Anda di halaman 1dari 41

BRONKIOLITIS

Pengertian
Bronkiolitis adalah inflamasi dari bronkioli pada bayi berusia <2 tahun.
Berdasarkan guideline dari Inggris, bronkiolitis adalah penyakit seasonal viral
yang ditandai dengan adanya panas, pilek, batuk mengi. Pada pemeriksaan
fisis ditemukan crackles inspiratory dan/atau high pitched expiratory wheeze.

Etiologi dari bronkiolitis antara lain respiratory syncytial virus (RSV)


sebagai yang tersering, rhinovirus, adenovirus, virus parainfluenzae virus,
enterovirus, dan virus influenzae. Bronkiolitis juga merupakan penyebab
tersering perawatan anak usia 2-6 bulan, dan sering keliru didiagnosis dengan
asma. Berbagai gejala dan tanda serta pemeriksaan penunjang pada
bronkiolitis tidak jarang sama dengan pneumonia, sehingga timbul istilah
bronkopneumonia

Anamnesis
Sering terjadi pada anak berusia <2 tahun. Sebanyak 90%
kasus yang membutuhkan perawatan di rumah sakit terjadi pada bayi
berusia <1 tahun. Insidens tertinggi terjadi pada usia 3-6 bulan. Anak yang
menderita bronkiolitis mengalami panas badan atau riwayat panas badan,
namun jarang terjadi panas tinggi. Rinorea, nasal discharge (pilek), sering
timbul sebelum gejala lain seperti batuk, takipne, distres nafas, dan kesulitan
makan. Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama muncul pada
bronkiolitis. Batuk kering, batuk mengi khas untuk bronkiolitis poor feeding.
Banyak pasien bronkiolitis mempunyai kesulitan makan yang
berhubungan dengan sesak napas, namun gejala tersebut bukan hal mendasar
untuk diagnosis bronkiolitis. Bayi dengan bronkiolitis jarang tampak
‖toksik‖, Bayi dengan tampilan toksik seperti mengantuk, letargis,
gelisah, pucat, motling, dan takikardi membutuhkan penanganan segera.

Adapun, faktor risiko kasus bronkiolitis berat, adalah:


 Usia. Bayi usia muda dengan bronkiolitis mempunyai risiko lebih tinggi
untuk mendapat perawatan di rumah sakit.
 Prematuritas. Bayi lahir prematur kemungkinan menderita RSV-
associated hospitalization lebih tinggi daripada bayi cukup bulan.
 Kelainan jantung bawaan.
 Chronic lung disease of infancy.
 Orangtua perokok.
 Jumlah saudara/berada di tempat penitipan.
 Sosioekonomi rendah.
Pemeriksaan fisis
Napas cepat merupakan gejala utama pada lower respiratory tract
infection (LRTI), terutama pada bronkiolitis dan pneumonia.
Retraksi dinding dada (subkosta, interkosta, dan supraklavikula) sering
terjadi pada pasien bronkiolitis. Bentuk dada tampak hiperinflasi pada
bronkiolitis,
keadaan tersebut membedakan bronkiolitis dari
pneumonia.
Fine inspiratory crackles pada seluruh lapang paru sering ditemukan
(tapi tidak selalu) pada pasien bronkiolitis. Bayi dengan mengi tanpa
crackles dikelompokkan sebagai viral-induced wheeze dari pada
bronkiolitis.
Di Inggris, high pitched expiratory wheeze merupakan gejala yang sering
ditemukan pada bronkiolitis, tapi bukan temuan pemeriksaan fisis
yang mutlak. Di
Amerika, diagnosis bronkiolitis lebih ditekankan pada adanya
mengi.
Apnea dapat terjadi pada bronkiolitis, terutama pada usia yang sangat
muda, bayi prematur, atau berat badan lahir rendah.

Pemeriksaan penunjang
Saturasi oksigen
Pulse oximetry harus dilakukan pada setiap anak dengan bronkiolitis. Bayi
dengan saturasi oksigen ≤ 92% membutuhkan perawatan diruang
intensif. Bayi dengan saturasi oksigen >94% pada udara ruangan dapat
dipertimbangkan untuk dipulangkan.
Analisis gas darah.
Umumnya, tidak diindikasikan pada bronkiolitis. Pemeriksaan tersebut
berguna untuk menilai bayi dengan distres nafas yang berat dan
kemungkinan mengalami gagal nafas.
Foto toraks
Gambaran yang mendukung adalah hiperlusensi dengan infiltrat minimal.
Foto toraks dipertimbangkan pada bayi dengan diagnosis meragukan atau
penyakit atipikal. Foto toraks sebaiknya tidak dilakukan pada bronkiolitis
yang tipikal. Foto toraks pada bronkiolitis yang ringan tidak
memberikan informasi yang dapat mempengaruhi pengobatan.
Pemeriksaan virologi
Rapid diagnosis dari infeksi virus pada saluran nafas adalah cost effective
dengan mengurangi lama perawatan, penggunaan antibiotik, dan
pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi secara rutin (darah dan urin) tidak diindikasikan
pada pasien bronkiolitis bakteriologi tipikal. Pemeriksaan bakteriologi dari
urin dipertimbangkan pada bayi berusia < 60 hari.
Hematologi
Pemeriksaan lengkap darah tidak diindikasikan dalam menilai dan tata
laksana bayi dengan bronkiolitis tipikal.
C-reactive protein (CRP)
Penelitian yang ada merupakan penelitian retrospektif atau penelitian
dengan kualitas yang buruk dan tidak memberikan bukti yang cukup yang
berhubungan dengan bronkiolitis.

Tata
laksana
Medikamentosa
Bronkiolitis pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Bronkiolitis
dengan klinis ringan dapat rawat jalan, jika klinis berat harus rawat inap.
Terapi suportif seperti pemberian oksigen, nasal suction masih dapat
digunakan.
Fisioterapi dada dengan vibrasi dan perkusi tidak direkomendasikan
untuk pengobatan penderita bronkiolitis yang tidak dirawat di ruang intensif.
Pemberian antiviral, inhalasi β2-agonis, inhalasi antikolinergik
(ipratropium) dan
inhalasi kortikosteroid belum mempunyai bukti yang kuat.
Jika klinis dan penunjang sesuai dengan bronkiolitis, antibiotik tidak
perlu diberikan. Namun bila ada keraguan, pasien didiagnosis sebagai
bronkopneumonia dan perlu diberikan antibiotik.
Indikasi perawatan di ruang perawatan
intensif:
Gagal mempertahankan saturasi oksigen >92% dengan terapi oksigen.
Perburukan status pernafasan, ditandai dengan peningkatan distres nafas
dan/atau kelelahan.
Apnea berulang.

Disclaimer
Pedoman ini hanya utuk tata laksana praktis, tidak mutlak mengikat, dapat
disesuaikan dengan situasi, kondisi dan sarana setempat. Informasi detil
tentang obat dapat dilihat dalam farmakope IDAI.

