Anda di halaman 1dari 12

http://jagonyahukum.blogspot.co.

id/2015/10/study-kasus-hak-kekayaan-
intelektual.html

http://serba-makalah.blogspot.co.id/2016/12/makalah-indikasi-geografis.html

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH

Undang-undang Merek yang baru menambah ketentuan baru mengenai Indikasi Geografis
(geographical indication) dan indikasi asal sebagaimana yang diatur dalam Persetujuan TRIPs.
Pengertian Indikasi Geografis ini dapat dijumpai dalam Pasal 22 ayat (1) persetujuan TRIPs yang
berbunyi :
Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications ehich
identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory,
where a given quality, reputation or other characteristic ofd the good is essentially attributable to
its geographical origin.

Dari rumusan Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRIPs, jelas bahwa indikasi geografis adalah
tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah dalam
wilayah negara anggota tersebut, yang menunjukan asal suatu barang, yang memberikan reputasi,
kualitas dan karakteristik tertentu dari barang yang bersangkutan. Dengan kata lain, identitas suatu
barang dapat juga ditentukan faktor geografis yang menunjukan adanya reputasi, kualitas dan
karakteristik tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang yang bersangkutan.[1]
Indikasi Geografis merujuk tidak hanya pada nama tempat, tetapi juga tanda-tanda
kedaerahan atau lambang dari lokasi bersangkutan yang mengidentifikasikan asal produk khas
bersangkutan. Contohnya seperti Monas, ataupun Rumah Adat Toraja. Tanda itu bukan produk
dagangnya, tetapi melekat pada produk sebagai tanda asal yang berhubungan dengan kerakteristik
produknya.
Indikasi Geografis sendiri pengaturannya dalam Persetujuan TRIPs tidak mengatur lebih
jauh mengenai nilai ataupun norma tertentu yang harus diikuti Negara peserta. Standar minimum
yang harus dilakukan setiap Negara peserta hanyalah melakukan cara-cara hukum dalam rangka
perlindungannya (legal means), termasuk singgungannya dengan persaingan tidak sehat (unfair
competition). Bentuk perlindungan seperti apa diserahkan pada kebijaksanaan masing-masing
Negara. Aturan Indikasi Geografis pun boleh dimasukkan di dalam ataupun di luar aturan Merek.
Walaupun TRIPs sendiri mengakui bahwa baik Indikasi Geografis maupun Merek merupakan
rezim yang independen.[2]

Adanya aturan mengenai Indikasi Geografis di Indonesia, sebagai salah satu bentuk norma
perlindungan HKI, hadir setelah keikutsertaan dan ratifikasi Indonesia dalam Persetujuan TRIPs
(vide Keppres No. 7 Tahun 1994). Norma baru yang merupakan bagian dari penyesuaian aturan
HKI pasca penandatanganan Persetujuan TRIPs ini dimasukkan dalam rezim Merek sebagaimana
tertuang dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Merek dan dalam UU Merek yang baru, UU No.
15 Tahun 2001 (“UU Merek”). Norma pembatasannya tercantum pada Pasal 56 ayat (1) UU
Merek, sebagai berikut:
Indikasi-geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang,
yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi
dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Serupa dengan perlindungan Merek di Indonesia, perlindungan Indikasi Geografis juga
mensyaratkan adanya suatu proses permohonan pendaftaran. Hanya saja pendaftaran dilakukan
oleh kelompok masyarakat atau institusi yang mewakili atau memiliki kepentingan atas produk
bersangkutan. Berbeda dengan perlindungan merek, Indikasi Geografis tidak mengenal batas
waktu perlindungan sepanjang karakteristik yang menjadi unggulannya masih tetap dapat
dipertahankan. Penjabaran secara rinci mengenai perlindungan Indikasi Geografis dituangkan
dalam aturan pelaksana berupa PP No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi-Geografis (“PP
51/2007”). [3]
Pada Study Kasus kali ini penulis mencoba mengulas atau mengangkat kasus mengenai Kasus
pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co. dimulai pada saat pemilik
merek “Toarco Toraja” tersebut mengajukan permohonan perlindungan atas merek kopi yang
mulai populer di Jepang. Ancaman adanya pesaing yang menggunakan merek dagang dengan
nama yang sama menjadi dasar permohonan perlindungan mereknya pada 1974 dan kemudian
pendaftarannya dikabulkan pada 1976.
Seiring dengan perlindungan merek bersangkutan, berkembang pula norma yang melindungi nama
daerah (letak geografis) sebagai tanda untuk mengenali kualitas ataupun ciri khas produk tertentu.
Nilai ekonomis produk yang menggunakan IG menjadi issue penting dalam perdagangan.
Utamanya, setelah secara definitif diperkenalkan pada aturan dagang internasional dalam kerangka
WTO, khususnya melalui Pasal 22 s.d. Pasal 24 Persetujuan TRIPs. Adanya perkembangan ini
membuka peluang beberapa perusahaan kopi di Jepang untuk mengajukan permohonan
penghentian penggunaan monopoli kata “Toraja” pada merek dagang yang dimiliki Key Coffee
Co. atas jenis produk kopi. Dasarnya karena penggunaan nama daerah asal penghasil kopi
bersangkutan dianggap sebagai domain publik. Bahkan sengketa penyalahgunaan nama Toraja
sebagai merek dagang ini pernah sampai pada pengadilan Urawa, Jepang pada 1997. Walaupun
diakhiri dengan kesepakatan damai, Key Coffee tetap saja sebagai pihak yang memberikan izin
penggunaan nama Toraja di Jepang.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka ada beberapa hal yang menjadi pokok
permasalahan dalam Study Kasus ini, yaitu:
1. Upaya hukum seperti apa yang dapat dilakukan mengenai kasus pendaftaran merek Kopi dengan
nama Toraja oleh Key Coffee Co ?
2. Apa saja akibat hukum yang dapat terjadi pada kasus pendaftaran merek Kopi dengan nama Toraja
oleh Key Coffee Co ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui upaya hukum seperti apa yang dapat dilakukan mengenai kasus pendaftaran
merek Kopi dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co
2. Untuk mengetahui Apa saja akibat hukum yang dapat terjadi pada kasus pendaftaran merek Kopi
dengan nama Toraja oleh Key Coffee Co

