Anda di halaman 1dari 10

REFLEKSI KASUS ANASTESI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif
Rumah Sakit Umum Daerah Temanggung

Disusun Oleh :
Annisa Nur Rahmawati
20184010079

Dokter Pembimbing :
dr. Argo Seto, Sp.An

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif


RSUD Temanggung
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2018

1
A. Pengalaman
Seorang laki-laki usia 67 tahun datang ke poli onkologi RSUD Temanggung
dengan keluhan terdapat benjolan multipel di daerah punggung, dada, dan kepala.
Terdapat riwayat serupa dan telah dilakukan operasi pada daerah punggung,
perut, dan tangan sebulan yang lalu pada bulan Juli 2018. Riwayat operasi serupa
pula pada daerah mulut dan leher pada bulan Juni 2018. Pasien juga memiliki
keluhan batuk dan sesak dengan diagnosis PPOK oleh dokter spesialis paru.
Dokter anestesi menyetuji dilakukan operasi dengan teknik general anestesi
dengan pemberian obat profilaksis alergi pre operasi dengan dexamethason 1
ampul dan antibiotik anbacym 1 gr serta puasa sejak pukul 24.00 sebelum
dilakukan operasi.

B. Masalah yang dikaji


Manajemen anastesi pada pasien dengan Penyulit PPOK?
Komplikasi anastesi pada pasien dengan Penyulit PPOK?

C. Analisis
1.) PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas berbahaya.
Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai
berikut:
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan dalam 2 tahun
terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan. Batuk dapat
terjadi sepanjang hari atau intermiten.
b. Berdahak kronik
Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang kadang
pasien menyatakan hanya berdahak terus menerustanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun
tidur.
c. Sesak napas

2
Terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah mengalami
adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat.
Beberapa faktor penyebab PPOK adalah:
a. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas kimiawi.
b. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga menyebabkan semakin menurunnya
fungsi paru-paru.
c. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK
yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas yang
dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada
paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan
peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar
saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran
nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya
akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan
mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan
dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien
B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide(MCP)-1
danreactive oxygen species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang
neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru
sehingga timbul kerusakan dinding alveolar danhipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,
selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi.

2.) Manajemen Anastesi pada Pasien PPOK


Persiapan preoperatif pasien PPOK
Manajemen preoperatif meliputi penilaian keadaan fisis umum
(riwayat penyakit paru, jantung, dan neurologik) serta terapi terhadap gejala
dan tanda yang reversibel. Patologi paru yang reversibel dapat diterapi dengan

3
antibiotik, bronkodilator, kortikosteroid, dan sebagainya. Prinsip umum adalah
fungsi paru sebaiknya dalam keadaan optimal sesuai standar.
Foto toraks diperlukan untuk evaluasi gejala. Analisis gas darah hanya
bila diperlukan, indikasinya adalah jika nilai VEP1 dan KVP<50% nilai
prediksi atau nilai VEP1<1 liter atau nilai KVP<1,5 liter. Pasien PPOK biasa-
nya mengalami penurunan nilai PaO2 dan peningkatan PaCO2 yang
mengindikasikan keadaan hipoventilasi alveolar. Nilai PaCO2>45 mmHg
merupakan faktor risiko kuat terjadinya PPC. Nilai PaCO2>50mmHg
diperkirakan akan membutuhkan ventilasi buatan pascabedah setelah operasi
besar, sedangkan nilai PaCO2≤45 mmHg dapat diatasi dengan terapi oksigen
terkontrol dan pengawasan ketat terhadap analisis gas darah. Pembedahan
elektif dapat ditunda untuk mencapai perbaikan fungsi paru. Edukasi
preoperatif tentang teknik pernapasan dalam/spirometri insentif/ dan
penggunaan continuous positive airway pressure (CPAP) pascabedah dapat
meningkatkan hasil akhir.

