Anda di halaman 1dari 24

Rinitis, Otitis Media Akut dan Otitis Media Efusi

Gabriella Selara Pangarepo

11-2018-046

DOKTER PEMBIMBING:
dr. Rakhmat H, Sp.THT-KL,M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSPAD GATOT SUBROTO
JUNI 2019

1
Rinitis Akut

Rinitis akut adalah radang pada mukosa hidung yang berlangsung akut, kurang dari 12
minggu, dapat disebabkan karena infeksi virus, bakteri, ataupun iritan, yang sering
ditemukan karena menifestasi dari rinitis simplek (commen cold), influenza, penyakit
eksantem (seperti morbili, variola, varicela, pertusis), penyakit spesifik, serta sekunder dari
iritasi lokal atau trauma.

Klasifikasi dan Etiologi


Rinitis akut terdiri atas 3 tipe, yaitu :
1. Rinitis Virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:
a. Rinitis Simplek (Pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet
di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan
subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari
dan berakhir dalam 2-3 minggu.
Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera diikuti
dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa
dingin, dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Awalnya, secret hidung (ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi
mukopurulen bila terdapat invasi sekunder bakteri, seperti Streptococcus
Haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus Influenzae, Klebsiella
Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.
Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan membaik
secara spontan setelah 2-3 minggu, tetapi kadang-kadang, komplikasi seperti
sinusitis, faringitis, tonsiitis, bronchitis, pneumonia dan otitis media dapat terjadi.
b. Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya
mirip dengan common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi bakteri sering
terjadi.

c. Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis,
dimana didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.

2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:
a. Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.
1) Rinitis Bakteri Primer
Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi pneumococcus,
streptococcus atau staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan yang lengket
dapat terbentuk di rongga hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan
pendarahan.

2
2) Rinitis Bakteri Sekunder
Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut
b. Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri dapat
bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam
bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita
dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan
karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat.
Gejala rinitis akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin
ada paralisis otot pernafasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah.
Membrane keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian
bawah, membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi
berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir bagian atas dapat terlihat.
Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan antitoksin difteri.

3. Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat
iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga disebabkan
oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi
intranasal,contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat
reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat
dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari jika
epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi
yang terjadi karenanya.

Stadium
a. Stadium prodromal, pada hari pertama:
1) rasa panas dan kering pada cavum nasi.
2) bersin-bersin.
3) hidung tersumbat.
4) sekret encer jernih seperti air.
Pemeriksaan (rhinoskopi anterior/RA)  cavum nasi sempit, terdapat sekret
serous dan mukosa udem dan hiperemis.
b. Stadium akut, hari kedua sampai keempat:
1) bersin-bersin berkurang.
2) obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hiposmia, gangguan
gustateris, rasa makanan tidak enak.
3) sekret kental kuning.
4) badan tak enak.
Pemeriksaan  cavum nasi lebih sempit, sekret mukopurulen. Mukosa lebih
udem dan hiperemis.
c. Stadium Penyembuhan (resolusi) hari kelima sampai ketujuh:
Gejala-gejala di atas berkurang (udem dan hiperemis berkurang, obstruksi
berkurang, sekret berkurang). Kadang-kadang rinitis akut didahului gejala nasofaringitis

3
sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya faringitis atau laringitis
akut tidak selalu didahului oleh rinitis akut.

Manifestasi Klinis
Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan antara tipe
yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung, bersin,
hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer hingga mukopurulen. Mukosa hidung
dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya diikuti juga dengan
gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala.
Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit pada otot.
Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik atau ruam muncul.
Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada rinitis iritan.

Diagnosis
Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya. Walaupun pada dasarnya
memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, tetapi terdapat juga beberapa karekteristik
yang khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri, diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan kuman dari sekret hidung.

Penatalaksanaan
Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan setelah
kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih bersifat
simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin disertai
dengan istirahat yang cukup. Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat
komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.
Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang banyak, membuat pasien merasa
lebih nyaman, namun tidak menyembuhkan.4 Tetes hidung efedrin 1 % sangat menolong,
bila hidung tersumbat. Oleh karena lisozim dinonaktifkan dalam suasana basa, maka setiap
obat hidung harus mempunyai pH asam untuk mencegah terjadinya aktivitas silia dan
lisozim. Pemberian obat simtomatik oral sangat efektif dengan diberikan 4 jam sekali,
suatu kapsul yang terdiri dari

Efedrin sulfat 0,015 g


Pentobarbital 0,015 g
Asam asetil salisilat* 0,300 g
*dapat digantikan dengan 300 mg Asetaminofen.
Preparat analgetik-antipiretik dapat meringankan gejala, dimana antipiretik terpilih adalah
asetaminofen.

Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah dengan
menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat terbentuknya system
imuitas yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing. Istirahat
yang cukup, mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga yang
teraturjuga baik untuk menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi

4
lengkap juga dianjurkan, seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis
eksantematous.
Pencegahan tergantung kepada :
a. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
b. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
c. Tidak berbagi sapu tangan, alat makan, atau gelas minum.
d. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.

Komplikasi
a. Otitis media akut.
b. Sinusitis paranasalis.
c. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracho bronchitis, pneumonia.
d. Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakti lain yaitu jangung dan asma bronkhial.

Prognosis
Rinitis akut merupakan “self limiting disease” umumnya sembuh dalam 7 -10 hari.
Tapi dapat lebih lama 3 minggu bila ada faringitis, laringitis atau komplikasi lain.

5
Rinitis Kronis
Rinitis Kronis merupakan suatu penyakit infeksi hidung yang berulang dengan tanda adanya
atrofi progresif tulang dan mukosa konka. Rhinitis kronis dibagi dalam beberapa macam yaitu
rhinitis simplek kronis, rhinitis hipertrofi, rhinitis atrofi, rhinitis sika, dan rhinitis kaseosa.
Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi,
rhinitis vasomotor, dan rhinitis medikamentosa.

1. Rinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh raksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersenditisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Karakteristik klinis rinitis alergika adalah bersin, hidung tersumbat, beringus, dan gatal di
hidung, setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantai oleh IgE.

a. Rinitis Alergi
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak - anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.
b. Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau, debu
rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta jamur
2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan,
udang kepiting
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan misalnya penisilin dan sengatan lebah
4. Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.

c. Klasifikasi Rinitis Alergi


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasrkan sifat berlangsungnya yaitu:
1. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis ). Di Indonesia tidak dikenal
rinitis alergi musiman, hanya di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebab nya
spesifik, yauitu tepung sari (pollen) dan spora jamur. Gejala klinik yang tampak ialah gejala
pada hidung dan mata ( mata merah, gatal disertai lakrimasi )
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ii timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun.

d. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA


(Allergic Rhinitis and its Impact on Astma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermitan ( kadang – kadang ) : apabila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

6
1. Ringan bila tidak ditemukanngangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja
2. Sedang – berat bila terdapatsatu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

e. Patofisiologi Rinitis Alergi


Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila
Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang
sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell
dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).

f. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas
adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang
normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan,
terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering
kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung
tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan pasien.

7
g. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain
pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering
juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic
crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

h. Pemeriksaan Penunjang
1.a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat
alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
1.b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi
yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji
kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (³Challenge Test´). Alergen ingestan secara tuntas lenyap
dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.
Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
i. Pengobatan
1. Menghindari allergen penyebab. Dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dengan allergen,
menjauhkan allergen dari pasien.

8
2. Terapi simtomatik dengan obat – obatan. Antihistamin oral merupakan senyawa kimia yang
dapat melawan kerja histamine dengan mekanisme inhibisi kompetitif pada lokasi reseptor
histamin. Antihistamin H1 yang sering digunakan adalah etanolamin, etilendiamin, akilamin,
fenotiazin, dan agen lain seperti siprohrptadin, hidroksizin dan piperazin. Diberikan juga suatu
dekongestan secara tunggal atau dengan antihistamin H1 lokal atau peroral pada pengobatan
rinitis alergika.
2.Rinitis Atrofi
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan
jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang berbau khas.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga
terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
terutama pada umur sekitar pubertas.
a. Etiologi
Banyak teori mengenai etiologi dan patofgenesis rinitis alergi dikemukakan, antara lain:
1) infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies klebsiella, terutama
klebsiela ozaena. Kuman yang lainnya juga sering ditemukan adalah stafilokokus, streptokokus
dan pseudomonas aeruginosa. 2) defisiensi FE, 3) defiensi vitamin A, 4) sinusitis kronik, 5)
kelainan hormonal, 6) penyakit kolagen, yang termasuk pentyakit autoimun.
b. Gejala klinis
Keluhan biasanya berupa napas berbau ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat7. Keluhan lain
dari rinitis atrofi yaitu penurunan penciuman, nyeri kepala dan epistaksis9. Meskipun jalan napas
jelas menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas
lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan
menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke system saraf pusat telah bergerak
semakin jauh dasri gambaran.
Pada pemeriksaan hidung, didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior dan media
menjadi hipertrofi atau atrofi, ada secret purulen dan krusta yang berwarna hijau.

c. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan dapat bersidat konservatif, atau kalau tidak dapat menolong
dilakukan pembedahan.
Pengobatan konservatif. Diberikan antibiotika berspektrum luas atau sesuai dengan uji
resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat. Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat
hasil proses infeksi serta secret purulen dan krusta, dapat dipakai obat cuci hidung. Larutan yang
dapat digunakan dalam larutan garam hipertonik. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan
dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat. Air masuk nasofaring dikeluarkan melalui
mulut, larutan ini dipakai 2 kali sehari.
Pengobatan operatif, jika dengan pengobatan tidak ada apa perbaikan maka dilakukan tindakan
operatif. Tindakan ini bertujuan untuk menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi
pengeringan dan pembentukan krusta, mengistirahatkan mukosa dan memungkinkan terjadi
regenerasi. Tekinik operasi antara lain operasi penutupan lubang hidung atau penyempitan
lubang hidung dengan implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal.

9
3. Rinitis hipertofi
Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukan perubahan mukosa hidung pada konka
inferior ynag mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi
bakteri primer atau sekunder. Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi
infeksi bakteril, misalnya sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat hidung yang
tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur. Secret biasanya banyak dan
mukopurulen.
Pada pemeriksaan ditemukan konka hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya
berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya pasase udara dalam rongga
hidung menjadi sempit. Secret mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior dan sptum
dan juga di dasar rongga hidunh.
Tujuan terapi adlah mengatasi factor-faktor yang menyebabkan terjadinya rinitis
hipertrofi. Terapi simtomatis untuk mengurangi sumbatan hidung akibat hipertrofi konka dapat
dilakukan kausatik konka dengan zat kimia (nitras argenti atau trikloroasetat) atau dengan kauter
listrik (elektrokauterisasi). Bila tidak menolang, dapat dilakukan luksasi konka, frakturisasi
konka multiple, konkoplasti atau bila perlu dilakukan konkotomi parsial.

