Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH BIOLOGI

Pantai Mandalika Kuta, Lombok

Noer Aliza Putri


XI.IPA.5
DAFTAR ISI
Kata pengantar..................................................................

Pendahuluan.....................................................................

Biogeografis......................................................................

Identitas Lombok..............................................................

Pembagian Administrative...............................................

Geografi..................................................................
Rakyat ....................................................................
Ekonomi ..................................................................
Flora & Fauna...........................................................
Agama......................................................................
Makanan ..................................................................
Daftar Pustaka ...................................................................
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah tentang Lombok.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Lombok ini dapat
memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Bekasi, 17 Nopember 2017

Noer Aliza Putri

PENDAHULUAN

Latar belakang
Lombok merupakan salah satu pulau di Indonesia yang menjadi destinasi wisata.
Daya tarik yang dimiliki merupakan daya tarik wisata alam dan budaya. Kondisi daya
tarik wisata alam terdiri dari panorama alam, hutang lindung, dan hutan
kemasyarakatan, gunung dan bukit, sungai, lembah, pantai yang memiliki pasir putih,
dan keanekaragaman potensi bahari. Pariwisata budaya mengalamai perkembangan
yang positif. Keselarasan antara budaya masyarakat sasak dengan budaya masyarakat
Hindu yang terjalin dengan baik, sehingga daya tarik wisatawa di lombok dan menarik
wisatawan ke Pulau Lombok (Jumail : 201).

Identifikasi masalah
1. Bagaimana kehidupan masyarakat di Pulau Lombok?

2. Apa saja wisata alam yang terdapat di Pulau Lombok?

Perumusan masalah
Masalah yang akan kami bahas adalah hal-hal yang terdapat di Pulau Lombok sebagai
tempat destinasi.
BIOGEOGRAFI

Identitas Lombok
Pulau Lombok (jumlah penduduk pada tahun 2001: 2.722.123 jiwa)[1]
adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang
terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelat barat dan Selat Alas di
sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini kurang lebih berbentuk bulat dengan
semacam "ekor" di sisi barat daya yang panjangnya kurang lebih 70 km. Luas
pulau ini mencapai 5.435 km², menempatkannya pada peringkat 108 dari daftar
pulau berdasarkan luasnya di dunia. Kota utama di pulau ini adalah Kota
Mataram.

Pembagian

Administrative
Lombok termasuk provinsi Nusa Tenggara Barat dan pulau ini sendiri dibagi menjadi 4
Kabupaten dan 1 Kota:

Kota Mataram

Kabupaten Lombok Barat

Kabupaten Lombok Tengah

Kabupaten Lombok Timur

Kabupaten Lombok Utara

Geografi

Selat Lombok menandai batas flora dan faunaAsia. Mulai dari pulau Lombok ke arah
timur, flora dan fauna lebih menunjukkan kemiripan dengan flora dan fauna yang
dijumpai di Australia daripada Asia. Ilmuwan yang pertama kali menyatakan hal ini
adalah Alfred Russel Wallace, seorang Inggris pada abad ke-19. Untuk
menghormatinya maka batas ini disebut Garis Wallace.

Topografi pulau ini didominasi oleh gunung berapiRinjani yang ketinggiannya mencapai
3.726 meter di atas permukaan laut dan menjadikannya yang ketiga tertinggi di
Indonesia. Gunung ini terakhir meletus pada bulan Juni-Juli 1994. Pada tahun 1997
kawasan gunung dan danau Segara Anak ditengahnya dinyatakan dilindungi oleh
pemerintah. Daerah selatan pulau ini sebagian besar terdiri atas tanah subur yang
dimanfaatkan untuk pertanian, komoditas yang biasanya ditanam di daerah ini antara
lain jagung, padi, kopi, tembakau dan kapas.
RAKYAT

Dipulau Lombok banyak dijumpai kearifan local dalam mengatur system social
kemasyarakatan, seperti pengaturan pemerintahan desa dengan berbagai
lembaga adat, persubakan, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local
yang berkaitan dengan perlakuan terhadap lingkungan alam, seperti embung
sebagai penyimpan cadangan air, pengaturan system tanam, penggunaan pupuk
alam dan pemberantasan hama. Seperti misalnya system tanam padi gogo rancah
(GORA) sekitar 1978, oleh karena pada saat masyarakat mengalami kondisi
kekurangan bahan makanan berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya
kelaparanpada setiap musim dengan tingkat kematian yang begitu besar, maka
secara tiba-tiba timbul upaya yang brillian dari masyarakat sendiri untuk
mengatasi hal tersebut.

