Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Long Term Evolution (LTE)

2.1.1 Pengenalan LTE

Long Term Evolution (LTE) adalah sebuah standar komunikasi wireless


data berkecepatan tinggi untuk ponsel dan terminal data. Standar ini
dikembangkan oleh 3GPP (3rd Generation Partnership Project), sebuah
organisasi penerbit standar untuk teknologi GSM. Pada awalnya LTE
dikembangkan untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan jaringan
GSM/HSPA, namun pada perkembangannya LTE juga menjadi evolusi untuk
jaringan CDMA. Tujuan dari LTE adalah untuk menyediakan mobile broadband
wireless access yang mendukung handover antara sel-sel LTE serta antara LTE
dan sel UMTS/GSM dengan kecepatan tinggi

Gambar 2.1 Evolusi Teknologi Wireless

LTE adalah standar teknologi komunikasi yang dikembangkan oleh


3GPP untuk mengatasi peningkatan permintaan kebutuhan akan layanan
komunikasi. LTE adalah lanjutan evolusi 2G dan 3G, yang juga menyediakan
tingkat layanan kualitas yang sama dengan jaringan wired.

5
6

The 3rd Generation Partnership Project (3GPP) mulai bekerja pada


evolusi sistem selular 3G pada bulan November, 2004. 3GPP adalah perjanjian
kerja sarana untuk pengembangan sistem komunikasi bergerak dalam rangka
untuk mengatasi kebutuhan telekomunikasi di masa depan (kecepatan data yang
tinggi, efisiensi spektral, dan lain-lain). LTE dikembangkan untuk memberikan
kecepatan data yang lebih tinggi, latency yang lebih rendah, spektrum yang lebih
luas dan teknologi paket radio yang lebih optimal.

Gambar 2.2 Perbandingan teknologi 1G – 5G

Sumber : Litbang SDM kementrian komunikasi dan informatika

Gambar diatas merupakan perbandingan teknologi LTE di bandingkan


teknologi sebelumnya, teknologi 1G merupakan generasi pertama yang di
keluarkan pada tahun 1970 sampai 1984, dengan kecepatan 2 kbps, selanjutnya
adalah teknologi generasi ke-2 atau 2G/2,5G yang di keluarkan pada tahun 1980
sampai 1999 dengan kecepatan 14 – 64 kbps, berikutnya teknologi 3G yang di
keluarkan pada tahun 1990 sampai 2002 dengan kecepatan bandwidth yang sudah
mencapai 2 mbps, dan teknologi 4G atau yang disebut LTE (long term evolution)
yang dirilis pada tahun 2000, dengan kecepatan yang sudah mencapai 200mbps.
7

Long Term Evolution di ciptakan untuk memperbaiki standar mobile


phone generasi ke-3 (3G). LTE merupakan pengembangan dan teknologi
sebelumnya, yaitu UMTS (3G) dan HSPA (3.5G) yang mana LTE disebut sebagai
generasi ke-4 (4G). Pada UMTS kecepatan transfer data maksimum adalah 2
Mbps, pada HSPA kecepatan transfer data mencapai 14 Mbps pada sisi downlink
dan 5,6 Mbps pada sisi uplink, pada LTE ini kemampuan dalam memberikan
kecepatan dalam hal transfer data dapat mencapai 100 Mbps pada sisi downlink
dan 50 Mbps pada sisi uplink. Selain itu LTE ini mampu mendukung semua
aplikasi yang ada baik voice, data, video, maupun IPTV.

Kemampuan dan keunggulan dari LTE dari teknologi sebelumnya selain


kecepatannya dalam transfer data tetapi juga karena LTE memberikan coverage
dan kapasitas dan layanan yang lebih besar, mengurangi biaya dalam operasional,
mendukung penggunaan multiple-antena, fleksibel dalam penggunaan bandwidth
dan juga dapat terhubung atau terintegrasi dengan teknologi yang sudah ada.

Untuk mendapatkan kriteria yang diinginkan, LTE harus menggunakan


teknologi yang dapat mendukungnya. LTE menggunakan transmisi jenis OFDMA
(Orthogonal Frequency Division Multiple Access) untuk downlink dan SC-FDMA
(Single Carrier-Frequency Division Multiple Access) untuk uplink. Hal tersebut
lebih efisiens dalam penggunaan energi. Selain itu LTE juga mendukung
bandwidth 1,4 Mhz hingga 20 Mhz dengan jenis duplexing FDD dan TDD.

LTE dipercaya mampu mengirim data sampai kecepatan 100-300 Mbps


untuk download dan 75 Mbps untuk upload. Kecepatan ini bahkan lebih tinggi
dari jaringan lokal perusahaan saat ini yang pada umumnya berkisar 100 Mbps.

2.1.2 Arsitektur Jaringan LTE

Arsitektur jaringan LTE memiliki struktur jaringan yang dirancang


sesederhana mungkin dengan tujuan mendukung trafik packet switching dengan
mobilitas tinggi, quality of service (QoS), dan waktu tempuh (latency) yang kecil
(Ahmad Nurholis, 2014). Pendekatan packet switching ini memperbolehkan
semua layanan termasuk suara menggunakan koneksi paket (voice over IP).
8

Gambar 2.3 Perbandingan Arsitektur Jaringan LTE dan Jaringan Lainnya

Arsitektur jaringan LTE memiliki radio access sendiri yang bernama E-


UTRAN (Envolved UMTS Terrestrial Radio Access Network) dan menggunakan
eNodeB untuk menghubungkannya dengan user equipment (UE). eNodeB dapat
user dianalogikan sebagai Base Transceiver Station (BTS) pada jaringan GSM
dan UMTS, namun eNodeB memiliki fungsi tambahan, yaitu melakukan fungsi
RNC (Radio Network Controller) ataupun BSC (Base station Controller) yang
terdapat pada jaringan terdahulunya (GPRS/UMTS).

