Anda di halaman 1dari 7

BAB I

DEFINISI

PDP adalah Konseling yang dilakukan agar pasien dapat bekerja sama dengan petugas
kesehatan untuk membuat suatu strategi agar dapat mengatasi hambatan-hambatan yang timbul
ketika pasien mulai pengobatan ARV dan berperan aktif dalam menjalankan pengobatan dan
membuat komitmen untuk mengikuti rejimen sesuai apa yang telah diresepkan.

Rumah Sakit adalah instansi kesehatan yang mempunyai peranan penting dalam
mengurangi penyebaran HIV/AIDS, namun terkadang Rumah Sakit secara tidak sadar atau
sengaja melakukan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS dengan tidak mau menerima pasien
yang terinfeksi HIV/AIDS berobat di Rumah Sakit karena menganggap kasu ini sangat kompleks
dan problematik serta membutuhkan perawatan dari multidisiplin ilmu dari beberapa dokter
spesialis.

Kekhawatiran lain rumah sakit bila menerima pasien HIV/AIDS adalah ketika banyak
pasien yang lain ketakutan disaat harus berada di tempat yang sama dengan pasien yang
terinfesi HIV. Namun apabila pasien HIV/AIDS ditempatkan di ruangan tertentu itu akan menjadi
diskriminasi dan menciptakan ketidakadilan bagi pasien tersebut. Masalah lain yang muncul
adalah ketika ternyata Rumah sakit memberikan pelayanan terhadap pasien HIV/AIDS dibawah
standar dikarenakan keterbatasan, lalai dalam memberikan perawatan, melanggar kerahasiaan
pasien, serta melakukan tes tanpa pesetujuan pasien.

Praktek pelayanan seperti ini mencerminkan kenyataan yang kurang baik bahwa orang-
orang yang terinfeksi HIV sering menerima perlakuan medik di bawah standar yang telah
ditetapkan. Dan tidak semua Rumah Sakit mempunyai sistem penacatatan pelaporan yang baik
sehingga kurang berfungsi peran dalam mengurangi penyebaran HIV/AIDS.

Pada saat awal di Indonesia hanya memiliki 25 Rumah Sakit yang mejadi rujukan yang
ditunjuk pemerintah untuk memeberikan pelayanan perawatan pada penderita HIV/AIDS. Namun
pada saat ini sudah ada kurang lebih 275 Rumah Sakit yang sudah bisa merawat pasien
HIV/AIDS. Sedang dalam hal ini RSUD Mampang Prapatan sedang merintis untuk menjadi
rujukan dalam perawatan pasien dengan terinfeksi HIV/AIDS.

1
BAB II

RUANG LINGKUP

RSUD Mampang Prapatan mecoba merintis memberikan pelayanan bagi pasien HIV/AIDS
meliputi (VCT), Perawatan , Dukungan dan Pengobatan (PDP), TB HIV, pencatatan pelaporan
kasus HIV/AIDS, pelayanan Gizi, radiologi, dan laboratorium.

Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

PDP merupakan layanan komprehensif bagi ODHA. Layanan yang tersedia meliputi
konseling dan tes HIV sukarela untuk tujuan skreening dan diagnostik, klinik VCT adalah pintu
utama : profilaksis infeksi oportunistik, tata laksana penyakit terkait HIV termasuk infeksi
opprotunistik, pengendalian TB di Poli Penyakit Dalam.
Obat-obat ARV (anti retroviral) yang tersedia dari lini pertama dan kedua. Obat untuk efek
samping terapi ARV belum tersedia. Obat-obat ARV yang tersedia disubsidi oleh pemerintah.
Obat-obat pencegahan infeksi oppotunistik disediakan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta
Adapun jenis obat yang ada adalah : Stavudin, Neviral, Duviral. Obat anti tuberkulosis juga
diberikan Cuma-Cuma atas subsidi pemerintah. Untuk ketersediaan obat anti tuberkulosis bisa
berkoordinasi dengan Poli DOTS
Ketersedian obat ARV di Rumah Sakit sanagtlah penting bagi kelangsungan pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan. Terapi oral ARV sangat diperlukan bagi penderita
HIV/AIDS (ODHA) untuk memperpanjang uisa dan memperbaiki kualitas hidup.
ART (antiretroviral Therapy) merupakan komitmen jangka panjang dan kepatuhan adalah hal
penting untuk menekan replikasi HIV dan menghindari terjadinya resistensi; Dalam
pelaksanannya pasien bisa diberikan konseling ARV dimana didalamnya ada faktor adheren atau
kepatuhan dalam minum obat, tepat waktu, tepat dosis, dan tepat penggunaan obat. Pasien bisa
membuat pengingat (alarm) untuk saatnya minum obat. Dan bila pasien sudah terbuka dengan
anggota keluarga atau petugas kesehatan maka bisa didampingi oleh PMO (Pengawas Minum
Obat)
Pasien juga diberikan konseling tentang segala sesuatu tentang ART dan makana serta gizi
yang diperlukan. Konseling ini sangat diperlukan bagi pasien untuk mengetahui interksi obat
terahadap makanan maupun obat-obatan yang lain. Diberikan pula konseling akan efek samping
ART.

