Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

OS PTERYGIUM GRADE II
ODS KATARAK IMATUR
ODS PRESBIOPIA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Mata RST dr. Soedjono Magelang

Disusun Oleh:

Ratih Atika Septiani

30101307542

Pembimbing:

dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp. M.

dr. YB. Hari Trilunggono, Sp. M.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN
OS PTERYGIUM GRADE II
ODS KATARAK IMATUR

Diajukan untuk memenuhi syarat Ujian Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Mata RST Tingkat II

dr. Soedjono Magelang

Telah disetujui dan dipresentasikan

pada tanggal: 31 Juli 2019

Disusun oleh:

Ratih Atika Septiani

30101307542

Dosen Pembimbing,

dr. Dwidjo Pratiknjo, Sp.M dr. YB. Hari Trilunggono, Sp.M

2
BAB I
STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 68 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Magelang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Sudah menikah
Agama : Islam

2. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 26 Juli 2019 di
Poli Mata RST dr. Soedjono Magelang
a. Keluhan Utama
Mata kiri terdapat selaput dan pandangan mata kanan dan kiri kabur.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli mata RST dr. Soedjono Magelang pada
tanggal 26 Juli 2019 dengan keluhan terdapat selaput pada mata kiri sejak 3
tahun yang lalu. Selaput awalnya tipis dan hanya terdapat pada bagian putih,
namun dirasakan semakin melebar hingga mencapai bagian hitam pada mata.
Pasien mengatakan mata kirinya sering terasa berair terutama bila terkena
angin dan mengganjal. Keluhan yang dirasakannya makin memberat dalam 5
minggu terakhir ini disertai gatal pada mata kiri. Adanya selaput pada mata
sebelah kiri pasien tersebut tidak sampai mengganggu pandangan dalam
beraktifitas. Pasien menyangkal adanya benda asing yang masuk ke matanya.
Mata sering terpapar angin, debu, asap dan sinar matahari langsung.
Pasien juga mengatakan penglihatan mata kanan dan kiri kabur
sejak 1,5 tahun yang lalu. Awalnya mata terasa berkabut, namun lama
kelamaan pasien merasa semakin kabur. Pasien mengaku saat itu masih dapat
membaca tulisan tanpa kacamata baca. Pada keadaan ini pasien lebih nyaman

3
melihat pada malam hari daripada siang hari. Pasien menyangkal mata kanan
dan kiri melihat pelangi di sumber cahaya. Riwayat trauma sebelumnya
disangkal oleh pasien.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat terpapar debu, angin dan sinar matahari : diakui
 Riwayat gejala serupa sebelumnya : disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Hipertensi : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Suadara kandung, saudara sepupu, maupun anaknya tidak ada yang
memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pengobatan di tanggung BPJS, Kesan ekonomi cukup.

3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Umum
 Kesadaran : Compos mentis
 Aktivitas : Normoaktif
 Kooperatif : Kooperatif
 Status gizi : Baik

B. Vital Sign
 TD : 130/80 mmHg
 Nadi : 88 x/menit
 RR : 20 x/menit
 Suhu : tidak diperiksa

4
C. Status Ophthalmicus
Oculus Dexter Oculus Sinister

Skema

Skema funduskopi

Oculus Dexter Oculus Sinister

5
No. Pemeriksaan Oculus Dexter Oculus Sinister

6/12 NC 6/15 NC
1. Visus
Add S+3,00 J6

Bulbus okuli Bulbus okuli Bulbus okuli

- Gerak bola mata Baik ke segala arah Baik ke segala arah


2. - Enoftalmus - -
- Eksoftalmus - -
- Strabismus Tidak ditemukan Tidak ditemukan

3. Supersilia Normal Normal

Palpebr
--
Palpebra Superior : aSuperiInferio:
- Edema - -
- Hematom - -
- Hiperemia - -
4. - Entropion - -
- Ektropion - -
- Blefarospasme - -
- Silia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
- Ptosis - -
- Sekret - -

Palpebr
aSuior-Inferior Palpe
Palpebra Inferior :
- -
- Edema
- -
- Hematom
- -
- Hiperemia
- -
5. - Entropion
- -
- Ektropion
- -
- Blefarospasme
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
- Silia

6
Konjungtiva :
- Injeksi konjungtiva - -
- Injeksi siliar - -
- Sekret - -
- Laserasi - -
- Bangunan Patologis Tidak ditemukan Terdapat jaringan
fibrovaskuler berwarna
6.
kemerahan berbentuk
segitiga berukuran
5 x 3 mm di
konjungtiva bulbi pada
bagian nasal, tipis dan
pembuluh darah sedikit
Kornea :
- Kejernihan Jernih Jernih
- Edema - -
- Infiltrat - -
- Sikatrik - -
- Ulkus - -
- Pannus Tidak ditemukan Tidak ditemukan
- Fluoresein test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
7.
- Bangunan Patologis Tidak ditemukan Terdapat jaringan
fibrovaskuler
berbentuk segitiga
berwarna kemerahan
melewati limbus
kornea < 2 mm di
bagian nasal, tipis dan
pembuluh darah sedikit
COA :
- Kedalaman Dalam Dalam
- Hifema - -
8.
- Hipopion - -
- Tyndal effect - -

