Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan juga merupakan organ yang
esensial dan vital karena memiliki berbagai fungsi dalam melindungi tubuh dari pengaruh
luar lingkungan serta sebagai cermin kesehatan dan kehidupan. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pelindung kulit dapat mengalami gangguan ataupun kelainan yang dapat
mengurangi manfaat kulit itu sendiri serta memberikan efek yang buruk bagi individu.1

Kelainan dermatologis dapat memberikan berbagai macam manifestasi. Salah satu


manifestasi umum dari kelainan tersebut adalah gatal atau dalam bahasa medis dikenal
dengan sebutan pruritus. Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi yang tidak
menyenangkan pada kulit yang menyebabkan keinginan untuk menggaruk.2,3

Pruritus dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu fakrtor eksogen maupun faktor
endogen. Selain itu, pruritus juga dapat terjadi karena adanya kelainan kulit ataupun karena
pengaruh dari penyakit sistemik lain yang dapat memberikan komplikasi gatal.1,3

International Forum For the Study of Itch mengelompokkan pruritus menjadi pruritus akut dan
kronik. Pruritus akut adalah pruritus dengan lama gejala kurang dari 6 minggu sedangkan
pruritus kronis memberikan gejala lebih dari 6 minggu.2

Prevalensi terjadinya pruritus sendiri masih tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan pada
populasi umum menyebutkan bahwa dari 18.747 responden sebanyak 35, 5% responden
mengalami pruritus atau gatal. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dari 200 sampel
yang diteliti 39,1% responden menyatakan pernah mengalami pruritus, yaitu 16,5%
responden mengalami pruritus kronis selama kurang dari 12 bulan dan 21,6% responden
mengalami pruritus kronis selama hidupnya.4

Pruritus selain memberikan sensasi yang tidak menyenangkan juga memberikan efek lain
seperti gangguan pola tidur, gangguan dalam berkonsentrasi, gangguan fungsi seksual dan
depresi. Efek yang lebih berat dari pruritus adalah efek psikis yang ditimbulkannya.5

Pruritus yang merupakan manifestasi umum dari kelainan dermatologis dengan preavalensi
kejadian yang masih tinggi serta efek yang ditimbulkannya membuat penulis tertarik untuk
membuat referat yang berkaitan dengan pruritus yang mengupas segala aspek tentang
pruritus baik dari penyebab, mekanisme terjadinya pruritus, manifestasi serta penatalaksnaan
pruritus.

1. TUJUAN
1. Tujuan Umum

Mahasiswa dapat mengetahui tentang kelainan dermatologis yaitu pruritus dan segala
macam aspek yang menyertainya

1. Tujuan khusus

1. Mahasiswa dapat mengetahui tentang etiologi atau penyebab pruritus baik yang berasal
dari kelainan dermatologis ataupun yang disebabkan karena penyakit sistemik lainnya
2. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme terjadinya pruritus, gejala serta pemeriksaan
yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
3. Mahasiwa mampu memberikan penatalaksanaan yang berkaitan dengan pruritus
4. Mahasiwa mengetahui kelainan dermatologis serta penyakit-penyakit sistemik lain yang
berhubungan dengan pruritus.

1. MANFAAT

1. Dapat mengetahui tentang pruritus dan hal-hal yang berkaitan dengan pruritus
2. Dapat menegakkan diagnosis yang berkaitan dengan pruritus
3. Dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat pada kejadian pruritus.

BAB II

PEMBAHASAN

2. Definisi

Pruritus dapat didefinisikan sebagai sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan
untuk menggaruk. Pruritus (gatal) merupakan gejala utama dari penyakit kulit yang menimbulkan
sensasi atau keinginan untuk menggaruk.1,3

Pruritus merupakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit yang menyebabkan keinginan untuk
menggaruk. Internasional Forum For the Study of Itch (IFSI) mengelompokkan pruritus menjadi
akut dan kronik, dengan lama gejala pruritus 6 minggu atau lebih. 6
Pruritus dapat merupakan manifestasi umum dari kelainan dermatologi seperti xerotic eczema,
dermatitis atopik, serta juga dapat merupakan akibat dari penyakit sistemik.2

2. Etiologi

Pruritus dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :

1. Faktor eksogen

Dermatitis kontak (pakaian, logam, benda asing), rangsangan oleh ektoparasit (serangga,
tungau, skabies, pedikulus, larva migrans), atau faktor lingkungan yang dapat membuat kulit
lembab atau kering.

2. Faktor endogan

Rekasi obat atau penyakit. Sebagai contoh adalah diskriasia darah, limfoma, keganasan alat
dalam, kelainan hepar atau ginjal. Namun sering karena penyebab klinis pada permulaan belum
diketahui.1

2. Epidemilogi

Epidemiologi berkaitan dengan kejadian pruritus dapat dilihat dari beberapa penelitian yang
dilakukan di beberapa negara seperti penelitian tahun 2000-2001 yang dilakukan di negara
bagian Oslo dengan menggunakan metode penelitian cross sectional.4

Prevalensi kejadian pruritus pada populasi umum (N:18.747)

The prevelance (itch


Itch (%)
yes/no)
Severity 8,4
Yes, a little 18,7
Yes, quite a lot 5,9
Very much 2,5

Tabel 2.1 Prevalensi Epidemiologi

Selain itu, penelitian juga dilakukan A German pilot study berkaitan dengan prevalensi kejadian
pruritus kronik (n:200) menunjukkan bahwa 16,5% sampel pernah mengalami pruritus kronik
kurang dari 12 bulan dan 22,6% mengalami pruritus kronik selama hidupnya.4

Prevalensi pruritus yang disebabkan oleh kelainan kulit dan penyakit kulit menular.3

Penyebab Estimasi prevalensi pruritus

17% dari populasi

Tidak diketahui

70% pada populasi penduduk US

30-60% pada populasi dewasa


Penyakit kulit
15-23% pada populasi US
Dermatitis atopik
Dermatitis kontak 80% dari 40.350 penderita psoriasis
Poison ivy
Xerosis idiopatik pada lansia Tidak diketahui
Urtikaria
Psoriasis Tidak diketahui
Pityriasis rosea
Dermatitis seborrheic Tidak diketahui
Neurodermatitis (liken simplex
kronikus, prurigo nodularis, liken
amyloidosis)
Pityriasis rubra pilaris Tidak diketahui
Dermatitis herpetiformis
110-588/juta/tahun
Penyakit pada kolagen

Dermatomyositis
38%
Infection

Varicella
HIV 4 juta kasus varicella di US setiap
Onchocerciasis tahun
Scabies
Dengan folikulitis 25-50%, non
Infeksi jamur superficial
spesifik pruritus 11-46% dari pasien
HIV

6 juta dengan pruritus berat

Tidak diketahui

Tidak diketahui

Tabel 2.2 Prevalensi Epidemiologi Pruritus Kelainan Kulit

Prevalensi kejadian pruritus pada penyakit sistemik.3

Jenis penyakit Estimasi prevalensi


25-85%

Gagal ginjal kronik, stadium terminal 20-25%

Hepar 4%

Cholestasis Tidak diketahui


Hepatitis C
Kolestasis pada kehamilan

Hematopoietic 48%

Polycythemia vera Tidak diketahui


Anemia defisiensi besi
Tidak diketahui
Tidak diketahui
Myeloma multipel
Mastocytosis
Tidak diketahui
Hodgkin limpoma
Non-hodgkin limpoma 30%
Endokrin Tidak diketahui
Hipertiroidisme
Hipotiroidisme
Sindrom carcinoid 60%
Anoreksia nervosa
Tidak diketahui

Tidak diketahui

58%

Tabel 2.3 Prevalensi Pruritus Pada Penyakit Sistemik

2. Klasifikasi

1. Pruritus primer

Pruritus tanpa adanya penyakit dermatologi atau alat dalam dan dapat bersifat lokalisata atau
generalisata, dapat bersifat psikogenik yang dapat disebabkan oleh komponen psikogenik yang
memberikan stimulasi pada itch centre.

2. Pruritus sekunder

Pruritus yang timbul sebagai akibat penyakit sistemik.1

Pruritus juga dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiolgi yang mendasarinya yaitu


sebagai berikut :6

1. Pruritoceptive

Ujung-ujung nervus cutaneus diaktifkan oleh pruritogen. Terjadi dikulit dan dapat diakibatkan
karena proses inflamasi atau proses patologik yang tampak. Sebagai contoh urtikaria, scabies

2. Neuropathic

Disebabkan oleh lesi yang terletak pada serabut aferen penghantaran impuls. Sangat mungkin
untuk mencari penyebab pruritus didaerah terdapat gejala pruritus, namun lesi penyebab
mungkin dapat terletak jauh saraf, tulang belakang atau otak. Pruritus neuropathic dikaitkan
dengan kelainan yang menyebabkan kerusakan pada saraf seperti stroke, tumor, malformasi
pembuluh darah, demielinisasi dan kompresi radikuler.

3. Neurogenic

Berasal dari sistem saraf pusat yang tidak disertai dengan kerusakan atau kondisi patologis
pada saraf, misalnya pruritus yang berkaitan dengan excoriations neurotik.

4. Phsycogenic
Pruritus physogenic dapat didiagnosis ketika pruritus terjadi tanpa adanya kelainan pada kulit
atau penyakit medis lainnya. Pruritus phsycogenic dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Tipe kompulsive

Garukan kulit dilakukan untuk mencegah peningkatan kecemasan atau untuk


mencegah terjadinya peristiwa atau situasi yang ditakuti dan/ ditimbulkan karena
obsesi (contoh: obsesi yang berkaitan dengan kontaminasi kulit). Pada pruritus
phsycogenic tipe kompulsive garukan pada kulit dilakukan dengan kesadaran penuh.

b. Tipe impulsive

Tipe impulsive berkaitan dengan gairah, kesenangan atau untuk mengurangi


ketegangan. Pada tipe ini garukan dilakukan secara otomatis atau saat kesadaran
minimal.

c. Tipe campuran

Merupakan gabungan antara pruritus phsycogenic tipe kompulsive dan pruritus


phsycogenic tipe impulsive.