Daftar
pustaka
1. Wohl MEB. Bronchiolitis. Dalam: Chernick V, Kendig EL,
penyunting.
Kendig's disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2006. h. 423-40.
2. Watt KD, Goodman DM. Wheezing in infant: bronchiolitis. Dalam: Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB, Stanton BF,penyunting. Nelson textbook
of pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co; 2007. h. 1773-77.
3. Bronkiolitis in children a national clinical guideline. Scottish
intercollegiate guidelines network. Diunduh dari: http://www.sign.ac.uk.
4. Ko HM, Chu I. The evidence based management of bronchiolitis.
Diunduh dari:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_pediatrics_and_neon
atolo gy/volume_10_number_1_11/article/the-evidence-based-
management-of- bronkiolitis.html
PNEUMONIA
Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstisial. Pneumonia didefinisikan berdasarkan
gejala dan tanda klinis, serta perjalanan penyakitnya. WHO mendefinisikan
pneumonia hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada
pemeriksaan inspeksi dan frekuensi pernapasan.
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai
negara terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia. Insidens
pneumonia pada anak < 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100
anak/tahun, sedangkan di negara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun.
Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak
balita di negara berkembang.
Berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia, antara lain
virus, jamur, dan bakteri. S. pneumoniae merupakan penyebab tersering
pneumonia karena bakteri pada semua kelompok umur. Virus lebih sering
ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory Syncytial Virus (RSV)
merupakan virus penyebab tersering pada anak kurang dari 3 tahun. Pada
umur yang lebih muda, adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza virus juga
ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia pneumoniae, lebih sering
ditemukan pada anak-anak, dan biasanya merupakan penyebab tersering
yang ditemukan pada anak lebih dari 10 tahun. Penelitian di Bandung
menunjukkan bahwa pada pasien pneumonia umur 2-59 bulan sebagian
besar apusan tenggoroknya ditemukan Streptococcus pneumonia dan
Staphylococcuc epidermidis.
Beberapa faktor meningkatkan risiko untuk terjadinya dan beratnya
pneumonia, antara lain defek anatomi bawaan, defisit imunologi, polusi, GER
(gastroesophageal reflux), aspirasi, gizi buruk, berat badan lahir rendah, tidak
mendapatkan ASI, imunisasi tidak lengkap, adanya saudara serumah yang
menderita batuk, dan kamar tidur yang terlalu padat penghuninya.

Anamnesis
- Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak
purulen bahkan bisa berdarah
- Demam
- Sesak napas
- Kesulitan makan/minum
- Tampak lemah
- Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi
imunokompromais, kelainan anatomi bronkus, atau asma

Pemeriksaan Fisis
- Penilaian keadaan umum anak, frekuensi respirasi dan nadi harus
dilakukan pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang
dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel
- Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum
- Demam dan sianosis
- Gejala distres respirasi seperti takipnea, napas cuping hidung, retraksi
suprasternal, retraksi interkostal, retraksi subkostal
- Pada auskultasi dapat terdengar ronki basah
- Jika didapatkan suara napas melemah, pikirkan kemungkinan efusi pleura
- Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia
yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri
yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala
pernapasan tak teratur dan hipopnea.

Diagnosis Banding
− Bronkiolitis
− Asma
− Bronkitis akut

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi
- Pemeriksaan Rontgen dada tidak direkomendasikan dilakukan secara
rutin pada anak dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa
komplikasi
- Pemeriksaan Rontgen dada direkomendasikan pada penderita pneumonia
yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan
- Pemeriksaan Rontgen dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan
adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia berat,
gejala yang menetap atau memburuk, atau tidak respon terhadap
antibiotik
- Pemeriksaan Rontgen dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.

Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan
untuk membantu menentukan pemberian antibiotik
- Pemeriksaan biakan dahak dan pengecatan Gram sputum dengan kualitas
yang baik direkomendasikan dalam tata laksana anak dengan pneumonia
yang berat.
- Biakan darah tidak direkomendasikan diperiksa rutin pada pasien rawat
jalan, tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi
yang berat dan pada setiap anak yang dicurigai menderita pneumonia
bakterial
- Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk
mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa biakan virus, jika fasilitas
tersedia.
- Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis dan kultur, serta deteksi antigen bakteri (jira
fasilitas tersedia) untuk penegakan diagnosis dan menentukan mulainya
pemberian antibiotik
- Pemeriksaan CRP dan pemeriksaan fase akut lain tidak dapat
membedakan infeksi viral dan bakterial, dan tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin
- Pemeriksaan prokalsitonin (PCT) dapat mengarahkan kemungkinan
infeksi bakterial
- Pemeriksaan PPD selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat
kontak dengan pasien TBC dewasa

Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya
dilakukan pemeriksaan pulse oxymetri

Prosedur Diagnostik
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas
dan retraksi subkosta untuk mengklasifkasikan pneumonia di negara
berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut mempunyai sensitivitas
yang rendah untuk anak malnutrisi, dan sering overlapping dengan gejala
malaria. Klasifikasi pneumonia (berdasarkan WHO):
Bayi kurang dari 2 bulan
o Pneumonia berat : napas cepat atau retraksi yang berat
o Pneumonia sangat berat :
tidak mau menetek/minum
kejang
letargis
demam atau hipotermia
bradipnea atau pernapasan ireguler
Anak umur 2 bulan – 5 tahun
o Pneumonia ringan : napas cepat
o Pneumonia berat : retraksi
o Pneumonia tangat berat :
tidak dapat minum/makan
kejang
letargis
malnutrisi

Tata laksana
Kriteria Rawat Inap
Pada Bayi :
Saturasi oksigen < 92%, sianosis
Frekuensi napas > 60 x/menit
Distres respirasi, apnea intermiten, atau grunting
Tidak mau minum/menetek
Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Pada Anak :
Saturasi oksigen < 92%, sianosis
Frekuensi napas > 50 x/menit
Distres respirasi
Grunting
Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tatalaksana Umum
− Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan
udara kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head
box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen di atas
92% (A)
− Pasien yang mendapatkan terapi oksigen, harus dilakukan observasi
setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen
(D)
− Pada pneumonia berat atau asupan per-oral kurang, diberikan cairan
intra vena dan dilakukan balans cairan ketat (D)
− Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan
dilakukan pada anak dengan pneumonia (B)
− Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien dan mengontrol batuk.
− Nebulisasi dengan B2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk
meningkatkan mucocilliary clearance (D)

