Anda di halaman 1dari 26

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Dialisis merupakan suatu proses yang di gunakan untuk mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut. Tujuan dialisis adalah untuk mempertahankan
kehidupan dan kesejahteraan pasien sampai fungsi ginjal pulih kembali. Metode
terapi mencakup hemodialisis, hemofiltrasi dan peritoneal dialisis (Brenner,
2012).
Pada dialisis molekul solut berdifusi lewat membran semipermeabel
dengan cara mengalir dari sisis cairan yang lebih pekat (konsentarsi solut lebih
tinggi) ke cairan yang lebih encer (kondisi solut yang lebih rendah). Cairan
mengalir lewat membran semipermeabel dengan cara osmosis atau ultrafiltrasi
(aplikasi tekanan exsternal pada membran) pada hemodialisis membran
merupakan bagian dari dialeser atau ginjal artifisial. Pada perritoneal dialisis,
merupakan peritoneum atau lapisan dinding abdomen berfungsi sebagai membran
semipermeabel (Carpenter, 2012).
Tisher dan Wilcox (1997) hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan
larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke
dalam dialisat. Dializer juga dapat dipergunakan untuk memindahkan sebagian
besar volume cairan.
Hemodialisa adalah menggerakkan cairan dari partikel-pertikel lewat
membran semi permiabel yang mempunyai pengobatan yang bisa membantu
mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit yang normal, mengendalikan
asam dan basa, dan membuang zat-zat toksis dari tubuh. ( Long, 2009).
Membran selaput semipermiabel adalah lembar tipis, berpori-pori, terbuat
dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membrane memungkinkan
difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, kreatinin, dan asam urat
berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran,
tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri dan sel darah terlalu besar untuk
melewati pori-pori membrane. Perbedaan konsentrasi zat pada dua kompartemen
disebut gradian konsentrasi (Daugirdas, 2007).

B. EPIDEMIOLOGI
Hemodialisis di Indonesia mulai tahun 1970 dan sampai sekarang telah
dapatdilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Kualitas hidup yang diperoleh
cukup baik danpanjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun.Indonesia
termasuk Negara dengantingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi.Saat ini
jumlah penderita gagal ginjalmencapai 4500 orang. Dari jumlah itu banyak
penderita yang meninggal dunia akibat tidakmampu berobat atau cuci darah
(hemodialisis) karena biaya yang sangat mahal (Brenner, 2012).

C. ETIOLOGI
Hemodialisa dilakukan kerena pasien menderita gagal ginjal akut dan
kronik akibat dari : azotemia, simtomatis berupa enselfalopati, perikarditis,
uremia, hiperkalemia berat, kelebihan cairan yang tidak responsive dengan
diuretic, asidosis yang tidak bisa diatasi, batu ginjal, dan sindrom hepatorenal
(Carpenter, 2012).

D. PATOFISIOLOGI
Ginjal adalah organ penting bagi hidup manusia yang mempunyai fungsi
utama untuk menyaring / membersihkan darah. Gangguan pada ginjal bisa terjadi
karena sebab primer ataupun sebab sekunder dari penyakit lain. Gangguan pada
ginjal dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal atau kegagalan fungsi ginjal
dalam menyaring / membersihkan darah. Penyebab gagal ginjal dapat dibedakan
menjadi gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik. Dialisis merupakan salah
satu modalitas pada penanganan pasien dengan gagal ginjal, namun tidak semua
gagal ginjal memerlukan dialisis. Dialisis sering tidak diperlukan pada pasien
dengan gagal ginjal akut yang tidak terkomplikasi, atau bisa juga dilakukan hanya
untuk indikasi tunggal seperti hiperkalemia. Faktor-faktor yang harus
dipertimbangkan sebelum melalui hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik
terdiri dari keadaan penyakit penyerta dan kebiasaan pasien. Waktu untuk terapi
ditentukan oleh kadar kimia serum dan gejala-gejala.Hemodialisis biasanya
dimulai ketika bersihan kreatin menurun dibawah 10 ml/mnt, yang biasanya
sebanding dengan kadar kreatinin serum 8-10 mge/dL namun demikian yang lebih
penting dari nilai laboratorium absolut adalah terdapatnya gejala-gejala uremia
(Carpenter, 2012).

E. TUJUAN
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa
antara lain :
1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-
sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
Menurut PERNEFRI (2003) waktu atau lamanya hemodialisa disesuaikan
dengan kebutuhan individu. Tiap hemodialisa dilakukan 4 – 5 jam dengan
frekuensi 2 kali seminggu. Hemodialisa idealnya dilakukan 10 – 15 jam/minggu
dengan Blood flow (QB) 200–300 mL/menit. Sedangkan menurut Corwin (2000)
hemodialisa memerlukan waktu 3 – 5 jam dan dilakukan 3 kali seminggu. Pada
akhir interval 2 – 3 hari diantara hemodialisa, keseimbangan garam, air, dan pH
sudah tidak normal lagi. Hemodialisa ikut berperan menyebabkan anemia karena
sebagian sel darah merah rusak dalam proses hemodialisa.

