Anda di halaman 1dari 49

BAB 7

PERATURAN - PERATURAN UMUM HERMENEUTIKA : PROSA

Jika tujuan fundamental dari penafsiran adalah untuk menemukan makna Jari teks Alkitab,
maka sasaran utama dari tugas kita adalah mengidentifikasi dan menjelaskan prinsip - prinsip dan
prosedur - prosedur yang diperlukan untuk menemukan makna tersebut secara akurat. Hal ini
mencakup prinsip - prinsip yang dibutuhkan untuk memahami komunikasi bahasa. Para penulis
Alkitab mengekspresikan makna Ilahi mereka dalam bahasa manusia. Untuk mengetahui apa yang
mereka maksudkan lewat kata - kata yang dipakai, kita harus memahami berita mereka berdasarkan
cara pemakaian bahasa yang secara umum digunakan untuk mengomunikasikan konsep - konsep.
Tampaknya masuk akal jika kita menganggap para penulis Alkitab bermaksud agar para
pembaca asli dapat memahami apa yang mereka tulis. Mereka tidak mengungkapkan berbagai
pemikiran mereka lewat sandi - sandi rahasia. Meskipun mereka kadang - kadang menggunakan
sejenis teka - teki , perumpamaan, atau simbol apokaliptik yang mungkin saja membingungkan dan
menantang para pembaca, namun mereka bermaksud untuk berkomunikasi secara jelas, meskipun
lewat apa yang disebut di atas. Sebagaimana penulis pada umumnya, para penulis menulis dengan
cara yang dapat dipahami dan langsung, sehingga para pembaca dapat memahami pesan yang mereka
sampaikan dan menghidupinya secara konsisten. Karena kita yakin, bahwa para penulis Alkitab telah
mengomunikasikan berita yang ingin disampaikannya secara memadai, maka kita wajib
menafsirkannya secara tepat pula, mengikuti kaidah - kaidah komunikasi bahasa. Dalam percakapan
yang normal, kita segera dapat memahami apa yang kita dengar tanpa perlu berpikir keras. Komputer
mental kita, pikiran kita, secara otomatis memproses informasi yang kita dengar. Pengalaman seumur
hidup telah mengatur bank memori kita untuk memahami makna - makna dari kata - kata dan kalimat
– kalimat, hampir tanpa kita sadari. Meskipun demikian, hal ini tidak secara otomatis berlaku dalam
proses pembacaan Alkitab . Karena Alkitab asli sebenarnya ditulis dalam bahasa - bahasa asing dan
ditujukan kepada orang - orang yang hidup jauh di masa lampau di belahan dunia yang berbeda
dengan cara hidup yang berbeda. Kalimat - kalimat yang dulu sangat jelas bagi para pembaca asli,
mungkin kini tidak lagi jelas bagi kita. Apa yang bagi para pembaca mula - mula dapat dipahami
tanpa perlu banyak usaha, menuntut usaha yang lebih dari kita.
Karena kita tidak secara otomatis memahami ketika menerima sebuah pernyataan, maka kita
harus berhenti dan memikirkannya. Oleh sebab itu, penafsiran yang dilakukan secara sengaja
menuntut kita mengubah pola - pola dasar komunikasi lewat alam bawah sadar yang sering kita
terapkan, untuk ditingkatkan kepada tingkatan analisis secara sadar. Kita harus secara sengaja
menganalisis berita yang tidak jelas berdasarkan prinsip - prinsip komunikasi bahasa yang secara
normal berfungsi secara tanpa sadar. Dasar pemikiran ini menjadi dasar bagi kebanyakan prinsip
penafsiran Alkitab yang akan kami tampilkan dalam buku ini. Setiap panduan hermeneutika lahir dari
dan menyinggung sejumlah hal yang esensial yang berhubungan dengan usaha mengatasi halangan -
halangan dalam rangka memahami Alkitab.
Bagaimanakah caranya kita memahami berita - berita yang tertulis di dalam Alkitab ? Supaya
sebuah komunikasi yang efektif dapat terjadi, penerima ( atau pembaca mana pun yang muncul
belakangan ) harus memahami berita tersebut berdasarkan indikator - indikator makna yang dipakai
oleh penulis untuk mengekspresikan pemikirannya. Sebagaimana yang sudah kami gambarkan dalam
bab sebelumnya, dalam setiap tindakan - ucapan, seorang penulis memasukkan sebuah berita yang
mengandung sejumlah muatan ( proposisi ) yang dipresentasikan lewat sejumlah media ( atau genre )
untuk mencapai efek tertentu dari para pembacanya. Sebuah hasil penafsiran yang absah atas sebuah
tindakan komunikasi sedapat mungkin harus sesuai dengan unsur - unsur tersebut di atas. Proses
untuk mencapai sebuah penafsiran yang akurat dari tertulis melibatkan sebuah pemahaman atas lima
hal penting sebagai berikut: ( 1 ) konteks kesusastraan ( yakni, konteks langsung di dalam buku di
mana sebuah teks tertulis) , ( 2 ) latar belakang historis - budaya, ( 3 ) makna - makna kata, ( 4 )
hubungan tata bahasa, dan ( 5 ) genre bentuk kesusastraan ( konteks kesusastraan global dari teks
tersebut : surat, apokaliptik, naratif, perumpamaan, dsb. ). Kita perlu memiliki kepekaan di sepanjang
kegiatan kita terhadap apa yang sedang dilakukan oleh penulis dalam dalam tindakan komunikatifnya,
misalnya : menginformasikan, mendesak, memberi semangat, menceritakan sebuah kisah,
membangun kepercayaan atau pandangan dunia dasar, mengancam, menghubungkan, mengajak,
merayakan, dan sebagainya. Dengan kata lain, cermati jalan pikiran penulis dalam tindakan
komunikatif tersebut ; apa yang sedang diusahakan untuk dicapainya ? ( Untuk memahami cara kerja
puisi kita akan menghadapi tantangan - tantangan tambahan dan unik , dan kita akan membahasnya di
bab selanjutnya ) . Secara normal , para penulis akan mengomunikasikan pemikiran pemikiran mereka
melalui media yang dapat dipahami secara kontekstual , yakni melalui pernyataan - pernyataan yang
mengandung kata - kata berdasarkan makna alaminya di dalam sebuah konteks yang konsisten dengan
situasi - kondisi sosial - budayanya. Dampak setiap kata atas pemahaman dari sebuah kalimat secara
keseluruhan muncul dari hubungan tata bahasa antara kata tersebut dengan kata - kata lainnya. Oleh
sebab itu , bagaimanapun genre dari bentuk sastranya ( sebuah topik yang akan kita bahas dalam bab -
bab berikutnya ), agar dapat menemukan apa yang dimaksud oleh penulis, seseorang harus
berkonsentrasi atas empat hal : konteks kesusastraan, latar belakang historis - budaya, kata - kata, dan
tata bahasa. Hasil penafsiran atas sebuah teks yang tidak sesuai dengan keempat aspek di atas,
kemungkinan besar bukan merupakan makna yang dimaksudkan oleh penulis teks tersebut.

KONTEKS KESUSASTRAAN
Prinsip dasar dari hermeneutika biblika adalah bahwa makna yang dimaksudkan dalam bagian
tulisan apa pun adalah makna yang konsisten dengan pengertian dari konteks kesusastraan di mana
tulisan tersebut berada. Oleh sebab itu, segala penafsiran yang diajukan harus lulus dari ujian berikut :
Apakah penafsiran tersebut konsisten dengan konteks kesusastraannya ? Dalam karya kesusastraan,
konteks dari bagian tulisan tertentu adalah materi - materi yang secara langsung diletakkan sebelum
dan sesudah bagian tulisan tersebut. Konteks dari sebuah kalimat adalah paragrafnya, konteks dari
sebuah paragraf adalah rangkaian paragraf. paragraf yang mendahului dan mengikuti paragraf
tersebut, dan konteks dari sebuah bab adalah bab - bab yang ada di sekitarnya. Secara ultimat,
keseluruhan buku yang didalamnya sebuah bagian tulisan dimunculkan adalah konteks yang
menentukan. Dalam menafsirkan Alkitab, kanon dari keenam puluh enam kitab menjadi konteks
kesusastraan terbesar yang di dalamnya semua bagian tulisan dipahami.

PENTINGNYA KONTEKS KESUSASTRAAN


Kebanyakan kita memahami dari pengalaman pribadi, rasa frustrasi kalau perkataan kita
"dikeluarkan dari konteks." Para pemimpin politik dan pejabat publik sering kali mengeluh bahwa
media berita telah salah menafsirkan pandangan - pandangan mereka. Di satu pihak mereka mengakui
bahwa kutipan langsung dari para wartawan secara teknis adalah akurat, namun di pihak lain mereka
memprotes bahwa pernyataan mereka telah disalahtafsirkan atau diberi penekanan yang berbeda
karena kon teksnya telah dihilangkan. Dalam kasus seorang politisi, alasan "dikutip keluar dari
konteks" mungkin merupakan sebuah usaha yang sia - sia untuk menutupi sebuah kesalahan bicara
yang memalukan. Namun bagai manapun juga, prinsip yang diterapkan di dalamnya tetaplah absah.
Kesalahpahaman dapat muncul ketika orang - orang hanya mendengarkan sebagian dari apa yang
telah dikatakan dan membangun pemahaman mereka sendiri atasnya. Hal yang sama juga berlaku
bagi Alkitab. Menegaskan bahwa Alkitab mengajarkan "Tidak ada Allah" dengan cara memelintir
kata - kata tersebut keluar dari konteks Mazmur 14 : 1 – "Orang bebal berkata dalam hatinya : "Tidak
ada Allah. 'Busuk dan jijik ! perbuatan mereka , tidak ada yang berbuat baik" ( TB, cetak miring
ditambahkan ; bdk. Mzm . 53 : 1 ) - tentu saja menyalahi maksud kutipan kalimat tersebut.
Sebenarnya, andaikan para penulis Alkitab masih hidup, mereka akan tanpa segan memprotes
keras bahwa mereka sering kali dikutip keluar dari konteks" ketika orang - orang Kristen mengutip
ayat - ayat Alkitab secara terpisah dan menerapkannya dalam kehidupan mereka secara bertentangan
dengan konteks Alkitab. Salah mengartikan konteks dari bagian tulisan Alkitab membawa implikasi
yang serius. Kita harus menafsirkan setiap bagian tulisan secara konsisten sesuai konteksnya karena
tiga alasan berikut.
Konteks Menyediakan Alur - Pikiran
Pertama , mengeluarkan sebuah teks dari konteks telah menyalahi "alur pikiran" sang penulis.
Sebuah alur - pikiran adalah serangkaian ide - ide yang saling berkaitan yang ditata oleh penulis untuk
mengomunikasikan sebuah konsep tertentu. Kebanyakan komunikasi yang bermakna melibatkan
sejenis aliran pikiran yang secara natural memimpin kepada pikiran selanjutnya berdasarkan genre
sastra yang dipakai tulisan tersebut . Pernyataan sebelumnya mempersiapkan pernyataan yang akan
muncul selanjutnya. Kata - kata yang muncul mengikuti kata - kata yang ada di depannya. Orang
berkomunikasi bukan dengan sejumlah ide yang dipilih secara acak , namun dengan ide - ide yang
saling berkaitan dalam sebuah pola yang logis. Sebagai contoh , perhatikan bagaimana
membingungkannya tulisan berikut :
Saya mendengar sebuah cerita menarik, beberapa malam lalu, Pemain gelandang mengoper
bola ke belakang. Penumpukan karbon mengganggu fungsi dari karburator. Bistik berukuran dua inci
telah gosong di bagian luar namun masih mentah di bagian dalam. Tumpukan salju setinggi sepuluh
kaki telah memblokir jalan. Rumput perlu dipotong. Lift mele sat mencapai puncak dari gedung
setinggi seratus tingkat dalam waktu kurang dari semenit. Audiens meneriaki penampilan yang jelek.
Secara tata bahasa, kalimat - kalimat di atas dapat muncul bersama sama, namun di dalamnya
tidak terdapat kesinambungan logis yang mengikat semua kalimat yang ada; semuanya tidak
berkaitan. Orang biasanya tidak mengomunikasikan ide dengan cara demikian. Secara normal, semua
kalimat dalam sebuah paragraf berusaha membangun sebuah tema umum. Setiap kalimat memuat
sebuah pemikiran atau membangun sebuah pemikiran yang dinyatakan dalam kalimat sebelumnya .
Kalau digabungkan, maka kalimat - kalimat tersebut menampilkan sebuah kesinambungan dari topik
pembahasan yang mempersatukan semuanya secara keseluruhan.
Karena kita secara normal berkomunikasi dengan satu rangka pernyataan - pernyataan yang
saling berkaitan , setiap kalimat harus dipahami di dalam kaitan dengan ide - ide yang diekspresikan
dalam konteks yang ada - maksudnya rentetan pemikiran dari penulis. Setiap penafsiran yang
bertentangan dengan maksud dari konteks secara keseluruhan sangat kecil kemungkinannya menjadi
penafsiran yang benar. Ia berkontradiksi dan mengabaikan cara normal orang memakai bahasa untuk
berkomunikasi.

Konteks Menyedikan Makna Akurat dari Kata - kata


Alasan kedua mengapa sebuah penafsiran harus sesuai dengan berita umum dari konteks
berkaitan dengan natur dari kata - kata . Kebanyakan kata memiliki lebih dari satu makna. Konteks
kesusastraan menyediakan panduan yang paling dapat diandalkan untuk menentukan makna yang
paling memungkinkan dalam kondisi tertentu. Dalam situasi - situasi normal, pikiran kita secara
otomatis menerima makna yang paling sesuai dengan subjek yang dibicarakan. Kebingungan dan
kesalahpahaman terjadi ketika konteks sastranya kabur atau ketika beberapa makna dapat diterima
sama baiknya. Dalam kondisi demikian, seseorang akan secara sengaja berhenti dan
mempertimbangkan beberapa kemungkinan makna dari kata tersebut atau menganalisis konteksnya
secara lebih teliti. Kemudian, ia harus memilih satu makna yang paling mungkin dimaksudkan oleh
sang penulis. Sebagai contoh, jika kita hanya mendengarkan seruan, "Itu merupakan trunk terbesar
yang pernah saya lihat !" kita tidak memiliki "konteks sastra" yang cukup ( sebenarnya kita sama
sekali tidak memilikinya ) untuk mengetahui "trunk" apakah yang ia maksudkan. Apakah kata itu
merujuk kepada sebuah koper besar, atau batang pohon, atau bagasi di belakang mobil ( bahasa
Inggris Amerika ), atau belalai gajah ? Namun demikian, misalnya kita membaca pernyataan tersebut
dalam sebuah buku yang bercerita tentang binatang - binatang di kebun binatang. Kemudian kita
secara otomatis akan mengartikannya sebagai belalai gajah. Kalau kita membaca sebuah artikel
tentang gambaran - gambaran berbagai bagian dari mobil, maka pengertian tentang sebuah ruang
bagasi di mobil akan muncul dalam pikiran. Namun, kedua pengertian di atas tidak akan muncul kalau
kita sedang membaca tentang "trunk' terbesar yang ditemukan dalam hutan pohon raksasa di
California . Konteks sastra menen tukan makna yang tepat bagi sebuah kata.
Para penafsir tidak memiliki kebebasan untuk memilih makna mana saja dari kata - kata yang
memiliki makna majemuk. Kita harus memahami setiap istilah sesuai dengan makna yang konsisten
dengan ide - ide lain yang diekspresikan dalam konteks kesusastraannya. Beginilah cara komunikasi
bahasa yang sukses terjadi.

Konteks Melukiskan Hubungan - hubungan yang Benar Antar - Unit


Alasan ketiga mengapa penafsiran yang tepat harus konsisten dengan konteks karena
kebanyakan kitab - kitab dalam Alkitab ditulis dan dipelihara sebagai dokumen - dokumen lengkap
dengan maksud dibaca sebagai satu unit yang utuh. Para penulis Alkitab menyusun atau menyunting
setiap kalimat dan paragraf secara terpisah ( individual ) sebagai bagian dari dokumen yang lebih
besar. Meskipun terdapat “corak” dalam Alkitab, para penulis Alkitab tidak memaksudkan setiap ayat
yang ada sebagai entitas yang terpisah dan berdiri sendiri. Kalimat - kalimat dan paragraf paragraf
terdiri dari unit - unit tersendiri dari karya kesusastraan yang lebih besar, dan para penafsir harus
memahaminya sesuai dengan hubungannya dengan argumcn dari keseluruhan kitab yang ada.
Kitab Amsal mungkin saja menjadi sebuah pengecualian dalam pengertian bahwa kitab ini
mengelompokkan berbagai ungkapan ungkapan berbeda yang memiliki asal - usul tersendiri ; kecuali
dalam beberapa bagian, kita tidak banyak menemukan hubungan antara amsal amsal yang disusun
secara berurutan dalam kitab tersebut. Meskipun demikian, ketika konteks kesusastraan langsung,
yakni ayat - ayat sebelum dan sesudah teks tertentu, tidak bisa memberikan banyak bantuan, maka
konteks keseluruhan kitab tersebut menjadi sangat penting karena penulis menyebarkan banyak amsal
dengan topik yang sama ke dalam keseluruhan kitab. Oleh sebab itu, gabungan dari setiap tema
pengajaran seluruh kitab menjadi kunci untuk memahami setiap ucapan hikmat yang ber diri sendiri.
Ironisnya , pembagian pasal dan ayat dalam Alkitab yang biasanya membantu justru
menghasilkan salah satu halangan terbesar dalam proses penafsiran Alkitab. Kita harus ingat bahwa
pembagian - pembagian tersebut tidak terdapat dalam dokumen asli. Sejumlah pembagian ayat
dilakukan pada abad - abad pertama sesudah Masehi, meskipun hasil pembagian yang ada berbeda -
beda antara satu daerah dengan daerah lain. Hingga abad kesembilan dan kesepuluh sesudah Masehi,
pembagian ayat - ayat mulai muncul di dalam Alkitab bahasa Ibrani dan kitab Masoretes bangsa
Yahudi. F. F.Bruce menyatakan, "Standar pembagian PL ke dalam ayat ayat yang diturunkan hingga
masa kini dan ditemukan dalam kebanyakan versi terjemahan serta versi bahasa Ibrani asli,
sebenarnya dibuat oleh keluarga Masoretic dari Ben Asher sekitar tahun 900 M." la menambahkan,
"Pembagian ke dalam pasal - pasal, di pihak lain, terjadi jauh setelah itu, dan pertama kali dilakukan
oleh Kardinal Hugo de Sancto Caro pada 1244. Sejumlah pendapat lain menyebutkan pembagian
menjadi pasal - pasal dilakukan oleh Stephen Langton, profesor dari University of Paris dan kemudian
menjadi Uskup Agung Canterbury, pada 1228 M. Tiga abad kemudian, pada 1560 , Robert Estienne (
Stephanus ), seorang juru cetak dan penerbit dari kota Paris, menambahkan sistem penomoran ayat ke
dalam terbitan Alkitab PB bahasa Yunani ( yang juga memiliki dua versi bahasa Latin ). Edisi dalam
bahasa Latin, yang disebut Vulgata, yang terbit pada 1555 merupakan Alkitab pertama era modern
yang memuat pembagian - pembagian pasal dan ayat. Alkitab Geneva ( 1560 ) merupakan terbitan
versi bahasa Inggris pertama yang memasukkan pembagian - pembagian modern, baik pasal maupun
ayat. Meskipun pembagian pembagian tersebut dimaksudkan untuk membantu, bahkan sebuah
pembacaan yang sekilas atas Alkitab mengungkapkan bahwa pembagian ayat dan pasal tersebut
sering kali dilakukan dengan buruk; ayat - ayat baru sering kali dimulai di pertengahan kalimat , dan
penggantian pasal kadang - kadang menginterupsi jalan pikiran dalam satu paragraf.
Referensi pasal dan ayat memang membantu kita mengidentifikasi dan menemukan lokasi
bagian - bagian tulisan secara cepat, namun sayangnya mereka juga berkontribusi memperluas praktik
yang memisahkan ayat - ayat tertentu keluar dari konteksnya dan menjadikannya sebuah unit pikiran
yang berdiri sendiri. Setiap ayat diperlakukan seperti sebuah ekspresi kebenaran yang utuh sehingga,
seperti sebuah nomor di buku telepon, dianggap tidak memiliki hubungan dengan apa yang
mendahului atau mengikutinya - - - setiap ayat adalah sebuah "kutipan untuk hari ini" atau "proof
text" karena dipisahkan dari konteks Alkitabnya. Hal ini mengakibatkan bahaya yang sangat besar,
karena sebuah ayat yang dipisahkan dari konteksnya mungkin saja menyebabkan penyesatan yang
sama seperti “Tidak ada Allah." Sama sekali tidak dapat dibenarkan untuk secara rutin
memperlakukan ayat - ayat indivudual sebagai unit - unit pikiran utuh yang mengandung ekspresi -
ekspresi kebenaran secara otonomi. Sebagai sebuah komunikasi tertulis, pernyataan - pernyataan
Alkitab harus dipahami oleh para pembaca sebagai bagian - bagian yang saling berkaitan dan tidak
terpisahkan dari unit - unit yang lebih besar tempat di mana bagian tersebut berada. Dipisahkan dari
konteks, ayat - ayat individual mungkin saja diartikan dengan makna yang sama sekali tidak dimak .
sudkan oleh penulisnya. Untuk memenuhi syarat sebagai makna yang dimaksudkan oleh teks ,
seorang penafsir harus mencocokkan hasil penafsirannya dengan keseluruhan pikiran dan maksud
khusus dari konteks langsung dan konteks keseluruhan kitab.

PRINSIP - PRINSIP HERMENEUTIKA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONTEKS


Tiga prinsip penting harus menjadi panduan praktik penafsiran yang kita lakukan. Prinsip
pertama adalah: Setiap pernyataan harus dipahami sesuai dengan makna alamiah yang berlaku dalam
konteks kesusastraan yang dipakainya. Prinsip ini merupakan satu - satunya prinsip terpenting dari
hermeneutika, karena konteks kesusastraan merupakan unsur terpenting dari semua komunikasi
bahasa . Ia memengaruhi pemahaman dari pembaca atas makna dari kata - kata individual maupun
makna dari sebuah pernyataan lengkap. Panduan ini menuntut penafsir agar tidak saja memperhatikan
kata - kata dari sebuah tulisan, namun juga dengan cermat mempertimbangkan kontribusi dari tulisan
tersebut terhadap karya kesusastraan sebagai satu kesatuan. Ia menuntut perhatian khusus kepada
kekuatan ilokusinari dari konteks - apa yang sedang diusahakan untuk dicapai oleh penulis dalam
konteks ini. la bertujuan mempertahankan integritas dari alur pikiran yang sedang dikembangkan
lewat teks secara keseluruhan.
Akibat wajar dari prinsip di atas adalah : Sebuah teks tanpa konteks mungkin merupakan
sebuah 'pretext.' Meskipun berfungsi sebagai per luasan dari panduan sebelumnya, prinsip ini
ditampilkan secara negatif dan fokus pada penyalahgunaan yang serius atas Kitab Suci . Di sini kami
mengartikan 'pretext' sebagai sebuah penafsiran yang dibuat - buat yang hanya kelihatan absah ;
padahal pada kenyataannya ia telah mengaburkan makna yang sesungguhnya . Prinsip ini berfungsi
sebagai sebuah peringatan atas kecenderungan populer untuk melakukan proof - texting secara tidak
bertanggung jawab : mengutip bagian - bagian Alkitab untuk membuktikan sebuah doktrin atau
standar bagi kehidupan Kristen tanpa memedulikan konteks sastranya. Sebagai sebuah contoh yang
menggelikan, seseorang dapat merangkai ketiga ayat berikut untuk membuktikan bahwa seseorang
harus bunuh diri : "Lalu pergilah ( Yudas ) dari situ dan menggantung diri" ( Mat . 27 : 5b ) : "Kata
Yesus kepadanya : 'Pergilah, dan perbuatlah demikian ! ( Luk . 10 : 37b ) ; dan "Apa yang hendak
kauper buat, perbuatlah dengan segera" ( Yoh . 13 : 27b ). Pengabaian terhadap konteks nyata terjadi
di atas ! Sayangnya, perbuatan proof texting yang lain tidak terjadi senyata di atas, namun memiliki
kadar ketidakabsahan yang sama . Semua proof text di atas adalah 'pretext' karena tafsiran yang
dihasilkannya tidak sesuai dengan prinsip konteks sastranya. Tidak salah jika kita mengutip sebuah
ayat untuk membuktikan sebuah pendapat, asalkan kita memahami ayat tersebut sesuai dengan makna
kontekstualnya ( di bawah kondisi - kondisi yang benar, tindakan proof text mungkin saja dibenarkan
) . Sebelum menempatkan ayat - ayat tertentu untuk mendu kung sebuah pendapat, kita harus terlebih
dahulu memeriksa konteks sastranya untuk memastikan bahwa teks tersebut membicarakan subjek
yang sama dan benar - benar mengandung makna yang membuktikan pendapat tersebut. Kalau tidak,
maka penafsiran tersebut hanya sebuah " pretext, menggunakan sebuah teks yang dari permukaan
kelihatan mendukung sebuah pendapat tertentu, padahal kenyataannya tidak. Tindakan 'pretext' seperti
itu tidak memiliki otoritas Ilahi karena ia telah mengambil alih makna sesungguhnya yang terkandung
di dalam teks.
Prinsip ketiga ( sungguh merupakan sebuah peringatan ) : Semakin kecil potongan tulisan
yang dipelajari, semakin besar kemungkinan melakukan kesalahan. Teks - teks pendek biasanya
mengandung sedikit informasi tentang tema umum dari bagian tulisan yang lebih besar. Mereka
memberikan sedikit petunjuk tentang makna yang dikandungnya. Sesungguhnya, satu frasa atau
kalimat dapat menyampaikan berbagai makna yang berbeda. Kata - kata Paulus di Roma 8 : 28
langsung bisa kita jadikan contoh : "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan
kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia." Jika seseorang mencoba memahami teks ini tanpa
memperhatikan konteks Roma 8 dan surat Roma secara keseluruhan, ia mungkin saja menggunakan
ayat ini secara tidak tepat untuk meyakinkan seorang yang anaknya baru meninggal bahwa kematian
merupakan sesuatu yang baik, karena Paulus menjanjikan hasil yang baik dari segala keadaan .
Namun, konteks yang mengelilingi ayat ini memuat berbagai detail krusial tentang subjek untuk
menolong pembaca agar dapat menyingkirkan makna - makna yang salah. Bagi Paulus, segala sesuatu
adalah tidak baik, namun Allah akan mewujudkan maksud penyelamatan-Nya ( yang adalah baik )
bagi umat-Nya, meskipun dan ketika mereka mengalami penderitaan yang hebat ( Sebuah terjemahan
yang lebih akurat dari NIV juga dapat membantu "And we know that in all things God works for the
good of those who love him [ penekanan ditambahkan ] ). Potongan tulisan yang lebih panjang
mengandung lebih banyak fakta tentang topik yang sedang dibicarakan, sehingga penafsir mendapat
perspektif yang lebih jelas untuk memahami setiap pernyataan yang ada di dalamnya.
Singkatnya, potongan - potongan tulisan yang panjang memiliki sebuah konteks sastra yang
melekat di dalamnya, sementara potongan - potongan yang pendek tidak. Secara normal, paragraf
berfungsi sebagai dasar unit pikiran dari prosa. Usaha memfokuskan makna sebuah paragraf, bukan
atas makna sebuah ayat, frasa, atau kata yang sayangnya merupakan apa yang ditekankan oleh
sejumlah pengajar Alkitab ) memperbesar kemungkinan untuk menemukan makna yang akurat.
Hanya dengan berkonsentrasi pada tema dari sebuah paragraf dan memperhatikan bagaimana setiap
kalimat berkontribusi kepada perkembangan dari tema tersebut dapat membantu seseorang
menemukan makna yang sesung guhnya dan signifikansi dari setiap kalimat individual.

LINGKARAN - LINGKARAN DARI STUDI KONTEKSTUAL


Untuk menafsirkan bagian tulisan dalam kerangka konteks sastra , seke orang harus
memperhatikan beberapa domain atau lingkaran konteks yang ada :
• Konteks langsung
• Konteks keseluruhan kitab
• Konteks kumpulan tulisan - tulisan dari penulis yang sama ( kalau tersedia )
• Konteks PL atau PB ( tergantung di mana kitab terletak )
• Konteks keseluruhan Alkitab
Sementara kesemua domain kontekstual tersebut berinteraksi, semua konteks yang ada perlu
diterapkan dalam sebuah susunan prioritas yang pasti. Setiap konteks menyediakan sejumlah gagasan
signifikan yang mengantar kepada makna yang dimaksudkan dalam teks, namun semakin seorang
bergerak dari konteks langsung menuju konteks - konteks selanjutnya hingga ke konteks seluruh
Alkitab, kepentingan dan kepastian yang dibawakan oleh konteks akan semakin berkurang .