4. Rinitis Vasomotor
Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologi lapisan mukosa
hidung yang disebabkan peningkatan aktivitas saraf simpatis. Gejalanya mirip dnegan rinitis
alergi, tetapi bukan suatu reaksi allergi atau inflamasi. Rinitis ini digolongkan menjadi no alergi
bila adanya alergi/allergen spesifik tidak dapat diindentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai ( anamnesis, tes kulit, kadar antibody IgE spesifik serum).
a. Etiologi
Belum diketahui, diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan
vasomotor ini dipengaruhi berbagai hal;
1. Neurogenik (disfungsi system otonom). Serabut simpatis melepaskan ko-transmiter
moradrenalin dan neropeptida Y yang menyebabkan vosokontriksi dan penurunan
sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan
adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam.
2. Neuropeptida, pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C dihidung. Adanya
rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan penimgkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar.
3. Oabat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti
ergotamine, klorpormazine, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor local
4. Faktor fisik, iritasi asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang dingin, dan bau
yang merangsang
5. Factor endokrin, seperti kehamilan, pubertas, hipertiroidisme
6. Factor pisikis, seperti cemas, tegang.

b. Mainifestasi klinis
Hidung tersumbat bergantian kiri dan kanan, tergantung posisi pasien, rinorea yang
mucus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang disertai bersin, dan tidak disertai gatal

10
dimata. Gejala memburuk pada pagi hari atau bangun tidur karena udara yang ektrim,
udara lembab, dan juga karena asep rokok dan sebgainya. Berdasarkan gejala yang
menonjol, dibedakan atas golongan obstruksi (tersumbat), rinore (runner) dan golongan
bersin(sneezers). Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukan gambaran klasik berupa
ademe mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau tua atau berwarna pucat,
permukaan berbenjol. Pada rongga hidung biasa nya mukoid, pada golongan rinore biasa
sekret yang ditemukan serosa dan dalam jumlah banyak.

c. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan periksaan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang
ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit
biasanya negative. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

d. Penatalaksanaan
Di cari faktor yang mempengarhi keseimbangan vasomotor dan disingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Terapi bervariasi, tergantung factor penyebab dan gejala yang
menonjol secara umum terbagi atas:
- Menghindari penyebab
- Pengobatan simtomatis, dengan obat dekongestan oral, diatermi, kauterisasi konka yang
hipertrofi dengan nitras argenti 25% atau trikloroasetat pekat. Dapat juga diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya budesonid, dengan dosis 2x100-200, dapat ditigkatkan
sampe 400 mikrogram, sehari.
- Operasi, dengan bedah beku, elekrokauter, atau konkatomi konka inferior.
- Neurotomi nervus vidianus sebagai saraf otonom mukosa hidung, jika cara-cara di atas
tidak berhasil. Operasinya tidak mudah dan komplikasinya cukup berat
-
5. Rinitis Medikamentosa

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal
vasomotor yang diakibatkan oleh pemakain vasokonstriktor topikal ( tetes hidung atau
semprot hidung ) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (drug abuse).
a. Gejala dan tanda
Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan
tampak edema / hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diberi
tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang.
b. Penalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat diberikan
kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara
bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis sebanyak 5 mg setiap hari.
Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).

11
Otitis Media Akut
Otitis media akut ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.

Etiologi
Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media. Pertahanan
tubuh pada silia mukosa tuba Eustachius terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke
dalam telinga tengah terganggu juga sehingga terjadi peradangan. Hal-hal yang menyebabkan
sumbatan pada muara tuba antara lain, infeksi saluran pernafasan, alergi, perubahan tekanan
udara tiba-tiba, tumor, dan pemasangan tampon yang menyumbat muara tuba.

Infeksi Saluran Pernapasan Atas juga merupakan salah satu faktor penyebab yang paling
sering. Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus,
Haemophilus Influenzae (27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus Pneumoniae (38%),
Pneumococcus. Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan
terjadinya otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba Eustachiusnya
pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.

Patogenesis

Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan
atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui
saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi
pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk
melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka
sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan
jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga. Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran
dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga
dengan organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih banyak dapat
menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu
telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut
akhirnya dapat merobek gendang telinga karena tekanannya. OMA dapat berkembang menjadi
otitis media supuratif kronis apabila gejala berlangsung lebih dari 2 bulan, hal ini berkaitan
dengan beberapa faktor antara lain higiene, terapi yang terlambat, pengobatan yang tidak
adekuat, dan daya tahan tubuh yang kurang baik.

Stadium

OMA memiliki beberapa stadium berdasarkan pada gambaran membran timpani yang
diamati melalui liang telinga luar yaitu stadium oklusi, stadium hiperemis, stadium supurasi,
stadium perforasi dan stadium resolusi.

12
Pada stadium oklusi tuba Eustachius perdapat gambaran retraksi membran timpani akibat
tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat absorpsi udara. Membran timpani berwarna
normal atau keruh pucat dan sukar dibedakan dengan otitis media serosa virus. terapi
dikhususkan untuk membuka kembali tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin
0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik
untuk anak yang berumur >12 thn atau dewasa. Selain itu, sumber infeksi juga harus diobati
dengan memberikan antibiotik.

Pada stadium hiperemis, pembuluh darah tampak lebar dan edema pada membran
timpani. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar
terlihat. diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik. Antibiotik yang diberikan ialah
penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam
klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
Bila alergi terhadap penisilin maka diberikan eritromisin. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-
100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.

Pada stadium supurasi, edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel
epitel superfisila serta terbentuk eksudat purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat, serta nyeri di telinga tambah hebat. Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak
berkurang, maka terjadi iskemia. Nekrosis ini pada membran timpani terlihat sebagai daerah
yang lembek dan berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Selain antibiotik,
pasien harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu,
analgesik juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang. Miringotomi ialah tindakan insisi
pada pars tensa membran timpani, agar terjadi drenase sekret dari telinga tengah ke liang telinga
luar.

Pada stadium perforasi, karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian


antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi maka dapat menyebabkan membran timpani ruptur.
Keluar nanah dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang tadinya gelisah akan menjadi lebih
tenang, suhu badan turun, dan dapat tidur nyenyak. sering terlihat sekret banyak keluar dan
kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut. Diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5
hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu.

Pada stadium resolusi, bila terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan mengering.
Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi rendah dan daya tahan tubuh baik.