2.1.3 Multiple Access

Multiple access adalah suatu teknik yang memungkinkan suatu titik


(Base station) untuk dapat diakses oleh beberapa titik yang saling berjauhan
(Subscriber Station) dengan tidak saling mengganggu. Di dalam eNodeB terdapat
beberapa lapisan, dimana lapisan terbawahnya disebut lapisan fisik. Lapisan ini
mengatur multiple access yang digunakan baik untuk downlink (mengirim data
dari jaringan ke UE) maupun uplink (mengirim data dari UE ke jaringan). LTE
menerapkan teknik Orthogonal Frequency Division Multiple Access (OFDMA)
untuk downlink sedangkan untuk uplink menggunakan Single-Carrier Frequency-
Division Multiple Access (SC-FDMA).
9

2.1.3.1 OFDMA (Orthogonal Frequency Division Multiple Access)

OFDMA merupakan sistem komunikasi wireless dengan skema akses


jamak yang memungkinkan banyak pengguna berbagi dalam bandwidth yang
sama. Prinsip OFDMA berasal dari teknik FDMA yang mana memiliki prinsip
multicarrier sehingga setiap user menggunakan carrier yang berbeda-beda
dengan ukuran bandwidth yang sama. Pada penggunaan multicarrier, data dibagi
pada subcarrier yang berbeda dalam satu transmitter dan mentransmisikannya
secara paralel, seperti pada gambar 2.4.

Gambar 2.4. Diagram Blok OFDMA

Deretan data informasi yang akan dikirim dikonversikan kedalam bentuk


paralel sehingga jika bit rate semula adalah R, maka bit rate pada tiap-tiap jalur
paralel adalah R/N dimana N adalah jumlah jalur paralel (subcarrier). Setelah itu
modulasi (BPSK/QPSK/QAM) dilakukan pada tiap-tiap subcarrier. Kemudian
sinyal yang telah termodulasi tersebut diaplikasikan ke dalam IFFT (Invers Fast
Fourier Transform) untuk mentrasformasi dari domain frekuensi (hasil modulasi)
ke domain waktu dan juga untuk pembuatan simbol OFDM. Penggunaan IFFT ini
memungkinkan pengalokasian frekuensi yang saling tegak lurus (orthogonal).

Setelah itu simbol OFDM ditambahkan cyclic prefix, simbol-simbol


OFDM dikonversikan lagi kedalam bentuk serial dan kemudian sinyal dikirim.
Sinyal keluaran dari transmitter berupa sinyal yang saling overlapping, hal seperti
ini dapat menghemat bandwidth kanal sampai 50%. Kondisi overlapping ini tidak
akan menimbulkan interferensi dikarenakan telah memenuhi kondisi orthogonal.
10

Gambar 2.5. Perbandingan Subcarrier FDMA dan OFDMA

Pada receiver, dilakukan operasi yang berkebalikan dengan apa yang


dilakukan di stasiun pengirim, mulai dari konversi dari serial ke paralel, pelepasan
cyclic prefix, konversi sinyal paralel dengan FFT (Fast Fourier Transform),
demodulasi, konversi paralel ke serial, dan akhirnya kembali menjadi bentuk data
informasi (4G Handbook, 2014).

2.1.3.2 Single Carrier-Frequency Division Multiple Access (SC-FDMA)

SC-FDMA merupakan sistem komunikasi wireless dengan skema


pengguna jamak dari modulasi Single Carrier dengan Frequency Domain
Equalization (SC/FDE). Teknik ini dapat pula dikatakan sebagai pengembangan
dari OFDMA yang telah ada sebelumnya.

SC-FDMA mempunyai struktur dan performa yang mirip dengan OFDM,


hanya saja pada teknik ini terdapat penambahan proses DFT (Discrete Fourier
Transform) pada transmitter dan IDFT (Invers Discrete Fourier Transform) pada
receiver. Berbeda dengan OFDM, pada SC-FDMA ini setiap simbol data disebar
di beberapa subcarrier, sehingga disebut juga DFT-spread OFDM. Karena bentuk
sinyal yang dihasilkan mirip dengan bentuk FDMA maka sistem multiple access
ini disebut SC-FDMA.

DFT digunakan pada SC-FDMA untuk mentransformasi simbol data


dalam domain waktu ditransformasi ke domain frekuensi ortogonalitas dari user-
nya, yaitu setiap user ditempatkan pada subcarrier yang berbeda dalam domain
frekuensi.
11

Gambar 2.6. Diagram Blok SC-FDMA

Pada transmitter, langkah pertama dalam modulasi subcarrier SC-


FDMA adalah mengubah aliran input bit menjadi simbol single carrier (modulasi
BPSK/ QPSK/16-QAM) dan mengelompokannya ke dalam sebuah blok berisi M
simbol untuk dijadikan input FFT. Setelah itu mengubah blok simbol single
carrier (time domain) tersebut menjadi tone diskrit (domain frekuensi) dan
memetakan output tone ke dalam N-subcarrier, dimana N>M (ada 2 skema
mapping), kemudian mengubah kembali ke domain waktu. Selanjutnya
menambahkan cyclic prefix untuk melindungi multipath Fading dan mencegah
pertambahan spectrum, dan langkah terakhir adalah mengubah sinyal digital
menjadi sinyal analog untuk ditransmisikan. Sedangkan pada receiver dilakukan
operasi yang berkebalikan dengan apa yang dilakukan pada transmitter.

Gambar 2.7. Perbandingan OFDMA dengan SC-FDMA


12

2.1.4 Struktur Frame

Bentuk umum physical resource LTE pada kanal fisik berupa grid
time frequency diilustrasikan pada Gambar 2.8 (Motorola, 2010). Pada domain
waktu, frame LTE mempunyai panjang durasi 10 ms yang terdiri dari 20 slot.
Panjang frame 10 ms tersebut dibagi ke dalam 10 subframe dengan panjang
durasi tiap subfram sebesar 1 ms. Setiap satu subframe atau sering disebut TTI
(Transmission Time Interval) memiliki 2 slot yang panjang durasi tiap slot nya 0,5
detik. Tiap slot terdiri dari beberapa simbol OFDM yang jumlahnya tergantung
jenis CP (Cyclic Prefix) yang digunakan. Jika menggunakan CP normal ada 7
simbol setiap slot, jika menggunaka CP extended ada 6 simbol setiap slot.

Gambar 2.8 Struktur Frame


(Sumber : Motorola, 2010)

Pada domain frekuensi, LTE mempunyai jarak antar subcarrier sebesar


15 kHz. Satu RB (Resource Block) memiliki total 180 kHz yang terdiri dari 12
subcarrier dan 7 simbol (CP normal) seperti dijelaskan gambar 2.8 (Motorola,
2010). Setiap satu subcarrier dalam satu simbol disebut RE (resource element),
sehingga dalam 1 RB terdapat 84 RE. Setiap RE membawa QPSK, 16 QAM
atau 64 QAM dengan jumlah bit yang berbeda sesuai dengan MCS (Modulation
and Coding Scheme) yang digunakan.

