Anda di halaman 1dari 148

Critical Book Report

PEKERJAAN SOSIAL

Dosen Pengampu :
Ibu Sani Susanti, M. Pd

Disusun Oleh:
Elsa Yustina Aritonang (1183171021)

Program S1 Pendidikan Masyarakat


Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Medan
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan semesta alam yang telah memberikan
rahmat, berkat dan kasih-Nya pada kita semua sehingga sampai saat ini kita semua
masih dalam keadaan sehat. sehingga saya bisa menyelesikan Critical Book Report
(CBR).
Critical Book Report ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dalam
mata kuliah ―Keaksaraan‖ yang diberikan oleh Ibu Sani Susanti, M. Pd. Dalam
kesempatan ini saya sampaikan terima kasih kepada Ibu yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan ilmu yang sangat berharga buat penulis. Saya juga tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada orang tua saya yang selalu membimbing dan
mendukung saya dalam menyelesaikan tugas ini.
Saya amat menyadari bahwa pembuatan critical book report ini tidak
sempurna adanya, namun banyak kekurangan baik dari sisi substansi, maupun teknis
penulisan. Dengan demikian, kritik dan saran untuk menyempurnakan critical book
report ini amat saya harapkan, terutama dari para pembaca

Medan, 22 Maret 2020

Elsa Yustina Aritonang

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
C. Tujuan .............................................................................................. 2
BAB II : ISI ................................................................................................... 3
A. Identitas Buku .................................................................................. 3
B. Isi Buku ............................................................................................ 3
BAB III : PEMBAHASAN ....................................................................... 142
A. kelemahan .................................................................................... 142
B. Kekurangan .................................................................................. 142
BAB IV : PENUTUP ................................................................................ 143
A. Kesimpulan .................................................................................. 143
B. Saran ............................................................................................ 143
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 144

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di Inggris dan Amerika Serikat, pekerja sosial muncul karena


menanggapi banyak dampak negatif yang disebabkan oleh keseluruhan
proses industrialisasi ekonomi dan urbanisasi seperti kemiskinan dan
penciptaan kelas-kelas pekerja. Sejarah awal pekerja sosial pada kedua
negara industrialisasi tersebut sebenarnya adalah sebuah sejarah tentang
berbagai aktivitas kedermawanan demi menolong rakyat miskin atau juga
dikenal dengan istilah penanganan kemiskinan (Hick 2003). Aktivitas-aktivitas
itu secara resmi diturunkan dari undang-undang terkenal mengenai
kemiskinan yaitu Undang-Undang kemiskinan Elizabeth yang keluar pada
abad ke-17 (Barkerm1995). Gerakan dari aktivitas kedermawanan ke arah
sebuah profesi modern disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa jenis
bantuan yang ada bagi rakyat miskin memunculkan kesulitan-kesulitan besar.

Sebagian besar hambatan tersebut adalah keterbatasan sumber


daya, kurang koordinasi, pelaksanaan yang diskriminatif, ketidakperdulian,
kurangnya transparansi, dan ketidakmampuan untuk memberikan pelayanan
secara memadai (Midgley,1981). Awalnya, ada dua reaksi spesifik terhadap
bentuk baru dalam meregulasi kaum miskin sebagaimana dinyatakan dalam
Undang-Undang Kemiskinan itu. Yang pertama adalah the Charity
Organization Society (COS), dan kedua Fabian Society, yang
ditransformasikan langsung kepada sebuah pendekatan the Settlement
House Movement, adalah asal-muasal profesi pekerja sosial, dan secara
nyata adalah produk-produk industrialisasi dan urbanisasi (Jhon 1995).

Perkembangan pekerjaan sosial menjadi suatu profesi. Pekerjaan


social sebagai bantuan dan pertolongan professional pada awalnya bergerak
dari mitos (beyond to the mith). Maksudnya pekerjaan social itu tumbuh dan
berkembang dari cerita-cerita kuno yang menggambarkan tentang
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang lama-kelamaan menjadi sebuah profesi.

1
Jadi Pekerjaan Sosial adalah bidang keahlian yang memiliki
kewenangan untuk melaksanakan berbagai upaya guna
meningkatkan kemampuan individu atau kelompok dalam melaksanakan
fungsi-fungsi sosialnya melalui interaksi agar orang dapat menyesuaikan diri
dengan situasi kehidupannya secara memuaskan Kekhasan pekerja sosial
adalah pemahaman dan keterampilan dalam memanipulasi perilaku
manusia sebagaimakhluk social.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pembahasan dalam buku yang akan di review?
2. Apa kelemahan dan kelebihan yang terdapat di dalam buku yang telah
di-review?
3. Apa saran yang dapat diberikan; serta bagaimana kesimpulan dari buku
tersebut?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pembahasan dalam buku yang akan di review


2. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan yang terdapat di dalam
buku yang telah di-review
3. Untuk mengetahui apa saran yang dapat diberikan oleh reviewer; serta
bagaimana kesimpulan dari buku tersebut

2
BAB II
ISI

A. Identitas Buku
Judul Buku : Assesment dan Wawancara dalam Praktik Pekerjaan
Sosial dan Kesejahteraan Sosial
Penulis : Santoso T. Raharjo
ISBN : 978-602-9239-51-8
Cetakan : Ke-2
Ketebalan : 184 hlm; 17,5 x 24 cm
Penerbit : UNPAD Press
Tahun Terbit :2015

B. Isi Buku

BAB 1 : PRAKTIK GEERALIS PEKERJAAN SOSIAL

A. PENDAHULUAN
Bagian awal ini menjelaskan tentang konsep dan prinsip
praktik pekerjaan sosial secara umum, yaitu bagaimana hubungan
pertolongan yang terbangun dalam pekerjaan sosial generalis baik
ketika bekerja dengan sistem klien perseorangan, keluarga,
kelompok, organisasi maupun masyarakat. Kemudian secara umum
akan dijelaskan bagaimana praktik generalis melakukan intervensi
dalam level mikro dan level makro. Walau demikian pada
kenyataannya pekerja sosial generalis akan melakukan
praktik/intervensinya secara simultan, yaitu bergerak baik pada level
mikro maupun level makro.
Pentingnya peranan ‗diri‘ pekerja sosial dalam praktik
pekerjaan sosial generalis merupakan hal mendasar; khususnya
kemampuan ‗diri‘ dalam upaya memberikan dukungan,
meningkatkan motivasi, memperkuat komitmen, menggerakkan
kekuatan dan meningkatkan pemahaman serta memfasilitasi

3
komunikasi bersama-sama klien.
Juga dijelaskan tipe-tipe klien berdasarkan cirinya dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan klien
untuk membangun suatu hubungan pertolongan dan terlibat dalam
proses pertolongan.
Umumnya praktik pekerjaan sosial berbasiskan- lembaga
adalah terpusat pada masalah (problem-focused). Klien cenderung
dipandang lemah dan mengalami masalah patologis yang
memerlukan pengobatan untuk memperbaiki keberfungsian
(Saleebey, 2002). Dalam perkembangan terkini mulai bermunculan
suatu pendekatan praktik yang berbasis pada kekuatan pada diri
klien. Pendekatan berbasis-kekuatan (the strenghts-based approach)
adalah berbeda, fokusnya adalah pada kekuatan-kekuatan, sumber-
sumber, dan kemampuan dalam diri klien. Klien dipandang mampu
melakukan perubahan. Mereka adalah rekan (partner) dan partisipan
aktif dalam perubahan. Pekerja sosial bukan pemecah masalah
(problem-solver). Fungsi utama pekerja sosial generalis adalah
membantu klien mengenali, mengerahkan dan meningkatkan
kekuatan dan kemampuan inheren mereka. (Weick et al., 1989).
Dalam pendekatan berbasis-kekuatan, klien adalah ahli (expert)
dengan pengetahuan dan mampu memenuhi perubahan yang
dibutuhkan. Fokus praktik pekerjaan sosial adalah pada
memberdayakan klien dan memantapkan hubungan pertolongan
(yang) kolaboratif.
Dalam praktik pekerjaan sosial berbasis-kekuatan, suatu
hubungan pertolongan kolaboratif dibentuk antara seorang
profesional dan seorang individu, atau keluarga, atau kelompok, atau
sebuah organisasi, atau suatu masyarakat dengan tujuan
memberdayakan dan meningkatkan keadilan sosial dan ekonomi.
Hubungan yang terbangun mungkin melibatkan kegiatan secara
langsung dengan sistem klien dalam semua ukuran ataupun kegiatan
secara tidak langsung pada sistem klien. Kolaborasi profesional
dengan klien atau sistem klien adalah yang bermanfaat bagi klien,
yang seluruhnya berfokus pada kekuatan dan sumber-sumber klien.

4
B. Jenis Intervensi Pekerjaan Sosial Generalis
Klasifikasi intervensi dari praktik pekerjaan sosial generalis
dapat dilihat dalam tabel 1. Dengan konseptualisasi ini, tugas-tugas
intervensi dikategorisasikan dengan level sistem (individu, keluarga,
kelompok, organisasi, atau masyarakat). Praktik generalis selalu
memerlukan intervensi secara simultan pada setiap level (multilevel).
Dalam situasi intervensi perubahan kasus tertentu, anda dan klien
anda mungkin akan terlibat dengan sejumlah individu, keluarga,
kelompok, organisasi, atau masyarakat.
Praktik pekerjaan sosial mikro adalah intervensi dengan
individu-individu, pasangan, dan keluarga (Hepworth, Rooney, and
Larsen, 2002). Pratik dengan sistem klien tersebut juga dikenal juga
sebagai praktik langsung (direct practice) atau praktik interpersonal
(interpersonal practice) (Garvin and Seabury, 1997). Beberapa
penulis mengklasifikasi praktik pekerjaan sosial dengan media
kelompok kecil sebagai intervensi level-mezo (mezzo-level
interventions) (Miley, O‘Melia and Dubois, 1998) dan lainnya
sebagai praktik langsung level-mikro (level-micro direct practice)
(Hepworth, Rooney, and Larsen, 2002; Pinderhughes, 1995;
Shulman, 1999). Karena hubungan pertolongan sistem klien
individual, keluarga, dan kelompok kecil umumnya memiliki maksud
dan tujuan yang sama, sehingga praktik pekerjaan sosial dengan
kelompok kecil merupakan bentuk dari praktik mikro. Berkenaan
dengan sistem klien, tujuan dari praktik level mikro adalah
meningkatkan keberfungsian dan keberdayaan klien. Kedua tujuan
tersebut saling berkaitan dalam penerapannya dengan klien-klien
individu, pasangan, keluarga, dan kelompok kecil.

Tabel 1. Aspek Utama Sistem Mikro dan Makro


Level Sistem Maksud Pengguna Intervensi
sistem klien hubungan an
Pertolongan Diri

5
Mikro Individu Meningkatk Memaha Konseling
Individu - an mi Konseling
al individu keberfungsi Sensitif dukungan
Keluarg Pasanga an Hormat Pendidikan
a n Pemberday Penerimaa dan pelatihan
Kelomp Keluarg aan n Manajemen
ok a Keinginan kasus Service
Kelomp bekerjasa linkage
ok- ma Beri Koordinasi
kelompo harapan pelayanan
k kecil Rekanan Negosiasi
Dukungan pelayanan
Komitme Mobilisasi
n Percaya sumber
Advokasi
klien
Makro Pemimpin Perbaikan Sama Pendidikan
Organisa lembaga organisasi denga dan
si (agency) Perbaikan n pelatihan
Masyara Satuan pelayanan siste Perencanaan
kat tugas Membangun m program
lembaga pelayanan mikro Pengembang
Komite Perbaikan an
lembaga kondisi masyarakat
Satuan masyarakat
tugas Berdayakan
professio penduduk
nal setempat
Koalisi Mengembangka
masyarak n sumber-
at sumber
Kelompo pelayanan
k- Meningkatkan
kelompok kesadaran
ketetangg masyarakat
an Mobilisasi warga
Sumber: Zastrow, 2010

6
Para pekerja sosial generalis akan terlibat dengan aktifitas perubahan
sistem klien yang luas, baik individu-individu,keluarga-keluarga, dan
kelompok-kelompok kecil. Umumnya intervensi level mikro oleh pekerja
sosial generalis dibagi menjadi dua kelompok besar, konseling dan
manajemen kasus (Tabel 1). Intervensi konseling terdiri dari supportive
counseling dan pendidikan-pelatihan. Manajemen kasus terdiri dari
hubungan pelayanan (service linkage), kordinasi pelayanan, negosiasi
pelayanan, mobilisasi sumber, dan advokasi klien. Tabel 2. menggambarkan
secara umum intervensi mikro generalis.

Tabel 2 Intervensi Utama Mikro-Generalis

Intervensi Penjelasan
Konseling
Konseling Pekerja sosial dan klien terlibat dalam suatu proses
dukungan terapis dan konseling secara kolaboratif. Tujuan
dari intervensi ini adalah membantu klien
mengatasi perhatian dan tantangan, meningkatan
kamampuan, memperbaiki keberfungsian.
Pendidikan Pekerja sosial membantu klien belajar dan ahli
dan pelatihan dengan konsep-konsep dan keterapilan baru

Manajemen
kasus
Hubungan Pekerja sosial membantu klien mengidentifikasi
pelayanan dan membangun hubungan (contact) dengan
program-program dan pelayanan-pelayanan lain.
Koordinasi Pekerja sosial mengkoordinasikan berbagai macam
pelayanan pelayanan dan para profesional yang terlibat dalam
kehidupan klien untuk memastikan bahwa
pelayanan terintegrasi dan memiliki tujuan yang
sama.

7
Lanjutan Tabel 2 Intervensi Utama Mikro - Generalis
Negosiasi Pekerja sosial membantu klien yang mengalami
pelayanan kesulitan berhadapan dengan program-program
dan pelayanan-pelayanan lain.
Mobilisasi Pekerja sosial membantu klien memenuhi sumber-
sumber sumber yang dibutuhkan, seperti tempat tinggal,
pakaian, makanan, furnitur, dukungan keuangan,
atau perawatan kesehatan
Advokasi Pekerja sosial mendidik klien tentang hak-haknya,
klien mengajari mereka keterampilan-keterampilan
advokasi, dan melakukan tekanan kepada badan-
badan sosial dan sumber-sumber untuk merespon
kebutuhan klien
Sumber: Zastrow, 2010

Intervensi level-makro berfokus pada perubahan keorganisasian


dan komunitas/ masyarakat. Sejumlah penulis memasukan perubahan
kemasyarakatan dalam kategori praktik makro dan menempatkan
perubahan keorganisasian dalam pada level-mezzo (Milley, O‘Melia
and Dubois, 1998). Banyak yang membatasi definisi praktik makro
sebagaimana bekerja bersama kelompok-kelompok dan organisasi-
organisasi masyarakat, perencanaan dan pengembangan program,
dan implementasi, administrasi, dan evaluasi program (Connaway
and Gentry, 1998; Kirst-Ashman and Hull, 1993; Specht, 1988)
nampaknya cenderung menggambarkan secara lebih realistik apa
yang dilakukan oleh pekerja sosial generalis dalam praktik aktual.
Jenis sistem klien pada level keorganisasian adalah pimpinan-
pimpinan keorganisasian, kelompok-kelompok satuan tugas, dan
komite-komite. Dalam level sistem para pekerja sosial terlibat
dengan para pembuat keputusan dan struktur pembuatan keputusan
organisasi. Pekerja sosial biasanya berpartisipasi dalam kelompok
kerja yang dikelola secara resmi, seperti halnya kelompok-kelompok
satuan tugas atau komite-komite. Sistem klien mungkin juga para
8
pembuat keputusan organisasi, yaitu para administrator dan
supervisor. Jadi, para pekerja sosial generalis mengupayakan
perubahan cara pandang pembuat keputusan organisasi atau struktur
pembuatan keputusan sebagai sistem klien.
Pada level keoganisasian, tujuan praktik level-makro adalah
meningkatkan keberfungsian organisasi, memperbaiki pelayanan dan
penyedian pelayanan, atau membangun pelayanan-pelalayanan baru.
Ketiga tujuan tersebut meliputi perubahan organisasi atau badan
(agency). Para pekerja sosial generalis cenderung berbasis pada
badan-badan dan bekerja dalam suatu kerangka keorganisasian. Ini
bukan berarti bahwa perubahan keorganisasian tidak bisa dilakukan
dari luar sistem (Chavis, Florin, and Felix, 1993). Sudah merupakan
tradisi yang lama atau umum dalam praktik pekerjaan sosial bahwa
terjadinya perubahan berasal dari luar. Tradisi tersebut kembali
kepada awal permulaan dan pekerjaan sosial dan pembaharu-
pembaharu sosial di era progresif (Haynes and Mickelson, 1991:
Reeser and Epstein, 1990).
Jenis sistem klien pada level masyarakat adalah satuan- satuan
tugas profesional, koalisi masyarakat, dan ketetanggaan atau
kelompok-kelompok warga masyarakat. Umumnya tujuan praktik
masyarakat adalah meningkatkan kondisi masyarakat atau
(lingkungan) ketetanggaan, memberdayakan warga, menumbuhkan
sumber-sumber, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
permasalahan sosial dan ekonomi, serta memobilisasi orang-orang
guna mendukung (advocate) sumber-sumber dan perubahan yang
dibutuhkan. Para pekerja sosial generalis yang terlibat dalam
perubahan masyarakat biasanya bekerja sama dengan profesional
atau kelompok-kelompok masyarakat. Beberapa kelompok terkadang
terdiri dari anggota profesional dan warga masyarakat. Para pekerja
sosial yang terlibat dalam praktik masayarakat memandang
kelompok dimana mereka bekerja bersama sebagai sistem klien.
Dengan kata lain, sistem klien adalah satuan tugas profesional,
kelompok ketetanggaan, atau koalisi masyarakat yang berupaya
melakukan perubahan atau meningkatkan masyarakat.
Para pekerja sosial generalis terlibat dalam suatu intervensi
keorganisasian dan kemasyarakatan yang luas. Sebagaimana terlihat
9
dalam Tabel 3, intervensi makro yang digunakan oleh pekerja sosial
generalis terutama terdiri dari pendidikan dan pelatihan, perencanaan
program dan pengembangan masyarakat.

Tabel 3 Ketiga Intervensi Level Makro

Intervensi Penjelasan
Pendidikan dan Pekerja sosial melakukan pertemuan-pertemuan
pelatihan pelatihan, lokakarya, dan seminarmengenai
keorganisasian dan kemasyarakatan
Perencanaan Pekerja sosial membantu dalam
program mengembangkan, memperluas dan
mengkoordinasikan pelayanan-pelayanan sosial
dan kebijakan-kebijakan sosial.
Pengembangan Pekerja sosial membantu meningkatkan kondisi
masyarakat masyarakat dan memberdayakan warga untuk
mau & mampu melakukan perubahan
masyarakat
Sumber: Zastrow, 2010

C. Manfaat Diri Sendiri (Self)


Manfaat diri sendiri merujuk pada keterampilan dan interaksi
pekerja sosial dengan sistem klien (Goldstein, 1995; Northen, 1995).
Para pekerja sosial mengintervensi dengan cara membangun
hubungan dengan cara membantu sistem klien dalam rangka
pencapaian tujuan perubahan yang jelas. Hasil penelitian
membuktikan secara konsisten terhadap bukti yang kuat dari
perubahan klien melalui hubungan pertolongan (Marziali and
Alexander, 1991; Russell, 1990). Artinya melalui hubungan
pertolongan maka perubahan bisa dilakukan. Karena pekerja sosial
berinteraksi dengan sistem klien, kualitas interaksi dalam
memfasilitasi (mempermudah) perubahan klien. Pekerja sosial
memanfaatkan dirinya untuk berkomunikasi.
- Memahami - Penuh harapan
10
- Sensitifitas - Setiakawan
- Menghargai - Dukungan
- Penerimaan - Komitmen
- Empati - Keyakinan
- Perhatian untuk bekerjasama

Manfaat diri secara tradisional dikaitkan dengan praktik level-


mikro, yaitu interaksi pekerja sosial dengan klien individu, pasangan,
keluarga dan kelompok. Namun demikian karakteristik yang
digambarkan di atas dapat juga diterapkan dalam praktik level-
makro. Seorang pekerja sosial generalis dapat memberikan dukungan
dan memelihara harapan serta pemahaman melalui interaksi-interaksi
pada level keorganisasian bersama dengan kelompok- kelompok
satuan tugas dan komite, koalisi masyarakat, dan kelompok-
kelompok ketetanggaan. Pekerja sosial melakukan berbagai tugas
intervensi dengan memanfaatkan diri dan aktifitas- aktifitas
perubahan sistem. Efektivitas keterampilan- keterampilan
interpersonal dalam praktik pekerjaan sosial generalis diperlukan
untuk mempermudah perubahan pada level-level individu, keluarga,
kelompok, organisasi, dan masyarakat

D. Klien-Klien Pekerjaan Sosial


Praktik generalis melibatkan kerjasama dengan sistem klien dari
semua ukuran (level). Sistem klien utama mungkin seorang individu,
sebuah keluarga, sekelompok kecil, suatu organisasi, atau sebuah
masyarakat. Sistem klien utama nampaknya tidak hanya menjadi
satu-satunya sistem klien yang dibantu atau yang mejadi sasaran
perubahan. Secara tipikal, praktik generalis bekerja dengan sejumlah
sistem klien yang saling berhubungan.
Praktik pekerjaan sosial generalis yang bertumpu pada kekuatan
menggunakan pendekatan ekosistem (a ecosystems perspective).
Perspektif ini memusatkan perhatian asesmen dan intervensinya pada
transaksi (baca: pertukaran/timbal-balik) masalah antara individu
dengan lingkungannya. Permasalahan transaksi tersebut menjadi
sistem sasaran yang klien dan pekerja sosial upayakan perubahannya
(Pincus and Minahan, 1973). Sistem sasaran bisa berupa sistem klien
11
individu atau individu lainnya, keluarga, kelompok, organisasi, atau
masyarakat dimana sistem klien berada (person-in-environment).
Beberapa atau semua sistem dalam lingkungan klien potensial
menjadi sistem sasaran dalam proses pertolongan.

1) Jenis-jenis Klien
Seorang klien potensial untuk dapat menjadi klien hanya jika dan
ketika terjadi kesepakatan yang jelas antara seseorang dengan
pekerja sosial mengenai tujuan kerjasama mereka. Selanjutnya secara
ideal, klien adalah seseorang yang sepakat untuk bekerjasama dengan
pekerja sosial dalam rangka mencapai suatu hasil yang jelas.
Terdapat tiga jenis klien: sukarela (voluntary), bukan sukarela
(involuntary), dan tidak sukarela (nonvoluntary) (Garvin and
Seabury, 1997). Namun demikian dalam konteks praktik di Indonesia
saat sekarang ini masih sulit ditemukan klien yang secara sadar dan
sukarela untuk menemui pekerja sosial berkenaan dengan
permasalahan yang sedang dihadapinya. Tentunya hal ini masih
berkait dengan community sanction (kewenangan dan pengakuan
yang diberikan oleh masyarakat) yang belum mewujud sepenuhnya
serta pengakuan pemerintah yang terwujud dalam perekrutan dan
penghargaan yang diberikan kepada para lulusan sekolah-sekolah
pekerjaan sosial.
Selanjutnya, klien sukarela adalah yang mencari pelayanan dari
pekerja sosial atau badan-badan sosial atas dasar keinginan sendiri
karena mereka memang membutuhkan bantuan yang berhubungan
dengan sejumlah aspek kehidupan dirinya. Seorang ibu muda yang
menyadari dirinya memiliki masalah suka minum-minuman
memabukan dan berupaya mencari pertolongan dari seorang pekerja
sosial profesional adalah merupakan contoh dari seorang klien
sukarela. Dia membuat keputusan untuk memperoleh bantuan
profesional dan secara sukarela masuk dalam hubungan pertolongan
dengan pekerja sosial.

12
Klien tidak sukarela (nonvoluntary) yaitu yang ditekan atau
dipaksa untuk mencari bantuan oleh seseorang yang mereka kenal
dekat, bisa anggota keluarga ataupun bukan. Mereka tidak
memperoleh mandat dari pengadilan atau hukum atau badan sosial
untuk memperoleh bantuan. Seorang teman, kerabat, atau koleganya
meyakini bahwa dia atau mereka memiliki masalah; tetapi dia atau
mereka sendiri mungkin tidak mengakuinya atau menyadarinya.
Bahkan seandainya pun mereka mengakui keberadaan masalah,
namun mereka tidak berkeinginan mencari bantuan. Mereka datang
ke pekerja sosial karena ―they may suffer unpleasant consequences if
they refuse‖ (Garvin and Seabury, 1997, p.132). Seorang ibu muda
yang dipaksa oleh suaminya untuk memperoleh bantuan dari pekerja
sosial terhadap masalah perilaku kecanduan obat-obatan adalah
contoh dari klien yang tidak sukarela (nonvoluntary). Dia datang ke
pekerja sosial hanya karena suaminya mengancam untuk
meninggalkannya dan perawatan anak mereka. Dia secara esensial
telah dipaksa oleh suaminya untuk memperoleh bantuan profesional
terhadap masalahnya dan memenuhi harapan suaminya agar dia tidak
meninggalkan dirinya dan memungkinkan memperoleh hak
perawatan atas anak mereka.
Klien bukan sukarela (involuntary) adalah yang memiliki mandat
hukum untuk menerima pelayanan-pelayanan. Mereka tidak
memiliki pilihan lain untuk hal tersebut. Jika seorang ibu muda
dengan masalah minum-minumannya ditangkap karena mabuk saat
mengemudi, bagian dari hukuman tersebut pengadilan memutuskan
si ibu untuk mengikuti program konseling sebanyak 20 kali
konseling setiap minggu. Dalam situasi ini dia adalah klien bukan
atas dasar sukarela (involuntary).
Namun demikian apakah klien tersebut termasuk kategori
sukerela, tidak sukarela atau bukan sukarela, mereka tetap harus
membuat semacam kontrak atau kesepakatan dengan pekerja sosial
dalam rangka menjadi klien yang siap bekerja sama dengan pekerja
sosial untuk mengatasi masalahnya. Mereka harus mengetahui dan
menyadari partisipasinya dalam proses pertolongan. Jelas, akan lebih
mudah mencapai kesepakatan dengan klien sukarela daripada dengan
klien tidak sukarela atau bukan sukarela. Klien sukarela memiliki
motivasi untuk mencari pertolongan. Sedangkan yang lainnya, pada
13
kontak awal, mungkin belum mengambil keputusan untuk mencari
pertolongan dan terlibat kerjasama dalam proses pertolongan.
Menurut Zastrow (2004) kemajuan klien melalui lima tahap
dalam inisiatif diri, dengan bantuan profesional: prakontemplasi,
kontemplasi, persiapan, aksi, dan pemeliharaan. Prakontemplasi
adalah tahapan yang mana belum ada keinginan untuk berubah
dimasa depan. Para klien pada tahap ini biasanya tidak menyadari
masalahnya dan tidak serius terhadap adanya pertolongan. Mereka
tidak memiliki pilihan untuk mencari pertolongan atau mungkin
tidak senang dengan pertolongan yang sedang dijalaninya.
Kontemplasi adalah tahap dimana klien menyadari adanya masalah
dan mereka mulai serius memikirkan pemecahannya tetapi belum
membuat komitmen untuk melakukan tindakan. Kata kuncinya pada
tahap ini adalah kurangnya komitmen untuk melakukan perubahan.
Banyak klien mengakui kebutuhan untuk mengatasi persoalan atau
masalahnya tetapi mereka memerlukan bantuan untuk secara jujur
berkomitmen melakukan perubahan. Persiapan (preparasi)
merupakan tahap kombinasi dari kriteria perhatian dan perilaku. Para
klien pada tahap ini telah mulai mengatasi masalah dan memiliki
motivasi untuk membuat perubahan yang diperlukan. Aksi adalah
pada tahap mana individu-individu melakukan modifikasi
perilakunya, pengalamannya, atau lingkungannya dalam rangka
mengatasi masalahnya. Selama tahap ini klien telah terlibat dalam
proses pertolongan dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan
dalam rangka mencapai perubahan yang diinginkan. Pemeliharaan
adalah tahap dimana orang-orang berupaya mencegah terjadinya
kemunduran dan mengkonsolidasikan usaha-usaha yang telah
dicapai selama aksi. Dalam hal ini pemeliharaan adalah suatu fase
keberlanjutan dari fase kegiatan. Klien secara aktif berusaha
mencegah terjadinya kemunduran dan mempertahankan
(meningkatkan) kemajuan yang telah dicapai.
Kelima tahap perubahan klien tersebut masing-masing akan
berbeda tekanannya ketika mereka terlibat dalam proses pertolongan.
Penting untuk dipahami bahwa setiap individu adalah berbeda. Tidak
seluruh klien-klien potensial mencapai tahap kontemplasi atau aksi.
Banyak klien yang dirujuk atau memperoleh mandat untuk

14
mendapatkan pelayanan saat berada pada tahap prakontemplasi atau
kontemplasi. Untuk menjadi klien yang sesungguhnya, mereka harus
membuat komitmen untuk berubah. Pada akhirnya, hanya mereka
yang memiliki keinginan untuk sepakat bekerjasama dengan pekerja
sosial untuk mencapai hasil secara khusus yang dapat terlibat dalam
suatu hubungan pertolongan yang kolaboratif. Para klien yang bukan
sukarela atau tidak sukarela mungkin masih melalui tahapan tersebut
karena mereka juga membutuhkan pertolongan, tetapi mereka belum
benar-benar menjadi klien sesungguhnya, hingga mereka
memutuskan sendiri untuk terlibat dalam hubungan pertolongan.

2) Penolakan Klien
Para pekerja sosial biasanya akan bekerja dengan klien- klien
yang berada pada tahap prakontemplasi dan tidak berminat
memperoleh bantuan. Sebelumnya klien-klien seperti itu dipandang
sebagai ―penolakan‖ (reluctant) dan seringkali dituduh tidak dapat
bekerjasama dengan pekerja sosial (Anderson and Stewart, 1983).
Dalam perspektif kekuatan (strengths) penolakan merupakan hal
alami dan dapat dipahami sebagai upaya mekanisme pertahanan
(coping). Banyak klien baik, yang akan melakukan penolakan untuk
terlibat dalam suatu hubungan pertolongan (Rooney, 1992). Baru
pada diskusi/pembicaraan berikutnya dibahas sejumlah faktor yang
mempengaruhi kesadaran dan kemampuan klien untuk terus beranjak
ke tahap prakontemplasi dalam proses pertolongan.
Klien yang mengikuti proses pertolongan dengan berbagai
harapan. Beberapa mungkin memiliki sedikit atau tidak memiliki
harapan untuk melakukan perubahan bermakna dalam hidupnya,
sementara lainnya berharap keajaiban. Sebagian mungkin menyadari
sifat dari proses pertolongan kolaboratif, sebagian lagi menginginkan
pekerja sosial dapat menyelesaikan masalahnya. Di awal anda
bekerja bersama, meski terkadang tidak perlu, anda perlu
membicarakan bagaimana nantinya anda akan bekerjasama dan
bagaimana anda saling menghargai masing-masing peran yang akan
dilakukan. Klien harus memahami dengan jelas proses yang dijalani
baik peran maupun tanggungjawab masing-masing.
Ketidaksesuaikan harapan dan kesalahpahaman terhadap proses yang
15
dilakukan akan membawa pada ketidakpuasan dan kekecewaan. Oleh
karena itu adalah penting saling berbagi visi mengenai proses
pertolongan. Dan mungkin akan lebih bijak untuk berasumsi bahwa
anda dan klien anda memiliki visi dan harapan yang masing-masing
berbeda. Perbedaan-perbedaan tersebut yang perlu dicari kesamaan
maknanya (rekonsialiasi) sebelum kegiatan dimulai.