Anamnesis
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga,
keluhan disamping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri terdapat pula gangguan
pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang dengar. Pada bayi dan anak kecil
gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat sampai 39,5oC (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang dan terkadang anak

13
memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke
liang telinga luar, suhu tubuh turun dan anak mulai tertidur dengan tenang.
Pada penelitian dikatakan bahwa anak-anak dengan OMA biasanya hadir dengan riwayat
onset yang cepat dan gejala seperti otalgia, rewel pada bayi atau balita, otorrhea, dan/atau
demam6. Dalam sebuah survei di antara 354 anak-anak yang mengunjungi dokter untuk penyakit
pernapasan, demam, sakit telinga, dan menangis yang berlebihan sering didapatkan dengan
OMA (90%). Namun, gejala ini juga terdapat pada anak tanpa OMA (72%). Gejala lain dari
infeksi virus pernapasan atas, seperti batuk dan hidung tersumbat, sering mendahului atau
menyertai OMA dan tidak spesifik juga. Dengan demikian, sejarah klinis saja tidak bisa untuk
menilai adanya OMA, terutama pada anak muda.

Pemeriksaan Fisik
Visualisasi dari membran timpani dengan identifikasi dari perubahan dan inflamasi
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dengan pasti. Untuk melihat membran timpani dengan
baik adalah penting bahwa serumen yang menutupi membran timpani harus dibersihkan dan
dengan pencahayaan yang memadai. Temuan pada otoskop menunjukkan adanya peradangan
yang terkait dengan OMA telah didefinisikan dengan baik. Penonjolan (bulging) dari membran
timpani sering terlihat dan memiliki nilai prediktif tertinggi untuk kehadiran OMA. Penonjolan
(bulging) juga merupakan prediktor terbaik dari OMA.

Kekeruhan juga merupakan temuan yang konsisten dan disebabkan oleh edema dari
membran timpani. Kemerahan dari membran timpani yang disebabkan oleh peradangan mungkin
hadir dan harus dibedakan dari eritematosa ditimbulkan oleh demam tinggi. Ketika kehadiran
cairan telinga bagian tengah sulit untuk menentukan, penggunaan timpanometri dapat membantu
dalam membangun diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap
gendang telinga). Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi
perlunya timpanosentesis anatara lain OMA pada bayi berumur di bawah 6 minggu dengan
riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang
tidak member respon pada beberapa pemberian antibiotik atau dengan gejala sangat berat dan
komplikasi. Untuk menilai keadaan adanya cairan di telinga tengah juga diperlukan pemeriksaan
timpanometeri pada pasien.

Penatalaksanaan
Pengobatan OMA tergntung stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi, penggobatan
terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius, sehingga tekanan negatif pada
telinga tengah hilang, sehingga diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak <12 tahun, atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologik untuk anak > 12
tahun dan pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati antibiotik diberikan jika
penyebabnya kuman, bukan oleh virus atau alergi.

14
Stadium Presupurasi adalah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Bila membran
timpani sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Antibiotik yang
dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau ampicilin. Terapi awal diberikan penicillin
intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi
mastoiditis yang terselubung,. Gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kkekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal 7 hari . Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50 – 100 mg/kgBB per hari,
dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mb/kgBB dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari.
Pada stadium supurasi disamping diberikan antibiotik, idealnya harus disertai dengan
miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejal – gejala klinis lebih
cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang terlihat keluarnya
sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3 – 5 bhari serta antibiotik yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat
menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari.
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak
ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan
tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini
dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa teling tengah. Pada keadaan demikian,
antibiotika dapat dilajutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setrelah pengobatan sekret masih
tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis.

Komplikasi
Sebelum ada antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi yaitu abses sub-periosteal sampai
komplikasi yang berat seperti meningitis dan abses otak. Namun, sekarang setelah adanya
antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari OMSK jika
perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan.

15
OTITIS MEDIA EFUSI
Otitis media dengan efusi (selanjutnya disebut OME) adalah suatu proses pada inflamasi
pada mukosa telinga tengah yang tandai dengan adanya cairan non purulen (serous atau mukus)
di dalam telinga tengah, tanpa tanda-tanda infeksi akut. Penyakit ini mempunyai banyak sinonim
antara lain glue ear, allergic otitis media, mucoid ear, otitis media sekretoria, non suppurative
otitis media dan otitis media serosa.
Apabila efusi tersebut encer otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti
lem otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat
atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi
akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik, sedangkan pada otitis media mukoid cairan yang
ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat didalam
mukosa telinga tengah dan tuba Eustachius. Faktor yang berperan utama dalam keadaan ini
adalah terganggunya fungsi tuba Eustachius. Faktor lain yang dapat berperan sebagai penyebab
adalah adenoid, hipertrofi, adenoitis, sumbing palatum (cleft-palate), tumor di nasofaring,
barotrauma, sinusitis, rhinitis. Keadaan alergik sering berperan sebagai faktor tambahan dalam
timbulnya cairan ditelinga tengah (efusi di telinga tengah).
Beberapa ahli memberi batasan yaitu otitis media efusi adalah keadaan terdapat cairan di
telinga tengah baik berbentuk nanah, sekret encer, ataupun sekret yang kental (mucoid glue ear).
Dengan kata lain otitis media efusi dapat berupa otitis media serosa/otitis media sekretoria/otitis
media mukoid/otitis media efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum
timpani dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut berbentuk
pus, membran timpani utuh dan disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut
(OMA).
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1. Otitis media serosa akut
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga secara tiba-tiba
yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba. Kadaan akut ini dapat disebabkan antara lain oleh:
- Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh tersumbatnya
tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma.
- Virus. Terbentuknya cairan ditelinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus pada
jalan nafas atas
- Alergi terbentuknya cairan ditelinga tengah yang berhubungan dengan keadaan alergi
pada jalan nafas atas
- Idiopatik

Otitis media serosa akut

16
2. Otitis media serosa kronik
Batasan antara kondisi otitis media kronik hanya pada cara terbentuknya sekret. Pada
otitis media serosa akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga tengah dengan disertai rasa nyeri
pada telinga, sedangkan pada keadaan kronis sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri
dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama. 4,8
Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media
serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa. Otitis media serosa unilateral pada orang
dewasa tanpa penyebab yang jelas harus selalu dipikirkan kemungkinan adanya karsinoma
nasofaring.
Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut glue ear.
Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut (OMA)
yang tidak sembuh sempurna.

