“BIODIVERSITAS”
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
(IAIN) TULUNGAGUNG
SEPTEMBER 2019
Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Berdasarkan proses
pembentukkannya, ekosistem dibagi menjadi dua yaitu ekosistem alami dan ekosistem
buatan.
Ekosistem Alami
Ekosistem alami merupakan ekosistem yang tebentuk secara alami, tanpa
campur tangan manusia. Ekosistem ini fungsinya bergantung langsung kepada
matahari sebagai sumber energi. Berdasarkan media kehidupan yang umum seperti
air, tanah dan udara, ekosistem alami dibedakan menjadi ekosistem marine,
ekosistem limnik, ekosistem semiterestrial, dan ekosistem terestrial
A. Ekosistem Marine (Air Masin)
Ekosistem marine atau laut merupakan suatu kesatuan yang terdiri atas
berbagai organisme yang berfungsi bersama-sama disuatu kumpulan massa air
masin pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis maupun statis
sehingga memungkinkan terjadinya aliran energi dan siklus materi di antara
komponen biotik dan abiotik.
Sebagai negara maritim, Indonesia wilayah air masin (laut) yang lebih
luas (70%) dibandingkan total daerah terestrialnya (30%). Perairan laut yang
luas memiliki zona berbeda, baik secara horizontal maupun vertikal yang
menciptakan kondisi lingkungan bervariasi sehingga tercipta keanekaragaman
ekosistem.
Perairan laut terbagi menjadi beberapa zona yaitu:
1. Epipelagik
Zona epipelagik meliputi zona neritik ataupun oseanik yang masih
berada pada kedalaman sampai dengan 200 m dan dapat ditembus oleh
cahaya matahari. Biota perairan masin paling banyak dapat ditemukan pada
zona ini
Gambar 1. Pembagian zona secara horizontal dan vertikal pada perairan laut
(Modifikasi dari Odum (1983) dan Clark (1992))
2. Mesopelagik
Zona mesopelagik berada pada kedalaman 200–1.000 m dengan
keberadaan cahaya minimum
3. Batipelagik
Zona batipelagik berada pada kedalaman 1.000–4.000 m
4. Abisopelagik
Abisopelagik berada pada kedalaman 4.000–6.000 m
5. Hadal
Zona hadal berada pada kedalaman lebih dari 6.000 m
a. Zona Neritik
Zona neritik terbentang mulai dari tepi pantai yang terjangkau oleh
pasang tertinggi sampai ke arah laut dengan bagian dasar yang masih dapat
ditembus cahaya matahari (landasan sublitoral). Zona neritik dikenal
sebagai kawasan dekat pantai, terletak disepanjang pantai dangkal dengan
lebar antara 16–240 km. Zona ini terbagi menjadi dua, yaitu intertidal dan
subtidal.
1. Intertidal
Merupakan daerah pasang surut yang berada pada landasan
litoral, yaitu bagian pantai yang dibatasi oleh pasang tertinggi dan surut
terendah.
2. Subtidal
Bagian perairan yang dibatasi oleh pantai yang mengalami surut
terendah hingga laut lepas dengan kedalaman sekitar 200 m dan disebut
juga sebagai laut dangkal.
Terdapat dua tipe ekosistem di zona ini, yakni terumbu karang dan
padang lamun.
1. Terumbu Karang
A B
Gambar . A. Karang Keras dan B. Karang Lunak (Siregar 2013)
2. Padang Lamun
Padang lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal
yang paling produktif dengan siklus hara yang sangat efektif. Ekosistem
lamun mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan
perkembangan jasad hidup di laut dangkal, antara lain sebagai kawasan
tempat mencari makan, sumber pakan dugong, dan area pemijahan bagi
berbagai jenis biota laut.
3. Zona Oseanik
Zona oseanik merupakan wilayah ekosistem laut lepas dengan
kedalaman yang tidak dapat ditembus cahaya matahari sampai
ke dasar, sehingga bagian dasarnya sangat gelap. Pada zona ini, bagian
air di permukaan tidak dapat bercampur dengan air di bawahnya karena
ada perbedaan suhu. Batas kedua lapisan air tersebut adalah daerah
termoklin yang pada umumnya banyak dijumpai gerombolan ikan.
