Anda di halaman 1dari 2

PERADABAN DAN MORALITAS PENDIDIKAN MEMPENGARUHI DERAJAT

SUMBER DAYA MANUSIA


Oleh : Nur Prasetyo*

Tidak dipungkiri bahwa pendidikan merupakan salah satu variable yang berperan dalam
menentukan sejauh mana pembangunan sumber daya manusia dan berkontribusi terhadap
kemajuan suatu negara. Evolusi Pendidikan berkembang seiring dengan tumbuh dan cara
berpikir masyarakatnya dari kurun waktu ke waktu. Namun dalam perjalanan bangsa ini untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusianya sering berbenturan dengan mekanisme, aturan –
aturan dan kebijakan yang digulirkan. Padahal dalam amanat Undang-Undang Dasar 1945 Bab
XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (3) berbunyi : Pemerintah mengusahakan
dan menyelenggarakan satu system Pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang. Dan pada ayat (5) berbunyi: pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Artinya skema atau konsep sistem pendidikan di Indonesia ini telah dirancang dan
dicanangkan dengan baik oleh founding’s father kita. Dan hal tersebut memberikan pondasi yang
kuat terhadap generasi selanjutnya untuk menterjemahkan serta mengejahwantakan butir-butir
yang terkandung dalam bunyi UUD 1945 tersebut. Kepedulian dan keseriusan pemerintah dalam
menjadikan manusia Indonesia yang unggul, tentunya memerlukan goodwill dan policy total
terhadap pendidikan yang pro rakyat. Jika ditelusri semenjak berdirinya bangsa ini, konsumsi
pendidikan ini hanya dimiliki oleh sebagian masyarakat. Padahal dalam UUD 1945 telah
disebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, tentu hal ini sangat
ironi dengan kondisi saat ini dimana masih banyak orang yang belum mendapatkan hak dan
akses Pendidikan yang layak.
Di dalam tiap siklus sistem pendidikan Indonesia sejak era revolusi fisik hingga saat
ini, dimana kebijakan tentang system pendidikan nasional sering mengalami revisi dan
perubahan. Revisi dan perubahan sistem pendidikan ini senantiasa terjadi sesuai dengan
perubahan struktur orde pemerintahan. Hal inilah yang menjadikan system pendidikan nasional
kita sering tidak optimal dalam mengaplikasikan, menerapkan program-program atau isi dari
pendidikan itu sendiri. Beberapa kali metode atau program pendidikan yang sudah dijalankan
oleh orde pemerintahan sebelumnya dan telah mendapatkan respon atau apresiasi yang tinggi
oleh masyarakat tiba-tiba harus dirubah atau mengalami revisi oleh orde pemerintahan
berikutnya karena dianggap kurang sesuai atau ada hal yang kurang maksimal dalam
penerapannya, Nah, perubahan-perubahan kebijakan ini, saya yakin niatannya untuk membuat
perbaikan dalam system pendidkan nasional sehingga output dari kebijakan tersebut adalah dapat
menghasilkan kualitas manusia Indonesia yang kompeten tetapi niatan tersebut terkadang
menyebabkan distorsi beban bagi stakeholder di dalamnya sehingga ada semacam opini “beda
pemerintahan beda aturan”. Contoh di era ORBA saat itu kelulusan pendidikan di tingkat
Sekolah Dasar Hingga Sekolah Menengah Atas berdasarkan nilai Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional (EBTANAS). Demikian pula untuk masuk ke jenjang Perguruan Tinggi Negeri ada
jalur berdasarkan nilai ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) dan Penelusuran Minat
dan Kemampuan (PMDK). Kemudian karena perubahan struktur pemerintahan, kebijakan nilai
EBTANAS dan UMPTN berganti denga standart Ujian Nasional (UNAS) di tingkat Sekolah
Dasar hinga Sekolah Menengah Atas sedangkan untuk syarat masuk perguruan tinggi negeri
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan MANDIRI. Ini merupakan kebijakan yang
memiliki nilai konsekuensi moral bagi masyarakat. Bagaimana tidak, pelaku Pendidikan seperti
guru, dosen, murid dan mahasiswa otomatis akan mengikuti alur perubahan tersebut, tentu ini
tidak mudah. Ketika perubahan tersebut diyakini dapat memberikan progress terhadap kualitas
derajat sumber daya manusia namun justru memberikan beban psikologis, maka yang terjadi
adalah degradasi mutu Pendidikan.
Yang semestinya dilakukan adalah bagaimana peradaban pendidikan yang telah
dijalankan sebelumnya dan telah memberikan kontribusi baik bagi masyarakat tetap
dipertahankan dan semakin ditingkatkan kualitasnya bukan justru dihilangkan dan diganti
dengan konsep yang baru. Bila kondisi seperti ini tetap terjadi, ketika ada perubahan struktur
pemerintahan kemudian berubah pula konsep struktur pendidikannya maka dapat dipastikan, kita
akan kehilangan peradaban pendidikan itu sendiri. Visi,misi peradaban pendidikan yang telah
dijalankan bangsa ini, pasti sudah di rumuskan dengan matang dan tidak terlepas dari moralitas
penggagasnya, sehingga manfaat dan efeknya dapat dirasakan hingga saat ini serta dapat
diketahui bahwa tiap peradaban pendidikan yang dilalui bangsa ini menghasilkan manusia-
manusia yang unggul di zamannya. Menurut salah seorang Tokoh Dunia Theodore Roosevelt :
“To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (mendidik
seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara bahaya
kepada masyarakat).
Moralitas dalam mengelola pendidikan adalah sangat vital dan berpengaruh terciptanya
sumber daya manusia yang berkarakter unggul. Jangan sampai gara-gara ingin menerapkan
peradaban pendidikan yang baru berakibat rusaknya tatanan system pendidikan yang sudah ada
dikarenakan aspek rohani atau moral tidak dilibatkan dalam mencerdaskan seseorang, dimana
justru aspek jasmani atau otak semata yang sering ditonjolkan. Sekali lagi Pendidikan adalah
salah satu variable penting dalam membangun peradaban suatu bangsa. Maju tidaknya bangsa
tersebut bukan ditentukan oleh kehebatan sejarah yang pernah dilaluinya tetapi ditentukan oleh
sejauh mana bangsa tersebut memperhatikan pendidikan rakyatnya dengan baik. Konsep
“Trisakti Jiwa” yang digagas oleh Tokoh sekaligus Pahlawan Pendidikan Indonesia Ki Hajar
Dewantara yakni : Pendidikan Yang Berpilar Kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Seyogyanya
senantiasa di teladani dan diterapkan dalam setiap perumusan, pelaksanaan sistem pendidikan
nasional karena cerminan Cipta, Rasa dan Karsa tersebut merupakan keseimbangan budaya
untuk memajukan Pendidikan bangsa Indonesia. Dan pada akhirnya keinginan untuk
mengangkat derajat sumber daya manusia sejajar dengan bangsa lain dapat tercapai dan terwujud
serta menjadikan pendikan Indonesia memiliki kepribadian dan karakter sesuai dengan falsafah
dasar negara kita.
*)Dosen Universitas Bakti Indonesia Cluring - Banyuwangi dan WargaVilla
Brawijaya Blok G1 Kebalenan Banyuwangi

Anda mungkin juga menyukai