Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat


pelayanan kesehatan di seluruh dunia yang salah satunya adalah fraktur. Dengan makin
pesatnya kemajuan lalu-lintas di Indonesia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah
kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan, dan bertambahnya jalan dan kecepatan kendaraan,
maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas.1 Kecelakaan lalu lintas selain
menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap
tahunnya,dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.2

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan


bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang
melebihi elastisitas tulang. Kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder
terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis.3

Penegakan diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, yang


ditunjang dengan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan pencitraan diperlukan untuk
membantu menegakkan diagnosis fraktur dan mengevaluasi komplikasi yang terjadi dalam
rangka menunjang pengambilan keputusan terapi pada pasien.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Regio Cruris


2.1.1 Anatomi Tibia

Tibia merupakan tulang medial tungkai bawah yang besar dan berfungsi menyanggah
berat badan. Tibia bersendi di atas dengan condylus femoris dan caput fibulae, di bawah
dengan talus dan ujung distal fibula. Tibia mempunyai ujung atas yang melebar dan ujung
bawah yang lebih kecil, serta sebuah corpus.4

Pada ujung atas terdapat condyli lateralis dan medialis (kadang-kadang disebut
plateau tibia lateral dan medial), yang bersendi dengan condyli lateralis dan medialis femoris,
dan dipisahkan oleh menisci lateralis dan medialis. Permukaan atas facies articulares
condylorum tibiae terbagi atas area intercondylus anterior dan posterior, diantara kedua area
ini terdapat eminentia intercondylus.4

Pada aspek lateral condylus lateralis terdapat facies articularis fibularis circularis yang
kecil, dan bersendi dengan caput fibulae. Pada aspek posterior condylus medialis terdapat
insertio m. Semimembranosus.4

Corpus tibiae berbentuk segitiga pada perpotongan melintangnya, dan mempunyai


tiga margines dan tiga facies. Margines anterior dan medial, serta facies medialis diantaranya
terletak subkutan. Margo anterior menonjol dan membentuk tulang kering. Pada pertemuan
antara margo anterior dan ujung atas tibia terdapat tuberositas, yang merupakan tempat lekat
ligamentum patellae. Margo anterior di bawah membulat, dan melanjutkan diri sebagai
malleous medialis. Margo lateral atau margo interosseus memberikan tempat perlekatan
untuk memrana interossea.4

Facies posterior dari corpus tibiae menunjukkan linea obliqua, yang disebut linea
musculi solei, untuk tempat lekatnya m.soleus. Ujung bawah tibia sedikit melebar dan pada
aspek inferiornya terdapat permukaan sendi berbentuk pelana untuk os talus. Ujung
bawahnya memanjang ke bawah dan medial untuk membentuk malleolus medialis. Facies
lateralis dari malleolus medialis bersendi dengan talus. Pada facies lateral ujung bawah tibia
terdapat lekukan yang lebar dan kasar untuk bersendi dengan fibula. Musculi dan ligamenta
penting yang melekat pada tibia.4

2.1.2 Anatomi Fibula

Fibula adalah tulang lateral tungkai bawah yang langsing. Tulang ini tidak ikut
berartikulasi pada articulatio genus, tetapi di bawah, tulang ini membentuk malleolus lateralis
dari articulatio talocruralis. Tulang ini tidak berperan dalam menyalurkan berat badan, tetapi
merupakan tempat melekat otot-otot. Fibula mempunyai ujung atas yang melebar, corpus,
dan ujung bawah.4

Ujung atas, atau caput fibulae, ditutupi oleh processus styloideus. Bagian ini
mempunyai facies articularis untuk bersendi dengan condylus lateralis tibie.4

Corpus fibulae panjang dan langsing. Ciri khasnya adalah mempunyai empat
margines dan empat facies. Margo medialis atau margo interosseus memberikan tempat
perlekatan untuk membrana interossea.4

Ujung bawah fibula membentuk malleolus lateralis yang berbentuk segitiga dan
terletak subkutan. Pada facies medialis dari malleolus lateralis terdapat facies articularis yang
berbentuk segitiga untuk bersendi dengan aspek lateral os talus. Di bawah dan belakang
facies articularis terdapat lekukan yang disebut fossa malleolaris. Ossa dan ligamenta penting
yang melekat pada fibula.4