Berikut gambar 2.9 adalah penjelasan struktur resource grid frame pada
FDD, dari gambar dijelaskan bagaimana 1 resource block terdiri dari 12 subcriber
13

Gambar 2.9 Struktur Resource Grid Frame FDD

Tabel 2.1 Informasi Umum Tentang LTE


Parameter Nilai
Lebar Pita Kanal (MHz) 1,4 3 5 10 15 20
Jumlah RB 6 15 25 50 75 100
Jumlah Subcarrier 72 180 300 600 900 1200
Jarak Antar Subcarrier (kHz) 15
FFT Size 128 256 512 1024 1536 2048
Sample Rate (MHz) 1,92 3,84 7,68 15,36 23,04 30,72
Sample per Slot 960 1920 3840 7680 11520 15360

(Sumber : Motorola, 2010)

Satu RB adalah unit terkecil dari sebuah bandwidth yang ditetapkan oleh
base station scheduler. Setiap user dialokasikan sejumlah RB pada grid frekuensi
waktu. Semakin banyak jumlah RB seorang user dapatkan dan semakin tinggi
jenis modulasi yang digunakan maka semakin tinggi kecepatan data yang
didapatkan. Ukuran RB adalah sama untuk setiap bandwidth frekuensi yang
14

digunakan, hanya saja berbeda jumlahnya. Untuk jumlah RB tiap bandwidth dapat
dilihat pada Tabel 2.1 (Motorola, 2010). Struktur ini berlaku untuk downlink
maupun uplink, hanya saja agak berbeda pada laju datanya. Jika pada OFDMA
satu subcarrier untuk satu simbol, sedangkan pada SC-FDMA 12 subcarrier
untuk satu simbol, namun waktunya lebih singkat 1/12 dari OFDMA seperti
gambar 2.10 (Motorola, 2010).

Gambar 2.10 Subcarrier Coding pada OFDMA dan SC-FDMA


(Sumber : Motorola, 2010)

2.1.5 Skema Duplex

Duplexing adalah suatu proses komunikasi dua arah pada suatu kanal
komunikasi. Terdapat dua jenis duplex, yaitu half duplex dan full duplex.

 half duplex adalah dua sisi yang saling berkomunikasi secara bergantian untuk
mengirimkan sinyal informasi dalam satu kanal
 full duplex adalah komunikasi dua arah secara simultan. Dua stasiun yang
saling berkomunikasi dapat mengirim dan menerima informasi pada waktu
yang bersamaan.

Terdapat dua bentuk utama full duplex, yaitu frequency division duplex
(FDD) dan time division duplex (TDD).
15

2.1.5.1 Frequency Division Duplex (FDD)

Pada sistem FDD, transmisi uplink dan downlink diletakkan pada


frequency band yang terpisah. Kanal uplink dan downlink dikelompokkan ke
dalam blok yang saling berdampingan pada sepasang kanal, dimana sepasang
kanal uplink dan downlink-nya terpisah dengan jarak 100 MHz seperti pada
gambar 2.11. Diantara kanal uplink dan downlink terdapat guardband yang
memisahkan kedua kanal tersebut agar transmitter dan receiver tidak terjadi
interferensi satu sama lain.

Gambar 2.11. Alokasi Spektrum pada Sistem FDD

Dengan menggunakan 2 frekuensi carrier yang berbeda, transmisi dari


setiap subframe uplink dan downlink dapat beroperasi secara simultan terhadap
cell. Pemisahan antara transmisi uplink dan downlink dilakukan dengan filter
pengirim/penerima yang disebut filter duplex. Semakin besar jarak antar spektrum
maka filter akan semakin efektif.

Teknik FDD menuntut untuk menggunakan spektrum frekuensi yang


banyak, biasanya paling tidak dua kali lipat dari spektrum yang dibutuhkan oleh
TDD. Bagaimanapun juga FDD merupakan sistem telepon seluler yang
penggunaannya luas untuk downlink dan uplink.

2.1.5.2 Time Division Duplex (TDD)

Sistem TDD menggunakan satu band frekuensi untuk uplink dan


downlink, dimana setiap kanal terdiri dari subframe uplink dan subframe downlink
seperti pada gambar 2.12. Sistem TDD menggunakan guard interval antara
transisi yang terjadi dari downlink ke uplink maupun dari uplink ke downlink.
Guard interval ini disebut transmit/receive transition gap (TTG) dan
16

receive/transmit transition gap (RTG). Biasanya TTG lebih besar dari RTG, hal
ini dimaksudkan untuk keperluan round trip delay dari sinyal pada tepi sektor.

Gambar 2.12. Struktur TDD

Guard interval dibutuhkan antar subframe untuk mencegah terjadinya


overlapping antar subframe atau interferensi antara satu dan yang lainnya.
Interval ini biasanya berbanding lurus dengan send-receive turn around time
(waktu switching transmit-receive) dan delay transmisi lain. Semakin jauh jarak
transmisi dan semakin lama waktu propagasi yang terjadi maka dibutuhkan guard
interval yang lebih besar.

Pada sistem TDD base station perlu dilakukan sinkronisasi untuk waktu
transmisi uplink dan downlink. Jika neighbouring base station memakai waktu
uplink dan downlink yang berbeda dan berbagi kanal yang sama, maka akan
terjadi interferensi antar cell.

Berikut gambar 2.13 adalah perbandingan metode FDD dan TDD seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya.

Gambar 2.13. Perbandingan Sistem TDD dan FDD


17

Tabel 2.2 Alokasi Frekuensi LTE FDD


E-UTRAN Uplink (UL) operating band Downlink (DL) operating
Duplex
Operating BS receive UE transmit band BS receive UE
Mode
Band (MHz) transmit (MHz)
1 1920 – 1980 2110 – 2170 FDD
2 1850 – 1910 1930 – 1990 FDD
3 1710 – 1785 1805 – 1880 FDD
4 1710 – 1755 2110 – 2155 FDD
5 824 – 849 869 – 894 FDD
6 830 – 840 875 – 885 FDD
7 2500 – 2570 2620 – 2690 FDD
8 880 – 915 925 – 960 FDD
9 1749,9 – 1784,9 1844,9 – 1879,9 FDD
10 1710 – 1770 2110 – 2170 FDD
11 1427,9 – 1447,9 1475,9 – 1495,9 FDD
12 699 – 716 729 – 746 FDD
13 777 – 787 746 – 756 FDD
14 788 – 798 758 – 768 FDD
15 Reserved Reserved FDD
16 Reserved Reserved FDD
17 704 – 716 734 – 746 FDD
18 815 – 830 860 – 875 FDD
19 830 – 845 875 – 890 FDD
20 832 – 862 791 – 821 FDD
21 1447,9 – 1462,9 1495,9 – 1510,9 FDD
(Sumber : Huawei Technologies, 2011)

