Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS JURNAL

Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Penurunan


Frekuensi Diare Dan Bising Usus Pada Balita

OLEH

NAMA : SRI AMELIA ULAMA

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan kesehatan yang sering terjadi pada masa anak-anak dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang anak, khususnya jika gangguan
tersebut terjadi pada saluran pencernaan yang mempunyai peranan penting
dalam penyerapan nutrisi yang diperlukan untuk menunjang tumbuh kembang
anak. Salah satu gangguan pada saluran pencernaan yang sering terjadi pada
anak adalah diare (Iswari, 2011)
Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga
merupakan penyakit potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai
kematian. Pada tahun 2015 terjadi 18 kali KLB diare yang tersebar di 11
proinsi, 18 Kabupaten/kota dengan jumlah penderita 1.213 orang dan
kematian 30 orang (Riskesdas, 2015).
Kota Gorontalo merupakan yang tebanyak menangani kasus diare
dengan persentase terbanyak mendominasi perempuan yaitu 88%. Untuk
persentase kasus diare ditangani di kabupaten Boalemo dan kabupaten
Pohuwato terhitung rendah dibandingkan dengan kota Gorontalo. Jika
menghimpun seluruh laporan kasus diare yang ditangani dikabupaten/kota,
maka kasus diare yang ditangani provinsi Gorontalo yaitu terhitung rendah
yaitu laki-laki sebesar 24.8% dan perempuan sebesar 28.5% (Dikes Provinsi
Gorontalo, 2011).
Diare adalah pengeluaran feses yang tidak normal dan cair. Bisa juga
didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak normal dan berbentuk cair
dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Bayi dikatakan diare bila sudah
lebih dari 3 kali buang air besar, sedangkan neonatus dikatakan diare bila
sudah lebih dari 4 kali buang air besar (Dewi, 2010).
Cairan yang dikeluarkan pada saat diare begitu banyak ke dalam lumen
saluran cerna akan membersihkan saluran cerna dari bahan patogen, namun di
sisi lain akan mengakibatkan kehilangan cairan, elektrolit dan kehilangan

2
bahan makanan melalui feses, apabila proses berlanjut terus akan berdampak
pada status gizi dan pertumbuhan anak. Gangguan pertumbuhan pada diare
terjadi akibat masukan makanan yang berkurang, gagguan pencernaan dan
gangguan absorpsi, disamping itu pada keadaan infeksi kebutuhan kalori
seseorang akan meningkat. (Fida, 2012).
Dari studi laboratorium dan uji klinis, madu murni memiliki aktivitas
bakterisidal yang dapat melawan beberapa organisme enteropathogenic,
termasuk diantaranya spesies dari Salmonella, Shigella dan E.Coli.
(Kristianasari, 2011). Uji klinis pemberian madu pada anak yang menderita
gastroenteritis telah diteliti. Para peneliti mengganti glukosa didalam cairan
rehidrasi oral yang mengandung elektrolit standar seperti yang
direkomendasikan WHO/UNICEF, dan hasilnya diare mengalami penurunan
yang signifikan (Pediatri, 2011)
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
analisis jurnal tentang “Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Penurunan
Frekuensi Diare Dan Bising Usus Pada Anak Balita”

3
1.2 Tujuan
Mendiskripsikan Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Penurunan Frekuensi
Diare Pada Anak
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Praktis
a. Bagi Program Studi Profesi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan
bahan bacaan tentang keperawatan anak
b. Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi perawat dalam asuhan keperawatan anak.
c. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi rumah sakit
dalam melaksanakan penatalaksanaan asuhan keperawatan anak.
1.3.2 Manfaat Teoritis
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai perkembangan teori
yang dapat diterapkan dalam teori tambahan dan aplikasi dalam asuhan
keperawatan anak

4
BAB II

METODE DAN TINJAUAN TEORITIS

2.1 Metode Pencarian


Analisis jurnal ini menggunakan 1 (satu) media atau metode pencarian jurnal,
yaitu menggunakan database dari Google scholar sebagai berikut :

Kata Kunci Hasil Pencarian


Terapi Madu 2.230
S1 AND diare 643
S2 AND Anak 581
S3 AND (membatasi tahun publikasi
259
2013 - 2018)
Jurnal yang dipilih : Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Penurunan
Frekuensi Diare Pada Anak