Pemberian Antibiotik
− Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada
anak < 5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik, dan
murah. Alternatifnya adalah ko-amoksiklav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin (B)
− Karena M. pneumoniae lebih prevalen pada anak yang lebih tua,
antibiotik golongan makrolide diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak > 5 tahun (D).
− Makrolide diberikan jika M. pneumoniae atau C. pneumonia dicurigai
sebagai penyebab (D)
− Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolide atau
kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin (D)
− Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak
dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat (D)
− Antibiotik intravena yang danjurkan adalah: ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxon, cefuroxime, dan cefotaxime.
(D)
− Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena (D).
Tabel 1. Antibiotik intra vena
Antibiotik Dosis Frekuensi Relative cost Keterangan
Penisilin G 50.000 Tiap 4 rendah S. pneumonia
unit/kg/kali jam
Dosis
tunggal
maks.
4.000.000
unit
Ampisilin 100 Tiap 6 rendah
mg/kg/hari jam
Kloramfenikol 100 Tiap 6 rendah
mg/kg/hari jam
Ceftriaxone 50 1 x / hari tinggi S. pneumoniae, H. influenza
mg/kg/kali
dosis
tunggal
maks.
2 gram
Cefuroxime 50 Tiap 8 tinggi S. pneumoniae, H. influenzae
mg/kg/kali jam
Dosis
tunggal
maks. 2
gram
Clindamycin 10 Tiap 6 rendah Group A strep., S. aureus, S.
mg/kg/kali jam pneumoniae (alternatif untuk anak
Dosis yang alergi thd beta lactam, lbh
tunggal jarang menimbulkan flebitis pd
maks. 1,2 pemberian IV drpd eritromisin)
gram
Eritromisin 10 Tiap 6 rendah S. pneumonia, Chlamydia
mg/kg/kali jam pneumonia, Mycoplasma pneumonia
Dosis
tunggal
maks. 1
gram
REKOMENDASI UKK RESPIROLOGI

Antibiotik untuk community acquired pneumonia:


1. Neonatus – 2 bulan : Ampisilin +gentamisin
2. > 2 bulan :
- Lini pertama Ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan
dapat ditambahkan kloramfenikol
- Lini kedua Seftriakson

Bila klinis perbaikan penggantian antibiotik menjadi preparat oral


digunakan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.

Nutrisi
a. Pada anak dengan distres respirasi berat, pemberian makanan per
oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat NGT atau
intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat
menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil (D).
b. Perlu dilakukan monitor balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia yang berat terjadi
peningkatan sekresi hormon anti diuretik.

Kriteria pulang
− Gejala dan tanda pneumonia menghilang
− Intake per oral adekuat
− Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
− Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
− Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah

Prognosis
Secara umum prognosis pneumonia adalah baik. Sebagian besar pasien
akan sembuh tanpa komplikasi dan jarang terjadi infeksi yang bersifat fatal.
Prognosis tergantung pada penyakit dasar dan lama penyakit berlangsung
sebelum mendapat terapi yang sesuai. Pada kasus berat, meskipun sudah
mendapat terapi antibiotic yang sesuai, mungkin mengalami komplikasi
respiratorik seperti ancaman gagal nafas sehingga memerlukan ventilator.

Disclaimer
Pedoman ini hanya utuk tatalaksana praktis, tidak mutlak mengikat,
dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi dan sarana setempat. Informasi
detil tentang obat dapat dilihat dalam farmakope IDAI.
Daftar pustaka
1. Adegbola, RA and Obaro, SK. Review diagnosis of childhood pneumonia
in the tropics. Annal of Trop Med & Par, 2000;94:197-207
2. Britis Thoracic Society of Standards of Care Committee. BTS Guidelines
for the Management of Community Acquired Pneumonia in
Childhood.Thorax 2002;57(suppl1):1i-24i
3. Kartasasmita CB, Duddy HM, Sudigdo S, Agustian D, Setiowati I, Ahmad
TH, et al. Nasopharyngeal bacterial carriage and antimicrobial resistance
in underfive children with community acquired pneumonia. Paediatr
Indones 2001;41:292-5
4. McIntosh K. Review article community acquired pneumonia in children. N
Engl J Med 2002;346:429-37
5. Palafox M, Guiscafre H, Reyes H, Munoz O, Martinez H. Diagnostic value
of tachypnea in pneumonia defined radiologically. Arch Dis Child
2000:82:41-5
6. Swingler GH and Zwarenstein M. Chest radiograph in acute respiratory
infections in children. The Cochrane Library 2002 Issue 2
SERANGAN ASMA AKUT
Pengertian
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode peningkatan yang progesif
(perburukan) dari gejala-gejala asma, yaitu sesak napas, batuk, wheezing, rasa
dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Serangan asma
ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Derajat serangan asma bervariasi
mulai dari yang ringan sedang hingga serangan yang mengancam jiwa.
Perburukan pada serangan asma dapat terjadi dalam beberapa menit, jam,
atau hari. Serangan asma akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor
pencetus (paling sering infeksi virus atau alergen), sedangkan serangan
berupa perburukan yang bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan
jangka panjang penyakit.

Anamnesis
Gejala respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas,
rasa dada tertekan, dan produksi sputum. Karakteristik gejala yang mengarah
ke asma adalah:
1. Gejala timbul secara episodik atau berulang.
2. Timbul bila ada faktor pencetus.
Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa,
pengawet makanan, pewarna makanan.
Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,
rinofaringitis.
Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
3. Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
4. Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
5. Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan
pemberian obat pereda asma.

Pemeriksaan fisis
Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik
yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop.
Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau
rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographic tongue.

Penilaian derajat serangan asma


Kriteria untuk menentukan derajat keparahan serangan asma pada anak dapat
ditentukan bila memenuhi gejala yang tercantum pada tabel berikut ini.

Tabel 1. Derajat keparahan serangan asma


Asma serangan Serangan asma dengan
Asma serangan berat
ringan sedang ancaman henti napas

- Bicara dalam - Bicara dalam kata - Mengantuk


kalimat
- Duduk bertopang - Letargi
- Lebih senang duduk lengan
- Suara napas tak
daripada berbaring
- Gelisah terdengar
- Tidak gelisah
- Frekuensi napas
- Frekuensi napas meningkat
meningkat
- Frekuensi nadi
- Frekuensi nadi meningkat
meningkat
- Retraksi jelas
- Retraksi minimal
- SpO2 (udara kamar) <
- SpO2 (udara kamar): 90%
90 – 95%
- PEF < 50% prediksi
- PEF > 50% prediksi atau terbaik
atau terbaik

Tata laksana
The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana serangan asma menjadi
dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes)/RS. Tata laksana di rumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya)
sendiri di rumah.