Pencegahan dan terapi bronkospasme


Pada pasien dengan saluran napas yang reaktif, bronkospasme harus
dicegah. Salah satu cara adalah dengan mengatasi inflamasi saluran napas
yang ada. Dapat diberikan inhalasi agonis β2-adrenergik atau antikolinergik
preoperatif, terutama jika merencanakan intubasi trakea. Intubasi trakea dapat
dihindari dengan menggunakan laryngeal mask atau semacamnya, jika
mungkin. Propofol, ketamin, atau anestetik volatil merupakan agen induksi
pilihan, sedangkan barbiturat kadang dapat merangsang bronkospasme. Agen
tambahan untuk meningkatkan kedalaman anestesia dan menumpulkan
refleks-refleks saluran napas sebelum intubasi (lidokain atau opioid) dapat
membantu. Pemberian lidokain laringotrakeal tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan tahanan jalan napas. Agen anestesia volatil dapat membantu
saat rumatan anestesia karena memiliki efek bronkodilatasi, kecuali
desflurane. Bronkospasme dalam anestesia dapat menyerupai obstruksi
mekanik saluran napas, tension pneumothorax, aspirasi, dan edema paru.
Penyebab utama bronkospasme intraoperatif adalah reaksi anafi laktoid
terhadap obat dan instrumentasi alat saat anestesia kurang dalam. Jika
kemungkinan reaksi anafi laktoid dapat disingkirkan, anestesia diperdalam

4
dengan bantuan zat anestesia volatil. Bronkospasme intraoperatif
menyebabkan hiperinflasi dinamik pada keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Penurunan tahanan jalan napas dengan zat anestesia volatil dapat mengurangi
hiperinfl asi dinamik yang terjadi.
Tahanan jalan napas dapat tetap (perifer) atau labil (sentral). Tahanan
jalan napas sentral lebih cepat bereaksi terhadap zat anestesia volatil dan
sevofl urane dibandingkan dengan isoflurane. Obat-obatan intravena seperti
propofol dapat digunakan untuk memperdalam anestesia secara cepat. Agonis
β2 inhalasi dapat diberikan melalui tube endotrakeal. Pada bronkospasme
yang berat, pemberian agonis adrenergik intravena seperti epinefrin dapat
dilakukan untuk memberikan rangsang yang cukup ada reseptor beta-
adrenergik saluran napas. Kortikosteroid intravena berperan dalam
pencegahan rekurensi karena butuh waktu beberapa jam sebelum berkerja
maksimal. Aminofilin intravena umumnya telah ditinggalkan pada terapi
bronkospasme intravena.

Anestesi umum
Pasien dengan hiperinflasi kronik memiliki risiko atelektasis dependen
yang lebih rendah. Fungsi diafragma mampu dipertahankan baik selama
anestesia karena terdapat fenomena ‘length adaptation’ sehingga hanya
mengalami sedikit penurunan pertukaran gas. Oleh karena itu, anestesi umum
dengan ventilasi terkontrol tetap dapat dilakukan pada pasien PPOK dengan
tetap memperhatikan pola ventilasi pasien.

Target ventilasi mekanik terkontrol pasien PPOK


Meminimalkan hiperinflasi dinamik sangat penting pada manajemen pasien
PPOK. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa strategi
berikut:
1. Menurunkan ventilasi per menit dengan menurunkan volume tidal, frekuensi
pernapasan, dan kebutuhan ventilasi dengan menerima hiperkapnia dan
asidemia ringan.
2. Penentu utama hiperinflasi dinamik adalah waktu ekspirasi absolut. Pasien
dengan obstruksi di paru membutuhkan waktu 3 detik atau lebih untuk
ekspirasi sempurna dan pengaturan ventilator yangtidak memfasilitasi

