Anda di halaman 1dari 16

Lompat ke isi utama

Navigasi kedua

ID | EN

Porto

Breadcrumb

BERANDA OBJEK PPH

Objek PPh

Untuk lebih memahami tentang Objek Pajak Penghasilan (selanjutnya disingkat PPh), silahkan disimak
penjelasan seputar Objek PPh berikut ini.

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

laba usaha;

keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal;

keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan


usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro
dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak
ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan

keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut
serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak;

bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;

keuntungan selisih kurs mata uang asing;

selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

premi asuransi;

iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

penghasilan dari usaha berbasis syariah;

imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan

surplus Bank Indonesia.

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
penghasilan berupa hadiah undian;

penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa,
dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diterima oleh perusahaan modal ventura;

penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi,
usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan

harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

warisan;

harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit);

pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: dividen berasal dari
cadangan laba yang ditahan; dan bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan,
baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;

penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan
pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;

beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang
pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan; dan

bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak
tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Tags

belajarpph

e-SPT Masa PPh Pasal 4(2) versi 2.0.1

Patch e-SPT Tahunan PPh Orang Pribadi

Aplikasi e-Faktur Desktop versi 2.2

Aplikasi elektronik Rencana Kebutuhan Impor dan Perolehan (e-RKIP) R.4

Lihat Semua
Format Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di Dalam
Daerah Pabean

Formulir Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak atau Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

Formulir Permohonan EFIN

Form DGT

Lihat Semua

86. Rasio Pajak (Tax Ratio) dari Masa ke Masa

85. Peraturan Pemerintah Pajak Penghasilan...

84. Laporan Pasca Amnesti Pajak

Lihat Semua

Pajak Kita, Untuk KitaPajak Kita, Untuk Kita

PRANALA

Kementerian Keuangan

APBN Kita

Edukasi Pajak

Reformasi Perpajakan

Prasyarat

Hubungi Kami

Kritik & Saran

LogoKemenkeuDJP

Jalan Gatot Subroto, Kav. 40-42, Jakarta 12190

Telp: (+62) 21 - 525 0208

Ikuti Kami
@DITJENPAJAKRI

Pengaduan dan Live Chat

Situs Pajak

Copyright © 2019 Direktorat Jenderal Pajak.

Pengertian Peredaran Bruto Wajib Pajak Badan Dalam Perhitungan SPT Tahunan PPh Badan :

Pengertian Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak Badan memiliki dua pengertian, yaitu :

Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018, adalah sebagai berikut :

Peredaran Bruto adalah penghasilan atau omzet atau penghasilan bruto dari usaha, tidak termasuk :

penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi).

penghasilan selain dari usaha atau penghasilan luar usaha/penghasilan lain-lain.

penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.

penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan yang bukan objek pajak penghasilan.

Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 dan Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2018 digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut :

Peredaran Bruto dengan pengertian tersebut diatas digunakan untuk melihat apakah Peredaran Bruto
berjumlah tidak melebihi Rp.4.800.000.000,-

Apabila Peredaran Bruto Tahun Pajak berjalan berjumlah tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- , maka
perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember Tahun berikutnya dihitung
sebagai PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu sebesar 1 % (mulai 1 Juli 2018 tarif pajak sebesar 0,5 %) dari Peredaran
Bruto tersebut diatas dengan Kode Jenis Setoran Pajak 411128-420 (PPh Pasal 4 ayat 2).

Apabila Peredaran Bruto Tahun Pajak berjalan berjumlah melebihi Rp.4.800.000.000,- , maka
perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember Tahun berikutnya dihitung
sebagai PPh Pasal 25 yaitu berdasarkan perhitungan PPh Pasal 25 SPT Tahunan PPh Badan tersebut
diatas dengan Kode Jenis Setoran Pajak 411125-100 .