Iris :
- Kripta Normal Normal
- Edema - -
9.
- Sinekia
 Anterior - -
 Posterior - -

7
Pupil :
- Bentuk Bulat Bulat
- Diameter 2 mm 2 mm
10.
- Reflek pupil + +

Lensa:
- Kejernihan Keruh sebagian Keruh sebagian
11. - Iris shadow + +
- Snow flake - -
- Edema - -
Corpus Vitreum
- Kejernihan Jernih Jernih
12.
- Floaters Tidak ditemukan Tidak ditemukan
- Hemoftalmus - -
13.
Retina:
Fundus Refleks Agak suram Agak suram

Funduskopi
Fokus 0 0
- Papil N II Bulat, berbatas tegas, Bulat, berbatas tegas,
berwarna orange, CDR berwarna orange, CDR
0.3, miopic crescent 0.3, miopic crescent
tidak ditemukan tidak ditemukan
- Vasa
a. AV Ratio 2:3 2:3
b. Mikroaneurisma - -
c. Neovaskularisasi - -
14.
- Macula
a. Fovea Refleks + +
b. Eksudat - -
c. Edema - -

- Retina
a. Ablasio retina Tidak ditemukan Tidak ditemukan
b. Edema - -
b. Bleeding - -
15. TIO (Palpasi) Tidak meningkat Tidak meningkat

8
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
o OS pterygium Grade II
o Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium
adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi
berupa astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.
o ODS Katarak Imatur
Pemeriksaan laboratorium : GDS

E. DIAGNOSA BANDING
1. OS Pterygium Grade II
a. OS Pterygium Grade II
Ditegakkan  karena pada pterygium grade 2 pertumbuhan
jaringan selaput fibrovaskular pada konjungtiva sudah meliputi kornea <
2mm dari limbus.. Pada pasien ini mengeluh mata kiri terasa seperti ada
yang mengganjal dan berarir bila terkena angin. Pada mata kiri pasien
terdapat jaringan fibrovaskular yang berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau daerah kornea yang merupakan tanda khas dari
pterygium. Pasien memiliki riwayat terpapar, angin, debu, asap dan sinar
matahari langsung. Pada pemeriksaan didapatkan pertumbuhan jaringan
fibrovaskuler sudah meliputi kornea < 2 mm dari limbus pada bagian
nasal kornea tapi belum melewati pupil.
b. OS Pterygium Grade III
Disingkirkan karena pada pterygium grade 3 pertumbuhan jaringan
selaput fibrovaskular pada konjungtiva sudah meliputi kornea > 2mm
dari limbus. Sedangkan pada pasien ini pertumbuhan jaringan meliputi
kornea < 2mm dari limbus pada bagian nasal kornea tetapi belum
melewati pupil.
c. OS pterygium Grade IV
Disingkirkan karena pada pterygium grade 4 pertumbuhan jaringan
selaput fibrovaskular sudah melewai pupil sehingga mengganggu
penglihatan. Sedangkan pada pasien ini pertumbuhan jaringan selaput

9
fibrovaskular sudah meliputi kornea < 2mm dari limbus pada bagian
nasal kornea tetapi belum melewati pupil sehingga belum mengganggu
pengelihatan.
d. OS Pterygium Grade 1
Disingkirkan karena pada Pterygium grade I pertumbuhan jaringan
selaput fibrovaskular pada konjungtiva sebelah nasal hanya sebatas pada
limbus kornea. Sedangkan pada pasien ini pertumbuhan jaringan meliputi
kornea < 2mm dari limbus pada bagian nasal kornea tetapi belum
melewati pupil.
e. OS Pseudopterygium
Disingkirkan karena pada pseudopterygium didapatkan adanya
riwayat trauma pada kornea serta ada perlekatan antara konjungtiva dan
kornea akibat ulkus di kornea yang menahun, dapat dimasukkan sonde
dibawahnya. Sedangkan pada pasien ini riwayat trauma sebelumnya
disangkal, tidak ada perlekatan antara konjungtiva dan kornea, dan tidak
dapat dimasukan sonde dibawahnya
f. OS Pinguekula
Disingkirkan karena pada pinguekula didapatkan degenerasi hialin
jaringan submukosa berbentuk bulat, kecil, meninggi, masa kekuningan
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra.
Sedangkan pada pasien berbentuk segitiga dengan dasar pada
conjungtiva dan puncak mengarah ke kornea.

2. ODS Katarak Senilis Imatur


 ODS Katarak Senilis Imatur
Ditegakkan karena dari hasil anamnesis pasien merasa pandangan
semakin lama semakin kabur. Melihat saat siang dan malam lebih jelas.
Pemeriksaan visus didapatkan hasil OD 6/12 nc; OS 6/15 nc, didapatkan
kekeruhan lensa sebagian, iris shadow (+), fundus refleks agak suram dan
TIO tidak meningkat.
 ODS Katarak Senilis Matur
Disingkirkan karena dari hasil pemeriksaan tidak didapatkan visus
1/300, seluruh lensa mengalami kekeruhan, sedangkan pada pasien ini