2
BAB III

TATA LAKSANA

A. PERSYARATAN SEBELUM MEMULAI TERAPI ARV


Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya. Untuk ODHA
yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm³ maka
dianjurkan untuk memberikan Kotrimoksasol (1x960mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu
sebelum terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk:
1. Mengkaji kepatuhan pasien untuk minum obat,dan
2. Menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih antara kotrimoksasol dan obat
ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.

B. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSASOL


Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian
pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis
primer da profilaksis sekunder.
1. Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu
infeksi yang belum pernah diderita.
2. Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang ditujukan untuk
mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Berbagai
penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam
menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut
dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit (Toxoplasma) dan
Pneumocystis carinii pneumonia (sekarang disebut P. jiroveci, disingkat sebagai PCP).
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah (secara primermaupun sekunder) terjadinya
PCP dan Toxoplasmosis disebut sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
3. PPK dianjurkan bagi:
ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4) termasuk perempuan hamil dan
menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat menimbulkan kelainan kongenital,
tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu hamil dengan jumlah CD4 yang rendah
(<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang
memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3 (apabila tersedia pemeriksaan dan hasil
CD4).

PEMBERIAN KOTRIMOKSASOL SEBAGAI PENGOBATAN PRIMER


INDIKASI SAAT PENGHENTIAN DOSIS PEMANTAUAN
Bila tidak tersedia 2 tahun setelah
pemeriksaan jumlah penggunaan Efek samping
selCD4, semua pasien kotrimoksasol jika berupa tanda
Diberikan kotrimoksasol mendapatkan ARV. hipersensitivitas
segera setelah seperti demam,
dinyatakan HIV positif rash, sindrom

3
Bila tersedia Bila sel CD4 naik >200 Steven
pemeriksaan jumlah sel sel/mm3 pada 960 mg / hari Johnson,
CD4 dan pemeriksaan dua kali dosis tunggal tanda
terjangkau,kotrimoksasol interval 6 bulan berturut penekanan
diberikan pada pasien turut jika mendapatkan sumsum tulang
dengan jumlah CD4 <200 ARV seperti anemi,
sel/mm3 trombositopeni,
lekopeni,
pansitopeni
Semua bayi lahir dari ibu Dihentikan pada usia 18 Interaksi obat
hamil HIV positif berusia bulan dengan hasil test Trimetropim 8 dengan ARV
6 minggu HIV negatif . Jika test HIV – 10 mg/kgBB dan
positif dihentikan pada dosis tunggal obat lain yang
usia 18 bulan jika digunakan
mendapatkan terapi ARV dalam
pengobatan
penyakit terkait
HIV.

Kotrimoksasol untuk pencegahan sekunder diberikan setelah terapi PCP atau Toksoplasmosis
selesai dan diberikan selama 1 tahun.

ODHA yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3;
dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal
tersebut berguna untuk :
1) mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan
2)1.menyingkirkan
DESENSITISASI KOTRIMOKSASOL
efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol
dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Dalam keadaan terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap Kotrimoksasol dan
Kemudian akan memulai lagi maka perlu dilakukan desensitisasi obat. Angka
keberhasilan desensitisasi kotrimoksasol cukup tinggi yaitu 70% dari ODHA yang pernah
mengalami reaksi alergi yang ringan hingga sedang. Desensitisasi jangan dicobakan pada
ODHA dengan riwayat mengalami reaksi alergi yang berat (derajat hipersensitivitas 3 atau
4), berarti ODHA tidak memperoleh terapi profilaksis. Untuk itu perlu pengawasan ketat
sebelum timbul infeksi oportunistik terkait dan mulai pemberian ARV untuk mencegah
pasien masuk dalam fase lanjut.