Konteks Langsung
Konteks langsung menjalankan kontrol yang paling penting atas makna sebuah teks . Kami
mendefinisikan konteks langsung sebagai materi yang letaknya langsung sebelum dan sesudah teks
yang sedang dipelajari. Dalam beberapa contoh, ia bisa saja berupa kalimat - kalimat atau paragraf -
paragraf yang mendahului atau mengikuti teks tersebut ; sedangkan dalam contoh lain ia mungkin saja
merupakan subbagian dari teks tersebut , atau mungkin juga berupa bagian utama dari keseluruhan
kitab. Taktik, pembuatan outline dari keseluruhan kitab dapat membantu penafsir menemukan
pembagian pembagian yang alamiah dan menentukan konteks langsung dari sebuah teks. Ide - ide
yang ada akan dihubungkan dengan sebuah benang merah. Kedekatan antara materi - materi yang ada
dan korelasi di antara materi - materi tersebut menjadikan konteks langsung sebagai indikator makna
yang lebih penting dibandingkan dengan konteks keseluruhan kitab atau keseluruhan Alkitab.
Penyelidikan atas konteks langsung difokuskan pada dua hal : tema dan struktur. Untuk
menemukan tema atau ide utama dari keseluruhan kitab di mana teks tersebut terletak, seseorang
harus terlebih dahulu menentukan tema dari bagian yang terdahulu, teks itu sendiri, dan bagian tulisan
yang mengikutinya. Tentu saja, ini dijalankan dengan asumsi bahwa teks yang dipelajari tidak terletak
di awal atau akhir dari sebuah unit pikiran yang utuh. Jika ternyata memang demikian, seseorang
hanya dapat memeriksa apa yang mengikuti atau mendahuluinya, sesuai dengan tempatnya.
Kemudian seseorang harus menganilisis tema - tema tersebut untuk menemukan tema umum yang
mempersatukan mereka semua. Tema dari konteks langsung ini menentukan makna dari kata, frasa,
klausa, dan kalimat yang tercantum dalam teks yang sedang dipelajari tersebut.
Sebagaimana dengan keterampilan apa pun, mempelajari cara menemukan tema utama dari
sebuah teks menuntut banyak latihan. Langkah langkah berikut mengilustrasikan proses tersebut.
Pertama, bacalah dengan teliti bagian yang mendahului untuk menentukan subjek yang dominan. Ini
berarti, carilah topik yang menjadi sasaran referensi dari segala sesuatu di dalam paragraf atau bagian
tulisan tersebut. Kedua, tuliskan sebuah kalimat topik dengan kata - kata sendiri . Sebuah kalimat
topik yang baik harus tepat dan padat. Tidaklah cukup mengatakan bahwa tema dari teks tersebut
adalah kasih. " Jelas sekali , sebuah teks tidak mampu menceritakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan kasih. Sebuah kalimat topik yang tepat mengandung sebuah rangkuman singkat tentang apa
yang dikatakan oleh teks tentang kasih. Misalnya : Kasih itu lebih dari sebuah perasaan ; ia harus
dibuktikan dengan tindakan. Dalam kaitan dengan ketepatan dan kepadatan, tema yang ada harus
dibatasi dalam satu kalimat saja. Ulangi proses ini untuk setiap bagian dari konteks langsung dan
kemudian ditingkatkan hingga menemukan konteks keseluruhan kitab.
Fokus kedua dari konteks langsung adalah struktur . Bagian - bagian tulisan bukan hanya
dihubungkan oleh sebuah tema umum , tetapi juga oleh sebuah struktur. Seorang penafsir yang teliti
bukan hanya menyelidiki apa yang dikatakan oleh teks, tetapi juga bagaimana sang penulis
mengorganisasi materi yang ada. Pertama, tentukan bagaimana sebuah teks tertentu melanjutkan jalan
pemikiran bagian yang mendahuluinya dan menyediakan jalan bagi bagian yang mengikutinya.
Bagaimanakah caranya setiap paragraf memberikan kontribusi kepada perkembangan pemikiran di
dalam konteks langsung yang ada ? Semua gagasan tersebut akan memampukan seorang penafsir
menjelaskan hubungan antara teks yang sedang dipelajari dengan paragraf - paragraf atau bagian -
bagian yang mengelilinginya. Sama seperti seseorang harus memahami setiap kalimat di dalam
sebuah teks dan konsisten dengan tema umum dari konteks langsung, demikian juga seseorang harus
menafsirkan setiap kalimat tersebut sesuai dengan hubungan struktural dari paragraf tersebut dengan
materi - materi yang berbatasan langsung dengannya.
Untuk menyusun bagian - bagian tulisan dalam sebuah rangkaian yang berurutan, para penulis
menerapkan berbagai macam hubungan struktural . Dalam bagian - bagian tertentu, paragraf -
paragraf yang ada disusun secara kronologis. Narasi - narasi sejarah biasanya disusun dengan cara ini,
yakni dengan melaporkan peristiwa - peristiwa berdasarkan urutan waktu kejadiannya. Sebagai
contoh, perhatikan kata - kata pembuka dalam paragraf - paragraf berikut : " Sesudah itu turunlah
mereka dari . . . " " Lalu Samuel mengambil buli - buli . . . " " Dari sana engkau akan berjalan terus
lagi . . . " " Sesudah itu engkau akan sampai ke . . . " ( 1Sam . 9 : 25 ; 10 : 1 , 3 , 5 ). Para penulis
biasanya mengindikasikan rangkaian peristiwa peristiwa tersebut lewat kata keterangan waktu dan
kata sambung yang mengindikasikan sebuah kesinambungan : sekarang , lalu , selanjutnya, dan
sesudah itu. Kitab - kitab PL seperti Yosua, Raja - raja, dan Tawarikh menyampaikan cerita - cerita
secara kronologis, sementara narasi - narasi patriakh ( Kej . 12 - 36 ) menghubungkan episode -
episode yang ada secara longgar dalam sebuah struktur kronologis yang luas.
Teks - teks yang lain mengelompokkan materi yang ada ke dalam sebuah konteks berdasarkan
kesinambungan tematis. Sebagai contoh, para penulis Injil kadang - kadang mengelompokkan
berbagai peristiwa atau pengajaran yang memiliki natur yang sama, meskipun tidak terjadi pada masa
yang sama. Penulis Injil Matius mungkin mengumpulkan perumpamaan - perumpamaan di pasal tiga
belas untuk menunjukkan pelayanan pengajaran Yesus. Dalam PL, kitab Imamat mengumpulkan
bagian - bagian yang berhubungan dengan ibadah berdasarkan tema yang sama, sementara Hakim -
hakim menampilkan tema utama kitab tersebut di 2:6-23, kemudian mengilustrasikan tema tersebut
dengan mencerita kan perbuatan - perbuatan dari para hakim ( psl . 3 - 16 ), dan menampilkan episode
- episode lain untuk menyatakan bahwa bangsa Israel memerlukan seorang raja ( psl . 17 - 21 ).
Urutan logis , sebuah prinsip penyusunan lain , mencakup sebagian besar rangkaian urutan
peristiwa - peristiwa di dalam Nabi - nabi PL, Surat surat Kiriman PB, dan Ucapan - ucapan dalam
Alkitab. Pengaturan berdasarkan urutan logis ini dilakukan dalam berbagai bentuk. Sejumlah pola
struktural penting yang dipakai oleh para penulis dalam mengembangkan alur pikiran logis mereka
adalah :
1. Pengantar mempersiapkan jalan bagi apa yang akan mengikutinya
2. Penjelasan menjelaskan maknanya
3. Ilustrasi memberikan sebuah contoh atau perumpamaan
4. Kausasi menunjukkan hubungan sebab - akibat
5. Instrumentasi mendemonstrasikan sebuah alat untuk
6. Interogasi mencapai tujuan menampilkan sebuah pertanyaan dan jawaban
7. Pembuktian membuktikan pendapat yang sudah diungkapkan menampilkan hal - hal
yang detail menarik sebuah prinsip umum dari berbagai
8. Partikularisasi
9. Generalisasi detail
10. Persimpangan
11. Krusialitas menampilkan urutan berselang - seling
12. Klimaks poros penanda perubahan arah mengindikasikan pergerakan dari yang
kurang ke arah yang lebih
13. Kelanjutan melanjutkan ide sebelumnya
14. Kesinambungan menyatakan ulang ide yang sama
15. Repetisi menyatakan kata - kata yang sama untuk memberi penekanan
16. Perbandingan menunjukkan kesamaan dengan hal yang lain
17. Kontras menunjukkan perbedaan dengan hal yang lain
18. Rangkuman mengulas ulang pokok pikiran secara ringkas
19. Konklusi menarik kesimpulan atau mengakhiri

Kadang - kadang , kata - kata sambung di awal sebuah paragraf meng indikasikan koneksi -
koneksi logis yang ada. Penggunaan koneksi logikal antar dua paragraf oleh penulis mempermudah
proses identifikasi hubungan struktural, namun, sayangnya, para penulis tidak selalu mencantumkan
koneksi logikal di dalam tulisannya. Kalau hal tersebut terjadi, seorang penafsir harus menduga jenis
koneksi logis yang ada berdasarkan natur dari isi tulisan tersebut. Dengan menentukan bagaimana
setiap paragraf berfungsi dalam alur pikiran logis yang ada di dalam konteks, seorang penafsir akan
memiliki perspektif untuk menemukan signifikansi sejati dari teks tersebut. Genre bentuk sastra
memberikan sebuah petunjuk lain untuk memahami pola penyusunan materi Alkitab. Para penulis
Alkitab menerapkan berbagai variasi bentuk sastra yang berbeda yang ada di zaman Alkitab .
Beberapa tahun belakangan, para sarjana semakin meyakini betapa besarnya pengaruh yang
disebabkan oleh perbedaan genre sastra atas makna dari berita yang dikomunikasikannya. Kami
membahas fitur - fitur dari bentuk sastra yang ada serta signifikansinya bagi penentuan makna dalam
beberapa bab berikut yang akan membahas genre - genre bentuk sastra.
Dalam beberapa contoh , hubungan di antara beberapa paragraf yang berurutan secara
langsung mungkin saja terlihat sangat membingungkan. Seorang penafsir mungkin saja tidak dapat
menemukan alasan mengapa paragraf - paragraf tersebut diurutkan baik secara kronologis, tematis,
logis, maupun dibandingkan dengan genre sastra. Kita dapat menjelaskan kondisi seperti itu sebagai
sebuah " loncatan pemikiran antarteks yang sengaja ditampilkan oleh penulis untuk menyatakan
sebuah fenomena yang disebut transfer psikologis. Hal ini terjadi ketika sebuah subjek memicu
sebuah perubahan psikologis menjadi subjek yang berbeda. Di dalam pikiran sang penulis, terdapat
sebuah koncksi di antara kedua pikiran tersebut, namun koneksi tersebut lebih bersifat psikologis dari
pada logis. Hubungan tersebut jelas bagi penulis namun tidak secara langsung dapat ditemukan oleh
pembaca. Sebelum menuduh bahwa penulis memiliki penyimpangan secara mental dalam menulis,
seorang penafsir harus terlebih dahulu berusaha menemukan kerangka referensi dari penulis serta
kemungkinan koneksi yang ada.
Contoh dari kasus di atas muncul di 2 Korintus 6 : 13. Mengikuti paragraf yang tercantum di
ayat 11 - 13, yang diakhiri dengan permohonan Paulus kepada para pembaca untuk " membuka hati
selebar - lebarnya, " Paulus kemudian seolah - olah menyisipkan sebuah bagian yang kelihatannya
tidak ada kaitannya, 6 : 14 - 7 : 1 , yang dimulai dengan, " Janganlah kamu merupakan pasangan yang
tidak seimbang dengan orang orang yang tak percaya . " Kemudian di 7 : 2 ia melanjutkan apa yang
tinggalkan di 6 : 13 dengan sebuah pengulangan, " Berilah tempat bap kami di dalam hati kamu ! "
Hubungan antar bagian - bagian tersebut mungkin bersifat psikologis. Jika kamu menyediakan ruang
bagi saya di dalam hatimu, demikian Paulus memberitahu orang - orang di Korintus , kamu tidak
boleh menyediakan ruang hatimu " untuk bergaul dengan orang - orang tak percaya. Paulus percaya
bahwa pergaulan tidak kudus yang kini sedang mereka jalankan akan mengambil alih sebuah reuni
yang murni antara dirinya dengan jemaat Korintus.
Terakhir, kita mungkin saja menemukan sebuah transisi yang mendadak dari satu paragraf ke
paragraf yang lain. Ketika seorang penulis memperkenalkan sebuah topik baru , saat itu mungkin
terjadi sebuah jeda alur pikiran. Kadang - kadang seorang penulis mempersiapkan para pembacanya
untuk transisi tersebut ; namun kadang - kadang tidak terdapat petunjuk sama sekali. Dalam usaha
menafsirkan sebuah teks dengan cara yang konsisten dengan konteksnya, para penafsir harus
mengenali kemungkinan hadirnya sebuah transisi mendadak , baik sebelum maupun setelah teks
tersebut. Hal ini akan melindungi penafsir dari menciptakan sendiri gagasan gagasan kontekstual yang
tidak dimaksudkan oleh penulis teks itu sendiri.

Konteks Kesusastraan dari Keseluruhan Kitab


Kitab tempat bagi teks Alkitab yang dipelajari merupakan konteks kesusastraan terpenting
kedua dalam menentukan makna yang dimak sudkan oleh penulis. Memahami sebuah teks dengan
benar berarti memahaminya dalam kerangka keseluruhan kitab tempat teks tersebut terletak. Bacalah
kitab - kitab yang pendek secara teliti dan berulang ulang . Cobalah membaca satu kitab yang lebih
panjang dalam satu pembacaan , kalau mungkin ulangi beberapa kali . Buatlah garis besar sementara
dari struktur kitab tersebut , kemudian manfaatkan sumber sumber referensi yang merangkum atau
membuat garis besar dari kitab tersebut. Tiga jenis informasi mengenai keseluruhan kitab yang
signifikan bagi pemahaman yang benar dari teks mana pun yang terkandung dalam kitab tersebut :
1 . Tujuan ( - tujuan ) atau tema ( - tema ) utama kitab tersebut
2 . Garis besar mendasar dari kitab tersebut
3 . Teks - teks paralel yang membahas subjek yang sama di dalam kitab tersebut
Pertama , adalah membantu kalau kita memahami tujuan ( - tujuan ) atau tema ( - tema )
utama dari kitab tersebut. Pemahaman atas alasan penulis menyusun kitab tersebut menjadi penentu
batasan - batasan makna bagi setiap bagian tulisan secara individual. Kita berasumsi bahwa
pernyataan - pernyataan atau bagian - bagian tulisan individual secara khusus memberikan kontribusi
bagi pencapaian tujuan dari penulis. Kadang kadang penulis mempermudah tugas para penafsir
dengan menyatakan tujuan penulisan kitab tersebut secara eksplisit. Sebagai contoh, pada permulaan
Injilnya, Lukas secara tepat menyatakan tujuannya :
Banyak orang telah berusaha menyusun suatu berita tentang peristiwa - peristiwa yang telah terjadi
di antara kita, seperti yang disampaikan kepada kita oleh mereka, yang dari semula adalah saksi
mata dan pelayan Firman. Karena itu, setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama
dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagim supaya
engkau dapat mengetahui bahwa segala sesuatu yang diajari kepadamu sungguh benar ( Luk . 1 : 1
- 4 ).
Lukas hidup pada zaman ketika banyak catatan - catatan tertulis dan laporan - laporan oral
telah menciptakan kebingungan tentang hala detail yang berhubungan dengan kehidupan Yesus. Oleh
sebab itu , ia bermaksud meyakinkan Teofilus akan kredibilitas dari informasi yang berhubungan
dengan kehidupan Yesus dengan cara menyediakan sebuah catatan hasil penyelidikan yang seksama
dan disusun dengan baik. Sebagai kontras dengan Lukas, penulis Injil keempat menunda hingga
hampir akhir kitabnya untuk mengindikasikan bahwa tujuannya adalah untuk memperkenalkan hidup
yang kekal melalui iman yang lahir dan bertahan di dalam Yesus ( Yoh . 20 : 30 - 31 ). Kitab - kitab
lain seperti Roma dan 1 Korintus mengandung banyak pernyataan - pernyataan tujuan di ber bagai
tempat dalam kitab - kitab tersebut.
Untuk kitab - kitab PL, lebih sulit menemukan pernyataan - pernyataan tujuan yang eksplisit (
jika memang dapat ditemukan ). Dua ayat pertama dari kitab Yosua mungkin merangkum subjek dari
kitab tersebut : "Seberangilah sungai Yordan ini, engkau dan seluruh bangsa ini, menuju negeri yang
akan Kuberikan kepada mereka, kepada orang Israel itu" ( Yos . 1 : 2 ). Namun kalau kita bertanya
mengapa penulis menyusun kitab tersebut , pertanyaan tersebut lebih sulit dijawab . Mungkin kita bisa
menemukan jawabannya di bagian kesimpulan dari kitab tersebut dengan semua peringatan untuk
setia melayani Tuhan - mengikuti teladan dari Yosua dan Israel selama hidupnya. Ini berarti, tujuan
dari penulis adalah memberi dorongan semangat kepada generasi penerus bangsa Israel dengan
kalimat : "Kuatkanlah benar - benar hatimu dalam memelihara dan melakukan segala yang tertulis
dalam kitab hukum Musa, supaya kamu jangan menyimpang ke kanan atau ke kiri " ( 23 : 6 ) .
Mereka perlu menegaskan bersama orang - orang yang sezaman dengan Yosua, "Kepada TUHAN,
Allah kita, kami akan beribadah, dan firman-Nya akan kami dengarkan" ( 24 : 24 ).
Jadi, jika ada kitab - kitab tertentu yang tidak memberikan pernyataan tujuan secara langsung,
para penafsir harus menyimpulkan sendiri berdasarkan isi kitab tersebut. Mereka harus
memperhatikan apa yang dicapai oleh penulis atau penyunting dalam kitab tersebut, dan kemudian
merangkum informasi tersebut menjadi sebuah tujuan. Meskipun cara ini terbukti cukup akurat untuk
menentukan tujuan dari penulis, ia tetap mengandung unsur dugaan. Daripada berspekulasi tentang
tujuan-tujuan berdasarkan kesimpulan sendiri yang layak dipertanyakan, kami menganjurkan para
penafsir untuk menemukan tujuan penulisan dengan menentukan tema - tema yang dominan dari kitab
yang ada. Hasil akhir dari kedua pendekatan tersebut di atas tidak akan jauh berbeda. Para penafsir
dapat menemukan tema - tema utama dari sebuah kitab dengan memperhatikan topik - topik yang
diberi penekanan khusus oleh penulis. Sebagai contoh, dalam kitab yang pendek seperti Obaja, tema
yang dominan tentang penghakiman Allah terhadap Edom dan pembelaan serta berkat-Nya kepada
kaum Yakub, gampang ditemukan. Untuk kitab yang lebih panjang seperti surat Galatia, Paulus
dengan jelas berusaha menampilkan keunggulan pengajaran tentang dibenarkan hanya karena iman di
dalam Kristus, melawan pengajaran - pengajaran dari sekelompok "Guru Agama Yahudi" yang jelas -
jelas memaksakan orang - orang kafir yang percaya untuk menjalankan Hukum orang Yahudi untuk
mencapai keselamatan. Selanjutnya, setiap bagian tulisan dalam kitab tersebut ditafsirkan berdasarkan
kontribusinya terhadap satu atau lebih subjek subjek tersebut.
Rencana mendasar dari kitab merupakan bagian penting lainnya dari konteks sastra sebuah
kitab. Kontribusi dari setiap bagian tulisan kepada berita keseluruhan dari sebuah kitab tergantung
pada lokasi dari bagian tulisan tersebut. Untuk kitab - kitab yang lebih panjang, hal ini melibatkan dua
unsur utama : rangkaian - pemikiran umum dari keseluruhan kitab dan rangkaian pemikiran spesifik
dari bagian kitab lokasi dari teks tertentu. Dengan menemukan tema dari setiap divisi utama dari
keseluruhan kitab, penafsir dapat menentukan apakah terdapat signifikansi dari susunannya. Ketika
seorang penafsir memahami bagaimana tema dari setiap divisi utama berperan dalam alur gagasan
dari keseluruhan kitab, maka fokus akan dipersempit pada bagian spesifik tempat teks tertentu yang
dipelajari tersebut terletak. Sebagai rangkuman : sebuah tafsiran kemungkinan besar tepat ketika ia
menjelaskan teks yang ada dengan cara yang konsisten dengan tema dari bagian di mana teks tersebut
berada. Selanjutnya, tafsiran tersebut akan menunjukkan bagaimana bagian tersebut berkontribusi
terhadap perkembangan pemikiran kitab tersebut secara keseluruhan.
Hal terakhir yang perlu dipertimbangkan dalam studi konteks sastra dari keseluruhan kitab
berhubungan dengan teks - teks paralel dari kitab yang sama yang membahas subjek yang sama
dengan subjek dari teks yang sedang dipelajari. Ketika seorang penulis merujuk kepada satu subjek
yang sama lebih dari satu kali di dalam kitab yang sama, satu atau lebih dari teks - teks tersebut dapat
menjelaskan hal - hal yang kabur dari teks yang lain. Prosedur untuk melakukan studi seperti ini
adalah bersifat Langsung, Bacalah keseluruhan kitab secara cepat untuk menemukan teks teks lain
yang membahas subjek yang sama, kemudian pelajari teks - teks tersebut untuk menemukan
kontribusi apa yang diberikan teks - teks tersebut terhadap pemahaman atas teks yang sedang
dipelajari.
Jadi, sebagai contoh, untuk memahami Hari Tuhan di Yoel 2 : 31 ( ayat yang terletak pada
bagian tulisan yang dikutip Petrus pada hari Pentakosta di Kis . 2 : 20 ), seorang penafsir harus
menyelidiki apa lagi yang dikatakan oleh Yoel tentang Hari Tuhan di dalam keseluruhan kitabnya (
mis.,1 : 15 ; 2 : 1 , 11 ; 3 : 14 ) , atau tempat - tempat lain di mana tema tersebut muncul meskipun
tidak dengan kata - kata yang sama. Demikian pula , untuk menambah wawasan tentang apa yang
Yakobus maksudkan dengan iman yang menyelamatkan di bagian tulisan mulai 2 : 14 , penafsir harus
mempelajari referensi - referensi lain tentang iman di dalam keseluruhan surat tersebut ( 1 : 3 , 5 - 8 ;
2 : 1 ; 5 : 15 ).
Namun, perlu kami berikan sebuah peringatan. Kita harus selalu meyakinkan bahwa teks -
teks yang ada adalah sungguh - sungguh paralel sebelum kita memakainya untuk saling menjelaskan.
Kadang - kadang terdapat teks - teks yang menggunakan kata - kata yang persis sama namun merujuk
kepada makna yang berbeda. Ini berarti bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang kelihatan paralel saja.
Meskipun ketika kedua teks benar - benar paralel, penafsir juga tidak dapat begitu saja memindahkan
konsep dari sebuah teks kepada teks yang lain tanpa terlebih dahulu melakukan justifikasi secara
tepat. Kita harus selalu mengutamakan tujuan penafsiran : maksud dari penulis sebagaimana yang
direfleksikan dalam teks yang dipelajari. Kita menjadi rentan terhadap kesalahan. kesalahan yang
serius ketika kita menafsirkan sebuah teks berdasarkan teks yang lain dengan mengabaikan konteks
langsung dari setiap teks yang ada. Sebagai sebuah peringatan, kita harus selalu menafsirkan setiap
teks paralel sesuai dengan konteks langsung dan konteks keseluruhan kitab dari masing - masing teks
sebelum membandingkan teks - teks yang ada. Sekali kita memahami makna yang secara kontekstual
adalah absah dari setiap teks, kita dapat melakukan perbandingan atas teks - teks yang ada untuk
melihat apakah salah satu teks menjelaskan detail - detail ter tentu dari teks lain yang sedang
dipelajari.
Jadi , untuk kedua contoh kasus yang dikutip di atas dari Yoel dan Yakobus - penafsir harus
terlebih dahulu memastikan bahwa para penulis menggunakan konsep - konsep yang benar - benar
paralel , bukannya begitu saja memaksakan fitur - fitur teks yang satu ke dalam teks lain yang sedang
dipelajari. Apakah terdapat referensi - referensi lain dalam kitab Yoel tentang Hari Tuhan yang
memiliki signifikansi historis ( bagi masa Yoel ) dan eskatologis ( bagi suatu masa mendatang )? Kita
harus memastikan jawabannya sebelum memaksakan makna - maknanya ke dalam 2 : 31 . Apakah
Yakobus menggunakan "iman" secara seragam dalam suratnya ? Para penafsir harus menyelidiki
setiap teks individual untuk menentukan apakah definisi iman di 2 : 14 - 26 merupakan makna yang
juga dipakai oleh Yakobus di bagian - bagian tulisan lainnya.

Konteks keseluruhan Alkitab


Unsur terakhir, lebih kontroversial dan lebih sulit dikontrol. Sebagaimana yang sudah kita
perhatikan sebelumnya, Alkitab mengandung sebuah kesatuan yang menyeluruh, meskipun terdapat
keragaman orang - orang yang menulisnya. Inspirasi Ilahi Kitab Suci menciptakan sebuah
kesinambungan pemikiran atas kitab - kitab yang ditulis dalam periode waktu lebih dari 1500 tahun.
Sebagaimana yang diungkapkan secara ringkas olch Vanhoozer, " Secara keseluruhan, kitab - kitab
yang berbeda dalam Alkitab merupakan Firman Allah. Lebih lanjut, orang - orang yang menulis
Alkitab juga sama - sama mengalami tradisi agama Yudeo - Kristen yang berlaku saat itu. Sejumlah
penulis yang muncul belakangan mengenal Kitab - kitab yang ditulis sebelumnya dan sangat
bergantung pada tulisan tulisan tersebut. Dalam 2 Petrus 3 : 15 - 16 , penulis merujuk kepada surat
yang ditulis oleh Paulus, bahkan mengimplikasikan status surat surat tersebut sebagai setara dengan
Kitab Suci lainnya ( yakni, PL ). Kitab kitab Tawarikh di PL mungkin dalam batasan tertentu
tergantung kepada kitab - kitab Samuel dan Raja - raja. Mazmur 105 - 106 kelihatannya tergantung
kepada bagian - bagian dari kitab Pentateukh. Teori yang paling populer tentang penyusunan kitab -
kitab Injil menyatakan bahwa satu atau lebih kitab Injil tergantung kepada yang lainnya. Prolog Lukas
( 1 : 1 - 4 ) yang dikutip di atas mengimplikasikan fakta demikian.
Karena kesatuan ini, maka keseluruhan Alkitab menjadi sebuah konteks sastra bagi semua
tulisan yang terkandung di dalamnya. Namun, di sinilah terletak kontroversi dan kesulitannya.
Bagaimana kita dapat mengakui adanya perspektif - perspektif yang unik dari setiap penulis yang
berbeda - keberagaman Alkitab - namun menegaskan kesatuan Alkitab ?
Kita tidak berharap semua penulis Alkitab memiliki perspektif yang sama atau memberikan
pandangan yang sama atas sebuah isu yang sama. Mereka akan menampilkan kecenderungan dan
penekanan yang berbeda, tergantung tujuan penulisan masing - masing. Namun , karena adanya
inspirasi Roh Kudus dalam keseluruhan Alkitab, kita yakin bahwa makna yang benar dari setiap
bagian Alkitab akan konsisten dengan bagian bagian lain dari keseluruhan Alkitab atas subjek yang
sama. Satu bagian tulisan tidak akan berkontradiksi dengan pengajaran yang jelas dari bagian - bagian
lain Alkitab mengenai subjek tersebut.
Tiga jenis pengelompokan kitab - kitab dalam Alkitab harus menjadi bahan pertimbangan
dalam menafsirkan sebuah teks sesuai dengan konteks keseluruhan Alkitab : ( 1 ) bagian - bagian
tulisan paralel di dalam kitab kitab yang berbeda oleh penulis yang sama ( untuk pandangan Paulus
tentang Hukum Taurat di Roma, pelajari juga kitab - kitab Paulus lainnya ) : ( 2 ) bagian - bagian
dalam kitab - kitab karya penulis - penulis yang berbeda dalam Perjanjian yang sama ( perhatikan apa
yang dikatakan oleh penulis . penulis PB lainnya tentang Hukum Taurat ) ; dan terakhir , ( 3 ) bagian
bagian dalam kitab - kitab karya penulis - penulis dalam Perjanjian yang berbeda ( pelajari Hukum
Taurat dalam PL ).
Pertama , kita mempelajari paralel - paralel dalam kitab - kitab karya penulis yang sama.
Tulisan - tulisan tersebut berasal dari pikiran yang sama yang digerakkan oleh Roh Kudus, oleh sebab
itu mengandung kesinambungan linguistik dan konseptual tingkat tertinggi. Kalau orang yang sama
membicarakan subjek yang sama dengan cara yang sama, maka hal itu memiliki kemungkinan besar
mengandung makna yang sama. Lagi pula, setiap penulis Alkitab memiliki sebuah pemahaman
pribadi yang sama dan pola yang cukup konsisten dalam mengungkapkan sebuah aspek dari
kebenaran Allah. Oleh sebab itu , untuk memahami pemahaman Paulus tentang iman di Roma 3 : 22 ,
lebih baik seorang penafsir mem pelajari bagian - bagian tulisan dalam Galatia ( mis., 2 : 16 ; 3 : 8 ,
11 , 24 ) daripada mempelajari tulisan Yakobus. Hal ini bukan hanya berlaku pada kata - kata yang
dipakai, namun juga pada konsep - konsep yang terkandung di dalamnya.
Paralel - paralel yang terdapat dalam kitab - kitab karya para penulis yang berbeda dalam
Perjanjian yang sama memiliki signifikansi tingkat kedua. Para penulis dalam Perjanjian yang sama
memiliki nilai kesamaan yang paling tinggi karena mereka menulis tentang fase yang sama dari
program penebusan Allah. Para penulis PL menggunakan bahasa Ibrani ( atau Aram ) dan
merefleksikan sebuah budaya Semit dengan kehidupan bangsa Israel sebagai setting utamanya .
Mereka memiliki fokus yang sama atas bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah, atas kesetiaan yang
eksklusif kepada Yahweh sebagai sebuah ekspresi dari relasi tersebut, dan atas janji - janji nubuatan
untuk berkat - berkat di masa depan. Semua itu menjadikan mereka, di tengah - tengah keragaman,
memiliki kesetiakawanan yang unik. Berbeda dengan PL, para penulis PB menggunakan bahasa
Yunani dan tinggal di dalam masyarakat yang dikuasi budaya Helenistik dalam kekaisaran Romawi.
Mereka hidup di era penggenapan mesianik dan memproklamasikan kabar baik tentang anugerah
Allah yang digenapi melalui kematian dan kebangkitan Yesus. Tulisan - tulisan terdahulu dalam
Perjanjian yang sama dan kemungkinan dikenal oleh penulis yang muncul belakangan, akan memberi
pengaruh yang lebih besar dibanding tulisan - tulisan yang muncul belakangan dan tidak dikenal oleh
penulis tersebut.
Karena kepenulisan PL mencakup minimal waktu seribu tahun, maka jarang terjalin relasi -
relasi antarpribadi di antara para penulis. Oleh sebab itu, bantuan yang dapat diberikan oleh penulis
atau kitab lain bagi penafsiran teks - teks tertentu dapat dianggap jauh lebih sedikit dibanding dengan
apa yang dapat kita temukan dalam PB. Namun, adanya sebuah warisan agamawi yang umum,
keyakinan keyakinan yang sama, dan sebuah penghormatan kepada tradisi Musa atau kerajaan Daud
di satu pihak, dan kepenulisan - kepenulisan para nabi di pihak lain, telah menciptakan sejumlah
kesatuan dan unsur kesinambungan. Mempelajari paralel - paralel yang ada di dalam PL menuntut
perhatian yang ketat atas masa di mana para penulis hidup dan kapan kitab - kitab PL tersebut
dirampungkan. Sebagai contoh, karena pelayanan - pelayanan dari Hosea, Amos, Yesaya, dan Mikha
saling bertumpang tindih ( abad ke - 8 SM ), maka penafsir dapat mempelajari tentang kemurtadan
agama dari Israel dan Yehuda pada saat itu dengan membandingkan teks - teks yang paralel. Semua
teks tersebut saling memberikan tafsiran - tafsiran yang bermanfaat pada bagian - bagian tertentu.
Para penulis PB menghadapi sebuah situasi yang berbeda. Dengan bergabung sebagai anggota
- anggota dari gereja yang mencakup para orang percaya dari banyak kebangsaan , mereka menulis
kitab - kitab PB dalam rentangan waktu yang cukup singkat, sekitar lima puluh tahun. Para penulis ,
sekelompok orang - orang terpilih yang terdiri dari para rasul dan rekan - rekan dekat mereka, sering
kali saling berhubungan. Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa mereka selalu saling sepakat,
sebagaimana yang tercatat di Galatia 2 : 11 - 14. Namun, walau terdapat perbedaan perbedaan
ekspresi tentang kekristenan di dalam PB, para penafsir tetap dapat menemukan sebuah
kesinambungan tingkat tinggi di dalam cara orang - orang Kristen mula - mula mengomunikasikan
iman mereka,
Jenis paralel terakhir ditemukan dalam teks - teks yang terdapat dalam Perianjian yang
berbeda. Berbagai teks PL yang paralel ternyata sangat membantu bagi pemahaman PB. Karena
kebanyakan penulis PB memahami PL dengan baik, mereka meminjam bahasa dan kategori teologis
darinya. Di atas semua itu, Alkitab yang dipakai gereja mula mula adalah PL, kebanyakan dalam
terjemahan bahasa Yunani ( LXX ). Sama seperti terjemahan dalam bahasa Inggris memengaruhi
Alkitab itu sendiri, " demikianlah bahasa Yunani memengaruhi Septuaginta. Sebenarnya, sejumlah
argumentasi dalam surat Ibrani sangat tergantung kepada formulasi PL dalam versi LXX ( mis., 1 : 6
bdk . Ul . 32 : 43 , 10 : 5 - 7 bdk. Mzm . 40 : 6 - 8 ) . Selain itu , keseluruhan dunia pernikiran mereka,
khususnya konsep - konsep agamawi tempat di mana mereka memformu lasikan sistem kepercayaan
mereka - monoteisme, perjanjian, pemilihan, umat Allah, penebusan, dan dosa, sebut saja beberapa -
berasal dari pengajaran pengajaran teologis PL.
Tentu saja, dalam arah sebaliknya, PB tidak memengaruhi penulisan PL, namun paralel -
paralel yang dimiliki PB terhadap PL dapat membantu para pembaca memiliki pemahaman yang utuh
tentang pengajaran Alkitab atas subjek tertentu dan mampu menarik implikasi - implikasi yang lebih
jauh darinya. Hal ini menunjukkan relevansi dari pengajaran PL sebagaimana yang terjadi dalam,
misalnya, pelayanan Yesus yang menggenapi teks - teks PL. Dalam Lukas 4 : 18 - 21 , Yesus secara
eksplisit mengidentifikasikan pelayanan-Nya sebagai penggenapan atas Yesaya 61 : 1 - 2 . Lebih
lanjut , Matius 11 : 4 - 5 yang mencatat perkataan Yesus, " Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes
apa yang kamu dengar dan kamu lihat : orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta
menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan
kabar baik, " jawaban tersebut secara implisit mengembangkan Yesaya 35 : 4 - 6 dan 61 : 1.
Di saat yang sama, para penafsir harus sangat berhati - hati agar terhindar dari kristenisasi
yang tidak patut terhadap PL. Teks - teks PL yang paralel tidak boleh dipergunakan untuk membuat
teks - teks PL mengajarkan kebenaran PB. Gereja mula - mula memiliki kecenderungan - yang
dilanjutkan oleh kaum Protestan setelah Reformasi - untuk membaca konsep - konsep teologis PB
kembali kepada teks - teks PL. Kita harus menghindari kesalahan - kesalahan demikian ; tugas
pertama kita adalah selalu memahami setiap teks berdasarkan makna - makna aslinya sebagaimana
yang dipahami oleh para penulis dan pembaca asli teks tersebut. Hanya setelah memahami makna dari
teks PL, kita baru dapat membicarakan isu kanonis tentang bagaimana kedua Perjanjian saling
melengkapi untuk mengisi pengajaran Alkitab kita secara utuh.
Kami mendengar sebuah kejadian yang menunjukkan betapa gampang dan rentannya
kesalahan ini terjadi di antara orang - orang Kristen. Setelah seorang pengkhotbah tamu
mengkhotbahkan panggilan Yeremia, ia menekankan gagasan - gagasan untuk merespons terhadap
pimpinan Allah pada masa kini, seorang majelis gereja dengan berterus terang memperingatkannya di
depan pintu, " Anak muda ( dengan jelas menunjukkan adanya masalah ), khotbahkan Kristus ! "
Jawaban yang meyakinkan, " Namun saya sudah, Pak ! " tidak mampu meyakinkan majelis yang
sedang kesal tersebut yang meyakini bahwa setiap teks PL harus berfungsi sebagai batu loncatan
untuk menyampaikan khotbah Injil yang berpusat kepada Kristus. Sayangnya, majelis tersebut, dan
mungkin juga banyak orang lain seperti itu, gagal memahami bahwa berita Allah di PL bagi gereja
masa kini harus berakar pada makna yang dimaksudkan oleh teks itu sendiri. Signifikansinya bagi
kehidupan masa kini mungkin sangat ber beda dengan signifikansinya bagi para pembaca aslinya ,
namun tidak pada makna esensialnya. Banyak orang gagal menemukan kebenaran kebenaran yang
agung tentang karakter Allah dan relasi - Nya dengan umat - Nya di dalam PL yang dikarenakan oleh
keyakinan yang baik namun terbiaskan bahwa setiap bagian Alkitab harus mengungkapkan kebenaran
PB. Yang terutama adalah bahwa PL harus diperlakukan secara khusus sesuai dengan sifatnya. Kita
harus menafsirkan teks - teks yang terkandung di dalamnya berdasarkan maksud dari teks - teks itu
sendiri . yang menjadi tujuan esensial dari penafsiran PL.
Menafsirkan teks - teks Alkitab dalam terang konteks keseluruhan Alkitab memiliki cakupan
yang terbatas . Periksalah paralel - paralel yang ada untuk melihat apakah semua paralel tersebut
dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman atas makna dari teks yang ada. Penggunaan paralel
yang teliti akan memampukan seorang penafsir untuk mengapresiasi kontribusi yang diberikan oleh
teks yang dipelajari kepada pengajaran atas tema tertentu dari keseluruhan Alkitab.

LATAR BELAKANG HISTORIKAL - BUDAYA


Teks - teks Alkitab tidak hanya mengekspresikan rangkaian pemikiran dari penulis , tetapi
juga merefleksikan sebuah prinsip kehidupan yang hampir semua aspeknya berbeda secara radikal
dengan apa yang dimiliki oleh para pembaca masa kini. Karya sastra dan peristiwa - peristiwa yang
tercatat di dalam Alkitab berasal dari ribuan tahun yang lalu. Selain merefleksikan berbagai bahasa,
budaya , dan gaya hidup kuno, para penulis juga menuliskan pesannya kepada kelompok orang yang
berbeda dengan kita . Akibatnya , setiap kali kita mempelajari teks Alkitab, kita harus sadar akan
dimensi - dimensi antarbudaya dan kesenjangan waktu yang ada. Setiap bagian tulisan yang ada
merupakan Firman Tuhan yang ditujukan kepada kelompok orang lain, sebelum ia menjadi Firman
Tuhan kepada kita. Dalam pengertian tertentu, Alkitab selalu sampai kepada kita lewat tangan kedua,
lewat orang lain yang hidup di masa - masa dan tempat tempat yang berbeda dengan kita. Inilah dasar
bagi sebuah prinsip hermeneutika yang penting : Penafsiran yang benar atas teks Alkitab akan
konsisten dengan latar belakang historis - budaya dari teks tersebut. Terdapat tiga alasan mengapa
prinsip ini sangat penting : sudut pandang, pola pikir, dan kontekstualisasi.

SIGNIFIKANSI DARI LATAR BELAKANG HISTORIKAL - BUDAYA


Sudut Pandang
Pertama , situasi - situasi yang di dalamnya sebuah komunikasi terjadi secara substansi
memengaruhi, jika tidak menentukan, makna. Kita perlu memahami sudut pandang dari para
komunikator yang orisinal - inisiator dan penerima - untuk memahami makna yang tepat. Karena baik
penulis maupun penerima saling membagi latar belakang budaya dan informasi yang sama dan hidup
di masa yang sama dalam sejarah, maka mereka tidak pernah mengungkapkan sudut pandang mereka
secara eksplisit. Kecenderungan ini juga berlaku pada masa kini. Jika seseorang menunjukkan kepada
kita sepucuk surat pribadi, meskipun surat itu ditulis oleh seorang sahabat yang juga kita kenal, masih
ada sejumlah hal yang perlu diberi penjelasan karena hal - hal tesebut merujuk kepada sebuah
pengalaman yang hanya diketahui oleh penulis dan penerima surat tersebut. Kurangnya penjelasan
demikian - sudut pandang atas situasi tertentu - membuat seorang pembaca yang lain tidak memahami
apa yang dimaksudkan surat tersebut.
Pembacaan yang melampaui situasi seperti ini menggambarkan situasi yang dihadapi oleh
para pembaca masa kini atas Surat - surat Kiriman PB. Para rasul atau pihak - pihak lain mengirim
surat - surat dari abad pertama tersebut kepada sekelompok orang tertentu yang hidup di tempat -
tempat tertentu sehubungan dengan keadaan - keadaan tertentu yang sedang terjadi di dalam
kehidupan mereka. Dalam kebanyakan kasus, penulis dan penerima surat memiliki pengalaman
pengalaman yang sudah mereka pahami bersama ; mereka berbahasa Yunani dan saling memiliki
informasi yang umum di antara mereka dan tentang dunia mereka. Untuk dapat menafsirkan kitab -
kitab tersebut dengan tepat pada masa kini, pembaca perlu memahami sebanyak mungkin detail -
detail yang berhubungan dengan latar belakang historis dan budaya tersebut. Kebenaran yang sama
juga berlaku atas kitab - kitab lain yang tidak termasuk surat kiriman di dalam Alkitab. Banyak
mazmur dari Israel kuno merefleksikan pengalaman pengalaman dari para penyembah yang hidup di
sebuah monarki dalam sebuah dunia yang penuh dengan kerajaan dan kekaisaran. Penulis Hakim -
hakim menuliskan ciri khas dari hari hari sebelum lahirnya monarki dengan sebuah pernyataan
penutup : " Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel ; setiap orang berbuat apa yang benar
menurut pandangannya sendiri " ( Hak . 21 : 25 ). Pastinya masa masa tersebut adalah " liar dan suram
" - tidak diragukan lagi merupa kan dunia yang jauh berbeda dengan era modern masa kini. Demikian
juga, nubuat - nubuat apokaliptik lahir dari sebuah pandangan dunia dan menggunakan teknik - teknik
kesusastraan yang secara umum tidak kita kenal dalam dunia masa kini.
Karena situasi kondisi kehidupan kita secara radikal berbeda dengan setiap situasi masa
Alkitab ditulis, maka tidak mengherankan kalau banyak pernyataan di dalam Alkitab yang dibaca
sekilas akan menghasilkan pengaruh yang berbeda atas kita dibandingkan dengan makna yang
dimaksudkan oleh para penulis orisinalnya. Para penafsir Alkitab yang hidup zaman ini perlu
menempatkan diri pada posisi para penulis dan pembaca asli Alkitab, yakni, mereka perlu memahami
sebuah teks dari sudut pandang para penulis dan pembaca aslinya. Para penulis Alkitab tidak memiliki
konsep tentang situasi masa kini yang kita hadapi. Mereka menulis dari sebuah sudut pandang yang
berdasarkan pada situasi kondisi yang sedang mereka hadapi, dan kita harus memahami tulisan -
tulisan mereka dari posisi tersebut.
Pola Pikir
Alasan kedua mengapa kita harus menafsirkan sebuah tulisan secara konsisten dengan situasi
kondisi historis - budayanya, karena kemungkinan adanya sebuah faktor yang tersembunyi yang
disebut pola pikir. Pola pikir menggambarkan sebuah sikap mental atau kecenderungan. Tindakan -
ucapan tidak hanya mengomunikasikan muatan ; ia menjalan kannya lewat cara - cara tertentu, untuk
tujuan - tujuan khusus, dan dimaksudkan untuk pengaruh emosional tertentu. Setiap budaya
memanifestasikan sebuah sistem konsep nilai dan sebuah cara pandang yang meng atur dimensi
afektif atau perasaan dari sebuah ucapan. Efek dari sebuah pernyataan mungkin berbeda antara satu
budaya dengan budaya lainnya, tergantung kepada standar - standar apa yang benar dan salah atau
skala konsep nilai yang dimiliki oleh setiap budaya yang ada. Sebagai contoh, Yesus menyebut
Herodes Antipas serigala ( Luk . 13 : 32 ), para pendengarnya memahami " serigala " mewakili
konsep nilai tertentu. Menyebut seseorang dengan sebutan serigala pada masa kini akan menimbulkan
makna atau konsep nilai yang berbeda, tergantung pada budaya ( atau subbudaya ) yang terlibat di
dalamnya . Jika seorang pembaca, begitu saja, memasukkan makna " serigala " berdasarkan
pengertian masa kini, maka maksud orisinalnya akan menjadi bias atau bahkan hilang. Dalam budaya
- budaya tertentu, serigala mungkin saja tidak memiliki makna konotatif, dan makna tersebut bisa saja
buram. Wahyu biblikal telah dikomunikasikan di dalam budaya - budaya. Hal itu tidak terhindarkan
karena semua bahasa umat manusia dikondisikan oleh budaya.
Untuk mengembangkan kesadaran terhadap pola pikir dari orang orang di zaman Alkitab, kita
perlu mempelajari latar belakang historis budaya dari dunia mereka, karena sebuah penafsiran harus
sesuai dengan makna yang dipahami oleh orang - orang " zaman dulu, " meskipun makna tersebut
tetap terasa asing bagi kita yang hidup di masa kini. Kita harus melawan godaan untuk membersihkan
Alkitab sehingga pengajarannya sesuai dengan konsep nilai dan pola pikir kita. Sekali kita memahami
makna masa lalu dari sebuah tulisan, kita dapat menerapkannya dalam terang konsep nilai budaya
masa kini sehingga makna tersebut dapat menghasilkan pengaruh dan efek emosional yang pantas
bagi kita.
Kontekstualisasi
Alasan ketiga penafsir harus konsisten dengan latar belakang historis budaya tulisan tersebut
berhubungan langsung dengan inti penafsiran itu sendiri . Sementara kedua alasan pertama , sudut
pandang dan pola pikir, menekankan pentingnya mengenal latar belakang historis - budaya untuk
menemukan makna yang dimaksudkan bagi pembaca orisinal, maka alasan yang satu ini difokuskan
pada bagaimana mengekspresikan berita ter sebut secara akurat dalam dunia masa kini. Istilah
kontekstualisasi membantu mengungkapkan perspektif ini. " Usaha mengontekstuali sasikan
kebenaran Alkitab menuntut sebuah kaca mata bifokal. Pertama tama , kita memerlukan sebuah lensa
untuk memandang kembali latar belakang dunia Alkitab untuk mempelajari makna yang dimaksud
kan. Kemudian , kita memerlukan sebuah lensa lain untuk melihat latar depan untuk menentukan cara
yang terbaik untuk mengekspresikan mengontekstualisasi - makna tersebut kepada dunia masa kini .
Kita memberikan penekanan atas dimensi ini dengan keyakinan awal bahwa penafsiran Alkitab tidak
hanya berhubungan dengan dunia lampau. Alkitab adalah Firman Allah bagi kita masa kini.
Seorang penafsir yang ahli hidup di dalam dua dunia : dunia kuno Alkitab dan dunia
masyarakat modern. Alkitab dihasilkan berdasarkan gaya khas yang berlaku di budaya budaya
tertentu di zaman lampau ; sebagai kontrasnya, kita adalah produk dari budaya budaya modern yang
sedang menuju era postmodern. Kedua horison tersebut membantu para penafsir yang tanggap untuk
menggunakan lensa yang berbeda, Eksegesis yang efektif tidak hanya memahami berita yang
dimaksudkan bagi para pembaca asli zaman dahulu, tetapi juga menentukan bagaimana
mengekspresikan dan mengaplikasikan makna tersebut kepada orang orang yang hidup pada zaman
kini. Proses kontekstualisasi memperbarui cara mengekspresikan konsep - konsep yang
dipresentasikan dalam teks Alkitab ke dalam bahasa masa kini sehingga konsep - konsep tersebut
dapat memberikan dampak yang sama kepada para pendengar modern. Seorang penafsir harus
menyadari natur dari tugas penafsiran ini. Kita harus mengenal dunia Alkitab maupun dunia modern
agar dapat menjembatani perbedaan - perbedaan di antara kedua dunia tersebut. Karena budaya kita
pada masa kini telah membentuk cara kita memahami sesuatu ( pemahaman awal kita ), kita
cenderung tergoda untuk berusaha memahami berita yang disampaikan Alkitab berdasarkan
pandangan hidup kita tanpa terlebih dahulu memahami berita tersebut berdasarkan situasi - kondisi
historikal - budayanya. Jika kita menyerah pada godaan tersebut, maka berita yang kita peroleh dari
Alkitab mungkin tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh teks Alkitab ; kita
mungkin begitu saja mengepak ulang berita tersebut sesuai dengan makna makna yang kita miliki.
Tugas kita harus menuntun kepada aplikasi, namun sebelum itu kita harus terlebih dahulu dengan
jelas memahami makna dari teks yang ada.

PRINSIP - PRINSIP BAGI PENAFSIRAN HISTORIKAL - BUDAYA


Latar Belakang Historikal - Budaya yang Asli
Terdapat sejumlah prinsip yang menuntun seorang penafsir agar dapat secara tepat menangani
berbagai latar belakang historikal - budaya dari berbagai dunia Alkitab. Pertama, kita harus
memahami setiap bagian tulisan secara konsisten dengan latar belakang historikal dan budayanya.
Agar sebuah hasil penafsiran memenuhi syarat dan dapat diterima sebagai makna yang dimaksudkan
dari sebuah teks, ia harus merupakan makna yang paling sesuai dengan keadaan - keadaan asli dari
penulisan dan pembacaan teks tersebut. Penjelasan apa pun yang tidak konsisten atau tidak sesuai
dengan situasi dan kondisi historikal atau budaya dari penulis dan para penerimanya tidak dapat
diterima sebagai tafsiran yang absah Dengan mempertimbangkan keadaan keadaan asli di sekitar
penulisan teks, seorang penafsir harus menentukan tafsiran mana yang mengandung makna yang
paling alamiah ? Prinsip ini menyiratkan bahwa seorang penafsir harus memahami situasi kondisi
historikal dan budaya seakurat mungkin dan harus menafsirkan berita Alkitab secara konsisten dengan
gambaran tersebut.
Untungnya, berbagai penemuan arkeologis, riset historis, dan studi sosiologis dan budaya
telah menghasilkan informasi berlimpah yang dapat membantu tugas ini. Begitu meyakinkannya
sumber - sumber informasi tersebut sehingga Russell Spittler begitu bangga menyatakan, Kemajuan
kemajuan dalam leksikografi dan arkeologi telah menempatkan kita pada posisi yang mampu
memahami dunia kuno melebihi dunia kuno memahami diri sendiri. Meskipun pernyataan di atas
mengandung sejumlah kebenaran, kita juga harus waspada agar tidak terlalu tinggi menilai
kemampuan diri dalam memahami dunia Alkitab. Kini, kita harus menganalisis disiplin - disiplin ilmu
tingkat akademis tinggi yang kita klasifikasikan sebagai antropologi, sosiologi, linguistik, sejarah, dan
psikologi tersebut sebagai rutinitas kehidupan schari - hari di dunia kuno. Meskipun kita memperoleh
banyak wawasan yang rinci berdasarkan berbagai disiplin ilmu di atas, pengetahun kita tentang
sejumlah detail yang berhubungan dengan unsur - unsur yang saling berkaitan dalam setiap kisah di
dalam Alkitab masih sangat terbatas. Apa yang kita tidak pahami dan tidak mungkin kita temukan ,
jauh melebihi semua informasi berharga yang tersedia bagi kita ; akibatnya, kita harus selalu membuat
klaim yang sederhana dan realistis atas rekonstruksi - rekonstruksi historikal - budaya apa pun yang
mampu kita lakukan- dan hasil penafsiran yang tergantung kepada semua itu.
Memahami setiap tulisan sesuai dengan latar belakangnya mencakup usaha menentukan
dalam hal apa situasi kondisi Alkitab serupa atau berbeda dengan situasi kondisi kita. Selalu ada
persamaan antara kehi dupan kita dengan mereka. Semua unsur umum yang ada dapat menjadi titik -
titik referensi yang membantu para pembaca masa kini memahami makna yang ada. Perbedaan -
perbedaan, di pihak lain, harus dipelajari secara hati - hati untuk memberi informasi yang dapat
membantu seorang penafsir menyingkirkan berbagai unsur historikal - budaya yang ambigu.
Surat kepada jemaat di Laodikia ( Why . 3 : 14 - 22 ) menyediakan sebuah contoh yang
menarik. Dalam deskripsinya kepada gereja tersebut, Tuhan mengecam jemaat Laodikia karena tidak
panas tidak dingin. " la melanjutkan dengan mengatakan, " Alangkah baiknya jika engkau dingin atau
panas ! " ( ay . 15 ). Ia merasa tidak ada alasan untuk memuji jemaat di gereja tersebut ; mereka sama
sekali tidak berguna tidak seperti air panas ( sebagaimana yang dipakai untuk mandi ) atau seperti air
dingin ( sebagaimana air minum yang menyegarkan ). Tanpa bantuan dari studi arkeologis tentang hal
ini , para penafsir akan menghasilkan kesalahan tafsir yang serius atas makna ayat ini. Artinya, kita
harus menafsirkan " panas " dan " dingin dalam terang konteks historis Laodikia, yang ter letak dekat
baik sumber mandi air panas ( dekat Hierapolis ) maupun sebuah mata air dingin ( dekat Kolose ).
Jadi, air panas maupun dingin ada gunanya ; keduanya bermanfaat untuk tujuan berbeda. Namun,
kondisi kerohanian gereja tersebut lebih mirip air yang suam - suam kuku yang mengalir di dalam
pipa - pipa Laodikia. Tidak panas atau dingin, menciptakan bau busuk dan membuat orang ingin
muntah. Yesus tidak sedang mengatakan bahwa sebuah pertentangan yang aktif kepada-Nya ( sebuah
penafsiran yang keliru atas kata " dingin " ) adalah lebih baik daripada seorang Kristen yang suam -
suam kuku. "

Pengaruh yang Asli


Prinsip kedua bergerak dari informasi faktual tentang situasi kondisi Alkitab kepada dimensi
emosional . Kita harus menentukan pengaruh wang seharusnya dimiliki oleh bagian Alkitab tersebut
dalam situasi kondisi aslinya . Prinsip ini melibatkan faktor pola pikir . Para penafsir harus berusaha
mengetahui , sedapat mungkin , bagaimana reaksi dari para penerima asli terhadap apa yang tertulis .
Jelas sekali , kita tidak selalu dapat mengetahui hal ini dengan pasti , namun demikian , kita berusaha
sedapat mungkin ( lewat riset historikal ) untuk menemukan apakah teks yang ada telah mengalami
konflik atau kesesuaian dengan sistem nilai dari para pembaca dan menentukan apakah perasaan -
perasaan dari para pembaca asli , serupa atau berbeda dengan perasaan - perasaan kita ketika
membaca teks tersebut .
Kitab Amos dapat mengilustrasikan hal ini . Sebagaimana " Tuhan akan mengaum dari Zion "
( 1 : 2 ) , ia mengumumkan penghakiman mela wan negara - negara tetangga dari Israel ( Kerajaan
Utara ) . Kita dapat merasakan bahwa umat Israel bersukacita dalam kepuasan diri di dalam hati
mereka . Tidak diragukan lagi kalau bangsa - bangsa lain layak mene rima penghakiman Allah ,
demikian pikir mereka . Namun kemudian kapak tersebut jatuh dan Amos mengumumkan
penghakiman terakhir dari Allah - melawan Israel ! Israel tidak mungkin melepaskan diri , dan kitab
tersebut dilanjutkan dengan perincian tuntutan Allah melawan bangsa Israel . Dengan cara yang sama
, para pembaca modern mungkin secara emosional merasakan pengaruhnya ketika membaca 4 : 1 di
mana Amos menyebut para perempuan yang hidup berfoya - foya sebagai " lembu lembu Basan . " 7
Para pembaca modern yang tinggal di daerah perkotaan tidak akan memahami perasaan urgensi yang
ditimbulkan oleh nubuatan yang mengumumkan wabah dan bencana atas ladang dan kebun di negara
agraris tersebut , yang rakyatnya amat bergantung pada hasil ladang mereka ( 5 : 16 - 17 ) . Kadang -
kadang kita dapat memperoleh sedikit gam baran ketika kita mengalami atau membaca tentang
kondisi kekeringan karena kemarau panjang di Afrika . Atau , dapatkah kita merasakan apa yang
dirasakan oleh pembaca asli ketika mendengar Allah memberikan penilaian atas mereka : " Aku
membenci , Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu " ( 5 :
21 ) ? Bayangkan bagaimana perasaan kita kalau Allah mengungkapkan kata - kata tersebut atas
ibadah yang kita lakukan di gereja . Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati juga dapat
menjadi contoh yang lain . Kita dapat menemukan rumah sakit dengan nama " Orang Samaria yang
Baik Hati " . frasa tersebut memberikan kesan secara positif . Namun demikian , bagi orang - orang
Yahudi yang pertama kali mendengarkan Yesus menyampai kan kisah ini , orang Samaria ,
sepenuhnya buruk ; mereka adalah bangsa yang terhina . Namun Yesus menjadikan musuh mereka
yang terhina tersebut sebagai pahlawan dalam kisah yang mengajarkan tentang sesama manusia yang
sejati - sebagai kontras dengan para pemimpin agama yang dihormati oleh bangsa Yahudi . Dapatkah
kita merasakan ganjalan berat yang muncul dalam hati para pendengar mula - mula ? Segi emosi dari
penafsiran membangkitkan apresiasi yang lebih utuh atas makna yang dimaksudkan oleh sebuah teks .
la memberikan wawasan yang membantu seseorang merasakan efek dari berita tersebut serta
memahami konsep atau ide yang disampaikan . Ia memberikan kita sebuah " perasaan " atas ide - ide
yang ada serta sebuah pemahaman " atas ide - ide tersebut .

Ekspresi yang Tepat


Prinsip ketiga yang berkaitan dengan aspek kontekstualisasi dari penaf siran historikal -
budaya adalah : Kita harus mengekspresikan kebenaran Alkitab dalam bahasa kita dengan cara - cara
yang memiliki kesesuai yang paling dekat dengan ide - ide yang ada dalam budaya Alkitab .
Tantangan bagi seorang penafsir adalah bagaimana menemukan ung kapan ungkapan yang tepat
untuk mengartikulasikan maksud teks yang ada sehingga para pembaca masa kini dapat merasakan
makna dan pengaruh yang dirasakan oleh para pembaca mula - mula . Alkitab NIV telah
menghasilkan terjemahan sangat baik yang mampu menangkap maksud dari Roma 12 : 2 : " Do not
conform any longer to the pattern this world . " Namun para pembaca tetap saja lebih menghargai
terjemahan J . B . Phillips : Don ' t let the world around yow squeeze you into its own mould.” Kedua
terjemahan di atas mengekspresikan konsep disampaikan Paulus dengan ungkapan - ungkapan yang
gampang diingat. serta dapat dipahami oleh para pembaca bahasa Inggris masa kini . E . H . Peterson
menerjemahkannya menjadi : " Don ' t become so well adjusted to your culture that you fit into it
without even thinking . Sekali lagi , parafrasa tersebut mengekspresikan makna yang ada secara lebih
jelas kepada kita . Prinsip ini secara alamiah berlaku atas tugas para penerjemah , namun juga berlaku
bagi para penafsir yang rindu memahami dan mengomunikasikan makna yang terkandung di dalam
Alkitab kepada para audiens atau pembaca masa kini .
Mereka yang berusaha menjembatani berita Alkitab dengan budaya masa kini menghadapi
tantangan dan risiko yang besar . Sebuah bahaya abadi yang selalu mengancam terkait dengan
sinkretisme . Secara umum , sinkretisme diartikan sebagai " kombinasi dari berbagai bentuk
kepercayaan atau praktik , namun sebenarnya ia mengandung makna yang lebih subjektif dan
merendahkan : " Makna subjektif mencakup sebuah evaluasi atas pembauran sejenis itu dari sudut
pandang salah satu agama yang terlibat di dalamnya . Jadi , bagi orang Kristen , sinkretisme merujuk
kepada pencampuradukan kepercayaan - kepercayaan Alkitab dan non Alkitab untuk membentuk
sebuah agama campuran yang tidak dapat diterima . Kebanyakan orang Kristen memandang
sinkretisme sebagai sesuatu yang negatif karena mencampuradukkan kepercayaan Kristen dengan
sistem kepercayaan lain akan menghasilkan sebuah campuran yang sama sekali bukan Kristen .
Dalam 1 Raja - Raja 12 : 25 - 13 : 34 , kita membaca bahwa Yerobcam telah melakukan kesalahan
demikian . la menjadi raja pertama dari Kerajaan Utara setelah sepuluh suku memisahkan diri dari
kerajaan Selatan , Yehuda . Karena takut kalau para pengikutnya melakukan ziarah ke Yerusalem
untuk mempersembahkan kurban yang akan menyebab kan kesetiaan mereka beralih kepada Raja
Rehobeam dari Yehuda , maka Yerobeam mendirikan sebuah agama tandingan yang pusat penyem
bahannya terletak di dalam daerah pemerintahannya . Sementara tetap mempertahankan banyak fitur
dari kepercayaan dan ibadah yang diajar kan Musa , agama barunya tersebut , yang memfokuskan
penyembahan kepada dua patung lembu emas , juga menjalankan unsur - unsur penyem bahan berhala
dari agama - agama daerah sekitarnya . Mungkin saja agama campuran yang baru tersebut lebih
menarik bagi raja dan para pengikut nya , namun Allah dengan keras mengecam agama sinkretis
dengan mengirimkan seorang nabi untuk mengumumkan hal tersebut persis pada hari di mana raja
berusaha mempersembahkan kurban di altar baru mereka di Betel ( 13 : 1 - 4 ) .
Sama seperti Yerobeam , sekarang , banyak orang mencampuraduk kan pemahaman mereka
tentang iman Kristen dengan unsur - unsur terbaik dari " agama - agama yang terdapat dalam budaya
mereka . Ketika menjelaskan pendekatan demikian , W . Larkin menyatakan : " Meskipun Alkitab
tetap berperan di dalamnya , namun kini ia telah ditempatkan dalam hubungan dialektikal dengan
konteks kekinian . " Kaum Injili menolak pendekatan kontekstualisasi yang demikian , karena berten
tangan dengan pernyataan Injil sebagai satu - satunya iman yang menyelamatkan . " Kita percaya
bahwa proses kontekstualisasi yang benar akan memanfaatkan konsep - konsep dari budaya kekinian
untuk mengomunikasikan berita yang berasal dari Alkitab itu sendiri secara efektif dengan cara yang
menghindari praktik sinkretisme . Ketika berusaha mengungkapkan berita dari Alkitab , para penafsir
harus waspada agar tidak memilih kata - kata atau fitur - fitur budaya yang mengandung kemung
kinan melibatkan asimilasi unsur - unsur yang tidak setara dengan iman Kristen . Sesungguhnya ,
mereka perlu menerapkan berita Alkitab dengan salah di dalam sebuah budaya . cara yang
meyakinkan untuk mengoreksi konsep - konsep pemikiran yang Kontekstualisasi yang benar
mensyaratkan sensitivitas penafsir terhadap budaya Alkitab maupun budaya masa kini . Tujuan
ultimat sebuah penafsiran yang baik adalah sebuah penjelasan yang jelas , akurat , dan relevan dari
makna yang dimaksudkan oleh teks dalam sebuah bahasa yang dapat dipahami oleh orang - orang
masa kini . Menjembatani kesen jangan antara budaya Alkitab dan budaya modern menuntut
pemahaman akan bahasa , konsep nilai , dan simbol - simbol signifikan dari masyarakat modern .
Sementara semua terjemahan sebenarnya mengandung penafsiran , sebuah penafsiran sebenarnya
melebihi sebuah terjemahan yang baik . Secara tradisional , para penafsir Alkitab telah menjalani
pelatihan dan memiliki keterampilan yang lebih baik dalam mengeksegesis Alkitab dibanding
mengeksegesis budaya kekinian . Karena agenda dari herme neutika mencakup pengembangan prinsip
- prinsip untuk menemukan makna dari sebuah teks dan relevansi Alkitab bagi dunia masa kini , maka
kita harus mensyaratkan kemampuan untuk mengeksegesis budaya ke dalam tugas ini juga .

Prioritas dari Makna yang Jelas


Usaha menjaga keseimbangan dan memiliki perspektif yang tepat akan mengingatkan kita
agar terhindar dari sindrom " mengesampingkan yang utama dan mengutamakan yang sepele . "
Nasihat terakhir sehubungan dengan eksegesis historikal - budaya adalah sebuah peringatan yang
bersifat negatif : Jangan izinkan fitur - fitur dari latar belakang historikal budaya menyabot tugas
utama dalam memahami berita utama dari teks . Kadang - kadang , para penafsir begitu terpesona
oleh berbagai gagasan historikal - budaya yang ada , akibatnya berita utama yang mereka hasilkan
tidak konsisten dengan apa yang disampaikan teks . Kenyataan ini menuntut sikap yang waspada
karena proses timbal - balik yang tidak dapat dihindari . Berbagai detail historikal dan budaya
membantu kita memahami teks , namun kata - kata dari teks menunjuk kepada isu - isu historikal
yang dibahas . Contoh ilustrasi yang baik adalah penafsiran atas perumpamaan tentang bendahara
yang tidak jujur ( Luk . Toil ) , Bagian tulisan ini telah membingungkan banyak orang Kristen karena
Yesus seolah - olah memuji sebuah tindakan yang tidak jujur . Sejumlah penafsir menggunakan
situasi historikal untuk menyatakan bahwa majikan dari bendahara tersebut mungkin menerapkan
tingkar suku bunga yang luar biasa tinggi dan ilegal kepada mereka yang berhutang kepadanya ,
Pengurangan hutang yang dilakukan oleh bendahara tersebut bermaksud mengembalikan jumlah
hutang yang tidak wajar kepada jumlah yang sewajarnya . " Jadi , ketika sang majikan memuji
pegawai yang telah dipecatnya tersebut karena telah mengurangkan setengah dari hutang yang
dimiliki oleh para kreditor , ia setuju dengan keadilan yang dihasil . kan oleh tindakan tersebut . Bagi
mereka yang melakukan penafsiran seperti ini , perumpamaan tersebut mengajarkan keadilan ,
membenarkan yang salah berdasarkan kekuasaan yang dimiliki . Sementara penjelasan ini membantu
menyelesaikan kesan mengganggu yang disebabkan oleh pujian Yesus - la memuji tindakan keadilan ,
bukan ketidakjujuran namun , benarkah tafsiran tersebut ?
Sebenarnya , sang majikan memuji mantan bendaharanya untuk kelicikan pikirannya , bukan
keadilan yang ditimbulkannya . Tidak ada unsur dalam konteks atau dalam penerapan yang Yesus
berikan mengisyaratkan tema keadilan . Tulisan ini sama sekali tidak menyatakan atau
mengimplikasikan bahwa sang majikan telah menerapkan tingkat bunga yang berlebih - lebihan .
Apakah ia memang demikian atau tidak bukan lah bagian dari cerita Yesus , dan kita tidak yakin
apakah para pembaca atau audiens asli memiliki latar belakang pemahaman seperti in Namun
berbagai keadaan di sekitar perumpamaan tersebut dan pelajaran pelajaran yang ditarik oleh Yesus
dari perumpamaan tersebut memberi kan dua petunjuk kepada makna dari perumpamaan tersebut .
Lagi pula unsur yang mengejutkan dari perumpamaan yang dikenal sebagai ini khas dan indikator
utama yang merujuk kepada makna dari kebanyakan serumpamaan yang diceritakan Yesus , "
mendukung fokus yang ditunjukan kepada kelicikan pikiran , bukan keadilan . Setelah menerima
pemberitahuan tentang pemecatannya , sang pegawai tersebut meman faatkan situasi yang ada untuk
mempersiapkan jangka panjang masa depannya sendiri . "
Aplikasi pertama yang diberikan Yesus kepada para murid meng . garisbawahi hal ini .
Seperti bendahara pintar yang dipecat tersebut , mereka juga harus bertindak dengan licik dalam
mempergunakan sumber . sumber finansial sementara ini untuk menjalin persahabatan bagi keke
kalan . Informasi historikal tentang praktik - praktik hutang piutang di masa kuno terbukti sangat
membantu dalam memahami perumpamaan ini . Sesungguhnya , ia dapat menjelaskan salah satu sisi
dari kelicikan sang bendahara yang dipecat tersebut . Ia mungkin saja sudah tahu bahwa majikannya
tidak berani menuntutnya ke pengadilan atas tindakan nya mengurangi hutang , karena sang majikan
telah menyetujui kesepakatan di bawah tangan atas pemberian tingkat suku bunga yang tinggi
tersebut.
Oleh sebab itu , sementara pengetahuan akan situasi - kondisi historikal budaya adalah
penting untuk membantu menemukan makna yang dimaksudkan , ia seharusnya juga selalu menolong
seseorang memahami makna dari teks tersebut . Ia harus membantu memunculkan makna yang paling
jelas dari teks yang ada. Para penulis mengomunikasikan berita berita lewat kata - kata yang tertulis di
dalam teks . Bahan - bahan tentang latar belakang teks , seharusnya membantu kita memahami makna
dari teks ; ia sama sekali tidak boleh menjadi sebuah berita tambahan yang bertentangan dengan
makna tersebut.

MEMUNCULKAN LATAR BELAKANG HISTORIKAL - BUDAYA


Penyelidikan atas situasi - kondisi dunia Alkitab melibatkan dua studiu berbeda : ( 1 )
mempelajari latar belakang dari sebuah kitab dalam Alkitah dan ( 2 ) mempelajari latar belakang dari
sebuah bagian tulisan tertentu yang tercantum dalam kitab tersebut . Informasi tentang latar belakang
dari keseluruhan kitab membuka wawasan untuk memahami situasi . kondisi secara keseluruhan dan
memberikan sebuah perspektif umum atas setiap bagian tulisan yang ada di dalamnya . Ia menjadi
sejenis " latar belakang " historikal - budaya untuk memahami setiap bagian secara tersendiri di dalam
sebuah kitab . Namun , setiap bagian tulisan indi vidual juga menuntut analisis yang khusus untuk
menjelaskan faktor faktor historikal - budaya yang melekat padanya .

Menyelidiki Latar Belakang Umum dari Sebuah Kitab


Sebelum mempelajari sebuah bagian Alkitab secara khusus , seorang harus terlebih dahulu
mengenal dengan baik latar belakang historikal - budaya dari keseluruhan kitab di mana bagian
tulisan tersebut terletak . Hal ini mencakup berbagai fakta yang terkait dengan penulis / penyunting ,
pene rima , tanggal , dan tujuan dari kitab tersebut . Mungkin saja ia tidak perlu secara pribadi
melakukan riset secara mendalam atas kitab yang dipela jari karena latar belakang historikal - budaya
sebuah kitab dalam Alkitab biasanya sudah diajarkan di gereja , tempat kuliah , maupun seminari . la
mungkin hanya perlu mempelajari ulang ( atau mungkin menambahkan apa yang telah ia ketahui
tentang kitab tersebut . Mereka yang belum memiliki pengetahuan awal seperti itu dapat saja mencari
sumber - sumber informasi pada buku - buku seperti survei dan pengenalan singkat Alkitab , boku
tafsiran , kamus Alkitab , atau ensiklopedia . Sering kali , bahkan dapat menjadi permulaan yang baik
. sebuah pengantar sederhana yang ada dalam kebanyakan studi Alkitab Ketika bergantung kepada
sumber - sumber sekunder seperti di atas seseorang harus memeriksa referensi referensi Alkitab yang
diungkapkan dalam sumber - sumber tersebut agar dapat lebih mengenal bagian bagian spesifik yang
ada di dalam kitab itu sendiri serta bagian bagian lain dalam Alkitab . Selain agar dapat lebih
memahami kitab yang sedang dipelajari , pemeriksaan demikian juga bertujuan mengonfirmasi
validitas dari berbagai pernyataan yang dibuat oleh sumber - sumber tersebut . Selain memuat
informasi tentang penulis , tujuan , tanggal , dan tujuan , buku - buku referensi yang baik juga
mencantumkan fakta - fakta berguna yang berasal dari sumber - sumber kesusastraan dan arkeologi
dunia kuno dan non - Alkitab .
Kalau waktu memungkinkan , penerapan strategi berikut dapat mem bawakan hasil yang
cukup memperkaya pengetahuan kita untuk mem pelajari latar belakang sebuah kitab . Seseorang
dapat membaca kese luruhan kitab dalam satu kali baca ( mungkin beberapa kali ) dan mencatat
segala sesuatu yang ia temukan tentang penulis , penerima , tanggal , dan tujuan dari kitab tersebut di
atas selembar kertas yang terpisah . Setelah menganalisis dan mempelajari ulang catatan tersebut lebih
baik sebelum membaca sumber - sumber referensi lain ) , ia akan lebih gampang mema hami ulasan -
ulasan yang disampaikan dalam buku - buku referensi .
Untuk hal - hal yang berkaitan dengan pengarang , penyunting , atau penulis , seseorang akan
melakukan riset atas identitas , karakteristik , kedudukannya di antara umat Allah , hubungannya
dengan para penerima tulisan , dan keadaan dari kepenulisan kitab tersebut . Informasi ini akan
membantu usaha memahami kitab tersebut dari sudut pandang sang penulis . Tentu saja , bahan yang
berkaitan dengan aspek ini dari kitab kitab tertentu akan lebih gampang diperoleh dibanding kitab -
kitab lain nya . Kita tidak dapat memperoleh informasi tentang penulis dari kitab kitab yang ditulis
oleh anonim ; ada juga kitab yang penulisnya tidak diketahui secara pasti . Dalam kasus - kasus
seperti itu , informasi - informasi yang kita peroleh secara induktif lewat membaca tulisan - tulisan
yang ada dalam kitab tersebut merupakan bahan terbaik yang dapat diperoleh .
Kalau memungkinkan , mengenal para penerima tulisan - karak . teristik , keadaan , dan
komunitas mereka akan membantu memahami sebuah bagian tulisan , khususnya tentang bagaimana
dan mengapa penulis mengembangkan subjek spesifik seperti itu . Untuk kebanyakan kitab di dalam
kedua Perjanjian , kita hanya memiliki sedikit informasi menge nai para penerima tulisan . Dalam
sejumlah kitab nubuatan , situasinya lebih kompleks karena audiens yang disapa oleh sang nabi
mungkin saja berbeda dengan kota atau negara yang disinggung dalam nubuatan tersebut . Sebagai
contoh , Obaja bernubuar tentang penghakiman Allah atas Edom ketika ia berbicara kepada bangsa
Israel dengan tujuan untuk memberikan dorongan semangat kepada mereka .
Tanggal merupakan faktor historikal - budaya kunci lainnya . Menge tahui kapan sebuah kitab
ditulis memampukan kita mempertimbangkan hasil analisis atas sumber - sumber lain yang sezaman
dengan tulisan ter sebut . Untuk sejumlah kitab dalam Alkitab , kita tidak menemukan bukti yang
cukup kuat untuk menentukan tanggal yang pasti dan meyakinkan . Fakta - fakta sejarah yang
tercantum di dalam kitab - kitab tertentu mungkin sama baiknya jika dicocokkan dengan beberapa
periode waktu yang berbeda . Atau , hal terbaik yang dapat dilakukan adalah menempatkan waktu
penulisan sebuah kitab ke dalam abad tertentu . Dalam situasi seperti itu , penekanan utama harus
diberikan kepada situasi - situasi umum yang terjadi dalam periode waktu tersebut pada bagian dunia
tersebut . Sebagai contoh , nubuatan Yunus ditempatkan pada abad ke - 8 SM pada masa
pemerintahan bangsa Asyur yang kejam . Oleh sebab itu , militar isme brutal dari bangsa kafir yang
dibenci tersebut dapat menjelaskan keengganan Yunus untuk berangkat ke Niniwe untuk
menyampaikan nubuatan di sana . Untuk tujuan penafsiran , mengetahui berbagai karak teristik dari
sebuah periode waktu akan memberikan wawasan yang lebih kaya dibanding dengan hanya
mengetahui sebuah waktu yang pasti . Untuk kitab - kitab PB , kita dapat menentukan tanggal
penulisan dengan cukup meyakinkan , minimal dalam kerangka waktu lima hingga sepuluh tahun .
Jadi , mengetahui Paulus mendorong orang - orang Roma tunduk kepada pemerintah yang berkuasa
pada bagian awal pemerintahan Nero dapat memberikan pencerahan khusus atas kata - kata Paulus ter
sebut ( Rm . 13 : 1 - 5 ) . Ketika Paulus menulis surat tersebut ( ca . 56 M ) , kaisar yang memiliki
reputasi buruk tersebut belum melakukan kekejaman yang ia jalankan di akhir pemerintahannya . Kita
bahkan dapat ber spekulasi , mungkin Paulus akan menuliskan kalimat tersebut dengan cara yang
berbeda kalau ia menulis surat itu saat terjadinya kekejaman Nero terhadap orang Kristen di tahun 60
- an . Dalam kitab - kitab seiarah . Mazmur . Amsal , dan sejumlah kitab - kitab nubuatan , para
penafsir perlu membedakan , jika memungkinkan , antara waktu tulisan tersebut dibuat sebut ke
dalam bentuk finalnya . dan saat seorang penulis atau penyunting terakhir menyusun kitab tersebut ke
dalam bentuk finalnya

Menguji Faktor - faktor Historikal - Budaya dari Bagian Tulisan Tertentu


Pengetahuan akan latar belakang historikal - budaya dari sebuah kitab memberikan kerangka
awal bagi kita untuk memahami bagian - bagian tulisan yang terdapat di dalam kitab tersebut . Usaha
untuk menentukan makna dari sebuah bagian tulisan tertentu menuntut penafsiran atas setiap paragraf
secara konsisten dengan makna alamiah dari situasi khusus dan orisinalnya , yakni , apa yang paling
mungkin dimaksud kan oleh penulis dengan menggunakan kata - kata tersebut kepada para penerima
tulisan tersebut dalam situasi - kondisi tersebut . Untuk dapat memahami dengan tepat setiap unit
kesusastraan di dalam sebuah kitab , seseorang harus terlebih dahulu menentukan apakah informasi
historikal yang telah dimiliki tentang kitab tersebut secara keseluruhan berlaku dengan cara yang
khusus ke atas bagian tulisan yang sedang kita pelajari . Sebuah penafsiran yang diusulkan harus
sesuai dengan latar belakang dari keseluruhan kitab .
Di balik semua ini , setiap bagian tulisan secara tersendiri dalam kitab tersebut mungkin
mengandung fitur - fitur historikal - budaya yang khas dalam kaitan dengan makna dari bagian tulisan
tersebut . Sementara informasi tentang latar belakang yang khas ini mungkin saja tidak disertakan
dalam deskripsi tentang situasi - kondisi dari keseluruhan kitab , namun ia mempunyai peranan yang
sangat penting dalam menen tukan makna dari bagian tulisan tersebut . Meskipun seseorang dapat
mempelajari banyak hal tentang latar belakang kitab Amos , namun semua informasi yang diperoleh
tersebut tidak dapat membantu menaf sirkan kata - kata di Amos 5 : 26 , " Kewan , dewa bintangmu .
" " Seseorang mungkin memahami latar belakang dari penulisan Injil Matius tanpa harus memahami
apa itu tali sembahyang yang dipakai oleh orang – orang Farisi ( 23 : 5 ) . Oleh sebab itu , mereka
yang mempelajari Alkitab juga harus menyelidiki setiap detail historikal - budaya yang terdapat dalam
bagian tulisan tersendiri . Dalam hal budaya , seseorang harus meng identifikasi dan menemukan
makna dari fitur - fitur yang direfleksikan dalam teks yang ada , yang mencakup hal - hal berikut :
• pandangan dunia : konsep nilai , pola pikir , atau gambaran dari penulis / penyunting ,
penerima , orang - orang lain yang disebut di dalam teks , atau dalam masyarakat secara
keseluruhan
• struktur struktur kemasyarakatan : pola - pola pernikahan dan keluarga , peranan kaum
laki - laki dan perempuan , atau isu - isu rasial
• fitur - fitur fisik : iklim dan cuaca , struktur , implementasi , atau kemudahan dan alat
transportasi
• struktur struktur ekonomi : sumber penghasilan , isu - isu yang berhubungan dengan
kekayaan dan kemiskinan , atau mobilitas ekonomi
• suhu politik : struktur struktur , atau loyalitas , termasuk personal yang aktual
• pola - pola kelakuan , berpakaian , dan adat istiadat
• praktik - praktik keagamaan , pusat kekuasaan , keyakinan , ritual , dan afiliasi .
Setelah mengidentifikasi hal - hal yang ada di dalam teks , penafsir harus berusaha
menemukan informasi tambahan yang dapat menjelaskan hal hal tersebut . Sumber rujukan utama
untuk mendapatkan informasi tambahan adalah Alkitab itu sendiri . Alkitab memuat data - data yang
bernilai tinggi tentang berbagai fenomena historikal - budaya . Bahan bahan dari bagian - bagian lain
dari kitab yang sama di dalam Alkitab , atau di dalam kitab - kitab lain tapi ditulis oleh penulis yang
sama atau kelompok orang yang sama , atau di bagian - bagian lain dalam Alkitab secara umum , atau
dari kisah - kisah paralel yang khusus dari peristiwa yang sama sering kali dapat membantu
merekonstruksi alang situasi aslinya . Di luar Alkitab , sumber - sumber lain juga memberi kan sarana
yang bersifat mendasar dan dibutuhkan untuk mendapatkan informasi tentang latar belakang tulisan
yang ada . Banyak hasil karya ! para ahli , belum termasuk pengantar pengatar , kamus Alkitab ,
ensiklope . dia , dan buku - buku tafsiran menyediakan bahan yang sangat membantu untuk
mengklarifikasi referensi - referensi yang berhubungan dengan sejarah atau budaya yang ada Tujuan
dari riset historikal - budaya adalah untuk merekonstruksi , atau minimal untuk memahami , situasi -
kondisi historikal dan fitur - fitur budaya dari bagian - bagian tulisan tertentu sejelas mungkin .
Sayangnya , kita tidak selalu mampu menemukan semua yang ingin kita ketahui tentang fitur - fitur
tertentu . Namun , kalau memungkinkan , tugas ini termasuk menjelaskan :
1. situasi dari sang penulis , khususnya semua hal yang membantu menjelaskan mengapa ia
menulis bagian tulisan tersebut ;
2. situasi dari orang - orang yang terlibat di dalam teks dan / atau penerima dari kitab tersebut
yang dapat membantu menjelas kan mengapa penulis menuliskan hal tersebut untuk ditujukan
kepada mereka ;
3. hubungan antara penulis dan audiens atau orang - orang yang terlibat di dalam teks tersebut ;
4. fitur - fitur budaya atau historikal yang disebutkan di dalam teks yang ada .
Setelah itu , kita berusaha menjelaskan makna dan kepentingan dari teks bawah terang situasi
- kondisi historikal - budaya asli yang baru direkonstruksi ulang tadi . Ketika kita mampu memasuki
situasi - kondisi dunia Alkitab , maka kita akan mampu menangkap makna dari bagian tulisan tersebut
. Sebuah tafsiran yang secara akurat merefleksikan situasi - kondisi orisinal memiliki tingkat validitas
yang lebih tinggi .

ΜΑΚΝΑ - ΜΑΚΝΑ ΚΑΤΑ


Sesuai dengan natur yang paling mendasar , sebuah komunikasi meng gunakan kata - kata .
Orang mengirim konsep - konsep dengan mengombi nasikan kata - kata ke dalam sebuah unit pikiran
yang lebih luas . Tanpa kata - kata , orang akan memiliki keterbatasan dalam kemampuan untuk
mengungkapkan pikiran - pikiran mereka secara tepat . Mereka akan diba tasi sampai pada suara -
suara non - verbal , simbol - simbol , dan gambar gambar . Sentralitas dari kata - kata dalam
komunikasi bahasa membukti kan pentingnya prinsip leksikal dari hermeneutika : Hasil penafsiran
yang benar atas Alkitab adalah makna yang sesuai makna yang normal dari kata - kata di dalam
konteks di mana kata - kata tersebut dipakai .
Pada tingkatan permukaan , kata - kata kelihatan begitu sederhana . Kata - kata menjadi
bagian yang begitu rutin di dalam kehidupan sehingga kita jarang berpikir tentang kompleksitas yang
terdapat di dalamnya . Untuk dapat secara utuh mengapresiasi apa yang terkandung di dalam makna "
normal " dari kata - kata , kita terlebih dahulu harus memahami beberapa ciri khas dari kata - kata ,
yaitu : natur , rentangan makna , dunia semantik , perubahan makna , dan makna - makna tersirat .

Isu - isu KRUSIAL TENTANG NATUR DARI KATA - KATA


Kata - kata adalah Tanda - tanda yang Berubah - ubah
Untuk mempelajari kata - kata , kita harus memahami karakteristiknya . Pertama - tama , kata
- kata biasanya merupakan tanda - tanda yang berubah ubah . Singkatnya , kata adalah suatu
kombinasi dari bunyi - bunyi atau huruf - huruf yang bermakna di dalam suatu bahasa . Lebih
tepatnya bahwa kata adalah suatu tanda semantik suatu kombinasi dari simbol simbol atau bunyi -
bunyi yang mewakili suatu konsep . Kata - kata yang diucapkan adalah suatu kombinasi dari bunyi -
bunyi yang bermakna suatu konsep tertentu ; kata - kata tertulis mengombinasikan huruf - huruf yang
mewakili bunyi - bunyi tersebut untuk menyampaikan simbol yang mewa . kili suatu konsep . Konsep
yang dirujuk oleh kata apa pun , dapat dikomunikasikan secara oral maupun visual . Namun , alasan
mengapa sebuah kata mengandung makna yang dirujuknya sebagian besar merupakan hasil sebuah
kesepakatan . Begitulah cara kerjanya !
Bagaimana kata - kata menjadi tanda - tanda yang mengindikasikan sebuah konsep yang
spesifik ? Misalkan , seseorang mengajukan perta nyaan , " Bagaimana kabar ' kebof Anda ? Mungkin
kita akan bingung . " Apa yang dimaksud dengan ' kebof ? " Mengapa ? Adakah istilah ' kebof
mengandung kesalahan ? Kedengarannya seperti sebuah kata yang sem purna . Ia mengombinasikan
beberapa konsonan dan vokal dalam urutan suku kata yang teratur . Ia dapat diucapkan dengan
gampang . la memi liki semua sifat dari suatu kata yang baik , kecuali satu hal - ia tidak mengandung
makna , minimal dalam bahasa Indonesia ! Di pihak lain , suatu kata lain juga dengan lima huruf ,
maple langsung menggiring pikiran kita kepada sejenis pohon . Mungkin saja mereka yang berba hasa
Inggris mengartikan kata ' maple ' sebagai pohon dengan pengertian ukuran pohon yang berbeda -
beda , tergantung kepada pengalaman pri badi masing - masing dengan pohon maple ' ini , namun
mereka sepakat mengakui bahwa ' maple ' berarti sejenis pohon , atau berarti kayu yang dipotong dari
pohon maple .
Apa yang menyebabkan maple berbeda dengan keboft " Sepanjang sejarah perkembangan
suatu bahasa , para pengguna bahasa tersebut secara acak memasukkan makna - makna ke dalam kata
- kata yang mereka gunakan. Lewat cara inilah para pengguna bahasa Inggris mengasosiasikan 'maple
dengan makna tertentu. Ketika para pembicara bahasa Inggris mendengar istilah maple,' mereka
secara otomatis akan mengidentifikasi sejenis tanaman yang dikenal sebagai pohon, Namun, karena
kita belum menetapkan makna dari istilah 'kebof,' maka kata tersebut tidak mewakili makna apa pun
juga schingga tidak dapat menuntun pikiran kita kepada apa pun juga.
Hal ini mengilustrasikan fakta yang paling fondasional tentang kata kata: setiap kata akan
mewakili sebuah konsep (atau konsep-konsep) tertentu hanya kalau kata itu dipakai secara berulang-
ulang dalam sebuah kclompok bahasa tertentu. Oleh sebab itu, jika dua orang ingin berkomunikasi,
mereka berdua harus menggunakan kata-kata yang ada dengan cara yang sama. Dari sudut pandang
hermeneutika, penafsiran yang akurat menuntut kita memahami sebuah kata dengan cara yang sama
dengan pemahaman yang dipakai oleh penulis kata tersebut. Sebagai contoh, orang berbahasa Inggris
American hampir tidak membedakan makna dari kata-kata "pants" (celana panjang) dan "trousers"
(celana panjang). Namun, dalam bahasa Inggris British, kedua kata tersebut merujuk kepada dua jenis
pakaian yang sama sekali berbeda, trousers merujuk kepada celana panjang, sedangkan pants merujuk
kepada apa yang disebut sebagai "underpants" (celana dalam) oleh orang-orang yang berbahasa
Inggris-American.s Jadi, orang berbahasa Inggris-American ingin mencari "pakaian yang menutupi
kedua kaki dari pinggang hingga pergelangan kaki" di Aberdeen, Scotlandia, ia harus menyebut kata
trousers, bukan pants. Memahami bagaimana para pembicara lain mengartikan kata-kata tertentu dan
menggunakannya sesuai dengan pemahaman mereka merupakan sebuah syarat yang sangat penting
untuk mencapai komunikasi yang efektif.
Tidak diragukan lagi, kenyataan di atas membuat tugas mereka yang mempelajari Alkitab
menjadi sangat rumit. Karena para penulis orisinal menulis dalam bahasa-bahasa kuno yang asing
bagi kita, kita tidak memahami secara akiki makna-makna dari istilah istilah yang mereka gunakan.
Kita memerlukan peneriemah untuk menerjemahkan teks-teks Alkitab ke dalam bahasa yang kita
pakai. Untungnya, para ahli telah dengan teliti mempelajari bahasa-bahasa asli Alkitab dan telah
berusaha sebaik mungkin mengungkapkan makna dari kata-kata yang tercantum di dalam Alkitab ke
dalam bahasa Inggris. Informasi ini secara jelas melahirkan sebuab pandangan hermeneutika; para
penafsir harus secara hati-hati berusaha menemukan makna yang dimaksudkan oleh kata-kata dari
sebuah tulisan sesuai dengan masa tulisan tersebut dibuat dan berdasarkan konteks di mana tulisan
tersebut pertama kali beredar. Makna yang benar dari kata-kata yang ada, bukan apa yang muncul
dalam benak kita ketika membaca tulisan tersebut, yang merupakan sasaran dari studi kata-kata yang
kita lakukan. Kita harus selalu ingat bahwa para penulis Alkitab memilih kata-kata spesifik tertentu
untuk mengungkapkan pikiran-pikiran yang spesifik juga. Tujuan kita adalah menemukan konsep-
konsep yang diusahakan oleh para penulis untuk dikomunikasikan lewat pemakaian kata-kata khusus
tersebut.
Kata-kata Memiliki sebuab Rentangan Makna-Makna
Hal yang lebih rumit adalah bahwa suatu kata mungkin saja memiliki lebih dari satu makna.
Sebenarnya, kebanyakan kata memiliki sebuah rentangan makna-makna." Kata yang persis sama,
dilafal dengan cara yang sama, dapat saja menghasilkan makna-makna yang sangat berbeda. Ambil
contoh kata bahasa Inggris "hand." Sebagai anggota tubuh,"hand" berarti tangan; ketika dipakai pada
jam, "hand" berarti jarum jam; kata "hand" juga memiliki makna yang berbeda kalau dipakai dalam
permainan kartu, sebagai satuan ukuran pada kuda, atau menyatakan bantuan.s Dalam semua contoh
pemakaian di atas, kata yang dipakai persis sama, namun maknanya berubah-ubah. Makna-makna
tersebut membentuk sebuah rentangan makna-makna. Secara normal, makna majemuk dari suatu kata
tidak akan menciptakan kebingungan atau kesalahpahaman. Dengan dibantu oleh konteks, para
penutur asli sebuah bahasa dapat menangkap makna yang tepat tanpa kesulitan. Konsep-konsep yang
terdapat dalam berita yang lebih luas dari sebuah konteks kesusastraan biasanya memperjelas makna
yang dimaksudkan.
Kenyataan-kenyataan di atas juga berlaku dalam bahasa-bahasa kuno yang dipakai Alkitab.
Baik istilah shalom dalam bahasa Ibrani maupun eirene dalam bahasa Yunani yang sering
diterjemahkan menjadi "damai" dalam bahasa Indonesia, mengandung beberapa makna. Istilah
shalom dalam bahasa Ibrani mengandung makna "ketiadaan pergumulan" yang mencakup pengertian
kemakmuran, kesempurnaan, keutuhan, harmoni, dan kepuasan. Jadi, istilah tersebut merujuk kepada
pengertian kenyamanan yang terciptakan karena adanya keseimbangan di dalam relasi-relasi yang
ada. Sebagai tambahan, istilah tersebut bermakna suatu kondisi kepuasan yang lahir dari kehadiran
dan keadilan Allah; sumbernya datang dari Allah dan diberikan sebagai sebuah pemberian. Terakhir,
istilah shalom dapat bermakna kondisi damai kekal dalam pengertian eskatologis." Rentangan makna
dari kata eirene dalam bahasa Yunani mencakup sebuah kondisi ketiadaan penganiayaan secara kekal,
sebuah kesentosaan internal, dan makna pertama dari kenyamanan yang terdapat dalam bahasa
Ibrani." Untuk memahami apa yang dimaksudkan dengan "damai" oleh para penulis Alkitab dalam
salah satu Perjanjian, seseorang harus memastikan pengertian mana yang paling sesuai dengan
konteks yang ada. Seorang pembaca tidak boleh begitu saja menentukan satu atau lebih makna sesuai
kehendaknya sendiri atas suatu kata. Hanya dengan kembali kepada contoh "hand" yang dibahas di
atas, seseorang akan memahami betapa ganjilnya memaksakan sebuah makna yang salah pada suatu
konteks tertentu. Hal yang persis sama juga terjadi dalam kata-kata yang terdapat dalam Alkitab.
Dalam beberapa kesempatan di "Pereakapan Ruang Atas" (Yoh.13.17). Yesus menjanjikan
"damai" kepada para rasul. Tentu saja Yesus tidak bermaksud "ketiadaan penganiayaan." Ia tidak
menjanjikan suatu kchidupan yang bebas dari masalah, karena la mengakhiri percakapan tersebut
dengan pernyataan, "Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supava kumu beroleh damai sejahtera
dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah menga
lalakan dunia" (Yoh, 16:33, cetak miring ditambahkan). Sebenarnya, di tengab tengah
kenyataan bahwa mereka akan mengalami penganiayaan, perintah Yesus kepada mereka untuk
"menguatkan hati" membuktikan bahwa la menjanjikan sebuah kesentosaan internal atau scbuah
perasaan nyaman yang ultimat di dalam diri para rasulnya. Jadi, kenyataan bahwa banyak kata
memiliki rentangan makna, membuat komunikasi bahasa menjadi lebih rumit. Untuk memahami
makna yang dimaksudkan olch pembicara atau penulis, para penafsir harus menangkap makna yang
paling sesuai dengan konteks yang ada.

Makna-makna Kata Bertumpang Tindih


Faktor ketiga yang perlu diketahui tentang natur dari kata-kata adalah bahwa setiap makna
dari suatu kata eksis sebagai bagian dari sebuah bidang atau domain semantik tertentu," Makna yang
pertama dari kata "hand," yang kita sebut sebagai "hand," berasal dari domain "anggota- anggota
tubuh." Makna yang lain, "hand," sesuai dengan domain dari "cara-cara menunjukkan apresiasi di
depan umum" (sejalan dengan "applause" [bertepuk tangan], "cheers" [bersorak-sorai], "clapping"
bertepuk tangan), dan "ovation" (sambutan dengan bertepuk tangan)). Kumpulan kata-kata dari
bahasa yang sama dan memiliki makna yang sama atau saling berkaitan disebut sinonim. Jelas sekali,
istilah "bertepuk tangan" lebih dekat dengan makna "hand," dibanding dengan makna "hand, "
Dua (atau lebih) kata disebut sinonim kalau memiliki minimal satu rentangan makna yang
saling bertumpang tindih. Kata "run" menjadi sinonim dari kata "unrave!" (terurai) dalam kalimat,
"These stockings are .." (Kaos-kaos kaki ini dijamin tidak guaranteed not to namun kedua kata
tersebut (biasanya) bukanlah sinonim dalam kalimat, dalam perlombaan the race" (Ia sudah siap "She
is ready to itu)." Perhatikan, hanya satu makna dari "hand" yang bertumpang tindih dengan "ouation."
Kedua kata tersebut hanya sinonim dalam sebagian rentangan-rentangan makna yang ada. Perhatikan
dua kalimat berikut: "The awdience gave her a hand" (Audiens bertepuk tangan baginya) dan "The
audience gave her an ovation" (Audiens bertepuk tangan baginya). Meskipun diterijemabkan menjadi
kalimat-kalimat yang persis sama dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa aslinya kedua kalimat
tersebut memiliki bobot yang berbeda," Istilah "hand," terkesan kurang formal dibanding "ouation."
Seorang pelawak mendapat tepuk tangan (hand) dari penonton, sedangkan seorang penyanyi soprano
disambut dengan tepuk tangan sambil berdiri (ovation). Mereka yang berbahasa Inggris lebih jarang
menggunakan istilah "ouation" dan istlah ini sering kali disandingkan dengan standing" (berdiri).
Kedua kata tersebut dipakai sesuai dengan kondisi masing-masing. Setelah menentukan ranah
semantik dari sebuah kata, seseorang mampu lebih tepat mengartikan makna dari setiap istilah yang
dipakai. Hal ini membantu para penafsir memahami nuansa-nuansa khas dari sebuah kata yang
membedakannya dari kata-kata yang lain.
Dalam penjelasannya tentang kata damai" (eirene), Louw dan Nida mengatakan bahwa kata
tersebut termasuk dalam dua ranah semantik yang berbeda: pertama, domain 22 yang terdiri dari kata-
kata yang dipa- kai untuk mengekspresikan masalah, kesukaran, kelepasan, atau situasi-situasi yang
menyenangkan;" dan kedua, domain 25 yang berisi sebuahdaftar istilah-istilah yang berhubungan
dengan sikap dan emosi.7s Kedua ranah makna tersebut sangat berbeda satu dengan lainnya. Dalam
kategori pertama, "damai" adalah salah satu kata yang termasuk sub-domain yang mengindikasikan
"situasi atau keadaan yang menyenangkan"(22: 42-22:47), sementara yang lainnya mengelompokkan
kata ini ke dalam subdomain yang membahas "kerisauan, kckhawatiran, kesukaran, damai" (25:223-
25:250) Sebuah kata yang sama dapat merujuk kepada situasi-situasi eksternal yang bebas dari
penganiayaan maupun kepada kondisi psikologis yang dipenuhi dengan kesentosaan batin.
Pengetahuan akan perbedaan ini membantu penafsir untuk mencari petunjuk petunjuk yang terdapat
dalam konteks agar dapat memilih di antara kedua kemungkinan yang ada.76

Makna-Makna Kata Berubab Seiring Perkembangan Zaman


Makna-makna dari kata, tidak tetap, ia berubab seiring perkembangan zaman. Makna-makna
baru berkembang seiring dengan pemakaian kata- kata yang ada, dan makna-makna yang lama
menjadi usang." Apa yang terjadi pada Alkitab bahasa Inggris KJV dapat menjadi ilustrasi bagi
fenomena ini. Dalam berbagai aspek, versi Alkitab ini layak mendapat pujian, termasuk keindahan
bahasanya yang puitis dan pemakaiannya yang luas; namun, terjemahan yang dihormati ini sering kali
menunjukkan bagaimana kata-kata bahasa Inggris pada masa kini tidak lagi memiliki makna yang
sama dengan masa ketika Alkitab ini diterbitkan tahun 1611. Dalam beberapa bagian, kata-kata yang
dipakai dapat mencipta- kan kebingungan; dan dalam bagian-bagian lainnya, makna yang berlaku
masa kini berbeda secara drastis dengan bahasa Inggris, Elizabethan tersebut. Perhatikan pemakaian
kata "conversation" (2Kor. 1:12; Gal. 1:13; EE 2:3; 4:22; Flp. 1:27) dalam Kv. Beberapa ayat tersebut
tidak ada kaitannya dengan makna kata "conversation" percakapan) yang kita pakai masa kini; oleh
sebab itu, beberapa versi terjemahan modern mengganti istilah "conversation" dengan "conduct"
(perilaku) atau "way of life" (gaya hidup) untuk mengungkapkan maksud orisinal sesuai dengan
bahasa Yunani. Hal ini bisa terjadi karena makna kata dalam bahasa Inggris selalu berubah seiring
dengan perkembangan zaman. Sekali lagi, perhatikan bagian tulisan yang menjanjikan pengangkatan
orang-orang kudus untuk bertemu Kristus saat kedatangan-Nya yang kedua kali. Alkitab K
menerjemahkan 1 Tesalonika 4:15 menjadi: "We which are alive and remain unto the coming of the
Lord shall not prevent them uchich are asleep" (cetak tebal ditambahkan). Di tahun 1611, istilah
"prevent" lebih dekat maknanya dengan turunan makna bahasa Latin yang berari "mendahului."
Namun, pada masa kini istilah tersebut bermakna "menghentikan" atau "menghalangi." Karena makna
kata-kata dalam bahasa Inggris telah berubah, terjemahan yang baik yang berlaku di abad XVII tidak
lagi mampu mengomunikasikan maksud orisinal dari Paulus. Olch sebab itu, kebanyakan terjemahan
versi modern menggunakan istilah "precede" (mendahului) untuk mengganti istilah "prevent"
(menghalangi) yang dipakai KJV.
Prinsip yang sama juga berlaku dalam bahasa-bahasa yang dipakai Alkitab. Makna dari kata-
kata, berubah sering dengan perjalanan waktu selama berabad-abad. Makna orisinal dari sebuah kata
atau makna yang berasal darietimologi atau akar suatu kata mungkin hanya berfungsi tidak lebish dari
informasi sejarah bagi penafsir," Makna-makna yang berlaku di masa lalu mungkin saja menarik,
bahkan penuh warna, namun kita harus selalu menahan diri dari godaan untuk meyakini bahwa makna
yang berlaku di masa lalu masih memiliki peran penting dalam menentukan makna sebuah kata pada
masa kini. Seseorang tidak boleh begitu saja mencari makna dari sebuah kata yang eksis di zaman
Yunani Klasik, misalnya, dan berasumsi bahwa makna tersebut tetap berlaku pada masa PB." Banyak
orang berargumentasi bahwa bahasa Yunani Klasik membedakan dua kata yang berhubungan dengan
pengetahuan; oida dan ginosko." Kata pertama merujuk kepada pengetahuan yang diperoleh dalam
kaitan dengan fakta dan manusia; sebuah pengetahuan yang mengandung kepastian. Sedangkan yang
kedua merujuk kepada usaha untuk mendapatkan pengetahuan, sebuah pengetahuan eksperiensial
yang sering kali diartikan scbagai "berusaha mengetahui." Namun demikian, dalam periode Helenistik
yang menjadi masa munculnya tulisan-tulisan PB, mereka yang berbahasa Yunani tidak selalu
memperhatikan pembedaan-pembedaan makna sebagaimana yang dilakukan pada era Yunani Klasik.
Sebenarnya, Moulton dan Milligan dalam leksikon mereka menegaskan, "Perbedaan antara oida,
'mengetahur' secara absolut, dan ginosko, 'berusaha mengetahui' tidak berlaku dalam bahasa Yunani
Helenistik."s1 Burdick percaya bahwa Paulus secara normal mengikuti perbedaan-perbedaan yang
berlaku di masa klasik, meskipun tidak selalu. Namun, ia dengan bijaksana mengamati, "Setiap
kemunculan harus dievaluasi berdasarkan secara kasus per kasus."' Analisis yang dilakukan Silva
secara khusus memiliki nuansa linguistik yang lebih kental." Ia dengan tepat menyimpulkan bahwa
penggunaan kata-kata kerja oleh Paulus seperti itu mungkin saja secara kuat dipengaruhi oleh baik
faktor gaya berbahasa maupun faktor semantik. Ini bukan hanya mengindikasikan bahwa perbedaan-
perbedaan makna yang berasal dari periode klasik sedang mengalami proses kehilangan fungsi,
namun juga menyatakan bahwa sejumlah konstruksi tertentu kedengaran atau berfungsi lebih baik
dibandingkan dengan lainnya. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, pemakaian frasa "standing
ovation" lebih baik dibanding "standing hand." Jika kita bermaksud mengindikasikan audiens
menyatakan dukungan dengan bertepuk tangan sambil berdiri, kita sebenarnya mau tidak mau harus
menggunakan kata "ovation" bukan kata "hand," sambil mengabaikan pertimbangan pertimbangan
semantik yang ada. Dengan cara yang sama, mereka yang mempelajari Alkitab harus menentukan
rentangan makna-makna yang secara umum dipakai pada masa kitab tersebut ditulis. Para penafsir
akan melakukan kesalahan kalau mereka mencoba mempertahankan perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada bahasa Yunani Klasik, seolah olah para penulis PB memang memedulikan perbedaan-
perbedaan tersebut (atau bahkan memahaminya). Mereka harus secara teliti menghindarkan diri dari
makna-makna kuno yang sebenarnya hanya berlaku pada masa yang telah berlalu.
Sebaliknys, mereka juga harus menghindari anakronisme--memaksakan makna-makna yang
berasal dari periode-periode waktu setelah masa penulisan PB. Kesalahan anakronisme bahkan terjadi
secara lebih mencolok ketika kita memaksakan makna-makna yang berasal dari bahasa Inggris ke
dalam kata-kata yang dipakai dalam dunia Alkitab. Sebuah contoh yang serius tentang
penyalahgunaan seperti ini terjadi ketika seorang pengkhotbah mendefinisikan kata "kuasa" dalam
Yunani abad pertama, dynamis, dengan menggunakan sebuah komoditas hasil temuan abad XiX,
yakni dinamit, hanya karena kedua kata tersebut kelihatan dan kedengarannya mirip dan karena kata
tersebut dalam bahasa Inggris berasal dari bahasa Yunani!
Kata-kata Mengandung Makna-maka Konotatif dan Denotatif
Karakteristik kelima dari sebuah kata adalah bahwa ia dapat mengungkapkan signifikansi
tambahan selain referensi denotatif yang dikandungnya."s Hal ini termasuk sebuah makna konotatif
atau figuratif. Umumnya, kata "anjing" secara denotatif berarti binatang berkaki empat dan berbulu,
namun kalau diungkapkan kepada seseorang dalam kalimat, "Anjing kamu!" maka kata tersebut
mengomunikasikan sebuah ungkapan emosi yang tidak menyenangkan. Dalam pemakaian yang
spesifik ini, "anjing" secara figuratif merujuk kepada seseorang, sebuah konotasi yang berbeda dengan
pemakaian kata yang sama dalam kalimat, "Harley adalah anjing keluarga kami." Ketika Paulus
memperingatkan orang-orang Kristen di Filipi, "Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah
terhadap pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat- penyunat yang palsu" (Flp. 3:2,
cetak miring ditambahkan), istilah anjing yang dipakai dengan jelas menyiratkan makna penghinaan.
Bangsa Yahudi abad pertama memandang anjing sebagai binatang yang hina (sama dengan sejumlah
budaya pada masa kini). Oleh sebab itu, mereka mengungkapkan ketidaksenangan mereka terhadap
bangsa kafir dengan panggilan "anjing," Paulus mengkritik sekelompok pengacau tertentu yang
berbangsa Yahudi dengan cara menerapkan kata yang mereka pakai untuk menghina orang lain ke
atas mereka sendiri, "anjing." Konotasi seperti ini tidak harus sama dengan pemakaian-pemakaian lain
atas kata "anjing" dalam PB. Contoh yang baik terjadi dalam perumpamaan Yesus tentang orang kaya
dan Lazarus yang di dalamnya anjing" yang dipakai mengandung makna yang lebih umum dan netral
(Luk. 16:21). Oleh sebab itu, para penafsir harus mempelajari kata-kata yang ada dengan teliti agar
tidak hanya menemukan makna denotatif, tapi juga makna konotatif yang secara tersembunyi dapat
dirasakan oleh para pembaca mula-mula.

LANGKAH-LANGKAH MELAKUKAN STUDI KATA-KATA


Usaha menentukan makna dari kata apapun yang terdapat di dalam Alkitab merupakan suatu
tugas yang melibatkan banyak aspek. Karena kata-kata memiliki natur yang kompleks, kita harus
meneliti beberapa jenis informasi untuk menemukan makna yang tepat dari sebuah kata sesuai dengan
konteksnya. Langkah-langkah yang digariskan berikut ini merupakah panduan yang bermanfaat dalam
melaksanakan proses tersebut.
1. Piliblab Kata-kata yang Memerlukan Analisis yang Mendalam
Kita tidak mungkin memahami sebuah tulisan kalau kita tidak memahami kata-kata yang
tertulis di dalamnya. Namun, tidak semua kata yang ada perlu diselidiki secara teliti, karena makna
dari kebanyakan istilah yang ada sudah jelas ketika kita memperbandingkannya dengan sebuah
terjemahan modern yang baik. Mereka yang memiliki kemampuan dan fasilitas menggunakan bahasa
asli Alkitab bahkan dapat memperoleh gagasan-gagasan tambahan atas makna-makna dari kata-kata
yang ada. Namun, sejumlah kata tertentu tetap perlu dianalisis dengan teliti.
Bagaimanakah seseorang menentukan kata-kata mana yang perlu diselidiki lebih mendalam?
Salah satu kategorinya adalah kalau kata kata tersebut tidak dapat dipahami dalam Alkitab
terjemahan. Jika seseorang tidak memiliki latar belakang bergercja sebelumnya, ia akan menemukan
banyak istilah termasuk dalam kategori ini. Bahkan bagi kebanyakan pembaca, sejumlah kata akan
terkesan membingungkan saat pertama kali dibaca. Jadi, kata-kata dalam kategori ini, misalnya
kovenan, Yobel, efod, penebus, membenarkan, atau sesama pemikul kuk, perlu dipelajari secara lebih
mendalam. Dan setiap penafsir harus sangat berwaspada untuk tidak mengabaikan istilah-istilah
sangat penting tersebut hanya karena menganggap diri sendiri sudah memahami maknanya. Kata-kata
yang memainkan peranan krusial dalam sebuah tulisan, yang memiliki signifikansi teologis, atau yang
atasnya dibangun semua pengertian dari tulisan yang ada, harus dipelajari secara mendalam. Lebih
baik melakukan studi pendahuluan atas kata-kata tertentu, kemudian memutuskan untuk tidak
melanjutkannya dengan studi yang mendalam atas istilah tersebut; daripada lalai mempelajari istilah
yang maknanya membawa pengaruh krusial atas teks secara keseluruhan. Pelajarilah kata-kata yang
jarang muncul-_-khususnya yang hanya muncul sekali khususnya kalau kata-kata tersebut membawa
dampak yang penting atas makna dari keseluruhan tulisan. Selanjutnya, kata yang diulang-ulang oleh
penulis dalam satu bagian tulisan sering kali merupakan kata yang signifikan dan layak dipelajari
secara mendalam, khususnya untuk mengklarifikasi peran yang dimainkannya dalam teks yang ada
secara keseluruhan." Kita harus secara khusus memperhatikan dan menyelidiki istilah-istilah gaya
bahasa agar dapat memahami makna yang terkandung secara implisit di dalamnya. Jika Alkitab
terjemahan menggunakan kata yang maknanya berbeda dengan kata aslinya, maka penafsir harus
melakukan penyelidikan yang lebih mendalam untuk menemukan makna sesungguhnya dari istilah
tersebut.
2. Tentukan Batasan Rentangan Makna dari Kata Tersebut
Bagian pertama dari langkah ini mencakup riset atas leksikon untuk menentukan rentangan
makna dari suatu kata yang berlaku pada masa tulisan tersebut dibuat." Dengan memperhatikan
berbagai kemungkinan makna yang ada berdasarkan pola pikir yang ber laku pada kontcks masa
tulisan tersebut dibuat serta latar belakang historikal tulisan tersebut dapat membantu penafsir
memilih hasil terjemahan yang terbaik. Berbagai leksikon yang ada memang dapat menolong dalam
hal ini dengan memberikan makna-makna dari sebuah kata beserta referensi-referensi Alkitab yang
ada, namun penafsir sendiri seharusnya tidak begitu saja menerima pendapat yang ditawarkan oleh
leksikon-leksikon yang ada sebelum terlebih dahulu mempelajari bukti-bukti kontekstual yang ada.
Singkatnya, seorang penafsir harus berusaha menempatkan dirinya pada posisi para pembaca
orisinal dari sebuah tulisan untuk merasakan bagaimana perasaan mereka ketika membaca kata
tertentu dari tulisan tersebut. Tindakan ini mencakup mendapatkan sebanyak mungkin informasi serta
konsep yang berhubungan dengan kata tersebut yang berlaku pada saat itu. Berbagai leksikon dapat
membantu dalam hal ini, karena mereka menampilkan informasi tentang makna-makna yang mungkin
dimiliki oleh sebuah kata sepanjang sejarah waktu yang dicakup oleh leksikon tersebut.
Namun, dari manakah leksikon-leksikon yang ada memperolch informasinya? Berbagai jenis
leksikon melakukan riset atas satu atau lebth bidang ilmu dan mendata hasil penemuan mereka.
Biasanys, mereka menyelidiki berbagai sumber-sumber kesusastraan kuno--dokumen, terbitan, dan
surat, misalnya. Selain itu, sejumlah leksikon mencakup bahan-bahan yang tidak termasuk karya
sastra, misalnya tulisan-tulisan di atas nisan, resep-resep, atau berbagai inskripsi di bangunan-
bangunan serta tempat-tempat lainnya. Sering kali, mereka melakukan perbandingan atas bahasa-
bahasa yang paralel atau serumpun dengan bahasa Alkitab. Tentu saja, Kitab Suci yang ditulis
sebelumnya menjadi sumber utama untuk menentukan makna dari kata-kata yang ada, jadi leksikon.
leksikon yang ada dapat saja melakukan survei atas Septuaginta (.XXPL yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Yunani di abad II SM). Sering kali, sumber yang terakhir ini cukup membantu karena ia
menunjukkan bagaimana bangsa Yahudi pada saat itu menerjemahkan bahasa Ibrani ke Dalam bahasa
Yunan." Leksikon-lecksikon juga tidak mengabaikan Kitab Suci yang dimiliki saat ini. Artinya,
mereka juga berusaha memahami makna-makna dari kata-kata yang ada dengan menyelidiki
penggunaan kata-kata tersebut baik di PL maupun PB. Menyelidiki leksikon-lcksikon merupakan
sebuah tindakan pencarian fakta. Pilihan-pilihan makna apakah yang tersedia bagi kata-kata yang
krusial dalam sebuah teks? Kita hanya akan menemukan pilihan-pilihan yang ada kalau kita
melakukan survei atas penggunaan secara nyata atas kata-kata tersebut. Sampai di sini, kita harus
membedakan mereka yang mempelajari Alkitab menjadi dua kelompok; mereka yang tidak dapat
memiliki akses dan fasilitas bahasa asli Alkitab dan mereka yang dapat dan memiliki akses dan
fasilitas--minimal dalam batasan-batasan tertentu. Bagi kelompok penafsir pertama, karya-karya
berikut ini membantu mendapatkan makne-son's New Illustrated icle Dectionary to oa idon E Ooute,
Volume Reference Work on the Bible, with Fuell-Color Illustrations; M.c. Tenney, ed,, Zondervan
Pictorial Encyclopedia of the Bible, vols," PJ. Achtemeier, ed, HarperCollins Bible Dictionary;" G.
W. Bromiley, ed., International Standard Bible Encyclopedia Revised, 4 vols," D. N.Freedman, ed.,
The Anchor Bible Dictionary, 6 vols,," T. C. Butler, ed., Holman Bible Dictionary;"s dan D. N.
Freedman, ed., Eerdmans Dictionary of the Bible." Semua referensi di atas menjadi sumber-sumber
yang baik bagi mereka yang tidak menggunakan bahasa Ibrani dan/atau Yunani (dan juga bagi mereka
yang menggunakan) untuk mendapatkan banyak gagasan atas kata-kata dari kedua Perjanjian dalam
Alkitab." Bagi mereka yang memahami bahasa ashi Alkitab dalam batasan tertentu memiliki
keuntungan khusus dalam mengakses sumber-sumber tambahan yang penting. Di saat yang sama,
bahkan mereka yang memiliki pengetahuan bahasa Ibrani dan Yunani yang terbatas pun juga dapat
memanfaatkan sumber-sumber yang lebih "canggih" ini dari waktu kewaktu. Secara khusus dalam
penggunaan Alkitab interlinear, program-program komputer, dan "bantuan-bantuan" lainnya, banyak
gagasan dapat ditemukan oleh mereka yang bersedia melakukan usaha pencarian. Bagaimanakah cara
melakukannya? Contoh-contoh berikut akan mengilustrasikan prosedur dan mengklarifikasi jenis -
jenis informasi yang kita cari. Untuk studi PL, L. Koehler dan W. Baumgartner, The Hebrew and
Aramaic Lexicon of the Old Testament (disingkat HALOT) mensurvei rentangan makna-makna dari
kata-kata di bawah terang dunia keilmuan terbaru dan cocok dipakai oleh mereka yang dapat
menemukan kata yang tepat dalam bahasa Ibrani"s F. Brown, S. R. Driver, dan C. A. Briggs, A
Hebrew and English Lexicon of the Old Testament (BDB) juga membantuan kita untuk mempelajari
rentang makna-makna dari kata- kata, meskipun sekali lagi, untuk dapat memanfaatkan leksikon ini
seseorang harus mampu mencari istilah yang tepat dalam bahasa Ibrani."Meskipun kurang mutakhir
dibanding HALOT, kata kepala dari BDB cenderung sedikit lebih lengkap, banyak di antaranya
mencatat setiap kemunculan dari suatu kata yang ada. Sumber lain, lebih gampang digunakan,
memuat pembahasan kata-kata kunci bahasa Ibrani secara padat: R. L. Harris, et alt, ed., Theo logical
Wordbook of the Old Testament, 2 vols. (1woT),lo Yang lebih baik adalah w. A. VanGemeren,
Neww International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis, S vols, (NIDOTTE), Salah
satu keunggulan dari NIDOTTE adalah artikel artikel kombinasi yang berisi kata-kata bahasa Ibrani
secara tersendiri dan berbagai artikel-artikel topikal yang mencakup komentar-komentar atas kata-
kata bahasa Ibrani yang tepat. Sebagai sebuah permulaan, sumber-sumber di atas dapat membantu
kita menemukan rentang makna-makna dasar dari sebuah kata sepanjang sejarah. Hal ini
sering kali mencakup juga etimologi dari sebuah kata, namun kita harus ingat bahwa sejarah dari
suatu kata hanya dapat memberikan sedikit atau bahkan tidak ada petunjuk bagi makna kata tersebut
pada masa kini. Sebagai contoh, dalam Kejadian 9 dan 15, istilah "perjanjian" menjadi kata yang
menonjol. Sebuah pemeriksaan yang cepat atas Index karya Einspahr akan menunjukkan bahwa
"perjanjian" merupakan kata yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani b'rith dan bahwa BDB membahas
kata ini di halaman 136.'" Dengan membuka BDB, kita menemukan bahwa makna dasar dari kata
brrith adalah: pakta, padat, perjanjian. Leksikon tersebut membagi makna dasar dari kata ini ke dalam
tiga kategori: I. Antara sesama manusia; II. Antara Allah dan manusia; dan I'll. Frasa-frasa
sebagaimana dalam pembuatan perjanjian, penggenapan perjanjian, dan pelanggaran perjanjian). Jika
kita lebih jauh menggali kategori pertama, kita akan menemukan berbagai variasi nuansa dari
perjanjian yang dibuat di antara sesama manusia: (1) persekutuan atau aliansi, sebagaimana dalam
aliansi antara Abram dengan bangsa Amori (Kej. 14:13); (2) sebuah konstitusi atau ordinansi antara
seorang raja dengan rakyatnya (2Sam. 5:3); (3) sebuah ikrar (2Raj 11:4); (4) aliansi atau
persahabatan, sebagaimana antara Daud dan Yonatan (1Sam. 18:3; 23:18); dan (5) sebuah akad nikah
(Ams. 2:17; Mal. 2:14). BDB menjelaskan dua kategori lain dengan sama lengkapnya.
Jadi, istilah brith di satu pihak bermakna sebuah pengaturan bilateral di mana dua pihak
menyepakati sebuah pakta atau hubungan yang disetujui bersama-sama. Di pihak lain, istilah ini juga
merujuk kepada keputusan sepihak di mana Allah (atau seorang raja yang menang perang)
menetapkan atau menerapkan suatu keputusan. Sebagai contoh, Allah secara sepihak menetapkan
sebuah perjanjian dengan Abraham (Kej. 17:3-10; Kel. 6:4), meskipun Israel dituntut untuk mematuhi
syarat-syaratnya agar dapat menikmati berkat-berkat yang dijanjikan Allah. Survei atas TWOT" juga
akan menghasilkan definisi-definisi yang mirip dengan yang tercantum dalam BDB, namun
dilengkapi dengan pembahasan yang lebih luas tentang berbagai penggunaannya serta bantuan
informasi daftar pustaka yang luas sebagai rujukan studi lanjutan. Penulis menduga adanya
kemungkinan etimologi dari b'rith seiring dengan kemungkinan hubungannya dengan kata-kata
bahasa Akkadian, la menambahkan sebuah unsur krusial ke dalam pembahasannya: penggunaan-
penggunaan dari b'rith perlu dipahami berdasarkan apakah kedua pihak yang melakukan perjanjian
adalah setara atau apakah salah satu pihak lebih superior dibanding pihak lain. Jadi, perjanjian antara
Abram dengan bangsa Amori adalah antara dua pihak yang setara (Kej. 14:13), namun tidak pada
perjanjian antara Israel dengan bangsa Gibeon (Yos. 9).
Pembahasan dalam NIDOTTE merangkum semua pembahasan diatas, ou McConville
menyinggung hubungan antara b'rith dengan bahasa Akkadian, dan sementara istilah ini hanya
muncul dalam bahasa Ibrani, ANE memberikan sejumlah contoh perjanjian dan kodeks hukum yang
dapat dijadikan latar belakang bagi konsep ini. Latar belakang tersebut mengidentifikasi enam unsur
yang terdapat dapat perjanjian vasal (perjanjian antara seorang yang memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dengan bawahannya), yang dilakukan olch bangsa Het dan dapat membaneu memahami
beberapa perianjian sejenis yang tercatat dalam Ulangan; judul (pihak pihak yang membuat
perianjian), prolog historikal (hubungan di antara mereka di masa lalu), ketentuan, klausa dokumen
(tuntutan tuntutan yang harus dipenuhi sebagai persyaratan berlakunya dokumen), daftar dewa (para
saksi dari perijanjian), dan berkat-berkat dan kutuk- kutuk (akibat dari menjalankan atau melanggar
perjanjian). Oleh sebab itu, dalam kisah bangsa Israel kita melihat bahwa Yahweh yang bertindak
sebagai pihak yang lebih tinggi menawarkan sebuah perjanjian yang mensyaratkan sejumlah
komitmen dari bangsa Israel agar perjanjian tersebut dapat berlaku. Yang lebih penting adalah,
McConville mengamati, "Prolog historikal merupakan unsur yang penting di sini, karena ia
menempatkan perjanjian tersebut ke dalam konteks dari sebuah hubungan yang berkelanjutan,"ios la
juga menguraikan dengan lebih rinci jenis-jenis perjanjian antara Allah dengan umat-Nya di PL,
misalnya: perianijian Nuh, perianjian Abraham, perijanjian Musa, dan perjanijian Daud, Ia
mencantumkan juga satu bagian khusus yang mensurve konsep perjanjian-perjanjian yang tercatat di
dalam kitab para nabi dan berkesimpulan bahwa, meskipun jarang menyinggung soal perijanjiun,
namun kitab-kitab tersebut sering menggunakan konsep-konsep yang berbeda untuk menyingkapkan
hubungan Allah dengan umat-Nya, misalnya istilah pernikahan di Hosea atau pemilihan di Amos.
Schubungan dengan kitab para nabi, kita juga perlu membahas pertanyaan apakah perjanjian tersebut
sudah dibatalkan pada saat pembuangan; meskipun kitab-kitab tersebut secara pasti menyangkal
kemungkinan pembatalan tersebut, namun mereka juga menampilkan sebuah visi yang diperbarui
tentang restorasi dari Allah dan janji untuk memberikan sebuah perjanjian yang baru (baca Yer.
31:31-34). Artikel tersebut diakhiri dengan sebuah bagian singkat tentang penggunaan konsep ini
pada masa pasca-PL, seperti dalam Qumran, sebuah pembahasan singkat tentang pemakaiannya di
PB, dan sebuah daftar pustaka yang lengkap.
Hingga di sini, kita sudah mendapatkan konsep yang cukup baik tentang rentangan makna
dari istilah b'rith. Dalam bagian-bagian tertentu, ia dapat bertumpang tindih dengan makna kata
"kontrak" dalam bahasa modern. la juga dapat berarti sebuah "perjanjian" yang diterapkan oleh
seorang raja yang menang perang atas musuhnya yang sudah dikalahkan. Ia juga merujuk kepada
sebuah pakta atau pengaturan yang Allah putuskan sebagai jalan untuk melindungi dan memberkati
umat-Nya. Dalam contoh ini, Allah menuntut ketaatan dan penyerahan sebagai respons dari umat-
Nya, atau la dapat saja membatalkan perjanjian tersebut. Konsep alkitabiah yang khas ini
memperkenalkan Allah yang memiliki kebebasan untuk membangun sebuah hubungan yang penuh
kasih karunia dengan umat-Nya. Meskipun umat-Nya gagal, Ia pasti mampu menggenapkan
kehendak-Nya bagi mereka.
Mereka yang menguasai bahasa Yunani akan menemukan dua leksikon paling berharga dalam
mempelajari kata-kata yang terdapat dalam PB: A Greek-English Lexicon of the New Testament and
Other Early Christian Literature, edisi ke-3, karangan W. Bauer, F. Danker, w. F. Arndr, dan E. W.
Gingrich (disingkat BDAG),"' dan A Greek-English Lexicon of the New Tastament Based on
Semantic Domains, 2 vols., karangan J. P. Louw dan E. A. Nida,ros Sementara kedua leksikon
tersebut dapat memberikan bantuan dengan sangat baik dalam menemukan rentangan makna dari
kata-kara dalam bahasa Yunani, leksikon Bauer memuat lebih banyak referensi yang luas bagi setiap
entri yang ada, sering kali mencakup setiap kemunculan suatu kata dalam PB, sedangkan Louw dan
Nida memuat berbagai definisi dan gagasan yang esensial tentang ranah makna dari sebuah kata yang
tidak dimuat di leksikon lainnya.
Kata bahasa Yunani kyrios (tuhan) dapat dipakai sebagai contoh yang baik untuk
membandingkan kcdua leksikon tersebut. Ketika melakukan survei atas pemakaian kata ini selama
periode Helenistik, BDAG membagi rentangan makna yang ada ke dalam dua kategori utama. Secara
umum, kata ini mencakup makna: (1) pemilik: "orang yang berkuasa karena kepemilikan, pemilik"--
majikan atau Tuhan; dan (2) orang yang duduk dalam posisi otoritas, "Tuhan" atau gelar kehormatan,
"tuan." Penggunaan kata keyrios dalam bidang agama mengindikasikan kata Tuhan dipakai untuk
Allah, raja-raja yang disembah sebagai dewa, Yesus, dan makhluk-makhluk supranatural lainnya,
seperti malaikat.'09
Louw dan Nida dengan tepat membuat daftar rentangan makna dalam indeks volume (11) di
bawah entri kyrios: Tuhan, pemilik, penguasa, dan tuan,'o Nomor-nomor referensi domain yang
tercantum di dalam daftar mengindikasikan bahwa setiap makna berasal dari domain yang berbeda.
"Tuhan" berasal dari domain kata-kata yang mengindikasikan makhluk makhluk dan kuasa-kuasa
supranatural (12.9). Definisi yang diberikan di vol. I mengidentifikasikan kata ini sebagai gelar bagi
Allah atau Kristus, mengindikasikan "seseorang yang menjalankan otoritas supranatural atas umat
manusia."'"' Makna kedua, pemilik," muncul dalam domain kata- kata yang mengekspresikan
kepemilikan atau hak milik (57.12). Di sini, definisi kyrios adalah seseorang yang memiliki dan
mengontrol apa yang dimilikinya, termasuk secara khusus pelayan-pelayan dan hamba-hamba,
dengan tambahan unsur-unsur semantik yang penting dalam kaitan dengan status dan kehormatan
yang tinggi;" "pemilik," majikan," dan ~tuhan" adalah keterangan yang bernada baik.'7 Makna kyrios
sebagai "penguasa" muncul di kelompok kata-kata yang dipakai untuk mengindikasikan kontrol atau
pemerintahan dan di dalam subdomain yang difokuskan pada penguasaan atau pemerintahan atas
orang-orang lain (37.51). Terjemahan yang tersedia, "penguasa," "majikan," "tuhan"
mengomunikasikan maknanya sebagai "seseorang yang berkuasa atau menjalankan otoritas atas orang
lain.""' Ketika kyrios diartikan sebagai "tuan" (87.53), makna ini termasuk domain kata-kata yang
mengindikasikan status dan kata-kata subdomain yang mengekspresikan status atau pangkat yang
tinggi. Oleh sebab itu, ia adalah "sebuah gelar kehormatan yang dipakai untuk menunjukkan atau
memperkenalkan seseorang -tuan."Ie Dengan memperhatikan semua ini di vol. I, kita dapat
mengetahui baik domain khusus tempat makna-makna tertentu terletak, maupun definisi yang tepat
dari setiap makna yang ada.
Setelah mengadakan penyelidikan secara saksama atas leksikon-leksikon yang ada, langkah
selanjutnya adalah menentukan domain semantik manakah sebuah penggunaan yang spesifik dari
suatu kata termasuk. Dengan menggunakan pemakaian kata "perjanjian" sebagai contoh, apakah
penggunaan bfrith termasuk dalam domain "menerapkan pengaturan-pengaturan secara sepihak" atau
"perjanjian-perjanjian hasil negosiasi kedua pihak"-jika kita memang dapat menentukan maknanya
seperti itu? Contoh yang baik untuk menjelaskan ini adalah Ayub 31:1 yang berbunyi: "Aku telah
menetapkan syarat (bahasa aslinya: membuat perjanjian) bagi mataku, masakan aku memperhatikan
anak dara?" Alkitab bahasa Indonesia menerjemahkan "membuat perjanjian" secara figuratif dalam
pengertian menerapkan sebuah disiplin atau pembatasan bagi matanya sendiri.
Contoh lain adalah makna manakah yang lebih tepat diterapkan atas istilah "perjanjian" yang
ditujukan kepada Hamba Allah yang tercatat dalam Yesaya 42:6: "Aku telah membentuk engkau dan
memberi engkaumenjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa?" (eetak
miring ditambahkan), Apakah perjanjian tersebut merujuk kepada "perijanjian yang baru" yang
dijanjikan akan diberikan Allah (baca Yer. 31:31-34; bdk. Ibr. 8:8-12) Apakah perjanjian tersebut
diterapkan sepihak atau merupakan hasil kesepakatan kedua pihak? Apakah Allah akan
membatalkan isi perjanjian tersebut sebagaimana yang telah la lakukan dalam perjanjian pertama
dengan bangsa Israel? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sulit dijawab, namun semua-nya itu
memberikan petunjuk kepada para penafsir untuk mengetahui apa yang harus mereka selidiki?
Dengan menggunakan istilah kyrios dari PB sebagai contoh, dalam Kisah Para Rasul 9:5,
Paulus merespons suara yang ia dengar dengan pertanyaan, "Siapakah Engkau, Tuhan?" (cetak miring
ditambahkan). Di sini, penafsir harus menentukan apakah penggunaan istilah Tuhan merujuk kepada
sebuah gelar kehormatan (yakni, "ruan" yang menunjukkan status yang tinggi), atau apakah Paulus
(atau penulis) memaksudkan makna yang lebih tinggi ("Tuhan," bahkan dengan konotasi
supranatural), atau apakah penulis memang memaksudkan kedua-duanya.
Setelah memahami rentang makna suatu kata, penafsir perlu lebih jauh memahami bagaimana
makna spesifik dari suatu kata yang terdapat dalam sebuah teks berhubungan dengan kata-kata lain
dalam ranah maknanya. Dengan menemukan makna khusus dari sebuah kata di dalam kerangka ranah
maknanya, penafsir dapat mempelajari wawasan konsep-konsep secara umum tempat makna dari kata
tersebut termasuk; hubungan yang ada antara kata tersebut dengan kata-kata lain yang digunakan
dalam ranah semantik ini; dan mungkin apa yang membedakan kata tersebut dari kata-kata yang lain
dalam ranah semantik tersebut. Terdapat satu unsur word studies yang dapat mempersatukan kedua
Perjanjian dalam Alkitab. Karena bahasa Yunani telah menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa
lisan dari komunitas Yahudi di Aleksandria pada abad IISM, bangsa Yahudi di daerah tersebut telah
menghasilkan Septuaginta.'' Hal ini dilanjutkan dengan penggunaan terjemahan Ixx oleh bangsa
Yahudi yang tinggal di dunia Romawi. Scbenarnya, Lxx telah menjadi Alkitab bagi kebanyakan
orang Kristen mula-mula selama penulisan Ph berlangsung. Karena mempelajari PL, melalui Kitab
Suci terjemahan dalam bahasa Yunani ini, maka para penulis PB menggunakan banyak kosakata
bahasa Yunani dengan makna-makna yang tidak sama dengan pemakaian kosakata yang sama dalam
kehidupan schari-hari, mirip dengan perbedaan pemahaman atas istilah "persekutuan" atau
"penebusan" oleh orang Kristen dengan orang orang dunia pada umum-nya masa kini.'1o Konsep-
konsep religius dan teologis yang berkembang dalam PL melekat pada kosakata yang ada,
menambahkan nuansa makna yang baru atas kosakata tersebut. Penggunaan istilah kyrios (Tuhan)
dalam Septuaginta adalah salah satu dari begitu banyak contoh yang berhubungan dengan pengaruh
tersebut dalam kosakata PB. Istilah ini muncul 900o kali dalam LXX dengan mayoritas di antaranya--
6.156 tepatnya--dipakai untuk menerjemahkan istilah "Yahweh."17 Penggunaan istilah kyrios untuk
menerjemahkan kata Tuhan dalam bahasa Ibrani, "donai, yang dalam PL kadang kadang digunakan
sebagai gelar bagi Allah, adalah cukup natural. Namun demikian, penggunaan istilah ini untuk
menerjemahkan nama Allah yang sakral "Yahwch" merefleksikan keengganan bangsa Yahudi
mengucapkan istilah tersebut karena takut dianggap bersalah karena sembarangan menyebut nama
yang sakral terscbut. Karena LXX secara konsisten menerjemahkan "Yahweh" dalam bahasa Ibrani
menjadi "Tiuhan," banyak sarjana percaya dengan tingkat keyakinan yang tinggi bahwa panggilan-
panggilan kepada Yesus sebagai "Tuhan" dalam PB mengandung konotasi keilahian yang sangat
kuat.'"
Contoh lain yang dapat dipakai membuktikan pengaruh Septuaginta terdapat dalam
penggunaan istilah "anak sulung" dalam PB. Ketika gelar "anak sulung" digunakan atas diri Yesus,
gelar itu mungkin sekadar mengandung makna literal sebagai anak pertama yang dilahirkan oleh
ibunya sebagaimana tercatat dalam Lukas 2:7, "Ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang
sulung." Namun, makna literal ini tidak sesair dengan dua penggunan cologis dalam gelar yang
diberikan kepada Kristus di Kolosc, "yang sulung . . dari segala yang diciptakan" (1:15) dan "yang
sulung. .. dari antara orang mati" (1:18). Sementara sejumlah pihak menafsirkan bahwa "yang sulung
dari segala yang diciptakan" berarti bahwa Yesus adalah ciptaan pertama dan, oleh sebab itu, la bukan
Allah,'" maka sebenarnya terdapat bukti yang kuat dari penggunaan Septuaginta bahwa ada satu
makna lain yang sama sekali berbeda yang lebih sesuai dengan konteks tulisan secara alamiah. Dalam
pembahasannya tentang istilah prototokos (anak sulung), Louw dan Nida berargumentasi, Dalam
masyarakat bangsa Yahudi, hak-hak dan tanggung jawab menjadi putra sulung menghasilkan
martabat dan status yang tinggi. Putra sulung, sebagai contoh, menerima harta warisan dua kali lebih
banyak dibandingkan dengan keturunan lainnya. Martabat yang dihubungkan dengan status anak
sulung dalam budaya Yahudi melahirkan sebuah makna figuratif bagi anak sulung yang
mengindikasikan superioritas atau status yang lebih tinggi. Makna istilah "anak sulung" dalam bahasa
Yunani termasuk dalam domain semantik yang mengindikasikan status dan subkategori kata-kata
yang mengekspresikan status atau pangkat yang tinggi. Oleh sebab itu, Louw dan Nida
menerjemahkan Kolose 1:15 menjadi, "existing superior to all creation" (berada pada posisi superior
dibandingkan segala yang diciptakan).iz" Alkitab versi NIV mencoba menangkap konotasi ini dengan
frasa "firstborn over all creation" (anak sulung melampaui segala yang diciptakan) Gagasan
ini lebih jauh didukung oleh penggunaan istilah"anak sulung" dalam LXX atas gelar mesianik di
Mazmur 89:28, ditandai dengan paralelisme dalam bahasa Ibrani dengan bahasa superioritas yang
sangat tepat: Aku pun juga akan mengangkat dia menjadi anak sulung, menjadi yang mahatinggi di
antara raja-raja bumi. Informasi dari konteks Kolose I mengonfirmasi bahwa Paulus menggunakan
anak sulung sebagai sebuah gelar untuk memberikan penekanan atas superioritas Yesus atas segala
yang diciptakan. Berbagai referensi kepada kerajaan-Nya dan pernyataan yang berisi tujuan yang
tercatat di ayat 18, "sehingga la yang lebih utama dalam segala sesuatu," menguatkan pernyataan
bahwa superioritas Yesus atas segala ciptaan-Nya merupakan makna dari istilah "anak sulung" dalam
bagian tulisan ini. Semua faktor yang berhubungan dengan konteks tersebut memperjelasas bahwa
frasa "yang sulung dari antara orang mati" (Kol. 1:18), pemakaian kedua dari istilah anak sulung
dalam bagian tulisan yang sama, juga mengomunikasikan konsep superioritas yang sama. Jelas sekali,
penggunaan istilah "anak sulung" dalam Septuaginta telah memengaruhi pemilihan Paulus atas gelar
mesianik ini untuk menunjukkan keutamaan Kristus baik atas segala yang diciptakan maupun atas
mereka yang akan mengalami kebangkitan dari kematian. Oleh sebab itu, mereka yang secara serius
mempelajari PB harus menanyakan apakah makna dari kata tertentu merefleksikan pengaruh
Septuaginta yang telah menggeser makna kata tersebut melampaui apa yang secara umum dipahami
oleh para pengguna bahasa Yunani di masa iru. Untuk menemukan pengaruh-pengaruh seperti itu,
perhatikanlah makna utama dari kata-kata bahasa Ibrani yang menjadi padanan bahasa Yunani dalam
Septuaginta. Langkah terakhir ini selalu menuntut usaha untuk mempelajari konteks PB secara
spesifik untuk menguji apakah terdapat pengaruh Septuaginta atau tidak. Alat bantu terbaik untuk
mengevaluasi pengaruh dari Septuaginta dan potensial pengaruhnya atas PB secara utama dapat
diperoleh dari dua sumber: C. Brown, ed., New International Dictionary of New Testament Theology,
4 vols. (NIDNTT), '2 dan G. Kittel dfan G. Friedrich, Theological Dictionary of the New Testament,
10 vols. (IDNT).Ial terakhir yang perlu kita gali untuk menentukan kemungkinan makna dari sebuah
kata adalah penggunaannya di luar Alkitab dalam kehidupan sehari-hari, kesusastraan, dan inskripsi-
inskripsi yang dihasilkan pada zaman Alkitab ditulis. Pengetahuan akan makna populer dari sebuah
kata dalam kehidupan sehari-hari sering kali memberikan wawasan kerangka referensi bagaimana
penulis dan pembaca memahami suatu istilah tertentu Untuk bahasa yang dipakai dalam PL, informasi
seperti di atas dapat diperoleh dalam R. L. Harris, et al,, ed,, TWoT, dan G. J. Botterweck dan H.
Ringgren, ed., Theological Dictionary of the Old Testament (TDOT,"" Kembali kepada pembahasan
kita tentang brith, baik TWOT maupun TDOT mencatat ahwa penerbitan artikel karya G.Mendenhall,
"Covenant Forms in Israelite Tradition," telah menghasilkan gerakan untuk melakukan studi yang
lebih mendalam atas perianjian-perjanjian yang dilakukan di Timur Dekat kuno,'' Terdapat hubungan
yang erat antara perjanjian-perjanjian abad XIV dan XIII sM antara raja-raja bangsa Het dengan para
penguasa yang menghamba kepada mereka dengan perjanjian-perjanjian yang dilakukan olch Yosua
selama penaklukkan dan pendudukan bangsa Israel (dan khususnya Yos. 24:1 dst.). Semua penemuan
tersebut, dicatat di dalam TWOT 1:129 dan TDOT 2:266-269, memberikan pencerahan atas catatan-
catatan Alkitab dan dapat membantu kita memahami berbagai unsur lain, baik yang bersifat religius
maupun politis yang terdapat dalam konsep perjanjian di PL. Unsur-unsur yang terdapat dalam
perjanjian bangsa Het juga ditemukan dalam catatan Keluaran 19-24 dan mungkin juga keseluruhan
kitab Ulangan.
Kita memang dapat menemukan contoh-contoh spesifik mengenai penggunaan bahasa Yunani
sehari-hari bagi studi-studi PB dalam karya J. H, Moulton and G. Milligan, The Vocabulary of the
Greek New Testament,'" namun karya tersebut sudah ketinggalan zaman dan kurang lengkap, dan kini
kebanyakan gagasan dari buku tersebut sudah digabungkan dala NIDNTT dan TDNT,'2s Sebagai
contoh, dalam NIDNTT kita menemukan bahwa kata bahasa Yunani untuk "tuhan" (kyrios) bukanlah
sebuah gelar yang ditujukan oleh bangsa Yunani kepada dewa. dewi mereka pada masa-masa klasikal
awal pemakaian bahasa tersebut. Relasi perbudakan antara seorang budak dengan tuannya (doulos
\budak) dengan kyrios [tuhan) adalah begitu menjijikkan bagi bangsa Yunani saat itu sehingga mereka
berpandangan bawah istilah "tuhan"bukanlah gelar yang baik untuk ditujukan kepada dewa mereka.
Namun demikian, ketika memasuki masa PB, praktik memanggil dewa dan raja dengan gelar "Tuhan"
yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Timur (karena raja dipandang sebagai wakil dari dewa mereka)
mulai menyusup ke dalam dunia Mediterania. Kalau para kaisar mula-mula seperti Augustus (31 SM-
14 M) dan Tiberius (14 M-37 M) mencegah praktik mendewakan mereka dengan panggilan "Tuhan,"
maka para pengganti mereka, Caligula (37 M-41 M) dan Nero (54 M-68 M) justru mempromosikan
dan mendorong pemakaian gelar kerajaan "Tuhan dan Allah." Pada masa pemerintahan Domitian (81
M-96 M), pemakaian gelar kerajaan yang bersifat Ilahi, "Tuhan dan Allah" mencapai klimaksnya's Di
saat yang sama, orang-orang Kristen yang hidup pada abad pertama secara umum menunjukkan sikap
kepatuhan mereka dengan memanggil diri sendiri "budak-budak" dari "Tuhan" Yesus Kristus, sikap
terscbut bertolak belakang dengan pola pikir religius bangsa Yunani saat itu dan membuat orang-
orang percaya secara langsung menentang praktik penyembahan kepada kaisar yang saat itu sedang
populer.
Sebuah perkembangan menarik bagi studi-studi PB muncul dalam penggunaan istilah
perjanjian (diatheke) dalam bahasa Yunani. Dalam Roma 11:27, Paulus menggunakan istilah
perjanjian untuk menggambarkan komitmen sepihak dari Allah dalam rangka membangun sebuah
relasi dengan umat-Nya (bdk. Kis. 3:25; Ibr. 8:10). Diatheke juga bermakna sebuah kesepakatan atau
pakta antara dua kelompok orang yang mengandung manfaat dan kewajiban (Gal. 3:15). Meskipun
demikian, rentangan makna dari kata diatheke dalam bahasa Yunani melampaui makna istilah b'rith
dalam bahasa Ibrani dan mencakup juga makna "membuat sebuah wasiat atau pernyataan."Io Penulis
surat Ibrani menggunakan istilah diatheke untuk mengungkapkan makna "wasiat" di 9:16-17,
menciptakan sebuah permainan kata yang menarik di mana kata yang sama juga dipakai untuk
merujuk kepada makna perjanjian" dalam konteks dekatnya di 9:1S dan 9:18.
Selain leksikon, kita juga harus menelusuri konkordansi. Langkah ini mengalihkan fokus kita
dari makna dan definisi sebuah kata berdasarkan sejumlah sumber kepada penggunaan yang aktual
dari kata tersebut di dalam Alkitab, dan dari sebuah rentangan berbagai kemungkinan kepada konteks-
konteks yang spesifik dalam Alkitab.'" Pekeriaan ini mungkin saja kelihatan menduplikasi apa yang
dikerjakan oleh leksikografer, namun sebuah tinjauan yang singkat atas sebuah konkordansi akan
memberi kesempatan kepada kita untuk memiliki pengertian langsung atas rentangan makna dan
penggunaan dari kata yang ada. Hingga di sini, kita mungkin saja memutuskan untuk terlebih dahulu
menelusuri konkordansi sebelum melakukan penyelidikan makna suatu kata lewat kamus dan
leksikon. Penelusuran seperti itu akan memberikan sebuah apresiasi induktif atas berbagai alternatif
kemungkinan makna yang ada. Karena makna yang dimaksudkan dari sebuah kata hanya dapat
dipahami lewat pemahaman atas konsep-konsep yang berhubungan dengan kata tersebut di dalam
sebuah teks, kita perlu memeriksa penggunaan kata tersebut oleh penulis yang sama di bagian lain
dalam tulisan yang sama atau dalam tulisan lainnya. Kita juga dapat memperoleh informasi tambahan
dengan menyelidiki bagaimana penulis-penulis lain menggunakan kata tersebut di dalam Alkitab.
Seorang penulis tertentu mungkin saja menggunakan suatu kata tertentu dengan makna yang khas
yang berbeda dari penulis-penulis lainnya. Untuk kata-kata dalam PL, kita harus memberikan
perhatian khusus kalau terdapat kaca tertentu yang digunakan secara khusus dalam kitab-kitab tertentu
untuk menyampaikan makna yang unik (mis., I mamat, Ratapan), dalam kitab-kitab prosa atau puisi
(mis, Hakim-hakim atau Kidung Agung, secara berturut-turur, nubuatan, a kitab-kitab yang
berhubungan dengan tradisi keimanan, nubuatan, atau kebijaksanaan. Kadang-kadang, kita dapat
menemukan pola pemakaian kata yang khas dalam rulisan tertentu yang dapat membantu kita
memahami makna kata tersebut dalan tulisan tersebut. Pada saat yang lain, kita akan menemukan
variasi penggunaan yang luas atas kata tertentu oleh penulis atau tradisi PL tertentu. Namun, bahkan
kondisi seperti ini tetap dapat membantu memberikan informasi kepada penafsir tentang jenis-jenis
konteks tempat makna-makna khas dari sebuah kata terletak. Para penafsir harus selalu mengingat
bahwa konsep lingkaran-lingkaran makna kontekstual juga berlaku di sini. Artinya, tingkatan
relevansi dan kesamaan makna yang paling tinggi terdapat pada penggunaan kata yang sama oleh
penulis yang sama dalam kitab yang sama; dilanjurkan dengan penggunaan kata yang sama oleh
penulis yang sama namun dalam kitab-kitab yang berbeda; selanjutnya adalah penggunaan kata yang
sama oleh penulis yang berbeda dalam Perjanjian yang sama; kemudian, penggunaan kata yang sama
dalam Perijanjian yang berbeda; dan tingkatan relevansi dan kesamaan makna yang paling rendah
terdapat dalam penggunaan kata yang sama oleh penulis di luar Alkitab.

3. Pilihlah Makna yang Paling Sesuai dengan Konteks


Sekali kita sudah menemukan kemungkinan makna-makna dari sebuah kata, kita harus memilih salah
satu di antaranya yang paling sesuai dengan tulisan yang sedang dipelajari. Kita harus melatih diri
untuk menghindarkan diri dari secara ceroboh (atau secara tidak bertanggung jawab) memaksakan
makna-makna tertentu ke dalam kata-kata untuk mencapai tujuan tertentu. Godaan seperti ini akan
menjadi sangat besar kalau terdapat makna tertentu yang dapat mendukung pandangan teologi atau
pendapat pribadi dari penafsir. Dengan tetap harus waspada agar tidak menjadi sombong, mereka
yang baru belajar boleh saja dengan alasan yang masuk akal mempertanyakan leksikon yang ada, dan
bahkan boleh mempertanyakan pendapat para ahli tentang makna dari kata tertentu yang terdapat di
dalam sebuah teks. Meskipun adalah bijak kalau kita memercayai apa yang tertulis dalam sumber-
sumber referensi yang terbaik, minimal taktik seperti di atas meyakinkan para penafsir bahwa
merekasudah cukup menggumuliapa yang sedang dipelajarinya. Karena kompleksnya makna-makna
dari suatu kata, para penafsir harus berusaha mendapatkan semua informasi yang berhubungan dengan
kata yang dipelajari untuk dapat menentukan makna spesifik yang paling sesuai dengan teks yang
dipelajari. Pilihan makna yang terbaik akan paling sesuai dengan konteks tulisan yang ada.
Sekali kita menemukan kemungkinan makna-makna dari sebuah kata, faktor-faktor
kontekstual akan menjadi penentu utama dalam memilih makna yang paling masuk akal. Sering kali,
subjek umum dari tulisan yang ada akan dengan kuat merujuk kepada satu domain semantik
dari kata tersebut. Hal ini memunculkan sebuah prinsip kunci: Penggunaan dari suatue kata dalam
sebuah konteks yang spesiflk menjadi satu-satuerrya kriteria yang paling krusial untuk menentukan
makna dari kata tersebut. Olch sebab itu, sang penafsir harus mengevaluasi keseluruhan konteks yang
ada secara cermat untuk menentukan kemungkinan makna-makna manakah yang paling sesuai dengan
teks yang sedang dipelajari. Unsur-unsur yang telah kita bahas hingga di sini menjadi penentu-
penentu yang krusial. Makna manakah yang paling sesuai dengan latar belakang historikal-budaya
dari teks tersebut? Yang manakah yang paling sesuai dengan konteks kesusastraannya? Yang mana-
kah yang paling sesuai dengan alur struktur narasi atau puisi (mis, kata-kata paralelnya), dan
sebagainya, dalam pemahaman yang paling masuk akal? Ingat, meskipun kata-kata memiliki
rentangan makna-makna yang banyak seiring dengan perjalanan scjarah, pembicara atau penulis
secara pribadi tentu telah memutuskan makna apakah yang ia maksudkan dalam kata-kata yang
dipakainya untuk konteks tertentu. Para penulis dapat saja memodifikasi makna-makna atau
memanfaatkan kata-kata yang ada dengan cara yang unik. Sebenarnya, para penulis dapat saja
menggunakan kata-kata dengan cara yang ambigu atau mengandung makna ganda,
sebagaimana yang terjadi dengan kata anothen dalam bahasa Yunani ("sekali lagi" dan/atau dari atas")
dalam Yohanes 3:3, 7. Apakah Yesus bermaksud menyampaikan bahwa umat manusia harus
dilahirkan kembali, dilahirkan dari atas, atau kedua-duanya? Sekali lagi, konteks adalah
satu-saturrya unsur yang paling signifikan dalam menentukan makna sebuah kata atau sebuab frasa.

HUBUNGAN-HUBUNGAN TATA BAHASA-STRUKTURAL


Meskipun memahami makna-makna dari kata-kata yang ada, sangat penting, namun itu bukan
segala-galanya dalam tugas kita. Sebenarnya, sebagaimana sudah ditegaskan, tanpa konteks-konteks
yang lebih luas kita tidak dapat secara pasti yakin tentang makna dari kata-kata yang ada. Orang
berkomunikasi dengan mengombinasikan kata-kata ke dalam unit-unit yang lebih besar. Hubungan-
hubungan tata bahasa dan struktur dari kata-kata dan kelompok-kelompok kata menjadi komponen ter
akhir dari komunikasi bahasa yang harus diselidiki dalam rangka memahami makna yang
dimaksudkan oleh sang penulis. Bagaimanakah kata-kata dikombinasikan sehingga orang dapat
berkomunikasi? Sebelum kita sampai kepada penjelasan tentang hal ini dalam bab-bab yang
membahas berbagai genre dari fungsi kesusastraan di bagian belakang nanti, kita terlebih dahulu
harus menggali topik-topik yang berhubungan dengan tata bahasa dan struktur, minimal dalam
pembahasan secara umum.
Secara teknis, tata bahasa terdiri dari dua unsur: morfologi dan sintaksis. Morfologi
berhubungan dengan bentuk dari setiap kata yang ada--secara tipikal bagaimana kata-kata mengalami
perubahan bentuk (dimanipulasi) untuk mengindikasikan fungsinya dalam sebuah bahasa. Sebagai
contoh yang paling sederhana, dalam bahasa Inggris kita menambahkan -s di belakang kata benda
untuk mengindikasikan "lebih dari satu." Unsur-s yang ditambahkan merupakan morfem yang
menandakan "jamak" dalam bahasa Inggris. Jadi, kita berkata, "she ate one apple, but I ate two apples
(la makan satu apel, tapi saya makan dua apel),"'' Dengan fungsi yang mirip dengan -s dalam bahasa
Inggris, bahasa Ibrani menambahkan im, e, atau ot di akhir suatu kata untuk mengindikasikan jamak.
Kata-kata dalam bahasa Yunani lebih rumit, mereka memiliki morfem-morfem jamak yang berbeda-
beda berdasarkan setiap kasus yang ada (nominatif, genitif, dsb.). Dalam tingkatan lainnya, bahasa
Inggris menambahkan -ed di akhir sejumlah kata untuk menandakan kejadian di masa lampau:
"Today I pick a red apple, though I picked a green one yesterday" (Hari ini saya memetik satu apel
merah, meskipun saya memetik satu apel hijau kemarin). Sebagai tambahan kepada morfologi,
sintaksis menjelaskan sistem yang dimiliki oleh setiap bahasa dalam mengombinasikan setiap unsur
pokok yang ada dalam kegiatan komunikasi. Susunan kata merupakan suatu unsur sintaksis yang
krusial dalam bahasa Inggris. "John hit the ball" John memukul bola itu) adalah sama sckali berbeda
dengan "The ball hit Jobn" (Bola itu mengenai John). Karena kata-kata "John"dan "ball" tidak
ditandai dengan bentuk apa pun juga, maka dalam contoh ini, bahasa Inggris berfungsi lewat susunan
kata-kata yang ada Susunan kata-kata tidak terlalu baku berlaku dalam bahasa-bahasa seperti
Ibrani dan Yunani. Mereka menerapkan sejumlah peraturan, namun bahasa-bahasa tersebut
menunjukkan variasi yang lebih banyak dibandingkan bahasa Inggris. Untuk sejumlah bahasa,
misalnya Yunani, tanda kasus (kembali ke morfologi-bentuk dari kata-kata) atas kata benda,
kata ganti, kata sifat, dan sebagainya, mengindikasikan apakah kata-kata tersebut berfungsi sebagai
agen pelaksana atau penerima dari suatu tindakan. Mereka yang mempelajari bahasa Jerman
(mengutip satu lagi bahasa yang memiliki banyak perubahan bentuk) memahami pentingnya akhiran-
akhiran kata untuk mengindikasikan apakah suatu kata benda berfungsi sebagai subjek, objek, atau
objck tidak langsung. Olch sebab itu, sintaksis mengekspresikan cara suatu bahasa menata kata.
kata yang ada untuk membentuk sebuah frasa, kalimat, atau unit yang lebih besar yang mengandung
makna.
Kcbanyakan panduan eksegesis dan analisis cenderung melakukan pembahasan sampai
dengan tingkatan kalimat, dan tentu saja ini merupakan tugas yang esensial bagi semua penafsir.
Namun demikian, belakangan ini para abli linguistik telah menckankan akan pentingnya
analisis atas unit yang lebih besar--paragraf dan keseluruhan wacana. Komunikasi jarang terijadi
hanya berdasarkan kalimat-kalimat tersendiri yang terpisah. Eksegesis yang menganalisis keseluruhan
wacana atau disebut teks linguistik terbukti membawakan hasil yang lebih baik,Dalam batasan
tertentu, bahasa terdiri dari berbagai variasi unsur yang digabungkan, sebagaimana batu-batu bata
membangun sebuah bangunan, untuk membangun sebuah komunikasi. Dalam istilah yang sederhana,
kombinasi dari morfem-morfem (unsur-unsur makna yang paling kecil, seperti penanda kata benda
jamak -s dalam bahasa Inggris) menghasilkan kata-kata; penggabungan kata-kata menghasilkan frasa,
klausa, dan kalimat; dan penggabungan kalimat-kalimat menghasilkan paragraf, artikel, atau wacana.
Usaha untuk menggabungkan kata-kata agar dapat berkomunikasi dengan sukses melibatkan
banyak faktor. Hubungan yang terjadi antar kata-kata yang membentuk sebuah kalimat, dan antar
kalimat-kalimat yang membentuk sebuah artikel mungkin dindikasikan lewat susunankata-kata,
bentuk kata-kata, dan penggunaan kata-kata penghubung (kata sambung, kata depan, dan sebagainya).
Hal ini menggarisbawahi kepentingan yang absolut untuk menafsirkan setiap bagian tulisan dalam
Alkitab secara konsisten dengan tata bahasanya. Karena tata bahasa adalah suatu komponen mendasar
yang dipakai oleh para penulis dalam menata kata-kata untuk mengekspresikan pikiran-pikiran
mereka dan dipakai oleh para audiens untuk menguraikan makna dari kata-kata tersebut, maka
analisis tatabahasa merupakan suatu aspek yang esensial bagi penafsiran yang tepat.

PENTINGNYA HUBUNGAN-HUBUINGAN TATA BAHASA


Untuk dapat memahami suatu pernyataan, seseorang harus memahami bagaimana kata-kata, frasa-
frasa, kalimat-kalimat, dan unit-unit lain yang lebih besar saling berinteraksi (atau saling berkaitan).
Kontribusi dari setiap kata kepada suatu pemikiran bersumber dari hubungan kata tersebut dengan
semua kata lain yang terdapat dalam kalimat tersebut. Kembali kepada kalimat sederhana yang kita
bahas di atas, sebuah pengaturan ulang yang sederhana atas kata-kata, "Jobn bit the ball" (John
memukul bola itu) menjadi "The ball hit Jobn" (Bola itu mengenai John), telah mengubah makna
yang ada secara drastis. Kedua kalimat menggunakan kata-kata yang persis sama, namun masing-
masing mengomunikasikan makna yang sama sekali berbeda, tergantung apakah "John" atau "bal!"
yang berfungsi sebagai subjek atau objek,'6 Jika kedua kalimat singkat tersebut memasukkan unsur
bola yang sangat laju yang dilemparkan oleh seorang pelempar dalam permainan baseball, maka
konsekuensi bagi pemukul bola akan sangat berbeda secara radikal! Dengan kata lain-- tata bahasa
memang membuat perbedaan.
Studi tata bahasa bersifat strategis untuk mendapatkan penafsiran yang tepat karena bahasa-
bahasa yang dipakai dalam Alkitab kadang kadang mengungkapkan nuansa-nuansa yang sulit
diungkapkan dalam terjemahan bahasa Inggrisnya. Surat Yohanes yang pertama dimulai dengan
sebuah pernyataan eksplisit yang tegas tentang realitas tubuh jasmani Kristus. Dalam usaha
menangkal pengajaran Gnostik doketik yang mengklaim bahwa Yesus hanya kelihatan seolah-olah
memiliki tubuh jasmani, maka penulis surat menegaskan bahwa beritanya tentang Yesus didasarkan
pada apa "yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami" (1:1, cetak miring
ditambahkan). Kedua kata kerja dalam bahasa Yunani ditulis dalam tensa perfek, yang
mengekspresikan sebuah perbuatan yang telah tuntas namun akibatnya masih terus terasa. Blass,
DeBrunner, dan Funk (BDF) menyebutnya sebagai "kelanjutan dari tindakan yang sudah tuntas."s"
Dengan menggunakan tensa perfek, penulis menghubungkan pengalamannya dengan Yesus sebagai
sesuatu yang hidup dan personal. Apa yang ia telah dengar dan telah lihat menghasilkan suatu
pengaruh dalam kehidupannya masa kini. Ini bukanlah sebuah laporan tentang peristiwa-peristiwa
yang terjadi di masa lalu.
Dengan gaya yang sama perintah di 1 Yohanes 4:1, "Saudara-saudaraku yang kekasih,
janganlab percarya akan setiap roh, tetapi ujilah rob-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah" (cetak
miring ditambabkan) menggunakan sebuah kalimat perintah masa kini yang mengandung larangan,
sebuah konstruksi tata bahasa yang sering dia pakai untuk menghentikan sesuatu kegiatan yang
sedang berlangsung.'s Dalam konteks demikian, "Berhentilab percaya akan setiap roh" mungkin akan
lebih tepat mengekspresikan nuansa tata bahasa yang ada. Konstruksi tata bahasa yang dipakai di sini
mengindikasikan bahwa orang-orang Kristen begitu gampang ditipu sehingga mereka menerima
sejumlah ucapan-ucapan yang dikatakan merupakan hasil karya dari berbagai roh.'s Perintah negatif di
1 Yohanes 3:13, "Janganlab kamu heran, saudara-saudara, apabila dunia membenci kamu" juga
memiliki fungsi yang sama, mengindikasikan adanya kesulitan yang sedang mengganggu sejumlah
orang percaya dan harus dihentikan. Satu hal lagi yang perlu disinggung di sini, klausa "apabila" tidak
bermakna "mungkin saja dunia membenci kamu, mungkin juga tidak," Ketika menggunakan klausa
pengandaian seperti ini dalam bahasa Yunani, penulis tidak lagi meragukan bahwa orang-orang
percaya sedang menjadi korban dibenci; untuk memperkuat argumentasinya, ia berasumsi akan
adanya kebencian di tengah-tengah mereka.10 Di pihak lain, dalam sebuah klausa "apabila" yang
mengungkapkan ketidakpastian (sebagaimana dalam kalimat "Apabila hujan, kita akan basah")
muncul di Matius 5:13. Yesus memberitahu para pengikut-Nya, "Kamu adalah garam dunia. Jika
(Apabila) garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?" (cetak miring ditambahkan). Yesus
tidak memastikan bahwa "garam" (para murid) dapat menjadi tawar atau tidak akan pernah menjadi
tawar. Sebuah kemungkinan yang masih terbuka. Perbedaan-perbedaan dalam signifikansi dari kata
sambung "apabila" bersumber dari penggunaan kata sambung atau kata keterangan yang berbeda
dalam bahasa Yunani (ei, ean), namun perbedaan tersebut tidak dapat dimunculkan dalam teks hasil
terjemahan.
Jika kita memperhatikan bahasa Ibrani, kita berhadapan dengan suatu bahasa yang kata
kerjanya berfungsi dengan cara yang berbeda dibandingkan bahasa Inggris; dalam konteks-konteks
tertentu, imperfek (tindakan yang belum tuntas) dan perfek (tindakan yang sudah dituntaskan) dapat
saja merujuk kepada tindakan-tindakan yang dilakukan pada masa lampau, kini, atau yang akan
datang. Bahasa Ibrani tidak menggunakan kata sandang negatif dengan kalimat perintah sebagaimana
yang ditemukan dalam bahasa Yunani; namun demikian, bahasa Ibrani memiliki fitur-fitur yang mirip
dengan apa yang kita temukan dalam bahsa Yunani atau Inggris; kata kerja, kata sifat, partisip, kata
depan, dan infinitif, sebut saja beberapa contoh di antaranya. Salah satu fitur bahasa Ibrani
menempatkan sebuah infinitif di depan sebuah kata kerja finit. Sebagai contoh, "dengar (infinitif) dan
dengar (kata kerja finit)" dan "lihat dan lihat" merupakan terjemahan literal kata-per-kata dari Yesaya
6:9, sebagaimana yang diterjemahkan dalam Alkitab versi Rsv, "Hear and hear (dengar dan dengar),
but do not understand; see and see lihat dan lihat), but do not perceive." Meskipun demikian, fitur tata
bahasa Ibrani ini merupakan sebuah cara yang khusus untuk mengindikasikan "pasti, sungguh-
sungguh, tentu," Oleh sebab itu, "hear and hear" (dengar dan dengar) adalah hasil terjemahan
langsung,'' namun maknanya kabur. Terjemahan yang lebih baik adalah "Dengarlah sungguh-sungguh
. . lihatlah sungguh-sungguh" (TB) atau "Be ever hearing . . . be ever seeing" (NIV) atau "Keep
listening . . . keep looking" (NRSV).
Sebagaimana dengan bahasa Yunani, bahasa Ibrani juga memiliki kapasitas untuk
menggunakan berbagai jenis kondisi yang memiliki nuansa-nuansa yang harus kita pelajari. Kondisi-
kondisi tersebut dapat dipahami sebagai sesuatu yang digenapi, bertentangan dengan fakta, atau
kemungkinan lebih atau kurang,'m. Fitur umum lainnya dalam bahasa Ibrani adalah "kerangka
gagasan," yakni sebuah konstruksi yang terdiri dari suatu kata--kata benda atau kata sifat--yang
digabungkan dengan kata benda, kata sifat, kata gant, atau klausa lainnya. Hasilnya, gagasan
yang ditampilkan adalah "X dari Y." Hubungan di antara kedua unsur tergantung kepada pemahaman
dari penafsir atas konteks yang ada karena konstruksi tersebut dapat diartikan dengan berbagai macam
makna. Para pembaca Alkitab terjemahan mungkin saja tidak menyadari bahwa penerjemah adalah
pihak yang menentukan makna dari konstruksi seperti ini di dalam Alkitab. Sebagai contoh, frasa
"hikmat Salomo" (1Raj, 4:30) bermakna hikmat yang ditunjukkan oleh Salomo.'' Di pihak lain,
"perkabungan karena kematian anak tunggal" (Am. 8:10) konteksnya jelas menunjukkan bukan
perkabungan yang dilakukan oleh sang anak tunggal, namun orang-orang lain yang meratap bagi
seorang anak tunggal.14 Atau, mungkin saja sebuah kerangka gagasan yang bersifat deskriptif:
"neraca yang betu!" (Im. 19:36) seharusnya bermakna "honest scale" (neraca yang jujur),
sebagaimana yang diterjemahkan oleh NIV.'4s Mazmur 23:2 secara literal diterjemahkan, "Ia
membuat saya berbaring di atas padang-padang rumput." "Rumput" atau "berumput" yang
bagaimanapun menjadi ciri khas dari padang. Kebanyakan versi bahasa Inggris menerjemahkannya
menjadi "green pastures" (padang padang yang hijau). Dalam bagian-bagian lain, hubungan yang ada
merupakan hubungan saling bertentangan--di mana istilah kedua berfungsi memberi nama baru atau
definisi kepada istilah pertama--sebagai-mana yang terdapat dalam istilah negeri Kanaan" (Bil. 34:2)
atau "puteri Sion" (Yes. 1:8).
Contoh-contoh terbatas di atas mengilustrasikan bahwa versi-versi terjemahan Alkitab tidak
selalu dapat mengklarifikasi nuansa-nuansa tertentu yang terdapat dalam bahasa-bahasa Alkitab atau
betapa banyak terjemahan berasal dari keputusan yang bersifat penafsiran yang dilakukan oleh para
penerjemah. Contoh-contoh tersebut juga menjelaskan bahwa jika berbagai versi terjemahan saling
berbeda, para pembaca menjadi bingung mengapa hal itu bisa terjadi. Terjemahan yang satu mungkin
lebih langsung dalam pengertian lebih paralel dengan kata-kata aslinya, namun terjemahan lain
mungkin lebih kuat menangkap nuansa bahasa aslinya. Tambahan pula, sebagaimana yang sudah kita
bahas sebelumnya, "langsung" mungkin saja lebih akurat atau mungkin juga tidak. Tujuan
peneriemahan yang lebih baik mungkin adalah mencapai efek yang sepadan atau, dengan
menggunakan istilah yang sudah dipakai sebelumnya, sebuah tiruan yang setia kepada tindakan-
ucapan yang ada. Oleh sebab itu, penafsiran Alkitab yang bertanggung jawab menuntut evaluasi yang
teliti atas nuansa-nuansa tata bahasa dari bahasa-bahasa Alkitab. Selanjutnya, tafsiran yang akurat
harus didasarkan pada teks-teks orisinal dalam bahasa Ibrani dan Aram untuk PL dan Yunani untuk
PB. Idealnya, setiap penafsir harus memahami bahasa-bahasa asli Alkitab. Terdapat banyak fitur tata
bahasa yang hanya dapat ditemukan kalau dipelajari dalam bahasa aslinya. Bahkan terjemahan terbaik
pun tidak akan mampu memunculkan fitur-fitur tersebut. Ketika terjemahan-terjemahan modern yang
bagus mampu mengekspresikan dengan jelas nuansa-nuansa tata bahasanya, maka hasil tersebut
sedikit banyak merupakan hasil penafsiran, karena para sarjana tidak selalu memiliki kesepakatan di
antara mereka atas signifikansi dari konstruksi tata bahasa tertentu yang terdapat di dalam sebuah
teks. Pemahaman atas bahasa-bahasa asli Alkitab akan memperlengkapi penafsir untuk mampu
memanfaatkan bukti-bukti kontekstual agar dapat mengidentifikasi penjelasan tata bahasa yang paling
sesuai dengan teks. Mereka yang tidak memahami bahasa Ibrani maupun Yunani harus selalu ingat
bahwa mereka berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Setiap pembaca yang ingin menjadi
seorang sarjana Alkitab harus memiliki kompetensi atas bahasa-bahasa asli Alkitab.
Meskipun demikian, kami mengakui dengan cukup realistis bahwa sulit mewujudkan harapan
agar setiap penafsir memahami bahasa-bahasa asli Alkitab. Tingkatan kehidupan, berbagai tekanan
dan tangung jawab kehidupan, kemampuan berbahasa, akses atas suatu program pendidikan-semua
unsur di atas ditambah hal-hal lain mengakibatkan idealisme di atas menjadi mustahil bagi banyak
orang yang mempelajari Alkitab. Namun, kami dengan tulus percaya bahwa semua orang percaya
memiliki kompetensi untuk mempelajari Alkitab. Mereka harus mengompensasi keterbatasan-
keterbatasan mereka dalam ketidakmampuan memahami bahasa-bahasa asli Alkitab dengan memiliki
pengetahuan yang baik atas tata bahasa dari bahasa yang dikuasainya, dengan memanfatkan hasil
terjemahan langsung dari Alkitab, dengan memanfaatkan buku-buku tafsiran yang baik dan sumber-
sumber lain yang ditulis oleh para ahli yang dapat memberikan penjelasan tentang tata bahasa yang
ada. Tentang poin terakhir ini, dengan membandingkan berbagai sumber yang membahas teks
tertentu, seseorang dapat menentukan apakah sebuah analisis tata bahasa tertentu memang memiliki
konsensus umum dari para ahli. Tambahan pula, bukti kontekstual yang dikutip untuk mendukung
sebuah poin tata bahasa akan memampukan pembaca memahami masalah yang sedang dibahas
dengan lebih baik.'46 Untuk dapat memahami sebuah teks dengan akurat menuntut analisis atas
struktur dan signifikansi dari konstruksi-konstruksi tata bahasa yang penting. Sementara sejumlah
wawasan tata bahasa tidak dapat ditemukan kecuali dengan mempelajari bahasa aslinya, mereka yang
berusaha keras akan terkejut karena mampu menemukan sejumlah besar informasi tata bahasa yang
penting setelah secara teliti menganalisis teks dalam Alkitab hasil terjemahan. Hal ini secara khusus
berlaku pada struktur yang ada.
Usaha menganalisis struktur yang ada dengan tujuan memperoleh wawasan tata bahasa yang
bermanfaat menuntut sebuah Alkitab hasil terjemahan yang secara teliti mempertahankan pola-pola
kalimat dari bahasa asli Alkitab. Untuk Alkitab bahasa Inggris, banyak orang merasa the New
American Standard Bible (NASB),'47 the Revised Standard Version (RSV), the New Revised
Standard Version (NRSV,'" atau the English Standard Version (ESV), merupakan versi-versi yang
baik untuk studi seperti ini. Sementara banyak terjemahan modern memotong kalimat- kalimat yang
panjang dan rumit dalam bahasa asli dan mengubahnya menjadi kalimat-kalimat pendek dalam versi
terjemahan, namun untuk terjemahan dalam bahasa Inggris, NASB dan RSV sering kali
mempertahankan kalimat-kalimat panjang yang memiliki banyak anak kalimat di dalamnya.
Jelas sekali, kecenderungan modern dalam hal memiliki kalimat-kalimat yang lebih pendek
menghasilkan pembacaan yang lebih lancar dan tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Kami
merekomendasikan versi-versi terjemahan yang mampu mengomunikasikan berita Alkitab dengan
cara yang lebih baik. Sebagai contoh, sebuah terjemahan berdasarkan padanan dinamis berusaha
mengungkapkan dalam bahasa Inggris apa yang akan dikatakan oleh penulis Alkitab kalau ia
menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunkasi pada zamannya. Alkitab bahasa Inggris versi the
Good News Bible (GNB) merupakan contoh yang paling baik untuk menjelaskan taktik ini."o Versi
lain yang sangat direkomendasikan dalam kaitan dengan hal ini adalah the New Living Translation
(NLT). Untuk PB bahasa Inggris, J. B. Phillips menerapkan sebuah pendekatan yang berbeda.'so Ia
berusaha mengungkapkan dalam bahasa Inggris (British) modern apa yang akan diungkapkan oleh
penulis Alkitab kalau ia hidup pada masa kini. Jadi, coba perhatikan Lukas 13:11, Alkitab versi GNB
menulis, "a woman who had an evil spirit" (seorang perempuan yang memiliki roh jahat) (cara
seorang pembicara Inggris modern mengungkapkan ide tersebut kalau ia hidup di zaman Yesus).
Phillis menulis, "a woman who had been ill from some psychological cause" (seorang perempuan
yang sakit karena sebab psikologis tertentu) (eara Phillips membayangkan seandainya penulis yang
menyatakan konsep tersebut hidup pada masa kini). Alkitab The Messagets karya E. Peterson bahkan
menerapkan pendekatan parafrasa yang lebih jauh dibandingkan dengan Phillips. Kalau NIV
menerjemahkan Lukas 13:19 dengan, "It is like a mustard seed, which a man took and planted in his
garden. It grew and became a tree, and the birds of the air parched in its branches" (barat biji sesawi,
yang seseorang mengambil dan menanam di kebunnya. Biji sesawi itu tumbuh dan menjadi sebatang
pohon, dan burung-burung di udara hinggap di ranting-rantingnya), The Message menulis, "It's like
apine nut that a man plants in his front yard. It grows into a huge pine tree with thick branches and
eagles build nests in it" (Ibarat bibit pohoncemara yang ditanam seseorang di halaman rumahnya. la
tumbuh menjadi satu pohon cemara yang sangat besar dengan ranting-rantingnya yang lebat dan
burung-burung elang membangun sarang di dalamnya). Kedua terjemahan tersebut telah mengubah
kata-kata dan struktur literal dari bahasa Ibrani dan Yunani ke dalam ungkapan-ungkapan dan cara-
cara ekspresi modern, meskipun mereka masing-masing menerapkan teori penerjemahan tersendiri.
Namun demikian, keuntungan dalam bentuknya yang mudah dibaca dan dipahami yang
dimiliki oleh terjemahan-terjemahan modern harus dibayar dengan: hilangnya sejumlah makna
orisinalnya, jangan sebut nuansa-nuansanya (roh jahat berbeda dengan sebuah penyakit psikologis,
dan biji sesawi bukan bibit pohon cemara), dan seseorang tidak akan mampu mengapresiasi
hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam teks aslinya. Sering kali bagi kebanyakan orang,
parafrasa memang layak dilakukan. Namun, bagi orang yang ingin belajar dengan serius, versi-versi
yang lebih langsung, memiliki nilai yang telah terbukti. Mempelajari teks-teks Alkitab dalam bahasa
asli akan memaksa penafsir untuk berinteraksi dengan makna-makna orisinal dari tcks itu sendiri dan
struktur-struktur kalimat yang ada untuk menentukan bagaimana anak. anak kalimat dan frasa-frasa
terhubung dengan kalimat utama dan'atau terhubung di antara semua anak kalimat yang ada. Untuk
dimensi studi yang satu ini, terjemahan yang semakin langsung akan menjadi terjemahan yang
semakin baik. Berbagai jenis terjemahan yang berbeda memiliki tempat masing-masing dalam fase-
fase studi yang berbeda-beda.

LANGKAH-LANGKAH MENCARI HUBUNGAN-HUBUNGAN STRUKTURAL


Analisis struktual mencakup beberapa langkah sederhana--sederhana, itu saja, jika seseorang
memahami dasar tata bahasa dari bahasa yang dipakai untuk analisis tersebut. Sayangnya, asumsi di
atas tidak selalu benar. Dalam mempergunakan suatu bahasa yang sudah kita kuasai, kita sering
melakukan banyak hal tanpa memahami mengapa atau apa yang telah kita lakukan. Sering kali secara
tanpa sadar kita melakukan kesalahan dalam tata bahasa. Orang mengekspresikan konsep-konsep
lewat bahasa berdasarkan cara ia mempelajari bahasa tersebut. Jadi, seseorang harus berusaha untuk
teliti dan hati-hati meskipun studi yang ada dilakukan dalam bahasa utamanya, misalnya bahasa
Inggris,'4 Untuk menjelaskan alur pikiran dari sebuah teks dituntut perhatian dan pemikiran yang
mendalam atas signifikansi dari hal-hal yang nyata. Kadang-kadang, hubungan yang terdapat dalam
sebuah teks adalah begitu nyata sampai- sampai kita mengabaikannya dan tidak mampu melihat
kontribusinya atas makna dari kalimat secara keseluruhan.

Pembagian-pembagian Alamiah
Pertama-tama, seorang penafsir harus menemukan pembagian-pembagian alamiah dari bagian tulisan
yang kita pelajari. Cara pembagian sangat tergantung kepada jenis kesusastraan tulisan yang
dipelajari, dan kami memberikan bantuan untuk berbagai genre berbeda dalam bab-bab selanjutnya
dari buku ini. Sebagai contoh, dalam narasi sejarah, bagian. bagian utama mungkin saja mencakup
beberapa pasal dalam Alkitab yang kita miliki sckarang (mis, kisah Yusuf mencakup Kej. 37-50), dan
seorang penafsir perlu membagi bagian utama tersebut ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Hal
yang sama juga berlaku bagi Kitab-kitab Injil dan Surat surat Kiriman dalam PB. Setiap bagian harus
dianalisis untuk menemukan alur pikiran dari penulis. Dalam puisi, tentu saja, satu puisi adalah suatu
unit yang utubh untuk dianalisis--ada yang lebih pendek, ada juga yang lebih panjang. Karya sastra
kebijaksanaan memerlukan perhatian yang lebih teliti karena akan lebih sulit menentukan batasan
untuk satu unit yangutuh. Satu segmen mungkin saja terdiri dari satu amsal, satu mazmur tersendiri
(mis., Mzm. 37), satu ucapan (nis., Ayb. 23:1-24:25), keseluruhan kitab, atau Khotbah di Bukit dari
Tuhan kita. Tulisan apokaliptik merupakan jenis yang paling sulit; tulisan ini menempatkan pembaca
modern ke dalam teritori yang paling asing. Namun, mimpi yang tercatat di Daniel 7:1-14 adalah satu
unit utuh; penafsiran atas mimpi tersebut di 7:15-28 merupakan unit yang utuh selanjutnya.

Alur Pikiran
Biasanya penafsir berusaha memahami satu bagian tulisan secara keseluruhan, satu bagian demi satu
bagian. Jadi, langkah selanjutnya adalah menemukan alur pikiran dari bagian tulisan yang dipelajari
tersebut. Bagaimanakah penulis mengembangkan logikanya dalam tulisan tersebut?156 Pertama-
tama, kita harus memisahkan, kalau bisa, setiap paragraf yang ada.157 Setiap paragraf umumnya
mengembangkan satu unit pikiran yang utuh, sering kali dirangkum dalam satu kalimat topik yang
selanjutnya dikembangkan dalam paragraf tersebut. Lalu, penafsir melanjutkan dengan menganalisis
unit-unit yang membangun sebuah paragraf” kalimat-kalimat--dan bagaimana kalimat-kalimat
tersebut dimasukkan atau dipakai untuk mengembangkan argumentasi atau narasi dari penulis.'s
Penafsir harus berusaha secara proporsional menilai fungsi dari setiap unsur dalam suatu kalimat
dengan cara membedakan antara induk kalimat (klausa independen) dari anak-anak kalimat yang
berfungsi menjelaskan induk kalimat tersebut.
Sebuah pendekatan yang baik untuk memahami struktur dasar dari sebuah tulisan mencakup
metode untuk mengidentifikasi induk (-induk) kalimat dalam setiap kalimat, kemudian
mengidentifikasi klausa-klausa anak kalimat dalam setiap kalimat, dan menentukan bagaimana setiap
anak kalimat memodifikasi atau menjelaskan konsep-konsep yang diekspresikan lewat induk (-induk)
kalimat. Analisis yang sederhana atas sebuah paragraf dari Yakobus 1 dapat mengilustrasikan
prosedur tersebut. Kami menggarisbawahi setiap induk kalimat dengan garis yang utuh. Kalimat-
kalimat yang tidak digarisbawahi merupakan klausa atau frasa anak kalimat. Fungsi dari sejumlah
anak kalimat dindikasikan dengan kata-kata cetak miring di atasnya.

Penerima perintah klausa waktu


(2) Saudara-saudaraku,'' anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, setiap kali kamu jatuh ke dalam
berbagai-bagai pencobaan,

klausa alasan
(3) sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.
Perintah klausa tujuan
(4) Dan biarkanlah ketckunan itu memperolch buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna
dan utuh

Deskripsi klausa kondisional


dan tak kekurangan suatu apa pun. (5) Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat,

perintah deskripsi
hendaklah ia memintakannya kepada Allah, yang memberikan kepada semua orang dengan murah
hati dan dengan tidak membangkit-bangkit,
pernyataan
maka hal itu akan diberikan kepadanya.

klausa waktu perintah


(6) Namun ketika kamu memintanya, hendaklah kamu percaya dan sama sekali jangan bimbang.

klausa alasan
sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombangambingkan kian ke mari oleh
angin.

perintah
(7) Orang yang demikian janganlah mengira bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan.

pernyataan
(8) Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya.

Klausa utama dari kalimat pertama adalah "Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan." Terdapat
tiga anak kalimat yang menjelaskan pernyataan tersebut. Untuk setiap anak kalimat yang menjadi
subordinat dari induk kalimat, kita harus menentukan: (1) kata apa yang ia modifkasi, 2) lausa
atau frasa jenis apakah anak kalimat tersebut (di bagian berikut dalam bab ini diberikan sebuah daftar
tentang jenis-jenis anak kalimat), dan (6) bagaimanakah anak kalimat ini memengaruhi makna kalimat
secara kescluruhan. Kebanyakan jenis klausa yang ada menjawab salah, saru dari enam pertanyaan
jurnalistik berikut: siapa, apa, mengapa, kapan, di mana, atau bagaimana. Dalam kalimat pertama,
frasa subordinat "saudara-saudaraku" secara implisit menjelaskan adanya subjek "kalian" yang
menjadi pelaku dari kata kerja "anggaplah," sementara dua klausa subordinat memodifikasi kata kerja
dari induk kalimat pertama. Anak kalimat pertama, frasa "saudara-saudara" mengindikasikan siapa
yang harus menganggap sehagai suatu kebahagian; yang kedua, klausa "setiap kali kamu jatuh ke
dalam berbagai-bagai pencobaan," menunjukkan kapan hal ini dilakukan; dan anak kalimat terakhir
menjawab pertanyaan mengapa, memberikan alasan bagi "menganggap sebagai suatu kebahagiaan."
Untuk menemukan bagaimana setiap elemen memengaruhi makna dari suatu kalimat, kita
harus mengajukan pertanyaan, "Makna apakah akan dikandung oleh kalimat ini tanpa setiap klausa
atau frasa subordinat yang ada?" Tanpa frasa "saudara-saudaraku?" di Yakobus 1:2, pembaca tidak
akan mengetahui siapakah yang harus memberi respons kepada berbagai-bagai pencobaan dengan
kebahagiaan. Klausa kedua mengidentifikasi perisitiwa khusus kapan kebahagiaan harus ditunjukkan.
Tanpa klausa terakhir, seorang pembaca akan sangat bingung karena kebahagiaan bukanlah sikap
yang secara normal diasosiasikan dengan berbagai-bagai pencobaan. Klausa ini memberikan alasan
untuk memiliki kebahagiaan yang murni meskipun ketika sedang menghadapi penindasan yang
sebenarnya tidak akan secara otomatis menghasilkan respons tersebut.'6 Pengetahuan bahwa
pengalaman-pengalaman yang pahit akan berguna untuk menghasilkan ketekunan menjadi alasan
yang masuk akal bagi hadirnya kebahagiaan. Bagian tulisan ini tidak mengajarkan tindakan
menikmati kepahitan hidup yang sadistis.
Dalam kalimat kedua dari kutipan tulisan di atas yang tercatat di ayat 4, dua klausa subordinat
melengkapi induk kalimat, "Dan biarlah ketekunan itu memperolch buah yang matang." Klausa
pertama, diawali dengan supaya.. " memodifikasi kata kerja "biarlah . . memperoleh buah yang
matang," dan mengekspresikan tujuan (mengapa?) mengizinkan ketekunan memperoleh buahnya
yang matang. Kalimat tersebut diakhiri dengan frasa, "tak kekurangan suatu apa pun," yang
memodifikasi kata-kata "sempurna dan utuh" di akhir klausa subordinat. Untuk menjawab pertanyaan,
"Apa?" frasa ini lebih lanjut menjelaskan makna dari menjadi sempurna dan utuh dengan penjelasan
yang negatif.
Kalimat ketiga di ayat S mengandung sebuah struktur yang lebih rumit. Kalimat tersebut
dimulai dengan sebuah klausa subordinat, diikuti oleh sebuah induk kalimat majemuk yang
dipisahkan oleh sebuah klausa subordinat lainnya. Induk kalimat majemuk berbunyi demikian,
"hendaklah ia memintakannya (hikmat) kepada Allah . . . maka hal itu (hikmat) akan diberikan
kepadanya." Pembukaan klausa subordinat, "apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat,"
merupakan sebuah klausa pengandaian yang mengkualifikasi kata kerja "hendaknya ia meminta." la
mengindikasikan kondisi spesifik di mana seseorang harus memanjat-kan doa ini. Klausa subordinat
yang memisahkan kalimat induk, "yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan
dengan tidak membangkit-bangkit," merupakan sebuah klausa deskriptif (kata sifat dalam daftar di
bawah) yang memodifikasi "Allah." Hal ini mengingatkan pembaca akan karakter kemurahan hati
Allah schingga pembaca terdorong untuk meminta hikmat di masa-masa pencobaan.
Meskipun analisis atas struktur dari kalimat-kalimat selanjutnya dalam paragraf yang dikutip
di atas akan lebih lanjut mengilustrasikan proses dan nilai dari pendekatan ini, kami sengaja
tinggalkan untuk dilanjutkan oleh para pembaca. Daftar berikut ini secara lengkap menampilkan jenis-
jenis klausa subordinat yang mungkin ditemukan. Semua itu mengindikasikan jenis hubungan logis
yang mungkin terjadi di dalam struktur dari kalimat-kalimat yang ada (lih. tabel pada hal. 104)
Apakah semua analisis tersebut memang membawa manfaat? Kami sepenuhnya yakin
memang bermanfaat, karena mengajukan pertanyaan struktural seperti itu akan memampukan penafsir
mengindentifikasi alur argumentasi atau narasi, asosiasi, dan hubungan-hubungan antar unsur yang
terdapat dalam sebuah teks. Seorang penafsir harus mampu memahami logika dari alur pikiran sang
penulis, jeda-jeda pemikirannya, fitur-fitur yang tidak lazim, serta arah-arah yang sangat gampang
diabaikan olch para pembaca kalau mercka tidak cukup menghabiskan waktu dan usaha untuk
menganalisis struktur yang ada dengan cara seperti ini.
JENIS PERTANYAAN CONTOH KONSTRUKSI
JURNALISTIK
Keterangan
waktu kapan? ketika, setelah, sebelum
lokasi di mana? di samping, di atas, di bawah
kausal mengapa? Karena, sebab, maka
tujuan mengapa? sehingga, agar, supaya
hasil mengapa? jadi, maka, oleh sebab itu
pengandaian kapan? jika, seandainya, kecuali
izin bagaimana? meskipun, walaupun pada
kenyataannya
perbandingan bagaimana? sebagaimana, seperti, demikian
juga
Kata benda
subjek siapa atau siapa? yang
objek siapa atau siapa? Yang
keterangan tambahan siapa atau siapa?
alamat langsung siapa? (mengidentifikasi orang, objek)
Kata sifat
penentu sifat siapa atau siapa? yang

Kata Kerja
Langkah selanjutnya dalam studi tata bahasa dari sebuah tulisan difokuskan pada pengaruh dari kata
kerja. Sistem kata kerja yang rumit dalam bahasa asli Alkitab memengaruhi makna dari kalimat-
kalimat yang ada dalam berbagai aspek. Supaya dapat dipahami sesuai dengan konteksnya, kata keria
dilengkapi dengan modus, aspek, kala, jenis, dan ragam tindakan yang diekspresikan.1s Modus dari
kata kerja yang terdapat dalam suatu induk kalimat mengindikasikan apakah penulis sedang
menyampaikan sebuah pernyataan, mengajukan sebuah pertanyaan, memberi sebuah perintah,
menyatakan sebuah kemungkinan, atau membuat sebuah keinginan. Seorang penafsir harus
memahami setiap kalimat secara konsisten dengan modus yang dipakai. Modus membuat perbedaan
yang besar, apakah kalimat yang disampaikan menyatakan suatu fakta, sekadar mengungkap suatu
kemungkinan, atau mengajukan suatu pertanyaan. Menariknya, dalam paragraf yang dikutip dari
Yakobus di atas, modus utama yang dipakai adalah imperatif. Dari lima kalimat yang ada, setiap
kalimat mengandung sebuah perintah. Satu-satunya pernyataan tercantum di ayat 5 dan 8. Setelah
memerintahkan orang yang kekurangan hikmat untuk berdoa, Yakobus menegaskan di 1:5, "maka hal
itu akan diberikan kepadanya"_-sebuah pernyataan yang mengandung kekuatan dalam janji. Ayat 8
menerangkan natur dari orang yang meragukan Allah. Meskipun Alkitab terjemahan bahasa Inggris
dengan jelas memperlihatkan penggunaan modus yang ada, namun orang yang belajar menggunakan
Alkitab tersebut tetap perlu memeriksa pemakaiannya dengan mempelajari buku tafsiran.
Karena dipengaruhi oleh ranah linguistik, semakin hari semakin banyak penafsir Alkitab
mulai menyadari akan pentingnya klasifikasi kata kerja sesuai dengan aspeke-nya.'es Meskipun tensa
dalam bahasa Inggris utamanya berhubungan dengan kala (waktu), dalam bahasa-bahasa lain-
contohnya adalah Ibrani dan Yunani--tensa dari suatu kata kerja terutama mengindikasikan aspek
(atau "jenis dari tindakan")169 Artinya, dalam bahasa-bahasa asli Alkitab, tensa menentukan jenis
tindakan yang ada dari perspektif sang penulis. a mengindikasikan apakah penulis atau pembicara
memahami tindakan yang diungkapkan suatu kata kerja tertentu dalam kondisi yang tuntas (perfektif
atau statif), sedang dalam proses (imperfektif atau progresif), atau sepenuhnya tidak ditentukan
(aoristik). Bahasa Inggris secara khas menggunakan tensa-tensa lampau perfek atau imperfek untuk
mengungkapkan tindakan perfektif/statif: She has read that book (la telah membaca buku itu); atau
She read that book (la membaca- dimasa lampau--buku tersebutb), Bahasa Inggris menyatakan sebuah
tindakan berkelanjutan (progresifjimperfektif) dengan bentuk- bentuk kala ini dan lampau progresif:
She is readinglwas reading that book (la sedang membacalsedang kala lampau--membaca buku itu).
Sebuah tindakan yang waktu terjadinya tidak ditentukan (aoristik) biasanya diungkapkan dengan: She
reads a book (la membaca sebuah buku). Bagaimana seorang penulis menyusun suatu tindakan
(aspek) mungkin ya atau mungkin tidak sesuai dengan realita, namun bukan itu yang menjadi
perhatian utama. Tensa dalam bahasa Yunani menentukan bagaimana penulis menampilkan natur dari
suatu tindakan.170 Sebagai contoh, perhatikan kalimat Yohanes 1:29: "Pada keesokan harinya
Yohanes melihat (sees) Yesus datang kepadanya dan ia berkata (says) . . ." Ini merupakan hasil
terjemahan langsung di mana kata yang dicetak miring mengungkapkan apa yang oleh para ahli tata
bahasa disebut "kala kini historis." Supaya pembaca merasa seolah-olah yang ditulis adalah kisah
yang sedang terjadi, Yohanes menuliskan apa yang sudah terjadi di kala lampau dengan menggunakan
kata kerja yang menyatakan seolah-olah hal itu sedang terjadi kini (tindakan berkelanjutan).'71
Sistem pemakaian kata kerja dalam bahasa Ibrani juga memungkinkan adanya satu fenomena
lain yang termasuk dalam kategori aspek konstruksi kausatif. Kadang-kadang, seorang penulis tidak
sekadar menggambarkan seorang pelaku melakukan satu tindakan; sang pelaku sebenarnya sedang
menyebabkan suatu tindakan terjadi. Dalam bahasa Inggris, fenomena ini diungkapkan dengan
menambahkan bentuk- bentuk kata kerja khusus untuk menunjukkan adanya kausasi: "They make me
eat spinach" (Mereka menyebabkan saya makan bayam). Atau orang menambahkan awalan pada
sebuah kata kerja. Bandingkan "They closed the door" (Mereka menutup pintu itu) dengan "They
enclosed the yard" (Mereka menyebabkan halaman itu menjadi tertutup). Bahasa Ibrani melakukan
pengaturan-pengaturan khusus atas bentuk kata kerja untuk mengubah "Mereka makan bayam"
menjadi "Mereka menyebabkan makan bayam." Dalam istilah yang dipakai Greenberg, "Hif'il
umumnya bersifat kausatif; subjek menyebabkan objek melakukan suatu tindakan atau kalau
digambarkan dengan kata kerja qal; qal ia mengingat,' hif'il ia diingatkan' (secara literal, 'dibuat
mengingat')"1
Selain aspek dan jenis tindakan, bentuk-bentuk kata kerja mengindikasikan detail lain yang
memberikan kontribusi kepada penafsiran yang tepat. Pada bagian-bagian tertentu, kata kerja (atau
berbagai teknis sintaksis lainnya) memberikan tanda pada kala (waktu) dari kejadian (lampau, kini,
dan akan datang). Dan ragam dari suatu kata kerja menunjukkan apakah subjek yang melakukan suatu
tindakan (ragam aktif:"Mary memotong kue pai"), dikenai tindakan (ragam pasif: "Kue pai dipotong
oleh Mary"), atau tindakan yang dilakukan kepada diri sendiri (bahasa Yunani memiliki ragam middle
yang digambarkan dengan kata ganti reflektif: "Mary memotong sepotong kue pai bagi dirinya
sendiri"). Atau, suatu kata kerja mungkin saja tidak memiliki ragam tertentu, ia hanya menunjukkan
kondisi sesuatu apa adanya, seperti dalam kalimat, "Kucing itu adalah sangat besar." Karena kata
kerja mengungkapkan semua informasi seperti ini, seorang penafsir yang teliti harus mengevaluasi
setiap unsur yang ada secara cermat di bawah terang konteks yang ada serta memperhatikan semua
nuansa yang diindikasikan oleh bentuk-bentuk kata kerja. Bagi mereka yang tidak memahami bahasa-
bahasa asli Alkitab, semua unsur kata kerja di atas tidak dapat ditemukan dalam Alkitab hasil
terjemahan atau buku-buku tafsiran pada umumnya.

Kata-kata Penghubung
Pembahasan atas unsur-unsur yang penting dalam tatabahasa juga harus mencakup kata-kata
penghubung. Kata-kata penghubung (biasanya merupakan kata sambung, tapi juga kata ganti
penghubung) ditempatkan di awal kalimat untuk menghubungkan kalimat yang ada dengan bagian
tulisan yang mendahuluinya dan di antara kalimat-kalimat yang ada untuk mengindikasikan relasi
antar setiap kata, frasa, dan klausa yang lewatnya konsep-konsep yang ada diungkapkan.17 Dalam
pembahasan tentang relasi antara klausa-klausa induk dan subordinat, kita telah membicarakan
signifikansi dari kata-kata penghubung sebagai indikator indikator untuk menentukan cara dari
berbagai bagian yang berbeda dalam suatu kalimat dapat saling melengkapi. Meskipun biasanya kecil
dan kelihatan tidak signifikan, namun kata-kata penghubung memiliki pengaruh atas makna yang jauh
melebihi ukurannya. Sama seperti penghubung-penghubung dalam sistem jaringan pipa, kata-kata
penghubung menentukan arah dari alur pembahasan teks yang ada. Daftar berikut ini menampilkan
cakupan-cakupan yang luas dari kata-kata penghubung yang harus diperhatikan oleh para penafsir
agar dapat secara tepat memahami makna dari suatu tulisan.
JENIS CONTOH KATA
PENGHUBUNG
Temporal atau Waktu: setelah, selama, sebelum, kini,
Kronologis sementara itu, sejak, kemudian,
hingga, ketika, setiap kali,
sementara
Lokal atau Geografikal Tempat: di mana, di samping, atasnya,
di atas, di bawah, melampaui,
pada
Arah: ke, menuju, dari
Logikal Kontinuatif: dan, juga, selain itu, baik . .
maupun, tambahan pula, lebih
lanjut, demikian juga,
tidak hanya . . . tetapi juga,
lalu,
Kontras: meskipun, tetapi,
bagaimanapun juga, lebih-
lebih, meskipun demikian,
tidak
hanya . . . tetapi juga, namun,
kalau tidak,
masih, sementara itu
Tujuan: agar, supaya, sehingga
Hasil: sehingga, hasilnya, karena itu,
akibatnya, jadi, kemudian
Kesimpulan: oleh sebab itu, jadi, kemudian,
maka
Alasan: sebagaimana, karena, sebab,
sejauh, mengingat, mengapa
Persyaratan: seolah-olah, jika tidak, dengan
catatan, kecuali, kalau
Izin: meskipun, namun, walaupun,
kecuali, sementara itu
Modal Agen/Alat: oleh, lewat, dengan cara
Cara: sebagaimana
Perbandingan: juga, sebagaimana,
sebagaimana. . . demikian juga,
sama seperti . . . demikian
juga, sesungguhnya, pada
kenyataannya,
demikian juga, tambahan pula,
daripada

Contoh: untuk, sebagai contoh,


sesungguhnya, sebenarnya,
yakni
Penekanan Menekankan: sesungguhnya, hanya, akhirnya

Kata Sifat dan Kata Keterangan


Beberapa hal lain yang berhubungan dengan tata bahasa yang perlu diperhatikan dalam kaitan dengan
usaha melakukan penafsiran yang tepat mencakup kata sifat dan kata keterangan. Kedua jenis kata ini
memodifkasi pemahaman atas kata benda atau kata kerja dengan cara yang signifikan. Waltke dan
O'Connor mengutip Hosea 1:6 untuk menunjukkan pemakaian kata keterangan yang luas dalam
bahasa Ibrani. Mereka menerjemahkan ayat ini menjadi, "Berilah nama kepadanya Tidak dikasihani,
karena sesungguhnya Aku tidak akan melanjurkan lagi mengasihani kaum Israel." Setiap kata yang
dicetak miring mewakili sebuah kata keterangan dalam bahasa Ibrani, salah satunya menerangkan
waktu, beberapa yang lain menyampaikan pesan negatif, dan satu lagi memberikan penekanan.
Artinya, "lagi" mengindikasikan bahwa Allah pernah menunjukkan belas kasihan kepada bangsa
Israel, namun kini "tidak" akan menunjukkan "lagi." Oleh sebab itu, kita sekarang dapat memahami
pernyataan "Tidak dikasihani lagi." Penghentian belas kasihan dari Allah layak mendapat sebuah kata
keterangan "sesungguhnya" yang memberikan penekanan makna. Sebuah contoh lain
menggambarkan banyaknya penggunaan kata sifat: "Orang akan mendengar tentang nama-Mu yang
besar dan tentang tangan-Mu yang kuat dan lengan-Mu yang teracung" (1Raj, 8:42), Setiap kata sifat
memberikan warna yang khas kepada kata benda yang dijelaskannya. Semua kata sifat bahasa Ibrani
ini adalah serupa dengan yang dipakai dalam bahasa Inggris dan Yunani. Meskipun sering kali dalam
bahasa Ibrani, deskripsi atas sesuatu dilakukan lewat frasa-frasa "konstruk" sebagaimana yang sudah
kita bahas sebelumnya (sebagaimana dalam "keturunan raja" [2Raj 25:25], tahta kerajaan" [1Raj.
1:46), atau bahkan lewat keterangan tambahan (" lidah penipu" [Mzm. 120:2)).177
Dalam Yakobus 1:2 yang sudah dibahas di atas, penulis secara signifikan mempertegas
perintahnya di awal dengan menyelipkan istilah "pas" (Yunani)yang diterjemahkan menjadi "suatu"
dalam Alkitab bahasa Indonesia yang berarti "genap,"n Perintah "Menganggap sebagai suatu
kebahagiaan apabila jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan" memiliki nada penekanan yang jauh
lebih kuat dibanding dengan "Menganggap sebagai kebahagiaan." Tanpa kata sifat suatu," perintah
ini akan menjadi tidak jelas dalam hal kualitas atau jumlah kebahagiaan yang dimiliki. Dengan cara
yang sama, kata keterangan "dengan murah hati" di ayat 5 menambah sebuah dimensi vital kepada
pemberian Allah. Ia tidak hanya sekadar memberi, demikian ditegaskan oleh Yakobus; Allah
memberi dengan murah hati kepada setiap orang yang meminta hikmat kepada-Nya.
Kata Ganti
Kita tidak boleh meremehkan signifikansi dari sejumlah hal yang kelihatan rutin dalam kaitan dengan
tata bahasa: penggunaan kata ganti dan apakah kata benda atau kata ganti yang dipakai merupakan
tunggal atau jamak. Adalah penting untuk menentukan unsur-unsur yang mendahului semua kata
ganti yang dipakai untuk memastikan siapakah atau apakah yang dirujuk oleh kata ganti tersebut.
Tanda-tanda yang melekat pada kata ganti, baik penggunaan kasus maupun apakah tunggal atau
jamak, sering kali lebih jelas dalam bahasa Ibrani dan Yunani dibanding kan dalam bahasa Inggris.
Bahasa Ibrani menandai sebuah kata ganti berdasarkan jumlah, orang ke berapa, dan gender. Sebagai
tambahan, bahasa Ibrani memiliki apa yang disebut kata ganti penunjuk (ini, itu) interogatif dan
indefinit (tak menentu) (siapa, apa, siapa pun, bagaimana, mengapa, di mana), dan kata ganti yang
menunjukkan relasi (yang (untuk manusia sebagai subjek], yang [untuk manusia sebagai objek], yang
(untuk benda). Bahasa Yunani juga memiliki jenis-jenis kata ganti yang beragam: personal, penunjuk
relasi, penunjuk, intensif (seperti dalam: orang yang sama atau orang itu sendiri) posesif (milik-itya,
milik-kut), refleksif (diri sendiri), resiprokal (saling mencintai), interogatif, dan indefinit (tidak
menentu).
Kalau kata ganti "you" dalam bahasa Inggris bisa berarti "kamu" atau "kalian," maka bahasa
Yunani (dan Ibrani juga) membedakan kedua kata ganti tersebut dengan jelas. Dua kali di 1 Korintus
Paulus mengidentifikasi orang-orang percaya sebagai bait Roh Kudus. Dalam peringatannya akan
bahaya yang serius dalam imoralitas seksual yang tercatat di 6:18-1, ia memperingatkan mereka
bahwa setiap tubuh jasmani dari orang Kristen adalah sebuah bait Allah yang didiami oleh Roh
Kudus, Namun, referensi Paulus kepada bait Allah di 3:16-17 menggambarkan sebuah kelompok
korporat orang-orang percaya--yakni, keseluruhanGereja--sebagai bait Allah yang didiami oleh Roh
Kudus. Kata ganti kedua jamak yang dipakai membuat perbedaan yang ada menjadi jelas. Paulus
menggunakan analogi bait suci yang sama dengan dua cara yang berbeda: untuk merujuk kepada baik
individu-individu maupun kepada keseluruhan Gereja. Sayangnya, banyak orang percaya yang tulus
telah lalai memperhatikan peringatan Paulus di pasal tiga agar tidak merusak bait Allah. Dengan
menganggap tubuh jasmani pribadi sebagai bait Allah, mereka memahami nasehat Paulus sebagai
suatu seruan untuk memiliki kesalehan hidup secara pribadi; mereka gagal memahami maksud
sesungguhnya dari Paulus-_sebuah seruan untuk tidak mengizinkan perpecahan dan merusak
Gereja.'9 Dalam kesimpulan yang diberikan di kedua surat kepada Timotius, penulis menyatakan,
"Kasih karunia menyertai kamu" (cetak miring ditambahkan). Kita mungkin saja melakukan
kesalahan dengan memahami bahwa kedua ucapan berkat penutup yang disampaikan Paulus tersebut
merupakan ucapan kepada seseorang secara pribadi, Timotius. Sebenarnya, kata ganti yang dipakai
adalah kata ganti jamak, jadi sebenarnya, ia sedang mengucapkan berkat Allah ke atas Gereja secara
keseluruhan.
Bahasa Yunani yang membedakan penggunaan kata ganti penunjuk relasi antara tunggal dan
jamak, demikian juga antara maskulin, feminin, dan netral, menghasilkan sebuah ketepatan dan
kepastian yang tidak dimiliki bahasa Inggris yang secara umum merujuk kepada "who" (siapa) dan
"what" (apa),'s' Silsilah Yesus di Matius yang diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa
Indonesia gagal menjelaskan bahwa Yesus adalah anak dari Maria saja, bukan dari Yusuf dan Maria.
Matius 1:16 mencatat, "Yakub memperanakkan Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang
disebut Kristus." Dalam bahasa Yunani, teks memakai kata ganti penunjuk relasi feminin tunggal
yang membatasi "yang" hanya merujuk kepada Maria.12 Banyak unsur dan detail yang berhubungan
dengan tatabahasa yang terdapat dalam bahasa asli Alkitab tidak dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa lain--meskipun terjemahan yang "literal" sekalipun (yang kita sebut sebagai terjemahan
"langsung"). Sesuai dengan naturnya, versi-versi hasil terjemahan memiliki berbagai keterbatasan
dalam mengungkapkan semua nuansa yang ada. Di atas semua itu, tidak terdapat dua bahasa yang
saling berpadanan secara sempurna. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan akurasi dan pemahaman yang
menyeluruh, kita dituntut untuk mencocokkan semua hasil terjemahan dengan naskah aslinya untuk
memastikan bahwa hasil terjemahan juga konsisten dengan tata bahasa dari teks aslinya. Sebagaimana
sudah kami serukan berulang ulang, mereka yang belajar dengan sungguh-sungguh harus mencari
bantuan sejumlah terjemahan yang baik dan buku-buku tafsiran Alkitab yang baik yang mampu
membuka wawasan kepada nuansa-nuansa tata bahasa yang ada.

Anda mungkin juga menyukai