Etnik sasak yang mendiami pulau Lombok (berasal dari kata sak-sak
Lombok. Artinya, hanya jalan lurus satu-satunya jalan sejati yang harus
dilalui demi keselamatan dunia dan akhirat). Secara bahasa istilah kesukuan
masyarakat Lombok yang disebut “sasak” sesungguhnya berarti juga ragam,
corak dan keberbagaian yang niscaya[4]. Jumlah komunitas etnik sasak
sebagai suku bangsa asli yang mendiami pulau Lombok lebih kurang 90%.
Etnik sasak adalah pemeluk agama islam cultural dengan tradisi agama yang
sangat kuat dan fanatic. Islam sebagai dasar filosofi hidupnya terlihat kental
dalam praktek dan tradisi hidup keseharian yang terekspresi dengan
bengunan masjid yang besar dan megah melampaui kemampuan real daya
dukung ekonominya.

Pada masyarakat sasak, kearifan local merupakan hal yang tidak


dapat dipisahkan dengan agama dan adat budaya. Karenanya denyut nadi
kehidupan masyarakat sasak memerlukan cara-cara yang arif lagi bijaksana.
Karena itu sikap yang etik yang dikembangkan masyarakat sasak setidaknya
juga tercermin dari petuah para orang tua yang dapat disimpulkan dalam
ungkapan-ungkapan berikut : Solah mum gaweq, solah eam daet, bayoq
mum gaweq bayoq eam daet (baik yang dikerjakan maka akan mendapat
kebaikan dan buruk yang dikerjakan maka akan mendapatkan keburukan),
piliq buku ngawan, semet bulu mauq banteng, empak bau, aik meneng,
tunjung tilah. Masyarakat memahami bahwa seluruh alam raya diciptakan
untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga
mencapai tujuan penciptaan. Kehidupan mahluk-mahluk Tuhan saling
terkait. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka
mahluk yang berada dalam lingkungan hidup akan ikut terganggu pula.

Hubungan antara manusia dan alam atau hubungan manusia dan


sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang
ditaklukkan atau antara tuan dan hamba, namun lebih merupakan
hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Tuhan. Karena
kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang
dimilikinya, tetapi akibat anugrah Tuhan. Setelah menyadari pandangan
agama tentang makna kekhalifahan manusia yang menjadi tujuan
penciptaan di muka bumi, maka tidak heran bila puluhan bahkan ratusan
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi saw yang dijadikan landasan dalam
berpijak guna tercapainya kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa pola kehidupan yang


relative tetap memiliki aturan dasar yang turun temurun dan menjadi
norma hidup dari komunitas masyarakat sasak. Aturan norma ini
disimbulkan dengan “”buku-ngawan karena kehidupan itu mesti teratur dan
memiliki aturan seperti halnya alam semesta. Dari mana memulai
membangun “bale-langgak” (rumah dan kelengkapannya), berugaq-
sekepat, alang-sambi, leah-lambur, jebak, pengorong, kemudian menjadi
pemukiman dengan istilah “gubug-gempeng” dan seterusnya sehingga
terbentuklah “dise-dasan”. Secara harmonis kehidupan “dise-dasan” sangat
erat hubungannya dengan lingkungan alam sekitar, khususnya berhubungan
dengan istilah “epe-aik” yang menjadi sumber dari segala sumber hidup dan
kehidupan komunitas masyarakat sasak.