2.2 Konsep tentang Tinjauan Teoritis


2.2.1 Diare
A. Definisi
Diare adalah pengeluaran feses yang tidak normal dan cair. Bisa
juga didefinisikan sebagai buang air besar tidak normal dan berbentuk
cair dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Bayi dikatakan diare
jika sudah lebih 3 kali buang air besar, sedangkan neonatus dikatakan
diare jika sudah lebih dari 4 kali buang air besar (Dewi, 2013)
Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak
normal atau tidak seperti biasanya. Perubahan yang terjadi berupa
peningkatan volume cairan, dan frekuensi dengan atau tanpa lender
darah seperti lebih dari 3x/hari (Hidayat,2008)

5
B. Etiologi
Menurut Sudarti (2010) etiologi diare sebagai berikut:
a) Infeksi
1. Enteral yaitu infeksi yang terjadi dalam saluran percernaan
yang merupakan penyebab utama terjadinya diare meliputi:
a. Infeksi bakteri : vibri, E. Coli, Salmonella, Shingella
Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dan sebagainya.
b. Infeksi virus Enterovirus (virus ECGHO) Coxsaekre,
Polomyelitis, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan
sebagainya
c. Infeksi parasite cacing (Ascaris Irichiuris, Oxyuris,
Strongylodies) Protozoa (Entamoeba Histolytica,
Giardia Lamblia) Jamur (Candida Albicans)
2. Parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar alat
perncernaan. Misalnya OMA, dll.
b) Malabsorbsi
1. Karbohidrat : disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan
sukrosa). Monosakarida (intoleransi glukosa dan galaktosa.
Pada anak dan bayi yang paling berbahaya adalah
intoleransi laktosa.
2. Lemak
3. Protein
4. Makanan, misalnya basi, beracun, alergi
5. Psikologis, misalnya rasa takut atau cemas
C. Klasifikasi Diare
Ada dua jenis diare menurut Suraatmaja (2007) yaitu:
a) Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi
dan anak sebelumnya sehat
b) Diare kronik adalah diare yang berkelanjutan sampai 2 minggu
atau lebih dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak
bertambah selama masa diare tersebut

6
D. Faktor yang mempengaruhi terjadinya diare
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada bayi dan
balita. Adapun faktor risiko terjadinya diare yaitu :
a) Faktor anak, bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang
paling banyak menderita diare, kerentanan kelompok usia ini juga
banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur anak,
pemberian ASI, status gizi dan status imunisasi campak (Iswari,
2011)
b) Faktor orang tua, peranan orang tuaa dalam pencegahan dan
perawatan anak dengan diare sangatlah penting. Faktor yang
mempengaruhinya yaitu umur ibu, tingkat pendidikan,
pengetahuan ibu mengenai hidup sehat dan pencegahan terhadap
penyakit. Rendahnya tingkat pendidikan ibu dan kurangnya
pengetahuan ibu tentang pencegahan diare dan perawatan anak
dengan diare merupakan penyebab anak terlambat ditangani dan
terlambat mendapatkan pertolongan sehingga beresiko mengalami
dehidrasi (Iswari, 2011)
c) Faktor lingkungan, penularan penyakit diare sangat dipengaruhi
oleh faktor lingkungan dimana sebagian besar penularan melalui
faecal-oral yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sarana air
bersih dan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan serta
perilaku sehat dari keluarga (Iswari, 2011)
d) Social ekonomi, ada beberapa hal yang mempengaruhi faktor
social ekonomi yaitu jumlah balita dalam keluarga, jenis pekerjaan,
pendidikan ayah, pendapatan, jumlah anak dalam keluarga dan
faktoractoromi. Hal ini menunjukan bahwa rendahnya status
ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor risiko penyebab
terjadinya diare terutama pada anak bayi dan balita (Iswari, 2011)