Contoh apabila peredaran usaha bruto Tahun Pajak 2017 jumlahnya Rp.1.200.000.000,00 (satu milyar
dua ratus juta rupiah), maka untuk masa pajak Januari sd Juni 2018, PPh Pasal 25 dihitung sebesar 1% x
Peredaran Usaha Bruto dan masa pajak Juli sd Desember 2018 PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,5 % x
Peredaran Usaha Bruto setiap bulan dan disebut dengan PPh Pasal 4 ayat 2 berdasarkan PP nomor 46
Tahun 2013 dan PP Nomor 23 Tahun 2018.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak
Penghasilan, adalah sebagai berikut :

Peredaran Bruto adalah Semua penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha
sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal
dari Indonesia maupun luar Indonesia, meliputi :

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Final.

Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Tidak Bersifat Final.

Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan.

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan
digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut :

Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak penghasilan
digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Badan yang terutang bagi Wajib Pajak Badan
yang tidak termasuk dalam Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013 dan PP Nomor 23 Tahun 2018.

Contoh apabila perdaran usaha bruto Tahun Pajak 2017 jumlahnya Rp.5.200.000.000,00 (lima milyar dua
ratus juta rupiah), maka untuk masa pajak Januari sd Desember 2018, PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan
SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2017.

Pengertian Penerimaan Bantuan Atau Sumbangan Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib
Pajak Orang Pribadi adalah sebagai berikut :

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima merupakan objek pajak sepanjang diterima dalam
rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan.

Contoh bagi Wajib Pajak Badan:

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi.

PT Sahara Ban Jaya sebagai produsen Ban yang membutuhkan bahan baku utamanya berupa karet.
PT Karet Makmur Sentosa adalah perusahaan yang mempunyai usaha penjualan karet.

Apabila PT Karet Makmur Sentosa memberikan sumbangan bahan baku berupa karet kepada PT Sahara
Ban Jaya, maka sumbangan bahan baku berupa karet yang diterima oleh PT Sahara Ban Jaya merupakan
objek pajak penghasilan.

Contoh bagi Wajib Pajak Orang Pribadi:

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi.

Tukijo mempunyai usaha Kayu Lapis yang membutuhkan bahan baku utamanya berupa Kayu Albasia.

Kresna Dipayana mempunyai usaha penjualan Kayu Albasia.

Apabila Kresna Dipayana memberikan sumbangan Kayu Albasia kepada Tukijo, maka sumbangan Kayu
Albasia yang diterima oleh Tukijo merupakan objek pajak penghasilan.

Objek Pajak Penghasilan PPh Wajib Pajak Badan Non Final

Yang menjadi objek pajak penghasilan non final bagi wajib pajak badan dalam pengisian SPT Tahunan
PPh Badan adalah sebagai berikut :

Hadiah penghargaan.

Untuk perusahaan dagang adalah penjualan bruto dan komisi penjualan.

Untuk perusahaan industri adalah penjualan bruto dan penjualan by product (barang sisa dalam proses
produksi).

Untuk perusahaan jasa angkutan adalah pendapatan bruto atau setoran sopir.

Untuk perusahaan bank adalah pendapatan bunga (pinjaman), provisi, administrasi lain, denda
keterlambatan angsuran, sewa safety box, pengelolaan wealth managemen dan penghasilan lain
sehubungan dengan usaha perbankan.

Untuk perusahaan jasa (hotel dll) penghasilan bruto jasa.

Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai
pengganti saham atau penyertaan modal.

Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan
usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut
serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan
sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut
merupakan penghasilan

Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

Dividen dengan syarat :

Dividen tidak berasal dari cadangan laba yang ditahan.

Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima
dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor

Firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenis dan sebagainya, penghasilan berupa
dividen atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek pajak

Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak atau harta tak gerak, misalnya sewa mobil (kecuali
tanah dan bangunan karena merupakan objek pajak penghasilan final).

Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula
berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan
Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha
Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk
perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan
sebagai objek pajak.

Keuntungan selisih kurs mata uang asing.

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan
yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia.

Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

Premi asuransi termasuk premi reasuransi.

Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

Penghasilan dari usaha berbasis syariah.

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan .

Surplus Bank Indonesia.