Berdasarkan aturan adat budaya ini, maka muncul budaya tradisional


masyarakat sasak yang tidak lepas dari pola trinitaris dasar yakni : pertama,
“epe-aik” sebagai pemilik yang maha kuasa atas segala asal kejadian alam
dan manusia. Kedua, “gumi-paer” sebagai tanah tempat berpijak di situ
langit dijunjung, karena di “gumi-paer” ini masyarakat sasak dilahirkan.
Diberi kehidupan dan selanjutnya diwafatkan. Ketiga, “budi-kaye” yang
merupakan kekayaan pribadi dari kesadaran akan “budi-daye” Sang Hyang
Sukseme yang menurunkan “akal-budi” pada setiap diri manusia untuk
mendapatkan kemuliaan hidup yang akan dibawa sampai meninggal dunia.
Ketiga hal inilah yang akan mewarnai setiap pandangan, ucapan dan
perbuatan masyarakat sasak menjadi adab budaya yang tidak hanya diukur
dengan hasil karya secara material namun yang lebih penting adalah nilai-
nilai yang diperoleh selama hidup yang tercermin dari pelaksanaan adat
istiadat mereka[6] Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih luas dan
mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang dimiliki
oleh masyarakat sasak dalam hidup bermasyarakat tanpa konflik yang
melibatkan kearifan budaya local dapat bersinergi, harmonis dan
menguntungkan manusia dan lingkungnnya.

Ketika terjadi konflik terbuka antara dua desa di Kabupaten Lombok


Tengah, banyak orang -terutama para pakar yang mempertanyakan
eksistensi institusi kearifan local masyarakat dengan ungkapan “Masih
fungsionalkah kearifan local ini?” atau “sudah tidak fungsional!” Pertanyaan
maupun pernyataan semacam itu tidak lain merupakan ekspresi
keterkejutan mereka. Di suatu daerah yang memiliki institusi yang sejak
dulu sangat dikagumi karena mampu mengatur kehidupan bersama,
sekurang-kurangnya dalam hidup berdampingan sesama warga atau dalam
hidup antara penganut agama yang berbeda, namun kemudian di antara
dua desa itu tiba-tiba terjadi konflik terbuka dengan intensitas yang tinggi
dan berkepanjangan, sehingga menelan tidak hanya harta benda namun
korban jiwa sebagai taruhannya. Padahal, sebelumnya melalui institusi
kearifan lokal mereka dapat hidup harmonis, bahkan dapat berinteraksi
dalam bentuk kerja sama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
kemasyarakatan.

Memang Kabupaten Lombok Tengah bukan satu-satunya daerah


konflik di Indonesia. Sebelum dan bersamaan waktu dengan konflik di
Kabupaten Lombok Tengah serta sesudahnya, banyak terjadi konflik di
berbagai daerah di Indonesia. Daerah-daerah yang homogen, seperti Bali,
juga tidak luput dari konflik, yaitu konflik terbuka antar banjar. Padahal di
Bali terdapat institusi yang sangat terkenal, yaitu awig-awig. Sebelumnya
awig-awig juga dikagumi karena mampu mengatur kehidupan masyarakat,
sehingga dapat hidup harmonis. Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki
norma yang dipegangi oleh masyarakat untuk meredam konflik, yaitu desa
kala patra. Konsep desa kala patra yang juga disebut triloka ini menjadi
pedoman yang dipakai secara luas dalam pelaksanaan ajaran keagamaan
masyarakat Hindu Bali dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan -hampir
semua- ajaran Hindu selalu mempertimbangkan prasyarat tempat yang
semestinya, waktu yang tepat dan keadaan yang memungkinkan. Artinya,
dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu terdapat elastisitas akibat pengaruh
tempat,perkembangan zaman dan kondisi sosial yang dipunyai masyarakat
yang bersangkutan.[7] Dengan kata lain, dengan adanya norma desa kala
patra ini, masyarakat Bali sadar akan adanya berbedaan dan dapat
menerima perbedaan. Hampir setiap awig-awig yang dimiliki oleh setiap
banjar adat selalu memiliki perbedaan dan hal itu tidak menjadi masalah
karena adanya norma desa kala patra.

Selain itu, di Bali, khususnya di daerah pertanian, terdapat institusi


yang mengatur pengairan sawah yang memiliki demensi keagamaan.
Dengan diterapkannya sistem yang integral antara sistem pengairan sawah
dan sistem keagamaan, setiap anggota (kerama subak) menjadi terikat oleh
aturan-aturan dari dua sistem itu. Dengan demikian subak merupakan suatu
sistem konservasi agama atau kearifan lokal yang efektif.[8]

