Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

OKLUSI TUBA, RHINOSINUSITIS KRONIK, RHINITIS


ALERGI, LPR

Oleh :

JESSICA OSWARI 112017104

Dokter Pembimbing :
dr. Stivina Azrial, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RSUD TARAKAN JAKARTA PUSAT

PERIODE 22 OKTOBER 2018 – 24 NOVEMBER 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN
KASUS

NAMA : Jessica Oswari (112017104)

PERIODE : 22 Oktober 2018 – 24 November 2018

JUDUL : Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut, Rhinitis

Alergi Oklusi Tuba dan Laryngopharengal reflux

TANGGAL PRESENTASI : 12 November 2018

NAMA PEMBIMBING/PENGUJI : dr. Stivina Azrial, Sp. THT-KL

Jakarta, 12 November 2018


Yang Mengesahkan,

dr. Stivina Azrial, Sp. THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikan-Nya, sehingga
laporan kasus ini dapat diselesaikan. Laporan kasus dengan judul “Rinitis Alergi Persisten Ringan,
Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut, Oklusi Tuba dan Laryngopharengal reflux” ini disusun untuk
memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat. Penulis
menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan doa dari berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :

1. dr. Stivina Azrial, Sp. THT-KL, selaku dosen pembimbing di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan yang telah membimbing kami
menyelesaikan tugas ini,
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di
Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan
di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus
ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat bermanfaat bagi penulis demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, 12 November 2018

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................................. 1

Lembar Pengesahan ..................................................................................................... 2

Kata Pengantar ............................................................................................................ 3

Daftar Isi ....................................................................................................................... 4

BAB I. Pendahuluan ............................................................................................... 5

BAB II. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 7

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung ......................................................... 7

2.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal ............................................. 12

2.3 Rhinosinusitis Kronis ........................................................................ 18

2.4 Rhinitis Alergi ................................................................................... 21

2.5 Anatomi dan Fisiologi Faring dan Laring ......................................... 30

2.6 Laryngopharyngeal Reflux ................................................................ 33

2.7 Anatomi dan Fisiologi Telinga .......................................................... 38

2.4 Oklusi Tuba ....................................................................................... 42

BAB III. Laporan Kasus ............................................................................................. 46

Pembahasan ................................................................................................ 56

BAB IV. Kesimpulan.................................................................................................. 58

Daftar Pustaka .................................................................................................... 60

4
BAB I
PENDAHULUAN
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal. Istilah
rhinosinusitis lebih tepat dibandingkan sinusitis karena jarang si usitis tanpa didahului rhinitis dan
tanpa melibatkan inflamasi pada mukosa hidung. Penyebab utamanya ialah selesma (common
cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.
Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama
sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis. Bila
mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis. Disekitar rongga hidung terdapat empat
sinus yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi), sinus etmoidalis (kedua mata), sinus
frontalis (terletak di dahi) dan sinus sfenoidalis (terletak di belakang dahi).1

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen ya diperantarai oleh IgE.2

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah sebuah kondisi pada seseorang yang mengalami
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks gastroesophageal, ketika asam
lambung naik ke laringofaring. Laringofaring atau hipofaring merupakan bagian paling kaudal dari
faring dan tempat di mana tenggorokan berhubungan dengan esofagus. Laringofaring terletak
inferior dari epiglottis dan melebar hingga lokasi di mana jalur ini bercabang menjadi jalur
pernapasan (laring) dan pencernaan (esofagus). Pada titik ini, laringofaring berhubungan
langsung/menyatu dengan esophagus secara posterior. Esofagus mengalirkan makanan dan cairan
menuju lambung; sedangkan udara masuk ke laring pada bagian anterior. Ketika menelan,
makanan akan masuk ke jalurnya sedangkan aliran udara akan sementara terhenti.3

Oklusi tuba termasuk otalgia, yang dapat ringan sampai berat, gangguan pendengaran,
sensasi “popping”, tinitus dan gangguan keseimbangan atau bahkan vertigo. Tanda-tanda gejala
oklusi tuba eustakhius bervariasi dan tergantung pada lamanya gejala dan tingkat keparahan.

5
Gejalanya diantaranya, retraksi membran timpani, pergerakan kaku pada membran timpani,
transudate terlihat di belakang membran timpani dan gangguan pendengaran konduktif.4

6
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
Anatomi Hidung

Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk pyramid dengan
bagian-bagiannya dari atas ke bawah, yaitu pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi),
puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang hidung
terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan, tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga kartilago mayor dan tepi anterior kartilago septum.5

Gambar 1. Hidung Bagian Luar

Gambar 2. Anatomi Kerangka Hidung

7
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan
oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.5

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sbasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai dua buah
dinding medial, lateral, inferior dan superior.5

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista
nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
kolumela.5

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bgaian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.5

Pada dinding lateral terdapa 4 buah konka. Yang terbesar ialah terdapat dibagian bawah,
yaitu konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil lagi konka suprema. Konka suprema biasanya rudimenter.5

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.5

Diantara-antara konka-konka terdapat salurang yang sempit dinamakan meatus.


Tergantung dari letak meatus. Meatus terdiri dari tiga, yaitu meatus inferior, meatus media dan
meatus superior. Meatus inferior terdapat di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) ductus nasolakrimalis. Meatus
medius terletak di dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruangan antar konka superior dan konka media
terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.5

8
Gambar 3. Anatomi Hidung Dalam

Batas rongga hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hodung. Lamina kribifromis
merupakan lempeng tulang dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang dimana tempat masuknya
serabuk-serabuk olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.5

Komples ostimeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi
oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalh
prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus
frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-
sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan frontal. Jika terjadi
obstruksi pada celah yang sempit ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada
sinus-sinus yang terkait.5

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa
pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel
torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya
terdapat sel-sel goblet.5

9
Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah
muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet.5

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk
mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 5

Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan
keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang
banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.5

Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian
yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini
memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari
anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh
jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot.
Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula.
Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil,
yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini
dipengaruhi oleh saraf otonom dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen
banteri.5

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologi hidung
dan sinus paranasal adalah: fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal, fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara
untuk menampung stimulus penghidu, fungsi fonetik yang berguna untuk resonasi suara,
membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, fungsi

10
statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung
panas, refleks nasal.5

Fungsi Respirasi

Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik local. Udara inpirasi masuk ke hidung menuju system respirasi melalui
nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus.5

Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut
lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. 5

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37º Celcius. Fungsi pengatur suhu
ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas.5

Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung
oleh, Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, Silia, Palut lender.5

Debu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.5

Fungsi Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.5

Partikel bau dapat mencapai indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang
berasal dari berbagai maacam baahan, seperti perbedaan rasa manis strawberry, jeruk, pisang atau
coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.5

Fungsi Fonetik

Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau (rinolalia). Hidung membentuk proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah,

11
bibir dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan
hidung terbuka, paltum mole turun untuk aliran udara.5

Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas
berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pancreas.5

2.2 ANATOMI SINUS PARANASAL

Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid
dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus
ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, dan mampu
menghasilkan mukus dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.6

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.6

Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila
yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding
inferior ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.6

12
Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai
berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan
dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukurannya
sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya gambaran septumn-septum atau lekuk-
lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan
oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal
mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal. Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.6

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya
dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5
cm di bagian posterior.6

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang
terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita, karenanya seringkali disebut sel-sel etmoid. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara
4-17 sel (rata-rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior
yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah perlekatan konka
media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya
dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.6

Sinus Sfenoid

13
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid
dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn tingginya,
dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus etmoid.6

Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit
dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di
belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan
ostiumnya dan ostium sinus maksila.6

2.3 RHINOSINUSITIS

Definisi

Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai
dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/obstruksi/kongesti
atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior)6
- Nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- Penurunan/ hilangnya penghidu
Dan salah satu dari temuan endoskopi
- Polip
- Sekret mukopurulen dari meatus medius

