Anda di halaman 1dari 41

ASKEP MEDIKAL BEDAH DENGAN GANGGUAN SISTEM

PERNAFASAN PADA KASUS EFUSI PLEURA


Dosen Pengampu :Marthilda Supriyatna, Ners, M. Kep

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4

1. Baiq Eyin Wahyu Apriani


2. Elin Suryani
3. Puji Anggraini
4. Supiani
5. Herman

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG D3
MATARAM
2019

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah S.W.T. Atas segala limpahan rahmat, karunia dan
kekuatan dari nya sehingga makalah dengan judul“Efusi Pleura”dapat diselesaikan. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan pujian dan rasa syukur kepada nya sebanyak tinta yang
dipergunakan untuk menulis kalimatnya. Selawat dan salam kepada Rasulullah SAW.
Sebagai satu-satunya wujud dalam menjalankan aktivitas sehari hari di atas permukaan bumi
ini, juga kepada keluarga beliau, para sahabatnya dan orang-orang mukmin yang senantiasa
istiqamah meniti jalan hidup ini hingga akhir zaman dengan Islam sebagaisatu-satunya
agama yang diridhoi Allah s.w.t.
Terlalu banyak orang yang berjasa dan terlalu banyak orang yang mempunyai andil
kepada penulis selama menyelesaikan makalah ini Kepada mereka tanpa terkecuali, penulis
menghaturkan terima kasih. Semoga menjadi ibadah amal bagi pembaca. Amin.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari segi bahasa, sistematika penulisan yang termuat di dalamnya. Oleh karena itu, kritikan
dan saran yang bersifat membangun.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………….i


DAFTAR ISI ii
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
2.1 Definisi efusi pleura 3
2.2 Etiologi 3
2.3 Patofisiologi 14
2.4 Manafikasi klinis 16
2.5 Pemeriksaan penunjang 16
2.6 Penatalaksanaan 16
2.7Komplikasi 18
BAB III 20
PEMBAHASAN 20
3.1 PENGKAJIAN 20
3.2DIAGNOSA 30
3.3INTERVENSI 31
3.4 IMPLEMENTASI 38
3.5 EVALUASI 39
BAB III 41
PENUTUP 41
3.1 Kesimpulan 41
3.2 Saran 41
DAFTAR PUSTAKA 42

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pleura adalah membrane tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan
cabang utama bronkus, arteri dan vena brakialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara
histologist kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler
dan pembuluh getah bening
Pleura seringkali mengalami pathogenesis seperti terjadinya efusi cairan, misalnya
hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi, hemotoraks bila rongga pleura berisi
darah, kilotoraks (cairan limfe), piotoraks atau empiema thoracis bila berisi nanah,
pneumotoraks bila berisi udara
Penyebab dari kelainan patologi pada rongga pleura bermacam-macam, terutama karena
infeksi tuberkulosis atau non tuberculosis, keganasan, trauma dan lain-lain. Efusi pleura
merupakan salah satu kelainan yang mengganggu sistem pernapasan. Efusi pleura bukanlah
diagnosis dari suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu
penyakit. Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan di rongga
pleura, jika kondisi ini dibiarkan akan membahayakan jiwa
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus efusi pleura di seluruh
dunia cukup tinggi menduduki urutan ketiga setelah kanker paru, sekitar 10-15 juta dengan
100-250 ribu kematian tiap tahunnya. Efusi pleura suatu disease entity dan merupakan suatu
gejala penyakit yang serius yang dapat mengancam jiwa penderita. Tingkat kegawatan pada
efusi pleura ditentukan oleh jumlah cairan, kecepatan pembentukan cairan dan tingkat
penekanan paru .Efusi pleura menempati urutan ke empat distribusi 10 penyakit terbanyak
setelah kanker paru yaitu dengan jumlah 76 dari 808 orang dengan prevalensi 9,14%
Berdasarkan data yang dilaporkan Departemen Kesehatan tahun 2006 menyebutkan di
Indonesia kasus efusi pleura 2,7 % dari penyakit infeksi saluran napas dengan Case Fatality
Rate (CFR) 1, Sedangkan Sulawesi Selatan dilaporkan kejadian efusi pleura 16 % dari
penderita infeksi saluran napas.Tingginya kasus efusi pleura disebabkan keterlambatan
penderita untuk memeriksakan kesehatan sejak dini sehingga menghambat aktivitas sehari-
hari dan kematian akibat efusi pleura masih sering ditemukan.4,5.Oleh karena ada
peningkatan jumlah penderita maka menjadi masalah khusus untuk kita semua, terutama bagi
dunia keperawatan karena efusi pleura masih menjadi masalah kesehatan yang tinggi,
sehingga masalah kesehatan ini harus segera ditangani dengan serius

2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Efusi pleuras?
2. Bagaimana patofisiologi efusi pleura ?
3. Bagaimana menifikasi klinis dari efusi pleura?
4. Bagaimana penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi?
5. Bagaimana asuhan keperawatan tentang efusi pleura?
6. Bagaimana diagnosa efusi pleura?
7. Bagaimana implementasi efusi pleura?
8. Bagaimana Evaluasi dari efusi pleura?

