Anda di halaman 1dari 14

1

FIQH MAQĀṢIDĪ
(STUDI KOMPARASI FATWA IMAM AL-SHĀṬIBĪ
DAN JASSER AUDA)

Oleh :
Wahyu Tri Cahyono1 [iam.starving@yahoo.com]

A. Latar Belakang Masalah


Hukum Islam2 digali melalui sebuah proses yang dinamakan ijtihād. Produk-
produk hukum Islam (baca fikih) ini merupakan par excellence yang lahir dari rahim
peradaban Islam, yang tidak menjiplak hukum Romawi (Roman law), melainkan
murni hasil besutan para intelektual muslim yang berakar pada Alquran dan sunnah3.
Jika Yunani boleh bangga dengan ‘peradaban filsafat’nya, maka dunia Islam layak
bangga dengan ‘peradaban fikih’nya. Diskursus mengenai pembaharuan (tajdīd)
metodologi penggalian hukum Islam (uṣūl al-fiqh) sejatinya bukan hal yang benar-
benar baru. Hal ini telah digagas oleh ulama-ulama mujtahid, ulama-ulama uṣūl di
setiap masa demi memenuhi kebutuhan hukum yang berlaku di masa dan wilayahnya.
Ini merupakan fakta sejarah bahwa teori hukum Islam selalu berkembang sesuai
kebutuhan zaman dan juga telah menjadi watak dan karakteristik yang khas dari
hukum Islam4. Namun karena berbasis metodologi yang berbeda-beda5, maka ada

1
Penulis adalah Mahasiswa Program Magister/Konsentrasi Hukum Islam, Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2
Yang dimaksud dengan terma ‘hukum Islam’ dalam penulisan tesis ini bukan
mengacu pada terjemahan terma ‘Islamic law’ – sebagaimana yang digunakan oleh ahli hukum
Barat – yang cenderung diartikan secara umum sebagai syariat, namun lebih spesifik yang
berarti produk hukum Islam yang dihasilkan melalui sebuah proses yang disebut ijtihād. Ada
empat macam produk hukum yang dihasilkan melalui ijtihād yaitu fikih, fatwa, qada, dan
qanun. (Akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab ini)
3
Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jurnal Tsaqafah, (Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430), h. 227 – 228. Profesor Bernard Weiss
menulis “The refusal to accord to law an autonomous textual basis created in Muslims an
attitude which made it impossible for them to embrace Roman law...what is important here is
that Roman law could not be formally received into Islam: that was impossible.” Bernard
Weiss, “Law in Islam and in the West: Some Comparative Observation”, dalam Wael B.
Hallaq and Donald P. Little (eds.), Islamic Studies Presented to Charles J. Adams (Leiden:
E.J. Brill, 1991), h. 245. Muḥammad ‘Ābid al-Jābiri mengatakan usaha apapun yang dilakukan
untuk mengaitkan fiqh Islam dengan hukum Romawi hanya akan sia-sia saja. Muḥammad
‘Ābid al-Jābiri, Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirāsāt al-Wahdah al-‘Arabiyyah,
1989), h. 96.
4
Hasnan Bachtiar, Mashlahah dalam Formasi Teori Hukum Islam, Jurnal Ulumuddin
(Volume IV, Tahun III, Januari – Juni 2009), h. 18. Wael B Hallaq, “The Origins and Evolution
of Islamic Law”, (UK: Cambridge University Press, 2005), h. 5. Lihat juga al-Nadawi,…. (
5
Ini dapat dilihat dari hirarki sumber hukum yang berlaku pada madhāhib al-arba’ah,
dimana terdapat perbedaan antara madhhab satu dengan yang lainnya. Ada sumber hukum
yang disepakati, yaitu Alquran, sunnah, ijmā’, dan qiyās. Namun, ada pula sumber hukum
2

kalanya hukum-hukum yang dihasilkan juga tidak applicable jika dibawa keluar dari
wilayah dimana hukum tersebut dihasilkan atau bahkan tidak acceptable6. Demikian
corak uṣūl al-fiqh sebagai sebuah perangkat untuk menggali hukum Islam pada masa
klasik7.
Hingga kemudian muncul gagasan yang dikenal dengan maqāṣid al-sharī’ah
oleh imam al-Shāṭibī (w.790H/1388M) yang dianggap sebagai metodologi mutakhir
dalam memahami syariat. Periode abad 8H ini dijadikan tonggak awal mula
paradigma baru pembacaan teks naṣṣ dalam rangka iṣtinbāṭ al-ahkām - meminjam
istilah Thomas S Kuhn, nampak terjadi sebuah fenomena shifting paradigm8.
Meskipun gagasan ini juga tidak murni baru, karena embrionya telah diperkenalkan
oleh ulama madhhab Māliki melalui teori Maṣlaḥah, namun belum ada ulama-ulama
sebelumnya yang membahas maqāṣid al-sharī’ah tersendiri secara tuntas dan
komprehensif. Atas pencapaiannya ini, imam al-Shāṭibī dikukuhkan sebagai “Bapak
Maqāṣid”.
Menurut imam al-Shāṭibī – dalam al-Muwāfaqāt fī uṣūl al-sharī’ah – pada
dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (maṣāliḥ al-
‘ibād), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah, dalam pandangannya,
menjadi maqāṣid al-sharī’ah. Dengan kata lain, penetapan syariat, baik secara
keseluruhan (jumlatan) maupun secara rinci (tafṣīlan), didasarkan pada suatu ‘illat

yang diperselisihkan, yaitu maṣlaḥah, istiḥsān, sadd al-dharā-i’, shar’u man qablanā, fatwa
al-ṣaḥabi, ‘amal ahl al-madīnah, al-‘urf, istiṣḥāb. Sebagai contoh madhhab Shāfi’iyyah
menolak istiḥsān yang dipegang oleh madhhab Hanafiyyah, sebagaimana tercermin dalam
jargonnya “man istaḥsana faqad shara’a” (barangsiapa ber- istiḥsān, maka ia telah membuat
syariat), Muḥammad ibn Idrīs al-Shāfi’i, al-Risālah, (Kairo: Maṭba’ah Musṭafā al-Bāb al-
Halabi, 1358 H/ 1940 M), hal. 25.
ِ ‫اﳊ ْﻜ ِﻢ ﺑِﺘَـﻐَﱡِﲑ اﻷَﻣﻜِﻨَ ِﺔ واﻷ َْزﻣ‬
‫ﺎن‬ َ َ ْ ُْ ُ‫ﻻَﻳـُْﻨ َﻜُﺮ ﺗَـﻐَﱡﲑ‬
6

“Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan perubahan


tempat dan masa.”
7
Sejarah perkembangan ilmu uṣūl al-fiqh pada awalnya adalah metodologi bagi seluruh
pemikiran intelektual Islam, kemudian dalam perjalanannya dipersempit hanya pada kajian
hukum saja. Pada masa awal perkembangan ilmu uṣūl al-fiqh, setidaknya ada dua madhhab
besar, yaitu aliran mutakallimӣn (Shāfi’iyyah, Mālikiyah, Hanabilah dan Mu’tazilah) dan
aliran fuqahā (Hanafiyah). Kedua madhhab ini mempunyai pemahaman dan cara kerja
tersendiri terkait dengan ilmu uṣūl al-fiqh, meski sama-sama bercorak literalistik. Teori uṣūl
al-fiqh yang ditawarkan oleh kedua madhhab merupakan teori yang baru dari kacamata filsafat
ilmu. Kuatnya pengaruh teori dan konsep yang ditawarkan oleh kedua madhhab terhadap
generasi seterusnya, hingga lima abad (dari abad 2H - 7H) menjadikan konsep atau teori uṣūl
al-fiqh menjadi sebuah doktrin.
8
Thomas S Kuhn shifting paradigm “Setiap zaman tertentu memiliki karakteristik
pengetahuan yang berbeda, sehingga tidak secara otomatis dapat berlaku untuk zaman
selanjutnya. Paradigma lama sebagai ilmu yang dipandang normal dan berlegitimasi pada
masanya gagal menjawab masalah-masalah baru yang timbul, dan selanjutnya hanya akan
menerbitkan anomali-anomali. Keadaan seperti itu akan mengundang paradigma baru yang
bisa menawarkan alternatif. Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions,
terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012)”
3

(motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba9. Sebagaimana


diungkapkan oleh al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr (w.1973M) bahwa konsep maqāṣid al-sharī’ah
imam al-Shāṭibī telah membuka lebar-lebar peluang bagi ulama-ulama syariat untuk
terus menggali rahasia-rahasia syariat Islam secara lebih luas dan luwes. Imam al-
Shāṭibī telah memberikan jalan untuk selalu memanfaatkan kulliyat dan juz’iyyat di
dalam menetapkan hukum-hukum syariat10. Lebih lanjut al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr
mempromosikan maqāṣid al-sharī’ah sebagai cabang ilmu berdiri sendiri11. Selain
itu, bagi Ibn ‘Āsyūr lafal ‘syariat’ lebih tepat jika dijadikan diksi untuk ajaran Islam
yang menyangkut aturan-aturan muamalah dan tata krama, karena inilah yang menjadi
ranah aplikasi konsep maslahat dan mafsadah, dan karena pada bagian ini pulalah
keunggulan syariat Islam – sebagai norma kehidupan dan sistem bermasyarakat.
Sedangkan hukum-hukum ibadah yang bersifat dogmatis, menurutnya, lebih tepat
disebut diyānah12. Karena dianggap berjasa dalam upayanya menghidupkan kembali
diskursus mengenai maqāṣid al-sharī’ah, Ibn ‘Āshūr diberi gelar sebagai “Bapak
Maqāṣid 2”.
Nilai penting dari al-Muwāfaqāt adalah: Pertama, dapat mengompromikan
“aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah kelompok
yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu uṣūl al-fiqh sedangkan “aliran
kiri” adalah kelompok yang vokal dengan idenya tajdīd uṣūl al-fiqh. Kedua, model
pendekatan imam al-Shāṭibī dalam al-Muwāfaqāt dinilai lebih menghasilkan produk
hukum yang dalam istilah Ibn Qayyīm, al-fiqh al-ḥayy, fikih yang hidup. Karena itu,
fikih yang terlalu textbook yang sering diistilahkan dengan fiqh uṣūlī akan berubah
menjadi fiqh maqāṣidī13. Secara garis besar rumusan hermeneutika imam al-Shāṭibī
terdiri dari tiga prinsip: (1) menekankan kearaban (‘Arabī) sebagai titik pijak dalam
pemaknaan syariat, (2) menekankan pembacaan berbasis maqāṣid melalui penelaahan
secara sirkular-relasional terhadap teks-pengarang-pembaca dan berbagai indikator
yang menyertai, dan (3) menyadari peran situasi di sekitar pembaca dalam proses
pemaknaan, sehingga tidak ada kebenaran tunggal-objektif dalam interpretasi14.
Pemikiran-pemikiran hukum imam al-Shāṭibī mendapatkan respon positif dari
berbagai kalangan muslim dari berbagai generasi, yang apresiatif terhadap
pemikiranya. Apresiasi yang tinggi diberikan oleh para ulama kepada imam al-Shāṭibī
karena kepakarannya dibanding ulama sezamannya. Sebagai contoh, pengakuan salah
satu ulama asal Spanyol, yaitu Abū al-Qāsim bin Sirāj (w. 848 H), mengafirmasi

9
Abū Iṣḥaq Ibrāhīm al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt (Beirut, Lebanon: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2004), h. 5-6.
10
Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, A’lām al-Fikri al-Islāmi fī Tārīkh al-Maghribi al-
‘Arabi, 76. Dinukil dari Muḥammad Abū al-Ajfān, Fatāwā al-Imām al-Shāṭibī, Cet. 2 (Tunis:
Nahj Lawaz, 1985), h. 47.
11
Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah cet. 2 (‘Ammān:
Dār al-Nafā`is, 2001), h. 172.
12
Ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, h. 174 - 176.
13
Abdurrahman Kasdi, Maqasyid Syari’ah Perspektif Pemikiran Imam Syatibi dalam
Kitab Al-Muwafaqat, (YUDISIA, Vol. 5, No. 1, Juni 2014), h. 47
14
Adang Saputra, Hermeneutika Maqāṣid Imam al-Shāṭibī, (Wawasan: Jurnal Ilmiah
Agama dan Sosial Budaya 2, Vol. 1, Juni 2017), h. 61.
4

kepakaran imam al-Shāṭibī dalam bidang hukum Islam. Abū al-Qāsim mengatakan
bahwa ia merasa sulit untuk berfatwa dengan fatwa-fatwa yang berbeda dengan apa
yang difatwakan oleh al-Shāṭibī. Pengakuan yang sama juga dikemukan oleh Abū
‘Abd Allāh al-Majāri al-Andalūsi. Menurutnya, imam al-Shāṭibī itu maha guru yang
tersohor di zamannya15.
Aplikasi pemikiran hukum imam al-Shāṭibī nampak pada kumpulan fatwanya
yang dikompilasi oleh Muḥammad Abū al-Ajfān dalam Fatāwā al-Imām al-Shāṭibī.
Kitab ini berisi 60 fatwa terkait masalah shalat, ijtihād, zakat, sumpah, kurban, waris,
bid’ah, dan lain-lain.
Tokoh penting lainnya dalam pemikiran hukum Islam adalah Jasser Auda.
Jasser Auda mengatakan bahwa pembaharuan hukum Islam tidak hanya sebatas revisi
fatwa ulama atau pendapat ulama, tetapi juga meliputi pembaharuan metodologi,
logika, dan kerangka berpikir hukum Islam. Selama ini, pemikiran hukum Islam
memiliki kecenderungan pada pendekatan reduksionis dan dikotomis, sehingga perlu
diganti dengan pemikiran yang lebih holistik, kompleks, dan integratif. Pembaharuan
pemikiran hukum Islam ini dipandang sebagai sebuah keniscayaan dan kelaziman,
sebab pemikiran keagamaan selalu berkembang dan dinamis mengikuti perubahan
ruang dan waktu. Perubahan sosial yang begitu dahsyatnya di era modern, semisal
meningkatnya kesadaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, hubungan antar
umat beragama, nasionalisme, dan kesetaraan gender, secara tidak langsung
berpengaruh terhadap perubahan paradigma hukum Islam16. Jasser Auda dikenal
sebagai “Bapak Maqāṣid Kontemporer”.
Menurut Jasser Auda, terma hukum Islam bisa dipahami menjadi tiga
pengertian17, yaitu syariat, fikih, dan fatwa. Jika hukum Islam diartikan sebagai syariat
maka tidak ada masalah dengan hal itu karena apa yang dipraktekkan oleh nabi
Muhammad SAW adalah cara hidup tentang keadilan, kasih sayang, kebijaksanaan,
dan kebaikan. Jika hukum Islam dipahami sebagai fikih, maka juga tidak ada masalah
dengan hal itu karena fikih memang produk hukum yang tidak lepas dari lingkungan
dan waktu, kapan dan dimana ahli-ahli fikih itu berada. Bisa jadi seorang faqīh salah
dalam ijtihadnya, dan itu sangat manusiawi dan wajar. Dan disinilah peran ulama-
ulama dibutuhkan untuk memberikan koreksi dan ikut serta dalam perdebatan yang
ada di dalam masalah tersebut. Selanjutnya, jika hukum Islam dimaknai sebagai
fatwa, maka ada dua kemungkinan, bisa jadi fatwa itu merupakan perwujudan Islam
dan nilai-nilai moralnya, dan bisa jadi juga fatwa itu salah dan sama sekali tidak
islami. Jika fatwa didasarkan pada interpretasi teks yang dipelintir karena kepentingan

15
al-Ajfān, Fatāwā al-Imām al-Shāṭibī, h. 59.
16
Hengki Ferdiansyah, Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda, (Tesis, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 1.
17
Jasser Auda, Maqāṣid al-Sharī’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems
Approach, (Herndon: IIIT, 2007), h. xxiii-xxiv. Syariat adalah wahyu yang diterima nabi
Muhammad SAW dan dipraktekkannya risalah dan misi tersebut dalam kehidupan nabi
Muhammad SAW, yaitu Alquran dan sunnah nabi. Fikih adalah kumpulan pendapat hukum
yang diberikan oleh para ahli fikih dari berbagai madhhab terkait dengan syariat terhadap
berbagai situasi dan kondisi kehidupan selama empat belas abad yang lampau. Fatwa adalah
aplikasi syariat atau fikih terhadap kehidupan muslim saat ini.
5

politis dan kekuasaan, maka fatwanya menjadi salah dan tidak islami. Sebaliknya, jika
didasarkan pada sumber-sumber yang otentik dan tetap berorientasi pada
kesejahteraan manusia dan nilai/tujuan prinsip dari hukum Islam (maqāṣid al-sharīʻ
ah), maka fatwanya menjadi benar dan valid.
Jasser Auda menggunakan maqāṣid al-sharīʻah sebagai basis pangkal tolak
filosofi berpikirnya dengan menggunakan pendekatan sistem sebagai metode berpikir
dan pisau analisisnya. Sebuah pendekatan baru yang belum pernah terpikirkan untuk
digunakan dalam diskusi tentang hukum Islam dan uṣūl al-fiqh. Ada enam fitur sistem
yang dioptimalkan Jasser Auda sebagai pisau analisis, yaitu dimensi kognisi dari
pemikiran keagamaan (cognition), kemenyeluruhan (wholeness), keterbukaan
(openness), hierarki berpikir yang saling mempengaruhi (interrelated hierarchy),
berpikir keagamaan yang melibatkan berbagai dimensi (multidimensionality) dan
kebermaksudan (purposefullness).
Keenam fitur ini sangat saling erat berkaitan, saling menembus
(semipermeable) dan berhubungan antara satu dan lainnya, sehingga membentuk
keutuhan sistem berpikir. Namun, satu fitur yang menjangkau semua fitur yang lain
dan merepresentasikan inti metodologi analisis sistem adalah fitur “kebermaksudan‟
(maqāṣid). Hal ini menyebabkan Jasser Auda menempatkan maqāṣid al-sharīʻah
sebagai prinsip mendasar dan metodologi fundamental dalam reformasi hukum Islam
kontemporer yang dia gaungkan. Mengingat efektivitas suatu sistem diukur
berdasarkan tingkat pencapaian tujuannya, maka efektivitas sistem hukum Islam
dinilai berdasarkan tingkat pencapaian maqāṣid al-sharīʻah -nya. Dengan kata lain,
sejauh mana tingkat problem solving-nya terhadap permasalahan tertentu: apakah
lebih efektif, lebih berdaya guna, dan lebih membawa manfaat yang besar bagi umat
dan kemanusiaan.
Reformasi pertama yang diusulkan Jasser Auda adalah mereformasi maqāṣid
al-sharīʻah dalam perspektif kontemporer, yaitu dari maqāṣid al-sharīʻah yang
dulunya bernuansa protection (“Penjagaan”) dan preservation (“Pelestarian”) menuju
maqāṣid al-sharīʻah yang bercita rasa Development (“Pengembangan”) dan
pemuliaan Human Rights (“Hak-hak Asasi”). Bahkan, Jasser Auda menyarankan agar
“pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)” menjadi salah satu tema utama bagi
kemaslahatan publik masa kini. Implikasi reformasi ini adalah dengan mengadopsi
konsep pengembangan SDM, realisasi maqāṣid al-sharīʻah dapat diukur secara
empiris dengan mengambil ukuran dari “target-target pengembangan SDM” versi
kesepakatan atau ijma Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB).
Reformasi kedua adalah Jasser Auda menawarkan tingkatan otoritas dalil dan
sumber hukum Islam terkini di antaranya hak-hak asasi manusia sebagai landasan
dalam menyusun tipologi teori hukum Islam kontemporer. Berdasarkan spektrum
level legitimasi dan sumber hukum Islam masa kini, Jasser Auda mengusulkan
tipologi baru teori-teori hukum Islam sebagai pendekatan reformasi hukum Islam
kontemporer. Menurutnya, ada tiga kencenderungan (aliran) hukum Islam, yaitu:
Tradisionalisme, Modernisme, dan Posmodernisme.Yang perlu digarisbawahi di sini
bahwa ketiganya adalah kecenderungan, bukan madhhab. Implikasi reformasi ini
adalah tidak ada lagi batasan madhhab Sunni, Shī’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dan
sebagainya, seperti yang biasa dipahami dan diajarkan selama ini di dunia pendidikan
6

Islam. Jadi, seorang faqīh (ahli agama, baik dari kalangan da’i, guru, dosen, kyai,
tokoh agama, dan bahkan orang awam) lebih fleksibel dalam menyikapi suatu kasus
fikih. Dia dapat berpindah-pindah kecenderungan, sesuai dengan pendekatan baik
dalam konteks otoritas dalil maupun sumber hukum yang dia gunakan.
Reformasi ketiga adalah mengusulkan sistem hukum Islam yang berbasis
maqāṣid al-sharīʻah. Inilah kontribusi signifikan yang diberikan oleh Jasser Auda
dalam rangka mereformasi filsafat hukum Islam melalui fungsi fitur-fitur sistem.
Pada intinya, Jasser Auda menegaskan bahwa maqāṣid hukum Islam
merupakan tujuan inti dari seluruh metodologi ijtihad uṣūl linguistik maupun rasional.
Lebih jauh, realisasi maqāṣid, dari sudut pandang sistem, mempertahankan
keterbukaan, pembaruan, realisme, dan keluwesan dalam sistem hukum Islam. Oleh
karena itu, validitas ijtihad maupun validitas suatu hukum harus ditentukan
berdasarkan tingkatan realisasi maqāṣid al-sharīʻah yang ia lakukan. Dengan
demikian, hasil ijtihad atau konklusi hukum yang mencapai maqāṣid harus disahkan.
Kesimpulannya, proses ijtihad menjadi, secara efektif, suatu proses merealisasikan
maqāṣid dalam hukum Islam18.

B. Permasalahan
Sebagaimana tampak dalam latar belakang, bahwa penelitian ini hendak
mengomparasikan fatwa imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dan sekaligus melihat
sejauh mana pergeseran metodologi dan menimbang relevansinya dalam
pembaharuan hukum Islam kontemporer. Dipilihnya imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda
dalam penelitian ini karena menurut penilaian penulis, dua tokoh ini merupakan
pemikir progresif yang mewakili zamannya masing-masing (dari generasi yang
berbeda), yang concern terhadap konsep maqāṣid al-sharīʻah. Agar penelitian ini
lebih jelas, terperinci, dan fokus, maka perlu diajukan beberapa pertanyaan penelitian
atau permasalahan. Penulis membagi permasalahan ini menjadi tiga bagian, yaitu
identifikasi masalah, perumusan masalah, dan pembatasan masalah. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, beberapa
permasalahan penting dapat teridentifikasi sebagai berikut:
a. Bagaimana perbedaan formulasi pembaharuan hukum Islam yang
ditawarkan imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda?
b. Bagaimana konstruk pemikiran maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan
Jasser Auda?
c. Bagaimana penerapan pemikiran maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan
Jasser Auda dalam permasalahan fikih, baik terhadap isu lama ataupun isu
kontemporer?