14
- Edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
Atau
- Gambaran tomografi komputer
Perubahan mukosa di kompleks osteomal dan atau sinus

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Penyebab sinusitis dibagi menjadi:6,7

1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung. Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan
pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut, rinitis alergi, polip,
diaviasi septum dan lain-lain. Alergi juga merupakan predisposisi infeksi sinus karena
terjadi edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak menyebabkan
infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan, dan siklus
seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi. Sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi
pada gigi geraham atas (premolar dan molar). Bakteri penyebab adalah Streptococcus
pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhalis dan lain-lain.
Epidemiologi

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan, dengan dampak signifikan pada
kualitas hidup dan pengeluaran biaya kesehatan, dan dampak ekonomi pada mereka yang
produktivitas kerjanya menurun. Diperkirakan setiap tahun 6 miliar dolar dihabiskan di Amerika
Serikat untuk pengobatan rinosinusitis. Pada tahun 2007 di Amerika Serikat, dilaporkan bahwa
angka kejadian rinosinusitis mencapai 26 juta individu. Di Indonesia sendiri, data dari DEPKES
RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50
pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
Rinosinusitis lebih sering ditemukan pada musim dingin atau cuaca yang sejuk ketimbang
hangat.7,9

15
Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel
respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous
superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh
bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai
mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan. 7

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan
terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan
cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan
dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan, akan saling bertemu sehingga silia tidak dpat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini boleh dianggap sebagai
rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam waktu beberapa hari tanpa pengobatan. 7

Bila kondisi ini menetap, sekret yang dikumpul dalam sinus merupakan media baik untuk
pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis aku bakterial dan memerlukan terapi antibiotik.7

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor,
yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini
akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 7

Klasifikasi Rinosinusitis
Rhinosinusitis diklasifikasikan berdasarkan beratnya serangan dan lama serangan.
Berdasarkan beratnya penyakit, penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat
berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan skor 0-10 cm:
 Ringan = VAS 0-3
 Sedang= VAS > 3-7

16
 Berat= VAS > 7-10

Gambar 11. Visual Analog Scale

Untuk evaluasi nilai total, pasien diminta untuk menilai pada suatu VAS jawaban dari
pertanyaan “berapa besar gangguan dari gejala rhinosinusitis saudara?” Nilai VAS >5
mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berdasarkan lamanya penyakit, rhinosinusitis
diklasifikasikan menjadi akut maupun kronik. Dikatakan akut apabila lamanya penyakit <12
minggu dan terjadi resolusi komplit gejala sedangkan dikatakan kronik apabila lama penyakit >12
minggu dan tanpa resolusi gejala komplit termasuk kronik eksaserbasi akut.

Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai dengan nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai
dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu. 7

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis
akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain) . nyeri pipi menandakan
sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoida,
nyeri di dahi atau kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis maksila kadang-kadang
terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga. 7

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang dapat
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. 7

17
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1
atau 2 dari gejala-gejala di bawah ini:7

a. Sakit kepala kronik


b. Post-nasal drip
c. Batuk kronik
d. Ganguan tenggorok
e. Ganguan telinga akibat sumbatan di muara tuba Eustachius
f. Ganguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), brokietakasis, serangan asma yang
meningkat dan sulit diobati.
Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebakan gastroenteritis.

Rhinosinusitis kronik

Pada rhinosinusitis kronik, dapat dijumpai polip hidung namun tidak selalu disertai polip
hidung. Gejala lebih dari 12 minggu dan terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa
hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) disertai:8
 nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
 penurunan/ hilangnya penghidu

dengan validasi pertelpon atau anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air, hidung
gatal, mata gatal dan berair. Jika positif ada, seharusnya dilakukn pemeriksaan alergi. (foto polos
sinus paranasal/tomografi computer tidak direkomendasikan)10

Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rhinosinusitis kronik yakni
berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu dalam diagnosis
rhinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi
rhinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan. Pada
dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase
ostium sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung. Jenis terapi medikamentosa
yang digunakan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:10

18
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rhinosinusitis kronik mengingat terapi
utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan adalah antibiotika spektrum luas
antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik. Kortikosteroid
topikal : beklometason, flutikason, mometason.
a. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rhinosinusitis kronik dengan polip nasi
dan rhinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan dan nutrisi
yang cukup

19
Terapi Pembedahan

Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana dengan
peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih endoskopi. Beberapa
jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rhinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:10
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)

20
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan BSEF/FESS adalah:
a. Sinusitis kronis yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b. Sinusitis kronis disertai kista atau kelainan yang irreversible
c. Polip ekstensif
d. Adanya komplikasi sinusitis
e. Sinusitis jamur

2.4 Rhinitis Alergi

Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2

Etiologi

21
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 % anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan
dalam dalam rhinitis alergi yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.12

a. Sumber pencetus

Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap

partikel udara seperti berikut ini:

 Ragweed – Bulu‐bulu rumput yang paling umum terdapat sebagai pencetus

(di musim gugur)

 Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)

 Serbuk sari pohon (di musim semi)

 Jamur (berbagai jamur yang tumbuh di daun‐daun kering, umumnya

terjadi di musim panas)

Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi

terhadap partikel udara seperti berikut ini:

 Bulu binatang peliharaan

 Debu dan tungau rumah

 Kecoa

 Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis

b. Faktor Risiko

 Sejarah keluarga alergi

22
 Setelah ada riwayat pernah terkena alergi lain, seperti alergi makanan atau

eksim

 Paparan bekas asap rokok

 Gender laki‐laki.

Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate
Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak
dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan
sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian
sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. 2
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama
histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating

23
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 2
Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada
RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag
Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.2
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.2
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:1
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan,
reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil

24
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek
dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan
Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis
(immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun
dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

Rhinitis alergi sering dibagi berdasarkan penyebab menjadi 2 tipe yaitu :13

1. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan alergendari luar
rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya
dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sariber beda beda bergantung geografi dan jenis
tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada di dalam udara. Udara panas, kering
dan angin mempengaruhi banyaknya serbuk di udara bila dibandingkan dengan
saat udara dingin, lembab dan hujan, yang membersihkan udara dari serbuk
tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara dengan 4 musim

2. Rhinitis alergi terus menerus (perennial), diakibatkan karena kontak dengan allergen yang
sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, kecoa, tumbuhan kering, jamur, bulu
binatang atau protein yang dikandung pada kelenjar lemak kulit binatang. Protein ini
dapat tetap berada di udara selama berbulan-bulan setelah binatang itu tidak ada
diruangan.2 Namun, definisi di atas kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan
nyata. Karena, serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan gejala
alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma (ARIA) mengklasifikasi kembali pedoman Rhinitis alergika, berdasar
waktu dan frekuensi gejala yang ada. Intermittent Allergic Rhinitis dan Persistent Allergic
Rhinitis, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat keparahan pasien mulai dari ringan,
sedang hingga berat.

Dan berdasarkan tingkat beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi :

25
1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah raga dan saat
santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan mengganggu.

2. Sedang – berat (moderatesevere), ditemukan satu atau lebih gejala berikut ; tidur terganggu
(tidak normal), aktivitas sehari-hari, saat olah raga, dan saat santai terganggu, masalah saat bekerja
dan sekolah, ada keluhan yang menggangu.

Gejala Klinik Rinitis Alergi


Gejala klinik rinitis alergi, yaitu: Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu
proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai
bersin patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat,
hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).2
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung
termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung akibat
sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema
mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran timpani atau
otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis
granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda laringeal termasuk suara serak dan
edema pita suara.2

Diagnosis Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan
gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah

26
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri
(self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan
adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama
pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak
hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala
spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi
karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan
punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian
sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
(facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).
3. Pemeriksaan Penunjang
In vitro:
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna
untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST
(Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).

