Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TEORI MASUKNYA ISLAM DI NUSANTARA (SPI)

BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara di Asia Tenggara ini disebut sebagai tanah dengan populasi Muslim
tertinggi. Persentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari
205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam.
Indonesia menempati urutan nomer pertama dari sekian banyak negara Islam di dunia dengan
populasi muslim terbesar, padahal Indonesia bukanlah Negara berbasis Islam. Urutan kedua
adalah; Pakistan, India, Bangladesh, Mesir, Nigeria, Iran, Turki, Algeria, dan urutan kesepuluh
adalah Maroko.[1]
Perkembangan Islam di Indonesia yang begitu pesat tidak bisa lepas dari catatan sejarah.
Sejarah telah memotret dan merekam semua yang telah terjadi di masa silam.
Proses-proses dan alur historis yang terjadi dalam perjalanan Islam di Indonesia dalam
hubungannya dengan perkembangan Islam di Timur Tengah, bisa dilacak sejak masa-masa awal
kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia sampai kurun waktu yang demikian panjang.
Yaitu sejak terjadinya interaksi kaum Muslim Timur Tengah.[2]
Untuk mengungkap historis awal kedatangan Islam di Indonesia, terdapat diskusi dan
perdebatan panjang di antara para ahli mengenai 3 masalah pokok; tempat asal kedatangan Islam,
para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Ada 3 teori yang dipakai teori Gujarat, teori
Persia, dan teori Arabia.
3 teori yang saling mengunggulkan pada masing-masing teori. Prof Azumardi Azra dalam
bukunya yang berjudul “Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
& XVII” berpendapat: berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah
pokok di atas jelas belum tuntas, tidak karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori
yang ada. (Karena) terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-
aspek khusus dari ketiga masalah pokok di atas, sementara mengabaikan aspek-aspek yang
lainnya.”
Dari latar belakang yang ada, pemakalah berusaha me-narjih salah satu dari ketiga teori
tersebut, mana yang lebih unggul dari yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Penjelasan Dari Ketiga Teori Tersebut?
2. Teori Apa Yang Lebih Unggul?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Teori Kedatangan Islam di Indonesia

