini tidak berlaku lagi ketika agama tidak
hanya dilihat dari ritualitas-ritualitas belaka namun juga melihat nilai-
nilai spiritualitas yang hakiki.

Menurut Harun Nasution, tidak tepat anggapan yang mengatakan


bahwa semua ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. disamping
ajaran-ajaran yang bersifat absolut benar dan kekal itu terdapat ajaran-
ajaran yang bersifat relatif dan nisbi, yaitu yang dapat berubah dan
boleh diubah. Dalam konteks Islam, agama yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad, memang terdapat dua kelompok ajaran tersebut,
yaitu ajaran dasar dan ajaran dalam bentuk penafsiran dan penjelasan
tentang perincian dan pelaksanaan ajaran-ajaran dasar itu (Harun
Nasution, 1995: 292)
Allah SWT. menciptakan alam semesta dengan karakteristik
khusus untu tiap ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, air diciptakan
oleh Allah dalam bentuk cair mendidih bila dipanaskan 100 C pada
tekanan udara normal dan menjadi es bila didinginkan sampai 0 C.
Ciri-ciri seperti itu sudah lekat pada air sejak air itu diciptakan dan
manusia secara bertahap memahami ciri-ciri tersebut. Karakteristik
yang melekat pada suatu ciptaan itulah yang dinamakan “sunnatullah”.
Dari Al Qur‟an dapat diketahui banyak sekali ayat yang
memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta,
mengkaji dan meneliti ciptaan Allah (Fuad Amsari, 1995: 70)
Disinilah sesungguhnya hakikat Iptek dari sudut pandang Islam
yaitu pengkajian terhadap sunnatullah secara obyektif, memberi
kemaslahatan kepada umat manusia, dan yang terpenting adalah harus
sejalan dengan nilai-nilai keislaman.
Allah SWT. secara bijaksana telah memberikan isyarat tentang
ilmu, baik dalam bentuk uraian maupun dalam bentuk kejadian, seperti
kasus mu‟jizat para Rasul. Manusia yang berusaha meningkatkan daya
keilmuannya mampu menangkap dan mengembangkan potensi itu,
sehingga teknologi Ilahiyah yang transenden ditransformasikan
menjadi teknologi manusia yang imanen (Imam Mushoffa,
Aziz.Musbikin, 2001: XII)
Studi Al Qur‟an dan Sunnah menunjukkan bahwa karena dua
alasan fundamental, Islam mengakui signifikansi sains:
1. Peranan sains dalam mengenal Tuhan
2. Peranan sains dalam stabilitas dan pengembangan masyarakat Islam
(Mahdi Ghulsyani, 1998: 62)

Dari sini dapat dilihat bahwa dalam Islam, ilmu pengetahuan


dan teknologi digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah dan
juga untuk melaksanakan perintah Allah sebagai khalifatullah fil Ard
sehingga sains tersebut harus membawa kemaslahatan kepada umat
manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
Melihat banyaknya jenis bentuk seni yang ada, maka ulama
berbeda pendapat dalam memberi penilaian. Dalam hal menyanyi adan
alat musik saja jumhur mengatakan haram namun Abu Mansyur al
Baghdadi menyatakan:"Abdullah bin Ja'far berpendapat bahwa
menyanyi dan alat musik itu tidak masalah. Dia sendiri pernah
menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan"
(Abdurrahman Al-Baghdadi, 1991: 21)
Namun menurut Quraish Shihab dalam bukunya Lentera Hati
menyatakan bahwa seniman dan budayawan bebas melukiskan apa
saja selama karyanya tersebut dinilai sebagai bernafaskan Islam. (M.
Quraish Shihab, 1999: 371)
Melihat berkembangnya seni yang ada penulis memandang
pendapat Quraish Shihab lebih araif dalam menyikapi perkembangan
zaman yang mana kebutuhan masa kini tentu saja lebih komplek
sifatnya dibandingkan dengan kebutuhan pada masa awal Islam.
3. Fakta IPTEKS dalam al-Qur’an
Setelah membahas ipteks dalam Islam secara global, disini
akan dipaparkan beberapa fakta ilmiah dalam Al Qur‟an. Al Qur‟an
merupakan satu- satunya mu‟jizat yang tak lekang dimakan zaman. Al
Qur‟an ini bersifat universal untuk seluruh umat manusia.