27
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan
alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.14
In Vivo:
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga
derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.14
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat
dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.14

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.1

Gambar 7. Logaritma penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO inititif ARIA.

28
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara
inhibitorkomppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik
yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat
dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2
(non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar
darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral
dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara
tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah
kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
3. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau triklor asetat.
4. Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Keduanya untuk alergi inhalan
yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.14

Komplikasi Rinitis Alergi


1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-
sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa,
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.

29
3. Rinosinusitis. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus.14

1.5 ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING DAN LARING

Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus oroaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan kebawah berhubungan
dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14cm; bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.15

Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas:

1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.2
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting misalnya adenoid, jaringan limfoid pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang
disebut fosa rosenmuller, kantong rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
konka foramen jugulare, yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius
spinal saraf kranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen laserum
dan muara tuba Eustachius.15

2) Orofaring

30
Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya
adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah vertebra
servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine,
fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.2
 Dinding Posterior Faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang
kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot bagian tersebut. Gangguan otot posterior
faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus.15
 Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah m.
konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu
ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya
merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia
yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar- benarnya bukan
merupakan kapsul yang sebena-benarnya.15
 Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus didalamnya. Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan
tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub
bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.15
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam
kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina ascendens, cabang tonsil
a. maksila eksterna, a. faring ascendens dan a. lingualis dorsal. 15

31
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika.
Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut
yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual
(lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus. Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan
ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses
peritonsilar.15
3) Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula epiglotis
berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan lateral terdapat ruangan) dan
ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi
laringofaring. Sinus piriformis terletak di antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas
anteriornya adalah laring, batas inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra
servikal. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat
muara esophagus.15
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak
langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (bentuk omega)
ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan
tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara.
Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus
makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring
superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk
diketahui pada pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi
langsung.15

32
1.6 LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

Definisi

Laryngopharyngeal Reflux (LPR) adalah sebuah kondisi pada seseorang yang mengalami
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks gastroesophageal, ketika
asam lambung naik ke laringofaring.3
Laringofaring atau hipofaring merupakan bagian paling kaudal dari faring dan tempat di
mana tenggorokan berhubungan dengan esofagus. Laringofaring terletak inferior dari
epiglottis dan melebar hingga lokasi di mana jalur ini bercabang menjadi jalur pernapasan
(laring) dan pencernaan (esofagus). Pada titik ini, laringofaring berhubungan
langsung/menyatu dengan esophagus secara posterior. Esofagus mengalirkan makanan dan
cairan menuju lambung; sedangkan udara masuk ke laring pada bagian anterior. Ketika
menelan, makanan akan masuk ke jalurnya sedangkan aliran udara akan sementara terhenti.3

Epidemiologi

Laryngopharingeal Reflux pada umumnya lebih banyak menyerang wanita dengan usia di atas 40
tahun, rata-rata berusia 57 tahun. Tidak ada predileksi ras tertentu. Lebih dari 55% tidak memiliki
gejala suara serak, 20-45% menunjukkan gejala rasa terbakar pada ulu hati, regurgitasi dan
gangguan pencernaan.3

Etiologi
Penyebab dari LPR di antaranya adalah:16
 Menurunnya tekanan LES karena hiatus hernia, diet (lemak, coklat, mint, produk susu,
dll), tembakau, alkohol, obat-obatan (teofilin, nitrat, dopamine, narkotik, dll).
 Motilitas esofagus yang abnormal karena penyakit neuromuskular, laringektomi,
etanol.
 Penurunan resistensi mukosa karena radioterapi rongga mulut, radioterapi esofagus,
xerostomia.
 Penurunan salivasi
 Pengosongan lambung yang tertunda/lambat karena obstruksi, diet (lemak), tembakau,
dan alkohol.

33
 Peningkatan tekanan intraabdominal karena kehamilan, obesitas, makan yang
berlebihan, minuman karbonasi.
 Hipersekresi asam lambung atau pepsin karena stress, obat-obatan, alkohol, diet.

Patofisiologi

Berbeda dari GERD, pada LPR sering tidak terdapat gejala rasa seperti terbakar maupun
gejala regurgitasi. Laring sangat rentan terhadap refluks dari lambung, sehingga pasien lebih
banyak mengalami gejala laringofaringeal dibandingkan gejala seperti terbakar atau
regurgitasi. Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif dari
cedera refluks: LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik esofageal dengan
pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa esofageal, dan spingter esofageal atas.

Ketika keempat mekanisme perlindungan di atas gagal, maka epitel pernapasan yang bersilia
pada laring posterior menjadi rentan dan mengakibatkan disfungsi dari silia tersebut sehingga
terjadi stasis dari mukus. Akumulasi dari mukus menyebabkan sensasi post-nasal drip dan
menstimulasi “throat clearing”. Iritasi langsung dari zat refluks dapat menyebabkan batuk dan
tersedak (laringospasme) karena sensitivitas pada ujung sensorik laring meningkat akibat
inflamasi lokal. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut menyebabkan edema pita suara, ulkus
kontak, dan granuloma, kemudian menghasilkan gejala yang berhubungan dengan LPR: suara
serak, globus faringeus, dan nyeri tenggorokan.16
Refluks asam lambung diklasifikasikan menjadi:
1. Fisiologis: asimptomatik, postprandial, tanpa temuan abnormalitas
2. Fungsional: asimptomatik
3. Patologik: simptom lokal, manifestasi sekunder dari LPR
4. Sekunder

Manifestasi/Gejala Klinis16
 Suara serak
 Batuk
 Globus faringeus

34
 Throat clearing
 Disfagia
 Nyeri tenggorokan
 Wheezing
 Laringospasme
 Halitosis

GERD LPR
Heartburn + -
Esofagitis + Jarang
Laringitis - (kecuali sangat parah) Selalu laringitis posterior
Perubahan Suara - +
Abnormalitas Spincter LES UES
Refluks Nokturnal/saat berbaring Siang hari/saat berdiri

Diagnosis

 Anamnesis
o Signifikansi dan non-spesifikasi relatif dari gejala suara serak terhadap laringitis,
biasanya laringitis bersifat ringan dan sembuh spontan. Bila laringitis persisten,
harus dicari etiologinya: infeksi virus atau bakteri, alergi, trauma pita suara,
postnasal discharge, atau LPR.
o Disfonia persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu membutuhkan pemeriksaan
laringofaring untuk menyingkirkan kanker dan kondisi serius lainnya.
o Belafsky, et al mengembangkan suatu sistem penilaian diagnostik, yaitu Reflux
Symptom Index (RSI) untuk membantu dokter menilai derajat relatif dari gejala
LPR saat penilaian awal dan setelah pengobatan. Skor RSI > 13 dianggap abnormal.

35
 Laringoskopi
o Tanda nonspesifik iritasi dan inflamasi laring biasanya ditemukan. Meskipun bukan
tanda patognomonik, tetapi penebalan, edema, dan kemerahan yang terkonsentrasi
di laring posterior atau posterior laringitis merupakan temuan yang umum.
o Contact granuloma
o Tepi medial pita suara tampak terdapat indentasi linear akibat edema infraglotik
difus → pseudosulkus
o Reflux Finding Score menurut Belafsky, et al:

36
RFS lebih dari atau sama dengan 7 pasien dianggap memiliki LPR.

 Menegakkan Diagnosis Refluks


o Pengobatan empiris dan perubahan perilaku/gaya hidup
o Observasi endoskopik dari mukosa
o Studi monitor pH
o Radiografi
o Manometri esofageal
o Pengukuran spektrofotometri
o Biopsi mukosa

Penatalaksanaan

 Edukasi pasien dan perubahan gaya hidup


o Penurunan berat badan
o Menghentikan kebiasaan merokok
o Menghindari alkohol
o Membatasi konsumsi coklat, makanan berlemak, buah-buahan asam, minuman
berkarbonasi, makanan pedas, anggur merah, kafein, dan makan terlalu malam
o Mengkonsumsi obat-obatan secara teratur dan tepat waktu (30-60 menit sebelum
makan untuk PPI)
 Medikamentosa
o PPI: Omeprazole, Esomeprazole, Lansoprazole
o H2-receptor blocker: Ranitidine, Cimetidine
o Prokinetic agents: Tegaserod, Metoclopramide, Domperidone
o Mucosal cytoprotectants: Sucralfat
 Pembedahan
o Fundoplikasi, komplet (Nissen atau Rosetti) atau parsial (Toupet atau Bore)
o Laparoskopi
o Bertujuan untuk mengembalikan kompetensi LES dan mengurangi episode refluks

Prognosis

37
Tujuan dari pengobatan LPR adalah meredakan gejala dan menjaga agar efek refluks terkontrol
dengan diet dan medikamentosa. Apabila diet dan medikamentosa tidak berhasil, maka
dibutuhkan rujukan ke ahli gastroenterologi atau bedah digestif. Pada umumnya, prognosis
LPR baik apabila gaya hidup sehat dapat diterapkan dan pengobatan dilakukan secara teratur.
Namun, apabila LPR tidak terdiagnosis atau gagal terapi, dapat terjadi komplikasi seperti
edema pita suara, ulkus pita suara, pembentukan massa di tenggorokan, perburukan asma,
emfisema, dan bronkitis. LPR yang tidak teratasi juga dapat berperan dalam pembentukan
kanker pada daerah pita suara.

1.7 ANATOMI TELINGA

Anatomi Telinga Tengah17,18

Telinga tengah terdiri dari : membran timpani, kavum timpani, tulang-tulang pendengaran,
prosesus mastoideus, dan tuba eustachius.

Membran timpani

Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar
dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang vertikal rata-rata 9-10 mm dan diameter
antero-posterior kira-kira 8-9 mm dengan ketebalannya rata-rata 0,1 mm.

Secara anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :

1. Pars tensa : Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang tegang
dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada
sulkus timpanikus pada tulang dari tulang temporal.

2. Pars flaksida atau membran Shrapnell. letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars
tensa. Pars flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan
plika maleolaris posterior (lipatan belakang).

Kavum Timpani

Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh membran timpani,
disebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen timpani dan inferior oleh

38
bulbus jugularis dan n. Fasialis. Dinding posterior dekat ke atap, mempunyai satu saluran disebut
aditus, yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Pada
bagian posterior ini, dari medial ke lateral, terdapat eminentia piramidalis yang terletak di bagian
superior-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminentia
piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani.

Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui tuba
Eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan inferior membran timpani, kavum timpani
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu epitimpanum yang merupakan bagian kavum timpani yang lebih
tinggi dari batas superior membran timpani, mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara
batas atas dengan batas bawah membran timpani, dan hipotimpanum yaitu bagian kavum timpani
yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di dalam kavum timpani terdapat
tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke dalam maleus, inkus dan stapes. Selain itu
terdapat juga korda timpani, muskulus tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius.

Tulang-tulang pendengaran

1) Maleus

• Caput

• Colium

• Proccesus brevis

• Proccesus longus

• Manubrium mallei

Caput mallei terdapat pada epytimpani sedangkan bagian-bagian lain terdapat pada
mesotympani.

2) Incus Corpus

• Proccesus brevis

• Proccesus longus

39
Sebagian besar incus berada pada epytimpani, hanya sebagian kecil dari proccesus longus yang
berada mesotympani.

3) Stapes

• Capitulum

• Colum

• Crus anterior

• Crus posterior

• Basis

Caput mallei mengadakan artikulasi dengan corpus dari incus, sedangkan proccesus longus dari
Incus mengadakan articulatio dengan capitulum dari stapes. Rangkaian ini disebut ossicular chain.
Gangguan pada ossicular chain ini menyebabkan gangguan pendengaran, oleh karena ini penting
sistem konduksi pada pendengaran.

Processus mastoideus

Rongga mastoid berbentuk seperti segitiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid
adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus
sigmoid terletak di bawah duramater pada daerah tersebut dan pada dinding anterior mastoid
terdapat aditus ad antrum.


Tuba eustachius

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti
huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan
nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian tulang yang terdapat pada bagian
belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian tulang rawan yang terdapat pada bagian depan dan
panjang (2/3 bagian). Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan
bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini berjalan kearah
posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian
bersatu dengan bagian tulang atau timpani.

40
Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut ismus. Bagian tulang
tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup dan berakhir pada dinding lateral
nasofaring. Pada orang dewasa muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih
tinggi dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar dan letaknya
mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke telinga tengah.1

Fungsi Tuba Eustachius

Secara fisiologi tuba Eustachius melakukan tiga peranan penting yaitu:

1. Ventilasi dan mengatur tekanan telinga tengah.

Pada pendengaran yang normal, perlu sekali bahwa tekanan pada dua sisi membran timpani
harus sama. Tekanan positif atau negatif mempengaruhi pendengaran.Dengan begitu tuba
Eustachius harus terbuka secara periodik untuk menyeimbangkan tekanan udara pada
telinga tengah. Normalnya tuba Eustachius tetap tertutup dan terbuka secara intermitten
selama menelan, mengunyah dan bersin. Sikap badan juga mempengaruhi fungsi,
pembukaan tuba kurang berguna pada posisi berbaring dan selama tidur dikarenakan
pembendungan vena. Fungsi tuba yang buruk pada bayi dan anak-anak bertanggung jawab
pada masalah telinga pada kelompok usia tersebut. Itu biasanya normal kembali pada usia
7-10 tahun.

2. Perlindungan terhadap tekanan bunyi nasofaring dan reflux sekresi dari nasofaring.

Secara abnormal, tekanan suara tinggi dari nasofaring dapat dialirkan ke telinga tengah jika
tuba terbuka, dengan demikian mengganggu pendengaran yang normal.Biasanya tuba
Eustachius tetap tetutup dan melindungi telinga tengah melawan suara tersebut.Tuba
Eustachius yang normal juga melindungi telinga tengah dari reflux sekresi nasofaring.
Reflux ini terjadi dengan mudah jika diameter tuba lebar, pendek (seperti pada bayi), atau
membran timpani yang perforasi (menyebabkan infeksi telinga tengah yang persisten pada
kasus perforasi membran timpani). Tekanan tinggi di dalam nasofaring juga dapat
memaksa sekresi nasofaring ke dalam telinga tengah , misalnya meniup hidung dengan
kuat.

3. Pembersihan sekresi telinga tengah.

41
Membran mukosa tuba eustachius dan bagian anterior telinga tengah dilapisi oleh sel torak
bersilia. Silia bergerak ke arah nasofaring. Ini membantu untuk membersihkan sekresi dan
debris dalam telinga tengah ke arah nasofaring. Fungsi pembersihan dipengaruhi oleh
pembukaan dan penutupan yang aktif dari tuba.

2.8 Oklusi Tuba

Oklusi Tuba19

Secara normal tuba eustachius tertutup dan terbuka ketika saat menelan, menguap dan
bersin melalui kontraksi otot tensor veli palatini. Udara yang terdiri dari oksigen, karbon dioksida,
nitrogen dan uap air, biasanya mengisi telinga tengah dan mastoid. Ketika tuba eustakhius tertutup,
oksigen pertama diserap, tapi kemudian gas lainnya, CO2 dan nitrogen juga berdifusi keluar ke
dalam darah. Hal ini mengakibatkan tekanan negatif di telinga tengah dan retraksi membran
timpani. Jika tekanan negatif masih lebih meningkat, menyebabkan tuba eustakhius "terkunci"
diserai timbulnya transudat dan kemudian eksudat dan bahkan perdarahan.