18
Retna Gumanti, Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem
dalam Hukum Islam), (Jurnal Al-Himayah, Vol. 2.Issue 1, 2018), h. 116-117. Lihat juga Jasser
Auda, Maqāṣid al-Sharī’ah as Philosophy…., h. 11-15.
7

2. Pembatasan Masalah
Dengan demikian, berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat
dirangkum rumusan masalah dalam sebuah kalimat, yaitu: “Bagaimana konstruk
pemikiran hukum Islam imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda tentang maqāṣid al-
sharīʻah dan penerapannya dalam persoalan fikih?”.
Rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam dua pertanyaan: pertama,
bagaimana konstruk pemikiran maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser
Auda dan penerapannya dalam persoalan fikih?
Kedua, bagaimana persamaan dan perbedaan pemikiran maqāṣid al-
sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dan penerapannya dalam fikih?
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada
dua aspek: pertama, dari aspek pembahasan, penelitian ini hanya dibatasi pada
penerapan maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dalam fatwa-
fatwa yang bersesuaian temanya. Kedua, dari sumber data yang digunakan,
penelitian ini dibatasi pada karya Fatāwā al-Imām al-Shāṭibī (yang dikompilasi
oleh Muḥammad Abū al-Ajfān) dan Bayna al-Sharīʻah wa al-Siyāsah dan al-
Dawlah wa al-Madāniyyah (Jasser Auda).

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pemikiran hukum Islam imam al-
Shāṭibī dan Jasser Auda dan penerapannya dalam persoalan fikih. Adapun tujuan
spesifik dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan konstruk pemikiran maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan
Jasser Auda dan penerapannya dalam persoalan fikih.
2. Menjelaskan posisi pemikiran maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan
Jasser Auda dan penerapannya dalam bidang fikih.

D. Manfaat dan Signifikasi Penelitian


Penelitian ini diharapkan secara teoritis berguna untuk mengembangkan sebuah
pemikiran alternatif untuk memahami dan merumuskan hukum Islam kontemporer,
sehingga dapat memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
modern. Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini bisa dimanfaatkan oleh para
sarjana hukum Islam atau akademisi pada umumnya untuk menganalisis dan
mereformasi hukum agar sejalan dengan modernitas.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Kebanyakan definisi maqāṣid al-sharīʻah yang ada sekarang ini, lebih banyak
dikemukakan oleh ulama-ulama kontemporer, seperti al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr yang
membagi maqāṣid al-sharīʻah menjadi dua bagian. Yaitu maqāṣid al-sharīʻah al-
āmmah dan maqāṣid al-sharīʻah al-khāṣṣah. Bagian pertama ia maksudkan sebagai
hikmah, dan rahasia serta tujuan diturunkannya syariat secara umum yang meliputi
8

seluruh aspek syariat dengan tanpa mengkhususkan diri pada satu bidang tertentu19.
Sementara bagian kedua ia maksudkan sebagai seperangkat metode tertentu yang
dikehendaki oleh al-Shāri’ dalam rangka merealisasikan kemaslahatan manusia
dengan mengkhususkannya pada satu bidang dari bidang-bidang syariat yang ada20,
seperti pada bidang ekonomi, hukum keluarga. Sedangkan menurut ‘Allal al-Fāsi
adalah metode untuk mengetahui tujuan pensyariatan sebuah hukum untuk menjamin
kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan yang mengandung kemaslahatan untuk
manusia21. Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqāṣid al-sharīʻah adalah nilai-
nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-
hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia
syariat, yang ditetapkan oleh al- Shāri’ (pembuat syariat yaitu Allah dan Nabi
Muḥammad) dalam setiap ketentuan hukum22.
Signifikansi maqāṣid di era kontemporer dibahas oleh Hashim Kamali dalam
artikel Maqāṣid al-Sharīʻah: The Objectives of Islamic Law. Dalam artikel ini, dia
mendiskusikan perkembangan kajian maqāṣid al-sharīʻah, metodologi, dan
relevansinya dalam ijtihad. Selama ini maqāṣid dianggap lemah dan tidak dapat
digunakan karena tidak memiliki metodologi yang jelas, mapan, dan meyakinkan
seperti metode uṣūl al-fiqh. Melalui artikel ini, kesimpulan tersebut dibantah Kamali
dengan menunjukkan beberapa metodologi maqāṣid al-sharīʻah, seperti istiqrā’,
asbāb al-nuzūl, dan lain-lain. Perkembangan pesat kajian maqāṣid belakangan ini,
menurut Kamali, menandakan kekurangan dan kegagalan uṣūl al-fiqh dalam
menyediakan metodologi praktis untuk perumusan hukum Islam kontemporer23.
Berbeda dengan pendapat Hashim Kamali, ‘Abd al-Qādir Ḥirzillah dalam
bukunya Ḍawābiṭ I’tibār al-Maqāṣid menolak klaim tekstualis uṣūl al-fiqh, anggapan
bahwa uṣūl al-fiqh mengabaikan maqāṣid al-sharīʻah, dan pernyataan uṣūl al-fiqh
tidak relevan pada masa sekarang. Menurutnya, perkembangan kajian maqāṣid
belakangan ini sebenarnya dipengaruhi oleh jasa ulama uṣūl al-fiqh terdahulu.
Bukankah tokoh yang dirujuk ahli maqāṣid masa sekarang seluruhnya adalah ulama
uṣūl al-fiqh, sehingga tidak mungkin ulama uṣūl al-fiqh mengabaikan maqāṣid al-
sharīʻah dalam perumusan hukum. Sebenarnya, teori hukum Islam yang ditawarkan
oleh para pembaharu Islam substansinya tidak jauh berbeda dengan teori ulama
terdahulu, meskipun istilah yang digunakan berbeda-beda. ‘Abd al-Qadir