2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan secara teoritis maupun praktis,
antara lain sebagai berikut:
a. Kegunaan secara Teoritis:
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan
khususnya bidang hukum dan yang bersangkutan dengan Hak Kekayaan Intelektual.
b. Kegunaan Secara Praktis
Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai masukan bagi perusahaan
ataupun perorangan dan juga masyarakat umum dalam menjalankan dan menerapkan mengenai
hukum hak kekayaan intelektual.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Merek, adalah tanda yang berfungsi untuk membedakan suatu produk dari produk sejenis
yang ada di pasar. Tujuan pemberian tanda itu adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau
produsen dari produk tersebut atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau kelebihan dari produk
tersebut. Dalam banyak sektor perdagangan, merek menjadi penting karena itulah yang menarik
konsumen untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang mau bersusah
payah dan mengeluarkan uang banyak untuk membangun atau mempertahankan reputasi
mereknya. Kepemilikan merek bersifat privat, karena penetapan suatu tanda sebagai merek terjadi
akibat kesengajaan oleh produsen produk tersebut dan bukan karena ditetapkan oleh masyarakat.
Pemegang hak merek berkepentingan untuk mencegah mereknya ditiru/dipalsu, karena produk
peniru apalagi palsu tersebut dapat mengurangi pendapatannya atau mengerosi reputasinya.[4]
Istilah ‘tanda’ dalam konteks merek tidak sama dengan yang diatur dalam konteks indikasi
geografis. Dalam konteks merek, tanda tersebut yang penting adalah harus memiliki daya
pembeda. Berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness, kekuatan daya pembeda suatu merek
dapat dikelompokkan menjadi lima: fanciful, arbitrary, suggestive, descriptive, dan generic.
Dalam konteks indikasi geografis, ‘tanda’ tersebut harus menunjukkan daerah asal dari suatu
produk; sedangkan produknya itu sendiri harus menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang
dihasilkan oleh faktor lingkungan geografis, yang meliputi faktor alam, faktor manusia, atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut. Jika ‘tanda’ dalam merek diberikan oleh produsen produk,
maka ‘tanda’ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah suatu hal yang hampir
mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang pertama kali mencetuskan nama
tersebut. Yang jelas dalam praktek perdagangan, ‘tanda’ itu dipergunakan untuk membedakan
dengan produk yang sejenis dari daerah lain.
Dalam pengaturan UU Merek 2001, obyek indikasi geografis tidak dibatasi secara tegas
hanya berupa hasil alam. Karena UU tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat
yang berhak mengajukan permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat barang-
barang kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek indikasi geografis dapat
mencakup hasil budaya.
Dari rumusan Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRIPs, sudah jelas dan dapat diketahui bahwa
indikasi geografis adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau
kawasan atau daerah dalam wilayah negara anggota tersebut, yang menunjukan asal suatu barang,
yang memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu dari barang yang bersangkutan.
Dengan kata lain, identitas suatu barang dapat juga ditentukan faktor geografis yang menunjukan
adanya reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang yang
bersangkutan.
Tanda yang digunakan sebagai indikasi geografis dapat berupa etiket atau label yang
dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda dimaksud dapat berupa nama tempat, daerah, atau
wilayah, kata, gambar, atau huruf. Pengertian nama tempat dapat berasal dari nama yang tertera
dalam peta geografis atau nama yang karena pemakaian secara terus menerus sehingga dikenal