2.1.6 Teknik Modulasi Adaptif dan Coding (AMC)

Dalam sistem komunikasi seluler, kualitas sinyal yang diterima oleh


prangkat user tergantung pada kualitas kanal dari sel yang melayani, interferensi
dari sel lain, dan noise. Untuk mengoptimalkan kapasitas sistem dan cakupan
untuk daya transmisi yang diberikan, pemancar harus mencoba untuk
mencocokkan tingkat informasi data untuk setiap pengguna untuk variasi sinyal
yang diterima. Hal ini biasa disebut sebagai adaptasi link dan biasanya didasarkan
pada Adaptive Modulation and Coding (AMC). AMC terdiri dari skema modulasi
dan jenis coding, Seperti dijelaskan pada gambar 2.14 (Nokia-Siemens)

 Skema modulasi yang digunakan adalah QPSK, 16QAM, dan 64 QAM dan
dipilih berdasarkan SINR (Signal to Interference and Noise Ratio) yang
diterima ( Jaafar A. Aldhaibani, 2013)..
18

 Sedangkan jenis coding untuk modulasi ditentukan tergantung pada kondisi


radio. Coding rate yang lebih rendah digunakan dalam kondisi saluran yang
buruk dan coding yang lebih tinggi dalam kasus SINR yang tinggi.

Gambar 2.14. Modulasi Adaptif pada Kondisi Link Radio Berbeda

Untuk transmisi data downlink LTE, eNodeB memilih MCS


(Modulation and Coding Scheme) tergantung pada CQI (Channel Quality
Indicator) yang dikirimkan oleh UE (User Equipment) di uplink. Umpan balik
CQI merupakan indikasi dari tingkat data yang dapat didukung oleh saluran,
dengan mempertimbangkan SINR dan karakteristik penerima UE itu. Secara
umum, dalam menanggapi umpan balik CQI, eNodeB dapat memilih antara
skema QPSK, 16QAM, dan 64QAM berdasarkan nilai SINR yang diterima oleh
UE. Semakin dekat UE terhadap eNodeB, jenis MCS yang dapat digunakan
semakin tinggi. Jika UE bergerak menjauhi eNode B, SINR akan melemah
sehingga dipilih jenis MCS yang rendah.

Untuk transmisi data uplink, proses adaptasi yang digunakan sama


dengan downlink dengan pemilihan MCS juga berada di bawah kendali eNodeB
dengan cara eNodeB langsung dapat membuat perkiraan sendiri data rate uplink
dari kondisi kanal.

Orde modulasi untuk transmisi uplink dan downlink ditentukan oleh


jenis MCS yang digunakan. Terdapat 29 MCS yang dapat digunakan menurut
19

standar 3GPP. Orde modulasi 2 digunakan untuk modulasi QPSK, 4 untuk


16QAM, dan 6 untuk 64QAM.

Tabel 2.3 Orde Modulasi dan TBS

MCS Index DL Modulation UL Modulation TBS Index


(IMCS) Order (Qm) Order (Qm) (ITBS)
0 2 2 0
1 2 2 1
2 2 2 2
3 2 2 3
4 2 2 4
5 2 2 5
6 2 2 6
7 2 2 7
8 2 2 8
9 2 2 9
10 4 2 9
11 4 4 10
12 4 4 11
13 4 4 12
14 4 4 13
15 4 4 14
16 4 4 15
17 6 6 15
18 6 6 16
19 6 6 17
20 6 6 18
21 6 6 19
22 6 6 20
23 6 6 21
24 6 6 22
25 6 6 23
26 6 6 24
27 6 6 25
28 6 6 26
(Sumber : 3GPP TS 36.213 version 10.1.0 release 10, 2011)

Untuk mengetahui besar data rate, dilakukan pencocokan antara MCS,


TBS (Transport Block Size), dan jumlah RB yang digunakan. TBS adalah jumlah
bit yang dikirimkan setiap TTI (Transmission Time Interval) berdasarkan nilai
20

MCS dan jumlah RB yang digunakan. Pada Tabel 2.3 dapat dilihat jumlah bit per
subframe (1 ms) untuk setiap TBS dengan jumlah RB tertentu.

Tabel 2.4 Transport Block Size


NPRB
ITBS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 16 32 56 88 120 152 176 208 224 256
1 24 56 88 144 176 208 224 256 328 344
2 32 72 144 176 208 256 296 328 376 424
3 40 104 176 208 256 328 392 440 504 568
4 56 120 208 256 328 408 488 552 632 696
5 72 144 224 328 424 504 600 680 776 872
6 328 176 256 392 504 600 712 808 936 1032
7 104 224 328 472 584 712 840 968 1096 1224
8 120 256 392 536 680 808 968 1096 1256 1384
9 136 296 456 616 776 936 1096 1256 1416 1544
10 144 328 504 680 872 1032 1224 1384 1544 1736
11 176 376 584 776 1000 1192 1384 1608 1800 2024
12 208 440 680 904 1128 1352 1608 1800 2024 2280
13 224 488 744 1000 1256 1544 1800 2024 2280 2536
14 256 552 840 1128 1416 1736 1992 2280 2600 2856
15 280 600 904 1224 1544 1800 2152 2472 2728 3112
16 328 632 968 1288 1608 1928 2280 2600 2984 3240
17 336 696 1064 1416 1800 2152 2536 2856 3240 3624
18 376 776 1160 1544 1992 2344 2792 3112 3624 4008
19 408 840 1288 1736 2152 2600 2984 3496 3880 4264
20 440 904 1384 1864 2344 2792 3240 3752 4136 4584
21 488 1000 1480 1992 2472 2984 3496 4008 4584 4968
22 520 1064 1608 2152 2664 3240 3752 4264 4776 5352
23 552 1128 1736 2280 2856 3496 4008 4584 5160 5736
24 584 1192 1800 2408 2984 3624 4264 4968 5544 5992
25 616 1 1256 1864 2536 3112 3752 4392 5160 5736 6200
26 712 1 1480 2216 2984 3752 4392 5160 5992 6712 7480

(Sumber : 3GPP TS 36.213 version 10.1.0 release 10, 2011)

Nilai data rate juga dapat diketahui menggunakan rumus berikut :


jumlah RB x 84 RE x 2 slot x bit/simbol
𝐷𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑎𝑡𝑒(𝑏𝑝𝑠) = x (100% - overhead) (2.1)
1ms
21

2.1.7 Pengukuran Radio Frequency

Pada jaringan seluler, UE harus mengukur kuat/kualitas sinyal sel


tetangga apabila user bergerak dari suatu sel ke sel lain dan melakukan pemilihan
sel atau handover. Berdasarkan standard 3GPP pengukuran radio frequency (RF)
pada LTE ditentukan oleh RSRP (Reference Signal Received Power) dan RSRQ
(Reference Signal Received Quality).