3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari efusi pleura.
2. Untuk mengetahui bagaimana menifikasi klinis dari efusi pleura.
3. Untuk mengetahui menifikasi klinis dari efusi pleura.
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan tentang efusi pleura.
6. Untuk mengetahui diagnosis efusi pleura
7. Untuk mengetahui bagaimana implementasi dari efusi pleura.
8. Untuk mengetahui Evaluasi dari efusi pleura.
BAB II
PENDAHULUAN

A.KONSEP TEORITIS

2.1 Definisi

Efusi Pleura adalah suatu keadaan ketika rongga pleura dipenuhi oleh cairan (terjadi
penumpukan cairan dalam rongga pleura) (Somantri, 2009). Menurut Smeltzer dan Bare
efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak diantara
permukaan viseral dan parietal, adalah proses penyakit primer yang jarang terjadi tetapi
biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Definisi lain dari efusi pleura
merupakan suatu kelainan yang mengganggu sistem pernapasan. Efusi pleura bukanlah
diagnosis dari suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu
penyakit (Muttaqin,2008). Efusi pleura merupakan keadaan terdapat cairan dalam jumlah berlebihan
didalam rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga ini hanya berisi sedikit cairan (5 sampai 15 ml)
ekstrasel yang melumasi permukaan pleura. Peningkatan produksi atau penurunan pengeluaran cairan
akan mengakibatkan efusi pleura (Kowalak, 2011).
Jadi efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam rongga pleura yang terletak
diantara permukaan visceral, parietal, adalah proses penyakit primer yang yang jarang terjadi
tetapi biasanya menurunkan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.

2. Etiologi :
 Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah transudat.
Transudat terjadi apabila terjadi ketidak seimbangan antara tekanan kapiler hidrostatik dan
koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura melebihi reabsorbsinya
oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
 Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang berbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi
proses peradangan maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga
sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboid dan terjadi pengeluaran cairan dalam
rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling sering adalah mikobakterium
tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat
dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening ini (misalnya pada
pleuritis tuberculosis) akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura,
sehingga menimbulkan eksudat.
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat,
eksudat dan hemoragik (Muttaqin, 2008):
1. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung
kiri) sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindroma vena kava
superior, tumor dan sindrom Meigs.
2. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi,
dan penyakit kolagen.
3. Efusi hemoragik dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
tuberkulosis dan kanker paru.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya akan tetapi efusi bilateral ditemukan pada penyakit kegagalan jantung
kongestif, sindrom nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus sistemik, tumor dan TB.
penyakit yang dapat menyebabkan efusi pleura (perhimpunan dokter spesialis penyakit
dalam, 2009):
1. Pleuritis karena Virus dan Mikoplasma
Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang.bila terjadinya jumlahnya tidak
banyak dan kejadiannya hanya sepintas saja. Jenis-jenis virusnya adalah echo virus,
Coxsackie group, Chlamydia, rickettsia dan mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan
berisi leukosit antara 100-6.000 per cc. Gejala penyakit dapat dengan sakit kepala, demam
malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut. Kadang-kadang ditemukan juga gejala perikarditis.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan virus dalam cairan efusi dan mendeteksi antibodi
terhadap virus dalam cairan efusi.

2. Pleuritis karena Bakteri Piogenik

Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan parenkim
paru dan menyebar secara hematogen dan jarang melalui penetrasi diafragma, dinding dada,
atau esofagus.
Aerob: streptococcus pneumonia, streptococcus milleri, stafilokokus aureus,
haemophilus spp, escherichia coli, klebsiella, pseudomonas spp.
Anaerob: bacteroides spp, peptostreptokokus, fusobacterium. Pemberian kemoterapi
dengan ampisilin 4x1 gram dan metronidazol 3x500 mg hendaknya sudah dimulai sebelum
kultur dan sensitivitas bakteri didapat.terapi lain yang lebih penting adalah mengalirkan
cairan efusi yang terinfeksi tersebut keluar dari rongga pleura yang efektif.

3. Pleuritis Tuberculosa

Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang serosantokrom dan bersifat eksudat.
Penyakit ini kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya
perkijuan ke arah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau kolumna
vertebralis. Dapat juga secara hematogen yang menimbulkan efusi pleura bilateral. Cairan
efusi yang biasanya serous, kadang bisa juga hemoragik. Jumlah leukosit antara 500-2.000
per cc. Mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit.
Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman Tuberkulosis, tapi adalah karena reaksi
hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein. Pada dinding pleura dapat ditemukan adanya
granuloma.
Diagnosis utama berdasarkan adanya kuman tuberkulosis dalam cairan efusi (biakan)
atau dengan biopsi jaringan pleura. Pada daerah-daerah dimana frekuensi tuberculosis paru
tinggi dan terutama pada pasien usia muda, sebagian besar efusi pleura adalah karena
pleuritis tuberkulosa walaupun tidak ditemukan adanya granuloma pada biopsi jaringan
pleura.
Pengobatan dengan obat-obatan anti tuberculosis ( rifampisin, INH,
Pirazinamid/etambutol,/streptomisin ) memakan waktu 6-12 bulan. Pengobatan ini
menyebabkan cairan efusi dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkannya eksudat ini
dengan cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan di resolusi dengan sempurna
tapi kadang-kadang dapat diberikan kortikosteroid secara sistematik. ( prednisone 1 mg/kg
BB selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan secara perlahan ).

1. Pleuritis Fungi
Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi dari jaringan paru. Jenis fungi
penyebab pleuritis adalah: Aktinomikosis, Coccidiomycosis, Aspergillus, Kriptokokus, dll.
Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap
organisme fungi. Penyebaran fungi ke organ tubuh lain alamat jarang. Pengobatan dengan
amfoterisin B memberikan respons yang baik. Prognosis penyakit ini relatif baik.

