Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

KEBERAGAMAN SOSIAL DAN BUDAYA PADA


MASYARAKAT SULAWESI TENGAH

Untuk memenuhi tugas psikososial dan budaya

Di susun oleh:
ALBARRA DJ SULEMAN
M18010001

PRODI S1-ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI
YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga dapat menyelesaikan
tugas ini guna memenuhi tugas individu untuk mata kuliah psikososial dan budaya
dengan judul “KEBERAGAMAN SOSIAL DAN BUDAYA PADA
MASYARAKAT SULAWESI TENGAH”

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan dari banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan
kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya saya berharap semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Bantul, 30 september 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beberapa ahli seperti Goodenough (1971), Spradley (1972), dan Geertz
(1973) mendefinisikan arti kebudayaan di mana kebudayaan merupakan suatu
sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat
itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial di tempat
mereka berada (Sairin , 2002).
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu
masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu
menggiring dan mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap
dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik
masyarakat tersebut, baik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian dan
sebagainya.
Melalui pewarisan kebudayaan dan internalisasi pada setiap individu, pendidikan
hadir dalam bentuk sosialisasi kebudayaan, berinteraksi dengan nilai-nilai
masyarakat setempat dan memelihara hubungan timbal balik yang menentukan
proses-proses perubahan tatanan sosio-kultur masyarakat dalam rangka
mengembangkan kemajuan peradabannya.
Sebaliknya, dimensi-dimensi sosial yang senantiasa mengalami dinamika
perkembangan seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan faktor dominan yang telah membentuk eksistensi pendidikan manusia.
Penggunaan alat dan sarana kebutuhan hidup yang modern telah memungkinkan
pola pikir dan sikap manusia untuk memproduk nilai-nilai baru sesuai dengan
intensitas pengaruh teknologi terhadap tatanan kehidupan sosial budaya.
Berbicara tentang tatanan kehidupan sosial budaya, berbagai bidang kajian banyak
dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang keanekaragaman makhluk
manusia dan kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi, termasuk di
Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki
berbagai macam ragam kebudayaan yang unik dan menarik untuk diketahui.
Wujud dari keanekaragaman masyarakat itu di samping disebabkan oleh akibat dari
sejarah mereka masing-masing; juga karena pengaruh lingkungan alam dan struktur
internalnya. Oleh karenanya sesuatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan, tidak
dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan harus dari sistem nilai
yang ada dalam kebudayaan itu sendiri (relativisme kebudayaan).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keberagaman kebudayaan di dalam suatu wilayah khususnya
Sulawesi Tengah.
2. Bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi di dalam masyarakat di wilayah
Sulawesi Tengah.
3. Bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi dengan lingkungan hidup
masyarakat di Sulawesi Tengah.

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana keberagaman kebudayaan di dalam suatu wilayah
khususnya Sulawesi Tengah.
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi di dalam
masyarakat di wilayah Sulawesi Tengah.
3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan sosial-budaya yang terjadi dengan
lingkungan hidup masyarakat di Sulawesi Tengah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Budaya Dan Kebudayaan


Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya
terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat
istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana
juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak
orang yang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang
berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan
menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu di
pelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat abstrak, kompleks,
dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-
unsur sosial-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan
orang dari budaya lain terlihat dari definisi budaya : Budaya adalah suatu perangkat
rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan
atas keistimewaannya sendiri. “Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk
berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika,
“keselarasan individu dengan alam” di Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina.
Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya
dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan
nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk
memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyiapkan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan
perilaku orang lain.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