RSRP adalah daya rata-rata pada RE yang membawa reference signal


(RS) dalam subcarrier. UE mengukur daya sejumlah RE yang digunakan untuk
membawa RS kemudian dihitung rata-ratanya dalam satu bandwidth. Ilustrasi
RSRP ditunjukkan oleh Gambar 2.15.

Gambar 2.15 Ilustrasi RSRP pada Bandwidth 5 MHz dengan Daya 20 W

Dari Gambar 2.15, nilai daya rata-rata RE atau biasa disebut RS EPRE
(Reference Signal Energy per Resource Element) yang dikirimkan per subcarrier
ditunjukkan oleh Persamaan 2.2 sehingga diketahui nilai RSRP-nya sesuai dengan
perhitungan yang ditunjukkan oleh Persamaan 2.3.
20 𝑊
RS EPRE (dBm) = = 66,7 mW = 18,2 dBm (2.2)
30 𝑠𝑢𝑏𝑐𝑎𝑟𝑟𝑖𝑒𝑟

RSRP (dBm) = RS EPRE (dBm) + Gains (dB) – Losses (dB) (2.3)

RSRQ didefinisikan sebagai rasio antara jumlah N RSRP terhadap RSSI


(Received Signal Strength Indicator) atau biasa ditulis sesuai Persamaan 2.4
dengan N merupakan jumlah RB. RSSI mengukur daya keseluruhan untuk satu
bandwidth termasuk serving cell power, noise, dan interference power.
𝑅𝑆𝑅𝑃 (𝑑𝐵𝑚)
RSRQ (dB) = N x 𝑅𝑆𝑆𝐼 (𝑑𝐵𝑚)
(2.4)
22

2.2 Sistem Komunikasi Seluler

2.2.1 Link Budget

Link budget adalah budget atau daya yang dibutuhkan untuk untuk
mencapai jarak tertentu. Perhitungan link budget ini digunakan untuk mengetahui
estimasi nilai maksimum dari pelemahan sinyal yang diperbolehkan antara UE
(User Equipment) dengan eNode B, nilai pelemahan sering disebut dengan
Maximum Allowable Path Loss (MAPL) ( I. El-Feghi dkk , 2012 ).

MAPL digunakan untuk memprediksi cell range maksimum dengan


model propagasi tertentu. Cell range ini digunakan untuk menghitung jumlah site
base station yang dibutuhkan untuk mencakup target area geografik tertentu.

Tabel 2.5 dan 2.6 merupakan contoh dari perhitungan link budget pada
LTE. Pada uplink sisi pengirim berupa perangkat UE dan sisi penerima adalah
eNodeB. Sedangkan pada downlink sisi pengirim berupa eNodeB dan sisi
penerima adalah perangkat UE. Untuk detail data dapat dilihat pada lampiran H.

Tabel 2.5Uplink Link Budget


Uplink GSM voice HSPA LTE
Data rate (kbps) 12.2 64 64
Transmitter – UE
Max tx power (dBm) 33.0 23.0 23.0
Tx antenna gain (dBi) 0.0 0.0 0.0
Body loss (dB) 3.0 0.0 0.0
EIRP (dBm) 30.0 23.0 23.0
Receiver – eNodeB
ENodeB noise figure (dB) – 2.0 2.0
Thermal noise (dB) −119.7 −108.2 −118.4
Receiver noise (dBm) – −106.2 −116.4
SINR (dB) – −17.3 −7.0
Receiver sensitivity −114.0 −123.4 −123.4
Interference margin (dB) 0.0 3.0 1.0
Cable loss (dB) 0.0 0.0 0.0
Rx antenna gain (dBi) 18.0 18.0 18.0
Fast fade margin (dB) 0.0 1.8 0.0
Soft handover gain (dB) 0.0 2.0 0.0
Maximum path loss 162.0 161.6 163.4
(Sumber : Holma, Harri)
23

Tabel 2.6 Downlink Link Budget


Downlink GSM voice HSPA LTE
Data rate (kbps) 12.2 1024 1024
Transmitter – eNodeB
Tx power (dBm) 44.5 46.0 46.0
Tx antenna gain (dBi) 18.0 18.0 18.0
Cable loss (dB) 2.0 2.0 2.0
EIRP (dBm) 60.5 62.0 62.0
Receiver – UE
UE noise figure (dB) – 7.0 7.0
Thermal noise (dB) −119.7 −108.2 −104.5
Receiver noise floor (dBm) – −101.2 −97.5
SINR (dB) – −5.2 −9.0
Receiver sensitivity (dBm) −104.0 −106.4 −106.5
Interference margin (dB) 0.0 4.0 4.0
Control channel overhead (%) 0.0 20.0 20.0
Rx antenna gain (dBi) 0.0 0.0 0.0
Body loss (dB) 3.0 0.0 0.0
Maximum path loss 161.5 163.4 163.5
(Sumber : Holma, Harri)

EIRP (Equivalent Isotrophically Radio Power) merupakan daya yang


dikeluarkan dari suatu antena isotropis untuk menghasilkan daya maksimum yang
dilihat dari arah gain antena. EIRP dihitung dari daya yang dikeluakan transmitter
dikurangi loss dari kabel dan ditambah gain antena.

EIRP = Ptx + Gtx - Lossfeeder (2.5)

Noise figure merupakan perbandingan noise yang dihasilkan oleh


jaringan terhadap noise pada kondisi ideal, nilainya sebesar 2-5 dB untuk base
station dan 6-11 dB untuk UE. Thermal noise didapatkan dari perkalian antara
konstanta Boltzman (1,38x10-23J/K), temperatur (290oK), dan bandwidth. Pada
LTE perhitungan bandwidth berdasarkan pada jumlah RB dikali 180 kHz.