3) Keragaman Budaya dan Etnik


Masyarakat Indonesia dicirikan dengan keragaman budaya dan
etnik. Dengan demikian adalah tidak mengherankan apabila klien
pekerja sosial memiliki latar belakang budaya dan keyakinan yang
berbeda-beda. Nilai- nilai dan keyakinan dari kelompok budaya yang
berbeda dapat menimbulkan konflik dengan nilai-nilai budaya
dominan atau dengan nilai dan keyakinan pekerja sosial sendiri.
Namun demikian pekerja sosial dan klien mesti memiliki
kesepakatan bersama, tetap satu dari keragaman dan heteroginitas.
Pandang klien sebagai individu yang unik dengan keyakinan dan
nilai berbeda, dan memandang mereka memiliki sistem keyakinan
yang berbeda dengan anda merupakan hal penting.
Latar belakang budaya dan etnik yang berbeda ini mempengaruhi
cara mereka menjadi klien. Kesamaan penerimaan akan mendorong
pemahaman, empati dan kepercayaan. Perbedaan penerimaan
mungkin agak menghambat terbangunnya pemahaman dan
kepercayaan bersama (Miley, O‘Melia, dan Du Bois, 1998).
Perbedaan penerimaan akan menghambat kesadaran klien untuk
membangun hubungan pertolongan. Sebagian besar orang berusaha
saling mencari jalan keluar dengan siapa mereka suka, sama, dan
dapat berhubungan. Individu cenderung percaya terhadap mereka
yang memiliki kasamaan, dan tidak percaya dengan penerimaan yang
berbeda. Kecenderungan terhadap ketidakpercayaan dari seseorang
yang memiliki ragam perbedaan etnik dan budaya merupakan
tantangan bagi semua pekerja sosial untuk mengatasinya.
Sejumlah perbedaan potensial antara anda dengan klien anda
merupakan hal tidak pernah ada akhirnya. Perbedaan nilai-nilai,
perspektif, dan pengalaman menciptakan hambatan komunikasi dan
kepercayaan. Hal ini merupakan tanggungjawab anda, sebagai
16
penolong profesional, untuk mengakui sepenuhnya perbedaan dan
berkomunikasi dengan menghormati keyakinan dan nilai-nilai klien
anda. Daripada memandang perbedaan budaya sebagai ancaman,
lebih baik pandang mereka sebagai sumber yang menambah
perspektif dan opsi dari keakraban dengan klien anda (Miley,
O‘Melia, and DuBois, 1998). Upaya mengatasi perbedaan pekerja
sosial—klien diperlukan bahwa anda mengakui perbedaan
sebagaimana juga mengkomunikasi-kan pemahaman anda terhadap
nilai-nilai, persepsi dan keyakinan klien. Nilai klien anda dengan
berbeda. Tunjukkan penghargaan dan apresiasi terhadap keragaman.
Perbedaan akan tetap ada; yang akan berubah adalah persepsi yang
menghambat komunikasi dan kepercayaan mereka. Pengakuan
perbedaan secara langsung pada tahap awal dalam proses
pertolongan meningkatkan kesesuaian yang mendorong individu
menjadi seorang klien. Mengabaikan perbedaan budaya dan etnik
cenderung akan memperburuk makna perbedaan dan menghambat
terbangunnya kepercayaan.
Dalam bekerja dengan suku minoritas atau sekelompok orang
yang marginal lainnya, adalah penting untuk mengakui persepsi
mereka dan pengalaman mereka terhakimi oleh budaya dominan.
Pahami pengalaman klien, ajukan pertanyaan dengan posisi tidak
tahu. Selalu bersikap penasaran (serba ingin tahu), dan tunjukkan
perhatian anda secara jujur terhadap apa yang klien ucapkan. Klien,
yang memang bukan pekerja sosial, adalah expert terhadap persepsi
dan pengalaman-pengalamannya sendiri. Keahlian klien juga
membawa serta persepsi dan pengalaman-pengalaman budaya, etnik,
dan ras.
Jika kita mendengarkan klien kita, bersikaplah terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman mereka, dan ambil posisi belajar dengan
mereka dan bukan yang paling mengetahui, maka peluang mengatasi
perbedaan-perbedaan akan meningkat.
Faktor penting lainnya dalam praktik lintas-budaya adalah
kesadaran diri dan ciri budaya etnik sendiri. Sadar terhadap identitas
etnik dan budaya sendiri akan meningkatkan tingkat keyakinan
dalam bekerja dengan klien dari latar belakang budaya dan etnik
berbeda. Seseorang yang sadar-budaya sendiri akan mampu
17
mengenali dan mengakui perbedaan. Pekerja sosial yang tidak
menyakini nilai-nilai dan keyakinannya sendiri lebih banyak
memaksakan nilai-nilai dan keyakinannya terhadap klien mereka dan
merasa terancam dengan dengan perbedaan klien mereka. Makin
anda ingin mengetahui diri anda sendiri, membuat anda ingin belajar
mengenai klien anda.

4) Pengetahuan dan Keterampilan Klien


Klien umumnya akan mecari bantuan profesional hanya setelah
mereka telah berupaya sendiri memecahkan masalahya dengan
meminta bantuan teman, keluarga atau organisasi kemasyarakatan
informal, atau dengan para profesional lainnya. Pertemuan pertama
dengan klien umumnya terjadi setelah klien melakukan segala upaya
untuk mengatasi persoalannya sendiri. Mereka memiliki sejumlah
pengalaman menghadapi masalahnya sendiri. Mereka tahu mana
yang berhasil dan mana yang tidak. Mereka mungkin memiliki ide
mana isyu yang sulit diatasi dan mana yang berhasil diatasi. Bersikap
terbukalah, dan manfaatkan pengetahuan tersebut.
Klien membawa-serta keterampilan uniknya dalam hubungan
pertolongan. Setiap klien memiliki keterampilan interpersonal dan
kompetensi. Klien telah membangun strategi bertahan dan memiliki
cara untuk mengatasi tekanan tuntutan hidup dan situasi-situasi
tertentu. Mereka telah membangun cara yang unik beradaptasi
dengan pegalaman hidupnya. Pada level tertentu, mereka telah
berhasil dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya. Mereka mungkin
telah berjuang dan memperoleh bantuan, atau mungkin mereka telah
mampu mengelola untuk bertahan dan menghadapi tantangan situasi.
Semua klien membawa-serta kekuatan dan keterampilan untuk
hubungan pertolongan.
Klien berdaya jika pekerja sosial mengakui kekuatan,
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan klien. Mereka juga
terdorong. Klien memperoleh harapan ketika mereka dipandang
sebagai individu yang kapabel dan kompeten. Miley, O‘Melia dan
DuBois menyatakan bahwa klien mampu untuk ―articulate thoughts
and feelings; skills in thinking, planning, and organizing;

18
competencies in giving and receiving support—all are general skills
for living that may have relevance for overcoming any challenging
situation‖ (1998, p.127). Dengan demikian pada dasarnya klien
mampu untuk mengartikulasikan seluruh pemikiran dan perasaannya;
terampil dalam pemikiran, perencanaan, dan pengelolaan; kompeten
dalam memberi dan menerima dukungan—semua keterampilan
umumnya bagi kehidupan yang mungkin relevan dalam menghadapi
tantangan situasi tertentu. Tanpa mengesampingkan level
keberfungsian, kondisi kesulitan kehidupan yang dihadapi klien,
serta makna persoalan yang harus segera ditangani, pengetahuan dan
keterampilan klien dapat mendukung pemecahan situasi masalah
yang dihadapinya. Cari kekuatan dan kemampuannya. Ini adalah
tugas pekerja sosial dalam membantu klien mengenali dan
mengartikulasikan pengetahuan-pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan yang mereka bawa ke dalam proses
pertolongan. Mengenali kekuatan-kekuatan tersebut akan membantu
terpeliharanya hubungan pekerja sosial-klien yang kolaboratif
dengan meningkatkan kesadaran klien untuk terlibat dalam proses
pertolongan.
Tidak menjadi masalah apakah seorang klien adalah sukarela,
tidak sukarela atau bukan sukarela, serta situasi apapun yang
membawa seorang klien bertemu dengan seorang pekerja sosial
generalis, klien memiliki pilihan untuk ikut serta dalam proses
pertolongan. Dalam hal ini, klien harus memiliki kemajuan paling
sedikit ke tahap persiapan dari perubahan. Tantangan bagi pekerja
sosial generalis adalah membantu klien untuk bergerak menuju tahap
prakontemplasi dan kontemplasi, sehingga klien tidak mundur atau
terus bergerak menuju perubahan tanpa benar- benar terlibat dalam
proses pertolongan.
Sejumlah faktor mempengaruhi kemampuan klien untuk terlibat
dalam hubungan pertolongan. Faktor pertama adalah perasaannya
mengenai memperoleh bantuan dan stigma yang mereka rasakan
ketika meminta bantuan kepada orang asing bagi mereka. Nilai-nilai
budaya dan keyakinan, sebagaimana juga pengalaman dengan
pertolongan profesional lainnya mempengaruhi perasaan-perasaan
19
tersebut. Hal terbaiknya adalah sebagian besar klien umumnya
mampu mengatasi perasaan-perasaannya untuk bekerja sama dengan
seorang pekerja sosial. Pekerja sosial harus mengkomunikasikan
pemahaman dari perasaan-perasaan tersebut dan menciptakan suatu
harapan sehingga memungkinkan perubahan agar klien terlibat dalam
proses pertolongan. Sensitif atas harapan-harapan klien dan peran-
perannya dalam proses pertolongan dan jelaskan sifat kolaboratif dari
kerja bersama anda akan mendukung partisipasi klien.

SIMPULAN
Praktik pekerjaan sosial generalis meliputi keterampilan dan
intervensi praktik dalam lingkup luas. Hal ini berkaitan dengan
praktik dalam level mikro dan level makro. Fokus intervensi mikro
pada individu-individu, pasangan-pasangan, keluarga, dan kelompok
kecil. Sedangkan fokus intervensi makro pada satuan tugas dan
komite-komite lembaga, satuan tugas profesional, koalisi
masyarakat, dan kelompok- kelompok ketetanggaan.
Hubungan pertolongan dalam intervensi mikro diarahkan
langsung pada peningkatan keberfungsian dan pemberdayaan sistem
klien. Hubungan pertolongan dalam intervensi makro pada level
organisasi terfokus pada peningkatan peningkatan organisasi dan
pelayanannya seperti mengembangkan pelayanan-pelayanan baru.
Pada level masyarakat, fokusnya adalah meningkatan kondisi
masyarakat, memberdayaan warga setempat, mengembangkan
sumber-sumber, peningkatan kesadaran, dan memobilisasi warga.
Para pekerja sosial generalis harus terampil dalam memanfaatkan
diri berkaitan dengan level sistem intervensi. Pemanfaatan diri secara
luas untuk membantu individu, keluarga, dan kelompok kecil
merupakan bagian fundamental dari praktik mikro (langsung).
Kemampuan untuk memberikan dukungan , meningkatan motivasi,
memelihara harapan, memperkuat komitmen, menggerakkan
kekuatan, meningkatan pemahaman, dan memfasilitasi komunikasi
merupakan hal penting berkenaan dengan ukuran sistem klien. Proses
pertolongan perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi, dan
masyarakat membutuhkan para pekerja sosial generalis yang dapat
memanfaatkan diri sendiri untuk membantu klien melakukan
20
perubahan.
Praktik generalis dilakukan dengan sistem klien individu,
keluarga, kelompok kecil, organisasi, dan masyarakat. Jadi, para
pekerja sosial generalis dipersiapkan untuk menangani persoalan-
persoalan baik level-mikro maupun level-makro. Selanjutnya untuk
bekerja dengan sistem klien dari beragam ukuran, para ahli generalis
seringkali bekerja dengan sistem klien berganda. Para ahli generalis
bekerja dengan sejumlah sistem klien yang berbeda secara simultan.
Contohnya, para ahli generalis yang bekerja dengan sistem klien
individu seringkali akan berkaitan dengan sistem klien keluarga
seperti halnya juga dengan organisasi dan kelompok-kelompok
masyarakat dalam lingkup sistem klien individual. Sistem sasaran
tersebut dalam lingkungan sistem klien yang menjadi sasaran untuk
perubahan atau intervensi.
Klien bisa yang sukarela, tidak sukarela dan bukan sukarela.
Berkenaan dengan situasi yang membawa seorang klien melakukan
kontak dengan seorang ahli generalis, klien harus menentukan untuk
turutserta dalam proses pertolongan. Untuk hal ini, mesti terdapat
kemajuan pada diri klien paling tidak hingga tahap persiapan dari
perubahan. Tantangan bagi para pekerja sosial generalis adalah
membantu klien untuk bergerak ke depan tahap prakontemplasi dan
kontemplasi sehingga klien tidak terhenti atau sedikitnya terus
mengikuti proses pertolongan.
Sejumlah faktor yang mempengaruhi kemampuan klien untuk
terlibat dalam hubungan pertolongan. Salah satu faktor adalah
bagaimana perasaan mereka tentang memperoleh pertolongan dan
seberapa besar stigma yang mereka rasakan tentang perlunya peranan
batuan orang asing. Nilai-nilai budaya dan keyakinan demikian pula
pengalaman memperoleh pertolongan sebelumnya berpengaruh
terhadap perasaan-perasaan tersebut. Hal yang terbaik adalah
sebagian besar klien dapat mengatasi perasaan-perasaan tersebut
untuk bekerja dengan seorang pekerja sosial. Mengkomunikasikan
pemahaman akan perasaan-perasaan tersebut dan menciptakan
harapan perubahan adalah memungkinkan hal kritis agar klien mau
terlibat dalam proses pertolongan. Sensitif terhadap harapan-harapan
klien dan peranannya dalam proses pertolongan dan mengklarifikasi
21
sifat bekerja sama secara kolaboratif juga membantu partisipasi
klien.
Dalam tulisan berikutnya akan dijelaskan secara khusus
mengenai apa yang dimaksud dengan assessment, selanjutnya secara
singkat akan dikemukakan mengenai prinsip dasar dan praktek
pekerjaan sosial mikro; untuk selanjutnya secara khusus
memperbincangkan bagaimana proses wawancara (konseling) dalam
pekerjaan sosial.

22
BAB 2 : PRINSIP DASAR PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL MIKRO

A. PENGERTIAN
Konseling dalam pekerjaan sosial seringkali dikaitkan dengan praktik
pekerjaan sosial dalam mikro. Sebelum membahas lebih jauh prinsip-
prinsip praktik dalam praktik mikro, ada baiknya kita melihat
terlebih dahulu apa batasan atau definisi dari pekerjaan sosial mikro
itu sendiri. Beberapa penulis menyebut praktik mikro itu sendiri
dengan istilah bimbingan sosial perorangan atau case work. Mary
Richmond, salah seorang perintis case work ilmiah,
mendefinisikannya sebagai berikut:
―social casework consist of those processes which develop
personality through adjusments consciously effected,
individual by individual, between men and their environent‖
(dalam Skidmore, p.49)

Nampak bahwa definisi tersebut melihat bimbingan sosial


perseorangan (social casework) merupakan proses untuk
meningkatkan kepribadian seseorang melalui penyesuaian secara
sadar, antar individu, antara orang dengan lingkungannya. Proses
bimbingan sosial perseorangan tidak dapat dilakukan pada situasi
klien tidak sadar, harus dilakukan dalam kondisi pekerja sosial dan
klien memahami situasi proses pertolongan yang akan dilakukan.

23
Lebih jauh lagi Skidmore (1994) menegaskan bahwa
casework merupakan suatu teknik pertolongan, yaitu:
―Social casework is a methode of helping people based
knowledge, understanding, and the use of techniques
skillfully applied to helping people to solve problem‖ (p. 50)

Bahkan sebagian praktisi tenaga pengembangan masyarakat


menyatakan bahwa semua upaya pekerjaan sosial klinis (mikro)
mengupayakan kepada pengayaan/peningkatan dan pemeliharaan
keberfungsian psikologis individu, keluarga, dan kelompok-
kelompok kecil. Sehingga kemampuan- kemampuan metode mikro
ini dalam konteks makro seringkali sangat bermanfaat, bahkan
menentukan keberhasilan sebuah kegiatan pengembangan
masyarakat. Seringkali para praktisi para pengembangan masyarakat
menemui para tokoh-tokoh berpengaruh, dengan memanfaatkan
kemampuan teknik mikronya, agar tujuan kegiatan pengembanga
masyarakat tersebut dapat tercapai. Sebab, keberhasilan kegiatan
pengembangan masyarakat seringkali ditentukan oleh para tokoh
berpengaruh yang ada ditengah-tengah masyarakatnya.

B. KERANGKA PRAKTIK
Dalam suatu praktik mikro setidaknya terdapat maksud (tujuan),
nilai-nilai, sanksi, pengetahuan, dan metode-metode yang seringkali
merupakan jantung dari praktik casework bersama dengan
perseorangan, dan keluarga. Kesemua hal tersebut merupakan suatu
kerangka praktik mikro. Berikut ini beberapa penjelasan dari elemen-
elemen kerangka praktik tersebut.

24
1) Maksud/tujuan
Elemen maksud atau tujuan ini mengemukakan mengenai alasan-
alasan untuk bertindak; yaitu dapat berupa upaya pencegahan dan
perawatan yang ditimbulkan dari keretakan atau gangguan hubungan
harmonis antara perorangan dan keluarganya atau kelompoknya.
Membantu orang untuk mengenali dan mengatasi permasalahan-
permasalahan dalam hubungannya (sosial), paling tidak
meminimalisasi akibat- akibat yang diimbulkannya. Kemudian
pekerjaan sosial berupaya untuk memperkuat potensi maksimal dari
individu, kelompok, dan masyarakat. Pekerja sosial juga membantu
klien untuk menemukan sumber-sumber potensial disekitar klien
yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk membantu permasalahan
yang dihadapi oleh klien. Dengan perspektif kekuatan, maka dalam
diri klien dan di lingkungan sekitar klien terdapat sejumlah kekuatan
yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk memperkuat perbaikan
kondisi dan kekuatan klien itu sendiri dalam rangka mengatasi
permasalahannya.

2) Nilai dan Prinsip Dasar Pekerjaan Sosial


Nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar pekerjaan sosial, yang tentunya
sesuai dengan konteks masyarakat dan persoalan sangat menentukan
sikap dan pendekatan para pekerja sosial. Profesi pekerjaan sosial
memiliki asumsi akan pentingnya harga diri dan potensi individu
serta saling berkaitannya antara individu dan masyarakat
lingkungannya. Beberapa nilai dasar umum kemanusiaan yang dapat
mempengaruhi praktek pekerjaan sosial antara lain:
1. Penghargaan terhadap martabat dan harga diri manusia;
2. Penghargaan terhadap hak manusia untuk
menentukan ‗nasibnya‘ sendiri;
3. Penghargaan terhadap adanya kesempatan yang sama bagi
setiap manusia
4. Tanggung jawab sosial.

Nilai-nilai dasar tersebut umumnya hampir terdapat dalam setiap


masyarakat di belahan bumi ini, tidak terkecuali di Indonesia. Dari
nilai-nilai dasar tersebut memuncul sejumlah asumsi dasar mengenai
25
nilai filosofis (umum) dalam praktek pekerjaan sosial, yaitu:

(terpenting);
sama lainnya,
dan juga memiliki tanggung jawab satu sama lainnya.

setiap orang begitu penting, setiap orang perlu berbagi


dengan lainnya
ang
menerima atau memiliki tanggungjawab sosial yang aktif
untuk turut serta dalam urusan kemasyarakatan.

tanggung jawab untuk mengatasi hambatan- hambatan yang


membatasi tumbuh-kembang seseorang tersebut.

Dari dasar asumsi tersebut dapat diturunkan secara lebih rinci lagi
menjadi beberapa asumsi yang melandasi praktik pekerjaan sosial
mikro, yaitu;
1. Asumsi nilai terhadap martabat dan kapasitas individu
idu dalam posisi
yang unggul/ utama

kemampuan untuk mengendalikan tindakannya, dan


berpotensi untuk meraih tujuan dan kemajuannya.

memperkuat –kapasitas, potensi martabat, serta sumber-


sumber-- manusia
2. Nilai keunikan

pendekatan penerimaan pekerjaan sosial dan memandang


perbedaan sebagai suatu asset.

keluarga saling menegaskan akan engagement (perjanjian


keikutsertaan untuk terlibat), dimana tenaga pekerja sosial
dan klien akan saling berkomunikasi untuk membangun
hubungan yang bermakna, dan proses pekerjaan sosial
diterapkan.
26
casework)
individualitas menempati posisi yang utama; berbeda dengan
keseragaman.
3. Postulat nilai penentuan nasib sendiri (self-determination)
aan sosial konsep nilai
tersebut secara jelas mengakui bahwa klien adalah manusia
yang berdiri ‗sendiri‘. Apakah akan diterima atau tidaknya
suatu pelayanan (dalam batas tertentu) merupakan keputusan
klien.
Self-determination berarti bahwa klien akan memutuskan
apakah ya atau tidak mengikuti proses bimbingan sosial
perorangan (casework)

bersikap netral, tetapi dapat membagi pemikiran (gagasan),


perasaan, pengalaman, sepanjang dilakukan secara menarik,
penuh perhatian, simpati dan empati.
self – determination akan
merusak hubungan dan mengurangi pemecahan masalah
klien dan kapasitasnya. .

3) Sanksi
Sanksi merupakan kewenangan dan penghargaan masyarakat
terhadap kegiatan (setiap ekspresi) pekerjaan sosial dalam
pengaturan struktural, hukum, dan pernyataan kebijakan.
Kewenangan terhadap pelayanan adalah diberikan oleh hukum, atau
seperangkat pembuatan kebijakan dalam aturan dan perundang-
undangan badan-badan sosial yang mencerminkan harapan-harapan
masyarakat yang mendukung pelayanan sosial dijalankan badan-
badan sosial.

4) Pengetahuan

mengenai fakta, konsep, dan prinsip-prinsip praktik; yaitu teori


yang mendasari pekerjaan sosial secara mendasar yang berasal
dari profesi pekerjaan sosial dan dari praktik pekerjaan sosial.

27
disiplin tertentu, diantaranya: psikologi dinamik, psikologi ego,
dan berbagai pengembangan teoritis dalam sosiologi, piskologi
sosial, psikiatri, dan antropologi budaya.
-teori dari psikologi,
sosiologi dan bidang ilmu lainnya, keprofesian
pekerjaan sosial itu sendiri menata, mengatur, menyesuaikan dan
menentukan tekanan mana yang akan digunakan berkait dengan
praktek pekerjaan sosial.

Selain nilai-nilai dasar dan pengetahuan yang mendasar praktik


pekerjaan sosial mikro, dalam bab-bab selanjutnya akan
dikemukakan beberapa teknik dan keterampilan dalam pekerjaan
sosial mikro.

28
BAB 3 : ASSESSMENT BERBASIS YANG PADA KEKUATAN

A. PENDAHULUAN

Dalam praktek pekerjaan sosial terdapat sebuah paradigma


sederhana mengenai proses pemecahan masalah yang dalam profesi
pekerjaan sosial dikenal dengan pola : assessment € intervention €
termination and evaluation. Dalam proses tersebut seringkali proses
assessment dipahami sebagai tahapan yang secara prosedural harus
dilalui saja. Padahal assessment merupakan tahap yang penting
(mungkin terpenting) dalam proses pekerjaan sosial.
Asesmen merupakan proses kritis dalam praktik pekerjaan
sosial. Penentuan tujuan dan intervensi amat tergantung pada
asesmen. Sehingga proses ini merupakan proses penting bahkan
krusial dalam praktek pekerjaan sosial, sebab assessment yang tidak
tepat atau tidak lengkap mungkin akan berakibat pada penetapan
tujuan yang tidak tepat dan penetapan intervensi yang tidak tepat.
Karena assessment yang dibuat tidak tepat atau tidak lengkap,
perubahan positif yang diharapkan dari klien nampaknya tidak akan
terjadi.
Hepworth and Larsen (1986) mengemukakan asesmen
sebagai berikut:
Asesmen adalah proses pengumpulan, penganalisaan dan
mensistesakan data kedalam suatu formulasi yang
menekankan dimensi vital sebagai berikut: (1) sifat
permasalahan klien, termasuk perhatian khusus terhadap
peran-peran yang klien dan hal penting lainnya yang sulit
dijalankan; (2) keberfungsian klien (kekuatan, keterbatasan,
aset pribadi dan kekurangan) serta hal penting lainnya; (3)
motivasi klien untuk mengatasi masalah; (4) relevansi faktor
lingkungan yang turut mendukung timbulnya masalah; dan
(5) sumber-sumber yang tersedian atau dibutuhkan untuk
mengurangi/ menghilangkan kesulitan klien. (p.165)

Asesmen terkadang menunjukkan sebagai suatu psychosocial


29
diagnosis (Hollis, 1972). Namun istilah diagnosis terlalu fokus pada
apa kesalahan-kesalahan klien, keluarga, atau kelompok yang
didiagnosis—seperti dianggap mengidap penyakit, mengalami
masalah disfungsional dan mental. Karena diagnosis cenderung
memiliki konotasi negatif, banyak para pendidik pekerjaan sosial,
termasuk saya, lebih suka menggunakan istilah assessment. Asesmen
tidak hanya mempertanyakan apa persoalan klien tetapi juga sumber-
sumber, kekuatan-kekuatan, motivasi, komponen fungsional, dan
faktor positif lainnya yang dapat digunakan dalam mengatasi
kesulitan, meningkatkan keberfungsian, dan mendukung
pertumbuhan. Dalam kenyataannya, asesmen memiliki arti yang
lebih luas bagi pengembangan rencana intervensi.
Sifat dari tugas-tugas assessment amat beragam sesuai
dengan tipe seting dimana pekerjaan sosial berpraktik, meskipun
seting berbeda tetapi proses yang digunakannya tetap serupa.
Seorang pekerja sosial yang bekerja pada sebuah rumah perawatan
(nursing home) yang melakukan asesmen pada klien potensial akan
sangat berbeda jika dibandingkan dengan pekerja sosial dalam seting
pelayanan perlindungan yang melakukan asesmen pemeliharaan
anak-anak korban kekerasan.
Dalam sejumlah seting (seperti halnya dalam lembaga
pelayanan perlindungan), pekerja sosial melakukan suatu asesmen
independent. Dengan kebebasan ber-assessment, para pekerja sosial
akan berkonsultasi dengan kolega atau profesional disiplin lainnya
berkaitan dengan kasus tersebut. Dalam seting lainnya (misalkan,
klinik kesehatan mental, sekolah, dan rumah sakit), pekerja sosial
mungkin bertindak sebagai anggota team klinis yang melakukan
asesmen. Anggota tim lainnya mungkin terdiri dari psikolog,
psikiater, dan mungkin profesional dari disiplin lainnya. Bersama tim
klinis ini, setiap anggota mempunyai peranan yang saling
melengkapi dalam proses asesmen, berdasarkan pada masing-
masing keahlian profesionalnya. Seorang psikolog, misalnya, akan
memfokuskan pada keberfungsian psikologis dan mungkin akan
melakukan serangkaian pengujian-pengujian (test) psikologis
(termasuk test kepribadian dan kecerdasan). Seorang pekerja sosial
akan mengkompilasi suatu sejarah sosial yang mengkaji latar
30
belakang keluarga, dinamika pernikahan, faktor lingkungan, serta
latar belakang pekerjaan dan pendidikan. Dalam suatu seting dimana
pekerja sosial sebagai asesor utama, maka asesmen umumnya dapat
dipenuhi dalam satu, dua atau tiga sesi. Dengan pendekatan suatu tim
klinis, kasus biasanya lebih pelik lagi, dan asesmen dengan berbagai
profesional mungkin memakan waktu sedikitnya seminggu.
Asesmen terkadang merupakan suatu hasil (product) atau
terkadang merupakan proses berjalan (an ongoing process). Sebagai
suatu produk/hasil, aseemen merupakan suatu formulasi berdasarkan
waktu berkenaan dengan sifat kesulitan dan sumber-sumber potensial
klien. Sebagai ilustrasinya adalah hasil dari status asesmen mental
pada rumah sakit jiwa. Misalkan pertama-tama asesmen terfokus
pada penentuan apakah klien sehat jiwa atau psikotik. Jika klien
dinilai psikotik, seorang psikiater memberinya label dan
merekomendasikan suatu pendekatan pengobatan tertentu. Bahkan
saat suatu assessment merupakan suatu produk, assessment biasanya
akan selalu diperbarui dan direvisi perbulan atau terkadang tiap
tahun. Esensinya, assessment adalah suatu hipotesa kerja (proposisi)
mengenai kesulitan- kesulitan dan sumber-sumber klien berdasarkan
pada data terkini. Seiring dengan waktu, klien akan berubah dan
selanjutnya faktor-faktor lingkungan sosial
mempengaruhinya. Berdasarkan perubahan tersebut, assessment
harus diperbarui dan direvisi secara periodik.
Assessment juga dapat dilihat sebagai proses yang berjalan
dari sejak mulai wawancara hingga fase terminasi kasus. Lama
waktu yang dibutuhkan untuk menerima klien mungkin seminggu,
sebulan, atau setahun. Selama waktu tersebut, profesional bekerja
dengan kasus yang secara terus- menerus menerima dan
menganalisis informasi baru yang secara gradual muncul. Dalam
tahap awal kontak dengan klien, fokus utamanya adalah
mengumpulkan informasi untuk menilai (to assess) masalah dan
sumber-sumber klien. Pada suatu tentatif waktu tertentu, fase
pemecahan (problem solving) memiliki penekanan yang lebih besar--
-sebagai strategi penyelesaian yang dianjurkan, dianalisis,
dan,kemudian satu atau lebih strategi yang terpilih dan
diimplementasikan. Namun apabila dalam fase pemecahan masalah,
informasi baru berkaitan dengan kesulitan dan sumber-sumber klien
31
yang sesuai muncul, maka perlu dilakukan revisi terhadap
assessment. Dalam kenyataannya, seiring kontak antara profesional
dan klien yang terus berjalan, klien mungkin membuka tambahan
permasalahan yang perlu dinilai dan diperbaiki. Biasanya dalam
kontak awal umumnya klien akan menahan informasi penting karena
takut atau khawatir menerima kritikan dari profesional. Misalkan
sorang tua yang melakukan kekerasan anak di awal nampaknya akan
menyangkal kejadian tindak kekerasan tersebut. Seiring berjalannya
waktu, jika orang tua mulai percaya kepada pekerja sosial, orang tua
tersebut mungkin akan membuka diri bahwa terkadang ia lepas
kendali dan kemudian memukul anaknya. Sesuai informasi yang baru
tersedia, assessment di awal perlu direvisi.
Hepworth dan Larsen (1986) mencatat bahwa asesmen terus
dilakukan bahkan hingga fase terminasi.
Proses asesmen berlanjut hingga fase akhir pelayanan.
Selama akhir wawancara, praktisi secara hati-hati
mengevaluasi kesiapan klien untuk mengakhiri pelayanan,
menilai kesulitan-kesulitan yang mash tersisa yang di masa
depan mungkin menyebabkan kesulitan, serta
mengidentifiasi reaksi emosional yang mungkin muncul
terhadap terminasi pelayanan. Praktisi juga
mempertimbangkan kemungkinan strategi untuk membantu
klien mempertahankan kemajuan fungsional atau
mengupayakan tambahan perbaikan setelah pelayanan resmi
pekerjaan sosial diakhiri.

B. PERSPEKTIF PADA KEKUATAN (STRENGTHS


PERSPECTIVE)

Selama beberapa dekade terakhir, pekerjaan sosial dan profesi


pertolongan lainnya telah memusatkan fokus utamanya pada
pendiagnosaan pathology, shortcomings, dan dysfunctions klien.
Salah satu alasannya mungkin bahwa psikologi Freud digunakan
sebagai teori utama dalam menganalisis perilaku manusia. Psikologi
Freud didasarkan pada model medis dan dengan demikian memiliki
32
konsep yang berupaya mengidentifikasi kesakitan atau pathology.
Sebagaimana diuraikan dalam tulisan sebelumnya, pekerjaan sosial
saat ini telah beralih pada model sistem dalam menilai perilaku
manusia. Model tersebut memfokuskan diri pada pengidentifikasian
baik kekuatan maupun kelemahan.
Hal terpenting bahwa para pekerja sosial memasukan
kekuatan atau kelebihan klien dalam proses asesmen. Dalam bekerja
bersama dengan klien, para pekerja sosial fokus pada kekuatan dan
sumber-sumber klien guna membantu mereka mengatasi
permasalahannya sendiri. Untuk memanfaatkan kekuatan atau
kelebihan klien secara efektif, para pekerja sosial pertama-tama harus
mengidentifikasi kekuatan- kekuatan tersebut.
Sayangnya, Maluccio (1979) menemukan bahwa banyak
para pekerja sosial fokus perhatiannya terlalu banyak pada
kelemahan-kelemahan klien dan memandang rendah atau buta
dengan kekuatan-kekuatannya. Maluccio menyimpulkan bahwa
terdapat suatu tuntutan untuk mengubah fokus perhatian pendidikan
dan praktik pekerjaan sosial dari masalah atau patologi beralih
kepada kekuatan, sumber-sumber, dan potensi-potensi
dalam kehidupan manusia dan lingkungannya.
Terlalu focus pada kelemahan dapat memperburuk kapasitas
seorang pekerja sosial untuk mengetahui potensi pertumbuhan klien.
Para pekerja sosial berkeyakinan kuat bahwa klien memiliki hak (dan
sebaiknya digali) untuk mengembangkan potensialitas dirinya secara
penuh. Memfokuskan pada penyakit (pathology) selalu melemahkan
nilai tanggung jawab tersebut.
Alasan lainnya adalah untuk memelihara kekuatan- kekuatan
(kelebihan-kelebihan) klien yaitu bahwa banyak klien perlu dibantu
meningkatkan harga dirinya. Banyak yang merasa tak berdaya,
merasa tidak adil, merasa bersalah, dan tidak memiliki kepercayaan
serta harga diri. Glasser (1972) mencatat bahwa harga diri yang
rendah seringkali mengarah atau menimbulkan kesulitan emosional,
mudah menyerah, atau bertindak kriminal. Bantulah klien untuk
memandang dirinya lebih positif, pekerja sosial pertama-tama harus
memandang kliennya sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya.
33
Berwick (1980) menilai rendah poin ini dalam bekerja bersama orang
tua yang mengabaikan anak- anak yang sulit berkembang:
Harga-diri yang menyurut rendah di orang tua anak- anak
tersebut, dan keberhasilan rumah sakit memelihara seorang
anak saat si ibu gagal yang hanya meratapi
penderitaan….Bahkan dalam beberapa kasus yang
membutuhkan layanan perawatan, tugas perawatan
kesehatan berupaya mencari kekuatan dan mengembangkan
pemikiran kompetensi baik orang tua dan anak yang akan
memungkinkan hubungan pemeliharaan yang sinkron terus
tumbuh.