sebagai nama tempat asal barang yang bersangkutan. Perlindungan indikasi geografis
disini meliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan
tangan, atau hasil industry tertentu lainnya.
Disamping indikasi geografis dikenal pula indikasi asa. Pada dasarnya indikasi asal ini
adalah indikasi geografis, tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukan asala suatu
barang atau jasa. Pasal 59 UMM 2001 menyatakan indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda
yang memenuhi ketentuan Pasal 56 ayat (1) tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukan
asal suatu barang atau jasa.
Perlindungan hukum tehadap indikasi geografis hanya dapat diberikan setelah terdaftar di
Direktorat Jenderal HaKI atas dasar permohonan yang diajukan oleh :
a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan,
yang terdiri atas pihak yang mngusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan,
produsen barang hasil pertanian, pembuat barang-barang kerajinan atau hasil industr, atau
pedagang yang menjual barang tersebut;
b. Lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu, bisa merupakan lembaga pemerintah atau
lembaga resmi lainnya seperti k operasi, asosiasi dan lain-lain;
c. Kelompok konsumen barang tersebut.
Ketentuan mengenai pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 21, 22, 23, 34, 25
UMM 2001 berlaku secara mutatis mutandis bagi pengumuman permohonan pendaftaran indikasi
geografis.
Direktorat Jenderal dapat menolak atau menerima permohonan pendaftaran indikasi geografis
yang bersangkutan. Permohonan pendaftaran indikasi geografis akan ditolak apabila tanda tersebut
:
a. Bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau dapat memperdayakan
atau menyesatkan masyarakat mengenai sifat, ciri, kualitas asal sumber, proses pembuatan, da/atau
kegunannya;
b. Tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai indikasi geografis
Permohonan penolakan pendaftaran indikasi geografis dapat dimintakan banding kepada
Komisi Banding Merek sebagaimana diatur dalam Pasal-pasal 29, 30, 31, 32, 33 dan 34 UMM
2001.
Perlindngan hukum terhadap indikasi geografis terdaftar ini berlangsung selama ciri
dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis
tersebut masih ada.
Apabila sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai indikasi geografis, satu
tanda telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar, pihak yang
beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun
terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai indikasi geografis.
Menurut Pasal 57 dan Pasal 60 UMM 2001, baik pemegang hak atas indikasi geografis
maupun indikasi asal dapat mengajukan gugatan terhadap pemakai indikasi geografis atau indikasi
asal yang tanpa hak berupa permohonan ganti rugi dan penghentian penggunaan serta pemusnahan
etiket indikasi geografis yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Dalam kaitan ini, hakim dapat
memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pembuatan, perbanyakkan, serta
memerintahkan pemusnahan etiket indikasi geografis atau indikasi asal yang digunakan secara
tanpa hak tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak
yang haknya sebagai pemilik indikasi geografis atau indikasi asal yang dilanggar oleh orang
lain.[5]
Demikian pula menurut Pasal 58 dan Pasal 60 UMM 2001, ketentuan mengenai penetapan
sementara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Merek berlaku secara mutatis mutandis
terhadap pelaksanaan hak atas indkiasi geografis maupun indikasi asal. Ini berarti ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam pasal 56 sampai dengan pasal 60 Uum 2001 merupakan ketentuan
yang bersifat khsus. Sepanjang tidak ditentukan lain atau tersendiri dalam pasal 56 sampai dengan
pasal 60 UUM 2001 tersebu, ketentuan lain yang terdapat dalam UUM 2001 juga berlaku bagi
indikasi geografis dan indikasi asal.

BAB III
PEMBAHASAN

1. UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN


Secara logis, produk bermuatan IG dimiliki oleh masyarakat yang memiliki kepentingan
langsung dengan IG bersangkutan. Namun dalam kerangka perlindungan hukum, perlindungan IG
memerlukan upaya yang proaktif dari pihak yang berkepentingan (komunitas pemilik) berupa
pendaftaran dalam rangka alas kepemilikannya. Berkenaan dengan kasus Kopi Toraja, klaim dapat
dilakukan oleh pihak yang berkepentingan mewakili masyarakat (adat) Toraja ataupun pemerintah
daerah setempat.
Upaya pendaftaran kopi Toraja sebagai Indikasi Geografis di Indonesia diperlukan sebagai
langkah awal pengakuan hak. Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi internasional seperti
Perjanjian Lisabon 1958 perlu dijajaki untuk memperkuat kepemilikan Indikasi Geografis dalam
wadah internasional. Di samping itu, Perjanjian ini memuat pula aturan yang mengutamakan
kekuatan pendaftaran Indikasi Geografis sehingga dapat meletakan kepemilikan Merek dalam
prioritas kedua, sekalipun sudah terdaftar lebih dahulu atas dasar itikad baik. Namun, upaya hukum
pun perlu mengingat azas teritorial HKI. Aturan hukum setempat perlu menjadi acuan
pertimbangan dan kajian berkaitan dengan bentuk perlindungan Indikasi Geografis berikut Merek
mengingat maraknya Persaingan Tidak Sehat di Jepang
Seperti yang telah diuraikan pada pembahsan diatas pada kasus ini proses ataupun upaya
hukum dapat dilakukan yaitu dengan cara mengajukan gugatan terhadap pemakai yang tanpa hak
telah menggunakan indikasi geografis atau indikasi asal tersebut. Seperti yang telah diatur dalam
Pasal 57 dan Pasal 60 UMM 2001 gugatan dapat berupa permohonan ganti rugi dan penghentian
penggunaan serta pemusnahan etiket indikasi geografis yang digunakan tersebut.
Dalam kaitan ini, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan
pembuatan, perbanyakkan, serta memerintahkan pemusnahan etiket indikasi geografis atau
indikasi asal yang digunakan secara tanpa hak tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya sebagai pemilik indikasi geografis atau indikasi
asal yangf dilanggar oleh orang lain.

2. AKIBAT HUKUM
Akibat hukum adanya pendaftaran merek Toraja di Jepang, tentunya menghalangi
eksportir kopi dari Indonesia untuk memasukkan produk kopi yang menggunakan tanda dengan
nama Toraja. Perlindungan hukum HKI bersifat teritorial. Ironis bagi pihak Indonesia -- wilayah
geografis dari mana Kopi Toraja itu berasal -- manakala pihak asing justru berebut karena nilai
aset dan peluang bisnisnya. Walaupun aset tersebut secara de facto telah lama dimiliki, tetapi
perlindungannya mensyaratkan kepemilikan yang bersifat yuridis normatif, yaitu pendaftaran
kepemilikan.
Tentunya pada saat kopi dengan nama dagang beserta gambar rumah adat Toraja terdaftar
sebagai Merek di Jepang, perkembangan hukum Merek di Indonesia belum sampai tahap
pemahaman konsep perlindungan IG. Walaupun pengenalan akan nama daerah yang dapat
digunakan sebagai tanda dalam perputaran barang dan jasa dalam perdagangan internasional sudah
ada pada norma AO yang perlindungannya tertuang dalam Konvensi Paris 1883, Perjanjian dan
Protokol Madrid ataupun Perjanjian Lisabon 1958 (Lisbon Agreement of 1958 for the Protection
of Appellation of Origin). Itupun posisi Indonesia bukan merupakan Negara peserta dari semua
kesepakatan internasional tersebut, kecuali kemudian Konvensi Paris 1883 yang diratifikasi pasca
Persetujuan TRIPs.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Merek, adalah tanda yang berfungsi untuk membedakan suatu produk dari produk sejenis yang
ada di pasar. Tujuan pemberian tanda itu adalah agar konsumen bisa mengenali asal atau produsen
dari produk tersebut atau mengenali mutu, fungsi, keunikan, atau kelebihan dari produk tersebut.
Dalam banyak sektor perdagangan, merek menjadi penting karena itulah yang menarik konsumen
untuk membeli produk tersebut. Oleh karena itu, banyak perusahaan yang mau bersusah payah dan
mengeluarkan uang banyak untuk membangun atau mempertahankan reputasi mereknya.
Kepemilikan merek bersifat privat, karena penetapan suatu tanda sebagai merek terjadi akibat
kesengajaan oleh produsen produk tersebut dan bukan karena ditetapkan oleh masyarakat.
Pemegang hak merek berkepentingan untuk mencegah mereknya ditiru/dipalsu, karena produk
peniru apalagi palsu tersebut dapat mengurangi pendapatannya atau mengerosi reputasinya.