Gambar 2.1 Musculi dan ligamenta yang melekat pada facies anterior tibiae dan fibulae
dextrae; terlihat juga perlekatan pada patella
Gambar 2.2 Musculi dan ligamenta yang melekat pada facies posterior tibiae dan
fibulae dextra

Gambar 2.3 Tibia dan Fibula


Terdapat empat otot yang penting di cruris, yaitu otot ekstensor, otot abduktor, otot
trisep surae, otot fleksor. Keempat otot tersebut membentuk tiga kompartemen. Otot
ekstensor membentuk kompartemen anterior, otot abduktor membentuk kompartemen lateral
sedangkan otot trisep surae dan otot fleksor membentuk kompartemen posterior yang terdiri
dari kompartemen superfisial dan kompartemen dalam.4

Arteri yang memperdarahi yaitu a. Tibialis anterior, a. Tibialis posterior, a.peroneus.


Yang mempersarafi adalah nervus tibialis anterior dan nervus peroneus untuk mensarafi otot
ekstensor dan abduktor sedangkan nervus tibialis posterior dan nervus poplitea untuk
mensarafi otot fleksor dan otot trisep surae.4

2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan dan krepitasi.5,6

2.2.2 Etiologi Fraktur

Penyebab fraktur menurut Reksoprodjo (2010) : 1

a) Trauma
- Trauma langsung : benturan pada tulang secara langsung dan mengakibatkan
terjadi fraktur di tempat itu.
- Trauma tidak langsung : titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
b) Fraktur patalogis disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker
tulang.
c) Degenerasi
Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri atau usia lanjut.

2.2.3 Klasifikasi Fraktur

A. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar : 7
a. Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut dengan fraktur bersih tanpa komplikasi.
Pada fraktur ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu :
- Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak.
- Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
- Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
- Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

b. Fraktur terbuka (open/compound fraktur) 7

Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang
memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat masuk
ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka menurut
Gustillo/Anderson,yaitu :

- Derajat I : Laserasi < 1 cm, relatif bersih, kerusakan jaringan lunak minimal
- Derajat II : Laserasi > 1 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi fragmeun jelas
- Derajat III : Laserasi luas, kerusakan kulit dan jaringan lunak yang hebat, hingga
kerusakan vaskular.

B. Berdasarkan derajat kerusakan tulang 7


a. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau
garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen
tulang biasanya berubah tempat.
b. Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah
yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.

C. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma7


a. Fraktur Transversal
Fraktur yang arahnya malintang pada tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik
Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral
Fraktur yang arah garis patahnya spiral yang di sebabkan oleh trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kearah
permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.

D. Berdasarkan jumlah garis patahan1 :


a. Fraktur Komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple
Fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

Gambar 2.4 Klasifikasi fraktur berdasarkan garis fraktur

E. Berdasarkan ada tidaknya pergeseran dari fragmen fraktur dibagi menjadi displaced
dan undisplaced.1
a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser). Garis patah komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser.
b. Fraktur displaced. Terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga
disebut dislokasi fragmen.
- Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu
dan overlapping).
- Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
- Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi).

Gambar 2.5 Pembagian berdasarkan pergeseran fraktur

2.2.4 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis fraktur : 8
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lainya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi
setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
2.2.5 Diagnosis
Harus disebut jenis tulang atau bagian tulang yang mempunyai nama sendiri, kiri atau
kanan, bagian mana dari tulang 1/3 proksimal,tengah, atau distal, komplit atau tidak, bentuk
garis patah, bergeser tidak bergeser, terbuka atau tertutup dan komplikasi bila ada.1

Diagnosa fraktur ditegakkan berdasarkan1 :


1) Anamnesa
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun trauma ringan
dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Pasien
biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir dimana nyeri tersebut
bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak,
deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain. Anamnesis harus
dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan
mungkin fraktur terjadi pada daerah lain.
2) Pemeriksaan umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum, misalnya: syok pada fraktur multiple, fraktur
pelvis atau fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka terinfeksi.
3) Pemeriksaan status lokalisata
a) Look (Inspeksi)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat.
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan.
- Ekspresi wajah karena nyeri.
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan.
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan
fraktur tertutup atau fraktur terbuka.
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan.
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain.
- Keadaan vaskularisasi.