5
waktu ekspirasi ini akan memperberat hiperinfl asi dinamik.
Saat melakukan ventilasi satu paru untuk pembedahan toraks, frekuensi
pernapasan yang rendah, memperpanjang masa ekspirasi dan ventilasi per
menit dapat menurunkan PEEPi dan hiperkapnia. Memperpanjang masa
ekspirasi dapat dicapai dengan meningkat-kan meningkatkan aliran inspirasi
sehingga meningkatkan puncak tekanan dinamik dan mengurangi end-
inspiratory pause time. Puncak tekanan dinamik yang biasanya digunakan
untuk memantau komplikasi saat ventilasi mekanik seperti barotrauma dan
gangguan hemodinamik tidak dianjurkan untuk digunakan pada pasien
PPOK karena bisa terjadi kesalahan.
3. Menurunkan tahanan ekspirasi dengan penggunaan bronkodilator,
kortikosteroid, heliox, tube ventilator bertahanan rendah dan berkatup, dapat
membantuk mengurangi hiperinflasi dinamik.
Jika mungkin, ketiga strategi tersebut dilakukan secara simultan. Manuver
rekrutmen, yang terdiri dari pemberian tekanan tinggi pada jalan napas (30-40
cmH2O) selama 8-15 detik, diikuti oleh positive end-expiratory pressure
[PEEP] dan membatasi fraksi oksigen inspirasi dapat meminimalkan
atelektasis dependen dan meningkatkan oksigenasi intraoperatif. Pada pasien
PPOK, penggunaan PEEP mendekati nilai PEEPi dapat mengurangi kerja
pernapasan tanpa meningkatkan hiperinflasi dinamik.

Perawatan pasca bedah


Pada akhir operasi, waktu ekstubasi harus menyeimbangkan risiko
bronkospasme dengan kegagalan pernapasan, tetapi bukti menunjukkan bahwa
ekstubasi awal (di ruang operasi) memiliki keuntungan. Ekstubasi sukses pada
akhir prosedur tergantung pada beberapa faktor: kontrol nyeri yang memadai,
pembalikan blokade neuromuskular, tidak adanya bronkospasme dan sekresi
yang signifikan, tidak adanya hiperkapnia dan asidosis yang signifikan, dan
tidak adanya depresi pernapasan akibat sisa agen anestesi. Pasien dengan
FEV1 di bawah 50% mungkin memerlukan periode ventilasi pasca operasi,
terutama berikut operasi perut dan dada bagian atas.
Hipoksemia pascabedah dapat terjadi akibat depresi pernapasan dan
penurunan KVP akibat pirau dan atelektasis. Hal ini dapat memicu terjadinya
PPC sehingga perlu dihindari. Depresi pernapasan pada pasien PPOK dapat

6
diperberat dengan menurunnya rangsang napas akibat penurunkan kadarCO2
dan penutupan saluran napas. Pasien seperti ini memerlukan pemantauan ketat
dengan pulse oxymetry, analisis gas darah, dan pemeriksaan fisik serta
radiologis berulang.

3) Komplikasi Anestesi pada Penyulit PPOK


Komplikasi Pulmoner Perioperatif/Perioperative Pulmonary
Complications [PPC]
Pasien PPOK memiliki risiko lebih tinggi atas atelektasis paru pascabedah atau
pneumonia dan kematian. Insidens komplikasi pulmoner sangat bervariasi
tergantung pada definisi komplikasi pulmoner dan desain penelitian. Pada
populasi umum, PPC dilaporkan terjadi sekitar 5-10%, 4-22% pada pasien
yang menjalani pembedahan abdomen. Pasien PPOK (dengan VEP1≤1,2 L dan
VEP1/ KVP<75%) yang menjalani pembedahan non-kardiotorasik, insidens
PPC sebesar 37% (tidak termasuk komplikasi atelektasis) dan angka mortalitas
dalam 2 tahun sebesar 47%.
Faktor risiko independen terjadinya PPC pada pasien dewasa dengan
penyakit respirasi adalah usia lanjut, riwayat penyakit paru sebelumnya,
merokok, gagal jantung kongestif, dependensi fungsional (ketidak-mampuan
melakukan aktivitas sehari-hari), dan lokasi pembedahan (pembedahan toraks
dan abdomen memiliki risiko lebih besar). Wong, dkk. memperkirakan 5
macam komplikasi pascabedah pasien PPOK derajat berat, yaitu kematian,
pneumonia, intubasi lama (prolonged intubation), bronkospasme refrakter, dan
perawatan intensif lama. Faktor risiko preoperatif yang bermakna antara lain
ASA≥IV, skor Shapiro≥5, dan nilai VEP1, sedangkan faktor risiko intraoperatif
antara lain pembedahan emergensi, insisi abdominal, durasi anestesia lebih dari
2 jam, dan anestesi umum.
Pada pasien dengan gangguan respirasi, terdapat banyak kausa yang
potensial menimbulkan PPC. Anestesi dapat menimbulkan gangguan
koordinasi otot dinding dada yang memfasilitasi pernapasan (otot diafragma,
otot-otot interkostal, dan otot-otot abdomen). Pada periode pascabedah,
perubahan fungsi dinding dada akibat anestesi tetap berlangsung. Gangguan
mekanika otot abdomen dan dada intraoperatif mengganggu fungsi otot