Terdapat beberapa kriterita utuk mendiagnosis pruritus phsycogenic yaitu :

a. Kriteia mayor

Meliputi 3 kriteria yaitu sebagai berikut :

Pruritus sine materia yang terlokalisir atau generalisata (tidak terdapat lesi pada kulit)
Pruritus kronis (>6 minggu)
Tidak terdapat kelainan yang mendasarinya.

b. Kriteria minor

3 atau 7 kriteria minor yaitu :

Pruritus meningkat berkaitan dengan obat-obatan psikotropika


Berkaitan dengan kelainan psikologis
Pruritus meningkat berkaitan dengan psikoterapi
Terjadi pada keadaan istirahat atau ketika tanpa melakukan aktivitas
Variasi terjadi pada malam hari
Intensitas meningkat saat terjadi stress
Berkaitan dengan satu atau beberapa peristiwa masa lalu yang berdampak pada
psikologis.6,7,8,9,10
2. Patofisiologi

Zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu terjadinya pruritus. Sensasi ini
dipengaruhi oleh stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak didekat junction
dermoepidermal sinaps, terjadi di akar dorsalkorda spinalis (substansi grisea), bersinaps dengan
neuron kedua yang menyeberang ke tengah, kemudian menuju traktus spinotalamikus dan
berakhir di thalamus. Dari thalamus kemudian terdapat neuron ketiga yang meneruskan
rangsang sampai ke pusat persepsi yang terletak di korteks serebri.

Serabut saraf tipe C tak tereliminasi merupakan serabut saraf yang khusus menghantarkan
rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer maupun sistem saraf pusat. 80% serabut saraf tipe
C adalah nosiseptor polimodal yang merespons stimulasi mekanik, panas dan kimiawi
sedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-insensitif yang dirangsang oleh
stimulus kimiawi. Dari 20% saraf tersebut, 15% merupakan histamin negatif (tidak merangsang
gatal), dan hanya 5% yang merupakan histamin positif yang merangsang gatal.
Sel-sel keratinosit juga mengekspresikan mediator neuropeptida dan reseptor juga terlibat dalam
proses terjadinya pruritus, termasuk diantaranya NGF (nerve growth factor), reseptor vanilloid
TRPV1, PAR 2 (proteinase activated receptor type 2) serta kanal ATP berbasis voltase. Dengan
demikian epidermis serta percabangan serabut saraf intraepidermal terlebih tipe C berpengaruh
dalam mekanisme gatal, tidak hanya persarafan.

Melalui serabut asenden stimulus akan dipersepsi oleh korteks serebri. Sensasi gatal hanya
akan dirasakan apabila serabut-serabut saraf nosiseptor polimodal tidak terangsang.
Rangsangan nosiseptor polimodal terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai
nyeri dan akan menginhibisis 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun, setelah
rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih ada maka sensasi gatal akan muncul
kembali.11

2. Manifestasi klinis

Pertama sangat penting untuk menentukan apakah penyebab pruritus terkait dengan penyakit
kulit atau penyakit sistemik. Pada kondisi kulit kering atau pada scabies hanya terdapat sedikit
lesi primer kulit, sehingga penggalian riwayat penyakit dan pemeriksaan laboratorium
merupakan hal yang penting. Juga sangat penting untuk dapat membedakan antara pruritus
generalisata dan pruritus lokal yang biasanya tidak disertai dengan penyakit sistemik.
Anamnesis yang lengkap, termasuk riwayat konsumsi obat-obat tertentu dan pemeriksaan fisik
merupakan langkah awal yang penting dalam menentukan pruritus. Anamnesis juga harus
mencakup kualitas dari gatal, distribusi dan waktu.3

Lesi kulit sekunder yang merupakan karakteristik dari pruritus diantaranya eksoriasi, likenifikasi,
dan hiper- atau hipopigemntasi. Likenifikasi merupakan hasil dari aktivitas menggaruk yang
dilakukan secara terus-menerus dengan plak yang menebal. Likenifikasi terdistribusi pada area
yang mudah dijangkau pasien untuk menggaruk seperti siku, pergelangan kaki, pantat,
genitalia.3

Dalam banyak kasus, gatal yang terjadi biasanya disertai dengan nyeri dan sensasi terbakar.
Prurigo nodular disertai dengan stres emosional dan gangguan obsesif kompulsif yang juga
dapat terjadi pada dermatitis atopik dan gagal ginjal.3

Namun, beberapa pruritus tidak menampakkan manifestasi klinis yang spesifik. Pruritus berat,
urtikaria krinis biasanya tidak menunjukkan lesi sekunder yang berkaitan dengan aktivitas
menggaruk. Pruritus neuropati seperti neuralgia psthepertic, pruritus brachioradial dan
parethetica notalgia biasanya disertai dengan nyeri dan perasaan terbakar. Dermatitis atopik
biasanya disertai dengan rasa terbakar setelah menggaruk.3

2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi biopsi kulit, skrining untuk hepatitis B
atau C, elektroforesis protein plasma, imunoelectrophoresis. Ct-Scan dada dan perut dapat
dilakukan untuk membantu menyingkirkan limfoma.3

Rekomendasi pemeriksaan laboratorium pada pruritus generalisata.3

Rekomendasi

Pemeriksaan darah lengkap


Pemeriksaan kimia: urea, kreatinin, enzim hepar
Tes fungsi tiroid
Foto thoraks dada

Optional
Pemeriksaan HIV dengan gejala dan tanda penyerta
Pemeriksaan feses untuk parasitesis

Tabel 2,4 Pemeriksaan Penunjang

2. Diagnosis banding

Differential diagnosis pada pruritus generalisata tanpa disertai lesi primer pada kulit.3

Gagal ginjal kronis

Cholestasis

Hipertiroidisme

Pruritus pada kelainan hepar dan keganasan lymphoreticular

Hodgkin disease
Polycythemia vera
Myeloid dan leukemia limpatik
Myelodisplasia
Mastocytosis

HIV dengan pruritus

Pruritus aquagenic

Gatal sebagai manifestasi kelainan kejiwaan

Pruritus neuropati

Obat-obatan

Tabel 2.5 Diagnosis Bandimg

2. Komplikasi

Pruritus dapat merusak kualitas hidup seseorang. Pasien dengan pruritus kronik sering
mengeluh susah tidur, susah untuk berkonsentrasi dan penurunan fungsi seksual, agitasi serta
depresi. Dalam beberapa kondisi dapat timbul infeksi sekunder sebagai akibat dari garukan
sebagai contoh pada dermatitis atopik.3

2. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pruritus dapat dilakukan dengan berbagai cara. Penatalaksanaan dapat


dilakukan dengan penatalaksanaan sesuai dengan penyebab serta penatalaksanaan
simtomatik. Penatalaksanaan terhadap penyebabnya harus menemukan kelainan yang
mendasarinya dan kemudian melakukan penatalaksanaan sesuai penyebab tersebut sehingga
dapat menghilangkan keluhan gatal. Penatalaksanaan simtomatik dengan cara mengalihkan
rasa gatal, dapat menggunakan terapi pendinginan dan pemanasan. Penatalaksanaan secara
simtomatik dapat dilakukan lebih awal sebelum penyebab dari gatal itu sendiri diketahui,
sehingga dapat memperingan keluhan yang dirasakan. Sebagian besar pengobatan yang
tersedia dikelompokkan menjadi pengobatan secara simtomatik dan manajemen.3

Farmakologi

1. Antipruritus topikal

Barrier creams dan kombinasi

Membantu stratum korneum untuk menahan air dan mencegah terjadinya


kehilangan air pada transepidermal.3

Topikal salisilat

Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asam salisilat topikal berfungsi untuk


mengurangi gatal pada kulit. Asam salisilat topikal merupakan agen keratolitik
yang dapat meningkatkan hidrasi dan menurunhkan pH pada stratum corneum.
Aspirin topikal mengurangi perasaan gatal pada pasien dengan liken simplex
chronicus dengan gejala gatal lokal.3

Topikal immunodulator

Salah satu obat yang digunakan untuk mengurangi gejala gatal karena obat
tersebut secara langsung mempengaruhi serabut saraf tipe C.3

Capsaicin

Merupakan senyawa aktif yang memberikan efek terhadap pelepasan


neuropeptida termasuk serabut saraf tipe C. Namun mekanisme sebenarnya dari
obat ini belum sepenuhnya diketahui. Capsaicin mengaktifkan reseptor vanilloid
TRPV1 yang banyak terdapat dalam lapisan epidermis.3

Topikal anastesi

Pramoxine, merupakan salah satu anastesi topikal yang dapat mengurangi gatal
terutama pada daerah wajah dengan menghambat transmisi impuls saraf.
Penelitan dengan menggunakan double-blind menunjukkan bahwa pamoxine
menghambat induksi histamin pada manusia.

Polidocanol merupakan surfaktan non ionik yamng memiliki sifat anastesi dan
pelembab. Dalam sebuah penelitian menunjukkan kombinasi antara urea 5% dan
polidocanol dapat mengurangi gatal pada pasien dengan dermatitis atopik,
dermatitis kontak dan psoriasis.3

Topikal antihistamin

Pada penelitian double blind, dengan jumlah placebo yang besar, krim doxepin 5%
memberikan efek dalam mengurangi sensasi gatal pada dermatitis atopik.3

Kortikosteroid12

Sediaan kortikosteroid.