F. PRINSIP PRINSIP YANG MENDASARI HEMODIALIASIS


Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen toksik dari
dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis aliran
darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
ke tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian di kembalikan lagi ke tubuh
pasien. Ada tiga prinsip yang mendasar kerja hemodialisis yaitu: difusi, osmosis
dan ultra filtrasi (Brenner, 2012).
Toksin dan zat limbah di dalam darah di keluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke cairan
dialisis dengan konsenterasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan di keluarkan
dari dalam tubuh di keluarkan melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat di
kendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dengan kata lain bergerak dari
daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih
rendah (cairan dialist) (Brenner, 2012).
Gradient ini dapat di tingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang
dikenal sebagai ultrafiltasi pada mesin dialis. Tekanan negatif diterapkan pada
alat fasilitasi pengeluaran air. Karena pasien tidak dapat mengekresikan air,
kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia
(keseimbangan cairan) (Brenner, 2012).

G. KOMPONEN HEMODIALISA
1. Dialyzer / Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme
tubuh, bila fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin
yang merupakan komplikasi dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi
hormonal/ endokrin tidak dapat diambil alih oleh ginjal buatan. Dengan
demikian ginjal buatan hanya berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal
alami yang normal. Macam-macam ginjal buatan :
a. Paraller-Plate Diyalizer: Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah
tidak dipakai lagi, karena darah dalam ginjal ini sangat banyak sekitar
1000 cc, disamping cara menyiapkannya sangat sulit dan
membutuhkan waktu yang lama.
b. Coil Dialyzer: Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah
jarang dipakai karena volume darah dalam ginjal buatan ini banyak
sekitar 300 cc, sehingga bila terjadi kebocoran pada ginjal buatan
darah yang terbuang banyak. Ginjal ini juga memerlukan mesin
khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan waktu yang lama.
c. Hollow Fibre Dialyzer: Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini
karena volume darah dalam ginjal buatan sangat sedikit sekitar 60-80
cc, disamping cara menyiapkannya mudah dan cepat (Carpenter,
2012).
2. Dialisat
Menurut Carpenter (2012) dialisat adalah cairan yang terdiri dari
air, elektrolit dan zat-zat lain supaya mempunyai tekanan osmotik yang
sama dengan darah. Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Tabel perbandingan darah dan dialisat :
Komponen elektrolit Darah Dialisat
Natrium/sodium 136mEq/L 134mEq/L
Kalium/potassium 4,6mEq/L 2,6mEq/L
Kalsium 4,5mEq/L 2,5mEq/L
Chloride 106mEq/L 106mEq/L
Magnesium 1,6mEq/L 1,5mEq/L

Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :


a. Batch Recirculating: Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah
diolah dengan perbandingan 1 : 34 hingga 120 L dimasukan dalam
tangki air kemudian mengalirkannya ke ginjal buatan dengan
kecepatan 500 – 600 cc/menit.
b. Batch Recirculating/single pas: Hampir sama dengan cara batch
recirculating hanya sebagian langsung buang.
c. Proportioning Single pas: Air yang sudah diolah dan dialisat pekat
dicampus secara konstan oleh porpropotioning dari mesin cuci darah
dengan perbandingan air : dialisat = 34 : 1 cairan yang sudah dicampur
tersebut dialirkan keginjal buatan secara langsung dan langsung
dibuang, sedangkan kecepatan aliran 400 – 600 cc/menit.
3. Akses Vaskular Hemodialisis
Untuk melakukan hemodialisis intermiten jangka panjang, maka
perlu ada jalan masuk kedalam sistem vascular penderita. Darah harus
keluar dan masuk tubuh penderita dengan kecepatan 200 sampai 400
ml/menit. Teknik akses vascular diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Akses Vaskuler Eksternal (sementara)
1) Pirauarterio venosa (AV) atau system kanula diciptakan dengan
menempatkan ujung kanula dari Teflon dalam arteri dan sebuah
vena yang berdekatan. Ujung kanula dihubungkan dengan selang
karet silicon dan suatu sambungan teflon yang melengkapi pirau.
2) Kateter vena femoralis sering dipakai pada kasus gagal ginjal akut
bila diperlukan akses vascular sementara, atau bila teknik akses
vaskuler lain tidak dapat berfungsi. Terdapat dua tipe kateter
dialysis femoralis. Kateter saldon adalah kateter berlumen tunggal
yang memerlukan akses kedua. Tipe kateter femoralis yang lebih
baru memiliki lumen ganda, satu lumen untuk mengeluarkan darah
menuju alat dialysis dan satu lagi untuk mengembalikan darah
ketubuh penderita. Komplikasi pada kateter vena femoralis adalah
laserasi arteria femoralis, perdarahan, thrombosis, emboli,
hematoma, dan infeksi.
3) Kateter vena sub klavia semakin banyak dipakai sebagai alat akses
vascular karena pemasangan yang mudah dan komplikasinya lebih
sedikit disbanding kateter vena femoralis. Kateter vena subklavia
mempunyai lumen ganda untuk aliran masuk dan keluar. Kateter
vena subklavia dapat digunakan sampai empat minggu sedangkan
kateter vena femoralis dibuang setelah satu sampai dua hari setelah
pemasangan. Komplikasi yang disebabkan oleh katerisasi vena
subklavia serupa dengan katerisasi vena femoralis yang termasuk
pneumotoraks robeknya arteria subklavia, perdarahan, thrombosis,
embolus, hematoma, daninfeksi (Carpenter, 2012).
b. Akses Vaskular Internal (permanen)
1) Fistula : Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan
yang (biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara
menghubungkan atau menyambungkan (anastomosis) pembuluh
aretri dengan vena secara side to-side (dihubungkan antar-sisi) atau
end-to-side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah).
Segmen-arteri fistula diganakan untuk aliran darah arteri dan
segmen vena digunakan untuk memasukan kembali (reinfus) darah
yang sudah didialisis. Umur fistula AV adalah empat tahun dan
komplikasinya lebih sedikit dengan pirau AV. Masalah yang paling
utama adalah nyeri pada pungsi vena terbentuknya aneurisma,
trombosis, kesulitan hemostatis pasca dialisis, dan iskemia pada
tangan.
2) Tandur: Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan
jarum dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit
sepotong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-Tex
(heterograft) atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya
tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak
cocok untuk dijadikan fistula.Tandur biasanya dipasang pada
lengan bawah, lengan atas atau paha bagian atas. Pasien dengan
sistem vaskuler yang terganggu, seperti pasien diabetes, biasanya
memerlukan pemasangan tandur sebelum menjalani hemodialisis.
Karena tandur tersebut merupakan pembuluh drah artifisial risiko
infeksi akan meningkat. Komplikasitandur AV samadengan fistula
AV.trombosis, infeksi, aneurisma dan iskemia tangan yang
disebabkan oleh pirau darah melalui prosthesis dan jauh dari
sirkulasi distal. (Sylvia, 2005).
H. INDIKASI
1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
3. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
4. Ureum lebih dari 200 mg/dl
5. pH darah kurang dari 7,1
6. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
7. Intoksikasi obat dan zat kimia
8. Sindrom Hepatorenal
9. Fluid overload
(Daugirdas, 2007).

I. KONTRA INDIKASI
Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari
hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,
akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi
hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi
infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
Tidak dilakukan pada pasien yang mengalami suhu yang tinggi. Cairan
dialysis pada suhu tubuh akan meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang
terlalu tinggi menyebabkan hemodialisis sel-sel darah merah sehingga
kemungkinan penderita akan meninggal (Daugirdas, 2007).

J. PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI


HEMODIALISIS JANGKA-PANJANG
Diet dan masalah cairan. Diet merupakan faktor penting bagi pasien
yang menjalani hemodialisis mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang
rusak tidak mampu mengeksresikan produk akhir metabolisme, substansi yang
bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun
atau toksik. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif
dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Lebih
banyak toksin yang menumpuk, lebih berat gejala yang timbul. Diet rend protein
akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian
meminimalkan gejala. Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat
mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian,
pembatasan cairan juga merupakan bagian dengan resep diet untuk pasien ini
(Suwitra, 2010).
Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien
dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan. Berkaitan dengan
pembatasan protein, maka protein dari makanan harus memiliki nilai biologis
yang tinggi dan tersusun dari asam-amino esensial untuk mencegah penggunaan
protein yang buruk serta mempertahankan keseimbangan nitrogen yang positif.
Contoh protein dengan nilai biologis yang tinggi adalah telur, daging, susu dan
ikan (Suwitra, 2010).
Dampak Diet Rendah Protein. Diet yang bersifat membatasi akan merubah
gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai gangguan serta tidak disukai bagi banyak
penderita gagal ginjal kronis. Karena makanan dan minuman merupakan aspek
penting dalam sosialisasi, pasien sering merasa disingkirkan ketika berada
bersama orang-orang lain karena hanya ada beberapa pilihan makanan saja yang
tersedia baginya. Jika pembatasan ini dibiasakan, komplikasi yang dapat
membawa kematian seperti hiperkalemia dan edema paru dapat terjadi (Suwitra,
2010).
Pertimbangan medikasi. Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau
sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida
jantung, antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Suwitra, 2010).
Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialisis oleh karena
itu, penyesuaian dosis oleh dokter mungkin diperlukan. Obat-obat yang terikat
dengan protein tidak akan dikeluarkan selama dialisis. Pengeluaran metabolit obat
yang lain bergantung pada berat dan ukuran molekulnya. Apabila seorang pasien
menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat.
Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya. Sebagai
contoh, jika obat antihipertensi diminum pada hari yang sama dengan saat
menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi selama hemodialisis dan
menyebabkan tekanan darah rendah yang berbahaya (Suwitra, 2010).