Otitis media serosa kronik

KLASIFIKASI OME
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas 2 jenis:
 Otitis media serosa akut:
 Adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang
disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
 Pada otitis media serosa akut, sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga tengah
dengan disertai rasa nyeri pada telinga.
 Otitis media serosa kronis:
 Pada keadaan kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri
dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.
PATOFISIOLOGI
Dalam kondisi normal, mukosa telinga bagian dalam secara konstan mengeluarkan
sekret, yang akan dipindahkan oleh mukosiliar ke dalam nasofaring melalui tuba Eustachius.
Sebagai konsekuensi, faktor yang mempengaruhi produksi sekret yang berlebihan, klirens sekret
yang optimal, atau kedua-duanya dapat mengakibatkan pembentukan suatu cairan di telinga
tengah.
Patofisiologi OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi virus atau bakteri, gangguan
fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor lingkungan dan sosial. Walaupun

17
demikian tekanan telinga tengah yang negatif, abnormalitas imunologi, atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut diperkirakan menjadi faktor utama dalam pathogenesis OME. Faktor
penyebab lainnya termasuk hipertropi adenoid, adenoiditis kronis, palatoskisis, tumor nasofaring,
barotrauma, terapi radiasi, dan radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis. Merokok dapat
menginduksi hiperplasi limfoid nasofaring dan hipertropi adenoid yang juga merupakan
patogenesis timbulnya OME.

1. Gangguan fungsi tuba


Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah terganggu,
drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring terganggu dan gangguan mekanisme proteksi
rongga telinga tengah terhadap refluks dari rongga nasofaring. Akibat gangguan tersebut rongga
telinga tengah akan mengalami tekanan negatif. Tekanan negatif di telinga tengah menyebabkan
peningkatan permaebilitas kapiler dan selanjutnya terjadi transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi
populasi sel-sel inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret di rongga
telinga tengah. Inflamasi kronis di telinga tengah akan menyebabkan terbentuknya jaringan
granulasi, fibrosis dan destruksi tulang.
Obstruksi tuba Eustachius ytang menimbulkan terjadinya tekanan negatif di telinga
tengah akan diikuti retraksi membran timpani. Orang dewasa biasanya akan mengeluh adanya
rasa tak nyaman, rasa penuh atau rasa tertekan dan akibatnya timbul gangguan pendengaran
ringan dan tinnitus. Anak-anak mungkin tidak muncul gejala seperti ini. Jika keadaan ini
berlangsung dalam jangka waktu lama cairan akan tertarik keluar dari membran mukosa telinga
tengah, menimbulkan keadaan yang kita sebut dengan otitis media serosa. Kejadian ini sering
timbul pada anak-anak berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas dan sejumlah gangguan
pendengaran mengikutinya.

2. Infeksi
Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya OME sejak
dilaporkan adanya bakteri di telinga tengah. Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influenzae,
Moraxella Catarrhalis dikenal sebagai bakteri pathogen terbanyak ditemukan dalam telinga
tengah. Meskipun hasil yang didapat dari kultur lebih rendah. Penyebab rendahnya angka ini
diduga karena :
  Penggunaan antibiotik jangka lama sebelum pemakian ventilation tube akan mengurangi
proliferasi bakteri patogen,
  Sekresi immunoglobulin dan lisosim dalam efusi telinga tengah akan menghambat proliferasi
patogen,
  Bakteri dalam efusi telinga tengah berlaku sebagai biofilm

3. Status Imunologi
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekretori Ig A.
immunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum timpani. Sekretori Ig A
terutama ditemukan pada efusi mukoid dan di kenal sebagai suatu imunoglobulin yang aktif
bekerja dipermukaan mukosa respiratorik. Kerjanya yaitu menghadang kuman agar tidak kontak
langsung dengan permukaan apitel, dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak langsung
dengan dinding sel epitel adalah tahap pertama dari penetrasi kuman untuk infeksi jaringan.
Dengan demikian Ig A aktif mencegah infeksi kuman.

18
4. Alergi
Bagaimana faktor alergi berperan dalam menyebabkan OME masih belum jelas. Akan
tetapi dari gambaran klinis di percaya bahwa alergi memegang peranan. Dasar pemikirannya
adalah analogi embriologik, dimana mukosa timpani berasal sama dengan mukosa hidung.
Setidak-tidaknya manifestasi lergi pada tuba Eustachius merupakan penyebab okulasi kronis dan
selanjutnya menyebabkan efusi. Namun demikian dari penelitian kadar Ig E yang menjadi
kriteria alergi atopik, baik kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak menunjang
sepenuhnya alergi sebagai penyebab.
Etiologi dan patogenesis otitis media oleh karena alergi mungkin disebabkan oleh satu
atau lebih dari mekanisme di bawah ini.
  Mukosa telinga tengah sebagai organ sasaran ( target organ )
  Pembengkakan oleh karena proses inflamasi pada mukosa tuba Eustachius
  Obstruksi nasofaring karena proses inflamasi
  Aspirasi bakteri nasofaring yang terdapat pada sekret alergi ke dalam ruang telinga tengah.