Konsentrasi dan Bentuk


Nama Dosis
Sediaan
Potensi Sangat Tinggi
Clobetasol 0,05% krim, salep, aplikasi kulit
1 – 2 x/hari
Propionate kepala
Halcinonide 0,1% krim, solution 2 – 3 x/hari
Potensi Tinggi
Amcinonide 0,1% krim 2 -3 x/hari
Beclometasone
0,025% krim 2 x/hari
dipropionate
Betamethasone 0,05% krim, salep, cair 0,064%
1 – 3 x/hari
dipropionate krim, salep, solution
Betamethasone
0,025% krim 2 – 3 x/hari
valerate
Betamethasone 0,1% krim, gel, lotion, salep,
1 – 3 x/hari
valerate solution
Desoximetasone 0,05% gel, 0,025% krim, salep 1 – 3 x/hari
Difluocortolone
0,3% salep berlemak 2x/ hari
valerate
Difluocortolone 0,1% krim, salep berlemak,
1 – 3 x/hari
valerate salep
Fluclorolone
0,025% krim 2 x/hari
acetonide
Fluocinolone 0,025% krim, gel, salep 0,03%
1 – 3 x/hari
acetonide salep
Fluocinolone
0,2% krim 2 – 3 x/hari
acetonide
Fluocinolone 0,005% krim 0,01% krim, salep
1 – 3 x/hari
acetonide 0,0125% krim
Fluocinonide 0,05% krim, salep 2 – 3 x/hari
Fluocortolone/
fluocortolone 0,25%/0,25% krim 1 – 3 x/hari
caproate
Fluocortolone
pivalate/
0,25%/0.25% salep 1 – 3 x/hari
fluocortolone
caproate
Fluticasone
0,05% krim, 0,005% salep 1 – 2 x/hari
propionate
Hydrocortisone
0,127% krim 1 – 2 x/hari
aceponate
Methylprednisolone 0,1% krim, salep berlemak,
1 – 2 x/hari
aceponate salep
Mometasone
0,1% krim, salep, lotion 1 x/hari
furoate
Prednicarbate 0,25% krim 1 – 2 x/hari
Potensi Sedang
Alclometasone
0, 05% krim, salep 2 – 3 x/hari
dipropionate
Clobetasone
0,05% krim, salep Sampai 4 x/hari
butyrate
Desonide 0,05% krim, salep, lotion 2 x/hari
Fluprednidene
0,1% krim, solution 2 x/hari
acetate
Triamcinolone 0,1% krim, salep, lotion 0,2%
2 – 3x/hari
acetonide krim, 0,02% krim
Potensi Rendah
0,5% krim, 1% lotion, gel, krim
Hydrocortisone 2 – 3 x/hari
2,5% krim
Hydrocortisone
1% krim, salep 2,5% krim 2 – 3 x/hari
acetate

Tabel 2.6 Sediaan kortikosteroid

Potensi kortikosteroid topikal.1

Kiasifikasi Nama Dagang Nama Generik


0,05% betamethason
dipropionate
Diprolene ointment

Diprolene AF cream
0,05% diflorasone
Psorcon ointment diacetate
Golongan 1: (super
Temovate ointment 0,05% clobetasol
poten)
propionate
Temovate cream

Ultravate ointment
0,05% halobetasol
Ultravate cream propionate

0,1% amcinonide
Cyclocort ointment 0,05% betamethasoin
dipropionate
Diprosone ointment
0,01% mometasone fuorate
Elocon ointment
0,05% diflorasone
Florone ointment diacetate
Halog ointment
0,01% halcinonide
Halog cream

Halog solution

Lidex ointment
Golongan II: (potensi 0,05% fluocinonide
tinggi) Lidex cream

Lidex gel

Lidex solution

Maxiflor ointment 0,05% diflorasone


diacetate
Maxivate ointment
0,05% betamethasone
dipropionate
Maxivate cream dipropionate

Topicort ointment

Topicort cream 0,25% desoximetasone

Topicort gel
0,05% desoximetasone
0,1% triamcinolone
acetonide
0,005% fluticasone
propionate
0,1 % amcinonide
Aristocort A ointment
Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion 0,05% betamethasone
dipropionate
Diprosone cream
0,05% diflorosone
Golongan III: Flurone cream diacetate
(potensi tinggi)
Lidex E cream 0,05% fluocinonide

Maxiflor cream 0,05% diflorosone


diacetate
Maxivate lotion
0,05% betamethasone
Topicort LP cream dipropionate
Valisone ointment 0,05% desoximetasone

0,01% betamethasone
valerate

0,1% triamcinolone
acetonide

0,05% flurandrenolide
Aristocort omtment 0,1% mometasone furoate
Cordran ointment
Elocon cream
Golongan IV: Elocon lotion 0,1% triamcinolone
(potensi medium) Kenalog ointment acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment
Westcort ointment 0,025% fluocinolone
acetonide

0,2% hydrocortisone
valerate
0,05% flurandrenolide

0,05% fluticasone
propionate
0,1% prednicarbate
0,05% betamethasone
Cordran cream dipropionate
Cutivate cream 0,1% triamcinolone
Dermatop cream acetonide
Diprosone lotion
Kenalog lotion 0,1% hydrocortisone
Golongan V: Locoid ointment butyrate
(potensi medium) Locoid cream
Synalar cream
Tridesilon ointment
Valisone cream 0,025% fluocinolone
acetonide
Westcort cream
0,05% desonide

0,1% betamethasone
valerate

0,2% hydrocortisone
valerate
0,05% aclometasone

0,1% triamcinolone
acetonide
Aclovate ointment 0,05% desonide
Aclovate cream 0,025% triamcinolone
Aristocort cream acetonide
Desowen cream
Kenalog cream
Golongan VI:
Kenalog lotion
(potensi medium) 0,1% hydrocortisone
Locoid solution
Synalar cream butyrate
Synalar solution
Tridesilon cream 0,01% fluocinolone
Valisone lotion acetonide

0,05% desonide

0,1% betamethasone
valerate
Golongan VII: Obat topical dengan hidrokortison, deksametason,
Potensi lemah) glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone

Tabel 2.7. Potensi kortikosteroid

Topikal cannabinoids

Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi cannabinoids dengan barrier krim


memberikan efek antipruritus pada dermatitis atopic dan pruritus urea.3

Macam antipruritus topikal.3


Obat Dosis Indikasi Catatan
Liken simplex
Asam salisilat 2-6% Sengatan
cronicus
Dermatitis atopik, Sengatan,
Tacrolimus 0,1% ointment
dermatitis kontak sensasi terbakar
Dermatitis atopik, Sengatan,
Pimecrolimus 1% krim
dermatitis kontak sensai terbakar
Menthol 1% krim Iritasi kulit
Sensasi
Capsaicin 0,75-1% krim Pruritis neuropati
terbakar
Dermatitis facial,
Pramoxine 1,0-2,5%
dermatitis atopik
Dermatitis atopik,
5% urea+3% dermatitis kontak,
Polidocanol
polidocanol psoriasis, pruritus
uremic
Efek mengatuk
pada 25%
Doxepin 5% krim Dermatitis atopik
kasus, dermatitis
kontak alergi
Dermatitis atopik,
Canabinoids
pruritus uremic

Tabel 2.8 Antipruritus Topikal

2. Antipruritus sistemik

Antihistamin

Gatal terjadi ketika histamin dilepaskan sehingga menyebabkan kemerahan,


bengkak dan panas yang merupakan konsekuensi gatal. Antihistamin atau H1
bekerja dengan cara memblok histamin. Doxepin yang merupakan senyawa
trisiklik dibenzoxepin adalah antihistamin yang sangat aktif sehingga dapat
digunakan pada dermatitis atopik dan juga mempunyai efek psikoterapi yang baik
digunakan pada pruritus. Kerjanya dengan menurunkan reseptor sensorik kulit.
Dosis awal 25-50 mg diminum sebelum tidur. Efek samping dari obat ini adalah
mengantuk, sensasi terbakar atau menyengat yang terlokalisir yang biasanya
bersifat sementara.

Beberian et al, dalam penelitian double blind menunjukkan hasil bahwa


pemeberian doxepin yang dikombinasi dengan hidrokortison topikal atau
triamsinolon topikal lebih memberikan efek yang signifikan dalam mereduksi gatal
daripada pemberian kortikosteroid tunggal pada pasien dermatitis atopik.3,13

Penggolongan antihistamin (AH 1)

Dosis
Golongan dan contoh Masa Aktivitas
pada Catatan
obat kerja antikolinergik
dewasa

Etanolamin Sedasi
ringan
Karbinoksamin 4-8 mg 3-4 jam +++
sampai
sedang
Sedatisi kuat

Difenhidramin 25-50 mg 4-6 jam +++ Sedasi kuat


Dimenhidrinat
50 mg 4-6 jam +++

Etilenediamin
Sedasi
Pirilamin 25-50 mg 4-6 jam + sedang
Tripelenamin
25-50 mg 4-6 jam + Sedasi
sedang

Piperazin 6-24 Sedasi kuat


25-100
Hidroksizin jam
mg Sedasi
Siklizin 4-6 jam ringan
Meklizin 25-50 mg -
12-24 Sedasi
25-50 mg
jam ringan

Alkilamin
Sedasi
Klorfeniramin 4-8 mg 4-6 jam + ringan
Bromfeniramin
4-8 mg 4-6 jam + Sedasi
ringan
Derivat fenotiazin

Prometazin Sedasi kuat,


10-25 mg 4-6 jam +++
antiemetik
Lain –lain

Siproheptadin 4 mg
±6 jam + Sedasi
sedang,
antiserotonin
Mebhidrolin
50-100
napadisilat ±4 jam +
mg

Tabel 2.9. Penggolongan AH 1

Antagonis reseptor H 2 (AH 2)

Bekerja dengan cara menghambat sekresi asam lambung.

Golongan dan Dosis Masa Aktivitas


Catatan
contoh obat dewasa kerja antikolinergik
Mula kerja
Astemizol 10 mg < 24 jam -
lambat
Resiko aritmia
Feksofenadin 60 mg 12-24 jam -
lebih rendah
Lain –lain

Loratadin 10 mg 24 jam -
Masa kerja
lebih lama
Setirizine 5-10 mg 12-24 jam -

Tabel 2.10. Penggolongan AH 2

Opiate antagonist dan agonis-antagonis

Naloxone dan naltrexone digunakan dalam pengobatan pruritus yang berkaitan


dengan kolestasis, uremia dan penyakit kulit.3

Mirtazapine

Mirtazapine yang merupakan antidperesan oral merupakan salah satu obat yang
menunjukkan hasil dalam menurunkan gatal pada beberapa pasien. Mitrazapine
memiliki efek samping yang minimal dan merupakan alternatif dalam pengobatan
pruritus nokturna. Hal ini terlihat dari efektivitas yang lebih baik ketika digunakan
pada pruritus sistemik dengan nocturnal pruritus dengan dosis 15mg/malam.3

Thalidomide

Thalidomide memperlihatkan efek yang baik pada penggunaan obat terhadap


pasien dengan peradangan kulit seperti prurigo dan dermatitis. Thalidomide telah
digunakan selama beberapa tahun sebagai agen imunomodulator.

Gabapentin

Gabapentin efektif dalam pengobatan pruritus brachioradial, sclerosis multipel


dengan pruritus dan bebrapa pruritus neuropati lainnya. Gabapentin mungkin
menghambat pusat gatal sebagaimana pusat nyeri. Gabapentin juga merubah
sensasi gatal pada pruritus yang berkaitan dengan kerusakan saraf pada kulit dan
pruritus dengan penyakit sistemik.3

Kortikosteroid13

Sediaan kortikosteroid

Nama Bentuk oral Perenteral


Kortisol/hidrokortison 5-20 mg 25,50 mg/ml (suspensi)
Prednison 5 mg
Metil prednisolon 4 mg 40 mg/ml
6-metil prednisolon 4 mg 20, 40, 80 mg/ml (suspensi)
Deksametason 0,5 mg 4 mg/ml
Deksametason Na-
- 4-24 mg/ml
fosfat
Triamsinolon asetonid - 40mg/ml (suspensi)
Tabel 2.11. Sediaan kortikosteroid

Macam antipruritus sistemik.3

Obat Dosis Indikasi Catatan


Doxepin 25-100 mg Urtikaria kronis Mengantuk
0.002 µg/kg, Hepatotoksik,
peningkatan dosis Pruritus kolestasis, nausea,
Nalxone
secara bertahap pruritus uremic vomitus,
sampai 0.2µg/kgbb insomnia
Hepatotoksik,
nausea,
vomitus,
Pruritus kolestasis,
Naltrexone 12.5-250 mg insomnia,
pruritus uremic
kontraindikasi
pada pasien
disfungsi hepar
Mengantuk,
Penyakit
Butorphanol 1-4 mg inhal pusinh, nausea,
peradangan kulit
vomitus
Insomnia,
Pruritus
Paroxetine 20 mg disfungsi
generalisata
seksual
Penyakit Mengantuk,
Mirtazapine 15 mg peradangan pada kenaikan berat
kulit dan sistemik badan
Prurigo nodularis,
prurigo aktinik,
neuralgia
Thalidomide 100 mg
poshepertik,
pruritus uremic,
dermatitis atopik
Mengantuk,
Gabapertin 300-2400 mg Pruritus neuropati
konstipasi

Tabel 3.12 Obat Anti Pruritus Sistemik

Non farmakologi3

Phototherapy

Telah digunakan selama lebih dari sepuluh tahun untuk mengobatai pruritus tipe
lain. Phototherapy mengurangi kepadatan sel mast dengan menginduksi
apoptosis.
BAB III

Pruritus Kelainan Kulit dan Penyakit Kulit Menular

3. Dermatitis Atopik1

Sinonim : eczema atopik, eczema konstitusional, eczema fleksural, neuridermitis diseminta,


prurigo besnier.

Merupakan keadaan peradangan kulit kronis residif, disertai gataL yang umumnya sering terjadi
selama bayi dan anak-anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum
dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (dermatitis atopik, rinitis alergika, dan atau asma
bronkial).
Manifestasi klinis :

Kulit penderita dermatitis atopik pada umumnya kering, pucat/redup, kadar lipid di epidermis
berkurang dan kehilangan air lewat epidermis meningkat. Gejala utama dermatitis atopik adalah
pruritus, dapat hilang timbul sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari.
Kelainan kulit dapat berupa papul, eritema, likenifikasi, erosi, ekskoriasi, eksudasi dan krusta.

Kalsifikasi dermatitis atopik :

Dermatitis atopik dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu :

1. Dermatitis atopik infantil (2 bulan-2 tahun)


2. Dermatitis atopik pada anak (2-10 tahun)
3. Dermatitis atopik pada remaja dan dewasa

Diagnosis :

Kriteria dermatitis atopik masih kontroversial dan dasar molekul pruritus pada dermatitis atopik
masih belum bisa dijelaskan. Apakah gatal terjadi sebelum adanya lesi pada kulit atau
sebaliknya juga masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Alloknesis merupakan ciri-ciri
gatal yang menonjol pada dermatitis atopik dan gejala gatal tersebut berkaitan dengan keringat,
perubahan suhu yang mendadak, serta kontak langsung dengan wol. Intensitas gatal pada
dermatitis atopik berhubungan dengan faktor psikis dan mungkin gatal dicetuskan oleh stres
kognitif seperti kecemasan dan juga depresi. Pruritus nokturna merupakan masalah mayor pada
dermatitis atopik, terjadi pada awal tidur dan menyebabkan kelelahan dan iritabilitas.

1. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak


2. Dermatitis flexura pada dewasa
3. Dermatitis kronis atau residif
4. Riwayat atopi pada penderita atau keluarga

Kriteria minor :

1. Xerosis
2. Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan herpes simplex)
3. Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki
4. Iktiosis/ hiperliniar palamaris/ keratosis pilaris
5. Pitriasis alba
6. Dermatitis di papila mammae
7. White dermographism and delayed blanch response
8. Keilitis
9. Lipatan intra-orbital dennie morgan
10. Konjungtivitis berulang
11. Keratokonus
12. Katarak subkapsular anterior
13. Orbita menjadi gelap
14. Muka pucat atau eritem
15. Gatal bila berkeringat
16. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak
17. Aksentuasi perifolikuler
18. Hipersensitif terhadap makanan
19. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh lingkungan dan atau emosi
20. Tes kulit alergi tipe dadakan positif
21. Kadar IgE dalam serum meningkat
22. Awitan pada usia dini.

Diganosis : harus memenuhi 3 kriteria mayor dan tiga kriteria minor


Kriteria diagnosis untuk bayi :

Tiga kriteria mayor :

1. Riwayat atopi pada keluarga


2. Dermatitis di muka atau ekstensor
3. Pruritus

Ditambah tiga kriteria minor :

1. Xerosis/ iktiosis/ hiperliniaris palmaria


2. Aksentuasi perifolikuler
3. Fisura belakang telinga
4. Skuama di skalp kronis

Penatalaksanaan

Topikal

1. Hidrasi kulit, menggunakan pelembab sebagai contoh hidrofilik urea 10% dapat ditambah
hidrokortison 1% didalamnya. Jika menggunakan pelembab dengan asam laktat maka
konsentrasinya tidak melebihi 5%. Tujuan hidrasi kulit adalah untuk mencegah masuknya
mikroorganisme patogen, bahan iritan dan alergen yang dapat masuk karena kulit kering
pada penderita dermatitis atopik.
2. Kortikosteroid topikal. Pada bayi menggunakan salep steroid potensi rendah, misal
hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dapat menggunakan steroid potensi
menengah seperti triamsinolon kecuali pada muka menggunakan steroid potensi rendah.
Jika sudah dapat terkontrol maka penggunaan dilakukan secara intermiten (2 kali
seminggu) untuk menjaga kekambuhan dan menggunakan kortikosteroid potensi rendah
3. Imunomodulator topikal.

Takrolimus, merupakan suatu penghambat calcineurin dapat diberikan dalam bentuk


salep 0,03% untuk anak usia 2-15 tahun, dan untuk dewasa dapat diberikan 0,03-0,1%.
Cara kerja obat yaitu menghambat aktivitas sel yang terlibat dalam dermatitis atopik : sel
langerhans, sel T, sel mast dan keratinosit.

Pimekrolimus, merupakan senyawa askomisin yaitu imunomodulator golongan


makrolaktam. Derivat yang digunakan yaitu ASM 981 konsentrasi 1% yang mempunyai
efektivitas sama dengan krim klobetasol-17-propionat , tidak menyebabkan atrofi kulit,
aman pada anak dan dapat digunakan pada kulit sensitif. Cara pemakaian dioleskan 2
kali sehari.

4. Antihistamin, pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin topikal tidak dianjurkan


karena berpotensi kuat menimbulkan sensitisasi pada kulit.

Sistemik

1. Kortikosteroid, hanya digunakan untuk mengendalikan eksaserbasi akut, dalam jangka


pendek, dan dosis rendah, diberikan secara berselang-seling (alternate) atau diturunkan
secara bertahap (tapering) kemudian segera diganti dengan kortikosteroid topikal.
2. Antihistamin, digunakan untuk membantu mengurangi rasa gatal yang hebat, terutama
pada malam hari yang dapat mengganggu tidur. Digunakan antihistamin dengan efek
sedatif misalnya hidroksisin atau difenhidramin.
3. Anti-infeksi, dapat diberiksan eritromisin, asitromisin atau klaritromisin (untuk yang belum
resisten) dan dikloksasilin, oksasilin (pada pasien yang sudah resisten).
4. Interferon, menekan respons IgE dan menurunkan fungsi dan proliferasi sel TH2.
Pengobatan rekombinan menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menurunkan jumlah
eosinofil total dalam sirkuasi.
5. Siklosporin, pengobatan jangka pendek dengan dosis 5 mg/kgBB. Bila pengobatan
dengan siklosporin dihentikan dapat terjadi kekambuhan segera serta efek samping dari
obat ini adalah peningkatan kreatinin dalam serum, penurunan fungsi ginjal dan hepar.

3. Dermatitis kontak1

Merupakan dermatitis yang disebabkan oleh bahan /substansi yang menempel pada kulit.
Dikenal dua macam dermatitis yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis alergik.

Dermatitis kontak iritan

Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah bahan yang bersifat iritan misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, alkali dan serbuk kayu. Kelainan kulit yang
terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut dan
vehikulum juga dipengaruhi oleh lama kontak, kekerapan, gesekan dan trauma fisis. Suhu
dan kelembaban juga berperan.

Kelainan kulit sangat beragam bergantung pada sifat iritan. Iritan kuat memberi gejala
akut, sedangkan iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak faktor yang
mempengaruhi yaitu faktor individu dan faktor lingkungan.

Upaya penatalaksanaan dermatitis kontak iritan yang terpenting adalah menghindari


pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan
dapat diberikan kortikosteroid topikal, misal hidrokortison atau untuk kelainan yang kronis
dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.

Dermatitis kontak alergi

Pada umumnya penderita mengeluh gatal dan kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokalisasinya. Pada stadium akut diawali dengan bercak eritematosa yang
berbatas tegas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau
bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada stadium kronis terlihat
kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin fisura, batas tidak jelas.