K. KOMPLIKASI HEMODIALISA
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain:
1. Kram otot: Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu
berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya
hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan
cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2. Hipotensi : Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat
asetat, rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik,
neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan berat cairan.
3. Aritmia: Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat
berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa: Sindrom ketidakseimbangan dialisa
dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak
dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang
mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke
dalam otak yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan
biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan
azotemia berat.
5. Hipoksemia: Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang
perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi
kardiopulmonar.
6. Perdarahan: Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi
trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan
heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya
perdarahan.
7. Ganguan pencernaan: Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah
mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan
pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HEMODIALISIS

A. PENGKAJIAN
1. Keluhan utama
Keluhan utama pada pasien hemodialisa adalah
a. Sindrom uremia
b. Mual, muntah, perdarahan GI.
c. Pusing, nafas kusmaul, koma.
d. Perikarditis, cardiar aritmia
e. Edema, gagal jantung, edema paru
f. Hipertensi
Tanda-tanda dan gejala uremia yang mengenai system tubuh
(mual, muntah, anoreksia berat, peningkatan letargi, konfunsi mental),
kadar serum yang meningkat. (Brunner & Suddarth, 2011)
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien penderita gagal ginjal kronis (stadium terminal).
(Brunner & Suddarth, 2011)
3. Riwayat obat-obatan
Pasien yang menjalani dialisis, semua jenis obat dan dosisnya
harus dievaluasi dengan cermat. Terapi antihipertensi, yang sering
merupakan bagian dari susunan terapi dialysis, merupakan salah satu
contoh di mana komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat memberikan
hasil yang berbeda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan
menundanya. Sebagai contoh, obat antihipertensi diminum pada hari yang
sama dengan saat menjalani hemodialisis, efek hipotensi dapat terjadi
selama hemodialisis dan menyebabkan tekanan darah rendah yang
berbahaya. (Brunner & Suddarth, 2011)
4. Psikospiritual
Penderita hemodialisis jangka panjang sering merasa kuatir akan
kondisi penyakitnya yang tidak dapat diramalkan. Biasanya menghadapi
masalah financial, kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan, dorongan
seksual yang menghilang serta impotensi, dipresi akibat sakit yang kronis
dan ketakutan terhadap kematian. (Brunner & Suddarth, 2011)
Prosedur kecemasan merupakan hal yang paling sering dialami
pasien yang pertama kali dilakukan hemodialisis. (Muttaqin, 2011)
5. ADL (Activity Day Life)
Nutrisi : pasien dengan hemodialisis harus diet ketat dan pembatasan
cairan masuk untuk meminimalkan gejala seperti penumpukan cairan yang
dapat mengakibatkan gagal jantung kongesti serta edema paru,
pembatasan pada asupan protein akan mengurangi penumpukan limbah
nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala, mual muntah.
(Brunner & Suddarth, 2011)
Eliminasi : Oliguri dan anuria untuk gagal
Aktivitas : dialisis menyebabkan perubahan gaya hidup pada keluarga.
Waktu yang diperlukan untuk terapi dialisis akan mengurangi waktu yang
tersedia untuk melakukan aktivitas sosial dan dapat menciptakan konflik,
frustasi. Karena waktu yang terbatas dalam menjalani aktivitas sehai-hari.
6. Pemeriksaan fisik
BB : Setelah melakukan hemodialisis biasanya berat badan akan menurun.
TTV: Sebelum dilakukan prosedur hemodialisis biasanya denyut nadi dan
tekanan darah diatas rentang normal. Kondisi ini harus di ukur kembali
pada saat prosedur selesai dengan membandingkan hasil pra dan sesudah
prosedur. (Muttaqin, 2011)
Manifestasi klinik
a. Kulit : kulit kekuningan, pucat, kering dan bersisik, pruritus
atau gatal-gatal
b. Kuku : kuku tipis dan rapuh
c. Rambut : kering dan rapuh
d. Oral : halitosis / faktor uremic, perdarahan gusi
e. Lambung : mual, muntah, anoreksia, gastritis ulceration.
f. Pulmonary : uremic “lung” atau pnemonia
g. Asam basa : asidosis metabolik
h. Neurologic : letih, sakit kepala, gangguan tidur, gangguan otot :
pegal
i. Hematologi : perdarahan
7. Pemeriksaan Penunjang
Kadar kreatinin serum diatas 6 mg/dl pada laki-laki, 4mg/dl pada
perempuan, dan GFR 4 ml/detik. (Sylvia A. Potter, 2005).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pre HD
a. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, Hb ≤ 7
gr/dl, Pneumonitis dan Perikarditis d.d Penggunaan otot aksesoris
untuk bernafas, Pernafasan cuping hidung, Perubahan kedalaman
nafas, dan Dipneu
b. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluaran urine, diet cairan
berlebih, retensi cairan & natrium b.d Perubahan berat badan dalam
waktu sangat singkat, Gelisah, Efusi pleura, Oliguria, Asupa melebihi
haluran, Edema, Dispnea, Penurunan hemoglobin, Perubahan pola
pernapasan , dan Perubahan tekanan darah
c. Ketidakseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d
anoreksia, mual & muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa oral d.d nyeri abdomen bising usus hiperaktif, kurang
makanan, diare, kurang minat pada makanan, dan berat badan 20%
atau lebih dibawah berat badan ideal.
d. Ansietas b.d krisis situasional d.d gelisah, wajah tegang, bingung,
tampak waspada, ragu/tidak percaya diri dan khawatir
e. Kerusakan integritas kulit b.d Gangguan sirkulasi, Iritasi zat kimia,
Defisit cairan d.d Kerusakan jaringan (Mis. Kornea, membrane
mukosa, integument, atau subkutan) dan Kerusakan jaringan.
2. Intra HD
a. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
b. Risiko terjadi perdarahan b.d penggunaan heparin dalam proses
hemodialisa
3. Post HD
a. Intoleransi aktivitas b.d keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis d,d menyatakan merasa lemah, menyatakan merasa
letih, dispnea setelah beraktifitas, ketidaknyamanan setelah
beraktifitas, dan respon tekanan darah abnormal terhadap aktivitas.
b. Risiko Harga diri rendah b.d ketergantungan, perubahan peran dan
perubahan citra tubuh dan fungsi seksual d.d gangguan citra tubuh,
Mengungkapkan perasaan yang mencerminkan perubahan
individudalam penampilan, Respon nonverbal terhadap persepsi
perubahan pada tubuh (mis;penampilan,steruktur,fungsi), Fokus pada
perubahan, Perasaan negatif tentang sesuatu
c. Resiko infeksi b.d prosedur invasif berulang