1. Tata laksana di rumah


Dapat diberikan jika anak tidak dalam keadaan sesak berat dan tidak
termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu memiliki riwayat:
Serangan asma yang mengancam nyawa.
Intubasi karena serangan asma.
Pneumotoraks atau pneumomediastinum.
Serangan asma berlangsung dalam waktu lama.
Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti).
Kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) atau perawatan rumah sakit
karena asma dalam setahun terakhir.
Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi.
Berkurangnya persepsi tentang sesak napas.
Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
Alergi makanan.
Jika tidak terdapat kondisi seperti di atas, anak dapat diberikan inhalasi
agonis β2 kerja pendek menggunakan nebuliser atau dengan MDI + spacer.
Jika diberikan via nebuliser
1. Berikan agonis 2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala
(sesak napas dan wheezing) menghilang, cukup diberikan satu
kali.
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian
sekali lagi
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis 2 kerja pendek via
nebuliser belum membaik, segera bawa ke fasiilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes).
Jika diberikan via MDI + spacer
1. Berikan agonis 2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4
semprot. Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan
napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau
mouthpiece. Bile belum ada respons berikan semprot berikutnya
dengan siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis ≤4 semprot, inhalasi dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke
fasyankes.
2. Tata laksana di UGD rumah sakit, dapat dilihat pada gambar di bawah
ini.
Gambar 1. Alur tata laksana serangan asma pada anak di fasyankes
dan rumah sakit
Pasien dengan serangan

Nilai derajat serangan asma


Cari riwayat asma risiko tinggi
RINGAN – SEDANG BERAT
Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata
Lebih senang duduk daripada berbaring Duduk bertopang lengan ANCAMAN HENTI
Tidak gelisah NAPAS
Gelisah
Frekuensi napas meningkat Mengantuk/letargi
Frekuensi napas meningkat
Frekuensi nadi meningkat Suara napas tak
Frekuensi nadi meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar): 90 – 95% SpO2 (udara kamar) < 90%
PEF > 50% prediksi atau terbaik PEF < 50% prediksi atau
terbaik
MULAI TERAPI AWAL SEGER
Berikan oksigen 1-2 L/menit jika SpO2 < 94% MEMBURU
Agonis β2 kerja pendek:
o Via nebuliser atau via MDI dan spacer (4-10 semprot)
o Nebulisasi dapat diulang sampai 3 kali tiap 20 menit RUJUK KE RUMAH SAKIT
dalam 1 jam Sambil menunggu, lakukan terapi:
Untuk nebulisasi ketiga pertimbangkan kombinasi β2-agonis Nebulisasi agonis β2 kerja pendek
kerja pendek dan ipratropium bromida dan ipratropium bromida
Pada saat serangan : Steroid sistemik Steroid sistemik
(prednison/prednisolon): 1-2 mg/kgBB/hari, maksimum 40 (prednison/prednisolon): 1-2
mg peroral (bila tidak memungkinkan, IV) selama 3 – 5 hari mg/kgBB/hari, maksimum 40 mg IV
Hati-hati dalam penggunaan steroid sistemik* Berikan oksigen 2 L/menit
(pilihan steroid lain lihat tabel)**

Lanjutkan terapi dengan agonis β2 kerja pendek jika diperlukan


NILAI RESPONS TERAPI DALAM 1 JAM BERIKUTNYA (atau MEMBURUK
atau tidak respons
MEMBAIK
SIAPKAN UTK RAWAT JALAN
PENILAIAN SEBELUM OBAT PEREDA: lanjut sampai gejala
Pasien dengan serangan asma berat atau ancaman henti napas
yang dirujuk ke rumah sakit

Penilaian awal:
A: airway B: breathing C: circulation
APAKAH ADA:
mengantuk, letargi, suara paru tak

TIDAK YA

BERAT ANCAMAN HENTI NAPAS


Bicara dalam kata
Duduk bertopang lengan SIAPKAN PERAWATAN ICU
Gelisah Inhalasi 2-agonis kerja pendek
Frekuensi napas meningkat Oksigen
Frekuensi nadi meningkat Siapkan intubasi jika perlu
Retraksi jelas
SpO2 (udara kamar) < 90%
PEF < 50% prediksi atau terbaik

MULAI TERAPI
Inhalasi β2-agonis kerja pendek + ipratropium bromida
Steroid IV
Oksigen untuk menjaga SpO2 94-98%
Berikan Aminofilin IV

Jika memburuk, kelola sebagai SERANGAN ASMA


DENGAN ANCAMAN HENTI NAPAS dan pertimbangkan

Nilai kondisi klinis secara berkala


Periksa spirometri/PEF* (satu jam setelah terapi awal)

FEV1 atau PEF 60 – 80% dan FEV1 atau PEF< 60% dan tidak
terdapat perbaikan gejala terdapat perbaikan gejala
SEDANG BERAT
Pertimbangkan rawat jalan Lanjutkan tata laksana dan
evaluasi berkala
3. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RSS)
Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap
diberikan.
Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan
respons parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis
2 dan ipratropium bromida setiap 2 jam.
Kemudian, berikan steroid sistemik oral berupa prednison atau
prednisolon, dilanjutkan hingga 3-5 hari.
Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan
dibekali obat seperti pasien serangan ringan sedang yang dipulangkan
dari klinik/UGD.

4. Tata laksana di Ruang Rawat Inap


Pemberian oksigen diteruskan.
Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan
koreksi asidosisnya.
Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam, dengan dosis
0,5-1 mg/kgBB/hari.
Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium
bromida dengan oksigen dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali
pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:
- Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan dalam
dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan
selama 30 menit, dengan infusion pump atau mikroburet.
- Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan pemberian
aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 8 jam), dosis
diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun
rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam).
- Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan
dipertahankan 10-20 mcg/ml.
- Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang
sering adalah mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang
berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.
Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam
hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta aminofilin diganti dengan
pemberian peroral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan
dengan dibekali obat agonis 2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap
4-6 jam selama 24-48 jam. Steroid oral dilanjutkan hingga pasien
kontrol ke klinik rawat jalan dalam 3-5 hari untuk reevaluasi.

5. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif, adalah:


Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana awal di UGD
dan/atau perburukan asma yang cepat.
Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti
napas, atau hilangnya kesadaran.
Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang rawat inap.
Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi
oksigen (kadar PaO2 <60 mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg,
meskipun tentu saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang
lebih tinggi atau lebih rendah). Penggunaan ventilator tidak dibahas
dalam pedoman ini.

Disclaimer
Pedoman ini hanya utuk tatalaksana praktis, tidak mutlak mengikat, dapat
disesuaikan dengan situasi, kondisi dan sarana setempat. Informasi detil
tentang obat dapat dilihat dalam farmakope IDAI.

Daftar pustaka
1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop
Report; 2002.
2. Sly M. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting.
Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: Saunders; 1996. h.
628−40.
3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman nasional asma anak. Indonesian
Pediatric Respiratory Meeting I:Focus on asthma. Jakarta:IDAI; 2003.
4. Georgopoulos D, Burchardi H. Ventilatory strategies in adult patient with
status asthmaticus. EurRespir Mon. 1998;8:45−83.
5. Warner JO, Naspitz CK. Third international pediatric consensus statement
on the management of childhood asthma. Ped Pulmonol. 1998; 25:1−17.
6. Pocket guide for asthma management and prevention (for children 5 years
and younger). A Guide for Health Care Professionals. Global Initiative for
Asthma (GINA); 2014.
7. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Global Initiative
for Asthma (GINA) 2014. Diunduh dari: http://www.ginasthma.org/
8. Pocket guide for asthma management and prevention (for adults and
children older than 5 years). Global Initiative for Asthma (GINA); 2011.
TATA LAKSANA JANGKA
PANJANG ASMA PADA ANAK
Pengertian
Kekeliruan yang sering terjadi pada tata laksana asma (termasuk pada anak)
adalah dokter sering hanya terfokus pada penanganan serangan akut saja.
Menurut GINA, keberhasilan tata laksana asma pada anak tidak hanya dalam
hal mengatasi serangan akut saja (tata laksana jangka pendek), tetapi juga
pada aspek pencegahan muncul atau berulangnya serangan, yang disebut
juga tata laksana jangka panjang.
Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah mencapai kendali
asma sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara
optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.
3. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
4. Efek samping obat dapat dicegah untuk tidak atau sesedikit mungkin
terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka tata laksananya perlu dievaluasi
kembali.