Pengobatan yang perlu diperhatikan adalah upaya pencegahan terulangnya kontak


kembali dengan alergen penyebab dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteroid (prednison 30 mg/hari) dapat diberikan dalam jangka pendek untuk
mengatasi peradangan pada stadium akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel
atau bula serta eksudatif. Untuk dermatitis kontak alergi ringan atau akut yang telah
mereda (setelah mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik) cukup diberikan
kortikosteroid atau makrolaktam secara topikal.

3. Urtikaria (hives, nettle rash, biduran, kaligata)

Reaksi vaskular di kulit karena berbagai macam penyebab yang ditandai dengan edema
setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat, meninggi di
permukaan kulit. Dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, diantaranya obat,
makanan, gigitan/sengatan serangga, bahan fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik,
infeksi dan infestasi, psikis, genetik, penyakit sistemik. Keluhan subyektif meliputi gatal, rasa
terbakar atau tertusuk. Pada klinis tampak eritem dan edem setempat yang berbatas tegas,
terkadang pada bagian tengah tampak pucat. Bentuk dapat papul, besarnya dapat lentikuler
sampai numular atau plakat. Penatalaksanaan meliputi pengobatan terhadap penyebab atau
sampai numular atau plakat. Penatalaksanaan meliputi pengobatan terhadap penyebab atau
jika mungkin menghindari penyebab yang dicurigai. Pengobatan dapat menggunakan
antihistamin.

3. Psoriasis (psoriasi vulgaris)1

Merupakan penyakit yang disebabkan oleh autoimun, bersifat kronik dan residif ditandai
dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar belapis-
lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, auspitz, koefner. Gejala klinis meliputi
gatal ringan. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka,
ekstremitas bagian ekstensor dan daerah lumbosakral. Keluhan kulit meliputi bercak-bercak
eritem yang meninggi (plak) dengan skuama di atasnya. Eritema sirkumskrip dan merata,
tetapi pada stadium penyembuhan sering eritem ditengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berwarna putih seperti mika, berlapis-lapis, kasar dan transparan.

Pada psoriasis terdapat fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan köbner (isomorfik). Fenomena
tetesan lilin merupakan skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan, seperti
lilin yang digores yang disebabkan perubahan indeks bias. Pada fenomena auspitz tampak
serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilomatosis. Fenomena köbner
biasanya terjadi setelah 3 minggu dan merupakan tanda yang tidak khas pada psoriasis.
Tanda khas pada psoriasis meliputi fenomena tetesan lilin dan Auspitz.

Bentuk klinis psoriasis :

1. Psoriasis vulgaris

Bentuk yang lazim didapat sehingga disebut vulgaris. Psoriasis tipe ini juga disebut tipe
plak, karena lesi-lesinya umum berbetuk plak.

2. Psoriasis gutata

Diameter kelainan biasanya tidak melebihi 1 cm. Timbul mendadak dan diseminata,
biasanya setelah infeksi Stretopcoccus di saluran napas bagian atas setelah influenza
atau morbili, dan menyerang anak-anak serta dewasa muda. Namun, juga dapat muncul
setelah infeksi lain seperti bakteri maupun viral.

3. Psoriasis inversa (psoriasis fleksural)

Sesuai dengan namanya, memiliki daerah predileksi pada daerah flexor.

4. Psoriasis eksudative

Merupakan bentuk yang sangat jarang, bentuk kelainan eksudatif seperti pada dermatitis.

5. Psoriasis seboroik (seboriasis)

Merupakan gabungan antara psoriasis dengan dermatitis seboroik, skuama yang pada
umumnya kering menjadi agak berminyak dan basah.

6. Psoriasis pustulosa

Psoriasis pustulosa palmoplantar (Barber)

Bersifat kronik dan residif, mengenai telapak tangan atau telapak kaki atau keduanya.
Kelainan kulit berupa kelompok-kelompok pustul kecil steril dan dalam, diatas kulit yang
eritematosa, disertai gatal.

Psoriasis pustulosa generalisata akut (von Zombusch)


Dapat timbul pada penderita yang sedang atau telah menderita psoriasis dan dapat juga
muncul pada penderita yang belum pernah menderita psoriasis. Gejala awal berupa kulit
nyeri, hiperalgesia disertai gejala umum berupa demam, malaise, nausea, anoreksia.
Setelah beberapa jam timbul banyak plak edematosa dan eritematosa pada kulit normal.
Dalam satu hari pustul-pustul berkonfluensi membentuk “lake of pus” berukuran beberapa
sentimeter.

7. Eritriderma psoriatik

Dapat disebabkan karena pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya
sendiri yang meluas. Lesi khas psoriasis tidak tampak lagi karena terdapat eritema dan
skuama tebal universal.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meliputi :

Pengobatan sistemik

a. Kortikosteroid

Kortikosteroid dengan dosis kira-kira ekuivalen dengan prednison 30 mg/hari, dan


setelah terdapat perbaikan dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis
pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak beresiko menyebabkan
kekambuhan dan dapat terjadi psoriasis pustulosa generalisata.

b. Obat sitostatik

Obat sitostatik yang biasanya digunakan adalah metotreksat. Indikasinya adalah


untuk psoriasis, psoriasis pustulosa, pdsoriasis artritis dengan lesi kulit dan
eritoderma.

Permulaan diberikan tes dosis inisial 5 mg per os untuk mengetahui apakah


terdapat gejala sensitivitas atau gejala toksik. Jika tidak terjadi efek yang tidak
dikehendaki maka diberikan dosis 3x2,5 mg dengan interval 12 jam dalam satu
minggu dengan dosis total 7,5 mg. Jika tidak tampak perbaikan maka dosis
dinaikkan 2,5-5 mg/minggu. Dapat juga diberikan dosis i.m 7,5-25 mg dosis tunggal
setiap minggu. Jika penyakitnya telah terkontrol maka dosis diturunkan atau
interval diperpanjang kemudian dihentikan dan kembali ke terapi topikal.

c. Levodopa

Dosis 2x250 mg-3x500 mg, efek samping berupa mual, muntah, anoreksia,
hipotensi, gangguan psikis dan pada jantung.

d. DDS

DDS (diaminodifenilsulfon) digunakan pada pengobatan psoriasis pustulosa tipe


Barber dengan dosis 2x100 mg/hari, dengan efek samping anemia hemolitik,
methemoglobinemia dan agranulositosis.

e. Etretinat dan asitretin

Etretinat digunakan untuk psoriasis yang sulit disembuhkan dan pada eritroderma
psoriatika. Pada psoriais obat tersebut mengurangi prolferasi sel epidermial pada
lesi psorasis dan kulit normal. Dosis pada bulan pertama 1 mg/kgBB, jika belum
terjadi perbaikan dapat dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.
Asitertin merupakan metabolit aktif etretinat yang utama. Manfaat asitertin sama
dengan etretinat namun obat ini juga memiliki kelebihan yaitu waktu paruh
eliminasi hanya 2 hari, dibandingkan dengan etretinat yang lebih dari 100 hari.

f. Siklosporin

Diberikan dengan dosis 6 mg/kgBB/hari, efek samping obat tersebut adalah


imunosupresif. Bersifat nefrotoksis dan hepatotoksik. Hasil pengobatan baik namun
setelah pengobatan dapat terjadi kekambuhan.

Pengobatan topikal

a. Kortikosteroid

Pada skalp, muka dan daerah lipatan digunakan krim dan pada tempat lain dapat
digunakan salep.

b. Ditranol

Konsentrasi yang digunakan 0,2-0,8% dalam pasta, salep atau krim. Lama
pemakaian ¼ sampai ½ jam sehari sekali untuk mencegah iritasi.

c. Tazaroten

Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, dengan efek menghambat proliferasi


dan normalsasi pertanda diferensiasi keratinosit dan menghambat petanda
proinflamasi pada sel radang yang mengiritasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel dan
krim dengan konsentrasi 0,05% dan 1%. Bila dikombinasi dengan steroid topikal
potensi sedang dan kuat dapat mempercepat penyembuhan dan mengurangi
iritasi.

d. Emollen

Efek emollen adalah melembutkan permukaan kulit. Jadi emollen tidak memiliki
efek antipsoriasis.

3. Pitriasis Rosea1

Merupakan penyakit kulit yang masih idiopatik, dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk
eritema dan skuama halus. Kemudian disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan
dan paha atas yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit. Etiologi dari penyakit ini masih
idiopatik, namun terdapat hipotesis yang mengemukakan bahwa penyakit ini disebabkan
oleh virus dengan alasan bahwa penyakit dapat sembuh sendiri (self limiting disease).

Gejala konstitusi pada umunya tidak terdapat, sebagian penderita mengeluh gatal ringan.
Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, solitar, berbentuk
oval dan anular, dengan diameter kira-kira 3 cm. Ruam tersiri atas eritema dan skuama halus
di pinggir. Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, dengan gambaran yang
khas. Lesi sama dengan lesi pertama hanya berukuran lebih kecil, susunannya sejajar
dengan costa, sampai menyerupai pohon cemara terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau
dalam beberapa hari. Tempat predileksi pada badan, lengan atas bagian proksimal dan paha
atas.

Penatalaksanaan

Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatal dapat diberikan sedativ sedangkan sebagai obat
topikal dapat diberikan bedak asam salisilat yang dibubuhi mentol ½-1%.

3. Dermatitis Seboroik1

Merupakan kelainan kulit yang didasari oleh faktor konstitusi dan tempat predileksi pada
tempat-tempat seboroik.

Kelainan kulit terdiri atas eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan dengan
batas yang kurang jelas. Bentuk ringan hanya mengenai kulit kepala dengan skuama yang
halus, mulai sebagai bercak kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan
skuama-skuama yang halus dan kasar. Kelainan tersebut dinamakan pitriasis sika (ketombe,
dandruff). Bentuk yang berminyak disebut pitriasis steatoides yang dapat disertai eritema
dengan krusta-krusta yang tebal. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak
berskuama dan berminyak disertai eksudasi dan krusta tebal. Dapat meluas ke dahi, glabela,
telinga posaaurikuler dan leher. Bentuk yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh
krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak sedap. Pada bayi, skuama-skuama yang
kekuningan dan kumpulan debris-debris epitel yang lekat pada kulit kepala disebut cerdle
cap.