Pendapatan Klaim Asuransi (Kebakaran, kehilangan dan lain-lain)

Wajib Pajak Badan yang menerima penghasilan tersebut diatas dan memenuhi syarat sesuai PP
(Peraturan Pemerintah) nomor 46 Tahun 2013 Tentang PPh Pasal 4 ayat 2 Final sebesar 1 % Atas Wajib
Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 Final sebesar 1 % x Omzet setiap
bulan

Pengertian PPh Pasal 4 ayat 2

PPh 4 ayat 2 merupakan pajak yang dipotong atau dipungut dari penghasilan yang dipotong dari bunga
deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, bunga simpanan yang dibayarkan
koperasi, hadiah undian, transaksi saham dan sekuritas lainnya, serta transaksi lain sebagaimana diatur
dalam peraturan perpajakan.

Objek PPh Pasal 4 ayat 2

PPh 4 ayat 2 menyasar pada penghasilan dikenai pajak yang sifatnya final, alias tidak bisa dikreditkan.
Berikut ini adalah rincian lengkap objek PPh Pasal 4 ayat 2 yang dikenakan pada jenis tertentu dari
penghasilan atau pendapatan, berupa:
Hadiah berupa undian.

Bunga dari deposito dan jenis-jenis tabungan, bunga dari obligasi dan obligasi negara, dan bunga
simpanan dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota masing-masing.

Peredaran bruto (omzet penjualan) sebuah usaha di bawah Rp 4,8 Miliar dalam satu tahun pajak.

Transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi
penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan mitra atau pasangannya yang
diterima oleh perusahaan modal ventura atau usaha.

Transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate,
dan persewaan atas tanah dan/atau bangunan.

Pendapatan tertentu lainnya, sebagaimana telah diatur dalam atau sesuai dengan peraturan pemerintah.

Tarif PPh Pasal 4 ayat 2

Berapa besaran tarif PPh Pasal 4 ayat 2? Tarif PPh 4 ayat 2 berbeda-beda dan bersifat final untuk setiap
jenis penghasilan yang dikenakan pajak. Oleh karena itu, Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 ini disebut juga
sebagai PPh Final. Pengenaan PPh Final berarti penghasilan yang diperoleh akan dikenakan PPh dalam
tarif tertentu. Pengenaan PPh baik yang dipotong pihak lain maupun disetor sendiri, bukan disebut
pembayaran di muka atas PPh terutang. Akan tetapi telah dianggap langsung melunasi PPh terutang
untuk penghasilan itu.

Contoh mudahnya, untuk UMKM, wiraswasta atau bisnis online lainnya dengan omzet usaha kurang dari
Rp4.8 Miliar dalam satu tahun pajak, maka tarif pajak yang dikenakan adalah 0,5% dari total omzet
(peredaran bruto) penjualan dalam satu bulan.

Berikut ini akan diuraikan berbagai objek pajak dengan tarif masing-masing yang telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Tarif 20% dikenakan terhadap bunga deposito serta jenis-jenis tabungan, Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
dan diskon jasa giro. Ketentuan tarif ini telah diatur dalam PP No. 131 Tahun 2000 serta turunannya
Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001.

Tarif 10% dikenakan atas bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada para anggotanya
sebagaimana diatur dalam PP No. 15 Tahun 2009.
Tarif 10% dikenakan atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 17 ayat 2C.

Sewa atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 10% seperti yang telah diatur PP No. 29 Tahun 1996
dan juga turunannya PP No. 5 Tahun 2002.

Tarif 0-20% dikenakan terhadap bunga dari kewajiban sebagaimana dirinci dalam PP No. 16 Tahun 2009.

Tarif 25% dikenakan atas hadiah lotre atau undian sebagaimana diatur dalam PP No. 132 Tahun 2000.

Transaksi penjualan saham pendiri dan saham bukan pendiri (non-founder), tarifnya masing-masing
adalah 0,5% dan 0,1%. Ketentuan ini seperti yang tercantum dalam PP No. 14 Tahun 1997.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (termasuk usaha real estate), tarifnya adalah 5% seperti
yang tercantum dalam PP No. 71 Tahun 2008.

Transaksi dari penjualan saham atau pengalihan ibu kota mitra perusahaan yang telah diterima oleh
modal usaha, tarifnya adalah 0,1% sebagaimana telah diatur di dalam PP No. 4 Tahun 1995.

Jasa konstruksi dikenakan tarif 2-6%. Penjelasan lebih lanjutnya bisa ditemukan pada PP No. 51 Tahun
2008 serta turunannya PP No. 40 Tahun 2009.

Transaksi derivatif berjangka panjang yang telah diperdagangkan di bursa dikenakan tarif 2,5%
sebagaimana telah diatur PP No. 17 Tahun 2009.

Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 4 ayat 2

Berikut ini adalah tabel yang menguraikan batas waktu pembayaran dan pelaporan untuk setiap jenis
penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2.

Penghasilan

Batas Waktu Pembayaran

Batas Waktu Pelaporan

Omzet penjualan (peredaran bruto) usaha Tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir
Jika telah melakukan validasi NTPN, wajib pajak tidak perlu lapor lagi. Cukup menyertakan
lampiran laporan PPh Final 0,5% pada pelaporan SPT Tahunan Badan atau Pribadi (SPT 1770)

Hadiah undian Tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak 20 hari setelah
masa pajak berakhir
Bunga deposito atau tabungan, diskonto SBI, bunga atau diskonto Tanggal 10 bulan berikutnya
setelah bulan saat terutangnya pajak 20 hari setelah masa pajak berakhir

Transaksi penjualan saham Tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaki penjualan
saham Tanggal 25 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi penjualan saham

Persewaan tanah dan/atau bangunan Tanggal 10 (bagi pemotong pajak) atau tanggal 15 (bagi WP
pengusaha persewaan) dari bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir 20 hari setelah masa
pajak berakhir

Jasa konstruksi Tanggal 10 (bagi pemotong pajak) atau tanggal 15 (bagi WP jasa konstruksi) dari bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir 20 hari setelah masa pajak berakhir

Bayar dan Laporkan PPh Pasal 4 ayat 2

Memahami ketentuan PPh 4 ayat 2 sangatlah penting dan bukan tanpa alasan. Setelah dipahami,
ternyata terdapat sejumlah penghasilan yang dikenakan jenis pajak penghasilan satu ini. Di sisi lain,
penghasilan-penghasilan tersebut memiliki perhitungan yang berbeda-beda sesuai dengan tarif pajak
yang dikenakan. Pastikan Anda memahami ketentuan dasar PPh Pasal 4 ayat 2 ini agar perhitungan,
pembayaran hingga pelaporan pajaknya dapat tuntas.

Pengertian Penerimaan Hibah Sebagai Objek Pajak Bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi
adalah sebagai berikut :

Harta hibahan bagi pihak yang menerima merupakan objek pajak apabila diterima bukan oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan Badan sepanjang diterima dalam rangka
hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan.

Contoh Hibah Sebagai Objek Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi antara lain :

Aditya memberikan rumah kepada kakak kandungnya, maka atas transaksi tersebut terdapat objek pajak
penghasilan, yaitu dianggap atas pemberian tersebut Aditya memperoleh penghasilan karena
merupakan transaksi penjualan sehingga dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 atas pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan.

Contoh Hibah Sebagai Objek Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Badan antara lain :

Hubungan usaha antara pihak yang memberi dan yang menerima dapat terjadi, misalnya PT Abadi Jaya
Makmur adalah pemegang saham sebesar 90 % saham PT Bumi Banyumas Raya. Apabila PT Bumi
Banyumas Raya memberikan truk kepada PT Abadi Jaya Makmur, maka sumbangan Truk yang diterima
tersebut oleh PT Abadi Jaya Makmur merupakan objek pajak penghasilan.
Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [amandemen 2008] :

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :

a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan;

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan;

Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kemudian ketentuan Pasal 4 ayat (3)
huruf a UU PPh 1984 ini dijabarkan di Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008. Berikut bunyi
pasal 1 PMK tersebut :

Harta hibah, bantuan, atau sumbangan yang diterima oleh:

a. keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;

b. badan keagamaan;

c. badan pendidikan;

d. badan sosial termasuk yayasan dan koperasi; atau

c. orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,

dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.