10
pemeriksaan visus didapatkan hasil OD 6/12 nc; OS 6/15 nc, didapatkan
kekeruhan lensa sebagian,
 ODS Katarak Senilis Hipermatur
Disingkirkan karena dari hasil pemeriksaan didapatkan visus 1/300.
Lensa kekeruhan total namun bersifat masif dan telah mencair, selain itu
dididapatkan pseudopositif, sedangkan pada pasien ini pemeriksaan visus
didapatkan hasil OD 6/12 nc; OS 6/15 nc, didapatkan kekeruhan lensa
sebagian, iris shadow (+).
 ODS Katarak Komplikata
Disingkirkan karena hasil pemeriksaan didapatkan lensa tampak
keruh tidak rata, dan mempunyai riwayat DM sedangkan pada pasien ini
didapatkan kekeruhan lensa sebagian, dan pasien tidak mempunyai
riwayat DM dan riwayat hipertensi
 ODS Katarak Traumatik
Disingkirkan karena dari hasil anamnesis ada riwayat trauma pada
mata, sedangkan pada pasien ini tidak memiliki riwayat trauma pada
mata.
3. ODS Presbiopia
 ODS Presbiopia
Ditegakkan karena usia pasien sudah 63 tahun. Pasien
mengeluhkan kesulitan melihat benda - benda kecil dari jarak dekat dan
harus dijauhkan.
 ODS Hipermetropia
Disingkirkan karena pada hipermetropia ditemukan gejala
penglihatan kabur saat melihat jauh dan jika didekatkan mata makin
kabur. Sedangkan pada pasien mengeluhkan kesulitan untuk melihat
benda - benda kecil dari jarak dekat dan harus dijauhkan agar terlihat
lebih jelas.

6. DIAGNOSA KERJA
 OS Pterygium Grade II
 ODS Katarak Imatur

11
 ODS Presbiopia

7. TERAPI
 OS Pterygium Grade 2
o Medikamentosa
 Topikal
 Dexamethasone sodium phosphate 1 mg, Polymixin B
sulphate 6000 IU, Neomycin sulfate 3,5mg
(Polidemisin) ED 3x1 tetes OS
 Oral
 Tidak diberikan
 Parenteral
 Tidak diberikan
 Operatif
 Bare sclera excision, simple closure, sliding flaps,
rotational flap, conjungtival graft, amnion membran
transplantation.
o Non Medikamentosa
 -

 ODS Katarak Senilis Imatur


o Medikamentosa :
 Topikal
 CaCl2 anhidrat, Kalium Iodida, Natrium tiosulfat, Fenil
merkuri nitra. (Catarlent) ED 3x1 gtt ODS
 Oral
 lycopene, vit E, vit C, folic acid, Niacinamide,
selenium (Noros) 1x1
 Parenteral : -
 Operatif :
 Phacoemulsification + IOL, EKEK+IOL, SICS+IOL
o Non Medikamentosa : -

12
 ODS Presbiopia
o Medikamentosa
 Oral :-
 Topikal :-
 Parenteral :-
 Operatif :-
o Non Medikamentosa : dengan kacamata add Sferis
+3,00 Dioptri sesuai dengan umur pasien 63 tahun.

8. EDUKASI
OS Pterygium Grade 2
 Menjelaskan kepada pasien bahawa selaput pada mata kirinya diakibatkan
karena mata pasien sering terpapar oleh angin, debu dan sinar matahari.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput pada matanya dapat tumbuh
hingga dapat menutup bagian hitam pada matanya. Apabila dibiarkan
selaput pada matanya akan mengganggu penglihatan.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa obat tetes matanya hanya untuk
mengurangi gejala iritasi pada mata, namun tidak mengurangi ukuran
selaput pada matanya.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa selaput dimata kirinya tidak dapat
hilang dengan obat, tetapi harus dengan operasi untuk memperbaiki dari
segi kosmetika. Namun apabila telah dioperasi tidak menutup
kemungkinan akan terjadi kekambuhan pada mata kirinya
 Menjelaskan kepada pasien bahwa ada kemungkinan selaput akan tumbuh
di mata yang lainnya, apabila mata pasien sering terpapar oleh angin,
debu, dan sinar matahari.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa penggunaan kacamata selain dapat
membantu mengatasi masalah pengelihatan pasien dapat juga dipakai
sebagai pelindung mata agar tidak terpapar angin, debu, dan asap sehingga
pertumbuhan selaput mata pasien tidak akan progresif.

ODS Katarak Senilis Imatur

13
 Menjelaskan bahwa visusnya berkurang disebabkan karena adanya
kekeruhan pada lensa mata pasien.
 Memberi penjelasan kepada pasien bahwa katarak tidak dapat di
sembuhkan lewat obat, obat fungsinya hanya untuk menghambat dari
pertumbuhan katarak
 Menjelaskan kepada pasien bahwa katarak dapat di hilangkan dengan
operasi tetapi yg di operasi terlebih dahulu yaitu mata kanan, karena lensa
mata kanan lebih keruh dari mata kiri.
 Menjelaskan kepada pasien setelah di operasi pasien kembali
menggunakan kacamata tidak seperti sebelum operasi yg dapat membaca
tanpa kacamata.
 Menjelaskan pasien apabila ada keluhan melihat pelangi di sumber cahaya.
harap segera berobat ke rumah sakit karena kemungkinan terjadi
komplikasi berupa Glaukoma Sekunder

ODS Presbiopia
 Menjelaskan bahwa keluhan sulit membaca dekat yang dialami pasien
disebabkan oleh proses penuaan pada mata, dan akan terus bertambah
sampai usia 60 tahun. Karena keluhan tersebut akan terus bertambah
pasien disarankan untuk kontrol rutin untuk menyesuaikan ukuran
kacamatanya
 Menjelaskan kepada pasien untuk menggunakan kacamata terutama saat
membaca atau melakukan pekerjaan tertentu.