Perspektif kekuatan sangat erat kaitannya dengan


pemberdayaan (empowerment). Empowerment sebagaimana
didefinisikan oleh Barker (1995) sebagai ―the process of helping
individuals, families, groups, and communities to increase their
personal, interpersonal, socioeconomic, and political strength and
to develop influence toward improving their circumstances‖ (p.20).
Perspektif ini berupaya mengidentifikasi, memanfaatkan,
membangun, dan memperkuat kekuatan dan kemampuan yang
mereka punya. Hal tersebut berlawanan dengan perspektif patologis,
yang cenderung fokus pada kelemahan dan ketidakmampuan
mereka. Perspektif kekuatan berguna untuk melihat lingkaran
kehidupan dan melintasi seluruh tahap proses pertolongan—
assessment, intervention, and evaluation. Fokus tersebut menekan
pada kemampuan orang, nilai-nilai, minat, keyakinan, sumber-
sumber, prestasi dan aspirasi seseorang (Weick, Rapp, Sulivan, &
Kisthardt, 1989)
Menurut Saleebey (1997, pp. 12-15), terdapat lima prinsip
yang mengarahkan asumsi perspektif kekuatan tersebut:
Pertama. Setiap individu, kelompok, keluarga dan
masyarakat memiliki kekuatan. Perspektif kekuatan melihat sumber-
sumber tersebut. Saleebey mencatat bahwa di tahap akhir, klien ingin
34
mengetahui bahwa anda benar-benar membantu mereka, bahwa
bagaimana melihat diri anda berbeda, bahwa anda akan
mendengarkan mereka, bahwa anda akan menghargai diri mereka
tidak perduli latar belakang mereka, dan bahwa anda yakin bahwa
mereka dapat membangun sesuatu yang bernilai dengan sumber-
sumber yang ada dalam diri dan di sekitar mereka. Tetapi yang
terpenting, klien ingin mengetahui bahwa anda yakin bahwa mereka
dapat mengatasi kemalangan dan mulai menapaki ke arah perubahan
dan pertumbuhan (p.12)
Kedua. Trauma, siksaan, sakit, dan perjuangan dapat
membuat luka, tetapi hal tersebut dapat dijadikan sumber tantangan
dan kesempatan/peluang. Klien yang telah menjadi korban
dipandang sebagai individu aktif dan berkembang, melalui trauma,
mereka belajar keterampilan dan atribut pengembangan diri yang
membantu mereka menghadapi persoalan yang sama di masa
mendatang. Kehormatan akan ditemui ketika mampu mengatasi
hambatan-hambatan. Kita akan cepat tumbuh berkembang apabila
kita mampu melewati krisis dan mampu mengatasi situasi secara
efektif di setiap periode kehidupan.
Ketiga. Diasumsikan bahwa anda sama sekali tidak
mengetahui batas atas dari kapasitas untuk terus tumbuh dan
berubah, dan melakukan aspirasi individu, kelompok dan masyarakat
secara serius. Prinsip ini berarti bahwa pekerja social harus
memegang harapan yang tinggi terhadap klien dan mengikatnya
dengan visi, impian, dan nilai-nilainya. Individu, keluarga, dan
masyarakat memeiliki kapasitas untuk memantulkan dan
memulihkan persoalan. Ketika pekerja sosial menghubungkannya
dengan harapan dan impian klien, klien secara tepat memiliki
keyakinan yang lebih besar. Sehingga seterusnya mereka mampu
menempatkan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memenuhi
harapan dan impian mereka sendiri.
Keempat. Kita lakukan pelayanan terbaik kepada klien
dengan berkolaborasi dengannya, yang lebih besar akan dirinya
sendiri. Seorang pekerja sosial akan lebih efektif jika dilihat oleh
klien sebagai kolaborator atau konsultan daripada sebagai seorang
ahli atau seorang professional. Sikap mental kolaboratif oleh seorang
pekerja sosial membuat dia lebih rentan dengan beragam akibat

35
kelemahan dari hubungan expert-inferior, termasuk pemolaan,
victim-blaming, dan pesolek pandangan klien.
Kelima. Setiap lingkungan penuh dengan sumber- sumber.
Dalam setiap lingkungan (tidak perduli seberapa kerasnya) terdapat
individu-individu, kelompok-kelompok, asosiasi, dan institusi
dengan sesuatu untuk pemberian, dan dengan sesuatu kebutuhan
lainnya mungkin menyedihkan. Perspektif kekuatan berupaya
mengidentifikasi sumber- sumber tersebut dan membuat mereka
keberadaannya bermanfaat bagi individu, keluarga, dan kelompok-
kelompok dalam masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut begitu esensial penerapannya,
khususnya berkaitan dengan proses awal pertolongan pekerjaan
sosial, yaitu assessment. Hasil dari assessment ini akan ditentukan
bersama (antara pekerja sosial dan klien) mengenai rencana kegiatan
(plan of treatment) yang sekiranya tepat sesuai dengan sumber—
sumber dan potensi yang dimiliki klien dan yang ada di sekitar klien.
Namun, sebelum berlanjut perlu pula untuk melihat suatu kerangka
assessment, yang telah ada dan berkembang baik yaitu asesmen
dengan kerangka bio-psiko-sosio-spiritual‘; yang mencoba untuk
secara menyeluruh melihat beragam dimensi dalam asesmen.

Kerangka Bio-Psiko-Sosio-Spiritual
Langkah pertama untuk melakukan asesmen yang bermakna
adalah dengan memperluas cara pandangnya. Kebanyakan orang
melihat diri mereka sebagai gabungan dari berbagai kualitas yang
kompleks, dengan berbagai dimensi, yang sebagian diketahui orang
lain, sebagian lagi tidak diketahui. Semua manusia dipengaruhi oleh
dan berdiri paling sedikit dalam 4 dimensi utama, biologis,
psikologis, sosial dan spiritual. Kebanyakan teori-teori praktik,
bahkan dalam pekerjaan sosial, menekankan pada dua dimensi
pertama, dan praktik asesmen tradisional, terutama DSM, sedikit atau
bahkan tidak menghiraukan dua dimensi terakhir. Yang menarik
adalah bahwa dalam dimensi sosial dan spiritual tersebutlah
substansi dari kehidupan individu itu ditampilkan. Yaitu dimana
makna dikonstruksi dan hubungan dikembangkan. Terutama dimensi
36
sosiallah dimana individual dapat berinteraksi dengan
lingkungannya, dan menemukan lingkungan tersebut sebagai sumber
yang berlimpah atau meningkatkan perkembangan atau penuh
tekanan dan melemahkan.

Kapan seorang klien menjadi bukan seorang klien?

Akan membantu untuk memahami bahwa tidak setiap orang


menyebut klien adalah seorang klien. Sebagai contoh, saya bertaruh
bahwa tidak ada itu kasus klien yang tidak kooperatif atau klien yang
mendapatkan mandat, dan dengan anggapan tersebut menyarankan
bahwa ada pemikiran delusional di sisi praktisi dan menjamin
munculnya perilaku ―tidak kooperatif‖ (de Shazer, 1985; Walter &
Peller, 1992). Hal tersebut lebih masuk akal lagi ketika seseorang
memahami bahwa banyak individu yang dilihat oleh seorang pekerja
sosial bukan sebagai klien, tapi sesuatu atau seseorang lain. Ada 5
tipe individu yang dipandang pekerja sosial sebagai klien: pengeluh,
pengunjung, sasaran, pasien dan klien (de Shazer, 1985; Pincus &
Minahan, 1973).
Pengeluh adalah orang dengan sebuah keluhan, dan mereka ingin
sesuatu atau lebih umum, seseorang untuk berubah. Terapi
perkawinan dan keluarga seringkali menemukan mereka memiliki
satu atau lebih keluhan, individu yang ingin pasangan atau anak
mereka berubah.
Pengunjung adalah orang yang pada intinya sedang melewati;
mereka tidak mengeluh maupun tertarik pada sesuatu. Pekerja sosial
sekolah melihat banyak anak yang paling tidak, diawalnya adalah
sebagai pengunjung.
Sasaran adalah orang-orang yang diinginkan berubah oleh orang
lain. Banyak anak-anak yang diterapi adalah sasaran, begitu juga
dengan banyak pasangan, dan klien yang disebut tidak kooperatif,
menolak dan dimandatkan.

37
Pasien adalah penerima perawatan medis. Pekerja sosial tidak
memberikan pelayanan medis, dan menyebut klien sebagai pasien
menciptakan ruang epistemologi dan prasangka yang tidak sesuai
dengan etika.
Klien didefinisikan oleh dua kriteria yang sangat penting: a) mereka
mempunyai keluhan, dan b) mereka masuk ke dalam kontrak dengan
pekerja sosial untuk melakukan sesuatu dengan keluhan mereka.
Memahami siapa yang ditemui mengubah keseluruhan pengalaman
dan hasil dari proses asesmen. Sebagai contoh, memahami seseorang
sebagai sebuah sasaran secara lengkap akan mengubah makna
interaksi yang dikonstruksikan secara sosial, dan ekspektasi yang
dimiliki seseorang atas interaksi tersebut. ―melawan‖ atau kurang
kooperatif dipandang sebagai cara sasaran untuk mengajarkan
pemberi pelayanan bagaimana bekerja dengan sasaran tersebut
(O‘Hanlon & Wilk, 1987).

Identitas, Atribut Dan Perilaku: Atau Menjadi, Memiliki Dan Melakukan


Perspektif berdasarkan kekuatan tidak menghiraukan atau
meminimalisasi diagnosa atau keterampilan- keterampilan diagnosa,
tapi menekankan bahwa mereka harus dipandang kontekstual dan
sebagai bagian dari proses yang lebih besar. ―Setelah melakukan
asesmen, dampaknya pekerja sosial perlu meyakinkan bahwa
diagnosis tidak menjadi sudut identitas diri‖ (Saleebey, 1996, hal.
303). Sehingga, pertimbangan penting lainnya dalam proses asesmen
adalah memahami perbedaan antara identitas, atribut, dan perilaku.
Sebagai contoh, pertimbangkan bagaimana ketiga pernyataan berikut
memiliki dampak kepada persepsi diri klien dan persepsi pekerja
sosial terhadap mereka: ―dia adalah rata- rata‖. ―dia memiliki
disorder kepribadian borderline‖. Dan ―kadang-kadang dia sangat
baik, kadang-kadang dia sangat kritis‖. Atau contoh lainnya: ―Saya
seorang alkoholik‖, ―saya memiliki penyakit yang disebut
alkoholisme‖, dan ―Kebiasaan minum saya menciptakan masalah

38
dalam kehidupan saya‖. Di setiap contoh, ketiga pernyataan berasal
dari asumsi epistemologi dan ontologi yang berbeda, dan dampaknya
terhadap persepsi sedikit tapi sangat besar signifikansinya, dan
sangat beragam dengan individu yang terkena. Mendeklarasikan
seseorang sebagai seorang alkoholik adalah perubahan yang sangat
kritis untuk sebagian orang, sementara menyebutkan seseorang itu
rata-rata mungkin akan mendapatkan reaksi diskriminasi dari
pemberi pelayanan, dan juga berbahaya bagi perasaan diri indvidu
tersebut.
Pekerja sosial harus memahami bagaimana perbedaan ini
mempengaruhi cara mereka melihat dan berhubungan dengan orang-
orang yang memerlukan pelayanan, dan bagaimana klien-klien
tersebut melihat dirinya sendiri dalam dunia ini. Label memiliki
kekuatan tidak saja menjelaskan, namun juga mempenjarakan dan
mempersempit serta memperberat klien dengan cara mengurangi
fakta-fakta berarti dari kehidupan mereka menjadi fakta tidak
penting.

Tabel 4. Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual


Biological Basic need—food, clothing,
shelter Comprehensive health
Physical attributes and abilities
Physical environment
Psychological Individual history
Personality style and makeup
Intelligence and mental
abilities Self-concept and
identity

39
Lanjutan:Tabel 4 Dimensi Asesmen Bio-Psycho-Socio-Spiritual

Sociocultural Family (through biology, choice,


or circumstance)
Community
Ethnicity
Social environment
Political environment
Economic environment

Spiritual Sense of self, in relation to the


world Sense of meaning and
purpose Value base
Religious life
Sumber: Graybeal, 2001

Graybeal (2001;p237-238) mengusulkan penggunaan Model


ROPES (resources, options, possibilities, exceptions, solutions)
dalam melakukan asesmen yang berbasis pada kekuatan. Model ini
digunakan sebagai alat praktis untuk mengidentifikasi dan
memanfaatkan sumber-sumber dan kekuatan-kekuatan personal dan
lingkungan. Kerangka model tersebut digunakan untuk memandu
baik perspektif secara umum maupun pertanyaan khusus bagi para
praktisi. Yaitu ketika para praktisi mengalami kebuntuan, kurang
inspirasi, atau tidak mampu menentukan pemanfaatan kekuatan.
Maka ROPES, dapat dipahami sebagai alat mnemonic yang dapat
memberi arah panduan bertindak.

40
Tabel 5 Indentifikasi Kekuatan: Menggunakan ROPES
Resources Pribadi (personal)
Keluarga (family)
Lingkungan sosial (social environment)
Keorganisasian (organizational)
Komunitas (community)
Options Fokus saat ini (present focus)
Penentuan pilihan (Emphasis on choice)
Apa yang dapat diakses saat ini? (what can be
accessed now?)
Apa yang tersedia dan belum dicoba atau digunakan?
(what is available and hasn‘t been or tried or utilized?)
Possibilities Fokus masa depan(future fokus)
Imaginasi (imagination)
Kreativitas (creativity)
Visi masa depan (Vision of the future)
Lakukan (play)
Apa yang anda berfikir dicobakan tapi belum
dilakukan
Exceptions Saat masalahnya tidak juga terjadi?
Saat permasalahan berbeda?
Saat bagian dari hipotesis di masa depan terjadi?
Bagaimana anda selamat, bertahan, dan terus
berjuang?
Solutions Fokus pada konstruksi solusi bukan pada pemecahan
masalah
Apanya yang dapat berjalan?
Apa keberhasilan anda?
Apa yang anda lakukan ketika anda ingin terus
melanjutkan ?
Mukjizat apa yang terjadi?
Apa yang akan anda lakukan sekarang untuk
membuat potongan mukjizat tersebut?
Sumber: Graybeal, 2001

41
Tantangannya bagi para pekerja sosial adalah bagaimana memasukan
perspektif kekuatan tersebut, bahkan dalam sebuah setting dimana
hanya terdapat sedikit relevansi pemahaman, pengakuan, atau
penerimaan. Pada sisi inilah nilai-nilai dasar dan etika pekerjaan
sosial seharusnya melandasi pilihan bertindak, karena hati,
pemikiran, gagasan dan perilaku tindakan tersebut dapat memperkuat
dan mempertahankan paradigma berfikir tersebut. Oleh karena itu
diperlukan upaya advokasi agar mempercepat perubahan paradgima
tersebut baik dalam level kebijakan maupun praktik.
Menghadapi form isian asesmen yang tradisional, adalah
memungkinkan untuk menggeser cara penulisannya, melalui
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada klien, dan memberi
ruang khusus pada respon-respon pengecualian, harapan, dan
kemungkinannya. Dalam bagian berikut Graybeal (2001) juga
memperlihatkan contoh bagaimana pergeseran yang dapat dilakukan
dari asesmen tradisional kemudian bergeser pada asesmen berbasis
pada kekuatan dengan menambahkan informasi tambahan.
Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari Perspektif Kekuatan

Jenis Area
Informasi tradisional Informasi tambahan
Informasi
Keberadaan Gambaran detail Menekankan pada
masalah permasalahan bahasanya klien
Daftar simpton Pengecualian
Status msental permasalahan
Strategi koping Eksplorasi sumber
Menekankan pada
solusinya klien
Pertanyaan mukjizat

42
Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari
Perspektif Kekuatan
Jenis Area Informasi
Informasi tambahan
Informasi tradisional
Sejarah masalah Onset and duration Exceptions: When was
Course of the probem not
development happening,
Interactional orhappening
sequences differently?
Previous teratment Include ―future history‖
history ---vision of when
problem is solved
Sejarah pribadi Developmental Physical, psychological,
miletones social, spiritual,
Medical history enviromental assets.
Pshysical, emotional, ―how did you do that?‖
sexual abuse ―how have you
Diet, exercise managed to overcome
your adversities?‖
―what have you learned
that you would want
others to know?‖
Substance Abuse Patterns of use: ―How does using help?‖
History onset, frequency, Periods of using less
quantity (difference)
Drugs/habits of Periodes of abstinence
choice: alcohol, (exceptions)
drugs, caffeine, Persosn and family
nicotine, gambling rituals---what has
Consequences: endured despite
physical, social, use/abuse?
psychological
Sumber: Graybeal, 2001

43
Lanjutan: Tabel 6 Informasi Asesmen Tambahan dari
Perspektif Kekuatan
Jenis Area Informasi
Informasi tambahan
Informasi tradisional
Sejaran keluarga Age and health of Family rituals
parents, siblings (mealtimes/holidays)
Descriptions of Role models---nuclear
relationships and extended
Cultural and ethic Strategies for enduring
influences Important family stories
History of illness,
mental illness
Pekerjaan dan Educational history List of skill and interests
Pendidikan Employment history Homemaking, parenting
Achievements, skills
patterns, and Community involment
problems Spiritual and ritual
involment

Ringkasan dan Summary and Expanded narrative-


rekomendasi prioritization of reduce focus on
treatment Concern diagnosis and problems
Diagonis: DSM-IV, Summary of resources,
PIE options, possibilities,
Recomended exceptions, and
treatment strategies solutions.
Recommendations to
other professionals for
how to utilize strengths
in work with client
Sumber: Graybeal, 2001

44
Penting untuk memahami bahwa seorang klien mungkin
berpartisipasi dalam proses asesmen pada salah satu hari terburuk
yang pernah dialaminya. Dia mungkin sedang mengalami
kehilangan, trauma, keterasingan, kemiskinan, kekerasan,
kekurangan gizi dan psikosis. Dia mungkin tidak pernah perlu
meminta pertolongan sebelumnya, dan merasa malu, bersalah,
dan/atau tidak kompeten. Pertanyaan- pertanyaan yang diberikan
oleh pekerja sosial adalah kritikal. Pertanyaan yang diajukan
mungkin dapat memperburuk keadaan, atau dapat membimbing klien
untuk mengenali dan mengakui perasaan mereka dan harga diri serta
kemungkinan yang ada. Dan penemuan yang paling penting bagi
pekerja sosial ialah bahwa pertanyaan yang diajukan tidak
menghiraukan masalah atau patologi, namun menempatkan
kekhawatiran dalam konteks kepercayaan bahwa klien juga
memegang petunjuk-petunjuk dan kreatifitas yang dapat mengarah
pada penyelesaian masalah. Belajar mengajukan pertanyaan yang
dapat membuka kemungkinan aalah sebuah bentuk seni yang berada
dalam tataran praktik. Untungnya, sekarang banyak berkembangan
sumber-sumber untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, (Tomm, 1987;
Cowger, 1994; DeJong & Miller, 1995; DeJong & Berg, 1998). Para
pekerja sosial didukung untuk mendedikasikan paling tidak waktu
yang sama untuk mempelajari keterampilan ini seperti mempelajari
keterampilan diagnostic berdasar pada patologi.
Struktur terkini dari format asesmen tradisional seringkali
dibuat berdasarkan pada permintaan peraturan pemerintah dan
praktik-praktik penagihan asuransi. Ini juga dipengaruhi oleh
hegemoni yang luar biasa dari model medis dalam praktik kesehatan
mental, dengan penekanan pada masalah-masalah, patologi dan
diagnosis. Namun begitu, pengalaman menyebutkan bahwa tidak saja
mungkin menggunakan format tradisional dalam cara yang berbeda,
tapi juga memulai perubahan di tingkat institusi. Saya memiliki
beberapa siswa dan kolega yang telah menulis ulang format asesmen
lembaga dan menggunakannya secara efektif untuk mempengaruhi
praktik ke arah yang lebih mengakomodasi perspektif kekuatan.
45
C. SUMBER-SUMBER INFORMASI

Data yang dimanfaatkan dalam membuat asesmen berasal dari


berbagai sumber. Berikut sumber-sumber informasi utama berkaitan
dengan assessment.

1) Catatan Pembicaraan Klien


Sebuah catatan verbal klien adalah selalu menjadi sumber utama dan
dalam sejumlah kasus menjadi satu-satunya data. (Misalkan, pekerja
sosial yang bekerja dalam seting khusus terkadang memenuhi
informasinya hanya dari klien). Berbagai informasi mungkin dapat
diperoleh dengan cara ini: deskripsi masalah, perasaannya terhadap
masalah, pandangannya mengenai sumber-sumber kepribadiannya
untuk menghadapi masalah, motivasi untuk mengatasi masalah,
sejarah masalah, pandangan penyebab masalah, gambaran mengenai
upaya apa yang telah dilakukan dalam mengatasi masalah, dst.
Meski klien umumnya telah secara akurat menjelaskan
kesulitan-kesulitann dan sumber-sumber, pekerja sosial seharusnya
menyadari bahwa laporan verbal terkadang terdirstorsi oleh rasa
keraguan, bias, persepsi yang mendirstorsi, perasaan emosional yang
kuat. Contoh, seorang istri yang ditinggal suaminya yang menikah
dengan orang lain mungkin memiliki reaksi emosional yang amat
kuat sehingga dia mungkin tidak objektif terhadap peran yang dia
mainkan dalam memutuskan pernikahannya. Dalam sejumlah seting
tertentu klien berupaya untuk menyembunyikan, atau bahkan
mengubah informasi. Orang tua yang abusif, misalkan, mungkin
akan menyangkal bahwa mereka telah melakukan penganiayaan
terhadap anak-anaknya. Alkoholik, mungkin karena sifat dari proses
adiktifnya, akan menyangkal bahwa ia memiliki masalah dengan
minuman keras. Klien tindak pidana mungkin akan menyangkal atau
menyembunyikan aktifitas kriminalnya.
Laporan verbal klien sebaiknya dihargai dengan valid hingga
diperoleh informasi tambahan lainnya. Dalam sejumlah setting,
seperti dalam pelayanan protektif, selalu diperlukan verifikasi
46
terhadap penyangkalan klie terhadap permasalahan yang dihadapi
dengan mencek sumber-sumber lainnya seperti tetangga, kerabat, dan
pihak sekolah.

2) Lembar Isian Asesmen

Banyak badan pelayanan sosial, sebelum atau sesudah wawancara


pertama, meminta klien untuk melengkapi form (lembar isian)
tertentu yang memuat informasi mengenai nama, alamat, nomor
telepon, pekerjaan, riwayat pendidikan, status pernikahan, gambaran
masalah, nama anggota keluarga, dan seterusnya. Informasi-
informasi tersebut sangat efisien jika klien mengisi form tersebut.
Beberapa laporan pribadi (self-report) juga digunakan dalam
proses asesmen. Sejumlah klien, khususnya remaja, mungkin akan
lebih nyaman dan lebih percaya diri jika mereka dapat menjawab
pertanyaan pada suatu form, sementara untuk memastikannya para
profesional dari badan pelayanan akan membantu melihat
jawabannya. Misalkan dari dua jenis instrumen pertanyaan dengan
cara mengulang pertanyaan secara berbeda sehingga penguji
mengetahui reliabilitas pertanyaan tersebut, yaitu terdapat kesamaan
jawaban dari pertanyaan dengan cara yang sama. Instrumens tersebut
juga mesti valid.
Jika seorang pekerja sosial memilih untuk memanfaatkan
instrumen laporan pribadi, dia harus mengetahui isntrumen tersebut
dan cara penggunaannya. Penelitian terhadap reabilitas dan validitas
sebaiknya dilakukan secara hati-hati dalam rangka mengevaluasi
nilainya. Juga pekerja sosial harus menggunakan akal sehatnya
dalam menginterpretasi hasilnya. Demikian pula bagian lain dari dari
proses assessmen, suatu hasil test baru merupakan permulaan, bukan
akhir dari proses.

3) Daftar Isian Assessment Berbasis-Komputer

Computer juga dapat dimanfaatkan untuk mengukur skala harga-diri,


47
depresi, anxiety, stress klinis, hubungan teman sebaya, homophobia,
keterlibatan obat-obatan dan minuman keras, kepuasan pernikahan,
hubungan saudara, sikap anak- anak terhadap orang tua, sikap
pengasuhan terhadap anak-anaknya, hubungan keluarga, perilaku
anak, dan lain-lain. Semuanya tergantung pada preferensi klien,
semuanya dapat dilengkapi dengan skala manual atau menggunakan
komputer.
Program komputer dapat mengakomodasi berbagai tipe skala
yang berbeda, termasuk single-item, multiple-item, checklist, skala
rating muldimensional, dan lain-lain. Hepworth, Rooney, and Larsen
(1997) mencatat:
Dukungan komputer layak memperoleh perhatian para
pekerja sosial. Respon klien terhadap penggunaan tekonoli
ini cukup baik. Potensi terbesar dari pemanfaatkan alat ini
adalah dorongan dari kemampuan komputer untuk
memproses, menggabungkan, dan mensisntesa data dari
sumber imformasi yang luas. Selain itu juga tujuan komputer
adalah mengurangi kesalahan evaluatif akibat interpretasi
subjektif terhadap data oleh praktisi.

4) Sumber-sumber Kolateral

Informasi terkadang dikumpulkan dari berbagai sumber kolateral:


teman, kerabat, tetangga, dokter pribadi, badan pelayanan sosial lain,
guru, dan lainnya yang mungkin menyediakan informasi yang
relevan. Dalam sejumlah kasus, klien telah menerima pelayanan dari
sejumah badan pelayanan sosial lain. Informasi singkat mengenai
klien tersebut dapat diperoleh dari badan sosial tersebut.
Sejumlah pekerja sosial memandang sumber-sumber
kolateral; sebagai suatu hasil, informasi bernilai potensial yang tidak
terkumpulkan. Sangat jarang, pekerja sosial menyediakan waktu
yang cukup untuk mengumpulkan informasi kolateral. Dalam praktik
pekerjaan social, seorang praktisi perlu berlatih secara hat-hati dalam
memutuskan tentang informasi apa yang dibutuhkan. Dalam banyak
situasi tertentu, hal penting untuk diingat yaitu memperoleh
48
persetujuan verbal klien dan memperoleh tanda tangan klien untuk
memperoleh informasi sebelum melakukan kontak dengan sumber-
sumber kolateral.

5) Hasil Tes Psikologi

Terdapat beragam jenis tes psikologi yang telah dibuat, yang


umumnya dibuat oleh para psikolog. Namun demikian, terdapat pula
beberapa tes yang dikembangkan oleh para pekerja sosial klinis.
Namun begitu sebuah pengecualian adalah tes yang dikembangkan
oleh Hudson (1992) untuk pekerja social klinis.
Namun demikian sebaiknya hati-hati dalam menggunakan
tes psikologi karena sebagian besar alat test tidak didisain untuk
dapat dikelola dan diinterpreasi oleh ara pekerja sosial. Beberapa
pengadministrasian dan penginterpretasian merupakan
tanggungjawab psikolog. Selain itu sebagian besar tes kepribadian
memiliki validitas dan reabilitas yang rendah.

6) Perilaku Non Verbal

Perilaku non verban klien merupakan sumber informasi yang amat


bernilai. Para praktiksi yang berpengalaman, umumnya mereka
memberikan perhatian yang tinggi terhadap hal ini dan mereka akan
lebih kompeten dalam mengidentifikasi dan mengiterpretasi isyarat-
isyarat non verbal. Isyarat-isyarat non verbal tersebut menunjukkan
pemikiran dan perasaan klien secara aktual. Terdapat beragam jenis
isyarat nonverbal: gerak tubuh, postur, pola bernafas, tegangan otot
leher dan muka, rona muka, gerak mata, pakaian yang dikenakan,
tampilan fisik, kontak mata, dan tekanan suara. Isyarat-isyarat tadi
memberikan informasi-informasi mengenai tingkat tegangan (stress),
perasaan yang sedang terjadi, dan apakah klien memberikan
pernyataan dengan benar (jujur).

7) Interaksi klien dengan Orang yang Dikenalnya dan Kunjungan


49
Rumah (home visit)

Pengamatan terhadap seorang klien yang sedang berinteraksi dengan


orang-orang terdekatnya akan memberikan banyak informasi penting
mengenai kehidupannya. Orang-orang yang dikenal dekat dengan
klien tersebut antara lain anggota keluarga, kerabat dekat lainnya,
sahabat, teman, dan tetangga. Cara nampil klien diri di kantor atau di
kampus mungkin sangat berbeda dengan cara dia berinteraksi di
rumahnya. Di kantor atau di kampus mungkin klien bersikap ‗jaim‘
(jaga images). Oleh karena itu dengan ‗home visit’ diharapkan akan
memberikan informasi tidak hanya mengenai bagaimana klien
berinteraksi dengan teman-teman dekatnya, tetapi juga informasi
mengenai faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap klien.
Pekerjaan sosial menekankan pentingnya penilaian terhadap
the person – in – environment. Kunjungan rumah merupakan bagian
integral dari penilaian tentang faktor- faktor lingkungan apa yang
berpengaruh terhadap klien.
Ingat bahwa sebuah setting kantor merupakan arena yang
tidak alami untuk interaksi keluarga. Dalam suatu setting yang tidak
natural, keluarga kurang dapat berinteraksi dengan tepat
sebagaimana yang mereka lakukan di rumah. Sebagai sumber
informasi, kesimpulan yang diambil bisa terjadi kesalahan. Sebagai
contoh, cara sebuah keluarga berinteraksi sementara itu mereka
sedang diamati akan nampak berbeda ketika mereka tidak sedang
diamati.
Selain itu, klien mungkin merasa tidak nyaman jika pekerja
sosial yang lebih berpendidikan dan memiliki status social yang
tinggi. Sebagian besar orang merasa santai di rumah mereka sendiri,
dan sebuah kunjungan rumah (home visits) tersebut membantu klien
untuk merasa lebih dapat diterima dan tidak terlalu tegang.

8) Simpulan Pekerja Sosial melalui Interaksi Langsung

Reaksi-reaksi pekerja sosial terhadap cara klien berinteraksi


dengannya memberikan isyarat kepadanya mengenai bagaimana dia
50
berinteraksi dengan orang lain, karena klien selalu menunjukkan pola
interaksi yang seragam dalam hubungan sosialnya. Cara klien
berinteraksi dengan seorang pekerja sosial dengan demikian
memberikan isyarat terhadap kemungkinan kesulitan dan
keberhasilan dalam berinteraksi dengan lainnya. Dalam beberapa hal
seorang pekerja sosial yang berpengalaman dapat menunjukkan
apakah klien adalah nonassertive, pasif, pemalu, agresif, terbuka,
pasif-agresif, mudah gaul, penyayang, manipulatif, bermotivasi
tinggi, tidak nyaman, dan tergantung. Observasi semacam itu dapat
memberikan informasi yang bernilai mengenai masalah perilaku
klien.
Hati-hati dan batasan menggunakan konklusi personal untuk
menilai sebuah interaksi klien dengan pihak lain. Seorang pencuri
akan berinteraksi dengan cara-cara tertentu karena ia ingin
menyampaikan suatu imej tertentu terhadap polisi. Sejumlah orang
akan berinteraksi dengan pola-pola tertentu ketika berinteraksi
dengan menteri.
Kepribadian pekerja sosial juga turut mengarahkan klien
untuk berinterakasi dengan cara-cara tertentu juga. Sebagai contoh,
jika pekerja sosial tiba-tiba bertindak agresif dan konfontatif, dua
reaksi yang umum terjadi: klien mungkin menjadi pasif dan tunduk
atau bersikap agresif. Dengan demikian, untuk menggunakan
observasi secara efektif dalam menilai perilaku klien, pekerja sosial
harus memiliki kesadaran yang kuat akan diri dan suatu kesadaran
tentang bagaimana dia cenderung untuk mempengaruhi pihak lain
selama berinteraksi. Pekerja sosial juga harus membawa sikap tidak
menilai (nonjudgmental). Pada akhir perubahan yang terjadi,
sebagian besar klien butuh untuk merasa diri kompeten. Untuk
merasa kompeten, sebagian besar klien harus bernilai dan yakin akan
diri mereka sendiri.

D. PENGETAHUAN YANG DIGUNAKAN DALAM


MELAKUKAN ASSESSMENT

Suatu pengetahuan tentang tingkah laku manusia dan lingkungan


social diperlukan untuk mencapai tingkat akurasi tinggi ketika
51
menilai permasalahan system klien. Hepworth and Larsen (1986)
mencatat:
Untuk mengkaji (to assess) permasalahan system klien
(individu, pasangan, atau keluarga)….menuntut
pengetahuan yang luas bahwa sistem sebagaimana
mempertimbangkan beragam sistem secara hati-hati
(umpamanya, ekonomi, hukum, pendidikan, pengobatan,
agama, sosial, interpersonal) yang mengenai sistem klien.
Lebih dari itu, untuk mengkaji keberfungsian seorang
individu memerlukan berbagai evaluasi terhadap
keberfungsian seseorang. Sebagai contoh, suatu dinamika
interaksi harus mempertimbangkan beragam subsistem
antara biofisik, kognitif, budaya, perilaku, dan motivasi dan
hubungannya tersebut dengan situasi permasalahan. (p.172)
Sebagaimana telah diidentifikasi oleh Hepworth and Larsen (1986),
melakukan suatu assessment membutuhkan seperangkat pengetahuan
mengenai
 Multifactorious systems
 Biophysical factors
 Cognitive factors
 Emotional factors
 Cultural factors
 Behavioral factors
 Motivational factor
 Family system
 Environment factors

Pandangan sepintas mempelajari semua hal tersebut nampak


menjelimet, tetapi pengetahuan tersebut telah diperoleh dalam
berbagai mata kuliah pekerjaan sosial. Mata kuliah kunci dalam
sebagian besar program pekerjaan sosial adalah mata kuliah human
behavior and social environment (HBSE). Kebijakan sosial,
sosiologi, psikologi, antropologi, biologi, ilmu politik, studi etnik,
sejarah, komunikasi, filsafat, agama dan ekonomi juga mencakup

52
wilayah tersebut.