Contoh lain, misalnya, di Desa Tambakboyo, Ambarawa, Jawa Tengah,


dalam hal penganut keagamaan kendati memiliki tingkat heteroginitas
penganut agama yang tinggi, dan pola tinggal penduduk yang menyebar
(tidak ada pengelompokan berdasarkan agama yang dianut maupun
keluarga), bahkan ada orang Kristen yang “mangku langgar” (halaman
rumah menjadi satu dengan halaman musholla), namun masyarakat tetap
dapat hidup harmonis. Selain itu, mereka juga memiliki budaya lokal yang
lebih mengutamakan hidup rukun (sayuk), dan norma sayuk hampir selalu
mendasari tindakan kebersamaan masyarakat.
Konflik yang berkepanjangan di Kabupaten Lombok Tengah telah
menjadi fakta sejarah bahwa yang namanya institusi kearifan lokal sudah
tidak fungsional lagi. Banyak orang berpendapat bahwa menghilangnya
fungsi kearifan lokal karena intervensi pemerintah pusat, khususnya UU No.
5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang yang sangat
kental budaya Jawa ini telah menghilangkan kekuasaan raja negeri (kepala
desa tradisional). Padahal kelestarian adat lama, termasuk institusi kearifan
lokal, terletak di tangan raja negeri ini. Ciri-ciri lain dari undang-undang
produk Orde Baru ini adalah mengharamkan perbedaan pendapat. Semua
harus seragam sesuai dengan tuntutan dari pemerintah pusat. Menurut
Nicola Frost (2004), sebagaimana dikutip Amri Marzali, undang-undang ini
menghilangkan kemampuan untuk mengkooptasi perbedaan yang
sebelumnya hidup di dalam masyarakat Maluku.[9] Padahal salah satu inti
dari institusi kearifan lokal adalah pengakuan atas perbedaan dalam
kesetaraan dengan cara membangun kerjasama yang positif. Institusi
kerjasama ini, khususnya antar desa maupun antar agama.

Tentu saja, intervensi pemerintah tersebut bukan satu-satunya faktor


penyebab tidak fungsionalnya institusi kearifan lokal. Kedatangan
transmigran dab proses akulturasi budaya disamping pengaruh modernitas
juga disinyalir menimbulkan ketidakseimbangan hubungan antar sesame
warga

Sementara itu, konflik di Kabupaten Lombok Tengah tidak bisa


diselesaikan dengan institusi yang pernah menjadi kebanggaan itu, sehingga
mengundang inisiatif pihak pemerintah untuk menyelesaikan konflik
dengan jalan perdamaian. Namun, perdamaian itu pun diragukan dapat
menyelesaikan konflik. Karena, setelah terjadi perdamaian, konflik masih
kembali meletus. Secara alami kebijakan-kebijakan lokal pun muncul untuk
mengatasi konfik, karena bagaimanapun juga ada saling ketergantungan di
antara sesama anggota masyarakat. Mereka yang terlibat konflik tetap
saling membutuhkan. Meraka berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan
mereka dengan cara saling membeli atau barter. Kebijakan lokal semacam
itu telah mengkondisikan mereka bisa hidup rukun kembali atau, paling
tidak, dapat memperkecil kemungkinan terjadi konflik. Ini berarti
masyarakat telah melakukan institutional development, yaitu
memperbaharui institusi-institusi lama yang pernah berfungsi baik. Dengan
kata lain, masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah Ambon telah melakukan
rekacipta kearifan lokal yang baru, yang tepat-guna untuk menjawab
tantangan social, ekonomi dan politik masa kini di Kabupaten Lombok
Tengah