2. Pleuritis Parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura adalah amoeba. Bentuk
tropozoitnya datang dari parenkim hati menembus diafragma terus ke parenkim paru dan
rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi akibat peradangan. Disamping ini dapat
juga terjadi empiema karena amoeba yang cairannya warna khas merah coklat. Disini parasit
masuk ke rongga pleura secara migrasi dari parenkim hati. Bisa juga karena robekan dinding
abses amuba pada hati ke arah rongga pleura. Efusi parapneumonia karena amuba dari abses
hati sering terjadi daripada empiema amuba.
3. Efusi pleura karena kelainan intra abdominal.
Efusi pleura dapat terjadi karena steril karena reaksi infeksi dan peradangan yang terdapat
dibawah diafragma seperti pankreas atau eksaserbasi akut pankreatitis kronik, abses ginjal,
abses hati dan abses limpa.
Biasanya efusi terjadi karena pada pleura kiri tapi dapat juga bilateral. Mekanismenya adalah
karena perpindahan cairan yang mengandung enzim pankreas ke rongga pleura melalui
saluran getah bening. Efusi ini bersifat eksudat serosa, dan hemoragik. Kadar amilase dalam
efusi lebih tinggi daripada serum.
Efusi pleura juga sering 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti splenektomi, operasi
terhadap obstruksi intestinal atau pasca atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan jumlah
efusi tidak banyak. Cairan biasanya bersifat eksudat dan mengumpul pada sisi operasi
biasanya bersifat maligna dan kebanyakan akan sembuh secara spontan.
4. Sirosis hati
Efusi pleura dapat terjadi karena pasien dengan sirosis hati. Kebanyakan efusi pleura
timbul bersamaan dengan asites. Secara khas terdapat kesamaan antara cairan pleura dan
asites, karena terdapat hubungan fungsional antara rongga pleura dan rongga abdomen
melalui saluran getah bening atau jaringan otot diafragma. Kebanyakan efusi menempel
pleura kanan ( 70% ) dan bisa juga terjadi bilateral.
Torakosentesis kadang-kadang diperlukan untuk mengurangi sesak nafas tapi bila asistennya
padat sekali cairan pleura akan timbul lagi dengan cepat. Dalam hal ini perlu dilakukan terapi
peritoneocentesis di samping terapi dengan diuretic dan terapi terhadap penyakit asalnya.
5. Sindrom Meigh
Tahun 1937 Meig dan Cass menemukan penyakit tumor pada ovarium disertai asites dan
efusi pleura. Patogenesis ini masih belum diketahui betul. Bila tumor ovarium tersebut
dioperasi, efusi pleura dan asitesnya pun segera hilang. Adanya massa di rongga pelvis
disertai asites dan eksudat cairan pleura sering dikatakan sebagai neoplasma dan
metastasisnya.
6. Dialisis peritoneal
Efusi pleura dapat terjadi selama dan sesudah dilakukannya dialisis peritoneal. Efusi
terjadi pada salah satu paru maupun bilateral. Perpindahan cairan dialisat dari rongga pleura
terjadi melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan sesamanya komposisi antara cairan
pleura dengan cairan dialisat.
4. Efusi pleura karena kolagen
a. Lupus eritematosus
Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul belakangan pada penyakit lupus
eritematosus sistemik (SLE). Dengan terjadinya efusi pleura yang kadang-kadang
mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE ini menjadi lebih jelas. Hampir55% dari
SLE disertai pleuritis dan 25% daripada juga dengan efusi pleura.

b. Artritis reumatoide (RA).


Efusi pleura terdapat pada 5% RA selama masa sakit. Cairan efusi bersifat eksudat
serosa yang banyak mengandung limfosit. Faktor reumatoid mungkin terdapat dalam cairan
efusi tapi tidak patognomonik untuk RA, karena juga terdapat pada karsinoma, tuberkulosis
dan pneumonia. Kadar glukosa biasanya sangat rendah ( kurang dari 20%) malah tidak
terdeteksi sama sekali ( demikian juga pada tuberculosis dan karsinoma ). kadar kolesterol
dalam cairan efusi juga sering meningkat. Biopsi pada jaringan pleura bisa mendapat
granuloma yang seolah-olah seperti nodul rematik perifer. Umumnya efusi pleura pada RA
sembuh sendiri tanpa diobati tapi kadang-kadang diperlukan juga terapi kortikosteroid.
Demam reumatik akut sering juga ditemukan efusi pleura dengan sifat eksudat. Jumlah
cairan biasanya sedikit dan segera menghilang bila demam reumatiknya berkurang.
c. Scleroderma
Efusi pleura juga didapatkan pada penyakit skleroderma. Jumlah cairan efusinya tidak
banyak, tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura atau adhesi yang terdapat pada
75% pasien skleroderma.

5. Efusi pleura karena gangguan sirkulasi

a. Gangguan kardiovaskuler
Payah jantung adalah sebab banyak timbulnya efusi pleura. Penyebab lain:
perikarditis kontritiva dan sindrom vena cava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga
akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke pleura dan paru-paru meningkat.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga menyebabkan
efusi pleura yang bilateral tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya
lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan
jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretic, dll. Dan efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila pasien amat sesak.
b. Emboli pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal. Keadaan ini dapat
disertai dengan infark paru ataupun tanpa infark. Emboli dapat menyebabkan menurunnya
aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi iskemia maupun kerusakan parenkim paru
dan memberikan peradangan dengan efusi yang berdarah ( warna merah). Pada bagian paru
yang iskemik terdapat juga kerusakan pleura viseralis, keadaan ini kadang-kadang disertai
pleuritik yang berarti pleura parietalis juga ikut terkena. Disamping itu permeabilitas antara
satu ataupun kedua bagian pleura meningkat, sehingga cairan efusi mudah terbentuk. Adanya
nyeri pleuritik dan efusi pleura pada emboli pulmonal tidak berarti infark
Paru juga harus terjadi. Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya tidak banyak
dan biasanya sembuh secara spontan. Efusi pleura dengan infark paru jumlah cairan efusinya
lebih banyak dan waktu penyembuhan juga lebih lama. Pengobatan ditujukan terhadap
emboli nya yakni dengan memberikan obat antikoagulan dan mengontrol keadaan
trombositnya.
c. Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti sindrom nefrotik,
malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta edema anasarka. Efusi ini terjadi karena
rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik
darah. Efusi ini terjadi kebanyakan bilateral dan cairannya bersifat transudat. Pengobatan
adalah dengan memberikan diuretic dan restriksi pemberian garam. Pengobatan yang terbaik
adalah dengan memberikan infus albumin.
6. Efusi pleura neoplasma

Neoplasma primer atau sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura dan umumnya
menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak nafas dan
nyeri dada. Gejala lain adalah akumulasi cairan nya kembali dengan cepat walaupun
dilakukan torakosentesis berkali-kali.
Efusi bersifat eksudat tapi sebagian kecil (10%) bisa sebagai transudat. Warna efusi
bisa serosantokrom ataupun hemoragik (terdapat lebih dari 100.000 sel eritrosit per cc). Di
Dalam cairan ditemukan sel-sel limfosit (yang dominan 0 dan banyak sel mesotelial.
Pemeriksaan sitologi terhadap jenis-jenis neoplasma.
Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi pleura pada neoplasma yakni:
 Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura terhadap
air dan protein.
 Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh darah vena
dan getah bening sehingga rongga pleura gagal dalam memindahkan cairan dan
protein.
 Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya timbul
hypoproteinemia
Efusi pleura karena neoplasma biasanya unilateral tetapi bisa juga bilateral karena
obstruksi saluran getah bening, adanya metastasis dapat mengakibatkan pengaliran cairan
dari rongga pleura via diafragma. Keadaan efusi pleura dapat bersifat maligna. Keadaan ini
ditemukan 10-20% karsinoma bronkus, 8% dari limfoma maligna dan leukemia. jenis-jenis
neoplasma yang menyebabkan efusi pleura:

a. Mesotelioma
Mesothelioma adalah tumor primer yang berasal dari pleura. Tumor ini jarang
ditemukan bila tumor masih terlokalisasi biasanya tidak menimbulkan efusi pleura sehingga
dapat digolongkan sebagai tumor jinak. Sebaliknya bila ia tersebar ( difus )digolongkan
sebagai tumor ganas karena dapat menimbulkan efusi pleura yang maligna.
b. Karsinoma bronkus
Jenis karsinoma ini adalah yang terbanyak menimbulkan efusi pleura. Tumor bisa
ditemukan dalam permukaan pleura karena penjalaran langsung dari paru-paru melalui
pembuluh getah bening. Efusi dapat juga terjadi tanpa adanya pleura yang terganggu yakni
dengan cara obstruksi pneumonitis atau menurunnya aliran getah bening. Terapi operasi
terhadap tumornya masih dapat dipertimbangkan tetapi bila pada pemeriksaan sitologi sudah
ditemukan cairan pleura pasien tidak dapat dioperasi lagi. Untuk mengurangi keluhan sesak
nafasnya dapat dilakukan torakosentesis secara berulang-ulang. Tapi sering timbul lagi
dengan cepat sebaiknya dipasang pipa torakotomi pada dinding dada ( risikonya timbul
empiema ).tindakan lain untuk mengurangi timbulnya lagi cairan adalah dengan pleurodesis
memakai zat-zat seperti tetrasiklin, talk, sitostatika, kuinakrin
c. Neoplasm metastatic
Jenis-jenis neoplasma yang sering bermetastasis kepleura dan menimbulkan efusinya
adalah karsinoma payudara (terbanyak , ovarium, lambung, ginjal, pankreas, dan bagian-
bagian organ lain dalam abdomen. Efusi pada pleura yang terjadi dapat bilateral. Gambaran
foto mungkin tidak terlihat bayangan metastasis di jaringan baru karena implantasi dapat
mengenai pleura viseralis saja. Pengobatan terhadap neoplasma metastatic ini sama dengan
karsinoma bronkus yakni dengan kemoterapi dan penanggulangan terhadap efusi pleuranya.
d. Limfoma maligna
Kasus-kasus limfoma maligna ( non Hodgkin dan Hodgkin ) ternyata 30% bermetastasis
ke pleura dan juga menimbulkan efusi pleura. Di Dalam cairan efusi tidak selalu terdapat
sel-sel ganas seperti pada neoplasma lainnya. Biasanya ditemukan sel-sel limfosit karena sel
ini ikut dalam aliran darah dan aliran getah bening melintasi rongga pleura. Diantara sel-sel
lain yang bermigrasi inilah kadang-kadang ditemukan sel-sel yang ganas limfoma malignum.
Terdapat beberapa jenis efusi berdasarkan penyebabnya yakni:
 Bila efusi terjadi dari implantasi sel-sel limfoma pada permukaan pleura,
cairannya adalah eksudat berisi sel limfosit yang banyak dan sering
hemoragik.
 Bila efusi terjadi karena obstruksi saluran getah bening, cairannya bisa
transudat atau eksudat dan ada limfosit.
 Bila efusi terjadi karena obstruksi duktus torasikus, cairannya akan
berbentuk pilus.
 Bila efusi terjadi karena infeksi pleura pada pasien limfoma maligna karena
menurunnya resistensi terhadap infeksi, efusi akan berbentuk empiema akut
atau kronik.
Seperti pada neoplasma lainnya, efusi pleura yang berulang (efusi maligna ) pada
limfoma maligna kebanyakan tidak responsif terhadap tindakan trakeostomi dan instalasi
dengan beberapa zat kimia. Keadaan dengan efusi maligna ini mempunyai prognosis yang
buruk.