1) Titik Berat Pada Sistem Lingkungan


Sebagaimana diketahui pekerjaan sosial telah jauh memenfaatkan
sebuah perspektif ekologis dalam mengkaji perilaku manusia.
Perspektif ekologis mempertimbangkan kemampuan adaptif
kehidupan manusia dan lingkungannya--
-yaitu, ekologi manusia dalam ―life space‖nya. Yang termasuk
semua komponen lingkungan social dan fisik yang berdampak
kepada mereka. Sebuah perspektif ekologis menekankan pentingnya
mengkaji the person in evnvironment (PIE). Dengan begitu suatu
assessment fokusnya tidak hanya manusia tetapi juga system
lingkungan yang berdampak pada kehidupannya.
Ketika menkaji lingkungan, pekerja social sebaiknya
membatasi perhatiannya terhadap elemen-elemen yang berdampak
(baik positif maupun negatif) terhadap situasi permasalahan. Dalam
sejumlah kasus elemen-elemen tersebut mungkin terlihat jelas
(misalkan, rumah tidak layak huni dan permasalahan keuangan).
Dalam sejumlah kasus elemen- elemen tersebut terlihat halus
(contohnya, memiliki orang tua yang menjauh, yang sedikit
memberikan dorongan).
Meski kajian (assessment) factor lingkungan sebaiknya
dibatasi yang berdampak pada situasi problematika klien, sejumlah
kebutuhan dasar lingkungan adalah universal. Secara terpisah
termasuk dalam bagian berikut:
 Rumah yang memadai
 Aman dari bencana dan terlindung dari angin, keribuatn dan
polusi air
 Kesempatan memperoleh pendidikan yang berkualitas
 Sistem dukungan sosial yang memadai (misalkan, keluarga
dan kerabat, tetangga, teman, dan kelompok- kelompok
terorganisasi)
53
 Akses perawatan kesehatan berkualitas
 Akses fakilitas rekreasional
 Perlindungan polisi dan pemadam kebaran yang memadai
 Sumber keuangan yang memadai untuk membeli item- item
penting sesuai standar kehidupan
 Makan cukup dan kesempatan memperoleh nutrisi yang baik
 Pakaian yang memadai
 Dukungan emosional dari saudara lainnya
 Dukungan saudara agara terhindar dari narkoba.

2) Mengkaji Masalah
Assessment umumnya selalu berfokus pada pada evaluasi kebutuhan
dan permasalahan klien. Dalam mengkaji kebutuhan dan
permasalahan, berikut ini konsep yang berguna mengenai problem
system. Hepworth and Larsen (1986) telah mendefinisikan sistem
masalah sebagai berikut:
Konfigurasi dari klien, orang lain, dan elemen-elemen
lingkungan yang berinteraksi menghasilkan situasi
permasalahan yang menunjukkan sistem masalah. Sistem
masalah memutari urusan klien dan membatasi orang
tersebut dan factor-faktor yang terlibat langsung dalam
kontek ekologis klien.
Berikut ini 15 pertanyaan yang berguna dalam menuntun kajian
sistem masalah:

1. Apa masalahnya secara khusus?


2. Bagaimana klien memandang masalah?
3. Siapa yang terlibat dalam sistem masalah?
4. Bagaimana para partisipan terlibat dalam sistem masalah?
5. Apa yang menyebabkan masalah?
6. Dimana terjadinya perilaku problematik?
7. Kapan perilaku problematik terjadi?
8. Bagaimana frekuensi, intensitas dan durasi perilaku
problematic?
54
9. Bagaimana sejarah perilaku problematik?
10. Apa yang diinginkan klien?
11. Bagaimana klien mencoba mengatasi masalah?
12. Apa keterampilan yang klien butuhkan untuk
mengatasi masalah?
13. Apa sumber-sumber eksternal yang dibutuhkan untuk
mengatasi masalah?
14. Apa sumber, keterampilan dan kekuatan klien?
15. Apa cara yang direkomendasikan untuk mengatasi masalah?

E. PERSPEKTIF SISTEM: MODEL PINCUS-


MINAHAN

Perspektif sistem berusaha melihat lebih jauh permasalahan yang


ditunjukkan klien untuk mengkaji kompleksitas dan antar hubungan
permasalahan. Melalui analisis system suatu kasus, banyak sasaran
dan strategi intervensi efektif dapat diidentifikasi. Suatu sistem
secara regular berinteraksi atau kelompok dari item yang saling
berkaitan yang membentuk suatu keseluruhan. Suatu system
pelayanan sosial terdiri dari kelompok pekerja sosial, supervisor,
klien, advisory, dan kelompok lainnya, serta siapapun yang
berinteraksi untuk menangani persoalan kesejahteraan sosial dalam
masyarakat. Banyak model memberi bantuan bagi pekerja sosial
untuk memahami bagaimana teori sistem dan analisis sistem. Model
sistem yang paling sering dipublikasikan dalam literatur pekerjaan
sosial adalah pendekatan Pincus-Minahan (1973).
Dalam tahun 1973, Allen Pincus dan Minahan menulis
Social Work Practice: Model dan Methode, yang merupakan perintis
utama dalam penerapan analisis sistem pada praktek pekerjaan sosial.
Asumsi dasarnya adalah, bahwa terdapat common core (inti pokok)
mengenai keahlian dan konsep yang begitu esensial dalam praktek
pekerjaan sosial, yaitu melihat fakta berdasarkan interpretasi teoritis
dari teori sistem.
Secara teoritis Pincus dan Minahan menyatakan bahwa

55
terdapat empat sistem dasar dalam praktek pekerjaan sosial : sistem
pelaksana perubahan (a change agent system), sistem klien (a client
system), sistem sasaran (a target system) dan sistem kegiatan (an
action system). Sistem pelaksana perubahan (the change agent
system ) adalah sekumpulan profesional yang secara khusus bekerja
untuk menciptakan perubahan secara terencana. Juga yang
merupakan bagian dari sistem pelaksana perubahan adalah adanya
organisasi yang mempekerjakan agen perubahan tersebut. (Pincus
and Minahan), 1973, p.54). Istilah organisasi pelaksana adalah
penting sebagaimana pandangan Pincus dan Minahan sepadan
dengan penghargaannya (dibayar sesuai kemampuannya) secara
perorangan sebagai agen perubahan. Seorang agen perubahan
dengan demikian, adalah seorang profesional yang secara khsusus
dipekerjakan dalam rangka perubahan berencana.
Sistem Klien (The Client System) adalah sejumlah orang
yang sepakat atau meminta pelayanan kepada agen perubahan, dan
yang bekerja berdasarkan kesepakatan atau kontrak dengan egen
perubahan (Pincus dan Minahan, 1973,
p. 56). Klien dengan demikian dipergunakan dengan penuh
kesadaran daripada yang sering diperlakukan oleh pekerja sosial,
menghindari kemungkinan dari ―melalukan sesuatu‖ terhadap orang
atau organisasi tanpa sepengahuan atau kesepakatan mereka.
Sistem sasaran (The Target System) adalah sekumpulan
orang, badan-badan, dan atau organisasi praktek yang memerlukan
perubahan melalui pengukuran tertentu dalam upaya mencapai tujuan
melalui agen perubahan (Pincus and Minahan, 1973, p. 59).
Misalkan, melalui penganalisaan perubahan sistem sasaran dapat
terukur efektivitasnya dan memberikan suatu mekanisme
pertanggungjawaban.
Batasan sistem terakhir adalah sistem kegiatan (The Action
System). Istilah ini dipakai untuk menggambarkan dengan siapa saja
pekerja sosial bekerja dalam upayanya memenuhi tugasnya dan
mencapai tujuan perubahan yang diharapkan (Pincus dan Minahan,
1973. p. 61). Salah satunya mungkin akan melibatkan sejumlah
sistem kegiatan dengan aspek yang berbeda dari upaya perubahan

56
terencana untuk melengkapi keseluruhan rencana perubahan dari
pelaksana (agen) perubahan. Konsep dari metode dan tujuan hasil
juga dipergunakan untuk lebih jauh lagi membedakan bagaimana
sistem kegiatan dan sistem sasaran dikembangkan dan
didayagunakan. Keempat sistem ini digambarkan secara visual, dan
lebih jauh lagi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1: Elaborasi dari sistem klien, sistem pelaksana perubahan,
sistem sasaran, dan sistem kegiatan menurut model
Pincuss-Minahan.

Sistem Sasaran Sistem

Penentuan
Tujuan hasil Hasil

Tampilan Sistem Klien


Masalah

Penentuan Penerapan/
Assessment strategi/ reassessment
data metode

Sistem
Pelaksana Penentuan
Perubahan Tujuan Evaluasi

Perlu dipahami bahwa sistem tersebut bukan satu- satunya


yang eksklusif, tetapi mungkin dan berjalan secara tumpang tindih
dalam beberapa kasus tertentu. Ketumpangtindihan ini terilustrasikan
pada Gambar -2

57
Gambar 2: Contoh gabungan dan tumpangtindihnya beragam sistem
dalam model Pincuss-Minahan

Sasaran yang
Klien yang Sasaran yang merupakan Sasaran
juga sebagai berada di luar bagian dari sebagai bagian
Sistem Sasaran Sistem Klien Sistem dari Sistem
dan Sistem Pelaksana- Kegiatan
Kegiatan Agen
Kegiatan

Meyakinkan Mendidik
Mencarikan
Membantu Direktur seorang ibu
sebuah
seorang klien lembaga pengasuh anak
penginapan
membicaraka Anda untuk bagaimana
yang
n masalah mendukung menghadapi
sewanya
perkawinanny kebijakan anak yang
meringanka
a yang nakal
n klien akan diambil (bermasalah)

Contoh Kasus : Analisis Sistem terhadap Permasalahan Sikap


Contoh kasus berikut menggambarkan bagaimana penggunaan model
Pincuss-Minahan dalam menganalisa suatu kasus.
Ridwan Toniawan adalah seorang pekerja sosial yang berada
dalam seting suatu sekolah. Dia memperoleh klien hasil pengalihan
(referral) dari seorang guru. Pak Pandi, yang mempunyai murid
bernama Jojo Heriawan, seorang anak yang duduk di kelas tiga, yang
tidak ada semangat jika berada di kelasnya (tidak mematuhi perintah
gurunya, tidak mendengarkan, dan tidak mengerjakan tugas-
tugasnya). Gurunya meminta bantuan. kepada Pak. Ridwan untuk
melakukan bimbingan kepada muridnya agar mampu memperbaiki

58
sikap-sikapnya. Sebuah pengalihan wewenang (referral) yang cukup
sederhana, dan dengan salah satu masalahnya adalah masalah
motivasi dan /atau sikap-sikap. Sejumlah bimbingan konseling akan
bermanfaat, tentunya akan memerlukan waktu tertentu, yang
seringkali metode ini digunakan oleh pekerja sosial dalam
mengintervensi kasus seperti ini. Secara implisit anggapan dasarnya
adalah bahwa teridentifikasi terdapat suatu masalah (pelajar), dan
mengatasi masalahnya dengan mengubah perilaku pelajar tersebut.
Walau begitu, jika tidak menganalisis permasalahan ini secara penuh,
mungkin bisa menimbulkan penyimpangan ―masalah‖ dalam situasi
tersebut.
Dalam menggunakan analisa sistem sebagai suatu
pendekatan terhadap masalah tersebut, Pak. Ridwan pertama- tama
akan mengurai permasalahan yang ada, dan kemudian menentukan
siapa kliennya dalam situasi tersebut. Terlebih dahulu saat sebelum
menjabarkan tentang apa yang menjadi seorang klien, hanya ada
seorang guru dan kebetulan sama- sama bekerja dalam suatu
organisasi sehingga Pak. Pak Pandi dapat menjadi seorang klien pada
saat ini. Jojo dan atau Ibunya mungkin menjadi klien potensial saat
mendatang. (lihat Gambar 3).
Bagian selanjutnya dari menganalilis kasus ini adalah me-
netapkan secara jelas sasarannya (targets). Kembali ke Gambar 4,
bagian ini melibatkan analisis melalui penyidikan dan asses-sment
terhadap data, dan men-gembangkan segala kemungkinan atau hasil
yang diharapkan sesuai dengan sasaran (targets) yang telah
ditentukan sebelum-nya.

59
Gambar 3: Tahap pertama dari pendekatan sistem analisis
terhadap kasus Jojo

Sistem Klien
Tampilan permasalahan

Aktual :
Jojo, seorang anak kelas tiga
adalah: Gurunya (Pak Pandi) meminta pertolongan,
mengharapkan bantuan., dan telah mempunyai
a. tidak memperhatikan
perjanjian sebe-lumnya dengan sistem sekolah
pengarahan gurunya
mengenai penyediaan pekerja sosial untuk
b. tidak mendengarkan memperoleh bantuan.nya. Sistem sekolah yang
mempekerjakan Pak. Ridwan adalah juga klien.
c. tidak menyelesaikan tugas/
Potensial:

Jojo dan atau keluarganya membutuh-kan atau


me-merlukan bantuan. di masa depan. Mereka
juga mung-kin di masa mendatang perlu
mendapatkan bantuan.. Saat ini, mereka belum
bersepakat untuk memperolah bantuan.

Sistem Agen Perubahan

a. Pekerja sosial sekolah, Pak. Ridwan

b. Sistem sekolah yang mempekerjakan Pak.


Ridwan.

Catatan: Tambahan terhadap sistem pelaksana


perubahan mungkin terus bertambah saat

60
Gambar 4: Assesmen data dalam kasus Jojo.

Pekerja sosial, mencari pengembangan sasaran sistem. Dia


memulai dengan mengumpulkan data berikut:
Perilaku siswa di kelas lebih komplikatif daripada yang pernah
dilaporkan. Siswa seringkali diremeh-kan oleh gurunya dan
seringkali tidak dipedulikan jika dia meminta pertolongan.
Pengamatan selan-juPak.ya terhadap Jojo menunjukkan bahwa
dikelas-nya banyak siswa juga memperlihatkan perilaku yang
tidak sesuai. Gurunya, Pak Pandi, kelihatan-nya mengalami
kesulitan dalam mengendalikan kelasnya. Perbincangan dengan
Pak Pandi menunjukkan bahwa dia memilki pola komentar yang
negatif terhadap siswa yang berpendapatan-rendah.
Kehadiran siswa di kelas juga titik perhatian pokok. Selama lebih
dari dua tahun Jojo dirata-rata kurang lebih 25% tidak hadir.
Sebelumnya, dia juga tidak melengkapi tugas-tugas pekerjaan
rumahnya, dia tidak mengikuti petunjuk, mengacau, dan tidak
berhubungan baik dengan teman sekelasnya.
Berdasarkan pembicaraan dengan ibunya Jojo, yang telah cerai,
Pak. Ridwan menemukan suatu pola ketidakhadiran dari dua anak
dalam keluarga tersebut, secara umum menjumpai suatu situasi
rumah yang merefleksikan permasalahan ekonomi, disorganisasi
keluarga, dan diragukan akan pen-getahuan keterampilan berperan
sebagai orang-tua. Dalam diskusi dengan guru-guru lainnya yang
pernah mengajar Jojo, dan sekolah lainnya yang mengetahui
keluarga tersebut, pekerja sosial memperoleh permasalahan
berkaitan dengan kunjungan rumah dari pengawasan-
keorangtuaan, termasuk dugaan bahwa ibunya Jojo, Ny. Gudel,
yang kecanduan minuman keras dan sering tidak berada di rumah.

61
Gambar 5: Penentuan. sasaran dan tujuan hasil dalam kasus Jojo

Penentuan. tujuan-tujuan Penentuan. Sasaran


hasil
(Tujuan-tujuan ini mewakili (Identifikasi sasaran-sasaran ini tujuan-
tujuan yang terjadi terfokus pada upaya-upaya dalam kasus
Jojo, dan perubahan)
berkaitan dengan tiga
permasalahan yang telah
diidentifikasi dalam tahap
asesmen data dalam Gambar
4.)

Memperbaiki pengendalian Sasaran: Pak. Pandi, Guru


dan sikap guru kelasnya Sikapnya terhadap siswa
terhadap siswanya. berpendapatan rendah
Kelemahan mengendalikan kelas

Memperbaiki perilaku Jojo, Sasaran: Jojo Gudel


kehadirannya, dan hubungan Sikap dan perilakunya yang tidak
sosial dengan teman-teman sesuai di sekolah
sekelasnya. Ketidakserasinya hubungan
dengan teaman-temannya
Sering bolos sekolah

Memperbaiki stabilitas Sasaran: Keluarga Gudel


terhadap situasi rumahnya Kesulitan keuangan
Jojo. Kekurangterampilnya Ny. Gudel
dan pengawasan terhadap anak-
anaknya
Kemungkinan penganiayaan akibat
pengaruh alkohol oleh Ny. Gudel.

62
Berdasarkan fase assessment of data, tujuan-tujuan hasil
harus dibangun. Kemudian sasa-ran ditentukan untuk melengkapi
tujuan hasil tersebut. Proses ini terdiagram pada Gambar 5.
Pada saat ini tujuan dan hasil telah diidentifikasi dan
sekarang perlu mengembangkan suatu sistem tindakan. Bagian
pertama dari proses ini, sebagaimana terlihat dalam Gambar 1,
adalah dengan menentukan metode atau strategi tujuan. Tujuan-
tujuan ini diperlukan untuk menghubungkan sasaran dan seharusnya
secara terindivualisasi mempertemukan kebutuhan dengan sasaran
penduduk. Analisis sistem secara sungguh-sungguh memerlukan
strategi intervensi yang diterapkan bukan berdasarkan pada suatu
teknik-teknik tervaforit pekerja sosial, tetapi berdasar pada
efektivitas pemenuhan kebutuhan bagi kliennya. Sebagai contoh,
seorang pekerja sosial mungkin berkeinginan untuk menggunakan
keterampilan intervensi kelompok kecil yang ia kuasai (sangat
mahir) menggunakannya, tetapi keterampilan tersebut hanya bisa
dipakai ketika analisis sistem mengusulkannya sebagai suatu
pendekatan yang terbaik untuk mencapai sasaran dan pada akhirnya
untuk memenuhi tujuan-tujuan. Gambar 6 memperlihatkan
perkembangan dari methodes goals sebagai langkah awal dalam
mengembangkan suatu sistem kegiatan.
Sekarang konsistensi hasil-tujuan, sasaran-sasaran, dan
metode-metode telah dikembangkan, langkah selanjutnya penerapan
analisis sistem adalah merencanakan implementation stage (tahap
penerapan) dari sistem kegiatan (lihat Gambar 1). Seringkali pekerja
sosial menggunakan penilaiannya (judgement) sepraktis dan selaik
mungkin pada waktu-waktu tertentu. Selanjutnya juga, pekerja sosial
dapat memprioritaskan kebutuhan berdasarkan yang paling
dibutuhkan dan segera disampaikan kepada klien-kliennya. Tentu
saja, pekerja sosial harus juga mempersiapkan untuk menilai kembali
sasaran metode (methode goals) sebagai intervensi progress, dengan
mengamati tingkat kemungkinan harapan hasil yang diinginkan.
Mungkin juga terdapat perubahan dalam diri klien dan sistem
pelaksana perubahan yang cukup lama. Dalam kasus ini sistem
pelaksana perubahan sekarang termasuk tidak hanya pekerja sosial
sekolah, pimpinan sekolah (kepala sekolah), menunjukkan guru-guru
63
jika itu berkaitan dengan gaya mengajarnya, guru BP sekolah, dan
pekerja sosial dari Dinas Sosial Kabupaten/Kota yang membantu
keuangan, pelatihan manajemen anak, dan pelayanan perlindungan.
Ditambahkan juga, klien-klien potensial (seperti halnya Jojo dan
Ibunya) yang mungkin akan menjadi klien aktual selama fase
penerapan dari sistem kegiatan.

Gambar 6: Penentuan. tujuan strategi/metode dalam kasus Jojo

A. Sasaran: Pak. Pandi, seorang guru kelas tiga

Pekerja sosial akan mendiskusikan masalah mengenai sikap Pak. Pandi


terhadap siswa yang berpendapatan rendah melaui prinsip sekolah
tersebut, dan memberitahukan bahwa prinsip tsb membantu dengan
menyediakan supervisi (penilik) pendidikan dalam wilayah tersebut;
bahwa, dengan pengaturan suatu sesi pelatihan pelayanan bagi guru-
guru tentang : (a) efek destruktifnya pada siswa berpendapatan
rendah yang timbul dari sikap guru yang negatif, dan (b) keuntungan
yang diperoleh dengan bersikap tidak menilai (non-judgemental)
terhadap siswa oleh para guru. Pekerja sosial juga akan

64
menyatakan bahwa prinsip tersebut akan membantu Pak Pandi
untuk bersikap bijak thd penugasan perorangan bagi siswanya
sehingga dia dapat memahami secara lebih baik perbedaan-
perbedaan siswanya, dan dapat memberikan kegiatan akademik
sesuai dengan tingkatannya.
Pekerja sosial akan membicarakan persoalan manajemen ruang
kelas dengan Pak Pandi, dan memberikan secara material
strategi penguatan perilaku positif dan negatif. Pekerja sosial
juga dengan Pak Pandi akan menggali manfaat dari
pengembangan beberapa tipe sistem peringkat siswa sehingga
Jojo (dan berpotensi dari siswa lainnya) dapat bekerja sesuai
sasaran setiap harinya. Akhirnya, pekerja sosial akan
mengkonsultasikannya dengan guru secara periodik
permasalahan perilaku dalam kelas, pemecahan masalah
terhadap situasi tersebut, dan memberikan saran teknik-teknik
yang lebih efektif untuk mengendalikan perilaku siswa yang
disraptif (mengacau).
B. Sasaran: Jojo Heriawan

Pekerja sosial akan memberkan bimbingan dukungan kepada


Jojo mengenai permalahan pengembangan dengan cara yang
lebih konstruktif, mengembang tujuan-tujuannya sebagai pelajar,
dan membangun rasa tanggungjawab atas tindakannya. Perlunya
bimbingan sokongan adalah bukti dalam rangka membangun
kehangatan hub. dengan Jojo, membantu Jojo mengembangkan
keterampilan mengatasi masalah secara lebih efektif, dan
menampilkan suatu model peranan positif sebagai orang dewasa.
Pekerja sosial akan bicara kepada guru BP (bimbingan dan
penyuluhan) sekolah mengenai kemungkinan Jojo bergabung
dalam kelompok kecil yang dipimpinnya, atau bergabung di
kemudian hari. Ini akan membantu Jojo memperbaiki hubungan
sosial dengan siswa lainnya. Selajutnya, pekerja sosial akan
berbicara dengan guru BP perlunya

65
mengembangkan sebuah program kelas bimbingan yang
diarahkan dalam rangka memperbaiki hubungan antara manusia.
Pekerja sosial akan mengalihkan permasalahan ferkuensi
ketidakhadiran kpd unit pelayanan perlindungan Dinas
Pelayanan Sosial Kota, sebagai suatu kasus kemangkiran atau
pembolosan yang tak tertangani. Pengalihan ini akan membawa
perubahan sumber-sumber dari lembaga lain untuk membantu
seluruh kesulitan keluarga-keluarga. Pengalihan ini juga
memberikan suatu cara bagi Dinas Pela-yanan Sosial Kota
untuk menjangkau keluarga yang mengalami kesulitian.

C. Sasaran: Keluarga Heriawan

Pekerja Sosial akan mengatakan Pelayanan Perlindungan


mengenai kesulitan ekonomi keluarga, dan meminta Pela-yanan
Perlidungan untuk menyelidiki apakah keluarga ter-sebut laik
memperoleh keseluruhan bantuan keuangan, dan apakah
bimbingan keuangan diperlukan untuk men-yusun anggaran
sumber-sumber keluarga secara lebih baik.
Pekerja sosial, setelah menilai secara serius mengenai kesulitan
manajemen keluarga, akan merujuk hal ini ke-pada Dinas
Pelayanan Sosia Kota. Secara realistis, ke-sulitan ini akan
melibatkan pekerja pelayanan perlin-dungan (peling sebagai
manajer kasus) yang telah me-nerima rujukan masalah
pembolosan dan bantuan ke-uangan. Pekerja Pelayanan
Perlindungan mungkin akan meminta pekarja sosial lainnya
untuk memberikan pela-yanan tertentu kepada keluarga tersebut,
seperti melibat-kan ibu-ibu dalam kegiatan Pelatihan Efektivitas
Orangtua. Dalam keluarga ini adalah penting bhw pengaturan
waktu yang melibatkan beberapa pekerja sosial tidak menjadi
faktor yang menyibukkan keluarga. Pekerja sosial sekolah,
bekerja sama dengan Ny. Heriawan dan pekerja sosial

66
dari Dinas Pelayanan Sosial kota akan mengembangkan rencana
penanganan untuk membantu Ny. Heriawan mem- perbaiki
pengetahuannya mengenai perkembangan dan praktik perilaku/
pemelirahaan anak. Rencana ini meliputi bimbingan
perseorangan, mengikuti kegiatan kelompok orangtua, atau
mendemostrasikan praktek keperilakuan melalui pemodelan.
Pekerja sosial akan menyelidiki dugaan penganiayaan akibat
kecanduan minuman keras, dan kemudian memu-tuskan apakah
mengalihkan Ny. Heriawan untuk meng-asesmen peaniayaan
akibat kecanduan minuman keras dan obat-obatan lainnya yang
disediakan oleh Dinas Palayanan Sosial Kota. Sejak Ny.
Heriawan juga agak kelihatan tertekan dan kehabisan energi,
sebuah rujukan dokter jiwa perlu dipikirkan di masa datang.
Selanjutnya, karena masalah kecanduan alkohol juga bukan
satu-satunya masalah, disarankan bahwa Dinas Palayanan Sosial
Kota perlu membantu Ny. Heriawan menemukan pekerjaan atau
memperoleh latihan kerja. Juga nampaknya Ny. heriawan perlu
mendapatkan dukungan (baik konseling perorangan atau
kelompok) untuk membantu keinginanya sebagai orang tua
tunggal.

Perlu dicatat bahwa pembentukan sistem kegiatan yang


melibatkan badan-badan sosial lain dan profesional- profesional
lainnya yang menjadi suatu kunci tujuan pekerjaan sosial adalah
mempertahankan proses tersebut tetap berlangsung. Seringkali
pengalihan yang dilakukan pekerja sosial sebagai pendamping (an
advocater) kliennya dan tujuan hasil kegiatan dari analisis sistem.
Seringkali terjadi perlu memulai/mengulang kembali sasaran tujuan
ke yang lain dan menemukan cara untuk memotivasi kembali agen-
agen pelaksana perubahan yang lain saat bertemu ―roadblocks‖
(hambatan). Dalam faktanya, memonitor kemajuan seharusnya ada
sebagai suatu penerapan pendekatan analisis sistem yang akan terdiri
dari suatu kelompok bekerja bersama dan dengan demikian

67
diperlukan koordinasi dan pengaturan.
Juga penting sekali untuk mengevaluasi dan memantapkan
upaya-upaya perubahan setelah menentukan jangka waktu tertentu.
Evaluasi ini sebaiknya berupaya mencari ukuran mengenai hasil
yang dapat dicapai dari sistem sasaran yang akan makin
memperlengkapkan.
Tidak semua kasus sekompleks yang satu ini, atau
melibatkan sejumlah sasaran dan sistem kegiatan seperti ini. Kasus
seperti bisa saja ada, dan asesmen dan strateginya dikembangkan
sesuai dengan gambaran tadi. bagamanapun banyak, dan mungkin
sangat banyak kasus-kasus pekerjaan sosial yang komplikati.
Sebagaimana disebutkan, analisa sistem dapat membantu pekerja
sosial memamhami kompleksitas permasalahan yang dihadapi.
Analisis sistem dapat diterapkan secara virtual oleh seluruh pekerja
sosial. Sayangnya, kemampuan penerapannya saat ini sedang
dipertanyakan. Khususnya berkaitan dengan kemampuan
penerapannya untuk pekerjaan sosial klinis. Kebutuhannya ini
bukanlah kasus, untuk suatu pemahaman tentang aspek- aspek
keunikan dari analisis sistem dan keteramplan klinis dapat
mendemostrasikan gabungan pemanfaatan teknik yang sangat efektif.

F. BEBERAPA MODEL ASSESSMENT LAINNYA


DALAM PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL:
1. Pemanfaatan Sistem Diagnosis Multiaxis DSM-IV TR
(Diagnostic and Statistical Manual). Suatu model yang
digunakan untuk mengkaji dan mendiagnosis gangguan mental.
Isi utama dari system DSM adalah format multiaxial yang
menggunakan lima level atau bidang untuk menentukan arah
suatu diagnosis. System multiaxial mempertimbangkan sejumlah
factor yaitu psikologis, fisik, internal, eksternal, perkembangan,
dan sosial. Lima garis menopang system yang menyediakan
format untuk pencatatan diagnosis individual. Garis-garis
tersebut antara lain:
a. Garis I Clinical disorder; kondisi lainnya mungkin fokus
pada perhatian klinis

68
b. Garis II Personality disorder; kemunduran mental
c. Garis III General medical conditions
d. Garis IV Psychosocial and environmental problems
(PEP). Terdapat Sembilan kategori dalam garis ini,
yaitu:
i. Masalah dengan dukungan kelompok utama
ii. Masalah berkaitan dengan lingkungan social
iii. Masalah pendidikan
iv. Masalah pekerjaan
v. Masalah tempat tinggal
vi. Masalah ekonomi
vii. Masalah dengan akses pelayanan rawatan
kesehatan
viii. Masalah berkaitan dengan system
hukum/criminal
ix. Masalah-masalah psikososial dan
lingkungan lainnya
e. Garis V Global assessment of functioning
2. Developing Client-Focused Measures (Pengukuran Terfokus
Perkembangan Klien). Para pekerja social
jugaMmemanfaatkan pengukuran klient-terfokus untuk mengkaji
keberadaan permasalahan klien, melalui kemajuan klien setelah
melalui suatu intervensi tertentu, dan menentukan apakah suatu
intervensi dapat segera dihentikan. Pengukuran tersebut
menggunakan beragam teknik yang dikembangkan secara khusus
bagi klien tertentu dan murah merupakan suatu metode untuk
memonitor kemajuan klien. Kelebihan metode ini, karena
pengukuran inti berbasis pada tampilan permasalahan yang
dihadapi klien maka seringkali hasilnya lebih akurat jika
dibandingkan dengan sejumlah metode yang telah
terstandardisasi. Kelebihan lainnya dari pengukuran terfokus-
klien adalah mereka dapat berkembang memanfaatkan perkataan
dan pengalaman klien sendiri berkaitan dengan permasalahan
yang dihadapinya. Satu kelemahan pengukuran klien-terfokus
adalah masalah reabilitas dan validitas yang tidak dapat diuji dan
dipastikan dengan pengukuran-pengukuran lainnya. Karenanya
69
kekuatan dari sejumlah pengukuran terfokus- klien ini tergantung
pada keterampilan pekerja sosialnya dalam mengembangkan
pengukuran. Sejumlah contoh dari pengukuran jenis ini adalah:
individualized rating scales, client-monitored observation, goal-
attainment scales, etc.
3. Person-in-Environment System (PIE System). Adalah suatu
metode untuk menggambarkan, mengklasifikasikan dan
mengkoding permasalahan-permasalahan pasien dan klien
dewasa yang memperoleh pelayanan pekerja sosial. PIE system
mirip dengan DSM-IV-TR yang dikembangkan oleh para
psikiater. PIE system adalah suatu ―holistic model system‖ yang
mengidentifikasi dan mengklasifikasi permasalahan-
permasalahan klien atau pasien dalam pengalamannya dengan
keberfungsian social. Di dalamnya termasuk assessment
mengenai hubungan sosial, masalah institusi (kelembagaan)
dalam masyarakat yang umumnya berkaitan dengan upaya
pemeliharaan keberfungsian sosial. Termasuk juga assessment
permasalahan kesehatan mental dan kesehatan fisik yang
berdampak keberfungsian sosial. Struktur dari PIE system terdiri
dari empat factor system. Setiap faktor menggambarkan suatu
kualitas situasi permasalahan klien. Dua faktor pertama (I:
permasalahan dalam keberfungsian peran sosial, II:
permasalahan dalam lingkungan) membentuk inti praktek
pekerjaan sosial. Dua factor lainnya (III: permasalahan kesehatan
mental; dan IV: permasalahan kesehatan fisik) melengkapi
gambaran dari kompleksitas permasalahan.
a. Factor I mengidentifikasi dan menggambarkan
permasalahan klien dalam keberfungsian sosial.
Gambaran bersisikan permasalahan peran sosial, jenis
permasalahan, ragam dan durasi permasalahan, dan
kapasitas klien dalam mengatasinya.
b. Factor II menggambarkan awal permasalahan dari
lingkungan yang mempengaruhi keberfungsian klien.
Hal tersebut juga menggambarkan tiap masalah serta
ragam dan durasinya.
c. Factor III menggambarkan permasalahan kesehatan
mental klien yang mungkin dialami.

70
d. Factor IV menyediakan suatu statement tentang
permasalahan kesehatan fisik klien.