7
E. Patofisioligi Diare

F. Manifestasi klinis
Menurut Sudarti (2010)
a) Cengeng
b) Gelisah
c) Suhu meningkat
d) Nafsu makan menurun

8
e) Tinja cair, lender kadang-kadang ada darahnya. Lama-lama tinja
berwarna hijau
f) Anus lecet
g) Dehidrasi, bila menjadi dehidrasi berat akan terjadi volume darah
berkurang, nadi cepat dan kecil, denyut jantung cepat, tekanan
darah turun, kesadaran menurun dan diakhiri dengan syok
h) Berat badan menurun
i) Turgor kulit menurun
j) Mata dan ubun-ubun cekung
k) Selaput lender dan mulut serta kulit menjadi kering
G. Penatalaksanaan diare akut
Menurut Dewi (2010) penatalaksanaan diare sebagai berikut :
a) Pemberian cairan
b) Diabetic (pemberian makanan)
c) Obat-obatan
1. Jumlah cairan yang diberikan adalah 100ml/kgBB/hari
sebanyak 1 kali setiap 2 jam, jika diaretanpa dehidrasi.
Sebanyak 50% cairan ini diberikan dalam 4 jam pertama dan
sisanya adlibitum
2. Sesuaikan dengan umur anak : < 2 tahun diberikan 1/2 gelas; 2-
6 tahun diberikan 1 gelas; >6 tahun diberikan 400 cc (2 gelas)
3. Apabila dehidrasi ringan dan diarenya 4 kali sehari, maka
diberikan cairan 25-200ml/kgBB dalm sehari atau setiap jam 2
kali.
4. Oralit diberikan sebanyak ±100ml/kgBB setiap 4-6 jam pada
kasus dehidrasi ringan sampai berat.
H. Penatalaksanaan Terapeutik
a) Penanganan focus pada penyebab
b) Pemberian cairan dan elektrolit, oral (seperti pedialyte atau oralit)
atau terapi parenteral.

9
c) Pada bayi, pemberian ASI diteruskan jika penyebabnya bukan dari
ASI (Suriadi, 2001)
2.2.2 Madu
A. Komposisi dan produksi madu
Madu yang diproduksi lebah berasal dari nectar tanaman sekresi
tanaman dan dari ekskresi tanaman “honeydew”. The food Standards
Code mendefinisikan madu sebagai eksudasi tanaman berupa nectar
dan gula yang dikumpulkan, dimodifikasi dan disimpan oleh lebah
penghasil madu. Farmakope Inggris mendefinisikan madu murni
sebagai hasil purifikasi madu yang berasal dari sarang lebah (Cholid,
2011). Rasa manis madu lebih manis dibandingkan dengan gula
(sakarosa) disebabkan adanya kandungan fruktosa (gula buah), glukosa
dan sakarosa (Cholid,2011)
B. Aktivitas antimikroba madu
a) Osmolaritas
Banyak penelitian menyebutkan bahwa madu mempunyai
efek antimikroba, aktivitas antimikroba tersebut akibat osmolaritas
kandungan hydrogen peroksida serta bahan-bahan lainnya. Ketika
madu diberikan secara topical pada luka, maka daya osmosis madu
akan menyerap air dari luka sehingga membantu mengeringkan
jaringan yang terinfeksi serta mengurangi pertumbuhan bakteri
(Cholid, 2011)
Bakteri ini masih dapat tumbuh dalam kulit terinfeksi yang
dapat diobati dengan konsentrat larutan gula murni, tetapi bakteri
ini sensitive terhadap komponen antimikroba lainnya yang terdapat
dalam madu dengan besar aktivitas air yang sama (Cholid, 2011)
b) Tingkat keasaman
Madu mempunyai pH sedikit rendah, yaitu antara 3.2 sampai
4,5. Asam glukonik dalam madu dibentuk oleh enzim glukosa
oksidase yang disekresi oleh lebah, enzim tersebut mengkatalisis
proses oksidasi glukosa menjadi asam glukonik. pH yang rendah