7. Efusi pleura karena sebab lain-lain

1. Trauma
Efusi pleura dapat terjadi akibat trauma yakni trauma tumpul, laserasi, luka tusuk pada
dada, rupture esophagus karena muntah hebat atau karena pemakaian alat waktu tindakan
esofagoskopi. Jenis cairan dapat berupa serosa ( eksudat/transudat ), hemotoraks, kilotoraks,
dan empiema. Analisis cairan efusi dapat menentukan lokalisasi trauma, misal pada ruptur
esophagus kadar pH nya rendah ( lebih kurang 6,5 ) karena terkontaminasi dengan asam
lambung, kadar amilase dalam cairan pleura meningkat karena adanya air ludah ( saliva )
yang tertelan dan masuk kedalam rongga pleura.
2. Uremia
Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah polyserositis yang terdiri dari efusi
pleura, efusi perikardium, dan efusi peritoneal (asites). Mekanisme penumpukan cairan ini
belum diketahui betul tapin diketahui dengan timbulnya eksudat terdapat peningkatan
permeabilitas jaringan pleura, perikard atau peritoneum. Yang agak unik adalah cairan masih
juga terjadi walaupun pasien menjalani hemodialisis kronik ( uremia nya berkurang ). Disini
cairan malah dapat berubah dari serosa menjadi hemoragik dan seterusnya terjadi konstriktif
pleura/pericardium. Asal darah tidak jelas betul tapi diperkirakan karena efek
antikoagulan/heparin pada pleura/pericardium. Bila sudah terjadi konstriktif
pleura/pericardium penatalaksanaannya adalah dengan dekortikasi. Sebagian besar efusi
pleura karena uremia tidak memberikan gejala yang jelas seperti sesak nafas, sakit dada atau
batuk. Jumlah efusi bisa sedikit atau banyak, unilateral atau bilateral.. kadang-kadang dengan
dialysis yang teratur efusi dapat terserap perlahan-lahan. Torakosentesis sewaktu-waktu
masih diperlukan.
3. Miksedema
Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagai bagian dari penyakit miksedema.
Efusi dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama. Cairan bersifat eksudat dan
mengandung protein dengan konsentrasi tinggi. Limfedema secara kronik dapat terjadi pada
tungkai, muka, tangan dan efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Beberapa
pasien dapat juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan. Patogenesis efusi pleura
bersifat eksudat ini belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya kegagalan aliran
getah bening. Di Daerah timur tengah terutama pada bangsa yahudi penyakit diturunkan
sebagai secara autosomal resesif dari orang tua ke anaknya.
Gejala penyakit berupa serangan demam yang berulang, rasa sakit abdominal dan pleuritis.
Pleuritis disini dapat memberikan rasa nyeri pleuritik dan efusi pleura. Pengobatan bersifat
suportif saja dan operasi sebaiknya dihindarkan.
4. Reaksi hipertensif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofurantoin,metil sergid, practolol kadang-kadang memberikan
reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura berupa radang dan kemudian juga akan
menimbulkan efusi pleura. Bila proses menjadi kronik bisa terjadi fibrosis paru atau pleura.
Pengobatan dengan hidrazin, prokainamid dan kadang-kadang dengan difenilhidantoin dan
isoniazid sering juga menimbulkan pleuritis dan perikarditis. Radang dan efusi yang timbul
dapat menghilang bila pemberian obat-obatan tersebut dihentikan.

3. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura bergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotic plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial
masuk kedalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar
pleura. Pada umumnya efusi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat),
sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi
yang berhubungan dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura
parietalis sekunder (akibat samping )terhadap peradangan atau adanya neoplasma.
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi
empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat
menyebabkan hemotoraks. Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat
pleura parietalis sehingga udara akan masuk kedalam rongga pleura. Proses ini sering
disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi
seperti pada pasien emfisema paru.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer
paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialysis peritoneum,
hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan , atelektasis
paru dan pneumotoraks .
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas
kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboid dan terjadi pengeluaran cairan dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa
yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai pleuritis
eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti para pneumonia, parasit(amuba, paragonimiasis,
ekinokokus), jamur, pneumonia atipik(virus, mikoplasma, fever, legionella), keganasan
paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis rheumatoid, sarkoidosis, radang
sebab lain seperti pancreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.
Klien dengan pleura normal pun dapat terjadi efusi pleura ketika terjadi payah/gagal
jantung kongestif. Saat jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal
keseluruh tubuh maka akan terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang
selanjutnya timbul hipertensi kapiler sistemik dan cairan yang berada dalam pleura, ditambah
dengan adanya penurunan reabsorbsi cairan tadi oleh kelenjar limfe pleura mengakibatkan
penggumpalan cairan yang abnormal/berlebihan. Hipoalbuminemia (misal pada klien
nefrotik sindrom, malabsorbsi natau keadaan lain dengan asites dan edema anasarka) akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentukan cairan pleura dan reabsorpsi yang
berkurang. Hal tersebut dikarenakan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskular
yang mengakibatkan cairan akan lebih mudah masuk kedalam rongga pleura.
Luas efusi yang mengancam volume paru, sebagian akan bergantung pada kekakuan
relatif paru dan dinding dada. Pada volume dalam batas pernafasan normal dinding dada
cenderung recoil keluar sementara paru-paru cenderung untuk recoil kedalam.
Pathway/WOC
4. Manifestasi Klinik
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul
ataupun penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat tajam dan
semakin memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa penderita
tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:
a. batuk kadang berdarah
b. demam, menggigil
c. demam subfebril (pada TB)
d. pernafasan yang cepat
e. Lemas progresif disertai penurunan BB
f. Asites (pada sirosis hati)
g. Asistesis dengan tumor di pelvis (pada sindrom meig)

5. Pemeriksaan Penunjang

a. Rontgen foto thorax


b. Ultrasonografi
c. CT-scan dada
d. Torakosentesis (aspirasi cairan pleura)
e. Biopsy pleura
f. Pemeriksaan tambahan (bronkoskopi,pleuroscopy)

2.6 Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Tujuan pengobatan adalah untuk menemukan penyebab yang mendasari untuk
mencegah penumpukan kembali cairan, dan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman serta
dispnea. Pengobatan spesifik diarahkan pada penyebab yang mendasari.
1. Torasentesis, ditujukan untuk pengobatan penyakit dasar dan pengosongan cairan.
Indikasi untuk melakukan torakosentesis adalah:
a. menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam
rongga pleura,
b. bila terapi spesifik pada penyakit primer tidak efektif atau gagal,
c. bila terjadi akumulasi cairan.