G. APLIKASI PIE DALAM PRAKTEK

PIE adalah suatu tool dari fase assessment --- dimulai kontak
dan selanjutnya intervensi hingga terminasi. Penggunaan system
PIE menuntun praktisi untuk menata temuan assessment dalam
sebuah format yang jelas, perencanaan intervensi terfokus.
Tentunya melakukan suatu intervensi menurut kerangka teoritis
praktisi atau tuntutan elijibilitas lembaga, praktisi mampu
melakukan assessment yang menjelaskan tugas-tugas dan
peranan pekerjaan sosial. Hal tersebut menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut:
1. Apa permasalahan dalam keberfungsian sosial yang dihadapi
oleh klien ini?
2. Apa permasalahan yang muncul dalam kelembagaan social
masyarakat yang berpengaruh terhadap klien ini?
3. Apa permasalahan kesehatan mental yang muncul?
4. Apa permasalahan kesehatan fisik yang tercatat?
5. Apa kekuatan dan sumber-sumber klien sehingga dapat
mendorong klien menghadapi permasalahan tersebut?

Penggunaan system PIE, praktisi mampu menggambarkan


permasalahan yang kompleks dengan cara tertentu sehingga
mudah dipahami oleh praktisi dalam seting-seting lain yang
mungkin klien jalani. Hal yang juga penting, klien seharusnya
dapat mengerti assessment dan berpartisipasi penuh dalam
pemecahan atau pengurangan masalah. Karena ini merupakan
pendekatan system, PIE menjadi suatu instrument yang tidak
hanya untuk mencatat temuan assessment tetapi juga untuk
perencanaan dan evaluasi intervensi. Terlepas dari itu semua
pendekatan ini membuat menjadi lebih efektif untuk membantu
klien.

1) Operasionalisasi Faktor I
Dalam praktik pekerja social menggunakan sistem PIE pertama-
71
tama akan mengidentifikasi permasalahan faktor I yang
ditunjukkan oleh klien. Factor ini menggambarkan permasalahan
dalam keberfungsian peran social berkaitan unjuk aktivitas
kehidupan keseharian yang dibutuhkan oleh masyarakat atau
budaya bagi usia individu dan tahap kehidupan. Gambaran
permasalahan dalam faktor I memiliki lima komponen:
1. Pernyataan wilayah interaksi social atau peran-peran social
dimana permasalahan tersebut terjadi. Terdiri dari:
a. Kekeluargaan: orang tuan, pasangan, anak, saudara
kandung, keluarga penting lainnya.
b. Interpersonal lain: kekasish, teman, tetangga,
anggota.
c. Hubungan kerja: pekerja (dibayar), pembantu,
relawan, pelajar.
d. Situasi kehidupan khusus: konsumen,
inpatient/klien, outpatient/klien, petugas lapas,
pesakitan, petugas imigrasi, imigran liar, pengungsi,
dan lainnya. Contohnya, sebuah permasalahan
perkawinan akan
mengidentifikasinya sebagai sebuah
permasalahan peran pasangan, sebuah masalah
dengan pekerja akan diidentifikasi sebagai masalah
peran pekerja.
2. Seorang descriptor tipe permasalahan. Hal tersebut adalah
kekuatan, ambivalensi, tanggungjawab, ketergantungan,
kehilangan, isolasi, korban. Sebagi contoh, seseorang yang
kehilangan pasangan akibat kematian, atau perceraian adalah
diidentifikasi sebagai mengalami masalah peran pasangan,
tipe kehilangan.
3. Indikasi tingkat keakutan permasalahan yang dapat
ditampilkan pada skala 1 (terendah) hingga 6 (tertinggi)
4. Indikasi sudah berapa lama masalah tersebut muncul terlihat
pada skala 1 (lima tahun atau lebih) hingga 6 (dua minggu
atau kurang)
5. Penilaian klinis kondisi fisik, mental, dan kekuatan
psikologis klien dalam menghadapi permasalahan

72
ditunjukkan pada skala dari 1 (luarbiasa) hingga 6 (tidak ada
keterampilan menghadapi)

Mempermudah catatan temuan assessmen untuk penelitian,


sebuah kode numerik tersedia untuk mengidentifikasi temuan
permasalahan dalam factor I. Sistem PIE menyediakan praktisi
untuk mencatat sejumlah permasalahan faktor I yang dapat
diidentifikasi.

2) Operasionalisasi Faktor II
Factor II menggambarkan permasalahan dalam lingkungan klien
yang berdampak pada keberfungsian social klien. Dalam PIE
yang termasuk lingkungan baik fisik maupun konteks social
dimana manusia hidup. Factor II mengidentifikasi permasalahan
dalam isntitusi social yang terdapat dalam sebagian besar
komunitas untuk mempermudah kesejahteraan dan
perkembangan individu. Deskripsi permasalahan klien dalam
factor II termasuk tiga komponen berikut: sistem sosial,
keakutan, durasi.
Dalam PIE, terdapat enam pengelompokkan permasalahan
sistem sosial:
1. Sistem ekonomi/kebutuhan dasar (economic/basic need
system). Bagian ini menekankan permasalahan dalam
penyediaan atau daya jangkau terhadap makanan,
perumahan, lapangan pekerjaan, susmber-sumber ekonomi,
dan transportasi
2. System pendidikan dan pelatihan (educational and training
system). Termasuk dalam permasalahan atau defisiensi ini
berkaitan dengan institusi dan kebijakan
pendidikan/pelatihan.
3. System peradilan dan hukum (judicial and legal system).
Termasuk dalam permasalahan ini berkaitan polisi dan
pengadilan.
4. System kesehatan, kesejahteraan, dan perlindungan (health,
welfare and safety system). Termasuk dalam permasalahan
ini berhubungan dengan rumah sakit, klinik, layanan
perlindungan umum, dan pelayanan sosial.
73
5. Sistem asosiasi kerelawanan (voluntary association system).
Termasuk institusi keagamaan dan kelompok- kelompok
dukungan komunitas.
6. System pendukung afeksional (affectional support system).
Termasuk dalam bagian ini adalah jaringan pertolongan
sebagian besar orang dimana dapat diperolehnya dengan
beragam tingkatan.

Setiap tipe masalah lingkungan berisi 3 hingga 11 sub tipe yang


menggambarkan dan penjelasannya serta diberi kode dalam PIE
Manual (Karls and Wandrei, 1994a). Contohnya, seorang kien
melaporkan kurangnya perumahan dalam masyarakat mungkin
dapat digambarkan sebagai sebuah system ekonomi/ kebutuhan
dasar dengan penampungan;, ketiadaan shelter, tidak standar
atau tidak sesuai shelternya; atau sebuah lingkungan yang tidak
aman sebagai permasalahan sebuah system perlindungan dari
kejahatan atau kriminalitas dalam lingkungan sekitar.
Komponen kedua adalah keakutan setiap masalah pada dari
skala 1 (terendah) hingga 6 (tertinggi). Ketiga adalah durasi
setiap masalah, dari skala 1 (lima tahun) hingga 6 (dua minggu
atau kurang).

3) Operasionalisai Faktor III


Factor ini mendaftar permasalahan kesehatan mental dari klien
dengan menggunakan DSM Axes I dan II berikut kodenya.
Pekerja social mencatat gangguan klinis dan jika aplikabel,
sumber diagnosisnya.

4) Operasionalsasi Faktor IV
Factor ini mendaftar permasalahan kesehatan mental
sebagaimana didiagnosis oleh ahli fisik (dokter) atau
sebagaimana dilaporkan oleh klien. Untuk diagnosis resmi, ICD
10 atau DSM codes digunakan.
Seorang wanita tua baru-baru ini mengalami kehilangan atas
kematian suaminya dan teman-teman dekatnya. Dia tanpa
keluarga atau teman, menderita arthritis akut, menunjukkan
depresi klinis, serta ancaman pengurangan pelayanan dukungan
74
panti karena perubahan kebijakan pemerintah. Terlihat dalam
tabel 6 berikut;
Tabel 7 Temuan assessment dan Intervensi yang direkomendasikan
Temuan assessment Intervensi yang
Direkomendasikan
Factor I
(1) Masalah pasangan, Tipe Grief counseling
Kehilangan, keakutan Widows support
tinggi, durasi satu hingga group
lima tahun, kemampuan
menghadapi yang tidak.
Code: 1250.424 Drief counseling
(2) Masalah Peran teman, Tipe
Kehilangan, akut tinggi,
durasi satu hingga enam
bulan, kemampuan
menghadapi tidak tepat.
Code: 2250.424
Faktor II Penjelasan kebijakan
(1) Kesehatan, lembaga Lakukan aksi
Perlindungan, Masalah perbaikan dengan
Sistem Pelayanan administrasi atau badan
Sosial, Pelayanan Sosial pemerintah
(terancam hilang
pelayanannya), akut
tinggi, durasi dua hingga Mengembangkan kelompok
empat minggu. Code: dukungan sosial
88305.45
(2) Sistem Support
Affectional, pemenuhan
kebutuhan tidak tepat,
akut tinggi, durasi satu Evaluasi ketepatan
hingga lima tahun. pengobatan psikotropika
Faktor III
Axis I (DSM): Major
Depression, single episode Rujuk ke evaluasi medis
Axis II (DSM): No

75
Diagnosis Faktor IV
Arthritis (laporan klien)

76
5) PIE sebagai Tool Pengajaran
PIE telah akui amat berguna dalam membantu para mahasiswa
pekerjaan sosial memahami domain praktik pekerjaan sosial
sehingga membedakan area keahlian pekerjaan sosial dengan
profesi lainnya. Dan saat sebuah assessment komprehensif dan
jelas merupakan dasar untuk perencanaan dan eksekusi
intervensi, mahasiswa pekerjaan sosial belajar menggunakan PIE
untuk melakukan assessment terhadap klien yang jelas dan
understandable. Karena sistem secara esensial atheoretical
(tidak terlalu teoritis), memungkinkan pengajar menggunakan
berbagai teori-teori casework atau teori-teori tingkahlaku yang
dia yakini merupakan yang terbaik untuk membantu memahami
dinamika kasus.

6) PIE dalam Penelitian Kebijakan dan Administrasi


Tambahan data pada masalah interaksional, kesehatan mental,
dan kesehatan fisik, sistem PIE dapat secara rutin membantu
dalam pengumpulan informasi akan
permasalahan dalam kebijakan dan institusi sosial
masyarakatnya. Kombinasi data tersebut member peneliti
kebijakan sosial atau administrator menjalankan
assessmen permasalahan dalam sistem sosial masyarakat dan
mengusulkan perbaikan.

7) Pencatatan dan Komputerisasi


Pecatatan dan tabulasi data menemukan sebuah assessment
seringkali sangat sulit dan tugas membosankan. Dengan
pernyataan masalah yang distandarisasikan oleh para ahli,
membuat assessment PIE mudah mencatat perbandingan
sebagian besar system assessment.

77
BAB 4 : ENGAGEMENT AND TOOL ASSESSMENT DALAM PERSPEKTIF
PRAKTEK GENERALIST

Dalam tulisan berikut akan dikemukakan langkah-langkah


praktis dari suatu tahapan proses assessment pekerjaan sosial.
Langkah-langkah berikut tentunya bukan merupakan tahapan kaku
dan statis, tetapi lebih bersifat fleksibel yang penggunaannya dapat
disesuaikan dengan konteks dan isu permasalahan. Artinya para
pekerja sosial dapat mengembangkan dan membangun langkah-
langkah kreatif sejauh itu fungsional dan bermanfaat bagi
penyelesaian masalah, pengembangan potensi sumber dan penguatan
kapasitas klien. Dengan demikian tahapan yang akan dituliskan
disini merupakan salah satu saja dari sekian banyak tahapan yang
dapat dikembangkan dalam praktek pekerjaan sosial. Kemudian
tahapan berikut lebih bersifat generalis, artinya dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan praktik mikro, meso dan makro.
Proses atau tahapan kegiatan assessment tersebut dimulai
dengan kegiatan engagement, yaitu suatu tahapan kegiatan penting
yang seringkali diabaikan atau dianggap mudah. Pada bagian inilah
kesan pertama klien terbangu terhadap pekerja sosial, jika kesan
yang dibangun adalah anda sebagai orang yang ahli, hebat, serba
tahu, dan serba bisa baik dalam ucapan maupun perilaku non
verbalnya; maka sesungguhnya anda sedang membangun benteng
yang tinggi dan kokoh yang membatasi komunikasi dan interaksi
anda dengan klien. Namun sebaliknya jika anda sewajarnya bersikap
ramah, terbuka dan jujur serta rendah hati dan seterusnya sebagai
semangat untuk membangun pertolongan; maka anda sedang
membangun jembatan yang mulus, lancar dan kokoh untuk saling
berkomunikasi dengan klien anda. Seringkali membangun hubungan
yang ‗hangat‘ dengan klien merupakan langkah pertama dan utama
dalam menjamin keberhasilan proses pertolongan.

A. ENGAGEMENT
1. Ucapkan salam kepada klien
2. Unjuk keterampilan menghadiri secara efektif
a. Mengdengarkan/menyimak dengan cermat

78
b. Lakukan kontak mata (hati-hati dengan
perbedaan budaya)
c. Fokus pada pemikiran dan perasaan klien (gunakan
pertanyaan terbuka)
d. Jika perlu gunakan silence
e. Buat catatan informasi yang nampaknya perlu
diingat
3. Bicarakan harapan-harapan lembaga atau klien
4. Tentukan jika lembaga atau kllien memerlukan
pertolongan
5. Ajukan penawaran bantuan kepada klien
6. Orientasikan klien kepada proses pertolongan
a. Klien perlu mengetahui aturan dan kondisi
b. Negosiasi dengan klien seberapa sering sesi
pertemuan, waktu dan tempat, serta total jumlah sesi.
7. Lengkapi kertas kerja yang diperlukan

B. ASSESSMENT
1. Mendapatkan suatu pemngertian akan sebuah masalah atau
isyu, apa yang menyebabkannya, dan perubahan apa yang
dapat dilakukan untuk meminimalisasi atu mengatasinya.
Highlight Perbedaan antara diagnosis dan assessment

a. Diagnosis: masalah klien dipandang sebagai bagian


dalam diri kien
b. Empat cara yang membedakan assessment
dengan diagnosis:
i. Lingkungan sekitar dipertimbangkan sebagai
hal penting sebagaimana aspek mikro
ii. System luar dapat menjadi target perubahan
iii. Tekanan pada bekerja bersama dengan
klien, bukan pada klien

iv. Focus pada kekuatan


2. Bagaimana Pendekatan Assessment
79
a. Mikro
b. Mezzo
c. Makro
d. Ragam Manusia
e. Setiap dimensi memerlukan focus pada
permasalahan dan kebutuhan klien serta kekuatan
klien
Assessment dalam Model Intervensi Generalis (MIG)

3. Lima Poin Utama


a. Pelibatan klien benar-benar esensial
b. Assessment selalu meliputi tindakan penilaian
c. Penekanan pada kekuatan adalah vital/utama/penting
d. Tunggal, definisi jelas dari masalah yang mungkin
tidak ada
e. Assessment adalah sebuah aktifitas
berkelanjutan
Assess dalam perubahan terencana adalah sebuah proses
yang terus berjalan

4. Tujuan-tujuan Assessment
a. Artikulasi sebuah pernyataan masalah
secaraclear
b. Formulasi sebuah deskripsi system klien secara
clear

c. Ilustrasi bagaimana keberfungsian system klien


berinteraksi dengan system lainnya
d. Simpan semua informasi bersama
5. Assessment Dari Perspektif Paktik Mikro
a. Menjelaskan masalah dan isyu
i. Menyadari kebutuhan klien yang tidak
terpenuhi
ii. Mengidentifikasi hambatan pemenuhan
kebutuhan

80
iii. Formulasi masalah dalam upaya
mengalihkan hambatan untuk pemenuhan
kebutuhan
b. Jenis permasalahan
i. Konflik interpersonal
ii. Ketidakpuasan dalam relasi social
iii. Masalah dengan organisasi formal
iv. Kesulitan dalam menjalankan peran
v. Permasalahan transisi social
vi. Masalah psikologis dan perilaku
vii. Sumber-sumber yang tidak tepat
viii. Masalah pengambilan keputusan
ix. Konflik budaya
x. Masalah prioritasisasi
6. Pemberdayaan: Mengidentifikasi Kekuatan-kekuatan Klien
a. Keluarga dan teman-teman
b. Latar belakang pendidikan dan pekerjaan
c. Keterampilan memecahkan masalah dan
membuat keputusan
d. Kualitas dan karakteristik personal
e. Sikap dan perspektif
f. Bermacam-macam kekuatan-kekuatan lainnya
7. Masalah mana yang seharusnya anda kerjakan?
a. Klien harus menyadari keberadaan masalah
b. Maslah harus jelas batasannya
c. Anda dan klien harus realistis yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah
d. Partialisasi: ‗bubukan‘ permasalahan atau buat seri
permasalahan menjadi bagian-bagian sehingga dapat
dikelola.
8. Pengumpulan Informasi: Sumber-sumber Data Assessment
a. Form lembaga yang telah diisi oleh klien
b. Tanggapan klien terhadap pertanyaan anda selama

81
wawancara
c. Perilaku nonverbal klien
d. Interaksi klien dengan orang lain
e. Sumber-sumber luar
f. Tes psikologi atau lainnya
g. Interaksi anda sendiri dengan klien
9. Instrument Assessment
a. Diagnostic and Statistic Manual (DSM)
i. Lima garis utama:
1. Gangguan dan kondisi klinis tidak
secara langsung merupakan
atribut menuju gangguan mental
2. Gangguan kepribadian
3. Kondisi fisik
4. Masalah lingkungan dan psikososial
5. Assessment global terhadap
keseluruhan level keberfungsian
ii. Empat alasan mengapa DSM relevan bagi
bekerja social
1. Menyediakan cara-cara bagi
berbagai professional untuk
berkomunikasi dengan setiap
lainnya
2. Membantu dalam mengevaluasi dan
mengatasi klien dengan gangguan
mental
3. Dimanfaatkan dalam pengajaran
mengenai gangguan mental
4. Menyediakan peluang-peluang yang
lebih untuk meneliti gangguan
mental
iii. Alasan berhati-hati menggunakan DSM
1. Hanya menggambarkan kondisi
khusus
2. Terdapat kecenderungan focus pada
82
patologi individual mengalihkan
interaksi klien dengan lingkungan
3. Lemah dalam kategori- kategorinya
b. Mengkaji assertiveness (The Rathus Assertiveness
Schedule)
c. Mengkaji penyalahgunaan alkohol dan obat-
obatan (an alcoholism Test)
10. Assessment Keluarga
a. Memilih Bekerja dengan Keluarga
b. Keterampilan-keterampilan Assessment
Keluarga
c. Komunikasi keluarga
d. Struktur keluarga
e. Penyesuaian-penyesuaian life-cycle
f. Dampak lingkungan sosial
g. Wilayah-wilayah kunci konflik keluarga
h. Hubungan keluarga
i. Eco-Map
ii. Genogram
11. Kunjungan Rumah (home visits)
a. Reaksi pekerja social
b. Penjadwalan kunjungan
c. Kehatian-hatian keamanan diri anda sendiri
12. Assessment dalam Praktik Mezzo: Mengkaji Kelompok
a. Potensi dukungan
b. Siapa yang menjadi anggota kelompok?
i. Seleksi criteria untuk treatment
keanggotaan kelompok
1. Motivasi
2. Tujuan kelompok
3. Keterampilan komunikasi
umum
4. Keuntungan dan

83
ketidakuntungan kelompok
ii. Pengumpulan informasi mengenai potensi
anggota kelompok
1. Wawancara dengan anggota
kelompok potensial awal mula
kelompok
2. Gunakan tes self-rating
iii. Seleksi criteria tugas-tugas keanggotaan
kelompok
1. Kepentingan individual
2. Keahlian
3. Homogenitas versus
heterogenitas
4. Keistimewaan dalam masyarakat
5. Hubungannya dengan agen sponsor
6. Keragaman dan karakteristik
demografi
iv. Melaksanakan tugas-tugas anggota
kelompok
c. Assessment kelompok berjalan
i. Kuesioner self-rating individual
ii. Klien mungkin menyimpan diari kejadian
sehari-hari
iii. Bagan peningkatan mereka
iv. Membawa pengamat luar
13. Assessment dalam Kelompok Makro
a. Assessment kebutuhan masyarakat
i. Informasi
ii. Ketersediaan sumber
iii. Kondisi pengembangan program
iv. Sikap-sikap masyarakat
b. Contoh sebuah assessment masyarakat
i. Karakteristik masyarakat
ii. Kehidupan masyarakat
84
iii. Ketersediaan pelayanan social
iv. Ringkasan
c. Empat-tahap proses assessment kebutuhan
i. Tahap 1: Menggali sifat lingkungan
masyarakat
ii. Tahap 2: Mencari tahu wilayah dan
penghuninya
iii. Tahap 3: Mengidentifikasi kekuatan-
kekuatan masyarakat
iv. Tahap 4: Bicara dengan orang-orang dalam
masyarakat
d. Wawancara seseorang dalam masyarakat
i. Lakukan obrolan-obrolan ringan
ii. Suguhkan penjelasan yang jelas tujuan anda
iii. Jelaskan secara jernih apa yang menjadi
keinginan orang-orang dalam
masyarakat
iv. Bicara secara langsung dengan lawan bicara
anda
v. Gunakan keterampilan-keterampilan mikro
vi. Dapatkan informasi khusus yang anda
butuhkan
vii. Pastikan lawan bicara anda mempunyai
peluang untuk berbagi opini dan
menyimpulkan wawancara.

Latihan Genogram
A. Deskripsi singkat:
Lakukan secara mandiri, mahasiswa akan mmpersiapkan sebuah
genogram keluarganya sendiri

B. Sasaran:
Anda akan mampu:
1) Mengkonstruksi sebuah genogram dengan symbol- simbol
tepat
85
2) Meningkatkan kesadaran anda dari sejarah keluarga
anda

C. Prosedur:
Mereview deskripsi dan contoh-contoh sebuah genogram
dituangkan dalam teks tertulis. Wawancara anggota keluarga dan
sumber-sumber data lainnya untuk mengumpulkan informasi
yang anda butuhkan. Apa yang dapat kamu simpulkann dari
ulasan anda terhadap genogram tersebut.

Latihan Eco-map
A. Deskripsi singkat:
Mahasiswa akan mempersiapkan sebuah eco-map mereka sendiri
atau teman. Ini dapat dilakukan di dalam kelas atau tugas mandiri

B. Sasaran:
Anda akan mampu:
1. Mengkonstruksi sebuah eco-map
2. Meningkatkan kesadaran anda tentang informasi yang
dibutuhkan dengan konstruksi eco-map.

C. Prosedur:
Mengulas deskripsi eco-map dalam teks. Manfaatkan diri anda
sendiri atau sahabat atau teman kuliah , mengkonstruksi eco-map
menggunakan symbol-simbol yang tepat. Gambarkan pola-pola
atau kerakteristik tertentu tidak biasa yang dicatat oleh anda
selama mempersiapkan eco-map.

Latihan Analisis Masyarakat


A. Deskripsi singkat:
Kelompok-kelompok kecil menganalisis masyarakat sekitar
kampus dengan menggunakan format yang telah disiapkan.

86
B. Sasaran:
Anda akan mampu:
1) Memahami seluas mungkin variable yang perlu anda kaji
dalam rangka memahami masyarakat.
2) Menerapkan sebuah format analisis masyarakat untuk
komunitas dimana kampus anda berada

C. Prosedur:
1. Sebelum memulai latihan, mengulas bahan assessment dalam
praktik makro .
2. Buat kelompok-kelompok kecil beranggotaan lima hingga
enam orang.
3. Pusatkan pada masyarakat di sekitar kampus, lakukan empat
hinga lima menit untuk memulai pertanyaan ―Format untuk
Menganalisa Komunitas atau Lingkungan‖ catat dibawahnya.
Hal tersebut dilakukan baik untuk karakteristik masyarakat
dan kehidupan komunitas. Selanjutnya, lakukan kajian
kesejahteraan umum (public) dan system pelayanan social
yang tersedian dalam masyarakat.
Jawab kuesioner semampu anda. Satu seorang
anggota kelompok sebaiknya mencatatnya sehingga hasilnya
dapat didiskusikan di akhir kelas nanti.

Format untuk Menganalisa sebuah Masyarakat atau


Lingkungan
Berikut ini format yang disediakan untuk menganalisa sebuah
masyarakat. Dilakukan untuk melihat karakteristik masyarakat dan
kehidupan masyarakat. Selanjutnya, mengkaji system pelayanan
umum dan pelayanan social yang tersedia di masyarakat. Dianjurkan
untuk melakukan proses kajian sebuah masyarakat yang telah
tersedia. Berikut ini akan disediakan sebuah format untuk jenis
pertanyaan khusus untuk diajukan atau untuk bagaimana
mengorganisasi informasi tersebut.
Pertanyaan diajukan dalam berbagai bagian tidak secara
komprehensif atau tidak sama kepentingannya. Mahasiswa dapat
mengubah atau menambah rinci pertanyaan yang tersedia.
87
Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah bahwa sebuah
komunitas bukan entitas tang terisolasi. Lebih dari itu, komunitas
merupakan bagian system social, hukum, dan politik yang lebih
besar. Apa yang diputuskan pada tingkat nasional, regional atau
bahkan desa pun dapat berdampak kepada keberfungsian komunitas
tersebut. Format berikut hanya memperhatikan komunitas itu sendiri.
Paling tidak membantu anda secara cepat memahami komunitas
anda.

A. Karakteristik Komunitas
a) Konfigurasi Etnik/ Ras. Populasi penduduk utama (Jawa,
Sunda, Batak, Padang, bali dst), agama, komposisi umur,
perbandingan jumlah penduduk per RT-RW-Desa-
Kecamatan-Kabupaten/Kota
b) Faktor-faktor Ekonomi. Jenis mata pencaharian utama,
industry utama, sumber-sumber ekonomi,
kehidupan ekonomi pagi-siang-malam, dst.
c) Pengangguran. Tingkat pengangguran,
perbandingan dengan nasional, regional, local,
d) Tingkat Pendapatan
e) Pola Tempat Tinggal
B. Kehidupan Komunitas
a) Komunikasi dan Interaksi
b) Pelayanan-pelayanan Sosial
c) Organisasi Publik dan Organisasi Pelayanan
C. Pelayanan Sosial yang Tersedia
a) Administrasi pelayanan
b) Program-program Kerjasama antar Lembaga
c) Perawatan Non Kelembagaan
d) Program-program Bantuan Umum lainnya
D. Kesimpulan
Dalam satu atau dua paragraph, simpulkan persepsi utama
anda mengenai masyarakat ini.

4.setelah para praktikan / mahasiswa kembali dari lapangan untuk


88
pengumpulan data, mereka dikumpulkan kembali untuk
mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. apa yang dapat kamu pelajari mengenai masyarakat seputar
kampus melaui praktikum ini?
b. apakah anda memperoleh sesuatu atau tetap tidak
mengetahui tentang masyarakat sekitar kampus?
c. informasi apa tentang masyarakat yang dapat membantu
penyesaian persoalan-persoalan kemasyarakatan?

89
BAB 5 : WAWANCARA DALAM PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL

A. PENGERTIAN WAWANCARA
Dalam bimbingan sosial perseorangan (social casework)
merupakan suatu metode pertolongan terhadap individu dengan
berdasarkan pada orang per-orang untuk mengetahui perorangan dan
masalahnya. Casework mungkin meliputi upaya pertolongan
penyesuaian diri individu terhadap lingkungannya (sebagai contoh,
membantu mantan narapidana kembali ke masyarakatnya). Atau
mungkin saja casework terlibat dalam kegiatan pertolongan dengan
mengadakan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan (sebagai contoh,
seorang tenaga pengembangan masyarakat mungkin bertindak
sebagai pendamping bagi seorang anak yang mengalami
ketidakmampuan/ cacat fisik untuk belajar menerima pelayanan
khusus dalam sebuah seting sekolah).
Mungkin terdapat dua esensi keterampilan penting yang
perlu dimiliki oleh tenaga pengembangan masyarakat dalam bekerja
dengan orang-perorangan yaitu wawancara dan konseling
(bimbingan). Dalam wawancara pekerjaan sosial perlu mengetahui
mengenai : tipe-tipe wawancara dalam praktek pekerjaan sosial,
bagaimana memulai dan menutup wawancara, bagaimana
mengajukan pertanyaan, mencatat, dan menggunakan audio dan
rekaman saat wawancara berlangsung. Tenaga pengembangan
masyarakat perlu menyediakan sejumlah waktu mereka untuk
berwawancara, dan banyaknya waktu tersebut tergantung dari
lamanya wawancara.
Pada hakekatnya landasan dari seluruh aktivitas palayanan
manusia adalah wawancara. Wawancara dibatasi dan dibedakan
dengan perbincangan tak terfokus. Bagian ini akan memberikan
suatu pandangan mengenai ―architecture‖ dari wawancara ---
elemen-elemennya secara mendalam.
Sebagaimana dikatakan oleh Zastrow bahwa Wawancara
adalah alat utama para tenaga pengembangan masyarakat. Ini
merupakan struktur dari operasionalisasi interaksi antara seorang
90
tenaga pengembangan masyarakat dan seorang klien. Setiap tenaga
pengembangan masyarakat mengembangkan gaya berwawancaranya
sendiri. Berwawancara adalah suatu seni dan keterampilan, dan
pembelajaran tentang bagaimana mewawancarai adalah berbuat
sambil belajar (learning by doing).
Fokus sentral awal dari suatu wawancara pekerjaan sosial
adalah pada elemen-elemen yang merupakan ciri dari keseluruhan
wawancara pekerjaan sosial. Sebagaimana diketahui wawancara
berkaitan dengan beragam objek yang berbeda dalam beragam
konteks yang berbeda dengan beragam bantuan yang berbeda pula.
Sikap-sikap esensial yang baik bagi mewawancara termasuk
didalamnya pengamatan aktif, mendengarkan aktif, dan gerak tubuh.
Nilai-nilai utama yang penting bagi pewawancara yang terwujud
diantaranya rasa empati, kehangatan, penghargaan, dan kejujuran.
Sikap-sikap dan nilai-nilai tersebut akan membantu membangun
hubungan dalam suatu situasi pertolongan.

B. KARAKTERISTIK WAWANCARA
Setiap intervensi yang dipakai seorang pekerja pelayanan manusia ---
apakah membimbing seorang anggota masyarakat atau memobilisasi
sebuah kelompok untuk kegiatan sosial--- membutuhkan wawancara.
Agar dapat dipahami lebih mendalam, semua uasaha tersebut perlu
dibangun secara terencana, dikomunikasikan secara hati-hati:
berbicara dan mendengarkan, melakukan gerak tubuh nonverbal, atau
menulis.

1) Sebuah Wawancara adalah Komunikasi Bertujuan


Sebuah obrolan sosial tidak perlu memiliki sejumlah tujuan yang
disadari. Saat kita sedang ngobrol secara kebetulan dengan teman,
biasanya kita tidak memiliki agenda yang tetap/pasti tentang apa
yang sedang kita perbincangkan. Perbincangan seringkali berjalan
begitu saja dari satu topik pindah ke topik yang lain: bicara masalah
cuaca, masalah pekerjaan, kuliah, perasaan-perasaan kita, nge-gosip-
91
in teman kita, dan seterusnya.
Sebuah wawancara, pada lain pihak, mempunyai suatu
maksud dan tujuan tertentu. Seringkali yang terjadi adalah, seseorang
datang kepada tenaga pengembangan masyarakat memohon bantuan
untuk mengatasi atau mengurangi masalah-masalahnya, dan segala
upaya dilakukan tenaga pengembangan masyarakat untuk
mengupayakan tujuan tersebut. Atau tenaga pengembangan
masyarakat mencari tahu seseorang atau lembaga yang dapat
dijadikan sebagai sumber atau dukungan masyarakat untuk
membantu memberikan palayanan yang dibutuhkan oleh kelompok
atau klien. Berikut terdapat beberapa contoh dari kegunaan
wawancara yang sering dilakukan oleh tenaga pengembangan
masyarakat:
 Seorang manajer dari suatu Kantor Pelayanan Masyarakat
menerima delapan orang pasien yang akan dibebaskan dari
rumah sakit jiwa butuh untuk menyewa sebuah gedung dan
ingin mengetahui secara khusus apakah tetangga sekitar
apakah akan menentang kahadirannya. Manajer tersebut
kemudian melakukan sejumlah wawancara kepada para
penunggu toko dan beberapa orang yang menginap di
gedung tersebut untuk mendengarkan sikap-sikap mereka.
 Tenaga pengembangan masyarakat dalam sebuah
pengelolaan rumah perawatan mengunjungi seorang lansia
yang mengalami kesulitan memperoleh bantuan sembako,
dan mengetahui pelayanan lainnya dan segala sesuatu yang
ingin diketahuinya.
 Seorang tenaga pendampingan dalam sebuah Badan
Pelayanan Keluarga bertemu dengan seorang orangtua
tunggal untuk menjelaskan bagaimana sebaiknya melakukan
perawatan anak-anaknya dan melihat apakah ia memenuhi
persyaratan keuangan yang cukup untuk hal tersebut.
 Seorang tenaga pengembangan masyarakat dalam sebuah
nursing home (rumah pengasuhan) berbicara dengan seorang
wanita yang tidak seperti biasanya mengalami tekanan-

92
tekanan untuk mencari jalan keluar kesulitan yang dialami
wanita itu.
 Seorang koordinator kegiatan-kegiatan after school
memanggil orangtua siswa untuk memberitahukan kepada
mereka tentang Persatuan Orangtua Siswa (POS) akan
makanan malam tambahan dan menanyakan hidangan makan
malam apa yang sebaiknya dibawa, atau topik-topik apa saja
yang akan dibicarakan.
 A community school worker melakukan suatu survai ―needs
assessment‖ untuk melihat jenis-jenis kegiatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat.