Diagnosis
Kriteria penentuan derajat asma
Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat
berdasarkan anamnesis. Derajat asma ditentukan berdasarkan kekerapan
episode gejalan yang muncul (Tabel 1). Klasifikasi derajat asma yang
digunakan pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2015 mengalami
revisi dari klasifikasi yang digunakan pada tahun 2004.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma
Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma
Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6
Intermiten
minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap hari
Keterangan :
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja
asma dan dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan,
penghindaran pencetus) selama 6 minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal, tata
laksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata
laksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke
dalam klasifikasi lebih berat.

Tabel 2. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 2015


PNAA 2004 PNAA 2015

Episodik Jarang Intermiten

Episodik Sering Persisten Ringan

Persisten Sedang
Persisten
Persisten Berat

Tahapan penegakan diagnosis asma


1. Diagnosis kerja : Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum
yaitu penghindaran pencetus, pereda, dan tata laksana penyakit penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi
klinis sudah kuat.
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan.

Labelisasi pasien asma


Tabel 3. Penilaian derajat kendali penyakit asma

A. Penilaian Klinis (Dalam 6-8 minggu)

Terkendali Terkendali
dengan/tanpa obat sebagian
pengendali Tidak
Manifestasi Klinis (Minimal satu
terkendali
(Bila semua kriteria kriteria
terpenuhi) terpenuhi)

Tidak pernah
Gejala Siang Hari >2 kali/minggu
(<2 kali/minggu)

Aktivitas Tidak ada Ada Tiga atau lebih


Terbatas kriteria -
terkendali
Gejala Malam
Tidak ada Ada sebagian*†
Hari

Pemakaian Tidak ada


>2 kali/minggu
Pereda (<2 kali/minggu)

B. Penilaian risiko perjalanan asma (risiko eksaserbasi, ketidakstabilan,


penurunan fungsi paru, efek samping)

Asma yang tidak terkendali, sering eksaserbasi, pernah masuk ICU karena asma,
FEV1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, mendapat pengobatan dosis
tinggi

Tata laksana
a. Tata laksana medikamentosa
Tujuan tata laksana asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan
kendali asma serta menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara
optimal.
Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat
pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Ada yang menyebut obat
pereda sebagai obat pelega atau obat serangan. Obat ini digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan gejala tidak ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan.
Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang digunakan untuk
mencegah serangan asma. Obat ini untuk mengatasi masalah dasar asma
yaitu inflamasi respiratori kronik, sehingga tidak timbul serangan atau gejala
asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
relatif lama, bergantung pada kekerapan gejala asma dan responsnya
terhadap pengobatan/penanggulangan. Obat pengendali asma terdiri dari
steroid anti-inflamasi inhalasi atau sistemik, antileukotrien, kombinasi
steroid–agonis β2 kerja panjang, teofilin lepas lambat, dan anti-imunoglobulin
E.

Tabel 4. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada anak asma

Dosis harian (mcg)


Obat
Sedang Tinggi
Dewasa dan remaja (12 tahun atau l ebih)
Beclometasone dipropionate (CFC)* 200-500 > 500-1000 > 1000
Beclometasone dipropionate (HFA)* 100-200 > 200-400 > 400
Budesonid (DPI) 200-400 > 400-800 > 800
Ciclesonide (HFA) 80-160 > 160-320 > 320
Fluticasone propionate (DPI) 100-250 > 250-500 > 500
Fluticasone propionate (HFA) 100-250 > 250-500 > 500
Mometason furoat 110-220 > 220-440 > 440
Triamcinolone acetonide 400-1000 > 1000-2000 > 2000
Anak usia 6-11 tahun
Beclometasone dipropionate (CFC)* 100-200 > 200-400 > 400
Beclometasone dipropionate (HFA)* 50-100 > 100-200 > 200
Budesonid (DPI) 100-200 > 200-400 > 400
Budesonid (Nebules) 250-500 > 500-1000 > 1000
Ciclesonide 80 > 80-160 > 160
Fluticasone propionate (DPI) 100-200 > 200-400 > 400
Fluticasone propionate (HFA) 100-200 > 200-500 > 500
Mometason furoat 110 > 220-440 > 440
Triamcinolone acetonide 400-800 > 800-1200 > 1200
CFC : chlorofluoorocarbon propellant; DPI : dry powder inhaler; HFA : hydrofluoroalkane propellant
*Beclometasone dipropionate CFC dimasukkan untuk perbandingan

Cara pemeberian obat-obatan secara inhalasi kepada anak tergantung dari


usia anak tersebut, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Cara pemakainan alat inhalasi sesuai usia
Umur Alat inhalasi
<5 tahun Nebuliser dengan masker
Metered Dose Inhaler (MDI) dengan spacer: aerochamber,
optichamber, babyhaler
5−8 tahun Nebuliser dengan mouth piece
MDI dengan spacer
Dry Powder Inhaler (DPI): diskhaler, easyhaler,
swinghaler, turbuhaler
>8 tahun Nebuliser dengan mouth piece
MDI dengan atau tanpa spacer
DPI: diskhaler, swinghaler, turbuhaler

Jenjang pengendalian asma


Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma
anak berdasarkan kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan
tata laksana umum berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan
asma dapat ditentukan dalam waktu enam minggu. Pada asma intermiten
tidak dibutuhkan tata laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1,
sedangkan pada asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai
dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk
menaikkan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali
asma. Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tata
laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang
harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria
berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat
pereda asma ≥3 kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan asma 1
kali dalam satu minggu.

Gambar 1. Jenjang dalam tata laksana asma jangka panjang pada anak usia
>5 tahun
Keterangan gambar: ICS (inhaled corticosteroids, steroid inhalasi); LTRA
(Leukotriene Receptor Antagonist); SABA (short acting beta agonist, agonis
β2 kerja pendek); LABA (long acting beta agonist, agonis β2 kerja panjang)

Keterangan :
1. Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8
minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang ke
atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-12
minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun jenjang
kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek
penghindaran, penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan
omalizumab.

Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali


asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat sesuai
jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah dosis, cara
pemberian obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor
pencetus telah dilaksanakan dengan benar.
Pada setiap jenjang pengendalian, apabila terjadi serangan/eksaserbasi
asma, pasien harus mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis
β2 kerja pendek.