Inilah hibah, bantuan, dan sumbangan yang bukan objek PPh. Artinya jika ada hibah yang diluar batasan
diatas maka hibah tersebut menjadi objek PPh. Tidak semua hibah bukan objek PPh. Tidak semua
sumbangan bukan penghasilan. Supaya lebih jelas, berikut pengertian lebih lanjut yang diatur di
Peraturan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008 ditambah dengan catatan saya 

[1.] Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah orang tua dan anak kandung. Jadi
hibah kepada anak kandung, atau hibah kepada orang tua bukan objek PPh. Tetapi hibah yang diterima
dari kakak, adik, anak angkat, mantu, mertua, orang lain merupakan objek PPh. Karena itu, jika kita
menerima hibah dari mertua maka jangan dibilang dari mertua tapi hibah dari orang tua kepada anaknya
[istri kita] . Ingat, satu keluarga adalah satu entitas tetapi garis keturunan tetap terpisah.

[2.] Badan keagamaan adalah badan keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus tempat-
tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari
keuntungan. Menurut saya, suatu badan mencari keuntungan atau bukan bisa dilihat dari praktek atau
operasional badan tersebut, bukan dari akta notaris atau tujuan pendirian. Apakah badan tersebut
memperoleh penghasilan semata-mata untuk kegiatan keagamaan atau ada motif mencari keuntungan
[bisnis].

[3.] Badan pendidikan adalah badan pendidikan yang kegiatannya semata-mata menyelenggarakan
pendidikan yang tidak mencari keuntungan. Nah sekarang badan pendidikan tidak perlu takut lagi
dikenakan PPh karena sudah jelas bahwa atas sumbangan ke badan pendidikan bukan objek PPh dengan
syarat badan tersebut tidak mencari keuntungan. Ada yang berpendapat bahwa jika kampur terus-
terusan membangun gedung berarti ada indikasi badan pendidikan tersebut mencari keuntungan. Saya
pikir ini tidak tepat karena pembangunan gedung kuliah, gedung administrasi, fasilitas pendidikan [lab,
perpus, ruang praktek], dan gaji pengajar keperluan "tak terpisahkan" dari proses pendidikan. Kecuali
jika badan pendidikan tersebut memberikan keuntungan pribadi bagi pendiri atau pihak lain.

[4.] Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi adalah badan sosial yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan:

[4.a.] pemeliharaan kesehatan;

[4.b.] pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo);

[4.c.] pemelihataan anak yatim-piatu, anak atau orang terlantar, dan anak atau orang cacat;
[4.d.] santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;

[4.e.] pemberian beasiswa;

[4.f.] pelestarian lingkungan hidup; dan/atau

[4.g.] kegiatan sosial lainnya,

yang tidak mencari keuntungan.

[5.] Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha kecil adalah orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan usaha kecil yang memiliki dan menjalankan menjalankan usaha produktif yang
memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau

b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta
rupiah). Perhatikan kata "yang" dan "atau" yang saya cetak tebal. Kata "yang" menunjukkan syarat
kumulatif, sedangkan kata "atau" adalah syarat alternatif [opsi]. Artinya bisa dilihat dari kekayaan yang
lima ratus juta rupiah atau memiliki omset dua milyar lima ratus juta rupiah. Mana yang memenuhi.

Kesemua hibah, bantuan, dan sumbangan tidak boleh diberikan dalam rangka pekerjaan, usaha,
kepemilikan, atau penguasaan. Tetapi sampai sekarang saya belum menemukan aturan lebih lanjut
tentang hal ini. Pendapat saya adalah pemberian tersebut tidak ada timbal balik.

Anda mungkin juga menyukai