Thermal Noise (dBm) = kB+10 log (15KHz) + 10 log(subcarrier) (2.6)

Receiver noise adalah penjumlahan dari noise figure dan thermal noise.
Sedangkan nilai SINR (signal to interference and noise ratio) bergantung pada
MCS yang juga bergantung pada data rate dan jumlah RB yang dialokasikan.
SINR merupakan perbandingan antara sinyal yang diterima dan gabungan dari
24

interferensi yang timbul dari sel sendiri, sel tetangga dan daya derau. Hubungan
SINR dan MCS dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Receiver noise (dBm) = Noise Figure (dB) + Thermal Noise (dBm) (2.7)

SINR (dB) = S (dBm) – (I(own) + I(oth) + N) (dBm) (2.8)

Ket: S = sinyal/daya yang diterima


I(own) = interferensi dari sel sendiri
I(oth) = interferensi dari sel lain
N = daya noise

Tabel 2.7 hubungan antara SINR dan MCS

MCS Downlink Uplink


index Modulation coding rate SINR (dB) Modulation coding rate SINR (dB)
0 QPSK 0.1172 -6.475 QPSK 0.1000 -7.231
1 QPSK 0.1533 -5.182 QPSK 0.1250 -6.164
2 QPSK 0.1885 -4.131 QPSK 0.1550 -5.113
3 QPSK 0.2452 -2.774 QPSK 0.2050 -3.701
4 QPSK 0.3008 -1.649 QPSK 0.2500 -2.658
5 QPSK 0.3701 -0.469 QPSK 0.3100 -1.480
6 QPSK 0.4385 0.561 QPSK 0.3650 -0.544
7 QPSK 0.5137 1.564 QPSK 0.4300 0.440
8 QPSK 0.5879 2.479 QPSK 0.4900 1.263
9 QPSK 0.6631 3.335 QPSK 0.5550 2.085
10 16QAM 0.3320 3.335 QPSK 0.6150 2.794
11 16QAM 0.3691 4.140 16QAM 0.3075 2.794
12 16QAM 0.4238 5.243 16QAM 0.3525 3.789
13 16QAM 0.4785 6.285 16QAM 0.4000 4.771
14 16QAM 0.5400 7.403 16QAM 0.4500 5.748
15 16QAM 0.6016 8.478 16QAM 0.5025 6.727
16 16QAM 0.6426 9.168 16QAM 0.5350 7.313
17 64QAM 0.4277 9.168 16QAM 0.5700 7.931
18 64QAM 0.4551 9.846 16QAM 0.6300 8.963
19 64QAM 0.5049 11.060 16QAM 0.6925 10.010
20 64QAM 0.5537 12.250 16QAM 0.7525 10.994
21 64QAM 0.6016 13.398 64QAM 0.5017 10.994
22 64QAM 0.6504 14.534 64QAM 0.5417 11.961
23 64QAM 0.7021 15.738 64QAM 0.5850 12.995
24 64QAM 0.7539 16.934 64QAM 0.6283 14.017
25 64QAM 0.8027 18.067 64QAM 0.6700 14.991
26 64QAM 0.8525 19.196 64QAM 0.7100 15.920
27 64QAM 0.8887 20.032 64QAM 0.7417 16.652
28 64QAM 0.9258 20.866 64QAM 0.7717 17.343
(Sumber : Motorola, 2010)
25

Receiver sensitivity merupakan kemampuan perangkat untuk dapat


mengolah sinyal yang diterima dan nilainya adalah penjumlahan dari receiver
noise dan SINR.

Receiver Sensitivity (dBm) = Receiver Noise (dBm) + SINR (dB) (2.9)

Nilai interference margin untuk kenaikan noise level pada perangkat


disebabkan oleh interferensi dari user atau cell lain dengan rumus sebagai berikut.

IM = -10 log(1- η x SINR x G) (2.10)

Dimana η adalah load pada sel, SINR adalah SINR target pada celledge
sesuai dengan bit rate minimum yang ingin dicapai pada celledge, dan G adalah
geometri dari sel.

LTE tidak menggunakan fast power control. Fast fading margin tidak
diperlukan. Sehingga nilai fast fading margin yaitu 0 dB (Holma, Harri).

Tabel 2.8 fast fade margin


Channel Profile QPSK 16QAM 64QAM
AWGN 0 0 0
PB3 4,5 5,3 7
VA30 5,2 5,7 8
VA60 5,4 6,7 9
VA120 6,2 8,4 12,5

Kemudian untuk mengetahui berapa budget maksimal yang dibutuhkan


atau yang biasa disebut MAPL (Maximal Allowable Pathloss) untuk sebuah link
dapat dicari dengan menggunakan rumus berikut.

MAPL = EIRP – Receiver Sensitivity – Margin Interference (2.11)

+ Rx Antenna Gain – Cable Loss

Setelah didapatkan nilai MAPL, maka dapat ditentukan nilai MAPL


untuk setiap clutter dengan rumus sebagai berikut.

MAPL(per clutter) (dB) = MAPL (dB) – BPL (dB) – Shadowing Margin (dB) (2.12)

BPL (Buliding Penetration Loss) adalah loss akibat yang diakibatkan


oleh penghalang berupa gedung atau bangunan, nilainya dapat dilihat pada Tabel
26

2.8 (Nokia-Siemens). Shadowing margin merupakan variasi level sinyal yang


diakibatkan oleh seorang subscriber bergerak menuju bukit atau gedung.

Shadowing Margin (dB)= σ (dB) x F (2.13)

Dengan σ adalah deviasi standar untuk setiap clutter dan F adalah faktor
F yang merupakan faktor untuk menyesuaikan shadowing margin dengan cell
edge probability yang ditetapkan, dapat dilihat pada tabel 2.9 (Nokia-Siemens).

Tabel 2.9 Building Penetration Loss


Clutter Building Penetration Loss (dB) σ (dB)
Dense Urban 20-25 9
Urban 15-20 8
Suburban 10-15 8
Rural 5-10 7
(Sumber : Nokia – Siemens)

Tabel 2.10 Hubungan Cell Edge Probability, Cell Area Probability, dan Faktor F
Cell Edge Probability (%) Cell Area Probability (%) F
50 75 0
75 90 0,67
84 94 1
90 97 1,28
95 99 1,65
(Sumber : Nokia – Siemens)

2.2.2 Perhitungan BHCA

BHCA (Busy Hour Call Attempts) merupakan rata-rata usaha yang


dilakukan oleh pelanggan untuk melakukan panggilan pada jam sibuk. BHCA
digunakan untuk mengestimasi kebutuhan kapasitas suatu jaringan. Satuan BHCA
yaitu calls/hour. Berikut merupakan rumus untuk menghitung BHCA,
sebelumnya dihitung dulu 𝝁s (penggunaan tiap menit tiap jam sibuk).