ETIOLOGI
Otitis media serosa dapat terjadi akibat kondisi-kondisi yang berhubungan dengan
pembukaan dan penutupan tuba eustachius yang sifatnya periodik.
Penyebabnya dapat berupa kelainan kongenital, akibat infeksi atau alergi, atau dapat
dapat juga disebabkan akibat blokade tuba (misalnya pada adenoid dan barotrauma)
Tuba eustachia immature merupakan kelainan kongenital yang dapat menyebabkan
terjadinya timbunan cairan di telinga tengah. Ukuran tuba eustachius pada anak dan dewasa
berlainan dalam hal ukuran. Beberapa anak mewarisi tuba eustachius yang kecil dari kedua orang
tuanya, hal inilah yang dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya tendensi atau

19
kecenderungan infeksi telinga tengah dalam keluarga. Selain itu, otitis media serosa juga lebih
sering terjadi pada anak dengan ”cleft palatal” (terdapatnya celah pada daerah palatum). Hal ini
desebabkan karena otot-otot ini tumbuh tidak sempurna pada anak dengan ”cleft palate”
Membrana mukosa dari telinga tengah dan tuba eustachius berhubungan dengan
membran mukosa pada hidung, sinus, dan tenggorokan. Infeksi pada area-area ini menyebabkan
pembengkakan membrana mukosa yang mana dapat mengakibatkan blokade dari tuba
eustachius. Sedangkan reaksi alergi pada hidung dan tenggorokan juga menyebabkan
pembengkakan membrana mukosa dan memblokir tuba eustachius. Reaksi alergi ini sifatnya bisa
akut, seperti pada hay fever tipe reaksi ataupun bersifat kronis seperti pada berbagai jenis
sinusitis kronis. Adenoid dapat menyebabkan otitis media serosa apabila adenoid ini terletak di
daerah nasofaring, yaitu area disekeliling dan diantara pintu tuba eustachius. Ketika membesar,
adenoid dapat memblokir pembukaan tuba eustachius. Kegagalan fungsi tuba eustachi dapat pula
disebabkan oleh rinitis kronik, sinusitis, tonsilitis kronik, dan tumor nasofaring.
Selain itu, otitis media serosa kronis dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis
media akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna. Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada
OMA dapat menonaktifkan infeksi tetapi tidak dapat menyebuhkan secara sempurna sehingga
akan menyisakan infeksi dengan grade rendah. Proses ini dapat merangsang mukosa untuk
menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan mukus juga bertambah.

MANIFESTASI KLINIK

Otitis Media Serosa Akut


Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran berkurang.
Selain itu pasien juga dapat mengeluh rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar
lebih nyaring atau berbeda, pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis). Kadang-kadang terasa
seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit
nyeri di dalam telinga dapat terjadi pada saat awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbul
tekanan negatif pada telinga tengah. Tapi setelah sekret terbentuk, tekanan negatif ini perlahan-
lahan menghilang. Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila penyebab timbulnya sekret ada
virus atau alergi. Tinitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang ringan.
Pada otoskopi tampak membrana timpani retraksi. Kadang-kadang tampak gelembung udara atau
permukaan cairan dalam cavum timpani. Tuli konduktif dapat dibuktikan dengan garpu tala.
Bakley, B. W menuliskan bahwa meskipun otitis media serosa seringkali muncul tanpa
nyeri, cairan yang terkumpul dalam telinga tengah dapat mengurangi pendengaran, pemahaman
pembicaraan, gangguan perkembangan bahasa, belajar serta gangguan tingkah laku. Apalagi bila
otitis media serosa sering kali terjadi pada anak-anak. Pada kebanyakan anak, otitis media serosa
terjadi secara asimptimatis terutama pada anak-anak dibawah 2 tahun. Karena anak-anak
memerlukan pendengaran untuk belajar berbicara, maka hilangnya pendengaran akibat cairan di
telinga tengah dapat menyebabkan keterlambatan bicara. Anak-anak mulai belajar mengucapkan
kata pada usia 18 bulan. Apabila kejadian ini berulang selama berbulan-bulan pada tahun-tahun
belajar bicara, maka terjadi ”misspronounciation” atau kesalahan pelafalan yang berat yang akan
membutuhkan terapi bicara.
Masalah cairan dalam telinga tengah ini paling sering ditemukan pada anak dan biasanya
bermanifestasi sebagai tuli konduktif. Merupakan penyebab tersering gangguan pendengaran
pada usia sekolah. Keterlambatan berbahasa dapat terjadi jika keadaan ini berlangsung lama.
Anak-anak jarang mengemukakan bahwa mereka mempunya kesulitan dalam pendengaran. Guru
20
dapat mengatakan bahwa anak-anak ini kurang perhatiannya terhadap pelajaran. Umumnya
orang dewasa dapat menjelaskan gejala-gejala yang dialaminya secara lebih dramatis, dapat
berupa perasaan ”tersumbat” dalam telinganya dan menurunnya ketajaman pendengaran. Mereka
dapat merasakan adanya perbaikan pendengaran dengan perubahan posisi kepala. Akibat gerakan
cairan dalam telinga tengah dapat terjadi tinitus, tapi pusing jarang menjadi masalah.
Pada pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga`pada penilaian
dengan otoskop pneumatik. Setelah otoskop ditempelkan rapat-rapat di liang telinga, diberikan
tekanan positif dan negatif. Jika terdapat udara dalam timpanum, maka udara itu akan tertekan
sehingga membrana timpani akan terdorong kedalam pada pemberian tekanan positif, dan keluar
pada tekanan negatif. Gerakan menjadi lambat atau tidak terjadi pada otitis media serosa atau
mukoid. Pada otitis media serosa, membrana timpani tampak berwarna kekuningan, sedangkan
pada otitis media mukoid terlihat lebih kusam dan keruh. Maleus tampak pendek, retraksi dan
berwarna kapur. Kadang-kadang tinggi cairan atau gelembung otitis media serosa dapat tampak
lewat membrana timpani yang semitransparan

Otitis Media Serosa Kronik


Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik lebih menonjol (40-45 dB), oleh karena
adanya sekret kental atau glue ear. Pada anak-anak yang berumur 5-8 tahun keadaan ini sering
diketahui secara kebetulan waktu dilakukan pemeriksaan THT atau dilakukan uji pendengaran.4
Pada otoskopi terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram, kuning kemerahan atau
keabu-abuan.