B. Perubahan Sosial Budaya


Masyarakat (manusia) di manapun tempatnya pasti mendambakan
kemajuan dan peningkatan kesejahteraan yang optimal. Kondisi masyarakat secara
obyektif merupakan hasil tali temali antara lingkungan alam, lingkungan sosial
serta karakteristik individu. Ketiga-tiganya selalu berhubungan antara satu sama
lain, sehingga membentuk sebuah bangunan masyarakat yang dapat dilihat sebagai
sebuah realitas sosial.
Perubahan sosial dapat dikatakan sebagai suatu perubahan dari gejala-gejala sosial
yang ada pada masyarakat, dari yang bersifat individual sampai yang lebih
kompleks. Perubahan sosial dapat dilihat dari segi terganggunya kesinambungan
diantara kesatuan sosial walaupun keadaannya relatif kecil. Perubahan ini meliputi
struktur, fungsi, nilai, norma, pranata, dan semua aspek yang dihasilkan dari
interaksi antarmanusia, organisasi atau komunitas, termasuk perubahan dalam hal
budaya. Jadi, Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur
sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
Apabila perubahan sosial dipahami sebagai suatu bentuk peradaban manusia akibat
adanya ekskalasi perubahan alam, biologis maupun kondisi fisik maka pada
dasarnya perubahan sosial merupakan sebuah keniscayaan yang terjadi sepanjang
hidup. Ruang gerak perubahan itupun juga berlapis-lapis, dimulai dari kelompok
terkecil seperti keluarga sampai pada kejadian yang paling lengkap mencakup
tarikan kekuatan kelembagaan dalam masyarakat.
Perubahan sosial sebagai “cetak biru” pemikiran, pada akhirnya akan memiliki
manfaat untuk memahami kehidupan manusia dalam kaitan dengan lingkungan
kebudayaannya. Kehidupan manusia adalah satuan sosial terkecil, dalam pola
belajarnya akan berhadapan dengan tiga sistem aktivitas. Menurut Peter Senge,
2000 (dalam Salim, 2002) bahwa manusia akan menjumpai 3 lingkungan yakni;
1. Ruang kelas dalam sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan kelas
sehingga melibatkan unsur guru, orang tua dan murid.
2. Lingkungan sekolah: manusia akan belajar dalam lingkungan sekolah sehingga
melibatkan unsur kepala sekolah, kelompok pengajar, murid di kelas lain dan
pegawai administrasi.
3. Lingkungan komunitas masyarakat: manusia akan belajar dari lingkungan
komunitasnya sehingga mencakup peran serta masyarakat, kelompok-kelompok
belajar sepanjang hidup, birokrasi yang mendukung, sumber informasi yang luas
dan beragam dll.

C. Sosial Budaya Sulawesi Tengah


Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di Teluk Palu dan terbagi
dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut.
Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku, yaitu:
1. Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
2. Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
3. Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
4. Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
5. Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
6. Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
7. Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
8. Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
9. Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
10. Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
11. Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
12. Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
13. Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
14. Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
15. Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
16. Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
17. Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
18. Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
19. Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Dari 19 kelompok/ etnis tersebut, Jumlah tokoh pemangku adat adalah
sebanyak 216 orang. Di samping 12 kelompok etnis, ada beberapa suku terasing
hidup di daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di
Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku Daya di Buol Tolitoli. Meskipun
masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda antara
suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu
sama lain menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa
pengantar sehari-hari.
Selain penduduk asli, Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari
Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan masyarakat
Bugis dan Makasar serta etnis lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah
membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas
beragama islam, lainnya Kristen, Hindu dan Buddha. Tingkat toleransi beragama
sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat.

Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat disamping
pimpinan pemerintahan seperti Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat
dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya masyarakat yang jujur
dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti
persembahan ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan dan disimpan
dalam bambu. Secara tradisional, masyarakat Sulawesi Tengah memiliki
seperangkat pakaian adat yang dibuat dari kulit kayu ivo (sejenis pohon beringin)
yang halus dan tinggi mutunya. Pakaian adat ini dibedakan untuk kaum pria dan
kaum wanita. Unsur-unsur adat dan budaya yang masih dimiliki antara lain:
1. Pakaian adat terbuat dari kulit kayu ivo
2. Rumah adat yang disebut tambi
3. Upacara adat
4. Kesenian (Modero/ tari pesta menyambut panen, Vaino/ pembacaan syair-syair
yang dilagukan pada saat kedugaan, Dadendate, Kakula, Lumense dan
PeuleCinde/ tari untuk menyambut tamu terhormat, Mamosa/ tarian perang,
Morego/ tari menyambut pahlawan, Pajoge/ tarian dalam pelantikan raja/ pejabat
dan Balia/ tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme).
Selain mempunyai adat dan budaya yang merupakan ciri khas daerah, di Sulawesi
Tengah juga memiliki kerajinan-kerajinan yang unik juga yaitu:
1. Kerajinan kayu hitam (ebony)
2. Kerajinan anyaman
3. Kerajinan kain tenun Donggala dan
4. Kerajinan pakaian dari kulit ivo.

D. Budaya Sulawesi Tengah Secara Umum


Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Tradisi yang menyangkut aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya yang tetap terpelihara dan
dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta
pengaruh agama. Karena banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka
terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan
yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai bagian barat
kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi
Selatan dan masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat
pengaruh kuat Gorontalo dan Manado, terlihat dari dialek daerah Luwuk dan
sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.

E. Kesenian
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan
lainnya. Musik tradisional memiliki instrumen seperti suling, gong dan gendang.
Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual
keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik
tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah
dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana
mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan
keagamaan dan ditampilkan ketika festival.
Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona,
kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala.
Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu,
syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki
dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan
warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan jepang di
Indonesia ketika Perang Dunia II. Di Sulawesi Tengah terdapat suku yang berbeda-
beda. Suku-suku tersebut juga memiliki budaya yang berbeda-beda.