𝝁s = Ca x Cp x Cs/th (2.14)

Dengan :
Ca = Total waktu panggilan selama sebulan
27

Cp = Persentase panggilan pada hari kerja


Cs = Persentase panggilan pada jam sibuk
th = Jumlah hari kerja
tp = rata-rata waktu suatu panggilan

BHCA = (𝝁s/60) x (3600/tp) (2.15)

2.2.3 Model Propagansi

2.2.3.1 Model COST-231 hata

Pada model Okumura Hata hanya dikembangkan untuk frekuensi 500-


1500 MHz. Model COST-231 memodifikasi model propagasi pada urban area
untuk memperluas jarak parameter yang diijinkan termasuk frekuensi dari 1500
MHz hingga 2000 MHz (4G Handbook, 2014). Model ini merupakan
pengembangan dari rumus Okumura Hata. Ilutrasi dari model ini ditunjukkan oleh
Gambar 2.16.

- Lurban (dB) = 46,3 + 33,9 log(fc) - 13,82 log(hte) – a(hre) + [44,9 –

6,55(hte)] log(d) + CM (2.16)

- Lsuburban (dB) = Lurban - 2[log(fc / 28)]2- 5,4 (2.17)

- Lquasi (dB) = Lurban – 4,78 (log(fc))2 + 18,33 log(fc) – 35,94 (2.18)

- Lopen (dB) = Lurban – 4,78 (log(fc))2 + 18,33 log(fc) – 40,94 (2.19)

Keterangan:
fc = frekuensi carrier (Mhz)
hte = tinggi antena efektif base-station (m) dari 30-200 m
hre = tinggi antena efektif mobile-station (m) dari 1-10 m
d = jarak antara transmitter dan receiver (km) dari 1-20 km
a(hre) = faktor koreksi untuk tinggi antena efektif mobile-station
CM = 0 dB untuk kota ukuran menengah dan 3 dB untuk area metropolitan.
28

Gambar 2.16 Ilustrasi Model Propagasi COST-231 Hata

Gambar 2.16 adalah ilustrasi model propagansi yang menjelaskan


bagaimana kota metropolitan adalah kota besar dengan banyak gedung tinggi yang
rapat, sehingga UE menerima sinya melalui banyak gedung tinggi sebagai
penghalang.

2.2.4 Interferensi Seluler

Interferensi merupakan faktor utama yang membatasi kualitas dari


kinerja sistem komunikasi radio. Pada sistem komunikasi selular, ada dua jenis
interferensi utama yaitu co-channel intereference dan adjacent channel
interference.

Co-channel interference adalah interferensi yang dialam pada suatu sel


yang disebabkan oleh pengaruh sel lain yang menggunakan kanal/frekuensi yang
sama. Ini adalah konsekuensi dari penerapan frequency reuse yang tidak bisa
dihindari. Penanggulan gain terferensi ini dilakukan dengan cara menjaga jarak
antar sel yang menggunakan kanal yang sama (co-channel cell) sedemikian jauh
sehingga interferensi yang terjadi masih dalam batas toleransi. Hal itu dapat
dilakukan dengan memperbesar ratio Q yang mengakibatkan jarak cakupan sel
menjadi besar. Parameter Q merupakan co-channel reuse ratio yang nilainya
bergantung pada besarnya ukuran cluster.

𝐷
Q = 𝑅 = √3N (2.20)
29

Bentuk signal-to-interference ratio (SINR) dapat dinyatakan dengan :


𝑆 𝑆
= (2.21)
𝐼 ∑𝑖𝑜
𝑖=1 𝐼𝑖

2.3 Software Radio planning atoll

Atoll merupakan sebuah software radio planning yang menyediakan satu


set alat dan fitur yang komperhensif dan terpadu yang memungkinkan user untuk
membuat suatu proyek perancangan dalam satu aplikasi (4G Handbook, 2014).

Atoll merupakan sebuah software yang dikembangkan oleh Forsk.


Software ini yang menyediakan satu set alat dan fitur yang komperhensif dan
terpadu yang memungkinkan pengguna untuk membuat suatu proyek perencanaan
microwave ataupun perencanaan radio dalam satu aplikasi. Atoll menyediakan
berbagai macam project template untuk memudahkan pengguna dalam membuat
perencanaan jaringan, diantaranya GSM, CDMA, UMTS, Wi-Fi, dan LTE.

Gambar 2.17. Tampilan Jendela Atoll Untuk Project LTE

Atoll dapat di definidsikan sebagai berikut ( Marwa Elbagir Mohammed, 2014 ) :


1. Alat multi teknologi yang digunakan untuk membuat template & model
propagasi jaringan yang didukung oleh teknologi atoll.
2. Perangkat lunak yang sangat bersahabat karena :
• Alat berbasis Windows
• Mudah untuk eksport / import data yang dibutuhkan
30

• Cukup mendukung copy / paste semua data


3. Fleksibilitas dalam pengelolaan data tampilan dan urutan nya yang bagus.
4. sistem bekerja berdasarkan dokumen .atl sendiri

2.3.1 Simulasi Prediksi Cakupan

Pada simulasi prediksi cakupan (coverage), Atoll menghitung secara


pathloss setiap pixel terkecil dari peta digital. Prediksi coverage bergantung pada
sejumlah base station yang di letakkan pada suatu area. Base station di sini
merupakan site, transmitter, antena, dan sel. Prediksi coverage yang disediakan
Atoll diantaranya adalah sebagai berikut:

- Coverage by signal level : Menghitung area yang terliputi oleh sinyal referensi
dari tiap cell.

Tabel 2.11 Nilai RSRP

Nilai Keterangan

-70 dBm to – 90 dBm Good


-91 dBm to -110 dBm Normal
-110 dBm to -130 dBm Bad
Sumber ( 4G handbook)

- Coverage by C/(I+N) level (DL) : Menghitung area yang terliputi oleh SINR
(Signal-to-Interference plus Noise Ratio) downlink. SINR adalah
perbandingan antara daya sinyal dengan daya noise ditambah interferensi
yang dipancarkan oleh sel lain.
- Coverage by C/(I+N) level (UL) : Menghitung area yang terliputi oleh SINR
(Signal-to-Interference plus Noise Ratio) uplink.

Tabel 2.12 Nilai SINR

Nominal Keterangan
16 dB s/d 30 dB Good
1 dB s/d 15 dB Normal
-10 dB s/d 0 dB Bad
Sumber ( 4G handbook)
31

2.3.2 Simulasi Monte Carlo

Simulasi Monte Carlo merupakan simulasi untuk melakukan analisis


kapasitas jaringan dengan menggunakan distribusi user yang realistis Simulasi ini
bertujuan untuk menguji kehandalan dari coverage jaringan. Hasil dari simulasi
ini berupa distribusi user secara geografis, alokasi resource untuk setiap user, dan
cell loads. Simulasi monte carlo dapat menjadi perbandingan bagaimana kualitas
jaringan yang akan didapatkan pengguna layanan.