Jenjang 1
Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat
pengendali, hanya mengalami gejala ringan ≤2 kali/minggu dan di
antara serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun
aktivitas sehari hari.
Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat pereda berupa inhalasi
agonis 2 kerja pendek apabila mengalami serangan asma. Sebagai
alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis 2 kerja pendek
kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis 2 kerja pendek oral,
atau teofilin kerja pendek oral.
Pengendalian asma dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat
pereda asma. Bila pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister
setiap bulannya, menandakan anak memerlukan obat pengendali
asma.
Pada tata laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat
dinilai berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru,
dan penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki
faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis
rendah.

Jenjang 2
Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid inhalasi
dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan
antileukotrien, pada pasien asma yang tidak memungkinkan
menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang menderita asma
disertai rinitis alergi.
Teofilin dan kromolin kurang disarankan karena efikasinya lebih
rendah dan lebih sering menimbulkan efek samping.

Jenjang 3
Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun ialah
kombinasi steroid dosis rendah-agonis 2 kerja panjang.
Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada
dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan
spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi
obat di orofaring dan mengurangi efek sistemik.
Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-
antileukotrien atau kombinasi steroid inhalasi dosis rendah-teofilin
lepas lambat.
Jenjang 4
Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3 sebaiknya
dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan
lebih lanjut.
Pada saat ini pasien asma dikategorikan sebagai asma sulit (difficult–to-
treat asthma).
Pilihan pertama pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis
menengah-agonis 2 kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi
dari dosis sedang ke dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan.
Keputusan ini dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi
dosis sedang-agonis 2 kerja panjang diberikan selama 6-8 minggu.
Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis
tinggi-antileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi-
teofilin lepas lambat.
 Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan penambahan anti-
imunoglobulin E (omalizumab) yang dapat memperbaiki
pengendalian asma yang disebabkan karena alergi.

Jenjang 5
Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter spesialis
respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih lanjut.
Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian steroid oral, oleh
karena harus dijelaskan tentang kemungkinan efek samping yang
timbul.

Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi pasien,


derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada umumnya pasien
dimonitor setiap bulan dan pencapaian perbaikan setelah 3 bulan. Selain jenis
obat, dosis obat, cara pemberian obat dan kepatuhan, pasien asma senantiasa
perlu dipantau bagaimana upaya penghindaran faktor pencetus dan adanya
penyakit penyerta asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8-
12 minggu dengan penurunan dosis sebesar 25-50%.

Disclaimer
Pedoman ini hanya utuk tata laksana praktis, tidak mutlak mengikat, dapat
disesuaikan dengan situasi, kondisi dan sarana setempat. Informasi detil
tentang obat dapat dilihat dalam farmakope IDAI.
Daftar pustaka
1. The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma
management and prevention 2014. Diunduh dari: www.ginasthma.org.
2. FitzFerald M. Global strategy for asthma management and prevention
update; 2012.
3. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk.
Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Inter.
2014;63:335-56.
4. Society B. British guideline on the management of asthma : a national
clinical guideline. London: BMJ Publishing; 2011.
TUBERKULOSIS
Pengertian
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua
organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di paru, sebagai lokasi infeksi primer
yang paling sering ditemui. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang
sudah sangat lama dikenal, setua peradaban manusia. Pada awal
penemuan obat anti-tuberkulosis (OAT), timbul harapan penyakit ini akan
dapat ditanggulangi. Namun dengan perjalanan waktu, terbukti penyakit ini
tetap menjadi masalah kesehatan yang sangat serius, baik dari aspek
gangguan tumbuh-kembang, morbiditas, mortalitas, dan kecacatan. Dengan
meluasnya kasus HIV-AIDS, TB mengalami peningkatan bermakna secara
global. Laporan World Health Organization tahun 2009 menunjukkan
Indonesia menduduki peringkat kelima dari jumlah total pasien TB dunia,
setelah India, Cina, Nigeria dan Afrika Selatan. Namun, dari proporsi jumlah
pasien dibanding jumlah penduduk, Indonesia menduduki peringkat
pertama. Tuberkulosis anak yang tidak mendapat pengobatan yang tepat
akan menjadi sumber infeksi TB pada saat dewasa nanti.
Perlu ditekankan sejak awal, ada perbedaan antara infeksi TB dengan
sakit TB. Infeksi TB dapat diketahui dengan berbagai perangkat diagnostik
infeksi TB, misalnya uji tuberkulin. Namun, seorang anak atau dewasa yang
positif terinfeksi TB, ditandai dengan uji tuberkulin positif, belum tentu
menderita sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi OAT, namun
seseorang yang mengalami infeksi TB tanpa sakit TB, belum tentu perlu terapi
OAT, kecuali pada kelompok risiko tinggi yang memerlukan profilaksis.

Anamnesis
Gejala umum dari penyakit TB pada anak tidak khas, dapat berupa sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
2. Demam lama (> 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas.
Etiologi demam berkepanjangan lain perlu disingkirkan terlebih dahulu,
seperti infeksi saluran kemih, malaria, demam tifoid.
3. Batuk lama > 3 minggu, bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah), dan sebab lain batuk telah disingkirkan.
4. Napsu makan tidak ada atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu, malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap > 2 minggu yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare, atau terdapat perut membesar karena cairan atau teraba massa dalam perut.

Pemeriksaan fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi di
daerah bawah atau di bawah P3. Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian
pasien.
Gejala klinis spesifik terkait organ dapat terjadi apabila mengenai organ
ekstrapulmonal, yaitu:
1. Tuberkulosis kelenjar, terbanyak pada regio colli, berupa pembesaran kelenjar
getah bening multipel, diameter > 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, kadang
saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
a. Meningitis TB: terdapat gejala meningitis disertai gejala akibat
keterlibatan nervus kranialis yang terkena.
b. Tuberkuloma otak: gejala akibat lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
a. Spondilitis: berupa penonjolan tulang belakang (gibbus).
b. Koksitis: pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di daerah
panggul.
c. Gonitis (pada tulang lutut): pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
d. Pada tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilis).
4. Skrofuloderma, ditandai dengan ulkus disertai dengan jembatan kulit antar
tepi ulkus (skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
a. Konjungtivitis fliktenularis, yaitu bintik putih di limbus kornea yang
sangat nyeri..
b. Tuberkel koroid.
6. Pada organ lainnya, antara lain peritonitis TB dan TB ginjal, dicurigai apabila
ditemukan gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