F. Masyarakat Adat Di Sulawesi Tengah


Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan
asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki
kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh
Hukum adat dan Lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan
masyarakatnya. Di Indonesia ada 1163 komunitas Masyarakat Adat yang tercatat
sebagai anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada Rapat Kerja
AMAN tahun 2009 di Sukabumi dan di Sulawesi Tengah hingga tahun 2011 ini,
ada 201 komunitas Masyarakat Adat yang masuk anggota AMAN Sulawesi Tengah
yang tersebar di 11 Kabupaten Kota yang menempati daerah pegunungan dan
pesisir laut dengan beragam adat istiadat dan pengetahuan lokal untuk mengelola
sumber daya hutan yang ada di wilayah adat mereka.
Hingga saat ini, Masyarakat Adat masih menjadi bagian dari masyarakat yang
paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini
merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang
sudah berlangsung sebelum masa kolonial.
Oleh karena itu, perjuangan Masyarakat Adat di Indonesia untuk
memperbaiki kehidupan sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain
yang peduli dengan kemajuan hak-hak asasi masyarakat adat terus digalakkan.
Cukup banyak hasil positif dari perjuangan ini di berbagai daerah di Indonesia,
tetapi masih banyak lagi daerah yang belum menunjukan perubahan kearah yang
lebih baik. Demikian juga perubahan di tingkat nasional, beberapa kebijakan
sektoral mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum
terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
1. Masyarakat Adat Dan Pengelolaan Hutan Di Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat erat
hubungannya dengan kehidupan mereka yaitu;
a. Secara sosial-ekologi, disamping sebagai penopang siklus air dan karbon
dunia serta memiliki kemampuan mengatur iklim planet bumi, hutan
merupakan ruang hidup bagi masyarakat adat;
b. Secara sosial-ekonomi; keberlangsungan hidup Masyarakat Adat di
Sulawesi Tengah sangat bergantung dari Sumber Daya Hutan untuk dikelola
secara arif dan berkelanjutan;
c. Secara sosial-budaya, hutan sudah menjadi bagian dari kehidupan
Masyarakat Adat, untuk digunakan sebagai tempat ritual adat;
d. Secara ilmu dan teknologi, masyarakat adat memiliki kearifan lokal dalam
mengelola Sumber Daya Hutan yang sarat dengan etika dan konservasi lokal
yang berlaku dikomunitasnya.
Dalam praktek pengelolaan hutan, Masyarakat Adat mempunyai kearifan lokal,
menerapkan sanksi adat dan kelembagaan lokal yang dipraktekkan dalam
pengelolaan hutan secara arif dan berkelanjutan.
Di komunitas Masyarakat Adat Sulawesi Tengah, praktek pengelolaan hutan yang
diatur oleh kelembagaan adat masih terus dilakukan dan menjadi tatanan sosial
masyarakat adat dan sangat dipatuhi oleh masyarakatnya maupun orang luar yang
masuk dikomunitas Masyarakat Adat.
Contoh konkrit pengelolaan hutan yang dilakukan berdasarkan zonasi adat (tata
kelola), berdasarkan kearifan lokal, sanksi adat yangdiatur oleh kelembagaan adat
adalah di Masyarakat Adat Ngata Toro, Marena, Bada, Behoa, Katu, Taa Wana
untuk Masyarakat Adat yang tinggal di daerah pegunungan dan Masyarakat Adat
yang tinggal diwilayah pesisir.
Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah membutuhkan pengakuan perlindungan
dalam bentuk peraturan daerah. Akan tetapi, bukan berarti setiap perda yang ada di
Sulawesi Tengah yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat
adat itu mengatur secara rinci semua norma-norma hukum adat. Perda dimaksud
hanya bermateri muatan (hetonderwerp) pengakuan dan perlindungannya saja,
khususnya meregulasi hubungan masayarakat adat dengan hutan, air dan
lingkungan hidup, dengan tetap memperhatikan norma-norma yang didelegasikan
(delegatie van wetgevings). Sedangkan yang bersangkut paut dengan norma-norma
teknis diserahkan pada masyarakat hukum adat itu sendiri yang mengapresiasinya
melalui lembaga adat. Misalnya pelanggaran-pelanggaran norma adat yang dapat
di Givu, dll. Semuanya harus di kembalikan pada konsepsiemic, yaitu mereka
sendiri mempersiapkan hak dan tanggung jawab menurut hukum adat masing-
masing komunitas.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 perihal kehutanan ditegaskan
bahwa masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan
diakui keberadaanya berhak: pertama, melakukan pemugutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
Kedua, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang
berlaku dan tidak bertetangan dengan undang-undang. Ketiga, mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Dari ketiga hak tersebut, harus di kukuhkan melalui pembentukan perda tentang
hutan adat. Yang ingin di tegaskan di sini adalah perda tentang pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat di wilayah Sulawesi Tengah. Apabila tidak ada,
maka hak-hak (akses) masyarakat tradisional atas sumber daya alam menjadi
hilang, padahal SDA secara subtansial merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari masyarakat adat yang tradisional. Hal-hal tersebut merupakan refleksi dari
gulatan kearifan tradisional dengan keserakahan modern, yang selama ini masih
dalam episode termarginalkan dan masih menjadi fragment kehidupan tradisional
masyarakat Indonesia yang pada umumnya tidak terlihat, namun dapat di rasakan.
Kehidupan masyarakat modern yang di atur oleh hukum modern yang di dasari oleh
pemikiran-pemikiran rasional, logis dan sekaligus dapat di pelintir merupakan
benteng yang kokoh dalam melegalisir dan memberikan legitimasi atas
keserakahan-keserakahan berikutnya yang lebih mutakhir.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari makalah ini, adalah sebagai berikut.
 Beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia khususnya di provinsi
Sulawesi Tengah memperlihatkan bahwa betapa kayanya Negara ini.
Dengan berbagai perbedaan yang ada, namun tidak membuat perpecahan
antar masyarakat.
Penduduk asli di provinsi Sulawesi Tengah terdiri atas 19 kelompok etnis atau suku,
yaitu :
Etnis Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu
Etnis Kulawi berdiam di kabupaten Donggala
Etnis Lore berdiam di kabupaten Poso
Etnis Pamona berdiam di kabupaten Poso
Etnis Mori berdiam di kabupaten Morowali
Etnis Bungku berdiam di kabupaten Morowali
Etnis Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Balantak berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Mamasa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Taa berdiam di kabupaten Banggai
Etnis Bare'e berdiam di kabupaten Touna
Etnis Banggai berdiam di Banggai Kepulauan
Etnis Buol mendiami kabupaten Buol
Etnis Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis Tomini mendiami kabupaten Parigi Moutong
Etnis Dampal berdiam di Dampal, kabupaten Tolitoli
Etnis Dondo berdiam di Dondo, kabupaten Tolitoli
Etnis Pendau berdiam di kabupaten Tolitoli
Etnis Dampelas berdiam di kabupaten Donggala
Di Sulawesi Tengah, secara umum Masyarakat Adat memandang hutan sangat erat
hubungannya dengan kehidupan mereka, karena secara sosial-budaya hutan sudah
menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat, digunakan sebagai tempat ritual
adat.

B. Saran
Dengan semakin berkembangnya zaman, serta pengaruh globalisasi dan juga
pengaruh budaya-budaya asing. Kebudayaan-kebudayaan yang ada semakin
tergeser dan hampir punah. Untuk mencegah punahnya kebudayaan tersebut perlu
dilakukan berbagai tindakan. Berbagai kebudayaan yang beragam yang ada di
provinsi Sulawesi Tengah seharusnya tetap dijaga dan dilestarikan. Para generasi
penerus harus tetap mempertahankan kebudayaan-kebudayaan yang telah ada.
Pemerintah setempat juga harus terlibat dalam proses pelestarian kebudayaan
dengan melakukan upaya-upaya berupa pembentukan lembaga-lembaga, sosialisasi
dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Anonym “Sosial Budaya Sulawesi Tengah” dalam


http://www.google.co.id/sosial-budaya-Sulawesi-Tengah/ diakses pada tanggal 07
Oktober 2011
Anonym “Dampak Perubahan Sosial Budaya” dalam
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1992756-dampak-perubahan-
sosial-budaya/#ixzz1bCRgQoGU diakses pada tanggal 10 Oktober 2011
Anonym “Peluang Dan Ancaman Implementasi Skema” dalam
www.amansulteng.blogspot.com/2011/9/peluang-dan-ancaman-implementasi-
skema.html diakses pada tanggal 01 November 2011
Anonym “---------------------------“dalam http://posobersatu.multiply.com/ diakses
pada tanggal 10 Juni 2011
Anonym “Perpres No. 6 Tahun 2011”. 17 Februari 2011 dalam
http://www.djpk.depkeu.go.id/regulation/27/tahun/2011/bulan/02/tanggal/17/id/59
0/ diakses pada tanggal 23 Mei 2011.

Anda mungkin juga menyukai