Semua zona yang berada di bawah zona eupotik (epipelagik)
yang masih dapat ditembus oleh sinar matahari meliputi zona
mesopelagik, batipelagik, abisopelagik, dan hadal. Laut dalam
merupakan bagian lingkungan bahari yang terletak di laut terbuka dan
lebih dalam dibanding paparan benua (> 200 m).
Komunitas di ekosistem laut dalam Indonesia belum banyak
diketahui secara rinci. Hal ini dikarenakan terbatasnya ahli dan
perangkat teknologi yang dimiliki untuk meneliti hingga mencapai
perairan dalam. Secara umum keanekaragaman jenis yang ada di
perairan laut dalam tidak setinggi ekosistem di tempat lain. Komunitas
yang ada hanya konsumen dan pengurai, tidak terdapat produsen karena
cahaya matahari tidak dapat menembus daerah ini.
b. Ekosistem Danau
Karakteristik danau berkaitan erat dengan sejarah pembentukannya.
Danau tektonik, vulkanik, kawah, dan kaldera pada umumnya berada pada
dataran tinggi di sekitar gunung atau pegunungan dan memiliki dasar yang
dalam dan relatif stabil. Sebaliknya, danau genangan banjir berada pada
dataran rendah dan relatif dangkal serta cenderung mendangkal akibat
pelumpuran dan berkembangnya tumbuhan air invasif.
Danau merupakan badan air alami berukuran besar yang dikelilingi oleh
daratan dan tidak berhubungan dengan laut, kecuali melalui sungai. Danau
bisa berupa cekungan yang terjadi karena peristiwa alam yang kemudian
menampung dan menyimpan air hujan, mata air, rembesan, dan/atau air
sungai. Indonesia mempunyai sekitar 840 danau dan 735 situ (danau kecil)
dengan luas total sekitar 500.000 ha. Danau terluas di Indonesia adalah
Toba (110.260 ha), sedangkan danau yang paling dalam adalah Matano
(600 m).
C. Ekosistem Semiterestrial
Ekosistem semiterestrial merupakan daerah diantara lingkungan limnik
(air tawar) dan marine (air masin). Ekosistem ini memiliki media tanah basah
dan tanah berbatu, memiliki fungsi dan peran penting sehingga termasuk
ekosistem esensial. Ekosistem semiterestrial meliputi :
1. Ekosistem Mangrove
Kelompok tumbuhan yang mampu beradaptasi dengan baik pada
kawasan pasang surut di daerah tropik dan subtropik disebut mangrove.
Pembentukan hutan mangrove dipengaruhi oleh lima faktor utama yaitu
arus air laut, salinitas, substrat, pengaruh darat seperti aliran sungai dan
rembesan air tawar yang masuk, dan keterbukaan terhadap gelombang.
Ekosistem mangrove pada daerah ke arah laut didominasi Avicennia
dan Sonneratia (Sonneratiaceae). Dibelakang kawasan ini terdapat
mintakat yang ditumbuhi bakau Rhizophora (Rhizophoraceae). Setelahnya
pada kawasan dengan substrat yang lebih keras seperti tanah liat ditumbuhi
pohon Bruguiera. Kawasan yang bebatasan dengan darat ditumbuhi
Ceriops (Rhizophoraceae) yang bercampur dengan semak belukar. Pohon
Ceriops saling tumpeng tindih dengan Bruguiera, Heritiera (Malvaceae),
dan Lumnitzera (Combretaceae).
Setiap spesies membutuhkan substrat atau tempat tumbuh yang
berbeda-beda yang juga didukung oleh komponen abiotik (salinitas,
kondisi pasang surut, cahaya, dan pergerakan air) hal ini menjadi faktor
utama yang menentukan komposisi hutan mangrove. Rhizophora
mucronata pada substrat lumpur yang dalam dan lembut, R. stylosa pada
substrat pantai berpasir daerah terumbu karang. Rhizophora akan mati bila
salinitas turun dan digantikan dengan tumbuhan di kawasan belakangnya,
seperti Lumnitzera. Jika arus gelombang sangat kuat, Nypa fruticans
dengan akar yang kuat lebih mampu bertahan. Tumbuhan ini
membutuhkan substrat lembut dan berlumpur seperti di muara sungai.
Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang paling produktif,
menghasilkan serasah daun dan ranting antara 7 dan 8 ton/ha/tahun. Hal ini
menjadi sumber hara bagi rantai makanan perairan yang berawal dari
detritus, sebagian besar produksi organik mendukung ekosistem perairan
pantai. Aliran sungai dan delta yang terbentuk dari tanah liat dan pasir akan
mengakibatkan bertambahnya kawasan mangrove atau ketebalan
mangrove. Muara sungai yang landau dan terbuka membuat mangrove
tumbuh jauh kearah hulu.
Detritus yang dihasilkan membuat mangrove kaya akan bahan
makanan, hal ini menjadikan mangrove sebagai habitat biota laut seperti
ikan dan udang. Hal ini meningkatkan nilai ekonomi perikanan. Peran lain
dari hutan mangrove yaitu melindungi garis pantai dari abrasi, mencegah
intrusi garam, mengurangi pencemaran.
Berdasarkan Badan Informasi Geospasial (BIG) 2013 indonesia
memiliki luas mangrove 3,24 hektar. Setiap ekosistem mangrove memiliki
keanekaragaman jenis yang berbeda. Pulau Jawa memiliki nilai
keanekaragaman jenis yang paling tinggi, sebagian besar gulma dari suku
Chenopodiaceae, Cyperaceae, dan Poaceae. Pada ekosistem mangrove
setidaknya terdapat 48 jenis pepohonan, 5 jenis semak, 9 jenis herba, 2 jenis
parasite, 50 jenis gastropoda, 5 jenis bivalvia, 34 jenis crustacean, dan 30
jenis serangga. Ekosistem mangrove sangat penting dalam mendukung
kehidupan Jenis satwa spesifik, mangrove digunakan sebagai kawasan
konservasi satwa. Terdapat 17 kawasan konservasi satwa liar di Indonesia,
hilangnya ekosistem ini mempengaruhi populasi satwa.
2. Ekosistem Riparian
Riparian berasal dari kata ripa yang berarti “tepian sungai”. Mintakat
riparian merupakan wilayah peralihan antara badan air dan daratan di luar
lingkungan sungai. Ekosistem ini memiliki karakter khas, vegetasi
tumbuhan didominasi oleh tumbuhan yang mampu beradaptasi dengan
perairan dan arus kencang, yaitu tumbuhan hidrofilik dan reofitik.
Wilayah riparian bisa terbentuk secara alami atau dibuat untuk
stabilisasi tanah dan rehabilitasi lahan. Ekosistem ini berperan sebagai
mintakat penyangga (buffer zone) kawasan lainnya. Ekosistem ini
merupakan biofilter yang melindungi lingkungan akuatik dari sedimentasi
yang berlebihan, aliran air permukaan yang terpolusi, dan erosi tanah.
Ekosistem ini berfungsi menyediakan perlindungan dan pakan untuk
hewan akuatik, dan mengatur suhu perairan. Kualitas air yang masuk ke
sungai, baik dari aliran sungai maupun aliran bawah tanah akan terjaga oleh
mintakat riparian. Hal ini penting untuk mengurangi senyawa nitrat dari
penggunaan pupuk di daerah sekitarnya yang berpotensi merusak sungai.
Riparian berfungsi meredam energi aliran air pada aliran sungai dengan
vegetasi dan perakaran sehingga erosi akan berkurang dan mencegah
kerusakan badan sungai akibat banjir. Mintakat riparian juga mengalami
sedimentasi sehingga menurunkan kadar tanah terlarut dalam air.
Ekosistem riparian merupakan habitat satwa dengan keanekaragaman
hayati yang tinggi yang juga berfungsi sebagai koridor satwa yang
munghubungkah satu wilayah dengan wilayah yang lain. Mintakat-
mintakat riparian yang terpelihara menjadi habitat berbagai reptile,
amfibia, burung, dan lainnya. Mintakat ini menghubungkan populasi-
populasi hewan dikawasan hulu dan hilir sungai.
Ekosistem riparian tersusun atas vegetasi yang berbeda-beda, di
Kalimantan jenis vegetasi merupakan anggota suku Leguminosae, seperti
Crudia ripicola, dan Vatica rassak. Jenis ini menghasilak buah sebagai
sumber makanan ikan.
Setiap daerah riparian ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang berbeda
sesuai dengan kemampuan adaptasi tumbuhan terhadap substrat. Famili
Euphorbiaceae, Poaceae, Fagaceae, Melastomataceae, Meliaceae,
Myrtaceae atau Rubiaceae termasuk dalam junis tumbuhan pada aliran
deras. Aglaia rivularis (Meliaceae) dan Lithocarpus sp. (Fagaceae)
merupakan jenis tumbuhan dengan substrat pinggiran sungai dengan
dinding terjal. Pada kawasan riparian juga ditumbuhi kayu ulin
(Eusideroxylon zwageri) dan merbau (Instia palembanica dan I. bijuga)
yang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Satu bentuk lain vegetasi riparian di daerah kering adalah hutan galeri.
Hutan ini merupakan wilayah-wilayah sempit yang selalu hijau
disepanjang aliran sungai, antara hamparan hutan musim, savana atau
padang rumput di wilayah beriklim kering seperti di Nusa Tenggara.
Sungai ini mengering sebagian besar waktu sepanjang tahun tetapi masih
mampu mempertahankan kehijauan vegetasi. Hutan galeri terbentuk di
daratan rendah hingga jurang berbukit sampai ketinggian 2.000 m. Di
daerah pesisir yang bersavana, hutan ini digantikan oleh rawa payau yang
didominasi oleh gebang (Corypha utan) dan diselingi lontar (Borassus
flabellifer).
D. Ekosistem Terestrial (Darat)
Ciri-ciri vegetasi merupakan salah satu komponen ekosistem yang paling
mudah dikenali sehingga sering digunakan untuk mengidentifikasi dan
mendefinisikan batasan-batasan ekosistem terestrial
d. Rawa
Hutan rawa tumbuh dan berkembang pada habitat tanah aluvial dengan
aerasi buruk karena tergenang terus-menerus ataupun secara periodik. Di
sebagian daerah pinggiran sungai, pada musim hujan air sungai meluap dan
menggenangi hutan yang ada di sekitarnya sehingga terbentuk hutan rawa
tergenang musiman. Tipe ekosistem hutan ini banyak terdapat di Sumatra
bagian timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Papua
bagian selatan. Vegetasi penyusun ekosistem hutan rawa bervariasi dari
yang berupa rerumputan, palem dan pandan, sampai berupa pepohonan
menyerupai hutan pamah. Kekayaan jenis pohon dalam ekosistem ini
umumnya rendah dengan beberapa jenis di antaranya Eucalyptus deglupta,
Shorea uliginosa, Campnosperma coriaceum, dan Xylopia malayana.
Di beberapa tempat, hutan rawa juga berkembang di belakang hutan
bakau. Umum nya berupa hutan rawa yang tergenang permanen karena
adanya pengaruh pasang surut sehingga ada kalanya komponen jenis
penyusunnya tercampur jenis bakau seperti nipah (Nypa fruticans) bersama
sagu (Metroxylon sagu) yang mendominasi ekosistem ini.
e. Ekosistem Rawa Gambut
Ekosistem gambut menyimpan karbon terbesar dan berperan dalam
penentuan besar kecilnya emisi karbon setiap tahun yang disebabkan oleh
konversi lahan dan degradasi hutan sehingga dijadikan percontohan
Reduce Emision from Deforestation and Degradation (REDD+). Hutan
gambut juga penyedia jasa lingkungan, sumber plasma nutfah, habitat
biota, karbon, dan siklus air serta produk komoditas lain yang bisa
dimanfaatkan. Hutan gambut tropik merupakan ekosistem esensial yang
kaya akan flora, fauna, dan mikrob endemik. Lebih dari 65% penyusun
gambut adalah bahan organik.
E. Ekosistem Pegunungan
4. Hutan Alpin
Ekosistem Buatan
A. Tegalan
Tegalan adalah areal lahan kering yang biasanya ditanami palawija dan
hortikultura lain. Biasanya usaha tani di lahan kering tegalan menggunakan
pola tanam tumpangsari intensif dengan menggunakan pupuk kimia dan
pestisida. Perubahan pola tanam di area tegalan terus terjadi sesuai dengan
keinginan petani. Pola tanam sangat beragam sesuai dengan kemampuan dan
pertimbangan rasional petani. Perubahan-perubahan pola tanam dipengaruhi
oleh ketersediaan modal, prediksi akan naiknya harga jual hasil pertanian pada
waktu tertentu, dan keinginan serta pengetahuan petani ketika bercocok tanam.
Pola menanam tumpangsari mempunyai fungsi ekologi karena mengurangi
risiko kegagalan akibat serangan hama penyakit terhadap satu jenis tanaman
tertentu atau lingkungan yang kurang baik.
B. Pekarangan
Pekarangan adalah kebun yang berkembang di sekitar rumah dengan
batas tertentu dan ditanami beranekaragam tanaman pangan, obat-obatan,
tanaman hias, pohon untuk bahan bangunan, dan pohon penghasil kayu bakar
guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ternak seperti sapi, kerbau, kambing,
domba, ayam, dan ikan merupakan komponen sumber daya hayati pekarangan.
Pekarangan sering dinamakan juga lumbung pangan karena dari pekarangan
itu sebuah keluarga dapat menggantungkan kebutuhan pangannya sehari-hari.
Bahkan energi untuk memasak berupa kayu bakar pun diperoleh dari
pekarangan.
C. Persawahan
Pada dasarnya, yang menjadi tanaman utama di sawah adalah padi.
Persawahan juga dikenal dari banyak jenisnya yang dibedakan atas dasar
pengairan dan cara bertanam padi dengan tanaman semusim lainnya. Beberapa
macam sawah yang dikenal adalah sebagai berikut.
1. Sawah irigasi
Sawah irigasi pengairannya bergantung pada pasokan air yang telah
diatur oleh saluran irigasi yang sumbernya berasal dari pegunungan,
bendungan atau air yang mengalir karena gravitasi. Di daerah datar
pengaliran air kadang harus dibantu dengan alat seperti pompa air dan
kincir.
2. Sawah tadah hujan
Sawah tadah hujan adalah sawah yang pengairannya mengandalkan air
hujan. Sawah tadah hujan hanya dapat ditanami pada waktu musim hujan
saja. Tipe sawah ini dijumpai di daerah yang sistem irigasinya belum
dikembangkan.
3. Sawah surjan
Di daerah yang sering dilanda banjir, biasanya dikembangkan sawah
surjan. Pada guludan biasanya ditanam palawija, seperti kacang tanah,
jagung, kedelai, sedangkan padi ditanam di parit-paritnya. Nama surjan
diberikan karena deretan palawija dan padi yang membentuk pola berbeda-
berbeda sehingga menyerupai garis-garis seperti pada baju surjan yang
terbuat dari tenun lurik.
4. Sawah rawa
Sawah ini dikembangkan di lahan datar yang tergenang air secara
permanen karena drainase yang tidak baik dan sumber air adalah curah
hujan.
5. Sawah pasang surut
Sawah pasang surut diairi oleh air sungai secara alami dari pasang
harian air laut. Tipe sawah ini banyak dikembangkan di daerah rawa
gambut sekitar sungai-sungai besar di Kalimantan dan Sumatra. Ada
beberapa cara bertanam yang diterapkan di berbagai tipe sawah. Di sawah
surjan, misalnya, padi ditanam di bagian yang rendah dengan air
menggenang, sedangkan cabai, tomat, jagung ditanam di bagian yang
tinggi sehingga dari jauh tampak tanaman padi dan nonpadi berderet-deret
tumbuhnya.
D. Kebun Campuran
Kebun campuran merupakan tipe ekosistem buatan berupa kebun, talun,
perkebunan, dan ladang.
1. Kebun
Kebun merupakan agro-ekosistem yang umumnya dikembangkan di
daerah beriklim kering. Kebun yang ditanami padi dikenal sebagai huma.