2. Selang dada dan drainase water –seal mungkin diperlukan untuk pneumotoraks
(kadang merupakan akibat torasentesis berulang).
Water Seal Drainase

WSD (Water Seal Drainage) adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk
mengeluarkan udara dan cairan melalui selang dada.
Indikasi :
 Pneumotoraks karena ruptured bleb, luka tusuk tembus.
 Hemothorax karena robekan pleura, kelebihan antikoagulan, pasca bedah
thorax
 Efusi pleura
 Empiema Karena penyakit paru serius dan kondisi inflamasi

Tujuan pemasangan WSD:


 Untuk mengeluarkan udara, cairan atau darah rongga pleura.
 Untuk mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura.
 Untuk mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian.
 Untuk mencegah reflex drainase kembali kedalam rongga dada.

Tempat pemasangan WSD:


a. Apical
Letak selang pada interkosta III mid klavikula
Dimasukkan secara antero lateral
Fungsi untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura

b. Basal
Letak selang pada interkostal V-V1 atau interkostal VIII-IX mid aksiller
Fungsi: untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura

Jenis WSD:

1. Sistem 1 botol .sistem drainase ini paling sederhana dan sering digunakan pada
pasien dengan simple pneumotoraks
2. Sistem dua botol pada system ini tol pertama mengumpulkan cairan/drainase dan
botol kedua adalah botol water seal
3. Sistem tiga botol , botol penghisap control ditambahkan ke sistem dua
botol.sistem tiga botol ini paling aman untuk mengatur jumlah penghisapan.

Komplikasi pemasangan WSD:

1. Komplikasi primer: perdarahan, edema paru, tension pneumotoraks, atrial


arrhythmia
2. Komplikasi sekunder: infeksi, emfiema
3. Obat dimasukkan ke dalam ruang pleural untuk mengobliterasi ruang pleura
dan mencegah penumpukan cairan lebih lanjut.
4. Modalitas pengobatan lainnya: Radiasi dinding dada, operasi pleurektomi
dan terapi diuretic.
7. Komplikasi

1. Gagal jantung kongestif

Kebocoran dari organ lain dapat menyebabkan efusi pleura. Ini biasa nya terjadi ketika
kamu mengalami gagal jantung kongestif.congestive ini ketika jantung tidak memompa
darah ke seluruh tubuh dengan benar.begitu juga oleh penyakit hati atau ginjal, yaitu
ketika cairan menumpuk di tubuh bocor ke dalam rongga pleura

2. Kanker

biasanya kanker paru paru adalah pemicu terjadinya efusi pleura tetapi jenis kanker lain
yang tak langsung bisa terhubung ke paru paru juga bisa menyebabkan pleura

3. Infeksi

Beberapa penyakit yang menyebabkan efusi pleura adalah pneumonia atau tuberculosis

4. Kondisi autoimun

Lupus atau rheumatoid arthritis adalah beberapa penyakit yang juga bisa menjadi pemicu

5. Emboli

Ini adalah penyumbatan di arteri salah satu paru paru yang dapat menyebabkan efusi
pleura.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Asuhan Keperawatan

Pemberian Asuhan Keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan

hubungan kerjasama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat

kesehatan yang optimal

Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut

yaitu proses keperawatan. Proses keperawatan dipakai untuk membantu perawat dalam

melakukan praktek keperawatan secara sistematis dalam mengatasi masalah keperawatan

yang ada, dimana keempat komponennya saling mempengaruhi satu sama lain yaitu :

pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang membentuk suatu mata rantai

1. Pengkajian

Pengumpulan Data

Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :

a. Identitas Pasien

Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin,

alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai,

status pendidikan dan pekerjaan pasien.

b. Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari

pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan efusi

pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri
pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokalisir terutama pada

saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dengan efusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda

seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan

menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu

muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau

menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru,

pneumonia, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan

untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-

penyakit yang disinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti Ca paru, asma,

TB paru dan lain sebagainya.

f. Riwayat Psikososial

Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara

mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang

dilakukan terhadap dirinya.

g. Pemeriksaan fisik
.
head toe toe

organ Inspeksi palpasi perkusi auskultasi


1. Kepala - Bentuk simetris tidak ada nyeri tekan

- Tidak terlihat
adanya lesi

- Penyebaran
2. Rambut rambut merata

- warna rambut
hitam

- Rambut
berminyak

- Konjungtiva
anemis
- tidak ada
- sklera tidak nyeri tekan
3. Mata
ikterik

- pupil isokor

- tidak ada edema

- tidak ada lesi

- Tidak ada
pergerakan cuping
hidung -tidak ada nyeri tekan
- Tidak ada lesi
4. Hidung
-Tidak ada edema

- tidak ada push lip


breathing

- tidak ada secret

-tidak ada polip


-Bentuk dan
letak

simetris

-bibir tampak

kering
5. Mulut
-gigi tampak

kuning

-tampak kotoran

disela-sela gigi

-mulutnya bau

-tampak pecah

-bentuk dan letak

Simetris
Tidak ada nyeri tekan
-daun telinga

Elastic
6. Telinga
-tidak ada

serumen

-warna kulit sama

dengan

sekitarnya

- terdapat

pembesaran -Tidak ada nyeri tekan

vena jugularis
- terdapat

7. Leher penggunaan otot

sternomastoid

-asimetris(dada

kiri lebih besar)

-terdapat tarikan

dinding dada

-tidak ada lesi

-tidak ada udem

-terdapat bantu

pernapasan -Taktil fremitus redup


di interkosta
dibagian sterno
ke 2-4 bagian
-iga mendatar
kiri
di sebelah kiri
-terdapat nyeri tekan
8. Dada - ruang antar iga pada dada sebelah kiri -Suara redup di -Terdapat
dengan skala 3 dari interkosta ke-2 suara
melebar pada skala 0-5 sampai ke-4
dibagian kiri ronki
dada sebelah -pergerakan paru kanan basah di
lebih aktif,paru kiri -terdapat suara
kiri tertinggal resonan paru-paru
disebelah kanan
5 5 sebelah
kiri

-terdapat
5 5 Tidak ada nyeri tekan suara

vasikuler
di
paru-paru
kanan
-Turgor kulit

kembelai dalam

2 detik -Kulit terasa hangat

-tekstur kulit

Halus

-terdapat bekas

9. Sistem tusukan infus di


muskuloskeletal
ekstremitas atas

bagian kiri dan

kanan.