2.4 Penelitian Terkait

Penelitian terkait LTE, perancangan dan sumulasi jaringan LTE dengan


menggunakan Atoll sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, berikut ini adalah
beberapa penelitian yang terkait dengan judul penulis, diantaranya;

Penelitian yang dilakukan ( Yusup Rudyanto, 2010 ) pada jurnal nya


yang berjudul “Lapisan fisik pada teknologi long term evolution (LTE) di PT
TELKOM R&D Center Bandung” yaitu membahas LTE menggunakan OFDMA
sebagai multiple access downlink dengan laju data 100 Mbps (20 MHz) dan SC-
FDMA sebagai multiple access uplink dengan laju data 50 Mbps (20 MHz).
Kelemahan utama OFDMA adalah tingginya PAPR yang disebabkan karena
menggunakan multi-carrier. PAPR berbanding lurus dengan banyaknya jumlah
subcarrier, semakin besar jumlah subcarrier maka semakin besar pula PAPR.

Penelitian yang dilakukan (I. El-Feghi, Zakaria Sulimanzubi, A.Jamil, H.


Algabroun, 2012) ) pada jurnal nya yang berjudul “Long Term Evolution Network
Planning and Performance Measurement” prosedur dimensi jaringan radio LTE
secara rinci termasuk frekuensi, cakupan dan analisis kapasitas dilakukan dalam
rangka mempersiapkan pedoman perencanaan radio dan mempertimbangkan
untuk implementasi jaringan di kota Tripoli / Libya.

Penelitian yang dilakukan ( Jaafar A. Aldhaibani, 2013 ) pada jurnal nya


yang berjudul “On Coverage Analysis for LTE-A Cellular Networks” penelitian
yang dilakukan adalah menganalisis cakupan area untuk jaringan selular LTE-A
32

dengan memperhatikan campur tangan tingkat pertama dan perencanaan


penggunaan kembali frekuensi. Tujuan perhitungan numerik dan hasil simulasi
adalah untuk mengukur kinerja kekuatan sinyal yang diterima di pengguna untuk
downlink dan uplink.

Penelitian yang dilakukan ( Marwa Elbagir Mohammed, 2014 ) pada


jurnal nya yang berjudul “LTE Radio Planning Using Atoll Radio Planning and
Optimization Software” penelitian yang dilakukan adalah perencanaan jaringan
radio LTE dengan rincianan mengenai analisis kapasitas dan cakupan yang telah
dilakukan dalam rangka mempersiapkan pedoman untuk perencanaan jaringan
dengan mempertimbangkan implementasi jaringan mungkin kah bisa dilakukan
dengan kepadatan di kota Khartoum.

Penelitian yang dilakukan ( M Ridwan Fauzi, 2014 ) pada jurnal nya


yang berjudul “Perencanaan jaringan LTE (Long Term Evolution) menggunakan
software radio planning (Atoll)” yaitu membuat desain jaringan LTE untuk
daerah bandung selatan dengan menghasilkan keluaran berupa cakupan dan
pathloss. Dan menghasilkan keluaran yang dirasa sudah cukup memenuhi
permintaan.

Penelitian yang dilakukan ( Ahmad nurholis, 2014 ) pada skripsi nya


yang berjudul “Perancangan jaringan teknologi long term evolution (LTE)
berdasarkan kapasitas sel di wilayah kabupaten jember” yaitu membuat
perhitungan estimasi pertumbuhan pelanggan, perhitungan bit offered quantity,
perhitungan luas sel, perhitungan jari-jari sel, dan perhitungan jumlah eNodeB
pada setiap desa di kabupaten Jember. dan hasil keluaran berupa teknologi LTE
sudah dapat di aplikasikan di daerah Jember.

Penelitian yang dilakukan ( Frans Risky J, P, 2014 ) pada jurnal nya yang
berjudul “Analisis perancangan jaringan Long Term Evolution (LTE) di wilayah
kota Banda Aceh dengan Fractional Frequency Reuse sebagai manajemen
interferensi” yaitu perencanaan berdasarkan kapasitas dan cakupan. hasil analisis
33

keluaran berupa kebutuhan throughput untuk wilayah kota Banda Aceh sebesar
402,567 Mbps, dengan estimasi jumlah pelanggan LTE sebanyak 11.857 User.
Dan fractional frequency reuse (FFR) lebih baik daripada teknik manajemen
interferensi lain dalam mengatasi noise + interference

Penelitian yang dilakukan ( Wisnu Hendra Pratama, 2014 ) pada jurnal


nya yang berjudul “Analisis perencanaan jaringan Long Term Evolution (LTE)
menggunakan metode frekuensi reuse 1, fractional frequency reuse dan soft
frequency reuse studi kasus kota di Bandung” yaitu analisis performansi jaringan
berupa CINR, kapasitas sel, throughput, jumlah sel yang dibutuhkan dan
banyaknya user yang gagal mengakses jaringan dengan manajemen interferensi
yang digunakan adalah skema frekuensi reuse. Dan perbandingan dengan metode
frekuensi reuse 1, fractional frequency reuse dan soft frequency reuse didapatkan
bahwa SFR memiliki performa yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan ( M Ridwan Fauzi, 2015 ) pada skripsi nya


yang berjudul “Perencanaan jaringan LTE FDD 1800 MHz di kota Semarang
menggunakan Atoll” yaitu membuat desain jaringan LTE dengan metode duplex
FDD pada frekuensi 1800 MHz di kota Semarang, penelitian ini membuat suatu
skenario link budget berdasarkan bandwidth yang berbeda sebagai input, lalu
melakukan optimasi untuk hasil keluran yang masih belum sesuai. Dan hasilnya
adalah sebuah keluaran thorughput yang sudah dapat memenuhi target karena
optimasi yang dilakukan sebelumnya.

Penelitian yang dilakukan ( Yusuf Setiawan, 2016 ) pada skripsi nya


yang berjudul “Perencanaan Jaringan LTE TDD 2300 MHz di Semarang Tahun
2015 – 2020” hasil dari penelitian menggunakan software Atoll. penelitian yang
dilakukan adalah membuat desain jaringan LTE di kota semarang dengan
meggunakan metode duplex TDD dengan frekuensi 2300 MHz, lalu
membandingkan hasil dari perencanaan kapasitas dan perencanaan cakupan. Dan
menghasilkan keluaran yang lebih baik pada perencanaan cakupan.

Anda mungkin juga menyukai