10
sendiri sudah mampu menghambat pertumbuhan berbagai bakteri
pathogen, terutama pada pemakaian topical. Pada pemakaian per
oral, efek pH yang rendah dalam madu akan hilang karena
mengalami perubahan tingkat keasaman didalam lambung dan
lumen usus (Cholid, 2011)
c) Aktivitas antimikroba madu dibandingkan dengan antibiotik
Penelitian lain telah membandingkan aktivitas antimikroba
pada madu yang berasal dari sejumlah lebah Sundanese
dibandingkan dengan lima buah antibiotic (30 µg/mL), yaitu
ampisilin, sefradin, kloramfenikol, gentamicin dan oksitetrasikin.
Madu yang dilarutkan (0,2 mL) diuji dengan pathogen Bacillus
subtilis, S. aureus, E.Coli, Klebsiella aerogenes dan Psedomonas
aeruginosa. Madu yang diuji dapat menghambat pertumbuhan
semua bakteri tersebut, tetapi gentamicin merupakan satu-satunya
antibiotic yang menghambat P. aeruginosa secara efektif (Cholid,
2011)
Berdasarkan hasil penelitian seorang peneliti dari
Departemen of Biochemistry Faculty of Medicine Universiti of
Malaya di Kuala Lumpur, paling tidak ada empat faktor yang
bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri pada madu.
Pertama, kadar gula yang tinggi akan menghambat pertumbuhan
bakteri sehingga bakteri tersebut tidak dapat hidup dan
berkembang. Kedua, tingkat keasaman madu yang tinggi akan
mengurangi pertumbuhan dan daya hidupnya sehingga bakteri
tersebut mati. Ketiga, adanya senyawa radikal hydrogen peroksida
yang bersifat dapat membunuh mikroorganisme patogen. Dan
faktor yang keempat, adanya senyawa organic yang bersifat
antibakteri. Senyawa organic tersebut tipenya bermacam-macam,
yang telah teridentifikasi antara lain seperti polyphenol, flavonoid
dan glikosida (Cholid, 2011)

11
C. Madu sebagai pengganti gula dalam oralit
Penelitian yang dilakukan oleh I. Sudigbia (1986) yang
membandingkan antara oralit WHO dengan oralit madu didapatkan
perbedaan yang bermakna dalam hal akseptabilitas diantara keduanya
(P< 0,01), hal ini dimungkinkan oleh karena rasa oralit madu yang
lebih enak disbanding oralit WHO (Cholid,2011).
Uji klinik dari pengobatan dengan madu pada anak-anak yang
menderitas gastroenteritis telah dilaporkan oleh Haffejee dan Moosa,
mereka mendapatkan dengan mengganti glukosa (111 mmol/I) yang
terkandung didalam cairan rehidrasi oral yang mengandung elektrolit
standart seperti yang direkomendasikan WHO/UNICEF, rata-rata
waktu pemulihan dari pasien (usia 8 hari sampai 11 tahun) mengalami
penurunan yang signifikan (Cholid, 2011)
D. Manfaat madu
Madu terbukti memiliki banyak manfaat untuk menjaga kesehatan,
bahkan menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini dikarenakan
manfaat madu sebagai berikut:
a) Prebiotik
Prebiotik adalah nutrisi bagi probiotik, dimana probiotik
merupakan bakteri hidup yang jika dikonsumsi dalam jumlah
cukup akan memberikan manfaat kesehatan dengan
menyeimbangkan mikroflora saluran cerna (FOA/WHO, 2006).
Selain itu, probiotik juga dapat memperbaiki sistem imun
dengan meningkatkan neurtofil, monosit, natural killer cell, dan
fagositosis makrofag Probiotik akan mengaktifkan makrofag lokal
untuk mempresentasikan antigen kepada sel T, kemudian sel T
merilis sitokin untuk mengaktifkan limfosit B, dan akhirnya
limfosit B mensintesis immunoglobulin, yaitu IgA. Hal tersebut
akan mencegah kolonisasi bakteri patogen pada intestinal
(Madsen, 2008). Probiotik memproduksi asam laktat dari
karbohidrat sehingga digolongkan sebagai bakteri asam laktat

12
yang terdiri dari tiga genus yaitu Lactobacillus, Bifidobacterium,
dan Streptococcus. Hal tersebut menyebabkan pH dalam
lingkungan saluran cerna menurun, probiotik dapat tumbuh subur
sedangkan patogen tidak dapat hidup (Htwe, 2008).
b) Antioksidan Madu
Antioksidan merupakan senyawaa pemberi elektron (elektron
donor) atau reduksi. Antioksidan mencegah terjadinya oksidasi
atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara
menyumbangkan hidrogen dan atau elektron. Senyawa ini mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan
mencegah terbentuknya radikal atau dengan mengikat radikal
bebas dan molekul yang sangat reaktif. Kandungan antioksi dan
madu berasal dari berbagai nutrisi yang terkandung seperti
vitamin C, asam organik, enzim, fenol dan flavonoid (Fajrilah,
Ulfah & Qathrunnada, 2013).
c) Antibakteri Madu
Madu memiliki aktivitas antibakteri spektrum luas terhadap
bakteri gram positif dan negatif, seperti S. aureus, E. coli dan
Salmonella sp. Penghambatan pertumbuhan bakteri tersebut
terutama karena efek peroksida yang terdapat di dalam madu
(Carina, Varela & Basualdo, 2014). Aktivitas ini diaktifkan oleh
proses pengenceran karena akan meningkatan kadar glukosa
oksidase. Enzim glukosa oksidase dapat mengubah glukosa
menjadi asam glukoronat dan hidrogen peroksida. Dengan
meningkatnya glukosa oksidase akan diikuti dengan peningkatan
hidrogen peroksida yang memiliki efek antibakteri (Abeshu &
Geleta, 2016). Tingkat keasaman madu yang rendah yaitu dengan
pH antara 3,2 dan 4,5 akan menghambat pertumbuhan bakteri dan
menjadikan bakteri mati dalam kondisi tersebut (Abeshu &
Geleta, 2016). Saat besenyawa dengan air, madu akan

13
menghasilkan hidrogen peroksida yang bersifat sebagai
desinfektan (Nurheti, 2015).
E. Dosis dan Pemberian Madu
Konsumsi madu dalam dosis tinggi memiliki efek signifikan dalam
pelengkap terapi AR (Alergi Rhinitis), dengan pemberian dosis 1
gram/kgBB per hari dalam dosis terbagi (Asha’ari et al, 2013). Pusat
Penelitian dan Pembangunan Gizi di Bogor pada tahun 2000
melakukan penelitian dengan obyek penelitian balita, memberikan
sebanyak 20 gram setiap hari. Sedangkan menurut Muhilal, 2-3 sendok
makan madu 2x sehari sudah cukup memadai untuk kesehatan tubuh.
Ukuran satu sendok makan madu setara dengan 20 gram madu
(Asha’ari et al, 2013). Konsumsi madu untuk pengobatan lebih baik
dalam bentuk larutan dalam air karena akan memudahkan
penyerapannya di dalam tubuh (Cholid, 2011). Pemberian madu tidak
boleh dilakukan kepada bayi berusia dibawah 12 bulan. Hal ini
dikarenakan dapat menimbulkan botulisme pada bayi (Grant et al,
2013). Botulisme bayi disebabkan oleh tertelannya spora Clostridium
botolinium dan menghasilakan botulinum toksin dalam saluran
pencernaan, yang kemudian menyebabkan gejala klinis (King et al,
2010).

14
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Author Tahun Judul Metode
Rika Herawati 2017 Pengaruh Pemberian Madu Metode Penelitian ini
Terhadap Penurunan Frekuensi bersifat kuantitatif
Diare Pada Anak Balita Di analitik
Rumah Sakit Umum (RSUD) Dengan rancangan
Rokan Hulu Pra eksperimen
dengan pendekatan
pretest posttest
Tri Purnamawati, 2016 Terapi madu efektif untuk Quasi eksperimental
Nani Nurhaeni, Nur menurunkan frekuensi diare dan dengan jenis
Agustin bising usus pada anak usia nonequivalent
balita control group before
after design
Dian Puspitayani, 2014 Pengaruh Pemberian Madu Metode Penelitian
Listriana Fatimah Terhadap Penurunan Frekuensi Ini Menggunakan
Diare Anak Balita Di Desa Quasy Eksperimental
Ngumpul, Jogoroto, Jombang Design Dengan Post
Test Only Control
Group.
Sofyan Cholid, Budi 2011 Pengaruh pemberian madu pada Penelitian uji klinis
santosa, Suhartono diare akut (randomized
controlled trial)
tersamar tunggal
pada 70 subjek diare
akut dengan diare
ringan sedang.
H.S. Mansouri- 2016 Effects of Probiotics with or A randomized,
Tehrani, M. Rabbani without Honey on Radiation- Placebo-Controlled
Khorasgani, M. induced Diarrhea Study
Roayaei
Elnady, Hala G, 2013 Honey: an adjuvant therapy in Penelitian ini adalah
Abdalmoneam, acute infantile diarrhea uji klinis prospektif
Naglaa, Aly, Nadia A, acak sederhana yang
Saleh, Maysa T, dilakukan pada 150
Sherif, Lobna S, bayi (usia 6-24
Kholoussi, Shams bulan) yang
menderita diare akut
dengan dehidrasi
ringan sampai
sedang. Diare akut

15
didefinisikan sebagai
melewati tiga atau
lebih tinja yang
kendor atau berair
atau sejumlah feses
longgar yang
mengandung darah
selama periode 24
jam

3.2 Pembahasan

Pemberian madu dapat menurunkan frekuensi diare karena madu dapat


menghambat semua pertumbuhan bakteri seperti E.Coli, Staphylococcus,
salmonella typhosa, bahkan Pseudomonas aeruginosa yang kerap kali resisten
terhadap antibiotik. Terapi antibiotik (madu mengandung antibiotik yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri) menawarkan keuntungan dapat
mengurangi durasi penyakit dan meningkatkan awal kesembuhan klinis
Dari beberapa hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian madu
terhadap diare pada anak balita menunjukkan bahwa terapi madu efektif dalam
menurunkan frekuensi diare dan bising usus pada anak balita. Hal ini
didukung oleh beberapa penelitian, seperti (Rika Herawati, 2017), (Tri
purnawati Nani Nurhaeni, Nur Agustin, 2016), (Dian Puspita Yani, Listriyana
Fatimah, 2014) (Sofyan Colid, Budi Santos & Suhartono, 2011), (H.S
Mansouri Tehrani, M Rabbani Khorasgani, M, Roayaei 2016), (penelitian
Elnady, Hala G, Abdalmoneam, Naglaa, Aly, Nadia A, Saleh, Maysa T, Sherif,
Lobna S, Kholoussi, Shams 2013) mengatakan bahwa ada pengaruh
pemberian madu terhadap frekuensi diare dan penurunan bising usus. Namun
dari beberapa penelitian tersebut memiliki perbedaan waktu dan dosis dalam
pemberian madu tersebut.
Pada penelitian (Sofyan Colid, Budi Santos & Suhartono, 2011)
melakukan penelitian dengan meberikan madu untuk menurunkan frekuensi
diare pada anak dengan dosis yang diberikan sebanyak 20 g/ hari rata-rata
diberikan 3 kali perhari dengan menggunakan pengenceran aquades steril jadi

16
rata-rata menjadi 10 cc pada masing-masing pemberian, dan mengalami
kesembuhan 50% terjadi pada perawatan hari ke-3. Berbeda dengan
penelitiannya (Tri purnawati Nani Nurhaeni, Nur Agustin, 2016)
menggunakan madu sebagai terapi penurunan frekuensi diare dan bising usus
dengan menggunakan madu tiga kali dalam sehari sebanyak 2,5 ml, dan
didapatkan hasil terjadi penurunan antara frekuensi diare dan bising usus.
Sedangkan penelitian (Dian Puspita Yani, Listriyana Fatimah, 2014) tidak
menyebutkan berapa dosis madu yang harus diberikan untuk menurunkan
frekuensi diare akan tetapi dalam penelitian ini menyebutkan bahwa setelah
diberikan madu terdapat penurunan frekuensi dan tingkat konsistensi dalam
waktu 24 jam dengan cepat. Sedangkan penelitian dari (Rika Herawati 2017.
H.S Mansouri Tehrani, M Rabbani Khorasgani, M, Roayaei 2016 dan
penelitian Elnady, Hala G, Abdalmoneam, Naglaa, Aly, Nadia A, Saleh,
Maysa T, Sherif, Lobna S, Kholoussi, Shams 2013) dalam hasil penelitian ini
tidak disebutkan berapa lama waktu pemberian madu dan berapa dosis yang
harus diberikan untuk menurunkan frekuensi diare, akan tetapi dalam
penelitian ini mengatakan bahwa dengan memberikan madu terbukti untuk
menurunkan frekuensi diare dibandingkan responden yang tidak diberikan
madu sama sekali.
Oleh karena itu dapat dismpulkan dengan mengkonsumsi madu dapat
menurunkan frekunsi diare dengan waktu 24 jam setelah kita mengkonsumsi
madu. mengkonsumsi madu untuk pengobatan lebih baik dalam bentuk larutan
dalam air karena akan memudahkan penyerapannya di dalam tubuh (Cholid,
2011).

17
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dengan mengkonsumsi madu dapat menurunkan frekunsi diare
dengan waktu 24 jam setelah kita mengkonsumsi madu dikarenakan madu
mengandung antibiotik yang dapat menghambat semua pertumbuhan
bakteri, salah satu bakteri tersebut yaitu E.Coli.
4.2 Saran
4.2.1 Bagi Program Studi Profesi Ners

Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan


bahan bacaan tentang keperawatan anak
4.2.2 Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi perawat dalam tindakan mandiri keperawatan yaitu terapi madu
terhadap penurunan frekuensi diare pada anak
4.2.3 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah
Sakit dalam penggunaan terapi komplementer khususnya terapi madu
dapat dipertimbangkan untuk menjadi salah satu tindakan pada pasien
anak yang mengalami diare dalam upaya peningkatan pelayanan di
Fasilitas Kesehatan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dewi. Vivian N. L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.


Jakarta:Salemba Medika
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Profil Kesehatan Indonesia
2015.
Fida dan Maya. 2012. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jogjakarta: D-Medika
Iswari, Yeni dalam Tesis Analisis Faktor Risiko Kejadian Diare pada Usia Anak
dibawah 2 tahun di RSUD Koja Jakarta. FIK UI. 2011
Pediatri, S. (2011). Pengaruh Pemberian Madu Pada Diare Akut, (online), Vol. 12,
No. 5.
Puspitayani, D, Fatimah, L. (2014). Pengaruh Pemberian Madu Terhadap
Penurunan Frekuensi Diare Anak Balita di Desa Ngumpul, Jogoroto,
Jombang,(online), Vol. 4 No. 2.
Kristianasari, Weni. 2011. Asuhan Keperawatan Neo Natus dan Anak.
Yogyakarta: Nuha Medika
Dinas Kesehatan Provinsi Riau. (2010). Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun
2010. (online)
Hidayat, A.A.A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Lestari, Dewi. 2013. Deteksi Penyakit Anak dan Pengobatannya. Jakarta Selatan:
Tugu Publisher
Sudarti. 2010. Kelainan dan penyakit pada bayi dan Anak. Nuha Medika.
Yogyakarta
Suraatmaja. 2007. Gastroenterologi anak. Sagung Seto. Jakarta.
Kholid, Syofyan. Sari Pediatri .http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/12-5-1.pdf..,
Vol. 12, No. 5, Februari 2011 hal. 289
Hadharah, Tim Darul. (2014). Sehat Dengan Terapi Madu. Solo: Kiswah Media
Herawati, R. 2017 Pengaruh Pemberian Madu Terhadap Penurunan Frekuensi
Diare Pada Anak Balita Di Rumah Sakit Umum (RSUD) Rokan Hulu
Purnamawati, T. Nurhaeni, N. Agustin, N. 2016. Terapi madu efektif untuk
menurunkan frekuensi diare dan bising usus pada anak usia balita
Prestianti., I. 2017. Uji aktivitas Ekstrak sarang lebah dan madu hutan dari kolaka
terhadap pertumbuhan bakteri S. aureus, E.Coli, dan Psedomonas aeruginosa.
H.S. Mansouri-Tehrani, M. Rabbani Khorasgani, M. Roayaei. 2016. Effects of
Probiotics with or without Honey on Radiation-induced Diarrhea

19
Elnady, Hala G, Abdalmoneam, Naglaa, Aly, Nadia A, Saleh, Maysa T, Sherif,
Lobna S, Kholoussi, Shams. 2013. Honey: an adjuvant therapy in acute
infantile diarrhea

20

Anda mungkin juga menyukai