System
10. integumen
1. Status Kesehatan Umum

Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum,

ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap

petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan

pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan pasien.

2. Sistem Respirasi

Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga

mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan

mediastinum ke arah hemithorax kontralateral yang diketahui dari posisi trakea dan ictus

cordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya dyspnea.

Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc.

Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal

pada dada yang sakit.

Suara perkusi redup sampai peka tergantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak

mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis

lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini

disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang

jelas di punggung.

Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin

ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkim paru,

mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar

batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i – e artinya bila penderita diminta

mengucapkan kata-kata i maka akan terdengar suara sengau, yang disebut egofoni
3. Sistem Cardiovascular

Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS –

5 pada linea mid clavicula kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk

mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi

jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut

jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi untuk

menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan

untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri. Auskultasi untuk

menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III

yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan

adanya peningkatan arus turbulensi darah.

4. Sistem Pencernaan

Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi

perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di

inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.

Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35

kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, ada

massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien,

apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba. Perkusi abdomen normal tympanic,

adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika

urinaria, tumor).
5. Sistem Neurologis

Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan

GCS. Adakah compos mentis dan somnolen atau comma. refleks patologis, dan bagaimana

dengan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti

pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.

6. Sistem Muskuloskeletal

Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema pretibial, palpasi pada kedua

ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemeriksaan capillary refil

time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian

dibandingkan antara kiri dan kanan.

7. Sistem Integumen

Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit,

pada Px dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem

transport O . Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat,
2

demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui

derajat hidrasi seseorang.

h. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan medis dan laboratorium

1. Pemeriksaan Radiologi

Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa

terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan kostofrenikus.

Pada efusi pleura subpulmonal, meski cairan pleura lebih dari 300 cc,
frenicocostalis tampak tumpul, diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikan

dilakukan dengan foto thorax lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus) ini akan

memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit (Hood Alsagaff, 1990,

786-787).

2. Biopsi Pleura

Biopsi ini berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura dengan melalui biopsi

jalur percutaneous. Biopsi ini digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau

kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura)

i. Pemeriksaan Laboratorium

Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :

a. Pemeriksaan Biokimia

Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya

dapat dilihat pada tabel berikut :

Transudat Eksudat

Kadar protein dalam effusi 9/dl <3 >3

Kadar protein dalam effusi < 0,5 > 0,5

Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam effusi (1-U) < 200 > 200

Kadar LDH dalam effusi < 0,6 > 0,6

Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016

Rivalta Negatif Positif


Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan juga cairan

pleura :

 Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, arthritis

rheumatoid dan neoplasma

 Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan metastasis

adenocarcinoma

b. Analisa cairan pleura

 Transudat : jernih, kekuningan

 Eksudat : kuning, kuning-kehijauan

 Chylothorax : putih seperti susu

 Empiema : kental dan keruh

 Empiema anaerob : berbau busuk

 Mesotelioma : sangat kental dan berdarah

c. Perhitungan sel dan sitologi

Leukosit 25.000 (mm ):empiema 3

Banyak Neutrofil : pneumonia, infark paru, pankreatitis, TB paru

Banyak Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.

Eosinofil meningkat : emboli paru, poliarteritis nodosa, parasit dan jamur

Eritrosit : mengalami peningkatan 1000-10000/ mm cairan tampak kemorogis,


3

sering dijumpai pada pankreatitis atau pneumonia. Bila eritrosit > 100000

(mm menunjukkan infark paru, trauma dada dan keganasan.


3

Misotel banyak : Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.


Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat ditemukan sel ganas.

Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat

mekanisme obstruksi, preamonitas atau atelektasis

d. Bakteriologis

Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneumo coccus, E-

coli, klebsiella, pseudomonas, enterobacter. Pada pleuritis TB kultur cairan

terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai

20 %

II. ANALISA DATA

NO. DATA INTERPRETASI MASALAH


DATA

1. DS : Klien mengatakan Penurunan ekspansi Pola nafas


sesak paru-paru tidak efektif
DO : Klien terlihat
kelelahan, RR=35x
permenit, terdapat
cuping hidung Sesak

Pola nafas tidak


efektif

2. DS : Klien mengatakan Iritasi pleura Nyeri


nyeri dada
DO : Klien terlihat Terangsangnya
menyeringis, skala nyeri saraf intra thorax
5 (skala 0-10)
Nyeri
3. DS : Klien mengatakan Drainase thorax Resiko trauma
tidak nyaman dengan
pemasangan kateter Pemasangan kateter
thorax thorax

DO : klien terlihat
bergerak tidak nyaman
Tidak nyaman

Resiko Trauma

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Diagnosa Keperawatan

Penentuan diagnosa keperawatan harus berdasarkan analisa data dari hasil pengkajian,

maka diagnosa keperawatan yang ditemukan di kelompokkan menjadi diagnosa aktual,

potensial dan kemungkinan.

Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan efusi pleura

antara lain :

1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru

sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan Martin Tucker,

dkk, 1998).

2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sehubungan

dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu makan akibat sesak nafas

sekunder terhadap penekanan struktur abdomen

3. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan

(ketidakmampuan untuk bernafas).

4. Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan sesak

nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).


5. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan

(keadaan fisik yang lemah

6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurang

terpajan informasi

2. Intervensi

Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, dibuat rencana tindakan untuk mengurangi,

menghilangkan dan mencegah masalah klien.(Budiana Keliat, 1994, 16)

1. Diagnosa Keperawatan I

Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru

sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.

Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal

Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada

pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas

terdengar jelas.

Rencana tindakan :

a. Identifikasi faktor penyebab.

Rasional : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis

efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.

b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan

yang terjadi.
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat

mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.

c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat

tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.

Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa

maksimal.

d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).

Rasional : Peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.

e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.

Rasional : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru.

f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.

Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot

dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.

g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O dan obat-obatan serta foto thorax.
2

Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya

sianosis akibat hipoksia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya

cairan dan kembalinya daya kembang paru.

2. Diagnosa Keperawatan II

Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan

peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil : Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan, berat badan normal dan hasil

laboratorium dalam batas normal.


Rencana tindakan :

a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi.

Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya,

agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.

b. Auskultasi suara bising usus.

Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan

pada fungsi pencernaan.

c. Lakukan oral hygiene setiap hari.

Rasional : Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.

d. Sajikan makanan semenarik mungkin.

Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.

e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.

Rasional : Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan

memudahkan reflek.

f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian diit TKTP

Rasional : Diet TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan

antibodi karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.

g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium

albumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya (zevit, ensure, social,

pulmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.

Rasional : Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak

dalam tubuh.
3. Diagnosa Keperawatan III

Cemas atau ketakutan sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan

(ketidakmampuan untuk bernafas).

Tujuan : Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi

kecemasan.

Kriteria hasil : Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi

dengan keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai, nafas teratur

dengan frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali permenit.

Rencana tindakan :

a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowler.

Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya.

Rasional : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak

kerjasama dalam perawatan.

a. Ajarkan teknik relaksasi

Rasional : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan

b. Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.

Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat

dalam mengatasi stress.

c. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Rasional :

Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik

d. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.

Rasional : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien

dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.


e. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.

Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi

dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.

4. Diagnosa Keperawatan IV

Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan nyeri

pleuritik.

Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.

Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa

mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan

pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.

Rencana tindakan :

a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien.

Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar

peredaran O dan CO .
2 2

b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien

sebelum dirawat.

Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan

mengganggu proses tidur.

c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.

Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.

d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien.

Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi

pasien.
5. Diagnosa Keperawatan V

Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan

(keadaan fisik yang lemah).

Tujuan : Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.

Kriteria hasil : Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan

bersemangat, personal hygiene pasien cukup.

Rencana tindakan :

a. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat aktivitas

serta adanya perubahan tanda-tanda vital.

Rasional : Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.

a. Bantu Px memenuhi kebutuhannya.

Rasional : Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.

b. Awasi Px saat melakukan aktivitas.

Rasional : Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan selanjutnya.

c. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.

Rasional : Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.

d. Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan

istirahat.

Rasional : Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.

e. Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap.

Rasional : Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu mengembalikan

pasien pada kondisi normal.


6. Diagnosa Keperawatan VI

Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurangnya

informasi.

Tujuan : Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan.

Kriteria hasil :

a. Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.

b. PX dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi

medik.

c. Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup

yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.

Rencana tindakan :

a. Kaji patologi masalah individu.

Rasional : Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan

dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.

b. Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang.

Rasional : Penyakit paru yang ada seperti PPOK berat, penyakit paru infeksi dan keganasan

dapat meningkatkan insiden kambuh.

c. Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri dada

tiba-tiba, dispenda, distress pernafasan).

Rasional : Berulangnya efusi pleura memerlukan intervensi medik untuk mencegah,

menurunkan potensial komplikasi.

d. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan).
Rasional : Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat

mencegah kekambuhan.

3. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap

pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana

keperawatan diantaranya :

Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ;

keterampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien

pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta

dokumentasi intervensi dan respon pasien.

Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana

intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang

muncul pada pasien

4. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah

kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan

anggota tim kesehatan lainnya.

Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan

tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (YUS. Midar H, dkk,

1989).

Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien :

a. Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.


b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.

c. Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.

d. Dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri sehari-hari untuk mengembalikan

aktivitas seperti biasanya.

e. Menunjukkan pengetahuan dan gejala-gejala gangguan pernafasan seperti sesak

nafas, nyeri dada sehingga dapat melaporkan segera ke dokter atau perawat yang

merawatnya.

f. Mampu menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan.

g. Menunjukkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang berhubungan dengan

penatalaksanaan kesehatan, meliputi kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi kesehatan

seperti merokok, minum minuman beralkohol dan pasien juga menunjukkan pengetahuan

tentang kondisi penyakitnya.


BAB IV
PENUTUP

1. Kesimpulan

Efusi pleura merupakan pengumpulan cairan dalam spasium pleural yang terletak di
antara permukaan viseral dan parietal. Efusi pleura adalah proses penyakit primer yang
jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. Efusi
pleura mungkin merupakan komplikasi gagal jantung kongestif, tuberkulosis, pneumonia
infeksi paru (terutama virus), sindrom nefrotik, penyakit jaringan ikat, dan tumor neoplastik.
Karsinoma bronkogenik adalah malignansi yang paling umum berkaitan dengan efusi
pleura. Ukuran efusi akan menentukan keparahan gejala. Efusi pleura yang luas akan
menyebabkan sesak napas.

2. Saran

Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam makalah ini sehingga sedikit banyak
bisa menambah pengetahuan pembaca. Disamping itu kami juga mengharapkan saran dan
kritik dari para pembaca sehingga kami bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
NS. Andra safari wijaya, S. Kep NS. Yesi ssi mariza putrid, S.Kep. 2013.KMB 1
keperawatan medikal bedah (keperawatan dewasa). Bengkulu Nuha medika
https://www.scribd.com/doc/129560455/MAKALAH-ASKEP-EFUSI-PLEURA-docx

Anda mungkin juga menyukai