Penatalaksanaan

Sistemik

Kortikosteroid digunakan pada bentuk yang berat, prednison dosis 20-30 mg/hari. Jika
telah terdapat perbaikan dosis diturunkan perlahan dan jika terdapat infeksi sekunder
dapat diberikan antibiotik

Isotretinoin, dapat digunakan pada kasus rekalsitran. Efeknya mengurangi aktiivtas


kelenjar sebasea. Dosis 0,1-0,3 mg/kgBB/hari. Setelah itu diberikan dosis pemeliharaan
5-10 mg.hari selama beberapa tahun.

Topikal

1. Dapat diberikan selenium sulfida dan jika terdapat skuama serta krusta diberi emolien
(krim urea 10%)
2. Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim pragmatar
3. Resorsin 1-3%
4. Sulfur presipitatum 4-20% dapat dikombinasi dengan asam salisilat 3-6%
5. Kortikosteroid, misalnya hidrokortison 2 ½ %
6. Krim ketokonazol 2%.
3. Neurodermatitis sirkumskripta (liken simplex kronikus)1

Merupakan peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip ditandai dengan kulit tebal dan garis
kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan atau
gosokan yang berulang-ulang karena berbagai rangsangan pruritogenik.

Gejala klinis meliputi keluhan gatal yang sangat, bila timbul pada malam hari maka dapat
mengganggu tidur. Gatal tidak terus menerus, biasanya pada waktu tidak melakukan
aktivitas. Jika gatal muncul sulit untuk ditahan dan penderita merasa enak setelah digaruk
karena akan timbul luka, dan rasa gatal akan hilang untuk sementara.

Lesi biasanya tunggal. Pada awalnya berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, kemudian
menjadi edema dan eritema menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal, likenifikasi
dan eksoriasi, sekitarnya menjadi hiperpigmentasi, batas dengan kulit normal tidak jelas.

Penatalaksanaan

Antipruritus dapat berupa antihistamin yang memilki efek sedativ (hidroksizon, difenhidramin,
prometazin) atau tranquilizer. Dapat juga diberikan krim doxepin 5% jangka pendek
(maksimal 8 hari). Dapat juga digunakan kortikosteroid potensi kuat.

3. Pitriasi rubra pilaris1

Merupakan kelainan menahun dengan plak eritematosa, berskuama dan papul keratotik
folikular.

Etiologi

Penyakit ini adalah herediter atau didapat.

Gejala kinis

Pada bentuk herediter meluasnya penyakit secara bertahap sedangkan pada bentuk yang
didapat meluas dengan cepat. Eritema dan skuama pada muka dan kulit kepala kemudian
eritema dan penebalan di telapak tanagn dan kaki. Papul folikular keratolitik dikelilingi oleh
eritama yang umumnya terdaat pada dorsum jari tangan, siku dan pergelangan tangan.
Kelainan berbatas tegas dan sering terlihat pulau-pulau kulit normal. Eritema dan skuama
dapat meluas ke seluruh permukaan kulit. Bentuk herediter memiliki kecenderungan untuk
menetap seumur hidup. Kelaian sismtemin pada umumnya tidak terjadi, kecuali jika kelainan
sudah menyeluruh.

Penatalaksanaan

Vitamin A 200.000 unit /hari/os selam beberapa bulan. Pengobatan topikal dengan asam
salisit (3-20%) kemudian diberi salep kortikosteroid. Dapat juga diberi krim asam retinoat
0,05%. Metotreksat dosis 1,25 mg/hari intermiten 2x1 minggu.

3. Dermatitis Herpetiformis (Morbus Duhring)1

Merupakan penyakit menahun dan residif, ruam bersifat polimorfik terutama berupa vesikel,
tersusun berkelompok dan simetrik serta disertai rasa sangat gatal.

Etiologi

Penyakit ini masih idiopatik atau belum jelas.

Gejala klinis

Keadaan umum baik. Keluhan sangat gatal. Tempat predileksi di punggung, daerah sakrum,
bokong, daerah ekstensor di lengan atas, sekitar siku dan lutut. Ruam berupa eritema,
papulo-vesikel dan veskel/bula yang berkelompok dan sistemik. Kelainan yang utama adalah
vesikel, oleh karena itu disebut hepetiformis yang berarti seperti herpes zooster. Vesikel-
vesikel tersebut dapat tersusun arsinar atau sirsinar. Dinding vesikel atau bula tegang.

Penatalaksanaan

Obat pilihan adalah preparat sulfon yaitu DDS serta pilihan kedua adalah sulfapiridin. Dosis
DDS 200-300 mg/hari. Dicoba dulu 200 mg/hari, dan jika ada perbaikan akan tampak 3-4
hari. Bila belum ada perbaikan dosis dapat dinaikkan, dengan dosis efektif 200 mg atau 300
mg. Jika telah sembuh dosis diturunkan perlahan setiap minggu sampai 50 mg/hari,
kemudain 2 hari sekali dan menjadi 1x dalam satu minggu.

Sulfapiridin, dosis 1-4 gr/hari. Tetapi karena efek toksik yang lebih banyak maka obat ini
sukar didapat. Diet bebas gluten, dilakukan secara ketat dan perbaikan pada kulit tampak
setelah beberapa minggu. Dengan diet ini, penggunaan obat dapat ditiadakan atau dosisnya
dikurangi.

3. Scabies1

Sinonim : the itch, gudik

Scabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
sarcoptes scabiei va, hominis dan produknya. Cara penulatran atau transmisi dapat melalui
kontak langsung (kontak kulit dengan kuit) dan kontak tidak langsung (melalui benda).
Penularan biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang telah dibuahi atau kadang-kadang
oleh bentuk larva.

Gejala klinis dari scabies meliputi 4 tanda kardinal yaitu :

a. Pruritus nokturna

Gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau yang lebih tinggi
pada suhu yang lebih lembab dan panas.

b. Komunitas

Menyeang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya


seluruh anggota keluarga terkena infeksi.

c. Adanya terowongan

Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih


atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, pada ujung terowongan
tersebut ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulit menjadi
polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat predileksi biasanya pada tempat
dengan stratum korneum yang tipis.

d. Menemukan tungau

Merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup
tungau tersebut.

3. Pediculosis corporis, capitis, pubis11

a. Pedikulosis corporis

Merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh Pediculus humanus var. corporis.
Cara penularan melalui pakaian dan pada orang yang dadanya berambut terminal
kutu ini dapat melekat pada rambur tersebut dapat ditularkan melalui kontak langsung.
Tuma sewaktu menghisap darah mengeluarkan air liur yang menyebabkan rasa gatal
pada kulit. Akibat gigitan, timbul papula-paula dan karena digaruk makan akan tampak
bekas-bekas garukan. Lokalisasi di daerah pinggang, ketiak dan inguinal dengan
efloresensi papula-paula miliar disertai bekas garukan yang menyeluruh.

Pemeriksaan pembantu dengan mencari tuma dalam lipatan pakaian. Diagnosis


banding melputi scabies, gigitan serangga dan folikulitis. Penatalaksanaan :
Umum : menungkatkan kebersihan dengan memakai pakaian yang bersih

Khusus :

1. Pakaian harus direbus dan dijemur di panas matahari


2. Gama benzen heksaklorida 1% baik dalam laruta krim, dioleskan pada kulit dan didiamkan
selama 15 menit
3. Obat lain : benzil benzoat 20-25% dalam larutan atau krim.

b. Pedikulosis capitis

Merupakan infeki kulit dan rambut kepala yang disebabkan Pediculus humanus var.
capitis. Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk menghilangkan
rasa gatal. Gatal tersebut timbul karena pengaruh air liur dan ekskreta dari kuku yang
dimasukkan kedalam kulit ketika menghisap darah.Gejala awal yang dominan hanya
rasa gatal pada daerah oksiput dan temporal serta meluas ke seluruh kepala.
Kemudian karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan infeksi sekunder (pus, krusta).
Bila infeksi sekunder berat, rambut akan bergumpal disebabkan oleh banyaknya pus
dan krusta (plikapelonika) dan disertai pembesaran kelenjar getah bening regional
(oksipu dan retroaurikular). Pada keadaan tersebut kepala berbau busuk. Lokalisasi
pada bagian belakang kepala (regio oksipitalis) dan diatas telinga (regio parietalis)
dengan efloresensi tampak krusta yang melekat pada rambut dan beberapa rambur
bergabung menjadi satu. Ditemuka uma kepala dan telur-telur yang melekat pada
rambut.

Pemeriksaan pembantu dengan mencari tuma kepala dan telurnya. Diagnosis


banding dapat dermatitis seboroika atau pioderma primer. Penatalaksanaan :

Umum : menjaga kebersihan kepala, rambut harus sering dicuci dan dirawat
dengan baik

Khusus :

1. Gama benzen heksaklorida 1% dalam bentuk shampoo, dapat diulang beberapa kali
2. Jika terdapat infeksi sekunder dapat diberikan antibitoik.

c. Pedikulosis pubis (phthriasis pubis)

Merupakan infeksi tuma pada rambut dan kulit di daerah pubis dan sekitarnya.
Penularan pada umumnya melalui kontak langsung. Disebabkan oleh Phthirus pubis.
Gejala klinis terutama rasa gatal di daerah pubis dan sekitarnya. Gatal tersebut dapat
meluas sampai ke daerah abdomen dan dada, dan pada daerah tersebut dijumpai
bercak-bercak yang berwarna abu-abu atau kebiruan (makula serulae). Kutu tersebut
sulit dilepaskan karena kepalanya dimasukkan kedalam muara folikel rambut.

Gejala patognomonik laiinya adalah black dot yaitu adanya bercak-bercak hitam yang
tampak jelas pada celana dalam berwarna putih yang dilihat oleh penderita ketika
bangun tidur. Bercak hitam tersebut merupakan krusta yang berasal dari darah dan
sering salah diinterpretasikan sebagai hematuria. Dapat terjadi infeki sekunder yaitu
pembesaran kelenjar getah bening regional.