Demikian pula awig-awig. Sebenarnya sejak dini (1992) masyarakat


Bali, khususnya masyarakat Desa Mas Kecamatan Ubud, telah merasa
bahwa institusi tersebut sudah mulai melemah, terutama karena
masyarakat sebagai pengawas pelanggaran awig-awig mulai kurang
kepeduliannya terhadap masyarakat lingkungannya dan enggan melapor.
Masyarakat cenderung ingin hidup individualis. Padahal awig-awig
sebenarnya bukan merupakan suatu institusi yang mati, melainkan
merupakan institusi yang hidup. Awig-awig dapat disesuaikan dengan
tuntutan zaman atas dasar norma desa kala patra. Sebenarnya masyarakat
juga telah melakukan antisipasi atas semakin melemahnya awig-awig
tersebut, antara lain, dengan membentuk pranata-pranata baru, seperi seka
trunatruni yang berfungsi sebagai wahana sosialisasi adat dan agama
(termasuk di dalamnya awig-awig); dan pesantian-pesantian yang
merupakan wahana pendidikan luar sekolah.[10] Namun, antisipasi
tersebut belum menyentuh esensi awig-awig itu sendiri. Sebagaimana
terjadi pada masyarakat di Kabupaten Lombok Tengah dengan kearifan local
yang mereka miliki, kebijakan lokal awig-awig mandeg akibat intervensi
pemerintah pusat yang sedemikian intensif selama pemerintahan Orde
Baru (UU No. 5 Tahun 1979), sehingga kearifan budaya lokal itu menjadi
semakin kurang fungsional dan konflik antar desa pun kerap terjadi.
Sebaliknya, kebudayaan lokal agama agemaning aji dan semboyan “yang
penting hidup sayuk” yang terdapat di desa Tambakboyo masih fungsional
dan masih menjadi acuan bagi masyarakat dalam berinteraksi, sehingga
masyarakat dengan tingkat heteroginitas agama yang tinggi itu masih dapat
hidup rukun dan damai.

Sebenarnya, hampir semua -kalau tidak bisa dikatakan seluruh-


masyarakat memiliki kebijakan lokal (local wisdom) sendiri-sendiri yang
bersumber dari kebudayaan masing-masing. Misalnya, suku Jawa—hampir
secara umum -memiliki konsep untuk meredam konflik dengan jothaan atau
neng-nengan[11] (tidak bertegur sapa atau pantang berbicara dengan
lawan konfliknya); suku Melayu memiliki kebijakan lokal bahwa kalau sudah
makan bersama, maka tidak ada perseteruan lagi; suku Madura memiliki
semboyan dari pada berpoteh mata lebih baik berpoteh tulang (dari pada
malu lebih baik mati); suku Bugis dengan siri-nya, dan suku Aceh dengan
pepatah “kalau rencong sudah dicabut, pantang disarungkan.” Meskipun,
kebijakan lokal yang dimiliki tiga suku yang desebutkan terakhir ini
cenderung memberi peringatan kepada orang lain agar tidak mencoba
memulai atau melakukan konflik (senada dengan pendapat: “jika ingin
damai, maka bersiap-siaplah untuk berperang”).

Kebijakan lokal suku Madura, ketika dibawa ke daerah lain sebagai norma
yang dipedomani oleh para migran dari Pulau Garam itu, bisa saja menjadi
tidak fungsional, seperti yang terjadi di Kalimantan dan Jakarta atau di
Kabupaten Lombok Tengah. Meskipun pada mulanya dengan budaya
kekerasan suku Madura menjadi demikian dominan di berbagai daerah di
Kalimantan, namun akhirnya mereka harus menuai malapetaka kekerasan
yang telah mereka semai. Sementara itu, di Jakarta suku Madura juga sudah
beberapa kali mendapat sambutan kekerasan dari suku Betawi, seperti di
daerah Cakung dan Kramatjati. Tidak ketinggalan di Kabupaten Lombok
Tengah yang masyarakatnya harus membayar dengan maraknya terjadi
konflik antar desa, yang hal tersebut kerap kali diakibatkan oleh hal-hal
kecil.

Setelah konflik demi konflik banyak terjadi, terutama yang terjadi


antara suku pendatang dan suku pribumi, antar penganut agama dan
kepercayaan yang berbeda dan konflik antar warga, para pakar mulai
mencari-cari norma-norma yang bersumber dari kebudayaan lokal yang
dapat digunakan sebagai peredam konflik atau bahkan dapat dijadikan
sebagai penangkal agar tidak terjadi konflik. Fakta yang sangat kasat mata
menunjukkan bahwa di antara suku perantau yang nyaris tidak pernah
-kalau tidak boleh dikatakan sama sekali- terlibat konflik terbuka adalah
suku Minang. Selain dapat meraih sukses di perantauan, suku Minang
umumnya juga dapat diterima atau disambut oleh penduduk pribumi di
mana pun mereka berada. Hal ini disebabkan, antara lain, karena mereka
memiliki acuan budaya sebagaimana tergambar dalam ungkapan “di mana
bumi dipijak di situ langit dijunjung.” Pepatah itupun kemudian menjadi
semakin populer karena banyak dikutip oleh para pejabat maupun da’i, dan
disarankan agar dijadikan acuan bagi para perantau yang lain. Kendati
demikian, terdapat pula berbagai stereotipe tentang suku Minang.
Misalnya, di kalangan masyarakat Betawi muncul ucapan bernada mengejek
(derogatory), seperti “Padang bengkok”. Dengan ungkapan tersebut, orang
Betawi memandang orang Padang sangat pelit dan licik. Sebagai ilustrasi,
jika orang Padang hendak mengontrak sebuah rumah, pada saat perjanjian
sewa mereka mengatakan bahwa rumah itu akan ditempati 2-3 orang.
Namun, dalam kenyataannya pihak yang mengontrak jauh lebih banyak dari
yang disebutkan dalam perjanjian awal kontrak.

Sementara itu, di Jawa terdapat kearifan budaya lokal yang sering dan
sudah lama mengalami pergeseran (salah kaprah), yaitu pepatah “mangan
ora mangan waton kumpul”. Menurut salah satu sumber, pepatah itu pada
mulanya diucapkan oleh Sri Mangkunegara I ketika sedang terdesak oleh
tentara Belanda, “Gandeng kahanane kaya mangkene, mangan ora mangan
waton kumpul” (Berhubung keadaannya seperti ini, makan tidak makan asal
kumpul).[12] Kearifan lokal yang semula memiliki norma persatuan dalam
semangat perjuangan, namun kemudian mengalami pergeseran menjadi
bersifat pasrah (fatalis). Pepatah ini secara lengkap berubah menjadi “Tuna
sathak bathi sanak, aja ngaya, ana dina ana upa, bocah nggawa rejekine
dhewe-dhewe, mangan ora mangan waton kumpul.” (Rugi materi mendapat
keuntungan saudara, jangan terlalu egois, ada hari ada nasi, anak
membawa rezeki masing-masing, makan tidak makan asal kumpul.)
Pergeseran norma-norma yang terkandung dalam kearifan budaya lokal ini
sangat mungkin juga terjadi di daerah-daerah lain tidak terkecuali di
Kabupaten Lombok Tengah karena pelanggengan norma-norma dalam
budaya lokal hanya atas dasar ingatan dan tradisi-tradisi yang dipraktikkan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pendukungnya.

Adanya pergeseran norma kebudayaan lokal dapat pula menimbulkan


upaya penolakan dari generasi tertentu. Misalnya, pepatah mangan ora
mangan waton kumpul dalam pengertian kepasrahan (fatalis) sudah lama
ditolak oleh sebagian masyarakat Jawa, terutama dari kalangan terpelajar.
Sementara itu di Kabupaten Lombok Tengah, dengan tidak fungsionalnya
kearifan lokal, timbul pula upaya rekacipta kearifan lokal baru (institutional
development). Masyarakat tidak perlu lagi bermimpi membangun kearifan
lokal seperti ‘bentuk asli’-nya, sebagaimana dipersepsikan selama ini. Yang
penting adalah suatu rekacipta kearifan lokal baru, yang tepat guna untuk
menjawab tantangan social, ekonomi dan budaya serta politik masa kini di
Kabupaten Lombok Tengah.

Berdasarkan paparan di atas, ada sejumlah hal yang patut dicatat: (1)
hamper setiap—kalau tidak dapat dikatakan semua—suku di Indonesia
memiliki acuan normanorma dari budaya lokal masing dalam berinteraksi
baik secara individu maupun kelompok dari sesama suku atau dengan suku
lain dalam kehidupan sosial-keagamaan, baik intern (sesama penganut
agama yang sama) maupun ekstern (antar penganut agama yang berbeda);
(2) kearifan lokal masing-masing suku ada yang masih fungsional, ada pula
yang sudah tidak fungsional karena perkembangan zaman, adanya
pergeseren nilai-nilai yang dipegangi oleh masyarakat, intervensi
pemerintah, atau penolakan dari sebagian anggota masyarakat; (3) tetap
fungsionalnya kearifan lokal tentu tidak terlepas dari proses sosialisasi yang
dilakukan oleh generasi tua kepada generasi penerusnya; (4) kearifan lokal
itu ada yang fungsional di wilayah budaya aslinya, namun ketika dibawa
keluar wilayah aslinya menjadi tidak fungsional. Sebaliknya, ada norma-
norma yang bersumber dari kearifan lokal suku tertentu, namun tetap
fungsional di mana pun berada, bahkan menjadi acuan bagi suku-suku lain;
(5) ada kemungkinan munculnya kearifan lokal baru sebagai rekacipta
(institutional development) dari kearifan lokal yang sudah tidak fungsional
lagi, walaupun kearifan lokal yang baru tidak sama dengan bentuk asli dari
kearifan lokal yang lama.

Di propinsi Nusa Tenggara Barat sendiri khususnya di Kabupaten


Lombok Tengah terkait dengan kearifan local masyarakatnya, kita banyak
menjumpai kearifan local dalam mengatur system social kemasyarakatan
seperti persubakan, pengaturan pemerintah desa dengan berbagai lembaga
adat, keamanan, ekonomi, dan begitu pula kearifan local yang berkaitan
dengan pencegahan terhadap konflik.Pada masyarakat sasak, kearifan local
merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan agama dan adat
budaya. Karenanya denyut nadi kehidupan masyarakat sasak memerlukan
cara-cara yang arif lagi bijaksana. Barangkali hal inilah yang perlu digali lebih
luas dan mendalam, tentang pemahaman akan kearifan local terpadu yang
dimiliki oleh masyarakat sasak dalam memandang suatu konflik.

Memang, hal ini membutuhkan kajian yang lebih mendalam tentang


bagaimana kearifan local terpadu masyarakat sasak menyikapi bagaimana
nilai-nilai kearifan lokal disosialisasikan dari generasi ke generasi; nilai-nilai
kearifan lokal manakah yang masih berlaku atau fungsional; dan bagaimana
nilai kearifan yang masih fungsional itu dipedomani oleh masyarakat
sebagai landasan berinteraksi, baik secara individual maupun kelompok,
terutama dalam lingkup kehidupan beragama, baik secara intern maupun
ekstern. Pemikiran ini setidaknya merupakan sumber bagi system penilaian
sesuatu yang baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak
berharga dan sesuatu yang dapat menyelamatkan atau mencelakakan.
Semua ini dapat terjadi karena kearifan local itu diselimuti oleh nilai-nilai
moral yang bersumber pada agama, pandangan hidup dan pada etos atau
system etika yang dimiliki oleh setiap manusia. Karenanya tema tersebut di
menjadi menarik untuk dikaji.

Ekonomi

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Nusa Tenggara


Barat (NTB), Prijono memperkirakan kondisi perekonomian masih kondusif
di tahun 2017 mendatang. Bahkan Prijono memprediksi pertumbuhan
ekonomi Provinsi NTB di tahun 2017 mendatang berada di kisaran 6,0
persen, tanpa sektor pertambangan.

“Pertumbuhan ekonomi di tahun 2017 tanpa tambang kami


perkirakan tumbuh dikisaran 6,0 persen, yang ditopang oleh investasi dan
ekspor domestik,” kata Prijono, saat pertemuan tahunan perbankan, Selasa
(20/12).

Sementara itu lanjut Prijono, pertumbuhan ekonomi NTB


diproyeksikan berada pada kisaran 4,0 persen, termasuk didalamnya
kategori tambang. Sedangkan untuk non tambang, pertumbuhan
perekonomian NTB diproyeksikan di kisaran 6,0 persen yang ditopang oleh
investasi dan ekspor domestik.

Pertumbuhan perekonomian juga sangat dipengaruhi dengan laju


Inflasi. Dimana inflasi akan berada dalam kisaran targetnya sebesar 4,01
persen dengan pertumbuhan kredit dalam kisaran 10 – 12 persen, dan
pertumbuhan dana pihak ketiga dalam kisaran 9 – 11 persen di tahun 2017
mendatang.

Dinamika perekonomian yang semakin dinamis, membuat tantangan


yang perlu dihadapi kedepan tidaklah ringan, tak terkecuali untuk Provinsi
NTB. Namun demikian, tantangan tersebut perlu dijawab dengan
optimisme yang tinggi, karena NTB memiliki potensi yang sangat besar
disertai dengan peluang yang terbuka lebar.
Peluang tersebut antara lain pertama adalah peluang NTB sebagai
sentra ketahanan pangan. Dimana ditengah tingginya lonjakan
pertumbuhan penduduk dunia, isu ketahanan pangan menjadi sangat
strategis bagi setiap Negara. Hal tersebut menciptakan peluang untuk
perluasan pasar bagi negara penghasil pangan.