Kebun yang luasnya agak besar yang ditanami contohnya adalah kebun
jagung, ketela rambat, dan ketela pohon.
2. Talun
Talun merupakan tipe ekosistem buatan yang menyerupai pekarangan.
Jenis tanaman yang ada sebenarnya sama dengan pekarangan, tetapi lebih
banyak. Jenis tanaman umumnya adalah sebagai penghasil bahan
bangunan dan kayu bakar.
3. Perkebunan
Perkebunan adalah agro-ekosistem yang komponennya terdiri atas
komoditas tanaman komersial yang umumnya dikembangkan secara
monokultur dalam skala besar. Contohnya adalah perkebunan karet,
kelapa, dan kelapa sawit.
4. Ladang berpindah
Ladang berpindah adalah agro-ekosistem yang komponen tumbuhannya
berupa tanaman pangan dan sebagian besar dikembangkan dilahan kering
melalui proses penebangan dan pembakaran. Pembakaran merupakan cara
untuk membersihkan lahan agar siap tanam. Jenis-jenis tanaman yang
dibudidayakan di ladang ini adalah tanaman pangan menahun untuk jangka
waktu 2–3 tahun dengan pengelolaan yang minimum. Ladang kemudian
diistirahatkan selama 5–20 tahun, bergantung pada kesuburan tanahnya.
Selama waktu bera, peladang mengembangkan ladang di tempat lain.
Waktu istirahat yang panjang memungkinkan lahan menjadi hutan kembali
sehingga kesuburan tanah pun kembali pulih. Di bidang kehutanan,
perkebunan budi daya utamanya adalah jenis-jenis kayu. Untuk
membedakannya dengan agro-ekosistem yang tanaman utamanya adalah
tanaman pangan maka di bidang kehutanan sistem pertanaman nya
dinamakan agro-forestri.
Menurut de Foresta et al. (2000), konsep pengembangan kebun petani
adalah berdasarkan kebutuhan akan jenis-jenis ser baguna yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari segi jenis tanaman yang
dibudidayakan, kebun pekarangan di Jawa dapat dikelompokkan pada
sistem agro-forestri atau perhutanian karena kebun-kebun ini memadukan
berbagai tanaman yang tergolong jenis-jenis kehutanan, seperti jenis-jenis
kayu dan tumbuhan obat dengan tanaman pertanian seperti ketela pohon
dan jagung. Beberapa contoh sistem agro-forestri yang ada di Indonesia
adalah repong di pesisir Krui Lampung, kebun karet campuran di Jambi,
Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah, tembawang di Kalimantan Barat,
pelak di Kerinci, kebun durian campuran di Gunung Palung, Kalimantan
Barat, parak di Maninjau, Sumatra Barat, dan kebun pepohonan campuran
di sekitar Bogor
E. Kolam
Ekosistem kolam merupakan ekosistem yang dinamik dan disebut
ekosistem karena di dalamnya terdapat komponen biotik, abiotik, dan
dekomposer yang saling berinteraksi membentuk daur materi dan aliran energi
dalam satu kesatuan sistem. Ekosistem ini mempunyai kedalaman 4–5 m dan
masih memungkinkan tumbuh-tumbuhan untuk dapat tumbuh di semua
ekosistem perairan. Dalam ekosistem kolam terjadi kompetisi, simbiosis, dan
bila terjadi perubahan komponen ekosistem akan berpengaruh pada komponen
ekosistem lainnya sehingga dapat mengubah kinerja dalam ekosistem tersebut.
F. Tambak
Seperti halnya ekosistem kolam, tambak juga merupakan ekosistem
yang dinamik. Ekosistem ini mempunyai kedalaman 4–5 m sehingga
memungkinkan tumbuh-tumbuhan untuk dapat berkembang. Ekosistem
tambak terbentuk oleh percampuran air laut dan air tawar. Oleh karena itu,
dijumpai organisme yang hidup di wilayah peralihan antara lingkungan air laut
dan air tawar. Dalam ekosistem tambak juga terjadi kompetisi, sim-biosis, dan
bila terjadi perubahan komponen ekosistem akan berpengaruh pada komponen
ekosistem lainnya sehingga dapat mengubah kinerja dalam ekosistem tersebut.