Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

“SEJARAH DAN PERKEMBANGAN LITERASI INDONESIA”

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Elsa Yustina Aritonang (1183171021)
PENMAS/Reg-A

Dosen Pembimbing

Mahfuzi Irwan, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
2019
SEJARAH LITERASI DI INDONESIA

Kita sebagai manusia terdidik sudah sering mendengar istilah melek aksara,
keberaksaraan, kemahirwacanaan, dan literasi. Keempat istilah tersebut pada dasarnya
berpadanan dan berkemiripan makna karena ketiga istilah pertama merupakan usaha
mengindonesiakan istilah literacy. Namun, seriring dengan perkembangan waktu, sekarang
istilah literacy diadaptasi menjadi literasi dalam bahasa Indonesia. Di Indonesia bahkan
sekarang istilah literasi lebih populer dibandingkan dengan istilah melek aksara,
keberaksaraan, dan kemahirwacanaan. Dapat dikatakan bahwa dalam beberapa tahun
belakangan istilah literasi dan gerakan literasi semakin dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia termasuk pegiat literasi di masyarakat dan kalangan pendidikan baik kalangan
sekolah maupun pegiat pendidikan nonformal.
Semakin populer dan dikenal luasnya istilah literasi dan gerakan literasi di Indonesia
paling tidak disebabkan oleh empat hal utama. Pertama, semakin tumbuhnya kesadaran
betapa fundemental, strategis, dan pentingnya bagi kemajuan dan masa depan masyarakat dan
bangsa Indonesia. Baik secara historis maupun sosiologis terbukti bahwa masyarakat dan
bangsa yang maju dan unggul selalu disokong oleh adanya literasi. Kedua, semakin
disadarinya oleh sebagian besar kalangan masyarakat Indonesia termasuk pemerintah
Indonesia bahwa kemajuan dan keunggulan individu, masyarakat, dan bangsa Indonesia juga
ditentukan oleh adanya tradisi dan budaya literasi yang mantap. Ketiga, semakin kuatnya
kepedulian dan keterlibatan berbagai kalangan masyarakat, komunitas dan pemerintah dalam
usaha-usaha menumbuhkan, memantapkan, dan bahkan menyebarluaskan kegiatan, program,
tradisi, dan budaya literasi di lingkungan masyarakat, lingkungan komunitas, dan lingkungan
pendidikan. Keempat, semakin banyaknya gerakan-gerakan literasi yang berkembang di
masyarakat dan sekolah yang dilakukan oleh berbagai kalangan. Tak mengherankan, gerakan
literasi makin marak di kalangan masyarakat dan pendidikan di Indonesia. Lebih-lebih
setelah pemerintah mencanangkan dan menggencarkan gerakan literasi sekolah, pamor
gerakan literasi mengalami pasang naik. Berbagai festival, lomba, klinik, dan juga pertemuan
ilmiah tentang literasi sebagai bagian dari gerakan literasi makin sering dilaksanakan oleh
pelbagai pihak.
Konsep literasi mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada mulanya literasi
sering dipahami sebagai melek aksara, dalam arti tidak buta huruf. Kemudian melek aksara
dipahami sebagai kepahaman atas informasi yang tertuang dalam media tulis. Tak
mengherankan, kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas membaca dan menulis.
Lebih lanjut, literasi dipahami sebagai kemampuan berkomunikasi sosial di dalam
masyarakat. Di sinilah literasi sering dianggap sebagai kemahiran berwacana. Dalam konteks
inilah Deklarasi Praha pada tahun 2003 mengartikan literasi sebagai kemampuan seseorang
dalam berkomunikasi di masyarakat. Literasi juga mengandung makna praktek dan hubungan
sosial yang berkaitan dengan bahasa, pengetahuan, dan budaya (UNESCO, 2003). Deklarasi
UNESCO tersebut juga menggunakan dan mengomunikasikan informasi untuk mengatasi
bermacam-macam persoalan. Kemampuan-kemampuan terssebut perlu dimiliki tiap individu
sebagai syarat untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan hal tersebut merupakan
bagian dari hak dasar manusia menyangkut pembelajaran sepanjang hayat.

2
` Sejalan dengan itu, dalam program Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud mengartikan
kemampuan berliterasi sebagai adalah kemampuan mengakses, memahami, dan
menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai kegiatan, antara lain membaca, melihat,
menyimak, menulis, dan atau berbicara. Di tengah banjir bandang informasi melalui pelbagai
media baik media massa cetak, audiovisual maupun media sosial, kemampuan berliterasi
tersebut sangat penting. Dengan kemampuan berliterasi yang memadai dan mantap, kita
sebagai individu, masyarakat, dan atau bangsa tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai
informasi yang beraneka ragam yang datang secara bertubi-tubi kepada kita. Di samping itu,
dengan kemampuan berliterasi yang baik, kita bisa meraih kemajuan dan keberhasilan. Tak
mengherankan, UNESCO menyatakan bahwa kemampuan berliterasi merupakan titik pusat
kemajuan Vision Paper UNESCO (2004) menegaskan bahwa kemampuan berliterasi telah
menjadi prasyarat partisipasi bagi pelbagai kegiatan sosial, kultural, politis, dan ekonomis
pada zaman modern. Kemudian Global Monitoring Report Education for All (EFA) 2007:
Literacy for All menyimpulkan bahwa kemampuan berliterasi berfungsi sangat mendasar
bagi kehidupan modern karena – seperti diungkapkan oleh Koichiro Matsuura, Direktur
Umum UNESCO – kemampuan berliterasi adalah langkah pertama yang sangat berarti untuk
membangun kehidupan yang lebih baik (2006).
Sejalan dengan gejala literasi yang terus berkembang, dewasa ini bentuk dan jenis
literasi juga terus berkembang di samping juga terus berkembang hakikat dan konsepnya.
Sampai sekarang telah terdapat berbagai bentuk dan jenis literasi yang ditawarkan atau
dikembangkan oleh berbagai pihak. Sebagai contoh, PISA (Programme for International
Student Assesment) yang dikoordinasikan oleh OECD telah mengategorikan literasi menjadi
(a) literasi keilmu-alaman (scientifical literacy), (b) kebeberaksaraan matematis
(mathematical literacy), dan (c) literasi membaca (reading literacy). Dalam berbagai
terbitannya mengenai masyarakat informasi, UNESCO menyatakan adanya literasi informasi
dan literasi media. Selanjutnya, Mochtar Buchori (pemikir pendidikan dan pendidik
cemerlang) menyebutkan adanya literasi budayawi (cultural literacy) dan literasi sosial
(social literacy). Belakangan juga berkembang literasi ekonomis (economic literacy), literasi
keuangan (financial literacy), dan literasi kesehatan (health literacy). Pada masa-masa
mendatang niscaya akan terus berkembang kategori literasi lain.
Literasi yang komprehensif dan saling terkait memampukan seseorang untuk
berkontribusi kepada masyarakatnya sesuai dengan kompetensi dan perannya sebagai warga
negara global. Sebab itu, kemampuan menguasai beraneka bentuk dan jenis literasi tersebut
mendukung keberhasilan dan kemajuan seseorang, masyarakat, bahkan bangsa. Dalam
konteks pendidikan, kemampuan menguasai pelbagai bentuk dan jenis literasi tentulah akan
membuat peserta didik. sukses dan maju. Lebih lanjut, juga akan menumbuhkembangkan
tradisi dan budaya literasi. Untuk itu, dalam pendidikan formal, peran aktif para pemangku
kepentingan, yaitu kepala sekolah, guru sebagai pendidik, tenaga kependidikan, dan
pustakawan sangat berpengaruh untuk memfasilitasi pengembangan kemampuan berliterasi
peserta didik. Agar lingkungan literasi tercipta, diperlukan perubahan paradigma semua
pemangku kepentingan. Selain itu, diperlukan juga pendekatan cara belajar-mengajar yang
mengembangkan komponen-komponen literasi ini. Kesempatan peserta didik terpajan dengan
berbagai bentuk dan jenis literasi menentukan kesiapan peserta didik berinteraksi dengan
literasi lain.