7
pascabedah, nyeri menyebabkan restriksi dinding dada dan stimulasi serabut
aferen viseral menyebabkan inhibisi refleks inspirasi pada diafragma.

D. Dokumentasi
Identitas Pasien
Nama : Tn. M
Usia : 67 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Peron
Tanggal Operasi : 15 Agustus 2018
No RM : 00262747
Asesmen Anestesi
Subjective
 Riwayat Penyakit Sekarang : Benjolan pada punggung, dada,
tangan, kepala
 Riwayat Penyakit Dahulu : Sesak, batuk
 Riwayat Penyakit Keluarga : (-)
 Riwayat Operasi : (+)
 Kebiasaan Sehari-hari : terbatas
 Alergi : (-)
 Obat yang dikonsumsi : (+)
Objective
 Pemeriksaan fisik :
- Kepala : dbn
- Thoraks : dbn
- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : dbn
 Hasil Pemeriksaan Penunjang :
Patologi Anatomi: Gambaran high grade malignant tumor
Assessment
 ASA : III
Planning
 Rencana Pelayanan : Eksisi luas

8
 Rencana Anestesi : General Anastesi
 Daftar Masalah : Geriatri, PPOK
 Saran Persiapan Tindakan Anestesi : Puasa, Premed (Dexamethason
5mg IV)
 Rencana Analgesi Post Anestesi : Tutofusion + fentanyl 100 mg +
antrain 1 gr (drip)

Laporan Anestesia
Tanggal Operasi : 15 Agustus 2018
Diagnosa preoperasi : STT multipel dada, tangan, punggung, kepala
Diagnosa postoperasi : STT multipel
Tindakan Operasi : Eksisi luas
Jenis Anestesi : Besar
Resiko anestesia : Besar

Prainduksi :
 TD : 120/80  ASA : III
 N : 88x/menit  BB: 50 kg
 RR : 20x/menit  Lain-lain: batuk (+)
Obat : Sulfas Atropin, Fentanyl, Miloz
Induksi : Oksigenasi + Recovol 50 mg
Maintenance : O2, N2O, Sevoflurane
Obat selama anestesi berlangsung :
 Ondansetrom 4 mg
 Ketorolac 30 mg
Cairan Masuk : RL 500 cc
Posisi pasien : Telentang, miring
Catatan Untuk di Ruangan
 Pengawasan TD, N, R setiap ¼ jam dalam 2 jam pertama
 Program cairan : infus RL + Fentanyl 100mcg + Antrain 1 gr ->
20 TPM
 Program Analgetik : Injeksi Antrain 1 gr

9
 Catatan Khusus : posisi supine/miring, boleh langsung diet bebas
setelah sadar

E. Daftar Pustaka
Baradero M, Dayrit M W, dan Siswadi Y. (2009). Prinsip & Praktik
Keperawatan Perioperatif. Jakarta: EGC.
Ina A K, Fahri Muh. (2014). Manajemen Perioperatif Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK). Jakarta: CDK.

10

Anda mungkin juga menyukai