Etiologi19

Oklusi atau obstruksi pada tuba eustachius dapat terjadi akibat beberapa perkara, yaitu:

1. Infeksi saluran pernapasan bagian atas, penyebab utama terjadinya oklusi tuba.
2. Sinusitis dan alergi juga dapat menyebabkan pembengkakan jaringan yang melapisi tuba
eustachius.
3. Umur. Anak-anak sangat rentan terhadap oklusi tuba eustachius karena tuba mereka
berdiameter lebih sempit, lebih horizontal, dan panjang tuba eustachius yang lebih pendek dari
dewasa.
4. Jaringan adenoid di bagian nasofaring, berdekatan muara tuba eustachius dapat bertindak
sebagai reservoir untuk bakteri, yang sering berkontribusi pada infeksi telinga berulang.
Kelenjar adenoid yang membesar juga akan mengobstruksi muaranya tuba eustachius.
Pengangkatan kelenjar adenoid (adenoidektomi) sering direkomendasikan pada anak-anak
dengan infeksi telinga kronis (otitis media kronis).
5. Massa atau tumor di basis cranii atau daerah nasofaring dapat menyebabkan penyumbatan tuba
eustachius.

42
6. Tuba eustachius yang sangat kecil (seperti yang sering ditemukan pada anak-anak dengan
Down Syndrome)
7. Merokok. Hal ini dikaitkan dengan kerusakan sel silia yang berfungsi mengeluarkan lendir dari
ruang telinga tengah melalui tuba eustachius ke bagian nasofaring.

Oklusi tuba eustakhius dapat terjadi secara fungsional atau mekanik atau bahkan keduanya.
Obstruksi mekanik disebabkan dari (a) penyebab intrinsik seperti peradangan atau alergi atau (b)
penyebab ekstrinsik seperti tumor di nasofaring.

Gejala klinis19

Gejala oklusi tuba termasuk otalgia, yang dapat ringan sampai berat, gangguan pendengaran,
sensasi “popping”, tinitus dan gangguan keseimbangan atau bahkan vertigo. Tanda-tanda gejala
oklusi tuba eustakhius bervariasi dan tergantung pada lamanya gejala dan tingkat keparahan.
Gejalanya diantaranya, retraksi membran timpani, pergerakan kaku pada membran timpani,
transudate terlihat di belakang membran timpani dan gangguan pendengaran konduktif. Dalam
kasus yang parah seperti barotrauma, membran timpani tertarik secara signifikan dengan
pendarahan di lapisan subepitel, haemotympanum atau kadang- kadang terjadi perforasi.

Mekanisme terjadinya oklusi tuba19

1. Obstruksi fungsional tuba eustakhius


Obstruksi fungsional disebabkan oleh karena peningkatan kelenturan tulang rawan yang tidak
membuka secara fisiologis atau kegagalan mekanisme membuka tuba aktif karena fungsi
tensor veli palatini yang berkurang. Pada bayi dan anak-anak memiliki tulang rawan yang lebih
banyak sehingga lumen tuba eustakhius lebih lentur yang menyebabkan tuba eustakhius kurang
terbuka saat kontraksi otot tensor veli palatini. Obstruksi fungsional yang persisten dengan
tekanan negatif pada telinga tengah yang ditanda retraksi bermakna membran timpani, hal
tersebut disebut atelektasis. Tekanan negatif pada telinga tengah memudah terjadi aspirasi
bakteri dan virus dari nasofaring. Jika terjadi aspirasi bakteri dan virus dari nasofaring ke
telinga tengah dapat menyebabkan otitis media. Jika tidak terjadi aspirasi, maka yang terjadi
adalah otitis media dengan efusi.
Fungsi tuba eustakhius terganggu pada pasien celah palatum karena: (a) kelainan torus
tubarius, yang menunjukkan kepadatan elastin yang tinggi menyebakan lumen tuba eustakhius

43
sulit untuk membuka, (b) tensor veli palatini otot tidak menempel ke dalam tubarius torus
dalam kasus 40% kasus dari kalainan celah palatum. Otitis media dengan efusi sering terjadi
pada pasien ini. Bahkan setelah operasi, diperlukan pemasangan gromet untuk ventilasi telinga
tengah.
Pada sindrom Down fungsi tuba eustakhius menurun karena berkurangnya tonus otot tensor
veli palatini dan bentuk yang abnormal dari nasofaring. Anak- anak dengan sindrom ini rentan
terhadap otitis media yang berulang atau otitis media dengan efusi.
2. Obstruksi mekanik tuba eustakhius
Obstruksi tuba mekanik dapat terjadi secara intrinsik ataupun ekstrinsik. Secara intrinsik
disebabkan oleh kelainan mukosa lumen karena inflamasi yang dapat menyempitkan diameter
lumen. Inflamasi tersering karena infeksi atau alergi. Secara ekstrinsik dapat disebabkan oleh
obstruksi karena tumor yang menymepitkan atau menghalangi lumen tuba eustakhius.
Pada obstruksi intrinsik paling terjadi karena inflamasi pada lumen eustakhius yang dapat
disebabkan oleh virus, bakteri atau alergi. Obstuksi pada bagian tulang dari tuba eutakius
biasanya disebabkan inflamasi akut atau kronik. Obtruksi total dapat terjadi pada ujung muara
telinga tengah. Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian tulang rawan dari tuba eustakhius.
Patogenesis obstruksi intrinsik sama halnya dengan obstruksi fungsional.
Pada obstruksi ektrinsik dapat terjadi karena tekanan dari luar lumen yang disebabkan oleh
tumor nasofaring, adenoid atau lesi pada dasar tengkorak. Adenoid menyebabkan disfungsi
tuba oleh karena (a) obstruksi mekanik pembukaan tuba, (b) bertindak sebagai reservoir untuk
organisme patogen, (c) dalam kasus alergi , sel mast dari jaringan adenoid melepaskan
mediator inflamasi yang menyebabkan penyumbatan tuba eustakhius. Dengan demikian,
adenoid bisa menyebabkan otitis media dengan efusi atau otitis media akut berulang.
Adenoidektomi dapat membantu mengurangi kedua kondisi tersebut.
3. Patensi abnormal tuba eustakhius
Patensi lumen tuba eustakhius juga dapat terjadi kelainan diantaranya tuba patulous dan
semipatulous. Tuba patulous yaitu terbukanya lumen tuba eustakhius walaupun saat istiahat,
sedangkan pada semipatulous, lumen tuba eutakius tertutup saat istirahat namun mempunyai
resistensi yang rendah dibandingkan resistensi pada lumen tuba yang normal.5
Lumen tuba eustakhius yang terus menerus terbuka dapat terjadi ventilasi antara nasofaring
dan telinga tengah, namun patogen dari nasofaring dapat masuk sehingga menyebabkan otitis

44
media refluks. Pada tuba semipatulous, lumen tuba eutakius tertutup saat istirahat namun
mempunyai resistensi yang rendah, sehingga mudah terjadi ventilasi dari nasofaring ke telinga
tengah, contohnya pada saat bersin, ataupun menangis. Patulous tuba dapat terjadi karena
bentuk geometri yang abnormal sehingga terlalu kaku atau tekanan ekstramural yang
berkurang, contohnya pada pasien yang mengalami penurunan berat badan yang drastis,
kehamilan terutama trimester ketiga atau sklerosis multipel.
Keluhan utama pasien adalah mendengar suaranya sendiri (autofoni), bahkan suara nafasnya
sendiri yang sangat mengganggu. Karena potensi yang abnormal, perubahan tekanan dalam
nasofaring mudah menular ke telinga tengah begitu banyak sehingga pergerakan timpani dapat
dilihat saat inspirasi dan ekspirasi. Kondisi akut tuba eutakius yang patulous biasanya bersifat
self-limited dan tidak memerlukan pengobatan. Dengan kenaikan berat badan, pemberian
kalium iodida dapat membantu tetapi beberapa kasus kronik mungkin memerlukan kauterisasi
dari lumen tuba eustakhius atau penyisipan Gromet.

Penatalaksanaan

Sebahagian besar orang dengan oklusi atau disfungsi tuba Eustachius, menggunakan obat
dekongestan atau nasal spray sejam sebelum keberangkatan pesawat, dan jika perlu, sebelum
mendarat. Mekanisme obat dekongestan adalah untuk mengecilkan mukosa dan pembuluh darah
yang melapisi hidung dan tenggorokan, memungkinkan telinga tengah untuk menyamakan
tekanan luar dan dalam tubuh dengan lebih mudah. Demikian pula, orang yang mengalami
masalah sehari-hari dengan oklusi tuba eustachius dapat memperoleh manfaat dari kontrol alergi
yang ada dengan obat antihistamin, dekongestan, dan nasal spray.19

Kontrol refluks asam lambung juga dapat membantu jika refluksnya mengiritasi lapisan di
bagian belakang hidung dan pembukaan tabung Eustachius seperti yang terjadi pada pasien LPR.

45
BAB III
LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta-Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari / Tanggal Ujian / Presentasi Kasus : Senin/ 12 November 2018
SMF PENYAKIT THT
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

Nama : Jessica Oswari Tanda tangan


Nim : 112017104

Dr. Pembimbing/ penguji : dr. Stivina Azrial, Sp.THT-KL

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. H Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 51 tahun Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : S1
Alamat : Komp DPR Status :Belum menikah

ANAMNESA
Diambil secara : Autoanamnesis
Pada tanggal : 5 November 2018 Jam : 11.00 WIB

Keluhan utama
Telinga kiri berdengung sejak 10 hari SMRS.

46
Keluhan tambahan
Keluhan disertai hidung tersumbat setiap malam hari, tenggorokan seperti mengganjal,
pendengaran berkurang pada telinga kiri sejak 10 hari SMRS .

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)


Pasien datang dengan keluhan telinga kiri berdengung sejak 10 hari smrs. Dengung yang dirasakan
sekitar 10 menit dan sering hilang timbul. Pasien juga mengatakan telinga kiri penuh seperti naik pesawat
dan pendengarannya berkurang. Nyeri pada telinga, keluar cairan dari telinga maupun riwayat trauma di
sangkal. Pasien mengeluh pendengarannya berkurang.

Pasien juga mengeluh pusing dan nyeri tekan di derah dahi. Pusing hilang timbul. Terdapat riwayat
sinusitis dari tahun 2009. Keluhan gigi berlubang disangkal. Pasien juga mengeluh hidung tersumbat sejak
10 hari smrs. Hidung tersumbat hilang timbul pada kedua sisi dan keluar lendir dari hidung bewarna enecer
yang tidak berbau. Keluhan ini disertai rasa gatal dihiudng disertai mengeluarkan air mata yang dirasakan
setiap malam, terutama diruangan ber AC, tempat berdebu dan tempat berasap. Pendarahan dari hidung,
gangguan penghidu disangkal. Terdapat riwayat alergi dingin dan debu pada ayah.

Terdapat juga rasa mengganjal di tenggorokan tetapi tidak menganggu makan dan minum. Pasien
sering mendehem dan batuk. Batuk hilang timbul dan kering. Keluhan nyeri ulu hati juga dirasakan. Pasien
setelah makan kadang-kadang langsung tidur. Rasa pahit dan tidak enak di mulut juga di rasakan oleh
pasien. Pasien rutin mengkonsumsi kopi di pagi hari, dan jarang makan-makanan pedas dan tidak pernah
minum alkohol. Rasa panas di dada, merasakan cepat kenyang, sendawaan. Pasien merasakan ada lendir
turun ke tenggorokan. Nyeri tenggorokan, kesulitan menelan, suara parau, kesusahan untuk bernafas
penurunan berat badan tidak ada. Terdapat riwayat mag.

Tiga hari smrs telinga kiri yang dirasa semakin berdengung, lamanya sekitar 1 jam dan pendengaran
semakin berkurang. Pasien juga mengatakan jarang mendengar suara bising dan kebiasaan memakai
headset disangjal. Riwayat pengobatan sudah dilakukan di puskesmas, diberi obat ibuprofen tetapi belum
mengalami perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mempunya riwayat maag, kolesterol

47
Pemeriksaan Fisik
TELINGA
Dextra Sinistra

Bentuk daun telinga Mikrotia (-), makrotia (-), anotia (-), Mikrotia (-), makrotia (-), anotia
atresia (-), fistula (-), bat’s ear (-), lop’s (-), atresia (-), fistula (-), bat’s ear
ear (-), cryptotia (-), satyr ear (-) (-), lop’s ear (-), cryptotia (-),
satyr ear (-)
Kelainan congenital Mikrotia (-), Makrotia (-), Atresia (-), Mikrotia (-), Makrotia (-), Atresia
Cryptotia (-), Satyr ear (-), Fistula (-), (-), Cryptotia (-), Satyr ear (-),
Bat’s ear (-), Anotia (-), Stenosis Fistula (-), Bat’s ear (-), Anotia (-
Canalis (-) ), Stenosis Canalis (-)
Tanda Radang, Tumor Nyeri (-), massa (-), hiperemis (-), Nyeri (-), massa (-), hiperemis (-
edema (-) ), edema (-)
Nyeri tekan tragus Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Penarikan daun telinga Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Kelainan pre-, infra-, Fistula pre-aurikula (-), Ulkus (-), Fistula pre-aurikula (-), Ulkus (-
retroaurikuler Ekimosis (-), hematoma (-), laserasi (-), ), Ekimosis (-), hematoma (-),
abses (-), sikatriks (-), massa (-), laserasi (-), abses (-), sikatriks (-),
hiperemis (-), nyeri tekan (-), edema (-) massa (-), hiperemis (-), nyeri
tekan (-), edema (-)
Region mastoid Hiperemis (-), massa (-), nyeri (-), Massa (-), hiperemis (-), odem (-
edema (-), abses (-) ), nyeri (-), abses (-)
Liang telinga Lapang (+) Lapang (+)

Membran Timpani Intak, Reflek cahaya (+) arah jam 5, Intak , retraksi (+), hiperemis (-)
hiperemis (-),buldging (-)

Tes Penala
Dextra Sinistra
Rinne Positif Positif

48
Weber Lateralisasi ke telinga sakit
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai 512 Hz 512 Hz

Kesan : ada kelainan tuli konduktif pada tes penala dengan frekuensi 512 Hz pada telinga kiri pasien.

HIDUNG

Bentuk Saddle nose (-), hump nose (-), Saddle nose (-), hump nose (-),
agenesis (-), hidung bifida (-), agenesis (-), hidung bifida (-),
atresia nares anterior (-), atresia nares anterior (-), tidak
deformitas (-). Hiperemis (-), ada deformitas, Hiperemis (-),
massa (-) massa (-)
Tanda peradangan Hiperemis (-), nyeri (-), massa (- Hiperemis (-), nyeri (-), massa (-
), hipertermi (-) ), Hipertermi (-)
Daerah sinus frontalis dan Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (-), Nyeri tekan (+), nyeri ketuk (-),
maxillaris krepitasi (-) krepitasi (-)
Vestibulum Tampak bulu hidung (+), laserasi Tampak bulu hidung (+), laserasi
(-), sekret (-), furunkel (-), krusta (-), sekret (-), furunkel (-), krusta
(-), hiperemis (-), nyeri (-), (-), hiperemis (-), nyeri (-), massa
massa (-), benda asing (-), (-), benda asing (-), Atresia nares
Atresia nares anterior (-), anterior (-)
Cavum Nasi Lapang , secret (-), krusta (- Lapang, secret (-), krusta (-),
),pendarahan aktif (-), benda asing (-)
Konka inferior livide (+), edema (+), hipertrofi Hipertrofi (-), atropi (-),
(-), Atropi (-) hiperemis (-), livide (+), edema
(+)
Meatus nasi inferior Sekret (+), massa (-), sempit (-) Sekret (+), massa (-), sempit (-)
Konka Medius Edema (+), livide (+), konka Edema (+), livide (+), konka
bulosa (-) bulosa (-)
Meatus nasi medius Sekret (+), massa (-), sempit (-) Sekret (+), massa (-), sempit (-)
Septum nasi Deviasi (-), spina (-), hematoma Deviasi (-), spina (-), hematoma
(-), abses (-), perforasi (-), crista (-), abses (-), perforasi (-), crista
(-) (-)