3
PERKEMBANGAN LITERASI DI INDONESIA

Awal pengertian literasi secara sempit adalah untuk kemampuan dalam hal membaca,
namun kemudian ditambahkan juga dengan kemampuan menulis. Pada abad pertengahan,
sebutan literatus ditujukan kepada orang yang dapat membaca, menulis dan bercakap-cakap
dalam bahasa Latin. Carlo M. Cipolla sejarawan Italia menggunakan istilah “semi-iliterate”
bagi mereka yang dapat membaca tetapi tidak dapat menulis.
Dalam perkembangan waktu, pengertian literasi bukan hanya berkaitan dengan
keaksaraan atau bahasa, namun berkembang menjadi konsep fungsional pada dasawarsa
1960-an yaitu literasi berkaitan dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup (Sofia
Valdivielso Gomez, 2008). Konsep Literasi dipahami sebagai seperangkat kemampuan
mengolah informasi, jauh di atas kemampuan menganalisa dan memahami bahan bacaan.
dengan kata lain, literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga mencakup
bidang lain, seperti ekonom i, matematika, sains, sosial, lingkungan, keuangan, bahkan
moral (moral literacy). Serbuan teknologi informasi yang semakin gencar, dalam dunia
pendidikan menggunakan istilah multiliterasi, bahkan multiliterasi kritis (critical
multiliteracies). Secara sederhana dapat dikatakan, istilah ini menunjuk pada kondisi mampu
secara kritis menggunakan berbagai wahana dalam berkomunikasi. Literasi dianggap
merupakan inti kemampuan dan modal utama bagi siswa maupun generasi muda dalam
belajar dan menghadapi tantangan-tantangan masa depan. Pembelajaran literasi yang bermutu
adalah kunci dari keberhasilan siswa.di masa depan. Untuk itu dibutuhkan pembelajaran
literasi yang bermutu pada semua mata pelajaran.oleh semua guru yang dianggap sebagai
guru literasi (teachers of literacy).
Konon banyak yang mengamini bahwa bangsa indonesia sudah mengenal dunia
literasi sejak jaman kuno, seperti adanya peninggalan gambar dan tulisan di goa goa
prasejarah, atau jejak tulisan dalam berbagai prasasti serta candi-candi di jaman kerajaan
nusantara. Setelah itu di jaman kolonial, kita sudah mengenal bagaimana literasi semakin
dikembangkan, salah satunya R.A. Kartini rajin membaca buku dan menuliskan surat untuk
sahabatnya di Belanda (yang kemudian dijadikan buku dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah
Terang”). Kemudian dalam narasi sejarah bangsa, diceritakan bahwa perlawanan bangsa
Indonesia dimulai dengan banyaknya produk-produk tulisan para tokoh pejuang dan penulis
surat kabar cetak yang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Maka tak heran bila kemudian pada masa Kemerdekaan Indonesia, kemudian
Presiden Sukarno sangat bersemangat membangun negara dengan tdiak lagi mengangkat
senjata, tetapi mengangkat pena dan buku untuk memberantas buta huruf dikalangan
masyarakat biasa. Oleh sebab itu pada itu sekitar 14 maret 1948, dicanangkanlah program
Pemberantasan Buta Huruf (PBH) walau kondisi masih dalam keadaan darurat perang .
Dalam pelaksanaan PBH yang darurat tersebut, ternyata kegiatannya dapat terlaksana di
18.663 tempat, dengan melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sementara
itu penyelenggaraan secara swadaya juga dilakukan di sekitar 881 tempat dengan melibatkan
515 orang guru dan 33.626 murid. Setidaknya dari program tersebut dapat menekan angka
90% buta huruf menjadi 40%. ditahun 1960an. Selanjutnya itu , Persiden Sukarno kembali
mengeluarkan komado: bahwa Indonesia harus terbebas dari buta-huruf hingga tahun 1964.
Untuk itu kemudian seluruh masyarakat Indonesia dikerahkan untuk menyukseskan program

4
tersebut. Ribuan orang dan organisasi yang bisa membaca-menulis dikerahkan untuk
mengajar secara sukarela kepada masyarakat yang masih buta huruf. Hasilnya pada tahun
1964, sebagian besar masyarakat usia 13-45 tahun menjadi melek huruf.
Pada masa Orde Baru program pemberantasan buta huruf juga ada namun tidak
segreget pada masa Orde Lama. Pada masa program pemberantasan buta-huruf yang disebut
Program Paket ABC. Program tersebut berbeda dengan program sebelumnya yang
memobilisasi besar besaran massa untuk kegiatan pemberantasan buta aksara, Program ABC
lebih banyak mengandalkan birokrasi pemerintah. Kemudian pada tahun 1972
dicanangkanlah program Aksarawan Fungsional, yang merupakan program pemberikan
pelajaran membaca, menulis dan berhitung serta keterampilan tertentu. Pada masa tersebut
program aksarawan fungsional yang hakikatnya sudah dilaksanakan pada masa Orde Lama,
semakin diperbaiki dan diperbarui supaya bisa semakin mengurangi jumlah masyarakat yang
buta huruf.
Selanjutnya pada tahun 1975 diadakan program kegiatan inovasi pendidikan. Program
inovasi ini meliputi semua jenis dan tingkat pendidikan di dalam (formal) maupun di luar
sekolah (non formal). Dalam kegiatan inovasi pendidikan tersebut terdapat 25 poin yang
salah satunya adalah program wajib belajar (Wajar). Wajar ditetapkan langsung oleh presiden
Soeharto pada tanggal 2 Mei 1984. Program Wajar ini dikhususkan bagi anak-anak usia 7 –
12 tahun, yaitu usia sekolah dasar atau sederajat. Jadi soal bagaimana literasi yang bertujuan
supaya bangsa Indonesia “Melek Aksara” memang sudah lama dilakukan dan setiap
jamannya selalu berubah dan berkembang. Seperti tulisan diatas, bahwa di masa Orla dan
Orba terdapat kebijakan yang sama sama tujuannya, namun berbeda caranya.
Konon banyak yang mengamini bahwa bangsa indonesia sudah mengenal dunia
literasi sejak jaman kuno, seperti adanya peninggalan gambar dan tulisan di goa goa
prasejarah, atau jejak tulisan dalam berbagai prasasti serta candi-candi di jaman kerajaan
nusantara. Setelah itu di jaman kolonial, kita sudah mengenal bagaimana literasi semakin
dikembangkan, salah satunya R.A. Kartini rajin membaca buku dan menuliskan surat untuk
sahabatnya di Belanda (yang kemudian dijadikan buku dengan judul “Habis Gelap, Terbitlah
Terang”). Kemudian dalam narasi sejarah bangsa, diceritakan bahwa perlawanan bangsa
Indonesia dimulai dengan banyaknya produk-produk tulisan para tokoh pejuang dan penulis
surat kabar cetak yang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Maka tak heran bila kemudian pada masa Kemerdekaan Indonesia, kemudian
Presiden Sukarno sangat bersemangat membangun negara dengan tdiak lagi mengangkat
senjata, tetapi mengangkat pena dan buku untuk memberantas buta huruf dikalangan
masyarakat biasa. Oleh sebab itu pada itu sekitar 14 maret 1948, dicanangkanlah program
Pemberantasan Buta Huruf (PBH) walau kondisi masih dalam keadaan darurat perang .
Dalam pelaksanaan PBH yang darurat tersebut, ternyata kegiatannya dapat terlaksana di
18.663 tempat, dengan melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sementara
itu penyelenggaraan secara swadaya juga dilakukan di sekitar 881 tempat dengan melibatkan
515 orang guru dan 33.626 murid. Setidaknya dari program tersebut dapat menekan angka
90% buta huruf menjadi 40%. ditahun 1960an.
Selanjutnya itu , Persiden Sukarno kembali mengeluarkan komado: bahwa Indonesia
harus terbebas dari buta-huruf hingga tahun 1964. Untuk itu kemudian seluruh masyarakat
Indonesia dikerahkan untuk menyukseskan program tersebut. Ribuan orang dan organisasi