Istilah ‘tanda’ dalam konteks merek tidak sama dengan yang diatur dalam konteks indikasi
geografis. Dalam konteks merek, tanda tersebut yang penting adalah harus memiliki daya
pembeda. Berdasarkan doktrin spectrum of distinctiveness, kekuatan daya pembeda suatu merek
dapat dikelompokkan menjadi lima: fanciful, arbitrary, suggestive, descriptive, dan generic.
Dalam konteks indikasi geografis, ‘tanda’ tersebut harus menunjukkan daerah asal dari suatu
produk; sedangkan produknya itu sendiri harus menunjukkan ciri dan kualitas tertentu yang
dihasilkan oleh faktor lingkungan geografis, yang meliputi faktor alam, faktor manusia, atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut. Jika ‘tanda’ dalam merek diberikan oleh produsen produk,
maka ‘tanda’ dalam indikasi geografis diberikan oleh masyarakat. Adalah suatu hal yang hampir
mustahil untuk mengetahui siapa anggota masyarakat yang pertama kali mencetuskan nama
tersebut. Yang jelas dalam praktek perdagangan, ‘tanda’ itu dipergunakan untuk membedakan
dengan produk yang sejenis dari daerah lain.

2. SARAN
Dalam pengaturan UU Merek 2001, obyek indikasi geografis tidak dibatasi secara tegas hanya
berupa hasil alam. Karena UU tersebut mengatur bahwa dari tiga kelompok masyarakat yang
berhak mengajukan permohonan indikasi geografis, salah satunya adalah pembuat barang-barang
kerajinan tangan atau hasil industri. Itu berarti bahwa obyek indikasi geografis dapat mencakup
hasil budaya. Pengaturan demikian menjadi membingungkan, karena obyek hasil budaya
masyarakat lokal sesungguhnya dapat pula dianggap sebagai folklor. Persoalannya adalah
pengaturan untuk tidak menggunakan UU Merek, tetapi menggunakan UU Hak Cipta. Tidak
hanya itu, pengaturan dalam UU Hak Cipta seolah-olah hanya mencakup folklor dalam pengertian
lagu dan tarian saja, padahal pengertian mengenai folklor lebih luas dari itu.

Secara pribadi penulis berpandangan bahwa obyek indikasi geografis seharusnya dibatasi pada
hasil alam saja. Karena sesuatu seharusnya disebut sebagai indikasi geografis jika keunikan,
keistimewaan, atau keunggulan dari produk tersebut dibandingkan dengan produk sejenis lain lahir
dari bumi (geo) tempat produk tersebut berasal.
Persoalan lain dari pengaturan mengenai indikasi geografis adalah inkonsistensi. Dalam
sistem hukum merek, perlindungan hukum pada pemilik merek baru efektif jika yang bersangkutan
telah mendaftarkan mereknya tersebut. Artinya, tanpa pendaftaran maka ditinjau dari segi hukum
merek kedudukan hukum dari pemilik merek dalam mengantisipasi kompetitor atau lawan
bisnisnya menjadi agak lemah. Terlepas dari kekurangan yang ada, policy dari pengaturan tersebut
jelas. Tetapi dalam konteks indikasi geografis, apa yang dikehendaki oleh pembuat UU menjadi
tidak jelas. Karena mereka menyatakan bahwa indikasi geografis yang tidak didaftarkan disebut
indikasi asal; dan pemegang atas hak indikasi asal punya hak yang sama dengan pemegang hak
atas indikasi geografis. Dengan rumusan yang seperti ini, lalu buat apa pengaturan mengenai
pendaftaran indikasi geografis?
Agar tidak menimbulkan kebingungan yang lebih besar lagi, sebaiknya pengaturan
mengenai indikasi geografis dikeluarkan saja dari UU Merek. Dengan demikian, konten UU
Merek menjadi lebih fokus.

[1] Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni). Hlm 5
[2] Ibid, Hlm. 17
[3] Budi Agus Riswandi, Hak Kekayaan Intelekttual dan Budaya Hukum, (Jakarta: Rineka Cita,
2000). Hlm 30
[4] Bambang , Masyarakat (menulis) Melek Copyright, http://multiply.com
[5] Ahmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Bandung: Alumni). Hlm. 35

Anda mungkin juga menyukai