DIAGNOSIS
Diagnosis OME seringkali sulit ditegakkan karena prosesnya sendiri yang kerap tidak
bergejala (asimptomatik), atau dikenal dengan silent otitis media. Dengan absennya gejala
seperti nyeri telinga, demam, ataupun telinga berair, OME sering tidak terdeteksi baik oleh orang
tuanya, guru, bahkan oleh anaknya sendiri.
Oleh karena itu diperlukan anamnesa yang lengkap dan teliti mengenai keluhan yang
dirasakan dan riwayat penyakit pasien, misalnya :
 Telinga seperti tertutup/ rasa penuh?
 Tinitus frekuensi rendah?
 Pendengaran berkurang, diplakusis?
 Otofoni?
 Nyeri ? (Bila ada, deskripsikan kwantitas dan kwalitasnya)
 Riwayat alergi?
 Riwayat infeksi saluran napas atas?
 Riwayat keluarga?
 Aktivitas akhir-akhir ini?
Dari anamnesa, selanjutnya bisa dilakukan pemeriksaan fisik untuk memperkuat diagnosa
kerja. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain :
 Nyeri tarik ?
 Nyeri tekan tragus ?
 Inspeksi kondisi liang telinga luar

21
Beberapa instrumen penunjang juga membantu menegakkan diagnosis OME, antara lain:
Otoscope
Pemeriksaan otoskop bertujuan untuk memeriksa liang dan gendang telinga dengan
jelas. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung,
perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta
cairan di liang telinga.
Pemeriksaan otoskopik dapat memperlihatkan:
 Membran timpani yang retraksi (tertarik ke dalam), dan opaque yang
ditandai dengan hilangnya refleks cahaya
 Warna membran timpani bisa merah muda cerah hingga biru gelap.
 Processus brevis maleus terlihat sangat menonjol dan Processus
longus tertarik medial dari membran timpani.
 Adanya level udara-cairan (air fluid level)
Pneumatic otoscope
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai respon gendang telinga terhadap
perubahan tekanan udara. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama
sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini.
Pemeriksaan Tuba
Untuk menilai ada tidaknya oklusi tuba, bisa dilakukan pemeriksaan tuba misalnya
dengan manuver Valsava, pulitzer balik.
Tes Pendengaran dengan Garpu Tala
Pemeriksaan dilakukan sebagai salah satu langkah skrining ada tidaknya penurunan
pendengaran yang biasa timbul pada otitis media efusi. Pada pasien dilakukan tes Rinne,
Weber, dan Swabach. Pada otitis media didapatkan gambaran tuli konduktif.
Impedance audiometry (tympanometry)
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur perubahan impedans akustik sistem
membran timpani telinga tengah melalui perubahan tekanan udara di telinga luar.
Timpanogram tipe A merupakan gambaran dimana tekanan telinga tengah kurang lebih sama
dengan tekanan atmosfer (contoh: gambaran normal), timpanogram tipe B adalah gambaran
datar tanpa compliance (contoh: adanya efusi di telinga tengah), timpanogram tipe C (contoh:
adanya tekanan negatif pada telinga tengah). Pada otitis media efusi, biasanya didapatkan
timpanogram tipe B.

TATALAKSANA
MEDIKAMENTOSA
Pengobatan OME langsung diarahkan untuk memperbaiki ventilasi normal telinga
tengah. Untuk kebanyakan penderita, kondisi ini diperoleh secara alamiah, terutama jika
berasosiasi dengan ISPA yang berhasil disembuhkan. Artinya banyak OME yang tidak
membutuhkan pengobatan medis. Akan lebih baik menangani faktor predisposisinya, misalnya:
jika dikarenakan barotrauma, maka aktivitas yang berpotensi untuk memperoleh barotrauma
berikutnya, seperti: penerbangan atau menyelam, sebaiknya dihindarkan. Strategi lainnya adalah
menghilangkan atau menjauhkan dari pengaruh asap rokok, menghindarkan anak dari fasilitas
penitipan anak, menghindarkan berbagai alergen makanan atau lingkungan jika anak diduga kuat
alergi atau sensitif terhadap bahan-bahan tersebut.
Pengobatan pada barotrauma biasanya cukup dengan cara konservatif saja, yaitu dengan
memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat Valsava selama tidak terdapat
infeksi di jalan napas atas. Apabila cairan atau cairan yang bercampur darah menetap di telinga