Menurut Sulasman dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Islam di Asia dan Eropa” beliau
mengutip pendapatnya Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku yang berjudul “Menemukan
Sejarah”, beliau berpendapat: “Ada 3 teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke
Indonesia.”[3]
Azyumardi turut berpendapat: “Terkait kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan
perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok; tempat asal kedatangan
Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. berbagai teori dan pembahasan yang
berusaha menjawab ketiga masalah pokok di atas jelas belum tuntas, tidak karena kurangnya data
yang dapat mendukung suatu teori yang ada. (Karena) terdapat kecenderungan kuat, suatu teori
tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok di atas, sementara
mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.”[4]
A. Teori Gujarat
Sejumlah sarjana, kebanyakan asal Belanda, memegang teori bahwa asal mula Islam
Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. (Menurut Azyumardi Azra),
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, ahli dari Universitas Leiden.
Dia mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut
dia, adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India
tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[5] Teori ini kemudian dikembangkan
Snouck Hurgronje.[6]
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang
terdapat di anak Benua India. Tempat-tempat, seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar disebut-
sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut berdasarkan pengamatan tidak
terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada
abad ke-12 atau 13 M. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan adanya hubungan
yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan daratan India.[7]
Moquette, seorang sarjana Belanda lainnya, berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di
Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati bentuk batu nisan
di Pasai, kawasan utara Sumatra, khususnya yang bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September
1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam
Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/1419 M) di Gresik, Jawa Timur, ternyata sama bentuknya
dengan batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar local, tetapi juga untuk diimpor
ke kawasan lain, termasuk Sumatra dan Jawa. Selanjutnya dengan meng-impor batu nisan dari
Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana.[8]
Kesimpulan-kesimpulan Moquette ini ditentang keras oleh Fatimi yang berargumen bahwa
keliru mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai, termasuk batu nisan Malik Al Shalih dengan butu
nisan di Gujarat. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik Al Shalih berbeda
sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lainnya yang
ditemukan di Nusantara. Fatimi berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan ini justru mirip dengan
batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu, seluruh batu nisan itu pastilah di datangkan dari
daerah itu. Ini menjadi alasan utamanya untuk menyimpulkan, bahwa asal Islam yang datang ke
Nusantara adalah wilayah Bengal. Dalam kaitannya dengan “teori batu nisan” ini, Fatimi
mengkritik para ahli yang kelihatannya mengabaikan batu nisan Siti Fatimah (bertahun 475
H/1082 M) yang ditemukan di Leran, Jawa Timur.[9]
Dan ternyata teori Fatimi yang dikemukakan dengan begitu semangat gagal meruntuhkan
teori Moquette, karena sejumlah sarjana lain telah mengambil alih kesimpulannya, dan yang
paling terkenal di antara mereka adalah: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrike, dan
Hall. Sebagian mereka memberikan argument tambahan untuk mendukung kesimpulan
Moqquette. Winstedt, misalnya, mengemukakan tentang penemuan batu nisan yang mirip bentuk
dan gayanya di Bruas, pusat sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak, Semenanjung Malaya. Ia
berhujjah, karena seluruh batu nisan di Bruas, Pasai, dan Gresik didatangkan dari Gujarat, maka
Islam juga pastilah diimpor dari sana.[10]
Teori yang berhujah menggunakan teori batu nisan dibantah oleh Marrison. Marrison
mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa islamisasi Samudra
Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan Kerajaan
Hindu. Barulah setahun kemudian (699 H/1298 M), Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan
Muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke
Nusantara, maka Islam pastilah telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik
Al Shalih, tegasnya sebelum 698 H/1297 M.[11]
Marrison mengemukakan teorinya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat,
melainkan dibawa para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.[12]
Menurut Azyumardi Azra, Marrison mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Arnold.
Bahwa dia (Arnold) berpendapat, bahwa Islam dibawa ke Nusantara antara lain juga dari
Coromandel dan Malabar. Ia menyokong teori ini dengan menunjukkan kepada persamaan
madzhab fikih di antara ke dua wilayah tersebut. Mayoritas Muslim di Nusantara adalah
pengikut madzhab Syafi’i, yang cukup dominan di wilayah Coromendel dan Malabar, seperti
yang disaksikan oleh para ‘Ibnu Bathuthah ketika ia mengunjungi kawasan ini.[13]
Arnold berpendapat, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam
dibawa, tetapi juga di Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan
Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal Hijriah atau
abad ke-7 dan 8 Masehi.[14] Pemakalah bisa menyimpulkan bahwa Arnold mendukung teori
Arabia.
B. Teori Persia

Teori kedua adalah teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam
datang di Indonesia. Sandaran teori ini, yaitu adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh
beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Contohnya, peringatan 10
Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga
beberapa sarapan bahasa yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari zabar,
jer dari zeer, dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah Indonesia pada
abad ke-13 M. Adapun wilayah pertama yang disinggahi adalah kawasan Samudra Pasai.[15]
C. Teori Arabia

Teori ketiga, yaitu teori Arabia atau teori Mekah. Teori ini merupakan kritik terhadap
kedua teori yang telah dipaparkan di atas. Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia langsung dari Mekah dan Madinah. Waktu kedatangannya pun jauh lebih awal dari
teori pertama dan kedua (abad ke-12 dan 13), yaitu pada abad ke-7 M. ini berarti, Islam sudah
masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah. Ketika itu, pemerintahan Islam masih berada di
tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur Cina, disebutkan bahwa menjelang per
empat pertama abad ke-7 M, banyak terdapat perkampungan Arab-muslim di pesisir pantai
Sumatra. Di perkampungan ini dikabarkan bahwa orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan
penduduk lokal, kemudian membentuk komunitas Muslim.[16]
Kitab sejarah Cina yang berjudul “Chiu T’hang Shu” menyebutkan, perkampungan ini
pernah mendapat kunjungan diplomatic dari orang-orang Ta Shih (orang Arab) pada tahun 651
Masehi atau 31 Hijriah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta (utusan)
yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mu’minin atau
pemimpin kaum muslim. Utusan Tan mi mo ni’, catatan tersebut menyebutkan bahwa mereka
telah mendirikan Daulah Islamiyyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan.[17]
Pada pertengahan abad ke-7 M, berdiri beberapa perkampungan Muslim di wilayah
Kanfu atau yang sekarang dikenal sebagai Kanton. Beberapa catatan menyebutkan bahwa duta-
duta Muslim juga mengunjungi kawasan Zabaj, Sribuza, atau yang lebih dikenal dengan
Kerajaan Sriwijaya. Kenyataan ini bisa diterima, mengingat zaman itu adalah masa-masa
keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi pun yang akan menuju ke Cina dari
kawasan Timur Tengah dan Gujarat, kecuali melewati selat Malaka dan biasanya akan singgah
terlebih dahulu ke Kerajaan Sriwijaya.[18]
Menurut Hikayat raja-raja Pasai (ditulis setelah 1350), seorang syaikh Ismail datang
dengan kapal dari Makkah via Malabar ke Pasai – di sini ia membuat Merah Silau, penguasa
setempat, masuk Islam. Merah Silau kemudian mengambil gelar Malik Al Shalih yang, seperti
dicatat terdahulu, wafat pada 698 H/1297 M. seabad kemudian, sekitar 817 H/1414 M, menurut
sejarah Melayu (ditulis setelah 1500), penguasa Malaka juga di Islamkan oleh Sayid Abdul Aziz,
seorang Arab dari Jeddah. Begitu masuk Islam, penguasa itu, Parameswara, mengambil nama
dan gelar Sultan Muhammad Syah.
Hikayat lain, diriwayatkan bahwa seorang Syaikh Abdullah Al Yamani datang dari
Makkah (atau Baghdad?) ke Nusantara dan meng-Islamkan penguasa setempat (Phra Ong
Mahawangsa), para menterinya dan penduduk Keddah. Penguasa ini setelah masuk Islam
menggunakan gelar dan nama Sultan Muzhaffar Syah. Sementara itu, sebuah historiografi dari
Aceh memberikan informasi bahwa nenek moyang para sultan Aceh adalah seorang Arab
bernama Syaikh Jamal Al Alam, yang dikirim Sultan Utsmani untuk meng-Islamkan penduduk
Aceh. Sebuah riwayat Aceh lainnya menyatakan, bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh
oleh seorang Arab bernama Syaikh Abdullah Arif sekitar tahun 506 H/1111 M.
Literatur kuno tulisan Buzurg bin Shahriyar Ar Ramhurmuzi yang berjudul Aja’ib Al
Hind, memberikan gambaran bahwa ada perkampungan Muslim yang dibangun di wilayah
Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan Islam Timur Tengah terus berlanjut, hingga
masa Umar bin Abdul Aziz. Ibnu Abdur Rabbih dalam Al ‘Iqd Al Farid, yang dikutip Azumardi
Azra dalam buku yang berjudul Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, menyebutkan adanya korespondensi yang berlangsung antara Raja Sriwijaya saat
itu, yakni Sri Indravarman dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal adil.[19]

BAB III
KESIMPULAN
1. Teori untuk mengungkap awal mula masuknya Islam di Indonesia ada 3:
a. Teori Gujarat: asal mula IslamIndonesia adalah Anak Benua India.
b. Teori Persia: asal mula Islam Indonesia adalah Tanah Persia
c. Teori Arabia: asal mula Islam Indonesia adalah Makkah dan Madinah.
2. Teori yang paling bisa dijadikan sebagai landasan adalah teori Makkah.

DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII,
(Jakarta: Kencana, 2013)
Sulasman, Sejarah Islam di Asa & Eropa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
http://www.republika.co.id, Senin, 28 September 2015 Pukul; 6:41

Anda mungkin juga menyukai