Pemeriksaan penunjang
1. Uji tuberculin, dengan cara Mantoux:
Yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD RT 23 2 TU secara
intrakutan di volar lengan bawah dengan arah suntikan memanjang
lengan (longitudinal).
Reaksi diukur 48-72 jam setelah penyuntikan. Indurasi transversal
diukur dan dilaporkan dalam milimeter berapapun ukurannya.
Cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi sama sekali.
Indurasi > 10 mm dinyatakan positif. Indurasi < 5 mm dinyatakan
negatif, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang,
dengan jarak waktu minimal 2 minggu.
Uji tuberkulin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan
kemungkinan TB aktif (sakit TB) pada anak. Reaksi uji tuberkulin
positif biasanya bertahan lama hingga bertahun-tahun walau
pasiennya sudah sembuh, sehingga uji tuberkulin tidak digunakan
untuk memantau pengobatan TB.
2. Foto Rontgen toraks AP dan lateral kanan. Gambaran radiologis yang
sugestif TB antara lain: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal,
konsolidasi segmen / lobus paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelektasis,
atau kalsifikasi.
3. Pemeriksaan mikrobiologik dari bahan bilasan lambung atau sputum,
berupa:
Pemeriksaan langsung basil tahan asam (BTA).
Biakan Mycobacterium tuberculosis menggunakan media Lowenstein
Jensen.
Hasil biakan positif merupakan diagnosis pasti TB. Walaupun
demikian, hasil BTA atau biakan negatif tidak menyingkirkan
diagnosis TB.
Pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan
molekular (line probe assay) dan nucleid acid amplification test, misalnya
Xpert MTB/RIF.
4. Pemeriksaan IGRA (interferon-gamma releasing assay) merupakan pemeriksaan
untuk menilai kadar interferon-gamma dalam darah, sehingga dapat
membantu penegakan diagnosis infeksi TB.
Dua jenis pemeriksaan IGRA yang tersedia adalah QuantiFERON dan
T-Spot. Walaupun demikian, pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan infeksi TB laten dengan penyakit tuberkulosis.
Spesifisitas dan sensitivitas pemeriksaan IGRA tidak lebih superior
dibandingkan uji tuberkulin sehingga tidak dianjurkan pada seluruh
anak.
5. Pemeriksaan patologi dilakukan dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain
yang dicurigai TB. Pemeriksaan serologi seperti PAP TB, ICT, atau Mycodot,
nilai diagnostiknya tidak lebih unggul daripada uji tuberkulin sehingga tidak
dianjurkan.
6. Funduskopi perlu dilakukan pada TB milier dan meningitis TB.
7. Pungsi lumbal harus dilakukan pada TB milier untuk mengetahui ada
tidaknya meningitis TB.
8. Foto tulang, pungsi pleura dilakukan atas indikasi.
9. Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin, sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostik TB.
Cara mendapatkan sampel pada anak
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan sputum pada anak
adalah:
1. Bilas lambung
Bilas lambung dilakukan menggunakan tube nasogastrik dapat
dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak.
Dianjurkan sampel dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada
pagi hari.
2. Induksi sputum
Induksi sputum aman dan efektif dikerjakan pada anak, sejak usia 2
bulan, serta pada setting rawat jalan. Prosedur diawali dengan inhalasi
salbutamol menggunakan nebulizer selama 15 menit atau metered dose
inhaler, dilanjutkan dengan inhalasi larutan salin hipertonik, misalnya
NaCl 3%, selama 15 menit. Setelahnya, anak berusia > 6 tahun
dipandu untuk batuk produktif untuk mengeluarkan sputum.
Sementara, anak berusia < 6 tahun menjalani penghisapan
menggunakan ekstraktor mukus untuk mendapatkan sputum.
3. Mengeluarkan dahak secara langsung
Dapat dilakukan pada anak besar yang mampu mengeluarkan dahak
secara langsung, seperti pada dewasa.

Tata laksana
I. Medikamentosa
Terapi TB terdiri dari dua fase, yaitu:
a. Fase intensif : 3-5 OAT selama 2 bulan awal
b. Fase lanjutan dengan paduan 2 OAT (INH – rifampisin) hingga 6 – 12
bulan.
Pada anak obat TB diberikan secara harian (daily) baik pada fase intensif
maupun fase lanjutan.
TB paru: INH, rifampisin dan pirazinamid selama 2 bulan fase intensif,
dilanjutkan INH dan rifampisin hingga genap 6 bulan terapi (2HRZ –
4HR).
TB paru berat (milier, destroyed lung) dan TB ekstraparu : 4-5 OAT selama
2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin hingga
genap 9-12 bulan terapi.
TB kelenjar superfisial, terapinya sama denganTB paru.
TB milier dan Efusi pleura TB diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu, kemudian dosis diturunkan bertahap (tappering off)
selama 2 minggu, sehingga total waktu pemberian 1 bulan.

Tabel 1. Dosis OAT lini I


Obat Dosis Dosis maksimal Efek simpang
(mg/kb berat
badan)
Isoniazid 7 – 15 300 mg Peningkatan
transaminase, hepatitis,
neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin 10 – 20 600 mg Warna sekresi urin
kuning, mual, muntah,
hepatitis, flu like
reaction
Pirazinamid 30 – 40 2g Hepatotoksisitas,
hipersenstivitas
Etambutol 15 -25 2,5 g Neuritis optikal
(reversibel), gangguan
visus, gangguan warna,
gangguan saluran cerna
Streptomisin 15 – 40 1g Ototoksisitas,
neurotoksisitas

Tabel 2. Dosis kombinasi pada TB anak


Dosis (mg) 2 bulan 4 bulan
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5–7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17 -22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet

Tabel 3. Paduan OAT untuk anak


Jenis Fase intensif Fase Prednison Lama
lanjutan
TB ringan 2 HRZ 4 HR - 6 bulan
Efusi pleura 2 minggu
dosis penuh
TB lalu tapp off
TB BTA 2 HRZE 4 HR -
posiitif
TB paru 2 HRZ + E 7 – 10 HR 4 minggu 9 – 12 bulan
dengan tanda atau S dosis penuh
kerusakan lalu tapp off
luas:
TB miliar
TB+ destroyed
lung
Meningitis TB 10 HR 4 minggu 12 bulan
dosis penuh
lalu tapp off
Peritonitis TB 2 minggu
dosis penuh
lalu tapp off
Perikarditis 2 minggu
TB dosis penuh
lalu tapp off
Skeletal TB -

Kelompok risiko tinggi memerlukan profilaksis medikamentosa.


Profilaksis primer untuk mencegah tertular / infeksi pada kelompok
yang mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa BTA positif.
Profilaksis sekunder untuk mencegah terjadinya sakit TB pada kelompok
yang telah terinfeksi TB tapi belum sakit TB.
Konsep dasar profilaksis primer dan sekunder berbeda, namun obat dan
dosis yang digunakan sama yaitu INH 10 mg/kgBB/hari. Profilaksis primer
diberikan selama kontak masih ada, minimal selama 3 bulan. Pada akhir 3
bulan dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika hasilnya negatif, dan kontak tidak
ada profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif,
dievaluasi apakah hanya terinfeksi atau sudah sakit TB. Jika hanya infeksi
profilaksis primer dilanjutkan sebagai profilaksis sekunder. Profilaksis
sekunder diberikan selama 6-12 bulan yang merupakan waktu risiko
tertinggi terjadinya sakit TB pada pasien yang baru terinfeksi TB.
II. Bedah
TB paru berat dengan destroyed lung untuk lobektomi atau pneumektomi.
TB tulang seperti spondilitis TB, koksitis TB, atau gonitis TB
Tindakan bedah dapat dilakukan setelah terapi OAT selama minimal 2
bulan, kecuali jika terjadi kompresi medula spinalis atau ada abses
paravertebra tindakan bedah lebih awal.