5
yang bisa membaca-menulis dikerahkan untuk mengajar secara sukarela kepada masyarakat
yang masih buta huruf. Hasilnya pada tahun 1964, sebagian besar masyarakat usia 13-45
tahun menjadi melek huruf. Pada masa Orde Baru program pemberantasan buta huruf juga
ada namun tidak segreget pada masa Orde Lama. Pada masa program pemberantasan buta-
huruf yang disebut Program Paket ABC. Program tersebut berbeda dengan program
sebelumnya yang memobilisasi besar besaran massa untuk kegiatan pemberantasan buta
aksara, Program ABC lebih banyak mengandalkan birokrasi pemerintah.
Kemudian pada tahun 1972 dicanangkanlah program Aksarawan Fungsional, yang
merupakan program pemberikan pelajaran membaca, menulis dan berhitung serta
keterampilan tertentu. Pada masa tersebut program aksarawan fungsional yang hakikatnya
sudah dilaksanakan pada masa Orde Lama, semakin diperbaiki dan diperbarui supaya bisa
semakin mengurangi jumlah masyarakat yang buta huruf.
Selanjutnya pada tahun 1975 diadakan program kegiatan inovasi pendidikan. Program
inovasi ini meliputi semua jenis dan tingkat pendidikan di dalam (formal) maupun di luar
sekolah (non formal). Dalam kegiatan inovasi pendidikan tersebut terdapat 25 poin yang
salah satunya adalah program wajib belajar (Wajar). Wajar ditetapkan langsung oleh presiden
Soeharto pada tanggal 2 Mei 1984. Program Wajar ini dikhususkan bagi anak-anak usia 7 –
12 tahun, yaitu usia sekolah dasar atau sederajat.
Jadi soal bagaimana literasi yang bertujuan supaya bangsa Indonesia “Melek Aksara”
memang sudah lama dilakukan dan setiap jamannya selalu berubah dan berkembang. Seperti
tulisan diatas, bahwa di masa Orla dan Orba terdapat kebijakan yang sama sama tujuannya,
namun berbeda caranya.

6
DAFTAR PUSTAKA

Saryono, Djoko 2006. Sejarah Perkembangan Literasi. Jakarta: PT.Gramedia


http://gpmb.perpusnas.go.id/index.php?module=artikel_kepustakaan&id=46
http://www.berdikarionline.com/6-negara-yang-sukses-memerangi-buta-huruf/
nusantara/18/04/07/p6t36u313-sejarah-literasi-di-indonesia-cukup-tua
https://muhidindahlan.radiobuku.com/2012/09/12/nasionalisme-dan-buta-huruf/
http://minakhussania.blogspot.com/2012/08/pendidikan-pada-masa-orde-baru.html

7
8

Anda mungkin juga menyukai