b) Feel (Palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri.
- Temperatur setempat yang meningkat.
- Nyeri tekan: nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
- Krepitasi: dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati.
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena.
- Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai.

c) Move (Pergerakan)
- Krepitasi : terasa bila fraktur digerakkan, tetapi ini bukan cara yang baik dan
kurang halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya ujung-ujung
kortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang epifisi tidak terasa krepitasi.
- Nyeri bila digerakkan, baik aktif maupun pasif
- Memeriksa seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang
tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan
- Gerakan yang tidak normal. Hal ini penting untuk visum, misalnya bila tidak
ada fasilitas pemeriksaan rontgen.

Pada look-feel and move ini juga dicari komplikasi lokal dan keadaan
neurovaskuler distal.

4) Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi
fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka
sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis yang
dapat dilakukan yakni foto polos, CT-Scan, MRI, tomografi, dan radioisotop
scanning. Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur.1,2
Pemeriksaan radiologi dengan foto polos menggunakan prinsip Rule of Two :1,2,3
- 2 posisi proyeksi (minimal AP dan lateral),
- 2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas sendi
yang mengalami fraktur,
- 2 anggota gerak,
- 2 trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah
tulang.Misal: fraktur kalkaneus dan femur, maka perlu dilakukan foto pada
panggul dan tulang belakang
- 2 kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya tulang skafoid foto pertama
biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari
kemudian

2.2.6 Penatalaksanaan
Tujuan penanganan fraktur adalah supaya tulang sembuh dalam posisi yang
sedemikian rupa sehingga fungsi dan kosmetik tidak menjadi cacat serta dapat kembali ke
pekerjaan dan aktivitasnya seawal mungkin.

Kasus fraktur biasanya terjadi akibat adanya trauma. Oleh karena itu sebelum
dilakukan pengobatan definitif suatu fraktur, maka perlu dilakukan penatalaksaan sesuai
dengan prinsip trauma, sebagai berikut: 5

Penilaian awal (Primary Survey): 5


Survei awal bertujuan untuk menilai dan memberikan pengobatan sesuai dengan
prioritas berdasarkan trauma yang dialami. Fungsi-fungsi vital penderita harus dinilai secara
tepat dan efisien. Penanganan penderita harus terdiri atas evaluasi awal yang cepat serta
resusitasi fungsi vital, penangan trauma dan identifikasi keadaan yang dapat menyebabkan
kematian.
- Airway (saluran napas), penilaian terhadap patensi jalan napas. Apabila terdapat
obstruksi jalan napas, maka harus segera dibebaskan. Apabila dicurigai adanya cedera
servikal maka dilakukan pemasangan collar neck.
- Breathing (pernapasan), perlu diperhatikan dan dilihat secara keseluruhan daerah
thorak untuk menilai ventilasi. Jalan napas yang bebas bukan berarti ventilasi cukup.
Bila ada gangguan atau instabilitas kardiovaskuler, respirasi, atau gangguan
neurologis, kita harus melakukan ventilasi dengan bantuan alat pernapasan berupa
kantong yang disambung dengan masker atau pipa endotrakeal.
- Circulation (sirkulasi), sirkulasi adalah kontrol perdarahan meliputi 2 hal :
1. Volume darah dan output jantung;
2. Perdarahan baik perdarahan luar maupun perdarahan dalam, perdarahan luar harus
diatasi dengan balut tekan.
- Disability (evaluasi neurologis), evaluasi neurologis secara cepat setelah satu survei
awal, dengan menilai tingkat kesadaran, besar dan reaksi pupil. GCS (Glasgow Coma
Scale) merupakan suatu metode yang cepat untuk menentukan tingkat kesadaran
pasien dan memprediksi outcome pasien.
- Exposure (kontrol lingkungan), untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pakaian
penderita perlu dilepas (pada pasien tidak sadarkan diri). Apabila penilaian telah
selesai dilakukan, pasien harus kembali dihangatkan dengan selimut untuk mencegah
hipotermia.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip


pengobatan fraktur ada empat (4R), yaitu :1,2,3
1. Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan
lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2. Reduction; reduksi fraktur apabila perlu
Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk mendapatkan posisi yang dapat diterima.
Pada fraktur intra-artikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat mungkin
mengembalikan fungsi normal dan mencegah komplikasi seperti kekakuan,
deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian hari. Posisi yang baik adalah
alignment yang sempurna dan aposisi yang sempurna. Fraktur seperti fraktur
klavikula, iga, dan fraktur impaksi dari humerus tidak memerlukan reduksi. Angulasi
<5º pada tulang panjang anggota gerak bawah dan lengan atas dan angulasi sampai
10º pada humerus dapat diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan
over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur. Adanya rotasi tidak dapat
diterima dimanapun lokalisasi fraktur.
3. Retention; imobilisasi fraktur
4. Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penanganan fraktur dapat dilakukan secara tertutup atau konservatif dan dapat juga
dengan cara terbuka atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu
mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu yang sesingkat mungkin.
1. Terapi konservatif, terdiri dari:
a. Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum humeri dengan kedudukan
baik.
b. Immobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik.
c. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, misalnya pada fraktur
suprakondilus. Reposisi dapat dalam anestesi umum atau lokal.
d. Traksi, untuk reposisi secara perlahan. Pada anak-anak dipakai traksi kulit.
Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg. untuk traksi
dewasa/traksi definitive harus traksi skeletal berupa balanced traction.
2. Terapi operatif
Terapi operatif dilakukan pada fraktur terbuka, kegagalan dalam terapi
konservatif, fraktur tidak stabil dan adanya nonunion.

Penatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki 2 indikasi, yaitu:


a. Absolut
- Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan Operasi dalam
penyembuhan dan perawatan lukanya.
- Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya darah di
tungkai
- Fraktur dengan sindroma kompartemen
- Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga
mengurangi nyeri.
b. Relatif , jika adanya:
- Pemendekan
- Fraktur tibia dengan fibula intak
- Fraktur tibia dan fibula dengan level yang sama
Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan radiologis (image
intensifier, C-arm) :
a. Reposisi tertutup, fiksasi eksternal. Fiksasi eksternal tergantung pada cedera yang
terjadi. Fiksasi ini digunakan untuk menahan tulang tetap dalam garis lurus. Dalam
fiksasi eksternal, pin atau sekrup ditempatkan ke dalam tulang yang patah di atas dan
di bawah tempat fraktur. Kemudian fragmen tulang direposisi. Pin atau sekrup
dihubungkan ke sebuah lempengan logam di luar kulit. Perangkat ini merupakan suatu
kerangka stabilisasi yang menyangga tulang dalam posisi yang tepat.
b. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi interna. Selama operasi,
fragmen tulang yang pertama direposisi (dikurangi) ke posisi normal kemudian diikat
dengan sekrup khusus atau dengan melampirkan pelat logam ke permukaan luar
tulang. Fragmen juga dapat diselenggarakan bersama-sama dengan memasukkan
batang bawah melalui ruang sumsum di tengah tulang. Karena fraktur terbuka
mungkin termasuk kerusakan jaringan dan disertai dengan cedera tambahan, mungkin
diperlukan waktu sebelum operasi fiksasi internal dapat dilakukan dengan aman.
Terapi operatif dengan membuka frakturnya :
a. Ring Fixators
Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan sejenis
cincin dan kawat yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah dapat
digunakan untuk fraktur ke arah proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan
pada fraktur tertutup tipe kompleks. Di bawah ini merupakan gambar
pemasangan ring fixators pada fraktur diafisis tibia

Gambar 2.6 Ring Fixators


b. Open reduction with internal fixation (ORIF)
Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke
metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu gerakan
sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi
komplikasi pada penyembuhan luka operasi. Berikut ini merupakan gambar
penatalaksanaan fraktur dengan ORIF:

Gambar 2.7 ORIF

c. Intramedullary nailing
Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur terbuka atau
tertutup. Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera
dan menghindarkan trauma pada jaringan lunak. Di bawah ini adalah gambar dari
penggunaan intramedullary nailing:

Gambar 2.8.Intramedullary nailing

2.2.7 Komplikasi
1) Komplikasi dini1
1. Lokal
 Vaskuler : Compartment syndrom, trauma vaskuler
 Neurologis : lesi medula spinalis atau saraf perifer
2. Sistemik : emboli lemak
2) Komplikasi lanjut1
 Kekakuan sendi / kontraktur
 Atrofi otot
 Malunion
 Nonunion
 Gangguan pertumbuhan
 Osteoporosis post trauma
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesa Pribadi

Nama : Tn. AR

Umur : 36 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Alamat : Kurai Taji

Pekerjaan : Wiraswasta

Tanggal Masuk : 16 Februari 2019

3.2 Anamnesa Penyakit

Keluhan utama : Nyeri pada tungkai kaki kiri setelah kecelakaan lalu
lintas.
Telaah : Pasien datang ke IGD RSUD Pariaman dengan keluhan nyeri pada
tungkai kaki kiri. Hal ini dialami Os sejak 1 jam yang lalu setelah mengalami kecelakaan lalu
lintas. Nyeri terasa berdenyut-denyut dan kaki sulit untuk digerakkan. Pasien langsung
dibawa ke RS dengan keadaan sadar. Pingsan (-), Pusing (-), Muntah (-), keluar darah dari
hidung dan telinga (-).

Riwayat penyakit dahulu


a. Hipertensi : (-)
b. Diabetes Mellitus : (-)
c. Penyakit Jantung : (-)
d. Asma : (-)
e. Penyakit Lain : (-)

Riwayat penyakit keluarga : (-)


3.3 Pemeriksaan fisik
Status generalis
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : TD : 100/70 mmHg
HR : 96 x/m
RR : 22 x/m
T : 370 C
Kepala-Leher
Kepala : Normocephali, Edema (-).
Mata : Konjungtiva anemis (-), refleks pupil (+/+),
d ±3mm/±3mm, isokor.
Hidung : Deformitas (-), darah mengalir (-).
Telinga : Perdarahan dari liang telinga (-), hematom retroaurikuler (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thoraks
Paru
Inspeksi : Bentuk fusiformis, simetris kanan dengan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba normal di ICS V 1 jari medial MCL
Sinistra
Perkusi : Batas jantung ICS IV Parasternal dekstra sampai ICS V
MCL Sinistra
Auskultasi : Reguler, bunyi tambahan (-).
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar, scar (-), jejas (-)
Palpasi : Supel, nyerti tekan (-), pembesaran hepar dan lien (-).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Status lokalis
Ekstremitas Atas

- Bengkak : (- /-)

- Merah : (- /-)

- Eritema Palmaris : (- /-)

- Stand Abnormal : (- /-)

- Gangguan Fungsi : (- /-)

Ekstremitas Bawah
Regio cruris (Dextra/sinistra)
Look : sianosis pada bagian distal (-/-), bengkak (-/+)
Feel : nyeri tekan (-/+) , akral hangat (+/+)
Move : pergerakan aktif dan pasif terbatas oleh karena nyeri (-/+), pergerakan jari-
jari (+/+)

3.4 Diagnosa kerja


Fraktur Tertutup Tibia Dextra ⅓ Distal + Fraktur Tertutup Fibula Dextra ⅓ Proximal

3.5 Rencana pemeriksaan penunjang


- Darah rutin
- Foto rontgen cruris sinistra AP/Lateral

3.6 Hasil pemeriksaan penunjang


Darah rutin
16 Januari 2019
WBC : 10.200/uL
HGB : 12,6 mg/dL
RBC : 4,11 x 1012/L
HCT : 38,1 %
PLT : 256.000/ul
Pemeriksaan Radiologi

Tampak multiple fraktur pada os tibia dan os fibula dextra


Tidak tampat spur formation
Celah sendi tidak tampak menyempit
Tampak penebalan jaringan lunak di regio cruris
Kesan:
Fraktur distal diafisis os tibia dan os fibula disertai soft tissue swelling
disekitarnya.

3.7 Penatalaksanaan
Primary Survey
A (Airway) : Clear, Stridor (-), Gargling (-)
B (Breathing) : Spontan, RR 22x/menit, pergerakan dada simetris
kanan=kiri
C (Circulation) : Nadi 100x/menit, reguler, isian cukup, akral hangat,
capillary refill time <2 detik, akral hangat, tekanan darah 100/70
mmHg
D (Disability) : GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, diameter 2mm/2mm,
reflek cahaya +/+.
E (Exposure) : Pakaian tidak dibuka dan diberikan selimut untuk
mencegah hipotermi
Non Medikamentosa
 Imobilisasi dengan pemasangan bidai

Medikamentosa
 Diet MB
 IVFD RL 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxone 2x1gr
 Inj. Ketorolac 3x1amp
 Inj. Ranitidin 2x1amp

3.8 Resume

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang ke IGD RSUD Pariaman dengan
keluhan nyeri pada tungkai kaki kiri. Hal ini dialami Os sejak 1 jam yang lalu setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas. Nyeri terasa berdenyut-denyut dan kaki sulit untuk
digerakkan. Pasien langsung dibawa ke RS dengan keadaan sadar. Pingsan (-), Pusing (-),
Muntah(-), keluar darah dari hidung dan telinga (-).
Pemeriksaan fisik pada regio cruris sinistra; Look : sianosis pada bagian distal (-),
bengkak (-/+); Feel : nyeri tekan (+) , akral hangat (+); Move: pergerakan aktif dan pasif
terbatas oleh karena nyeri (+), pergerakan jari-jari (+).

Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan primary survey yaitu Airway : Clear,
Stridor (-), Gargling (-) ; Breathing: Spontan, RR 22x/menit, pergerakan dada simetris
kanan=kiri ; Circulation : Nadi 100x/menit, reguler, akral hangat, capillary refill time <2
detik, tekanan darah 100/70 mmHg ; Disability: GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, diameter
3mm/3mm, reflek cahaya +/+ ; Exposure : Pakaian tidak dibuka dan diberikan selimut untuk
mencegah hipotermi. Setelah dilakukan primary survey maka dilakukan pemasangan bidai
dan pemberian medikamentosa.
BAB 4

KESIMPULAN

Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang
biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki yang
disebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia dan fibula.

Diagnosis pada kasus fraktur harus disebutkan jenis tulang atau bagian tulang yang
mempunyai nama sendiri, kiri atau kanan, bagian mana dari tulang 1/3 proksimal,tengah, atau
distal, komplit atau tidak, bentuk garis patah, bergeser tidak bergeser, terbuka atau tertutup
dan komplikasi bila ada. Menegakkan diagnosis fraktur dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik (look,feel,dan move), pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
laboratorium dan foto rontgen AP/Lateral.

Penananganan pada kasus fraktur yang pertama kali adalah dengan melakukan
primary survey yaitu Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure. Prinsip
pengobatan fraktur ada empat (4R) yaitu Recognition, Reduction, Retention dan
Rehabilitation.

Penanganan fraktur dapat dilakukan secara konservatif dan dapat juga dengan cara
operatif. Pilihan harus mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi
tulang yang patah dalam jangka waktu yang sesingkat mungkin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Reksoprodjo.S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran UI: Jakarta..
2. Richard, Buckley. (2012). General Principles of Fracture Care. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1270717-overview.
3. jamsuhidajat R, De Jong Wim. (2011). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Iskandar, Riskawati. (2013). Anatomi Tibia Fibula. Diakses dari :
https://www.scribd.com/doc/170221762/Anatomi-Tibia-Fibula.
5. Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar:
2007. pp. 352-489
6. Doenges, M E dkk (2010) . Nursing Care Plan Guidelines for individualizing Client
Care Across The Life Span.Edition 8. Philadhelpia:F.A. Davis Company.
7. Mansjoer A et al (editor) 2001., Kapita SelektaKedokteran., Jilid 1, Edisi III, Media
Esculapius, FKUI, Jakarta
8. Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Editor:
Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare. Jakarta: EGC. 2001. Diakses
darihttp://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/108/jtptunimus-gdl-sitifatima-5395-2-
07.bab-r.pdf.
9. Muttaqin.A. & Sari. K. 2008. Asuhan keperawatan perioperatif, Konsep, Proses dan
Aplikasi. Jakarta. Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai