3 Pertama; Pendidikan kejuruan ”model sekolah, yaitu pemberian pelajaran (umum, kejuruan,
dan nilai/norma/sikap ) sepenuhnya dilaksanakan di sekolah. Model ini berasumsi bahwa
segala hal yang terjadi di tempat kerja dapat diajarkan di sekolah dan sumber belajar ada di
sekolah. Model ini paling banyak dipraktekkan di Indonesia sebelum repelita VI. Model
sekolah ini banyak dikritik karena boros atau tidak efisien, kurang mampu menjaga relevansi,
kurang muktahir dan konservatif.
4 Bahkan ahli ekonomi ketenagakerjaan dari Bank Dunia, Gorge Osacharopolous (1994)
menganjurkan agar praktek kejuruan dilaksanakan di tempat kerja (dunia usaha). Lagi pula
sumber-sumber di luar sekolah khususnya di dunia usaha jauh lebih muktahir, lebih
berkualitas, lebih nyata dan tidak abstrak, lebih kontekstual, dan lebih relevan.
5 Kedua; Pendidikan kejuruan “model sistem ganda” yaitu kombinasi pemberian pengalaman
belajar di sekolah dan pengalaman kerja sarat nilai di dunia usaha. Model ini menganggap
bahwa kombinasi pembelajaran di sekolah dan pengalaman kerja di dunia usaha akan
memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna, karena yang diajarkan telah dikemas
menjadi bahan pelajaran yang tersistem dan terpadu, dan lebih konkret. Model ini telah
banyak diprtaktekan di Jerman, Swiss dan Austria. Tamatan model ini umumnya memiliki
kemampuan kerja berkualitas tinggi.
10 Model ini sering juga disebut model liberal dan langsung diarahkan pada produksi dan
pasaran kerja. Sementara itu pada model pendidikan sekolah, pemerintah berperan
merencanakan, mengorganisasikan, dan memantau pelaksanaan pendidikan kejuruan. Model
pendidikan kejuruan semacam ini juga disebut model birokratik.
11 Sedangkan model sistem ganda pada dasarnya merupakan perpaduan dari model pasar dan
model sekolah. Dalam hal ini, pemerintah berperan sebagai pengawas model pasar. Sistem
pendidikan ini disebut "dual system", karena pelaksanaan pendidikan dilakukan di dua
tempat, yaitu di sekolah dan dunia usaha.
12 Di samping tiga model seperti diuraikan di atas, terdapat suatu model kerjasama antara
lembaga pendidikan dan industri yang dikembangkan di Amerika Serikat, disebut model
pendidikan koperatif (cooperative education). Pendidikan koperatif tersebut mempunyai
karakteristik sebagai berikut: (1) dilindungi oleh undang- undang yang kuat, sehingga baik
sekolah maupun industri mempunyai ikatan legal yang harus dipatuhi;
13 (2) memadukan pengajaran yang berorientasi pada lapangan kerja (occupationally oriented
instruction) di sekolah dan pengalaman belajar yang berkaitan dengan pekerjaan (work-
related learning experience) di industri; (3) kegiatan ini direncanakan dan disupervisi secara
baik; (4) adanya pengaturan waktu antara kedua kegiatan secara berlapis-berulang, yang
memungkinkan siswa dapat belajar di sekolah sambil bekerja di industri;
14 (5) pengalaman belajar bekerja harus sesuai dengan program studi atau tujuan karir
subyek didik; (6) adanya perjanjian pelatihan siswa (student training agreement) yang
ditandatangani oleh siswa, orang tua, koordinator/sekolah, dan supervisor/perusahaan; dan (7)
diberikannya upah kepada siswa yang sedang bekerja oleh perusahaan yang bersangkutan
(Humbert & Woloszyk, 1983).
15 Apabila diperhatikan, karakteristik pendidikan koperatif tersebut mirip dengan PSG, tetapi
sebenarnya terdapat beberapa perbedaan pokok. Pendidikan Sistem Ganda adalah sistem
pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan di dua tempat, yaitu di sekolah dan industri
(the dual system model).
17 Adapun perbedaan pendidikan koperatif dengan model pendidikan tradisional (the school
model), terletak pada penyelenggaraan prakek industri yang lebih terencana, bersistem, dan
diperkuat oleh undang-undang. Jadi, pendidikan koperatif ini terletak di antara pendidikan
berbasis sekolah dan PSG.
18 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa model penyelenggaraan
pendidikan kejuruan: model sekolah, model pasar, model PSG, model magang, model
enterprise, serta model pendidikan koperatif. Selama ini, di Indonesia dilaksanakan model
PSG untuk semua SMK dengan berbagai-bagai kondisi. Namun pada pelaksanannya masih
terdapat beberapa kendala diantaranya adanya: keragaman geografis, keragaman kesiapan
dan potensi SMK, keragaman program SMK yang kurang didukung oleh keberadaan industri
di daerah yang bersangkutan, kurang efektifnya guru pembimbing dari sekolah, dan
instruktur di industri, sulitnya menjalin kerjasama dengan DuDi, serta lemahnya manajemen
pelatihan di industri.
19 Barangkali lebih efisien apabila model PSG ini tidak harus dilaksanakan untuk semua
SMK. Setiap sekolah, dengan pertimbangan Majelis Sekolah, diberi kebebasan untuk
memilih salah satu diantara beberapa model di atas, tergantung dari kemampuan, potensi,
kesiapan, dan lingkungan masing-masing SMK.