22
tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkan untuk tindakan miringotomi dan bila perlu
memasang pipa ventilasi (Grommet).
Usaha pereventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah permen
karet atau melakukan perasat Valsalva, terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk
mendarat.
Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka pengobatan medis mulai
diindikasikan, seperti:
1. Antihistamin atau dekongestan
Rasionalisasi kedua obat ini adalah sebagai hasil komparasi antara sistem telinga tengah dan
mastoid terhadap sinus paranasalis. Karena antihistamin dan dekongestan terbukti membantu
membersihkan dan menghilangkan sekresi dan sumbatan di sinonasal, maka tampaknya logis
bahwa keduanya dapat memberikan efek yang sama untuk OME. Jika ternyata alergi adalah
faktor etiologi OME, maka kedua obat ini seharusnya memberikan efek yang menguntungkan
terhadap OME.
2. Mukolitik
Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah untuk memperbaiki transport
mukus dari telinga tengah melalui tuba Eustachius ke nasofaring. Namun demikian mukolitik ini
tidak memegang peranan penting dalam pengobatan OME.
3. Antibiotik
Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati, karena OME bukanlah infeksi
sebenarnya. Meskipun demikian OME seringkali diikuti oleh OMA, di samping itu isolat bakteri
juga banyak ditemukan pada sampel cairan OME. Organisme tersering ditemukan adalah S.
pneumoniae, H. influenzae non typable, M. catarrhalis, dan grup A streptococci, serta S.aureus.
Studi terkontrol menunjukkan antibiotika golongan amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat,
sefalosporin, eritromisin, trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-sulfisoksazole, dapat
memperbaiki klirens efusi dalam 1 bulan. Pemberian antibiotika juga meliputi dosis profilaksis
yaitu ½ dosis yang digunakan pada infeksi akut. Namun demikian perlu dipertimbangkan pula
hubungan antara antibiotika profilaksis dengan tingginya prevalensi dan meningkatnya spesies
bakteri yang resisten.
Antibiotik yang digunakan :
- Lini pertama : Amoksisilin 500 mg p.o 7-10 hari atau jika alergi, Eritromycin 300
mg p.o 7-10 hari
- Lini kedua : Amoksisilin dan asam klavulanat 875 mg 7-10 hari atau
Sefalosporin generasi ke 3.
-

4. Kortikosteroid.
Beberapa klinisi mengusulkan pemberian kortikosteroid untuk mengurangi respon inflamasi di
kompleks nasofaring-tuba Eustachius dan menstimulasi agent-aktif di permukaan tuba
Eustachius dalam memfasilitasi pergerakan udara dan cairan melalui tuba Eustachius. Pemberian
dapat berupa kortikosteroid oral atau topikal (nasal), ataupun kombinasi. Berdasarkan clinical
guidance 1994, pemberian steroid bersama-sama antibiotika pada anak usia 1-3 tahun mampu
memperbaiki klirens OME dalam 1 bulan sebesar 25%. Namun demikian karena hanya
memberikan hasil jangka pendek dengan kejadian OME rekuren yang tinggi, serta resiko gejala
sisa maka kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan.

23
NON MEDIKAMENTOSA

Keputusan untuk melakukan intervensi bedah tidak hanya berdasarkan lamanya penyakit.
Derajat gangguan pendengaran dan frekuensi serta parahnya gangguan pendahulu yang juga
perlu dipertimbangkan. Gangguan seringkali bilateral, namun anak dengan cairan yang sedikit,
gangguan pendengaran minimal, atau dengan gangguan unilateral dapat diobati lebih lama
dengan pendekatan yang lebih konservatif. Sebaliknya, penipisan membran timpani, retraksi
yang dalam, gangguan pendengaran yang bermakna dapat merupakan indikasi untuk
miringotomi segera. Tuba ventilasi dibiarkan pada tempatnya sampai terlepas sendiri dalam
jangka waktu enam bulan hingga satu tahun. Sayangnya karena cairan sering kali berulang,
beberapa anak memerlukan tuba yang dirancang khusus sehingga dapat bertahan lebih dari satu
tahun. Keburukan tuba yang tahan lama ini adalah menetapnya perforasi setelah tuba terlepas.
Pemasangan tuba ventilasi dapat memulihkan pendengaran dan memperbaiki membran timpani
yang mengalami retraksi berat terutama bila ada tekanan negatif yang menetap.
1. Myringotomy
Anak-anak yang tidak dapat di terapi dengan antibiotik profilaksis atau dalam masa
infeksi/peradangan dapat disarankan untuk dilakukan operasi myringotomy. Prosedur ini
dilakukan di bawah anestesi umum.
Operasi yang disebut myringotomy meliputi pembukaan kecil (small surgical incision:
melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan cairan yang menumpuk di belakangnya) ke
dalam gendang telinga untuk mengeluarkan cairan dan menghilangkan rasa sakit. Bukaan
(potongan/insisi) ini akan sembuh dalam beberapa hari tanpa tanda atau luka pada gendang
telinga.
2. Pemasangan Tuba Ventilasi (Grommet's Tube)
Tube ventilasi ini dipasang sifatnya sementara, berlangsung 6 hingga 12 bulan di dalam
telinga hingga infeksi telinga bagian tengah membaik dan sampai tuba Eustachius kembali
normal. Selama masa penyembuhan ini, harus dijaga agar air tidak masuk kedalam telinga
karena akan menyebabkan infeksi lagi. Selain daripada itu, tuba tidak akan menyebabkan
masalah lagi, dan akan terlihat perkembangan yang sangat baik pada pendengaran dan penurunan
pada frekuensi infeksi telinga.
Terapi pembedahan (operatif) untuk faktor predisposisi, mungkin dibutuhkan
adenoidektomi, tonsilektomi dan membersihkan sinus maksillaris. Hal ini biasanya dilakukan
pada waktu dilakukannya myringotomi.
Keburukan utama dari tuba ventilasi adalah telinga tengah perlu dijaga agar tetap kering.
Untuk tujuan ini telah dikembangkan berbagai macam sumbat telinga. Insisi miringotomi dan
pemasangan tuba telah dikaitkan dengan pembentukan kolesteatoma pada beberapa kasus
(jarang). Drainase melalui tuba bukannya tidak sering terjadi, dan dapat dikaitkan dengan infeksi
saluran napas atas, atau memungkinkan air masuk ke dalam telinga tengah, dan pada kasus-kasus
tertentu dapat merupakan masalah menetap yang tidak bisa dijelaskan. Pada kasus-kasus
demikian, penanganan medis dengan antibiotik sistemik atau tetes telinga harus diteruskan untuk
waktu yang lebih lama bahkan saat tuba masih terpasang.

24

Anda mungkin juga menyukai