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pre HD

No Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasional


Kriteria Hasil
1 Pola nafas tidak Setelah diberikan 1. Observasi 1. Untuk menentukan
efektif b.d edema asuhan penyebab nafas tidak tindakan yang harus
paru, asidosis keperawatan efektif segera dilakukan
metabolic, Hb ≤ 7 selama 1x24 jam 2. Observasi 2. Menentukan
gr/dl, Pneumonitis diharapkan respirasi & nadi tindakan
dan Perikarditis Pola nafas efektif 3. Berikan posisi 3. Melapangkan dada
setelah dilakukan semi fowler klien sehingga nafas
tindakan HD 4-5 lebih longgar
jam, dengan 4. Ajarkan cara 4. Hemat energi
Kriteria hasil: nafas yang efektif sehingga nafas tidak
a. Nafas 16- semakin berat
28 x/m 5. Berikan O2 5. Hb rendah, edema,
b. edema paru paru pneumonitis,
hilan asidosis, perikarditis
c. tidak menyebabkan suplai O2
sianosis ke jaringan <
6. Lakukan SU pada 6. SU adalah
saat HD penarikan secara cepat
pada HD, mempercepat
pengurangan edema
paru
7. Kolaborasi 7. Untuk ↑Hb,
pemberian tranfusi sehingga suplai O2 ke
darah jaringan cukup
8. Kolaborasi 8. Untuk mengatasi
pemberian antibiotic infeksi paru & perikard
9. Kolaborasi foto 9. Follou up
torak penyebab nafas tidak
efektif
10. Evaluasi kondisi 10. Mengukur
klien pada HD keberhasilan tindakan
berikutnya
11. Evaluasi kondisi 11. Untuk follou up
klien pada HD kondisi klien
berikutnya
2 Kelebihan volume Setelah diberikan 1. Observasi status 1. Pengkajian
cairan b.d asuhan cairan, timbang bb pre merupakan dasar untuk
penurunan haluaran keperawatan dan post HD, memperoleh data,
urine, diet cairan selama 1x24 jam keseimbangan pemantauan dan
berlebih, retensi diharapkan masukan dan haluaran, evaluasi dari intervens
cairan & natrium Keseimbangan turgor kulit dan edema, 2. Pembatasan cairan
volume cairan distensi vena leher dan akan menetukan dry
tercapai setelah monitor vital sign weight, haluaran urine
dilakukan HD 4- 2. Batasi masukan & respon terhadap
5 jam dengan cairan pada saat terapi.
Kriteria Hasil: priming & wash out 3. UF & TMP yang
a. BB post HD sesuai akan ↓ kelebihan
HD sesuai dry 3. Lakukan HD volume cairan sesuai dg
weight dengan UF & TMP target BB edeal/dry
b. Edema sesuai dg kenaikan bb weight
hilang interdialisis 4. Sumber kelebihan
c. Retensi 16- 4. Identifikasi cairan dapat diketahui
28 x/m sumber masukan 5. Pemahaman
d. Kadar cairan masa ↑kerjasama klien &
natrium darah interdialisis keluarga dalam
132-145 mEq/l 5. Jelaskan pada pembatasan cairan
keluarga & klien 6. Kebersihan mulut
rasional pembatasan mengurangi kekeringan
cairan mulut, sehingga ↓
6. Motivasi klien keinginan klien untuk
untuk ↑ kebersihan minum
mulut
3 Ketidakseimbanga Setelah diberikan 1. Observasi status 1. Sebagai dasar
n nutrisi, kurang asuhan nutrisi: untuk memantau
dari kebutuhan keperawatan a. Perubahan BB perubahan & intervensi