9. KOMPLIKASI
 OS Pterigium

Astigmatisma
Diplopia

 ODS Katarak Imatur


Glaukoma Sekunder Sudut Tertutup

 ODS Presbiopia
Tidak ada

14
10. RUJUKAN
Dalam kasus ini tidak dilakukan Rujukan ke Disiplin Ilmu Kedokteran
Lainnya, karena dari pemeriksaan klinis tidak ditemukan kelainan yang
berkaitan dengan Disiplin Ilmu Kedokteran lainnya.

11. PROGNOSIS
Prognosis Oculus Dexter Oculus Sinister
Quo ad visam Dubia ad bonam Dubia ad bonam

Quo ad sanam Dubia ad bonam Dubia ad bonam

Quo ad functionam ad bonam ad bonam

Quo ad cosmeticam Dubia ad bonam Dubia ad bonam

Quo ad vitam ad bonam ad bonam

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PTERYGIUM
DEFINISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler
pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya
bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap
ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus.
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di
daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian
pterygium akan berwarna merah.

EPIDEMIOLOGI

Pterigium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dan memiliki


resiko 4 kali lebih besar dari perempuan dan berhubungan dengan merokok,
pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah. Pteregium jarang
sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun. Prevalensi
pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari
kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang
(rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua.

16
Pada pasien dengan umur diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai
insidensi pterigium yang paling tinggi.
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor
yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang
terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi
sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang
terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang
terletak di daerah ekuator, yaitu 13%.

FAKTOR RESIKO

Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni


radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.
a) Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya
pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea
dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang,
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor
penting.
b) Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
c) Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong
juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan
pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang

17
rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus
papilloma juga penyebab dari pterygium.
d) Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak
ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan
berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga.
e) Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering
dengan sinar UV.
f) Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi
geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang
dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa
memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga
menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada
garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih
besar dibandingkan daerah yang lebih selatan.

PATOGENESIS

Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar


matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di
bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan
kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.
Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan

18
untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia.
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen
abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia
dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan
Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya
normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan
sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan
sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering
berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul
astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut stadium 3 dan 4 dapat
menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

DIAGNOSA

a. Anamnesis
Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah,
gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan
adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada
daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya.

19
b. Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat
pula ditemukan pterygium pada daerah temporal.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa
astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium.

KLASIFIKASI
Berdasarkan Tipenya dibagi atas 3 :
a) Tipe I : kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea
pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit
besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala . Lesi sering asimptomatis,
meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak
dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b) Tipe II : di sebut juga tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optik. Pada tubuh sering nampak kapiler-kapiler yang
membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
c) Tipe III: primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk
yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.
Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas
khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva
yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mata serta kebutaan

20
Berdasarkan stadium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

 Derajat 1 : jika hanya terbatas pada limbus kornea.

 Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati kornea.

 Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata
dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)

 Derajat 4 : pertumbuhan melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

21
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dibagi menjadi 2 yaitu:

a) progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
b) regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi
tidak pernah hilang.

Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di dan harus diperiksa


dengan slit lamp dibagi 3 yaitu:

a) T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat


b) T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
c) T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

DIAGNOSA BANDING

Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium.


Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva
yang berbeda dengan pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi
antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya
termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium
menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah
dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi
defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek temporal.

Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang


merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun
karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi
tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.

22
PENATALAKSANAAN

a. Konservatif

Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann


konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun
paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan
pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.
b. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler
5. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtata
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan
operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam
penanganan pterygium di antaranya adalah:

23
 Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan
untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus.
Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.
 Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil).
 Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi
sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit.
 Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren,
mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru
mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan fibroblast . Pemberian
mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren
tetapi jarang digunakan.

KOMPLIKASI

Komplikasi meliputi sebagai berikut:


Pra-operatif:
1. Astigmatisma
Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh adalah astigmat
karena dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat
adanya mekanisme penarikan oleh serta terdapat pendataran
daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan
dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum
jelas. Hal ini diduga akibat “tear meniscus” antara puncak kornea
dan peninggian . Astigmat yang ditimbulkan oleh adalah astigmat
“with the rule” dan iireguler astigmat.
2. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi
penglihatan dan menyebabkan diplopia.

24
Intra-operatif:
Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen
(thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan
eksisi dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara
umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan.
Pasca-operatif:
Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut:
1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea,
graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan
ablasi retina.
2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia
atau nekrosis sklera dan kornea
3. rekuren.

PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.
Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion

B. KATARAK
DEFINISI
Setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau akibat keduanya.
Biasanya kekruhan mengenai kedua mata dan berjalan progresif ataupun
dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama.

FAKTOR RISIKO
- Faktor individu
Faktor individu yang mempengaruhi diantaranya ras, keturunan dan usia
pasien
- Faktor lingkungan

25
Bahan toksik dan merokok merupakan faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi
- Faktor nutrisi
Orang yang tinggal di daerah pegunungan banyak mengkonsumsi protein
hewani yang bisa menghambat katarak dengan jalan mencegah denaturasi
protein
- Faktor protektif
Faktor protektif diantaranya adalah keracunan obat dan penggunaan
kortikosteroid
Beberapa penelitian menyatakan, bahwa katarak senilis dipercepat oleh
beberapa faktor antara lain : penyakit diabetes melitus, hipertensi dengan
sistole naik 20 mmHg, paparan sinar ultraviolet B dengan panjang gelombang
antara 280-315 μm lebih dari 12 jam, indeks masa badan lebih dari 27, asap
rokok lebih dari 10 batang/hari baik perokok aktif maupun pasif.

EPIDEMIOLOGI
Katarak senilis terjadi pada usia lanjut, yaitu di atas 50 tahun. Insidensi
katarak di dunia mencapai 5-10 juta kasus baru tiap tahunnya. Katarak senile
merupakan penyebab utama kebutaan, sangat sering ditemukan dan bahkan dapat
dikatakan sebagai suatu hal yang dapat dipastikan timbulnya dengan
bertambahnya usia penderita.
Di negara berkembang, katarak merupakan 50-70% dari seluruh penyebab
kebutaan, selain kasusnya banyak dan munculnya lebih awal. Di Indonesia, pada
tahun 1991 didapatkan prevalensi kebutaan 1,2% dengan kebutaan katarak sebesar
0,67% dan tahun 1996 angka kebutaan meningkat 1,47%.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Kekeruhan pada lensa dapat disebabkan oleh kelainan kongenital mata,
trauma, penyakit mata, proses usia atau degenerasi lensa, kelainan sistemik seperti
diabetes melitus, riwayat penggunaan obat-obatan steroid dan lainnya. Kerusakan
oksidatif oleh paparan sinar ultraviolet, rokok dan alkohol, dapat meningkatkan
risiko terjadinya katarak (Ilyas, S. 2007).

26
Penyebab katarak senile sampai sekarang masih belum diketahui secara
pasti. Ada beberapa konsep penuaan yang mengarah pada proses terbentuknya
katarak senil (Ilyas, S. 2007) :
- Jaringan embrio manusia dapat membelah 50 kali kemudian akan mati
- Teori cross-link yang menjelaskan terjadinya pengikatan bersilang asam
nukleat dan molekul protein sehingga mengganggu fungsi
- Imunologis, dengan bertambahnya usia menyebabkan bertambahnya cacat
imunologis sehingga mengakibatkan keruasakan sel.
- Teori mutasi spontan dan teori radikal bebas
Pada dasarnya, semua sinar yang masuk ke mata harus terlebih dahulu
melewati lensa. Karena itu setiap bagian lensa yang menghalangi, membelokkan
atau menyebarkan sinar bisa menyebabkan gangguan penglihatan. Pada katarak
terjadi kekeruhan pada lensa, sehingga sinar yang masuk tidak terfokuskan pada
retina, maka bayangan benda yang dilihat akan tampak kabur (Ilyas, S. 2007).

GAMBARAN KLINIS
Seorang penderita katarak mungkin tidak menyadari telah mengalami
gangguan katarak. Katarak terjadi secara perlahan-lahan, sehingga penglihatan
penderita terganggu secara berangsur, karena umumnya katarak tumbuh sangat
lambat dan tidak mempengaruhi daya penglihatan sejak awal. Daya penglihatan
baru terpengaruh setelah katarak berkembang sekitar 3-5 tahun. Karena itu, pasien
katarak biasanya menyadari penyakitnya setelah memasuki stadium kritis (Ilyas
S., 2007; Daniel V. et al, 2000).
Gejala umum gangguan katarak meliputi (Ilyas, S. 2007) :
- Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek
- Peka terhadap sinar atau cahaya
- Dapat melihat ganda pada satu mata
- Kesulitan untuk membaca
- Lensa mata berubah menjadi buram

KLASIFIKASI KATARAK

27
Katarak dapat diklasifikasikan berdasarkan usia, letak kelainan pada lensa
maupun berdasarkan stadiumnya (Daniel V. et al, 2000).
a. Berdasarkan Usia
1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun
2. Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia > 3 bulan tetapi kurang
dari 9 tahun
3. Katarak senil, katarak setelah usia 50 tahun
b. Bedasarkan Letak
1. Katarak Nuklear
Katarak yang lokasinya terletak pada bagian tengah lensa atau nukleus.
Nukleus cenderung menjadi gelap dan keras (sklerosis), berubah dari jernih
menjadi kuning sampai coklat. Biasanya mulai timbul sekitar usia 60-70
tahun dan progresiviasnya lambat. Bentuk ini merupakan bentuk yang
paling banyak terjadi. Pandangan jauh lebih dipengaruhin daripada
pandangan dekat, bahkan pandangan baca dapat menjadi lebih baik, sulit
menyetir pada malam hari. Penderita juga mengalami kesulitan
membedakan warna, terutama warna biru dan ungu (Daniel V. et al, 2000).
2. Katarak Kortikal
Katarak menyerang lapisan yang mengelilingi nukleus atau korteks,
biasanya mulai timbul sekitar usia 40-60 tahun dan progresivitasnya lambat.
Terdapat wedge-shape opacities/cortical spokes atau gambaran seperti ruji.
Banyak pada penderita DM, dengan keluhan yang paling seringa yaitu
penglihatan jauh dan dekat terganggu, disertai penglihatan merasa silau
(Daniel V. et al, 2000).

28
Gambar 2. Katarak Nuklear dan Katarak Kortikal

3. Katarak Subkapsularis Posterior


Bentuk ini terletak pada bagian belakang dari kapsul lensa. Katarak
subkapsularis posterior lebih sering pada kelompok usia lebih muda daripada
katarak kortikal dan katarak nuklear. Biasanya timbul pada usia sekitar 40-60
tahun dan progresivitasnya cepat, bentuk ini lebih sering menyerang orang
dengan diabetes obesitas atau pemakaian steroid jangka panjang. Katarak ini
menyebabkan kesulitan membaca, sulau, pandangan kabur pada kondisi cahaya
terang (Daniel V. et al, 2000).

Gambar 3. Katarak Subscapsular dan Katarak Lanjut

c. Berdasarkan Stadium (untuk katarak senilis)


1. Katarak Insipien
Pada stadium ini kekeruhan lensa tidak teratur, tampak seperti bercak-bercak
yang membentuk gerigi dengan dasar di perifer dan daerah jernih diantaranya,
kekeruhan biasanya terletak di korteks anterior dan posterior. Kekeruhan ini

29
pada awalnya hanya nampak jika pupil dilebarkan. Pada stadium ini, terdapat
keluhan poliopia yang disebabkan oleh indeks refraksi yang tidak sama pada
semua bagian lensa. Bentuk ini kadang menetap untuk waktu yang lama (Ilyas,
S. 2007).
2. Katarak Imatur
Pada katarak imatur, terjadi kekeruhan
yang lebih tebal, tetapi belum mengenai
semua lapisan lensa sehingga masih
terdapat bagian-bagian yang jernih pada
lensa. Terjadi penambahan volume lensa
akibat meningkatnya tekanan osmotik
bahan lensa yang degeneratif. Pada keadaan lensa yang mencembung akan
dapat menimbulkan hambatan pupil, mendorong iris ke depan,
mengakibatkan bilik mata dangkal sehingga terjadi glaukoma sekunder.
Pada pemeriksaan uji bayangan iris atau shadow test, maka akan terlihat
bayangan iris pada lensa, sehingga hasil uji shadow test (+) (Ilyas, S.
2007).

3. Katarak Intumesen
Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat lensa yang degeneratif
menyerap air. Masuknya air ke dalam lensa menyebabkan lensa menjadi
bengkak dan besar yang akan mendorong iris sehingga bilik mata menjadi
dangkal dibandingkan dalam keadaan normal. Katrak intumesen biasanya
terjadi pada katarak yang berjalan cepat dan menyebabkan miopia lentikular
(Ilyas, S. 2007).

4. Katarak Matur
Pada katarak matur kekeruhan telah
mengenai seluruh lensa. Proses degenerasi
yang berjalan terus maka akan terjadi
pengeluaran air bersama hasil disintegrasi
melalui kapsul, sehingga lensa kembali ke

30
ukuran normal. Bilik mata depan akan berukuran kedalaman normal
kembali. Tidak terdapat bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga
bayangan iris negatif (Ilyas, S. 2007).
5. Katarak Hipermatur
Merupakan proses degenerasi lanjut lensa, sehingga masa lensa yang
mengalami degenarsi akan mencair dan keluar melalui kapsul lensa. Lensa
menjadi mengecil dan berwarna kuning. Bila proses katarak berjalan lanjut
disertai kapsul yang tebal., maka korteks yang berdegenerasi dan cair tidak
dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan sekantong susu dengan
nukleus yang terbenam di korteks lensa. Uji banyangan iris memberikan
gambaran pseudopositif (Ilyas, S. 2007).

Tabel 1. Perbandingan Katarak Berdasarkan Stadium

DIAGNOSIS BANDING

31
1. Katarak Diabetik
Merupakan katarak yang terjadi akibat adanya penyakit diabetes melitus.
Katarak bilateral dapat terjadi karena gangguan sistemik, seperti salah satnnya
pada penyakit diabetes melitus. Katarak pada diabetes meluts dapat terjadi
da;am 3 bentuk (Ilyas, S. 2007) :
- Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia nyata, pada
lensa akan terlihat kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut.
Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang
bila terjadi rehidrasi dan kadar gula normal kembali
- Pasien diabetes juvenile dan tua tidak terkontrol, dimana terjadi katarak
serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau
bentuk piring subkapsular
- Katarak pada pasien diabetes dewasa dimana gambaran secara
histopatologi dan biokimia sama dengan katarak pasien non-diabetik
2. Katarak Komplikata
Merupakan katarak akibat penyakit mata lain seperti radang dan porses
degenerasi seperti ablasi retina, retinitis pigmentosa, glaukoma, tumor
intraokular, iskemia okular, nekrosis anterior segmen, buftalmos, akibat suatu
trauma dan pasca bedah mata (Ilyas, S. 2007).
Katarak komplikata dapat pula disebabkan oleh penyakit sistemik
endokrin, seperti diabetes melitu, hipoparatiroid, galaktosemia dan miotonia
distrofi, maupun disebabkan oleh keracunan obat (tiotepa intravena, steroid
lokal lama, steroid sistemik, oral kontraseptik dan miotika antikolinesterase).
Katarak komplikata memberikan tanda khusus dimana kekeruhan dimulai di
daerah bawah kapsul atau pada lapis korteks, kekeruhan dapat difus, pungtata,
linier, rosete, reticulum dan biasanya terlihat vakuol (Ilyas, S. 2007)
3. Katarak Traumatik
Katarak jenis ini paling sering disebabkan oleh cedera benda asing di lensa
atau trauma tumpul terhadap bola mata. Sebagian besar katarak traumatik
dapat dicegah (Ilyas, S. 2007).
Lensa menjadi putih segera setelah masuknya benda asing, karena lubang
pada kapsul lensa menyebabkan humor aqueus dan kadang-kadzng corpus