19
Muḥammad al-Ṭāhir ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, (Dār al-Salām:
Kairo, 2009), h. 50.
20
Ibn ‘Āshūr, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, h. 154.
21
‘Allal al-Fāsi, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimihā, Dār al-Garb al-
Islāmī, 1993, cet. Ke-III, h. 193.
22
Wahbah al-Zuḥaili, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī, Dār al-Fikri, Damaskus, 1986, cet. Ke-
II, h. 225.
23
Moḥammad Hashim Kamali, Maqāṣid al-Sharīʻah: The Objectives of Islamic
Law, Islamic Studies, Vol. 38, No. 2 (1999), h. 193-208.
9

mencontohkan teori qiyās baru yang ditawarkan Ḥasan Turābī, pada prinsipnya
hampir sama dengan teori istiḥsān yang dikenalkan madhhab Ḥanafi24.
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R. Dan H. Hasni Noor memaparkan
tentang Konsep Maqashid al-Syari’ah Dalam Menentukan Hukum Islam (Perspektif
al-Syatibi dan Jasser Auda). Ia menguraikan tentang pandangan Jasser Auda dan
Syatibi mengenai Maqashid al-Syari’ah dan peranan Maqashid al-Syari’ah dalam
menetapkan hukum Islam menurut Jasser Auda dan al-Syatibi. Hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa antara Ijtihad dengan Maqashid al-Syari’ah tidak dapat
dipisahkan karena itu adalah salah satu syarat yang dimiliki mujtahid25.
Nafsiyatul Luthfiyah memaparkan tentang Konsep Maqashid al-Syari’ah dan
Epistimologi Pemikiran Jasser Auda. Ia menguraikan konsep Maqashid al-Syari’ah
dan Epistimologi Pemikiran Jasser Auda.yaitu sumber pemikiran, metode pemikiran
dan validitas kebenaran. Hasil penelitianya menjelaskan bahwa keunggulan
pemikiran Jasser Auda dalam konteks Maqashid al-Syari’ah adalah ditawarkannya
teori “human development” sebagai target utama dari konsep maslahah26.
Syahrul Sidiq memaparkan tentang Maqashid Syariah dan Tantangan Modernitas
Sebuah Telaah Pemikiran Jasser Auda. Ia menguraikan bahwa Maqashid Syariah
dalam perkembangannya, terjadi banyak perubahan dan pergeseran dalam sudut
pandang termasuk jasser Auda. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa sebuah
pergeseran pemikiran Jasser Auda tyang saat ini dikenal dengan Maqashid Syariah
Kontemporer lebih menekankan pada pada pendekatan sistem teori-teori hukum Islam
yang menghasilkan suatu perlindungan, pengembangan hak asasi manusia dan
pembangunan sumber daya manusia27.

F. Metode dan Pendekatan Penelitian


Sebagai penelitian ilmiah, maka penelitian ini menggunakan seperangkat
metode penelitian yang dapat mempersiapkan, menunjang dan membimbing serta
mengarahkan penelitian ini sehingga memperoleh target yang dituju secara ilmiah.
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research).
Artinya, data dan bahan kajian yang dipergunakan berasal dari sumber-
sumber kepustakaan, baik berupa buku, majalah, naskah-naskah, kisah
sejarah, dokumen-dokumen dan lain-lain, yang berkaitan dengan pemikiran
imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda tentang maqāṣid al-sharīʻah dan
penerapannya dalam persoalan fikih.

24
‘Abd al-Qādir Ḥirzillah, Ḍawābiṭ I’tibār al-Maqāṣid, (Riyaḍ: Maktabah al-Rush,
2007).
25
Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R,.H. Hasni Noor, Konsep Maqashid al-
Syari’ah Dalam Menentukan Hukum Islam Perspektif al-Syatibi dan Jasser Auda, (Jurnal
Ekonomi Syariah, Vol 1, 2014), h. 68
26
Nafsiyatul Luthfiyah, Konsep Maqashid al-Syari‟ah dan Epistimologi Pemikiran
Jasser Auda. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2016), h. 1 .
27
Syahrul Sidiq, Maqashid Syariah dan Tantangan Modernitas Sebuah Telaah
Pemikiran Jasser Auda, Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia., Vol 7, No 1, 2017, h. 140
10