tubuh b.d selama 1x24 jam b. Pengukuran yang sesuai
anoreksia, mual & diharapkan antropometri 2. Pola diet dahulu
muntah, Keseimbangan c. Nilai lab. & sekarang berguna
pembatasan diet nutrisi tercapai (elektrolit, BUN, untuk menentukan menu
dan perubahan setelah dilakukan kreatinin, kadar 3. Memberikan
membrane mukosa HD yang sdekuat albumin, protein informasi, faktor mana
oral (10-12 jam/mg) 2. Observasi pola yang bisa dimodifikasi.
selama 3 bulan, diet 4. Tindakan HD
diet protein 3. Observasi faktor yang adekuat, ↓ kejadian
terpenuhi, yang berperan dalam mual-muntah &
dengan merubah masukan anoreksia, sehingga ↑
Kriteria Hasil: nutrisi nafsu makan
a. Tidak 4. Kolaborasi 5. Pemberian
terjadi menentukan tindakan albumin lewat infus iv
penambahan atau HD 4-5 jam 2-3 akan ↑ albumin serum
↓ BB yang cepat minggu 6. Protein lengkap
b. Turgor 5. Kolaborasi akan ↑ keseimbangan
kulit normal pemberian infus nitrogen
tanpa udema albunin 1 jam terakhir 7. Kalori akan ↑
c. Kadar HD energi, memberikan
albumin plasma 6. Tingkatkan kesempatan protein
3,5-5,0 gr/dl masukan protein untuk pertumbuhan
d. Konsumsi dengan nilai biologi 8. ↑ pemahaman
diet nilai protein tinggi: telur, daging, klien sehingga mudah
tinggi produk susu menerima masukan
7. Anjurkan
camilan rendah
protein, rendah
natrium, tinggi kalori
diantara waktu makan
8. Jelaskan rasional 9. Untuk
pembatasan diet, menentukan status
hubungan dengan cairan & nutrisi
penyakit ginjal dan
↑urea dan kreatinin 10. Penurunan protein
dapat ↓ albumin,
9. Anjurkan pembentukan udema &
timbang BB tiap hari perlambatan
10. Observasi adanya penyembuhan
masukan protein yang
tidak adekuat, edema,
penyembuhan yang
lama, albumin serum
turun
4 Ansietas b.d krisis Setelah 1. Evaluasi respon 1. Ketakutan dapat
situasional dilakukan asuhan verbal dan non verbal terjadi karena nyeri
keperawatan pasien. hebat, meningkatkan
selama 1x24 jam perasaan sakit, dan
diharapkan kemungkinan
kesadaran pasien pembedahan.
terhadap 2. Berikan 2. Meningkatkan
perasaan dan cara penjelasan hubungan pemahaman,
yang sehat untuk antara proses penyakit mengurangi rasa takut
menghadapi dan gejalanya. karena ketidaktahuan,
masalah dan dapat membantu
Kriteria hasil : menurunkan ansietas.
a. Melaporkan 3. Berikan 3. Mengungkapkan
ansietas menurun kesempatan pasien rasa takut secara terbuka
sampai tingkat untuk mengungkapkan dimana rasa takut dapat
dapat ditangani. isi pikiran dan ditujukan.
b. Tampak perasaan takutnya. 4. Orang
rileks. 4. Catat perilaku terdekat/keluarga
dari orang mungkin secara tidak
terdekat/keluarga yang sadar memungkinkan
meningkatkan peran pasien untuk
sakit pasie mempertahankan
5. Identifikasi ketergantungan dengan
sumber yang mampu melakukan sesuatu yang
menolong. pasien sendiri mampu
melakukannya.
5. Memberikan
keyakinan bahwa pasien
tidak sendiri dalam
menghadapi masalah