Provinsi NTB sebagai salah satu provinsi lumbung pangan nasional,


dapat berkontribusi untuk mendukung ketahanan pangan tersebut melalui
peningkatan produksi pangan, disertai penguatan jalur distribusi lintas
daerah. “Kami melihat produk pertanian NTB cukup mampu bersaing,” kata
Prijono.

Selanjutnya, kedua, peluang NTB sebagai destinasi utama pariwisata


nasional. BI NTB mencermati adanya perubahan pola konsumsi pada
masyarakat Indonesia secara umum, yakni kecenderungan meningkatnya
konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan rekreasi.

Hal tersebut merupakan peluang yang dapat dimaksimalkan untuk


mendorong peningkatan kunjungan wisatawan ke NTB. Dengan adanya
kenaikan UMR di tahun 2017 (8,25 persen) diharapkan mampu mendorong
peningkatan belanja masyarakat seiring dengan meningkatnya pendapatan.
Selain itu, adanya kebijakan bebas visa wisata bagi 75 negara menjadikan
peluang yang menjanjikan untuk meningkatkan tingkat kunjugan wisatawan
dari mancanegara.

Ketiga, peluang sekaligus potensi yang paling kuat adalah potensi


sumber daya manusia (SDM) di NTB yang tengah memasuki fase bonus
demografi. Bonus demografi dimaksud tercermin dari tingginya proporsi
masyarakat NTB yang tergolong usia produktif.

“Kondisi ini merupakan kesempatan sangat baik agar potensi sumber


daya alam dapat dikelola secara maksimal dan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi Provinsi NTB,” imbuhnya.

Sementara itu, Asisten II Setprov NTB, H. Lalu Gita Aryadi


mengatakan, progress pembangunan disegala bidang di Provinsi NTB terus
menunjukan langkah nyata dan sudah on the track atau sesuai jalurnya. Hal
tersebut terbukti dengan keberhasilan NTB menurunkan angka kemiskinan,
pengangguran melalui bukti nyata dengan didapatkannya penghargaan dari
Presiden RI.

Pembangunan di sektor perekonomian dan kesehatan termasuk juga


infrastruktur terus menjadi program prioritas pemerintah daerah. Selain itu
pengembangan sektor pariwisata, jasa dan perdagangan dan tidak
terlupakan program unggulan di sektor pertanian dan kelautan terus
digenjot oleh pemerintah daerah. “Kita terus menggenjot kinerja semua
pihak dalam memajukan NTB, baik dari perekonomian dan lainnya, menuju
rakyat sejahtera,” pungkasnya.
Flora dan Fauna

Walaupun Lombok secara geografis sangat dekat dengan Bali, hewan dan
tumbuhan yang ada di Lombok sedikit berbeda dari yang ada di Bali. Lombok
merupakan titik perbatasan antara hewan dan tumbuhan yang ada di Indonesaia
bagian barat dan bagian timur. Karena itulah, Alfred Russel Wallace, seorang ahli
Biologi abad IX dari Inggris menyebut Lombok sebagai The Wallace Line. Di bagian
utara, Pulau Lombok didominasi oleh lembah dan bukit yang ditumbuhi oleh
edeluis, pakis, pohon-pohon yang tinggi dan belukar. Sementara di bagian selatan,
Lombok cenderung lebih tandus. Hewan yang dapat dijumpai di Lombok adalah
kadal, biawak, kakatua, burung beo, koak kaok, gagak, elang, punglor, kera, babi,
rusa dan lain-lain.
Daftar Pustaka

http://googleweblight.com/?
lite_url=http://wisatalombokaja.blogspot.com/2013/10/10-khas-lombok-yang-
harus-anda.html?m%3D1&ei=3EMZ6Q1d&lc=id-
ID&s=1&m=963&host=www.google.co.id&ts=1511008115&sig=ANTY_L2g0Kxqek
M3eIOwMzlsuU7DG526NQ

https://googleweblight.com/?
lite_url=https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pulau_Lombok&ei=_NcySRb7&lc=id-
ID&s=1&m=963&host=www.google.co.id&ts=1510919607&sig=ANTY_L1cxgr2Zo4
lbEMn2yiLblmsO1LMlw

Anda mungkin juga menyukai