32
vitreum masuk dalam struktur lensa. Pasien mengeluh penglihatan kabur
secara mendadak. Mata menjadi merah, lensa opak dan mungkin disertai
terjadinya perdarahan intraokular. Apabila humor aqueus atau korpus vitreum
keluar dari mata, mata menjadi sangat lunak. Penyulit adalah infeksi, uveitis,
ablasio retina dan glaukoma (Ilyas, S. 2007).

8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada katarak adalah tindakan pembedahan. Pengobatan yang
diberikan biasanya hanya memperlambat proses, tetapi tidak menghentikan
proses degenerasi lensa. Beberapa obat-obatan yang digunakan untuk
menghambat proses katarak adalah vitamin dosis tinggi, kalsium sistein
maupun iodium tetes (Ilyas, S. 2007).
Tindakan pembedahan dilakukan dengan indikasi :
a. Indikasi Optik : pasien mengeluh gangguan penglihatan yang
mengganggu kehidupan sehari-hari, dapat dilakukan operasi katarak
b. Indikasi Medis : kondisi katarak harus dioperasi diantaranya katarak
hipermatur, lensa yang menginduksi uveitis, dislokasi/subluksasi lensa,
benda asing intraretikuler, retinopati diabetik, ablasio retina atau patologi
segnen posterior lainnya.
c. Indikasi Kosmetik : jika kehilangan penglihatan bersifat permanen karena
kelainan retina atau saraf optik, tetapi leukokoria yang diakibatkan
katarak tidak dapat diterima pasien, operasi dapat dilakukan meskipun
tidak dapat mengembalikan penglihatan.
Pembedahan katarak dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya
yaitu :
a. EKIK (Ekstraksi Katarak Intra Kapsular)
Ekstraksi jenis ini merupakan tindakan bedah yang umum
dilakukan pada katarak senil. lensa beserta kapsulnya dikeluarkan dengan
memutus zonula Zinn yang telah mengalami degenerasi. Pada saat ini
pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan (Ilyas, S. 2007).
b. EKEK (Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular)

33
Lensa diangkat dengan meninggalkan kapsul, untuk memperlunak
lensa sehingga mempermudah pengambilan lensa melalui sayatan yang
kecil, digunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi (fakoemulsifikasi).
Termasuk kedalam golongan ini ekstraksi linear, aspirasi dan irigasi.
Pembedahan ini dilakukan pada pasien katarak muda, pasien dengan
kelainan endotel, bersama-sama keratoplasti, implantasi lensa intra
okular, kemungkinan akan dilakukan bedah gloukoma, mata dengan
presdiposisi untuk terjadinya prolaps badan kaca, sebelumnya mata
mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid makular edema, pasca bedah
ablasi, untuk mencegah penyulit pada saat melakukan pembedahan
katarak seperti prolaps badan kaca. Penyulit yang dapat timbul pada
pembedahan ini yaitu dapat terjadinya katarak sekunder (Ilyas, S. 2007).
c. Fakoemulsifikasi
Ekstraksi lensa dengan fakoemulsifikasi, yaitu teknik operasi
katarak modern menggunakan gel, suara berfrekuensi tinggi dengan
sayatan 3 mm pada sisi kornea. Pada teknik ini diperlukan irisan yang
sangat kecil (sekitar 2-3 mm) di kornea. Getaran ultrasonik akan
digunakan untuk menghancurkan katarak, selanjutnya mesin phaco akan
menyedot massa katarak yang telah hancur tersebut sampai bersih.
Sebuah lensa intra ocular (IOL) yang dapat dilipat dimasukkan melalui
irisan tersebut. Untuk lensa lipat (foldable lens) membutuhkan insisi
sekitar 2,8 mm, sedangkan untuk lensa tidak lipat insisi sekitar 6 mm.
Karena insisi yang kecil untuk foldable lens, maka tidak diperlukan
jahitan, akan pulih dengan sendirinya, yang memungkinkan dengan cepat
kembali melakukan aktivitas sehari-hari.
Indikasi teknik fakoemulsifikasi berupa calon terbaik pasien
muda (40-50 tahun), tidak mempunyai penyakit endotel, bilik mata
dalam, pupil dapat dilebarkan hingga 7 mm. Kontraindikasinya berupa
tidak terdapat hal-hal salah satu di atas, luksasi atau subluksasi lensa.
Prosedurnya dengan getaran yang terkendali sehingga insidens prolaps
menurun. Insisi yang dilakukan kecil sehingga insiden terjadinya
astigmat berkurang dan edema dapat terlokalisasi, rehabilitasi pasca

34
bedahnya cepat, waktu operasi yang relatif lebih cepat, mudah dilakukan
pada katarak hipermatur. Tekanan intraokuler yang terkontrol sehingga
prolaps iris, perdarahan ekspulsif jarang. Kerugiannya berupa dapat
terjadinya katarak sekunder sama seperti pada teknik EKEK, alat yang
mahal, pupil harus terus dipertahankan lebar, endotel “loss” yang besar
(Ilyas, S. 2007).

Presbiopia

2.4.1 Definisi

Makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan


makin meningkatnya umur. Kelainan ini terjadi pada mata normal berupa
gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat
berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. Terjadi
kekakuan lensa seiring dengan bertambahnya usia, sehingga kemampuan
lensa untuk memfokuskan bayangan saat melihat dekat. Hal tersebut
menyebabkan pandangan kabur saat melihat dekat.

Pembentukan Bayangan pada Penderita Presbiopia

2.4.2 Etiologi

Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat:

a. Kelemahan otot akomodasi.


b. Lensa mata yang tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat
sklerosis lensa.

35
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya
refraksi mata karena adanya perubahan keseimbangan antara elastisitas
matriks lensa dan kapsul sehingga lensa menjadi cembung. Dengan
meningkatnya umur, maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis) dan
kehilangan elastisitasnya untuk menjadi cembung, sehingga kemampuan
melihat dekat makin berkurang.

2.4.3 Diagnosis

Pada pasien berusia lebih dari 40 tahun, gangguan akomodasi akan


memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa mata lelah, berair, dan
sering terasa perih. Karena daya akomodasi berkurang maka titik dekat mata
makin menjauh dan pada awalnya akan kesulitan pada waktu membaca
dekat huruf dengan cetakan kecil. Dalam upayanya untuk membaca lebih
jelas, maka penderita cenderung menegakkan punggungnya atau
menjauhkan obyek yang dibacanya sehingga mencapai titik dekatnya
dengan demikian obyek dapat dibaca lebih jelas. Alat yang kita gunakan
untuk melakukan pemeriksaan, yaitu:

a. Kartu Snellen
b. Kartu baca dekat
c. Sebuah set lensa trial and error
d. Bingkai percobaan
Teknik pemeriksaan yang bisa kita lakukan, yaitu:

a. Penderita yang akan diperiksa penglihatan sentral untuk jauh dan


diberikan kacamata jauh sesuai yang diperlukan (dapat poitif, negatif
ataupun astigmatismat)
b. Ditaruh kartu baca dekat pada jarak 30-40 cm (jarak baca)
c. Penderita disuruh membaca huruf terkecil pada kartu baca dekat
d. Diberikan lensa positif mulai S +1 yang dinaikkan perlahan-lahan sampai
terbaca huruf terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini
ditentukan-
e. Dilakukan pemeriksaan mata satu per satu
Hubungan lensa adisi dan umur biasanya:

36
a. 40 tahun sampai 45 tahun 1.0 dioptri
b. 45 tahun sampai 50 tahun 1.5 dioptri
c. 50 tahun sampai 55 tahun 2.0 dioptri
d. 55 tahun sampai 60 tahun 2.5 dioptri
e. 60 tahun atau lebih 3.0 dioptri
2.4.4 Penatalaksanaan

Diberikan penambahan lensa sferis positif sesuai pedoman umur,


contoh umur 40tahun (umur rata-rata) diberikan tambahan sferis + 1.00 D
dan setiap 5 tahun diatasnya ditambahkan lagi sferis + 0.50D. Lensa sferis
(+) yang ditambahkan dapat diberikan dalam berbagai cara:

a. Kacamata baca untuk melihat dekat saja


b. Kacamata bifokal sekaligus mengoreksi kelainan yang lain
c. Kacamata trifokus mengoreksi penglihatan jauh di segmen atas,
penglihatan sedang di segmen tengah, dan penglihatan dekat di segmen
bawah
d. Kacamata progresif mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh,
tetapi dengan perubahan daya lensa yang progresif dan bukan bertingkat.

37
DAFTAR PUSTAKA

Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Opthalmic Pearls.2010

Crick R, Khaw PT, 2003. A Textbook Of Clinical Ophthalmology. 3rd edition.


London: World Scientific Publishing. 2003. h.97-135.

Guyton AC, Hall JE, 2006. Sifat Optik Mata. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, terj. Edisi ke-11. Jakarta: EGC. 2008; h.641-53.

Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2008.p.2-7,117.
Lang, Gerhad K. Conjungtiva. In : Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New
York : Thieme Stutgart. 2000
Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata. Edisi III penerbit
Airlangga Surabaya. 2006. hal: 102 – 104
Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to
Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In:
External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of
Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366
Tan, D.T.H.2002. Ocular Surface Diseases Medical and Surgical Management.
New York: Springer. 65 – 83

38

Anda mungkin juga menyukai