Lebih spesifik lagi, dalam kajian hukum Islam penelitian ini termasuk
kategori penelitian filosofis-normatif-empiris. Penelitian ini disebut filosofis
karena yang dibahas ialah asas-asas hukum Islam atau filsafat hukum Islam,
yang lebih populer dengan nama maqāṣid al-sharīʻah, uṣūl al-fiqh atau
metodologi hukum Islam. Disebut normatif karena penelitian ini juga
mendiskusikan persoalan fikih, pendapat, dan fatwa ulama. Disebut empiris
karena yang dibahas adalah pemikiran seseorang terhadap hukum Islam.
Pemikiran seseorang tentu tidak terlepas dari dialektika antara subjek, yang
dipengaruhi oleh realitas sosial dan historis, dengan objek yang dipahami.
2. Sumber Data
Dalam hal ini, terdapat beberapa sumber data:
a. Sumber Data Primer, yaitu sumber data yang menjadi pokok dan fokus
penelitian, dalam hal ini penulis menggunakan karya-karya al-Muwāfaqāt
(imam al-Shāṭibī), Fatāwā al-Imām al-Shāṭibī (Muḥammad Abū al-Ajfān)
dan Bayna al-Sharīʻah wa al-Siyāsah dan al-Dawlah wa al-Madāniyyah
(Jasser Auda).
b. Sumber Data Sekunder, yaitu sumber data pendukung yang dapat
membantu untuk memahami dan mengkaji permasalahan penelitian,
berupa buku-buku atau artikel yang berkenaan dengan analisis terhadap
pemikiran imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda serta buku-buku atau hasil
penelitian tentang maqāṣid al-sharīʻah dan pembaharuan hukum Islam
secara umum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini, penulis memperoleh data-data yang
diperlukan melalui studi kepustakaan yaitu dengan cara membaca,
mempelajari, memahami, dan menganalisa dari data yang dipandang relevan
dengan pembahasan masalah tersebut, kemudian data-data yang telah
diperoleh akan dikelompokkan ke dalam bab-bab yang sesuai dengan sifatnya
masing-masing untuk mempermudah dalam proses analisis data.
4. Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-
analitis-komparatif yang berguna untuk mendeskripsikan, menganalisis teori
maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dan penerapannya
dalam kasus fikih, serta membandingkan pendapatnya dengan tokoh lain.
Perbandingan ini dilakukan guna melihat persamaan dan perbedaan
pemikiran imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dengan intelektual muslim
lainnya. Dalam penelitian ini, penulis banyak merujuk pada al-Ṭāhir ibn
‘Āshūr, Yusūf al-Qaradāwi, Aḥmad al-Raysūni. Pada saat menganalisis data
yang berkaitan dengan penelitian ini,penulis menggunakan metode content
analysis (analisis isi).
5. Pendekatan Penelitian
Setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menganalisis pemikiran tokoh: rujukan yang digunakan, baik normatif
maupun empiris; konteks sosial dan budaya ketika pemikiran diformulasikan;
substansi pemikiran mencakup dimensi historis, definisi, dan idealisme;
11

saluran dan komunitas pendukung produk pemikiran. Penelitian ini akan


difokuskan pada konteks sosial, budaya, dan struktur pengetahuan ketika
pemikiran hukum Islam imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda diformulasikan,
subtansi pemikiran, serta penerapannya dalam persoalan fikih.
Secara garis besar penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis,
filosofis, dan historis. Pendekatan sosiologis digunakan untuk melihat
konteks sosial dan budaya ketika pemikiran diformulasikan.
Bagaimanapun pemikiran adalah hasil dari dialektika antara seseorang
dengan konteks sosial dan objek yang diamati. Pendekatan filosofis bertujuan
untuk mengungkap substansi pemikiran seorang tokoh, baik dari aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Agar lebih spesifik, penelitian ini
menggunakan tiga teori utama sebagai pisau analisis. Ketiga teori tersebut
ialah strukturalisme-konstruktif Bourdieu, hermeneutika-filosofis Gadamer
dan shifting paradigm Thomas S Kuhn. Teori strukturalisme-konstruktif
sangat efektif untuk melihat dialektika antara seorang pemikir dan setting
sosialnya. Teori ini mengasumsikan bahwa manusia bukanlah subjek yang
pasif ataupun individu yang bebas, tanpa dipengaruhi oleh struktur sosial.
Akan tetapi, ada hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan
realitas sosial, subjektivitas dan objektivitas, agen dan struktur. Dalam bahasa
Bourdieu, dari kesalingterkaitan antara habitus dan field itulah praktik sosial
dan individual muncul. Kemudian teori strukturalisme-konstruktif ini dipadu
dengan hermeneutika-filosofis Gadamer. Teori ini dipilih berdasarkan asumsi
bahwa pemahaman seseorang pemikir terhadap teks yang dia baca, sangat
terkait dengan horizon dan subjektifitas penafsir, sehingga penafsir terlebih
dahulu memiliki pra-pemahaman sebelum menafsirkan sesuatu.

G. Sistematika Pembahasan
Penelitian ini akan ditulis menjadi enam bab, dengan perincian sebagai berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan, yang di dalamnya membahas latar belakang,
identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah. Selain itu juga memuat tujuan dan
signifikansi penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan bentuk kerangka pikir dan
kerangka kerja yang akan dilaksanakan dalam menyelesaikan penelitian ini.
Bab kedua, bagian ini mendiskusikan perkembangan kajian maqāṣid al-
sharīʻah, perdebatan ulama mengenai posisi maqāṣid al-sharīʻah dalam hukum Islam
dan relasinya dengan uṣūl al-fiqh, dan tipologi kajian maqāṣid al-sharīʻah dilihat dari
kecenderungan epistemologinya. Tiga pembahasan ini penting didiskusikan pada
bagian kedua ini sebagai landasan teoritik dan untuk mengetahui lebih dalam
pemetaan kajian maqāṣid al-sharīʻah serta permasalahan apa saja yang didiskusikan
selama ini terkait maqāṣid al-sharīʻah.
Bab ketiga, bagian ini secara khusus membahas biografi imam al-Shāṭibī dan
Jasser Auda. Pada bab ini akan dipaparkan latar belakang pendidikan, karya-karya
yang pernah ditulis imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda, dan aktifitasnya. Dalam
pembahasan biografi ini akan dijelaskan kontribusi imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda
terhadap kajian maqāṣid al-sharīʻah, baik dalam bentuk karya, kelembagaan, dan
12