5. Kerusakan Setelahdilakukan 1. Observasi kulit 1. Mengetahui efek


integritas kulit askepselama 3x dengan sering terhadap yang terjadi pada kulit.
berhubungan 24 jam efek samping kanker 2. Mengurangi iritasi
dengan kerusakan diharapkanintegri 2. Mandikan pada kulit.
jaringan akibat taskulitpasienterj dengan menggunakan 3. Mencegah
radiasi agadengan air hangat dan sabun terjadinya perlukaan
criteria hasil : ringan pada kulit.
- 3. Hindari 4. Mencegah iritasi
Kulitpasiennamp menggosok atau pada kulit pasien.
akbersih. menggaruk area. 5. Mencegah
- 4. Anjurkan pasien terjadinya perlukaan.
Menunjukkan untuk menghindari 6. Memberikan
perubahan yang krim kulit apapun, asupan nutrisi pada kulit
minimal pada bedak, salep apapun dan mencegah agar kulit
kulit dan kecuali diijinkan tidaak kering.
menghindari dokter. 7. Mengetahui
trauma pada area 5. Hindarkan perubahan yang terjadi
kulit yang sakit. pakaian yang ketat pada kulit pada saat
pada aea tersebut. pengobatan kemoterapi.
6. Oleskan vitamin
A dan D pada area
tersebut.
7. Tinjau ulang efek
samping dermatologis
yang dicurigai pada
kemoterapi.

b. Intra HD

No Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasional


Kriteria hasil
1 Resiko cedera b.d Setelah 1. Observasi 1. AV yg sudah tidak
akses vaskuler & dilakukan asuhan kepatenan AV shunt baik bila dipaksakan
komplikasi keperawatan sebelum HD bisa terjadi rupture
sekunder terhadap selama 1x24 jam 2. Monitor vaskuler
penusukan & diharapkan kepatenan kateter 2. Posisi kateter yg
pemeliharaan pasien tidak sedikitnya setiap 2 jam berubah dapat terjadi
akses vaskuler. mengalami 3. Observasi warna rupture vaskuler/emboli
cedera dengan kulit, keutuhan kulit, 3. Kerusakan
Kriteria hasil: sensasi sekitar shunt jaringan dapat didahului
a. Kulit pada 4. Monitor TD tanda kelemahan pada
sekitar AV shunt setelah HD kulit, lecet bengkak,
utuh/tidak rusak 5. Lakukan ↓sensasi
b. Pasien heparinisasi pada 4. Posisi baring lama
tidak mengalami shunt/kateter pasca HD stlh HD dpt
komplikasi HD 6. Cegah terjadinya menyebabkan
infeksi pd area orthostatik hipotensi
shunt/penusukan 5. Shunt dapat
kateter mengalami sumbatan &
dapat dihilangkan dg
heparin
6. Infeksi dapat
mempermudah
kerusakan jaringan
2 Resiko terjadi Setelah 1. Monitor tanda- 1. Penurunan
perdarahan dilakukan asuhan tanda penurunan trombosit merupakan
berhubungan keperawatan trombosit yang disertai tanda adanya kebocoran
dengan selama 1x4jam, tanda klinis. pembuluh darah yang
penggunaan diharapkan tidak 2. Anjurkan pasien pada tahap tertentu
heparin dalam terjadi untuk banyak istirahat dapat menimbulkan
proses hemodialisa perdarahan (bedrest) tanda-tanda klinis
dengan 3. Berikan seperti epistaksis, ptekie
Kriteria hasil : penjelasan kepada klien 2. Aktifitas pasien
1. TD 120/80 dan keluarga untuk yang tidak terkontrol
mmHg, melaporkan jika ada dapat menyebabkan
N: 80- tanda terjadinya
100x/menit perdarahan seperti: perdarahan.
reguler, pulsasi hematemesis, melena, 3. Keterlibatan
kuat epistaksis. pasien dan keluarga
2. Tidak ada 4. Antisipasi adanya dapat membantu untuk
tanda perdarahan perdarahan: gunakan penaganan dini
lebih lanjut, sikat gigi yang lunak, bila terjadi perdarahan
trombosit pelihara kebersihan 4. Mencegah
meningkat. mulut, berikan tekanan terjadinya perdarahan
5-10 menit setiap lebih lanjut.
selesai ambil darah 5. Dengan trombosit
5. Kolaborasi, yang dipantau setiap
monitor trombosit hari, dapat diketahui
setiap hari tingkat kebocoran
pembuluh darah dan
kemungkinan
perdarahan yang dialami
pasien.