Sementara itu wawancara penelitian adalah sebuah


wawancara pertolongan dalam waktu yang panjang, sejak hasil
penyidikan mungkin membantu orang, jenis ini bukan merupakan
sebuah wawancara pelayanan langsung (direct service), meskipun
begitu banyak keterampilan yang kita bicarakan dapat diterapkan
untuk wawancara penelitian.

2) Sebuah wawancara mempunyai fokus dan struktur


Perbedaan lainnya antara perbincangan dengan sebuah wawancara
adalah bahwa masing-masing orang mengharapkan dalam sebuah
perbincangan memperoleh kesempatan perhatian yang sama,
sementara sebuah wawancara terfokus pada upaya-upaya untuk
memenuhi kebutuhan klien. Jika seorang teman berbicara tanpa henti
mengenai masalahnya dan kita mungkin mendengarkannya tanpa
perhatian yang penuh, kita mungkin akan merasa tidah diacuhkan
dan mungkin akan marah. Dalam sebuah wawancara, bagaimanapun,
sebagian besar keterampilan pewawancara terdiri dari pengetahuan
mengenai kapan sebaiknya diam dalam rangka mendorong
terwawancara menceritakan apa yang ada dalam
pikirannya/perasaannya. Pewawancara pada prinsipnya
bertanggungjawan untuk mempertahankan sebuah wawancara yang
terfokus.
93
Sebuah perbincangan dan sebuah wawancara juga berbeda
dalam strukturnya. Sebuah perbincangan dapat menjadi lebih
menyenangkan saat melantur (bertele-tele) tanpa akhir, tetapi bertele-
betele (melantur) dan wawancara tidak terstruktur mungkin
sebaiknya tidak dipergunakan dan bisa menimbulkan perasaan
frustasi yang mendalam. Sebuah wawancara seharusnya terencana
dan terfokus pada keterkaitan isyu/permasalahan, meskipun tentunya
didalam wawancara selalu terdapat kehangatan dan sedikit
perbincangan ringan yanga membuat kedua belah pihak merasa
nyaman.

3) Sebuah wawancara memerlukan keterampilan tertentu


Pada akhirnya, perbincangan dan wawancara berbeda dalam tingkat
keterampilan yang dibutuhkan untuk kedua kegiatan tersebut. Adalah
benar bahwa manusia mempunyai beragam keterampilan yang
mengangumkan dalam hubungan interpersonalnya, dan dengan
demikian terdapat sejumlah orang yang melakukannya secara lebih
kreatif daripada yang lain. Sejauh kita dapat memahami dari diri kita
sendiri, banyak dari kita tidak pernah berpikir bahwa kita harus
melatih diri sendiri untuk melakukan perbincangan sosial. Dalam
rangka menjadi pewawancara yang terampil, bagaimanapun, kita
perlu mempelajari secara lebih mendalam bagaimana manusia
berinteraksi dengan manusia lainnya. Kita perlu memperhitungkan
atau memperkirakan isyarat perilaku-perilaku: untuk mendengarkan
dengan hati-hati tidak hanya kata-katanya tetapi juga bayangan dan
nuansa dari bunyi (nada), titik nada dan volume suara; dan
mengkomunikasikan pemahaman kita tentang apa yang kita lihat dan
dengar dengan cara yang mudah dipahami (jelas) dan sadar bahwa
kita sungguh-sungguh memperhatikan orang tersebut.

C. DEFINISI WAWANCARA

Keistimewaan yang membedakan sebuah wawancara pelayanan


manusia dengan perbincangan sosial akan membantu kita memahami
definisi secara lebih mendalam. Ringkasnya, sebuah wawancara
94
pelayanan manusia adalah suatu interaksi antar orang yang memiliki
suatu rencana, maksud, struktur, dan tujuan yang disadari serta
memerlukan keterampilan komunikasi tertentu.
Sebagai salah satu keragaman dari komunikasi interpersonal
secara verbal dan non-verbal, wawancara merupakan suatu bentuk
yang khusus dengan keunikan karakteristiknya yang berbeda. Sebuah
wawancara dapat dibedakan berdasarkan tiga karakteristiknya :
1. menurut maksud dan tujuan/sasarannya;
2. struktur formal dengan peranan, waktu, dan lokasi yang
memaksa (mendesak/darurat); dan
3. orientasi proses dan perkembangan.

1) Tiga Jenis Wawancara Pekerjaan Sosial


Berdasarkan tujuannya sebagian besar wawancara pekerjaan sosial
dapat diklasifikasikan sebagai upaya-upaya mencari informasi (untuk
membuat studi kasus atau sejarah sosial), diagnostik (untuk mencapai
penaksiran tertentu), atau terapis (untuk membantu perubahan klien).
Seringkali, terjadi tumpang-tindih diantara ketiga tipe tersebut.
Sebagai contoh, seorang tenaga pengembangan masyarakat
perlindungan dalam awal wawancaranya dengan sepasang suami istri
yang diduga melakukan tindak kekerasan kepada anak-anak biasanya
akan memperoleh latar belakang informasi mengenai anggota-
anggota keluarganya, dan mencari hingga memperkirakan
kemungkinan apakah penyiksaan terhadap anak telah terjadi. Jika
penyiksaan itu terjadi, tenaga pengembangan masyarakat mungkin
juga akan mulai memberikan pertolongan keluarga untuk mengakhiri
tindakan penyiksaan selanjutnya. Terdapat tiga wawancara, yang
saling tumpang-tindih, yang berbeda dalam cara strukturnya dan
perlakuanya.

Wawancara Informasional atau Sejarah Sosial


Wawancara informasional dirancang untuk memperoleh

95
latarbelakang atau bahan sejarah kehidupan berkaitan dengan
seseorang atau masalah sosial yang dihadapi oleh klien. Maksudnya
bukan untuk mempelajari keseluruhannya tetapi untuk mengetahui
mengenai latarbelakang anggota masyarakatyang akan
memungkinkan tenaga pengembangan masyarakat (atau badan
sosial) dapat memahami dengan lebih baik kliennya sehingga
keputusan dapat segera dibuat tentang jenis pelayanan apa yang
seharusnya tersedia. Informasi seharusnya berisiskan fakta objektif
dan perasaan serta sikap- sikap subjektif. Orang yang diwawancarai
atau dihubungi termasuk di dalamnya klien, atau mungkin juga
orangtuanya, teman-temannya, sanak-famili, pekerja-pekerjanya, dan
atau lembaga-lembaga yang pernah berhubungan dengan klien,
seperti halnya badan-badan pelayanan sosial, kepolisian, atau
sekolahnya. Informasi yang spesisfik yang diinginkan dengan
beragam sejarah sosial semisal dari suatu lembaga ke lembaga sosial
tertentu. Suatu badan pelayanan adopsi misalkan, ingin mengetahui
lebih mendalam mengenai cara pengsuhan anak dari orang tua yang
cukup potensial menjadi orang tua asuh sebagai bahan perbandingan
dengan sebuah sheltered workshop, yang mungkin ingin lebih
mengetahui secara spesifik kemampuan dari anggota
masyarakatpotensialnya. Sebuah sejarah sosial biasanya berupa
lembaran informasi (mis: nama, umur, pekerjaan, dan seterusnya)
dan kemudian informasi mengenai ajuan pertanyaan atau masalah,
awalnya perkembangan dan pengalaman di masa kecil, latar
belakang keluarga, latar belakang pendidikan (sekolah), masa
pacaran dan perkawinan, pengalaman bekerja, hubungan dengan
badan/lembaga sosial, dan kesan-kesan umum lainnya. Objek- objek
pertanyaan dan format dari sejarah sosial sangat beragam dari
lembaga dengan lembaga lainnya.
Sejumlah contoh mengenai wawancara studi sosial akan
disebutkan. Seorang tenaga pengembangan masyarakat pada sebuah
rumah sakit mental mungkin mencari informasi mengenai
latarbelakang sesuatu untuk memahami permasalahan dan
keberfungsian sosial dari seorang pasien. Petugas probasi mungkin
akan meminta melakukan penyidikan sosial untuk mebrikan arahan
kepada pengadilan yang sedang menangani sebuah kasus dari
seseorang yang dituduh melakukan tindak kejatahan yang sangat
96
kejam. Seorang pekerja sosia yang bekerja dalam suatu dewan
pengembangan masyarakat mungkin akan melakukan wawancara
dalam suatu permasalahan lingkungan yang beragam untuk
mengidentifikasikan apa yang sebenarnya kebutuhan yang paling
utama untuk segera dipenuhi oleh penduduk setempat. Seorang
tenaga pengembangan masyarakat pada sebuah rumah perawatan
muungkin akan membuat sebuah sejarah sosial pada seorang
penghuni baru untuk memperoleh informasi permalahan-
permasalahan sosial dan individu yang sedang dialami, dan khusunya
berkaitan dengan minat-minat penghuni sehingga penghuni tersebut
dapat memahami secara lebih baik.

Wawancara Diagnostik
Wawancara penaksiran atau pembuatan keputusan secara umum
lebih terfokus dalam upaya maksud tertentu daripada wawancara
studi sosial. Wawancara diagnostik pada dasarnya berbeda dengan
wawancara informasional bahwa di adalam mengajukan pertanyaan
dalam wawancara diagnostik lebih terfokus pada pembuatan
keputusan-keputusan khusus mengenai pelayanan manusia. Berikut
contoh-contohnya. Seorang Tenaga pengembangan masyarakat
Perlindungan Anak menyelidiki seorang anak yang mengadukan
suatu perlakuan penyiksaan untuk membuat keputusan apakah
penganiyaan tersebut terjadi. Seorang Tenaga pengembangan
masyarakat Bantuan Masyarakat mewawancarai seorang wanita yang
hamil sebelum menikah untuk menentukan kelaikan mendapatkan
bantuan pelayanan. Seorang Konselor Bimbingan Pekerjaan
mewawancarai seorang anggota masyarakatcacat mental untuk
menentukan kelaikan memperoleh sejumlah pelayanan termasuk
bantuan keuangan, latihan kerja, dan mengikutertakannya dalam
ruang bengkel kerja. Seorang Tenaga pengembangan masyarakat
pada sebuah Penyediaan Fasilitas Rumah Tinggal Bagi Masyarakat
Tidak Mampu Mambangun mewawanca orang tua dari seorang anak
yang mengalami ‗keterbelakangan mental‘ yang sangat terbelakang
dan parah untuk mengetahui informasi pembuatan keputusan yang
akan digunakan oleh Komite Perijinan Pusat untuk menentukan

97
apakah anak tersebut diijinkan tinggal. Seorang Pemimpin dari suatu
Kelompok Kerja/Belajar Anak-Anak mewawancara seorang pemuda
yang sedang menjalani masa bimbingan (probation) karena akibat
bertengkar hebat dengan kedua orangtuanya untuk menentukan jika
seandainya pemuda tersebut akan memperoleh manfaat dari
kelompok Kerja/Belajar, atau mungkin perlu ditempatkan di sekolah
anak-anak nakal.

Wawancara Terapis (therapeutic)


Tujuan dari wawancara terapis adalah untuk membantu anggota
masyarakatmelakukan perubahan, atau mengubah lingkungan sosial
untuk membantu fungsi-fungsi anggota masyarakatagar lebih baik,
atau keduanya. Contoh tipe pertama berikut ini. Seorang yang
mungkin secara malu-malu ingin dibimbing bagaimana caranya agar
perilakunya bisa lebih ‗assertive‘. Seorang anggota masyarakatyang
mengalami depresi, atau merasa kesepian, atau seseorang yang ingin
bunuh diri mungkin memerlukan bimbingan untuk mengatasi
masalah-masalahnya secara lebih baik. Seorang anggota
masyarakatyang sedang menjalani masa pembebasan bersyarat
mungkin perlu dibimbing tentang bagaimana melakukan atau
memperoleh pekerjaan. Sepasang suami-istri yang mengalami
masalah perkawinan mungkin perlu dibimbing tentang bagaimana
berkomunikasi dan mengatasi masalah mereka secara lebih baik.
Sepasang suami-istri yang baru menikah yang suaminya mengalami
penderitaan karena mengalami ejakulasi dini mungkin perlu
dibimbing (be counseled) untuk mengatasi suatu ketidakfungsian.
(Belliveau and Richter, 1970). Sepasang suami istri yang mengalami
masalah disiplin anak-anak mereka mungkin perlu memperoleh sesi-
sesi instruksional melalui Pelatihan Teknik- teknik menjadi Orangtua
yang Efektif (Gordon, 1970).
Wawancara penyembuhan (therapeutic) lainnya mungkin
digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam lingkungan
sosial dalam rangka memfasilitasi keberfungsian sosial klien.
Wawancara terapis adalah yang paling banyak dipergunakan dalam
praktek pekerjaan sosial, dan selanjutnya jenis ini akan merupakan
98
fokus dalam tulisan ini.

2) Elemen-Elemen Penting Wawancara


Maksud/tujuan, fokus, struktur dan keahlian makin membentuk suatu
wawancara. Faktor-faktor lain yang mendukung berjalannya
wawancara termasuk :
 lokasi wawancara (the setting)
 sifat-sifat istimewa kepribadian, harapan-
harapan, latarbelakang budaya, dan gaya pewawancara.
 harapan-harapan, kepribadian, dan latar belakang budaya
dari terwawancara.
 dukungan badan pelayanan.
 sikap-sikap dan nilai-nilai pertolongan kemanusiaan

Kesemuanya tersebut adalah saling terkait-berhubungan dan saling


berpengaruh satu sama lainnya. Kita dapat memisahnya untuk
kepentingan diskusi, tetapi perlu diiingat saat membacanya bahwa
dalam prakteknya tidak ada salah satu faktor pun yang benar-benar
dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Sebagaimana diketahui dalam tahapan wawancara
praktek pekerjaan sosial terdiri dari tiga tahap, yaitu

Dalam tahap awal, merupakan tahap untuk membangun keakraan


hubungan antara pewawancaa dan terwawancara. Kemampuan
berempati, sebagai kemampuan memahami orang lain dari kerangka
berfikir orang tersebut, sangat mendasari keberhasilan hubungan
pertolongan dan harus terlebih dahulu dibangun sebagai tahap awal
pertolongan. Pada tahap ini pewawancara dan terwawancara saling
membangun keercayaan, dan pewawancara berupaya

99
mendorong/mendukung terwawancara untuk mengungkap persoalan
dan memperoleh sebanyak mungkin informasi serta juga
mengungkap sebanyak mungkin perasaan.
Tahap eksplorasi ini memungkinkan pewawancara dan
terwawancara untuk menentukan secara bersama tujuan dan sasaran
pertolongan dan dengan demikian dapat mengarahkan hubungan
pertolongan. Keterampilan dalam rangka relationship-building pada
rangorang per orang merupakan keterampilan dasar yang dapat
digunakan dalam berbagai situasi dan berbagai orang.
Tahap kedua adalah tahap proses pertolongan atau tahap
tengah, yang terdiri dari kegiatan-kegiatan: perencanaan strategis,
implementasi dan evaluasi, yang selanjutnya mengarah pada
terminasi dan tidak lanjut (tahap akhir wawancara). Pada tahap ini
keberhasilan suatu proses sangat tergantung pada bagaimana
komunikasi yang efektif dibangun dalam suatu hubungan
pertolongan yang positif pada tahap pertama.

D. MODEL KONSELING RELASIONAL


Sebagian besar buku-buku mengenai konseling didasarkan pada
model client-centered, hubungan pertolongan pemecahan masalah
yang aksi dan perubahan perilakunya dapat dihasilkan oleh kedua hal
berikut:
1. Eksplorasi dan memahami perasaan, pemikiran, dan
tindakan-tindakan klien; atau
2. Pemahaman anggota masyarakatdan memutuskan untuk
memodifikasi variabel lingkungan dan sistem ang saling
berhubungan.

Strategi kognitif, afektif atau perilaku digunakan secara terpisah atau


secara bersamaan (simultan) ketika pewawancara dan terwawancara
telah menentukan secara tepat mengenai kebutuhan dan waktunya.
Berbagai strategi pertolongan dapat dipakai secara kombinasi.
Terdapat beberapa asumsi berkenan dengan hubungan konseling
100
pertolongan, antara lain:
1. Manusia bertanggungjawab untuk dan mampu membuat
keputusannya sendiri.
2. Manusia dikendalikan oleh kondisi tertentu oleh
lingkungannya, tetapi mereka mampu mengarahkan
kehidupannya secara lebih relistis. Mereka memiliki
kebebasan untuk memilih, bahkan walupun seandainya
pilihannya dibatasi oleh variabel lingkungan atau
pembawaan biologis atau kecenderungan kepribadian
tertentu.
3. Perilaku mengarah pada maksud dan tujuan tertentu.
Manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan sendiri, dari
kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan aktualisasi diri yang
lebih abstrak (kebutuhan psikologis, sosiologis dan estetis.
4. Manusia ingin merasa senang akan dirinya dan selanjutnya
membutuhkan kofirmasi positif mengenai harga dirinya dari
orang lain.
5. Manusia mampu mempelajari perilaku baru dan bukan
mempelajari perilaku yang ada, dan mereka adalah subjek
terhadap lingkungan dan konsekuensi internal dari
perilakunya, yang selanjutnya memberikan penguatan.
6. Permasalahan pribadi manusia muncul dari usaha yang tidak
terselesaikan (konflik yang tidak beres) yang melekat di
masa lalu (berkenaan dengan kajadian dan hubungan
tertentu), sebagian besar permasalahan tersebut dapat diatasi
dengan memusatkan perhatian disini dan saat ini – pada
pilihan saat ini dari seseorang. Permasalahan juga muncul
diseabkan oleh ketidaksesuaian antara persepsi internal dan
eksternal di saat sekarang --- yaitu yang menimbulkan jurang
antara pengalaman aktual seseorang dan gambaran akan
pengalamannya.
7. Banyak permasalahan yang dialami oleh manusia saat ini
merupakan masalah kemasyarakatan atau sistem daripada
101
persoalan interpersonal atau intrapersonal. Manusia mampu
mempelajari akibat dari pilihan dan perubahan yang berasal
dari dalam atau luar sistem.

Beberapa implikasi penting dari cara konseling hubungan pertolongan bagi


para caseworker adalah sebagai berikut:
1. Mengenali dengan baik keterampilan komunikasi sebagai
inti dari hubungan manusia yang efektif.
2. Memberi kesempatan bahwa keterampilan berkomunikasi
dapat dipelajari untuk semua caseworker pada semua seting
dan jenis pertolongan kemanusiaan.
3. Menyediakan ruang yang serbagua dan nyaman/fleskibel
sehingga para tenaga pengembangan masyarakat dapat
mempelajri berbagai strategi penanganan yang lebih efektif
jika relasi pertolongan berhasil dikembangkan dan
dimantapkan.
4. Memodifikasi dan mempersatukan berbagai pendekatan dan
strategi yang telah ada.
5. Tersedia beragam keahlian dan keleluasaan (fleksibilitas)
yang diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan
penduduk yang beragam.
6. Bersedia menghadapi dengan perasaan, pemikiran dan
perilaku dalam jangka pendek, yang secara praktis berkenaan
dengan kehidupan orang yang akan dibantu.
7. Fokus pada aspek positif daripada aspek negatif dari
kehidupan orang yang ditolong (yaitu, pada aspek itulah
orang dapat berubah daripada yang sulit dikendalikan).
8. Membantu anggota masyarakat untuk secara aktif
memikirkan tanggungjawab dan keputusan bagi dirinya
sendiri.

E. DIMENSI HUBUNGAN (RELASI) PERTOLONGAN


102
Terdapat tiga dimensi relasi (hubungan) terintegrasi yang perlu
diperhatikan, antara lain: tahapan, keterampilan dan isyu/ persoalan/
permasalahan. Dimensi yang pertama adalah dimensi tahap-tahap
kegiatan, yaitu:
1. Tahap hubungan pertolongan (membangun persahabatan,
kpercayaan, kejujuran, empati):

lahan yang muncul

2. Tahap strategi
Memperoleh kejelasan tujuan dan sasaran
hubungan pertolongan secara bersama
i

Terminasi
Follow-up.

Dimensi kedua adalah dimensi keterampilan berkomunikasi


(communication skill) yang terdiri dari:

1. Keterampilan mendengarkan pesan-pesan verbal; yaitu yang


menjelaskan dan mendasari pemikiran dan isi perasaan
pernyataan klien.
2. Menerima pesan-pesan nonverbal, yaitu yang disampaikan
melalui bahasa tubuh, tekanan suara, ekspresi wajah, dan
isyarat lainnya yang melengkapi pesan verbal, dan
3. Menanggapi pesan-pesan nonverbal dan verbal; yaitu reaksi
tanggapan segera, jelas, konkrit dan empatik terhadap pesan
verbal dan nonverbal.

103
Dimensi ketiga adalah isyu-isyu yang berkaitan dengan :
1. topik pemikiran dan
2. nilai-nilai yang melintasi kedua dimensi terdahulu.
Isyu ini tidak hanya terkait dengan bagaimana seseorang berhubungan
dengan lainnya dan lingkungannya, tetapi juga berhubungan dengan
persoalan-persoalan ras, jenis kelamin, usia dan kekayaan. Lebih jauh lagi,
daa dimensi ini termasuk juga persolaan etika, pelatihan, praktik profesional,
demikian juga dengan nilai-nilai dan sikap klien.

104
BAB 6 : KOMUNIKASI VERBAL DAN NON VERBAL DALAM
KONSELING

Untuk berkomunikasi efektif para pekerja sosial, baik yang


bekerja pada level mikro (terutama), berparktik pada level makro
(tenaga pengembangan masyarakat) harus menggunakan
keterampilan berkomunikasi yang meliputi mendengarkan pesan-
pesan verbal (berisikan kognitif dan afektif), menerima pesan-pesan
nonverbal (berisikan afektif dan perilaku), dan menanggapi secara
verbal dan nonverbal kedua jenis pesan tersebut. Penguasaan
keterampilan berkomunikasi baik verbal maupun non verbal
merupakan hal penting dan utama dalam menunjang pekerja sosial
melakukan praktik pertolongan sesama manusia. Dalam bagian
berikut secara khusus akan dikemukakan hal-hal yang berkaitan
dengan pesan non verbal dan verbal.

A. MENERIMA PESAN-PESAN NONVERBAL


Setidaknya ada satu alasan yang paling penting dalam rangka
memahami komunikasi nonverbal yaitu karena dengan inilah
hubungan manusia terbangun. Para antropolog percaya bahwa dua-
tiga (dua dari tiga) komunikasi disampaikan pada level nonverbal.
Kita perlu memahami pola-pola gerak tubuh, postur, ekspresi wajah,
hubungan renggang, kedekatan personal, dan karakteristik budaya.

Tabel 8. Isyarat Nonverbal dalam Hubungan Komunikasi


Bentuk Contoh
Posisi badan Tegang, santai, mengarah ke depan atau
Menjauh
Mata Menyipit, terbuka, berkedip berlebihan,
berkedut ‗gugup‘
Kontak mata Tetap, menghindar, licik

105
Gerak badan Mengetukan kaki, kaki dan tangan selalu
digerakkan, menggerakkan jemari,
menggelengkan kepala, menyentuh,
mengangkat tangan
Postur (sikap) Bahu bersandar, membungkuk, kaki menyilang,
Badan kaku (seperti robot), santai
Mulut Tersenyum, tertutup, cemberut, mencibir, selalu
Terbuka
Ekspresi wajah Menyenangkan (mengasyikan), lembut,
bingung, dahi mengerutkan dahi, menyeringai,
wajah berkerut
Kulit (muka) Memerah (muda), pucat, merah padam,
berkeringat,
Penampilan Bersih, rapi, kusut, terlalu rapi
Umum
Suara Cepat, lambat, terbata-bata, lembut, keras

Seringkali isyarat-isyarat non verbal mengiringi pesan verbal yang


dikomunikasikan oleh seseorang. Dalam menyampaikan pesan-
pesannya, baik sambil ngobrol informal ataupun formal, konsitensi
antara isyarat nonverbal dengan pesan verbal menunjukkan keajegan
psikologis seseorang atas isi pesan yang disampaikan. Pesan verbal
seringkali menjadi semakin berbobot dan makin bermakna manakala
disampaikan melalui cara-cara non verbal yang sesuai kultur orang
dan masyarakatnya. Tentunya cara-cara atau metode non verbal
tersebut akan sangat berkait dengan konteks budaya dimana
masyarakat itu berada. Pengetahuan, pemahaman, dan penghargaan
akan nilai-nilai budaya menjadi begitu penting dalam mempermudah
proses komunikasi yang terjadi.

B. MENDENGARKAN PESAN VERBAL


Kita semua menyadari keperluan untuk mendengarkan pesan- pesan
verbal, dan terkadang kita dapat mengulang pesan verbal secara
sederhana kepada pengirim dalam situasi orang- perorang. Tetap
106
seringkali pesan-pesan tersebut terdistorsi, sehingga diartikan
berbeda pada masing-masing orang.
Kita terkadang mengalami kesulitan untuk memahami
dengan jelas pesan-pesan verbal, dan lebih sulit lagi untuk
memahami hal yang mendasari pesan-pesan verbal tersebut,
khususnya berkaitan dengan isi afektifnya (affective content). Salah
satu alasan mengapa kita terkadang menerima dan memahami pesan-
pesan verbal, karena kita terlalu terpaku pada isi kognitif (cognitive
content) daripada isi afektif. Kita gagal dalam memahami pesan-
pesan dibalik pesan verbal (hidden agenda) yang muncul.
Isi kognitif (cognitive content) terdiri dari fakta dan kata-kata
aktual dari pesan. Sedangkan isi afektif (affective content) mungkin
merupakan pesan verbal atau nonverbal dan terdiri dari perasaan,
sikap dan perilaku. Dengan demikian untuk dapat memahami pesan
dengan baik, berarti perlu benar-benar memahami baik isi pesan
kognitif dan afektif, serta mampu membedakan kedua isi pesan
tersebut. Isi afektif yang berbeda dengan isi kognitif terkadang akan
mengakibatkan pesan yang diterima menjadi kurang tepat atau salah
arti.
Tanggapan tenaga pengembangan masyarakat terhadap
pernyataan anggota masyarakatakan tergantung pada kemampuan
tenaga pengembangan masyarakat untuk mendengarkan dan
memahami apa yang dikatakan dan menyingkap tabir (uncover) apa
yang mendasari ia berkata demikian.

1) Pesan-pesan Verbal Kognitif


Pesan-pesan kognitif biasanya berbicara mengenai barang, orang,
atau kejadian dan mungkin sesuatu yang sederhana atau juga
kompleks. Terkadang anggota masyarakatlebih senang berbicara
mengenai pemikiran atau perilakunya dari pada perasaan mereka
yang sebernarnya.
Jika kita hanya menanggapi hanya menanggapi persoalan
kognitif klien, maka kita belum benar-benar memasuki pada perasaan
107
yang mendasarinya.

2) Pesan-pesan Verbal Afektif


Pesan afektif dikomukasikasikan kepada kita baik secara verbal
maupun nonverbal. Dengan memahami pesan-pesan afektif dan
kemudian memberikan tanggapan kepadanya, dengan begitu tenaga
pengembangan masyarakat tidak hanya menerima emosi-emosi
anggota masyarakat tetapi juga memohon ijin kepada anggota
masyarakat untuk menyampaikan pengalaman dan perasaannya
sendiri terhadap hal tertentu. Sedangkan perasaan itu sendiri dapat
dikelompokkan ke dalam empat kategori: marah, sedih, takut, dan
bahagia.
Tabel 9 Perilaku Peran dan Tanggapan Verbal Sesuai Tahapan
Konseling
Tahapan Perilaku Peran Tanggapan
Verbal
Hubungan Menyertai Sedikit tanggapan
Menjelaska verbal
n Menyusun
Memberitahu/menggambark kata Probing
Mendengarkan Responsif

an Probing/menyelidik Merefleksi
Mendukung/menentramkan
(hati) Menjelaskan
Memeriksa
Menggambarkan
Strategi Menyertai Probing
(Pelaksanaan Memberitahu/menggambarka Memeriksa
) n Menjelaskan
Probing/menyelidik maksud
Mendukung/menentramk Mempertentangk
an (hati) an
Memotivasi/menentukan Menggambarkan
Mengevaluasi/menganali Menyimpulkan
sis

108
Mengatasi persoalan

Dalam bagian berikut akan dikemukakan mengenai


keterampilan dan sikap-sikap penting yang harus diperhatikan dalam
melakukan assessment. Berikut beberapa keterampilan
berwawancara yang dapat mendukung kelengkapan fase
pengumpulan data dan asesmen dari wawancara:

Gerakan-gerakan tubuh (attending behavior).


Kontak mata (eye contact), badan menghadap ke depan, diasumsikan
posisi tubuh yang santai dengan tangan dan kaki yang tidak
menyilang menunjukkan adanya perhatian, ketertarikan, dan
keinginan untuk mendengarkan.

Dorongan minimal (minimal encouragement).


Anggukkan kepala, ―Emh-he‖, ―hmm‖, ―yaa‖, ―lalu, bagaimana ...‖,
dan ‖saya paham‖ semuanya mengindikasikan adanya perhatian
tehadap apa yang sedang dikatakan serta adanya hasrat untuk
mendengarkan lebih detail lagi; ini merupakan tanggapan balasan
dan penguatan atas pernyataan klien.

Pemantulan (Reflecting).
Pemantulan merupakan pengulangan terhadap apa yang dikatakan
oleh anggota masyarakatsebagai suatu rangsangan untuk meneruskan
bicaranya. Pemantulan yang selektif terhadap segmen-segmen
penting dari perkataan anggota masyarakatadalah sangat membantu.
Jika anggota masyarakatberkata ―Dia bertingkah yang membuatku
marah dan saya biarkan ia begitu,‖ tanggapannya mungkin ―Anda
marah ketika ia bertindak begitu‖. Catatan bahwa kalimat ―biarkan ia
bertindak begitu‖ bukan pantulannya.

109
Pernyataan (baru) (Paraphrasing).
Suatu uraian baru yang terpilih terhadap komunikasi anggota
masyarakat menunjukkan bahwa pewawancara tidak hanya
mendengarkan saja tetapi memahami kliennya. Pernyataan baru
memancing umpan balik dan konfirmasi anggota masyarakatatau
koreksinya. Penyimpulan (baca mengurai kembali) berjalan melewati
perefleksian terhadap formulasi baru dari pernyataan anggota
masyarakatsesuai dengan pemahaman pewawancara.

Peringkasan (Summarizing).
Sebuah rekapitulasi atau laporan singkat dari suatu unit terbatas dari
wawancara menyarankan apakah sudah cukup memenuhi atau mesti
ditambahkan lagi, hal pokok apa saja yang telah sesuai dengan tujuan
wawancara. Peringkasan memberikan arahan dan menyediakan
proses rujukan yang sah.

Hening (Silence).
Menggunakan secara bijak dan tepat keheningan mendorong
terwawancara untuk membagi bersama dan memberinya kesempatan
untuk berbuat sesuatu selanjutnya. Keheningan memberi waktu
terwawancara untuk memilih isi untuk menceritakan dan mengatur
pemikirannya untuk mengungkapkannya.

Klarifikasi (clarification)
Klarifikasi membantu anggota masyarakatmemperoleh kejelasan
spesifik dan persepsi sasaran akan situasinya. Klarifikasi membantu
anggota masyarakatmenstrukturisasi kembali pandangannya terhadap
suatu situasi sehingga memungkinkan perubahan yang sebelumnya
tidak diperhitungkan menjadi diketahui. Klarifikasi memunculkan
pertanyaan mengenai pros and cons kemungkinan perbedaan
pendekatan menanggapi situasi klien.

110
Penentangan (confrontation)
Dalam penentangan, pewawancara akan meminta perhatian anggota
masyarakatterhadap ketidaksesuaian antara apa yang ia katakan dan
berkaitan dengan perilaku nonverbalnya, antara omongan verbal dan
tindakan berikutnya, antara ekspresi nilai dan perilaku. Pewawancara
memancing anggota masyarakatmencoba untuk menjelaskan alasan
perbedaan tersebut. Dengan bantuan pewawancara anggota
masyarakatmencontohkan ketidaksesuaian dalam rangka menentukan
mana yang benar dan dengan demikian mengurangi konflik internal
dalam dirinya. Penentangan sebaiknya bukan merupakan tantangan
atau intimidasi dalam tekanan suaranya; ketidaksesuai semestinya
dibuat seolah seperti sebuah teka-teki yang mesti dipecahkan dan
yang kepentingannya untuk membantu terwawancara
menjelaskannya. Ketidaksesuaian sebaiknya dihantarkan dengan
rincian khusus dan dengan saran-saran yang pewawancara
ungkapkan berdasarkan permohonan anggota masyarakatuntuk
memahami anggota masyarakatsecara lebih baik.

Interpretasi (interpretation)
Oleh karena penentangan (confrontation) berhubungan dengan data
yang memerlukan penjelasan, interpretasi mengupayakan hipotesis
bagi pertimbangan terwawancara. Tenaga pengembangan masyarakat
menganalisa informasi bersama klien; menempatkannya dalam
istilah/ tatar/ aras yang berhubungan dengan teori, pengalaman
profesional, dan pengetahuan umum mengenai permasalahan klien;
dan dengan demikian formulasi sebuah hipotesis mengenai situasi
tertentu yang mungkin memerlukan cara lain memahaminya.
Oleh karena klarifikasi memunculkan elemen-elemen diskusi
dalam tingkat kesadaran tertentu bagi klien, interpretasi
mengupayakan pertimbangan sebuah persepsi yang mungkin anggota
masyarakattidak benar-benar sadari. Interpretasi memerlukan apa
yang terwawancara ketahui dan sebuah kesimpulan tambahan.

111
Sebuah interpretasi adalah penawaran tentatif, seperti ―Saya ingin
jika ......,‖ ―Bisa saja terjadi seandainya ......,‖ memberikan anggota
masyarakatkebebasan untuk menerima, menolak, atau memodifikasi
interpretasi.

Informasi, saran dan nasihat (information, suggestion and advice)


Berikan informasi seperlunya kepada anggota masyarakatsesuai
dengan dosis (kemampuan) mereka mengolah dan memahami bahasa
yang mereka pakai serta daya serap yang membantu anggota
masyarakatdalam menghadapi situasinya. Saran berkaitan dengan
kegiatan penting terhadap sejumlah faktor atau pemikiran yang
relevan yang mungkin dapat membantu anggota masyarakatuntuk
mempertimbangkannya. Saran bukan berarti menunjukkan andil
pendekatan pewawancara tetapi sedikit menumbuhkan suatu
kemungkinan kepada anggota masyarakatuntuk mempertimbangkan
segala kemungkinan. Nasihat adalah jelas-jelas sebagai intervensi
pemberian petunjuk, menindikasikan bahwa pewawancara berfikir
sebaiknya anggota masyarakat melakukan perubahan terhadap
situasi. Dalam nasihat, pewawancara menyatakan diri dimana ia
berdiri dan apa yang sebaiknya anggota masyarakatlakukan.
Terdapat banyak elemen ―sebaiknya‖ dalam nasihat dari pada
―saran‖.
Nasihat dan saran mempunyai atau meunculkan imej negatif
diantara sejumlah tenaga pengembangan masyarakat, yang meyakini
bahwa intervensi tersebut merefleksikan contoh dari kekuatan dan
pengendalian yang mengganggu otonomi klien. Bagaimanapun,
anggota masyarakatbiasanya datang pada suatu wawancara dengan
anggapan logis bahwa tenaga pengembangan masyarakat mempunyai
pengalaman yang banyak bersama anggota masyarakatyang
mempunyai permasalahan yang sama dan bahwa ia mengetahui apa
dapat dan tidak dapat dilakukan (Maluccio, 1979). Namun begitu,
secara empiris nasihat terbukti bermanfaat bagi intervensi
pewawancara (Videka-Sherman, 1988).

112
C. SIKAP-SIKAP ESENSIAL SEBUAH PERTOLONGAN
KEMANUSIAAN
Pewawancara mempersiapkan tahapan bagi suatu wawancara yang
bermanfaat dengan sikap-sikap pengamatan aktif (active observing),
arah fisik/badan kepada terwawancara, dan mendengarkan aktif
(active listening). Sikap-sikap ini essential (sifat-sifat pokok) pada
seluruh wawancara yang baik.

1) Pengamatan Aktif (Active Observing)


Pengamatan aktif berbeda dengan penglihatan pada
umumnya yang kita lakukan sehari-hari. Seperti halnya per
pengamatan antara seorang penumpang bis kota dan seorang sopir
bis kota. Sopir mengetahui setiap kejadian mengenai kondisi
jalannya, lampu lalu lintas, para penumpang, dan ongkos bis
perorang. Sebagai penumpang, di sisi lain, melihat- lihat sesuka
anda, memperhatikan sejumlah orang dan kejadian-kejadian yang
menarik, tetapi biasanya semua dilakukan sesuai dengan perasaan
anda.
Jika anda, bukan sebagai penumpang atau juga sopir, dan
sekarang sebagai seorang tenaga pengembangan masyarakat yang
sedang mempelajari perilaku kerumunan, pengamatan anda mungkin
akan sedikit berbeda. Anda mungkin akan mencatat jumlah
penumpang yang enggan pindah tempat duduk; pengaruh keramahan
dan kehangatan sopir terhadap kenyamanan penumpang; bahwa
kerumunan bertambah, baik keramahtamah dan agresi juga
meningkat; bahwa sejumlah lebih banyak dikendalikan oleh
penglihatan matanya (eye contact); bahwa jenis kelamin, ras dan
umur nampaknya berpengaruh terhadap siapa yang duduk
didepannya. Sebagai seorang pengamat profesional, anda akan
melakukan pengecekkan dan kemudian mengecek kembali impresi
anda, mencatat kondisi-kondisi yang terlihat membangkitkan
perilaku tertentu. Kenali bias diri anda sendiri mungkin akan
mempengaruhi persepsi anda, anda seharusnya mematangkan metode
anda, lakukan pengecekkan lainnya pada observasi anda.

113
Pengamatan Pesan-pesan Nonverbal
Dengan cara sederhana, saat kita melakukan wawancara, kita
menangkap sejumlah gelagat mengenai seseorang yang sedang kita
dengarkan darinya adalah pesan-pesan nonverbal. Andaikan,
misalnya, anda adalah seorang tenaga pengembangan masyarakat
yang bekerja dalam sebuah rumah pengasuhan. Pasangan suami-istri
datang menemui anda untuk membicarakan kemungkinan
penempatan orangtua suaminya di lembaga tersebut. Anda lihat cara
mereka memasuki ruangan, anda perhatikan mereka berubah menjadi
pendiam, suara mereka berat, bicaranya pelan, gelagat-gelagat
significan pada masing-masing menampakkan ada hal-hal yang tidak
beres dalam sikap duduknya terlihat, berjalan dengan kaki dan
tongkatnya, cara memulai perbincangan. Cara memalingkan muka
dari anda dan pengunduran waktu terhadap kunjungan anda ke rumah
mereka dimana kehidupannya nampak ada tidak beres. Mengamati
perilaku mereka, dan mengetahui seberapa besar tekanan yang
dirasakannya mempengaruhi putusannya akan orang tuanya yang
sakit atau lanjut usia, anda perlu membantu pasangan ini
membicarakan perasaan-perasaan mereka akan penempatan ibunya,
sebagaimana yang impresi mereka mengenai apa yang telah mereka
lihat sebelumnya.
Terwawancara dapat memberikan reaksi (gelagat tertentu)
mengenai perasaan yang mungkin tidak dapat terucapkan melalui
kekakuan gerak tubuh, genggaman tangan, telapak tangan yang
basah, suara yang bergetar, wajah kemerahan malu-malu, terlihat
sedih, berlinang air matanya, desahan nafas, cengkraman jemari dan
tangannya, kerutan bibir, kepala menunduk, dan gerak tubuh lainnya.
Baik anggota masyarakatmaupun tenaga pengembangan masyarakat
dalam wawancara masing-masing berkomunikasi melalui perilaku
nonverbal sebagaimana menggunakan kata- kata. Seorang tenaga
pengembangan masyarakat dapat memberikan kehangatan melalui
sebuah jabatan-tangan, dengan terarah lurus ke depan terwawancara
daripada bersandar ke belakang, dengan melakukan kontak mata,
dengan senyuman dan tatapan perhatian. Seorang tenaga
pengembangan masyarakat juga dapat berperilaku tercela,

114
menjijikkan, atau tidak tanggap terhadap berbagai gelagat yang
terjadi, gelisah, terlambat memulai suatu wawancara, mengunyah
permen karet, melupakan nama dan fakta penting mengenai situasi
terwawancara, menyela wawancara untuk menjawab telepon atau
berbicara dengan orang lain.
Membaca gelagat (tanda-tanda) nonverbal sebagai ekspresi
perasaan bukanlah seperti sebuah permainan kamar tamu. Seseorang
melompat dengan cepat, kesimpulannya sederhana berdasarkan pada
satu gerakan tubuh. Anda belum dapat bercerita mengenai makna
gerakannya jika anda belum mengetahui bagaimana tipikal cara
seseorang berdiri. Seorang anak yang menangis mungkin
mengatakan, kapan anda membantunya, tidak ada masalah, tetapi
bukan karakternya berwajah sedih dan memelas ―memberitahukan‖
pada anda bahwa sesuatu membuatnya marah pada anak kecil yang
biasanya gembira.
Sementara itu juga pemahaman secara instingtif adalah
penting, reaksi pertama anda terhadap suatu pandangan mungkin
tidak selalu memberikan informasi yang akurat. Sebagai contoh, kita
mungkin dapat melihat sejumlah orang berada di jalanan pada jam-
jam kerja dan berasumsi bahwa mereka adalah pemalas dan tidak
bekerja. Padahal pada kenyataannya, mereka adalah pekerja
konstruksi bangunan yang baru menyelesaikan pekerjaannya karena
proyeknya telah selesai dan sedang mencari lahan pekerjaan baru.
Mungkin mereka adalah pendatang yang sedang menunggu masa
panen padinya. Untuk mencapai suatu pemahaman yang valid,
pengamatan anda pada setiap orang atau suatu kejadian harus
ditempatkan pada dalam konteks sosial dan historisnya. Jika seorang
anak dirujuk kepada seorang tenaga pengembangan masyarakat pada
sebuah klinik kesehatan mental, maka berdasarkan petunjuk bahwa
tenaga pengembangan masyarakat seharusnya membiarkannya
sekitar dua atau tiga menit tanpa mengganggunya mengamatinya dari
sudut ruangan atau pusat perawatan. Memberinya suatu gambaran
bagaimana guru dan anak tersebut berinteraksi, bagaimana seorang
anak bermain dengan teman-temannya, aktivitas mana yang
menyulitkannya dan yang mana yang membuatnya gembira;
bagaimana aktivitasnya nampak sesuai dengan kebutuhan anak dan

115
gaya pembelajaran. Pengamat lainnya mungkin akan melihat anak
yang meninju anak lainnya. Secara otomatis mungki ia menduga
bahwa anak tersebut bertipe agresif dan bermusuhan. Tetapi jika ia
telah melihat anak tersebut tiga jam atau lebih latihan tersebut selama
beberapa hari, ia mungkin akan meraik kembali kesimpulan bahwa
anak yang melakukan pemukulan sebelumnya telah dipukuli oleh
penyerang dari kompleks rumahnya.

Keterampilan Pengaturan Gerak (isyarat) Tubuh


Jika kita ingin seseorang mendengarkan kita secara serius saat
berbicara, banyak dari kita menginginkan pendengar kita melakukan
kontak dan gerak fisiknya yang menunjukkan perhatiannya. Jika
pendengar kita menggeledah laci mejanya, memandang dengan
tatapan kosong, dan memindahkan kursinya menjauhi kita, kita akan
mengira bahwa dia tidak peduli dengan apa yang kita katakan.
Sederhananya, orang yang akan memberikan pertolongan harus
menunjukkan perhatiannya melalui isyarat-isyarat tubuhnya. Seorang
penulis menyingkatnya dengan SOLER terhadap sikap-sikap ideal
apa yang sebaiknya diperhitungkan yaitu : Sits facing; Open posture;
Leans forward; Eye contact; Relatively relaxed (Egan, 1975).
Duduk berhadapan, Sikap badan terbuka, Bersandar ke depan,
Kontak mata, Relatif santai (DSBKR). Perilaku nonverbal seperti
juga perilaku verbal seringkali banyak ragam dari satu budaya ke
budaya lainnya. Bagi orang ―Barat‖ (Amerika-Eropa) kotak mata
mungkin menujukkan rasa perhatian dan kejujuran, tetapi bagi orang
―Timur‖ (Asia- Indonesia) mungkin menunjukkan ketidaksopanan,
menantang atau sakit mata. Dengan dua karakter budaya berbeda saja
dapat memberikan makna pesan yang beragam

2) Mendengarkan Aktif (active listening)


Selama kita memahami nonverbal dengan sempurna, kita dapat
mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan kita melalui bahasa.
Jadi, seorang pewawancara harus menguasai keterampilan yang
sangat penting (crucial) keterampilan mendengarkan aktif agar
116
mampu membaca kepribadian dan situasi dari setiap orang dengan
kompleksitasnya. Agar dapat membaca emosi dibalik kata-kata dan
memperoleh sedekat mungkin arti sebenarnya yang mereka ucapkan,
kita harus mendengarkan dengan hati-hati setiap kata dan kemudian
mengingat apa telah mereka katakan. Ini yang dinamakan
keterampilan mendengarkan aktif, yang membedakan dari jenis
mendengarkan yang biasa kita lakukan dalam obrolan lepas atau
pada suatu kumpulan pesta dimana kita banyak perbincangan sedikit
tercatat. Hati-hati, mendengarkan aktif adalah bukan untuk peristiwa
biasa. Coba mengingat terakhir kali seseorang memberikan perhatian
sepenuhnya, mendengarkan terhadap pembicaraan anda mengenai
persoalan anda, tanpa menyelipkan perkataannya.
Sedikit sekali orang yang mampu memberikan perhatian
sepenuhnya terhadap setiap orang yang ia temui. Banyak dari kita
merasa terbelenggu, khawatir dengan ujian yang akan kita lalui, janji
dengan dokter gigi, seorang sahabat yang memutuskan hubungan.
Jika seorang wanita duduk disamping anda di sebuah bis berkata
kepada anda tentang permasalahan pribadinya, anda mungkin
mendengarkan tetapi dengan setengah perhatian dan pendengaran.
Orang ini tidak begitu penting bagi anda, dan hanya sedikit yang
anda lakukan terhadap permasahannya. Namun, jika wanita yang
sama membuat janji untuk menemui anda, sebagai seorang tenaga
pengembangan masyarakat pada sebuah lembaga pelayanan, anda
akan berdisiplin untuk sepenuhnya memberikan perhatian terhadap
dia dan berusaha keras memahami apa yang telah katakan kepada
anda.
Sementara sebagian orang dapat menyatakan diri mereka
sendiri, sebagian besar dari kita dapat menuangkan bagian terdalam
dari pemikiran kita kepada orang yang benar-benar asing.
Kenyataannya, kita telah berfikir hati-hati, dan tetap dengan teman
baik anda kita selalu menunjukkan keengganan dengan berkata apa
yang ada dalam pemikran kita. Banyak orang secara khusus merasa
lebih baik berdiam diri ketika mereka meminta bantuan, malu untuk
mengakui bahwa mereka tidak mampu mengatasi beberapa aspek
dari kehidupan mereka tanpa bantuan orang lain. Kalau anda
memahmi orang Amerika, mereka telah tumbuh dengan ideologi

117
individualistiknya ‖pull yourself up by your own bootstraps‖.
Sehingga ketika seseorang memasuki suatu wawancara pada sebuah
lembaga pelayanan sosial, kita harus siap dengan sejumlah perasaan
cemas mengenai permintaan dan penerimaan bantuan.
Sejak orang masuk ke dalam ruang lembaga pelayanan,
pewawancara harus mendengarkan arti ‗halus‘ (dibaliknya) dengan
cara apa terwawancara berkata-kata --- atau mungkin tidak berkata-
kata. Ketika terwawancara berubah dengan cepat dan secara kasar
topik pembicaraan pindah dengan cepat ke topik yang lain, hal itu
mungkin menunjukkan bahwa, pertama-tama mungkin topiknya
adalah sesuatu yang menyakitkan (membuatnya sedih).
Ketidakkonsistenan dan kehampaan dalam pembicaraan mungkin
menunjukkan kebingungan atau kecemasan. Pengulangan keterangan
terhadap suatu masalah mungkin menunjukkan suatu perhatian yang
besar terhadap suatu topik. Cara berkelompok dengan satu sama
lainnya menunjukkan suatu isyarat dan perasaan tertentu. Sebagai
contoh, jika seorang wanita menceritakan kecantikan saudara
perempuaannya dan kemudian beralih kepada perhatian dan
penampilannya, kita akan terkejut jika perasaan wanita akan dirinya
telah dicampuri dengan perasaannya akan saudara perempuannya.
Kadang-kadang orang menyembunyikan maksud mereka dengan
berkata berlawanan dengan tindakan atau caranya. Seorang pria yang
gagal bertunangan dengan seorang wanita mungkin akan berkata
dengan marah yang ia lampiaskan dengan kegembiraan yang
berlebihan, yang faktanya ia sangat terluka, tetapi egonya yang
sangat terluka malu untuk menerima kondisi tersebut.

D. NILAI-NILAI (SIKAP) UTAMA PEWAWANCARA


Banyak tenaga pengembangan masyarakat, konselor dan psikoterapis
menghormati nilai-nilai empati, kehangatan, rasa hormat, dan
kejujuran sebagai kondisi esensial bagi berhasilnya suatu hubungan
pertolongan. Carl Rogers (1957) adalah yang pertama kali
mengusulkan nilai-nilai penting ini. Konselor lainnya (Truax &
Carkhuff 1967; Carkhuff 1969), mengembangkan skala penelitian
untuk menguji efektivitas nilai-nilai ini dalan hubungan pertolongan.
Banyak penelitian penting berpendirian bahwa kondisi-kondisi tadi
118
adalah sangat penting dalam membawakan perubahan dalam
hubungan pertolongan.

Empati
Tidak semua orang sepakat bahwa sifat-sifat kepribadian secara kritis
penting dalam sebuah pertolongan manusia. Empati adalah
kemampuan mengidentifikasi diri anda sendiri dengan perasan dan
pemikiran, menunda keputusan anda sesaat dan untuk merasakan
dengan cara orang lain. Berbeda dengan simpati, sebagai keterlibatan
perasaan sedih terhadap seseorang tetapi tidak perlu menangguhkan
perasaannya untuk mencoba mengidentifikasi lainnya.
Kita yakin bahawa saat empati tanpa dibekali dengan
pengetahuan tentang bagaimana bekerja dengan sebuah sistem akan
menjadi tidak berguna dalam pertolongan manusia dengan peduli
lingkungan.
Empati muncul dari dasar rasa kemanusiaan kita. Meski
begitu tidak ada dua orang yang mempunyai pengalaman yang sama
secara tepat, kita berjalan melalui lingkaran kehidupan yang sama
dan secara bersama membagi perasaan.

Rasa Hormat
Rasa hormat (respek) adalah suatu kualitas yang paling orang pahami
dalam hubungan sosial sehari-hari. Kita semua memerlukan
penghormatan dari orang lain dan umumnya kita berupaya
menghormati orang lain. Lebih jauh lagi kita menghormati mereka
sesuai dengan keunikannya dan menghormati hak-haknya atas
perasaan dan keinginan mereka yang mungkin berbeda dengan diri
kita sendiri. Penolong harus bersikap tidak memberikan penilaian
ketika mencoba memahami tertolong.
Kehangatan, kasih sayang, dan penghormatan berkaitan erat
dengan empati sejauh mereka terlibat membantu orang lain. Jika
mereka tidak jujur, bagaimanpun akan mengurangi rasa hormat
119
mereka karena secara praktis setiap orang dapat merasa tertipu.
Paling penting adalah to be yours self. (Jadilah diri anda sendiri)

Kejujuran
Kita ingin mengetahui bahwa orang yang kita percayai pemikiran
dan perasaannya tidak ditempatkan pada posisi, pura-pura
menyayangi ketika kenyataannya tidak demikian. Kualitas akan
menjadi lebih tinggi nilainya dengan sejumlah pertolongan
profesional. Ahli psikoanalisis klasik Freud menetapkan suatu model
pertolongan dimana terapis bertindak seperti ―blank slate‖ (papan
tulis hitam) duduk
dengan pasif di samping pasien, jarang berpendapat dan jarang
mengeluarkan emosi-emosi tertentu. Model ini tidak sesuai untuk
membantu orang yang mempunyai masalah lingkungan yang konkrit
dan nampak tidak cocok menggunakan sebuah hubungan terapis.
Para konselor dan ahli terapis saat sekarang lebih mampu
mengekspresikan perasaannya secara terbuka yang sesuai dengan
hubungan pertolongan, walaupun terdapat perasaan-perasaan yang
sedikit negatif.
Berikan secara spontan sebuah pemikiran segar dalam
hubungan pertolongan, sebuah perasaan pemikiran ―here-
dan-sekarang‖. Penolong yang baik adalah nyata dan otentik
selama pertolongan ....... Ketika helpee mengalami kesulitan
akan rasa ketakutannya terhadap kesembuhan dari suatu
penyakit tertentu, penolong ikut merasakan apa yang dialami
oleh helpee. Dia berkata, ―Saya pun merasakan ketakukan
dan kesedihan anda mungkin anda mau membicarakannya.
Dan saya khawatir terhadap anda. Saya merasa bertanggung
akan kondisi ini.‖ Penolong dengan tulus ikhlas menyatakan
perasaannya. Terlebih lagi ekspresi perasaannya dilakukan
pada waktu dan tempatnya tepat, dengan situasi yang
mendesak.
Melayani dengan penuh keterbukaan adalah model
pelayanan terhadap helpee. Dengan bersedia mendiskusikan
perasaan pribadinya, penolong membangkitkan helpee untuk
120
menanggapinya dengan cara yang sama. Helpee juga mau
terbuka dan belajar bersikap jujur juga. (D‘Augelli,
D‘Augelli & Danish, 1981, pp. 58-59).

Membangun Keakraban-Hubungan
Jika anda menunjukkan kejujuran dan kehangatan, anda mempunyai
suatu dasar yang solid sebagai syarat mengembangkan suatu
hubungan yang akrab, kualitas kepercayaan yang sulit dipahami yang
dapat tumbuh diantara dua orang. Membangun kepercayaan secara
khusus penting pada awal mula suatu wawancara, ketika seseorang
yang datang membutuhkan pertolongan nampak khawatir mengenai
kemunculan dirinya terhadap orang yang belum dikenalnya. Kita
membangun kepercayaan dengan cara penuh kejujuran sesuai dengan
tanggapan kita terhadap perasaan dan pemikiran terwawancara,
biarkan ia mengetahui bahwa kita benar-benar mendengarkan dan
memperhatikannya.
Pewawancara mesti menyadari akan perasaannya bahwa
terwawancara mungkin memerlukan wawancara pertolongan dan
dengan demikian adalah penting membuat beberapa persiapan untuk
wawancara. Meninjau kembali terhadap kasus-kasus sejenis, tenaga
pengembangan masyarakat mungkin akan mengajukan sejumlah
pertanyaan dan dengan sejumlah topik yang melingkupinya. Jika
terwawancara belum menjadi klien, pewawancara sebaiknya
mengulas catatan sebagai persiapan.
Pada pertemuan aktual, tenaga pengembangan masyarakat
mengenalkan dirinya dengan menyebut nama dan jabatannya yang
menggambarkan fungsi kerjanya. Tenaga pengembangan masyarakat
mempersilakan anggota masyarakatduduk pada suatu sudut dari
posisinya (daripada terhalang meja) dan memulai perbincangan
dengan rangkaian obrolan ringan ‗mencairkan kekakuan‘. Tetap
mempertahankan obrolan ringan secara minimum untuk memastikan
bahwa pertemuan tersebut tidak disalahartikan seperti sebuah
upacara sosial, tenaga pengembangan masyarakat mengawali
wawancara formal dengan mengajukan sebuah pertanyaan terbuka

121
yang mencoba mengumpulkan informasi mengenai alasan
kedatangan klien. Dalam suatu kasus dimana anggota
masyarakatdatang secara terpaksa atas permintaan atau atas perintah
seseorang atau lembaga lainnya, tenaga pengembangan masyarakat
bersama dengan anggota masyarakatmenggali alasan kunjungannya.
Pewawancara memliki dua prinsip conterminous, tugas yang
saling tumpah-tindih pada permulaan: memantapkan suatu hubungan
yang positif dengan terwawancara dan memenuhi laporan secara
detail untuk menentukan situasi permasalahan apa sehingga anggota
masyarakat membutuhkan pertolongan sehingga tenaga
pengembangan masyarakat berupaya membantu.
Pemantapan dan pemeliharaan suatu hubungan yang positif
telah teruji berulang kali sebagai prasyarat inti dari suatu wawancara
yang efektif. Hal tersebut penting, paling tidak, sebagai basis
pencapaian maksud dan sasaran suatu wawancara. Suatu hubungan
yang positif menunjukkan suatu hubungan emosional yang positif
antar manusia: Mereka merasa senang dalam berhubungan satu sama
lainnya; mereka merasa bebas, aman dan terbuka. Sejumlah perilaku
khusus pewawancara telah teruji sebagai pencapaian suatu hubungan
yang positif: suatu sikap penerimaan dan penghargaan; komit
terhadap kerahasiaan dan penentuan nasib-sendiri klien;
menunjukkan suatu pengertian empatik; ekspresi secara jujur;
aakomunikasi yang hangat, menarik, dan penuh perhatian; dan
berupaya menghormati anggota masyarakatsebagai individu yang
unik.
Penerimaan (acceptance) menunjukkan suatu tanggapan
netral terhadap perasaan-perasaan, sikap-sikap, atau perilaku yang
mungkin ingin anggota masyarakatutarakan kepada pewawancara.
Tujuan tenaga pengembangan masyarakat adalah untuk memahami,
tidak untuk menyalahkan. ―The object of acceptance is not good or
bad, but the real; the individual as he actually is, not as we wish him
to be or think he should be‖ (Biestek, 1957, p.70). Tujuan dari
penerimaan adalah bukan masalah baik atau buruk, tetapi secara
fakta, individu sebagaimana adanya, bukan berdasarkan keinginan
atau harapan kita. Penerimaan tidak menunjukkan permufakatan atau
122
permakluman terhadap perilaku anggota masyarakatatau
membebaskan dari tanggungjawab akan perilakunya.
Kerahasiaan (confidentiality) adalah menetapkan tidak ada
‗rahasia‘ terwawancara yang ditutup-tutupi tanpa seijin dari dia
(klien). Tenaga pengembangan masyarakat mesti mengetahui dengan
jelas, bahwa bagaimanapun, kerahasiaan bukan suatu hal yang
absolut, dan bahwa pertolongan secara profesional secara hukum
dijamin dalam hal yang berkaitan dengan keselamatan orang lain.
Dengan kata lain bahwa kerahasiaan itu akan berakhir ketika mulai
membahayakan masyarakat.
Menghormati hak menentukan nasibnya sendiri (self-
determination) mengisyaratkan bahwa pada kahirnya klienlah yang
mengendalikan putusannya, bahwa anggota masyarakatmempunyai
hak dan kapasitas untuk menentukan kehidupan sendiri. Tekanannya
adalah pada saling pengertian dalam wawancara dan menghormati
kebebasan dan otonomi klien.
Berbeda dengan simpati (sympahty), yang menunjukkan
adanya perasaan ‗terhadap‘ seseorang lain, empati (emphaty)
menunjukkan suatu perasaan ‗dengan cara‘ seseorang. Saat
berempati, tenaga pengembangan masyarakat sama-sama merasakan
perasaan anggota masyarakatdan konsekuensinya adalah berada
dalam posisi yang baik untuk memahami perasaan-perasaan dan
kerangka berfikir kliennya.
Jika pewawancara bersikap ikhlas/tulus (genuine) dan
sungguh-sungguh (authentic), dia akan bertindak tanpa pretensi dan
secara tulus, jujur, terbuka, dan berterus-terang. Pewawancara akan
mempercayai apa yang dikatakan oleh tenaga pengembangan
masyarakat. Dengan keikhlasannya pewawancara dapat
menceritakan informasi tentang dirinya tanpa berusaha menutupinya.
Sikap-sikap perhatian (interest), kehangatan (warmth) dan
kepercayaan (trust) menunjukkan rasa penghargaan. Rasa hormat
pewawancara memantapkan penghargaan positif terhadap
terwawancara dengan memperlihatkan perhatiannya terhadap
kebutuhan-kebutuhan klien, dengan menunjukkan rasa ‗sayang‘
terhadap klein, dengan mendengarkan secara sungguh-sungguh, dan
123
dengan tetap menunjukkan ―following‖ tanggapannya.
Pewawancara mencoba meng-
individialisasikan (individualize) terwawancara, menghargai
keunikannya, membedakannya dari kaitan stereotip tertentu.

Saat memerlukan bantuan, terwawancara berada dalam


posisi kejadian yang tidak menimbulkan kecemburuan untuk
membuka informasi pribadi yang mungkin biasanya menimbulkan
rasa ketidakenakkan. Jaminan dari penerimaan tanpa kritik
meredakan kecemasan mengalami penolakan; tetap berpegang pada
hak menentukan nasibnya sendiri (right of self-determination)
meredakan kekhawatiran akan kehilangan kendali dan hak;
pemahaman empatik mengurangi kecemasan bahwa dalam
menetapkan ucapan dan kerangka pemikiran dari anggota
masyarakatsulit dipahami; kejujuran menjamin sikap-sikap
komunikasi pewawancara dengan tulus. Perilaku pewawancara
tersebut memantapkan suatu kondisi emosional yang secara terpola
membuat anggota masyarakatmerasakan secara psikologis
kenyamanan dan menyediakan karamahan yang dibutuhkan bagi
interaksi yang efektif.

Latihan Keterampilan:
Pengamatan Aktif
Dua orang mahasiswa diminta pergi bersama ke stasion kereta api,
sebuah toko, atau mengelilingi kampus dengan membawa buku
catatan. Lakukan pengamatan selama lima belas menit. Kemudian
tuliskan kesimpulan pengamatannya dalam satu halaman. Bawa ke
dalam kelas tanpa kehadiran masing- masing mahasiswa tadi. Catat
perbedaan-perbedaan kedua pengamatan tersebut. (15 Menit)

Penganalisaan suatu Pengamatan


Saat berada di tengah-tengah orang-orang lain ---di bis kota, stasion
kereta, menungggu teman, atau duduk-duduk di depan kantin FISIP -
-- amati perilaku orang tersebut secara dekat. Catat kaitan/hubungan
124
stimulus lingkungan terhadap tingkahlaku dan hubungannya dengan
orang lain. Buat catatatan lainnya pada pengamatan anda, tulisnya
semua itu, dan diskusikan semuanya itu dengan mahasiswa lainnya.
(15 menit)

Bagaimana mendengarkan dengan baik?


Seorang mahasiswa berperan sebagai pendengar dan lainnya sebagai
pembicara, sementara mahasiswa ketiga sebagai pengamat. Selama
tiga menit, pembicara berbicara sejumlah topik sesuai pilihannya.
Kemudian pendengar mengulang apa telah didengar tadi. Pengamat
menilai apakah benar apa yang pendengar dengar dari pembicara.
Tukar peran tadi sehingga setiap orang memperoleh kesempatan
sebagai pembicara, pendengar dan pengamat.

Perilaku Nonverbal
Seorang relawan berbicara kepada lainnya mengenai suatu topik
tertentu yang menarik selama tiga menit. Pendengar duduk dan
memperhatikan dengan tenang tanpa tanggapan. Perilaku nonverbal
pembicara adalah didapat dari kelompok. Kemudian pembicara
mendiskusikan topik yang sama kepada lainnya selama tiga menit,
tetapi pada kesempatan kedua ini pendengar menunjukkan
perhatiannya, mendengarkar secara inten, dan menggunakan gerak
tubuhnya (jika perlu) untuk menunjukkan perhatiannya. Sekali lagi,
perilaku nonverbal pembicara didapat dari kelompok. Setelah dua-
tiga menit anggota-anggota kelompok mendiskusikan perbedaan
mengenai isyarat-isyarat nonverbal diantara diskusi pertama dan
kedua (10 menit). Apakah pembicara menunjukkan perilaku
nonverbal lebih banyak atau lebih sedikit ketika pendengar
menanggapinya atau tanpa tanggapan ? (Schulman, 1978, p.46)

125
BAB 7 :PENCATATAN DALAM PRAKTIK PEKERJAAN SOSIAL

A. PENGERTIAN
Sejumlah tenaga pengembangan masyarakat merasa bahwa
mencatat pada saat melakukan wawancara adalah sangat tidak
penting. Mengapa tidak menyediakan waktu sejenak untuk mencatat
pada wawancara berikutnya atau segera menangani anggota
masyarakatlainnya ? Semenjak, ingatan yang terkenal sangat tidak
bisa dipercaya, badan pelayanan manusia akan benar-benar
mengalami masalah berat jika mereka tidak merekam informasi
wawancaranya. Pencatatan menyediakan keberlanjutan dari seorang
tenaga pengembangan masyarakat ke tenaga pengembangan
masyarakat lainnya pada sesi selanjutnya.
Pencatatan wawancara dapat menunjukkan kemajuan
dokumen atau kekurangan tergantung masing-masing situasi khusus
yang dihadapi. Jika anda bekerja dengan seorang wanita dalam
sebuah rumah perawatan yang lupa ingatannya, contoh, catatan
periodik anda mengenai ketetapan mental membantu memperkirakan
tentang lupa ingatannya makin lama bertambah buruk, tetap sama,
atau lebih buruk kondisinya.
Atau mungkin bahwa anda perlu memperlihatkan sumber
temuan anda mengenai kualitas dan kuantitas pelayanan yang telah
anda berikan kepada klien. Hanya jika anda menyimpan catatan
pengalihan (records of refferrals) dan wawancara yang dapat anda
lakukan. Pencacatatan juga menyediakan dokumen tentang kelaikkan
anggota masyarakatuntuk memperoleh pelayanan tertentu --- dapat
digunakan untuk penelitian dan evaluasi program dan menyelidiki
kembali program yang lewat.
Pencatatan juga menyediakan bukti-bukti penting dalam
gugatan hukum. Saat ini, misalnya, seorang tenaga pengembangan
masyarakat lalai dalam menangani kasus seorang anak yang
mengalami penganiayaan. Tenaga pengembangan masyarakat
tersebut dapat membuktikan, melalui rekaman kunjungan dan kontak
telepon, bahwa ia telah menjalankan segalanya dalam
126
kewenangannya untuk mencegah penganiayaan. Dalam kasus
lainnya, seorang tenaga pengembangan masyarakat menolak
pangajuan sepasang suami istri yang akan mengadopsi anak, karena
berdasarkan penelitiannya membuktikan bahwa pasangan tersebut
tidak mempunyai pekerjaan yang menunjang penghidupannya nanti.
Pasangan tersebut mengadukannya ke pengadilan. Namun, dia
menyimpan secara akurat catatan penelitiannya dengan baik, dan
akhirnya hakim membenarkan alasan penolakkan tenaga
pengembangan masyarakat tersebut.
Akhirnya, pencatatan dipergunakan oleh lembaga- lembaga
sejenis sebagai alat terapis anggota masyarakatmelalui metode
penelaahan catatan kasus kliennya. Dalam beberapa ketetapan,
pasien dan eks-pasien dari rumah sakit jiwa dapat dilihat melalui
catatan yang mereka punyai.

B. PENCATATAN DAN PRIVASI (KERAHASIAAN)


Pencatatan selalu berkaitan dengan masalah kerahasiaan
tentang kasus seseorang. Pencatatan akan bersisikan informasi
mengenai kasus yang menggambarkan secara detail (rinci) tentang
bagian dari kasus tersebut. Detail disini adalah cara penggambaran
dari seorang tenaga pengembangan masyarakat berupa tanggapan,
emosi, tindakan, tingkah laku, penampilan diri anggota
masyarakatdan reaksi dari dari pewawancara terhadap terwawancara
(klien) dalam bentuk tulisan yang jelas, terinci, dan seadanya
(seobjektif mungkin). Catatan kasus adalah rahasia (privasi) yang
hanya dapat dipegunakan oleh kewenangan tertentu dan mendukung
kesembuhan atau kemajuan klien.

Jenis-jenis Pencatatan
Pencatatan sewaktu dan sesudah wawancara, pencatatan
proses, pencatatan kesimpulan, pencatatan komputerisasi,
kesimpulan penelahaan dan rencana intervensi, dan pencatatan
berorietasi-sasaran, merupakan tipe-tipe pencatatan yang digunakan

127
pada titik waktu yang berbeda.

1) Catatan Langsung (Note Taking)


Catatan kasus yang akurat meliputi persepsi pengamatan,
mencatat kerendahan hati selama wawancara, kemampuan
analitik, dan kemampuan mengorganisasi materi-materi dalam
bagian yang bertalian secara logis.
Pencatatan paling sederhana yang akan anda lakukan adalah
mencatat langsung selama wawancara berlangsung akan
membantu mengingat kejadian yang telah lewat. Hal ini mesti
dilakukan dengan kerendahan hati (tidak diketahui) semampu
mungkin, sehingga tidak menggangu terwawancara meneruskan
pembicaraannya. Banyaknya catatan yang akan dilakukan
beragam, tergantung pada jenis wawancara dan bagaimana anda
mempercayai memori anda sendiri. ...

2) Pencatatan Proses (Process Recording)


Pencatatan proses secara detail berisikan segala perkataan dalam
sebuah wawancara dengan waktu yang ada tetapi untuk pemula
sebaiknya mempelajari bagaimana sebaiknya meningkatkan
keterampilan berwawancara. Pada suatu kesempatan pengalaman
tenaga pengembangan masyarakat yang ingin mengkonsultasikan
sesuatu kasus tertentu mungkin juga akan menemukan metode
yang bermafaat. Pada tujuan yang sama dapat meningkat,
mungkin lebih efektif, dengan menggunakan wawancara tape
recording or vodiotaping. Penggunaan audiotape dan videotape
untuk maksud-maksud mengajar dan riset telah mendorong ke
arah penemuan yang membuktikan bahwa memutar kembali
rekaman-rekaman kegiatan bersama anggota
masyarakatmengandung unsur- unsur pengobatan yang belum
dikenal sebelumnya. Pemutaran kembali rekaman-rekaman
tersebut mungkin juga dipergunakan dalam wawancara. Hal ini
akan memberikan kesempatan kepada anggota masyaraka tuntuk
melihat dan mendengar dirinya sendiri berckap- cakap dengan
128
yang mungkin tidak diketahuinya selama ini. Oleh karena itu dia
mungkin akan memperoleh perspektif yang tertentu mengenai
perilakunya yang mungkin bisa menjadi bahan pembicaraan
selanjutnya.
Pencatatan proses memiliki keuntungan memberikan suatu
praktek seorang tenaga pengembangan masyarakat dalam
mengingat wawancara. Pada dasarnya akan dibaca oleh
supervisor dan didiskusikan dalam konferensi supervisi.
Sebaiknya disimpulkan terlebih daluhu sebelum disimpan dalam
rekaman yang tetap.
Pencatatan proses merupakan kebalikan dari ceklis yang
hanya merupakan plengkap saja. Pencatatan proses adalah
pencatatan yang dilakukan secara mendetail tentang segala isi
dan urutan atau bagian dari hal-hal yang terjadi selama
wawancara berlangsung serta tanggapan- tanggapan dari
pewawancara sendiri tentang emosi, tingkah laku, penampilan
diri anggota masyarakatdan reaksi dar pewawancara terhadap
jalannya wawancara itu sendiri. Penulisan dan pengingatan
kembali kejadian- kejadian selama wawancara dapat dikatakan
sebagai proses menganalisa kegiatan itu sendiri. Pencatatan
proses ini sangat berguna sekali bagi pewawancara karena dapat
memperkaya pengetahuan dan pengalamannya serta
memperbaiki hal-hal yang tidak semestinya dilakukan selama
wawancara berlangsung.
3) Laporan Ringkas (Summary reports)
Banyak pencatatan kasus telah dibuat kesimpulannya. Sejak itu
sebuah kesimpulan termasuk dalam fakta penting, tenaga
pengembangan masyarakat harus mengorganisasi dan memilih
materinya secara hati-hati. Informasi harus terorganisasi sesuai
dengan pokok/judulnya. Pencatatan kesimpulan dapat terdiri dari
beberapa bentuk: kesimpulan sebuah wawancara, kesimpulan
periodik dari suatu aktivitas kasus, sebuah kesimpulan
penerimaan, kesimpulan perpindahan tangan dari suatu kasus
yang masuk dari satu tenaga pengembangan masyarakat ke tenaga
pengembangan masyarakat lainnya, suatu pengalihan kasus dari

129
suatu lembaga ke lembaga lainnya, sebuah kesimpulan penutup
saat kasus tersebut ditutup, kesimpulan khusus seperti sejarah
sosial dan catatan pengadilan.
Pencatatan kesimpulan berisikan informasi dan kesimpulan
yang tenaga pengembangan masyarakat hasilkan dari
wawancaranya dengan kliennya. Kesimpulan-kesimpulan tadi
tidak hanya berdasarkan data yang dikumpulan dari wawancara,
tetapi juga berdasarkan pengalaman, pengetahuan, kerangka
teoritis tenaga pengembangan masyarakat.

4) Ringkasan Asesmen dan Rencana Intervensi (Summary


Assessment and Intervention Plans)
Sebuah ringkasan asesmen adalah sebuah analisis dari observasi
dan informasi yang tenaga pengembangan masyarakat peroleh
melalui wawancara. Ini menyediakan suatu format bagi tenaga
pengembangan masyarakat untuk menuliskannya pendapatnya,
reaksinya, dan perhatiannya kepada kliennya secara profesional,
Kesimpulan dapat dipakai baik bagi tenaga pengembangan
masyarakat dalam mengorganisasikan pemikirannya dan dalam
mengulang kembali kasus-kasus terdahulu dan kepada tenaga
pengembangan masyarakat lain yang bekerja dengan kasus
tersebut. Ini akan membantu supervisor untuk menilai kemajuan
kasus tersebut. Membaginya dengan klien, dapat menjadi alat
intervensi yang bermanfaat. Gagasan asesmen dari seorang tenaga
pengembangan masyarakat membantu memperdalam rencana
intervensi.
Sebuan rencana intervensi berisikan keputusan untuk jadi
atau tidaknya intervensi dan metode-metode intervensi. Tentunya
berdasarkan analisis asesmen. Ini yang sebaiknya disebut
―tujuan‖ (goals) atau ―sasaran‖ (objectives). Idealnya tenaga
pengembangan masyarakat dan anggota masyarakatmenetukan
rencana intervensinya bersama-sama.

130
5) Pencatatan Berorientasi-Tujuan (maksud tertentu)
Pencatatan Berorientasi-Tujuan adalah merupakan bentuk khusus
dari pencatatan kesimpulan, dipakai khususnya dalam lembaga-
lembaga pemerintahan yang memperhatikan pertanggungjawaban
dan efektivitas. Kadang-kadang digunakan dalam lembaga yang
tujuan setingnya adalah sebuah bagian khusus dari pekerjaan,
seperti dalam lembaga perawatan dimana perawat anak- anak
tidak boleh menyimpang perawatannya berdasarkan rencana
tetapnya.

6) Pencatatan Komputerisasi (Computerized Recording)


Beberapa lembaga telah mengenalkan pencatatan komputer untuk
mengumpulkan fakta-fakta penting dari setiap kasus. Hal ini
seringkali dilakukan untuk menjamin standardisasi informasi dari
proyak penelitian atau pelaporan sumber-sumber dana seperti
pemerintah. Tentunya, informasi adalah bersifat kuantitatif
daripada kualitatif. Ini dapat dilengkapi dengan bentuk pencatatan
kualitatif.

Contoh: Sebuah Pencatatan Ringkas


Ini adalah contoh catatan ringkas oleh seorang tenaga
pengembangan masyarakat medis (rumah sakit), diperoleh dari
Suanna Wilson (1980, p.139). Cara pengaturan sebuah
ringkasannya disebut dengan problem -oriented recording (
pencatatan untuk pemecahan masalah). Meterinya terbagi kepada
bagian berikut: Data subjek, Data objek, Assesment, dan
Perencanaan (Subjective data, Objective data, Assessment, Plan =
SOAP), yang menunjukkan sifat dari materinya.

5-15-79 catatan pelayanan sosial


Berbicara dengan Ny. Sandi dan suaminya hari ini.
Pelayanan sosial telah mengidentifikasi lingkup masalah sebagai
berikut:

131
1. kegemukan (obesity)
2. pengahsilan kurang (inadeguate income)
3. tekanan (depression)
4. sulit berhubungan sosial (social isolation)

5-21-79 masalah #1-kegemukan


S----Ny. Sandi menyatakan bahwa ia berat badannya normal
empat tahun yang lalu sampai ketika anaknya meninggal
karena penyakit leukemia. Dia telah mengikuti beberapa
program diet namun tidak berhasil dan dia merasa menjadi
tidak berguna, dicampakkan oleh suaminya, dan sekarang
kelihatan jelek dengan berat badan 125 pon lebih. Dia ingin
langsing, tetapi tidak tahu apakah bisa atau tidak kini.
O---Ny. Sandi adalah seorang perempuan pendek yang kelihatan
lebih gemuk dari yang seharusnya karena ia struktur
tubuhnya kecil. Sebagian besar kegemukannya berada
diseputar perut, membuatnya kelihatan tidak seperti
biasanya. Dia berbicara bebas mengenai masalah
kegemukannya, tetapi kemudian menangis ketika
mengeluarkan perasaannya akan ketidakberdayaannya
mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
A----Ny. Sandi kelihatan sedikit tertekan. Perasaannya bahwa
suaminya menolaknya karena kegemukannya --
-pasangan ini telah pisah ranjang dan Tn. Sandi ketakutan
dan pada saat yang sama, menilai istrinya karena
kegemukannya. Kelihatannya mereka tidak
membicarakannya secara terbuka mengenai rasa khawatir
dan perasaan mereka satu sama lain; bagaimanapun anak Ny.
Sandi adalah anak perempuan satu-satunya dan Ny. Sandi
kelihatannya kesadarannya seperti menggunakan mekanisme
pertahanannya untuk menghadapinya dengan rasa
kehilangannya dan tertekan. Dia nampaknya perlu beberapa
pemecahan terhadap perasaan akan dirinya dan
perkawinannya.
P---1. Merujuknya ke ahli diet untuk memperoleh bimbingan diet.
2. Konseling dukungan dengan Ny. S secara
perseorangan untuk mengungkapkan perasaannya dan
132
dan mengembangkan metode alternatif menghadapi
masalah perasaannya.
3. Konseling bersama dengan Ny. dan Tn. Sandi untuk
meningkatkan komunikasi perkawinannya.
4. Merujuknya pada sebuah organisasi kelompok diet , tetepi
hanya jika Ny. S menginginkannya.
5. Pokok pembicaraan harus yang mendukung dan tidak
menilai dalam hubungnnya dengan Ny. Sandi dan dalam
bereaksi dengan kegemukannya. Dia harus, tentunya,
memperhatikan kenyataan dampaknya secara medis
mengenai berat dan kesehatannya, tetapi ejekan dan
peringatan keras terhadap usaha penurunan berat
nadannya akan membuat perasaannya tidak menentu dan
makin memperkuat ketergantungannya pada makanan
makin menjadi.

C. KESIMPULAN
Salah satu kelemahan yang sangat mendasar dari para tenaga
pengembangan masyarakat adalah kemampuan ‗bahkan keinginan‘
unutk mendokumentasikan data dalam bentuk tulisan. Pencatatan
dalam pekerjaan sosial pada menyimpan data dalam bentuk tulisan
dengan cara-cara tertentu sehingga memudahkan dalam proses
pertolongan kemanusiaan.
Dengan demikian bentuk atau jenis-jenis pencatatan menjadi
begitu bermanfaat dallam kemajuan pertolongan kemanusiaan.
Terdapatnya data atau catatan dapat dipergunakan untuk evaluasi
kemajuan suatu kasus tertentu atau sebagai bahan rujukan bagi
pengalihan kasus tertentu kepada lembaga atau badan sosial lainnya.
Kemampuan membuat catatan secara tertulis dengan
demikian merupakan salah satu keahlian penting yang harus dikuasai
oleh seorang tenaga pengembangan masyarakat, selain keahlian
dalam bahasa verbal dan non verbal lainnya.

133
BAB 8 : NEGOSIASI

Seringkali pekerja sosial dihadapkan berbagai situasi yang


mendorong mereka melakukan melakukan upaya penawaran
terhadap berbagai sumber yang dibutuhkan dalam memenuhi
kesejahteraan sosial para kliennya. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan tersebut maka pekerja sosial harus menemui sejumlah
orang penting yang menentukan ketersediaan sumber-sumber
kesejahteraan sosial tersebut. Oleh karena itu pengetahuan dan
pemahaman para pekerjaan akan karakteristik dalam bernegosiasi.
Berikut ini akan dikemukakan karakteristik dari situasi negosiasi atau
bargaining

A. Karakteristik Situasi Negosiasi atau Bargaining


Kita melakukan tawar-menawar ketika:
1. Terdapat suatu konflik kepentingan antara dua atau lebih
kelompok orang; yaitu apa yang orang inginkan belum tentu
orang lain perlukan.
2. Tidak terdapat keterpaduan atau seperangkat aturan yang mantap
atau prosedur penyelesaian suatu konflik, atau sekelompok orang
yang bekerja diluar aturan dan prosedur untuk mengatasi sendiri
konflik.
3. Sekelompok orang, paling tidak pada saat tertentu, berupaya
memperoleh kesepakatan daripada bertarung secara terbuka,
salah satu pihak menyerah, memutuskan hubungan secara
permanen, atau melakukan perdebatan untuk memperoleh
kewenangan mengatasi konflik.

Mari kita lihat lebih dekat kepada beberapa bentuk yang


membedakan tersebut dari situasi tersebut di atas.

B. Konflik

134
Konflik terjadi bukan hanya karena perbedaan tetapi juga karena
pertentangan kepentingan. Mereka mungkin sama- sama
menginginkan kue pembangunan yang sama; sebagian menginginkan
orang lain melakukan sesuatu sementara lainnya tidak menginginkan
demikian. Sebagian orang mungkin memutuskan untuk tidak mau
melakukan hubungan lagi dan mengurangi pertentangan, tetapi hal
tersebut biasanya merupakan ketidakberdayaan terhadap keinginan
yang kelompok tersebut sebagai penyebab konflik tadi. Oleh karena
itu selama harapan untuk mencapai tujuan dari kelompok orang
tersebut masih lebih besar dari keinginan untuk memutuskan kontak
hubungan, berupayalah mencari penyelesaian konflik yang menjadi
keinginan mereka.

Berjuang atau Memanfaatkan Kekuatan (Figth or Use of


Force)
Suatu alur klasik dari novel atau film ‗gangster‘ berkaitan dengan
penanganan suatu konflik yaitu, ―I made him an offer he couldn’t
refuse‖. Peperangan, serbuan, sabotase, isolasi sosial, kekerasan, dan
aniaya fisik merupakan cara-cara yang mungkin menggunakan
kekuatan kelompok lain untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.
Tujuan dari taktik tersebut adalah untuk mengakhiri dan
mengatasinya sesuai cara-cara kita. Bagaimanapun peliknya situasi
tersebut, tidak begitu saja membuat sekelompok orang lain dapat
menerima penyelesaian konflik dengan cara tersebut. Kemudian juga
taktik konflik seringkali mengarah pada pembalasan dan peningkatan
konflik daripada pengurangan.

Menyerah dan Berhenti (Giving In and Breaking Off)


Sebagian orang ketika berhadapan dengan konflik, menganggapnya
tidak bernilai dan tidak mau untuk mengemukan pendapat, serta
memilih untuk menerima kemauan orang lain. Jika kita pada
umumnya bersifat nonassertive, hal ini mungkin merupakan cara

135
umum kita untuk menanggapi perselisihan. Masuk akal apabila hal
tersebut terjadi hingga berkali-kali. Tetapi jika kita melakukan hal
tersebut hingga pada tahap tertentu, menyerah dengan mudah, kita
mungkin akan menyesali diri anda ketika mendapatkan kesepakatan
yang tidak mengenakkan dan membuat kita ‗wimp‘ (bete) atau
‗marshmallow‘ (membahagiakan). Negosiasi merupakan elemen
utama dalam proses mengatasi diri kita dan kebutuhan sendiri, yang
seringkali berada dalam suasana yang sulit. Pada saat tertentu kita
harus memperoleh kebutuhan lainnya, dan seringkali harus mengerti
bahwa tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi semua, namun begitu
kita perlu mempelajari bagaimana bernegosiasi untuk mendapatkan
keinginan kita dengan memuaskan.
Menghentikan negosiasi merupakan elemen proses utama
lainnya. Penghentian negosiasi dapat terjadi dengan alasan tertentu.
Hal tersebut dapat terjadi akibat negosiator mengalami frustasi dan
marah terhadap perilaku orang lain. Jika orang orang lain bertingkah
kasar atau sulit bekerjasama (uncoorporative), kita mungkin pergi
dengan kesal. Penghentian mungkin terjadi karena kita memperoleh
cara yang lebih baik untuk mengatasi konflik – sesuatu pencapaian
kebutuhan yang memuaskan dengan cara sendiri (going it alone),
atau bekerjasama dengan orang lain. Ada aakhirnya penghentian
negosiasi mungkin merupakan suatu taktik --- suatu ancaman jikalau
mereka tidak memenuhi kebutuhan kita, kita akan meninggalkannya
begitu saja. Semua pilihan tersebut akan membuat perpisahan atau
mau kerjasama.

Conventions (Kebiasaan)
Lakukan seperti kebiasaan yang pernah orang lain lakukan. Jika
orang bingung dalam mengatasi pilihan (konflik) cara yang iasa
dipakai, jika buntu, dengan menghitung kancing baju atau dengan
cara melempar koin.

Rules, Laws, Reason (Aturan, Hukum, Alasan)


Cara lain yang dipergunakan untuk mengatasi konflik adalah dengan
136
mendasarkan pada aturan atau hukum yang berlaku. Namun dalam
konteks di Indonesia mengatasi konflik melalui jalur hukum yang
berlaku merupakan alternatif terakhir. Bahkan dalam beberapa kasus,
orang yang terlibat dalam persoalan aturan hukum atau pengadilan
akan merupakan proses yang panjang dan menghabiskan banyak
waktu dan sumber daya materil.

Third Party Settlements (Penyelesaian Pihak Ketiga)


Banyak juga konflik yang diatasi dengan menyerahkan
penyelesaiannya kepada suatu kewenangan yang lebih tinggi.
Negosiasi menjadi begitu penting ketika suatu persoalan konflik
tidak dapat diatasi dengan segera. Negosiasi merupakan upaya
penyelesaian, yang dicapai secara langsung
– melalui desakan dan desakan terus menerus hingga menyelesaikan
permasalahan – atau tidak langsung, semisal mencari suatu prinsip
(pokok), aturan atau pihak ketiga yang dihargai mampu
mengatasinya.

C. Apa Aspek-aspek Penting dari Negosiasi


Interdependence (Kesaling-terkaitan)
Saling berkaitan; yaitu setiap elemen konflik akan selalu berkaitan,
dan selalu berpasangan, yaitu setiap elemen akan berlawanan dengan
elemen lainnya; dan elemen tersebut akan berlawanan (berpasangan)
dengan elemen lainnya juga. Begitu seterusnya.

Altered Perceptions (Terperdaya Persepsi)


Selama konflik berlangsung, ketika kedua belah pihak merasa
terjebak dan frustasi sebagai hasil dari kesalingterkaitannya
(interdepence), pihak lain mungkin akan terlihat seperti ‗musuh‘.
Kondisi ini akan membatasi/ melemahkan kemampuan kita bekerja
dengan orang tersebut sementara bernegosiasi menuntut kita tidak

137
terjebak pada persepsi yang merendahkan pihak lain.

Concealment and Openness (Menutup dan Membuka)


Sembunyi dan terbuka. Dalam negosiasi banyak pihak
menyembunyikan keinginan dan perasaan sesungguhnya dalam
rangka meningkatkan atau memperbaiki peluangnya sebaik mungkin.
Jika kedua belah pihak melakukan hal sama (menyembunyikan), dan
keduanya sama-sama tahu melakukan hal tersebut, maka efektifitas
komunikasi dan keakuratan pemahaman akan sulit tercapai.
Kesalahpahaman mulai muncul, dan masing-masing pihak bersikap
defensif dan tidak jujur.
Kedua poin tersebut merupakan dilema dalam negosiasi.
Setiap negosiator harus mengetahui bagaimana ia bersikap terbuka
dan jujur mengenai siapa dirinya dan kebutuhannya, serta seberapa
besar kepercayaan terhadap pihak lain.

Different Negotiating Situations


Dalam negosiasi dengan berbagai pihak dan kepentingan yang
berbeda, maka akan menentukan jenis negosiasi yang berbeda pula.
Ada jenis negosiasi yang disebut distributif atau menang-kalah (win-
lose) dan ada pula yang disebut dengan integratif atau menang-
menang (win-win).
Creativity and the Bargaining Mix
Dengan membawa beragam dan luasnya kepentingan dalam suatu
negosiasi, makin kaya dan bernilai peluang memperoleh
keberhasilan; disinilah kreatifitas perlu ditumbuhkan dan
dikembangkan. Kemudian dipadukan secara terintegrasi dengan
berbagai potensi-potensi lainnya yang dimiliki oleh pekerja sosial.

138
Subjective Utilities
Manfaat subjektif adalah sesuatu yang bernilai --- atau berguna—
bagi kita berdasarkan kepribadian kita daripada bersikap objektif.
Artinya lebih didasarkan pada kepribadian, atas dasar nilai-nilai,
kebutuhan, perasaan dan pengalaman.Untuk menilai adakah
kemajuan dari bersikap subjektif, maka proses evaluasi subjektif
adalah penting dilakukan sepenting tindakan negosiasi itu sendiri.

Representative Role and Managing Constituencies


Dalam bernegosiasi terkadang kita mewakili kepentingan orang lain
sebagai kepentingan kita. Ini merupakan situasi yang sulit; pada satu
sisi kita ingin memperoleh kesepakatan dengan pihak lain, tetapi kita
juga perlu membujuk pihak- pihak yang berkepentingan –yang kita
wakili—untuk sepakat terhadap hasil negosiasi yang tidak dilakukan
secara langsung oleh mereka. Sehingga seorang negosiator harus
mampu mengkomunikasikan kepentingan diri, kepentingan orang
lain dan kepentingan orang lain yang diwakili oleh negosiator.
The Role and Impact of Negotiator’s Personalitiy
Peran dan dampak kepribadian negosiator. Kepribadian seorang
negosiator akan mempengaruhi pihak lain sehingga akan
berpengaruh pula terhadap proses negosiasi. Demikian pula pihak
lain akan mempengaruhi kita dan proses negosiasi yang pun akan
berdampak pada diri kita dan proses dari negosiasi tersebut. Jika
seorang negosiator tidak memahami kondisi tersebut, maka
bernegosiasi akan merupakan penderitaan.

Influence of Observers
Pengaruh pengamat dalam proses negosiasi yang dilakukan akan
mempengaruhi jalannya negosiasi. Seberapa besar pengaruh dari
pengamat (pemerhati) terhadap proses negosiasi akan tergantung
pada situasi. Jika seorang bawahan yang sedang bernegosiasi dengan
pelanggan mengenai harga barang, sementara itu atasannya
139
mengamati proses tersebut, maka sang bawahan akan berjuang mati-
matian untuk memenangkan proses negosiasi, walau sudah kehabisan
akal.

Personal Relations between Parties


Hubungan pribadi antar pihak seringkali memberi pengaruh terhadap
proses negosiasi yang akan kita lakukan. Dalam konteks budaya
Indonesia seringkali hubungan-hubungan informal (pribadi) dapat
menentukan keputusan-keputusan formal (resmi). Sehingga seorang
negosiator harus mampu menjaga hubungan-hubungan pribadi
diantara berbagai pihak, sehingga mampu melihat secara jernih dan
bening dalam mengambil keputusan dalam menegosiasikan sumber-
sumber kesejahteraan sosial.

The Exchange of Proposals


Saling mempertukarkan usulan merupakan ‗jantung‘ nya negosiasi.
Proses mengajukan dan mengembalikan ajuan dilakukan hingga
tercapai kesepakatan.

Information Exchange and a Common Definition of the Situation


Pertukaran informasi dalam negosiasi mejadi media utama untuk
membenarkan (memperjelas) posisi kita sendiri dan pihak lain, dan
bahkan dalam membuat suatu konsesi (kelonggaran).

Winners and Losers


Dalam suatu negosiasi terkadang kita berupaya memperoleh hasil
yang maksimal. Selama proses berlangsung yang terpikir di benak
kita adalah akhir yang baik buat kita sendiri dengan mengabaikan
kepentingan atau kebutuhan pihak lain. Inilah yang kita sering sebut
dengan ‗kemenangan‘ bernegoasiasi. Namun begitu kasus tersebut
140
tidak perlu terjadi. Karena situasi menang atau kalah tersebut secara
terpaksa diterima oleh orang lain yang mengalami kekalahan, dan ini
sebenarnya akan menimbulkan permasalahan baru. Berikut beberapa
aturan pokok keberhasilan seorang negosiator:
1. Ingat reputasinya, dan berupaya memelihara reputasinya
tersebut melalui perilaku negosiasi;
2. Ingat bahwa sebagian besar negosiasi akan berlangsung
dalam suatu hubungan yang berjangka waktu lama yang
harus dipelihara;
3. Ingat bahwa penyelesaian yang paling memuaskan dan
langgeng adalah sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan
keduabelah pihak.

Tangibles and Intangibles


Jika memahami secara lebih mendalam maka nampaklah bahwa
negosiasi seperti sebuah ―permainan psikologis‖ sebagai sebuah
proses pembuatan-keputusan secara rasional. Suatu proses negosiasi
pada akhirnya setiap pihak harus memutuskan pada akhir negosiasi
apakah mereka ‗menang‘ atau ‗kalah‘ , apakah tercapai atau tidak
tujuannya, atau apakah puas atau tidak. Kesemuanya itu merupakan
faktor psikologis ---menang atau kalah, percaya atau tidak percaya,
berkonflik atau menghindar, suka atau tidak suka terhadap lawan,
terlihat bagus atau bodoh – sepertinya merupakan pusatnya
bernegosiasi sebagai substansi aktual permasalahan negosiasi. Kita
menyebut elemen tersebut sebagai intangibles. Intangibles
merupakan faktor psikologis kita yang mepengaruhi proses negosiasi.
Sebaliknya yang dimaksud dengan tangibles adalah sesuatu
yang secara formal ada dalam agenda kita: harga atau besarnya gaji,
‗terms’ atau ‗conditions’ ideal, kata-kata kesepatakan, bahasa
kontrak.

141
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kelemahan
Pada buku ini kelemahannya yaitu Isi bukunya yang terlalu tebal sehingga
membuat para pembaca sedikit tidak ingin membacanya, Buku ini meskipun sudah
bagus dan berkualitas baik, masih ada sedikit kelemahannyayaitu kalimatnya ada
yang sedikit bertele tele dan tidak Semua pada tiap bab ada rangkuman disetiaap
babnya. Penulisan dari buku ini bekum baik dan sesuai karena ada letak kesalahan
pengetikan dalam pencetakan buku ini. Kemudian buku ini tidak memiliki daftar
gambar sehingga menyulitkan pembaca untuk mencari materi yang dicarinya,.

B. Kelebihan
Pada buku ini kelebihan yang dimiliki yaitu dari segi tampilannya yaitu
covernya bagus, menggunakan kata-kata yang mudah dipahami sehingga mudah
dipelajari oleh para mahasiswa di perguruan tinggi. Dari segi gagasan yang
digunakan buku ini cukup lengkap dan sangat membantu pembaca dalam
mendapatkan informasi dan Buku ini juga memberikan contoh berupa skema
maupun bagan/tabel penjelasan sehingga membuat pembaca mudah memahami
maksud dari isi buku tersebut sehingga memudahkan bagi para pembaca untuk
mencarinya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara umum pekerjaan sosial memiliki tujuan memberikan pertolongan
pelayanan sosial kepada individu, kelompok, dan masyarakat dalam memecahkan
berbagai permasalahan yang mereka hadapi, sehingga klien dari seorang pekerja
sosial bisa memperoleh alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut.
Sehubungan dengan tujuan tersebut, maka jenis pekerjaan ini perlu didasari dari
sebuah penelitian, sehingga menghasilkan pelayanan yang tepat dan bermanfaat.
Penelitian kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian pekerjaan sosial yang
cukup efektif dalam membangun harmonisasi antara peneliti dan informan, sehingga
permasalahan sosial yang dialami informan bisa dijadikan bahan rujukan bagi para
pekerja sosial. Dalam buku ini diuraikan berbagai metode dar strategi penelitian
sosial yang secara praktis dapat dipraktikkan di lapangan, dengan fokus bahasan
utama dalam upaya pemecahan masalah klien dan lingkungan sosialnya, baik mikro
maupun klinis
Inti dari buku ini bahwa permasalahan kesejahteraan sosial di masyarakat
adalah persoalan semua pihak tanpa kecuali, olehnya itu semua pihak pantas
menganalisa gejala permasalahan sosial di sekitarnya. Sebagaimana kata bijak yang
mengatakan bahwa semakin maju suatu Negara maka semakin rendah permasalahan
sosial yang berkembang di masyarakatnya. Mengapa bisa demikian, hal ini karena
semakin respeknya Negara dan masyarakat mengamati dan menangani masalah
sosial yang berkembang di masyarakat. Sebaliknya, apabila semakin mundur suatu
negara maka semakin tinggi permasalahan sosial yang ada. Hal itu terjadi karena
kemungkinan negara mengenyampingkan permasalah sosial di masyarakatnya dan
lebih fokus ke soal lain, bila hal ini benar-benar terjadi maka masalah sosial tersebut
menutup pintu kemajuan yang diharapkan

B. Saran
Seharusnya pada buku yang telah direview tidak boleh ada kesalahan dalam
penulisan karena sudah ber-ISSN, maka diharapkan kepada penulis dan pembaca
baik itu mahasiswa, dosen dan kalangan umum tidak melakukan kesalahan dalam
penulisan, sehingga akan menjadi pembaca dan penulis yang kritis.
DAFTAR PUSTAKA

Dubois, B., and Miley, K. K. (1999). Social Work: An empowering


rd
profession (3 ed.) Boston: Allyn and Bacon.

Garvin, C.D., and Seabury, B. A. (1997). Interpersonal Practice in


nd
Social Work: Promoting competence and social justice (2
ed.). Boston: Allyn and Bacon.
Graybeal, Clay. (2001). Strengths-Based Social Work Assessment:
Transforming in The Dominant Paradigm. Families in Society:
The Journal of Contemporary Human Services. Families
International Inc.
Hepworth, D., Rooney, R., and Larsen, J. (2002). Direct Social Work
th
Practice: Theory and Skills (6 ed.). Pasific Grove, CA:
Brooks/Cole.
Kirs-Ashman, K., and Hull, G. (1993). Understanding Generalist
Practice. Chicago:Nelson-Hall.

, 1999. Understanding Generalist Practice 2nd Edition.


Nelson-Hall Pub. : Chicago
Kirst-Ashman, Hull, Vogel. 1999. Student Manual of Classroom
Exercises and Study Guide for Understanding Generalist
Practice 2nd Edition. Nelson-Hall Pub. : Chicago
Miley, K., O‘Melia, M., and DuBois, B. L., (1998). Generalist Social
nd
Work Practice: An Enpowering approach (2 ed.). Boston:
Allyn and Bacon.
Pincus, A., and Minahan, A. (1973). Social Work Practice: Model
and Method. Itasca, IL: Peacock Publishers, Inc.
Robert & Greene. 2002. Social Workers Desk Refernce. Oxford
University Press: New York.
Saleebey, D. (2002). The Strengths Prespective in Social Work
rd
Practice (3 ed.). Boston: Allyn and Bacon.

Shulman, L. (1999). The Skill of Helping Individuals, Families,


th
Groups, ang Organizatios (4 ed.). Itasca, IL: F. E. Peacock
Publishers.

Zastrow, Charles, 1995. The Practice of Social work. 4th Edition.


Brooks/Cole Publishing Company, California.

Anda mungkin juga menyukai