Salah satu sifat asli Al-Qur‟an yang membedakannya dari bible


adalah bahwa untuk mengilustrasikan penegasan yang berulang-ulang
tentang kemahakuasaan Tuhan, kitab tersebut merujuk kepada suatu
keragaman gejala alam (Maurice Bucaille, 1998: 195).

Diantara aspek-aspek terpenting dari pemikiran ini, bahwa al-


Qur'an berisi informasi tentang fakta-fakta ilmiah yang amat sesuai
dengan penemuan manusia, yang diantaranya adalah sebagai berikut:

 Bahwa seluruh kehidupan berasal dari air QS. Al-Anbiya [21]:


30, yang artinya:

“dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya


langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu,
kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan
segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga
beriman?

Bahwa alam semesta terbentuk dari gumpalan gas (di dalam al-Qur'an
disebut dengan ad-Dukhan). QS. Fushshilat [41]: 11, yang artinya:
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
"Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati
atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka
hati".
Selain fakta ilmiah yang disebutkan diatas juga tampak dari
penamaan surat-surat dalam Al Qur‟an antara lain: An-Nahl, An-Naml,
Al-Hadid, Ad- Dukhan, An-Najm, Al-Qomar dan masih banyak lagi
yang lainnya.
Dari beberapa fakta ilmiah tersebut di dalam al-Qur'an, amatlah
jelas bahwa al-Qur'an memberikan petunjuk kepada manusia tentang
berbagai hal. Untuk mengetahui secara detail dan seksama, maka
manusialah yang harus berusaha untuk memecahkan berbagai
problematika keilmuan yang didapati dalam kehidupan ini dengan
berlandaskan pada ajaran al-Qur'an. Dengan berlandaskan kepada al-
Qur'an, manusia akan mengetahui hasil penelitiannya mengenai alam
melalui "pengkomparasian (pencocokan)" dengan al-Qur'an", apakah
sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh al-Qur'an atau sebaliknya
(Nasim Butt, 2001: 60)
Disamping contoh fakta ilmiah tersebut di atas, terdapat pula
ayat yang mengisyaratkan tentang teknologi kepada umat manusia. Al-
Qur'an tidak menghidangkan teknologi suatu ilmu yang murni dan
lengkap, tetapi hanya menyinggung beberapa aspek penting dari hasil
teknologi itu dengan menyebutkan beberapa kasus atau peristiwa
teknik. Perlu diingat bahwa al- Qur'an bukan buku teknik sebagaimana
juga ia bukan buku sejarah (walaupun banyak juga kisah di dalamnya),
buka buku astronomi, fisika dan lain-lain, melainkan kitab suci yang
berisi petunjuk dan pedoman hidup bagi manusia.

Disamping banyak tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, Al-Qur'an


juga membahas tentang seni, hal ini dapat dilihat pada firman Allah
QS. Asy- Syu‟ara‟ [26]: 149.

“Tuhan yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya, jika kamu adalah orang yang meyakini”.

Ayat di atas menunjukkan seni pahat yang dilakukan oleh kaum


nabi Shaleh yaitu memahat gunung untuk dijadikan rumah.
B. Hubungan Ilmu, Agama dan Budaya
1. Pengertian Ilmu, Agama dan Budaya
Ilmu (science) termasuk pengetahuan (knowledge). Yang dimaksud
dengan ilmu ialah pengetahuan yang diperoleh dengan cara tertentu yang
dinamakan metode ilmiah.