III. Suportif
Asupan gizi yang adekuat sangat penting untuk keberhasilan terapi TB. Jika
ada penyakit lain juga perlu mendapat tatalaksana memadai. Fisioterapi
dilakukan pada kasus pasca-bedah.

IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya)


Untuk kasus meningitis TB ditangani disiplin Neurologi Anak dan
perlu dikonsultasikan ke Bagian Mata. Untuk kasus TB tulang
dikonsultasikan ke Subbagian Bedah Ortopedi. Kasus TB milier
dikonsultasikan ke Bagian Mata untuk evaluasi adanya TB koroid.

Pemantauan
Terapi
Respons klinis
Respons yang baik dapat dilihat dari perbaikan semua keluhan awal. Napsu
makan yang membaik, berat badan yang meningkat dengan cepat, hilangnya
keluhan demam, batuk lama, tidak mudah sakit lagi. Respons yang nyata
biasanya terjadi dalam 2 bulan awal (fase intensif). Setelah itu perbaikan
klinis tidak lagi sedramatis fase intensif.
Evaluasi radiologis
Dilakukan pada akhir pengobatan, kecuali jika ada perburukan klinis. Jika
gambaran radiologis juga memburuk, evaluasi kepatuhan minum obat, dan
kemungkinan kuman TB resisten obat. Terapi TB dimulai lagi dari awal
dengan paduan 4 OAT.
Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis dan cara
pemberiannya benar. Keluhan ini biasanya muncul dalam fase intensif. Pada
kasus yang dicurigai adanya kelainan fungsi hepar, maka pemeriksaan
transaminase serum dilakukan sebelum pemberian OAT, dan dipantau
minimal tiap 2 minggu dalam fase intensif.
Jika timbul icterus, OAT dihentikan kemudian dilakukan uji fungsi hati
(bilirubin dan transaminase). Bila ikterus telah menghilang dan kadar
transaminase <3x batas atas normal, paduan OAT dapat dimulai lagi dengan
dosis terendah. Yang perlu diingat, reaksi hepatoksisitas biasanya muncul
karena kombinasi dengan berbagai obat lain yang bersifat hepatotoksik
seperti parasetamol, fenobarbital, dan asam valproat.
Dalam pemberian terapi dan profilaksis TB evaluasi dilakukan tiap bulan.
Bila pada evaluasi profilaksis TB timbul gejala klinis TB, profilaksis diubah
menjadi terapi TB.

Tumbuh kembang
Pertumbuhan pasien akan mengalami perbaikan nyata. Data berat badan
dicatat tiap bulan dan dimasukkan dalam grafik tumbuh untuk memantau
pola tumbuh pasien selama menjalani terapi. Walau berat badan belum
mencapai ideal, namun pola grafiknya sudah menaik dan memasuki ‗pita‘ di
atasnya, sudah dinilai sebagai respons yang baik.
Komunikasi informasi edukasi (KIE) untuk orang tua pasien
1. Pengobatan TB berlangsung lama, minimal 6 bulan, tidak boleh
terputus, dan harus kontrol teratur tiap bulan.
2. Obat rifampisin dapat menyebabkan cairan tubuh (air seni, air mata,
keringat, ludah) berwarna merah.
3. Secara umum obat sebaiknya diminum dalam keadaan perut kosong
yaitu 1 jam sebelum makan atau minum susu, atau 2 jam setelah
makan. Khusus untuk rifampisin harus diminum dalam keadaan
perut kosong.
4. Bila timbul keluhan kuning pada mata, mual dan muntah, segera
periksa ke dokter walau belum waktunya.

Disclaimer
Pedoman ini hanya utuk tata laksana praktis, tidak mutlak mengikat, dapat
disesuaikan dengan situasi, kondisi dan sarana setempat. Informasi detil
tentang obat dapat dilihat dalam farmakope IDAI.

Daftar pustaka
1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan.
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2013.
2. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman NasionalTuberkulosis pada Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2003.Rahajoe NN, Setyanto DB.
Patogenesis dan perjalanan alamiah. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B,
Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 169–177.
3. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis tuberkulosis pada
anak. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB,
penyunting. Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 194–213.
4. Jasin MR, Setyanto DB, Hadinegoro SR, Lisnawati, Gayatri P, Kurniati N.
Efficacy of sputum induction from lower respiratory tract in children. Paediatr
Indones. 2015;55:101-8.
CROUP
Pengertian
Kelompok penyakit yang bervariasi dalam hal anatomic yang terlibat dan
mikroorganisme penyebab, seringkali mengenai anak dan bermanifestasi suara serak,
bartuk menggonggong, stridor inspirasi dan nberbagai derajat distress pernapasan.

Anamnesis
Panas badan, batuk ringan, sesak nafas, suara sesak, batuk menggonggong, nyeri
menelan, stindor inspirasi, sesak dapat ditemukan mengi.

Pemeriksaan fisik
Panas badan koma, nafas cepat, faringhiperemis/normal, mukosa laring tamoak
pucat, coryza, stirdor dapat ditemukan wheezing tripod sign, dapat ditemukan masa pada
leher

Kriteria diagnosis
Gejala didahului minorrhea, faringithis, panas dalam, batuk ringan, gejala
obstruksi saluran respiratori atas, anak terbangun tiba-tiba pada malah hari, batuk
menggonggong, suara sesak, stridor respirasi, tripod sign.

Diagnosa banding
 Laringotrakeitis akut
 Laringotrakeobronkitis viral
 Spasmodic Croup
 Epiglotitis
 Abses retrofaringeal
 Abses perintonsilar

Pemeriksaan penunjang
 Leukosit > 10.000/mm³ (predominasi PMN)
 Rontgen Thorax
 Laringoskopi : laring tampak pucat
Terapi
 Analgesik, antipiretik, antibiotic sesuai hasil kultur, antibiotikbempiris
sefalosporin generasi ke-3 (seftriakson atau sefatoksim) selama 7-10 hari.
Kloramfenikol 5 hari sama efektifnya dengan pemberian Seftriakson
 Epinefrin pada serangan berat yang memerlukan intubasi dan pada anak yang tidak
memberikan respon dengan penguapan dosis nebulisasi epinefrin rasemat 0.05
ml/kgbb dalam 3-5cc NaCl Fisiologis tiap 2 jam
 Deksametason 0.15-0.6 MG/KGBB PO
 Drainase pada abses retofaringal/ peritonsilar

Edukasi
Hindari asap rokok

Prognosis
 Quo ad vitam: ad bonam
 Quo ad functionam: ad bonam

Kepustakaan
Zoorob R, Sidani M. Murray J. Croup :nan overview. Am Fam Physician. 2011:83(9);
1067-73

Anda mungkin juga menyukai