49
RINOPHARING

 Koana : Tidak dilakukan


 Septum nasi posterior : Tidak dilakukan
 Muara tuba eustachius : Tidak dilakukan
 Torus tubarius : Tidak dilakukan
 Post nasal drip : Tidak dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

 Sinus frontalis kanan : Tidak dilakukan


 Sinus frontalis kiri : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kanan : Tidak dilakukan
 Sinus maxillaris kiri : Tidak dilakukan

FARING
Dinding faring posterior : Hiperemis (+), granula (+), ulkus (-), perdarahan aktif (-), clotting (-
), post nasal drip (-), massa (-).
Arcus faring : Pergerakan simetris, hiperemis (+), edema (-), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-), kripta (-), detritus (-), pseudomembran (-), abses
(-)
Uvula : di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-), memanjang (-), edema (-
).
Gigi : caries (-).

LARING
Epiglottis : sulit dinilai

Plica aryepiglotis : sulit dinilai

Arytenoids : sulit dinilai

Ventricular band : sulit dinilai

Pita suara : sulit dinilai

Rima glotis : sulit dinilai

Cincin trachea : sulit dinilai

50
Sinus Piriformis : sulit dinilai

Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan palpasi.

Skor RSI : 21

Suara serak/problem suara 1


Clearing your throat (mendehem) 3
Lendir di tenggorokan (PND) 4
Kesukaran menelan 5
Batuk setelah makan/berbaring 0
Kesukaran bernafas 0
Batuk yang mengganggu 1
Rasa mengganjal di tenggorok 5
Heart burn, rasa nyeri di dada, gangguan pencernaan, regurgitasi 3
asam

RESUME
Seorang perempuan berusia 51 tahun datang ke poli THT dengan keluhan tinnitus pada telinga kiri
sejak 10 hari smrs. Tinnitus yang dirasakan 10 menit dan hilang timbul. Pada telinga kiri terdapat
pendengaran berkurang. Nyeri pada telinga keluar cairan maupun riwayat trauma disangkal. Kebiasaan
penggunaan headset disangkal. Pasien juga mengeluh pusing dan nyeri tekan di daerah frontal. Pusing yang
dirasakan hilang timbul. Terdapat riwayat sinusitis dari tahun 2009. Pasien juga mengeluh obstruksi nasal
sejak 10 hari smrs. Obstruksi nasal hilang timbul pada kedua sisi dan rinore dan mengeluarkan sekret dari
hidung bewarna enecer yang tidak berbau. Keluhan ini disertai rasa gatal dihidung disertai lakrimasi yang
dirasakan setiap malam, terutama diruangan ber AC, tempat berdebu dan tempat berasap. Terdapat riwayat
alergi dingin dan debu pada ayah. Terdapat juga rasa mengganjal di tenggorokan tetapi tidak menganggu
makan dan minum. Pasien sering mendehem dan batuk. Batuk hilang timbul dan kering. Keluhan nyeri ulu
hati juga dirasakan. Pasien setelah makan kadang-kadang langsung tidur. Rasa pahit dan tidak enak di mulut
juga di rasakan oleh pasien. Pasien rutin mengkonsumsi kopi di pagi hari, dan jarang makan-makanan
pedas dan tidak pernah minum alkohol. Rasa panas di dada, merasakan cepat kenyang, sendawaan. Pasien
terdapat post nasal drip. Nyeri tenggorokan, kesulitan menelan, suara parau, kesusahan untuk bernafas
penurunan berat badan tidak ada. Terdapat riwayat mag.

51
Dari pemeriksaan fisik pada telinga tampak retraksi membrane timpani di telinga kiri, pada tes
weber didapatkan lateralisasi ke telinga sakit. Pada pemeriksaan hidung konka inferior edema, livid kiri
dan kanan. Pada meatus nasi inferior secret (+) kiri dan kanan, konka medius edema, livid kiri dan kanan,
meatus nasi medius secret di kiri dan kanan. Pada faring , dinding faring posterior hiperemis, granula, arcus
faring hiperemis. Hasil Reflux Symptom Index 21.

Working diagnosa (WD)


- Oklusi Tuba Auricula Sinistra
Dasar yang mendukung
 Telinga kiri seperti tertutup
 Telinga kiri berdengung

Pemeriksaan fisik : Retraksi membrane timpani kiri, terdapat tuli konduktif pada tes penala

- Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut


Dasar yang mendukung:
 Nyeri pada daerah frontal disertai nyeri tekan berbarengan dengan tinnitus 10 hari
smrs
 Post nasal drip
 Riwayat sinusitis sejak tahun 2009
Pemeriksaan fisik:
 Mukosa konka inferior dan konka media tampak edem.
- Suspect Rinitis Alergi
Dasar yang mendukung:
 Hidung sering gatal dan tersumbat
 Riwayat bersin setiap pagi dan tempat banyak debu
 jika berada diruangan ber-AC hidung menjadi mampet

Pemeriksaan Fisik:
 Pada rhinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior dan media tampak livide
dan edem. Dikavum nasi terlihat cairan yang encer dan bening.

Laringopharingeal refluks.

Dasar yang mendukung:

52
 Anamnesis: tenggorokan terasa seperti ada yang mengganjal dan gatal, pasien sulit
menelan, pasien merasakan lendir tenggorokanPasien suka makan pedas, pasien
merasakan nyeri ulu hati.. Riwayat maag (+). Pasien suka mendehem.
 Pemeriksaan fisik: dinding faring posterior tampak hiperemis, granula
 RSI score: 21

DIAGNOSIS BANDING

1. Rhinitis Vasomotor
Dasar yang mendukung :
- Riwayat hidung tersumbat jika terpapar udara dingin

Dasar yang tidak mendukung

- Hidung tersumbat yang tidak tergantung posisi pasien

2. Faringitis Kronik
Dasar yang mendukung
- Nyeri tenggorokoan
- Faktor predisposisi sinusitis

Dasar yang tidak mendukung

- Didapatkan RSI sebesar 21 sehingga dicurigai adanya LPR

Rencana pemeriksaan lanjutan

 Tympanometri
 Audiometri Nada murni
 Laryngoscopy indirect
 Skin Prick test

Penatalaksanaan

Medika Mentosa :
Oklusi Tuba

53
Medika Mentosa :
- Dekongestan nasal spray : Oxymetazoline HCL 0.05% 3x3 maksimal 7 hari pemakaian rutin
Suspect Rinitis Alergi Persisten Ringan:
- Antihistamin: Loratadin 10 mg 1 x 1
- Dekongestan oral: Pseudoefedrin 30 mg 3 x 1
Rinosinusitis Kronik Eksaserbasi Akut
- Kortikosteroid topikal: fluticasone furoate nasal spray 2 dd puff 2
- Antibiotik : cefixime 200 mg 2x1
- Cuci hidung dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%)
Laringofringeal reflux
Medika Mentosa :
- Lanzoprazole 2 x 30 mg

Non Medika Mentosa :


 Hindari allergen pencetus
 Menggunakan masker saat melakukan perkerjaan yang kontak dengan debu
 Menjaga kebersihan hidung dan mulut
 Menjaga kesehatan tubuh dengan meminum vitamin dan makanan bergizi
 Istirahat cukup
 Hindari makanan yang dapat mengiritasi lambung dan esofagus seperti kopi, minuman
berkarbonasi, coklat, jus alpukat/jeruk, alkohol, tomat ataupun makanan berlemak.
 Tidak menggunakan pakaian atau korset yang terlalu ketat.
 Ketika mau tidur berhenti makan 3 – 4 jam sebelumnya.
 Tidak stress.
 Hindari terjadinya infeksi saluran pernafasan
Prognosis

Rinosinusitis Kronis Eksaserbasi Akut

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

54
Rinitis Alergi Persisten Ringan

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad sanationam : Dubia ad malam
Ad fungtionam : Dubia ad malam

Laryngopharingeal refluks

Ad vitam : bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam

Oklusi Tuba Aurikula Dextra

Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam

55
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien ini, maka dapat
ditegakan diagnosis kerja oklusi tuba aurikula sinistra, rhinitis alergi intermiten ringan,
rhinosinusitis kronik, laryngopharyngeal reflux (LPR).

Pasien ditegakkan diagnosis kerja rhinosinusitis kronis eksaserbasi akut, dikarenakan


didapatkan adanya gejala pada rhinosinusitis. Gejala tersebut adalah pasien merasakan banyak
ingus di tenggorokan, pusing, terutama di daerah frontal dan mengalami pilek. pasien juga
ditegakkan diagnosis Rhinitis alergi dikarenakan pasien hidung mampet dan gatal pada malam hari
, pagi hari dan di daerah tempat berdebu. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan mukosa
konka iinferior dan media tampak lvide dan edem. Sedangkan gejala nyeri tenggorokan dan rasa
mengganjal di tenggorokan disertai pasien mempunyai keluhan nyeri ulu hati maka pasien
menunjukkan kea rah LPR.

Dari kasus diatas didapatkan bahwa oklusi tuba aurikula sinistra yang dikeluhkan oleh
pasien dikarenakan riwayat rhinitis alergi, Rhinosinusitis kronik. Oklusi tuba inilah yang dapat
membuat pasien berkurang pendengaran. Maka dilakukan tes penala dan hasilnya tuli konduktif.
Walaupun didapatkan tes Rinne positif dan Swabach sama dengan pemeriksa, tetap dikatakan
pasien tuli konduktif karena tes weber pasien didapatkan lateralisasi ke telinga sakit. Dari
anamnesis juga didapatkan pasien juga mempunyai riwayat tenggorokan terasa kering dan gatal,
kebiasaan makan makanan yang pedas. Dari skor RSI pasien hasilnya 21 yang memperkuat
diagnosis laryngopharyngeak reflux.

Penatalaksanaan medika mentosa yang diberikan pada pasien ini adalah antihistamin dan
dekongestan untuk rhinitis alergi. Antihistamin yang diberikan dalam hal ini adalah antihistamin
generasi kedua yang tidak menimbulkan efek sedative seperti loratadin 10 mg diberikan 1 kali
sehari dalam 5 hari dan dekongestan oral seperti pseudoefederin 30 mg 3 kali sehari dalam 3 hari.
Sedangkan untuk mengatasi rhinosinusitis kronik dapat diberikan terapi kortikosteroid topical
yaitu Fluticason furoate nasal spray yang disemprotkan pada hidung 2 kali sehari dan cuci hidung
dengan larutan garam fisiologis (NaCl 0.9%). Jika terdapat demam dapat diberikan antiperatik,
seperti paracetamol 500 mg yang diminum 3 kali sehari. Untuk LPR, penanganan medika mentosa
adalah ppi yaitu lansoprazole 30 mg setiap 12 jam untuk mencegah naiknya asam lambung ke

56
traktus aerodigestif. Penanganan yang lebih penting untuk LPR adalah non medika mentosa yaitu
dengan menghindar dari makanan yang dapat merangsang asam lambung. Penanganan pada oklusi
tuba adalah pemberian dekongestan oral dan dekongestan nasal spray.

Prognosis ad vitam adalah dubia ad bonam karena pada dasarnya alergi tidak dapat
sembuh, sehingga pasien harus menghindari alergen untuk mencegah infeksi berulang agar tidak
menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut. Ad sanationam adalah dubia ad bonam karena bila
pengobatan tidak adekuat dan kontak dengan alergen tidak dihindari maka dapat menimbulkan
komplikasi. Ad functionam adalah dubia ad bona

57
BAB IV
KESIMPULAN
Rinitis Alergi (RA) adalah inflamasi pada mukosa hidung yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Gejala utama pada hidung yaitu
hidung gatal, tersumbat, bersin-bersin, keluar ingus cair dan bening. Seringkali gejala meliputi
mata, yaitu berair, kemerahan dan gatal. Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dan sering
dijumpai.

Rinosinusitis merupakan sebagai inflamasi pada mukosa sinus paranasal yang disertai atau
dipicu oleh rinitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tetutup, dimulai
dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks osteomeatal. Oedem mukosa akan
menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus stasis).

Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam lambung ke
ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang berdekatan dengan jaringan di
traktus aerodigestive atas. Antara penyebab LPR ini adalah asam lambng yang mencederai
esophagus distal atau ransangan refleks vagal. Gagalnya mekanisme fisiologis juga menyebabkan
kecederaan pada traktus aerodigestif yang menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien LPR.

Oklusi tuba ada kelainan disfungsi tuba eustachius yang dapat bermanifestasikan ke
berbagai gejala seperti gangguan pendengaran, tinitus dan telinga terasa tertutup. Pemeriksaan
fisik sering didapatkan tidak ada kelainan, lalu bisa dilakukan tes penala dan juga tes timpanometri
dan audiometri nada murni untuk menegakkan diagnosis. Pengobatan akan bergantung pada sebab
terjadinya oklusi tuba seperti mengobati infeksi yang terjadi di saluran pernafasan atas.

58
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.150-4
2. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007. p. 128-
32
3. CCENT.Laryngopharyngeal Reflux.2004. Available from
http://www.ccent.com/webdocuments/LPR-CCENT-document.pdf

4. Grimmer, JF. Poe, Dennis S. Update on Eustachian Tube Dysfunction and the Patulous
Eustachian Tube. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. Edisi ke-13; h 277-282. Lippincott
Williams, 2005

5. Soetjipto D, Mangunkusumo E, dkk. Hidung. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok,
kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.h.96-
100
6. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan sinus paranasalis. Buku ajar penyakit tht. Edisi
keenam. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994.h.173-240
7. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok,
kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.h.150-4.
8. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a synopsis
of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43
9. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview.
10. Rhinosinusitis Kronik. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/ 134825-overview.
Diunduh pada 13 Januari 2018.
11. Brook I, Benson BE, Riauba L, Cunha BA. Acute sinusitis. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/232670-overview.
12. University of Maryland Medical Center. Pengobatan cara Medis, Herbal, Alternatif, untuk
Alergi Rhinitis. Maryland : 2010.
13. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6 th ed. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7.

59
14. Nina I, Elise K, Nikmah R. Rinitis alergi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012.
15. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
16. ________________________. Laryngopharyngeal Reflux. Cleveland Clinic [online] 2012.
Available from http://my.clevelandclinic.org/disorders/laryngopharyngeal-reflux-
lpr/hic_laryngopharyngeal_reflux_lpr.aspx
17. O’reilly, Robert C. Sando, Isamu. Anatomy and Physiology of the Eustachian Tube. In: Cummings
Otolaryngology: Head & Neck Surgery, 5th Edition. Mosby. 2010 


18. Boies, L. R. Penyakit telinga tengah: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Balai Penerbit
Buku Kedokteran EGC; Jakarta: 1997.h.76-9.

19. Grimmer, JF. Poe, Dennis S. Update on Eustachian Tube Dysfunction and the Patulous
Eustachian Tube. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg. Edisi ke-13; h 277-282. Lippincott
Williams, 2005

60

Anda mungkin juga menyukai