Pengertian pengetahuan lebih luas daripada ilmu. Pengetahuan


adalah produk pemikiran. Berpikir merupakan suatu proses yang
mengikuti jalan tertentu dan akhirnya menuju kepada suatu kesimpulan
dan membuahkan suatu pendapat atau pengetahuan. Menurut Leonard
Nash (dalam The Nature of Natural Sciences, 1963 cit. Soemitro, 1990),
ilmu pengetahuan adalah suatu institusi sosial (social institution) dan juga
merupakan prestasi perseorangan (individual achievement).

Dalam hipotesisnya Endang Saifuddin Anshari (1981: 97)


menjelaskan ada empat sumber pengetahuan manusia yaitu: 1) „Pikiran
manusia‟. Hal ini melahirkan paham rationalism yang berpendapat bahwa
sumbe satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rationya (akal
budinya). Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat
mendewakan akal budi manusia yang melahirkan paham
„intelektualisme‟ dalam dunia pendidikan. 2) „Pengalaman manusia‟.
Dengan ini muncul aliran empirisme yang dipelopori oleh tokoh yang
bernama John Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih.
Pengalamanlah yang akan memberikan lukisan kepadanya. Dunia empiris
merupakan sumber pengetahuan utama. Dalam dunia pendidikan terkenal
dengan teori „tabula rasa‟ (teori kertas putih). 3) „Intuisi manusia‟. Kalau
pengetahuan yang diperoleh secara rasional dan empiris merupakan
produk dari suatu rangkaian penalaran maka intuisi merupakan
pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu. Jawaban
dari permasalahan yang sedang dipikirkan muncul di benak manusia
sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa
menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai kesitu secara rasional.
Pengetahuan intuitif ini digunakan sebagai hipotesis bagi analisis
selanjutnya dalam menetapkan benar tidaknya penetapan yang
dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitik saling bekerjasama dalam
menemukan kebenaran. Bagi tokoh Nietzsche, intuisi ini merupakan
„intelegensi‟ yang paling tinggi dan bagi tokoh Maslow merupakan

„pengalaman puncak‟ (peak experience). 4) „Wahyu Allah‟ adalah


pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat para
nabi utusan-Nya sejak nabi pertama sampai yang terakhir sebanya 25
orang. Wahyu Allah ini dikodifikasikan dalam tiga buah kitab suci yaitu:
Taurat, Injil, dan al-Qur‟an. Wahyu Allah berisikan pengetahuan, baik
mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh empiri maupun
yang mencakup permasalahan yang transcendental seperti latar belakang
dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan segenap isinya serta kehidupan
di akhirat nanti (di hari kemudian). Pengetahuan ini berdasarkan
kepercayaan atau keimanan kepada Allah sebagai sumber pengetahuan,
kepada kehidupan di akhirat, kepada malaikat-malaikat (sebagai
perantara Allah menemui para nabi), kepada kitab-kitab suci (sebagai
cara penyampaian) dan kepada para nabi (sebagai perantara dan penerima
wahyu Allah). Kepercayaan inilah yang merupakan titik tolak dalam
agama lewat pengakajian selanjutnya dalam meningkatkan atau
menurunkan kepercayaan itu.

Istilah teknologi berasal dari perkataan Yunani technologia yang


artinya pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan.
Teknologi yaitu usaha manusia dalam mempergunakan segala bantuan
fisik atau jasa-jasa yang dapat memperbesar produktivitas manusia
melalui pemahaman yang lebih baik, adaptasi dan kontrol, terhadap
lingkungannya. Teknologi merupakan penerapan. Oleh karena itu,
teknologi berbeda dalam dimensi ruang dan waktu (Soemitro, 1990).

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti


tidak dan agama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti
sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini
memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak
kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda
berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang
agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam
sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan
agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang,
dimaknai dan diberlakukan.

Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa


Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada
kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat
peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan
hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan
hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata al-
Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur‟an surat 3: 19 ( Zainul
Arifin Abbas, 1984: 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai
lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan
dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang
sebagai Corpus syari‟at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus
dipatuhinya, karena melalui syari‟at itu hubungan manusia dengan Allah
menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda
sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni


Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja,
yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan
nilai-nilai ke Tuhanan.

Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang


agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-
sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan
keselamatan disini dan diseberang sana.

Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman


dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai
Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama
Kristen, Allah subhana wata‟ala dalam Islam.

Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut: “Agama adalah


keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya
terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan
yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau
kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta
raya serta isinya” ( Sumardi, 1985:75).

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 149), disebutkan


bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang
“kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi
mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak,
kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan sebagai
warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai
tata hidup, way of life, dan kelakuan.

Menurut Ki Hadjar Dewantoro Kebudayaan adalah "sesuatu" yang


berkembang secara kontinyu, konvergen, dan konsentris. Jadi
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, baku atau mutlak. Kebudayaan
berkembang seiring dengan perkembangan evolusi batin maupun fisik
manusia secara kolektif.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa


kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan
manusia baik material maupun non material.
2. Hubungan antara Ilmu dengan Agama dan Ilmu denan Budaya
Walaupun daerah agama dan daerah ilmu yang nyata terpisah satu
sama lain, namun antara keduanya terdapat hubungan yang kuat.
Walaupun agama yang menetapkan tujuan, namun agama tetap belajar
dari ilmu dalam arti yang seluas-luasnya. Alat-alat apa yang dapat
membantu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akan tetapi ilmu hanya
dapat diciptakan oleh orangorang yang jiwanya penuh dengan keinginan
untuk mencapai kebenaran dan pengertian (Endang Saifuddin Anshari,
1981: 153-154).

Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan


signifikasi sebuah tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan
yang sangat erat antara kebudayaan dan agama bahkan sulit dipahami
kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh
agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya
didasarkan pada agama. Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang
oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta pemikiran kritis.
Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat
saling mempengarui. Agama mempengaruhi sistem kepercayaan serta
praktik-praktik kehidupan. Sebalikny akebudayaan pun dapat
mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di
interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada
agama yang bebas budaya dan apa yang disebut Sang – Illahi tidak akan
mendapatkan makna manusiawi yang tegas tanpa mediasi budaya, dlam
masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan kebudayaan
sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper
umum dalam semua agama.
Budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia
dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu
agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor
geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang
sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari
kehidupan penganutnya.
Hubungan kebudayaan dan agama tidak saling merusak,
kuduanya justru saling mendukung dan mempengruhi. Ada paradigma
yang mengatakan bahwa ” Manusia yang beragma pasti berbudaya
tetapi manusia yang berbudaya belum tentu beragama”.
Jadi agama dan kebudayaan sebenarnya tidak pernah bertentangan
karena kebudayaan bukanlah sesuatu yang mati, tapi
berkembang terus mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula
agama, selalu bisa berkembang di berbagai kebudayaan dan peradaban
dunia.
Jika kita teliti budaya Indonesia, budaya itu terdiri dari 5 lapisan.
Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha,
Islam dan Kristen (Andito, ed,1998:77-79)
Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus
yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah
tiada atau lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di
Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan.
Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para
leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi.
Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari- tarian dan
seni ukiran, Maka dari agama pribumi bangsa Indonesia mewarisi
kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang
sangat luhur.
Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan
peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu
dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan
bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh.
Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah
engkau.
Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan
nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama
dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan
menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan
kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari‟ah, ketaatan
melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang
baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi
yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan
akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam
pembentukan budaya bangsa.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun
Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar
manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam
kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntut balasan yaitu kasih tanpa
syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan
konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar
kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan,
rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.

Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap


agama. Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi
untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah
masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil
lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat
mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh
para warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar
menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan pertentangan
dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali
sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita
punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi,
dengan memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi
lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami
bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat
tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam
berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya
akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan
merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-
kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.
Masyarakat, agama dan kebudayaan sangat erat berkaitan satu
sama lain. Saat budaya atau agama diartikan sesuatu yang terlahir di
dunia yang manusia mau tidak mau harus menerima warisan tersebut.
Berbeda ketika sebuah kebudayaan dan agama dinilai sebagai sebuah
proses tentunya akan bergerak kedepan menjadi sebuah pegangan,
merubah suatu keadaan yang sebelumnya menjadi lebih baik.
Ketika agama dilihat dengan kacamata agama maka agama
akan memerlukan kebudayaan. Maksudnya agama (Islam) telah
mengatur segala masalah dari yang paling kecil contohnya buang hajat
hingga masalah yang ruwet yaitu pembagian harta waris dll. Sehingga
disini diperlukan sebuah kebudayaan agar agama (Islam) akan
tercemin dengan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan
masyarakat yang beragama, berkeinginan kuat untuk maju dan
mempunyai keyakinan yang sakral yang membedakan dengan
masyarakat lainnya yang tidak menjadikan agama untuk dibiasakan
dalam setiap kegiatan sehari-hari atau diamalkan sehingga akan
menjadi akhlak yang baik dan menjadi kebudayaan masyarakat
tersebut.
Untuk membudayakan agama melalui salah satu sumber
ajarannya yaitu al-Qur‟an, maka diperlukan sebuah pembaruan
pemikiran keagamaan yang merefleksikan respon manusia tehadap
wahyu Allah. Seiring hal itu Dawam Rahardjo memiliki pandangan
yang menarik tentang wahyu Allah (al-Qur‟an) bahwa bukan hanya
ulama‟ yang punya hak istimewa atas al-Qur‟an, tetapi setiap orang,
seharusnya setiap muslim punya akses, jalan masuk yang langsung
pada wahyu Allah. Oleh sebab itulah dalam karya tafsir kontemporer
dia maksudkan agar kaum muslim dari berbagai jenis tingkatan
pengetahuan, pendidikan dan tingkat intelektual bisa melakukan
komunikasi langsung dengan al-Qur‟an. (M. Dawam Rahardjo, 2002:
12).
C. Hukum Sunnatullah (Kausalitas)
1. Pengertian Sunatullah
Di dalam bahasa Arab, kata sunnah dengan fi'il madhi (kata kerja