Pemeriksaan pembantu dengan mencari tuma dewasa yang melekat ert di pangkal
rambut, dan telur pada rambut. Diagnosis banding dapat deramtitis seboroik dan tinea
kruris. Penatalaksanaan meliputi :

Umum : rambut kemaluan/ketiak/jenggot dicukur


Khusus :

1. Gama benzen heksaklorida 1% dalam bentuk krim atau lotion, dioleskan satu kali sehari
dan dapat diulang setelah satu minggu
2. Krotamiton 1% krim atau lotion yang dioleskan satu kali sehari dan dapat diulang setelah
satu minggu
3. Infeksi sekunder dapat diobati dengan pemberian antibiotik.

3. Varicella (cacar air, chicken pox)1

Merupakan infeksi akut primer oleh virus varicela-zooster yang menyerang kulit dan mukosa,
klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral
tubuh.

Etiologi :

Virus varicella-zooster

Gejala klinis

Masa inkubasi 14-21 hari. Gejala klinis dimulai dengan gejala prodromal yaitu demam yang
tidak terlalu tinggi, malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbul erupsi kulit berupa papul
eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel khas yaitu
berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi
krusta. Sementara proses ini berlangsung timbul lagi vesikel-vesikel baru sehingga
menimbulkan gambaran polimorfi. Penyebaran terutama didaerah badan dan kemudian
menyebar secara sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir
mata, mata, mulut dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder terdapat
pembesaran kelenjar getah bening.

Penatalaksanaan

Pengobatan berupa simtomatik dengan antipiretik dan anlgetik, dan untuk menghilangkan rasa
gatal dapat diberikan sedativ. Lokal diberikan bedak yang ditambah dengan zat anti gatal
(mentol, kamfora) untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa
gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik berupa salep dan oral.

3. HIV1

Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu infeksi yang secara progresif
merusak sel-sel darah putih (limfosit), menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome) dan penyakit lainnya sebagai akibat dari gangguan kekebalan tubuh.

Etiologi : 2 jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.

Penularan HIV melalui kontak cairan tubuh (darah, semen, cairan vagina, cairan
serebrospinal dan air susu ibu) yang mengandung sel terinfeksi atau partikel virus. Dalam
konsentrasi kecil, virus terdapat di air mata, air kemih dan air ludah.

Gejala Klinis :

1. Gejalanya berupa demam, ruam-ruam, pembengkakan kelenjar getah bening dan rasa
tidak enak badan yang berlangsung selama 3-14 hari. Sebagian besar gejala akan
menghilang, meskipun kelenjar getah bening tetap membesar.
2. Selama beberapa tahun, gejala lainnya tidak muncul. Tetapi sejumlah besar virus segera
akan ditemukan di dalam darah dan cairan tubuh lainnya. Dalam waktu beberapa bulan
setelah terinfeksi, penderita bisa mengalami gejala-gejala yang ringn secara berulang
yang belum benar-benar menunjukkan suatu AIDS. Gejalanya berupa: pembengkakan
kelenjar getah bening, penurunan berat badan, demam yang hilang-timbul, perasaan tidak
enak badan, lelah, diare berulang, anemia, thrush (infeksi jamur di mulut).

AIDS

Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:

1. Thrush à Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau


kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
2. Pneumonia pneumokistik à jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik
yang sering berulang pada penderita AIDS.
3. Toksoplasmosis à Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak,
tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
4. Tuberkulosis à penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya
demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa
digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan à oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada
penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif à infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi
fungsi neurologis penderita.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi à suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa
bercak-bercak yang menonjol di kulit.

Pengobatan

1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor

Zidovudin, didanosin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, Abakavir

2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor

Nevirapin, Delavirdin, Efavirenz

3. Protease inhibitor

Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, Nelfinavir

3. Jamur superficial 1

Tinea Kapitis

Kelainan kulit pada daerah kepala rambut yang disebabkan jamur golongan
dermatofita. Disebabkan oleh species dermatofitatrichophyton dan microsporum.

Gambaran klinik keluhan penderita berupa bercak pada kepala, gatal sering
disertai rambut rontok ditempat lesi.

Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinis, pemeriksaan lampu wood dan


pemeriksaan mikroskopis dengan KOH, pada pemeriksaan mikroskopis terlihat
spora diluar rambut atau didalam rambut.
Pengobatan pada anak peroral griseofulvin 10-25 mg/kg BB perhari, pada dewasa
500 mg/hr selama 6 minggu.

Tinea Favosa

Infeksi jamur kronis terutama oleh trychophiton schoen lini, trychophithon


violaceum, dan microsporum gypseum.

Gambaran klinik : gambaran ringan berupa kemerahan pada kulit kepala dan
terkenanya folikel rambut tanpa kerontokan hingga skutula dan kerontokan rambut
serta lesi menjadi lebih merah dan luas kemudian terjadi kerontokan lebih luas,
kulit mengalami atropi sembuh dengan jaringan parut permanen.

Diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis langsung

Prinsip pengobatan tinea favosa sama dengan pengobatan tinea kapitis, hygiene
harus dijaga.

Tinea Korporis

Infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (globurus skin) di daerah muka, badan,
lengan dan glutea. Penyebab tersering adalah T. rubrum dan T. mentagropytes.

Gambaran klinik : lesi terdiri atas bermacam-macam efloresensi kulit, berbatas


tegas dengan konfigurasi anular, arsinar, atau polisiklik, bagian tepi lebih aktif
dengan tanda peradangan yang lebih jelas. Daerah sentral biasanya menipis dan
terjadi penyembuhan, sementara tepi lesi meluas sampai ke perifer. Kadang
bagian tengahnya tidak menyembuh, tetapi tetap meninggi dan tertutup skuama
sehingga menjadi bercak yang besar.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lokalisasinya serta


kerokan kulit dengan mikroskop langsung dengan larutan KOH 10-20% untuk
melihat hifa atau spora jamur.

Pengobatan sistemik berupa griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu,


itrakenazol 100mg sehari selama 2 minggu, obat topikal salep whitfield.

Tinea Imbrikata

Penyakit yang disebabkan jamur dermatofita yang memberikan gambaran khas


berupa lesi bersisik yang melingkarlingkar dan gatal. Disebabkan oleh dermatofita
T. concentricum.

Gambaran klinik : menyerang seluruh permukaan kulit halus, sehingga sering


digolongkan dalam tinea korporis. Lesi bermula sebagai makula eritematosa yang
gatal, kemudian timbul skuama agak tebal terletak konsensif dengan susunan
seperti genting, lesi tambah melebar tanpa meninggalkan penyembuhan dibagian
tangahnya.

Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas berupa lesi konsentris.

Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 4 minggu, sering kambuh


setelah pengobatan sehingga memerlukan pengobatan ulang yang lebih lama,
ketokonazol 200 mg sehari, obat topikal tidak begitu efektif karena daerah yang
terserang luas.

Tinea Kruris

Penyakit jamur dermatifita didaerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus, yang
dapat meluas kebokong dan perut bagian bawah. Penyebab E. floccosum, kadang-
kadang disebabkan oleh T. rubrum.

Gambaran klinik : lesi simetris dilipat paha kanan dan kiri mula-mula lesi berupa
bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas sehingga dapat meliputi scrotum,
pubis ditutupi skuama, kadang-kadang disertai banyak vesikel kecil-kecil.

Diagnosis berdasar gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada
pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskopis langsung memakai larutan KOH
10-20%.

Pengobatan sistemik griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 minggu, ketokonazol,


obat topikal salp whitefield, tolsiklat, haloprogin, siklopiroksolamin, derivat azol dan
naftifin HCL.

Tinea Manus et Pedis

Merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita didaerah kilit
telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki serta
daerah interdigital. Penyebab tersering T. rubrum, T. mentagrophytes, E.
floccosum.

Gambaran klinik ada 3 bentuk klinis yang sering dijumpai yaitu:

a. Bentuk intertriginosa berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari tampak warna
keputihan basah terjadi fisura terasa nyeri bila disentuh, lesi dapat meluas sampai ke kuku
dan kulit jari. Pada kaki lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V.
b. Bentuk vesikular akut ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bila terletak agak dalam
dibawah kulit sangat gatal, lokasi yang yang sering adalah telapak kaki bagian tengah
melebar serta vesikulanya memecah.
c. Bentuk moccasin foot pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak tepi sampai punggung kaki
terlihat kulit menebal dan berskuama, eritema biasanya ringan terutama terlihat pada
bagian tepi lesi.

Diagnosis ditegakkan berdasar gambaran klinik danpemeriksaan kerokan kulit


dengan larutan KOH 10-20% yang menunjukkan elemen jamur. Pengobatan cukup
topikal saja dengan obat-obat anti jamur untuk interdigital dan vesikular selama 4-6
minggu.

Tinea unguium

Kelainan kuku yang disebabkan infeksi jamur dermatofita. Penyebab tersering


adalah T. mentagrophites, T. rubrum.

Gambaran klinik biasanya menyertai tinea pedis atau manus penderita berupa
kuku menjadi rusak warna menjadi suram tergantung penyebabnya, distroksi kuku
mulai dari dista, lateral, ataupun keseluruhan.

Diagnosis ditegakkan berdasar gejala klinis pada pemeriksaan kerokan kuku


dengan KOH 10-20 % atau biakan untuk menemukan elemen jamur.

Pengobatan infeksi kuku memerlukan ketekunan, pengertian kerjasama dan


kepercayaan penderita dengan dokter karena pengobatan sulit dan lama.
Pemberian griseofulvin 500 mg sehari selama 3-4 bulan untuk jari tangan untuk jari
kaki 9-12 bulan. Obat topical dapat diberikan dalam bentuk losion atau crim.

BAB IV

Pruritus Penyakit Sistemik

Etiologi pruritus karena penyakit sistemik14

Kondisi metabolik dan endokrin

Hipertiroidisme
2.. Hipotiroidisme
Kehamilan

Tumor ganas

Limfoma, myeloid dan lymphatic leukemia, myelodysplasia


Multiple myeloma
Hodgkin disease
Kanker jenis lain
3. Obat-obatan

Aspirin, alkohol, dextran, polymyxin B, morphine, codeine,


scopalamine, D-tubocurarine, IV hydroxyethyl starch

4. Penyakit ginjal

Gagal ginjal

Kelainan darah

Polycythemia vera
Paraproteinemia, defisiensi Fe

Kelainan hepar

Penyakit obstruktif biliar


5. Kehamilan (kolestasis intrahepatik)
Psikogenik

6. Periode stress emosional


Pruritus psychogenic
Anoreksia nervosa
Necrotic axcoriations
Delusi parasitosis

7.