PROTOKOL DESENSITISASI KOTRIMOKSASOL


DOSIS
LANGKAH
HARI 1 80 mg SMX + 16 mg TMP (2 ml syrup)
HARI 2 160 mg SMX + 32 mg TMP (4 ml syrup)
HARI 3 240 mg SMX + 48 mg TMP ( 6 ml syrup)
HARI 4 320 mg SMX + 64 mg TMP ( 8 ml syrup)
HARI 5 1 tablet dewasa SMX – TMP (400 mg SMX + 80 mg TMP)
HARI 6 2 tablet dewasa SMX – TMP 1 tablet forte (800 mg SMX +
160 mg TMP)

Keterangan:
Setiap 5 ml sirup Kotrimoksasol mengandung 200 mg SMX + 40 mg TMP
Selain protokol desensitisasi seperti di atas, terdapat Desensitisasi cepat kotrimoksasol
yang dapat dilakukan dalam waktu 5 jam (dilakukan pada pasien rawat jalan), dengan
protokol sebagai berikut:

Waktu ( jam ) Dosis ( TMP+SMX) Dillusi ( pengenceran )


0 0,004/0,02mg 1:10.000 (5mL)
1 0,04/0,2mg 1 : 1.000 (5ml)
2 0,4/2mg 1 : 100 (5ml)
3 4/20mg 1 : 10 (5ml)
4 40/200mg Tidak diencerkan (5ml)
5 160/800mg 1 tablet forte

C. TATALAKSANA PEMBERIAN ARV

4
1. SAAT MEMULAI TERAPI
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan pengiriman sample ke Labkesda sebagai
laboratorium yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan untuk pemeriksaan CD4.
Rekomendasi :
a. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
b. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
HepatitisB tanpa memandang jumlah CD4

Target Populasi Stadium Klinik Jumlah Sel CD4 Rekomendasi


ODHA Dewasa Stadium Klinis 1 >350 sel/ mm³
dan 2 Belum mulai terapi.
Monitor gejala klinis
dan jumlah sel CD4
setiap 6-12 bulan

<350 sel/ mm³ Mulai terapi

Stadium klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi


dan 4 sel CD4
Pasien dengan ko- Apapun stadium Berapapun Mulai terapi
infeksi TB klinis jumlah sel CD4
Apapun stadium Berapapun jumlah
Pasien dengan ko- klinis sel CD4 Mulai terapi
infeksi Hepatitis B
kronik aktif
Ibu hamil Apapun stadium Berapapun Mulai terapi
klinis jumlah sel CD4

2. MEMULAI TERAPI ARV PADA KEADAAN INFEKSI OPORTUNISTIK (IO) YANG


AKTIF
Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu pengobatan atau diredakan
sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam table di bawah ini.
TATALAKSANA IO SEBELUM MEMULAI TERAPI INI
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi
Progresif Multifocal ARV diberikan langsung setelah
Leukoencephalopathy, diagnosis infeksi ditegakkan
Sarkoma Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,
Kriptosporidiosis
Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, MAC ARV diberikan setidaknya 2 minggu
setelah pasien mendapatkan
pengobatan infeksi opportunistik

3. PANDUAN ARV LINI PERTAMA YANG DIAJURKAN


Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV berdasarkan
pada 5 aspek yaitu:
a. Efektivitas
b. Efek samping / toksisitas
c. Interaksi obat
d. Kepatuhan
e. Harga obat
Prinsip dalam pemberian ARV adalah

5
a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada dalam
dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan manajemen
logistik yang baik.

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:


2 NRTI + 1 NNRTI

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + ATAU


Nevirapine)

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + ATAU


Efavirenz)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine ATAU


NVP (atau Emtricitabine) +
Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) + (Tenofovir + Lamivudine


EFV (atau Emtricitabine) +
Efavirenz

6
BAB IV
DOKUMENTASI

A. PENCATATAN DAN PELAPORAN


Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah :
1. Untuk menyusun perencanaan dan tindak lanjut
2. Untuk memperbaiki pelaksaan pelayanan CST/PDP
3. Untuk mengetahui kemajuan dan hambatan pelayanan CST/PDP

Aspek yang perlu dicatat dan dilaporkan :

1. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu


2. Sumber daya manusia
3. Sarana, prasarana, dan peralatan
4. Standar minimal PDP
5. Prosedur Pelayanan PDP
6. Hambatan pelayanan PDP
7. Pengelolaan yang profesional dan efektif
8. Akuntabilitas dan sustainbilitas
9. Kepuasan dan evaluasi pasien secara langsung atau melalui kotak saran.

Anda mungkin juga menyukai