lain-lain. Bagian ketiga ini bertujuan untuk menjelaskan latar belakang pendidikan
imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda, konteks sosial pemikirannya, serta perannya dalam
perkembangan kajian maqāṣid al-sharīʻah kontemporer.
Bab keempat, secara spesifik membahas konstruk pemikiran maqāṣid al-
sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda. Pemikiran hukum Islam imam al-Shāṭibī
dan Jasser Auda didasarkan pada pendekatan sistem, maqāṣid al-sharīʻah, dan uṣūl
al-fiqh. Ketiga disiplin ini memiliki keterkaitan antara satu sama lainnya. Untuk
melihat korelasi masing-masing disiplin ini, maka ada empat hal yang perlu
didiskusikan pada bagian ini: pertama, korelasi logika Yunani dengan hukum Islam;
kedua, kelemahan basis logika uṣūl al-fiqh tradisional; ketiga, hukum Islam ditinjau
dari pendekatan sistem; keempat; pengoptimalan maqāṣid al-sharīʻah dalam kajian
uṣūl al-fiqh. Bagian ini bertujuan untuk mengungkap aspek ontologis, epistemologis,
dan aksiologis dari pemikiran hukum Islam imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda.
Bab kelima, mendiskusikan penerapan teori maqāṣid al-sharīʻah dalam fatwa.
Bagian ini bertujuan untuk melihat bagaimana penerapan pemikiran maqāṣid al-
sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dalam persoalan fikih. Di samping itu,
pembahasan ini juga bertujuan untuk melihat relevansi pemikiran imam al-Shāṭibī dan
Jasser Auda yang didiskusikan pada bab sebelumnya dalam merespon persoalan fikih
klasik ataupun kontemporer.
Bab keenam, berisi penutup yang mencakup kesimpulan dan rekomendasi.
Pada bagian ini akan disajikan kesimpulan dari kajian penulis terhadap kontsruk
pemikiran maqāṣid al-sharīʻah imam al-Shāṭibī dan Jasser Auda dan penerapannya
dalam persoalan fikih.
Penelitian ini tentu banyak memiliki kekurangan dan tidak mencakup semua
aspek. Atas dasar itu, bagian ini dilengkapi dengan rekomendasi agar bisa dilanjutkan
oleh para peneliti berikutnya.

H. Daftar Pustaka

al-Ajfān, Muḥammad Abū. Fatāwā al-Imām al-Shāṭibī. Cet. 2 (Tunis: Nahj Lawaz.
1985)

al-Fāsi, ‘Allal. Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimihā. Dār al-Garb al-


Islāmī. 1993. cet. Ke-III

al-Jābiri, Muḥammad ‘Ābid. Takwin al-‘Aql al-‘Arabi (Bayrut: Markaz Dirāsāt al-
Wahdah al-‘Arabiyyah. 1989)

al-Shāfi’i, Muḥammad ibn Idrīs. al-Risālah. (Kairo: Maṭba’ah Musṭafā al-Bābi al-
Halabi. 1358 H/ 1940 M)

al-Shāṭibī, Abū Iṣḥaq Ibrāhīm. al-Muwāfaqāt (Beirut. Lebanon: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah. 2004)

al-Zuḥaili, Wahbah. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī. Dār al-Fikri. Damaskus. 1986. cet. Ke-II
13

Auda, Jasser. Maqāṣid al-Sharī’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems


Approach. (Herndon: IIIT. 2007

Bachtiar, Hasnan. Mashlahah dalam Formasi Teori Hukum Islam. Jurnal Ulumuddin
(Volume IV. Tahun III. Januari – Juni 2009). h. 18. Wael B Hallaq. “The
Origins and Evolution of Islamic Law”. (UK: Cambridge University Press.
2005)

Ferdiansyah, Hengki. Pemikiran Hukum Islam Jasser Auda. (Tesis. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. 2016)

Gumanti, Retna. Maqasid Al-Syariah Menurut Jasser Auda (Pendekatan Sistem


dalam Hukum Islam). (Jurnal Al-Himayah. Vol. 2.Issue 1. 2018)

Hallaq, Wael B. and Donald P. Little (eds.). Islamic Studies Presented to Charles J.
Adams (Leiden: E.J. Brill. 1991)

Ḥirzillah, ‘Abd al-Qādir. Ḍawābiṭ I’tibār al-Maqāṣid. (Riyaḍ: Maktabah al-Rush.


2007).

ibn ‘Āshūr, Muḥammad al-Ṭāhir. A’lām al-Fikri al-Islāmi fī Tārīkh al-Maghribi al-
‘Arabi.

_________________. Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah cet. 2 (‘Ammān: Dār al-


Nafā`is. 2001)

Kamali, Moḥammad Hashim. Maqāṣid al-Sharīʻah: The Objectives of Islamic Law.


Islamic Studies. Vol. 38. No. 2 (1999).

Kasdi, Abdurrahman. Maqasyid Syari’ah Perspektif Pemikiran Imam Syatibi dalam


Kitab Al-Muwafaqat. (YUDISIA. Vol. 5. No. 1. Juni 2014)

Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions. terj. Tjun Surjaman.


(Bandung: Remaja Rosda Karya. 2012)

Luthfiyah, Nafsiyatul. Konsep Maqashid al-Syari‟ah dan Epistimologi Pemikiran


Jasser Auda. (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2016)

Mayangsari, Galuh Nashrullah Kartika dan R..H. Hasni Noor. Konsep Maqashid al-
Syari’ah Dalam Menentukan Hukum Islam Perspektif al-Syatibi dan Jasser
Auda. (Jurnal Ekonomi Syariah. Vol 1. 2014)

Saputra, Adang. Hermeneutika Maqāṣid Imam al-Shāṭibī. (Wawasan: Jurnal Ilmiah


Agama dan Sosial Budaya 2. Vol. 1. Juni 2017)
14

Sidiq, Syahrul. Maqashid Syariah dan Tantangan Modernitas Sebuah Telaah


Pemikiran Jasser Auda. Jurnal Agama dan Hak Asasi Manusia.. Vol 7. No 1.
2017

Syafrin, Nirwan. Konstruk Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh.
Jurnal Tsaqafah. (Vol. 5. No. 2. Dhulqa’dah 1430)

Anda mungkin juga menyukai