Tabel 4.1 Pruritus Penyakit Sistemik

4. Pruritus pada kondisi metabolik dan endokrin1

Kehamilan

Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan terkadang juga memiliki hubungan
dengan kolestasis. Pruritus terutama terdapat pada trimester terakhir pada kehamilan,
dapat dimulai dari daerah abdomen atau badan yang kemudian berkembang menjadi
generalisata. Pruritus juga dapat disertai dengan anoreksia, nausea dan juga vomitus.
Pruritus dapat menghinlang sesudah penderita melahirkan tetapi dapat residif pada
kehamilan berikutnya.

Penyakit endokrin

Pada hiperparatiroidia sekunder pruritus terjadi karena pada kondisi tersebut terdapat
kenaikan hormon paratiroid dalam plasma yang menyebabkan penurunan ekskresi
karena Ca dalam serum tidak berubah. Deposit kalsium fosfat di kulit tersebut pada
akhirnya menyebabkan pruritus. Pada hipertiroid dan hipotiroid penyebab timbulnya
pruritus belum dapat diketahui dengan jelas. Tetapi dapat berkaitan dengan peningkatan
tekanan darah, peningkatan suhu kulit dan aktivitas kelenjar paratiroid yang abnormal
yang pada akhirnya dapat menyebabkan pruritus.

4. Pruritus pada penyakit hepar15

Pruritus hepatikum merupakan gejala ikutan yang utama pada penyakit hati dan biasanya
disertai kolestasis. Pruritus yang terjadi dianggap berkaitan dengan garam empedu.
Intensitas gatal sebanding dengan konsentrasi garam empedu dalam darah.

Pada kolestasis penyebab terjadinya pruritus juga belum sepenuhnya diketahui. Zat yang
menumpuk dalam plasma dan jaringan lain yang merupakan akibat dari kolestasis dapat
menjadi penyebab terjadinya pruritus. Namun sifat dan mekanisme zat tersebut juga
belum diketahui secara pasti. Hipotesis lain menyebutkan bahwa pruritus pada kolestasis
berhubungan dengan peningkatan opiodergic. Pruritus pada kolestasis dapat
dianalogkan dengan pruritus yang terjadi akibat farmakologi yang berhubungan juga
dengan peningkatan opiodergic.

Pruritus sebagai ekspresi kolestasis merupakan tanda adanya onstruksi pada empedu
(obstructive biliary disease). Perasaan gatal biasanya lebih banyak jika penyakit disertai
dengan ikterik. Obstruksi dapat berlokasi intra atau ekstra hepatal.

Selain itu, pruritus juga dapat bermanifestasi sebagai efek samping obat-obat yang
memberi efek samping obstruksi biliar intra-hepatal seperti klorpromazin, intra atau ekstra
hepatal misalnya klorpromazin, metil testosteron dan pil kontrasepsi.

4. Pruritus pada penyakit ginjal16

Uremia merupakan penyebab metabolik yang paling sering. Penyebab pruritus pada
penyakit ginjal belum dapat diketahui secara pasti dan dapat bersifat multifaktorial.
Sejumlah faktor diketahui menyebabkan pruritus uremik namun etiologi spesifik pada
umumnya belum diketahui pasti. Beberapa kasus pruritus lebih berat selama atau setelah
dialisis. Berikut ini merupakan beberapa mekanisme yang menyebakan pruritus yaitu
sebagai berikut :

Xerosis

Masalah kulit yang sering terjadi pada pasien dialisis (60%-90%) yang memicu terjadinya
pruritus uremia. Xerosis atau dry skin akibat atrofi kelenjar sebasea, gangguan fungsi
sekresi eksternal, dan gangguan hidrasi stratum korneum. Skin dryness pada pasien
dialisis yang pruritus mempunyai hidrasi lebih rendah dibandingkan pasien dialisis tanpa
keluhan pruritus.

Hiperparatiroid

Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan dapat
menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium di kulit.

Peningkatan proliferasi sel mast di kulit

Pada pasien uremia, jumlah sel mast dermis meningkat, dan kadar histamin dan triptase plasma
lebih tinggi pada pasien dengan pruritus uremik berat.

Neuropati sensorik uremik

Pruritus uremik merupakan sensasi gatal dari neuropati dan neurogenik. Pruritus ditransmisikan
melalui serabut C di kulit. Stimulan serabut C meliputi sitokin, histamin, serotonin, prostaglandin,
neuropeptida, dan enzim. Sensasi gatal neuropati dapat berasal dari kerusakan sistem saraf di
sepanjang jalur afferen.

Stahle-Backdahl menyatakan bahwa pruritus uremik dapat disebabkan oleh proliferasi


abnormal serabut saraf sensorik

Berkurangnya eliminas transepidermal faktor pruritogenik

Secara teori, akumulasi senyawa pruritogenik yang tidak terdiaisis dapat menimbulkan
efek sensasi gatal di saraf pusat ataupun di reseptor. Senyawa pruritogenik di antaranya
vitamin A, hormon paratiroid dan histamin yang berpotensi menimbulkan pruritus. Namun
tidak ada bukti-bukti yang mendukung bahwa senyawa tersebut menyebabkan pruritus
uremik. Stale-Backdahl menyatakan hipotesa bahwa pruritus uremik dapat disebabkan
oleh proliferasi abnormal serabut saraf sensorik yang dikenal sebagai neuropati uremik.
Stale menemukan serabut saraf dan saraf terminal tersebar di lapisan epidermis pasien
dialisis. Namun, laporan terbaru menyatakan tidak ada perbedaan distribusi serabut saraf
sensorik enolase-positip antara pasien normal dengan pasien uremik. Marker infl amasi
seperti C-reactive protein dan interleukin-6 dilaporkan juga meningkat pada pasien
pruritus uremik.

Hiperkalsemia

Hiperfosfatemia
Peningkatan kadar histamin

Histamin, basofi l, trombosit, dan sel mast peritoneal serta bronkial telah dikenal sebagai pemicu
rasa gatal pada kulit yang alergi. Pelepasan histamin dipicu oleh substansi P, neurotransmiter
yang terlibat dalam sensasi rasa gatal. Kadar histamin yang meningkat telah dilaporkan pada
pasien uremia, namun hubungan antara kadar histamin dengan derajat pruritus masih belum
jelas. Reaksi fl are akibat histamin sangat sedikit pada pasien uremia dibandingkan pasien
normal, dan antagonis histamin biasanya tidak efektif mengurangi pruritus uremik. Jadi, sangat
tidak mungkin bahwa histamin berperan sebagai patogen utama pruritus.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5. Kesimpulan

1. Pruritus merupakan sensasi tidak menyenangkan pada kulit yang menyebabkan keinginan
untuk menggaruk. Internasional Forum For the Study of Itch (IFSI) mengelompokkan
pruritus menjadi akut dan kronik, dengan lama gejala pruritus 6 minggu atau lebih.
2. Pruritus dapat disebabkan karena faktor eksogen ataupun faktor endogen
3. Penyebab pruritus dapat disebabkan karena adanya kelainan kulit dan juga dapat
disebabkan karena penyakit sistemik lain
4. Pruritus menurut patofisiologinya dapat dibedakan menjadi pruritoceptive, neuropathic,
neurogenic dan phsycogenic
5. Manifestasi klinis dari pruritus meliputi UKK sekunder seperti likenifikasi, ekskoriasi dan
lainnya
6. Penatalaksanaan dapat meliputi aspek farmakologi dan non farmakologi
7. Pruritus harus dapat ditangani secara tepat karena mempengaruhi kualitas hidup
seseorang.
5. Saran

1. Penelitian yang berkaitan dengan pruritus harus diperbanyak karena dapat menambah
wawasan dan kepustakaan khususnya bagi mahasiswa dan juga untuk masyarakat umu
2. Penyusunan referat tentang pruritus yang lebih baik dan lebih lengkap.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi, Hamzah M, Aisah S. 2007. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 5. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI. Hal 321-323: 342-352
2. Karnath, B. 2005. Pruritus A Sign of Underlying Disease

http://www.turnerwhite.com/memberfile.php?PubCode=hp_oct05_pruritus.pdf
3. Wolf, K. 2008. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine edisi 7. New York The
MacGraw-Hill Company hal 902-911
4. Mirsey, L dan Stander, S. 2010. (eds) Pruritus, Dol 10.1007/978-1-84882-322-8_11.
London: Springer verlag london limited
5. http://www.itchforum.net/content/e02about_Itch/index_eng.html
6. Stander, S, dkk. 2007. Clinical Classification of Itch: a Position Paper of the International
Forum for the Study of Itch. Prancis: Acta dern venereol
7. Louise, OA. 2011. Neuropathic Itch. US: PMC (US National Library of Medicine National
Institutes of Health)

www.nci.nih.gov>journallist>NHPAAuthorManusripts

8. www.medscape.com/viewarticle/730033-4
9. Stephanie. 2008. Physcogenic Pruritus. USA: Harvard Medical School;
10. Mirsey, L, dkk. 2009. Itch Disoreder or Physcogenic Pruritus. France: Department of
Dermatology,University Hospital FR 29609 Brest Cedex, France
11. http://www.scribd.com/doc/45790104/Mekanisme-Gatal-Pruritus
12. http://as3pram.files.wordpress.com/2007/07/potensi-kortikosteroid-topikal.pdf
13. Nafrialdi, Setiawati A. 2007. Farmakologi dan terapi: edisi 5. Jakarta. Hal 277-285: 51
14. Wolf, K. 2009. Fitspatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology: edisi 6. New
York: The MacGraw-Hill Company. Hal 1068-1069
15. Yohova,D. 2007. Pruritus In Certain Internal Disease. USA: US National Library of
Medicine National Institutes of Health
16. Roswati, E. 2010. Pruritus pada Pasien Hemodialisis. Medan: Divisi Neurologi dan
Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU

Anda mungkin juga menyukai