untuk masa lampau)-nya sanna (َ ‫َس‬ ‫ ) ن‬ini mempunyai beberapa arti. Di


antaranya adalah, thariqah (jalan, cara, metode), sirah (peri kehidupan,
perilaku), thabi‟ah (tabiat, watak), syari‟ah (syariat, peraturan, hukum)
atau dapat juga berarti suatu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi
(kebiasaan)(Ahmad Warson Munawwir, 1993: 1135).
Menurut Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, sunnah adalah kebiasaan
yang dilakukan kedua kalinya seperti apa yang dilakukan pertama
kalinya. Sedangkan menurut Ar Razi, sunnah adalah jalan yang lurus dan
tauladan yang diikuti. Di antara pendapat kedua tokoh Islam dan
beberapa pendapat lain tentang arti kata sunnah, makna sunnah berkisar
pada jalan yang diikuti (Abdul Karim Zaidan: 25). Dan secara umum,
kata sunnat digunakan oleh al-Qur‟ān sebagai cara atau aturan (Rahmat
Taufiq Hidayat, 1996: 135).
Sedangkan kata Allah adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha
Esa, Kata Allah telah dikenal sejak masa pra Islam oleh orang-orang
Arab. Ia adalah salah satu tuhan (dewa) orang Mekkah, tuhan yang
menempati posisi tertinggi dan tentu saja tuhan (yang dianggap) sebagai
pencipta (A. Abel, 1960: 406).
Jadi, sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan
manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau
hukum- hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta (Rahmat Taufiq
Hidayat, 1996: 135).
Sedangkan, di antara beberapa pengertian secara terminologis adalah
bahwa Sunnatullāh adalah sebagai jalan yang dilalui dalam perlakuan
Allah terhadap manusia sesuai dengan tingkah laku, perbuatan dan
sikapnya terhadap syariat Allah dan Nabi-Nya dengan segala implikasi
nilai akhir di di dunia dan akhirat (Abdul Karim Zaidan: 25).
2. Pandangan Dasar tentang Sunatullah
Terma Sunnatullah yang banyak disebutkan di dalam al-Qur‟an
merupakan terma bagi aturan global yang berlaku dan ditetapkan oleh
Allah terhadap seluruh komponen alam semesta. Mulai dari yang terkecil
sampai yang terbesar, dari yang bersifat materi maupun yang immateri,
seluruhnya berjalan di atas aturan- aturan ini. Dan secara umum, aturan
tersebut berdiri diatas hukum sebab-akibat (kausal) atau premis dan hasil
akhir (conclution)(Abdul Karim Zaidan: 33).
Di dalam al-Qur‟an dijelaskan yang artinya ““Kami datangkan bagi
setiap sesuatu dengan adanya sebab”. (QS. al-Kahfi [18]: 84)
Berdasarkan hal di atas, dapat diketahui jika terma Sunnatullah ini
seringkali disandingkan/dikolokasikan dengan istilah hukum alam
(causality) ala pemikiran Barat atau bahkan dianggap sama oleh sebagian
umat Islam. Padahal, di antara kedua terma tersebut terdapat perbedaan
yang sangat mendasar dan substansial. Di dalam konsep Barat, hukum
kausalitas tersebut menafikan adanya ”kekuasaan” dan ”kehendak” di
luar kehendak dan kekuasaan manusia. Dalam arti murni didasarkan atas
potensi suatu benda atau usaha manusia saja. Sedangkan di dalam Islam,
justru faktor di luar diri manusia dan benda itulah yang menentukan hasil
akhir dari hukum kausalitas tersebut (Agus Mustafa, 2006: 60-61).
Dengan demikian, hukum kausalitas di dalam Islam diyakini bahwa
pada hakikatnya bukanlah sebab-sebab itu yang membawa akibat.
Namun, akibat itu muncul adalah karena Allah SWT menghendaki
demikian. Sebagaimana dijelaskan di dalam al-Qur‟ān yang artinya
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agam Allah, padahal
kepada-Nyalah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka
dikembalikan”. (QS: Ali Imran [3]: 83)
Dengan demikian, hukum kausalitas di dalam Islam tidak hanya
berjalan secara horisontal dalam dua arah, antara depan dan belakang,
antara sebab dan akibat, akan tetapi berjalan dalam tiga arah. Horisontal
dan vertikal, depan dan belakang serta atas. Sudut ”belakang” adalah
peristiwa atau usaha dari potensi suatu benda atau manusia. Sedangkan
sudut vertikal adalah kekuasaan dan kehendak Allah. Dan sudut ”depan”
adalah hasil akhir (conclution) (Agus Mustafa, 2006: 61).
Di dalam al-Qur‟an banyak sekali disebutkan kejadian-kejadian yang
”menyimpang” jika dilihat dari perspektif hukum kausalitas barat. Inilah
sebenarnya yang menunjukkan adanya ”Faktor” penentu di luar diri
manusia dalam setiap kejadian dan peristiwa yang terjadi. Dan hal seperti
ini, di dalam Islam juga disebut sebagai Sunnatullah (Choiruddin Hadhiri,
1993: 48).
Kembali kepada al-Qur‟ān, di dalam al-Qur‟ān terdapat ayat-ayat
yang menerangkan tentang varian prinsip-prisip kausalitas, beberapa di
antaranya adalah:
a. Ayat yang membicarakan pola-pola (sunnah-sunnah) Allah yang tidak
berubah di dalam alam semesta. Surat Al-Isra‟ [17]: 77, yang artinya
“(Kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan yang
terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu dan tidak
akan kamu dapati perubahan bagi ketetapan Kami itu”
b. Surat Al-Ahzab [33]: 38

Anda mungkin juga menyukai