c. Post HD
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi Rasional
Hasil
1 Intoleransi Setelah dilakukan 1. Observasi faktor 1. Menyediakan
aktivitas b.d tindakan keperawatan yang menimbulkan informasi tentang
keletihan, & HD, selama 1x24 keletihan: Anemia, indikasi tingkat
anemia, retensi jam diharapkan klien Ketidakseimbangan keletihan
produk sampah mampu berpartisipasi cairan & elektrolit, 2. Meningkatkan
dan prosedur dalam aktivitas yang Retensi produk sampah aktifitas ringan/sedang
dialisis dapat ditoleransi, depresi & memperbaiki harga
dengan Kriteria 2. Tingkatkan diri
Hasil: kemandirian dalam 3. Mendorong
a. Berpartisipasi aktifitas perawatan diri latihan & aktifitas
dalam aktivitas yang dapat ditoleransi, yang dapat ditoleransi
perawatan mandiri bantu jika keletihan & istirahat yang
yang dipilih terjadi adekuat
b. Berpartisipasi 3. Anjurkan aktivitas 4. Istirahat yang
dalam ↑ aktivitas dan alternatif sambil adekuat dianjurkan
latihan istirahat setelah dialisis, karena
c. Istirahat & 4. Anjurkan untuk adanya perubahan
aktivitas istirahat setelah dialisis keseimbangan cairan
seimbang/bergantian & elektrolit yang cepat
pada proses dialisis
sangat melelahkan
2 Harga diri Setelah diberikan 1. Observasi 1. Menyediakan
rendah b.d asuhan keperawatan respon & reaksi klien & data klien & keluarga
ketergantungan selama 1x24 jam keluarganya terhadap dalam menghadapi
, perubahan diharapkan penyakit & perubahan hidup
peran dan Memperbaiki konsep penanganannya. 2. Penguatan &
perubahan citra diri, dengan 2. Observasi dukungan terhadap
tubuh dan Kriteria Hasil: hubungan klien dan klien diidentifikasi
fungsi seksual a. Pola koping keluarga terdekat 3. Pola koping
klien dan keluarga 3. Observasi pola yang efektif dimasa
efektif koping klien & lalu bisa berubah jika
b. Klien & keluarganya menghadapi penyakit
keluarga bisa 4. Ciptakan diskusi & penanganan yang
mengungkapkan yang terbuka tentang ditetapkan sekarang
perasaan & reaksinya perubahan yang terjadi 4. Klien dapat
terhadap perubahan akibat penyakit & mengidentifikasi
hidup yang penangannya Perubahan masalah dan langkah-
diperlukan peran, Perubahan gaya langkah yang harus
hidup, Perubahan dalam dihadapi
pekerjaan, Perubahan 5. Bentuk
seksual dan alternatif aktifitas
Ketergantungan dg seksual dapat diterima.
center dialisis 6. Seksualitas
5. Gali cara mempunyai arti yang
alternatif untuk berbeda bagi tiap
ekspresikan seksual lain individu, tergantung
selain hubungan seks dari maturitasnya.
6. Diskusikan
peran memberi dan
menerima cinta,
kehangatan dan
kemesraan
3 Resiko infeksi Setelah diberikan
b.d prosedur asuhan keperawatan 1. Pertahankan area 1. Mikroorganisme
invasif selama 3x24 jam steril selama penusukan dapat dicegah masuk
berulang diharapkan kateter kedalam tubuh saat
Pasien tidak 2. Pertahankan teknik insersi kateter
mengalami infeksi steril selama kontak dg 2. Kuman tidak
dengan Kriteria akses vaskuler: masuk kedalam area
Hasil: penusukan, pelepasan insersi
a. Suhu tubuh kateter 3. Inflamasi/infeksi
normal (36-37 C) 3. Monitor area akses ditandai dg
b. Tak ada HD terhadap kemerahan, nyeri,
kemerahan sekitar kemerahan, bengkak, bengkak
shunt nyeri 4. Gizi yang baik
c. Area shunt 4. Beri pernjelasan ↑daya tahan tubuh
tidak nyeri/bengkak pada pasien pentingnya 5. Pasien HD
↑status gizi mengalami sakit
5. Kolaborasi kronis, ↓imunitas
pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA

Brenner, B. M, Lazarus, J. M. 2012. Gagal Ginjal Kronik Dalam Prinsip-Prinsip


Ilmu Penyakit Dalam Harrison Edisi 13. Jakarta: EGC.
Carpenter, C. B., Lazarus, J. M. 2012. Dialisis Dan Transplantasi Dalam Terapi
Gagal Ginjal Dalam Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13.
Jakarta: EGC.
Daugirdas, J. T., Black, P. G., Ing, T. S/ 2007. Handbook of Dialysis 4 Edition.
Philadelphia: Lippincott.
Smeltzer, Suzanne C. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Herdman, T. Heather. 2012.NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan.
Jakarta : EGC
O’callaghan, C. 2009. At a Glance : Sistem Ginjal edisi kedua. Jakarta: Erlangga.
PERNEFRI. 2003. Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Jakarta
Price, S. A., Wilson, L. M. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Buku II edisi 6. Jakarta: EGC.
Suwitra, K. 2010. Penyakit Ginjal Kronik: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi V. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai