Anda di halaman 1dari 528

Garis Batas

Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
Garis Batas

in
a-
ak
st
pu
AGUSTINUS WIBOWO
Penulis Kisah Perjalanan Afghanistan “Selimut Debu”
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita
untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini
tersembunyi di peta dunia.
—Andy Noya

Garis Batas membuktikan bahwa antara backpacker, eksplorer, mau-


pun observer memiliki makna yang nyaris tanpa batas. Catatan per-
jalanan yang ditulis Agustinus Wibowo memiliki bobot yang sama
dengan catatan perjalanan yang ditulis para antropolog dunia.
—Matatita, travel writer

om
Agustinus Wibowo anak muda unik. Dia bukan saja berani keluar
t.c
dari Pulau Jawa, maupun dari khayalan soal Indonesia, lalu berjalan
po

ke Asia Tengah, tapi dia berani mempertanyakan diri keberadaan


gs
lo

dia sendiri. Dia seorang Mercurian.


.b
do

—Andreas Harsono menulis antologi ’Agama’


in
a-

Saya Adalah Jurnalisme


ak
st
pu

Garis Batas bercerita tentang dunia yang utuh, namun tercerai-berai


oleh politik, perang, kultur, dan juga geografi. Menyusul kesuksesan
Selimut Debu yang menguak tabir kehidupan di Afghanistan, Garis
Batas menghadirkan kisah petualangan baru yang tak kalah menarik
dari Agustinus Wibowo. Bagi para eksplorer dan traveler, buku ini
merupakan bacaan wajib!
—Maggie Tiojakin

Pembaca kompas.com banyak yang mengaku terharu membaca ca-


tatan perjalanan ini. Agus bertutur tentang kehidupan.
—Heru Margianto, editor Kompas.com
om
t.c
po

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002


gs

Tentang Hak Cipta


lo
.b

Lingkup Hak Cipta


do

Pasal 2:
in
a-

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
ak

untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara oto-


st

matis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut


pu

peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
om
t.c
po
gs

Agustinus Wibowo
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama


Jakarta, 2013
GARIS BATAS
Oleh: Agustinus Wibowo

GM 401 01 11 0012

Copyright © 2011, PT Gramedia Pustaka Utama


Kompas Gramedia Building Blok I, Lt. 5
Jl. Palmerah Barat 29-33, Jakarta 10270

Editor: Hetih Rusli


Co-editor: Prisca Delima
Foto sampul: Agustinus Wibowo
Desain sampul: Marcel A.W.
Peta: Aditya Dharma om
t.c
Layout: Anna Evita & Farahnaz Hashim
po
gs

Ukuran 13,5 x 20 cm
lo
.b

Halaman: xiv, 510


do
in

Cetakan kedua: Juni 2011


a-
ak

Cetakan ketiga: Juni 2011


Cetakan keempat: Januari 2012
st
pu

Cetakan kelima: April 2013

ISBN: 978 – 979 – 22 – 6884 – 3

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia


oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI,
Jakarta, April 2011

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta


Isi di luar tanggung jawab percetakan
untuk Mama
di surga tanpa batas...
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Daftar Isi

Kata Pengantar ix
Prolog: Negeri Seberang Sungai om 1
t.c
Bab 1 Tajikistan - Eksistensi Negeri Merdeka 9
po
gs

Menembus Batas 11
lo
.b

Di Bawah Bayang Arwah Masa Lalu 26


do

Sekat Kehidupan 46
in
a-

Di Atas Reruntuhan Impian 87


ak
st

Keluarkan Aku dari Tajikistan 118


pu

Bab 2 Kirgizstan - Tenggelam di Atas Peta 133


Selubung Impresi 135
Langit yang Runtuh 157
Kota Bangsa Gembala 176
Berayun di Atas Tumpukan Identitas 194
Bab 3 Kazakhstan - Kebanggaan di Simpang Jalan 237
Realitas Dunia Borat 239
Kaya Mendadak 271
Do Svedania, Kazakhstan 294
Bab 4 Uzbekistan - Tarian Masa Lalu 305
Bukan Negara Normal 307
Jalan Emas 332
Air Mata Pengantin 363
Di Sini Stan, Di Sana Stan 380
Dunia Tanpa Batas 416
Bab 5 Turkmenistan - Utopistan 431
Firdaus Tersembunyi 433
Mari Sucikan Jiwa 471
Kembali ke Alam Normal 486
Epilog: Kembali ke Seberang Sungai 493
om
t.c
Rahmat 507
po
gs
lo

Peta Asia Tengah xiv


.b
do

Peta Tajikistan 10
in
a-

Peta Kirgizstan 134


ak

Peta Kazakhstan 237


st
pu

Peta Uzbekistan 306


Peta Lembah Ferghana 399
Peta Turkmenistan 432
Kata Pengantar

SATU per satu lembar paspor dibolak-balik. Foto ditatap, ha-


laman kosong dicari. Stempel dicapkan dengan mantap. Dicorat-
coret sedikit. Ditiup-tiup hingga cap itu kering. Selesai.
Itulah proses imigrasi, proses pelintasan di garis batas inter-
om
t.c
nasional. Proses ini tampaknya begitu mudah dan sederhana,
po

hanya dua tiga menit saja. Tapi saya menunggu hampir satu jam
gs
lo

di perbatasan darat Kodari di Nepal utara. Pagi itu empat pe-


.b
do

gawai imigrasi duduk di belakang di meja panjang, melayani


in

seratusan lebih calon pelintas batas. Kantor ini tak kalah dengan
a-
ak

ruang kelas sekolah dasar di pedalaman. Lusuh, gelap, kotor,


st
pu

pengap, sumpek. Tidak ada komputer, tidak ada pemeriksaan


barang, apalagi pengambilan foto secara digital. Semua serba
manual. Tidak ada yang berbaris karena memang tidak ada sis-
tem antrean. Orang-orang hanya butuh menumpuk paspor, ba-
rang, pasfoto, plus lembaran dolar.
Hanya beberapa langkah dari sini adalah kantor perbatasan
Zhangmu, titik imigrasi dari Tibet China yang baru saja saya
lewati. Alangkah bedanya! Alangkah kontrasnya! Gedung nan
megah, pegawai imigrasi yang tegas seperti tentara, komputer
dan alat pemindai di mana-mana. Lantai keramik putih, terang
benderang. Paspor saya diteliti secara saksama, dicocokkan de-

ix
ngan setumpuk dokumen perjalanan yang telah disiapkan. Ti-
dak tampak uang beredar, kecuali kepingan uang receh di ta-
ngan anak kecil yang meminta sedekah. Mereka ini adalah
anak-anak etnis Xarba yang hidup di perbatasan Tibet-Nepal,
yang hanya dipisahkan sebuah jembatan menyeberangi Sungai
Bhote Koshi. Kedua sisi jembatan ini terlihat begitu beda. Di
pangkal jembatan tentara China gagah berpatroli dengan sen-
jata lengkap, sedangkan di ujung jembatan sana tentara Nepal
duduk–duduk santai menikmati hari.
Perbedaan bagaikan bumi dan langit. Di atas jembatan yang
sama, hanya beberapa langkah kaki saja jauhnya...
om
Dalam perjalanan darat lintas batas menyeberang dari satu
t.c
negara ke negara lain, kita bisa mengamati refleksi bagaimana
po

negara-negara bekerja, bagaimana roda-rodanya berputar, bagai-


gs
lo

mana pemikiran manusia-manusianya. Maju atau miskin. Korup


.b
do

atau tertib. Efisien atau molor-molor. Taat hukum atau slebor.


in
a-

Perbatasan adalah jendela kita untuk mengintip sebuah negara,


ak

titik kecil yang memberi ilustrasi gambar besar di baliknya. Per-


st
pu

batasan internasional ini memberikan jendela perjalanan yang


menghampar di depan kita, menegaskan dugaan atau justru
menciptakan prasangka baru.
Garis batas adalah jejak-jejak titik yang memisahkan satu
bagian dengan bagian yang lain. Tegas, karena tercantum di atas
peta dunia dan dikawal ribuan tentara (saya jadi bertanya,
berapa juta tentara di seluruh muka bumi yang berpatroli di
perbatasan ratusan negara, dari jalan raya hingga ke puncak gu-
nung, dari hutan belantara hingga ke laut lepas). Tetapi garis
batas juga punya sejarah. Siapa yang menciptakan garis-garis itu?
Di baliknya ada politik, peperangan, penjajahan, ragam etnis,

x
pertikaian agama, ataukah garis itu hanyalah sekedar zona pem-
bagi? Ternyata dimensi garis batas tidaklah seperti segurat garis
tegas hitam memanjang yang digambarkan di legenda peta. Ada
dimensi yang berlapis-lapis, ada kesimpangsiuran, ada kesalah-
pahaman, ada pula pembantaian—sisi gelap yang jarang di-
ceritakan jika kita ber-backpacking tanpa membaca dan merenung-
kan arti perjalanan, atau menjadikan perjalanan backpacking
semata-mata seperti piknik liburan.
Backpacking atau menjadi backpacker adalah identitas yang
ingin ditempelkan ke semua pelaku perjalanan. Tapi untuk se-
orang Agustinus, backpacking adalah proses pembelajaran, bu-
om
kanlah sekadar mengunjungi tempat, hanya demi mengatakan,
t.c
”I have been there. I have done it.”
po

Dalam beberapa tahun terakhir sangat sedikit backpacker


gs
lo

yang mampu melihat perjalanan sebagai sebuah pengalaman


.b
do

batin yang menguji mental, fisik, kepercayaan diri, bahkan me-


in
a-

nantang harga diri. Backpacking tidak hanya dilihat sebagai kisah


ak

pejalan kéré berbekal ransel lusuh dengan rute semrawut. Se-


st
pu

orang backpacker harus membekali diri dengan keingintahuan


yang besar, independensi, dan mampu keberanian untuk mem-
pertanggungjawabkan pilihannya, termasuk keputusan untuk
mengunjungi tempat-tempat yang tidak biasa, berbahaya, atau
pun berpotensi konflik.
Agustinus Wibowo yang saya kenal mempunyai multidimensi
dalam hidup dan perjalanan backpacking-nya. Ia mengaku orang
Indonesia asal Lumajang, berpaspor hijau bergambar garuda,
tapi bermata sipit, berpendidikan terakhir di Beijing. Kefasihan
bahasa Tajik yang diperolehnya dari Afghanistan, ditambah se-
dikit Uzbek, Kirgiz, dan Rusia, membawanya ke negeri-negeri

xi
Asia Tengah yang namanya semua berakhiran Stan. Baginya ne-
geri pecahan Uni Soviet adalah refleksi masa lalu komunisme
dan sebuah pencarian jati diri negara-negara baru, yang tertatih
dan mencoba eksis. Hampir paralel dengan perjalanan hidup
pribadinya.
Garis batas adalah pergulatan panjang antara benturan jati
diri, dan titik-titik batas yang menurutnya semu. Baginya, ilusi
garis yang memisahkan negara adalah buatan manusia, yang
terkadang tidak mengindahkan manusia-manusia yang hidup di
dalamnya. Terkadang garis batas adalah sebuah garis imajiner
yang sangat dinamis. Garis batas tidak hanya mencerminkan
om
kedinamisan manusia itu sendiri, tetapi juga melukiskan kondisi
t.c
yang mengubah seluruh sendi kehidupan.
po

Garis itu bukan sekadar garis biasa....


gs
lo

Agustinus mencoba melihat dinamisme manusia melalui


.b
do

perjalanan ke negeri-negeri Stan, seiring dinamisme dirinya da-


in
a-

lam melihat mereka. Benarkah agama menciptakan syak wa-


ak

sangka? Benarkah komunisme membunuh toleransi? Benarkah


st
pu

hati nurani berubah ketika kapitalisme merengut negeri-negeri


Stan sedikit demi sedikit. Dan apakah dirinya yang terlahir se-
bagai minoritas bisa memahami superiority complex yang men-
jangkiti mayoritas etnis?
Selimut Debu dan Garis Batas membuktikan bahwa travel
writing bukanlah media narsistis atau euforia individualis.
Agustinus memilih menulis dengan dua sisi: hal yang mem-
buatnya belajar tentang manusia dan hal yang membuatnya
belajar menjadi manusia. Baik-buruk, miskin-kaya, jahat-tulus,
kejam-sabar adalah dua sisi sekeping logam dari sifat universal
manusia. Pendekatan humanis, pemahaman kultur, agama,

xii
latar belakang demografis membuat buku ini tampil beda.
Agustinus menjelma menjadi eksplorer yang bermertamorfosis
menjadi observer. Ia memilih merangkum, memperkaya penga-
laman backpacking dan menjadikannya seorang pejalan yang
makin arif dan kaya akan pengalaman batin.
Buku Garis Batas ini adalah bagian dari perjalanannya yang
panjang lewat darat, melalui banyak titik penyeberangan yang
jarang dilewati. Sebagai pembaca, Anda akan dibawa melihat
sudut negara yang baru muncul dua puluh tahunan silam.
Carut marut, kekacauan, ketidakadilan, dan kisah-kisah yang
menawarkan petualangan. Tetapi seperti bukunya terdahulu,
om
Selimut Debu tentang Afghanistan, ia mampu melihat kecantikan
t.c
dan keindahan di balik negeri suram nan berdebu.
po
gs
lo
.b
do

Selamat membaca.
in
a-
ak

Ambar Briastuti
st
pu

Moderator milis Indobackpacker

xiii
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po

Prolog
t.c
om
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
NEGERI SEBERANG SUNGAI

ORANG Yunani menamainya Oxus. Orang Arab mengenalnya


sebagai Jeyhun—sungai surgawi yang mengaliri Taman Firdaus.
Pujangga Persia memujanya sebagai Mulyan, yang bersama
alirannya tersiar kisah kepahlawanan Rustam dan Sohrab1 da-
om
lam pertarungan dua negeri agung, Iran dan Turan. Iskandar
t.c
po

Agung dari Makedonia pun pernah menyeberanginya, dan


gs

membawa serta peradaban Eropa ke tanah Asia. Begitu banyak


lo
.b

nama yang disandangnya—Amu Darya, Sungai Amu, Panj,


do
in

Vaksh. Namun saya menyebutnya ”Sungai Pemisah Takdir”.


a-
ak

Dari atas tebing tepian sungai yang terjal, alirannya terlihat


st

menggelegak hebat. Suara gemuruhnya menenggelamkan semua


pu

bunyi lain yang ada. Di dalam benak saya hanya terbayang ke-
matian. Siapa pun yang terjatuh ke sana, pasti akan terseret,
terempas ke bebatuan besar nan tajam, tenggelam ke dalam air-
nya yang kejam. Tetapi sungai ini juga memberi kehidupan
kepada lembah-lembah menghijau subur yang terjepit di antara
gunung-gunung cadas yang tingginya menggapai awang-awang.
Amu Darya bukanlah sungai biasa. Dari mata airnya di

1
Rustam dan Sohrab adalah tokoh penting dalam Shahnama - ”Kitab Raja-Raja”.
Epos ini ditulis pujangga Ferdowsi (940-1020), berisi perjalanan panjang bangsa
Persia atau Iran sejak zaman dewa-dewi.

3
Pamir, pegunungan atap dunia, sungai ini dihidupi oleh salju
yang menutup puncak-puncak gunung raksasa. Alirannya begitu
deras, hingga buihnya sampai melayang ke udara. Gelegar suara-
nya melantunkan nyanyian seram dari dasar jurang. Kemudian,
ratusan kilometer dari sana, air itu mengalir ke tempat saya ber-
diri sekarang ini. Meski alirannya melambat, tetapi tetap saja
mengerikan. Di sini, ia menjadi pembelah negeri. Tanah yang
saya injak adalah Afghanistan, di seberang sungai sana adalah
Tajikistan. Terus ke hilir nanti, ada secuil Uzbekistan, tempat
sungai ini berkurang garangnya, semakin melambat, tetapi men-
jadi lebar tak terkira. Kalau perjalanan diteruskan menghilir,
om
sungai ini menjadi pembatas antara padang gurun Afghanistan
t.c

dan Turkmenistan yang sama keringnya. Di sana, gelegaknya


po
gs

sirna, bahkan terlalu lemah untuk mempertahankan arah


lo
.b

alirannya sendiri, sehingga letaknya kemudian bergeser di te-


do
in

ngah padang luas, dan menjadi sengketa dua negara yang men-
a-

jadikannya sebagai tapal batas. Lalu Amu Darya pun akan mem-
ak
st

belok ke utara, ke arah pedalaman gurun Pasir Hitam Karakum


pu

di Turkmenistan. Sebagian alirannya merembes, lenyap, ditelan


keringnya gurun Pasir Merah Kyzylkum di Uzbekistan, sementara
sebagian lagi berhasil menggapai muaranya di Laut Aral, danau
mati yang mengingsut di ujung Uzbekistan dan Kazakhstan.
Stan. Stan. Stan. Sungai sepanjang 2.500 kilometer ini me-
lintasi dan menjadi garis batas berbagai negara yang kebetulan
semuanya berakhiran ”stan”. Di atas peta, bentuknya hanya
berupa garis hitam mengular, terkadang malah tidak kelihatan
karena tertindih garis-garis batas negara. Tetapi di sini, sungai
selebar 20 meter ini seperti pintu zaman, memisahkan dimensi

4
waktu kedua tepiannya sejauh seratus tahun, plus 60 menit—
perbedaan waktu antara Afghanistan dengan Tajikistan.
Di tepi sungai ini, saya terengah-engah bersama keledai. Ti-
dak salah kalau orang menyumpah dengan menyebut ”keledai”.
Hewan ini sungguh bodoh dan keras kepala. Terkadang ia ham-
pir jatuh ke jurang. Terkadang ia memilih jalan yang paling
terjal untuk menuruni tebing, sampai saya nyaris terjungkal.
Terkadang ia berhenti mendadak waktu mendaki, atau yang pa-
ling menyebalkan, waktu menuruni jalan yang curam. Tak pe-
duli saya sudah berteriak dengan suara tenggorokan paling
dalam, ”Bkhhekhkhkhe!!!”—perintah untuk para keledai di Afgha-
om
nistan yang artinya, ”Ayo, jalan!!!”—ditambah sampai penat ta-
t.c
ngan saya memukuli pantat keledai dengan tongkat kayu, sang
po

keledai tetap saja bergeming.


gs
lo

Di belahan dunia ini, tanpa kemampuan menunggang kuda


.b
do

atau keledai, kita bagaikan lumpuh, tak bebas berpindah. Di


in
a-

sini, kemajuan teknologi dan modernitas tak banyak berarti.


ak

Tak ada ruas jalan untuk mobil, tak ada listrik yang menerangi
st
pu

malam. Tak perlulah bermimpi tentang internet, telepon geng-


gam, atau bahkan telegram sekalipun.
Tetapi tengoklah ke seberang sungai sana. Dunia lain ter-
pampang. Seutas jalan beraspal membujur dari timur ke barat.
Tiang listrik dari kayu doyong berbaris dengan kabelnya yang
menjuntai rendah. Sesekali, wusss... jip melintas. Atau, truk be-
sar yang kokoh berjalan lambat. Terkadang terlihat gembala
yang menggiring ratusan domba menyusuri jalan beraspal itu.
Ada rasa kesal berkecamuk di dada. Hanya selebar sungai!
Sejauh penggalah! Kalau saja sungai ini tak dalam dan deras,
kalau saja ada penggalah yang 50 meter panjangnya, atau taruh-

5
lah jembatan kayu sederhana yang melintang, saya dengan mu-
dah akan dapat menyeberang, melenggang santai menuju jalan
beraspal di sana, lalu menunggu truk di tepi jalan, menumpang,
kemudian... melejit sampai ke kota tujuan.
Tapi, tidak! Itu cuma fantasi. Seberang sungai bukanlah ta-
nah yang begitu gampangnya dipinjak. Bagi kami di sini, itu
tanah terlarang, negeri asing tempat kami melempar angan.
Saya hanya bisa memandang iri pada jalan beraspal mulus dan
rata di seberang, sambil masih harus terus mendaki tebing ter-
jal, menuruni lereng curam berkelok-kelok, terkadang kejatuhan
longsoran kerikil, sambil menyumpahi keledai bodoh.
om
Negeri apa di seberang sungai sana? Penduduk desa setiap
t.c
hari memandangi tanah seberang seperti menonton layar film
po

tiga dimensi. Memandangi mobil-mobil was-wus-was-wus melintas,


gs
lo

tanpa pernah mengenal benda apakah itu, apalagi merasakan


.b
do

duduk di dalamnya. Mereka memandangi rumah-rumah cantik


in
a-

bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-re-


ak

mang yang terbuat dari batu dan lempung. Mereka memandangi


st
pu

gadis-gadis bercelana jins tertawa riang, sementara kaum perem-


puan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian. Ne-
geri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Mereka bagai-
kan saudara kembar yang diasuh orangtua berbeda. Yang satu
tersekap dalam perang dan kemiskinan. Yang lain, terlihat bebas
dan modern.
Peradaban manusia sering kali berpendar di sepanjang aliran
sungai agung. Tengoklah Mesopotamia yang terlahir di per-
simpangan Sungai Efrat dan Tigris. Bangsa Han membangun
peradaban ribuan tahun di tepi Sungai Kuning dan kini tumbuh
menjadi raksasa Asia. India sepanjang Sungai Indus dan Brah-

6
maputra, dengan keluhuran agama-agama kunonya. Mesir se-
panjang Sungai Nil. Indocina sepanjang Mekong. Di sekitar
Amu Darya, terpancar keagungan Samarkand, Bukhara, Merv,
dan Urgench, kota-kota tua dari zaman Jalur Sutra yang meng-
hidupkan fantasi seribu satu malam.
Di depan saya terpampang Amu Darya yang sama. Amu
Darya agung yang tak lekang dalam sejarah dan peradaban silih
berganti! Amu Darya hebat yang dipuja para pujangga! Amu
Darya yang menjadi arena pertempuran bangsa-bangsa! Semen-
tara saya cuma duduk di atas punggung keledai, memandang iri
ke arah iring-iringan mobil di seberang sungai.
om
t.c
po
gs
lo

Garis batas! Seperti halnya gravitasi bumi dan oksigen, garis


.b
do

batas tidak terlihat, namun setiap langkah dan embusan napas


in
a-

kita dipengaruhi olehnya. Pola pikir kita, uang yang kita pegang,
ak

bendera yang berkibar, kebanggaan yang melingkupi hati, se-


st
pu

jarah yang kita kenang, saudara-saudari yang kita sebut sebagai


sebangsa, kartu identitas, pendidikan, status, ideologi, nasionalis-
me, patriotisme, perjanjian, traktat, perang, pembantaian etnis,
kehancuran, semuanya adalah produk dari garis batas.
Ada garis batas fisik, ada garis batas mental. Ada yang se-
mentara, ada yang abadi. Garis batas geografis, sosial, biologis,
status, gender, privasi, mental, spiritual, agama... semua me-
misahkan manusia dalam kotak masing-masing. Garis batas me-
ngurung, memasung, melindungi, dan mengukuhkan sebuah
zona aman—tempat individu merasakan kelegaan dan kenya-
manan.

7
Bangsa-bangsa punya zona aman masing-masing, dilindungi
oleh garis batas negeri. Sering kali, pertumpahan darah tak ter-
elakkan hanya demi goresan garis-garis di atas peta. Inilah per-
jalanan hidup manusia! Sejak lahir, manusia bertumbuh, ber-
juang, bekerja demi kemapanan, bertarung, hingga datangnya
akhir hayat. Sejak awal peradaban manusia, mulai dari kehi-
dupan primitif di goa, para pemburu di hutan, kaum nomad di
padang rumput, takhta raja-raja berdarah biru, benteng-benteng
dan tembok raksasa, hingga republik modern, zona aman se-
makin kokoh dan berstruktur. Bangsa-bangsa berperang, ber-
negosiasi, berdiplomasi, bersekutu, berseteru, bertikai lagi, hing-
om
ga akhirnya hancur lebur, semua terkait urusan zona aman,
t.c
melindungi batas-batas dan kebanggaan mereka.
po

Amu Darya adalah sebuah garis batas, manifestasi garis hi-


gs
lo

tam tebal di peta yang memisahkan warna-warni sejumlah re-


.b
do

publik di Asia Tengah, memisahkan manusia dalam zona dan


in
a-

dimensi berbeda.
ak

Apakah di seberang sana—di Tajikistan, Uzbekistan, Turkme-


st
pu

nistan, dan Stan-stan yang lain—mereka sungguh hidup ber-


bahagia dan modern seperti yang tampak dari Afghanistan sini?
Entahlah. Kita berada di luar zona mereka. Dari sini, kita
hanya bisa mengintip dan menduga-duga.

8
Bab 1

Tajikistan
Eksistensi Negeri Merdeka

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

Roti adalah roti,


Remah-remah roti juga adalah roti

Pepatah Tajik
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
MENEMBUS BATAS

BETAPA cantiknya, saya bergumam kala menatap wajah perem-


puan berseragam putih di balik meja imigrasi Tajikistan yang
terbuat dari kayu dan tampak doyong dimakan usia. Ia mem-
bolak-balik halaman paspor Indonesia saya dengan jemarinya
yang lincah, tegas, kasar, bisa dibilang ganas. Bola matanya
om
t.c
besar dan tajam menatap saya lekat-lekat, sementara bibirnya
po

yang berpoleskan lipstik merah merona melontarkan berbagai


gs
lo

pertanyaan interogatif, ”Dari Afghanistan? Berapa lama? Untuk


.b

apa? Apa yang kamu lakukan di sana?” Hidung mancungnya


do
in

seperti berusaha mengendus aroma mencurigakan dari tubuh


a-
ak

saya yang baru saja menyeberang dari negara asalnya Taliban.


st
pu

Di Afghanistan yang baru semenit lalu saya tinggalkan, me-


mandang wajah perempuan adalah kekurangajaran tak terperi.
Garis batas pemisah kedua jenis kelamin begitu tebal, nyaris tak
tertembus. Siapa yang berani melanggar garis ini patut dilaknat.
”Orang beriman adalah yang hidup di dalam lingkaran,” saya
teringat seorang pendukung Taliban di Kabul bertutur di ru-
mahnya, ”dan kami tidak pernah keluar dari lingkaran itu.”
Setiap individu selalu diingatkan akan lingkaran-nya, akan
siapa dia, jenis kelaminnya, kedudukannya, lingkup batas-batas
yang ada. Sebagai laki-laki, bercakap dengan sembarang perem-
puan adalah perbuatan tercela, apalagi kalau sampai bersing-

11
gungan, berhubungan, menjalin asmara, atau berzina. Jangankan
hal-hal yang intim seperti itu, menyebut nama perempuan pun
sudah bisa dianggap menginjak-injak martabat. Jangan memotret
perempuan! Jangan menatap ke sana, ada perempuan! Awas,
tundukkan kepalamu, ada perempuan tak bercadar lewat! Awas,
hati-hati dengan bicaramu, nanti terdengar perempuan! Jaga
candamu! Peganglah adatmu! Ingatlah batasmu!
Bagi kaum perempuan, garis batas itu lebih gamblang. Pe-
rempuan Afghan menjadi makhluk anonim tak berwajah ter-
balut burqa. Kerudung yang membungkus total dan menihilkan
identitas perempuan adalah sebuah garis batas portabel, mem-
om
batasi interaksi, mengurung manusia dalam lingkaran masing-
t.c
masing, membungkus kecantikan yang misterius.
po

Cantik, adalah sebuah kata yang definisinya begitu luas, ber-


gs
lo

variasi dan berdeviansi karena perubahan kultur, zaman, tekno-


.b
do

logi, ideologi. Ia bisa berupa kata indah yang menghiasi sajak


in
a-

kuno kesusastraan Persia, bisa pula berwujud imajinasi liar yang


ak

berani menggerayangi zona-zona di luar garis batas. Bukankah


st
pu

hal-hal yang berada di luar garis batas itu selalu menggoda un-
tuk dijamah? Semua misteri dan tabu menarik untuk ditelusuri?
Meskipun semuanya itu pada akhirnya terbalut rasa ingin tahu,
ketakutan, tantangan, nafsu, rasa berdosa, pemberontakan? Bu-
kankah otak manusia sepertinya diciptakan untuk melawan?
Melawan aturan yang mengungkung. Melawan tindasan norma
dan adat. Melawan garis batas yang tergores keras. Menembusnya,
lalu meneriakkan pekik merdeka? Cantik, cantik, cantik, saya
kini memberanikan diri mendongakkan kepala, mengarahkan
pandangan ke arah perempuan Tajik berkulit putih ini. Saya
memandang tanpa berkedip, mungkin gara-gara terlalu lama

12
tinggal di Afghanistan. Benar-benar suatu kekurangajaran, te-
tapi, aaaah... bukankah garis batas itu sudah terlintasi?
Rambut pirangnya tergerai lepas, ayunya membuat saya ter-
sadar bahwa di Asia pun ada bangsa yang berwajah Aria. Hidung
mancungnya menjulang tinggi, bak puncak gunung raksasa yang
menyambut siapa pun yang menyeberangi Sungai Amu ke
Tajikistan. Suaranya melengking. Seragamnya berlengan pendek,
roknya hanya selutut, menampilkan kulit putih mulus. Garis
batas itu bukan hanya Sungai Amu yang memisahkan pegu-
nungan Tajikistan dari gunung-gunung yang nyaris sama persis
kepunyaan Afghanistan. Menyeberangi sungai ini, saya pun te-
om
lah menyeberangi garis batas ideologi dan spiritual, garis batas
t.c
kultur dan penjelajahan imajinasi. Kungkungan norma yang
po

memisahkan laki-laki dari perempuan di Afghanistan sana


gs
lo

benar-benar sudah menghablur ke angkasa raya begitu kami


.b
do

menginjakkan kaki di pesisir sungai Tajikistan. Dari perempuan


in
a-

yang tak berwajah dan anonim di seberang sana, kini di hadapan


ak

saya berdiri perempuan cantik penuh aura kekuasaan atas


st
pu

kami—kaum lelaki yang melintas dari Afghanistan.


Semua tas bawaan digeledah dengan teliti. Mata perempuan
muda ini sungguh awas, menelisik setiap lekuk barang yang ber-
tubi-tubi mengalir ke atas meja kerjanya. Tangannya sangat pro-
fesional. Jari-jari itu dengan cekatan memeriksa setiap lubang
baju dan lipatan kantong. Apa yang dicarinya? Dalam otaknya
sudah tergambar jelas: Narkotika. Narkotika. Narkotika.
Afghanistan adalah produsen opium terbesar di dunia. Pada
tahun 2006, lebih dari 90 persen heroin dunia berasal dari la-
dang candu Afghanistan. Negeri mungil Tajikistan berbatasan
sepanjang lebih dari 1.300 kilometer dengan Afghanistan, se-

13
bagian besar dipisahkan hanya selebar sungai saja. Dari sini,
penyelundupan obat terlarang menerjang, membanjiri Asia
Tengah, meluber hingga Rusia dan Eropa. Petugas imigrasi juga
sibuk mengincar peluru, bahan peledak, buku-buku religius,
mata uang asing, barang antik, bibit tanaman, ganja.... Jari-jari
terus menyusuri tumpukan baju kumal. Dari tas satu ke tas
berikutnya. Sepanjang hari. Tujuh hari seminggu. Visa distempel,
kartu deklarasi bea cukai ditandatangani, lembaran dolar
mengalir dari kantong kumal ke laci komandan, atau—sering
juga—ke balik kantong seragam petugas yang tak mau bersusah
payah memberi kuitansi. Begitulah prosedur melintasi per-
om
batasan, bagian dari birokrasi untuk melindungi garis batas.
t.c
Imigrasi adalah pagar pengawal ide-ide besar, eksistensi dari
po

suatu negara yang berada dalam keliling garis ini.


gs
lo
.b
do
in
a-
ak

”Pagar” Tajikistan bukan bermula di tepian Sungai Amu. Bukan


st
pu

pula di pos imigrasi tempat si petugas berambut pirang tergerai


sibuk memeriksa barisan pendatang Afghan. Mari putar mundur
jarum jam dan kembali ke Kabul. Pagar Tajikistan bermula di
sini, di luar tembok tinggi tebal yang mengelilingi gedung me-
wah di perumahan kelas atas Wazir Akbar Khan di jantung ibu
kota Afghanistan. Bertandakan bendera kusam kecil yang ter-
kulai di puncak tiang di balik tembok, di sinilah nasib calon
pengunjung Tajikistan bakal ditentukan. Inilah gerbang per-
tama yang harus ditembus sebelum menginjakkan kaki di negeri
itu.
”Kedutaan tutup,” kata tentara penjaga pintu tak bersahabat,

14
”Dua minggu! Semua staf cuti pulang kampung.” Saya tersentak.
Dua minggu! Apakah di Tajikistan sana sedang ada perayaan
besar? Ataukah semua pegawainya tiba-tiba berhasrat melaku-
kan piknik massal? Sungguh aneh, institusi negara ini mirip
perusahaan pribadi, bisa buka-tutup sekehendak hati pemiliknya,
dan sekali libur bisa langsung seminggu, dua minggu, sebulan,
dua bulan, tergantung mood.
Tanpa pilihan lain, saya langsung memutar haluan ke arah
Kedutaan Indonesia. Kekuasaan dilawan dengan kekuasaan.
Birokrat dilawan dengan birokrat. Rakyat kecil hanya bisa ber-
main siasat.
om
Kedutaan Besar Republik Indonesia juga dikelilingi pagar,
t.c
sama-sama tinggi dan tebal. Di kota ini, pagar dan tembok ting-
po

gi juga berfungsi sebagai perisai pengaman dari insiden tak ter-


gs
lo

duga, misalnya bom. Beberapa kedutaan tergolong rawan, di-


.b
do

bangun laksana benteng dengan sistem pengamanan yang


in
a-

angker, tak bersahabat, dengan gerbang dan tembok berlapis-


ak

lapis, serta dijaga beberapa peleton tentara bersenjata, bahkan


st
pu

termasuk garda Gurkha yang didatangkan langsung dari Nepal.


Untunglah, Indonesia bukan negara yang dimusuhi di Afgha-
nistan. Pengamanan di KBRI sangat longgar, terkadang justru
malah membuat waswas. Saya tidak perlu menjalani pemeriksaan
apa pun. Bukan hanya ”surat sakti” yang saya dapatkan. Per-
juangan menembus tembok Tajikistan pun semakin kuat de-
ngan dukungan pejabat negara. Kasim Adam, petugas konsuler
KBRI yang berpakaian jas rapi-jali, ikut mengantar. Mobil ber-
plat diplomatik yang kami tumpangi meluncur ke wisma ke-
diaman Duta Besar Tajikistan.
Di balik tembok tebal yang dijaga ketat tentara berselempang

15
bedil Kalashnikov itu berlaku hukum Tajikistan. Kompleks ge-
dung ini adalah secuil Tajikistan di tengah Afghanistan. Di da-
lam sana, ada sejumlah orang yang memiliki imunitas, tak ter-
jamah hukum yang berlaku di negeri Afghan. Bendera yang
berkibar gagah di balik keangkuhan tembok dan di hadapan
gedung mewah itu lambang kebanggaan, kekuasaan, dan keluar-
biasaan.
Namun, keluarbiasaan macam apa yang hendak dipancarkan?
Bendera itu berkibar lunglai. Tali ujung pengikat atasnya lepas,
terkait ke tiang hanya dengan satu simpul tali di bawah, bendera
berkibar terbalik. Hijau-putih-merah. Bendera Tajikistan seka-
rang terlihat seperti bendera Iran. om
t.c
Saya teringat ketika pasukan pengibar bendera di sekolah
po

dasar saya dulu melakukan kesalahan fatal, mengibarkan ben-


gs
lo

dera Indonesia terbalik sehingga jadi bendera Polandia. Semua


.b
do

peserta upacara langsung diperintahkan untuk balik badan. Itu


in
a-

adalah hal yang tabu dilihat. Aib. Simbol sakral tampil dalam
ak

rupa yang tidak pantas.


st
pu

Betapa dalamnya makna di balik bendera. Para pahlawan


rela mati demi membela selembar kain. Orang bisa tergugah
kebanggaannya, menangis penuh haru, di hadapan bendera.
Perang pun bisa berkecamuk hanya karena bendera berkibar
atau bendera terbakar. Dari bendera terpancar kebanggaan, se-
jarah masa lalu, peradaban, superioritas bangsa, perjuangan,
impian, dan masa depan. Dahsyat sekali kekuatan kibaran kain
ini!
Bendera terbalik berkibar pasrah diembus angin sepoi-sepoi.
Lamunan saya buyar ketika Pak Kasim muncul lagi dari balik
tembok setelah kasak-kusuk panjang dengan diplomasi ”tingkat

16
tinggi”-nya. ”Kamu mau yang mana?” tanyanya, menawarkan
daftar menu visa Tajikistan. Waktu pengurusan tiga hari, kelas
ekonomi yang ”lambat belum tentu selamat”, 150 dolar. Dua
hari, kelas eksekutif, 200 dolar. Yang ekstrakilat, selesai hari ini
juga, dijamin beres, 250 dolar. Sebagai backpacker dengan dom-
pet tipis, tentu saya memilih yang paling murah. Tapi saya masih
ada pesanan tambahan, ”Visa ini nanti harus berlaku untuk
masuk ke provinsi GBAO di Tajikistan ya, Pak!”
Meski tidak tahu apa itu GBAO, Pak Kasim langsung me-
nyanggupi. Negosiasi kembali berlangsung di balik tembok.
Gara-gara permintaan tambahan itu, saya disuruh merogoh
om
kocek 100 dolar AS lagi. Ini harga termahal untuk secarik visa
t.c
yang pernah saya bayar, setara dengan biaya hidup saya satu
po

bulan di Afghanistan. 250 dolar! Jauh lebih mahal daripada visa


gs
lo

Amerika! Yang saya dapatkan adalah stiker hijau berhologram


.b
do

mahkota bercahaya, ditambah oret-oretan tulisan tangan empat


in

huruf Rusia Г Б А О. Ya... kalau tahu GBAO Permit itu bentuk-


a-
ak

nya hanya seperti ini, seharusnya saya juga bisa coret-coret sen-
st
pu

diri.
”Tak pernah terbayangkan ada kedutaan macam ini, diplo-
matnya cuma pakai celana pendek,” kata Pak Kasim, ”segepok
stiker visa sudah ada di saku celana. Tinggal dikeluarkan, di-
tempel, dicoret-coret, ditandatangani. Yup! Begitulah visa Taji-
kistan dibuat.”
Proses sesederhana itu, sepersonal itu, membutuhkan banyak
biaya. Di beberapa negara tertentu, birokrasi dan korupsi me-
mang sudah nyaris bersinonim. Pemilik tanda tangan istimewa
serupa dengan pemilik pabrik uang. Cukup coret-coret saja,
uang pun mengalir ke kantong pribadi.

17
Dengan visa tertempel di paspor, saya telah menembus satu
garis batas virtual negeri itu. Saya telah dianugerahi hak khusus
untuk menembus garis batas fisik Tajikistan di utara sana. Pe-
tualangan mengungkap misteri negeri-negeri Stan pecahan Uni
Soviet akan segera dimulai.

Sebelum lima belas tahun lalu, tak banyak orang tahu tentang
negara Tajikistan. Negara ini tidak ada di peta dunia. Tajikistan,
sebagaimana juga negara-negara berakhiran ”stan” lainnya,
om
bukanlah daerah istimewa yang harus ditandai dengan garis te-
t.c
bal dan warna berbeda. Mereka adalah bagian dari raksasa Uni
po

Soviet, tergambar dalam keliling garis batas negara besar itu,


gs
lo

diberi corak merah yang sama. Ketika itu, melihat Uni Soviet
.b
do

di atas peta dunia, selalu membuat saya berdecak kagum, ”Gila.


in
a-

Negara apa itu? Gede banget ya.” Luas Uni Soviet sekitar 15 per-
ak

sen luas daratan di bumi, dan itu hanya satu negara.


st
pu

Tiba-tiba, raksasa itu ambruk. Negara adikuasa itu kolaps.


Seonggok wilayah besar satu warna dengan garis tebal mengeli-
linginya, seketika berganti menjadi berbagai negara baru dengan
nama aneh-aneh, dalam beragam bentuk dan ukuran. Bahkan
ada yang begitu kecilnya, sehingga nyaris tak terlihat dan ter-
kubur oleh tetangga-tetangganya, seperti Armenia, Moldova,
Azerbaijan, dan Tajikistan.
Raksasa Uni Soviet memang sudah hancur berkeping-keping,
tetapi tidak secara otomatis terlupakan dunia. Rusia, induk se-
mang dari semua negara bekas Uni Soviet, masih menjadi ne-
gara terluas di muka bumi. Negeri itu membentang lebih dari

18
10 ribu kilometer, terbagi dalam sebelas zona waktu, mulai dari
kepulauan salju di Lingkar Arktik sampai ke hutan tundra
Siberia dan Pegunungan Kaukasus, dari Kamchatka hingga
Kaliningrad, dari pusat peradaban Slavik di Moskow dan Saint
Petersburg hingga ke kebudayaan Muslim Tatar yang misterius.
Jika keempat belas negara bekas Uni Soviet digabungkan jadi
satu, luasnya masih tak cukup untuk menandingi satu Rusia.
Bahkan separuhnya pun tak ada.
Rusia dan satelit-satelitnya tampak seperti tuan besar yang
dikelilingi para pembantunya. Rusia tetaplah induk semang
yang dikagumi, walau terkadang dibenci dan ditakuti. Sementara
om
Tajikistan kecil, dunia lupa siapa dia. Perang sempat berkecamuk
t.c
di negeri ini selama bertahun-tahun, tapi seakan tertelan oleh
po

ingar-bingar Afghanistan—negara tetangga yang sudah memono-


gs
lo

poli arti kata ”perang”. Ingat perang, ingat Afghanistan. Bukan


.b
do

Tajikistan. Sekarang ada banyak sekali negara yang namanya


in
a-

begitu mirip, membuat pusing. Siapa yang peduli bedanya


ak

Kirgizstan dengan Kazakhstan? Atau Tajikistan dengan Turkme-


st
pu

nistan? Uzbekistan dengan Afghanistan atau Pakistan, atau


malah Palestine? Ketika saya berada di Tajikistan, seorang kawan
bertanya lewat e-mail, apakah saya bertemu pejuang Hamas2.

Saya menyeberang ke Tajikistan dari Shir Khan Bandar, kota


perbatasan Afghan yang sepi, berdebu, mencekam dalam ke-

2
Hamas adalah salah satu faksi yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina
dari Israel. Dalam bahasa Inggris, Palestine terdengar seperti Paleh-stan.

19
sunyian, bak kota hantu yang ditiup desingan angin gurun.
Nuansa bulan Ramadan terasa begitu kental di negeri religius
ini. Semua toko dan restoran tutup, matahari menyengat, orang
tak terlihat di jalanan. Saat suara azan Magrib terdengar, ke-
gembiraan nyata segera terlukis di wajah belasan pemuda yang
sudah tidak sabar menyeberang ke Tajikistan keesokan harinya.
Mereka adalah tipikal pemuda Afghanistan, dengan alis te-
bal, kumis tipis dan cambang klimis menempel di dagu, me-
ngenakan jubah panjang kedodoran dan celana kombor mirip
pakaian Aladdin, plus aroma kambing dari kebab yang menusuk.
Dalam benak mereka sekarang hanya ada satu impian—yang ke-
om
betulan sama dengan saya—secepat mungkin meninggalkan
t.c
Afghanistan untuk mereguk dunia berbeda, hidup baru, di
po

negeri seberang. Mereka adalah mahasiswa penerima beasiswa


gs
lo

di Kirgizstan, sudah tidak sabar lagi menggapai negeri asing


.b
do

yang menawarkan pendidikan, modernitas, kemerdekaan, se-


in
a-

kaligus kedamaian.
ak

Hanya berselang semalam, saya sudah hampir tidak mengenali


st
pu

mereka lagi. Ke mana perginya jubah panjang dan celana kom-


bor itu? Ke mana kumis, cambang, jenggot itu? Ke mana kopiah
dan gembolan tas? Sekarang yang di hadapan saya adalah
barisan pemuda berwajah mulus, berambut rapi, berjas dan ber-
dasi ala eksekutif muda, plus sepatu hitam mengilat dengan
ujung yang sedikit mendongak—yang ini masih seperti kepunyaan
Aladdin.
”Kata Ayah, kalau mau ke Tajikistan harus pakai baju seperti
ini. Orang-orang di sana tidak suka melihat pria Afghan yang
berjubah,” salah satu dari mereka menjelaskan. Hanya sungai
yang memisahkan, namun kode berpakaian pun berubah. Jeng-

20
got, jubah, dan kopiah, identik dengan kefanatikan agama di
Afghanistan, sementara orang Tajikistan—kata ayah pemuda
itu—tidak bakal menyukainya, karena yang berlaku di sana ada-
lah modernitas ala Eropa seperti yang diperkenalkan Rusia: jas,
dasi, kemeja, sepatu, dan tas kerja.
Semua lelaki Tajik di sini memakai kemeja dan celana pan-
jang, beberapa memakai topi kecil hitam bertengger miring di
batok kepala dan mengenakan jubah tebal yang menjuntai mi-
rip jas kebesaran seorang raja. Kaum perempuan pun membiar-
kan rambut mereka tergerai. Beberapa dari mereka membungkus
rambut dengan kain kerpus, semacam syal yang dalam bahasa
om
Rusia disebut platok, dan masih memperlihatkan leher indah
t.c
yang putih dan jenjang. Jarang sekali terlihat perempuan me-
po

ngenakan jilbab di sepanjang jalan antara perbatasan hingga ke


gs
lo

ibu kota Dushanbe, padahal kami sedang melintasi provinsi


.b
do

Khatlon yang konservatif dan pernah menjadi pusat pergerakan


in
a-

faksi fundamentalis dalam perang saudara di Tajikistan. Di sini


ak

tak ada burqa. Mode populer di kalangan gadis muda malah


st
pu

celana jins ketat atau daster panjang warna-warni. Seorang ne-


nek tua duduk di belakang gerobak yang ditarik keledai, me-
lambaikan tangan penuh semangat ke arah mobil kami sambil
tersenyum lebar.
Para mahasiswa Afghan masih sibuk memandangi alam luar
yang begitu asing. Sopir taksi menyungging senyum mengejek,
”Di Afghanistan sana, perempuan tidak boleh tertawa, kan?”
Tanpa menyadari nada sarkastik dalam ucapan sang sopir, pe-
muda Afghan bergumam, ”Perempuan di sini memang cantik-
cantik.”
Sopir Tajik dan para mahasiswa Afghan ini tidak mengalami

21
kesulitan berkomunikasi. Bahasa Dari di Afghanistan, bahasa
Tajik, dan bahasa Farsi di Iran semuanya adalah bahasa Persia,
hanya berbeda varian. Namun bahasa yang sama, begitu lewat
garis batas negara, ditulis dalam huruf berbeda. Bahasa Dari
dan Farsi ditulis dengan huruf Arab, sedangkan bahasa Tajik
ditulis dengan huruf Rusia.
Bahasa Tajik juga mengingsut. Bila dahulu bahasa Persia ada-
lah bahasa kaum beradab di Asia Tengah, lingua franca bagi
imperium yang berjalan tiga ribuan tahun, nasibnya kini hanya
menjadi bahasa lokal yang dipakai di republik tak terkenal, di-
tulis dengan huruf Sirilik3, dicabut dari akar sejarah masa lalu-
om
nya. Bahasa Tajik yang terputus dari Iran dan Afghanistan, nya-
t.c
ris tak banyak berubah sejak seabad silam. Orang Tajik sudah
po

kesulitan membaca tulisan Arab, alfabet yang dipandang ber-


gs
lo

bahaya oleh pemimpin Uni Soviet karena berhubungan dengan


.b
do

Islam. Tak heran ketika kini pintu batas itu dibuka, sesama
in
a-

pengguna bahasa Persia menemukan betapa uniknya bahasa


ak

Tajik. Kuno, ketinggalan zaman, tidak berkembang, namun


st
pu

otentik dan merdu. Seorang kawan Iran mengibaratkan bahasa


Tajik itu mirip bahasa Inggris zaman Ratu Victoria. Atau mung-
kin mirip kita yang terkesima dengan orang Malaysia yang ma-
sih ”berbual-bual”4 dengan kosa kata dari zaman Hang Tuah?
Saya mengeja perlahan slogan-slogan yang bertebaran sepan-
jang jalan. Negara komunis umumnya dipenuhi papan baliho
berisi pesan dan kata mutiara dari penguasa. Sebagai salah satu
titisan Uni Soviet, Tajikistan masih meneruskan kebiasaan itu.

3
Alfabet Rusia
4
Istilah ”mengobrol” dalam bahasa Melayu

22
Foto besar presiden Emomali Rahmon menghiasi poster langit
biru dan barisan puncak salju. Karakter Rusia berderet, me-
nyuarakan titah sang presiden: ”Air demi Kehidupan” dan ”Taji-
kistan—Gerbang Emas Jalur Sutra”. Baliho lainnya, lagi-lagi de-
retan pegunungan salju dengan langit biru, bertuliskan ”Selamat
Datang di Tajikistan”.
Bagi mahasiswa Afghan, poster-poster itu hanyalah gambar
tanpa makna. Huruf-huruf Sirilik itu seketika mengasingkan
mereka.
Ya. Selamat datang di Tajikistan. Selamat datang di dunia
baru di seberang garis batas.
om
t.c
po
gs
lo

Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan.


.b
do

Stan. Stan. Stan.... Bagi kita orang Indonesia, Asia Tengah


in
a-

begitu jauh, begitu misterius, terpencil, tersembunyi. Tak banyak


ak

yang kita dengar tentang daerah itu, kecuali mungkin Uzbe-


st
pu

kistan, karena sejumlah gadisnya yang cantik-cantik dinikahi


lelaki kita, bahkan ada pula yang menghiasi dunia malam Ja-
karta.
Jajaran nama asing itu sebenarnya cukup logis. Akhiran stan,
berasal dari bahasa Persia, istan, yang artinya ”tanah”. Jadi Taji-
kistan artinya tanah bangsa Tajik, sama seperti Uzbekistan yang
berarti tanah orang Uzbek. Dalam bahasa Farsi, masih ada
Saudi Arabistan, Hindustan, Pakistan, Afghanistan, Moghulistan
(Mongolia), Anglistan (Inggris), bimaristan (rumah sakit—tanah-
nya penyakit), gulistan (taman—tanahnya bunga). Kalau meniru
Siam yang jadi Thailand, maka negara-negara Asia Tengah ini

23
pun bisa disebut Tajikland, Uzbekland. Kita pun bisa ganti nama
jadi Indonestan, Jawastan, Balistan, Papuastan.
Sedangkan Tajik, Uzbek, Kirgiz, Kazakh, dan Turkmen ada-
lah nama etnis yang mendiami setiap negara. Sungguh ideal. Di
sini, negeri-negeri memang tercipta untuk masing-masing bang-
sa.
Kelahiran negara-negara Stan dibidani komunis Rusia yang
berhasil menduduki Asia Tengah. Dahulu kala, ini adalah tanah
legendaris bernama Turkistan, negerinya bangsa Turki, umat
Muslim dengan peninggalan kota-kota Jalur Sutra yang ber-
kilauan. Untuk memperkuat kedudukannya, setelah melahap
om
Kesultanan Bukhara dan Khiva, Rusia melakukan politik divide
t.c
et impera, memecah Islam dan Turki. Dikirimlah para ahli etno-
po

grafi dari Moskow ke Asia Tengah, untuk menemukan ”per-


gs
lo

bedaan” bangsa-bangsa.
.b
do

Eureka! Lahirlah definisi bangsa-bangsa yang baru. Ada


in
a-

kaum nomad Kirgiz dan Kazakh. Ada pengembara padang pasir


ak

Turkmen. Bangsa menetap yang berbahasa Turki didefinisikan


st
pu

sebagai Uzbek, yang berbicara bahasa Persia menjadi Tajik.


Nama-nama bangsa itu memang sudah ada sebelumnya, tetapi
kini garis batas pembeda bangsa-bangsa resmi dikukuhkan. Se-
dangkan bangsa-bangsa yang sudah ada sebelumnya tinggal di-
hapus. Ya! Dihapus, dilebur, dilupakan. Hilang sudah Kipchak,
Pamiri, Sart, Kurama, Turki.... Semua manusia dimasukkan ke
”kotak-kotak” yang baru ditetapkan. Semuanya bisa diatur! Se-
muanya bisa dibikin! Hanya pertanyaan sensus sederhana: ”Apa
etnismu? Apa bangsamu?” maka tetaplah sudah takdir mereka
dan anak-cucu puluhan generasi berikutnya.
Setelah bangsa-bangsa ditentukan, sekarang dibuat negara-

24
negara bagi mereka. Tahun 1924, orang Uzbek dan Turkmen
masing-masing mendapat Uzbekistan dan Turkmenia. Lalu
muncullah Tajikistan, Kazakhstan, dan Kirgizia. Sebagai negara
bagian di bawah Uni Soviet, semuanya berlabel ”Republik
Sosialis Soviet”, tunduk di bawah kendali Moskow.
Setelah 60 tahun lebih berselang, barulah Tajikistan dapat
menyebut diri dengan bangga sebagai ”Republik Tajikistan”.
Merdeka!

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

25
DI BAWAH BAYANG ARWAH
MASA LALU

APAKAH kemerdekaan itu berarti bebas dari masa lalu? Dapat


memulai hari baru yang gemilang, serta mewujudkan impian
dan cita-cita? Atau tetap dalam kehidupan serupa, tetap menjadi
budak, dan hanya berganti nama? om
t.c
Lima belas tahun sudah Uni Soviet buyar, orang Rusia pergi,
po

namun jasad negeri komunis itu masih tertinggal di Dushanbe,


gs
lo

ibu kota Tajikistan. Rohnya masih bernapas di sini. Dalam ber-


.b
do

bagai detail kehidupan, Rusia masih menampakkan wujudnya.


in
a-

Birokrasi, birokrasi, birokrasi. Selamat datang dan bernostal-


ak

gia dengan zaman komunis, demikian Tajikistan terasa berbisik


st
pu

di telinga saya.
Orang asing yang datang ke Tajikistan, selain dipusingkan
masalah visa dan diplomat korup, masih harus pula berurusan
dengan njelimet-nya peraturan ini itu yang susah dipahami apa-
mengapanya. Dalam waktu kurang dari 3 x 24 jam sejak meng-
injakkan kaki di tanah bangsa Tajik, kita wajib mendaftarkan
diri ke kantor OVIR, alias Kantor Visa dan Registrasi. Polisi
bakal mencatat kita tinggal di mana, dengan siapa, berapa lama,
dan untuk tujuan apa. Tanpa registrasi, siap-siap merogoh kocek
sampai jutaan Rupiah untuk menyogok petugas imigrasi di per-
batasan nanti. Dan registrasi ini—tak perlu kaget—tidak gratis.

26
Untungnya, kita tak perlu repot-repot menyambangi sendiri
kantor OVIR yang terkenal angker itu. Hotel resmi juga bisa
meregistrasikan tamu asing yang menginap. Saya langsung me-
nuju Hotel Vakhsh, bangunan raksasa buruk rupa di tengah
kota yang arsitekturnya mengingatkan pada gaya birokrasi komu-
nisme: besar, membosankan, menakutkan. Padahal, namanya
sungguh indah, Vakhsh adalah nama lain sang Amu Darya.
”Sepuluh dolar!” kata wanita administrator di balik meja
besarnya dengan tegas menyatakan harga kamar. Administrator
punya kuasa penuh untuk menentukan tamu yang boleh
menginap, memeriksa dokumen, dan melaporkan kepada polisi.
om
Perempuan berwajah penuh kerut dan bertudung platok itu
t.c
begitu ketus saat menanggapi saya yang berusaha menawar.
po

Acuh, judes, tak bersahabat, tipikal pelayan masyarakat yang


gs
lo

hidup di negeri sosialis. Pada sistem yang menganut kesamaan


.b
do

bagi semua orang, kualitas pelayanan tidak membedakan nasib—


in
a-

lain dengan persaingan bebas kapitalisme di mana pelayan toko


ak

harus mengumbar senyum semanis mungkin, kalau perlu me-


st
pu

muja dan menyembah.


”Tidak bisa. Ini sudah ketentuan. Harga untuk orang asing
berbeda dengan untuk orang Tajik! Sepuluh dolar sudah yang
paling murah.” Tak ada diskusi. Kalau mau, bayar. Kalau tidak,
minggir. Harga kamar hotel berbeda berdasar kewarganegaraan
tamu. Warga lokal menikmati harga termurah. Setingkat lebih
mahal adalah untuk warga bekas pecahan Soviet. Sedangkan
tamu asing harus membayar paling mahal, berlipat-lipat harga-
nya, karena dianggap sebagai pengunjung kaya raya.
”Registrasi? Tiga puluh Somoni!” administrator menjawab.
Sekali lagi, tegas, ketus, efisien. Somoni, mata uang Tajikistan,

27
cukup besar nilainya. Satu dolar Amerika hanya bernilai 3,45
Somoni. Tiga puluh Somoni, hampir 80.000 rupiah, mahal
sekali.
”Lima belas Somoni?”
”Dua puluh Somoni! Sudah! Tidak bisa ditawar lagi! Regis-
trasi untuk tujuh hari, tidak lebih!” katanya menutup pembi-
caraan. Sungguh berat rasanya mengeluarkan lembaran Somoni
dari dompet saya yang juga tidak tebal. Uang sebesar itu hanya
untuk sobekan kertas buram, distempel dengan cap hotel, di-
coret-coret sendiri, ditempel di halaman paspor.
Hah? Ini yang namanya registrasi? Bukankah semua orang
om
juga bisa bikin cap seperti ini? Bukankah hanya imigrasi dan
t.c
kedutaan yang berwenang mengutak-atik paspor? Sungguh he-
po

bat hotel ini. Tidak ada tanda terima, tidak ada catatan apa-apa,
gs
lo

cap hotel pun menempel di paspor. Entah bagaimana OVIR


.b
do

mendapat informasi tentang registrasi saya. Entah ke kantong


in
a-

siapa uang itu mengalir. Entah apakah cap hotel angker ini bisa
ak

jadi penyelamat saya di kemudian hari. Entahlah. Terlalu banyak


st
pu

pertanyaan yang tak bakal ada jawabnya.


Saya kembali lagi menyusuri koridor gelap dan panjang.
Tap... tap... tap.... Detap kaki saya bergema. Selain itu tak ada
suara, lengang. Hotel ini seperti rumah kuno di film-film seram,
dan saya sekarang adalah salah satu pemeran figurannya.

Dushanbe tampak cerah ceria disirami kehangatan matahari


awal Oktober. Kota ini sungguh indah, jalan lurus dengan ba-
risan rapi gedung-gedung mungil dan pepohonan rindang.

28
Gadis-gadis Rusia yang berwajah aduhai, berpostur tinggi, de-
ngan rambut pirang tergerai, mendetaki perputaran waktu
Dushanbe yang lambat dengan derap hak sepatu mereka yang
menggema di antara kepungan puncak gunung salju yang me-
ngelilingi kota.
Tajikistan berbangga diri karena pegunungannya yang tak
kalah indah dari Swiss. Gambar gunung sampai masuk ke lam-
bang negara. Sekitar 93 persen wilayah Tajikistan adalah pe-
gunungan, banyak yang berketinggian sampai empat ribuan
meter lebih, menyambung terus sampai ke Himalaya. Hanya tu-
juh persen sisa wilayahnya yang bisa digunakan untuk pertanian
dan pemukiman. om
t.c

Dibandingkan dengan Stan-Stan lainnya, Tajikistan adalah


po
gs

yang terkecil sekaligus termiskin. Menurut data resmi pemerin-


lo
.b

tah, penghasilan penduduk rata-rata per bulan cuma 20 dolar,


do
in

tunjangan pensiun cuma 5 dolar, 45.000 Rupiah. Padahal harga


a-

seliter bensin di sini lebih dari 10.000 Rupiah. Setidaknya ada


ak
st

satu angka yang menggembirakan: tingkat pengangguran tahun


pu

ini cuma 2,1 persen!


Walaupun penduduk tidak kaya, tetapi mereka juga tidak
mengemis atau menggelandang. Potret umum kemiskinan tidak
terlihat gamblang di sini. Sejauh mata memandang, tampak
hamparan rumput hijau, air mancur, dan penduduk yang me-
nikmati shashlik5. Walaupun miskin, angka melek huruf di Taji-
kistan hampir seratus persen—Indonesia pun kalah. Zaman Uni
Soviet dulu, pemerintah selalu mendorong pendidikan sampai

5
Hidangan mirip sate

29
ke pedalaman. Bukan hanya bisa baca tulis, tetapi sampai men-
jadi sarjana.
Pelajar di negeri ini, dari SD sampai universitas, mengenakan
pakaian ekslusif bak pebisnis internasional. ”Penampilan pen-
ting sekali di sini,” kata Alyurov Bakhriddin, seorang mahasiswa.
Harga jas yang dikenakannya tak kurang dari seratus dolar. Bu-
daya Rusia melekat di tubuhnya. Kebanggaan Tajik-nya bercam-
pur dengan kebanggaan yang dibawa peradaban Rusia. Bahkan
dalam namanya pun, ada jejak Rusia.
Di awal abad ke-20, para penguasa di Moskow memberlakukan
aturan, nama orang Tajik harus seperti orang Rusia: terdiri atas
om
nama marga, nama sebenarnya, diikuti nama ayah. Ali bin
t.c
Mahmud bin Abdullah tiba-tiba menjadi Abdullayev Ali
po

Mahmudovich. Kedengarannya keren, kan? Inilah nama Tajik


gs
lo

Russian style, gabungan nama Arab atau Persia dengan akhiran


.b
do

Slavik. Saya pun kini bangga menyebut diri sebagai Vibovov


in
a-

Avgustin Chandrovich. Tetapi buat mereka, ini tentu bukan un-


ak

tuk keren-kerenan. Ini adalah kultur asing yang dipaksakan.


st
pu

Dan pemaksaan adalah penjajahan. Setelah merdeka, mereka


ramai-ramai ganti nama. Presiden Rahmonov Emomali Shari-
fovich kini tampil sebagai Emomali Rahmon6.
Alyurov Bakhriddin mengundang saya ke rumahnya. Kontras
dengan pakaian eksekutifnya, tempat kos Bakhriddin cukup me-
ngenaskan. Aroma apak langsung menyergap ketika pintu di-
buka. Di sudut ruangan berjajar barisan matras. Ruang sempit
ini ditinggali empat orang, mereka tidur di atas tanah lembap.

6
Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Emomalii Rahmon. Tambahan satu
huruf i adalah artikel penghubung dalam bahasa Tajik.

30
Bakhriddin juga kerja sambilan, pendapatannya masih jauh dari
cukup. Begitu pulang dari kampus, ia langsung menggantungkan
jas hitam mahalnya, melepas dasi dan kemejanya, kemudian
menjelma menjadi orang biasa. Ia harus bekerja semalam suntuk
hingga esok paginya.
Di balik jas mahal itu ternyata hidup tidak selalu indah.

Jalan Rudaki adalah satu-satunya ruas jalan utama di Dushanbe.


Jalan ini panjang dan teduh, dihiasi taman-taman. Gedung-ge-
om
dung di sekitarnya berbentuk homogen, peninggalan Uni
t.c
Soviet. Kota ini tampak begitu Rusia, Barat, teratur, rapi, kaku,
po

dan seperti bukan bagian dari tanah pegunungan ini, begitu


gs
lo

asing bagi bangsa kuno ini.


.b
do

Setidaknya jejak Tajik ada pada namanya. Rudaki, yang


in
a-

menjadi nama jalan ini, adalah pujangga zaman seribuan tahun


ak

lalu yang memulai penggunaan huruf Arab untuk bahasa Persia.


st
pu

Hingga kini, aksara itu masih dipakai di Iran dan Afghanistan.


Jalan ini juga ditaburi patung-patung pahlawan dengan figur
yang katanya sangat kuat ”ke-Tajik-annya”. Pahatan paling besar
dan megah adalah patung Ismail Samani, atau Ismoil Somoni
dalam ejaan bahasa Tajik7, terletak di tikungan Jalan Rudaki.
Ismail adalah raja besar dinasti Samani, dan dipuja sebagai
”Bapa Pendiri Tajikistan”. Sang raja berdiri gagah mengacungkan

7
Ejaan bahasa Tajik mentransliterasikan ”a panjang” (yang dilambangkan dengan
huruf alif dalam tulisan Arab) sebagai huruf ”o”. Misalnya, Sāmāni jadi Somoni,
Tājikistān menjadi Tojikiston, Irān menjadi Eron, dan Islām menjadi Islom

31
tongkat matahari berwarna emas, laksana pahlawan yang
membawa peradaban ke kegelapan dunia. Tingginya sampai
sebelas meter. Kepalanya bermahkotakan emas8. Dinasti Samani
terbentang dari Iran, Afghanistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
sampai Tajikistan. Dinasti ini juga menjadi pusat peradaban
Islam, menghasilkan kota-kota agung seperti Samarkand,
Bukhara, Balkh, Herat, Mashhad, Nishapur, Merv... nama-nama
yang dibanggakan umat Muslim seluruh dunia. Kala itu, se-
jarawan, ilmuwan, matematikawan, astronom, ahli fiqih, pu-
jangga Muslim menghasilkan mahakarya yang dipuja sepanjang
masa.
om
Tajikistan begitu mencintai dinasti Samani. Masa kejayaan
t.c
Samani diklaim ”kegemilangan peradaban Tajik”. Gunung
po

tertinggi yang dulu bernama Puncak Komunisma atau Puncak


gs
lo

Stalin, kini berganti nama menjadi Puncak Ismail Somoni.


.b
do

Ketika mata uang Rubel Tajik hancur lebur, lahirlah mata uang
in
a-

Somoni. Mahkota Somoni juga muncul dalam bendera dan


ak

lambang negara.
st
pu

Selain Somoni, Tajikistan masih punya sederet ”pahlawan


nasional” yang tidak asing dalam sejarah peradaban Islam,
seperti Ibnu Sino alias Ibnu Sina9, ilmuwan Al Beruni,
matematikawan Al Khorezmi—yang namanya menjadi asal kata
algoritma, hingga pujangga besar seperti Rumi, Omar Khayyam,
dan Ferdowsi. Nama-nama ini begitu besar. Jauh lebih besar
daripada nama Tajikistan sendiri, membuat saya jadi bertanya-

8
Mahkota sangat spesial di negara ini. Dalam bahasa Persia dan Arab, mahkota
disebut taj, yang konon menjadi asal mula nama Tajik.
9
Bapak Kedokteran Dunia, dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna

32
tanya bagaimana negara kecil dan terlupakan di tengah barisan
gunung ini pernah punya sejarah yang begitu agung?
Tunggu dulu! Para ”pahlawan nasional” Tajikistan ternyata
bukan cuma milik Tajikistan sendiri, tetapi juga diklaim negara-
negara lain. Ibu kota Samani dan kuburan Ismail Somoni ada
di Uzbekistan. Rumi, Rudaki, Ferdowsi, Ibnu Sina, dan
seterusnya, adalah sekaligus pahlawan di Iran, Afghanistan, di
Uzbekistan....
Orang Tajik menggebu-gebu mengisahkan betapa Rudaki
yang mereka banggakan terlahir di tanah Tajikistan, lalu mereka
mendirikan patungnya di mana-mana, sementara orang Iran
om
tertawa sinis, menyebut Rudaki adalah pahlawan kesusastraan
t.c
Persia dan Tajikistan tak lebih dari pinggiran kekuasaan Persia
po

waktu itu. Rebutan pahlawan-pahlawan seperti ini membuat


gs
lo

orang semakin buta dengan kebanggaan masing-masing. Semua


.b
do

hal bisa dijadikan alasan pengklaiman, mulai dari tempat


in
a-

kelahiran, kota di mana sang pahlawan itu belajar, di mana


ak

rumahnya, sampai di mana kuburannya. Sejarah diiris-iris,


st
pu

diperebutkan. Negara-negara bertikai demi kebanggaan masa


lalu, rakyat berdebat hingga berbusa-busa demi sejarah yang
mereka imani. Menyusuri sejarah yang terkotak-kotak seperti ini
seperti menguraikan benang kusut, yang akhirnya tak bakal
terurai juga.

Syahdan, Moskow tiba-tiba menitahkan penciptaan negara baru


dengan mengiris Uzbekistan. Wilayah negara itu adalah ribuan
puncak gunung salju di timur dan desa-desa di selatan. Dusun

33
kecil Dushanbe, yang namanya berarti ”Senin” karena terkenal
akan Pasar Senin-nya, dijadikan ibu kota. Namanya diganti
menjadi Stalinabad, ”kota Stalin”, dari nama sang diktator yang
menciptakan negeri-negeri ini. Kalender menunjukkan angka
1929, Tajikistan terlahir ke muka bumi.
Betapa anehnya bentuk negara Tajikistan. Dalam imajinasi
saya, seperti seekor binatang kecil yang merangkak, dengan ke-
pala yang menoleh ke arah raksasa Cina di belakang. Lehernya
sempit, rapuh, seakan nyaris terputus menyokong ”kepala” itu.
Pusat peradaban Tajik di Samarkand dan Bukhara tetap menjadi
bagian Uzbekistan, sedangkan ”kepala” di bagian utara Tajikistan
om
sebenarnya adalah daerah Leninabad yang didiami orang Uzbek
t.c
tetapi dimasukkan ke Tajikistan untuk memenuhi syarat mini-
po

mal jumlah penduduk republik baru. Begitulah ceritanya re-


gs
lo

publik ini terlahir dari perut Uzbekistan, dengan pemimpin


.b
do

Soviet sebagai bidannya.


in
a-

”Tidak! Kamu harus belajar sejarah Tajikistan! Tajikistan su-


ak

dah ada sejak ribuan tahun lalu, ada bukti sejarahnya! Kau lihat
st
pu

patung Ismail Somoni, dialah pendiri Tajikistan! Tajikistan


dulu adalah negara besar. Iran, Afghanistan, Uzbekistan, semua
adalah milik kami. Kamu harus tahu sejarah!” Marsha, gadis
keturunan Korea di taman Dushanbe ini berapi-api.
Saya mengerutkan kening. Bukankah tidak pernah ada nama
Tajikistan pada zaman dinasti Samani? Bukankah Tajikistan itu
justru bikinan Uni Soviet, bagian dari politik pemecahbelahan
Asia Tengah? Kalau begitu, pendiri Tajikistan seharusnya Joseph
Stalin, bukan? Apakah kebanggaan itu berarti keberhasilan me-
ngembalikan nama Stalinabad menjadi Dushanbe, lalu meng-
ingkari fakta sejarah?

34
Gadis itu menampakkan wajah tidak senang, rasa nasionalis-
me dan patriotisme yang membakar semangatnya seperti ter-
injak-injak. Bangsa mana yang mau negaranya disebut sebagai
negara buatan? Seperti halnya orang Indonesia mana yang rela
berterima kasih kepada Belanda yang telah mempersatukan dari
Sabang sampai Merauke? Lupakan sejarah penjajahan itu, masa
lalu yang memalukan itu. Bagi Marsha, Tajikistan sudah ada
sejak zaman Ismail Samani, sebagai negeri besar dan beradab.
Titik.
Memang aneh rasanya jika patung Stalin yang berdiri di Ja-
lan Rudaki, menggantikan Ismail Somoni. Memang aneh mem-
om
bayangkan penduduk negeri ini mengagung-agungkan diktator
t.c
dari Kaukasus itu sebagai pahlawan agung, nenek moyang me-
po

reka, tokoh kebanggaan dalam peradaban panjang mereka. Me-


gs
lo

mang aneh kalau nasionalisme negeri merdeka harus berterima


.b
do

kasih pada penindasan dan penjajahan yang nyatanya memang


in
a-

adalah penyebab kelahiran republik mereka.


ak
st
pu

Apakah ini nasib negara-negara terjajah? Tanah dibagi-bagi,


harkat kemanusiaan direndahkan, hak-hak dirampas, nasib di-
tentukan orang luar, lalu ketika merdeka justru berbangga un-
tuk kotak-kotak dan batas-batas bikinan tangan-tangan asing
itu? Bunuh-bunuhan untuk konsep peninggalan kolonial itu?
Dalam sejarah dunia, pertumpahan darah dan pertikaian se-
lalu terjadi ketika bangsa penjajah mengiris-iris daerah jajahan-
nya. Hari lahirnya Pakistan dan India ditandai dengan migrasi
manusia terbesar dalam sejarah dunia, pembantaian ratusan

35
ribu hingga sejutaan nyawa, dan persengketaan berdarah atas
Kashmir, plus bonus terorisme, perang, ketakutan, kemiskinan,
kebencian. Pakistan dan Afghanistan dibelah garis batas Durand
buatan Inggris yang mengiris tanah bangsa Pashtun. Israel de-
ngan Palestina. Armenia dengan Azerbaijan. Kurdistan. Balu-
chistan. Negara-negara Afrika. Indonesia dan Malaysia, bukan
hanya berkonfrontasi, bersengketa soal perbatasan, tetapi juga
sejarah, adat, lagu daerah, dan ”hak paten” budaya.
Sejarah dan peradaban masa lalu bak permata dalam peti
harta karun. Setiap negara modern yang muncul saling mem-
perebutkan haknya, mengiris-iris harta itu dalam kurungan garis
om
batas. Mana punyamu, mana punyaku? Mana pahlawanku,
t.c
po

mana peradabanmu? Karung demi karung sejarah kemudian di-


gs

suapkan kepada rakyat jelata. Mereka diceramahi, ”Inilah se-


lo
.b

jarah kita. Kebanggaan kita. Masa lalu kita. Pahlawan kita.”


do
in

Semua ini lalu diamini dan diimani bersama, dijejalkan ke


a-
ak

dalam otak semua bayi yang dilahirkan, dibawa sampai akhir


st

hayat. ”Sejarah” itu menjadi memori kolektif, mempersatukan


pu

mereka yang percaya dan bangga olehnya. Karena simbol-simbol


”besar” ini penting untuk eksistensi mereka.

Di bawah patung raksasa Somoni yang berkilauan bak emas


diterpa mentari sore, tiba-tiba pundak saya ditepuk. Di balik
punggung, polisi bertopi bundar dengan diameter superbesar,
memamerkan senyum ramah, bergaya bak kawan lama. Insting
saya mengatakan, senyuman itu membawa bencana.

36
”Hei. Privet10. Kamu tahu sekarang bulan Ramadan? Ini mohi
sharif, bulan suci. Jadi kamu harus berbuat kebaikan.” Sebuah
gigi taring dari emas berkilau, seakan bersaing dengan gemerlap
mahkota Somoni.
Kebaikan? Kebaikan mana lagi yang diharapkannya selain
selembar uang 10 Somoni?
”Uang ini untuk orang miskin,” polisi itu berusaha meyakin-
kan. Orang miskin? Dengan menahan tawa, saya mengusap-
usap perut gendut sang polisi. ”Orang miskin” kok perutnya
besar begini?
Polisi itu tersipu. Saya mengeluarkan trik andalan: berbalik
om
menceritakan kemalangan. Siapa yang lebih memelas? Saya ber-
t.c
cerita tentang bergepok-gepok uang yang dicuri di hotel, sambil
po

memasang wajah muram dan sedih, walaupun gagal meneteskan


gs
lo

air mata.
.b
do

Rupanya ia tersentuh. ”Ya sudah, lima Somoni saja.” Ter-


in
a-

nyata, ”kebaikan” pun ada diskonnya juga. Saya melenggang


ak

pergi.
st
pu

Korupsi jalan terus, tak peduli apa pun bulannya. Bisa-bisa-


nya polisi itu menggunakan bulan suci sebagai dalih kelakuannya.
Sebenarnya sejak memasuki Tajikistan, saya sudah nyaris lupa
bahwa ini bulan Ramadan. Tidak terasa keistimewaan. Walau-
pun katanya bulan suci dan mayoritas penduduknya Muslim,
ternyata restoran dan warung ramai seperti biasa, karena ma-
yoritas penduduk tidak berpuasa. Siang bolong di jalanan
Dushanbe, para lelaki Tajik malah asyik menenggak vodka. Ra-
madan atau bukan, siapa yang peduli di sini?

10
Halo (bahasa Rusia)

37
Jalan bolong-bolong ini adalah peninggalan Rusia. Gunung-
gunung salju Tajikistan nyaris tak tertembus, tetapi para insinyur
Uni Soviet membangun jalan yang merambah hingga ke pelosok
terpencil imperium mereka. Setelah Tajikistan merdeka, ambruk
dalam perang, jalan-jalan gunung ini tetap bolong-bolong.
Ini jalan maut. Inilah ”leher” sempit yang menghubungkan
Dushanbe dengan ”kepala” di utara Tajikistan. Di atas peta,
leher itu terlihat rapuh, seperti hampir patah dan tertekuk.
Pada kenyataannya, memang hanya berupa seutas jalan curam
om
di punggung gunung yang begitu dekat di bibir kematian. Jalan
t.c
po

ini harus didaki lambat-lambat, kemudian menurun cu-


gs

ram, terkadang menikung tajam di tepi jurang. Lebarnya hanya


lo
.b

cukup untuk satu mobil, sehingga kalau berpapasan dengan


do
in

mobil lain, salah satunya bisa... bisa... ah... seram sekali mem-
a-
ak

bayangkannya.
st
pu

Saya dalam perjalanan menuju ke Istaravshan di Tajikistan


utara. Jaraknya hanya 280 kilometer, tetapi harus melewati pun-
cak gunung salju. Ada dua gunung yang harus dilewati, masing-
masing tingginya lebih dari 3.700 meter. Di musim dingin, pun-
cak ini tertutup salju, mustahil dilintasi, jadi dari Dushanbe
kalau mau ke Khojand di utara, orang cuma bisa terbang. Di
musim panas, hanya taksi, truk besar, dan jip yang kuasa lewat
jalan seperti ini. Ongkos angkutan umum membuat saya ter-
sentak. Sekitar 200.000 rupiah. ”Tentu saja mahal. Kan lewat
dua gunung,” kata sopir.
Setelah Uni Soviet bubar, sekarang giliran negara adikuasa

38
lainnya yang turun tangan: Cina. Negara raksasa ini sudah
membuktikan kemampuannya membangun jalan melintasi Pe-
gunungan Karakorum dan Himalaya di Pakistan, meliuk-liuk di
punggung gunung padas raksasa di tepi jurang dan sungai deras.
Cina juga mendanai ratusan proyek infrastruktur di Afghanistan,
Myanmar, Laos, Indonesia, hingga ke negara-negara Afrika. Gu-
nung-gunung raksasa Tajikistan, ah, itu sudah bukan tantangan
baru.
Sepanjang jalan, tampak pekerja Cina di mana-mana. Ada
yang menyetir traktor, mengukur jalan, ada pula pekerja kasar
yang menatah batu-batu besar. Mengapa pekerja kasar pun ha-
rus didatangkan dari luar negeri? om
t.c
”Tajikistan tidak punya cukup teknologi,” penumpang se-
po

belah beralasan. Mungkin kontraktor Cina tidak percaya dengan


gs
lo

hasil kerja orang Tajik? Atau mungkin gaji buruh Cina lebih
.b
do

murah? Penumpang lainnya menjawab, ”Orang Tajik tidak mau


in
a-

bekerja yang berat-berat. Tetapi orang Cina mau mengerjakan


ak

apa pun. Karena itu negaranya maju.”


st
pu

Mobil dan truk besar merambat perlahan saat menyusuri ja-


lanan berkelok mendaki pegunungan menjelang Puncak Anzob.
Tinggi. Kami ”terbang” pada ketinggian lebih dari 3.500 meter,
hampir setinggi puncak Semeru—gunung tertinggi Pulau Jawa.
Awan tebal menyelimuti puncak. Saking tingginya tempat ini,
kami menembus awan.
Waktu kecil saya sering berkhayal, dunia macam apa yang
ada di balik awan sana. Di sini, fantasi itu terjawab. Negeri di
awan tak lebih dari titik-titik air di seluruh penjuru, merayap
perlahan tak beraturan arah. Kelabu. Dingin. Mistis. Di balik
kungkungan awan, ada berlapis-lapis gunung terjal, disambung

39
lagi dengan gunung terjal yang lain. Di bawah sana, tampak
dunia damai—lembah hijau dengan desa kecil beserta rumah-ru-
mah kayunya.
Mobil terengah, menyemburkan gas hitam dalam interval
yang semakin lama semakin pendek. Ketika mobil harus meni-
kung di beberapa kelokan sekaligus, isi perut seperti terlempar
ke kiri, lalu ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi.
”Nihao! Nihao! Hao bu hao?” sapa penduduk desa di kaki gu-
nung setelah Puncak Anzob. Gara-gara berwajah Mongoloid,
saya sering disangka sebagai insinyur dari Tiongkok. Anak-anak
mengelilingi saya seperti tidak pernah melihat orang asing,
om
mengamati lekat-lekat, berusaha berkomunikasi dengan koleksi
t.c
kosa kata changchung... changchung, Dzhakhie Chan, kong fu, hai
po

yaaa, dan Zhet Li. Orang datang tergopoh-gopoh dari kerumunan


gs
lo

pasar, tak ada angin tak ada hujan, langsung mengajukan per-
.b
do

tanyaan kelas tinggi yang membuat saya pening: ”Berapa lebar-


in
a-

nya jalan tol nanti?” atau ”Kapan terowongan selesai dibangun?”


ak

Putih membungkus segala penjuru. Awan gelap menggelayut.


st
pu

Jurang menganga di bawah tampak begitu menyeramkan. Per-


jalanan menembus gunung-gunung Tajikistan membuat saya
merasakan secuil angan-angan tentang nirwana.

Istaravshan, kota kuno di Tajikistan utara, baru saja merayakan


hari jadi ke-2500 tahun. Sulit membayangkan ada kota yang
usianya setua itu, apalagi kalau harus merambah sejarah pem-
bentukannya. Dua ribu lima ratus tahun.... Merinding saya me-
mikirkan jumlah generasi yang sudah berganti.

40
Apa benar usia kota bisa dijadikan tolok ukur tinggi-rendah-
nya peradaban? Semakin tua, semakin maju pula peradaban me-
reka? Paris, yang dibangun sekitar 250 SM. Roma, 750 SM.
Beirut, 1500 SM. Beijing, Yerusalem, Kairo, Athena, Samarkand,
Bukhara, Merv..., dan kini, Istaravshan? Dari perspektif makhluk
fana seperti manusia, usia itu merepresentasikan simbol ke-
abadian yang sulit dicerna oleh nalar terbatas.
Istaravshan bukanlah kota kuno yang senantiasa berjaya. Ia
pernah menjadi pusat peradaban, pernah pula menghilang di-
telan zaman. Ia pernah menjadi kota Yunani zaman Iskandar
Agung, menjadi pusat kebudayaan Islam di bawah dinasti
om
Samani dan Timurid, hancur lebur di bawah keganasan pasukan
t.c
Mongol, kini menjadi kota kecil bergaya Soviet. Istaravshan ada-
po

lah bagian dari ”karung besar” sejarah yang terpanggul di pun-


gs
lo

dak negara kecil Tajikistan.


.b
do

Kebanggaan masa lalu itu tergambar jelas di atas bukit gun-


in
a-

dul. Sebuah bangunan megah berdiri. Dari bawah, tampak se-


ak

buah gerbang cokelat nan gagah. Menara menjulang, pintu rak-


st
pu

sasa, dan..., aduhai, kubah biru laksana batu pirus bersinar


diterpa matahari, memantulkan keluasan langit biru yang me-
nangkupi. Sungguh arsitektur kuno yang kontras dengan ke-
teraturan jalan raya dan blok-blok bangunan ala Soviet di se-
kelilingnya.
Saya berjalan mendaki. Debu beterbangan.
Dua ribu lima ratus tahun! Umur uzur itu terus membayangi.
Terlintas dalam benak saya kisah seribu satu malam, Aladdin,
Alibaba, kota-kota kuno macam Esfahan, Bukhara, dan Samar-
kand. Nama-nama besar itu... pusat-pusat peradaban dunia itu...
sejarah panjang itu....

41
Kubah-kubah terus bersinar. Keheningan menyelimuti. Apa-
kah memang seperti ini rasanya ketika berada di kota sekuno
ini? Sepi... angin berdesing, menyanyikan lagu hampa. Saya de-
ngan semangat terus mendaki.
Napas saya masih terengah-engah ketika nyaris tersungkur di
puncak bukit gundul ini. Kecewa langsung menyambut. Ini bu-
kan bangunan kuno! Bukan peradaban 2500 tahun yang men-
jadi fantasi saya di bawah bukit sana! Ini bangunan baru, tak
lebih dari sepuluh tahun umurnya, dibangun oleh pemerintah
Tajikistan untuk merayakan ulang tahun Istaravshan untuk
mengenang dan menggembar-gemborkan sejarah ribuan tahun
itu. om
t.c
Saya berjalan melintasi pintu oval yang melambung tinggi,
po

penasaran ingin mencari kemegahan kubah pirus itu. Mulut


gs
lo

saya langsung melongo. Yang terpampang di depan mata hanya-


.b
do

lah kosong. Kekosongan debu-debu dan rerumputan yang carut


in
a-

marut. Kosong... kosong... Bangunan megah ini ternyata hanya-


ak

lah selapis dinding, ilusi dua dimensi yang disokong tonggak-


st
pu

tonggak. Sungguh, kemegahan ini seperti setting studio pem-


buatan film saja.
Hancur berkeping-keping segala fantasi tentang masjid kuno,
fantasi tentang sejarah panjang, fantasi tentang Aladdin dan
permadani terbangnya. Bangunan megah ini hanya ilusi, begitu
baru, begitu kaku, begitu artifisial.
Begitu menipu.

42
Nuansa Islam di bagian kota kuno Istaravshan begitu kental.
Kaum perempuan banyak yang mengenakan jilbab atau keru-
dung. Penduduknya campuran Tajik dan Uzbek. Kalau bicara
bahasa Tajik, logat Uzbek-nya kental sekali, sampai susah di-
mengerti. Nuansa Ramadan digemakan masjid-masjid kuno
yang melantunkan azan, berkontras dengan keramaian pedagang
yang menjual vodka di pinggir jalan, persis seperti di Dushanbe.
Islom, namanya berarti ”Islam”, pria empat puluh tahunan
bertubuh tambun dengan topi hitam bersudut empat yang ber-
tengger di kepala, mengundang saya berbuka puasa bersama di
suatu hari. Iftar—berbuka puasa—kata Islom adalah bagian pen-
om
ting dari kultur Tajik. Bukan cuma berbuka untuk diri sendiri,
t.c
iftar akan lebih bernilai jika berbagi makanan dengan musafir.
po

”Ini adalah adat turun-menurun,” kata Islom, ”Tajikistan


gs
lo

memang lebih religius dibanding negara-negara Asia Tengah


.b
do

lainnya, tetapi karena komunisme, di sini orang juga sudah ti-


in
a-

dak terlalu ketat menjalankan ibadah. Muslim yang benar-benar


ak

berpuasa di Ramadan bahkan tak sampai enam puluh persen


st
pu

jumlahnya.”
Azan Magrib membahana. Islom mengerakkan bibirnya dan
mengucap doa sambil mengangkat kedua tangannya di udara
dengan telapak tangan terbuka. ”Bismillah irrahman irrahim,”
gumamnya seraya menyobek roti nan dan membagikannya
kepada lima pria lain yang duduk semeja dengan kami. Makanan
yang tersedia di atas meja hanya salad. Saya langsung memuji
kesederhanaan warga Tajikistan dalam ber-iftar.
”Jangan salah! Menu utamanya belum keluar!”
Secepat kalimat itu meluncur dari bibir Islom, seorang pe-
layan datang membawa senampan besar bola-bola daging yang

43
mengapung di atas saus berminyak. Masing-masingnya berukuran
satu kepalan tangan orang dewasa.
Sayang saya sudah telanjur menghantam hidangan pembuka
sehingga tak ada lagi ruang dalam perut. Masih datang pula
sajian irisan melon Asia Tengah yang termasyhur manisnya.
Begitu digigit, sepertinya cairan gula yang dingin meluber ke
seluruh penjuru mulut. Segarnya....
Sehabis makan, mengikuti kebiasaan di Asia Tengah, kami
mengucap syukur seraya mengusap wajah kami dengan kedua
tangan. ”Amin.”
Islom mengantar saya kembali ke penginapan tempat saya
om
bermalam. Jalan kota Istaravshan tampak gelap gulita, tidak ada
t.c
sumber penerangan sama sekali, membuat bulu kuduk berdiri.
po

”Orang-orang Soviet itu lupa menyediakan lampu jalan buat


gs
lo

Istaravshan,” keluh Islom. Di bawah kekuasaan Soviet, ke-


.b
do

butuhan hidup terpenuhi. Ketika Tajikistan merdeka, hidup


in
a-

berbalik arah. Seketika rasa aman dan perlindungan tercerabut,


ak

semua manusia harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup.


st
pu

Orang mulai kecewa dengan masa depan yang suram. Apa yang
bisa diharapkan? Perang? Kebangkrutan? Pengangguran massal?
Sekarang jangankan membangun fasilitas baru, merawat warisan
Rusia pun susah, sampai harus mengundang insinyur dan tu-
kang batu dari Cina.
Hubungan antara negara penjajah dengan negeri terjajah
adalah hubungan vertikal. Tuan di atas, hamba di bawah, yang
satu superior, lainnya inferior. Kalimat Islom yang menyalahkan
penjajah ”lupa” meninggalkan sesuatu di negara jajahannya,
membuat saya teringat teman Indonesia yang berkata, ”Ah, se-
andainya kita dijajah Inggris, bukan Belanda, pasti kita semaju

44
Malaysia atau Singapura.” Ah, mental bangsa terjajah yang di-
rundung inferiority complex, tak lagi percaya diri setelah kehinaan
begitu lama, lalu mencari kebanggaan dalam sejarah masa lalu
dan simbol-simbol abstrak belaka.
Afghanistan adalah negara yang babak belur dan hancur
lebur karena perang berkepanjangan, tetapi tidak pernah rela
dijajah dan selalu melawan dengan gigih. Di sana, ada sebuah
pepatah bijak, ”Jangan menyumpahi gelap, tapi segera nyalakan
lilin.”
Bagi Islom, masa depan Istaravshan sama gelapnya dengan
jalan yang kami lalui bersama menuju penginapan. Layaknya
om
Tajikistan yang menoleh ke masa lalu ribuan tahun bersama
t.c
Dinasti Samani, Islom pun mengenang masa pendudukan Uni
po

Soviet dengan gairah nostalgia.


gs
lo

”Ah, mengapa orang-orang Rusia itu dulu tidak membangun


.b
do

lampu jalanan di sini?” Islom mengulang keluhannya, menyum-


in
a-

pahi kegelapan yang pekat. Ketika masa depan tidak lagi men-
ak

janjikan gairah, hanya masa lalu yang membuat orang bahagia.


st
pu

45
SEKAT KEHIDUPAN

GARIS BATAS adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita


adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas porta-
bel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita
membuka hati, dengan siapa menutup diri.
Di hadapan orang yang sama sekali asing, kita mengalihkan
om
t.c
pandangan. Ketika berada di keramaian, kita membaca buku,
po

atau menerawangkan pandangan kosong. Ketika seorang tak di-


gs
lo

kenal menyentuh, kita merasa tak nyaman. Namun ketika yang


.b
do

membelai adalah kekasih, kita menerima dengan senang hati.


in

Di antara kawan-kawan dan handai tolan, kita membagi-bagi


a-
ak

dalam spektrum kategori: akrab sekali, hubungan biasa, kawan


st
pu

jauh, hingga orang luar. Melalui garis batas, kita meraba dunia
luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.
Negeri-negeri pun demikian. Beberapa negara rapat-rapat
mengurung dirinya, dalam garis batas tak tertembus. Beberapa
negara lain membuka lebar-lebar pintunya. Penduduk negeri-
negeri seperti Afghanistan, Irak, dan Korea Utara semakin ter-
kucil, terkurung dalam batas negeri, karena negeri-negeri lain
merasa tak nyaman dan tak aman dengan mereka.
Afghanistan hanya di pelupuk mata, di seberang sungai
Amu Darya yang kini tampak jauh berkurang kegarangannya
seiring dengan masuknya hawa dingin bulan Oktober. Namun,

46
kenangan seberang sungai itu sungguh bagaikan masa lalu da-
lam dimensi zaman yang terpisahkan kuantum berbeda.
Jip Rusia kami terseok di atas jalan beraspal Tajikistan yang
bertabur lubang. Sejajar dengan jalan ini di seberang sungai,
terlihat jalan setapak sempit meliuk mengitari punggung pe-
gunungan cadas, sementara di bawahnya air sungai bergolak
hebat. Tak perlu ditanyakan lagi betapa bahayanya jalan yang
seolah hanya setipis benang itu. Sesekali tampak beberapa pria
berserban melintas. Di belakang mereka, keledai mengangkut
sesosok tubuh terbungkus kain putih: perempuan. Makhluk tak
kasatmata dalam burqa itu terayun-ayun pasrah di punggung
keledai. om
t.c
Itulah jalan yang dulu pernah saya lintasi sambil mengumpati
po

jip yang lalu lalang di jalanan beraspal Tajikistan, sementara


gs
lo

saya harus mendorong-dorong keledai bodoh mendaki bukit ter-


.b
do

jal Afghanistan. Dalam umpatan, terbungkus cemburu dan iri,


in
a-

mengapa dunia seberang sungai begitu modern, sementara


ak

kami—orang-orang Afghan dan saya—tersekap dalam kehidupan


st
pu

abad pertengahan.
Kini saya sudah berada di negeri impian seberang sungai itu,
di negeri imajinasi orang-orang Afghan. Terbayang, di tanah
paralel di seberang sungai, seorang jurnalis asing malang me-
nunggang keledai memandang iri ke arah jip yang saya tumpangi
di sini. Terbayang, rasa ingin tahu dan mimpi-mimpi muluk
warga seberang. Terbayang, derita negeri perang yang mendamba
kedamaian Tajikistan. Tak terasa, air mata saya merembes.
Kami—orang-orang Tajik dan saya—duduk berdesakan dalam
jip kuno Rusia sempit, tak pandang jenis kelamin. Tawa ceria
para gadis membahana sepanjang jalan. Di satu sisi sungai,

47
tiang listrik menjulang tinggi menggapai langit biru, berbaris
layaknya tentara penjaga. Di sisi lain, hanya ada hamparan
debu, gunung terjal, dan barisan kafilah keledai. Jarak yang di-
tempuh dalam dua, tiga jam di Tajikistan adalah perjalanan dua
hingga tiga hari dengan keledai di seberang sungai sana. Takdir
ini dipisahkan hanya oleh sungai selebar 20 meter! Betapa
dahsyatnya.
Afghanistan tampak suram, sementara penduduknya me-
natap penuh angan ke arah negeri tetangga yang hanya selebar
sungai jauhnya. Terlihat nenek tua menjemur kotoran sapi di
atas atap rumah batu. Pakaiannya berwarna ungu manyala, rok
om
panjang selutut, dan celana kombor hingga ke mata kaki.
t.c
Kepalanya ditutup kerudung putih. Senyumnya terkembang, ia
po

melambai-lambaikan tangan penuh semangat ke arah mobil


gs
lo

kami, ”tetangga seberang sungai” yang selalu terlihat tetapi tak


.b
do

pernah ia kenal.
in
a-

Bayangan akan ”tetangga” ini mengisi kehidupannya setiap


ak

hari. Juga mimpi tentang mobil, jalan raya, rumah bagus, listrik,
st
pu

televisi, radio.... Mimpi yang sama membuat saya datang ke sini.

GBAO (baca: ge-bao), singkatan dari bahasa Rusia yang berarti


Provinsi Otonomi Pegunungan Badakhshan, di ujung timur
Tajikistan, mungkin adalah salah satu tempat paling terpencil
di dunia. Penduduknya jarang. Provinsi ini justru padat oleh
gunung. Pegunungan di Badakhshan adalah bagian dari rang-
kaian pegunungan Pamir, dengan banyak puncaknya yang se-
akan menggapai angkasa. Berada di sini, manusia adalah

48
makhluk tak berdaya, sekecil semut di hadapan raksasa men-
julang. Tak salah jika penduduk mengklaim kampung halaman
mereka sebagai bom-i-dunyo, Atap Dunia.
Ketika Uni Soviet runtuh dan Tajikistan merdeka, perang
saudara langsung meletus. GBAO menuntut untuk memisahkan
diri dari Dushanbe. Pemerintah Tajikistan kemudian mengisolasi
semua rute akses keluar-masuk provinsi ini. Bagaimana provinsi
gunung ini mau merdeka? Mereka terkurung daratan. Lebih pa-
rah lagi, mereka terkurung gunung. Dan kini, mereka terkurung
oleh pemerintah negaranya sendiri. Penduduk jatuh miskin, ke-
laparan, bahkan banyak yang nekat menyeberang sungai untuk
om
mengungsi ke Afghanistan. Padahal, Afghanistan juga diamuk
t.c
perang dan penduduknya pun mengungsi ke negara lain. Tapi
po

bagi penduduk GBAO waktu itu, Afghanistan justru menjadi


gs
lo

tempat pelarian dari keterpurukan.


.b
do

Gunung-gunung tinggi itu bak tembok raksasa yang tangguh.


in
a-

Dari Dushanbe ke Khorog—ibu kota GBAO—tak lebih dari 560


ak

kilometer jauhnya, tetapi harus ditempuh dengan perjalanan


st
pu

menyiksa lahir-batin sehari semalam dengan jip Rusia yang ta-


han banting. Mobil produksi negara lain mungkin malah bisa
berantakan di jalan.
Saya menumpang jip milik keluarga yang terdiri atas ibu tua
dan tiga anaknya. Mereka tidak mau berangkat sebelum mobil-
nya terisi penuh. Dua penumpang tambahan dari terminal—saya
salah satunya—diangkut untuk meringankan ongkos bensin
yang semakin mahal. Bakhtiyor, anak si ibu tua itu, duduk di
belakang kemudi. Dia berkendara dengan riang, menembus
lika-liku pegunungan yang bukan diperuntukkan bagi sopir
amatir. Kami berhenti di pasar, membeli selusin gorengan,

49
enam botol minuman soda, dan seplastik permen. Padahal ini
bulan suci.
”Ibu mertuaku puasa, istriku puasa, anakku juga puasa—jadi
aku tidak usah puasa,” kata Bakhtiyor. ”Kalau aku ikut puasa,
siapa yang kerja mencari uang? Tuhan pasti bisa mengerti ke-
adaan kami.” Puasa sembilan hari saja di bulan Ramadan sudah
cukup, tambahnya. Tiga hari di awal bulan, tiga di tengah, tiga
di akhir. Itu pun masih bisa dihitung patungan bersama anggota
keluarga yang lain. Kalau ibu dan istrinya sudah puasa masing-
masing tiga hari, maka bagiannya cukup tiga hari saja. Bakhtiyor
juga minum vodka. Kalau tidak minum, malah tak bisa konsen-
om
trasi menyetir, katanya. Semoga kami semua bernasib baik di
t.c
po

jalanan berbahaya ini. Amin.


gs

Seperti kebanyakan orang Pamir di GBAO, Bakhtiyor adalah


lo
.b

pemeluk Ismaili. Di Tajikistan, Ismaili adalah minoritas, umum-


do
in

nya dianut masyarakat di pegunungan belahan timur negeri.


a-
ak

Mereka terkenal lebih liberal daripada berbagai golongan umat


st

Muslim lainnya. Sedangkan di Dushanbe dan daerah barat


pu

Tajikistan mayoritas penduduk adalah pemeluk Sunni, namun


mereka pun kebanyakan tidak berpuasa di bulan Ramadan.
Tetapi sebenarnya tak peduli apa pun sektenya, mereka se-
mua di negeri ini menghadapi nasib yang sama. Dalam satu jam
perjalanan dari ibu kota Tajikistan, mobil kami sudah lima kali
dihentikan polisi. Bakhtiyor siap dengan tumpukan dokumennya.
Si ibu tua juga gesit menyelipkan lembaran duit Somoni. Tak
masalah dokumen lengkap atau tidak, harus ada uang yang me-
nemani. Polisi pertama mengutip 3 Somoni, yang kedua 5
Somoni, yang ketiga mengantongi 10 Somoni. Birokrasi peme-

50
rintahan yang seret butuh minyak pelumas untuk melancarkan
perputaran rodanya—uang, uang, uang.

Tajikistan adalah negeri elok. Dari utara sampai ke selatan, dari


timur sampai barat, puncak gunung bersalju sambung-menyam-
bung. Pemandangan indah lainnya adalah para perempuan
Tajik. Garis lekuk wajah mereka kentara begitu jelas dan tajam.
Samsiah, gadis penumpang berhidung mancung dan berkulit
putih bersih, menyandarkan kepalanya di pundak saya. Orang
om
Tajik rata-rata berwajah rupawan. Konon, mereka adalah ke-
t.c

turunan pasukan Iskandar Agung dari Makedonia. Kulit mereka


po
gs

putih dan berkarakter wajah mirip orang Eropa, banyak juga


lo
.b

yang bermata hijau atau biru. Mata Samsiah terpejam, menik-


do
in

mati alunan musik sambil berdendang pelan. Terkadang kami


a-

pun bernyanyi bersama. Samsiah fasih mengikuti lagu pop


ak
st

Tajik, Afghan, Iran, Rusia, sampai India.


pu

Di Afghanistan, jangankan berdendang bersama, duduk ber-


sebelahan dan berbincang dengan lawan jenis pun tak boleh.
Orang Afghan punya lelucon sinis tentang Tajikistan. ”Tiga ba-
rang paling murah di Tajikistan adalah: mewa, piwa, dan bewa,”
tiga kata bersajak yang artinya buah, bir, dan janda. Buah-
buahan pegunungan Tajikistan, terutama melon dan aprikot,
sangat tersohor. Bir, atau alkohol—kenikmatan vodka Rusia, mi-
numan terlarang bagi umat Muslim taat di Afghanistan. ”Janda”
adalah perempuan cantik Tajik yang bebas bergaul dan—menurut
standar orang Afghan—selalu siap sedia untuk dibawa ke ranjang

51
hanya dengan bayaran beberapa lembar Somoni, lalu ditinggal
begitu saja dan otomatis menjadi ”janda”.
Jip kami mogok berkali-kali. Jalan tak mudah, meliuk-liuk
naik-turun gunung. Tak jarang kami menembus awan dan ka-
but. Barang bagasi luar biasa banyaknya, mulai dari televisi sam-
pai lemari, diikat di atas mobil. Brek... berkali-kali barang bo-
yongan mirip bedol desa ini ambrol dari ikatannya, berceceran
di jalan. Di bawah rintik hujan, si ibu tua dan Samsiah dengan
sigap memunguti barang, mengikatkannya kembali di kap
mobil, bahkan turut serta mendorong dengan garang ketika jip
mogok.
om
Jalan besar yang menghubungkan Dushanbe dan Khorog,
t.c
po

kemudian terus memanjang sampai ke Kirgizstan, dinamakan


gs

M-41. Nama kerennya ”Pamir Highway”. Salju mulai turun,


lo
.b

butiran putih seperti parutan es jatuh dari langit kelam. Untung


do
in

mobil Bakhtiyor tidak mogok lagi. Apa jadinya kalau harus


a-
ak

mendorong di tengah badai? Kami melintas Gunung Kalaikum,


st

pintu masuk GBAO, provinsi paling sensitif. Semua pendatang


pu

harus menunjukkan paspor. Di negara ini, semua orang punya


paspor karena juga berfungsi sebagai KTP. Untuk ke GBAO,
paspor Tajikistan masih harus dibubuhi cap khusus dari kantor
polisi atau dinas intelijen. Bagi orang asing, permit itu wajib.
Saya sudah punya empat huruf sakti ”GBAO” di visa.
Tentara penjaga perbatasan masih remaja. Ibu Bakhtiyor ber-
pesan agar saya menyelipkan selembar Somoni ke paspor. Tapi
buat apa? Bukankah saya berasal dari negara yang jawara ko-
rupsi? Mengapa saya masih harus melestarikan ”kebudayaan”
itu di sini juga?

52
”Kamu suka pekerjaanmu?” saya bertanya kepada tentara itu,
mengalihkan perhatian.
”Suka?” tentara itu menatap saya dengan pandangan aneh.
”Apanya yang suka? Di sini hanya ada gunung—coba, kamu li-
hat... gunung semua! Di sini gunung, di sana gunung! Pisdets11!
Aku rindu istriku. Di sini tidak ada apa-apa! Huh!” Ia me-
ludah.
Saking asyiknya mengeluh, ia lupa memungut sogokan. Mo-
bil kami melenggang ke arah gunung-gunung gelap.

om
t.c
Matahari pagi mengusap wajah, saya membuka mata. Seluruh
po

badan pegal rasanya ketika mobil merapat di Khorog. Mendadak


gs
lo

tubuh ini terasa ciut, seperti ikan mungil di tengah luasnya sa-
.b
do

mudra. Di sekeliling, puncak-puncak gunung berdiri tegak


in
a-

mengingatkan ada barisan pagar raksasa yang mengunci manusia


ak

dalam belahan dunia yang terlupakan.


st
pu

Khorog tampak sunyi, dipayungi pegunungan raksasa. Udara


sejuk memanjakan pikiran, merasuki tubuh. Rumah sederhana
tersebar tak beraturan, kontras dengan pegunungan yang ber-
baris rapi mengurung mereka. Pekarangan rumah-rumah terjalin
bak sulaman, dikelilingi tembok tetapi ada pintu yang meng-
hubungkan satu sama lain. Rasanya seperti permainan rumah
sesat, atau game Pac-man, kita bisa berkeliling kampung dari
rumah ke rumah, dari pekarangan ke pekarangan. Mereka tak
perlu mengurung ”zona aman” mereka dalam tembok tak ter-

11
Umpatan bahasa Rusia

53
tembus. Menakjubkan, karena di banyak tempat dunia, memer-
cayai orang lain sudah menjadi hal langka. Mungkin satu-satu-
nya keributan yang merusak keheningan di sini adalah anjing
besar yang berkeliaran mengejar sapi malang.
Namun, potret kehidupan masyarakat Khorog yang tenang
dan damai adalah ironi. Empat tahun lamanya mereka dikurung
di tengah pegunungan selama perang saudara, sementara hasil
ladang pun tak banyak. Tanpa pergerakan ekonomi, uang pun
kehilangan arti. Rubel Tajik terus anjlok, bahkan sempat meng-
hilang di pasaran. Masyarakat melakukan praktik dagang zaman
purba: barter.
om
Siapa yang menyelamatkan mereka dari keterpurukan yang
t.c
mengenaskan? Penduduk hampir selalu menjawab dengan satu
po

nama: Aga Khan, sang pemimpin sekte Ismaili. Beliau dipercaya


gs
lo

sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad dan memegang


.b
do

tampuk imamat, namun kini menetap di Eropa. Organisasi ke-


in
a-

manusiaan milik Aga Khan banyak melakukan pembangunan


ak

terutama di daerah terpencil di Tajikistan, Afghanistan, dan


st
pu

Pakistan.
”Syukur kepada Allah, syukur kepada Aga Khan, atas segala
kemurahan mereka,” ujar Mamadrayonova Khurseda, seorang
nenek 60 tahun, mantan jurnalis. Rambutnya memutih. Kulit-
nya penuh bercak. Tetapi senyumnya selalu ceria. Ia baru men-
dapatkan pekerjaan baru: menerima turis asing yang bertandang
ke pegunungan ini. Organisasi kemanusiaan milik Aga Khan
telah memberinya pelatihan dan merestui rumahnya untuk di-
inapi para backpacker, traveler, biker, explorer, dan segala jenis ma-
nusia asing lainnya. Dapur Khurseda pun kini sibuk mengepul.
Hidupnya seperti bersinar kembali.

54
Putra sulungnya, Timur, berusia 35 tahun, baru-baru ini me-
nikah. Seperti sebagian besar penduduk Khorog lainnya, Timur
dan istrinya sama-sama penganggur. Adik Timur dulu bekerja
sebagai pilot di Dushanbe, tetapi gajinya pun tak lebih dari 40
Somoni, 15 dolar sebulan. Pilot negara mana yang mau dibayar
semurah itu? Sekarang ia menjadi tenaga kasar di Moskow.
Betapa Khurseda merindukan Uni Soviet, ketika semua ber-
jalan normal dan teratur. Semua orang tak perlu pusing me-
mikirkan uang, semua orang bekerja, semua orang terjamin.
Ah... masa lalu yang berbunga-bunga....
Semua tinggal sejarah begitu Soviet bubar. Tabloid tempatnya
om
bekerja hilang dari peredaran karena bangkrut. Membeli tabloid
t.c
tentunya jadi prioritas terakhir masyarakat yang masih bergulat
po

melawan lapar. Hidup berangsur suram. Khurseda menjadi


gs
lo

penganggur, dan mencoba menopang keluarga dari kebun sayur-


.b
do

nya yang gersang. ”Untung ada Aga Khan, syukur kepadanya,”


in
a-

senantiasa meluncur dari bibir Khurseda.


ak

Bagaimana rasanya menganggur? Kerut di wajah Timur men-


st
pu

jawabnya. Ia tampak lebih tua dari usianya, mungkin karena


pikirannya didera rasa jemu yang menghantui senantiasa. Orang
yang bosan merangkak dalam dimensi waktu berbeda. Satu hari
rasanya lebih panjang daripada dua puluh empat jam. Hari ini
dan kemarin sama saja. Begitu juga hari esok dan tahun depan...
semua datar, tak berubah. ”Hari seakan tak ada habisnya,” kata
Khurseda, ”kita jadi cepat tua kalau tidak punya pekerjaan.”

55
Kucium semerbak aroma Sungai Mulyan
Ia mengingatkan akan cintaku yang manis
Kerikilnya dan kerasnya
Terasa laksana sutra yang lembut di bawah kakiku

Demikian sebait puisi terkenal sang pujangga kuno Rudaki,


”Harumnya Sungai Mulyan”, yang memuja kebesaran sang Amu
Darya. Sungai inilah yang sudah mewarnai kisah Asia Tengah
sejak ribuan tahun lalu, ketika bangsa Yunani menamai daerah
ini sebagai Transoxiana—daerah lintas Sungai Oxus, dan bangsa
Arab Mawarannahr—tanah seberang sungai.
om
Sejak dahulu, sungai legendaris ini adalah pemisah negeri.
t.c
Dalam epos indah bangsa Persia, Shahnama atau Legenda Raja-
po

Raja, sungai ini dikisahkan sebagai pembatas dua negeri yang


gs
lo

bermusuhan, Iran dan Turan. Rustam, sang pahlawan Iran, ada-


.b
do

lah jagoan yang tak terkalahkan, dan ditakuti oleh seluruh


in
a-

bumi. Tanpa sepengetahuannya, anak lelakinya terlahir di negeri


ak

Turan, dibesarkan oleh negeri musuh, dan menjadi pejuang


st
pu

yang tangguh. Sohrab, anaknya itu, walaupun berdarah Iran te-


tapi kini adalah pejuang yang membela Turan—negeri orang
Turki di seberang sungai Amu Darya. Hingga suatu hari, Rustam
dan Sohrab bertempur di bantaran sungai agung yang menjadi
garis batas itu. Ayah dan anak yang tak saling mengenal kini
bertarung, membawa panji-panji negeri berbeda. Sohrab ingin
mencari ayahnya, sementara Rustam gigih membela kehormatan
negerinya. Sohrab mati di ujung pedang Rustam, ayahnya sen-
diri, yang kemudian bercucuran air mata menyesali takdir garis
batas yang tanpa iba memisahkan mereka.
Kini, setelah ribuan tahun, sungai ini masih menjadi penye-

56
kat negeri-negeri. Orang bilang, sungai dan gunung adalah garis
batas yang paling natural, paling masuk akal. Peta Asia Tengah
sekilas tampak lebih ”alami” dibandingkan Amerika Utara dan
Timur Tengah yang berbataskan garis-garis lurus dan mulus. Te-
tapi di tapal batas ini, semuanya justru tampak begitu tidak
natural di hadapan saya. Saya memandangi Afghanistan di se-
berang, hanya sejengkal jauhnya, namun terselubung dalam
tirai misteri.
”Uni Soviet memperingatkan kami untuk selalu menjaga ja-
rak dengan Afghanistan,” kata Mohammad, penumpang jip.
”Orang Afghanistan berbahaya, begitu katanya. Jangankan pergi
om
ke sana, bahkan menatap, melambai, atau menunjuk ke arah
t.c
barisan gunung di seberang sungai pun dilarang.” Dengan in-
po

timidasi, teror, propaganda, intelijen, rezim sosialis, dan ke-


gs
lo

diktatoran, Uni Soviet mengatur seluruh pelosok negeri. Di


.b
do

perbatasan yang sangat longgar macam Amu Darya ini, orang


in
a-

dibuat takut akan segala sesuatu tentang ”seberang sungai”.


ak

Agen rahasia disebar dan penduduk dilatih menjadi mata-mata.


st
pu

Orang Afghan yang menyelundup pasti ketahuan. Sungai ini


menjadi jurang pemisah kedua tepiannya, selamanya.
Sharif, dokter dari Ishkashim, pernah bekerja di Afghanistan,
di kampung seberang sungai yang juga sama-sama bernama
Ishkashim. ”Kehidupan di Tajikistan jauh lebih baik,” ujarnya,
”Penduduk Afghanistan sangat konservatif. Pasien perempuan
hanya boleh dirawat oleh petugas medis perempuan. Banyak
pasien yang tidak terlayani karena tidak cukup dokter perem-
puan. Saya yang menawarkan bantuan, malah dilarang. Kadang
saya mesti memeriksa pasien dengan mengintip dari balik tirai
yang dilubangi.”

57
Afghanistan, di mata Sharif, tidak ada istimewanya, kecuali
di sana uang berlimpah ruah. Gaji sehari di Afghanistan hampir
setara dengan gaji sebulan di sini. Tajikistan mungkin memang
idaman orang Afghanistan yang mendamba kemajuan peradaban
dan kebebasan. Tetapi, di sini, ternyata kenyataan tak seindah
impian dari seberang sungai.
Pasar Ishkashim-nya Tajikistan sungguh mengenaskan. Tak
lebih dari dua puluh perempuan menggelar tumpukan baju di
pinggiran. ”Toko-toko” itu menawarkan barang yang lebih mirip
koleksi daripada dagangan. Kaus, celana jins biru, salep kulit,
odol dari Rusia, limun soda dari Uzbekistan, vodka dari Ka-
om
zakhstan, sabun dari Cina, baterai, paku payung, campur aduk
t.c
digelar tak beraturan di atas papan kayu. Jumlah stok barang
po

hanya satu, dua, atau paling banyak selusin. Seorang ibu cuma
gs
lo

menjual tiga bungkus biskuit, beberapa plastik permen, lima


.b
do

buku tulis, tak sampai sepuluh batang pensil. Sepanjang hari ia


in
a-

menunggu pembeli di bawah siraman matahari—tentu saja tak


ak

ada yang datang. Jangan bayangkan nikmatnya menjelajahi


st
pu

pilihan baju di mal. Di sini, tak ada lagi yang bisa dipilih.
Pendapatan sangat rendah, sementara harga barang begitu
mahal. Semua barang didatangkan dari negara tetangga, ter-
masuk dari Afghanistan yang sedang perang itu. Produksi dalam
negeri cuma shashlik yang asapnya semerbak serta gorengan sam-
busa yang sudah dingin dan melempem.

Dari sekadar sesama penumpang di jip, kini saya punya saudara


baru. Namanya Muhammad Bodurbekov, lebih sering dipanggil

58
Alisher. Ia mengundang saya ke rumahnya di Ishkashim. ”Meng-
inaplah,” kata pria kurus tinggi itu, ”berapa hari pun engkau
mau, rumah kami selalu terbuka bagimu.”
Saya terkesima oleh keindahan ruangan ini. Lantainya ter-
buat dari kayu, dipelitur mengilap. Pilar-pilar berjajar. Warna
kayu yang cokelat terang mendominasi, membuatnya semakin
benderang oleh pantulan sinar matahari. Dindingnya dari tem-
bok yang dicat terang, diselimuti permadani besar. Terpajang
pula foto keluarga dan gambar Aga Khan yang dimuliakan—ben-
da wajib di rumah pengikut sekte Ismaili. Saya teringat keluarga
Ismaili di Afghanistan, tepat di seberang sungai sana, penuh
om
takzim menciumi foto Aga Khan, seperti mencintai benda ke-
t.c
po

ramat. Aga Khan adalah pemimpin spiritual yang begitu dipuja,


gs

baik di sisi sungai sini maupun seberang sungai sana.


lo
.b

Listrik membuat rumah tradisional Tajikistan tampak jauh


do
in

lebih modern dibanding Afghanistan. Pemerintah Soviet mem-


a-
ak

bangun PLTA berdayakan derasnya aliran Sungai Amu. Sungai


st

ini adalah penerang, penggerak kehidupan. Sedangkan bagi


pu

orang-orang Afghan di seberang sungai sana yang melewatkan


malam dalam keremangan pelita minyak, sungai ini tak lebih
dari garis pemisah yang mengalir ganas.
Alisher menuang sedikit teh hijau dari poci ke dalam mang-
kuk. Mangkuk digoyang-goyangkan, teh hijau dituang kembali
ke dalam poci. Tiga kali. Ini adalah pembersihan mangkuk,
ritual wajib sebelum minum teh. ”Kaum Ismaili di Tajik me-
mang lebih modern dibandingkan saudara-saudara kami di
Afghanistan dan Pakistan,” kata Alisher, ”kuncinya adalah pen-
didikan. Tajikistan, walaupun miskin, tetapi tak ada yang buta

59
huruf. Orang yang berpendidikan akan berpikir rasional, dan
selalu berusaha maju.”
Itulah jasa Uni Soviet yang membangun jaringan pendidikan
di seluruh negeri. Rusia menyekolahkan orang-orang di Asia
Tengah, mendidik mereka untuk menjadi orang Rusia, ber-
peradaban Rusia, berpola pikir Rusia. Tetapi, kata Alisher, dulu
orang-orang di tepian sungai sempat meratapi kenyataan bahwa
mereka harus berada di bawah Rusia yang keras, sedangkan
saudara-saudara seberang sungai hidup di bawah pengaruh
Inggris. ”Zaman itu mereka mengira betapa beruntungnya se-
berang sungai sana. Berada di bawah Inggris tentunya akan le-
bih baik daripada kami yang dijajah Rusia.”12 om
t.c
”Seperti apa mereka, bagaimana hidup mereka, kami tak
po

pernah tahu.” Alisher menyeruput tehnya. ”Kami hanya bisa


gs
lo

melihat dari kejauhan. Tetapi setelah Rusia datang dan mem-


.b
do

bawa banyak perubahan, kami sadar bahwa kami bergerak


in
a-

maju.”
ak

Pukul sembilan malam, Alisher mengajak saya keluar ke pe-


st
pu

karangan. Dari jauh, di atas bukit kecil di seberang sungai, tam-


pak berkelap-kelip seperti bintang yang bertaburan di langit,
adalah kota Afghanistan dengan nama sama: Ishkashim. ”Lihat,
mereka sudah kaya sekarang,” kata Alisher, ”mereka sudah pu-
nya listrik.”

12
Afghanistan pada abad ke-20 masih berupa kerajaan, adalah bidak utama dalam
pertarungan dua imperialis raksasa—Inggris dan Rusia. Inggris ingin mem-
pertahankan Afghanistan dalam pengaruh hegemoninya, sehingga kekuasaan
Rusia jangan sampai datang terlalu dekat ke daerah cengkeramannya di India
dan Iran. Raja Afghanistan yang bermain mata dengan Rusia langsung di-
turunkan, digantikan dengan raja yang pro Britania. Itulah sebabnya generasi
kakek Alisher menganggap Afghanistan adalah negara boneka Inggris.

60
”Di seberang sana, tak ada listrik. Itu adalah listrik yang di-
hasilkan genset pribadi. Sekarang, tepat pada waktu ini, seluruh
negeri sedang menonton sinetron India tentang mertua dan
anak menantu. Coba kita berada di sana sekarang, pastinya bi-
sing sekali, karena suara genset di tiap rumah itu sungguh me-
mekakkan telinga.” Penjelasan saya membuat Alisher terdiam,
seolah terhancurkan fantasinya tentang negeri seberang.
Tetapi saya tahu, tak lebih dari lima tahun lalu, yang tampak
di sana adalah hitam pekat yang sempurna. Kini ratusan cahaya
berkelap-kelip, berkat generator listrik, televisi, dan fantasi pe-
rempuan garang dari sinetron India. Tanah Afghan pun ikut
berputar bersama roda zaman. om
t.c
Orang-orang di Ishkashim Afghanistan memuji betapa bebas
po

dan modernnya Tajikistan. Alisher di Ishkashim Tajikistan juga


gs
lo

mengagumi Afghanistan yang semakin kaya. Benak selalu diisi


.b
do

oleh imajinasi akan sebuah dunia lain di luar sana. Saya berdiri
in
a-

di samping Alisher, turut mereka-reka dan berimajinasi tentang


ak

kehidupan seberang sungai.


st
pu

”Sekarang kamu bukan tamu lagi—kamu adalah bagian dari ke-


luarga ini. Mari masuk!” ujar Alisher setelah tiga hari saya
menginap di rumahnya. Pintu kayu terbuka, berderik. Ragu-
ragu saya melangkah melintasi ambang pintu yang tinggi. Ini
adalah bagian paling pribadi di rumah besar Alisher. Wajah
keriput ibu Alisher tampak tersenyum, mengucapkan salam ha-
ngat. Di kamar sempit, tungku mengepulkan asap. Cerobong
bergetar, menyemburkan jelaga ke luar rumah. Tumpukan

61
matras tebal menjulang di sudut. Televisi berisik menyampaikan
berita internasional dalam bahasa Rusia yang terdengar cepat
dan kasar. Bayi menangis. Bocah kecil bermain mobil-mobilan.
Suara letupan minyak panas terdengar nyaring mengiringi
ceplokan telur di atas wajan logam yang datar permukaannya.
Ibu Alisher menyiapkan tikar.
Seperti halnya di Afghanistan, orang Tajik juga makan de-
ngan bersila di tanah. Tikar yang terbuat dari kain atau plastik
berfungsi sebagai meja makan. Roti Tajik berbentuk bulat ge-
peng dan tebal, terhidang di atas tikar. Diameternya sekitar dua
puluh sentimeter, bagian tengahnya cekung. Roti ini dibuat dari
om
adonan tepung gandum yang dipanggang di oven—juga diper-
t.c
po

kenalkan Rusia. Karena dipanggang, bagian tepinya tebal dan


gs

renyah, namun bagian dalamnya putih dan empuk.


lo
.b

Mangkuk saya diisi teh berwarna cokelat muda. ”Ini shir


do
in

choy, teh susu,” jelas Alisher, ”dibuat dari teh hitam dicampur
a-
ak

susu.” Orang Tajik Ismaili di pegunungan punya kebiasaan mi-


st

num teh susu yang dicampur garam dan mentega. Uuh... mi-
pu

numan asin, sungguh aneh rasanya. ”Jangan salah, sarapan ini


luar biasa energinya, para pejuang zaman dulu cukup mereguk
semangkuk shir choy, dan mereka sudah siap untuk bertempur
sepanjang hari.”
Di ruangan ini juga tinggal adik perempuan Alisher yang
datang dari desa lain. Wanita muda ini menikah dengan laki-
laki asal desa Sheghnon, dekat Khorog. Menurut adat Sheghnon,
bayi pertama harus dilahirkan di keluarga ibu. Bayi itu masih
terlihat merah. Matanya terpejam. Tubuhnya ditutupi selimut.
Seutas kain membebat bayi itu erat-erat.

62
Tetapi gambaran ketenangan ini tidak selamanya ada di
Ishkashim. Alisher bercerita, waktu perang saudara meletus di
Tajikistan, kehidupan di GBAO sangat berat. Orang lapar, tak
ada uang, harapan menguap. Dan orang yang lapar sangat mu-
dah terbakar emosi. ”Orang Shehgnon, Wakhan, Pamir, Ish-
kashim... mereka yang berasal dari suku-suku berbeda dan bi-
cara berbagai bahasa berbeda pula, semua lapar dan marah,”
kata Alisher. Identitas—atau mungkin lebih pantas dibilang
ego—dari tiap kelompok mencuat, bergesekan, dan berujung
pada pertikaian. Saat itu, berkunjung ke desa tetangga pun
orang tak berani.
om
Di negara yang kacau, semua permasalahan yang dulunya
t.c
bisa diredam tahu-tahu meletus bersamaan. Perbedaan-per-
po

bedaan yang semula tidak kentara, kini menjadi alasan pem-


gs
lo

bunuhan. Saya teringat Indonesia pada akhir 1990-an ketika


.b
do

pertikaian, kerusuhan, pembantaian, seperti serempak merebak


in
a-

di berbagai pulau. Gunung-gunung Atap Dunia ini adalah sekat


ak

pemisah berbagai bahasa, suku, dan peradaban. Sekarang,


st
pu

gunung-gunung pun menjadi saksi bisu pertempuran manusia


yang terpisah oleh sekat-sekat itu.

Meninggalkan Ishkashim, saya menyusuri tepian sungai Amu


Darya yang membelah Lembah Wakhan, lembah hijau sempit
terapit barisan gunung raksasa yang menjulang bagai tembok
tebing yang curam di utara dan selatan. Karena sempit dan pan-
jang, meliuk di tengah jepitan gunung, lembah ini lebih dikenal
dengan nama Koridor Wakhan, menyambung Ishkashim de-

63
ngan atap dunia Pamir di timur sana. Panjangnya sampai 120
kilometer, mulai dari Ishkashim sampai Langar di timur.
Air mengalir dari ribuan mata air nun jauh di pegunungan
tinggi Pamir, bercampur lelehan salju dari puncak-puncak gu-
nung, memenuhi sungai dan jeram kecil. Aliran air menyusuri
kedua sisi pegunungan tinggi, berlomba-lomba mencapai Amu
Darya. Di musim panas, Amu Darya meluap sampai lebih dari
seratus meter lebarnya. Airnya deras dan bergolak, tak mungkin
diseberangi tanpa jembatan atau perahu. Tetapi, di musim di-
ngin, Amu Darya mengering, seiring dengan matinya jeram ke-
cil yang menjadi sumber kehidupannya. Gunung diselimuti
om
salju yang semakin tebal, merata dari puncak hingga kakinya,
t.c
Amu Darya menjadi jinak, mengalir perlahan. Ia menciut. Ban-
po

taran sungai yang mengering berubah menjadi padang pasir ke-


gs
lo

labu. Orang pun bisa berjalan kaki menyeberanginya.


.b
do

Perjalanan sekarang juga punya arti lain bagi Tuloyev Aliboy


in
a-

Jumakhanovich dari Tughoz, mantan sopir. Mobilnya sudah se-


ak

tahun tidak diisi bensin karena mahal dan tak ada penumpang.
st
pu

Aliboy pun menjadi penganggur, dan sekarang malah jadi pe-


numpang angkutan umum bersama saya. Ia mengundang saya
ke rumahnya di kaki gunung di Tughoz, tak jauh dari jalan
utama ini. Rumahnya luas tetapi suram, hanya diterangi lampu
minyak. Listrik mulai susah. Tajikistan memang terkenal ber-
kelimpahan tenaga listrik yang membuat iri Afghanistan, tetapi
di musim dingin, volume air berkurang, listrik pun langka.
Desa-desa sepanjang Amu Darya mengalami pemadaman ber-
gilir. Kebetulan hari ini giliran Tughoz.
Namun kegelapan sama sekali tidak mengurangi semangat
keluarga Aliboy dalam menyambut tamu. ”Kami umat Ismaili

64
tidak pergi ke Mekkah untuk naik haji,” tutur Aliboy, ”pemimpin
agama kami, Yang Mulia Aga Khan, mengatakan, bahwa me-
nyediakan tempat tinggal dan makanan bagi seorang musafir
yang membutuhkan bantuan adalah ibadah haji kami. Selain
itu, bukankah lebih baik jika uang untuk naik haji itu digunakan
untuk menolong orang atau memajukan komunitas?” Penganut
Ismaili percaya, menolong musafir wajib hukumnya, sekalipun
dapur tak lagi mengepul. Konsep tamu, mehman, mengakar kuat
dalam kehidupan masyarakat pegunungan ini. Tak ada yang me-
nandingi kebanggaan dan kebahagiaan untuk bersikap hormat
dan melayani tamu, karena tamu adalah anugerah kiriman
Tuhan. om
t.c
Aliboy tinggal bersama orangtua, istri, saudara, dan anak-
po

anaknya. Rumah tradisional berpilar-pilar yang hitam dan sem-


gs
lo

pit ini penuh sesak. Lubang di panggung dipakai untuk me-


.b
do

masak dan menjerang air. Para ibu menyiapkan makanan di


in
a-

panggung tinggi. Ini desa sederhana, saya tenggelam dalam


ak

pesona lambatnya aliran waktu. Ibu Aliboy yang sudah tua itu
st
pu

mulai menyulam. Para perempuan lain di rumah itu sibuk me-


nidurkan bayi-bayi. Ayah Aliboy yang berumur 72 tahun ter-
senyum lebar mengembangkan kumis putih yang melengkung
bak busur panah.
Alam pegunungan membuat ritme hidup merayap lambat.
Penduduk Pamir tersohor berumur panjang. Kakek Jumakhan,
konon meninggal pada usia 120 tahun. Saya terkesima. Bagai-
mana mereka bisa hidup selama itu? Usia panjang sering kali
menjadi misteri, sekaligus impian hidup manusia. Membaca ki-
sah zaman nabi-nabi, manusia bisa hidup sampai ratusan tahun.
Namun zaman sekarang, mencapai delapan windu saja sudah

65
luar biasa. Manusia dalam kefanaannya mendamba keabadian.
Tetapi adakah yang abadi di dunia ini? Gunung-gunung tinggi?
Tradisi kuno dan adab keramahtamahan? Bahasa-bahasa dari
zaman Jalur Sutra? Aliran sungai yang terus menderu? Di ha-
dapan semua itu, setetes nyawa manusia tak banyak berarti.

Ribuan tahun! Reruntuhan benteng kuno Yamchun yang masih


berdiri dalam kehancurannya di puncak bukit telah memandangi
lembah sungai ini selama seribuan tahun. Figur kegagahan
om
menara-menara bundarnya masih terlihat jelas berlatarkan gu-
t.c
nung cadas.
po

Terbayang ketika Marco Polo melintasi lembah sempit ini.


gs
lo

Gunung-gunung tegar yang sama, sungai yang sama, lembah


.b
do

yang sama, benteng puncak gunung yang sama, dalam cakupan


in
a-

zaman yang berbeda. Bagaimana kehidupan manusia pada za-


ak

man itu? Buku-buku sejarah membawa saya berfantasi.


st
pu

Penulis perjalanan berkelana ke tempat-tempat yang jarang


terjamah, melukis nuansa lewat tulisan. Masa ribuan tahun bisa
terpatri lewat huruf-huruf yang tertoreh, sementara beberapa
windu usia penulisnya telah sirna, terkubur tanah, menyatu ber-
sama bumi. Tulisan tertinggal, diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa, menginspirasi anak, cucu, buyut.... Lalu, lahirlah pe-
tualang-petualang muda, yang menggenggam tulisan warisan
kuno laksana nubuat, melakukan napak tilas dan melihat kem-
bali bagaimana zaman berlayar. Demikian generasi demi generasi
musafir terbentuk, merekam perjalanan peradaban dan ke-
budayaan yang suatu saat nanti mungkin akan tenggelam dan

66
terkubur. Manusia memang fana, tetapi guratan pena dan pe-
mikirannya boleh jadi abadi.
Filsuf Tiongkok menggambarkan kehidupan laksana sungai
panjang yang mengalir tanpa henti. Kita, manusia, adalah sosok-
sosok penumpang yang naik kapal di satu titik, turut berlayar,
lalu turun di tempat lain. Beberapa penumpang turun, beberapa
penumpang naik. Sungai terus mengalir, kapal terus berlayar,
penumpang datang dan pergi. Demikianlah manusia-manusia
di tepian sungai abadi Amu Darya ini, datang dan pergi, dalam
berbagai wujud rupa, bangsa, bahasa, agama, dan kebanggaan,
dan semuanya, tanpa kecuali, adalah makhluk fana.
om
Di reruntuhan tembok Yamchun saya merenungkan per-
t.c
po

jalanan waktu, membayangkan kedamaian gunung dan ke-


gs

hidupan penduduk penggila opium yang dilukiskan Marco Polo


lo
.b

hampir satu milenium lalu. Mendung menggelayut menyebar-


do
in

kan warna kelabu di seluruh penjuru langit. Deretan pegunungan


a-
ak

tampak semakin angkuh dan dingin. Mencapai benteng ini tak


st

mudah. Bukitnya terjal, jalanannya hampir tegak lurus ke atas.


pu

Bazarboy, anak Aliboy, memanjat bukit seperti cicak merayapi


dinding, sementara saya terus merengek minta digandeng dan
dituntun menapaki bukit terjal yang licin oleh bulir pasir. Napas
saya masih tak teratur ketika dari belakang terdengar deru keras.
Debu beterbangan. Tiga pria kulit putih berlompatan dari ken-
daraan, menebar senyum dan tawa bangga. ”Gila! Ini peman-
dangan indah,” kata si lelaki Rusia dari Moskow, ”sungguh
tidak percuma datang ke sini!” Lelaki lainnya sibuk dengan ka-
mera, menjepret berbagai sudut benteng. Lelaki ketiga, ternyata
pemandu Tajik, mengingatkan waktu mereka yang terbatas.

67
Orang-orang itu kembali berlompatan ke jip Rusia, debu beter-
bangan lagi, dan benteng kuno kembali ke dalam kesunyian.
Apakah benteng itu telah melalui masa ribuan tahunnya se-
perti ini? Manusia datang dan pergi, menebarkan sedikit debu
ke sana kemari, lalu pergi tanpa bekas. Generasi musafir pe-
nerus Marco Polo zaman sekarang, dengan senjata kamera, jip
tangguh, peta lengkap, GPS, telepon satelit, melakukan pengem-
baraan dan mengabadikan kenangan. Sementara dari benteng
terlihat negeri di seberang sungai, Afghanistan yang tersekap
dalam kungkungan zaman. Tepat di seberang sana, pengelana
masih harus menunggang keledai dan kuda, penduduk masih
om
mencandu opium, dan membungkus diri dengan baju tradisional
t.c
warna-warni yang berat.
po

Zaman memang relatif. Gunung-gunung tinggi boleh abadi,


gs
lo

tetapi manusia dengan peradaban dan sejarah masing-masing,


.b
do

sebenarnya bergulat dalam takdir yang tergurat oleh keabadian.


in
a-
ak
st
pu

Di puncak bukit, masih mendaki lagi dari bukit Yamchun, ada


pemandian air panas terkenal. Penduduk menyebutnya Cheshma
Bibi Fatima, artinya Mata Air Fatima. Bibi Fatima adalah putri
Nabi Muhammad, termasuk lima tokoh penting dalam ajaran
Syiah dan Ismaili. Bibi Fatima di sini terdeskripsikan oleh per-
paduan warna tebing mata air yang unik—hijau, biru, putih, dan
hitam—meliuk-liuk guratnya, persis seperti wujud rahim perem-
puan. Airnya jernih kehijauan. Penduduk percaya, siapa yang
mandi di sini akan segera mendapat keturunan.
Udara dingin menggigit, pemandian penuh sesak. Sekelom-

68
pok lelaki berendam tanpa dibalut seutas benang pun. Tua,
muda, kakek, ayah, suami, bocah kecil, semua berenang telan-
jang bulat dalam kolam yang sama. Tak ada yang aneh, tak ada
yang merasa risi.
Saya mencelupkan tangan ke air. Aih! Panas sekali! Namanya
juga pemandian air panas, tetapi saya tak menyangka sepanas
ini.
Mereka mengajak saya bergabung. Tetapi, ketelanjangan
buat saya sudah di luar batas. Mungkin pikiran kotor meng-
hantui? Mungkin rasa takut—yang juga muncul dari pikiran
kotor? Atau mungkin budaya dan tradisi yang mendekap men-
om
jadi penghalang dan batas penyekat antara saya dan mereka?
t.c
”Kakak,” saya berseru ke arah para pemandi, ”suka sekali ya
po

berendam di air panas?”


gs
lo

”Hari ini hari libur. Jadi kami serombongan menyewa mobil


.b
do

jauh-jauh dari Ishkashim,” kata seorang dari mereka.


in
a-

Hari libur? Hari libur apa?


ak

”Masa kau tak tahu? Ini adalah hari Idul Fitri. Hari raya
st
pu

penting bagi umat Muslim,” jawabnya.


Ya ampun...! Bagaimana mungkin saya bisa lupa Hari Raya
sepenting ini, hari di mana saudara-saudara sebangsa saya larut
dalam perayaan akbar? Tetapi, bulan Ramadan di sini benar-
benar tak ada bedanya dengan bulan biasa. Di Dushanbe dan
Istaravshan, kebanyakan orang tidak berpuasa. Tetapi di ka-
langan umat Ismaili sini, nyaris tak ada yang puasa sama sekali.
Bagi Aliboy, Idul Fitri adalah saatnya membersihkan makam
leluhur. Sedangkan bagi Bazarboy, Idul Fitri tak lebih dari hari
libur di mana ia bisa pergi membasuh tubuh di pemandian air
panas Bibi Fatima. Tak ada perayaan. Tak ada takbir. Ini adalah

69
hari kemenangan yang dirayakan di akhir bulan suci yang tanpa
haus dan dahaga.

Islam adalah masa lalu, kebanggaan, tradisi. Zaman sebelum


Islam terasa begitu jauh, kini berupa reruntuhan kuil-kuil pe-
mujaan Dewa Api di pegunungan terpencil, dan simbol-simbol
yang digusur oleh simbol-simbol Islam. Deretan ”pahlawan
nasional” Tajikistan hampir semuanya datang setelah masuknya
Islam: Rudaki, Ismail Somoni, Ibnu Sina.
om
Di ruang kerja dokter kepala di rumah sakit desa, terpampang
t.c
foto besar Ibnu Sina, bapak kedokteran dunia, yang kini juga
po

pahlawan nasional Republik Tajikistan. Di atas tembok yang


gs
lo

sudah menguning dan mengelupas, terlukis lambang kedokteran


.b
do

universal: cawan dan ular. Juga sederet slogan: ”Walau engkau


in
a-

bukan Ibnu Sina, tetapi bertindaklah seperti Sina.”


ak

Apakah tindakan seperti Sina itu? Pengetahuan yang luas?


st
pu

Pengabdian bagi kemanusiaan? Saya bertanya. Dokter Akhmed,


sang dokter kepala, hanya tersenyum. Ia membawa saya berkeli-
ling, menunjukkan rumah sakit desa yang begitu sederhana ini.
Ini adalah desa terpencil, tetapi gedung rumah sakit ini terbilang
kokoh dan bersih. Hampir tak ada pasien yang terlihat di sini.
Suster malah sibuk menjerang air untuk menyiapkan teh buat
saya.
Saya terkenang kehidupan di seberang sana. Di seluruh Lem-
bah Wakhan Afghanistan, penduduk hanya mengandalkan jasa
seorang dokter keliling—itu pun orang asing dari Inggris. Kalau
sakit, mereka harus menempuh perjalanan berhari-hari naik ke-

70
ledai atau kuda, melintasi tebing, jeram, dan bukit. Di sana,
saya pernah merasa, betapa hidup berada di ujung tanduk. Pe-
nyakit ringan seperti diare dan disentri ternyata bisa menjadi
pembunuh yang fatal.
Tetapi, semua manusia pasti punya masalah. Mereka di Taji-
kistan sini memang tidak dihantui momok diare atau disentri,
namun uang begitu seret. Akhmed bercerita tentang gajinya
yang cuma 50 Somoni, sekitar 150.000 rupiah per bulan. Saya
bertanya, apakah itu pengabdian ala Ibnu Sina? Sekali lagi, ia
tersenyum.
Miskin, tak punya uang, bukanlah tolok ukur peradaban. Di
om
Tajikistan, jangan memandang rendah orang miskin. Seorang
t.c
penganggur di Vrang, lima kilometer ke arah hulu dari Tughoz,
po

dengan fasih menunjukkan wawasannya yang luas, ”Ada empat


gs
lo

pulau besar di Indonesia. Yava, Sumatra, Kalimantan, dan...


.b
do

satu lagi... hmmm... apa ya?” Ia berpikir, lalu berseru, ”Oh ya,
in
a-

Sulavesi!” Mungkin Papua masih belum terselip dalam buku


ak

pelajarannya waktu sekolah dulu. Tetapi itu sudah teramat


st
pu

lumayan. Coba bandingan dengan respons kalangan terpelajar


di Jakarta kalau ditanya tentang nama-nama provinsi di Taji-
kistan. Adakah yang tahu?
Seorang kakek tua begitu antusias mendengar saya berasal
dari Indonesia. ”Oh, negeri kamu sangat indah, karena itu ada-
lah Sarandip yang termasyhur,” serunya. Sarandip? Apa itu?
”Menurut cerita Persia, Nabi Adam diusir Tuhan dari Taman
Firdaus, lalu diturunkan ke bumi di Pulau Sarandip, kemudian
berjalan kaki ke Mekkah untuk menemui Hawa di sana. Nah,
Sarandip itu ribuan pulau di tengah samudra. Apa lagi namanya
kalau bukan Indonesia?”

71
Ternyata Sarandip itu bukan Indonesia (sayang sekali!), me-
lainkan Srilanka. Sarandip ini yang menjadi asal kata bahasa
Inggris serendipity, yang berarti rentetan keberuntungan yang se-
mua terjadi secara kebetulan. Kata ini digunakan pertama kali
oleh penulis Inggris, Horace Walpole, yang mengisahkan do-
ngeng tentang Tiga Pangeran dari Sarandip yang bertualang ke-
liling dunia. Dalam setiap perjalanan, mereka menemukan
sesuatu yang luar biasa, meskipun semuanya terjadi karena
kebetulan semata.
Seperti tokoh utama dalam legenda Sarandip, saya pun
mengalami keberuntungan tak terduga yang beruntun. Pria ini
om
hanyalah sembarang orang di jalan, penasaran mengamati orang
t.c
asing yang datang ke kampungnya, sekarang ia menawari saya
po

tinggal di rumahnya. Tak perlu rasa curiga, atau timbang-menim-


gs
lo

bang untung rugi, musafir tak dikenal pun digeret ke rumah.


.b
do

Khurshid, 33 tahun, memegang gelar yang di sini lumrah


in
a-

dianggap sebagai profesi: penganggur. Wajahnya tirus, hidungnya


ak

teramat mancung. Khurshid adalah sarjana geologi, tetapi apa


st
pu

artinya ahli geologi di negara miskin? Sejak ambruknya per-


ekonomian, pemerintah pusat tak sanggup lagi membayar
penelitian di pegunungan terpencil. Untuk ukuran seorang
penganggur, rumah Khurshid teramat besar. Ruang tamunya
luas dan indah. Saya disambut makan malam yang lezat.
Khurshid dan ayahnya yang sudah uzur duduk bersama saya di
meja utama, sementara kaum perempuan: ibu, istri, adik ipar,
semua bersantap di belakang, di dekat tungku dapur. Saya ter-
ingat konsep Jawa feodal, perempuan adalah konco wingking, te-
man di belakang. Apakah sekte Ismaili mengajarkan hal itu?
”Oh, bukan,” kilah Khurshid, ”ini tradisi kami saat tamu

72
berkunjung. Hanya lelaki dewasa dan anak lelaki tertua yang
boleh makan bersama tamu.”
Khurshid duduk bertumpu lutut di sudut ruangan. Mulutnya
komat-kamit, melantunkan lagu merdu. Suaranya lembut,
mengalun, lalu meninggi. Nada-nada mengisi ruang hening. Ke-
dua tangannya dikatupkan di depan dada, seperti orang meng-
haturkan sembah, diayunkan ke kiri dan kanan.
Baru pertama kali saya melihat orang Ismaili mendirikan
salat. Sungguh berbeda dengan salat umat Muslim kebanyakan.
Seluruh ritual hanya dilakukan dalam posisi duduk, dengan lan-
tunan doa-doa yang begitu asing di telinga. Ritual sembah yang
om
kata Khurshid disebut sebagai imam didar—penghormatan ke-
t.c
pada imam, terdengar begitu menghanyutkan.
po

Umat Ismaili tidak pergi ke masjid. Mereka beribadah di


gs
lo

jemaatkhana, yang artinya rumah para jemaat. Tetapi zaman Uni


.b
do

Soviet dulu, semua aktivitas ibadah dilarang, umat Ismaili tak


in
a-

punya jemaatkhana. Ibadah Jumat biasanya dilakukan berjamaah,


ak

bergiliran di rumah umat. Komunisme tidak membunuh keper-


st
pu

cayaan ini. Walaupun umat Ismaili Tajikistan terlihat santai soal


agama, tetapi masih ada orang yang rajin menunaikan salat
seperti Khurshid. Pemuka agama di desa pun masih menempati
posisi yang dimuliakan.

Siapa sangka, di dusun yang ramah tamah ini saya justru di-
gelandang polisi?
Pemilihan umum Tajikistan semakin dekat. Saya tertarik me-
lihat sedikit kesibukan di balai desa yang teramat kontras de-

73
ngan lengangnya jalanan. Tiga lelaki berdiri antusias di hadapan
pengumuman berisi daftar nama para kandidat. Di dalam ge-
dung kayu, petugas perempuan tersenyum, menampilkan gigi
bersepuh emas. Di sampingnya ada kotak suara.
Ah, inikah suasana pemilihan umum di negeri yang konon
paling demokratis di Asia Tengah ini? Sunyi sekali, tak ada riuh
rendahnya kampanye. Tak ada poster para calon. Tampaknya,
tanpa pemilu pun, semua orang sudah yakin siapa yang bakal
menjadi pemenang.
Tetapi saya datang ke sini mengemban misi istimewa. Staf
politik Kedutaan Besar Indonesia di Uzbekistan meminta saya
om
mencarikan buku yang berjudul ”101 Pertanyaan dan Jawaban
t.c
tentang Pemilihan Presiden Tajikistan”. Walaupun judul buku
po

ini menawarkan segala kunci misteri akan pemilihan umum


gs
lo

yang sunyi tanpa gembar-gembor ini, sekaligus mengingatkan


.b
do

pada judul buku-buku sejenis seperti, ”101 Cara Kaya dengan


in
a-

Cepat”, atau ”101 Tanya-Jawab Pedoman Pengamalan dan Peng-


ak

hayatan Pancasila”, ”101 Pengetahuan Dasar Garis Besar Haluan


st
pu

Negara”, tetapi buku ini susah sekali dicari. Saya sudah keluar-
masuk semua toko buku di Dushanbe, tak ada yang menjual.
Malah saya mendapat sorot mata curiga setengah mengejek, se-
akan bertanya, ”Untuk apa cari buku itu?”
Tak dinyana, justru di pojokan gedung sepi ini, saya
menemukan sejilid buku tipis itu tergeletak di meja kayu.
”Berapa harganya?” saya bertanya, lupa ini bukan toko buku.
”Tidak,” kata perempuan bergigi emas itu, ”buku ini tidak
dijual. Di seluruh desa ini cuma ada satu. Kalau mau, baca saja
di sini.” Buku ini tertulis dalam bahasa Rusia dan Tajik, semua-
nya menggunakan huruf Sirilik yang membuat pening. Saya tak

74
berniat menghabiskan buku tipis ini di sini, lagi pula 101
pertanyaan yang bergelut di benak saya tak satu pun sebenarnya
yang berkaitan dengan pemilihan presiden.
”Boleh saya pinjam untuk difotokopi?” saya menawarkan
solusi. Fotokopi? Bukankah itu pertanyaan bodoh? Si ibu itu
sampai tertawa. Mana ada mesin fotokopi di sini, katanya.
Jangan-jangan, untuk fotokopi pun, saya mesti ke ibu kota
Dushanbe.
Baiklah, tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada fotokopi, ka-
mera digital pun boleh. Klik. Saya memotret sampul. Klik. Ha-
laman satu. Klik. Halaman dua. ”Hei! Hei!!!” Ibu itu berteriak
histeris, ”Apa yang kaulakukan?!” om
t.c
Aduhai, teriakannya mendatangkan dua polisi berseragam.
po

Mereka berteriak, ”Siapa kamu? Mata-mata?” Saya digiring ke


gs
lo

kantor kepala desa.


.b
do

”Mata-mata? Spion?” tanya seorang ibu berkerudung di kantor


in
a-

suram.
ak

”Bukan,” jawab saya tertunduk, ”saya hanya pengunjung. Te-


st
pu

tapi saya ingin sekali memiliki buku itu.” Saya mencoba men-
jelaskan tentang pesanan kedutaan. Ibu itu mengernyitkan
dahi, ”Apa buktinya? Apakah kamu punya surat izin yang di-
keluarkan oleh Kementerian Penerangan di Dushanbe? Apakah
kamu sudah diizinkan Presiden Tajikistan?”
Saya menggeleng. Bahkan untuk mendapat buku tipis dela-
pan halaman itu pun saya harus menjalani birokrasi panjang
dengan Bapak Presiden segala. Sepertinya sungguh repot men-
jadi presiden di negara ini. Ibu kepala desa itu mulai membuka
buku tebal, mungkin akan menorehkan catatan kriminal saya
di sana. Interogasinya dimulai. ”Kamu tinggal di mana?”

75
”Rumah Khurshid,” jawab saya, ”di ujung desa ini.”
Tiba-tiba ia berseru, ”Ya khudo! Astaga! Khurshid itu adikku.
Jadi kamu orang asing yang menginap di rumah kami? Jadi
kamu tamuku.” Tiba-tiba sikapnya berubah. Ia mengeluarkan
telepon kuno. Ia memutar nomor, menelepon bosnya, entah
bupati atau gubernur, mulai dari Ishkashim hingga ke Khorog.
Ia memohon-mohon, memelas-melas, demi sebuah buku.
”Sayang sekali,” ia menggeleng, ”buku itu sudah dibatasi,
satu desa cuma kebagian satu jilid. Saya sungguh ingin membantu
karena kamu adalah tamu kami. Tetapi apa daya? Mungkin
kamu bisa coba di kota lain?”
om
Saya hanya tamu yang singgah semalam di rumah Khurshid,
t.c
tetapi saya sudah seperti bagian rumah itu. Ketika saya pergi
po

meninggalkan desa, ibunya memaksa saya membawa roti nan


gs
lo

buatan tangannya. Roti bukan hanya sekadar makanan tetapi


.b
do

juga barang suci yang harus dihormati. Nan bagi musafir adalah
in
a-

lambang cinta dan penghormatan terdalam. Sarandip, bagi saya,


ak

bukanlah kepulauan di tengah samudra. Saya menemukan


st
pu

Sarandip saya di Vrang.

Di ujung timur Lembah Wakhan, dusun Langar berdiri dalam


kesunyian pegunungan. Di sini, Amu Darya menciut, menjadi
kecil namun deras. Dusun ini tampak sunyi karena letaknya
yang begitu terpencil. Beberapa ratus meter dari desa, sebuah
jembatan yang hanya tiga meter lebarnya, melintangi sungai
yang menjadi batas dunia ini.
Jembatan ini mati, disegel gulungan kawat duri dan portal.

76
Tentara muda Tajik berdiri tegap di bawah tiang bendera dan
lambang negara, juga terbuat dari papan kayu bergambar. Sung-
guh lebih mirip gapura masuk kampung di pedusunan Indonesia
daripada sebuah gerbang negeri, perbatasan internasional.
Sunyi. Kecuali burung yang tak peduli dengan perbatasan,
tak ada lagi makhluk yang bisa menyeberang bebas. Di seberang
jembatan sana, Afghanistan tampak berupa barisan bukit gun-
dul, cadas, dan pasir. Harapan yang ditawarkan oleh negeri te-
tangga itu sama gundul dan gersangnya dengan yang terlihat
dari sini.
Tetapi ini tentunya suasana yang sama sekali berbeda ketika
om
tiga bulan lalu diadakan bazaar mushtarak—pasar bersama dua
t.c
negara, tepat di pinggir jembatan ini. Kebetulan, saat itu saya
po

berada di seberang sungai sana, menyaksikan ingar-bingar


gs
lo

euforia pembukaan ”jembatan menuju impian”, larut dalam


.b
do

suka cita orang Afghan yang akhirnya berkesempatan menginjak-


in
a-

kan kaki di tanah Tajikistan, meraih mimpi-mimpi modernitas


ak

yang ditawarkan oleh negeri seberang13.


st
pu

Ingar-bingar itu ternyata bukan hanya dirasakan oleh orang


Afghan yang mendamba kemajuan dan kebebasan Tajikistan.
Langar pun larut oleh kegembiraan. Mulloev Yodgor Dildorovich,
seorang khalifa, atau pemuka agama dalam aliran Ismaili, ikut
terkesima menyaksikan kerumunan orang Afghan yang datang
bak air bah.
”Mereka datang dengan keledai dan kuda,” katanya, ”mem-
bawa berbagai macam barang aneh yang tak pernah terbayangkan

13
Perihal bazaar mushtarak bisa dibaca di Selimut Debu (Agustinus Wibowo,
Gramedia Pustaka Utama, 2010)

77
sebelumnya: sulaman manik-manik, jubah kumal, serban pan-
jang, butir-butir batu untuk hiasan perempuan, sampai beras
dan tepung dibuntal karung yang baunya mirip keledai.”
Tetapi tentunya, bukan jual-beli barang-barang ajaib ini yang
memikat Yodgor. Pembukaan jembatan itu membuatnya ter-
kenang akan kisah kakek-neneknya tentang kedamaian lembah
ini seratus tahun lalu. Jembatan ini merealisasikan imajinasi
tentang negeri seberang sungai. Sekarang, bayang-bayang sekele-
bat manusia yang tampak dari kejauhan berupa titik-titik hitam
yang menggiring kawanan domba dan ternak, kini datang,
begitu dekat, terjamah, terdengar. Mereka bukan lagi makhluk
om
fantasi. Suara gelak tawa mereka menggelegar. Ternyata, tawa
t.c
po

dan sukaria yang sama dengan orang biasa di sini. Dan, ah, me-
gs

reka pun bicara bahasa yang sama. Mereka ternyata adalah


lo
.b

orang-orang normal, yang juga punya empati, emosi, impian,


do
in

dan kebahagiaan. Hanya saja, mereka cuma kaum lelaki berjubah


a-
ak

kumal yang berkendara hewan-hewan. Tak tampak satu pun


st

perempuan yang datang. Orang-orang Afghan itu bilang, siasar,


pu

si kepala hitam—bagaimana orang Afghan menyebut kaum pe-


rempuan mereka—memang sebaiknya tinggal di rumah saja.
Perasaan yang sama pernah mengguncang saya ketika per-
tama kali menginjak kaki di Khorog. Dulu, di Afghanistan,
orang Tajikistan hanya tampak sebagai makhluk-makhluk mo-
dern dan tinggi hati dari dunia lain yang bergelimang kemak-
muran. Tetapi, kini, saya hidup di tengah mereka. Mendengar
kisah mereka, menghirup udara yang sama dengan mereka, ikut
tertawa dalam canda mereka, ikut bersedih mendengar keluh
kesah mereka.

78
Mengapa sesama manusia ini, yang hanya hidup di kedua
sisi sungai, terpisah dalam kehidupan yang jauh berbeda?
Ini adalah kisah yang dihafal semua orang. Walaupun sudah
puluhan tahun sungai ini ditetapkan sebagai perbatasan antara
Rusia dan Afghanistan, baru pada tahun 1938, pasukan Rusia
datang ke bantaran sungai, mengamankan tapal batas imperium
mereka. Sungai disegel. Orang tak boleh lagi bebas menyeberang.
Datang pula barisan Tentara Merah, membanjirkan buku-buku
merah Leninisme, Marxisme, dan Stalinisme. Pola pikir, ideo-
logi, mata uang, zona waktu, sistem pemerintahan, dan tetek
bengek lainnya adalah urusan Moskow. Penduduk sekarang
om
menjadi ”orang Rusia”. Mereka tidak lagi sama dengan warga
t.c
seberang sungai sana. Mereka bukan lagi Ismaili, Tajik Pamiri,
po

Sheghnoni, Ishkashimi, Wakhani..., karena identitas nomor


gs
lo

satu mereka adalah ”orang Soviet”. Sementara, seberang sungai


.b
do

sana, orang-orang yang semula sama persis, kini berlabel ”orang


in
a-

Afghan”.
ak

Meski rumah, padang, domba dan sapi, gunung, sungai, se-


st
pu

mua terlihat jelas, kehidupan seberang sungai merupakan mis-


teri. Begitu dekat, namun tak terengkuh. Demikian setiap hari
Yodgor memandangi Ghoz Khan, desa ”kembaran” Langar, te-
pat di seberang sungai. Rumah-rumah hitam itu, padang hijau
nan subur itu, bayangan kelam orang-orang itu, semua memain-
kan fantasinya tentang negeri seberang.
Ia terkenang bibinya, yaitu adik ayahnya, yang konon menye-
berang ke sana, menikah dengan penduduk sana, lalu terpe-
rangkap di sana. Sungai ini menyekap perempuan itu dalam
negara yang bernama Afghanistan, tak boleh lagi kembali ber-
kumpul dengan sanak saudara di Langar.

79
Yodgor memperkirakan bibinya pasti sudah meninggal. Te-
tapi bagaimana wujud rupa keturunannya? Anaknya? Cucunya?
Bagaimana ternak-ternak mereka? Rumah mereka? Siapakah ba-
yangan hitam yang terlihat dari sini? Jangan-jangan itu sepupu,
atau jangan-jangan, itu malah bibinya yang dikaruniai umur
panjang? Jangan-jangan sang bibi setiap hari datang ke bantaran
sungai, memandang ke sini, mencari-cari bayangan ayahnya dan
kakak-adiknya? Apakah mereka punya fantasi yang sama?
Legenda tinggallah legenda, fantasi bergulat dengan fantasi, te-
tapi tak terjamah oleh kejamnya sekat perbatasan yang memisah-
kan.
om
Dan takdir ini ditentukan oleh orang-orang tak dikenal, tak
t.c
terbayangkan, namun tak terlupakan nun jauh di Moskow sana.
po
gs
lo
.b
do
in
a-

Gulchera menitikkan air mata. Siapa sangka, orang dari negeri


ak

seberang sungai itu membawa kalung untaian batu-batu mulia


st
pu

dari lekuk pegunungan Badakhshan? Siapa sangka, lelaki yang


terus merekam gambar dirinya dengan kamera handycam ternyata
membangkitkan kembali legenda masa lalunya? Keriput di
wajah Gulchera semakin jelas, berpadu dengan tangis dan se-
nyum bahagia yang mengembang bersamaan.
Pria itu berasal dari seberang sungai. Topi bulu hitamnya
menjulang tinggi. Saat tersenyum, sepasang gigi taring berlapis
emas menyilaukan mata. Raut wajahnya keras, melukiskan be-
tapa kerasnya hidup di negeri seberang. Rompinya, jubah pan-
jangnya, celana kombornya, menunjukkan bahwa dia adalah
orang Afghan tulen. Tetapi, tengoklah arloji logamnya. Tengok-

80
lah handycam barunya. Orang ini tentu bukan orang sem-
barangan.
”Ya! Itu Wali Jon! Wali Jon!” seru Gulchera. ”Ia sudah jadi
kepala kampung di Ghoz Khan!”
Siapakah Wali Jon? Tiga bulan lalu, ketika saya berada di
Afghanistan menyaksikan pembukaan bazaar mushtarak, saya
menginap di Ghoz Khan. Keramahtamahan orang Ismaili
Afghan, sama seperti orang Tajik di sini, membuka pintu se-
lebar-lebarnya bagi musafir yang berkelana. Saya tak kenal Wali
Jon, tetapi ia menawarkan saya menginap di rumahnya. Ia ter-
senyum, tentu saja dengan gigi taring emasnya itu, menunjukkan
om
betapa megah rumah barunya sekarang. ”Saya akan membuka
t.c
hotel untuk turis asing di sini,” serunya bangga, ”lihat, apakah
po

sudah pantas rumah ini?”


gs
lo

Tentu saja pantas. Tetapi adakah turis asing yang datang ke


.b
do

tempat terpencil ini? Keindahannya mungkin memang tiada


in
a-

bandingannya di dunia, tetapi sayangnya, tempat ini terkurung


ak

dalam negeri yang berjudul Afghanistan, dengan pagarnya yang


st
pu

berupa sungai Amu Darya. Mendengar nama Afghanistan saja


calon turis sudah mundur teratur. Andaikan ia ada di seberang
sungai, mungkin lain ceritanya. Saya termasuk ”turis” pertama
yang singgah di hotelnya sebelum dibuka.
Gulchera dan Yodgor punya cerita lain. ”Siapa itu Wali Jon?
Dia itu anak bibiku!” kata Yodgor. ”Sepupuku! Wah. Dia se-
karang sudah jadi pemimpin di sana. Orang hebat!”
Air mata Gulchera kembali menetes melihat foto-foto Wali
Jon dan bayinya yang terekam dalam kamera saya. Dia tentunya
sama sekali tak menduga, orang asing dari negeri kepulauan
yang tak pernah didengar namanya, dan tiba-tiba datang ke

81
rumahnya akan mengembalikan kenangannya tentang nostalgia
negeri seberang. Gulchera mengusap layar kamera saya, lekat-
lekat memandangi foto Wali Jon yang sedang tersenyum.
Ghoz Khan memang tampak hanya di seberang sungai,
tetapi foto ini telah berjalan ribuan kilometer untuk sampai ke
sini. Dari lereng dan tebing, perjalanan naik-turun kuda dan
keledai, hingga gerbang kedutaan Tajikistan yang dipenuhi biro-
krasi korup, deru perahu yang menyeberangi Amu Darya, kota
Dushanbe yang berbau Rusia, puncak gunung-gunung di
Khorog, lalu lembah Wakhan yang dipenuhi penganggur, hingga
sampai di sini. Ya. Tidak kurang dari dua ribu kilometer telah
om
saya lalui hanya untuk mencapai seberang sungai. Jarak memutar
t.c
yang luar biasa jauh hanya untuk menyeberang dua puluh
po

meter. Cuma dua puluh meter!


gs
lo

Setidaknya, saya sangat beruntung. Sebagai warga asing, saya


.b
do

boleh merayapi kedua sisi sungai, menyambung lidah dan me-


in
a-

lukiskan imajinasi penduduk di kanan dan kiri aliran Amu


ak

Darya. Tetapi bagi Gulchera, Yodgor, Wali Jon, dan orang-orang


st
pu

lainnya di sini, dua puluh meter lebar sungai itu adalah jarak
tak tertembus. Afghanistan di seberang sana adalah dunia lain.
Garis batas membuat hidup manusia penuh warna. Berkat
garis batas, ada negeri-negeri berbeda, bangsa-bangsa berbeda,
beribu bahasa dan makanan khas, adat-istiadat.... Bayangkan
jika dunia ini dihuni oleh semua orang yang sama persis, ber-
wajah sama, berbahasa sama, punya impian dan agama yang
sama, berjenis kelamin sama, semua sama makmur, sama sem-
purna, sama pintar, selalu bersama-sama pergi ke sini dan ke
sana... betapa membosankannya.
Garis batas memang adalah kodrat manusia. Tetapi tepat

82
berada di tepian garis batas ini, di tepian sang Amu Darya, me-
nyaksikan semua absurditas dan kemustahilan yang tercipta
olehnya, saya pun ikut mempertanyakan, mengapa semua ini
harus ada.
Inikah air mata dan senyum yang sama ketika Gulchera me-
nerima untaian kalung dari Wali Jon? Betapa Gulchera rindu
Wali Jon. Betapa Gulchera bahagia melihat foto-foto Wali Jon
dengan bayi kecilnya. Betapa Gulchera ingin berteriak kepada
para petinggi itu, untuk terus membuka pasar bersama ini tiap
bulan, kalau bisa tiap minggu, tiap hari. Betapa Gulchera..., oh,
tak ada habis-habisnya foto-foto Wali Jon mengaduk-aduk pe-
rasaannya. om
t.c
po
gs
lo
.b
do

Tetapi apakah Tajikistan benar-benar negeri impian?


in
a-

Hidup tak mudah. Di sini pun, banyak penduduk yang ke-


ak

hilangan pekerjaan. Zaman Soviet dulu, semua orang harus be-


st
pu

kerja, dan mereka dapat makan. Sekarang, semua terpaksa kem-


bali ke sawah dan ladang untuk bertahan hidup. Harga barang
terus melambung, apalagi Langar begitu terpencil dan nyaris
tidak pernah dilintasi truk pengangkut barang sama sekali.
Daya beli yang rendah membuat orang-orang merana. Mereka
adalah kaum berpendidikan. Soviet mengirim semua orang ke
sekolah, mencetak guru, ahli geologi, hingga pilot dari dusun-
dusun pegunungan. Mereka belajar banyak tentang dunia, dan
punya mimpi-mimpi yang terus melambung tinggi. Sayang,
perang dan keterpurukan memaksa mereka mencampakkan
semua mimpi itu. Mereka yang dulu punya pekerjaan terhormat

83
sekarang tereduksi menjadi buruh bangunan atau penjaga kios
pasar di Moskow.
Keadaan ini membangkitkan tanda tanya, apa yang membuat
orang begitu antusias dengan pembukaan pasar internasional di
Langar? Di sebelah sini adalah desa terpencil penuh pengang-
guran. Di seberang sana adalah dusun yang masih hidup dalam
buntalan masa lalu. Apa yang bisa diperdagangkan? Langar dan
Ghoz Khan sama-sama terpencil dan miskin. Pasar terdekat di
sisi Afghanistan dua hari perjalanan berkuda. Di sisi Langar,
pasar terdekat ada di Ishkashim—itu pun kalau layak disebut
pasar.
om
Kenyataannya pasar ini disambut dengan gembira oleh se-
t.c
po

mua orang. Penduduk terharu biru dalam reuni keluarga.


gs

Saudagar potongan besi meraup untung besar. Rombongan pe-


lo
.b

nunggang kuda dari Afghanistan sana bersuka ria karena akhir-


do
in

nya menginjakkan kaki ke tanah impian. Lalu mengapa bazaar


a-
ak

yang disambut hangat ini hanya berlangsung sekali? Mengapa


st

jembatan kayu ini kembali disegel? Tilo, komandan perbatasan


pu

Tajikistan menjawabnya. ”Kami terpaksa menghentikan bazaar


ini karena kurang fasilitas. Tidak ada bea cukai, kontrol paspor,
karantina.” Ya, deretan formalitas yang wajib ada untuk me-
nemani sebuah garis batas.
Tilo, namanya berarti emas. Giginya pun berlapis emas, me-
nyilaukan. Saya masih ingat Tilo adalah salah satu pejabat
Tajikistan yang meresmikan pembukaan jembatan ini. Bersama
seorang petinggi Tajikistan, dia menyeberangi jembatan, ber-
salaman dengan pejabat Afghan. Ini tentunya kejutan baginya,
si orang asing yang dulu tersempil di antara orang Afghan dan

84
memotret wajahnya dari kejauhan, kini duduk di hadapannya,
di dalam rumahnya, di hadapan meja makan yang sama.
Ia semakin tergugah kebanggaannya akan negerinya yang
menjadi tanah impian orang-orang Afghan dari seberang. ”Se-
karang, Tajikistan sudah kuat. Kamu lihat, tentara Tajikistan
dengan gagah berpatroli di sepanjang sungai. Gaji saya seratus
dolar per bulan. Semua tentara mendapat seragam dan makan
gratis, selain upah.”—Tak perlulah ia menekankan bahwa upah
pasukannya hanya sekitar 2 dolar per bulan—”Kami sudah kuat.
Dan Afghanistan juga sudah kuat.”
Negeri yang kuat punya garis batas yang jelas. Tilo menyebut-
om
kan sejumlah nama penyelundup Afghan, penyeberang sungai
t.c
po

tertangkap yang kini mendekam di penjara Tajikistan. Kisah ini


gs

mengingatkan saya pada Jerman yang terbelah dua oleh ideologi,


lo
.b

lalu dibatasi dengan Tembok Berlin yang tak tertembus. Jerman


do
in

Timur, berideologi komunis, disokong oleh Uni Soviet. Jerman


a-
ak

Barat, kapitalis, didukung oleh negara-negara Barat. Berlin pun


st

dibagi dua, satu untuk Barat, satu untuk Timur. Tembok Berlin
pu

dibangun mengurung Berlin Barat di tengah lautan ”surga” ko-


munisme.
Uni Soviet berkata, komunisme adalah surga dunia, perlu
dilindungi perbatasan yang kokoh sehingga racun dan musuh
kapitalis tidak bisa menyelinap. Di balik tembok ini mereka di-
cekoki berbagai propaganda tentang Barat, tentang kehidupan
tak bermoral dan kesengsaraan. Di sini, penduduk diyakinkan,
negeri mereka adalah ”surga”, tanah impian semua bangsa du-
nia yang harus dilindungi dengan batas yang kuat. Padahal ke-
nyataannya, di Jerman Timur orang justru kelaparan dan ke-

85
takutan, bermimpi menyeberang ke Berlin Barat yang berlimpah
makanan dan kebebasan.
Akhirnya, komunisme runtuh. Tembok pun runtuh. Lautan
manusia membeludak menyeberangi batas yang semula tak ter-
tembus. Timur dan Barat lenyap. Bangsa yang terpecah kini
bersatu. Manusia boleh membangun tembok. Semakin tinggi,
semakin angkuh, semakin kejam dan dingin, demi melindungi
zona aman mereka. Kelak semua itu akan ambrol, hancur ber-
keping-keping, menghunjam dan mengubur diri mereka sendiri.
Daun-daun kuning keemasan terus berguguran, menyelimuti
jalan beraspal. Negeri ini sudah kuat. Rasa bangga seorang ten-
om
tara Tajikistan itu terus terngiang-ngiang dalam benak saya.
t.c
Benar, sungai di hadapan saya adalah sebuah batas kokoh, tem-
po

bok tembus pandang yang memisahkan manusia dalam negeri-


gs
lo

negeri. Memisahkan kehidupan dalam misteri-misteri. Memisah-


.b
do

kan takdir dan mimpi.


in
a-
ak
st
pu

86
DI ATAS RERUNTUHAN IMPIAN

MIMPI yang sempurna! Dari tepian sungai di Afghanistan sana,


di atas keledai lemah yang melangkah gontai di tepian jurang,
saya memandang iri ke arah Tajikistan. Mobil yang lalu lalang
bagaikan permadani terbang yang melintas. Magis. Mistis. Fan-
tastis. om
t.c
Tetapi apakah sebenarnya mimpi yang sempurna itu? Di sini,
po

memang ada jalan raya. Memang ada mobil. Tapi tak ada ben-
gs
lo

sin. Harga bensin menjadi topik pembicaraan penting setiap


.b
do

hari.
in

”Jarak Alichur ke Langar 120 kilometer. Pergi pulang 240


a-
ak

kilometer. Naik-turun gunung, seliter bensin cuma untuk tiga


st
pu

kilometer. Kamu bayar saja dengan 80 liter bensin,” kata seorang


pemilik mobil antusias melihat saya yang kebingungan mencari
kendaraan. Dihitung pergi-pulang karena nyaris mustahil untuk
menemukan penumpang dari Alichur. ”Terserah kamu, mau ba-
yar pakai bensin atau bayar pakai uang?” sopir itu menantang.
Apa dia menganggap saya sebagai pegawai pom bensin yang
selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Ataukah bensin
memang sudah jadi mata uang?
”Satu liter bensin 4 Somoni. Kali 80 liter. Kamu bisa bayar
320 Somoni!” Bukankah harga bensin hanya 3,80 Somoni? ”Itu
harga di Vrang. Semakin tinggi tempatnya, semakin mahal

87
harga bensinnya,” sopir itu keukeuh. Transportasi di Pamir se-
makin susah dan mahal. Menunggu angkutan umum butuh ke-
sabaran yang laksana menunggu turunnya hujan di Gurun
Taklamakan.
Harga itu tidak bisa ditawar. Saya tak punya uang sebanyak
itu.
”Harga bensin di Khorog.... Harga bensin di Vrang....”
Saya mendesah, putus asa.
”Harga bensin di Dushanbe.... Harga bensin di Ishkashim...,
di Alichur... di Langar... di Murghab....”
Setelah setengah jam lebih berceramah tentang formula hu-
om
bungan antara harga bensin dan ketinggian permukaan bumi,
t.c
po

sopir itu menyingkap sebuah rahasia besar yang teramat penting:


gs

bensin sama sekali tidak ada di Langar. Sekalipun saya punya


lo
.b

uang untuk membayar, harus tetap menunggu datangnya peda-


do
in

gang bensin dari Vrang atau Ishkashim. Entah apa gunanya


a-
ak

tawar-menawar sampai mulut berbusa. Entah apa gunanya ce-


st

ramah panjang itu. Mungkin hanya pengobat rasa bosannya


pu

sebagai sopir pengangguran.

Tiba-tiba, kabar gembira mengalir dari mulut Yodgor. Para te-


tangga sedang sibuk men-charter mobil. Mereka hendak ke
Murghab dan saya boleh menumpang. Ongkosnya cukup mahal,
tetapi masih jauh lebih mending daripada harus membayar 80
liter bensin. Pagi yang dingin dimulai dengan puncak-puncak
gunung Wakhan melepaskan diri dari selimut kabut tebal. Saya

88
siap berangkat, menerjang ke gunung-gunung, meninggalkan
Wakhan.
Tapi apa gunanya kalau hanya saya seorang diri yang siap?
Tak ada mobil, kawan! Sejak kabut masih menggelayut di se-
luruh lembah, hingga sekarang matahari bersinar cerah, mobil
masih belum datang juga. Semua calon penumpang gelisah.
Saya sudah telanjur mengucap salam perpisahan dengan semua
orang yang saya kenal di desa, termasuk Tilo sang komandan
yang kalau pagi berubah menjadi penggembala kambing. Tengah
hari, semua bertanya kenapa saya masih terus beredar di Langar.
Daripada menunggu percuma, saya ikut Yodgor, sang khalifa,
om
menjalankan fungsinya sebagai pemuka agama.
t.c
Kami mengunjungi sebuah rumah baru. Bau pelitur masih
po

menusuk hidung. Di ruang besar, sudah berkumpul dua


gs
lo

puluhan orang. Kaum lelaki duduk di satu sisi panggung,


.b
do

perempuan di panggung lainnya. Ada pula kaum tua-tua. Di


in
a-

hadapan mereka terhampar tikar dengan tumpukan roti dan


ak

cawan berisi shir choy. Semerbak aroma nasi daging juga


st
pu

menyeruak.
Kedatangan Yodgor sudah lama dinantikan. Sebagai pemuka
agama, Yodgor sangat dihormati. Orang bergantian menyalami
dan menciuminya. Yodgor memimpin doa. Semua menenga-
dahkan tangan, mengamini. Sebenarnya ini bukan tugas khalifa,
tetapi pemuka agama Ismaili di kampung cuma dia seorang.
”Sekarang semua urusan, mulai dari sembahyang, pemberkatan
rumah, akad nikah, sampai sengketa semuanya menjadi tugas
saya,” kata Yodgor, sembari mengemasi bungkusan nasi dan roti
yang dipersembahkan pemilik rumah.
Yodgor, yang merangkap sebagai guru, masih sempat mem-

89
bawa saya ke sekolah tempatnya mengajar. Lantai kayu berderik-
derik ketika saya melangkah. Bapak kepala sekolah mengantar
saya berkeliling, mengunjungi kelas demi kelas. Saya merasa se-
perti kembali ke zaman komunisme—slogan patriotisme ber-
taburan, foto pahlawan berderet, ditambah bendera dan lam-
bang negara di sana-sini. Bedanya, dulu semuanya berbau merah
komunis, sekarang sudah berganti dengan kejayaan Republik
Tajikistan, mulai dari keemasan Jalur Sutra hingga kemegahan
gunung-gunung Pamir.

om
t.c
Kejayaan gunung-gunung Pamir yang sebenarnya terus terpam-
po

pang ketika saya akhirnya berhasil menumpang kendaraan yang


gs
lo

berangkat ke Murghab setelah penantian lebih dari enam jam.


.b
do

Perjalanan ke utara terus menanjak. Di sebelah kanan kami,


in
a-

dengan setia Sungai Amu Darya mengalir menemani deretan


ak

pegunungan Afghanistan. Daerah Afghanistan di seberang sana


st
pu

adalah wilayah Pamir-e-Kalon, Pamir Besar, pegunungan atap


dunia yang merengkuh ketinggian 5.000 meter, menyambung
lembah Wakhan sampai ke Cina.
Di sebuah tikungan, mobil berhenti. Penumpang dan sopir
berhamburan ke arah sungai di bawah tebing. Bulir-bulir pasir
berterbangan, mengiring kaki kami yang meluncur ke bawah.
”Tiga minggu lalu, sebuah mobil penumpang”—persis seperti
yang kami tumpangi sekarang—”jatuh di tebing ini ke arah su-
ngai. Tiga orang meninggal, termasuk bayi. Sekarang kita men-
doakan para korban di sini,” jelas sopir. Dua perempuan tua
menangis tersedu ketika kedua tangan mereka menutup wajah

90
mengakhiri doa. Hawa perkabungan menyayat, semakin berat
oleh angin pegunungan yang berdesing menampar wajah.
Kematian, dalam kebanyakan kultur di dunia, diratapi de-
ngan tangisan dan kesedihan. Di antara semua garis batas, garis
yang memisahkan hidup dan mati adalah garis yang paling ti-
dak tertembus. Siapa pun yang telah melintas garis itu, akan
terpisah dengan kita di alam fana ini, selamanya. Perpisahan
abadi itulah yang membawa ratapan dan penyesalan.
Kami melanjutkan perjalanan. Suara sesenggukan di dalam
mobil semakin membuat suasana berkabung terasa berat. Jalan
terus menanjak. Langit kelabu tertutup kabut, seakan melukiskan
om
perasaan. Jip berjalan perlahan, tak kuasa melawan kecuraman
t.c
bukit Pamir. Jalan kemudian berbelok ke utara, tak lagi berada
po

di tepian Amu Darya. Afghanistan hilang dari pandangan.


gs
lo

Kami menuju pegunungan Pamir-nya Tajikistan, tempat ke-


.b
do

diaman suku Kirgiz yang menghuni atap dunia.


in
a-

Puncak Khargush, pada ketinggian nyaris 4.000 meter, ada-


ak

lah rintangan terberat dalam perjalanan ini. Karena letaknya di


st
pu

dekat daerah sensitif Danau Zor Kol di perbatasan Afghanistan,


di sini pun ada checkpoint tentara perbatasan. Angin mengamuk
ketika saya meregistrasikan paspor saya kepada tentara muda
yang bosan dan kedinginan.
Tak lama setelah melintasi puncak, pemandangan tiba-tiba
berubah. Dari tebing gunung kelabu yang terjal, sekarang yang
tampak adalah padang hijau. Datar. Luas. Di kejauhan gunung
bertudung salju berbaris rapi. Langit begitu rendah, seperti nya-
ris terjangkau rengkuhan tangan. Awan berarak perlahan. Da-
nau biru kelam yang terbentang beberapa kilometer di tepi jalan
membuat pemandangan ini laksana alam fantasi.

91
Jip kami baru sampai di Alichur ketika langit sudah gelap
sempurna. Pemukiman seperti titik-titik putih yang bertaburan
di atas kertas hitam. Anjing gembala menggonggong tanpa
henti, bak serigala kelaparan. Warung gelap. Cahaya lampu mi-
nyak menyamarkan wajah-wajah garang para lelaki. Mata mereka
sipit, mengingatkan pada garis mata Genghis Khan dari negeri
Mongol. Bibir tebal terkatup rapat. Kalau bicara, bibir-bibir itu
sepertinya tak perlu terbuka sempurna. Hasilnya adalah suara
mendesis-desis. Terkadang mereka memonyongkan bibir, meng-
hasilkan suara-suara aneh yang seakan menggaruk kerongkongan.
Ini sudah bukan Tajikistan lagi rasanya. Negeri yang semula
om
sangat akrab kini berubah menjadi asing sama sekali. Orang-
t.c
orang berbicara dalam bahasa yang tak saya mengerti. Wajah-
po

wajah sangar ini adalah milik para sopir truk dari Republik
gs
lo

Kirgizstan, negara tetangga di utara. Pemilik warung pun wanita


.b
do

Kirgiz yang tak pernah tersenyum dan pelit berkata-kata.


in
a-

Sehabis meneguk sup daging berminyak, penumpang dari


ak

Langar langsung kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan


st
pu

ke Murghab. Saya memutuskan tinggal di Alichur yang gelap


dan seram ini. Pilihan gila? Bisa jadi. Tak ada tempat menginap,
selain di lantai stolovaya—warung kecil—yang lembap dan dingin
ini bersama para sopir truk Kirgizstan. Di tempat seperti ini,
sudah lazim warung berubah fungsi menjadi tempat menginap
para sopir truk. Semua nantinya akan tidur di ruangan yang
sama, di atas lantai yang dilapisi matras, berselubung selimut
apak koleksi pemilik warung.
Saya sendirian. Sopir-sopir Kirgiz terus bicara. Suara tawa
menggelegar. Gumaman panjang terdengar. Teriakan-teriakan
kasar menusuk gendang telinga, disusul detap langkah tergopoh-

92
gopoh si nyonya pemilik warung. Vodka bergemerecik dituang
ke cawan, diteguk, dan disebarkan aromanya ke seluruh sudut
ruangan oleh mulut bau para sopir.
Setidaknya saya masih cukup beruntung, di tengah belasan
orang Kirgiz di warung ini ada seorang Tajik. Dudkhoda, pria
kurus tinggi yang menumpang gratis truk orang Kirgiz sampai
ke Murghab. Dudkhoda berjanji akan ”menyelipkan” saya turut
serta bersama sopir-sopir Kirgiz esok pagi.
Dengan bahasa Rusia seadanya plus gurauan-gurauan konyol,
saya berkomunikasi dengan para sopir. Mereka menawari vodka,
tetapi saya lebih tertarik belajar bahasa Kirgiz. Wanita gemuk
om
dan galak pemilik stolovaya meminjamkan buku pelajaran anak-
t.c
nya yang masih duduk di bangku SD.
po

Isi buku itu semuanya dalam huruf Rusia. Bab pertama,


gs
lo

”Ata mekenim Kyrgyzstan”. Tanah airku Kirgizstan. Saya berhasil


.b
do

mengucapkan kalimat pertama saya dalam bahasa Kirgiz. Para


in
a-

sopir taksi tertawa senang, bertepuk tangan. Pemilik stolovaya


ak

yang judes pun ikut tersenyum. Buku mungil itu sudah kumal
st
pu

dan sobek-sobek, berisi bab tentang lagu kebangsaan, bendera,


lambang negara Kirgizstan, juga kisah tentang legenda pahlawan
Manas, gunung-gunung tinggi di negara itu, dan kota-kota
industri di sana.
Etnis Kirgiz yang tinggal di Tajikistan diizinkan belajar ba-
hasa mereka, selain harus bisa bahasa Tajik sebagai bahasa na-
sional. Nyonya pemilik warung sama sekali tidak bisa bahasa
Tajik, tetapi anak-anaknya yang masih sepuluh tahunan bisa
sedikit-sedikit karena diajari di sekolah. Buku pelajaran bahasa
Kirgiz semua didatangkan langsung dari Kirgizstan, penuh de-
ngan pesan moral dan semangat kebangsaan dari negara te-

93
tangga. Bocah-bocah kecil ini pada saat bersamaan memupuk
cinta pada dua negeri berbeda.

Bermalam di Alichur, tidur di stolovaya, di atas lantai dingin,


berbungkus selimut tebal dan kotor, mungkin memang bukan
idaman semua petualang. Sopir-sopir truk tidur berjajar seperti
ikan yang digelar di pasar. Lampu minyak padam. Dalam ke-
gelapan pekat, suara dengkuran sahut-menyahut, seakan ber-
saing dengan lolongan anjing gembala di luar sana.
om
Tiba-tiba ada tangan merangkul saya. Di warung sempit ini
t.c
tidak banyak tempat. Saya berbagi tikar dan selimut dengan
po

Dudkhoda. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia su-
gs
lo

dah pulas. Tidak terdengar dengkuran dari mulutnya. Ada


.b
do

embusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Bau vodka ter-
in
a-

cium kuat. Dudkhoda tidak sedang tidur. Ia butuh sesuatu un-


ak

tuk melampiaskan hasrat berahinya.


st
pu

Suara dengkuran sopir-sopir Kirgiz masih nyaring, seperti se-


buah konser orkestra yang dipimpin pemabuk. Dudkhoda pun
tidak berhenti menggerayangi.
Berkali-kali saya mengembalikan tangannya ke tempat yang
seharusnya, dan setiap kali pula tangan itu mendarat kembali di
badan saya.
Akhirnya, karena pengaruh vodka, saya tertidur pulas juga.
Semoga ini semua hanya mimpi buruk akibat dahsyatnya vodka.
Semoga ini hanya fantasi.
Sayangnya, saya yakin betul, itu bukan mimpi.

94
Pening mengawali hari saya. Malam seram berganti pagi dingin
yang kelabu. Kabut tipis masih menyelimuti Alichur ketika
matahari mulai menampakkan dirinya. Langit biru kelam me-
naungi barisan gunung dan padang rumput yang menghampar.
Rumah-rumah yang bentuknya seragam, kotak-kotak sederhana,
satu demi satu mengepulkan asap melalui cerobong panjang.
Anjing-anjing berukuran besar berkeliaran, melolong, berlarian.
Pemukiman ini adalah desa orang Kirgiz, bangsa penggembala.
Padang yang mulai mengering di bulan Oktober terhampar
om
menyerupai permadani hijau yang indah menyelimuti bumi.
t.c
po

Padang inilah yang menjadi magnet kaum gembala dan ternak


gs

di musim panas. Bangsa Kirgiz, salah satu suku nomad di Asia


lo
.b

Tengah, tersebar di Tajikistan, Afghanistan, Kazakhstan, Cina,


do

dan tentu saja negaranya sendiri Kirgizstan. Mereka penganut


in
a-

agama Islam Sunni, sedangkan orang Tajik di Pegunungan Pa-


ak
st

mir umumnya penganut Syiah sekte Ismaili.


pu

Suku Kirgiz tidak begitu membaur dengan orang Tajik, bang-


sa mayoritas di Tajikistan. Budaya, kepercayaan, serta bahasa
mereka begitu berbeda. Jarang sekali orang Kirgiz yang bisa ber-
bahasa Tajik, demikian pula sebaliknya. Walaupun masih tinggal
di daerah yang sama, bahasa yang digunakan sehari-hari untuk
berkomunikasi adalah bahasa Rusia. Betapa hebatnya Rusia itu.
Pengaruh Moskow yang bercokol hingga ke perbatasan terjauh
Uni Soviet ini tak mudah dihapus dalam lima belas tahun ke-
merdekaan.
Dudkhoda sibuk menaruh barang bawaannya—dua ikat besar

95
kayu bakar—ke bak terbuka. Sopir Kirgiz juga sudah sibuk me-
meriksa kendaraannya dari tadi. Membuka kap mobil, meng-
hidupkan mesin, melemparkan asap hitam ke pelukan langit
biru. Semua truk buatan Rusia, berlabel besar—KAMA3, dibaca
Kamaz. Mereka datang jauh-jauh dari Kirgizstan membawa batu
bara untuk dijual di Tajikistan. Batu bara adalah bahan bakar
yang sangat dibutuhkan di pegunungan, apalagi di musim
dingin. Setelah barang mereka terjual, para sopir kemudian
membeli sapi, kambing, dan domba untuk dijual di negeri
Kirgiz sana.
Menjelang tengah hari, barulah ketiga truk beranjak ber-
om
iringan meninggalkan Alichur. Saya bersorak girang. Di samping
t.c
saya duduk Dudkhoda, yang masih membuat saya enggan bi-
po

cara. Tak apa. Pemandangan di kanan-kiri jalan sangat me-


gs
lo

ngagumkan. Langit seakan tertangkup di atas kepala. Garis


.b
do

cakrawala bersambung dengan lekukan-lekukan gunung. Kamaz


in
a-

memang besar, tangguh, perkasa, tetapi melangkah lambat. Ber-


ak

kali-kali raksasa jalanan ini mogok. Sopir truk berbadan tambun


st
pu

sibuk mengutak-atik mesin. Saya menggigil kedinginan. Angin


di Pegunungan Pamir bukan tipe sepoi-sepoi untuk dinikmati.
Setiap kali angin menerpa wajah, bulu hidung saya langsung
membeku. Sakit sekali.
Murghab tak lebih dari seratus kilometer jauhnya dari
Alichur. Tetapi, perjalanan di tengah padang penggembalaan
dan gunung-gunung tinggi ini memakan waktu hampir seharian.
Menjelang gelap, rombongan Kamaz kami baru sampai di ger-
bang kota.
Semakin dekat perbatasan, pos pemeriksaan militer Tajikistan
semakin banyak. Di ruang gelap, seorang tentara, sambil tiduran

96
berbungkus selimut, memeriksa dokumen-dokumen kami.
Wajahnya kuyu, dengan guratan keras dan dalam. Ekspresinya
marah.
Tanpa seragam tentara, lelaki di hadapan kami ini tak ada
bedanya dengan pengangguran yang dilihat di pasar-pasar. Te-
tapi, seragam itu, memberinya kekuasaan tinggi atas kami se-
mua, terlihat dari aroganisme suaranya yang perlahan, berat,
dan matanya yang setengah terpejam ketika berbicara. Pakaian,
lengkap dengan segala lencana, renda-renda, dan pernak-pernik-
nya, adalah sebuah garis batas. Serdadu, kolonel, jenderal,
polisi, hakim, pelayan hotel, diplomat, ulama, tukang sapu ja-
om
lanan, semua dalam pakaian mereka masing-masing, menjalankan
t.c
peranan masing-masing. Kedudukan, wewenang, jabatan, ke-
po

kuasaan, kekayaan, gender, usia, bahkan sampai ketakwaan bisa


gs
lo

dilambangkan oleh pakaian.


.b
do

Seragam itu sungguh punya kuasa. Dengan patuh, sopir-so-


in
a-

pir Kirgiz menunjukkan paspor biru berjudul besar: KYRGYZ


ak

RESPUBLIKASY. Di balik selimut tebal dan di atas sandaran ban-


st
pu

tal kumalnya, si komandan membolak-balik paspor-paspor itu.


Suaranya tiba-tiba menggelegar. ”MANA REGISTRASINYA?!”
Sopir-sopir Kirgiz tertunduk diam. Orang-orang bertubuh
besar ini seketika meringkuk seperti sekumpulan murid nakal
yang disetrap guru kejam. Si komandan tak henti-hentinya
membentak mereka.
”Brat! Saudara! Kalau kamu masuk Tajikistan, kamu harus
ikut hukum Tajikistan,” suara sang komandan mengguncang
dalam bahasa Rusia, ”kalau tinggal di sini lebih dari tiga hari,
registrasi itu wajib!” Ia melemparkan tumpukan paspor Kirgiz-
stan itu ke tanah seperti sampah. Semua sopir Kirgiz kena

97
denda, masing-masing 20 Somoni. Si sopir gempal menitikkan
air mata.
Apa daya, Brat? Tajikistan memang hidup dari gemeresik
roda birokrasi.

Gelap mencekam dan dingin yang membuat ujung kaki terasa


ngilu menyambut kami di Murghab. Nuansa seram dipancarkan
oleh barisan rumah yang tampak nyaris ambruk. Bau apak me-
nusuk hidung. Bulan bersinar terang, ditemani jutaan bintang
om
yang bertabur. Burung malam beterbangan, berkaok, mereso-
t.c

nansikan kengerian rumah hantu.


po
gs

Tapi bukan hantu yang tinggal di sini. Ini tempat Dudkhoda


lo
.b

melewatkan hari. Ada sekitar sepuluh rumah tua kecil berbaris


do
in

bersaf-saf, berjarak teratur, tertata di lapangan luas berpagar do-


a-

yong. Semua menampilkan wajah yang sama: hitam menganga.


ak
st

Beberapa rumah, pintunya sudah disegel dengan balok palang


pu

kayu bersilangan, bertahun-tahun tak dihuni manusia.


Pintu kayu berderik keras ketika dibuka. Seekor kucing me-
lompat keluar menyambut, juga gadis kecil bermata lebar dan
berbaju merah kusam yang menciumi pipi Dudkhoda.
”Cepat! Siapkan makanan!” kata Dudkhoda lekas-lekas. Ia
segera kembali ke truk, menurunkan kayu bakar dan berkarung-
karung kentang. Gadis itu dengan cekatan mengambil beberapa
butir kentang, mencuci, mengupas, mengiris di sudut ruangan.
”Rumah” Dudkhoda ini sebenarnya hanya satu ruangan,
berukuran 3x4 meter. Lampu minyak berkelip-kelip. Musim di-

98
ngin di Murghab, dalam tiga hari hanya satu hari yang berlistrik.
Itu pun beberapa jam saja.
Dudkhoda duduk bersila, menghadap meja makan yang ha-
nya selutut tingginya. Ia juga tinggal bersama istri dan bocah
lelakinya. Selain lemari, rak buku, oven usang yang tersambung
langsung dengan cerobong, tumpukan matras, perlengkapan
makan, radio kecil, tak ada lagi yang bisa dijejalkan di sini. ”Jus-
tru rumah begini yang bagus,” kata Dudkhoda sambil menye-
ruput teh, ”musim dingin di sini terlalu dingin. Kalau rumah
kecil malah kita merasa lebih hangat. Orang-orang di sini pasti
lebih suka memilih rumah seperti ini daripada rumah besar
om
yang mewah.” Dudkhoda sebenarnya tak punya pilihan. Hanya
t.c
di sini ia dan keluarganya bisa tinggal.
po

Seperti janjinya kepada para sopir Kirgiz demi tumpangan


gs
lo

gratis, Dudkhoda harus menyediakan santap malam bagi me-


.b
do

reka. Rumahnya terlalu sempit, sehingga orang-orang Kirgiz itu


in
a-

harus menunggu di luar sambil mengutak-atik truk yang entah


ak

kenapa lagi.
st
pu

Satu jam berlalu. Dudkhoda berseru dari dalam rumah,


”Masuk! Makan malam sudah siap!” Istrinya menuang teh hijau
ke cawan-cawan di atas meja kayu. Tak ada gula. Harga gula su-
dah melambung terlalu tinggi. Sepiring besar kentang goreng
bersimbah kuah minyak buatan tangan istri terhidang di meja.
Para tamu, termasuk saya, sudah kelaparan sejak kemarin. Saya
menyobek roti, mencelupkannya di piring komunal, mengambil
irisan kentang, mendorongkan ke mulut menganga. Para sopir
tampil lebih rakus lagi—minyak tak henti-hentinya menetes dari
sudut bibir mereka. Suara mendesis dari mulut yang terus me-
ngecap. Dudkhoda menemani makan, sambil menuang teh ke

99
cawan-cawan yang tak boleh kering. Istrinya—yang tidak pernah
diperkenalkan namanya—duduk bertumpu lutut di pinggiran,
tersenyum puas memandangi para tamu. Kedua anaknya hanya
menatap.
”Ayo, makan bersama kami,” saya berkata kepada putra
Dudkhoda yang masih sepuluhan tahun umurnya. Bocah itu
duduk di sudut, menggendong kucing di pangkuan. ”Sudah
makan.” Ia menggeleng, tersenyum tipis. Pandangan matanya
kosong. Saya tahu, ia bohong.
Tak sampai lima menit semua makanan ludes. Tersisa hanya
sedikit tetesan minyak. Sopir-sopir masih mengoleskan potongan
om
roti nan hingga piring itu benar-benar licin mengilap. Hanya
t.c
berucap sepatah ”Spasiba! Terima kasih!” Mereka beranjak pergi,
po

siap tancap gas.


gs
lo

Sebuah piring besar dengan sedikit genangan minyak, hanya


.b
do

itu yang tersisa.


in
a-

Dalam remang-remang lampu petromaks dan kesunyian se-


ak

peninggal para tamu, terdengar jelas bunyi keroncongan dari


st
pu

perut anak Dudkhoda. Jari mungilnya mencoleki minyak di


piring, lalu dijilati dengan lidahnya. Demikian juga kakaknya.
Mata mereka berbinar menikmati sisa minyak dan remah-remah
roti yang ditinggalkan para tamu.
”Sejak bubarnya Uni Soviet, hidup jadi susah,” Dudkhoda
berkisah sementara istrinya sibuk membersihkan ruangan dan
anak-anaknya menyiapkan matras untuk tidur. ”Di sini pekerjaan
sudah tidak ada lagi. Aku ahli geologi, tetapi sudah bertahun-
tahun aku menganggur. Tetapi untunglah, setidaknya aku masih
punya rumah ini.”
Dudkhoda harus tetap tinggal di Murghab karena kemung-

100
kinan akan ada pekerjaan penelitian di pegunungan. Tetapi ia
sudah menanti di sini bertahun-tahun, mendamba datangnya
”hari baik” yang konon akan membarengi membaiknya per-
ekonomian Tajikistan. Dia masih mendapat kiriman gaji dari
Dushanbe. Besarnya 250 Somoni, sekitar 70 dolar. Per tahun!
Apa yang bisa diharapkan dari uang sejumlah itu? Semua di sini
serbamahal, dan Murghab bukanlah tempat bersahabat, apalagi
di musim dingin. Setidaknya, pemerintah masih menyediakannya
satu ruangan di kompleks ”rumah hantu” ini dan Dudkhoda
bersyukur karena itu.
Tajikistan, yang pernah menjadi bagian dari sebuah negeri
om
adikuasa, kini teronggok di jajaran sepuluh negara termiskin
t.c
dunia. Dulu, setiap Republik Sosialis Soviet diciptakan hanya
po

sebagai onderdil yang mendukung perputaran roda mesin rak-


gs
lo

sasa bernama Uni Soviet. Tajikistan dan negara ”Stan” lainnya,


.b
do

bukan dilahirkan Stalin untuk merdeka dan berdaulat. Tajikistan


in
a-

tak punya banyak sumber daya mineral, tetapi punya dam-dam


ak

raksasa pembangkit listrik yang memasok energi berkali-lipat


st
pu

dari kebutuhan dalam negerinya. Soviet juga membangun


industri aluminium skala besar dan uranium di republik ini,
yang produksinya nyaris tak berguna sama sekali bagi penduduk
Tajikistan. Negeri ini terjepit di tengah daratan Asia, terkurung
gunung, dan dirundung kemiskinan karena struktur ekonomi
yang rapuh. Dudkhoda si ahli geologi, seperti jutaan penduduk
lainnya, sekarang menjadi penganggur.
Namun, harapan belum sirna. Setelah perang berakhir, ba-
nyak organisasi kemanusiaan internasional yang berbondong-
bondong menawarkan perubahan. Dudkhoda ikut program
mikrokredit, memperoleh pinjaman 200 dolar untuk memulai

101
usaha. Tetapi, bisnis apa yang bisa dimulai dengan modal sekecil
itu? Untuk biaya angkutan barang dari Khorog pun tak cukup.
Usahanya langsung kandas di tengah kepungan gunung. Seka-
rang tinggal istrinya yang menjadi tulang punggung keluarga.
Malam larut. Sinar bulan menerobos ruangan, membagikan
sedikit terang ke temaramnya ruangan yang kini hanya disinari
sebatang lilin. Istri Dudkhoda, wanita yang sudah keriput meski
usianya masih muda, sibuk menyiapkan adonan tepung. Ia
bekerja sampai tengah malam. Esok subuh-subuh ia sudah harus
bangun untuk memanggang adonan roti ini dengan oven tua di
sudut kamar. Roti nan buatannya bakal dijualnya sendiri di
om
pasar kota Murghab. Dalam sehari ia bisa membuat sepuluh
t.c
roti, masing-masing dihargai satu Somoni.
po

Di hari yang paling mujur, 10 Somoni bisa didapatkan dari


gs
lo

penjualan roti. Laba bersihnya tak sampai sedolar. Biasanya,


.b
do

istri Dudkhoda hanya bisa menjual tiga bilah roti setelah me-
in
a-

nunggu seharian di pasar. Bukannya untung, malah buntung.


ak

Dudkhoda masih harus memikirkan utang mikrokreditnya yang


st
pu

tak kunjung terbayar.


”Memang hidup di zaman Uni Soviet jauh lebih mudah,
semua orang punya pekerjaan. Semua orang tak kelaparan. Te-
tapi, saya lebih memilih hidup bersama Tajikistan,” katanya
mantap, ”karena dalam komunisme, semua orang sama, semua
orang sejajar. Kamu bekerja atau tidak pun tetap diberi makan.
Orang tak perlu berpikir untuk bertahan hidup, negara men-
jamin semuanya. Tetapi, otak jadi tumpul, orang jadi bodoh.
Sekarang, zaman berganti. Tajikistan sudah ozod—bebas. Negara
kami memang miskin, tetapi kami dipaksa untuk berjuang.
Kami harus berpikir untuk bertahan hidup, otak kami bekerja

102
kembali. Hidup memang berat, tetapi aku yakin, inilah yang
terbaik untuk masa depan Pamir.”
Rumah Dudkhoda memang kecil dan kumuh, tetapi ia
bangga akan kehangatannya. Hidup Dudkhoda memang miskin
dan sengsara, tetapi Dudkhoda tetap bersyukur dan berjuang.
Tajikistan-nya Dudkhoda masih tertatih-tatih di atas kebobrokan
ekonomi, tetapi Dudkhoda bersikukuh bahwa hidup ini masih
lebih baik daripada kejayaan adikuasa Uni Soviet.
Apakah ini kebanggaan yang muncul dari kebebasan, ke-
mandirian, ataukah keterpaksaan yang tak memberi pilihan?
Atau sekadar pelipur kekurangan seperti ketika ia beralasan ru-
om
mah kecilnya lebih baik daripada rumah besar karena hangat di
t.c
musim dingin? Benarkah kemerdekaan, sekalipun harus ditebus
po

dengan penderitaan hidup dan kemiskinan, masih lebih ber-


gs
lo

harga daripada perut kenyang namun tak punya kebebasan ber-


.b
do

ekspresi?
in
a-

Angin berembus kencang dari jendela, memadamkan cahaya


ak

lilin di kamar ini yang hampir meleleh. Dalam kegelapan yang


st
pu

nyaris sempurna, Dudkhoda masih berusaha menyelesaikan ka-


limatnya, ”Pamir akan jadi lebih baik. Suatu hari nanti. Pasti!”
Ia menghela napas panjang. Harapan itu tenggelam dalam
kepekatan malam.

Qiyin dan bichara—susah dan malang—adalah dua kata favorit


Gulnoro. Kedua kata itu hampir selalu terselip dalam kalimat-
kalimatnya, meluncur dari bibir tipis di wajah sayu wanita pa-
ruh baya itu. Terkadang kedua kata itu diucapkan bersama se-

103
ulas senyum, meskipun terasa sangat getir dan kering. Lebih
sering kedua kata itu diucapkan dalam kalimat datar dan lam-
bat. ”Hidup di sini qiyin dan bichara. Sekarang harga tepung
sudah 70 Somoni,”—sementara gaji bulanannya sebagai guru se-
kolah dasar hanya 80 Somoni—”itu pun tidak cukup untuk se-
bulan. Kalau beras jauh lebih mahal lagi. Aku suka makan nasi,
tetapi sudah lama sekali aku tidak pernah memasak nasi lagi.”
”Harga beras... harga kentang... harga gula... harga teh dulu...
harga teh sekarang...,” daftar harga barang-barang menerjang
bak rentetan pistol dari mulut Gulnoro.
Sejak Tajikistan merdeka, teh menjadi hambar, santapan
om
menjadi gersang, satu per satu menu favorit lenyap dari meja
t.c
makan penduduk. Bertahan dalam kehidupan yang qiyin dan
po

bichara berarti kenyamanan dan kelezatan sudah menjadi mimpi


gs
lo

yang teramat mewah.


.b
do

”Harga daging... Harga bensin... Harga tepung...,” keluhan


in
a-

Gulnoro terus berlanjut.


ak

Usia Gulnoro menginjak 54 tahun tetapi ia belum sempat


st
pu

memikirkan pensiun. Ia adalah adik perempuan khalifa Yodgor


dari Langar, menikah dengan lelaki Murghab dan menetap di
kota barat Tajikistan ini. Walaupun Langar hanya sekitar 270
kilometer jauhnya, Gulnoro sudah dua tahun ini tak pulang
kampung. Gajinya sebulan penuh hanya cukup untuk bepergian
200 kilometer saja. ”Siapa yang masih memikirkan bepergian?
Untuk hidup saja kita sudah qiyin dan bichara! Makan saja
susah!”
Komunikasi antara Gulnoro dan kakaknya kini terbatas
pada barang-barang titipan. Bila ada truk atau kendaraan yang
melintas dari Langar menuju Murghab, pasti Yodgor tak pernah

104
lupa menitipkan kentang, kayu, dan kebutuhan lainnya. Dengan
kiriman dari kampung, Gulnoro tetap bisa bertahan di kota ini.
”Mahal! Semua mahal! Dan gajiku cuma 80 Somoni! Hidup
ini qiyin dan kita orang bichara!”
Murghab adalah kota yang didirikan di atas mimpi—kota
perbatasan imperium Uni Soviet di puncak pegunungan atap
dunia Pamir, berhadapan dengan Republik Rakyat Cina, raksasa
komunisme lainnya di sebelah timur. Berabad silam, siapa yang
menyangka kalau padang penggembalaan para pengembara
Kirgiz ini bisa berubah menjadi sebuah kota? Orang-orang kulit
putih dari utara datang membawa perombakan besar. Kota di-
om
bangun, jaringan dan sistem kehidupan ditata. Lahirlah
t.c
Murghab, kota baru pada ketinggian yang tidak biasa.
po

Dari para pengembara yang hidup di kemah, orang Kirgiz


gs
lo

disekolahkan dan di-”rumah”-kan. Tentu saja ada yang melawan,


.b
do

tidak rela diubah gaya hidupnya. Mereka lari ke Cina kemudian


in
a-

menetap di Afghanistan, melestarikan hidup pengembaraan


ak

hingga kini. Sedangkan yang di Murghab menyaksikan bagai-


st
pu

mana sebuah kota di tengah padang menjadi semakin modern.


Rumah berjajar rapi. Jalan raya beraspal melepaskan tempat ini
dari keterpencilan. Sekolah dibangun, juga pos polisi dan ten-
tara perbatasan. Pendatang membanjir. Para gembala Kirgiz kini
berbagi tanah dengan orang Tajik dan Rusia. Murghab, yang
sempat menjadi perlintasan Jalur Sutra, kini ”hidup” kembali.
Walaupun kedudukannya adalah kota terbesar kedua setelah
Khorog di daerah pegunungan ini, Murghab juga sama ter-
puruknya. Penduduk bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi
juga tak punya makanan. Ketika perang saudara berkecamuk,
pemerintah pusat sempat menutup pintu menuju GBAO. Ham-

105
pir sepuluh tahun setelah perang berakhir, keadaan di Murghab
masih sangat menyedihkan. Harga barang melangit, seiring de-
ngan meroketnya harga minyak dunia. Penduduk di sini tak ada
sangkut pautnya dengan embargo ekonomi Iran atau perang
yang berkecamuk di Irak, tetapi gonjang-ganjing dunia terbawa
angin globalisasi hingga ke pegunungan terpencil ini. Ekonomi
mati, pendapatan tak ada. Mereka di sini tak seberuntung warga
desa yang masih bisa menyumpal perut dari hasil ladang. Di
Murghab, orang umumnya hanya punya sepetak rumah. Tak
ada uang berarti tak ada makanan.
Tekanan ekonomi yang berat mendorong banyak pria
om
Tajikistan berbondong-bondong meninggalkan negeri mereka,
t.c
mencari harapan baru di seberang perbatasan negara. Pria Tajik
po

kini membanjiri Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan, umumnya se-


gs
lo

bagai kuli bangunan. Jumlah pekerja Tajikistan di Rusia men-


.b
do

dekati angka satu juta, sementara total penduduk negeri ini


in
a-

hanya sekitar enam juta. Dengan perbandingan yang sama, ba-


ak

yangkan jika 40 juta penduduk Indonesia menjadi TKI dan


st
pu

TKW. Beig, suami Gulnoro, juga pernah mengadu nasib di


Rusia.
Siapa yang tidak tertarik dengan iming-iming gaji yang di-
tawarkan Rusia? Uang yang diperoleh dari bekerja sebulan di
sana sama dengan bekerja dua tahun tanpa henti di sini. Tetapi,
hidup di Rusia tak seindah impian. Pekerja migran harus men-
jalani siksaan lahir-batin. Para pekerja dari negara miskin harus
rela tidur di gorong-gorong. Puluhan manusia berdesakan di
atas lantai lembap. Manusiawi, lupakan kata itu. Ingat saja qiyin
dan bichara. Belum lagi perlakuan orang Rusia yang terkenal
rasis terhadap bangsa-bangsa kulit berwarna. Orang Tajik sering

106
dipandang rendah sebagai manusia kelas dua karena kemiskinan
dan pekerja migrannya yang membeludak. Masih ditambah
pula dengan geng mafia berkepala botak—kaum neo Nazi—yang
tak segan menyiksa dan membantai orang asing. Bukannya ter-
angkat hidupnya, beberapa keluarga pekerja yang menanti di
pegunungan Tajikistan malah mendapat kiriman jasad suami
atau putra mereka, langsung dari Moskow.
Sejak setahun lalu Beig kembali lagi ke Murghab dan men-
jalani hidup seperti layaknya kebanyakan orang di sini—sebagai
penganggur. Cukup sudah penderitaan karena harga diri yang
terinjak-injak. Tak perlu lagi ia memikirkan pandangan sinis
om
dan perlakuan semena-mena. Tak perlu pula ia tidur di lantai
t.c
dingin, karena rumah kayunya yang luas sungguh nyaman. Di
po

hadapan panggung tempat menggelar tikar, Beig juga punya


gs
lo

televisi yang tersambung antena digital. Dari sini ia bisa terus


.b
do

mengikuti perkembangan Tajikistan, negara-negara Stan di se-


in
a-

keliling, hingga Rusia.


ak

”Turkmenistan kita kini telah memasuki Abad Emas. Pemim-


st
pu

pin Agung Bangsa Turkmen, sang Turkmenbashi, memberi


ucapan selamat kepada para petani di Geok Depe yang berhasil
meningkatkan produksi gandum,” demikian televisi nasional
Turkmenistan berkoar dalam siaran beritanya. Turkmenistan
adalah republik Asia Tengah yang dipimpin oleh seorang dikta-
tor. Potret kecil berbentuk siluet kepala Turkmenbashi—sang
Presiden—selalu ditampilkan di pojok kanan atas televisi. Siaran
berita yang mirip acara ”Dari Desa ke Desa” zaman Orde Baru,
menampilkan sang presiden ditemani rombongan pejabat tinggi
meninjau ladang gandum, menyalami para petani yang baru
bekerja dengan traktor modern. Bagi Beig dan Gulnoro, yang

107
terus bergelut dengan kelaparan, potret Turkmenistan yang
ditampilkan televisi ini sungguh merupakan gambaran ke-
makmuran yang diimpikan.
”Lihatlah Turkmenistan,” kata Beig, ”betapa kayanya mereka
sekarang. Mereka sekarang yang paling makmur di Asia Tengah.
Setelah Turkmenistan, masih ada Kazakhstan yang juga kaya
minyak. Uzbekistan dan Kirgizstan pun kaya. Hanya Tajikistan
yang miskin.” Beig tidak pernah mengunjungi negara-negara te-
tangga ini. Gambaran kaya-miskinnya negeri-negeri Stan di se-
keliling tercitra oleh siaran berita televisi yang selalu ia tonton.
Komunisme runtuh. Republik-republik yang dulunya di bawah
om
naungan bendera merah Uni Soviet kini menempuh jalan
t.c
hidupnya masing-masing. Ada yang semakin berjaya dengan
po

gelimang kemakmuran kapitalisme, ada yang masih diliputi


gs
lo

nostalgia sosialisme, ada pula negeri yang terpuruk dalam ke-


.b
do

miskinan dan terkubur mimpi-mimpi.


in
a-
ak
st
pu

Gadis kecil berteriak histeris, memamerkan geliginya yang


lancip, tumbuh tersebar tak merata, berhias air liur yang terus
menetes tanpa henti dari sudut mulut. Tangannya menggapai-
gapai angkasa, kakinya dipukul-pukulkan ke atas panggung
kayu. Gulnoro yang sibuk memanggang roti di oven tua langsung
tergopoh-gopoh memberikan buku tulis usang. Teriakan gadis
itu berhenti. Ia kini menyeringai seram sementara tangannya
sibuk menyobeki lembaran buku tadi menjadi serpihan kecil
yang mengotori ruangan.
Hadisa, putri Gulnoro dan Beig, berusia sembilan tahun. Ia

108
terlahir dengan cedera otak. Tingkat kecerdasannya sekarang
hanya setara dengan bocah dua tahun. Hadisa bertubuh kurus,
tinggi, dan berambut tebal. Ia berbalut sweter merah panjang.
Hadisa tak bisa jalan, sepanjang hari hanya merangkak. Pan-
dangan matanya selalu kosong. Emosinya tak stabil. Kadang
diam, kadang menangis keras-keras, kadang tertawa tanpa henti.
Ia suka sekali makan permen, tetapi masih belum bisa membuka
sendiri bungkusnya. Sering kali permen yang masih terbungkus
dimasukkan ke dalam mulut, segera saja air liur menetes deras
membasahi seluruh tubuhnya.
Gadis ini terkunci di dalam dunianya sendiri.
om
Namun, ada garis tak kasatmata yang menghubungkan du-
t.c
nia Hadisa dengan dunia kita. Ketika ia melihat orang tak di-
po

kenal, tumbuh rasa ingin tahunya. Hadisa meraih tangan saya


gs
lo

dengan jari-jarinya yang basah oleh liur, seolah ia ingin me-


.b
do

nerjemahkan keberadaan saya ke alam pikirnya yang sederhana.


in
a-

Dalam dunianya, mungkin ia hanya kenal bahagia. Ia tak ter-


ak

bebani depresi Beig, atau kekhawatiran Gulnoro akan harga te-


st
pu

pung dan beras, ataupun keputusasaan para penganggur yang


menghiasi pelosok Tajikistan. Justru ialah orang terkaya di
Murghab. Hidup dibuai kepuasan, tak menyunggi mimpi-mimpi
atau memikul derita.
Perlahan-lahan saya mulai mengagumi kecantikan Hadisa.
Gadis itu adalah curahan kasih sayang. Ketika Hadisa menangis
keras-keras layaknya bayi, Beig akan menciuminya lekat-lekat
hingga si bocah terlelap dalam senyum. Ketika Hadisa bangun,
giliran Gulnoro mencium dahinya, hidungnya, bibirnya, sambil
memasangkan kancing-kancing bajunya. Akim dan Olim, kedua
kakak laki-laki Hadisa, membawanya ke kandang kambing,

109
mengajaknya bermain bersama hewan-hewan. Hadisa tertawa
riang di atas punggung kambing, memakai topi bersulam warna
merah milik Akim yang kebesaran di kepalanya. Tawa gadis itu
menjadi tawa seluruh keluarga. Hadisa, bukan beban yang di-
tangisi, tetapi berkah Tuhan yang disyukuri.
Biarlah gadis itu tetap hidup dalam dunianya. Tak perlu ia
tersadar tentang realita bagaimana kisah sebilah roti terhidang
di hadapannya setiap hari. Tak perlu ia dibangunkan oleh ke-
laparan dan keluh kesah Murghab. Tak perlu ia merasakan
cemas para pemuda yang kebingungan mencari kerja di pasar,
atau menambah kerut-kerut dan uban seperti ayah-ibunya.
om
t.c
po
gs
lo

Saya pun ikut bermain dengan imajinasi, membayangkan bagai-


.b
do

mana anak-anak ini tumbuh dua puluh tahun kelak. Olim ber-
in
a-

tubuh kurus, berwajah indah dengan hidung mancung dan


ak

mata besar. Senyumnya pun menawan. Mata Tursunboy, bocah


st
pu

Kirgiz anak tetangga, sebaliknya, nyaris segaris. Diterpa sinar


matahari yang menerobos melalui jendela kaca, wajah Tursunboy
menampakkan keluguan dan kesederhanaan. Dalam hati saya
bertanya, apakah kelak wajah-wajah muda ini akan sekeras dan
setebal wajah Beig yang ditumbuhi jenggot tak rapi, kerut-kerut
menguatkan usia yang diresonansikan oleh tekanan hidup?
Akankah telapak tangan mereka yang halus menjadi sekeras ta-
ngan kuli? Akankah pandangan mata mereka sekosong para pe-
mabuk yang menghiasi pasar Murghab?
”Apa cita-citamu kalau besar nanti?” saya bertanya.
”Jadi sopir,” jawab Olim mantap.

110
Ketika anak-anak di belahan dunia lain bercita-cita menjadi
dokter, insinyur, dan presiden, bocah Murghab ini malah ingin
jadi sopir. ”Aku juga ingin jadi sopir,” sahut Tursunboy, lebih
mantap lagi.
Beig yang mendengar langsung berubah raut wajahnya. ”Apa-
apaan ini? Aku tak ingin punya anak yang cita-citanya cuma
ingin jadi sopir. Mau jadi apa hidup ini nanti? Tak ada harapan!”
Beig sebelumnya sudah marah-marah karena anaknya tidak ada
yang tahu nama ibu kota Ukraina, Azerbaijan, Kirgizstan, dan
Uzbekistan—negara-negara yang dulunya pernah senasib dengan
Tajikistan sebagai bagian Uni Soviet. ”Aku dulu menjadi tentara
om
di Kiev. Sekarang anak-anakku malah tidak tahu Kiev itu di
t.c
mana! Cita-cita cuma jadi sopir? Dunia ini bukan cuma Taji-
po

kistan, tahu?”
gs
lo

”Apa salahnya jadi sopir? Di Tajikistan, sopir juga belajar di


.b
do

universitas!” Gulnoro menenangkan suaminya. Di negara ini,


in
a-

setidaknya masa depan sopir masih jauh lebih terjamin daripada


ak

guru seperti dirinya atau penganggur seperti suaminya.


st
pu

Mimpi punya relativitasnya sendiri, bertingkat-tingkat, dan


ada garis batasnya. Orang di tempat berbeda, dalam lintasan
roda zaman yang berbeda, punya mimpi yang berbeda pula.
Saya teringat gurauan Marsha di Dushanbe. Mimpi orang
Afghanistan adalah Tajikistan, karena Tajikistan berlimpah lis-
trik dan perempuan. Mimpi orang Tajikistan adalah Rusia, ka-
rena di sana banyak lapangan kerja dan uang. Mimpi orang
Rusia adalah Amerika Serikat, karena di sana penuh gemerlap
modernitas dan kebebasan.
Lalu, apa mimpi orang Amerika? Mereka yang berada di
puncak dari segala mimpi, ternyata masih punya mimpi yang

111
lebih tinggi lagi—pergi ke luar angkasa.... Orang-orang kaya ber-
lomba untuk jadi turis antariksa. Entah apa lagi yang perlu di-
cari manusia di sana.

Murghab tak hanya punya satu Hadisa. Hari demi hari saya di
Murghab, semakin banyak Hadisa-Hadisa lain yang bermunculan.
Biasanya mereka tersembunyi di sudut rumah masing-masing,
tersimpan rapat dari sapuan pandangan awam. Tetapi sesekali,
malaikat-malaikat mungil itu bermunculan, menebarkan tawa
dan jeritan di tengah sunyi gunung cadas. om
t.c
Ketika matahari baru mulai menyingsing, Murghab dibilas
po

cahaya keemasan, para pria sibuk membawa kawanan domba ke


gs
lo

padang penggembalaan yang menguning, ibu-ibu menjinjing


.b
do

timba ke sumur komunal di tengah kampung. Sementara


in
a-

Meterbek—adik Tursunboy si bocah sebelah rumah—juga sibuk


ak

berlarian di jalan gang. Seringainya mirip dengan Hadisa. Kalau


st
pu

tertawa mulutnya bisa membentuk lingkaran O yang bulat sem-


purna. Hidungnya pesek, matanya benar-benar seperti secoret
mopit kalau ia membuka mulut. Ia berjalan tertatih-tatih karena
tulang kakinya juga membentuk huruf O. Ia bisa berkata-kata,
membuat kalimat sederhana, seperti ”Aku Meterbek! Aku
Meterbek!” Hobinya adalah menggoda gadis-gadis sekolah, yang
sampai terbirit-birit di jalan kampung kalau dikejar Meterbek.
Tingkat kecerdasan otaknya sedikit di atas Hadisa, walaupun
umurnya satu bulan lebih muda.
Di belakang rumah Gulnoro juga ada anak serupa. Di kam-
pung seberang juga ada. Di sini, di sana, di mana-mana. Usia

112
mereka pun rata-rata sama, terlahir ketika GBAO dilanda ke-
laparan dan isolasi perang. Apakah ini memang nasib tragis
anak-anak yang harus menderita karena perilaku generasi orang-
tuanya?
Seringai gigi bolong-bolong anak-anak cedera otak adalah
wajah Murghab yang senantiasa tergurat di benak saya. Ke-
sedihan tempat ini juga digemakan langkah-langkah gontai dari
warga yang hanya membuang waktu untuk menghabiskan sisa
hidup. Tak ada pekerjaan, dan sepertinya impian pun sudah
membeku.
Betapa mengenaskannya pasar Murghab, pusat kegiatan per-
om
ekonomian kota ini. Tak banyak yang berjualan, pembeli pun
t.c
nyaris tak ada. Penduduk memang suka ke pasar, walaupun ha-
po

nya untuk melihat tumpukan barang campur aduk, mungkin


gs
lo

itu pun sudah cukup untuk melipur impian. Banyak pula yang
.b
do

berjalan tanpa tujuan jelas. Kaum lelaki melepas kebosanan de-


in
a-

ngan menenggak vodka sampai teler di tengah pasar. Jangan


ak

tanya dari mana mereka mendapat uang untuk membeli vodka—


st
pu

yang jelas Murghab bukan tempat aman untuk keluyuran di


malam hari. Bahkan di siang bolong dalam ”keramaian” pasar
pun, saya pernah dikepung beberapa pemuda mabuk dan di-
todong dengan pisau lipat.
Setidaknya, negara kita masih belum—dan moga-moga tidak
akan—menjadi negeri para penganggur. Bayangkan jika Anda
menganggur, kakak dan adik Anda semua menganggur, tetangga
Anda menganggur, satu kampung menganggur berjamaah. Pe-
merintah pusat berusaha menghibur diri dengan memberikan
data statistik yang membuat gembira. Angka pengangguran Taji-
kistan tahun ini: 2,1 persen. Sementara nyata, para penganggur

113
mendominasi pemandangan, berkeliaran bagai zombie yang ha-
nya melewatkan hari, menjalani takdir, tanpa harapan. Apa
gunanya barisan digit data statistik dan angka fantastis?
Nuansa Murghab semakin absurd oleh polisi dan agen ra-
hasia yang beredar di mana-mana, menimbulkan keheningan
dan keangkeran di tengah hari yang cerah. Represif. Sebagai
kota perbatasan, Murghab adalah daerah sensitif. Setiap orang
asing yang datang ke sini harus dicatat data-datanya oleh polisi,
yang kantornya tepat di seberang kantor dinas keamanan na-
sional yang lebih sering diplesetkan sebagai keturunan KGB
zaman Uni Soviet. Arwah-arwah komunisme masih hidup, ha-
om
nya berganti kedok saja. Patung Lenin kecil berwarna putih ber-
t.c
diri di pinggir jalan utama, meyakinkan bahwa komunisme per-
po

nah merambah pegunungan terpencil di Atap Dunia ini. Di


gs
lo

waktu senggang, seorang polisi yang bosan menghentikan gadis-


.b
do

gadis sekolah menengah di jalan lalu dipaksa untuk berfoto ber-


in
a-

sama dengan menggunakan kamera saya.


ak

Anak etnis Kirgiz bersekolah di sekolah khusus orang Kirgiz.


st
pu

Demikian pula etnis Tajik, mereka juga punya sekolah eksklusif.


Kedua etnis masih menggunakan bahasa Rusia untuk berkomu-
nikasi. Roh Uni Soviet tak mudah dihapuskan begitu saja,
sekalipun Tajikistan sudah ozod—bebas. Spanduk besar ber-
gambar Presiden Emomali Rahmon terpajang di jalan utama.
”Jadikan GBAO sebagai pintu gerbang emas bagi masa depan
gemilang Tajikistan,” demikian slogan sang presiden berbunyi.
Sebenarnya, di sini pun ada impian, ada harapan. Tetapi itu
datangnya jauh dari Dushanbe.
Inikah negeri impian yang dulu saya intip bersama orang-
orang Afghan dari seberang sungai?

114
Saya terdampar di Murghab. Walaupun terhitung sebagai ”kota
besar”, Murghab sungguh bukan tempat ideal untuk menunggu
tumpangan. Sudah dua hari saya menghabiskan waktu di pasar
yang sepi dan malas, tiada hasil. Saya tidak sendiri, untungnya.
Masih ada dua backpacker lain, dari Israel dan Amerika Serikat.
Mereka dalam keadaan lebih sulit karena si pemuda Amerika
yang jangkung itu visanya akan segera kedaluwarsa. Jika dia ti-
dak berhasil mencapai Kirgizstan malam ini juga, nasibnya akan
berakhir di tangan-tangan rakus tentara Tajik, atau mungkin ia
malah harus meringkuk di penjara gelap. om
t.c
po

Para sopir pun tampaknya akan segera berpesta pora dengan


gs

mangsa turis-turis asing. Sebenarnya, banyak sekali mobil di


lo
.b

pasar Murghab. Yang tidak ada cuma penumpang, karena pen-


do

duduk kelaparan pastilah menempatkan bepergian pada urutan


in
a-

bawah skala prioritas kebutuhan. Para sopir sudah menghabiskan


ak
st

berminggu-minggu di pasar menunggu penumpang, sering ber-


pu

akhir sebagai penantian hampa.


”Tiga ratus dolar, Brat, tak peduli kamu mau sampai Osh
atau Sary Tash, harganya sama,” kata sopir jangkung, dengan ak
kalpak—topi putih Kirgiz yang tinggi membubung—bertengger di
kepalanya. Sary Tash adalah kota pertama Kirgizstan setelah per-
batasan Tajikistan, sedangkan Osh adalah kota terbesar kedua
Kirgizstan, sekitar 200 kilometer di utara Sary Tash. Harga itu
terlalu tinggi. Saya tidak tertarik menyewa kendaraan privat
seperti ini, tetapi turis Amerika itu sudah tidak bisa menunggu
lagi.

115
Si turis Israel mulai mengumpat, ”Dasar organisasi bodoh.
Apa gunanya orang-orang bodoh yang ditempatkan di kota bo-
doh ini? Untuk merampok turis-turis? Bodoh! Bodoh! Bodoh!”
Ia masih sengit karena sebuah LSM Prancis mematok 250 dolar
untuk angkutan ke Kirgizstan.
”Tetapi bukankah organisasi-organisasi itu tidak hanya
bekerja bagi turis? Mereka juga menyediakan program kredit
lunak bagi penduduk untuk merintis usaha,” saya menyanggah.
Turisme sebenarnya adalah satu dari dari sekian banyak program
organisasi kemanusiaan asing, bertujuan untuk menggerakkan
roda perekonomian penduduk di kota pegunungan yang se-
benarnya sangat cantik ini. om
t.c
”Hah? Kredit lunak? Kalau mereka beri aku kesempatan, aku
po

tahu lebih dari sejuta cara untuk membuat kehidupan kota


gs
lo

sialan ini jauh lebih baik!” seru turis Israel berapi-api.


.b
do

Misalnya?
in
a-

”Misalnya ya, memanggil sukarelawan asing mengajar bahasa


ak

Inggris!” tukasnya, seolah bahasa Inggris adalah solusi semua


st
pu

soal di sini. Padahal mayoritas penduduk Murghab sendiri ma-


sih tak becus bercakap dalam bahasa Tajik, bahasa nasional me-
reka sendiri.
”Kota ini... hmm... hanya satu kata,” turis Israel itu berusaha
menyimpulkan Murghab, ”malas! Ya! Itu kata yang tepat! Lihat
juga orang-orang itu dengan topi mereka yang konyol.” Topi
konyol yang dimaksudnya adalah ak kalpak. ”Apa yang bisa
mereka lakukan selain bermalas-malasan sepanjang hari? Kalau
saja mereka mau bekerja, ada jutaan hal yang bisa mereka laku-
kan di kota ini, dan membuat kota ini jadi maju.”
Diskusi macam apa ini? Cuma semakin membuat frustrasi.

116
Orang-orang asing terkubur dalam ketidakacuhan, tersinggung
karena merasa tidak diistimewakan di tempat yang kesehariannya
sendiri pun sudah tidak ada istimewanya lagi. Sopir rakus ter-
tawa girang. Masih ditambah pemabuk dan pelaku kriminal
yang terus mengintai di sudut pasar. Di bawah matahari yang
melegamkan kulit, penantian panjang di pasar sepi kota mulai
membakar emosi.
Dibandingkan penderitaan penduduk, frustrasi turis asing
sama sekali tidak ada apa-apanya. Kami hanya datang melongok-
longok sebentar, mengagumi gunung-gunung indah, merasa
bosan, lalu boleh pergi sewaktu-waktu. Kendaraan susah, tetapi
om
bukan berarti tidak ada. Asal ada uang, kami masih bebas me-
t.c
langkah. Tajikistan hanya akan menjadi beberapa lembar co-
po

retan di buku harian. Kami tahu pasti, dalam beberapa hari


gs
lo

lagi, beratnya hidup di sini sudah akan tinggal kenangan, se-


.b
do

kadar bumbu ”petualangan” di Asia Tengah. Sedangkan bagi


in
a-

Gulnoro, Hadisa, Beig, Meterbek, Dudkhoda, para polisi dan


ak

agen rahasia, para pemabuk di pasar, patung Lenin, Murghab


st
pu

adalah rumah, tempat kaki mereka senantiasa berpijak dan hati


mereka berakar. Gunung-gunung tinggi yang mengepung di se-
luruh penjuru adalah tembok yang mengurung mereka dalam
keterpencilan, walaupun masih memberi mereka sedikit kemer-
dekaan untuk melayangkan impian.

117
KELUARKAN AKU
DARI TAJIKISTAN

APAKAH ini yang disebut ujung dunia? Mungkin juga. Danau


biru kelam terbentang di tengah padang luas yang menguning.
Di sekeliling, puncak-puncak gunung padas mengepung. Terlihat
om
tak begitu tinggi, karena kami sudah pada ketinggian yang men-
t.c
capai awang-awang. Satu puncak gunung persis di depan sana
po

berbentuk kerucut nyaris sempurna, bertudung salju.


gs
lo

Ini bukan jalan menuju Kirgizstan. Di belakang gunung


.b
do

salju itu adalah Republik Rakyat Cina. Gunung itu adalah


in
a-

Muztagh Ata—Bapa Segala Gunung.


ak

Turis Amerika tak henti melirik arlojinya. Matahari sudah


st
pu

mulai tenggelam. Sopir bukannya memacu mobilnya ke utara,


malah berbelok ke timur melintasi jalan berbatu, ke arah per-
batasan Cina. Jelas-jelas kami bukannya mau ke Cina. Lagi pula
negara adikuasa itu juga tidak membuka pintu perbatasannya.
Gunung-gunung di ujung timur Tajikistan boleh dikata berada
di tengah antahberantah yang mengurung manusia dari dunia
luar.
Bayang-bayang senja semakin memanjang. Sinar mentari me-
lembut, menyapu sudut bumi, berkombinasi dengan temaram.
Jip Rusia kami menebarkan debu tipis ketika sopir menghentikan
kendaraan di sebuah desa.

118
Rang Kul pastilah masuk daftar tempat paling terpencil di
dunia, teronggok di sudut pegunungan negara yang juga ter-
pencil di muka bumi. Rang Kul, artinya danau berwarna, me-
rujuk pada danau cantik yang barusan tampak di tengah padang.
Di ujung danau ada perkampungan kecil dan gersang dengan
rumah-rumah kayu yang tersebar jarang-jarang, juga dinamai
sama: Rang Kul.
Setelah penantian panjang dan prosesi tawar-menawar sengit
di pasar Murghab, turis Israel dan Amerika memang berhasil
mencapai persetujuan dengan sopir. Ongkos angkut sampai ke
Kirgizstan 140 dolar, tetapi sopir akan membawa keluarganya
om
ikut serta dalam mobil. Kedua turis asing juga mengizinkan saya
t.c
po

menumpang gratis. Di Rang Kul empat bibi sang sopir yang


gs

semuanya gemuk dan kekar juga ikut naik. Hop, cekatan mereka
lo
.b

berlompatan. Bruk. Untung sopir tidak membawa aa’, teteh,


do
in

om, dan tante lain seperti yang ada di iklan mobil di Indonesia.
a-
ak

Saya terdesak ke tempat paling tak mengenakkan bersama tum-


st

pukan bagasi di belakang. Namanya juga penumpang gratisan,


pu

siksaannya setara dengan naik bajaj di jalan berbatu, bedanya


saat ini saya berada di pegunungan Atap Dunia. Cairan dari
usus saya menggelegak, membuncah ke lambung, merayapi ke-
rongkongan, menyerbu ke rongga mulut. Bibir saya terkatup,
berusaha memaksa mendorong kembali cairan pahit itu ke da-
lam kerongkongan. Naik... turun... naik... turun... perut beron-
tak... kerongkongan meremas-remas. Begitu seterusnya, sepan-
jang perjalanan, mengiring setiap kelokan pendakian bukit dan
gunung terjal.
Langit mulai gelap. Selesai sudah urusan kami di Rang Kul,

119
yang cuma untuk mengangkut bibi-bibi itu. Turis Amerika di-
basahi keringat dingin. Wajahnya jelas tegang. Kirgizstan masih
jauh, Brat. Dari Rang Kul, mobil harus berbalik ke Murghab—
sekitar satu jam—baru membelok ke utara ke Kirgizstan melintasi
jalan beraspal mulus Pamir Highway. Padahal, tepat tengah ma-
lam ini, Tajikistan sudah akan menjadi tanah ilegal baginya.
Sepanjang jalan ke utara menuju Kirgizstan, di sebelah ka-
nan tiang-tiang kayu berpagar kawat berbaris. Di belakang pagar
itu hanyalah gunung-gunung batu.
”Ada apa di balik pagar?” saya bertanya. ”Itu Cina. Ini per-
batasan Cina,” ujar turis Israel sok tahu. Saya tak percaya, ”Saya
tak melihat apa-apa di balik sana.” om
t.c
po

”Hah! Justru di sini-lah yang tidak ada apa-apanya. Di sana


gs

itu adalah negara superpower dunia,” si Israel menukas, lalu


lo
.b

sibuk bercerita tentang hebatnya perbatasan Israel yang dipasangi


do
in

setrum sehingga orang Palestina tidak bisa seenaknya lagi me-


a-
ak

nyeberang.
st

Lagi-lagi perbatasan. Inikah wujud garis hitam tebal di atas


pu

peta dunia? Ini negara A dengan warna hijau, di belakang garis


adalah negara B warna kuning. Di atas dunia, wujudnya adalah
pagar berduri. Berapa ribu kilometer jumlah total perbatasan di
dunia? Berapa juta ton kayu yang dihabiskan untuk membangun
tonggak? Berapa banyak listrik untuk menghidupkan perbatasan-
perbatasan dunia? Berapa kilowatt untuk menyetrum para pe-
lintas? Berapa juta tentara untuk mengawasi padang gersang
dan gunung sepi? Berapa butir peluru disiapkan untuk menem-
baki? Semua ini hanya untuk melindungi zona-zona aman ma-
nusia.

120
Ya. Zona aman. Mungkin itulah yang membuat dada saya
bergejolak sekarang. Berada dalam mobil yang menyusuri pagar
panjang, hanya lima meter jauhnya dari garis batas, ada rasa tak
nyaman. Sifat dasar manusia, sepertinya memang untuk men-
jauhi garis batas. Meninggalkan zona aman, seperti balita yang
merangkak sendirian meninggalkan pagar rumahnya menye-
berang jalan raya. Seperti lelaki yang sendirian meninggalkan
kampung halamannya mengembara di laut lepas dan gurun ger-
sang. Zona aman itu adalah rumah. Halaman. Kampung.
Negara. Perbatasan memang mengurung zona nyaman manusia,
tetapi berada di dekatnya, malah kecemasan yang menyelimuti.
om
Karena lewat garis ini, zona aman sudah menguap. Tak ada lagi
t.c
perlindungan. Manusia berdiri di alam liar.
po

Apakah tanah di seberang sana? Adakah manusia-manusia


gs
lo

berbeda bentuk, berbicara bahasa berbeda, menganut ideologi


.b
do

berbeda, dilengkapi persenjataan lengkap dan tak bersahabat?


in
a-

Di luar batas zona aman itu adalah ketidakamanan—hukum dan


ak

peraturan baru, negara baru, sistem baru, mata uang baru. Se-
st
pu

mua serba asing. Yang di balik pagar itu adalah calon negara
adikuasa masa depan, ukurannya setara dengan 70 kali Taji-
kistan. Tujuh puluh kali! Membayangkannya saja sudah cukup
membuat bergidik.
Di belakang pagar kayu sederhana itu memang bukan Cina.
Mana mungkin negara macam Cina punya perbatasan ko-
song dan mudah dipanjat seperti ini? Ribuan tahun lalu saja
mereka sudah membangun perbatasan yang kokoh: Tembok
Besar, yang pernah menjadi garis batas antara bangsa beradab
dan bangsa biadab, serta diklaim dalam sejarah nasional mereka
sebagai satu-satunya bangunan buatan manusia yang terlihat

121
dari bulan14. Jarak ke Cina setidaknya masih sekitar 15 kilometer
dari sini, sejajar dengan pagar kawat yang memisahkan jalan
raya dari daerah sensitif perbatasan Tajikistan. Di belakang pa-
gar, tentu saja masih Tajikistan yang itu-itu juga. Daerah ini
sensitif karena dekat perbatasan tiga negara—Tajikistan, Kir-
gizstan, dan Cina. Zona aman Tajikistan sudah hampir berakhir
di sini.
Bulu kuduk saya berdiri. Barisan pagar membisu memancar-
kan aura agresif. Tak ada makhluk lain, kecuali kawanan domba
yang merumput di padang gersang. Setidaknya batas-batas yang
tergurat dalam benak manusia berbeda dengan batas dalam
om
alam pikir hewan. Bukannya mereka tak punya batas, hewan-he-
t.c
wan pun tahu perbatasan. Mana padang rumput. Mana hutan
po

yang dihuni serigala buas. Mana kandang penggembala yang


gs
lo

menawarkan keamanan. Mana batas musim semi, mana batas


.b
do

musim dingin.
in
a-

Naik gunung, turun gunung. Pemberontakan perut dan lam-


ak

bung saya susah dipadamkan, sementara telinga saya harus men-


st
pu

dengar ocehan kedua turis yang tak lelah menggerutu. Saya ber-
napas lega ketika mobil kami dihentikan polisi. Semua

14
Pada tahun 2005, mitos ini dibantah sendiri oleh taikonot Cina, Yang Liwei. Ia
memang tidak sampai ke bulan, tetapi Tembok Besar Cina sudah tidak terlihat
dari antariksa. Karena pengakuan ini, pemerintah Cina sampai sibuk menulis
ulang buku-buku pelajaran sejarah yang mencantumkan klaim penuh kebanggaan
nasional dan semangat patriotisme ini.
Menariknya, sebutan taikonot pun menggambarkan sebuah garis batas lain.
Antariksawan dari blok Timur disebut kosmonot, antariksawan blok Barat
disebut astronot, dari Tiongkok disebut taikonot, berasal dari kata taikong yang
berarti angkasa. Suatu hari nanti, Indonesia bisa jadi akan menamai angkasawan-
nya sebagai antariksanot.

122
penumpang turun. Mobil digeledah. Dokumen diteliti. Barang-
barang diperiksa. Wajah-wajah ditatap. Semakin dekat ke per-
batasan, semakin tidak bersahabat. Garis batas itu, melalui biro-
krasi dan pengamanannya, seolah berteriak, ”Hai, manusia!
Jauh-jauhlah engkau dari kami! Tempatmu bukan di sini!”
Danau raksasa terhampar di kiri jalan. Gelap. Sunyi. Ngeri.
Langit bertabur jutaan bintang berkelap-kelip indah. Saya me-
mutuskan untuk berhenti di sini, meregangkan otot, mengisi
perut, sementara kedua turis melanjutkan jalan menembus ba-
tas Kirgizstan tengah malam.
Debu mengepul digilas roda jip tua. Saya membopong ransel
om
berat, berjalan terbungkuk-bungkuk. Saya tak kenal siapa-siapa
t.c
di sini. Orang Tajik yang direkomendasikan para polisi di
po

Murghab ternyata sudah tidak di kampung lagi. Kecuali para


gs
lo

tentara, semua orang di sini adalah orang Kirgiz, dan saya sama
.b
do

sekali tak bisa bahasa mereka.


in
a-

Sekali lagi, saya harus menggantungkan nasib pada keber-


ak

untungan.
st
pu

Namanya berarti ”Danau Hitam”, tetapi lebih pantas disebut


Danau Mati, karena tak ada satu makhluk pun yang bisa hidup
dalam genangan air danau raksasa Karakul yang teramat asin.
Danau ini terbentuk oleh meteor ribuan tahun lalu. Betapa
besarnya pecahan benda angkasa yang menghunjam bumi kala
itu sampai bisa membentuk danau seluas ini.
Kabut tipis baru saja berlalu di atas permukaan air, diembus
angin pagi yang mengantarkan sinar mentari. Musim dingin da-

123
tang lebih cepat di pegunungan. Nuansa mencekam membarengi
angin yang berembus kencang. Keheningan menyelimuti tepian
danau. Air beriak diterpa angin. Kawanan domba digiring para
gembala, seakan merupakan pantulan dari mega yang berarak
di langit biru. Dingin menusuk tulang. Saya membayangkan,
bagaimana ratusan tahun lalu para pengelana akbar macam
biksu Hsuan Tsang atau Marco Polo menyaksikan kesunyian
penuh misteri, dengan desir angin yang menegakkan bulu roma,
di tepian danau raksasa tanpa kehidupan ini. Terbayang pula
barisan unta para saudagar Jalur Sutra yang sesekali melintasi
pegunungan cadas dan padang penggembalaan. Kala itu tak ada
om
Tajikistan, tak ada perbatasan dan pagar-pagar kayu, tak ada
t.c
tentara yang memeriksa mobil, tak ada kampung rumah-rumah
po

balok, Karakul adalah danau mati raksasa yang teronggok di


gs
lo

sudut bumi yang terlupakan, atau justru berada tepat di pusat


.b
do

segala kekosongan.
in
a-

Tiba-tiba seorang pria berperut sedikit buncit berseragam


ak

tentara, bertopi bundar dengan diameter besar ala militer Rusia,


st
pu

datang menghampiri. ”Ini daerah sensitif!” serunya. Kata ”sen-


sitif” seakan merupakan antitesis dari keindahan alam di danau
mati ini. Khurshed, komandan tentara perbatasan di sini, baru
berusia 25 tahun, tetapi kedudukannya sudah lumayan tinggi.
”Kekuatan kami di sini delapan puluh orang,” katanya bangga,
tanpa ragu membocorkan ”rahasia” pasukannya kepada orang
asing yang baru dikenal.
Dengan alasan ”sensitif”, Khurshed mengamati lembar demi
lembar paspor saya. Ia tertegun dengan tempelan visa Afgha-
nistan dan Iran. Ia mengernyitkan kening mendengar saya ber-
bahasa Tajik dengan logat Afghan. Ia mencurigai saya sebagai

124
spion—agen rahasia alias mata-mata, sebuah kata yang teramat
sensitif dalam nostalgia Uni Soviet. Tapi setelah yakin saya bukan
makhluk berbahaya, ia sedikit melonggarkan sabuk kewaspadaan-
nya. ”Sedang apa kamu di sini? Kalau kamu butuh tumpangan,
nanti saya bantu. Jangan khawatir, semua kendaraan yang mau
menuju Kirgizstan harus berhenti dulu di pos kami.”
Saya lebih tertarik akan pasukannya. ”Untuk apa delapan
puluh prajurit di tempat sepi seperti ini?”
”Oh, banyak sekali yang mereka lakukan di sini,” sanggahnya.
Para tentara mencatat semua kendaraan yang melintas, mengecek
dokumen semua orang, dan memeriksa bagasi kalau-kalau ada
om
obat terlarang yang diselundupkan. Dari pos patroli ini, kita
t.c
po

bisa melihat jalan raya sejauh-jauhnya—dua puluh kilometer ke


gs

utara dan sepuluh kilometer ke selatan. Setiap hari, rata-rata


lo
.b

hanya 12 kendaraan yang melintas.


do
in

Selain mengurusi lalu lintas ”daerah sensitif”, para tentara


a-
ak

juga harus berpatroli sepanjang perbatasan dan pagar kayu yang


st

membentang, termasuk di subuh yang beku dan malam yang


pu

dingin. Khurshed terkadang mengomandani anak buahnya


membersihkan jalan batu. Mayoritas tentara adalah pemuda
Tajik dari seluruh negeri, dikirim ”paksa” ke pegunungan ter-
pencil untuk menjaga perbatasan. Semula Khurshed sangat ter-
buka. Tetapi menyadari pertanyaan-pertanyaan saya yang banyak
menjurus ke kemiliteran—isu ”sensitif”—kecurigaannya bahwa
saya mata-mata muncul kembali. Ia membeberkan cerita-cerita
aneh, mungkin untuk memuaskan keingintahuan saya. ”Kamu
lihat gedung itu? Itu gudang amunisi kami. Awas, jangan difoto!
Kalau itu... cerobong asap itu... lewat rudal itu kami bisa me-

125
nembakkan rudal sampai ke negeri Cina.” Saya berdecak kagum,
membayangkan Tajikistan benar-benar meluncurkan rudal dari
sini ke arah Beijing. Ia tersenyum bangga, lalu melenggang
pergi.

”Zindabosh e vatan Tajikistan e ozodi man...” Tuan rumah saya,


seorang lelaki Kirgiz tiga puluh tahunan berwajah bundar, ber-
nyanyi berapi-api. Bait itu adalah pembuka lagu kebangsaan
Tajikistan, berarti ”Hiduplah selalu tanah airku, Tajikistan-ku
om
yang bebas....” Ia hanya bisa sebaris ini, tak tahu lagi terusannya.
t.c
Ia bahkan tak tahu arti kalimat yang ia lantunkan.
po

Walaupun masih di Tajikistan, bahasa Tajik sudah nyaris tak


gs
lo

berguna sama sekali di sini. Semua penduduk orang Kirgiz, ja-


.b
do

rang sekali yang bisa berbahasa Tajik. Kalau pun ada, hanya
in
a-

kalimat sederhana yang terbata-bata. Lelaki ini masih rajin


ak

belajar bahasa Tajik dari percakapan dengan para tentara dan


st
pu

musafir yang melintas. Istrinya masih muda, berwajah mirip


artis Korea, bahkan masih belum bisa membedakan kata se—
tiga—dan si—tiga puluh. Anak mereka masih berumur empat
tahun, berpipi tembam, tak bisa bahasa Tajik sedikit pun, me-
lompat ke sana kemari berceloteh riang, ”OK! OK! Hello... thank
you!”
Sedikit banyak turisme yang menggeliat sejak berhentinya pe-
rang saudara di Tajikistan mulai menampakkan pengaruhnya.
Di musim panas, padang rumput di sekitar danau ini menghijau.
Turis mancanegara berdatangan menikmati ”misteri atap du-
nia”. Air melimpah, bagus untuk penggembalaan. Rumah-ru-

126
mah di Karakul, seperti halnya di Alichur, berbentuk kotak-ko-
tak seragam, tersebar tak keruan, namun rapat.
Menjelang musim dingin, air gunung mulai membeku dan
generator tak lagi berputar sesibuk biasanya. Listrik tak menyam-
bang lagi. Orang desa terpaksa kembali ke radio transistor un-
tuk mengusir bosan. Pria Kirgiz berjaket tebal sibuk bermain
catur atau mengobrol, sementara kaum hawa memasak, me-
masukkan kayu dan batu bara ke tungku penghangat ruangan.

om
Melewatkan bertahun-tahun hidup yang berharga di tempat ini
t.c
sepertinya sungguh membosankan. Dalam dua jam hingga te-
po

ngah hari, jalanan kosong melompong. Walau angin dingin ber-


gs
lo

tiup kencang, saya terpaksa berdiri di pinggir jalan menunggu


.b
do

truk yang lewat.


in
a-

Hanya dua jam! Tentara muda harus menghabiskan dua ta-


ak

hun di tempat mati ini! Khurshed tertawa melihat penantian


st
pu

yang sia-sia. Baru pertama kali ini ia melihat agen mata-mata


yang begitu miskin dan tidak sanggup membeli makan siangnya
sendiri, gurau si Komandan. Saya tersenyum getir. Pikiran saya
tertuju pada visa Tajikistan yang akan kedaluwarsa besok lusa.
Visa, secarik kertas di paspor ini, sanggup untuk mengubah
”zona aman” menjadi ”zona berbahaya” secara otomatis.
”Jangan khawatir. Kan masih ada besok,” kata Khurshed,
”Kalaupun besok kamu tidak dapat kendaraan, giliran kami
yang bekerja—membawa kamu ke Khorog. Di sana kamu akan
dapat makan gratis, tempat tinggal gratis, di penjara indah ne-
geri Tajikistan!”

127
Anak-anak sekolah berlarian riang keluar dari gedung sekolah
mungil di utara dusun. Hari ini ada pembagian susu. Aga Khan,
sang pemimpin spiritual umat Ismaili, masih menyokong ke-
hidupan masyarakat provinsi GBAO. Setiap minggu anak-anak
mendapatkan jatah susu kotak yang diproduksi di Kazakhstan.
Khurshed dengan gagahnya menghentikan anak-anak SD itu.
Bak preman Tanah Abang dia menyuruh mereka menyerahkan
kotak-kotak susu.
”Kumpulkan dari teman-temanmu yang lain, ya. Semakin
banyak semakin baik,” kata Khurshed. Mereka berlarian kembali
ke sekolah, ke habitat yang penuh bocah berjas hitam yang asyik
om
menyedot susu. Sekejap kemudian, lima bocah datang me-
t.c
nyerahkan delapan kotak susu. Masih kurang, kata Khurshed.
po

Tapi apa daya, sudah tak ada lagi. Khurshed memberi mereka
gs
lo

selembar uang 5 Somoni. ”Sudah, kamu bagi-bagi sendiri uang-


.b
do

nya!”
in
a-

Saya kebagian dua kotak. Sisanya untuk Khurshed sendiri,


ak

stok mingguan. Untung Aga Khan tidak ada di sini. Apa katanya
st
pu

kalau melihat susu pemberiannya bukan disedot anak sekolah,


tapi malah nyasar ke perut gendut komandan dan perut kurus
seorang mata-mata gadungan?
Malam pun turun. Tuan rumah berusaha menenangkan saya
yang blingsatan hanya gara-gara angka satu digit di visa. Makan
pun tak enak. Saya mencoba tidur, tetapi mata tak terpejam.
Ketika terlelap sejenak, yang muncul dalam mimpi saya hanya
dua hal: visa dan penjara.
Tengah malam saya keluar rumah. Toilet keluarga berada di
luar, jadi saya harus memanjat-manjat batu cadas dulu. Anjing
besar melolong bersahutan. Saya mendongakkan kepala, ke

128
arah jutaan bintang yang bertaburan pada langit kelam yang
cerah.
Bintang jatuh! Beberapa garis terang melintas di langit ke-
lam. Waktunya untuk meneriakkan permintaan.
”KELUARKAN AKU DARI TAJIKISTAN!!!”

Mungkin bintang jatuh itu mendengar teriakan saya. Sebuah


Kamaz melintas pagi-pagi buta. Anak buah Khurshed bekerja,
memeriksa dua truk. Sopir bersedia mengangkut saya sampai
om
Sary Tash di Kirgizstan dengan bayaran 20 Somoni. Saya me-
t.c

lemparkan backpack ke dalam truk. Kedua truk mengangkut


po
gs

domba dan yak. Tetapi para sopir tidak punya dokumen untuk
lo
.b

mengekspor ternak. Di tengah keberuntungan saya yang akan


do
in

segera terselamatkan dari penjara Tajikistan, dari sini pulalah


a-

mimpi buruk para sopir dimulai.


ak
st

Pos tentara Tajik ini sangat kecil. Hanya dua orang bertugas
pu

dalam ruang gelap di tepi jalan gunung yang sepi. Setiap hari
ada sepuluhan mobil melintas—pekerjaan mereka kebanyakan
diisi tidur di balik selimut tebal. Asap mengepul terus-menerus
dari mulut berbau rokok. Bermain catur dan mengobrol adalah
hiburan satu-satunya. Entah sudah berapa juta set catur sudah
mereka mainkan di tengah gunung sunyi ini. Kedatangan sopir
truk menjadi kebahagiaan untuk mewarnai monotonnya hari.
Para tentara yang semula penuh senda gurau dan tawa ceria,
begitu tiba pada detik-detik paling menentukan—negosiasi uang
sogokan—langsung menyuruh saya menunggu di luar. Sepuluh

129
menit berikutnya, kedua sopir keluar dengan muka merah pa-
dam.
Mereka baru saja diperas habis-habisan.
Lepas dari mulut singa yang satu, masih banyak singa lapar
dan beringas lainnya menanti. Jalanan terus mendaki. Semakin
ke atas, sogokan yang diminta semakin besar. Hingga pada pun-
cak semua perjalanan ini, perbatasan internasional Tajikistan-
Kirgizstan di atas sebuah gunung yang bernama Kyzyl Art.
Memasuki perbatasan huruf besar Rusia tertatah di atas mo-
numen: Provinsi Otonomi Pegunungan Badakhshan Menyambut
Anda. Sambutan macam apa yang diberikan oleh tempat yang
om
lebih mirip garasi ini? Apa lagi kalau bukan sogok-menyogok
t.c
dalam ruang gelap?
po

Imigrasi Tajikistan berupa peti kemas bekas yang disulap


gs
lo

menjadi kantor sekaligus tempat tinggal. Petugas pabean Taji-


.b
do

kistan sedang bermain catur mengisi bosan, sangat senang me-


in
a-

lihat saya yang dari Indonesia. Pertama kali seumur hidup, kata-
ak

nya. ”Wah, kemarin saya melihat Indonesia di TV. Negara kamu


st
pu

cantik sekali, banyak airnya.” Saya tersenyum. Orang Tajikistan


yang hidup di puncak gunung ini pasti tidak pernah mimpi ru-
mahnya kebanjiran.
Keramahan itu semakin menjadi ketika si tentara Tajik yang
sudah senior itu menemukan kesalahan dokumen para sopir
truk. Dalam bahasa Rusia mereka mulai tawar-menawar. Debat
alot ini dibungkus oleh senyum dan penuh persahabatan. Lagi-
lagi, tentara Tajik memberi tanda kepada saya untuk menunggu
di luar.
Sopir-sopir itu diperas 150 Somoni—hampir 30 dolar—lebih
tinggi daripada pendapatan bulanan rata-rata nasional Tajikistan.

130
Tajikistan tak beda jauh dengan Indonesia—bea cukai adalah
ladang basah. Di ruang sempit, antara korban dan pejabat ber-
kuasa, tidak ada saksi lain yang melihat bagaimana uang menga-
lir dari saku ke saku. Sejurus kemudian, kawanan anjing besar
digiring untuk mengendusi ban mobil, mencari narkotika yang
diselundupkan.
Setelah pabean, sekarang imigrasi—buaya ganas berikutnya.
Kalau tadi berupa peti kemas bekas berbentuk kotak, yang ini
adalah mantan tangki truk minyak yang disulap jadi kantor.
Ruangan bundar di dalamnya mengingatkan saya pada wahana
rumah miring Dunia Fantasi di Jakarta. Siapa sangka dalam
om
tangki rongsokan ini nasib paspor saya ditentukan?
t.c
”Visa kamu habis hari ini,” kata petugas imigrasi, ”Sayang
po

sekali. Coba kamu datang besok, kamu pasti harus bayar 100
gs
lo

dolar.”
.b
do

Apes buat dia, keberuntungan buat saya.


in
a-

Mulut sopir Kirgiz dipenuhi sumpah serapah. ”Tajikistan


ak

laknat! Negara ini kotor sekali! Semua maling! Pizdets!” Dari


st
pu

Kyzyl Art, jalanan terus turun menuju ke perbatasan Kirgiz,


terpisah 20 kilometer dari pos perbatasan Tajikistan. Ini adalah
daerah tak bertuan. Tak ada bangunan apa pun, yang ada cuma
gunung, gunung, dan gunung.
Bör Döbö nama pos perbatasan ini. Sebuah nama yang ha-
rus diucapkan dengan memonyong-monyongkan mulut gara-
gara huruf ”o” dengan dua titik di atasnya. Coba bunyikan
vokal ”u” dengan bentuk mulut seperti huruf ”o”, seperti itu
bacanya.
Hanya sebuah perbatasan. Hanya sebuah garis di peta. Tetapi
inilah garis yang menjadi eksistensi Tajikistan. Di luar garis ini,

131
sebuah negara lain mempertahankan eksistensinya. Bahasa ber-
ganti. Mata uang berganti. Bendera berganti. Kebangsaan, ke-
banggaan, sejarah, semua berganti. Saya mengucap selamat ting-
gal pada Tajikistan, saya menjejakkan kaki di dunia baru.
Dunia sekarang bernama Kirgizstan.

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

132
Bab 2

Kirgizstan
Tenggelam di Atas Peta

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

Orang yang bertumpu pada dua perahu


akan tenggelam

Pepatah Kirgiz
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
SELUBUNG IMPRESI

INI adalah dunia lain. Tetapi apakah memang segala sesuatu di


seberang garis batas adalah kehidupan yang jauh berbeda?
Ataukah hanya kehidupan yang sama, hanya berganti label dan
individunya saja?
Kirgizstan, saudara Tajikistan, setidaknya masih berbagi
om
t.c
kisah yang sama tentang keganasan korupsi dan polisi. Saya
po

merasakan pertama kali dikeroyok polisi Asia Tengah di Osh,


gs
lo

Kirgizstan selatan, tak jauh dari Tajikistan. Saya disergap polisi


.b
do

ketika sedang berjalan-jalan dan asyik potret sana potret-sini di


in

pasar kuno Osh. Apa salah saya?


a-
ak

Anda tak perlu bersalah untuk berhubungan dengan polisi


st
pu

di sini. Tampaknya kita—orang asing—memang diciptakan untuk


selalu berjodoh dengan polisi, birokrasi, dan korupsi yang
merajalela. Selalu saja ada alasan untuk menggeret kita, mulai
dari memeriksa paspor, membaca visa, menghitung jumlah
uang di dompet kita (apa urusannya?), atau menggeledah tubuh
kita untuk mencari narkoba (apakah penampilan Anda mirip
pengedar?).
Ruangan sempit dan gelap di sudut pasar hanya berisi satu
meja kayu kecil. Kitab tebal tergeletak di atasnya, berisi daftar
nama orang asing, nomor paspor, tanda tangan, dan seterusnya.
Ini adalah data para korban, dan saya bakal segera menambah

135
deretan daftar panjang itu. Lima polisi mengelilingi saya. Perut
mereka gendut, mengimbangi topi mereka yang bulat besar.
Seorang menggebrak meja, seorang yang lain berteriak, sisanya
membelalak dan bersedekap.
Sungguh saya curiga apakah mereka betul berminat pada
paspor saya. Bukannya memeriksa visa Kirgizstan, polisi malah
membaca visa Laos yang penuh dengan huruf keriting, sambil
manggut-manggut tanda mengerti.
Akhirnya, setelah ritual panjang di kamar gelap, para polisi
menunjukkan niat asli mereka.
”Keluarkan dompetmu! Cepat!” katanya.
om
Trik lama. Mereka pasti beralasan di dompet saya ada uang
t.c
po

palsu, dan adalah kewajiban mereka untuk ”menghitung” uang


gs

yang saya bawa. Hanya turis bodoh yang menyerahkan dompet


lo
.b

ke polisi rakus. Saya pernah dengar, turis Belgia kerampokan


do
in

300 dolar oleh polisi di pasar ini. Turis Jepang menggambarkan


a-
ak

kantor polisi ini sebagai ”black hole”—turis yang terjebak di


st

dalamnya hampir dipastikan tak akan keluar dengan selamat.


pu

Saya berlagak bego. Bahasa Rusia dan bahasa Inggris untuk


sementara saya hapus dari memori. Saya hanya menjawab dalam
bahasa Indonesia. Ditanya bahasa Inggris pun yang keluar
bahasa Indonesia. Diperintah dalam bahasa Rusia, saya hanya
menjawab, ”Kamu ngomong apa sih? Gue nggak ngerti.” Untuk
jurus pamungkas, saya mendeklamasikan hafalan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dengan
ritme supercepat. Polisi-polisi itu pusing dibuatnya. Polisi me-
ngeluarkan borgol, mengancam membawa saya ke kantor pusat
dan menjebloskan ke penjara.

136
Untungnya, saya tidak sendiri. Di samping saya ada Mansur,
pemuda Uzbek dua puluh tahunan yang baru saya kenal di
pasar, dan sedari tadi mendampingi saya keliling untuk mem-
praktikkan bahasa Inggris. Mansur berteriak lantang di hadapan
para polisi. ”Pamanku juga polisi, kalian jangan macam-macam
ya. Kalian tahu, pamanku kenal dengan komandan kalian. Be-
rani kalian berbuat macam ini kepada dia, lihat saja, besok ka-
lian sudah tidak perlu bekerja lagi. Mau?!”
Bagai disambar geledek! Ancaman yang saya kira hanya
main-main itu ternyata manjur. Semua terjadi begitu cepat. Se-
jurus kemudian, saya dan Mansur melenggang keluar kantor
om
gelap ini. Polisi-polisi berlagak tak pernah terjadi apa-apa, lang-
t.c
po

sung mengusir kami keluar dari sarang mereka. Jantung saya


gs

masih berdegup kencang, seakan tak percaya pada kesialan dan


lo
.b

keberuntungan yang datang beruntun begitu cepat.


do
in
a-
ak
st
pu

Itu pengalaman saya dua tahun lalu, kali pertama mengunjungi


Kirgizstan. Juli 2004, saya masih pemuda ingusan, mahasiswa
kere yang nekat, berbekal dompet tipis dan bahasa Rusia ala
kadarnya, menumpang kereta kelas kambing dan bus, menembus
pegunungan Tianshan dari Tiongkok ke Kirgizstan. Yang saya
dapatkan adalah petualangan yang membuat jantung nyaris
copot sejak hari pertama di bekas imperium Uni Soviet.
Saya hendak menukar uang dolar ke Som, mata uang
Kirgizstan. Di pasar sebenarnya ada beberapa kios money changer,
tetapi saya tergoda dengan penukaran ilegal yang biasanya me-

137
nawarkan kurs beberapa tiyin15 lebih tinggi. Beberapa ibu-ibu
berkerudung memegang segepok uang Som dan kalkulator
besar, siap melakukan tawar-menawar di pinggir jalan. Dengan
selembar seratus dolar, saya mendapat setumpuk uang, ratusan
lembar. Tentu saja susah menghitungnya. Di mata saya, semua
ini tampak seperti uang monopoli yang begitu asing. Pelan-
pelan saya menghitung sambil komat-kamit.
Hah. Ternyata kurang 20 Som. Saya kembalikan lagi setum-
puk uang itu ke ibu penukar. Ia menghitung lagi pelan-pelan.
”Iya, memang kurang dua lembar,” katanya dalam bahasa Rusia,
sambil kemudian menyelipkan dua lembar uang 10 Som di de-
om
pan mata. Seperti seorang yang mengajak berkenalan, ia terus
t.c
po

melontarkan pertanyaan ”standar”, seperti, ”Dari mana? Mau


gs

ke mana? Sendirian ke Kirgizstan? Wah... hebat ya....”


lo
.b

Saya yang masih belum terbiasa dengan percakapan bahasa


do
in

Rusia berkonsentrasi penuh mendengarkan setiap pertanyaan,


a-
ak

sampai lupa menghitung kembali uang Som yang saya dapat.


st

Ibu itu memang menyelipkan dua lembar uang di hadapan saya,


pu

tetapi bak tukang sulap, ia mengambil kembali dua puluhan


lembar uang kertas dan sengaja banyak bertanya untuk meng-
alihkan perhatian. Sialnya, saya baru tersadar setelah sampai di
hotel, tak mungkin lagi mencari si ibu itu untuk menuntut per-
tanggungjawaban. Saya yang tadinya ingin mereguk untung be-
berapa Som, kini harus menelan kerugian nyaris seribu Som.
Sebenarnya selain rakus, saya juga ceroboh. Teknik tipu-tipu se-
perti ini sudah teramat lazim di Tiongkok. Entah mengapa

15
Som, mata uang Kirgizstan. 1 Som = 100 tiyin. 1 Som kira-kira sekitar Rp250.

138
ketika berada di negeri yang sama sekali asing, kewaspadaan
bisa anjlok drastis.
Sorenya, ketika saya melangkah ke warnet, komputer yang
saya gunakan sebelumnya dipakai orang yang lupa logout dari
e-mailnya. Terpampang sebuah surat elektronik yang belum ter-
kirim, berjudul:
Privet iz Osh Goroda, ”Salam dari kota Osh.”

Banyak kawan yang bertanya mengapa saya mengunjungi kem-


om
bali Kirgizstan. Bukankah dua tahun lalu saya sudah ke negara
t.c
ini? Bukankah masih banyak negara di muka bumi yang bisa
po

dijelajahi? Seratus delapan puluh lebih negara, butuh waktu


gs
lo

berapa tahun untuk mengunjungi semuanya? Bukankah usia


.b
do

kita pun akan tertambat suatu hari nanti?


in
a-

Ada bermacam-macam cara orang menikmati perjalanan.


ak

Ada yang mengejar target untuk mengunjungi semua negara di


st
pu

muka bumi, yang entah sudah berapa jumlahnya hari ini, di-
tambah lagi negara-negara baru yang terus bermunculan. Setiap
cap yang melekat di paspor adalah lambang kebanggaan—pe-
nanda keberhasilan menembus garis batas negeri. Setiap negara,
walau hanya terpandang sekejap mata, menyimpan memori un-
tuk dibagi dengan kawan-kawan di rumah. Negara A begini,
negara B begini. Begitu mudahnya negeri-negeri di balik garis
batas hanya didefinisikan dalam satu-dua kalimat, karena me-
neropongnya pun hanya dengan satu-dua hari, sering kali dari
balik jendela bus pariwisata dengan panduan tour guide yang
membawa rombongan manusia-manusia dengan tujuan sama.

139
Ada pula penikmat dunia yang melangkah perlahan-lahan,
menghabiskan waktu bertahun-tahun di setiap tempat yang di-
kunjungi, mempelajari saripati kehidupan dari berbagai lapisan
masyarakat yang dijumpai. Penikmat dunia ini tidak peduli tar-
get apa pun untuk dilihat atau disaksikan. Terkadang ia pergi
ke bukit gundul, ke tanah gersang, ke medan perang, atau ke
kampung miskin. Setiap helai daun, setiap kelopak bunga,
adalah keindahan kuasa Ilahi yang patut disyukuri. Waktu bagi-
nya, seutuhnya hanya demi menikmati alam raya.
Ada yang terpaku pada buku panduan—wajib hukumnya un-
tuk mengunjungi semua tempat yang terdaftar di buku. Ada
om
yang tak peduli sama sekali—traveling menjadi going nowhere dan
t.c
seeing nothing, keadaan tempat dan atraksi wisata menjadi tak
po

penting lagi.
gs
lo

Saya suka mengunjungi tempat-tempat baru, belajar hal


.b
do

baru, tetapi juga ingin mengalir ke mana arah angin menuntun


in
a-

langkah kaki. Terkadang saya mengunjungi tempat yang sama


ak

berkali-kali, dan menghabiskan banyak waktu di kota yang itu-


st
pu

itu saja. Kunjungan ulang, adalah seperti melepas selubung-


selubung yang membungkus pemahaman kita. Tak jarang, kita
sering terbuai dan terpesona oleh pandangan pertama. First
impression lasts.
Tetapi apakah kesan pertama selalu benar? Saya tak yakin.
Saya percaya bahwa setiap budaya, masyarakat, dan sejarah se-
lalu kompleks dan multi-dimensi, tak ada kepastian yang bisa
diberikan hanya dengan satu jawaban, dan untuk memahaminya
kita harus melepas berlapis-lapis selimut impresi yang meng-
halangi objektivitas.
Kirgizstan, bagi saya, adalah seperti mengunjungi kembali

140
kawan lama setelah terpisah bertahun-tahun. Impresi pertama
tentang Kirgizstan dulu adalah kehidupan santai dan tenang,
lembah-lembah dan padang hijau membentang di antara ke-
pungan puncak salju Tianshan—Pegunungan Surgawi, kehidupan
bangsa nomad di kemah berpindah, danau biru kelam Issyk Kol
yang memantulkan kebesaran angkasa raya, petualangan dengan
menumpang truk mengunjungi daerah-daerah terpencil di pe-
dalaman, dan menenggak arak dari susu kuda. Impresi ala ka-
darnya dari seorang turis yang terpukau hanya oleh keindahan
dunia.
Kini saya kembali lagi ke Asia Tengah, mengunjungi Kir-
om
gizstan, dalam perjalanan pencarian identitas di balik garis batas
t.c
po

yang memisahkan negeri-negeri baru. Waktunya bagi saya untuk


gs

membuang selaput turistik yang membungkus negeri ini, me-


lo
.b

lihat wajahnya yang muram di tengah musim dingin yang meng-


do
in

gigit dan mengelabukan parasnya.


a-
ak
st
pu

Osh adalah kota terbesar kedua di Kirgizstan, dijuluki sebagai


the Southern Capital, terpisah ratusan kilometer dan puncak pe-
gunungan tinggi dari ibu kota Bishkek nun jauh di utara sana.
Pengaruh Uni Soviet begitu kentara di sini: gedung-gedung ber-
bentuk kotak-kotak seragam berbaris rapi, jalan beraspal mem-
bentang lurus, restoran pinggir jalan menawarkan sashlik dan
bistik, aroma vodka yang tercium menghantui malam kelam
tanpa penerangan lampu jalan, dan patung bertebaran.
Ketika negara-negara Asia Tengah berusaha mendobrak

141
kungkungan nostalgia zaman komunis, mereka menggusur ba-
hasa Rusia, nama kota dan jalan yang berbau Soviet diganti,
peraturan penamaan orang ala Rusia yang berakhiran ov dan
ova dihapuskan, bahkan patung-patung pun dirobohkan. Pa-
tung, monumen, adalah seonggok memori yang dikristalkan da-
lam wujud dan rupa. Ketika dewa-dewa dan berhala kebanggaan
masa lalu lenyap, ideologi yang dulu dipegang tahu-tahu hancur
lebur, orang pun berusaha sekuat tenaga melupakan masa lalu
itu. Jadilah patung-patung—berhala kebanggaan dan kepercayaan
masa lalu—dirobohkan.
Rakyat Irak ramai-ramai merobohkan patung raksasa Saddam
om
Hussein di Baghdad setelah rezim itu jatuh. Orang Rusia ramai-
t.c
po

ramai merobohkan patung Stalin setelah sang diktator mangkat.


gs

Negara-negara bekas Uni Soviet merobohkan patung Lenin se-


lo
.b

telah negeri raksasa komunis ideal itu ambrol. Suara berdebum.


do
in

Debu beterbangan. Wajah sang pahlawan menghunjam bumi,


a-
ak

kepalanya diinjak-injak ribuan orang yang berteriak penuh se-


st

mangat. Berhala masa lalu hancur, sejarah baru tercatat. Apa


pu

yang diperoleh dengan merobohkan patung? Mungkinkah itu


kepuasan dan kebanggaan untuk mendobrak simbol kungkungan
memori? Melepaskan diri dari nostalgia yang tak ingin dikenang?
Memproklamasikan ke seluruh dunia, memekikkan ”Merdeka”,
”Kami memasuki era baru”?
Di Uzbekistan dan Turkmenistan, satu per satu patung
Lenin lenyap dari pandangan, digantikan patung pahlawan-
pahlawan nasional—simbol baru yang dipuja bangsa baru. Taji-
kistan mengganti nama kota Leninabad menjadi Khojand, pun-
cak gunung Komunisma menjadi Ismail Somoni. Sementara di

142
Osh, Kirgizstan, patung Lenin masih berdiri gagah mengibarkan
tangan dan Jalan Lenin masihlah jalan utama di pusat kota.
Masa lalu itu belum berlalu.

Sebagian besar wajah Osh dibangun di abad ke-20 oleh orang-


orang Rusia. Gedung-gedung modern dan mobil yang lalu la-
lang menguatkan kesan ini adalah kota baru, modern, tak ber-
karakter. Kesan itu mengubur kenyataan bahwa Osh sebenarnya
adalah kota tua yang pernah jaya di masa lalu.
om
Seperti halnya Tajikistan dengan Istaravshan-nya, Kirgizstan
t.c
pun baru saja menggelar perayaan besar-besaran untuk mem-
po

peringati 3.000 tahun berdirinya Osh. Mereka berkoar, sejarah


gs
lo

kota ini lebih tua daripada Roma. Osh pernah menjadi per-
.b
do

singgahan penting di zaman Jalur Sutra, serta pusat penghasil


in
a-

komoditi utama zaman itu: sutra. Betapa kaya dan makmurnya


ak

Osh saat itu.


st
pu

Osh modern berdenyut di bawah naungan bukit raksasa


Sulaeman Too, yang artinya Gunung Sulaiman. Orang Tajik
menyebutnya Takht-e-Sulaiman, alias Takhta Sulaiman. Mereka
menganggap Raja Salomo atau Nabi Sulaiman pernah bertakhta
di sini, dan dari puncak gunung inilah sang Raja memandangi
kota kuno Osh. Mereka percaya Nabi Muhammad pernah da-
tang ke gunung ini dan mendirikan salat. Kepercayaan seperti
ini cukup umum di Asia Tengah. Di Afghanistan, penduduk
percaya bahwa Ali bin Abi Thalib pernah datang, membunuh
naga dengan pedang sakti, dan menciptakan danau-danau ajaib.
Uzbekistan juga percaya bahwa Ali bin Abi Thalib dimakamkan

143
di negaranya. Benar atau tidaknya kepercayaan mereka, wallahu-
alam. Namun yang jelas, tempat-tempat seperti ini selalu menjadi
tempat ziarah umat Muslim, yang sepertinya begitu antusias me-
nemukan jati diri serta menikmati kebebasan berziarah dan
beribadah setelah sekian lama agama dikekang rezim komunis
Uni Soviet.
Di Asia Tengah, sufisme tumbuh subur, Islam berpadu har-
monis dengan tradisi dan kepercayaan lokal. Ziarah tempat suci
dan makam adalah bagian penting dari kepercayaan itu. Mereka
percaya, tiga kali berziarah di Sulaeman Too setara dengan se-
kali pergi ke Mekkah. Dulu, orang harus sembunyi-sembunyi
om
untuk sembahyang di gunung ini kalau tidak ingin ditangkap
t.c
serdadu komunis dan dikirim ke kamp kerja paksa. Sekarang,
po

ibu-ibu berkerudung bebas menangis tersedu-sedan di hadapan


gs
lo

gua kecil di lereng bukit, sambil menggendong anak-anak me-


.b
do

reka yang cacat atau sakit parah, berharap turunnya mukjizat


in
a-

kesembuhan.
ak

Dari kejauhan, kuburan Kirgiz tampak begitu indah, seperti


st
pu

kota kecil. Bukan hanya sekadar liang lahat dengan batu nisan,
makam di sini dihias menara, kubah, dan tembok berukir. Ba-
yangkan kalau ratusan makam bertebar tak beraturan, masing-
masing dengan dekorasi seperti itu. Dari puncak Sulaiman, ma-
kam di kaki bukit ini kelihatan bak kota kuno zaman Jalur
Sutra. Tetapi penduduk tak mengizinkan saya mendekat. Itu
tabu, kata mereka. Makam adalah tempat suci, ajang roh ber-
gentayangan, bukan tempat orang asing berwisata.
Daripada piknik di kuburan, turis sebaiknya berkunjung saja
ke pasar kuno Jayma Bazaar, atau Pasar Jumat, tempat dulu saya
dirampok polisi, tapi juga tempat para pedagang Kirgiz dan

144
Uzbek campur aduk menawarkan segala macam barang, mulai
dari topi ak kalpak, permadani shyrdak khas Kirgiz, baju sutra
tenunan atlas, dan jubah kebesaran berbenang emas khas
Uzbek, masih ada pula buku bekas, sabun, kismis, semangka,
teh, tembikar, sapu lidi, batu baterai, minuman soda, sampai
celana jins buatan Tiongkok.
Orang Uzbek yang mendominasi pasar terkenal sebagai
pekerja keras sekaligus pedagang jempolan. Di sini juga berbaur
manusia dari berbagai ras dan wujud rupa: Kirgiz, Korea,
Dungan, Rusia, Tatar, Tajik. Di zamannya, Osh pastilah kota
yang begitu kosmopolitan, ketika para pedagang dari berbagai
om
bangsa melintas: Persia, Cina, Mongol, Arab, Venesia. Tetapi
t.c
setelah negara-negara baru berdiri, mengukuhkan garis batas,
po

membangun tembok-tembok yang mengurung negeri, Osh ter-


gs
lo

onggok di sudut imperium raksasa. ”Kosmopolitan” baginya


.b
do

adalah tempat bercampurnya ras yang menghuni negeri raksasa


in
a-

Uni Soviet. Sementara kita kini, mendengar kata ”kosmopolitan”,


ak

yang terbayang adalah Hong Kong, New York, Singapura, Tokyo,


st
pu

London, Paris, sama sekali bukan Osh, Samarkand, Bukhara,


Merv, Esfahan, Herat, atau Banda Aceh. Zaman berganti, kota-
kota yang dulunya adalah pusat peradaban tempat berkumpulnya
segala bangsa, kini terlupakan, terkurung di dalam keliling garis
batas negara-negara baru yang tenggelam dalam warna-warni
peta dunia.

Tak banyak yang berubah di Jayma Bazaar. Barisan kios para


pedagang sutra Uzbek masih seperti dulu. Ibu-ibu berjilbab me-

145
naruh sepuluh tumpuk topi ak kalpak di kepalanya, berkeliling
pasar menawarkan dagangan. Bocah-bocah sibuk menawarkan
sabun dan kondom. Barisan mesin pembuat limun sederhana—
yang menghasilkan soda dari campuran air, gula, dan pemanis—
masih menjual dengan harga yang sama: dua som per gelas. Di
bagian lain pasar, tukang besi menghasilkan pisau yang indah
ukirannya dari bunyi dentang yang memekakkan telinga dan
lidah api yang menjilat-jilat.
Tiba-tiba, seorang nenek Kirgiz berteriak, sambil tertawa
gembira menampilkan giginya yang ompong. ”Hei! Aku adalah
ibumu dari Kirgizstan! Kamu masih ingat?”
om
Saya terloncat. Nenek itu masih terlihat sehat dan gemuk.
t.c
Dua tahun lalu saya pernah memborong topi tradisional Kirgiz
po

untuk oleh-oleh. Si nenek senang berpose di hadapan kamera,


gs
lo

bahkan memainkan dombura dan komus—alat musik nomad


.b
do

Kirgiz tradisional berbentuk dawai yang melodinya dihasilkan


in
a-

oleh resonansi rongga mulut—khusus untuk saya.


ak

”Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa tidak ada kabar
st
pu

beritanya? Kamu selamat dari tsunami? Sudah lupakah kamu


pada ibumu di Osh ini? Mana fotoku?” cecar si nenek itu. Sa-
king senangnya, saya dihujani berbagai hadiah. Bahkan turis
Selandia Baru yang kebetulan bersama saya juga mendapat kado
jubah Kirgiz yang tebal dan berat, terbuat dari bulu domba,
cocok untuk musim dingin. Ada sulaman benang emasnya pula.
Bukan barang murah, mungkin sampai seratus dolar harganya,
namun dihibahkan begitu saja hanya karena kegembiraan yang
tak terduga, sambil memperkenalkan anak gadisnya yang cantik.
Atau, jangan-jangan, ia memang sedang mencarikan jodoh
untuk anak gadisnya?

146
”Orang-orang Kirgiz begitu murah hati, padahal mereka juga
bukan orang kaya.” Lelaki kulit putih itu masih terpana, hampir
tak percaya. Inilah impresi pertama Kirgizstan baginya.

Osh adalah kejutan menggembirakan selepas perjalanan berat


di GBAO Tajikistan. Kesibukan di kota ini sungguh berwarna,
bukan macam Khorog dan Murghab yang pasarnya begitu
mengenaskan dan harga gandumnya melangit. Di Osh saya tak
pernah kelaparan.
om
Nama kota Osh sudah ada setidaknya sejak abad ke-11, ko-
t.c
non berasal dari nama sebuah suku bangsa Persia, Ush, yang
po

pernah tinggal di tempat ini. Tetapi kebetulan dalam bahasa


gs
lo

Tajik, Osh berarti ”makanan”.


.b
do

Cita rasa makanan di Osh berkaitan dengan letaknya sebagai


in
a-

persimpangan budaya. Di sebelah timur, di balik barisan Pe-


ak

gunungan Tianshan , ada Xinjiang Uyghur bagian dari Republik


st
pu

Rakyat Cina, didiami etnis Uyghur yang masih kelompok bang-


sa Turki, berbahasa rumpun Turki, beragama Islam, dan pernah
mendirikan negara bernama Turkistan Timur. Di sebelah barat
Osh, ada lembah Ferghana yang menjadi jantung kebudayaan
bangsa Uzbek. Di sebelah selatan ada pegunungan Pamir milik
Tajikistan. Di utara ada lembah dan padang rumput yang vital
bagi kehidupan bangsa nomad Kirgiz.
Kota kedua terpenting di Kirgizstan ini didiami oleh ma-
yoritas etnis Uzbek. Secara fisik, orang Uzbek berbeda dari
orang Kirgiz. Mereka punya karakter wajah yang lebih Persia—
mata besar dan lebar, hidung mancung; sedangkan orang Kirgiz

147
lebih Asia—mata sipit dan hidung pesek. Bahasa orang Uzbek
masih bersaudara dekat dengan Kirgiz, tetapi secara kultural
mereka sangat berbeda. Di sini juga banyak orang Korea yang
mendiami Asia Tengah sejak dipindah paksa dari habitat asli
mereka oleh penguasa Uni Soviet. Banyak penduduk Rusia
yang eksodus, tetapi peninggalan orang Rusia masih terasa di
sini: vodka Osh sangat tersohor kualitasnya di Asia Tengah.
Karena letaknya, cita rasa makanan Cina begitu kental di
Osh. Laghman Uyghur—bakmi tebal dan panjang, disiram de-
ngan kuah dan bumbu yang terbuat dari irisan tomat, cabai
pedas, cacahan daging empuk, dan bawang, adalah menu utama.
om
Rasanya selezat hidangan yang disajikan di tempat aslinya di
t.c
Xinjiang sana. Pengaruh kuliner Tiongkok di Asia Tengah se-
po

benarnya sudah sejak lama. Tidak ada orang sini yang bisa me-
gs
lo

lewatkan hari tanpa minum teh. Penduduk negeri-negeri Stan


.b
do

pun mengklaim pangsit mantu sebagai makanan tradisional me-


in
a-

reka. Mantu, yang di Tiongkok sana disebut baozi alias bakpau,


ak

di sini berisi cacahan daging kambing, serta disiram dengan


st
pu

kuah dan yogurt. Orang Cina umumnya tidak mencampur


yogurt dalam makanan, tetapi bagi keturunan bangsa nomad,
produk susu tak pernah absen di meja makan.
Fakhriddin, seorang juru masak laghman Uyghur. Restorannya
di sebelah Jayma Bazaar selalu ramai. Bisnis berjalan turun-
temurun, namun keluarga Fakhriddin mampu menunjukkan
kelebihan untuk tetap eksis di tengah derasnya persaingan pu-
luhan restoran yang berbaris sepanjang jalan.
Saya sudah menjadi pelanggan setia laghman Fakhriddin. Se-
tiap sarapan, makan siang, hingga santap malam, bakmi dan
pangsit Fakrhiddin selalu mengisi perut. Harganya murah,

148
porsinya lebih besar daripada warung sebelah. Sehabis kerja,
Fakhriddin masih meluangkan waktu untuk mengajari saya ba-
hasa Uzbek, bahkan mengundang saya menginap di apartemen-
nya yang tak jauh dari restoran. Ia tinggal serumah dengan dela-
pan pegawainya, rata-rata juru masak dan pelayan. Kebanyakan
adalah pemuda Uzbek, tetapi ada juga tiga pelayan wanita
Kirgiz. Kedua etnis bercampur, tidak masalah. Laki-laki dan pe-
rempuan tinggal serumah, juga tidak masalah. Mereka berdesak-
desakkan di apartemen tiga kamar ini.
Masakan Fakhriddin memang lezat, tetapi terus terang, ru-
mahnya bukan favorit saya. Banyak orang tinggal, semuanya si-
om
buk bekerja di tempat yang sama dengan jam kerja yang sama,
t.c
dan begitu pulang semuanya sama-sama kelelahan. Tidak ada
po

yang bernafsu untuk membersihkan rumah. Genangan air di


gs
lo

mana-mana. Tembok mengelupas. Sampah bertebaran. Bau tak


.b
do

sedap menjadi magnet bagi kawanan nyamuk sekampung untuk


in
a-

menggelar rapat akbar di sini. Semalaman saya tidak bisa tidur


ak

karena dengungan nyamuk yang berpesta pora di atas sepuluh


st
pu

tubuh penuh darah segar yang terbaring pasrah.


Bukan hanya nyamuk. Rahmatullah, sang asisten koki, me-
nelepon pacarnya sampai tengah malam, tanpa peduli orang
lain bersusah payah untuk tidur. Fakhriddin, saking sebalnya,
sampai melempar sepatu ke arah Rahmatullah. Yang dilempar
sepatu sebenarnya cuek saja, walaupun akhirnya dengan suara
mendesah berujar, ”Sayang, sudah dulu ya... selamat malam...”
dan menutup telepon.
Di hari lain, kami semua terpaku pada televisi hitam-putih
di kamar Fakhriddin yang menyampaikan berita menegangkan.
Gelombang demonstrasi menggoyang ibu kota Bishkek, menun-

149
tut presiden berkuasa Kurmanbek Bakiyev mundur. Suasana
mencekam. Demonstrasi tampak penuh warna: ada orasi dengan
pembicara yang ngotot di hadapan ribuan pendukung, ada
tarian dan lagu-lagu, ada pula lempar-lemparan batu dan tem-
bakan senjata. Fakhriddin, Rahmatullah, dan para pegawai
restoran lainnya, bergeming menatap televisi, khawatir terjadi
kudeta.16
Tahun lalu, presiden pertama Askar Akayevich Akayev, yang
memerintah sejak Kirgizstan merdeka, dipaksa turun melalui
demonstrasi besar-besaran. Presiden ini selalu berkomitmen un-
tuk membawa pembaharuan dan reformasi total di Kirgizstan,
om
tetapi pada kenyataannya krisis ekonomi menjadi berkepan-
t.c
jangan, warga miskin semakin bertambah, dan hidup rakyat je-
po

lata menjadi semakin susah. Tahun 2002, Akayev menghibahkan


gs
lo

tanah yang disengketakan kepada Cina. Akibatnya, dukungan


.b
do

anjlok drastis. Krisis politik di tingkat parlemen di Bishkek pun


in
a-

semakin parah, hingga pada puncaknya di awal tahun 2005,


ak

terjadi demonstrasi massal yang berujung kerusuhan di Jalalabad,


st
pu

Osh, dan Bishkek. Dalam suasana genting, sang presiden me-


larikan diri ke luar negeri dan mengumumkan pengunduran
diri.
Baru satu tahun memerintah, sekarang presiden kedua Kur-
manbek Bakiyev juga sudah dituntut mundur. Di negara muda
ini, kepemimpinan masih belum stabil, dan rakyatnya masih
belum puas terhadap siapa pun yang berkuasa di ”pusat” sana.
Fakhriddin mendesah, ”Saya tidak tahu mengapa ini terjadi.

16
Kemudian, pada tahun 2010, presiden Bakiyev benar-benar mundur akibat ku-
deta dan kerusuhan.

150
Kalau setiap tahun ganti presiden, kapan majunya? Bagi saya
siapa yang jadi presiden tidak ada bedanya. Tidak ada penga-
ruhnya sama sekali buat rakyat kecil!” Bagi koki Uzbek ini, po-
litik hanya omong kosong. Inikah kemerdekaan? Negeri baru
tetap jadi ajang rebutan kekuasaan. Orang-orang itu terlalu ting-
gi kedudukannya untuk memperhatikan nasib pedagang pasar
seperti dirinya. Yang lebih menarik perhatiannya adalah harga
bahan masakan dan apakah warungnya tetap ramai pengunjung.
Krisis kepresidenan yang meletus di Bishkek, jauh di utara
sana, tak banyak pengaruhnya di selatan sini, basis pendukung
Bakiyev. Pasar masih tetap sibuk, jalanan ramai oleh mobil dan
om
pejalan kaki, tak ada demonstrasi, warung-warung tetap ramai
t.c
seperti biasa.
po
gs
lo
.b
do
in
a-

Mansur tak banyak berubah setelah dua tahun berselang, kecuali


ak

hidupnya yang sudah jauh lebih makmur dan badannya yang


st
pu

lebih subur. Ia sudah tidak tinggal di Kirgizstan lagi, tetapi men-


jadi pekerja kasar di Turki. Walaupun pekerjaannya serabutan,
pendapatannya sekitar 500 dolar sebulan, hampir setara dengan
rata-rata pendapatan setahun di negaranya.
Saya beruntung bisa berjumpa lagi dengannya di Osh. Ia
hampir tak pernah pulang, tapi kebetulan saja, adik perempuan-
nya yang baru berusia 17 tahun kemarin dinikahkan.
”Sayang, kenapa kamu tidak datang kemarin? Mestinya kamu
bisa melihat pernikahan khas orang Uzbek,” keluhnya. Adik
perempuan Mansur kawin muda, tanpa pacaran. Perjodohan
dan pernikahannya semua ditentukan oleh orangtua kedua pi-

151
hak. Bagi keluarga Uzbek tradisional, adat pernikahan gaya Sitti
Nurbaya ini masih sangat lazim.
”Tapi aku tidak mau menikah seperti itu,” sambung Mansur,
”Pernikahan itu mesti didasari cinta. Aku sendiri sudah punya
pacar. Kamu ingat kan, gadis yang dulu aku kenalkan?”
Saya tertawa membayangkan Mansur yang ternyata masih se-
tia dengan ”cinta monyet”-nya. Mansur menuang kembali teh
hijau ke dalam cawan saya. Kami duduk di atas dipan, dalam
bahasa Uzbek disebut takht—berasal dari bahasa Persia yang juga
menjadi asal kata ”takhta”. Ibu Mansur terkejut melihat saya.
”Ke mana saja kamu dua tahun ini? Waktu kami mendengar
om
ada tsunami di Indonesia, kami takut, jangan-jangan kamu jadi
t.c
korban. Kamu sama sekali tidak pernah mengirim kabar, kami
po

khawatir.” Ayah Mansur sedang berbahagia, pesta pernikahan


gs
lo

putrinya sukses besar. Tawanya, candanya, cerianya, masih se-


.b
do

perti dulu.
in
a-

Mansur menghidangkan saya piring demi piring nasi plov,


ak

makanan nasional etnis Uzbek yang menjadi menu wajib acara


st
pu

pernikahan. Memang sisa kemarin, tetapi masih lezat. Nasi


Uzbek ini ukurannya lebih besar daripada bulir nasi Indonesia,
tidak pulen, dan rupanya berbintik-bintik. Plov tak pernah ku-
rang dari irisan wortel dan daging kambing. Rasanya sungguh
membuat saya ingin minta tambah terus dan terus.
Di atas takht, kami terus berbagi kisah bagaimana hidup te-
lah menuntun perjalanan kami. Mansur antusias menceritakan
betapa hebatnya Turki, betapa miripnya bahasa Turki dengan
bahasa Uzbek, dan mengeluh karena sekarang ia sudah nyaris
melupakan bahasa Kirgiz sama sekali.
Bangsa Uzbek adalah mayoritas di Osh, tetapi minoritas di

152
Kirgizstan. Uzbekistan begitu dekat. Perbatasan Uzbekistan ha-
nya dua puluh menit dari pusat Osh, dinamai Dostlik, dalam
bahasa Uzbek artinya ”persahabatan”—sebuah nama yang cukup
populer di bekas imperium Uni Soviet. Persahabatan dan per-
damaian dijadikan kata sakti, dan ironisnya hubungan antar-
etnis justru memancing pertikaian berdarah.
Di Asia Tengah, orang Uzbek punya populasi terbanyak, le-
bih dari 25 juta jiwa. Etnis Uzbek bukan hanya tinggal di
Uzbekistan, tetapi meluber ke negara-negara tetangga. Jumlahnya
pun sangat besar, bahkan sering kali menjadi etnis mayoritas di
kota-kota luar negeri. Osh di Kirgizstan, Khojand di Tajikistan,
om
Turkestan di Kazakhstan, Turkmenabat di Turkmenistan, bah-
t.c
kan setidaknya empat provinsi di Afghanistan utara didominasi
po

oleh etnis Uzbek. Masalah diaspora Uzbek ini kemudian me-


gs
lo

musingkan pemerintah negara-negara sekitarnya.


.b
do

Sejak sebelum Uzbekistan dan Kirgizstan merdeka dari Uni


in
a-

Soviet, kerusuhan dan pertikaian berdarah antara orang Uzbek


ak

dan Kirgiz sering meletus di Osh. Puncaknya pada tahun 1990,


st
pu

menelan korban antara 300 hingga 1.000 jiwa—tidak ada yang


tahu pasti. Di bawah Soviet di mana kota-kota selalu digambarkan
”makmur”, ”damai”, dan ”bersahabat”, peristiwa buruk disem-
bunyikan di bawah kolong17.
Orang Uzbek kecewa dengan pemerintah Kirgizstan yang
memprioritaskan orang Kirgiz untuk memiliki tanah di Osh.
Orang Kirgiz pun diberi kemudahan mendapatkan pekerjaan.

17
Kelak, pada tahun 2010, sekali lagi Osh banjir darah. Kerusuhan massal dan
pertikaian etnis merebak. Ratusan tewas, dan lebih dari 100.000 etnis Uzbek
mengungsi ke Uzbekistan. Kirgizstan kembali dilanda krisis politik dan sosial

153
Pemerintah Kirgizstan ingin memperbanyak populasi Kirgiz dan
melebarkan pengaruh Kirgiz di sini. Kebijakan rasial ini mengun-
dang kemarahan penduduk setempat. Perlawanan orang Uzbek
terhadap Kirgizisasi Osh mengingatkan saya pada pergesekan
dan resistansi etnis yang kerap muncul di daerah tujuan transmi-
grasi di Indonesia.
Bagi Kirgizstan, kota tua Osh bak permata. Ketika negeri ini
merdeka, mereka perlu kebanggaan nasional demi mengukuhkan
identitas negeri. Walaupun miskin, negara ini tak segan meng-
habiskan jutaan dolar demi merayakan peringatan 3.000 tahun
berdirinya Osh secara besar-besaran, menerakan bukti bahwa
om
negeri kecil bangsa nomad di lekukan Pegunungan Surgawi pun
t.c
punya sejarah yang begitu panjang.
po

Seorang kawan, pengajar sejarah Uzbek di Tashkent,


gs
lo

Uzbekistan, tertawa setengah mengejek, ”Hah! Orang-orang


.b
do

Kirgiz itu.... Bahkan menurut catatan Babur18, saat berkunjung


in
a-

ke Osh, orang Uzbek di Osh sangat antusias keluar rumah un-


ak

tuk melihat bangsa Kirgiz yang baru turun gunung. Mereka pe-
st
pu

nasaran melihat bagaimana rupa manusia gunung itu. Saat itu,


bangsa Kirgiz masih hidup mengembara di gunung, dan itu
baru lima ratus tahun lalu. Bagaimana mungkin sekarang
mereka mengklaim punya peradaban tiga ribu tahun?”
Negara-negara yang terlalu menonjolkan kebangsaannya cen-
derung menekan minoritas. Apa yang terjadi untuk bangsa-
bangsa yang bukan ”pemilik” negara itu? Diintegrasi? Dilebur?
Atau dibantai? Di Afghanistan, Taliban yang merasa dirinya pa-
ling Afghan pernah menyuruh suku Tajik untuk ”pulang” ke

18
Raja Moghul dari Andijan di Lembah Ferghana, Uzbekistan

154
Tajikistan dan Uzbek ke Uzbekistan, sedangkan etnis Hazara
yang tak punya tanah air di mana-mana lagi menjadi mangsa
empuk pembantaian.
Kebanggaan bangsa Uzbek tidak lepas dari kenyataan bahwa
bangsa ini sudah hidup menetap jauh sebelum bangsa nomad
Kazakh dan Kirgiz ”dirumahkan” oleh penguasa Rusia. Ketika
Kirgiz masih menggembala berpindah dari lembah ke lembah,
gunung ke gunung, Uzbek dan Tajik sudah membangun kota-
kota besar yang menjadi permata peradaban Islam di abad per-
tengahan. Di Osh, kita masih menyaksikan perkampungan
Uzbek mendominasi daerah pusat kota. Rumah orang Uzbek
om
tersembunyi di balik tembok pagar tinggi. Dari luar tidak ke-
t.c
lihatan apa-apa selain tembok padat.
po

Pada arsitektur rumah Persia, ada filsafat penting: di balik


gs
lo

empat sisi tembok itu tersembunyi sebuah taman yang indah.


.b
do

Asia Tengah dulunya adalah bagian dari dinasti-dinasti Persia.


in
a-

Tak heran, walaupun Uzbek adalah bagian bangsa Turki, namun


ak

dalam diri mereka penuh dengan pernak-pernik kultur Persia.


st
pu

Dalam arsitektur Persia, tembok kokoh dan tinggi yang menge-


lilingi rumah dan taman, adalah pemisah ruang lingkup pribadi
dengan ruang publik. Sistem ini dalam bahasa Iran disebut
pairidaeza—arti harafiahnya ”di sekitar tembok”, yang menjadi
asal kata bahasa Inggris paradise—surga. Ada surga tersembunyi
di balik tembok datar buruk yang tinggi menjulang dan tak ber-
sahabat itu. Tembok yang akhirnya menjadi garis batas penjamin
anonimitas tak tertembus, yang mengundang penasaran, curiga,
bisa juga terselip benci dan cemburu bagi orang luar.
Ekslusif, bangsa Uzbek dan Kirgiz di Osh terpisahkan sekat
kebanggaan etnis. Bagi Mansur, seorang warga negara Kirgizstan,

155
sudah tidak penting lagi untuk bicara bahasa Kirgiz, yang di
matanya adalah etnis dan budaya yang lebih rendah tingkatannya.
Mana rumah orang Kirgiz, mana daerah kekuasaan orang
Uzbek, mana batasnya, mana kroninya, semua tertera gamblang
di benak masing-masing orang di kota ini. Kita, orang luar, tak-
kan pernah mengerti. Tetapi bagi mereka, semua itu segamblang
hitam dan putih.
Perbedaan etnis sering kali menjadi problem di negara-ne-
gara multirasial. Ada arogansi identitas, ada isolasi, ada pula
curiga dan iri hati. Kapan dunia ini damai, bebas tanpa perang
dan penderitaan, tanpa lagi ada pembantaian manusia hanya
om
karena warna kulit, agama, dan ideologi? Mampukah manusia
t.c
meruntuhkan tembok-tembok itu? Atau, jikalau tembok-tembok
po

itu tetap berdiri, mampukah manusia menemukan surga-surga


gs
lo

yang tersembunyi di baliknya? Mampukah manusia melepaskan


.b
do

semua ego itu?


in
a-

Mungkin ini hanya utopia nirwana.


ak
st
pu

156
LANGIT YANG RUNTUH

”DOBRO POZHOLOvATS. Selamat datang,” kata perempuan


Kirgiz gemuk ini dalam bahasa Rusia. Lantai kayu berderik.
Saya melangkah berjingkat menghindari saking banyaknya lu-
bang yang menghiasi lantai. Tembok rumah kusam, penuh co-
reng-moreng, debu, dan sarang laba-laba. Bohlam memancarkan
om
t.c
sinar kuning yang teramat lemah. Kesuraman yang semakin
po

memperkuat nuansa muram. Ada bau tak sedap memenuhi se-


gs
lo

isi rumah, sepertinya berasal dari kakus di ujung ruangan yang


.b
do

tak pernah disiram.


in

Remang-remang lampu, kadang terang kadang gelap, kadang


a-
ak

nyala kadang mati sama sekali. Dalam temaram cahaya yang


st
pu

berpendar itu, tampak wajah-wajah kelaparan para penghuni ru-


mah yang duduk lesu.
Seorang gadis, tampaknya anak dari perempuan itu, segera
menggelar kain di tengah ruangan. Seperti samurai Jepang,
kami duduk bertumpu pada lutut. Setengah jam seperti ini, ke-
dua kaki saya didera kesemutan.
Tiba-tiba terdengar bunyi perut keroncongan. Ooops... Itu
dari perut saya. Sang tuan rumah langsung bergegas menyiapkan
hidangan. Santap malam, dalam kultur Asia Tengah, biasanya
selalu banyak dan mengenyangkan. Tetapi di atas kain tikar ke-
luarga ini malah tertumpah segunung permen, remah-remah

157
roti yang sudah mengeras, gorengan tepung borsok yang sudah
mengerut dan hilang daya tariknya, patahan cokelat, ceceran
kacang tanah, wafer yang sudah melempem, beberapa apel dan
jeruk busuk. Campur aduk seperti sampah.
Bagi kebanyakan orang, yang tersaji di atas taplak ini paling
hanya makanan ringan di pagi hari. Makanan ini bahkan sudah
tidak layak lagi masuk perut. Tetapi justru remah-remah ma-
kanan yang entah dikumpulkan dari mana yang menjadi menu
utama di sini.
”Seperti inilah makan malamnya orang miskin,” kata si pe-
rempuan tuan rumah, ”apa lagi yang bisa kami makan selain
ini? om
t.c
Jangan ditanya rasanya. Kalau bukan untuk pengganjal pe-
po

rut, sukar sekali menelan gorengan tepung yang keras dan ham-
gs
lo

bar itu, atau menelan potongan cokelat yang sudah masam dan
.b
do

baunya menusuk sampai ke saraf.


in
a-

Inilah keramahtamahan di kota Karaköl yang menyeramkan.


ak
st
pu

Saya terdampar. Sebenarnya tujuan saya adalah ke kota lain, te-


tapi karena sudah tidak ada kendaraan lagi, saya terpaksa ber-
henti di Karaköl, tempat yang paling ingin saya hindari di
Kirgizstan. Siapa yang mau datang ke kota gelap yang sudah
tersohor karena banyak penjahat, pemabuk, dan penganggur
ini? Dari desas-desus yang saya dengar, pada malam hari kota ini
akan dipenuhi ”arwah”, ”zombie”, para pemabuk yang bangkit
dari liang persembunyiannya, siap membantai siapa pun. Se-
benarnya semua kota Kirgizstan juga seram kalau malam, tetapi

158
Karaköl ini pasti rajanya kalau soal seram-seraman. Kok ya
ndilalah, bus tua penuh karat yang saya tumpangi berhenti di
sini, melempar semua penumpang ke tengah gulita malam. Kaki
saya bergetar ketika turun. Sopir dengan angkuh meninggalkan
kendaraannya di terminal begitu saja, lenyap dalam gelap yang
pekat.
Kalau bukan karena perempuan Kirgiz yang mengundang
saya ke rumah ini, entah sudah jadi apa saya sekarang. Namanya
Gulsaira, empat puluh tahunan, wajahnya sudah mengendur,
berjalan tertatih-tatih menggendong bayi mungil dan menuntun
bocah balita yang tak pernah diam. Di sampingnya berjalan se-
orang gadis tinggi, berambut dikepang. om
t.c
”Sudah, kamu tinggal di rumah kami saja,” kata Gulsaira,
po

”Jangan khawatir, kami sama sekali tidak mau uangmu.”


gs
lo

Saya ragu-ragu. Tetapi apakah saya masih punya pilihan lain?


.b
do

Saya hanya mengenal mereka di bus kuno, ketika perempuan


in
a-

itu minta setetes air minum untuk menenangkan bayinya yang


ak

terus menangis. Mungkin air yang saya sumbangkan itu adalah


st
pu

alasan keramahannya. Jangan-jangan ini keberuntungan lain ala


dongeng Sarandip.
Kami berjalan bersama menyusuri jalan panjang. Ini jalan
utama Karaköl, terletak di lintasan Bishkek-Osh. Lampu jalan
tak menyala, sinar rembulan menjadi sumber penerangan
utama. Lolong anjing bersahutan tanpa henti. Rumah-rumah
reot berjajar di pinggir jalan. Dalam temaram, terlihat seperti
barisan rumah hantu.
Pintu berderik melengking. Bohlam lampu bersinar suram.
Kami memasuki sebuah koridor yang lantainya terbuat dari
kayu. Lantai seperti selalu mendesah mengiring langkah kami.

159
Rumah tua... bukan hanya bunyinya, bau masam pun tercium
menyergap di koridor. Rumah besar ini ditinggali delapan ke-
luarga—empat di lantai dasar dan empat di lantai atas. Gulsaira
hanya menempati satu ruangan saja.
Gadis remaja itu langsung menjerang air, menyiapkan teh.
Si bayi duduk manis, sudah reda tangisnya. Si bocah kecil ber-
main mobil-mobilan usang. Sekarang waktu makan malam,
tetapi ibu dan gadis itu tidak memasak. Bukan karena malas,
tetapi mereka sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimasak.
Gulsaira duduk di sudut, mulai berkisah.
Suaminya sudah lama meninggal. Sekarang ibu ini mengasuh
om
ketiga anaknya seorang diri. Yang paling besar namanya Guldora,
t.c
16 tahun, tubuhnya tinggi semampai. Matanya agak sipit, hi-
po

dungnya tidak mancung—karakter khas wajah orang Kirgiz yang


gs
lo

Mongoloid—tetapi ia cantik sekali, apalagi kalau tersenyum dan


.b
do

menampakkan sepasang lesung pipi. Bocah kecil nakal itu,


in
a-

umurnya baru lima tahun, saya ingat namanya Eldiyar. Hobinya


ak

membikin adik bayinya menangis. Tetapi sekarang giliran dia


st
pu

menangis, menunjukkan giginya yang bolong-bolong setelah di-


cubiti dengan gemas oleh Guldora.
Kami hanya duduk lesu menatap tumpukan makanan busuk.
Saya tertunduk. Guldora tertunduk. Gulsaira tertunduk. Hanya
Eldiyar yang masih bersemangat menumpahkan teh dan men-
jerit-jerit nakal, kemudian meraung kesakitan karena dicubit
kakaknya.
Depresi.... Seperti inikah depresi kehidupan di kota muram
Karaköl, yang demikian tersohor keterpurukannya, di tengah
kegagalan ekonomi Kirgizstan?

160
Ketika negeri-negeri Asia Tengah baru merdeka, Kirgizstan me-
ngejutkan dunia dengan pembaharuannya. Di antara negara-ne-
gara Asia Tengah, Kirgizstan adalah negara pertama yang mem-
proklamirkan kemerdekaannya dari Moskow. Tahun 1992, tak
sampai satu tahun merdeka, perekonomian sosialis terpusat pe-
ninggalan Soviet dirombak total menjadi sistem pasar bebas me-
lalui serangkaian privatisasi dan reformasi di bidang industri,
kepemilikan tanah, pertanian, perbankan, dan sebagainya.
Kirgizstan menjadi negara pertama Asia Tengah yang punya
om
mata uang sendiri. Kirgizstan mendapat bantuan IMF dan Bank
t.c
po

Dunia, dan tahun 1998 menjadi negara pecahan Soviet pertama


gs

yang menjadi anggota WTO. Kirgizstan bahkan meminta IMF


lo
.b

untuk menuliskan rancangan anggaran negaranya. Negeri ini


do
in

pun menyediakan tanahnya sebagai basis tentara Amerika Se-


a-
ak

rikat di Asia Tengah.


st
pu

Sekarang, wajah muram Karaköl menunjukkan paradoks


dari serangkaian dobrakan negara baru ini untuk eksis di tengah
orbit negara-negara dunia. Wajah muram ini seakan dikuatkan
oleh dinding kotor mengelupas rumah Gulsaira serta bau busuk
yang menusuk. Gulsaira mungkin hanya kisah penganggur
biasa, tak berbeda dengan jutaan jiwa lainnya bernasib serupa
yang bertahan hidup di tengah menipisnya harapan.
Apakah itu artinya merdeka? Mungkin ini nasib yang harus
diterima negara yang tak pernah bermimpi dan berjuang untuk
merdeka, dan tiba-tiba kemerdekaan itu datang begitu saja ke
atas mereka. Negeri-negeri Stan ini sama sekali tidak diajak

161
konsultasi ketika presiden Rusia, Ukraina, dan Belarus meng-
umumkan pembubaran Uni Soviet. Kirgizstan tidak siap, tetapi
takdir sebagai negeri berdaulat harus diterima, mau tidak mau.
Dulu, Kirgizstan harus menurut perintah Moskow. Kini, ha-
rus manut aturan globalisasi, kapitalisme, dan lembaga inter-
nasional. Dobrakan ekonomi belum tentu obat mujarab. Mata
uang Som langsung ambruk begitu diperkenalkan, inflasi me-
roket. Bank kehabisan stok Som sehingga gaji tak terbayarkan.
Program privatisasi juga tak berhasil mengundang investasi.
Kirgizstan, nyaris tak punya sumber apa-apa lagi selain hidro-
elektrik, tak banyak dilirik investor. Sungguh kontras nasibnya
om
dengan saudara terdekatnya, Kazakhstan, yang kini menikmati
t.c
kemakmuran mendadak gara-gara minyak dan gas.
po

Globalisasi. Privatisasi. Kapitalisasi. Reformasi ekonomi yang


gs
lo

didengungkan Kirgizstan tak mampu mengembalikan kejayaan


.b
do

seperti ketika berada di bawah Soviet dulu. Sekarang Kirgizstan


in
a-

kecil megap-megap ketika banyak penduduknya kehilangan pe-


ak

kerjaan.
st
pu

Kita mungkin berpikir, kebebasan adalah anugerah, demo-


krasi lebih baik daripada kediktatoran yang mencekam, dan ke-
bebasan berpendapat adalah hak dasar yang harus dipenuhi.
Tetapi, apakah benar kebebasan dan kemerdekaan itu adalah
yang terbaik bagi semua orang? Mana yang lebih penting, bebas
bersuara tetapi kelaparan, ataukah mulut dibungkam tetapi
perut selalu kenyang?
Karaköl, yang dulunya adalah tempat makmur di zaman
Soviet, kini berubah menjadi kota yang digerayangi kemiskinan.
Gulsaira mengenang betapa damainya lembah hijau ini waktu
itu—semua orang bekerja, hidup tenang, tak ada kelaparan wa-

162
laupun uang pun tak banyak. Ah.... masa lalu selalu indah, ter-
lebih ketika masa kini begitu suram. Sekarang semuanya hilang.
Pekerjaan hilang. Pendapatan hilang—bahkan untuk membeli
gandum pun ia tak lagi sanggup. Malam mencekam karena kri-
minalitas semakin menggila.
Saya menghirup teh tawar, sambil mengunyah wafer yang
sama sekali tak bisa dibilang renyah. Eldiyar masih terlalu kecil
untuk memahami kesulitan ibunya. Bukan hanya menggoda
adik bayi sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-
remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam
cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke
om
tumpukan remah-remah roti, potongan cokelat, dan permen-
t.c
permen kedaluwarsa yang menjadi menu makan malam ke-
po

luarga. Tak heran semakin hari tumpukan makanan ini semakin


gs
lo

tak sedap dipandang.


.b
do

Bagaimana Guldora bisa mempunyai adik yang umurnya ter-


in
a-

paut lebih dari sepuluh tahun? Eldiyar ternyata memang bukan


ak

adik kandung Guldora. Gulsaira berkisah, di suatu pagi yang


st
pu

dingin menggigit, ia menemukan bayi mungil meraung di depan


pintu rumah kayunya. Bayi siapa ini, gumamnya. Gulsaira me-
nerka-nerka orangtua mana yang tega membuang bayi di tengah
susahnya kehidupan. Tetapi benar-tidaknya dugaannya sudah
tak penting lagi. Gulsaira memang miskin harta, tetapi tidak
miskin hatinya. Ia langsung memungut bayi malang itu, diberi
nama, dan diasuh seperti anak kandung.
Kini Eldiyar sudah tumbuh menjadi bocah lincah dan nakal.
Tahukah ia akan masa lalunya?
”Dia masih kecil. Masih belum waktunya,” Gulsaira men-
desah dalam-dalam. Eldiyar, tidak mengerti sama sekali isi per-

163
cakapan Gulsaira yang dalam bahasa Rusia, hanya menyeringai
memamerkan gigi bolong. Bocah ini manja, selalu menangis
kalau keinginannya tidak dituruti. Potongan-potongan roti, ma-
kanan yang sangat berharga bagi keluarga ini, dilemparnya ke
tanah. Guldora memunguti remah-remah yang terhambur, sem-
bari berusaha menyembunyikan permen dari rengkuhan Eldiyar.
Saya mengeluarkan beberapa bungkus cokelat, langsung di-
sambut Eldiyar dengan kedipan mata nakal dan senyum ter-
kembang. Dalam sekejap, pipi mungilnya cemong oleh cokelat
dan giginya menjadi semakin hitam. Saking nakalnya Eldiyar,
Gulsaira sampai memanggilnya si bocah setan.
om
Rasa sayangnya tak terhingga terhadap bayi perempuan
t.c
po

berambut tipis mungil yang berada di pangkuannya. Bayi itu


gs

mengunyah cacahan apel. Bajunya merah dan tebal, untuk


lo
.b

mengusir dinginnya November. Bayi ini juga bukan anak kan-


do
in

dung. Adik Gulsaira, sekarang bekerja di Bishkek, sedang ber-


a-
ak

kabung karena kecelakaan merenggut nyawa istrinya. Hidup


st

sudah susah di Bishkek, sekarang lebih susah lagi dengan beban


pu

bayi mungil. Terpaksa si adik menitipkan bayi yang baru lahir


kepada Gulsaira.
Bayi kecil ini sudah tahu bahwa Gulsaira bukan ibu kan-
dungnya. Kalau ditunjukkan foto orangtuanya, si bayi perempuan
yang sedang belajar berjalan ini langsung menangis, mengucap
”Mama!!! Mama!!!”
Gulsaira, yang harus menanggung beban hidup tiga anak,
juga tak bermata pencaharian. Ia hanya mengunjungi tetangga-
tetangga untuk menawarkan bantuan. Dari orang-orang yang
dibantu, ia mendapatkan sumbangan sedikit makanan untuk

164
bertahan hidup. Tetapi tak jarang, justru ia yang lebih banyak
berkorban demi para tetangga.
Salah satu tetangganya di Karaköl adalah sepasang suami-
istri pemabuk. Di kala kehidupan demikian suramnya, orang
kembali lagi ke vodka sebagai jalan keluar membebaskan diri
dari tekanan hidup. Pasangan suami-istri ini, penganggur kelas
kakap, untuk memenuhi nafsu minum-minumnya terpaksa ha-
rus menjadi pengemis. Tetapi apa gunanya mengemis kalau se-
mua orang juga sama miskinnya? Si suami kemudian menjadi
perampok di jalan. Uang hasil perasannya habis untuk berjudi
dan bermabuk-mabukan.
om
Si istri juga sudah parah penyakit mabuknya. Bahkan ketika
t.c
mengandung bayi kedua, dia terus minum-minum. Anak perem-
po

puannya terlahir dengan cedera otak, mungkin gara-gara ke-


gs
lo

kenyangan bir dan vodka sejak masih berwujud janin. Namun


.b
do

kakaknya, yang lahir sebelum kemerdekaan Kirgizstan, tumbuh


in
a-

jadi pemuda yang sehat dan kuat.


ak

Saya teringat Hadisa, gadis tunagrahita dari Murghab yang


st
pu

lahir ketika Tajikistan dirundung perang saudara. Apakah tem-


pat-tempat dengan kehidupan suram macam Karaköl dan
Murghab memang harus melahirkan bocah-bocah malang ke
dunia? Entahlah. Bocah-bocah malang ini tak punya hak untuk
menentukan nasibnya sendiri. Kebobrokan ekonomi, perang,
kelaparan, penyakit, nafsu minum orangtua, menjadi penentu
perkembangan otak bayi-bayi yang terlahir di sini.
Seperti tak pernah kapok, si ibu masih setia dengan vodka.
Demikian pula suaminya. Pekerjaan tak ada, alkohol harus se-
lalu tersedia. Suatu malam, mereka bertengkar. Pertengkaran
suami-istri bisa jadi dahsyat begitu dikipasi alkohol. Orang

165
mabuk sering kali tak bisa dipahami jalan pikirannya. Si ibu
meloncat, meraih bohlam yang masih menyala dengan tangan-
nya. Dia tersetrum, terelektrolisis bersama vodka yang mem-
basahi bibirnya. Ibu itu ditemukan warga keesokan harinya da-
lam keadaan tak bernyawa. Si suami pun kembali ke kehidupan
normalnya, setia merangkap berbagai profesi sekaligus: pe-
mabuk, pengemis, dan penjudi.
Sesekali Gulsaira masih mengunjungi rumah itu, mengasuh
gadis malang yang tidak dipedulikan orangtuanya lagi. Gulsaira
mengaku Muslim, tetapi ia tak pernah sembahyang ataupun
belajar agama, tak tahu satu pun huruf Arab. Dia hanya tahu
om
bahwa vodka adalah nenek moyangnya setan, dan bahwa hidup
t.c
po

itu harus selalu diisi dengan cinta kasih.


gs
lo
.b
do
in
a-

Seratus kilometer dari Karaköl adalah kota tepian danau Tokto-


ak
st

gul. Kota kecil ini menyimpan kenangan manis bagi saya.


pu

Dua tahun silam, saya terdampar di Toktogul, juga gara-gara


kesulitan transportasi. Saya berjalan tanpa tujuan menyusuri ja-
lanan kampung yang lurus dan panjang. Barisan pohon cemara
meneduhi musim panas Kirgizstan. Rosa dan Jason, dua pemuda
Amerika, menyapa ramah. Mereka adalah para sukarelawan
Korps Perdamaian alias Peace Corps, organisasi pemerintah AS
yang berdiri sejak 1961 dan mengirimkan sukarelawan ke ber-
bagai belahan dunia. Para sukarelawan ini membaktikan diri di
berbagai bidang kehidupan, mulai dari pertanian, hingga pen-
didikan, kesehatan, dan teknologi informasi, dan tentu saja—se-

166
suai namanya—bertujuan mewujudkan perdamaian dunia dan
membentuk citra positif Amerika.
Jason dan Rosa mengajar bahasa Inggris di sekolah. Waktu
berlalu dengan lambat di Toktogul. Begitu lewat jam mengajar,
hampir tak ada kegiatan lagi. Tak ada bar, disko, bahkan inter-
net. Tapi justru itulah yang menjadi daya tarik kehidupan di
sini—tenang, damai, jauh dari kepusingan duniawi. ”Menghilang”
dari muka bumi, demikian Jason melukiskan kehidupannya
dari kota besar Amerika ke Toktogul yang terpencil.
Jason menyarankan saya untuk berkenalan dengan kawan
baiknya: ibu guru bahasa Inggris asli Toktogul. ”Satina namanya,”
om
kata Jason, ”kamu pasti suka berkenalan dengannya. Dia juga
t.c
pasti suka kamu.”
po

Satina tinggal di apartemen kuno di sebuah gang kecil


gs
lo

Toktogul. Gedungnya cuma dua tingkat. Lantai kayu berderik-


.b
do

derik ketika kami menginjakkan kaki. Seulas wajah sedikit keri-


in
a-

put tersembul dari balik pintu. Matanya yang kecil tampak nya-
ak

ris terpejam ketika otot pipinya harus menyokong senyumnya


st
pu

yang lebar itu.


Nama aslinya Manapova Satkinbu. Tetapi orang-orang lebih
mengenalnya sebagai Satina Eje. Dalam bahasa Kirgiz, eje berarti
kakak perempuan, panggilan umum terhadap perempuan yang
lebih tua.
Seperti kata Jason, Satina memang aktif. Ibu guru ini terus
berceloteh tentang serunya kehidupan di Kirgizstan. Ia tinggal
di rumah kuno bersama putra tunggalnya, Maksat, yang hampir
lulus sekolah menengah. Bahasa Inggris Maksat juga sangat
fasih, dengan sedikit aksen Amerika yang sangat mungkin ter-
tular dari sukarelawan Peace Corps.

167
Satina memasak sherpo, sup Kirgiz penuh dengan minyak
dan yogurt, yang saya hirup dalam-dalam bersama potongan roti
dan bubuk lada merah. Bagi saya, rumah Satina seperti mesin
waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak—permadani sulaman
kotak-kotak warna-warni khas Kirgizstan. Ada telepon yang ma-
sih menggunakan papan putar, dan selalu ber-gedek-gedek-gedek
setiap kali satu nomor diputar—model telepon di Indonesia za-
man saya masih balita dulu. Ada pula televisi hitam-putih yang
tabungnya sangat cembung. Kekunoan di rumah ini kini ber-
padu dengan bahasa Inggris, lambang modernitas dan globalisasi
yang didengungkan sejak Moskow tak lagi menjadi pemandu
hidup. om
t.c
”Ini Frunze... ini Moskow... ini Berlin... ini Kiev...” Satina
po

bangga menunjukkan koleksi fotonya dari zaman ketika Uni


gs
lo

Soviet masih menjadi adikuasa. Bagi banyak orang di sini, masa


.b
do

lalu begitu penting. Foto adalah memori dan kebanggaan. Lam-


in
a-

bang-lambang komunis masih terlihat di foto milik Satina. Pa-


ak

tung Lenin, palu arit, bintang emas, seragam pekerja.... Ah,


st
pu

betapa indahnya masa itu, ketika mereka menjadi bagian negara


terbesar di dunia. Betapa bangganya. Semua orang kenal Uni
Soviet. Dunia menakuti mereka. Sebagai warga negara adikuasa,
Satina sempat melanglang buana. Ia terkenang betapa lucunya
aksen orang Ukraina, betapa menyesalnya ia sudah tak ingat
lagi sedikit pun bahasa Jerman, betapa luar biasanya kejayaan
Moskow. Sekarang, negara berubah, sistem berganti. Satina ter-
jebak di negara ini, tak pernah ke mana-mana lagi. Nama Kir-
gizstan tenggelam di kancah dunia, terlupakan.
Dua tahun berlalu.
Benak saya dipenuhi segudang pertanyaan—bagaimana waktu

168
telah mengubah Satina, kawan lama dari negeri Kirgiz. Setidak-
nya, tidak banyak yang berubah di Toktogul. Saya masih ingat
betul jalan utama ini, rindangnya pohon-pohon yang berjajar,
dan lapangan besar tempat konser. Tetapi saya sudah benar-
benar lupa gang-gang kecil menuju rumah Satina.
Hari ini Minggu. Jalanan lengang, hampir tak ada orang.
Sepertinya semua orang memang menggunakan hari libur hanya
untuk tidur. Saya melihat sesosok tubuh terkapar di atas daun-
daun kuning yang berguguran. Ada juga orang tidur pulas di
pinggir jalan seperti ini?
Wanita itu bertumbuh tambun, memakai sweter hijau. Posisi
om
tidurnya sepertinya tidak nyaman sama sekali. Kakinya tertekuk.
t.c
Mulutnya menganga. Sepertinya ia tergeletak begitu saja, bahkan
po

tak sempat memilih tempat yang enak untuk tidur.


gs
lo

Apa ibu ini kena serangan jantung? Saya cemas. Orang lewat
.b
do

dengan santainya berkata, perempuan tua itu cuma mabuk.


in
a-

Taman-taman desa dan kota memang dipenuhi para pemabuk


ak

ketika senja menjelang. Kota-kota Kirgizstan jadi berbahaya ke-


st
pu

tika hari mulai gelap, karena pemabuk bisa-bisa melompat dari


balik pohon, menodongkan pisau. Kriminalitas yang disebabkan
oleh alkohol, vodka terrorism, membuat malam di Kirgizstan
menjadi penuh horor.
Vodka juga membahayakan nyawa si peminum sendiri. Ma-
buk sampai teler dan pingsan di pinggir jalan seperti ini, apalagi
di musim dingin, tak jarang berujung maut. Masalah hidup me-
mang sejenak terlupakan ketika alkohol mencapai ubun-ubun.
Tak sadar, kepala yang berat memaksa tubuh untuk terbaring di
pinggir jalan. Lelap dalam mimpi indah. Salju mengguyur,
dingin menggigit, napas terhenti. Pemilik tubuh malang itu pun

169
tak pernah lagi terbangun. Tak peduli laki-laki atau perempuan,
vodka tak pernah pilih-pilih korbannya.
Saya tiba-tiba teringat Satina juga hobi minum. Walaupun
Satina tidak pernah mabuk-mabukan di depan saya, saya tak
berani membayangkan kalau Satina teler seperti perempuan
yang terkapar ini.

”Avgustin!!!” teriak Satina ketika melihat bayangan tubuh saya.


Dia memeluk, mengajak saya masuk, dan menyiapkan teh ha-
om
ngat. ”Kemarin saya baru pulang malam sekali,” katanya dalam
t.c
bahasa Inggris yang kental logat Kirgiz-nya, ”Saya mabuk berat.
po

Saya tak ingat apa-apa lagi. Kata keponakan, saya menangis ter-
gs
lo

sedu-sedu sepanjang malam. Tetapi saya tidak ingat apa-apa


.b
do

sama sekali. Menangisnya bagaimana, saya pun tak tahu.”


in
a-

Satina masih mengenali saya seperti dua tahun silam. ”Kamu


ak

tak berubah!” katanya tersenyum. Bahkan tetangga-tetangga


st
pu

Satina pun masih ingat saya. Bagaimana mereka bisa lupa? Dua
tahun lalu, saya datang dengan kulot sedengkul dari Indonesia.
Orang-orang di sini mengira saya pakai rok, mereka tertawa ter-
pingkal-pingkal.
”Sayang Jason dan Rosa sudah pergi,” katanya, ”Jason sangat
cinta Kirgizstan. Ia ingin tinggal lebih lama. Ia ikut lomba ba-
hasa Kirgiz di Bishkek, muncul di televisi. Sayang sekali kalah.
Ia sedih.... Urgh... kepala saya masih sakit, gara-gara mabuk ke-
marin. Saya minum terlalu banyak di pesta. Bagaimana ini, se-
karang saya mesti mengajar?”
Satina datang terlambat ke Sekolah Dasar dan Menengah

170
Birimkulov. Seperti umumnya siswa di belahan lain dunia,
absennya guru disambut dengan suka cita. Murid-murid Satina
bermain riang di kebun. Seperti pasukan tempur, begitu melihat
Satina dalam hitungan detik semua siswa berlarian serempak
menuju kelas, duduk manis, membuka buku pelajaran pada ha-
laman yang sama. Satina duduk, membenarkan letak kacamata
model kuno yang lensanya besar dan tebal, kemudian mulai
mengabsen murid-muridnya satu-satu.
”Hari ini hari apa? Tanggal berapa? Bagaimana cuacanya?”
Satina mengajukan pertanyaan dalam bahasa Inggris. Murid-
muridnya diam saja. Satina menerjemahkan pertanyaan dalam
om
bahasa Kirgiz, baru ada satu-dua murid yang mengacungkan
t.c
tangan. Satina mengeluh, “My students are too much stupid.”
po

Keras sekali. Baru pertama kali ini saya mendengar guru yang
gs
lo

mengeluhkan kebodohan murid-muridnya sendiri tanpa tedeng


.b
do

aling-aling. Murid-murid tak bereaksi. Mungkin tak mengerti,


in
a-

mungkin tak berani.


ak

Bocah-bocah masih mematung. Siku mereka terlipat rapi di


st
pu

atas meja. Yang laki-laki memakai jas hitam, kebanyakan sudah


lusuh. Yang sedang tren di kalangan perempuan adalah pita
rambut kupu-kupu ukuran jumbo. Mereka tegang menatap
Satina yang terus melemparkan soal.
Murid-murid Satina sangat pasif. Dia kebagian mengajar ke-
las yang kurang mampu. Setiap kelas dibagi menjadi dua grup.
Grup A, siswa yang dianggap pandai, ikut kelas yang dibimbing
Anna, sukarelawan Peace Corps yang baru. Sisanya, Grup B,
masuk kelas Satina.
Ketika bertandang ke kelas Anna, saya diberondong per-
tanyaan murid-murid kelas 4. How many brothers and sisters do you

171
have? How many cars do you have? How many apples do you eat every-
day? Anna tergelak melihat kebingungan saya. ”Jangan khawatir,
anak-anak hari ini baru belajar how many.”
Kirgizstan memang bukan negara kaya. Tetapi saya sangat
mengagumi kualitas sekolah di desa ini. Gedungnya kokoh, ber-
lantai dua. Ada perpustakaan dengan koleksi buku-buku bahasa
Inggris. Ada museum sekolah, menampilkan pahlawan-pahlawan
Kirgiz dan lambang-lambang nasional. Ada ruang olahraga.
Kantin dan toiletnya pun bersih. Ruang-ruang kelas dibagi ber-
dasarkan mata pelajaran. Ada ruang bahasa Inggris, ruang mate-
matika, ruang geografi, dan sebagainya. Ibu Guru Satina Eje
om
cukup duduk menunggu di ruangan bahasa Inggris, murid-mu-
t.c
rid dari berbagai kelas datang silih berganti.
po

Satina mengundang saya berbicara di depan kelas. Dari ba-


gs
lo

hasa Inggris, Satina menerjemahkannya ke bahasa Kirgiz. Bocah-


.b
do

bocah kelas B ini hanya mematung. Saya bercerita tentang Indo-


in
a-

nesia dan Tajikistan, mereka hanya tersenyum. Tak banyak


ak

tanggapan. Saya bertanya tentang cita-cita mereka, malah Satina


st
pu

yang rajin menjawab.


Sesi berikutnya, kami mengajar kelas dua SD. Bocah-bocah
ini, walaupun masih belum bisa bicara dalam Bahasa Inggris,
jauh lebih aktif. Mereka antusias bertanya.
”Berapa saudara yang kamu punya?” tanya seorang bocah.
”Hanya satu,” jawab saya.
Seluruh kelas tersontak. ”Mengapa sedikit sekali?”
Di Kirgizstan, terutama di desa, rata-rata keluarga banyak
anak. Negeri ini berpenduduk hanya sekitar lima juta jiwa, ti-
dak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Jakarta. Satu ke-
luarga dengan tujuh hingga dua belas anak adalah hal biasa.

172
Bocah-bocah mungil Kirgiz ini menggeleng-gelengkan kepala,
mengasihani orangtua di Indonesia yang dianjurkan punya dua
anak saja. Mereka lebih ternganga lagi ketika mendengar di
Cina orangtua hanya boleh punya satu anak.
”Kasihan sekali kaum ibu di Indonesia. Tidak ada anak-anak
yang membantu mencuci piring,” kata seorang gadis mungil de-
ngan pita rambut merah muda seperti telinga kelinci menjulang
di atas kepalanya.
”Bapak-bapak di sana pasti sedih sekali, karena kalau anaknya
pergi sekolah, tidak ada anak yang membantunya merawat
domba,” kata bocah lain yang memakai jas hitam.
om
”Iya. Kalau anaknya sakit, jadi tidak ada yang membantu ibu
t.c
di rumah,” sambung yang lain.
po

Saya terenyak. Bocah-bocah sekecil ini sudah menunjukkan


gs
lo

sikap kasih sayang yang luar biasa terhadap orangtua. Dari be-
.b
do

lasan alasan yang dikemukakan, semuanya bertema ”kasihan


in
a-

ayahnya”, ”kasihan ibunya”. Mereka tidak bicara tentang acara


ak

TV, permainan Playstation terbaru, atau tentang uang jajan.


st
pu

Sekali lagi saya menyusuri koridor gedung sekolah. Foto-foto


siswa berprestasi dipajang sepanjang dinding. Semua foto ini
tampak sama. Bocah laki-laki berjas hitam, kepala tegak meng-
hadap kamera, bibir terkatup. Bocah perempuan memakai pita
merah muda melambung tinggi dari ujung kepala. Sebuah foto
meninggalkan kesan mendalam. Bocah-bocah sekolah Birim-
kulov berbaris di depan gerbang, berteriak gembira mengekspresi-
kan keriangan dari hati terdalam. ”Foto ini terpilih sebagai foto
terbaik dari semua sekolah di Kirgizstan,” kata Satina bangga.
Saya tak kaget. Kepolosan ekspresi bocah-bocah sungguh meng-
getarkan hati.

173
Pukul dua siang, tenggorokan saya sudah hampir putus rasa-
nya. Padahal saya tidak bicara sebanyak Satina. Sampai di ru-
mah, Satina langsung sibuk menyiapkan makan malam, me-
mutar telepon, dan mengobrol ngalor-ngidul dengan tetangga.
Masih juga ia memakai telepon tua itu.
Santap malam berupa sup sherpo dan pangsit pelmen. Sudah
dua jam ini ia sibuk menipiskan kulit pangsit, mengukus, me-
nyiapkan botol limun dan vodka, tak lupa pula mengundang
seorang wanita tetangganya. Mereka berdua bercakap tanpa
henti, dalam bahasa Kirgiz yang mengalir cepat, sesekali diiringi
tawa meledak, namun terdengar berat, monoton, mengentak,
om
seperti memaki. Sesekali, mereka berseru penuh ekspresi, ”A...
t.c
mi...!” khas orang Kirgiz mengungkapkan keterkejutannya. Suku
po

kata a diucapkan rendah dan panjang, mi diucap melengking


gs
lo

tinggi dan lebih panjang lagi. Dengan bergosip, mereka terlarut


.b
do

dalam obrolan seru berjam-jam. Terkadang, Satina sempat ber-


in
a-

paling kepada saya yang bersila di hadapan meja makan yang


ak

cuma selutut tingginya.


st
pu

Satina menanyakan bagaimana caranya supaya anaknya bisa


sekolah di luar negeri. Kirgizstan tak banyak menjanjikan, kata-
nya, dunia luar begitu penuh harapan. Kalau zamannya dulu
orang bermimpi untuk mencapai Moskow, Berlin, Praha, Kiev.
Kini Satina ingin putranya bisa pergi ke Washington, New York,
San Fransisco. Impian bergeser, arah hidup berganti. Yang di-
ajarkan bukan lagi bahasa Rusia, tetapi bahasa Inggris logat
Amerika.
Malamnya, giliran saya menjadi murid Satina, belajar bahasa
Rusia dan Kirgiz. Satina dengan sabar mengajari, walaupun se-
ring bilang bahasa Rusia saya jelek sekali. Satina ingin belajar

174
membaca huruf Arab dari saya. Di dinding kamarnya tergantung
beberapa hiasan. Satu bertulis Allah, satu bertulis Muhammad,
dan satunya lagi Bismillahirrahmanirrahim. Seperti sebagian
besar orang Kirgiz, Satina yang Muslim tidak tahu arti bacaan
tulisan-tulisan Arab yang menghiasi kamarnya.
”Ah, saya ingin sekali bisa mengerti artinya,” keluh Satina,
”tetapi bahasa Arab kelihatannya susah sekali ya.”

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

175
KOTA BANGSA GEMBALA

BEGITU memasuki Bishkek, ibu kota Kirgizstan, saya seakan


sejenak berpindah alam ke negeri Eropa. Orang kulit putih
mendominasi, berjaket bulu tebal yang indah dan mahal, lalu
lalang di atas trotoar sepanjang pertokoan. Hanya beberapa ra-
om
tus kilometer dari Toktogul, dunia padang Kirgizstan berupa
t.c
barisan bukit bundar berselimut rumput berganti menjadi kota
po

mungil bergaya Rusia.


gs
lo

Kalau dilihat dari udara, kota berpenduduk lebih dari 800


.b
do

ribu jiwa ini pastilah seperti buku kotak-kotak anak SD. Ruas-
in
a-

ruas jalannya lurus, sejajar horizontal dan vertikal. Perpotongan


ak

tiap ruas jalan membentuk blok-blok beraturan. Gedungnya


st
pu

pun semua berbentuk kotak. Keteraturan, keteraturan, keter-


aturan, terus berulang-ulang.
Mungkin seperti inilah hidup di bawah komando Uni Soviet
dulu, seperti yang diimpikan oleh Gulsaira dari Karaköl. Semua-
nya serba terkontrol. Orang tak perlu terkejut untuk hal-hal tak
terduga, karena nasib mereka semua sudah ada yang mengatur:
pemerintah pusat. Inovasi, kreasi, kreativitas, tenggelam oleh
keteraturan. Blok-blok bangunan yang berbaris seragam di se-
panjang jalan utama, pola tata ruang kota yang sempurna, ritme
hidup yang dapat ditebak, adalah memori masa lalu yang mem-
bekas.

176
Bangunan paling menonjol di Bishkek adalah TsUM, alias
supermarket ”sentral”. Kota-kota besar di bekas jajahan Uni
Soviet hampir selalu punya supermarket ”sentral”, toko besar
milik negara yang menjadi pusat kegiatan ekonomi di republik
itu. Sentral. Pusat. Ah, betapa indahnya kata itu..., mem-
bangkitkan nostalgia saya akan berbagai suasana dan polemik
sulit yang langsung terbisukan dengan jawaban, ”Itu semua dari
pusat”, ”Itu keputusan pusat”, ”Itu kata pusat”, ”Menurut
aturan pusat,” atau, ”Menurut petunjuk Bapak Presiden...!”
Tak ada yang bisa melawan pusat. Tak ada kreativitas yang
bisa menaklukkan segala keteraturan ini. Bahkan gembala pa-
om
dang rumput luas pun harus dengar apa kata para komrad di
t.c
Moskow sana.
po

Di dalam TsUM, elevator tua yang jarak antar anak tangganya


gs
lo

hampir sedengkul tingginya merangkak lambat-lambat. Di per-


.b
do

tokoan lima lantai ini ada semua barang, mulai dari baterai
in
a-

sampai rok mini, dari foto presiden Bakiyev sampai ke CD lagu-


ak

lagu Rusia. Barang-barang dari mancanegara, umumnya barang


st
pu

Cina, membanjiri pasar Kirgizstan setelah runtuhnya Uni


Soviet. Hubungan dengan ”pusat” itu terputus. Kota ini kini
menjadi pusat bagi dirinya sendiri dan padang rumput serta
gunung salju di sekelilingnya.
Tapi, itu tak sepenuhnya benar.
Di antara negara-negara baru yang berkoar tentang nasionalis-
me, Kirgizstan masih sulit melepaskan diri dari masa lalunya di
bawah Uni Soviet. Di ibu kota negeri ini, bahasa nasional Kirgiz
nyaris tak terdengar. Semua orang—termasuk bangsa Kirgiz—bi-
cara bahasa Rusia, yang bagi mereka terdengar lebih intelek
daripada bertutur dalam bahasa kaum nomad.

177
Nasionalisme kebangsaan di Kirgizstan pun menggebu ketika
mereka memutuskan mengangkat kembali bahasa Kirgiz. Peme-
rintah mewajibkan bahasa Kirgiz di sekolah dan tempat kerja.
Mereka yang tak bisa bahasa Kirgiz—kebanyakan orang Rusia
dan bangsa minoritas lainnya—harus kehilangan pekerjaan. Bu-
kankah bahasa nasional adalah bagian dari simbol-simbol yang
harus dibela?
Namun, identitas tak bisa dibuat dalam semalam. Apakah
mungkin jika misalnya pemerintah kita mengumumkan, ”Baik-
lah, Saudara-saudara sebangsa, mulai besok bahasa nasional kita
adalah bahasa Inggris,” lalu semua orang di negara kita esok
om
harinya otomatis fasih berbahasa Inggris? Atau, mampukah kita
t.c
yang selama ini mengenyam pendidikan dalam bahasa Indonesia
po

dapat dengan leluasa bicara teori kuantum, relativitas, replikasi


gs
lo

DNA, atau transmisi gelombang elegtromagnetik, dalam bahasa


.b
do

daerah, ambil saja contoh Madura atau Jawa, dengan semurni-


in
a-

murninya tanpa kata serapan asing sama sekali?


ak

Uni Soviet membuat mereka hanya belajar bahasa Rusia,


st
pu

bekerja dalam bahasa Rusia, membaca dan menulis dalam ba-


hasa Rusia, bahkan bahasa Kirgiz pun ditulis dalam huruf Sirilik
seperti bahasa Rusia. Berapa banyak buku yang harus diterjemah-
kan? Berapa juta orang yang harus dididik ulang? Lalu, ahli-ahli
itu, para insinyur itu, para jaksa dan hakim itu, para menteri
dan birokrat itu, haruskah semua kembali ke titik nol, karena
pengetahuan mereka mendekati nihil kalau diukur dalam
standar bahasa Kirgiz—bahasa yang sama sekali tak mereka
kuasai?
Mengganti bahasa bukan sekadar perubahan identitas. Per-
dana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad pernah menyeru-

178
kan penggunaan bahasa Melayu baku di jajaran kabinet, meng-
gusur dominasi bahasa Inggris, dan abrakadabra, menteri
keturunan India dalam semalam berubah dari orang cerdas
yang pandai bersilat lidah menjadi seperti anak sekolah dasar
yang baru belajar menyusun kata-kata. Timor Leste menghabis-
kan banyak dana dan tenaga untuk menerjemahkan buku-buku
dari bahasa Indonesia ke bahasa Portugis, tetapi jadi percuma
karena kebanyakan orang tidak bisa bahasa itu. Kirgizstan ke-
hilangan banyak ilmuwan yang eksodus ke Rusia gara-gara tak
bisa bahasa Kirgiz, dan akhirnya terpaksa mengangkat lagi dera-
jat bahasa Rusia di negaranya.
om
Bagi negeri-negeri, bahasa nasional adalah perjuangan besar
t.c
untuk mempertahankan eksistensi dan jati diri. Sementara di
po

belahan lain Asia, pemimpin dan rakyatnya malah bangga bisa


gs
lo

menyelip-nyelipkan kata dan kalimat bahasa asing, sebagai lam-


.b
do

bang kecerdasan dan kemajuan berpikir, tertimbun oleh ke-


in
a-

kaguman dan pemujaan terhadap kemajuan peradaban asing—


ak

secuil superioritas dari sindrom inferioritas bangsa terjajah.


st
pu

Semua serba nasional di negeri ini. Bendera nasional. Bahasa


nasional. Lambang nasional. Lagu nasional. Alat musik nasional.
Tenda nasional. Makanan nasional. Olahraga berkuda nasional.
Minuman nasional. Produk susu nasional. Hikayat nasional.
Puisi nasional. Topi nasional. Motif permadani nasional.... Se-
mua itu begitu penting untuk ”dipatenkan” sebagai milik na-
sional, tradisi yang diwariskan, identitas yang dijunjung.
Kebanggaan. Nasionalisme. Patriotisme. Bagi negara baru,

179
apalagi negara artifisial, semuanya masih harus dibikin. Kirgiz-
stan mengubek-ubek tumpukan tradisi masa lalunya sebagai
jawaban.
Sekitar 700 tahun lalu, nenek moyang bangsa Kirgiz tinggal
di tepian sungai Yenisei di Siberia sana, tak jauh dari Kutub
Utara. Bangsa ini terpaksa melakukan perjalanan jauh hingga
ke Pegunungan Tianshan gara-gara serangan bangsa Mongol.
Baru di abad ke-20, orang Rusia memberi nama bagi kumpulan
klan-klan gembala ini, menjadikan mereka sebagai sebuah
bangsa, menciptakan tanah air dan garis batas, membakukan
bahasa, menghadiahi sepaket sejarah. Selamat datang ke muka
bumi, Kirgizstan. om
t.c
Para ahli etnografi memutuskan untuk memisahkan bangsa
po

gembala di pegunungan ini dari kerabat dekat mereka, bangsa


gs
lo

gembala di padang luas. Mereka yang tinggal di padang dinamai


.b
do

Kazakh, yang di pegunungan menjadi Kirgiz. Dulu Kazakh di-


in
a-

namai Kirgiz karena kata ”Kazakh” ternyata mirip sekali dengan


ak

kaum nomaden Cossack di Ukraina. Sedangkan Kirgiz dulunya


st
pu

dikenal sebagai Kara-Kirgiz, atau ”Kirgiz Asli”. Lihat, ternyata


bangsa pun bisa bolak-balik ganti nama! Bahkan nama resmi
negara ini sebenarnya bukan Kirgizstan, melainkan Republik
Kirgiz, sebelumnya dikenal sebagai Kirgizia.
Bishkek pun sudah mengalami sejumlah metamorfosis.
Awalnya, kota ini adalah sebuah kota kecil bernama Pishpek,
lalu berganti nama menjadi Frunze ketika Uni Soviet berkuasa.
Mikhail Vasilyevich Frunze adalah pejuang komunis. Frunze
menjadi ibu kota Kirgizstan, ia adalah pahlawan di republik ini,
walaupun ia sama sekali tidak berdarah Kirgiz, dan yang di-
perjuangkannya adalah komunisme—ideologi asing. Baru setelah

180
merdeka, Frunze diganti Bishkek, yang artinya alat pengaduk
susu kuda, minuman bangsa penggembala.
Saya tertegun di hadapan bendera Kirgiz yang berkibar tinggi
di hadapan Patung Erkindik—patung kemerdekaan—berwujud
malaikat terbang sambil membawa matahari. Di bawah bendera,
para tentara berdiri tegap dengan sikap sempurna. Ini mungkin
adalah pekerjaan yang paling membosankan sedunia, berdiri
menjaga tiang, sepanjang hari dan malam. Topi mereka yang
bundar berukuran jumbo mengingatkan, ini adalah bekas ja-
jahan Soviet. Tetapi mereka mengawal kebanggaan Kirgiz: ben-
dera merah yang berkibar di atas sana.
om
Bendera Kirgiz tak lepas dari masa lalu mereka. Wujudnya
t.c
adalah matahari kuning (atau emas?). Bagi gembala, matahari
po

sangat vital. Sinarnya membuat padang bersemi, mencairkan


gs
lo

salju di puncak gunung sehingga membasahi sungai, parit, dan


.b
do

danau, menghidupi manusia dan rombongan ternaknya. Di


in
a-

tengah matahari itu tergambar persilangan tiga garis sejajar, per-


ak

sis dengan siluet lubang matahari yang selalu ada di puncak


st
pu

kemah bundar bangsa penggembala ini. Gambar matahari itu


pun memiliki 40 bias sinar, perlambang 40 bani yang menjadi
nenek moyang bangsa Kirgiz19.
Bendera adalah kebanggaan. Bangsa nomad seperti Kirgizstan
dan Kazakhstan, menampilkan unsur alam. Bendera Kazakhstan
berupa matahari dan elang, hewan yang menemani para penung-
gang kuda berburu di padang luas. Tajikistan menampilkan
mahkota, wujud ikatan mereka dengan dinasti Samani. Bendera
Turkmenistan adalah yang paling cantik karena ada gambar

19
Nama Kirgiz berasal dari kata kyrk yang berarti 40, dan kiz yang berarti gadis.

181
desain permadani Turkmen yang tersohor keindahannya. Anak-
anak sekolah di negara itu pasti kesulitan menggambar bendera-
nya sendiri.

Peradaban bangsa nomad mungkin tidak meninggalkan gedung-


gedung megah. Bangsa pengembara sering diidentikkan dengan
kekerasan dan barbarisme. Siapa yang tak terbayang pasukan
Genghis Khan ”menyapu” peradaban-peradaban yang pernah
hidup di antara Tiongkok sampai Eropa, menaklukkan padang
om
luas, menduduki kota-kota, membakar habis semua bangunan
t.c
peninggalan peradaban bangsa-bangsa, dan membantai umat
po

manusia dan hewan yang hidup di daerah yang dilibasnya?


gs
lo

Kirgizstan mungkin tidak menggemborkan peninggalan per-


.b
do

adaban masa lalu yang sebanding dengan Samarkand atau


in
a-

Bukhara, tetapi tak jauh dari Bishkek, berdiri menara kuno


ak

Burana dari abad ke-11. Tempat ini pernah menjadi ibu kota
st
pu

dinasti Balasagun, persinggahan penting Jalur Sutra di Asia


Tengah.
Menara Burana terlihat megah dari kejauhan. Bentuknya se-
perti silinder gemuk, miring seperti Menara Pisa. Warnanya
cokelat lempung, dindingnya dihiasi gurat-gurat mirip mozaik.
Dikelilingi bukit-bukit bersalju, menara ini tidak kesepian.
Puluhan patung batu penuh misteri, bergambar wajah-wajah
manusia tanpa ekspresi, tersebar di padang. Wajah pria botak
duduk bersila terukir di atas batu-batu berlempeng bundar, se-
mua menghadap ke arah menara. Barisan patung berwajah
datar justru menambah suasana seram, seperti barisan arwah

182
yang terpanggil menghadap satu arah yang sama. Balbal, demi-
kian patung batu ini disebut, adalah peninggalan peradaban
nomadisme Turki untuk penanda kuburan.
Menara Burana dan barisan balbal adalah masa lalu Kirgiz-
stan. Kini, setelah seratusan tahun lebih berada di bawah penga-
ruh budaya Rusia, kehidupan nomad Kirgiz telah jauh berubah.
Mereka bukan lagi bangsa pengembara yang merajai padang,
menjadi orang-orang yang menetap di blok-blok apartemen ber-
gaya Rusia. Kemah Kirgiz, selain di museum dan tempat atraksi
turis, memang masih dijumpai di padang rumput, di mana adat
keramahtamahan bangsa nomad membuat mereka menawarkan
om
minuman kumis dan yogurt kepada tamu mana pun. Tetapi ke-
t.c
hidupan di padang gembala ini hanya ada pada waktu musim
po

panas. Ketika hawa mulai dingin dan rumput di padang menge-


gs
lo

ring, kaum penggembala ini meninggalkan kemah dan kembali


.b
do

ke rumah mereka yang modern.


in
a-

Nomadisme adalah masa lalu, di bawah pembaharuan Uni


ak

Soviet dituding sebagai keterbelakangan. Kini setelah negeri ini


st
pu

merdeka, nostalgia masa lalu itu dikenang sebagai kebanggaan


dan kepribadian bangsa.

Salju mengguyur kota Bishkek, menyulap taman-taman cemara


menjadi negeri Sinterklas. Anak-anak Rusia dengan riang mem-
buat orang-orangan salju. Kakek-kakek melintas perlahan di atas
lapisan es yang licin. Saya hanya bisa tertegun, celana jins yang
baru saya cuci dan jemur semalaman, kini berubah menjadi
kaku seperti papan tripleks.

183
Dingin menyelimuti Bishkek. Tak hanya arti harfiah saja. Di
desa-desa kecil Kirgizstan, bahkan di kota Osh di selatan pun,
saya masih cukup mudah bercakap-cakap dengan orang di jalan.
Tetapi di sini, tampaknya semua orang sibuk, dikuasai oleh ke-
pentingan masing-masing, melangkah cepat di atas jalanan yang
licin. Tidak ada waktu berleha-leha atau bersenda gurau di
jalan. Senyum sangat langka di sini.
Apa benar seperti kata stereotipe, semakin dingin tempatnya,
semakin dingin pula orangnya? Di sekitar khatulistiwa, Indonesia
dan Thailand konon termasuk bangsa yang paling murah se-
nyum di dunia. Di Vietnam, sedikit ke utara, penduduknya le-
om
bih kaku. Di negara komunis, senyum sangat mahal. Di Beijing,
t.c
po

para petugas Olimpiade perlu mendapat pelatihan khusus un-


gs

tuk tersenyum. Di Mongolia, wajah mereka lebih datar lagi.


lo
.b

Saya dengar orang Rusia lebih dingin, sedingin es yang menye-


do
in

limuti negeri mereka. Jangan-jangan, di kutub utara, senyum


a-
ak

selangka sinar matahari di musim dingin.


st

Tetapi setidaknya, orang Kirgiz tetap punya kehangatan khas


pu

bangsa Timur. Kendaraan umum Bishkek sangat kecil, berbentuk


mirip bongkahan roti tawar. Tempat duduknya hanya 15 kursi,
dan penumpang berdiri berdesak-desakan, harus membungkuk
karena atap mobil yang rendah. Tetapi, aturan yang berlaku di
sini, lelaki tak akan duduk jika ada perempuan yang berdiri.
Apalagi kalau ada manula dan orang sakit. Bahkan, penumpang
yang dapat tempat duduk pun sukarela membawakan barang
bawaan penumpang yang berdiri, mulai dari tas kerja, laptop,
barang berharga, bayi.... Bruk... dititipkan begitu saja, tanpa ba-
bi-bu, tanpa senyum, paling juga sepotong ucapan terima kasih.

184
Saya sulit membayangkan menitipkan bayi ke sesama penumpang
bus di Indonesia.
Terlepas dari modernisasi dan Rusianisasi, kultur nomad di
Kirgizstan sangat kuat, bahkan lebih kuat daripada Islam yang
menjadi agama mayoritas. Sementara orang Uzbek dan Tajik
mengucapkan salam dengan berkata assalamualaikum, orang
Kirgiz jarang sekali menggunakan salam ini. Sebagai gantinya,
mereka menanyakan keadaan suami, istri, anak, keluarga, hewan
ternak, tenda, dan pekerjaan. Nama orang Kirgiz pun jarang
yang diambil dari bahasa Arab, kebanyakan nama-nama lokal
yang berasal dari legenda kebanggaan Manas.
om
Lagu kebangsaan Kirgiz juga banyak berkutat pada alam, se-
t.c
perti halnya kehidupan natural bangsa pengembara. ”Gunung
po

tinggi, lembah, dan padang adalah tanah air kami yang suci. Kakek
gs
lo

moyang kita yang tinggal di tengah Ala Too selalu menjaga sang ibu
.b
do

pertiwi.” Gunung, lembah, dan padang tak pernah lepas dari


in
a-

peradaban nomad. Sang Ala Too—bapa dari segala gunung—gu-


ak

nung suci tempat bersemayamnya Manas sang pahlawan.


st
pu

Seperti jatuh-bangunnya perjuangan Manas20, yang tidak per-


nah menyerah pada keadaan dan kegagalan, sebuah pepatah
Kirgiz membuat saya kagum akan ketangguhan bangsa ini:
Kami bangsa Kirgiz,
Sudah mengalami ribuan kematian,
Tetapi kami menjalani ribuan kehidupan.

20
Legenda kepahlawanan bangsa Kirgiz, diwariskan secara oral dan panjangnya
ribuan baris.

185
Walaupun tinggal di Bishkek, Moken masihlah Toktogulduk—
orang Toktogul—yang tak lepas dari budaya bangsa penggembala.
Rumahnya terletak pinggiran Bishkek, di daerah perumahan
Ala Too. Perumahan ini tak semegah namanya. Rumah kayu
sederhana berbaris di balik pagar, kebanyakan kumuh. Tetapi
ada pula satu-dua yang menampakkan bahwa pemiliknya ka-
langan berada. Rumah Moken termasuk jenis yang kedua. Din-
dingnya dicat bersih. Ukurannya pun sangat luas, ada tiga ba-
ngunan terpisah. Kambing-kambing Moken tak berhenti
mengembik sepanjang hari.
Siapa Toktogulduk yang tidak kenal Moken? Anak desa
om
Toktogul yang sukses hidupnya di Bishkek. Mobilnya bagus,
t.c
rumahnya besar. Dengar-dengar Moken juga punya banyak ke-
po

nalan orang penting. Mau tahu pekerjaannya? Sopir taksi. Se-


gs
lo

perti halnya di Tajikistan, di Kirgizstan yang ekonominya masih


.b
do

carut-marut ini, sopir taksi lebih terjamin hidupnya.


in
a-

”Jangan lupa,” katanya, ”nanti kalau sampai di rumah, saat


ak

bertemu dengan Ergetse istriku, kamu mesti bilang ’soloo


st
pu

apam...’, ’ibuku yang cantik’. Dia pasti senang sekali.”


Ergetse, istri Moken, adalah wanita gemuk berwajah bulat.
Bibirnya menampakkan barisan gigi bersepuh emas. Di negara-
negara Stan, gigi berlapis emas memang sangat populer. Saya
teringat gadis-gadis muda Dushanbe yang sangat cantik dengan
balutan daster di taman kota, dan kalau tersenyum langsung
menampakkan barisan gigi yang menyilaukan mata.
”Soloo apam...,” saya mempraktikkan ajaran Moken, walaupun
takut juga apakah ini sebuah kekurangajaran memanggil perem-
puan tak dikenal sebagai ”mama cantik”. Di luar dugaan, tawa-
nya meledak keras. Ia merangkul erat-erat sampai saya kesulitan

186
bernapas. Ibu ini berbakat menjadi atlet gulat. Ah, mungkin ini
memang keramahan bangsa penggembala. Begitu polos, begitu
terbuka, tanpa tedeng aling-aling.
Tiga hari lagi, Moken akan melangsungkan hajat besar per-
nikahan putra sulungnya. Sejak seminggu ini, sanak saudara
terus berdatangan dari Toktogul. Beberapa ikut menginap di
rumah ini, banyak pula yang membawa bayi dan bocah kecil.
Rumah besar ini ramai, penuh tawa canda, berpadu dengan
tangisan bayi, gonggongan anjing, dan suara embik kambing.
Putra Moken bernama Timur. Calon istrinya, Zarina. Keduanya
masih belum genap 20 tahun.
om
Para tamu di rumah Moken ini adalah sanak saudara, dari
t.c
saudara kandung sampai famili yang hubungannya teramat-
po

sangat-jauh-luar-biasa-sekali. Di Kirgizstan, hubungan keluarga


gs
lo

sangat penting. Dalam bahasa Kirgiz, untuk menyebut ”paman”


.b
do

dan ”bibi” saja banyak sekali istilahnya, misalnya mereka punya


in
a-

istilah khusus untuk ”paman yang kakak ayah” dan ”paman


ak

yang kakak ibu”. Kayanya kosakata ini menunjukkan kekera-


st
pu

batan yang melekat pada kultur bangsa ini selama ribuan tahun.
Kakek Moken sudah teramat renta, umurnya berkepala de-
lapan, tapi masih tampak sehat. Jenggotnya putih, panjang, ha-
nya sejumput. Topi bulu hitamnya membumbung tinggi. Ini
pastilah tipe aksakal yang paling akurat. Bangsa Asia Tengah
sangat menghormati orang lanjut usia. Orang Kirgiz menyebut
mereka aksakal—sang jenggot putih, dan orang Tajik musafid—
sang rambut putih. Apa pun yang keluar dari mulut aksakal
tidak boleh dibantah. Mereka selalu mendapat tempat paling
terhormat di ruangan. Mereka harus mendapat makanan ter-
lebih dulu, dan harus yang paling lezat, misalnya kepala domba

187
dan bongkahan lemak padat dari pantat hewan itu. Aksakal juga
punya hak veto dalam pengambilan keputusan keluarga.
Nenek Moken, juga terlihat renta, namun masih lincah ke
sana ke sini menyiapkan teh untuk para tamu. Ibu Moken, ber-
jubah tebal berhiaskan tenunan benang emas, berkonsentrasi
penuh menyuling vodka dari botol ke botol. Sanak saudara dari
desa duduk di ruang tamu, menikmati hidangan bersama teh
hijau yang mengalir tiada henti dari poci-poci. Timur, si mem-
pelai, sibuk membersihkan rumah, membelah kayu bakar, me-
layani tamu, mengepas jas pengantin. Zarina memasak. Bocah
balita juga sibuk, lari-lari, bermain mobil-mobilan, berkelahi,
om
menangis, memukuli anjing, menyepaki kucing. Kambing dan
t.c
domba Moken juga tidak bisa diam. Walaupun dikurung rapat-
po

rapat di dalam kandang, masih bisa saja ada yang menerobos


gs
lo

pintu dan memakan daun tanaman mawar milik Ergetse. Si


.b
do

empunya tanaman hias langsung berteriak marah, tergopoh


in
a-

mengusir barisan hewan bau itu. Ada pula seekor kuda gagah
ak

yang terikat di ujung pekarangan, tampak gelisah, berputar-


st
pu

putar mengelilingi pasak, karena tali yang mengalungi mon-


congnya tak mengizinkannya ke mana-mana.
”Hari ini, makhluk itu akan mati,” kata Nurlan, adik Timur.
Ya, mati. Si kuda akan terhidang di atas piring tamu-tamu
pernikahan Timur dan Zarina. Nurlan hampir menetes air
liurnya ketika bercerita. Ia kemudian mengayunkan pegangan
sekop ke perut kuda gemuk. Si kuda kesakitan, meringkik, ter-
lompat, lalu menendang marah.
Satu jam berikutnya, kuda itu sudah berubah bentuk. Selapis
kulit tebal laksana karpet terhampar di tanah dengan banyak
irisan daging merah, dikerubuti lelaki Kirgiz gendut. Mereka

188
membelah daging dengan kapak. Empat potong kaki tegak sem-
purna, tanpa perut dan badan, berdiri menyangga angin. Kepala,
dengan mulut menyeringai dan gigi yang terkatup rapat, terong-
gok di pinggiran. Mata hitam besar terbelalak, meneriakkan ke-
sakitan tak terperi.
Sejumlah ibu mencacah daging dengan pisau kecil. Yang lain
mengiris tomat dan bawang. Balita beredar riang di sekitar
bapaknya yang masih sibuk dengan kapak dan darah.
Kuda garang itu akan menjadi santapan kami semua, ma-
nusia yang berpesta pora di atas luberan darahnya. Bangsa peng-
gembala sangat tergantung pada kuda. Di padang rumput luas,
om
kuda adalah alat transportasi utama. Kuda menggiring ternak
t.c
menyeberangi sungai, melintasi lembah, mendaki gunung, men-
po

capai padang. Setelah tua dan lemah, kuda masih mengorbankan


gs
lo

nyawanya untuk mengisi perut lapar manusia.


.b
do

Bangsa Kirgiz dan Kazakh adalah pemakan kuda. Daging he-


in
a-

wan ini sangat berharga, biasanya hanya terhidang dalam acara


ak

istimewa. Makanan nasional kebanggaan Kirgiz, beshbarmak,


st
pu

sejatinya menggunakan bahan utama daging kuda. Seekor kuda


cukup untuk menjamu lebih dari lima puluh tamu di acara per-
nikahan.
Tetapi bagi mereka yang sudah bersusah payah ”menghabisi”
hewan gagah itu, malam ini ada hadiah hidangan istimewa.
Beshbarmak, artinya lima jari, berwujud seperti bakmi yang di-
makan dengan bumbu bercampur irisan daging kuda. Makanan
ini adalah perkawinan antara kuliner Cina dengan bangsa
nomad di padang rumput. Bakminya hanya sejumput, tetapi
daging kudanya sebesar buah melon. Seharusnya disantap de-
ngan lima jari, tetapi baru bisa masuk ke mulut saya dengan

189
bantuan sepuluh jari. Orang Kirgiz, tentunya jauh lebih ber-
pengalaman, selalu sedia pisau di tangan. Mereka makan, sambil
mengirisi bongkahan daging kuda yang besar-besar. Minyak
menetes deras di ujung bibir.
Daging kuda sangat liat. Malamnya perut saya melilit. Kuda
yang tadi pagi masih menendang marah itu, kini menendang
ganas di dalam perut saya. Mungkin karma dari tatap mata
membelalak dan gigi mengatup rapat yang meneriakkan ke-
sakitan dari kepala terpenggal. Ah.... Saya kapok makan daging
kuda.

om
t.c
po

Mobil pengantin dihias balon warna-warni, yang meriahnya


gs
lo

seperti pesta anak-anak. Timur berdasi rapi dan berjas hitam.


.b
do

Zarina, selepas didandani perias dari salon, kini menjelma men-


in
a-

jadi permaisuri anggun dengan rok putih mengembang. Kedua


ak

mempelai mengenakan baju pengantin gaya Eropa, laksana


st
pu

Cinderella dan pangeran. Lupakan imajinasi tentang romansa


penggembala dan gadis padang. Para tamu lelaki pun semua
mengenakan jas dan dasi. Beberapa di antara mereka mengena-
kan topi putih ak kalpak, mengingatkan bahwa kita masih di
Kirgizstan. Beberapa ibu memakai kerpus platok warna-warni.
Cuma saya yang tak tahu malu, hanya mengenakan baju dan
jaket kumal, sepatu bot yang hampir jebol, dan malas mandi
karena takut air di musim salju begini.
Gedung pernikahan di dekat kota. Puluhan meja tertata,
dengan dibanjiri ratusan piring, buah-buahan, dan salad dingin
ala Rusia. Sebagian besar makanan disediakan oleh keluarga

190
pengantin. Sepanjang hari kemarin, para ibu selain memasak
daging kuda juga sibuk membuat cemilan, yaitu gorengan
tepung kecil-kecil yang disebut borsok—tanpa isi, hanya tepung,
minyak, dan susu saja.
Kedua mempelai memasuki ruangan, diiringi lagu mars pe-
ngantin yang sudah tidak asing lagi di seluruh dunia. Tengteng-
tengteng... teng teng teng teng.... Semua tamu berdiri. Kedua mem-
pelai menenggak anggur sambil bersilang tangan. Di bawah
arahan Moken dan Ergetse sebagai MC, para tamu juga me-
nenggak alkohol di gelas masing-masing.
Mereka memang Muslim, tetapi vodka dan anggur adalah
om
minuman wajib, apalagi di acara sepenting ini. Susunan balon
t.c
warna-warni yang menghiasi singgasana Timur dan Zarina sudah
po

lima kali roboh ke hadapan mempelai. Pasangan pengantin itu


gs
lo

menjadi sibuk mengurusi balon. Satu per satu sanak keluarga


.b
do

diundang berpidato, menyampaikan doa dan ucapan selamat


in
a-

kepada kedua mempelai. Timur dan Zarina harus berdiri tegak


ak

menerima ucapan itu. Setiap kali ucapan selamat berakhir,


st
pu

musik berdentum keras, seperti orkes desa. Paman dan bibi ke-
mudian ikut menari mengiringi musik. Para tamu yang lain pun
turun menari bersama-sama. Tua, muda, kakek, nenek, anak-
anak, semua begitu gembira. Balairung ini berubah menjadi
lantai dansa.
Betapa enaknya menyanyi di acara perkawinan Kirgiz. Para
tamu berbondong-bondong, sambil menari, menyematkan lem-
baran uang ratusan Som ke tubuh penyanyi. Di lekukan telinga,
lipatan baju, sela-sela jari, saku, rambut, bagian dalam kaus....
Penyanyi kawinan jadi terlihat seperti ondel-ondel berhiaskan
duit.

191
Moken berhasil mendatangkan Aziza, biduanita terkenal di
negara ini, tingkat kepopulerannya mungkin bisa disejajarkan
dengan Siti Nurhaliza. Saya semakin yakin bahwa Moken bukan
orang biasa. Suara Aziza mantap, mengalun merdu, langsung
menembus ke sanubari, menghipnotis oma dan opa Kirgiz yang
menari disko seperti kesetanan. Jangan heran kalau sekujur
tubuhnya kehujanan uang kertas.
Zarina, si mempelai, juga ikut berdansa, mengiringi lagu
disko Rusia yang menggebrak. Bukannya berduaan dengan sang
suami, Zarina malah asyik berdansa dengan pemuda-pemuda
lainnya. Mungkin ini kesempatan terakhirnya sebelum menjadi
istri orang. om
t.c
Semakin malam, acara semakin meriah. Tetapi tamu juga
po

semakin lapar setelah bersimbah peluh berjoget ria. Hidangan


gs
lo

penutup adalah beshbarmak daging kuda. Setiap tamu kebagian


.b
do

segumpal besar daging kuda plus tas plastik untuk membungkus


in
a-

makanan yang dibawa pulang. Sungguh mereka punya kesadaran


ak

mahatinggi untuk tidak memboroskan makanan.


st
pu

Tengah malam, hanya keluarga besar Moken yang tersisa,


dan Aziza, si artis yang duduk kelelahan. Di luar sana, titik-titik
salju mulai membasahi bumi. Di saat kami bersiap-siap pulang,
di bawah guyuran salju yang dingin, tiba-tiba terdengar teriakan
mengerikan.
Kakek Moken, aksakal yang sudah renta, dipukuli dua pe-
muda di jalan. Sungguh kekurangajaran yang tak termaafkan—
orang Kirgiz mana yang tega mempecundangi aksakal?
Kedua pemuda langsung dihajar oleh para sanak keluarga
Moken yang tak kalah garangnya. Ergetse, istri Moken yang me-
mang aslinya sudah garang, terlihat semakin seram kalau marah.

192
Tangan gemuknya menempeleng wajah kedua pemuda mabuk
itu habis-habisan. Mereka sudah babak belur, tidak berdaya lagi
berkata-kata dan beralasan.
Pukul tiga malam, barulah polisi datang. Saya yang dipenuhi
tanda tanya oleh kejadian ini hanya dipuaskan dengan jawaban
singkat, ”Kakek tadi dipukul orang mabuk di jalan.”

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

193
BERAYUN DI ANTARA
TUMPUKAN IDENTITAS

DI jantung kota Bishkek, di restoran bawah tanah yang di-


selubungi asap tebal, tercium aroma masakan Cina yang kental.
Irisan daging tersebar di atas piring lebar berminyak bersama
om
sayuran dan cabe merah yang mengontraskan warna hidangan.
t.c
Sumpit berjajar. Pengunjung berwajah Mongoloid berbincang
po

nyaris berteriak, ditambah lagi bunyi slurrrrp slurrrrp kuah bakmi


gs
lo

yang disedot keras-keras oleh mulut yang tak berhenti mengu-


.b
do

nyah. Sayup-sayup terdengar suara koki meneriakkan kata-kata


in
a-

yang dilantunkan seperti bernyanyi. Untuk sesaat saya serasa


ak

diterbangkan ke negeri Cina.


st
pu

Anda mungkin menyangka ini adalah restoran Cina, yang


belakangan memang marak di Kirgizstan seiring dengan pening-
katan interaksi bisnis dengan negara tetangga itu. Tetapi bukan.
Restoran ini dinamai Dungan Kukhniya, alias Depot Dungan
(baca: Dunggan), milik kelompok etnis bernama sama.
Siapa Dungan? Rasa ingin tahu membawa saya ke Tokmok,
sebuah kota kecil tak jauh dari Bishkek, di tepi Sungai Chuy
yang menjadi perbatasan dengan Kazakhstan. Kota ini memang
kecil, namun adalah sebuah melting pot—tempat berkumpulnya
berbagai bangsa. Di sini tinggal komunitas Dungan terbesar di
Kirgizstan, walaupun sebenarnya mereka di sini tetap merupakan

194
minoritas, nyaris tenggelam oleh bangsa-bangsa lain, mulai dari
Kirgiz, Kazakh, Uzbek, Uyghur, hingga Rusia.
Tanpa mengetahui ke mana harus berjalan untuk menemukan
komunitas Dungan yang misterius itu, saya berkeliling tanpa
arah. Seorang kakek tua dengan sejumput jenggot putih dan
bertopi bulu hitam membumbung mengajak saya ke masjid.
Atap masjid ini berwarna perak, bersudut-sudut bentuknya,
mengingatkan pada arsitektur gedung durian Esplanade Theater
di Singapura.
”Tidak. Kamu tidak akan menemukan orang Dungan di
sini, karena ini masjid orang Kirgiz. Kalau mau ketemu Dungan,
om
kamu harus ke arah pasar, di sana ada masjid Dungan. Pasti
t.c
banyak orang Dungan di sana,” katanya. Wah, bahkan masjid
po

pun dibeda-bedakan berdasar ras. Dungan di sini. Kirgiz di


gs
lo

sana. Uzbek di sini, Tajik di sana. Warisan pengotak-ngotakan


.b
do

manusia berdasar suku bangsa ini masih hidup hingga sekarang,


in
a-

terprogram dalam otak yang sudah diformat oleh penguasa, di-


ak

kukuhkan oleh bangsa-bangsa ”merdeka” sebagai bagian dari


st
pu

kebanggaan mereka.
Apakah perbedaan itu? Pengotak-ngotakkan itu? Garis batas
kasatmata itu? Di mata saya yang hanya musafir ini, orang-orang
di sini tak banyak berbeda. Mereka kerumunan manusia yang
berjubel di pasar, menjalani kehidupan yang begitu biasa. Tetapi
dalam alam pikir mereka tertera beda itu: siapa Kirgiz, siapa
Dungan.
Orang Dungan dan Kirgiz sama-sama Mongoloid. Mata me-
reka sipit, hidung mereka pun tidak mancung. Lalu bagaimana
menemukan orang Dungan? Saya ingat, mereka bercakap de-
ngan bahasa yang nadanya naik-turun berirama. Hanya dengan

195
mengucap beberapa kalimat Mandarin, dan mendapat respons,
maka saya pun akan berhadapan dengan manusia Dungan.
Kemal namanya, pengangguran yang menghabiskan sebagian
besar waktu di bengkel sepatu kawannya. Wajahnya mirip sekali
dengan orang dari Tiongkok sana. Bahasa Cina-nya terbata-
bata, campur aduk dengan bahasa Kirgiz dan Rusia. Ia berbaik
hati mengajak saya berkeliling melihat komunitas Dungan di
Tokmok.
”Orang Dungan sangat berbeda dengan Kirgiz,” kata Kemal,
”nenek moyang kami berasal dari Tiongkok, bukan Kirgizstan.
Kami di sini hanyalah pendatang.”
om
Identitas sebagai minoritas dari negara asing itulah yang
t.c
membuat mereka berbeda dari bangsa-bangsa lain di sini, lalu
po

menjadi sumber segala keluh kesah. ”Di sini tidak ada keadilan,”
gs
lo

lanjut Kemal, ”Saya tidak punya paspor dan kartu identitas.


.b
do

Dulu pemerintah Kirgiz mudah memberi paspor, sekarang tidak


in
a-

lagi. Saya hanya punya kartu Tokmok yang hanya mengizinkan


ak

saya bepergian dalam radius 60 kilometer dari Tokmok. Ke


st
pu

timur sampai ke danau Issyk Kul, ke barat hanya sampai Bishkek.


Sekarang, sebatas itulah dunia saya.”
Kembali saya berhadapan dengan garis batas. Seorang warga
minoritas terkurung dalam dunia sempit berbataskan sebuah
buku. Ya, batas itu berupa buku kecil berjudul paspor. Semua
orang di negara ini punya paspor, tetapi paspor yang sama me-
nentukan nasib berbeda. Mereka yang paspornya internasional,
boleh melintas ke luar negeri, menjelajah hingga ke Moskow
dan seluruh dunia. Yang berpaspor nasional, bebas menjelajah
seluruh negeri, dari gunung, danau, padang, hingga ke desa dan
kota. Kemal memegang paspor lokal, terkurung dalam lingkup

196
sekitar kampung tinggalnya, bahkan harus minta ”visa” hanya
untuk pergi ke kota tetangga.

Kisah Dungan, pendatang Cina di Kirgizstan, mengingatkan


saya dengan minoritas serupa di Indonesia. Onghokham21 me-
nulis, pemerintah kolonial adalah pemerintah berdasar kasta.
Yang berada di kasta tertinggi tentunya bangsa penjajah itu,
kaum kulit putih yang menentukan nasib orang-orang dengan
kulit berwarna di seluruh kepulauan Nusantara. Para kawula,
om
bangsa terjajah, dibeda-bedakan berdasar suku, ras, dan warna
t.c
kulit. Penduduk Hindia kala itu dibedakan antara warga ”asli”
po

dan Timur Asing. Para pendatang Tionghoa masih dibedakan


gs
lo

lagi dalam kelompok: orang totok, peranakan, dan yang sudah


.b
do

terasimilasi. Yang totok pun masih membeda-bedakan diri: pen-


in
a-

datang dari Hokian, Canton, atau Khek, pengikut Buddha,


ak

Konghucu, atau Tao. Pemerintah Belanda mencegah berbaurnya


st
pu

para pendatang dengan penduduk pribumi, lalu menciptakan


sistem yang menghinakan kemanusiaan manusia. Wijkenstelsel,
penerapan sistem perkampungan berdasar kelompok etnis.
Orang Tionghoa tidak boleh tinggal bercampur dengan pen-
duduk ”asli”. Passenstelsel, sistem pas jalan, orang Tionghoa ti-
dak boleh bebas berkeliaran keluar dari kampung mereka.
Eksklusif. Garis-garis batas diciptakan, tembok dibangun,
bangsa-bangsa terkurung dalam zona masing-masing. Nasib
bangsa-bangsa terjajah ditentukan oleh orang asing. Tempat

21
Onghokham, ”Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa” (Komunitas Bambu, 2009).

197
tinggal, mata pencaharian, pendidikan, hukum, semua ada yang
mengatur, berbeda-beda berdasar warna kulit, agama, bahasa.
Kotak-kotak itu terus membekas, bahkan ketika negeri terjajah
itu mengusung kemerdekaan dan kebebasan.
”Hidup kami ya seperti ini,” kata Kerim, tukang sepatu ka-
wan Kemal yang lumayan fasih berbahasa Cina, sambil mengasah
batangan logam di atas gerinda yang terus menyemburkan
pijaran api, ”di negara ini, kami cuma minoritas. Cari kerja
susah. Ekonomi berantakan sejak Soviet runtuh. Korupsi di
mana-mana. Mungkin memang ini takdir minoritas, kami selalu
jadi incaran empuk pejabat-pejabat rakus.”
om
Susah payah berbekal penghasilan yang tidak seberapa,
t.c
Kerim berhasil membesarkan anak-anaknya hingga ke sekolah
po

menengah. Tetapi anak-anak Kerim sudah tidak ada yang bisa


gs
lo

bahasa Dungan, malah lebih fasih berbahasa Rusia dan Kirgiz.


.b
do

Bahasa Dungan sebenarnya adalah bahasa Cina, mirip sekali


in
a-

dengan bahasa Mandarin dengan dialek Gansu, provinsi di


ak

barat laut Republik Rakyat Cina yang juga dihuni oleh jutaan
st
pu

penduduk Muslim. Tetapi, bahasa itu tidak lagi ditulis dalam


karakter Cina yang rumit, melainkan dengan huruf Sirilik
Rusia. Huruf-huruf Cina yang seperti lukisan dan kaya akan
filosofi itu kini tereduksi menjadi deretan alfabet biasa, ter-
selaraskan dengan yang berlaku di Moskow sana.
Entah berapa lama bahasa ini akan bertahan, tanyanya re-
torik. ”Generasi orangtua kami semua masih lancar berbahasa
Dungan. Sampai generasi saya, sudah mulai luntur. Apalagi
anak-anak, semua belajar di sekolah Kirgiz atau Rusia. Bahasa
Dungan sebentar lagi juga jadi sejarah.”

198
Asimilasi. Pembauran. Integrasi. Kata-kata itu melekat dalam
sanubari saya. Terlahir sebagai seorang minoritas, saya seperti
bercermin pada refleksi kehidupan Dungan di Kirgizstan.
Leluhur, kalaulah kata itu punya makna penting, memang
berada di Tiongkok sana. Saya pernah bertanya kepada ibu se-
perti apa keluarga leluhur kami. Tidak tahu, demikian jawabnya,
tidak pernah ada catatan tentang silsilah keluarga. Apakah me-
reka petani miskin? Atau saudagar sutra? Atau sarjana sastra?
Entahlah, ibunda menggeleng lagi. Masa lalu itu bagaikan lu-
om
bang hitam yang misterius. Kalaupun dikorek terus, saya hanya
t.c
berhasil menarik ke beberapa generasi saja. Kami adalah generasi
po
gs

yang hilang, tak punya banyak kisah masa lalu yang bisa di-
lo

ceritakan.
.b
do

Ayah dari ibu saya lahir di provinsi Hokkien, Tiongkok,


in
a-

1921. Hal ihwal kedatangannya ke Indonesia adalah perang


ak

Jepang yang berkobar. Ibu saya selalu bangga berkisah tentang


st
pu

kepahlawanan ayahnya yang anti-Jepang, hingga melarikan diri


sampai ke Singapura. Di sana, karena masih dikejar juga oleh
tentara Jepang, akhirnya kakek melarikan diri sampai ke Indone-
sia, dan menikahi perempuan keturunan perantauan Tionghoa.
Dari pihak ayah, kakek saya adalah petani desa yang teramat
miskin di Hokkien. Dia berniat mengubah nasib dengan menye-
berangi lautan. Sejak dari kampungnya, dia sudah dipesankan
untuk mencari seorang saudagar di Indonesia nanti. Saudagar
ini kemudian menikahkan anak perempuannya kepada kakek
saya.
Generasi kakek-nenek itu semuanya adalah orang totok—

199
kaum Tionghoa di Indonesia yang masih baru saja datang dari
negeri Tiongkok, masih kuat memegang tradisi. Mereka ber-
bahasa Tionghoa dan menganut agama leluhur. Ayah dari ne-
nek saya adalah pendiri vihara Buddha pertama di Lumajang,
kampung halaman saya. Ayah dari ibu saya adalah kepala se-
kolah Tionghoa.
Pada tahun 1966, rezim Suharto semakin mengukuhkan dis-
kriminasi kepada kaum Tionghoa yang dituding dekat dengan
komunis. Sekolah ditutup, bahasa dilarang, nama harus diganti,
tradisi dihapuskan, semua agama (termasuk Buddha dan Kong-
hucu) harus punya satu ”Tuhan Yang Maha Esa”, dan seterusnya.
om
Ini kisah klasik, tipikal bagi keturunan Tionghoa totok generasi
t.c
orangtua saya. Ibu saya putus sekolah, tak lulus SD. Kawan-ka-
po

wan sekelasnya kebanyakan sudah tidak bisa lagi berbahasa


gs
lo

Mandarin, tetapi ibu masih rajin belajar sendiri.


.b
do

Hingga sampai ke generasi saya, sudah jarang sekali keturunan


in
a-

Tionghoa yang masih melestarikan bahasa itu, apalagi kalau


ak

urusan baca-tulis. Tradisi pun memudar. Saya tidak mengenal


st
pu

lagi hubungan kekerabatan Tionghoa yang begitu rumit dan


luas. Acara pernikahan pun diselenggarakan ala barat. Tiongkok
adalah seperti kata terlarang. Benang merah dengan tanah lelu-
hur itu nyaris terputus. Generasi tua semakin cemas. Saya ingat
betul bagaimana kakek menempeleng saya yang malas-malasan
untuk les bahasa Mandarin. Di antara kesembilan cucunya,
katanya hanya saya yang berbakat mempelajari bahasa ini.
Tapi buat saya, menjadi Cina adalah sebuah label, panggilan
Sinyo dan Engkoh yang semata-mata didasarkan perbedaan
warna kulit dan bentuk wajah. Saya tahu ada benang merah
yang mengikatkan saya ke negeri itu, ke tradisi dan masa lalu

200
para leluhur itu, tetapi begitu sukar dipahami otak saya yang
masih kanak-kanak kala itu.

Lao Han adalah kakek tua penjaga masjid Dungan. Jenggot


putihnya panjang, memutih. Ia tak banyak bicara, semakin
mengingatkan saya pada figur biksu tua—ketaatannya, gerak-
geriknya, misteri dalam kesunyiannya. Tetapi di sini latar bela-
kang harus ditransfer dari kuil Shaolin di tanah Tiongkok ke
masjid kecil di pedalaman Kirgizstan, lantunan sutra kuno ber-
ganti bacaan ayat suci berbahasa Arab. om
t.c
Masjid ini sunyi. Waktu salat isya, hanya ada delapan jamaah
po

yang bersembahyang, semuanya laki-laki, dan kebanyakan sudah


gs
lo

tua. Di antara umat itu, hanya dua yang masih remaja. Ini tentu
.b
do

sangat janggal di tengah komunitas yang mayoritas mengaku


in
a-

sebagai Muslim. Kekhawatiran tampak jelas tergambar di wajah


ak

seorang umat. ”Anak muda sekarang sudah tidak bisa bahasa


st
pu

leluhur lagi. Sembahyang pun mereka jarang. Gaya hidup seka-


rang memang sudah tidak seperti dulu.”
Azan melantun lembut dan merdu, disuarakan dari teng-
gorokan kakek Lao Han. Tak ada pengeras suara, lantunan ini
terdengar begitu murni, mengalir sampai ke relung hati. Sang
imam, atau di sini disebut ahong, masih berumur 30 tahunan.
Waktu salat ia mengenakan serban besar, seperti yang dipakai
oleh imam Kirgiz. Selepas sembahyang, ia kembali memakai
topi bulu hitam yang membumbung tinggi, persis seperti orang
Rusia.
Malam ini, saya menginap di masjid, di kamar sempit milik

201
Lao Han yang menjadi ajang interaksi para umat. Mereka ber-
kisah tentang pengalaman sepanjang hari, mulai dari kegiatan
di pasar, gosip tetangga, sampai urusan politik. Terdengar ke-
kaguman mereka terhadap Cina, negeri leluhur itu. Masih ada
perasaan mereka terhadap masa lalu di seberang garis batas
sana. Tiongkok, negeri itu begitu dekat, namun kini hanya ter-
tambat di angan. Itulah fantasi mereka, tentang masa lalu dan
masa depan.
”Kamu lama tinggal di Cina, kamu pernah ke Urumqi?” ta-
nya seorang pria tua berjenggot putih dalam bahasa Mandarin
yang fasih. Matanya menatap saya lekat-lekat, menantikan ja-
waban. Saya mengangguk, dua detik kemudian. Saya tahu, ini
om
bakal menjadi diskusi panas. Ia melanjutkan dengan pertanyaan
t.c
po

yang bisa saya tebak arahnya. ”Bagaimana kehidupan kaum


gs

Muslim di sana?”
lo
.b

Urumqi adalah ibu kota daerah otonom Xinjiang Uyghur di


do
in

bagian barat Cina, sejatinya dihuni oleh mayoritas etnis Muslim


a-

Turki Uyghur, bangsa Asia Tengah yang berbahasa mirip dengan


ak
st

Uzbek. Orang Uyghur terkenal akan kemolekan dan kerupa-


pu

wanan wajah mereka: bermata besar, berhidung mancung, ber-


kulit putih, begitu kontras dengan wajah orang Han yang cen-
derung datar. Makanan mereka lezat, percampuran antara
kuliner Muslim dan Cina. Tetapi, gambaran manis Uyghur ini
seakan terkubur oleh seramnya sifat mereka yang keras. Mereka
dipandang sebagai kaum separatis, teroris, beberapa kali menim-
bulkan kerusuhan dan ledakan bom. Apalagi dulu mereka sem-
pat memproklamasikan berdirinya negara Uyghuristan alias
Turkistan Timur, momok yang sangat tabu disebutkan di negeri
Cina. Kini daerah itu dikenal dengan nama berbahasa Cina—
Xinjiang—yang artinya Tanah Perbatasan Baru, nama warisan za-

202
man dinasti Qing yang menguasai daerah-daerah di barat untuk
memperluas batas-batas negeri mereka.
Sungguh ini adalah pertanyaan politis yang dilematis. Di-
besarkan sebagai warga minoritas dan sedang berhadapan
dengan kaum minoritas, saya mencoba menjawab juga dari
sudut pandang minoritas. Saya mulai dengan kemajuan
perekonomian Cina yang begitu pesat, juga arus migrasi besar-
besaran dari pedalaman Cina yang banyak mengubah wajah
Urumqi dan Xinjiang. Tanah perbatasan itu sekarang memang
modern, tetapi bangsa Uyghur sudah bukan lagi mayoritas di
tanah mereka sendiri, tenggelam oleh gelombang pendatang
om
Han yang mendominasi. Tulisan huruf Arab bahasa Uyghur ha-
t.c
nya seperti apendiks dari karakter Cina yang ada di mana-mana.
po

Walaupun berjarak ribuan kilometer jauhnya dari Beijing,


gs
lo

Xinjiang pun ikut menghitung hari dengan standar zona waktu


.b
do

Beijing—matahari terbit pukul delapan dan terbenam pukul se-


in
a-

puluh malam. ”Tanah Perbatasan Baru” adalah konsep dari su-


ak

dut pandang pemerintah pusat di Beijing, sementara Uyghur


st
pu

sudah bukan lagi titik sentral dari konsep ini. Tanah ini bukan
lagi ”tanah bangsa Turki”, atau ”tanah bangsa Uyghur”, hanya
”perbatasan baru”. Ya, hanya garis batas.
Saya bercerita tentang teman Uyghur yang susah mendapat
paspor ke luar negeri, apalagi kalau untuk naik haji. Hampir
mustahil bagi mereka untuk keluar dari garis batas. Anak-anak
Muslim di sana juga tidak lagi mendirikan salat. Tradisi Islam
memudar. Perkampungan kuno Uyghur tergusur oleh gedung-
gedung pertokoan modern yang mencakar langit. Kota-kota
Xinjiang pun semakin mirip dengan kota-kota Cina lainnya, se-
perti halnya Bishkek dan Dushanbe yang bernyawakan Rusia.

203
Di luar dugaan, walaupun sama-sama minoritas, orang-orang
Dungan ini bukannya bersimpati, malah mencibir terhadap
nasib Uyghur. ”Pantas mereka dibegitukan, mereka bukan
orang baik-baik. Mereka itu terbelakang dan bermental maling,”
kata yang satu. ”Pemerintah Cina memang harus begitu kalau
ingin negaranya maju,” kata yang lain. Mereka tak henti memuji
keberhasilan Beijing yang akan menggelar Olimpiade. Jauh di
desa Kirgizstan ini, hati mereka sebenarnya ada di Beijing sana.
Tak ada empati, tak ada simpati. Baru saya tahu, walaupun
sama-sama minoritas Muslim di Cina, ternyata hubungan antara
Dungan dan Uyghur memang tidak harmonis. Tetap ada garis
om
batas yang memisahkan kedua umat ini dalam curiga, bahkan
t.c
sejak zaman ratusan tahun lalu ketika Dungan dan Uyghur
po

sering terlibat pertempuran demi kekuasaan, saling membantai


gs
lo

dan menindas. Dungan dipandang Uyghur terlalu dekat dan


.b
do

berasimilasi dengan orang Cina. Orang-orang Dungan di sini


in
a-

menyebut Uyghur sebagai pengacau dan pemberontak. Ah, ter-


ak

nyata hubungan suku-suku itu begitu rumit, masing-masing pu-


st
pu

nya tujuan dan stereotipe. Manusia selalu punya alasan-alasan


berbeda untuk menentukan siapa ”kita”, siapa ”mereka”. Bagi
sekelompok orang, agama adalah pemersatu, sementara bagi
yang lain, kesamaan iman tak banyak berarti.
Superioritas orang Dungan tidak berhenti pada bangsa
Uyghur saja. Para lelaki ini semakin antusias berbicara tentang
pandangan mereka terhadap mayoritas Kirgiz. ”Ah, orang-orang
Kirgiz itu memang tidak taat,” kata Kerim, ”mereka bukan saja
minum alkohol, tetapi juga makan babi.” Kakek Lao Han meng-
angguk-angguk. Dari bibirnya yang lebih banyak terkatup ter-
dengar desahan, ”Mereka cuma heiwazi.”

204
Heiwazi adalah sebutan orang Dungan terhadap bangsa
Kirgiz dan Kazakh yang arti harfiahnya ”si bocah hitam”. Pada-
hal kalau dilihat dari warna kulit, sebenarnya kulit orang
Dungan juga tidak lebih putih dibandingkan orang Kirgiz.
”Ini adalah zeigue, negara maling,” kakek Lao Han menyam-
bung, ”negara bocah hitam ini penuh dengan pejabat jahat.”
Korupsi menjadi, ketidakadilan mendera. Pernah pula terjadi
kerusuhan antara minoritas Dungan ini dengan orang Kirgiz,
walaupun tidak parah seperti konflik antara orang Kirgiz dan
Uzbek di Osh sana. Tetapi tetap saja, ada benci dan curiga yang
terpendam, laksana bom waktu yang setiap saat siap meledak.
om
t.c
po
gs
lo

Pertanyaan dalam hidup yang tampak paling mudah, sekaligus


.b
do

yang paling susah dijawab, adalah, ”Siapa saya?” Betapa banyak


in
a-

orang menghabiskan seumur hidup untuk mencari jati dirinya


ak

sebenarnya.
st
pu

”Mana identitasmu?” dan serta-merta kita mengeluarkan


paspor atau KTP. Negara kita masih meributkan standar iden-
titas tunggal, sehingga setiap penduduk punya nomor identitas
yang unik. Teknologi modern membuat chips yang berisi kom-
binasi foto diri, sidik jari, dan pindaian kornea mata untuk di-
masukkan ke dalam kartu identitas. Tengoklah ke balik dompet
Anda, ada berapa ”identitas” Anda yang terselip? Kartu debit,
kartu kredit, kartu gym, kartu perpustakaan, KTP, tanda penge-
nal perusahaan. Identitas kita sekarang adalah sederet nomor
dan kode. Itu adalah label dan stempel kita sekarang. Kita su-
dah tidak bisa lagi menjawab perintah ”Tunjukkan identitasmu!”

205
dengan menunjuk diri kita sendiri seraya berkata, ”Inilah aku!
Akulah identitasku!” Tidak. Zaman sekarang, ”aku” telah men-
jelma menjadi kartu-kartu, buku paspor dan stiker visa, kode-
kode dan sandi-sandi itu.
Dalam diri kita, sudah sedemikian banyak identitas yang me-
lekat. Nama, jenis kelamin, kewarganegaraan, suku bangsa, war-
na kulit, bentuk wajah, tanggal lahir, tempat tinggal, pandangan
politik, pangkat, profesi, hobi, makanan kegemaran, DNA....
Orang bilang hidup adalah pencarian jati diri, tetapi bukankah
dalam tubuh kita sudah melekat begitu banyak jati diri? Bagi
saya, hidup sebenarnya tak lebih dari pengukuhan identitas.
om
Mana yang lebih penting, misalnya, sebagai warga negara Indo-
t.c
nesia, sebagai suku A, sebagai warga kota B, sebagai umat Tu-
po

han, sebagai perempuan, sebagai nasabah bank, sebagai koman-


gs
lo

dan, atau sebagai penggemar bakso?


.b
do

Jati diri begitu penting. Orang rela melakukan perjalanan


in
a-

panjang selama hayat dikandung badan untuk mencari ”akar”-


ak

nya. Ia akan merunut leluhurnya, mencari lokasi nenek moyang-


st
pu

nya terlahir, mempertanyakan sejarahnya, lalu menemukan


”akar” tempatnya melekatkan diri. Ada pula yang melakukan
ziarah ke tempat-tempat suci, hingga menemukan keteduhan
hati bersama saudara-saudari seiman, yang semua punya per-
samaan fundamental untuk saling mengidentifikasikan diri.
Perjalanan pencarian jati diri ini memang tidak selalu ber-
pindah secara fisik. Pertanyaan tentang jati diri ini membuat
saya terus mencari jawabannya. Saya dibesarkan dalam minoritas
Tionghoa pada zaman Suharto berkuasa, merasakan sendiri
bagaimana pertentangan identitas itu berkecamuk. Bentuk
mata, warna kulit, sering menjadi bahan olok-olok anak-anak di

206
gang. ”Ma, aku dipanggil Singkek. Mereka bilang cingcoa, cingcoa,
singkek-singkek siang-siang maling seng.” Saya yang saat itu ber-
usia enam tahun menangis tersedu-sedu di pelukan ibunda,
”Mengapa ya mereka begitu jahat? Apa salahku?” Ibunda hanya
memeluk. Singkek adalah bahasa Hokkien, berarti ”tamu baru”,
sebutan bagi orang totok yang baru datang dari Tiongkok.
”Kamu memang Singkek, mengapa harus marah?” jawabnya
lembut.
Masa kanak-kanak saya lewati tanpa percaya diri. Berjalan di
gang yang penuh dengan bocah bermain dan tertawa riang, saya
hanya bisa menundukkan kepala supaya wajah tak terlihat.
om
Tetapi mata sipit ini begitu kentara, seketika terdengar ledakan
t.c
tawa keras dan ejekan rasis. Bibir-bibir itu. Ledakan tawa itu.
po

Ejekan itu. Semua menghantui pikiran saya selama bertahun-


gs
lo

tahun, membuat saya semakin sadar, saya berbeda dari mereka.


.b
do

Orang Tionghoa di Indonesia adalah orang asing yang tidak


in
a-

asing22, kata Pramoedya Ananta Toer. Tak peduli bagaimana ras


ak

ini sudah tinggal di Indonesia turun-temurun, sudah bernapas


st
pu

bersama negeri ini, sudah melebur dan melupakan banyak jati


dirinya, orang Tionghoa tetaplah ”orang asing”. Penolakan, pe-
nyangkalan, diskriminasi, adalah makanan sehari-hari.
”Kamu lebih cinta mana? Indonesia atau Cina?” guru pen-
didikan moral sekolah menengah bertanya dengan nada keras,
tertuju hanya kepada saya. Ia sedang mengajar pengamalan
butir-butir Pancasila, kami sampai pada sila ketiga. Seisi kelas
tertawa terbahak-bahak. Guru itu malah melabeli saya sebagai
”orang asing”. Sekali lagi, seisi kelas tergelak. Mengapa harus

22
Pramoedya Ananta Toer, ”Hoakiau di Indonesia” (Garba Budaya, 1998)

207
ada pertanyaan seperti ini? Mengapa harus jadi bahan tertawaan?
Bukankah nasionalisme, cinta negeri, adalah hal sakral dan ter-
hormat?
Nasionalisme, kata itu menjadi kata angker. Bagi saya kala
itu, dicap ”tidak nasionalis” sama seramnya seperti dilabeli se-
bagai komunis—merek lain yang sangat akrab dengan Tiongkok
dan Tionghoa. Yang selalu didengungkan adalah asimilasi, asi-
milasi, asimilasi. Kata yang terdengar indah dan dijadikan solusi
bagi bangsa multietnis, tetapi mengandung pengertian pemak-
saan penyangkalan terhadap diri sendiri. Lupakan leluhurmu,
lupakan kulturmu, lupakan budayamu, lupakan namamu, lupa-
kan sejarahmu, lupakan agamamu, lupakan kemeriahanmu, om
t.c
lupakan masa lalumu. Jadilah manusia baru. Jadilah Homo indo-
po

nesianicus!
gs
lo

Asimilasi bagaikan solusi universal, dipakai oleh beragam


.b
do

negeri di dunia. Bapak Pendiri China Modern, Dr. Sun Yat-sen


in
a-

pernah mengatakan, China akan terdiri atas hanya etnis Han


ak

yang murni saja. Sempurna, negara hanya terdiri atas satu bang-
st
pu

sa homogen. Bangsa-bangsa minoritas—Tibet, Mongol, Hui


(Muslim), dan Manchu—akan meluruh, melebur sepenuhnya
dengan bangsa Han yang lebih tangguh dan superior sebagai
pusatnya23.
Bagi saya, asimilasi itu begitu menyeramkan. Bangsa yang
hilang bahasanya, tanggal kebudayaannya, tipis jati dirinya, ke-
mudian melebur dengan bangsa mayoritas—lenyaplah sudah ke-
beradaan dan keberagamannya, tinggal nama dan romantikanya
saja. Negara-negara menetapkan bangsa, lalu mendefinisikan

23
Pidato Sun Yat-sen soal nasionalisme, 6 Maret 1921

208
ciri-ciri wajib dan serangkaian nilai yang dikenal sebagai ”ke-
pribadian bangsa”, ”jati diri bangsa”, ”identitas nasional”, dan
menjadi pedoman penuntun hidup semua orang yang hidup di
dalamnya.
Tapi ada hal-hal yang tidak bisa diubah, dan ditakdirkan un-
tuk senantiasa melekat. Misalnya, warna kulit dan bentuk rupa
yang menjadi garis batas abadi. Bagi saya, garis batas ini mening-
galkan kenangan yang menyakitkan. Waktu perploncoan SMA,
seorang senior memanggil saya, ”Babi”. Saya tak berani berontak.
Enam belas tahun hidup seperti ini sudah membuat saya ter-
serang sindrom inferioritas. Empat huruf: C-I-N-A, cukup untuk
om
membuat saya terdiam, seolah terserang tempelengan bertubi-
t.c
tubi. Empat huruf itu, tanpa pernah saya meminta, seolah ter-
po

tera di dahi saya. Inilah label yang akan saya bawa selamanya.
gs
lo

Para orangtua selalu mengeluhkan betapa Suharto menghina-


.b
do

kan ras mereka, mengganti kata ”Tiongkok” dengan nama


in
a-

”Cina”, yang mengingatkan mereka pada hinaan penjajah Je-


ak

pang pada Perang Dunia II24. Tetapi bagi saya yang terlahir se-
st
pu

24
Kata Cina sangat dekat pengucapannya dengan zhina, nama yang digunakan
Jepang untuk menyebut Tiongkok. Bagi orang Tiongkok, istilah ini bernuansa
rasis dan merendahkan, khususnya setelah meletusnya perang dengan Jepang.
Pada zaman Orde Lama, istilah yang dipakai adalah Tiongkok, namun seketika
diubah menjadi Cina oleh rezim Suharto. Bagi warga keturunan Tionghoa, ini
membangkitkan trauma tentang nuansa hinaan di balik nama itu, ingar-bingar
perpolitikan antikomunis, ditambah lagi serangkaian peraturan dan sentimen
diskriminatif atas mereka. Hingga sekarang, Republik Rakyat Cina selalu me-
mosisikan diri sebagai Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam hubungan resmi
dengan Indonesia. Media di Indonesia punya kebijakan berbeda-beda untuk
kata ini. Ada yang menggunakan Tiongkok, Cina, ataupun China. Demikian
pula untuk pelafalannya, ada yang mengucapkannya sebagai Ci-Na, ada pula
yang Chai-Na, seperti halnya dalam bahasa Inggris.

209
sudah masa itu berlalu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan
empat huruf tabu itu. Tak ada arti istimewa di balik huruf C
yang disambung dengan I, diikuti N, diakhiri dengan A. Namun,
orangtua selalu mengatakan, kata itu buruk, tak boleh diucapkan
apalagi kalau mengganti ”A” dengan huruf ”O” pada logat Jawa
Ngoko. Saya diajar menyebut negeri itu sebagai Zhongguo, yang
dilafalkan sebagai chung-kwok. Seorang anak Tionghoa bisa di-
tempeleng orangtuanya, atau kakek-neneknya, jika nekat meng-
ucapkan kata ”Cina”. Itulah edukasi, anak-anak menyerap me-
mori generasi tua, mempelajari garis-garis batas dan
pengotak-ngotakan, mengetahui limit tabu dan larangan. Otak
om
saya pelan-pelan menyerap konsep, menelannya, dan membukti-
t.c
kannya lewat ejekan dan hinaan yang mengalir dari mulut
po

bocah-bocah gang.
gs
lo

Nama, yang seharusnya adalah kebanggaan dan identitas ma-


.b
do

nusia, bagi saya malah jadi hal yang memalukan. Nama Cina
in
a-

saya kubur dalam-dalam. Jika ada teman sekolah yang berani


ak

memanggil nama itu, saya langsung memusuhinya bertahun-


st
pu

tahun. Padahal, orangtua memilihkan nama yang begitu indah,


artinya ”Suara Pagi yang Agung”. Tetapi keagungan itu hanya
disimpan di rumah saja. Bahasa leluhur yang bersengau-sengau
itu menjadi bahasa terlarang. Mempelajarinya adalah tindakan
ilegal. Guru les di kampung menutup rapat-rapat pintu dan jen-
dela ketika bocah-bocah seumuran saya mulai menghafal tulisan
rumit dari buku pelajaran tahun 1960-an. Kami menulis, mem-
baca, menghafal, menghafal, menghafal.... Bagaimana mungkin
belajar bahasa tanpa bercakap, karena mengucapkannya pun
sudah terbayang ketakutan dan dosa? Suku-suku dan bangsa-
bangsa lain boleh berbangga dengan bahasa mereka masing-

210
masing, tetapi ternyata ada pula sekelompok orang yang di-
ajarkan dan dipaksa untuk takut dan risih pada bahasa dan
budaya mereka sendiri.
Perayaan tahun baru, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah
pesta penuh kegembiraan, bagi kami adalah kesenyapan di
rumah dan di vihara. Vihara kami sempat mendapat peringatan
dari instansi pemerintah, perayaan Imlek tidak boleh menganggu
ketertiban umum. Tak ada lagu, tak ada pesta. Acara tukar kado
yang meriah seperti tahun kemarin pun ditiadakan. Sembahyang.
Sembahyang. Sembahyang. Ibunda terpekur dalam doa sepan-
jang malam di depan altar, sementara saya menguap bosan.
om
Ada kebanggaan yang pudar, semangat yang menipis, seperti
t.c
Amu Darya yang begitu deras dan dahsyat di hulu, lalu melesap
po

dan melebur dalam kegersangan gurun di hilirnya. Orangtua


gs
lo

saya selalu berbangga dengan masa lalu mereka, tanah leluhur


.b
do

mereka, segala perjuangan dan pencapaian, terlepas dari represi


in
a-

dan tekanan. Namun bagi saya, masa lalu dan kebanggaan lelu-
ak

hur itu justru membuat saya bingung, siapakah saya sebenarnya.


st
pu

Orang Indonesia bukan, Cina pun rasanya tak berhak. Ke-


gamangan ini membuat saya malah terpuruk dalam kerendah-
dirian.

Tidak bagi Dungan. Kebanggaan itu masih menggebu-gebu.


Mereka tetap memandang diri mereka lebih tinggi daripada
orang Kirgiz—bocah-bocah hitam itu. Mereka memberi nama
anak-anak mereka dengan nama Islami berbahasa Arab, sudah
tidak memakai nama Tionghoa lagi. Sementara orang Kirgiz

211
masih kebanyakan menggunakan nama tradisional mereka, dari
hikayat dan padang penggembalaan.
”Bapak kami adalah Arab. Ia adalah agama kami, Islam. Ibu
kami adalah Cina. Ia adalah bahasa kami, kebudayaan kami,”
kata Ali, alias Ma Jinsheng, lelaki Dungan yang sudah memutih
rambutnya, seperti jenggot tipisnya yang menghiasi wajah tua-
nya. Ia mengenakan topi bulu besar khas Rusia. Nama marganya,
Ma, berupa karakter yang berarti ”kuda”, sangat lazim di ka-
langan umat Muslim Tiongkok sebagai adaptasi dari nama ”Mu-
hammad”.
Hikayat yang dipercaya orang Dungan, seperti dikisahkan
om
Ali, terjadi sekitar 800 tahun lalu ketika penyerbu Arab masuk
t.c
ke negeri leluhur di tanah Tiongkok, di balik pegunungan
po

Tianshan dan Pamir. Raja penguasa setempat ketakutan, me-


gs
lo

mutuskan untuk menikahkan putrinya dengan orang Arab un-


.b
do

tuk menghindari perang. Keturunan dari pernikahan ini meng-


in
a-

hasilkan bangsa Dungan, orang Cina yang beragama Islam.


ak

Karena itu mereka menganggap Arab sebagai ayah, dan Tiongkok


st
pu

sebagai ibu.
Di Cina, orang Dungan dikenal sebagai etnis Hui, salah satu
dari 56 suku bangsa yang diakui pemerintah. Ciri fisik mereka
terkadang hampir tidak bisa dibedakan dari bangsa mayoritas
Cina Han. Pembeda utama adalah agama. Bangsa Hui adalah
keturunan komunitas Muslim di Cina yang mengukuhkan diri
pada zaman dinasti Tang dan Yuan. Umat Muslim meliputi
kaum pedagang, tentara, ilmuwan, seniman, setelah melewati
serentetan generasi dan pernikahan campuran dengan bangsa
Cina Han, mengadopsi bahasa Cina, berasimilasi dengan kultur
Cina. Tetapi, agama masih menjadi identitas yang mereka per-

212
tahankan. Islam, agama mereka, dikenal di Cina sebagai huijiao,
yang artinya agama suku Hui.
Begitu masuk ke wilayah Uni Soviet, nama Hui tidak lagi
dikenal. ”Hui” menjadi tabu karena kata itu kebetulan sama
dengan umpatan kasar bahasa Rusia. Mereka berganti nama
menjadi Dungan. Asal-usul nama ini pun masih misteri. Ke-
banyakan orang Dungan sendiri pun tidak tahu mengapa me-
reka kini disebut Dungan.
Menurut literatur, nama Dungan berasal dari bahasa Turki
dönen, orang-orang yang berbelok atau berpulang. Dalam bahasa
Mandarin, Hui juga berarti ”pulang”. Agama Hui, Islam, secara
om
harfiah juga bisa berarti ”ajaran untuk berpulang”. Nama
t.c
Dungan mungkin juga berasal dari bahasa Mandarin dong-gan,
po

artinya provinsi Gansu bagian timur, tempat asal nenek moyang


gs
lo

etnis Hui. Kata Ma Jinsheng setengah bercanda, nama Dungan


.b
do

itu berasal dari ejekan, artinya bangsa pelarian yang dikejar-kejar


in
a-

(gan) dari timur (dong) sampai ke barat.


ak

Pelarian. Bangsa ini lekat dengan masa lalunya sebagai bang-


st
pu

sa berpindah. Pemberontakan, perang, penindasan. Berkali-kali


orang Dungan melintas garis batas negeri demi mempertahankan
apa yang mereka yakini. Alkisah, antara 1862 dan 1878, terjadi
pemberontakan umat Muslim Hui di bagian barat Cina, di-
pimpin oleh Yaqub Beg melawan penguasa dinasti Qing. Pem-
berontakan ini berhasil dipadamkan, tetapi umat Muslim Hui
menjadi incaran kaisar. Maka terjadilah gelombang besar-
besaran orang Hui menuju perbatasan Rusia di seberang Sungai
Ili. Perjalanan ini sangat berat, melintas gurun gersang. Lapar
dan dahaga, di bawah terik matahari dan terjangan alam yang
liar, kaum perempuan, orang tua, dan anak-anak banyak yang

213
menjadi korban perjalanan panjang. Kalaupun mereka tak lari,
mereka bakal mati terbantai. Ribuan orang Hui berhasil men-
capai perbatasan. Sejak saat itu, mereka berganti nama, dari
Hui menjadi Dungan.
Rusia sendiri baru saja menaklukkan bangsa Kirgiz dan
Kazakh. Dengan suka hati mereka menerima para pengungsi
Muslim Cina ini dengan maksud menarik simpati kaum Muslim
Turkistan. Selanjutnya, selain pengungsi perang, kaum Muslim
Cina yang lain pun ikut menyeberang perbatasan, mencari
penghidupan yang lebih baik di tanah Rusia. Mereka adalah
kaum pedagang, gembala, petani. Gelombang pengungsi ini
om
muncul setelah Rusia dan Cina meneken perjanjian berisi
t.c
pengakuan Rusia pada kekuasaan Cina atas daerah Xinjiang
po

Uyghur. Ili dikembalikan ke Cina, dan warganya diberi dua


gs
lo

pilihan: hidup di bawah dinasti Qing yang memusuhi Muslim,


.b
do

atau meninggalkan tanah mereka untuk memulai hidup baru di


in
a-

Rusia. Mana yang lebih baik, mati di tanah air atau bertahan
ak

hidup di negeri orang? Jumlah Muslim Cina yang menyeberang


st
pu

hampir mencapai lima ribu.


Yeja Karim adalah tetua Dungan di Tokmok. Umurnya
sudah kepala tujuh. Perasaannya akan Tiongkok bisa dibilang
yang paling kental, apalagi bila dibandingkan dengan generasi
muda Dungan sekarang. Ia juga ikut merasakan bolak-balik me-
lintas perbatasan Rusia dan Cina. Tentunya bukan seperti saya
yang cuma musafir. Melintas garis batas bagi Yeja adalah me-
loncat di antara spektrum kehidupan.
Orangtua Yeja menyeberang ke Rusia dalam gelombang ke-
dua, tahun 1888. Keluarga mereka adalah pendatang sukarela,
bukan karena deraan perang. Mereka yang termasuk golongan

214
ini umumnya lebih kaya dan lebih totok, punya identitas
Tiongkok yang kuat. ”Saya lahir di Uni Soviet. Hidup di tanah
Rusia tidak buruk, sampai tahun 1930-an, Stalin berkuasa. Kau
tahu Stalin, kan? Hidup jadi susah, tidak ada lagi kebebasan.
Karena itu banyak orang Dungan yang memutuskan kembali
menyeberang sungai, kembali ke pangkuan Tiongkok.”
Yeja mengalami perpindahan itu. Orangtuanya membawanya
yang masih balita mengungsi ke negeri Cina. Yeja dibesarkan di
Cina, menerima pendidikan berbahasa Cina, bahkan sampai
menjadi guru di sana.
Tahun 1961, pemerintah Soviet kembali membuka pintu ger-
om
bangnya bagi para mantan warga negara. Yeja ikut bersama
t.c
ribuan orang Dungan, menyeberang ke pangkuan tanah ke-
po

lahiran, melintasi Kazakhstan, lalu menyeberangi Sungai Chui


gs
lo

hingga ke Tokmok, menetap hingga sekarang.


.b
do

Kala itu Cina dilanda kelaparan hebat gara-gara program ko-


in
a-

lektivisasi pemerintah komunis. Cina menuding Soviet melaku-


ak

kan plot sehingga banyak warganya yang meninggalkan negeri.


st
pu

Saksi mata melukiskan, orang-orang yang sangat kelaparan di


Cina diiming-iming kotak makanan oleh para serdadu perba-
tasan Soviet. Seperti ayam yang dikasih jagung, kawanan orang
lapar ini dengan sukarela menyeberang perbatasan dan memulai
hidup baru di negeri orang25.
Lalu, ke manakah loyalitas itu? Apakah orang harus setia
kepada tanah leluhur, ataukah kepada negara yang ditinggali?
Pertanyaan ini sering kali menjadi dilema bagi bangsa-bangsa

25
Christian Tyler, ”Wild West China—The Untold Story of a Frontier Land”.
(John Murray, 2004).

215
pendatang yang hidup di negeri asing sebagai bangsa minoritas.
Banyak di antara orang yang tercabut dari akarnya ini, masih
berilusi tentang sebuah tanah air di negeri seberang, sementara
mereka kini terlahir dan hidup di negeri lain, hanya dapat me-
mandangi tanah air fantasinya dari luar garis batas. Ketika me-
reka merasakan penolakan, rasa rindu dan romantisme akan
fantasi itu semakin menguat. Mereka, menjadi generasi yang
hilang, merindukan ”akar” nun jauh di sana.
”Waktu di Rusia, semua orang menyebut saya sebagai
hoakiau, keturunan Cina,” kata Yeja, ”tetapi waktu kembali ke
Cina, aku tetap bukanlah orang Cina. Semua menyebutku
om
sukiao, keturunan Soviet.” Di Rusia, dia adalah orang Cina. Di
t.c
Cina, dia adalah orang Rusia. Di mana-mana, ia adalah orang
po

”asing”. Ia selalu menjadi pendatang, makhluk minoritas yang


gs
lo

berbeda dari orang kebanyakan.


.b
do

Di kamarnya, rak buku penuh oleh barisan buku dan kamus


in
a-

tebal berbahasa Mandarin. Yeja adalah orang yang bahasa Cina-


ak

nya paling bagus di seluruh Tokmok. Ia adalah tetua, panutan


st
pu

penduduk Dungan akan tradisi dan kultur mereka yang semakin


memudar. Nuansa Tiongkok begitu kental di ruangan ini.
Satelit televisi selalu diarahkannya menghadap negeri Cina.
Televisi pemerintah negeri tirai bambu itu menyampaikan peng-
umuman daftar seratus kader komunis yang diangkat di provinsi
Fujian. Kakek Yeja dengan saksama mendengar nama-nama itu.
Bagi orang Dungan lainnya, ini adalah tontonan tanpa makna.
Jangankan tahu provinsi Fujian, bahasa yang dibacakan pun tak
lagi mereka pahami. Tetapi bagi Yeja, ini adalah sebuah ke-
banggaan, sedikit refleksi dari ”akar” yang menghidupi jiwanya.
”Cinta kebangsaan tidak bisa dibagi-bagi. Mencintai Tiongkok

216
bukan berarti aku tidak boleh mencintai Islam, Kirgizstan, atau
Rusia. Cinta itu bukan memilih, karena semua tempat di dunia
ini sama, seluruh penjuru adalah rumah kita.” Ia menyambung
dengan menyanyikan lagu-lagu mars komunis Tiongkok dengan
penuh semangat. Dia cinta Kirgizstan, karena negeri mungil ini
adalah tanah airnya sekarang. Tetapi kebanggaannya tak terkira
setiap kali berita dari Beijing menunjukkan kemajuan negeri
leluhur itu. ”Tiongkok semakin lama semakin kuat. Kami,
orang Hui dan seluruh keturunan Tionghoa di muka bumi,
juga ikut menjadi kuat dan bangga.”

om
t.c
po

Bangsa Tionghoa terkenal karena diaspora yang mereka yang


gs
lo

luas. Orang bilang, di mana pun ada sinar matahari, di mana


.b
do

pun air mengalir, di sana ada orang Tionghoa. Mereka tidak


in
a-

hanya hidup di negeri Cina, tetapi meluber sampai ke pedalaman


ak

Asia Tenggara, India, Arabia, Eropa, Amerika, hingga ke tengah


st
pu

gurun Afrika dan kepulauan Karibia.


Dulu, mereka adalah bangsa pelarian. Seperti Dungan yang
melarikan diri dari kejaran kaisar, kakek saya yang dikejar-kejar
tentara Jepang, atau seperti kebanyakan orang Tionghoa lain
yang melarikan diri dari kemiskinan di kampung halaman dan
mendamba kehidupan yang lebih makmur di negeri seberang.
Di zaman sekarang, di mana ada kesempatan mencari uang, di
situ pasti ada orang Cina. Di Bishkek, di pegunungan Tajikistan,
bahkan sampai di pedalaman Afghanistan sekalipun.
Perpindahan itu mengubah nasib dan takdir, mengubah jati
diri dan impian. Ada beberapa saudara yang saya kenal, lahir di

217
Indonesia, besar di Indonesia, hidup di Indonesia, belum per-
nah menginjakkan kaki ke negeri Cina, tetapi selalu merindukan
Cina, mendambakan Cina, menganggap diri sebagai orang
Cina. Di kampung saya, ”pulang ke negeri leluhur” atau huiguo
adalah impian banyak orang Tionghoa. Di sini benar-benar di-
gunakan kata hui, ”pulang”, hui yang sama seperti pada nama
Dungan. Pulang, ke rumah yang tidak pernah dikunjungi, tetapi
terasa kerinduannya. Tanah leluhur itu laksana Mekkah. Negeri
itu menjadi sebuah tanah suci, tanah air fantasi, tumpah darah
imajiner, kecintaan yang dipenuhi romansa dan mitos... indah,
begitu indah.
om
Seperti halnya Dungan yang mengalami beberapa kali gelom-
t.c
bang perpindahan, Tionghoa di Indonesia pun mengalaminya.
po

Pada tahun 1959, pemerintah mengeluarkan PP No. 10 yang


gs
lo

melarang ”orang asing” untuk membuka usaha di daerah pe-


.b
do

dalaman yang statusnya lebih rendah dari kabupaten. Kala itu,


in
a-

Indonesia baru saja berdiri, dan orang-orang Tionghoa—ke-


ak

banyakan statusnya warga negara asing—menjalankan peran


st
pu

penting dalam perekonomian di banyak desa dan kota. Dengan


keluarnya peraturan ini, mereka harus menghentikan usaha me-
reka. Hubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok memanas.
Radio Peking mengimbau para keturunan Tionghoa untuk pu-
lang ke pangkuan ibu pertiwi. Ratusan ribu orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia, terpukau oleh aura Mao Zedong, per-
juangan saudara sebangsa, dan bakti kepada tanah air. Cukup
banyak anggota keluarga besar saya yang memilih jalan ini. Se-
mula mereka berencana bersekolah di Tiongkok, tetapi kemu-
dian tak pernah bisa kembali lagi ke Indonesia. Hubungan de-
ngan Cina dibekukan pada masa Suharto.

218
Kami adalah keluarga yang dipisahkan sekat garis batas tak
tertembus, menjalani takdir masing-masing di dua negeri yang
bermusuhan. Bibi saya yang berhasil berlayar hingga negeri
Tiongkok, baru mengetahui kematian ayahnya sebulan sesudah
sang ayah dikubur, lewat kabar yang disebarkan dari mulut ke
mulut. Surat-menyurat diputus, telepon tak tersambung, kembali
ke Indonesia pun sudah tak mungkin lagi. Sebatang kara di te-
ngah derita dan kegalauan dalam kekacauan Revolusi Kebuda-
yaan, si anak hanya bisa menangisi ayahnya dari ribuan kilo-
meter. Meninggalkan negeri berarti meninggalkan semua sanak
saudara, semua memori orang-orang tercinta, kehangatan rumah
om
dan keluarga, untuk selama-lamanya. Ia menyesal, tetapi pintu
t.c
itu telah tertutup. Tertutup rapat....
po

Kaum Tionghoa yang tetap tinggal di Indonesia juga men-


gs
lo

jalani suratan nasib mereka. Orangtua saya sempat masuk pen-


.b
do

jara karena berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah


in
a-

daerah Jawa Timur pada tahun 1966/1967 yang melarang


ak

orang-orang Tionghoa WNA atau yang tidak berkewarganegaraan


st
pu

untuk berdagang di luar Surabaya. Mereka pun dilarang pindah


domisili keluar dari Jawa Timur. Wijkenstelsel dan passenstelsel
kini kembali berlaku, hanya beda pelaku. Itu adalah kenangan
pahit. Kelamnya sel penjara, masa muda yang melayang, peng-
hinaan yang diterima. Orangtua saya hanya membela tokonya,
harta miliknya, hak-haknya sebagai manusia. Namun ada ke-
banggaan tebersit kala ia berkisah. Demonstrasi ini, dengan
ratusan orang Tionghoa yang dijebloskan massal ke penjara, ter-
nyata berhasil menggagalkan rencana pengambilalihan paksa
usaha dagang dari kaum mereka di seluruh provinsi.
Kakek saya butuh waktu dua puluh tahun lebih untuk men-

219
dapatkan kewarganegaraan, gara-gara dia pernah menjadi kepala
sekolah Tionghoa. Saya baru punya Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia (SBKRI) setelah saya mendaftar di univer-
sitas negeri, yang bahkan untuk memasukinya pun ada batas
kuota untuk jumlah mahasiswa dari keturunan ras kami. Ya!
Saya masih perlu selembar surat untuk membuktikan kewarga-
negaraan saya, walaupun saya lahir di sini dari orangtua yang
sudah berwarganegaraan sini, bernapas dan berotak seperti
orang sini, menghirup oksigen dan mengunyah beras dari negeri
ini. Surat itu, selembar saja, adalah penanda resmi perbedaan
saya dengan orang-orang lain di sekeliling.
om
Sementara itu, sedikit bayangan tentang negeri leluhur su-
t.c
dah menimbulkan rasa bangga yang berdesir-desir. Ada per-
po

golakan di dalam hati, konflik antara tanah air real dengan ta-
gs
lo

nah air imajiner, yang sayangnya, keduanya bermusuhan.


.b
do

Loyalitas kemudian menjadi dilematis. Jika kedua tanah air—


in
a-

yang real dan imajiner—bertempur, mana yang harus kami bela?


ak

Yang real menolak kami, sementara yang imajiner tak mengakui


st
pu

kami.
Kala itu televisi masih belum boleh menayangkan sesuatu
pun yang berbau Cina. Tidak ada film kungfu, tidak ada legenda
si kera sakti Sun Gokong. Paling banter hanyalah pertandingan
badminton yang selalu ramai oleh para suporter. Li Lingwei
adalah favorit saya. Perempuan cantik yang selalu berkepang itu
tampak gagah di ajang final Uber Cup. Juga Li Yongbo, Yang
Yang, dan Huang Hua. Tahun 1989 pada final Kejuaraan Dunia
yang digelar di Jakarta, atlet Cina Yang Yang berhadapan dengan
Ardy Wiranata. Suporter Indonesia terdengar sangat ramai,
dengan ”Huuuuuuuuuuuuu”, suit-suit, dan seruan ”INA...!

220
INA...! INA...!!!” Setiap kali si atlet asing menyervis, atau me-
nangkis kok, yang terdengar adalah suit-suit dan seruan
”Huuuuuuuuuuu” yang mengagetkan. Setiap ayunan raket, jan-
tung saya berdegup kencang. Kedua atlet adalah keturunan
”naga” yang sama, kini membela negeri-negeri yang berbeda,
terpisahkan oleh garis batas berupa jaring net dan kewarga-
negaraan. Bagi penonton, ini juga adalah ajang pertarungan
membuncahnya ego, punya efek psikologis untuk menguatkan
kebanggaan, kepercayaan diri, arogansi, dan superioritas.
Saya masih berumur delapan tahun kala itu, tetapi sudah
dibuat mengenal ego kebangsaan. Jantung saya terasa berdebar
om
begitu kencang menyaksikan skor yang kejar-mengejar.
t.c
Ya, saya bersorak histeris ketika Yang Yang meraih juara.
po
gs
lo
.b
do
in
a-

Sumpit-sumpit berjajar di meja makan Muhammad, lelaki yang


ak

mengundang saya menginap di rumahnya. Ia adalah salah satu


st
pu

dari sepuluhan orang yang rajin sembahyang setiap hari di


masjid. Muhammad tinggal bersama istri, ibu, anak, menantu,
dan beberapa cucu. Keluarganya cukup berada. Istrinya sudah
naik haji tahun 1970-an, menempuh jalan darat dari Kazakhstan
sampai Mekkah, lewat Iran, Suriah, dan Irak. Zaman itu, naik
haji sungguh perjuangan panjang melintasi medan berat, seperti
halnya perjalanan panjang bangsa Dungan yang terus berpindah
hingga ke tepian sungai ini.
Fatime, ibu Muhammad yang renta, bersalat di sudut
ruangan. Nenek berjilbab itu kemudian menciumi kening saya
sebagai tanda penyambutan. Bahasa Mandarin Nenek sangat ba-

221
gus, sementara kosa kata Muhammad sangat terbatas. Kalau
bercakap dengan anaknya, Muhammad menggunakan bahasa
Rusia karena si anak hampir tidak bisa bahasa Dungan.
Keluarga ini masih memegang teguh tradisi Dungan. Anak
yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua. Ikatan
keluarga sangat penting, dan anak harus bertanggung jawab un-
tuk hari tua ayah-bunda. Mereka juga kebanyakan hanya me-
nikah dengan sesama Dungan, atau paling banter dengan
Kazakh dan Kirgiz yang seagama.
Makan malam tiba. Istri Muhammad menyajikan masakan
yang aromanya sampai membuat perut saya langsung bernyanyi.
om
”Makanlah, jangan sungkan, anggap ini rumahmu sendiri,”
t.c
kata Muhammad yang berkopiah itu sambil menggendong
po

cucunya. Saya terkesima menghadapi meja makan. Makanan


gs
lo

Dungan seolah membawa saya terbang ke Tiongkok.


.b
do

Sumpit-sumpit beradu di atas piring besar berisi bakmi


in
a-

laghman yang gemuk dan panjang, bercampur kuah merah yang


ak

pedas dan segar. Masih ada pula pangsit dan asinan yang khas
st
pu

di utara Cina. Menu utama orang Dungan, disebut ganfan alias


nasi Dungan, kini dibanggakan sebagai salah satu makanan
nasional Kirgizstan. Ada bagian dari diri mereka yang kini su-
dah melesap ke dalam identitas Kirgizstan.

Indonesia mengalami babak baru. Reformasi bergulir, ingar-


bingar diskriminasi terhadap orang Indonesia Tionghoa sayup-
sayup mereda, hubungan dengan Tiongkok semakin membaik.
Menjadi Tionghoa kini bukan lagi dosa. Berbagai kebijakan

222
penghapusan diskriminasi perlahan-lahan menumbuhkan rasa
bangga—Indonesia-ku mau menerimaku.
Tiongkok bukan lagi tanah terlarang. Tahun 2000 saya
menginjakkan kaki untuk kali pertama di negeri Tiongkok,
bagian penting dalam perjalanan hidup saya. Saya dikirim
orangtua untuk bersekolah di Beijing. Saya membawa romantika
dan fantasi—”pulang” ke negeri leluhur yang selalu dirindukan
meski belum pernah didatangi.
Walaupun sudah menjalankan politik Pintu Terbuka, negeri
itu masih bagaikan tersembunyi di balik tirai bambu. Kuno.
Misterius. Beijing berdebu, suhu dingin -4 derajat Celcius men-
om
jadi kejutan setelah teriknya mentari Surabaya. Badai pasir me-
t.c
ngaburkan pandangan. Kuning kelabu di seluruh penjuru. Ber-
po

jalan sekuat tenaga pun tak maju-maju, malah mundur, karena


gs
lo

tubuh tak berdaya melawan terpaan angin yang menderu seram.


.b
do

Sampah plastik beterbangan menampar wajah saya yang ter-


in
a-

kesima.
ak

Selamat datang di Beijing. Selamat datang di Tiongkok.


st
pu

Ratusan pengendara sepeda yang meluberi jalan memberi


ilusi tentang lautan. Gedung-gedung berbentuk kotak-kotak se-
mua, kesan pertama keseragaman gaya komunis yang mendarat
di benak saya. Tetapi bukankah komunisme berarti sama rata
sama rasa? Pengemis terlihat begitu banyak. Bocah kecil memeluk
kaki kanan saya erat-erat, meratap, memohon belas kasihan. Bo-
cah lainnya menggandoli kaki kiri saya, sambil menciumi lutut
dan menangis. Mereka tak akan lepas kalau tidak diberi uang.
Pengemis tua bersujud dan menyembah sepanjang hari. Jalanan
juga selalu dihujani air ludah, yang untuk menyemprotkannya,
orang mesti menggaruk tenggorokan dalam-dalam, mengeluarkan

223
bunyi ”Hoakkkkk” yang menggelegar. Di sudut lain, ibu-ibu ber-
baju kumuh menggendong orok, sambil menawarkan dagangan
rahasia: VCD porno dan CD bajakan. Pelayan restoran begitu
judes, membentak saya yang memesan terlalu sedikit. Para pe-
numpang di bus ringsek yang panas membakar semakin terbakar
emosinya, adu jotos berdarah-darah hanya untuk berebut tempat
duduk. Semua orang berteriak, semua orang begitu kasar, se-
mua orang saling tak peduli.
Inilah wajah Tiongkok yang pertama saya lihat. Aroma pekat
dari negeri yang baru saja membuka pintunya ke dunia luar.
Lapangan Tiananmen, yang namanya berarti ”Gerbang Keda-
om
maian Surgawi”, adalah lapangan terluas di dunia yang sekaligus
t.c
menjadi ikon negeri ini. Begitu luasnya, hingga saya pun merasa-
po

kan betapa lemah dan kecilnya sebutir individu di hadapan


gs
lo

kekuatan negara. Semboyan ”Abadilah Persatuan Warga Dunia!


.b
do

Abadilah Republik Rakyat Tiongkok!” menghiasi tembok pan-


in
a-

jang. Foto raksasa Mao Zedong tergantung di atas gerbang, di-


ak

jaga oleh serdadu pilihan dari Tentara Pembebasan Rakyat.


st
pu

Saya tahu, saya sedang berada di sebuah tempat sakral. Be-


tapa ayah saya memimpikan menginjakkan kaki di tempat ini.
Betapa puisi-puisi dan tulisan Mao menjadi ilham dan pegangan
hidupnya. Betapa ibu saya akan terpekur di hadapan jenazah
Mao yang diawetkan, atau tenggelam dalam akbarnya lapangan
ini. Inilah tanah impian mereka, yang ingin mereka kunjungi.
Akar mereka. Kebanggaan mereka.
Tetapi, mengapa saya tak merasakan itu? Saya tak merasa
sedang pulang ke ”tanah air”. Saya tidak merasa sebagai bagian
dari kebanggaan masa lalu itu. Foto raksasa Mao dan patung-pa-
tungnya yang bertebaran di seluruh kota sama sekali tidak

224
menimbulkan gemuruh dalam batin saya. Kota Terlarang tak
lebih dari tempat wisata puluhan ribu turis untuk berfoto dan
berpose. Gedung-gedung di sekeliling Tiananmen tampak begi-
tu Eropa di mata saya yang masih berilusi tentang negeri leluhur
yang dipenuhi naga dan jagoan kungfu.
Negeri ini memperlakukan saya hanya sekadar sebagai orang
asing. Paspor Indonesia di saku saya adalah bukti otentik. Biaya
sekolah saya sama mahalnya dengan pelajar dari Senegal atau
Amerika Serikat, hampir sepuluh kali lipat pelajar lokal. Visa
dan birokrasi pun sama ribetnya. Darah leluhur itu hanya se-
kadar darah, tak terbukti oleh dokumen apa pun.
om
Budaya mereka ternyata begitu asing. Wajah mereka begitu
t.c
berbeda, tindak-tanduk pun tak pernah saya bayangkan sebelum-
po

nya. Bisakah saya beradaptasi dengan orang-orang yang meludah,


gs
lo

berteriak kalau bicara, dan mendengus tak ramah? Bisakah saya


.b
do

berganti menu menjadi mantou, pangsit, asinan, dan kuah ber-


in
a-

lemak? Bisakah saya punya kebanggaan yang sama dengan me-


ak

reka, terpesona oleh modernisasi, lalu meninggalkan tradisi


st
pu

Cina kuno yang kami percayai dan pegang selama ini?


Seorang adik nenek saya datang dari Indonesia dan menetap
di Beijing selama 40 tahun, jadi warga negara sini. Mendengar
kabar kakaknya yang sakit parah di Indonesia pun ia tak mau,
karena bisa mengganggu tidurnya. ”Bukankah sudah cukup ba-
nyak famili yang ada di Indonesia? Kami di sini, terlalu jauh,
bisa bantu apa?” kilahnya. Rasa persaudaraan itu sudah begitu
memudar, terpisah oleh jarak dan garis batas.
Saya tahu, ”akar” kami ada di Hingwa, sebuah daerah di
provinsi Hokkien (Fujian). Tapi, nama itu sekadar nama. Tak
ada lagi rasa ingin tahu untuk menemukan ”akar” itu. Tak per-

225
nah tebersit keinginan berkunjung ke sana. Apalah tempat itu?
Tak lebih dari sebuah kota yang tak seorang pun saya kenal.
Tempat, ”akar” itu bagi saya hanya sebuah lokasi dan sebaris
sejarah. Tiongkok yang melekat dalam benak saya hanyalah
Beijing, di mana kelak saya melewatkan bertahun-tahun per-
jalanan hidup.
”Mengapa negaramu membantai orang-orang kami tahun 1998?”
”Mengapa negaramu membenci Cina?”
”Mengapa orang-orang di negaramu begitu biadab?”
Berbagai pertanyaan pedas sering saya hadapi di sini. Orang
Cina punya kesadaran kolektif yang begitu kuat, individu sering
om
dipandang sebagai wakil dari negara dan negara termanifestasi
t.c
dalam individu. Kini saya datang ke negeri ini dengan identitas
po

sebagai Indonesia—negara yang bagi banyak orang identik de-


gs
lo

ngan kebencian, penindasan, dan kekerasan. ”Kamu adalah


.b
do

kacang yang lupa kulit, sudah lupakah kamu akan akarmu?” ”Kamu
in
a-

sudah bukan orang Tiongkok lagi!” ”Ada berapa persen di hatimu


ak

yang masih Tiongkok? Kamu bicara mewakili Indonesia atau Tiong-


st
pu

kok?” Sungguh ini pertanyaan yang sama persis dengan yang


selalu ditujukan kepada saya sejak kecil, hanya ditukar saja
subjeknya. Pertanyaan yang selalu membuat emosi saya ber-
gemuruh. Indonesia atau Cina? Mengapa saya harus selalu me-
milih?
Penolakan demi penolakan mewarnai kehidupan saya. Se-
bagai anak-anak, saya merasa ditolak di tanah air saya, sehingga
tercipta sebuah ilusi tentang tanah leluhur, tanah di mana kami
bisa menjadi bagian dari mayoritas dan tidak perlu lagi risih
menjadi minoritas yang hina. Tetapi, ketika menginjakkan kaki
di tanah fantasi ini, saya pun dihadapkan pada realita pahit

226
yang menghancurkan semua ilusi dan identitas diri yang selama
ini saya bangun: kami memang sama-sama ”keturunan sang
naga”, tetapi saya tetap bukan bagian dari mereka. Ya, mereka.
Bukan lagi kami orang Tionghoa, tetapi mereka orang Cina da-
ratan.
Penolakan, baik yang muncul dari lingkungan maupun yang
dari dalam diri sendiri, kemudian memunculkan eksklusivitas,
menumbuhkan sekat-sekat baru, meninggikan tembok pemisah.
Eksklusivitas yang membuat saya memandang kembali kehi-
dupan minoritas Tionghoa di Indonesia. Kompleks perumahan
khusus, sekolah khusus, klub khusus, tembok tinggi dan tebal,
superioritas khusus... om
t.c
po

Di tanah asing ini, saya kembali merenungi arti Indonesia.


gs

Indonesia memang tidak sempurna, tetapi itulah tanah air yang


lo
.b

menerima saya apa adanya. Indonesia memang menorehkan


do
in

kenangan buruk, tetapi tetaplah rumah dengan nostalgianya.


a-
ak

Indonesia adalah diri saya. Otak saya bekerja dalam bahasa


st

Indonesia, budaya saya adalah budaya Indonesia. Loyalitas saya


pu

pada kain Merah dan Putih. Kebanggaan akan Sriwijaya, Maja-


pahit, dan Nusantara mengalir bersama darah saya—bukannya
barisan dinasti dan rentetan Tembok Besar. Bagaimana saya
bisa menyangkal ke-Indonesia-an yang begitu kuat dalam diri
saya ini?
Orang bilang, nasionalisme semakin tebal ketika kita berada
di luar negeri, ketika kita mulai melihat negeri kita dari luar
kotak. Negeri asing yang diimpikan, kenyataannya bukan selalu
nirwana.
Di bayang langit kelabu yang tiap hari merundung, dengan

227
matahari suram berbalut debu, saya merindukan langit biru
Indonesia.

Kacang lupa kulit. Kata-kata yang selalu ditanamkan dalam be—


nak saya sejak masih kecil. ”Akar”, begitu penting. Manusia
barulah menjadi manusia kalau ia masih ingat pada ”akar”-nya.
Pemahaman ini membuat saya begitu memandang rendah
seorang kawan India, sebut saja Anand, yang baru saja dinaturali-
sasi dan menerima paspor Kanada. Seperti halnya Indonesia,
om
India juga tidak mau dimadu, loyalitas hanya boleh satu. Paspor
t.c
Kanada membuatnya rela melepaskan paspor India. Dan sejak
po

hari itu pula, Anand tidak pernah lagi berkata, ”I am Indian”,


gs
lo

selalunya ”I am Canadian! I am Canadian!” Bila ditanya apakah


.b
do

dia berdarah India, Anand langsung berang, ”No! I am Canadian!”


in
a-

Bagaimana mungkin? Tidak masalah dengan paspor barunya,


ak

tetapi bukankah seumur hidup ia diasuh India? Wajahnya,


st
pu

DNA-nya, otaknya, sejarahnya, masa lalunya, memorinya, kepri-


badiannya semua India. Semalam saja, semua itu bisa dijungkir-
balik, dihapus, dilupakan. Semua menjadi nihil. Hanya dengan
paspor baru, ia sudah menjadi manusia baru. Seorang India
sudah mati, terlahirlah Anand si orang Kanada.
Apakah dia kacang yang lupa kulit?
Bagaimana dengan anak-cucu keturunan Anand nantinya?
Berdarah dan berleluhur India, tetapi sepenuhnya dibesarkan di
Kanada, menyerap nilai dan kebanggaan Kanada, membela
panji-panji Kanada. Memori dan kebanggaan akan tanah leluhur
muncul sebagai fantasi dan romantika belaka. Mungkin mereka

228
merindukan ”akar” di negeri kuno. Tetapi bisakah ”akar” itu
mengalahkan tanah air baru yang membesarkan mereka? Apa-
kah mereka masih India atau sudah menjadi Kanada? Haruskah
mereka mengakui India, atau Kanada? Apakah mereka kacang
lupa kulit?
Orang Tionghoa punya perumpamaan, hidup itu bagaikan
”kota yang terkurung tembok”—orang yang di luar ingin masuk ke
dalam, orang yang di dalam ingin keluar. Bayangkan sebuah
kota kuno yang dikelilingi tembok dan gerbang yang tertutup
rapat, tidak seorang pun boleh melintas. Dari luar, kota itu ter-
lihat begitu mewah dan megah, penduduknya makmur dan ba-
om
hagia, sungguh sebuah tanah impian. Tetapi bagi yang hidup
t.c
dalam kota terkurung itu, ternyata mereka justru lelah oleh ke-
po

terkungkungan, mendamba kebebasan dan padang luas di luar


gs
lo

sana. Demikianlah manusia senantiasa berfantasi tentang kehi-


.b
do

dupan lain, kehidupan ”di balik tembok”.


in
a-

Justru di Tiongkok-lah, setelah berhasil menembus ”tembok”


ak

dan merasakan kehidupan di kedua sisinya, pencarian identitas


st
pu

saya mengalami titik balik. Identitas ke-Cina-an semakin me-


mudar, identitas ke-Indonesia-an menguat. Etnisitas memudar,
kewarganegaraan menguat.
Apakah saya juga kacang yang lupa kulit?

Dua tahun sudah tinggal di Tiongkok, saya melihat bagaimana


negeri ini mengalami metamorfosis yang begitu besar. Ribuan
pengemis di jalan tiba-tiba menghilang. Orang-orang yang biasa
bergerombol dan berkelahi waktu menumpang bus, kini berbaris

229
rapi. Para peludah di jalanan semakin jarang. Rumah-rumah
kumuh dirobohkan, di sana-sini bermunculan gedung tinggi
pencakar langit hanya dalam hitungan minggu.
Warga Beijing bersorak, Tiongkok bersuka cita, negara me-
reka terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2008. Kebanggaan
yang sama kelak akan saya saksikan dari pasang-pasang mata
warga Dungan di pedalaman terpencil Kirgizstan. Kebanggaan
yang sama juga muncul pada orang-orang Tionghoa perantauan
di seluruh penjuru dunia—kebanggaan menjadi bagian dari
bangsa yang besar. Kebanggaan yang muncul dari rasa ikut me-
miliki. Kebanggaan dari percaya diri bahwa mereka tidak akan
om
dihina lagi sebagai bangsa terbelakang di luar negeri.
t.c
Di tengah ingar-bingar modernisasi Beijing yang secepat ke-
po

reta ekspres, saya juga begitu merindukan tanah air saya bisa
gs
lo

mengalami transformasi yang sama. Nilai-nilai dan keberadaban


.b
do

bisa diajarkan dalam waktu singkat. Korupsi bisa diberantas.


in
a-

Gedung-gedung dan jalan raya bisa dibangun. Semua itu bukan


ak

mustahil, bukan?
st
pu

Saya pun merasakan apa yang Yeja rasakan setelah berpuluh


tahun tinggal di dua ”tanah air”, merindukan ”tanah air” yang
berada di negeri seberang. Fantasi saya memang bukan lagi
Tiongkok. Sekian lama tinggal di luar negeri, pelan-pelan Indo-
nesia malah yang kini bergeser menjadi sebuah negeri imajiner
di benak.
Semakin bertumbuh kerinduan saya, semakin sempurna
pula ilusi tentang Indonesia mengristal dalam bayangan. Setiap
pernak-pernik yang berbau Indonesia, walaupun setitik saja, me-
nimbulkan kebanggaan mendesir. Dalam sesendok pecel, pada
sepetak sarung, dalam alunan keroncong, pada kibaran bendera,

230
pada gambar Garuda di halaman paspor, saya temukan Indo-
nesia. Hal-hal yang sebelumnya tak pernah saya lakukan, kini
justru menjadi kegandrungan akan tanah air di seberang lautan.
Bergoyang dangdut, ke kampus dengan memakai sarung Jawa
(sempat membuat penduduk Beijing melongo melihat orang
pakai sarung naik sepeda, sampai keserimpet dan nyaris tersung-
kur pula), mengenakan peci di mana-mana (untuk menunjukkan
bahwa saya ”berbeda” dari orang Cina di sekeliling), dan ber-
tingkah bak seorang duta pariwisata (dengan membagikan se-
tumpuk brosur pariwisata Indonesia hingga ke pedalaman Tibet
dan Afghanistan). Saya juga menjadi suporter setia Tao Feike,
om
alias Taufik Hidayat. Dalam kenangan akan langit biru, hujan
t.c
po

deras, embun pagi, nyiur melambai, debur ombak, kebebasan


gs

demokrasi, gemah ripah loh jinawi, mozaik-mozaik memori


lo
.b

membentuk sebuah citra sempurna dalam fantasi: rakyat hidup


do
in

makmur, rupiah meroket, tak ada pengemis, tak ada macet, pe-
a-
ak

jabatnya jujur, suku-suku dan umat beragama bersatu, teknologi


st

modern, tanpa polusi, pemandangan laksana surga, pujaan se-


pu

gala bangsa....
Kebanggaan akan tanah air itu indah, begitu indah... semakin
sempurna bersama mengalirnya waktu.
Kesempurnaan ilusi akan tanah air itu malah membuat saya
takut. Saya tahu, Indonesia saya hanyalah Indonesia yang saya
ciptakan sendiri. Indonesia saya bukanlah Indonesia yang se-
benarnya. Saya takut berhadapan dengan realita itu, lalu mimpi
indah itu pecah berkeping-keping, bak gelas kristal mahal yang
hancur di permukaan bebatuan buruk rupa. Bisakah saya tetap
mencintai Indonesia—Indonesia yang hidup dalam fantasi saya,

231
Indonesia utopis yang begitu sempurna—tanpa harus berhadapan
dengan realitanya yang sejati? Bisakah? Atau, bolehkah?
Saya teringat seorang teman dari Jawa yang menetap di
Malaysia. Tiga puluh tahun berturut-turut ia hidup di negeri
jiran tanpa pernah menginjakkan kaki di kampung halaman. Ia
menyaksikan sendiri bagaimana Malaysia bertumbuh menjadi
negara modern. Ada kekaguman bercampur cemburu, karena
jiwanya masih merindukan ”akar” di seberang lautan sana. Per-
lahan, fantasi tentang Indonesia pun semakin memadat dalam
benaknya. Indonesia yang modern, namun ramah dan lekat
akan tradisi. Indonesia yang berjaya, dikagumi bangsa-bangsa.
om
Indonesia yang makmur, semua rakyat sejahtera. Indonesia yang
t.c
sempurna tanpa cela.
po

Dan, kepulangan itu, setelah 30 tahun berkhayal, malah


gs
lo

membuatnya terpuruk, merasakan penolakan yang membuatnya


.b
do

menyesal seumur hidup. Hanya setapak kaki dari pesawat, ia


in
a-

sudah dikerubungi orang sekampung, semua mengaku sebagai


ak

saudara dekat dari bude yang ini, paklik yang itu, mas yang ini,
st
pu

mbakyu yang itu, semuanya menadahkan tangan minta cipratan


rezeki. Seketika, mimpinya berantakan. Hancur berkeping-ke-
ping bersama tangan-tangan yang menadah itu.
Hanya setapak kaki dari pesawat! Saya berbaris di hadapan
konter imigrasi di bandara tanah air. Seorang warga negara
Cina terlihat menyelipkan uang seratus ribu rupiah ke dalam
paspornya, lalu tersenyum ke arah saya, ”Mengapa kamu tidak
menyelipkan uang ke dalam paspor? Biar tidak ada masalah.
Tak apa, hitung-hitung uang tip buat mereka.”
Hati saya bergemuruh, bagaimana mungkin orang asing ini
bisa begitu melecehkan negeri kami? ”Apakah kamu berani me-

232
lakukan hal ini di negara kamu? Ini tidak sopan!!! Kamu tidak
takut dipenjara?” Ia menyeringai balik ke arah saya, ”Aku sudah
pengalaman ke Indonesia!”
Petugas imigrasi terlihat menerima paspor berisi uang itu de-
ngan raut muka datar. Tenang, tenang sekali, tanpa sedikit pun
rasa terkejut. Tak sampai dua menit, si orang Cina itu langsung
diizinkan melenggang tanpa satu pun pertanyaan.
Sebaliknya saya yang masih berilusi tentang tanah air yang
bebas korupsi justru digiring ke ruangan khusus. Di dalam tas
saya ditemukan dua set VCD drama Putri Huanzhu yang kala itu
juga populer di Indonesia. ”Sayang kamu masih kecil, masih
om
belum tahu artinya kata bijaksana,” kata lelaki berkumis tebal di
t.c
kursi kayu, melinting kumisnya ketika bicara, seraya menge-
po

bulkan asap rokok, dan memberatkan suara. Ruangan suram


gs
lo

ini sungguh mirip dengan ruangan polisi di bazaar Osh, Kirgiz-


.b
do

stan, tempat saya kelak mengalami ”pembantaian” oleh polisi-


in
a-

polisi rakus.
ak

”Bijaksana” yang dimaksudnya adalah lembaran dolar. Ba-


st
pu

rang yang saya bawa ini adalah barang haram. Semua barang
cetakan dalam bahasa dan aksara Cina adalah satu kelompok
dengan narkotika, obat keras, senjata api, senjata, amunisi, se-
napan laser, bahan porno, pesawat penerima, dan telepon nir-
kabel. Bukankah sekarang sudah zaman reformasi yang katanya
sudah bebas dari diskriminasi? Tetapi lembar deklarasi bea
cukai masih menggolongkan huruf Cina sebagai barang ter-
larang, dan saya sudah berbohong dalam mengisi formulir itu.
”Saya hanya pelajar, Pak, saya tak punya uang,” saya memasang
wajah memelas, dengan nada bicara setengah menangis.
”Sudah! Berapa dolar yang kamu punya?”

233
”Hanya dua puluh dolar. Tak apa kan, Pak?”
Petugas itu membelalak. ”Uang apa ini???”
”Dolar Hong Kong, Pak.”
”Berapa nilainya?”
”Satu dolar, seribu rupiah, Pak.”
”Tidak cukup! Kamu jangan main-main!” Brakkk! Meja kayu
yang digebrak membuat saya nyaris terloncat. Tentunya yang di-
rindukannya adalah lembaran hijau dolar Amerika Serikat yang
bernilai jauh lebih tinggi, bukannya recehan warna-warni seperti
uang monopoli ini.
”Pak, saya baru dari Cina, hanya itu dolar yang saya punya.”
om
Saya terus merengek minta belas kasihan. Saya menjadi korban
t.c
diskriminasi dan korupsi di negeri saya sendiri.
po

Setengah jam sudah lelaki itu terus bermain otoritas. Walau-


gs
lo

pun uang saya itu katanya terlalu sedikit, tetapi tetap diambilnya
.b
do

juga, langsung menelesap ke dalam kantong celananya. Saya


in
a-

gemetaran. Kaki ini sudah tak kuat lagi menopang tubuh, ingin
ak

ambruk rasanya. Tetapi ada rasa sakit yang lebih dahsyat lagi
st
pu

yang menekan ulu hati.


Prang... fantasi tentang Indonesia hancur berkeping-keping.

Hilir-mudik melintasi berbagai garis batas, berkali-kali meng-


hadapkan saya pada berbagai realita. Berkali-kali pula saya me-
numbuhkan fantasi, menghancurkannya dengan realita, me-
numbuhkan lagi, menghancurkan lagi. Kini saya tak hanya
berfantasi tentang Indonesia, tetapi juga tentang Cina, tentang
Afghanistan, Tajikistan, Kirgizstan, dan semua negeri yang per-

234
nah saya lintasi. Setiap perpindahan membuat saya tersadar,
garis batas bisa dibuat kaku dan mengekang, menjadi sumber
berbagai tragedi kemanusiaan. Namun bisa pula dianggap tak
ada, tembus pandang, begitu mudah didobrak dan dilintasi. Ga-
ris batas tak lebih hanyalah kotak-kotak bikinan manusia, yang
kemudian mendikte dan menentukan takdir.
Orang bilang, garis batas perlu ada untuk melindungi zona
aman manusia. Tetapi, untuk siapa? Untuk mayoritas yang ke-
takutan akan minoritas? Untuk bangsa besar yang takut akan
bangsa kecil? Untuk pemerintah yang takut akan rakyatnya? Un-
tuk agama yang takut kehilangan umat? Nasionalisme yang ta-
om
kut pudar? Budaya yang takut dicuri? Kekayaan yang takut
t.c
po

habis? Atau sebenarnya, untuk ego manusia yang ingin selalu


gs

eksis dan berkuasa? Garis batas, oh, garis batas....


lo
.b

Saya mengamini kata-kata Yeja Karim, tetua Dungan di Kir-


do
in

gizstan, ”Cinta bangsa itu tidak bisa dibagi-bagi.” Di mana pun


a-
ak

kita berada, semua adalah sama. Seluruh dunia adalah rumah


st

kita. Langit kita bukan lagi langit Kirgizstan, langit Tajikistan,


pu

langit Indonesia, langit Tiongkok, tetapi menjadi langit semesta.


Ya, betapa luasnya, dunia yang tanpa garis batas....
Seperti Dungan yang menerima Arab sebagai ayah dan
Tiongkok sebagai ibu, memadukan harmoninya untuk mencipta-
kan khazanah baru, kini saya pun belajar untuk berdamai de-
ngan identitas. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak lagi menghantui.
Identitas bisa jadi kebanggaan, bisa pula jadi kungkungan. Ia
bisa jadi tuhan, kepercayaan buta, atau jadi pembunuh. Identitas
bisa jadi matahari yang menggerakkan manusia meraih cita-cita,
bisa pula meluap bagaikan tsunami yang menghancurkan. Saya

235
menjadikannya sebagai warna—kombinasi indah aneka rona
yang memanusiakan manusia.
Itulah yang saya temukan dari perjalanan. Yeja si orang
Dungan adalah musafir, seperti halnya semua manusia pada
hakikatnya adalah musafir. Hidup adalah perjalanan yang mem-
bawa sang manusia melintasi berbagai garis batas. Dalam per-
jalanan itu, manusia berulang kali mempertanyakan, menyangkal,
mengakui. Seperti halnya hakikat Dungan—”pulang”, setiap
proses ”pulang” bagi sang musafir kehidupan adalah menumbuk-
kan antara fantasi dengan realita, melucuti kebanggaan semu di
hadapan kenyataan yang sering kali buruk rupa, berhadapan
om
dengan penolakan demi penolakan, melintasi berbagai garis ba-
t.c
tas, meleburkan diri, menghilangkan perbedaan, memunculkan
po

lagi perbedaan, mengidentifikasi, menyangkal... tanpa henti,


gs
lo

tanpa henti... hingga ia menemukan tempat berlabuh.


.b
do

Setiap proses ”pulang” membawa musafir menembus dimensi


in
a-

demi dimensi nasionalisme, sampai akhirnya ia bertanya, masih


ak

pentingkah simbol-simbol itu? Segala kesemuan itu? Segala


st
pu

kebanggaan dan batas sempit itu? Zona aman itu? Setiap proses
”pulang” akan membawanya melintasi perenungan akan masa
lalu, masa kini, dan masa depan. Sampai akhirnya ia tersenyum
sendiri dalam pencarian panjang sepanjang hayat. Karena kini
ia sudah menemukan jawabnya...
...yang ternyata sederhana, begitu sederhana.

236
Bab 3

Kazakhstan
Kebanggaan di Simpang Jalan

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

Untuk hidup bersama serigala,


bicaralah seperti serigala

Pepatah Kazakh
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
REALITAS DUNIA BORAT

IDENTITAS dan kebanggaan adalah pertanyaan penting bagi


manusia, juga bagi negeri-negeri yang baru merdeka. Tetapi, da-
lam kehidupan yang realis, pertanyaan-pertanyaan filosofis bo-
leh diletakkan dalam prioritas bawah, karena sebenarnya kita
om
menghadapi pertanyaan konkret yang lebih mendesak: bagai-
t.c
mana bertahan hidup. Tanpa hidup, apalah artinya filosofi itu?
po
gs

Seperti halnya, tanpa filosofi, apalah artinya hidup itu?


lo

Pertanyaan akan ”bagaimana tetap bertahan hidup” bagi


.b
do

bangsa-bangsa dan negeri-negeri menghasilkan jawaban berupa


in
a-

kultur dan gaya hidup. Dalam keseharian bangsa nomad, yang


ak
st

menggantungkan hidup pada sinar mentari, datang-perginya


pu

musim, menghijaunya padang rumput, dan berembusnya angin,


berpindah adalah siklus hidup yang selalu berulang. Kini
padang rumput Asia Tengah terkotak-kotakkan dalam batas
negara-negara dan bangsa. Ada batas yang memisahkan, ada su-
ratan takdir yang ditentukan. Orang tak bebas berpindah,
sekalipun di padang luas tak bertepi.
Berpindah. Saya pun berpindah, menyeberang perbatasan
Kazakhstan yang cuma setengah jam dari Bishkek. Pos perbatasan
Kirgizstan dan Kazakhstan berhadap-hadapan di kedua sisi jem-
batan. Perbatasan, seperti biasa, adalah penanda pergeseran ke-

239
hidupan. Hanya selebar Sungai Chui, Kirgizstan yang miskin
berkontras dengan raksasa Kazakhstan di utara.
Kantor imigrasi Kirgiz adalah barisan tangker minyak karatan
yang disulap menjadi ruang kerja. Di dinding luar tangker, ter-
pampang selebaran berisi daftar negara yang bebas masuk
Kirgizstan tanpa visa: Malaysia, Jepang, Vietnam, Korea Utara,
dan beberapa pecahan Uni Soviet. Petugas mengernyitkan ke-
ning melihat paspor Indonesia. Tentunya ini bukan paspor yang
disambut dengan sukacita di negara ini. Ia malah tidak tahu
ada negara bernama Indonesia.
”Indonesia? Indonesia itu sama dengan Malaysia? Tak perlu
om
visa?” petugas bertopi bundar besar itu bertanya pada rekannya.
t.c
Tangannya membolak-balik halaman paspor dengan kasar, sam-
po

pai menemukan visa Kirgizstan teronggok di halaman 29.


gs
lo

”Hum...,” ia mendengus. Lalu secuil senyum kemenangan ter-


.b
do

sungging. Dokumen saya bermasalah!


in
a-

Ketika masuk Kirgizstan dari Tajikistan di perbatasan Bör


ak

Döbö, paspor saya tidak distempel. Itu adalah perbatasan di


st
pu

puncak gunung. Kantor imigrasi Kirgizstan di sana tidak punya


cap—oh, kasihan sekali mereka di sana. Tetapi lebih kasihan
saya, sekarang petugas imigrasi menuduh saya masuk negeri me-
reka tercinta secara ilegal. Saya disuruh masuk ke tangker. Di
sini sudah ada tiga polisi lain yang ”menyerbu”. Ah, jangan-ja-
ngan ini black hole lain tempat para polisi korup mempecundangi
turis bodoh. Saya harus masuk penjara, kata yang satu. Saya
harus dihukum seberat-beratnya, kata yang lain. Saya teroris,
kata yang di sudut ruangan. Bla bla bla.
Amarah sudah di ubun-ubun, saya langsung menunjukkan
surat dari KBRI Tashkent. Surat sakti! Mereka tak banyak bicara

240
lagi melihat gambar garuda dan barisan huruf Rusia. Tanpa bla
bla bla lagi, paspor saya langsung distempel, saya dipersilakan
keluar.
Petugas di pintu masih sempat-sempatnya menggesek-gesek-
kan ibu jari dengan jari tengahnya, sinyal minta sogokan. Huh!
Salju terus mengguyur bumi. Sejauh mata memandang,
langit hanya kelabu. Jembatan dijaga tentara perbatasan masing-
masing negara di kedua sisinya. Warga negara Kazakhstan dan
Kirgizstan bisa saling berkunjung bebas visa, menyebabkan per-
batasan ini sibuk oleh pelintas batas yang bisa mencapai ribuan
seharinya. Di seberang jembatan, gedung imigrasi Kazakhstan
om
yang modern berdiri kokoh. Bendera biru muda Kazakhstan,
t.c
berhias matahari kuning cerah, berkibar-kibar di atas gedung
po

balok putih.
gs
lo

Prosedur imigrasi Kazakhstan—kontras dengan Kirgizstan—


.b
do

jauh lebih modern. Semua orang yang masuk Kazakhstan harus


in
a-

dipotret dulu. Saya tidak kaget kalau suatu hari nanti Kazakhstan
ak

juga akan memindai sidik sepuluh jari dan retina mata semua
st
pu

orang yang masuk ke negaranya.


Di atas peta Asia Tengah, Kazakhstan seperti raksasa besar
dengan keempat negara lainnya hidup di bawah bayang-bayang-
nya, terbentang dari Laut Kaspia di barat sampai ke perbatasan
Cina di timur, dibagi menjadi dua zona waktu. Luas wilayahnya
menempati urutan kesembilan dunia, seluas seluruh Eropa
Barat, masih lebih luas daripada jika keempat saudara Stan di-
gabungkan sekaligus, hampir satu setengah kali luas daratan
Indonesia. Tapi penduduknya tak sampai 16 juta jiwa.
Kosong. Saya merasakan kekosongan yang tak bertepi ketika
bus melaju mulus di jalan beraspal. Jalan sempit dan bolong-bo-

241
long milik Kirgizstan sudah tinggal kenangan. Kualitas jalan ini
sungguh bagus, sekelas dengan jalan raya di negara maju. Tetapi
di luar sana, di bawah kelabunya langit dan kabut tebal, bukit-
bukit gundul berderet diselimuti salju tebal. Tak ada manusia,
tak ada pemukiman, tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan
rumput pun takluk di bawah suhu sedingin ini.
Putih membentang sejauh batas cakrawala. Putih. Putih. Ha-
nya putih yang mati.

om
Kekosongan dan kehampaan mengundang misteri. Dalam putih
t.c
sempurna yang begitu luas, membuat kita merenung, apakah
po

kehidupan di samudra hampa itu. Yang saya tahu, putih itu


gs
lo

berarti maut. Suhu Kazakhstan sekarang sudah mencapai minus


.b
do

15, salju menumpuk setinggi dada manusia dewasa. Manusia


in
a-

hanyalah sebuah noktah hitam di hamparan membentang itu.


ak

Tanpa pelindung, tanpa senjata. Dingin itu perlahan-lahan akan


st
pu

membekukan darah, membunuh jasad dan jiwa.


Ketika angan saya terus berkutat memandangi kekosongan
di luar jendela, bus berhenti di sebuah bangunan kecil di tengah
padang salju luas. Siapa sangka, di kekosongan ini, ada restoran
cepat saji modern, cantik dengan warna-warni mencolok tepat
di sebelah pom bensin.
Saya harus berpuas mengenyangkan perut dengan nasi putih
beberapa sendok dan sejumput sayur. Pegawai restoran yang me-
makai rok mini (apakah si cantik ini tidak takut dingin?) dengan
santainya menyodorkan tagihan 500 Tenge. Saya menelan
ludah. Makanan ala kadarnya ini seharga empat dolar. Dengan

242
uang sebesar itu, di Bishkek yang hanya di seberang perbatasan
sana, saya bisa makan besar di restoran mewah.
Jari kaki saya kaku. Dingin itu kini menjalar ke mana-mana.
Hati saya pun rasanya dingin, suram, seperti kabut kelabu yang
menangkupi seluruh pandangan. Senja sudah menghadang di
Almaty. Perjalanan ini cuma enam jam, tetapi sungguh menyakit-
kan ketika ditempuh saat musim dingin begini.
Perjuangan belum berakhir. Dengan menyeret kaki dan
menggotong ransel, saya menyusuri jalan utama Töle Bi yang
hanya segaris lurus saja, bersimbah lumpur salju yang menghitam.
Mencari penginapan murah tak gampang. Dari informasi se-
om
sama backpacker, saya bergegas menuju ”hotel” bernama Kaz-
t.c
kontrakt. Kaz, pastinya singkatan Kazakhstan, dan ”Kontrakt”,
po

ya kontrak. Nama yang cukup aneh untuk sebuah hotel. Saya


gs
lo

menduga ini kontrak investasi minyak. Atau mungkin kontrak


.b
do

kerja? Kontrak sewa? Atau jangan-jangan malah kawin kontrak?


in
a-

”Hotel” ini terletak di apartemen bobrok, diselimuti bau


ak

apak yang membuat paru-paru langsung bereaksi dengan batuk


st
pu

tanpa henti. Kamar-kamar gelap di sepanjang koridor menganga.


Dinding mengelupas. Selimut dan kasur yang sepertinya sudah
ratusan tahun tidak pernah dicuci baunya sangat tajam, langsung
merogoh hidung. Toilet buntu, kotoran manusia meluber, air
menggenang. Kecoak berkeliaran, sama sekali tak gentar dengan
kejamnya musim dingin.
Wanita tua petugas hotel, berteriak judes memaki saya yang
lupa menitipkan kunci kamar. Saya diingatkan kawan-kawan
backpacker, di musim panas, hotel ini seperti rumah bordil,
suara erangan dan desahan romantis sekaligus erotis pasangan
yang memadu kasih akan terdengar sepanjang malam. Bukan

243
tempat menginap yang cocok untuk orang yang susah tidur.
Buku panduan menjuluki hotel sejenis di kota ini sebagai ”Shag
Palace”, alias ”istana esek-esek”. Sungguh jagoan orang yang ma-
sih bisa bercinta dalam kengerian seperti ini.
Tinggal di tempat seperti ini, bukannya memilih, saya me-
mang tak punya pilihan. Ini adalah penginapan paling murah
di Almaty. Satu malam di Kazkontrakt dua belas dolar melayang.
Bukan sekamar sendiri, tetapi hanya untuk satu kasur di kamar
dua ranjang. Saya harus siap tidur dengan tamu tak dikenal
yang bisa datang kapan saja. Pemabuk? Pelacur? Pencuri? Pria
hidung belang? Ah... seram! Aduhai nasib, apakah daya? Hanya
om
sang administrator saja yang berhak menentukan teman bermalam
t.c
saya.
po
gs
lo
.b
do
in
a-

Kelap-kelip jalan raya Almaty sungguh kontras dengan suramnya


ak

Kazkontrakt. Di depan gedung parlemen yang bentuknya balok


st
pu

kotak memanjang—khas arsitektur Soviet, kesempurnaan bentuk


balok dan kubus seperti desain lego anak kecil yang agak rendah
tingkat kreativitasnya—sebuah pohon Natal raksasa menjulang
tinggi di pinggir jalan raya. Musik pop, disko, dan tekno Rusia
diputar keras-keras, memekakkan telinga. Warga kota datang
berduyun-duyun, berdansa di bawah guyuran salju yang men-
curah seperti es serut.
”Ini bukan pohon Natal!” tukas pemuda Kazakh, ”Ini pohon
Tahun Baru!”
Kolya, pemuda kurus ini adalah pembuat roti. Seperti saya
yang terdera mahalnya Almaty, Kolya pun hidup pas-pasan, de-

244
ngan gajinya yang sekitar 350 dolar sebulan itu katanya sama
sekali tidak ada artinya di kota ini. Saya memandang kembali
ke ”pohon tahun baru” itu. Ada pernak-pernik boneka Sinter-
klas. Ada bintang besar di puncaknya. Dekorasi berupa bintang
dan salib menaburi permukaan pohon. Setelah dua ratusan ta-
hun Rusia bercokol di padang rumput Kazakhstan, bangsa no-
mad pun ikut merayakan Tahun Baru. Kultur asing, seperti ba-
hasa Rusia yang juga asing, sudah mengalir bersama darah
Kazakh mereka sekarang. Sudah jadi bagian identitas. Tetapi
Kolya masih punya identitas lain. Ia menunjukkan kepada saya
screensaver ponselnya yang berhias kaligrafi huruf Arab ”ALLAH”.
”Saya Muslim,” katanya bangga. om
t.c
po

Saya bertanya arti tulisan itu, Kolya menggeleng tak tahu.


gs

”Saya tak bisa bahasa Arab. Tetapi tulisan ini tandanya orang
lo
.b

Islam!”
do
in

Tulisan itu adalah simbol kebanggaan atas identitas dan jati


a-
ak

dirinya, suatu kebanggaan yang ia sendiri tak tahu bagaimana


st

menjelaskannya.
pu

Kolya melanjutkan ceritanya. Nama aslinya adalah Kabul,


bukan Kolya yang seperti nama orang Rusia. Ayahnya dulu per-
nah ikut berperang di Afghanistan. Tentu saja yang dibelanya
adalah panji-panji komunis dan bendera merah darah Uni
Soviet. Waktu itu, sepuluh tahun Uni Soviet menduduki
Afghanistan. Moskow sengaja mengirim banyak tentara Muslim
dari Asia Tengah, supaya orang Afghan memandang serbuan ini
sebagai sebuah ”persahabatan”. Setidaknya bangsa penjajah itu
pun masih orang-orang seagama. Tetapi bukannya Afghan yang
tergerak hatinya, malah banyak tentara Muslim Soviet yang

245
bangkit solidaritasnya melihat penderitaan dan perjuangan
Afghanistan.
Ayah Kolya seakan terbuka matanya setelah berbulan-bulan
berada di medan perang melawan kaum Mujahidin. Ia telah
mengalami proses panjang: perlintasan garis batas, penolakan
nilai-nilai, pembenturan fantasi dan realita, hingga tumbuhnya
jati diri baru. Identitas pun berbalik, dari kebanggaan bernegara
menjadi persaudaraan umat seiman. Timbul rasa cinta pada
agamanya, juga rindu yang terpendam akan hari-hari di Kabul.
Setelah satu dekade perang di Afghanistan, Uni Soviet ter-
paksa menelan pil pahit. Afghanistan yang terbelakang itu ter-
om
nyata tidak mudah ditaklukkan. Kegagalan di Afghanistan ada-
t.c
lah kegagalan Uni Soviet. Tak lama sesudah tentara Rusia
po

meninggalkan tapal batas Afghan, justru raksasa Uni Soviet


gs
lo

yang buyar. Lahirlah Kazakhstan, Kirgizstan, dan abang-adiknya


.b
do

yang lain. Negeri-negeri baru kemudian mencari identitas


in
a-

masing-masing, menggali kembali sejarah yang terpendam dan


ak

terlupakan, menumbuhkan kebanggaan yang bervariasi dari ke-


st
pu

seragaman dan kemonotonan.


Karena nostalgia perang, Kolya terlahir sebagai Kabul. Men-
dengar kisah ayahnya tentang romantisme Afghanistan, si Kabul
kecil memimpikan kota Kabul. Ia sebenarnya bangga dengan
namanya, tetapi, ah, nama Kabul sangat tidak trendi. Ia meng-
ganti namanya sendiri menjadi Kolya, seperti nama bocah
Rusia. Inilah identitasnya sekarang: Kolya, Kolya, Kolya.
Kebanggaan itu baru bertunas, namun masih terselubung
selimut rendah diri dari dominasi bangsa superpower. Negeri-
negeri baru boleh bermunculan, tetapi tak lepas dari kungkungan
masa lalu yang masih menjajah alam pikir. Muslim berbangga

246
karena sudah bebas menjadi Muslim, walaupun tak tahu apa
artinya menjadi Muslim itu. Dansa-dansi, pohon Natal, aroma
vodka, tulisan ALLAH, nama Rusia, semua bercampur menjadi
satu dalam diri Kabul yang kini menjelma menjadi Kolya.
Saya kembali ke kamar dingin Kazkontrakt. Selimut tipis,
alat pemanas mati. Administrator menghadiahi saya teman se-
kamar yang mengorok bak simfoni sumbang sepanjang malam.
Belum lagi perut yang keroncongan karena dompet saya tak
kuasa menebus mahalnya makanan. Saya merenungi Kazakhstan
yang dikagumi Kolya. Saya ikut mengagumi, hanya itu yang saya
bisa. Saya tahu, saya bukan bagian dari orang-orang yang diguyur
kemakmuran ini. om
t.c
Ah, denting alunan lagu Bimbo di benak membuat saya ber-
po

nyanyi sendiri.... Semalam di Kazakhstan, diri terasa sunyi. Apakah


gs
lo

daya? Aku hanyalah seorang pengembara yang hina.


.b
do
in
a-
ak
st
pu

Siapa yang terbayang negeri ini akan menjadi negara kaya? Dulu
yang tinggal di padang luas Kazakhstan adalah bangsa pengem-
bara. Kehidupan hanya berkutat pada rumput, ternak, sungai,
dan musim. Ketika dingin menerpa, bangsa gagah ini menung-
gang kuda, melintasi lautan salju, bersama elang raksasa bermata
tajam yang mengepak liar, mengincar serigala dan rubah di per-
bukitan.
Kehidupan yang begitu alami menjadi goyah ketika perang
melanda. Bangsa Jungaria yang mendiami daerah Xinjiang da-
tang menyerang. Di awal abad ke-18, para khan—raja suku—
Kazakh ketakutan, lalu mengundang Rusia sebagai pelindung

247
padang mereka. Para raja itu kemudian menjadi warga negara
Rusia. Lambat laun, padang luas itu pun menjadi bagian Rusia.
Kebanggaan bangsa nomad itu melesap, lebur ke dalam samudra
daratan Rusia yang membentang dari Eropa hingga ke batas
cakrawala Asia. ”Perlindungan” itu membuat padang luas de-
ngan bangsa nomadnya yang garang terlupakan, teronggok di
sudut negeri raksasa.
Almaty semula adalah padang kosong berbercak kemah yurt
bangsa gembala bersama kawanan domba dan kuda. Orang
Rusia membangun kota ini dengan nama Vernyi, sebagai ben-
teng pertahanan pada abad ke-19. Nyaris tak ada orang Kazakh
om
yang tinggal di sini, karena mereka masih tinggal di kemah-ke-
t.c
mah di padang. Tahun 1930-an, sang diktator Soviet, Joseph
po

Stalin yang terkenal kejam berkuasa, dan bertekad bulat untuk


gs
lo

membawa pembaharuan ke negeri komunis raksasa ideal.


.b
do

”Pembaharuan” itu adalah modernisasi. Ya. Pembaharuan!


in
a-

Semua yang kuno, yang terbelakang, dibabat habis. Termasuk


ak

ini, gembala nomad yang hidup berpindah-pindah. Masyarakat


st
pu

modern mana sih yang masih tinggal di kemah? Para gembala


dirumahkan ke blok apartemen seragam—kotak-kotak tanpa
variasi itu. Ternak mereka diregistrasi. Kolektivisasi, kata sulit
yang membuat lidah melintir. Semua ternak menjadi milik
negara. Berapa ratus ekor domba yang kaugembalakan, semua
itu jadi milik komunal, komunitas Soviet yang mendobrak ger-
bang kemakmuran. Tak peduli seberapa kaya-rayanya kau, se-
mua itu demi bersama. Ternakmu. Tanahmu. Bahkan dirimu,
jiwa-ragamu, adalah bagian dari properti negara. Kerjamu hanya
menggembalakan ternak—ingat, bukan milikmu, tapi milik
negara—semua dicatat, dihitung, dikalkulasi, didata, diimunisasi,

248
dan kau akan mendapat bagianmu setelah semua hasil kerja
kerasmu dibagi rata ke seluruh negeri merah raksasa yang mem-
bentang ribuan kilometer. Sebagai upahnya, dari negara kau da-
pat makan, rumah, pendidikan, kesehatan. Dari gembala miskin
yang bebas menggerayangi padang, kini kau berubah menjadi
budak negeri ideal.
Akibatnya? Jutaan ternak mati. Penggembala memilih untuk
menyembelih ternaknya sendiri daripada harus diserahkan ke-
pada negara. Jutaan orang mati kelaparan. Dalam dua tahun
saja, bangsa Kazakh sudah hilang separuh. Kazakhstan jadi ne-
raka bagi bangsa nomad. Ratusan ribu penduduk menerjang
perbatasan Cina, mengungsi ke negeri seberang. om
t.c
Padang rumput ini begitu luas dan kosong, namun ternyata
po

kekayaannya melimpah: batu bara, minyak bumi, gas, bermacam


gs
lo

tambang. Pemerintah pusat mendatangkan para pekerja dari


.b
do

berbagai penjuru Soviet secara paksa. Yang pertama datang ada-


in
a-

lah bangsa Korea dari habitat mereka Timur Jauh—banyak yang


ak

langsung tewas di padang tak bersahabat ini. Lalu berdatangan


st
pu

pula orang Rusia, Ukraina, Jerman, Turki, Uzbek, Kaukasus,


sampai bangsa Mongol bermata sipit dari pedalaman Siberia.
Kazakhstan menjadi tempat meleburnya berbagai ras—sebuah
kosmopolitan, sebuah ”internasional26”—yang bermula dari pa-
dang kosong bangsa gembala.
Kini, 15 tahun setelah Kazakhstan berdiri, padang rumput
itu berubah menjadi negeri kaya. Penduduk Almaty kini bukan
lagi gembala kelaparan, tetapi gadis tinggi molek berbalut syal

26
Internasional adalah slogan yang sering didengungkan oleh kaum komunis dan
sosialis, menggambarkan solidaritas kaum proletar dari berbagai bangsa.

249
dari bulu yang mahal, berhak sepatu tinggi, menenteng tas ber-
merek dari Paris atau Italia. Kaum prianya menebarkan bau par-
fum impor, berpakaian perlente, berjas, berdasi. Pertokoan me-
wah bermunculan, menandingi daya beli yang terus meroket.
Kalangan eksklusif papan atas semakin nyata dan mapan. Saya
hanya termenung di Silkway Gipermarket—Hipermarket—yang
baru dibangun di pusat kota Almaty. Hanya terdiri atas tiga
lantai, tidak terlalu besar, tetapi ada nuansa mewah yang di-
pancarkan oleh lantai pualam mengilap, sinar lampu temaram,
serta barang-barang impor dan mahal yang ditawarkan, mulai
dari sutra, pashmina, hingga jaket bulu hewan asli, mode ter-
om
baru dari Eropa. Saya mesti menarik napas dalam-dalam melihat
t.c
label harga yang selangit. Misalnya, replika kereta api Oriental
po

Express senilai 3.000 dolar Amerika dijual begitu saja di pinggir


gs
lo

jalan.
.b
do

Di food court lantai tiga, saya hanya bisa ngiler melihat menu
in
a-

lezat dari berbagai negara disajikan. Tetapi apa daya, kantong


ak

saya berontak. Jangankan makan di restoran cepat saji, bakmi


st
pu

laghman dingin instan yang dijual di supermarket saja sudah


lebih dari lima dolar. Dua pisang dan satu apel harganya sudah
tiga dolar.
Padahal, Almaty itu kota apel, tetapi mengapa apel di sini
mahal? Nama Almaty berasal dari Alma Ata, yang artinya ”Ba-
pak Apel”. Zaman dulu, apel melimpah ruah. Sebuah apel bisa
sebesar semangka, termasyhur kelezatannya sejak zaman Jalur
Sutra. Sekarang apel lokal malah mahal, yang dijual di Silkway
itu apel impor. Betapa malangnya, di negara kaya ini, untuk beli
buah pun saya tak mampu.

250
”Kazakhstan memang mahal,” kata ekspatriat Kanada keturunan
India yang bekerja di perusahaan minyak, ”di sini ongkos hidup-
nya bahkan lebih mahal daripada di Kanada.”
”Almaty sudah sama mahalnya dengan kota saya di Amerika,”
kata ekspat lain, ”tetapi bedanya di sini, kita membayar harga
kelas dunia untuk barang kualitas dunia ketiga.” Saya menyadari
betul hal ini. Karena sudah tidak tahan lagi dengan seramnya
Kazkontrakt, saya pindah ke hotel lain. Yang paling murah ada-
lah Hotel Zhetisu. Dua tahun lalu harganya masih 20 dolar,
om
sekarang sudah jadi 40 dolar untuk sebuah ranjang kecil di
t.c
po

kamar sempit yang bau, tanpa air pula. Untuk kamar seperti ini
gs

di Thailand paling cuma 4 dolar. Di sini sepuluh kali lipat! Hi-


lo
.b

dup di Almaty tanpa dana sungguh merana.


do
in

Tetapi semahal-mahalnya Almaty sebenarnya sebanding de-


a-
ak

ngan gaji yang mereka dapat. Saya mendengar dari seorang


st
pu

Irlandia yang mengajar bahasa Inggris untuk militer Kazakhstan,


gaji bulanannya lebih dari sepuluh ribu dolar—seratus juta ru-
piah! Andaikan orang di sini berminat belajar bahasa Indonesia,
saya pasti senang hati melamar. Entah kapan bahasa nasional
saya jadi bahasa internasional yang dipelajari bangsa-bangsa.
”Apa? Almaty mahal?” seorang pemuda lokal terkejut men-
dengar keluh kesah saya. ”Kamu mesti ke Atyrau. Di sana jauh
lebih mahal, padahal sama sekali tidak modern.” Namanya
Pasha, eksekutif muda berumur 27 tahun, bekerja di Atyrau,
kota minyak di pantai Laut Kaspia, ribuan kilometer jauhnya,
begitu terpencil. Almaty yang begini saja sudah membuat saya

251
keder, apalagi Atyrau. Membayangkan ke sana pun saya tak be-
rani. Makan apa nanti?
Pasha bercerita, booming minyak Atyrau sekarang menghasil-
kan dua golongan ekstrem. Kaum pendatang—eksekutif Kazakh-
stan dan mancanegara—bergelimang kekayaan. Penduduk se-
tempat—penganggur—tetap miskin, tinggal di rumah kuno
bobrok dan dingin. Kapitalisme menyambut Kazakhstan, jurang
kaya dan miskin melebar. Kecemburuan sosial merebak. Malam
hari jadi angker, perampok mengintai, bersembunyi dalam gelap
pekat.
”Aku kapok,” kata Pasha, ”suatu malam, baru keluar dari
om
disko, aku tahu-tahu dirampok di tengah jalan. Pisau sudah di
t.c
hadapan mataku, dekat sekali. Mau tak mau, aku melepas tele-
po

ponku yang mahal. Daripada mati?”


gs
lo

Fenomena di Atyrau sebenarnya bukan hal unik. Sebaiknya


.b
do

memang jangan keluyuran sendirian pada malam hari di kota-


in
a-

kota Kazakhstan. Di Almaty saya selalu waswas kala melintasi


ak

taman kota. Di sini, kaum selebritis dan eksekutif membuang


st
pu

uang yang seperti tak ada habisnya, sementara gelandangan ber-


tahan hidup di gorong-gorong saluran bawah tanah, menghangat-
kan diri di dekat saluran pemanas yang asapnya merebak dari
lubang selokan.
Keadaan ekonomi saya yang mengenaskan membuat Pasha
iba. Ia ingin mengundang saya tinggal di rumahnya, tetapi dia
tinggal dengan ibunya. Ibu Pasha berdarah Rusia, sudah bercerai
dengan ayahnya yang orang Korea sejak Pasha masih kecil. Pasha
melukiskan ibunya sendiri sebagai perempuan berhati setan,
tiada hari tanpa bertengkar.
Tut... tut... telepon diangkat. Pasha merengek pada ibunya,

252
”Mama, dia ini orang yang sangat menarik. Boleh kan tinggal
di rumah?”
Dari seberang sana terdengar teriakan marah mengomel tan-
pa henti. Keras sekali. Saking kerasnya, Pasha sampai menjauhkan
telepon dari lubang telinganya.
”Tak mungkin,” katanya, ”ibuku hari ini sedang menjadi
monster.”

Inilah pergaulan Pasha. Dua gadis Korea muda, cantik, ber-


om
dandan seksi sudah menunggu dalam mobil mewah. Yang satu
t.c

anak bos besar pemilik pabrik. Satunya lagi pegawai kantoran


po
gs

tingkat tinggi. Mereka membawa kami ke karaoke Korea.


lo
.b

Suasana temaram, lampu berkelap-kelip. Liana menyewa kamar


do
in

pribadi. Tidak usah ditanya harganya, yang jelas bagi saya sudah
a-

kemewahan di luar imajinasi. Melodi mengalir merdu dari bibir


ak
st

mungil Liana.
pu

Tak banyak orang Korea di sini yang bisa berbahasa Korea.


Liana belajar bahasa nenek moyangnya ini di universitas, sedang-
kan Pasha tak bisa satu patah kata pun bahasa Korea. Orang
Korea sudah begitu ter-Rusia-kan. Tanah air mereka sekarang
adalah seluruh penjuru Rusia, mereka tersebar di mana-mana.
Bahasa mereka bahasa Rusia. Agama mereka Kristen Ortodoks
Rusia. Nama mereka pun nama Rusia. Nikahnya juga dengan
orang Rusia. Di Uni Soviet, di mana sang diktator punya kuasa
penuh untuk memindahkan secara paksa penduduknya dari
satu tempat ke tempat lain, banyak sekali bangsa yang kehilangan

253
tanah air, menjadi pendatang di tanah asing, ditolak di sana-
sini, lalu melesap dan meleburkan diri.
Bandingkan dengan orang Uzbek yang punya tanah air
Uzbekistan, berbahasa Uzbek, beragama Islam, hanya menikah
dengan sesama ras atau seagama. Beruntunglah bangsa-bangsa
yang punya tanah air sendiri, teritorial tempatnya mengaitkan
kebangsaannya. Bangsa tanpa tanah air adalah jiwa tanpa ”akar”,
selalu melayang-layang mencari tempat berlabuh. Bagi Pasha,
menjadi orang Korea hanya berarti penampilan fisik yang ber-
beda. Sisanya, ia adalah orang Rusia. Ia bukan, dan tak akan
pernah menjadi Kazakh yang dipandangnya rendah.
om
Saya didaulat menyanyi. Tak disangka di sini ada koleksi lagu
t.c
Indonesia lengkap, mulai dari dangdut sampai keroncong, dari
po

pop sampai rock. Suara sumbang saya disambut tepuk tangan


gs
lo

Pasha dan ciuman pipi dari Liana. Setengah jam berselang, da-
.b
do

tang sekelompok pemuda Kazakh ikut bergabung. Para lelaki


in
a-

Kazakh ini bergaya tak ada bedanya dengan orang Korea macam
ak

Liana dan Pasha—fisik, cara berpakaian, gaya bicara, perilaku.


st
pu

Mereka datang membawa aroma alkohol. Tak perlu lama, Liana


pun tertular mabuk.
Mereka bernyanyi tanpa henti. Lagu disko, romantis, sampai
mars komunis zaman Soviet. Setelah runtuhnya Uni Soviet,
simbol-simbol komunis sekarang menjadi ajang nostalgia dan
lelucon yang memancing gelak tawa. Padahal belum lama lalu,
semua ini masih dikeramatkan. Siapa yang berani menertawakan
palu arit dan para kamerad kalau tak ingin dikirim kerja paksa?
Lagu komunis berderap, mereka menari erotis.
Saya sama sekali tidak terbiasa dengan kehidupan malam,
hanya menonton di pinggir saja. Mereka yang terlena dalam

254
kenikmatan alkohol juga sudah mulai melupakan kehadiran
saya.

Di pasar sayuran Zelyonii Bazaar, alias Kok Bazaar, alias Pasar


Hijau, puluhan orang berkerumun, berdesas-desus. Udara yang
keluar dari mulut mereka menghablur, meninggalkan jejak uap
yang untuk beberapa detik membekas di atmosfer yang dingin.
Beberapa ibu berkalungkan sebidang karton besar berdiri di
tengah kerumunan, seperti tersangka yang memegang nomor
om
urut, atau seperti anak kuliah yang diplonco. Mereka berteriak-
t.c
teriak bak pedagang jalanan. Kakek tua mengepaskan kacamata-
po

nya, membaca pengumuman yang ditempeli berbagai sobekan


gs
lo

kertas tidak keruan. Orang-orang yang lain berdiskusi serius,


.b
do

tawar-menawar.
in
a-

Ini bukan pasar saham, walaupun sibuknya tak kalah. Ini


ak

adalah ”pasar rumah”, tempat mencari akomodasi murah di


st
pu

kota mahal.
Pasha tiba-tiba datang menggeret nenek tua berpostur pen-
dek. Si nenek langsung menyembur, ”Terima kasih, Tuhan...,
terima kasih! Kemarin seharian saya berdoa, ’Tuhan, kirimlah
seseorang yang benar-benar membutuhkan kamar ini.’ Dan hari
ini Tuhan benar-benar mengirim kamu.”
”Berapa?” saya bertanya pada Pasha.
”Seribu Tenge saja,”—delapan dolar—katanya, ”tapi jangan
khawatir. Nenek ini orang jujur, karena dia Kristen taat, dan
katanya pergi ke gereja yang sama denganku. Aku tidak kenal
dia, tetapi aku memercayainya.” Kesamaan agama bagi Pasha

255
adalah pengikat, seperti halnya ketika di bus ia melihat seorang
perempuan Kazakh berjilbab—pemandangan langka di Almaty—
ia langsung menghampiri sambil menuding ke arah saya, ”Orang
itu dari Indonesia, pernah tinggal di Afghanistan. Negara
Muslim juga!” Gadis itu menampakkan raut muka tidak senang,
saya pun jadi serba salah.
Si nenek Rusia langsung menggeret kami berdua ke rumah-
nya. Kami mesti naik bus dulu karena rumahnya di pinggiran
kota Almaty. Bus kota Almaty tampak baru dan mewah, impor
dari Eropa. Ukurannya besar, interiornya bersih, tempat duduk-
nya empuk dan nyaman, lajunya pun lancar sekali. Yang me-
om
ngejutkan, bus ini sebenarnya impor bekas dari Jerman. Bahkan
t.c
di kursinya masih membekas grafiti yang diwariskan oleh orang-
po

orang sana, seperti ”ich liebe dich”, ”du meine”, dan gambar waru-
gs
lo

waruan. Bus melintas barisan rumah, diikuti barisan rumah


.b
do

lainnya, tanpa henti. Rumah berbaris beraturan di pinggir jalan


in
a-

yang cuma lurus saja.


ak

Bus bergerak ke arah utara, berarti kami menuju ke kemis-


st
pu

kinan. Kemakmuran di Almaty berbanding lurus dengan keting-


gian. Semakin ke selatan, ke arah gunung-gunung tinggi di ke-
jauhan sana, semakin kaya dan modern para penghuninya.
Semakin ke utara, rumahnya semakin kuno dan kumuh. Pen-
duduknya lebih miskin. Mungkin pemberontakan dompet saya
akan mereda di sini. Empat puluh menit dari Pasar Hijau,
barisan rumah sudah sangat usang dan kumuh. Saya mengikuti
Lyubova, si nenek Rusia yang namanya berarti ”kekasih” itu,
memasuki kumpulan gedung apartemen kuno, bertebaran tak
keruan. Setelah belok kanan, belok kiri, lewat pekarangan dan
lapangan bola, saya sampai di rumahnya.

256
Apartemen tua berlantai kayu di lantai dua itu kecil, tetapi
nyaman sekali. Rumah Lyubova persis seperti bayangan saya ten-
tang rumah rakyat jelata Rusia yang hidup di zaman komunis
Uni Soviet: kecil, sederhana, penuh ditempeli dengan foto-foto
kuno pembangkit nostalgia di dinding, dan menebarkan aroma
kehangatan keluarga. Lyubova berkali-kali minta maaf karena
rumahnya sederhana. Bagi saya ini sudah sangat mewah. Ran-
jang spring bed yang bersih dan berpegas lentur memang bukan
bandingan kamar penjara Kazkontrakt. Ruang mandi pun pe-
nuh tanaman hias dan air panas mengalir deras. Bak mandinya
khas Rusia, tidak menyatu dengan lantai, tetapi disokong oleh
om
penyangga. Di lantai tak ada lubang air. Semua adegan siram-si-
t.c
raman harus dilakukan di atas bak mandi.
po

”Keluarga kami sangat religius, karena itu kami tidak me-


gs
lo

nonton TV. Jadi maaf di sini kami tidak menyediakan TV,”


.b
do

kata Lyubova. Saya baru tahu ada sekte Kristen yang melarang
in
a-

umatnya menonton TV. Saya sangat puas dengan rumah


ak

Lyubova yang nyaman, Pasha justru sebaliknya. ”Aku tidak per-


st
pu

nah lihat rumah sesederhana dan seburuk ini.”


Untuk standar Almaty, Lyubova tergolong miskin. Dia pe-
nganggur. Dulu Lyubova bekerja sebagai dezhurnaya—pegawai ho-
tel—yang mestinya sekelas dengan Kazkontrakt. Tugasnya mem-
bersihkan kamar dan toilet. Lyubova berumur enam puluhan,
sudah terlalu tua untuk terus bekerja di hotel. Pekerjaan hilang,
tetapi toh perut tetap harus selalu diisi setiap hari, bukan? Tak
ada jalan lain baginya selain setiap pagi mesti berjuang mencari
tamu untuk menginap di satu kamarnya yang kosong. Hanya
dalam keadaan terjepit seperti ini, orang rela menyewakan
rumahnya untuk ditinggali bersama dengan orang asing tak di-

257
kenal, setiap hari berganti-ganti pengunjung. Kalau yang meng-
inap di sini adalah mahasiswa atau pekerja kantoran yang inde-
kos, masih tak mengapa. Tetapi kalau pemabuk atau pelaku
kriminal?
Kalau mujur, dalam sebulan ia bisa mendapat dua ratusan
dolar. Tetapi kan tidak mungkin setiap hari ada orang yang da-
tang menginap. Tak jarang berhari-hari ia harus bertahan hidup
dengan uang yang apa adanya. Delapan dolar di Almaty itu tak
ada nilainya sama sekali. Apalagi Lyubova juga mesti menghidupi
putranya, Gregory, yang walaupun sudah berumur 30 tahun,
masih tergantung pada ibunya. Gregory tidak menikah dan pe-
om
nganggur juga. Hari-hari Gregory dihabiskan di pasar dan ter-
t.c
minal, menawarkan tenaga, tetapi hasilnya mengenaskan. Hi-
po

dupnya penuh kebosanan. Wajahnya keriput, sinar matanya


gs
lo

sayu. Suaranya berat dan lambat, menggambarkan hidupnya


.b
do

yang tertekan. Tubuhnya tinggi dan tampak bahwa dulu ia


in
a-

adalah pemuda kekar. Sekarang lemak mulai menggelambir di


ak

sana-sini. Ah, saya jadi terbayang para penganggur di Tajikistan,


st
pu

hari datar yang membosankan tanpa kerja. Karakter Gregory


dingin, muram, tak bersahabat. Ia tak banyak bicara. Setiap
buka mulut yang muncul hanya satu kalimat. ”Minum teh ini.”
”Duduk di sana.” ”Ini fotoku.” Setelah itu, hening.
Sebaliknya, si Nenek Lyubova sangat cerewet. ”Kamu tahu,
Spasibo, ’terima kasih’, itu seharusnya Spasi Bog, ’terima kasih,
Tuhan’. Kalau ada orang yang mengucapkan spasibo kepada
saya, saya selalu membalas dengan spasi Bog, karena semua di
dunia itu berasal dari Tuhan. Kamu tahu itu?” Lyubova terus-
menerus mengucap ”terima kasih Tuhan”. Si Nenek duduk di
hadapan meja kayu kecil di dekat jendela dapur—merangkap

258
sebagai ruang makan sekaligus kamar tidur Gregory, membolak-
balik Alkitab bahasa Rusia sambil membacakan kisah-kisah ke-
besaran Tuhan. Karena keterbatasan bahasa Rusia, tak banyak
yang bisa saya tangkap dari ceramah religiusnya yang tanpa
henti itu. Saya ingin minta jeda, tapi tak kuasa menyela. Saya
hanya bisa duduk, menjadi pendengar yang baik.
Gregory menuang teh ke cawan, menawarkan roti khlyeb
Rusia yang tebal, keras, dan hambar. Sebenarnya tamu yang
menginap di sini hanya mendapat tempat tidur. Tetapi Lyubova
bermurah hati berbagi makanan dan minuman dengan saya.
Tetangga Lyubova semua tampak dari kelas sosial yang sama.
om
Rumah-rumah usang. Orang-orang Rusia tua berjalan terbung-
t.c
kuk di atas lapisan salju. Wajah-wajah tanpa harapan para pe-
po

nganggur. Inilah potret penghias pinggiran Almaty.


gs
lo

Kemakmuran Almaty bukan fantasi indah di sini. Hanya


.b
do

harga barang-barang yang mahal terasa gaungnya, menjerat erat


in
a-

membebani hidup. Sekarang Gregory hampir sama sekali tak


ak

pernah lagi ke pusat kota, yang cuma sepuluh kilometer jauhnya.


st
pu

Di sini, Almaty dengan segala kemegahannya adalah sebuah du-


nia asing.

Kazakhstan, Boratstan. Ingat Kazakhstan, ingat Borat. Saya lang-


sung terbayang pemukiman kumuh yang terpampang di kam-
pung Borat Sagdiev dalam film komedi Hollywood berjudul
superpanjang, Borat: Cultural Learnings of America for Make
Benefit Glorious Nation of Kazakhstan. Borat adalah figur fiktif
orang Kazakh bodoh yang mengobrak-abrik semua tatanan nor-

259
ma dan nilai di Amerika Serikat. Film ini begitu populernya,
hingga pada tahun 2007 sang aktor, Sacha Baron Cohen, men-
dapat penghargaan Golden Globe sebagai aktor film komedi
terbaik. Kazakhstan pun kena getahnya, langsung terkenal
namanya sebagai kampung Borat yang terbelakang dan tak
beradab.
”Nama saya Borat, saya suka seks,” ujar Borat dalam bahasa
Inggris yang kental aksen Rusia-nya—berat, rendah, dan kasar—
memperkenalkan kampung halamannya yang kumuh, diikuti
puluhan laki-laki dan perempuan warga desa yang tampak udik,
”Ini negaraku—Kazakhstan, di sebelah si idiot Uzbekistan. Ini
kampungku, Kusek.” om
t.c
Satu per satu penduduk ”Kazakhstan” diperkenalkan. Adik
po

perempuannya memamerkan piala kebanggaan untuk peng-


gs
lo

hargaan sebagai salah satu pelacur terbaik tingkat nasional. Istri-


.b
do

nya adalah perempuan gendut yang mengamuk seperti monster.


in
a-

Ada pula mekanik desa yang melakukan aborsi dengan mesin


ak

las. Di dalam rumah kayu Borat tinggallah sapi peliharaannya.


st
pu

Di kampung ini, perempuan lebih rendah nilainya daripada


kuda dan setiap tahun orang Yahudi ditimpuki. Negeri ini
begitu terbelakang, bahkan mobil pun masih ditarik kuda.
Borat mewakili jurnalis Kazakhstan yang bertandang ke
Amerika. Ia bermasturbasi di pinggir jalan ketika melihat cewek
cantik, kejar-kejaran tanpa mengenakan busana di hotel bintang
lima, dan berhubungan seks dengan kaum gay tanpa sengaja.
Film ini begitu sukses menjadi box office di beberapa negara.
Semula orang tak pernah mendengar apa itu Kazakhstan. Dalam
sekejap, popularitas Kazakhstan langsung meroket, kecipratan
popularitas film Borat yang menjadikan negeri ini sebagai bahan

260
guyonan. Turis asing sungguhan datang ke Kazakhstan untuk
melihat negeri Borat. Orang ramai-ramai mencari Kazakhstan
di internet, ingin lihat seperti apa kebodohan di negeri terpencil
Asia Tengah itu.
Tak perlu heran, Kazakhstan dibakar kemarahan gara-gara
Borat, walaupun masih tak banyak yang berkesempatan menon-
ton film ini. Borat menjadi buah bibir hanya bagi yang ber-
pendidikan tinggi dan berbahasa Inggris, tak menarik dibincang-
kan para pedagang sayur di pasar hijau.
”Semua orang asing yang menulis tentang Kazakhstan itu
bullshit!!!” Seorang pemuda Kazakh yang sedang mabuk di dis-
om
kotek kaum gay membentak saya dalam bahasa Inggris. Tangan-
t.c
nya meremas gelas kaca yang kemudian terpelanting ke lantai.
po

Kemarahannya memuncak, semakin meledak bercampur alko-


gs
lo

hol. Penyebabnya hanya karena saya orang asing. Di matanya


.b
do

sekarang, semua orang asing itu sama, sekelas, sejenis, semaksud.


in
a-

Saya adalah bagian dari sasaran kekesalannya. ”Bullshit!!! Orang


ak

asing datang ke Kazakhstan hanya untuk mempermalukan


st
pu

kami. Borat, Borat, Borat! Dasar, orang asing gila!” Saya me-
ngerti perasaannya. Saya membayangkan kalau setting Borat di-
pindah ke Indonesia, mungkin langsung disusul demonstrasi
raksasa dengan acara bakar-bakar bendera.
Borat memang bukan Kazakhstan. Negeri Borat sesungguhnya
yang terpampang di hadapan saya adalah negeri makmur tempat
orang dari berbagai penjuru bumi berdatangan untuk mencari
peruntungan dan menikmati kekayaan yang melimpah.
Kolya, teman Pasha, adalah musikus muda. Wajah Kolya,
bagi saya, sangat eksotis. Sepasang matanya hanya segaris pan-
jang, agak miring ke atas, bila ditarik garis akan membentuk

261
huruf V. Ia mengingatkan saya pada potret Genghis Khan, sang
penakluk dari Mongol yang pernah meluluhlantakkan seluruh
Asia Tengah. Tetapi Genghis Khan versi modern ini berpakaian
modis ala Barat dan berpotongan rambut ala artis Korea.
Kampung halaman Kolya sebenarnya memang tidak jauh
dari negerinya Genghis Khan. Namanya Republik Yakut, di de-
kat Siberia di daerah Timur Jauh Federasi Rusia. Kolya adalah
seorang Chukcha, atau warga etnis Chukchi, bangsa Eskimo di
Asia Timur Laut. Nenek moyang bangsa Chukchi juga bangsa
nomad, hidup dari berburu rusa liar di tanah tundra Timur
Jauh yang sangat tidak bersahabat alamnya. Tradisi spiritual
om
Chukchi adalah shamanisme—perdukunan yang memuja ke-
t.c
kuatan alam. Nenek moyang mereka adalah perambah hutan,
po

pemburu binatang liar, dan pemuja arwah.


gs
lo

Pasha terus berbincang dengan Kolya dalam bahasa Rusia


.b
do

fasih. Di sampingnya, seorang gadis Rusia cantik—pacarnya—


in
a-

yang berambut emas dan berbulu mata lentik. Kolya penuh


ak

mimpi dan cita-cita. Ia antusias berkisah tentang mimpinya


st
pu

menjadi pemusik kelas dunia.


Pasha berbisik kepada saya, ”Tahu tidak? Kolya itu orang
Chukchi. Di sini sebenarnya semua orang memandang rendah
kepadanya. Jarang ada yang mau berteman dengannya. Hanya
karena penampilan fisiknya yang seperti itu.”
Rasisme! Lagi-lagi saya berhadapan dengan garis batas yang
memisahkan umat manusia. Negeri besar yang membentang itu
adalah tempat tinggal ratusan suku bangsa, mulai dari bangsa
Mongol keturunan Genghis Khan sampai orang Slavik yang ber-
kulit putih dan berhidung mancung. Garis batas itu mengotak-
ngotakkan orang menurut bentuk fisik. Ingat apartheid di

262
Afrika Selatan, di mana kulit hitam begitu hina? Ingat Jawa Pri-
bumi dalam buku Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer,
yang dipandang bodoh, rendah, dan terbelakang? Kulit kita ada-
lah nasib kita. Kita tidak memilih dengan kulit apa kita terlahir,
tapi kulit itulah yang menentukan takdir.
Di mata orang Rusia, bangsa-bangsa Asia Tengah dan
Kaukasus sangat terbelakang. Zaman dulu, bangsa Muslim di
kawasan ini, mulai dari Uzbek, Kazakh, Tajik, sampai Azerbaijani,
semua disebut sebagai chernokozhie—si kulit hitam—ejekan yang
setara dengan ”negro”. Orang-orang Kaukasus, mulai dari
Armenia, Chechnya, Azerbaijan, Dagestan, semua dipanggil
om
khatchik, hinaan rasis yang berasal dari nama orang Armenia.
t.c
Nah, lebih terbelakang lagi yang berwajah Mongoloid, berkulit
po

kuning dan bermata sipit segaris, dipanggil chukcha, bentuk


gs
lo

tunggal dari Chukchi. Ini ejekan yang paling hina dari yang
.b
do

hina, terbelakang dan keras kepala, tolok ukur dari ketak-


in
a-

beradaban yang tak terbantahkan.


ak

Kolya berkisah tentang ketololan orang Chukchi. Banyak se-


st
pu

kali. Ini salah satu yang saya ingat. Ada orang Rusia, Swiss,
Jerman, dan seorang Chukcha berdebat tentang klaim kepah-
lawanan Lenin.
Si Rusia: Lenin lahir di Rusia, jadi dia orang Rusia.
Si Swiss: Lenin tinggal lama di Swiss, jadi dia orang Swiss.
Si Jerman: Lenin menyebarkan nilai filosofi Jerman, jadi dia
orang Jerman.
Si Chukcha: Sudah pasti Lenin itu seorang Chukcha, karena
dia pintar seperti kami.
Kisah lainnya, ada dua orang Rusia dan dua orang Chukcha,
sama-sama kecemplung sumur yang tidak begitu dalam. Kedua

263
orang Rusia tidak kehabisan akal, yang satu naik di pundak
yang lain, lalu berhasil keluar. Si orang Rusia lalu mencari tali,
dan menolong temannya, sehingga keduanya kembali melanjut-
kan perjalanan. Lalu bagaimana dengan kedua orang Chukcha
sahabat kita ini? Mereka tetap di dasar sumur, karena begitu
yang satu berusaha memanjat dinding sumur, satunya lagi akan
menyeretnya kembali ke bawah, sembari berkata, ”Jangan!!! Ka-
lau kamu keluar, nanti aku sendirian di lubang ini!”
Ini humor rasis yang tipikal. Ganti ”Rusia” dengan ”Uzbek”,
dan ganti tokoh ”Chukcha” dengan ”Kirgiz”, maka kita dapatkan
humor rasis lainnya yang menggambarkan superioritas Uzbek
om
atas Kirgiz. Ganti dengan Inggris dengan Prancis, atau Iran
t.c
po

dengan Turki, Farsi dengan Azeri, Punjabi dengan Hunzai....


gs

Nama-nama etnis bisa diganti dengan apa pun, dan terciptalah


lo
.b

ratusan serial humor rasis yang mengolok-olok kelompok ma-


do
in

nusia lainnya.
a-
ak

Kolya mengakui bahwa sering orang-orang menjauhi dirinya


st

hanya karena dia Chukcha. Tetapi terserah orang mau bilang


pu

apa, Kolya tak peduli. Stereotipe tentang suku-suku terbelakang


ada di mana-mana, apalagi di Rusia. ”Bukankah negara-negara
Asia Tengah juga dibuat Uni Soviet atas dasar rasisme? Ka-
zakhstan untuk Kazakh. Uzbekistan untuk Uzbek. Rasisme ada-
lah dasar kehidupan,” tangkisnya.
Pada abad ke-14, Mpu Tantular sudah menulis, ”Buddha
dan Shiva (Hindu) memang berbeda, tetapi bagaimana mereka
berbeda? Kebenaran Buddha dan kebenaran Shiva adalah satu.
Mereka memang berbeda, tetapi tetap satu jua, tidak ada ke-
benaran yang mendua.” Itulah kutipan dari Kitab Sutasoma

264
yang kemudian muncul di atas lambang negara kita, menjadi
kebanggaan kita, semboyan kita, Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi
siapa bilang tidak ada rasisme di Indonesia? Stereotipe tentang
suku bangsa sering kali terdengar. Orang Jawa suka pelan-pelan,
orang Madura suka besi bekas. Orang Medan begini, orang
Ambon begitu. Garis-garis batas itu sudah mendera manusia di
alam bawah sadar.
Film Borat memang fantasi, tetapi ada kebenaran yang me-
nohok. Berapa kali Borat di sana digambarkan menyumpahi
Uzbekistan sebagai negara idiot? Bahkan di depan kedutaan
Uzbekistan pun dia berani. Orang Yahudi juga ditimpuki dalam
om
festival yang penuh tawa ceria. Humor rasis memang mengun-
t.c
dang gelak tawa. Saya pun sempat tersenyum mendengar lelucon
po

Chukcha.
gs
lo

Tetapi, rasisme itu kejam. Sekejap saya teringat suami


.b
do

Gulnora di Murghab, Tajikistan, yang menatap sedih terkenang


in
a-

sinisnya orang Rusia terhadap dirinya, hanya karena dia orang


ak

Tajik yang miskin. Saya teringat pelajar Vietnam yang dibunuh


st
pu

di Moskow oleh gerombolan mafia berkepala botak yang anti


kulit berwarna. Saya teringat masa kecil saya yang diteriaki
bocah-bocah di gang kecil, ”Singkek! Singkek!” Sakitnya, hina-
nya pengucilan itu, setara dengan hinaan yang diterima Kolya
yang diteriaki, ”Chukcha! Chukcha!”
Kulit membungkus manusia. Warnanya adalah garis batas,
identitas, label, penentu takdir.

Kali ini bukan karena masalah ras, tetapi karena kantong cekak.

265
Saya direndahkan oleh Nenek Lyubova yang biasanya sederhana
dan ramah.
”Tidak ada diskusi lagi. Pergi! Kamu kumpulkan tas kamu,
barang-barang kamu, cari hotel sendiri,” teriaknya marah, sam-
pai matanya berkaca-kaca, ”Hah? Kamu kira kamu bisa mencari
hotel yang lebih murah dari seribu Tenge. Saya tahu, tidak
bakal ada.”
Kejadian ini terjadi waktu saya baru pulang dari perjalanan
tiga hari di Astana, ibu kota Kazakhstan yang jauh di utara.
Nenek Lyubova menuduh saya tidak mau bayar uang kamar,
padahal sebelum berangkat saya sudah memberinya seribu
om
Tenge. Sekarang, dia minta seribu Tenge lagi karena selama saya
t.c
di Astana tidak ada tamu lain yang datang. Sungguh tidak ma-
po

suk akal. Saya sudah membayar lebih, sekarang masih disuruh


gs
lo

bayar lagi. Dulu saya sempat jatuh hati pada Nenek Lyubova
.b
do

dengan keramahan yang terselip di tengah kecerewetannya. Se-


in
a-

belum berangkat ke Astana, ia meminjamkan baju hangat dan


ak

kaus kaki tebal karena khawatir saya kedinginan. Setiap sore dia
st
pu

membacakan kisah-kisah Alkitab dalam bahasa Rusia. Nenek


juga menyediakan teh hangat setiap saya pulang berjalan-jalan.
Saya bahkan hampir ikut menangis ketika Nenek menangis, ter-
tumpah rasa khawatirnya, gara-gara saya menginap semalaman
di luar dan tak memberi kabar.
Sekarang, hanya karena uang, karakternya berubah drastis.
Kata-kata sinis meluncur deras dari bibir tipisnya.
”Bukan hanya kamu yang butuh duit, tahu? Saya ini sudah
membantu kamu. Tetapi kamu itu siapa? Wartawan miskin?
Huh! Saya tidak pernah lihat ada wartawan macam kamu ini.
Kalau seperti ini terus-terusan, kami nanti makan apa? Anak-

266
cucuku mau makan apa? Kamu itu punya uang! Kamu pergi
saja ke Uzbekistan dan minta uang dari kedutaanmu!” Sumpah
serapah pun keluar dari mulutnya.
Seribu Tenge membuat perilaku Nenek Lyubova berubah
drastis. Saya memutuskan untuk mengikhlaskan sebagian uang
saya yang sudah sangat sedikit.
Satu menit setelah menerima lembaran uang, amarahnya
langsung reda.

om
Dulu saya kira dengan warna kulit seperti ini, saya bisa aman
t.c
saja di Kazakhstan. Waktu di Kirgizstan dulu, orang Kirgiz se-
po

ring mengira saya seperti orang Kazakh. Hidung boleh sama


gs
lo

pesek, mata boleh sama sipit, tetapi hanya dengan melihat gaya
.b
do

berjalan saya, pakaian saya, gaya bicara, saya masihlah orang


in
a-

asing di sini.
ak

Ketika saya melintasi taman rindang di seberang gedung


st
pu

parlemen, dua pemuda Kazakh di bawah monumen perang


menghentikan langkah saya. Mereka bilang mau pinjam ponsel.
Saya tak menghiraukan, saya memang tak pakai ponsel. Mereka
mengajak mengobrol dalam bahasa Inggris yang tidak keruan.
Saya meneruskan berjalan.
”Stop! Stop!” teriak salah seorang dari mereka dengan kasar.
Saya tak menggubris.
Satu jam berselang, saya duduk di warnet. Ketika sedang
asyik-asyiknya berselancar di dunia maya, tiba-tiba ada lipatan
kertas yang terlempar di hadapan saya.
Seorang pemuda melenggang ke komputer tak jauh dari tem-

267
pat saya duduk. ”READ!!!” ia berteriak kasar. Datang pemuda
lain duduk di sampingnya, berbagi komputer. Surat tertulis di
atas kertas kotak-kotak. Tulisannya pun tidak kalah jelek di-
bandingkan dengan anak SD kelas satu:

Read
thiz!
If You WaNNA LIve”

Saya membuka lipatan kertas. Isi surat:

” Give us (8 thouthans (8000) tenGe ) om


t.c
& you stay alive,
po

I pRoMIZZZ.
gs
lo

WhAt You thiNk?


.b
do

My NAME IZ GREGG.
in
a-
ak

Dua kalimat terakhir membuat saya bingung, ini surat an-


st
pu

caman atau surat perkenalan?


Baru saya sadar, kedua anak muda ini adalah pemuda kasar
yang memaksa pinjam telepon genggam saya di taman tadi. Ba-
hasa Inggris mereka amburadul. Mereka bahkan masih belum
bisa membedakan huruf kecil dan huruf besar, kalau di Indo-
nesia mungkin bisa masuk ke perkumpulan pemakai bahasa
alay27. Tetapi teknik kuntit-menguntit dan mata-mematai me-

27
Gejala pemakaian bahasa di kalangan generasi muda Indonesia yang mencampur-
adukkan huruf besar, huruf kecil, dan angka, serta melanggar berbagai kaidah
bahasa lainnya.

268
nunjukkan mereka berbakat menjadi anggota KGB. Saya hanya
diberi dua pilihan: hidup atau mati.
Saya bergegas meninggalkan warnet. Waktu membayar, saya
berpikir untuk memberi kode minta tolong kepada gadis pen-
jaga. Tetapi, apa daya? Bicara bahasa Inggris tak mungkin, si
gadis tak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Rusia? Bukan kode
namanya, karena kedua pemuda jahat itu pasti bisa mengerti
artinya. Memicing-micingkan mata? Nanti malah disangka
naksir. Saya akhirnya mengambil keputusan untuk berjuang
sendiri, melepaskan diri dari kuntitan mereka.
Seorang dari mereka mengikuti saya lekat-lekat. Kali ini
om
terang-terangan. Jalan raya ramai, tetapi hati saya tak tenang.
t.c
po

Pemuda itu, entah yang bernama Greg atau bukan, terus me-
gs

nguntit saya sembari berbicara dengan telepon genggamnya.


lo
.b

Pinjam telepon di taman tadi adalah taktik merampok. Saya


do
in

menoleh ke belakang. Si pemuda Kazakh itu, enam meter jauh-


a-
ak

nya, menyeringai seram. ”PERGI! PERGI!” saya berteriak dalam


st

bahasa Rusia. Si pemuda malah tersenyum penuh kemenangan,


pu

tanpa menghiraukan saya yang semakin risau.


Tiba-tiba saya dapat ide.
Klik... klik... Saya mengeluarkan kamera dan mengarahkan
ke wajahnya. Terkejut, si pemuda langsung membalikkan badan
dan menutup wajahnya dengan topi.
Kedudukan berbalik: giliran saya yang mengejarnya. Ia ber-
lari menjauh, ketakutan. Tepat ketika ia berbelok, saya segera
balik badan, lari sekencang-kencangnya sambil berteriak ke-
setanan. Entah berapa orang yang menghujani saya dengan
sumpah serapah karena tak sengaja tertabrak. Entah berapa

269
sopir mengumpat karena saya menyeberang sembarangan. Saya
tak peduli. Saya hanya terus berlari, tanpa menengok lagi.
Sebuah bus berhenti di halte. Saya langsung meloncat, tanpa
menghiraukan bus ini dari mana hendak ke mana. Tapi tetap
saja tak ada rasa aman di sini. Seketika, semua penumpang bus
terasa seakan menjelma menjadi mata-mata yang terus mengintai.
Apakah nenek tua bungkuk yang siap-siap turun ini juga teman-
nya Greg? Apakah pria yang duduk sambil membaca koran itu
juga musuh jahat yang siap merampok? Atau anak kecil yang
baru naik, mungkin juga informan Greg? Jantung saya berdebar
kencang. Takut sekali.
om
Saya turun entah di mana. Bus ini sudah mencapai tujuan
t.c
terakhirnya, dan tinggal saya seorang penumpang yang masih
po

bertahan.
gs
lo

Detak jantung saya mulai tenang. Petualangan macam apa


.b
do

lagi ini?
in
a-

Hari ini mungkin memang bukan hari mujur kedua bocah


ak

kriminal kecil itu. Di kantong saya hanya ada dua ribu Tenge.
st
pu

Menurut standar Almaty, saya tidak lebih kaya daripada gelan-


dangan sekalipun.
Ah, andaikan Borat ada di sini, saya akan bisa lebih mahir
menertawakan kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, rasis-
me. Sayangnya, Almaty bukanlah dunia komedi Borat.

270
KAYA MENDADAK

MIMPI kaya mendadak mungkin adalah impian yang paling


umum di antara umat manusia. Orang yang kelaparan memimpi-
kan makanan. Orang miskin memimpikan gepokan uang. Bah-
kan orang yang sudah kaya raya, dengan rumah tinggal yang
mewah, masih bermimpi membeli pulau dan langit. Buku pan-
om
t.c
duan macam ”Kaya Mendadak Dalam 30 Hari” atau ”Mungkin-
po

kah Kita Jadi Miliarder?” atau ”Tips Jadi Kaya” atau ”Siapa Bi-
gs
lo

lang Anda Tidak Bisa Jadi Kaya?” selalu mengundang penasaran


.b
do

dari jutaan mereka yang terus memimpikan hujan duit di siang


in

hari bolong.
a-
ak

Menjadi makmur adalah impian negeri-negeri dunia, apalagi


st
pu

barisan negara baru merdeka, baru mereguk kebebasan. Ada


yang sudah 60 tahun merdeka, masih berjuang dari keterpurukan
dan kemiskinan. Ada yang baru 15 tahun merdeka, tapi sudah
bangkit dari kebobrokan, dan kini memproyeksikan diri ke ja-
jaran negara maju dunia. Itulah Kazakhstan.
Dengan produksi minyak yang sampai ratusan ribu barel per
hari, pendapatan per kapita Kazakhstan melonjak dari 100
dolar menjadi 6.000 dolar hanya dalam hitungan belasan tahun,
sementara Tajikistan masih merangkak di kisaran 500 dolar.
Dua ladang minyak Kazakhstan termasuk yang terbesar di muka
bumi. Belum lagi cadangan alamnya di sekitar Laut Kaspia. Per-

271
tumbuhan ekonomi melejit sampai 9 persen per tahun, investasi
mengalir deras, kemakmuran membumbung. Sama-sama bekas
bagian adikuasa Uni Soviet, sama-sama merdeka berbarengan,
Kazakhstan terus memodernisasi diri, sementara Tajikistan
masih harus tabah di barisan negara termiskin dunia.
Padahal waktu baru merdeka dulu Kazakhstan juga miskin,
rakyatnya kelaparan, ekonominya amburadul. Kini lihatlah wa-
jahnya.... Mimpi apa lagi yang tak mampu diwujudkan negara
baru ini?
Kota modern di tengah padang! Ini pun sudah jadi kenyataan.
ibu kota dipindah dari kosmopolitan Almaty ke tengah padang
om
kosong yang terpencil jauh dari mana-mana. Kota baru dibangun,
t.c
po

nyaris dari nol. Bagi negara kaya, lebih mudah untuk mem-
gs

bangun kota baru daripada mewujudkan ide-ide besar dari kota


lo
.b

lama.
do
in

Bayangkan Jakarta yang bermula dari kumpulan kampung


a-
ak

Sunda Kelapa, merembet, mengular, dan kini menjadi metro-


st

politan yang ruwet dan campur aduk. Melebarkan jalan, susah.


pu

Membangun jaringan metro, susah. Monorel, susah. Ini, susah.


Itu, susah. Macet, polusi, banjir, urbanisasi, semua komplet. Ke-
nyamanan hidup cuma fantasi di dunia fantasi.
Tetapi, Almaty bukanlah Jakarta. Tata kota Almaty yang di-
rancang orang Rusia sudah terbilang cermat. Semua jalannya
lurus-lurus, melintang sejajar dari utara ke selatan, dari barat ke
timur. Bangunan megah menjulang, menemani gedung-gedung
ala Rusia. Masih kurang apa lagi?
Memindahkan ibu kota dari Almaty ke padang penggembalaan
kosong Astana, seribu kilometer jauhnya di utara, seperti me-

272
mindahkan Jakarta ke tengah rimba di pedalaman Kalimantan.
Solusi? Fantasi? Atau kegilaan?

Di luar sana, padang membentang tanpa batas, bergabung de-


ngan garis cakrawala di kejauhan. Sejauh mata memandang,
yang tampak hanya kekosongan datar. Halus, lembut, bahkan
tanpa jejak kaki makhluk hidup apa pun. Kemonotonan yang
begitu sempurna, terbentang jutaan kilometer ke seluruh pen-
juru.
om
Kereta melaju perlahan. Dalam kompartemen ini ada dua
t.c
pria Cina dan seorang perempuan Kazakh. Tadinya saya kira
po

para lelaki berperut besar itu orang Dungan, tetapi ternyata me-
gs
lo

reka adalah orang Cina Mongol, yang satu masih setia menjadi
.b
do

warga negara Republik Rakyat Cina, satunya lagi sudah beralih


in
a-

menjadi warga Kazakhstan.


ak

”Sekarang bikin paspor Kazakhstan gampang,” kata Ye


st
pu

Shunde, salah satu lelaki itu, ”cukup kawin dengan orang Ka-
zakh saja kamu sudah bisa mendapat kewarganegaraan.”
Punya paspor Kazakhstan memang nyaman, setidaknya bisa
keluyuran ke negara-negara eks-Soviet tanpa visa. Apalagi seka-
rang ekonomi Rusia lagi booming. Di negara tetangga raksasa itu,
banyak kesempatan untuk mengeruk rezeki. Ye masih memegang
paspor Cina, tidak tertarik pindah kewarganegaraan karena
sudah telanjur punya keluarga di Tiongkok sana. Tetapi, alamak,
paspor Cina itu seperti penjara—ke semua negara perlu visa dan
tak gampang. Ye hari ini berencana ke Omsk, di Rusia sana,
dekat perbatasan Kazakhstan. Ia tak punya visa Rusia. Tekadnya

273
sudah bulat: menyelundup. Setelah malang melintang di Asia
Tengah dan kenyang oleh birokrasi yang mendera seperti setan,
saya baru sadar di tengah formalitas ruwet gaya Soviet dan per-
batasan yang tak bersahabat, selalu ada ”jalan belakang”. Asal
ada koneksi dan duit, paspor apa pun bukan masalah.
Tetapi kalau memang ingin paspor Kazakhstan, ada caranya.
Seperi Ye bilang, Kazakhstan sekarang lagi butuh orang. Ini ne-
gara besar, tetapi kekurangan penduduk. Kalau Anda punya da-
rah Kazakh, Anda dengan gampang bisa jadi warga Kazakhstan.
Presiden Nazarbayev memanggil semua orang Kazakh untuk
”pulang”, membangun negeri baru mereka.
om
Dalam sekejap ratusan ribu etnis Kazakh dari Cina, Uzbekis-
t.c
tan, dan Mongolia, membanjiri Kazakhstan. Aliran bangsa yang
po

”pulang kampung” itu mengingatkan pada banyak anggota ke-


gs
lo

luarga saya yang berbondong-bondong meninggalkan Indonesia,


.b
do

kembali ke ”kampung halaman” di Tiongkok, tergiur oleh ide


in
a-

komunisme, surga sosialisme, kesetaraan, pesona Mao Zedong,


ak

pendidikan tinggi, nasionalisme. Pada saat ini, orang lebih realis-


st
pu

tis. Pindah kewarganegaraan biasanya karena alasan ekonomi,


walaupun ada juga yang demi kebebasan atau pasangan hidup.
Tetapi sekarang, tampaknya pemerintah Kazakhstan juga su-
dah mulai kewalahan. Banyak para pendatang itu—disebut
oralman—tidak punya kemampuan apa-apa. Jumlah penduduk
yang banyak pun percuma, malah menjadi beban di kota-kota
mereka yang sudah padat dan mahal. Apakah kesamaan darah,
kesamaan ras, kesamaan bangsa, lebih berarti daripada kesejah-
teraan? Antara pendatang Kazakh dari luar negeri dan orang
Kazakh asli Kazakhstan pun selalu ada jurang pemisah, garis
batas yang berwujud pandangan miring dan pembedaan. Jurang

274
yang sama saya rasakan sebagai etnis Cina yang ”kembali” ke
kampung halaman di Tiongkok. Integrasi total, asimilasi total,
persatuan manusia sedarah, adalah konsep teoritis.
Setidaknya, sekarang pelan-pelan orang Kazakh sudah men-
jadi mayoritas di negeri sendiri. Waktu sebelum merdeka dulu,
jumlah orang Kazakh bahkan tak sampai separuh dari jumlah
total penduduk Kazakhstan.
”Kamu mau paspor Kazakhstan? Kawin saja dengan perem-
puan ini,” katanya, menunjuk perempuan gemuk Kazakh empat
puluh tahunan yang duduk di kompartemen kami. Yang sedang
dibicarakan rupanya mengerti percakapan bahasa Mandarin
om
kami, hanya tertawa tergelak-gelak. ”Aku sudah punya anak
t.c
lho,” kata wanita itu, ”dan anakku sebesar kamu.”
po

Sepertinya, saya masih lebih cinta paspor Garuda. Apalagi


gs
lo

kalau harus menikah dengan orang sembarangan hanya demi


.b
do

paspor, itu seperti menggadaikan hidup hanya untuk pindah


in
a-

dari ”kotak” satu ke ”kotak” lain, atau seperti melakukan am-


ak

putasi hanya demi ganti baju.


st
pu

Seperti apa ibu kota baru Kazakhstan? Silakan tarik napas


dalam-dalam. Koran di Kazakhstan baru-baru ini gencar me-
laporkan program futuristik lain yang akan dibangun di kota
modern ini. Di Astana akan dibangun kota indoor pertama di
dunia.
Kota dalam ruangan? Dalam konsep bangsa gembala, secuil
metropolis Astana akan dipayungi tenda transparan raksasa, se-
tinggi 150 meter, menangkupi wilayah seluas 100 ribu meter

275
persegi. Proyek arsitektural fantastik ini dinamai Khan Shatyry,
atau Tenda Besar Raja Agung, dilengkapi dengan sistem penga-
turan suhu modern yang menjaga agar temperatur di bawahnya
selalu nyaman untuk ditinggali. Di dalamnya akan ada taman,
toko, kafe, kolam renang, lapangan golf, bahkan pantai berpasir.
Sungguh impian bangsa gembala yang memasuki abad milenium.
Hebatnya lagi, kemewahan ini dibangun di Astana, ibu kota
terdingin kedua di dunia setelah Ulaanbaatar di Mongolia. Di
musim dingin suhu bisa anjlok sampai minus 40. Ketika orang-
orang di belahan lain negeri menggigil kedinginan diterjang ba-
dai salju, penduduk Astana nanti masih bisa bermain tenis dan
berjemur di bawah tenda transparan. om
t.c
Itulah yang membuat saya begitu ingin ke Astana. Saya tahu,
po

setelah Almaty yang begitu menyiksa lahir-batin, di Astana nanti


gs
lo

saya akan lebih merana. Kawan-kawan sudah mengingatkan,


.b
do

harga-harga di Astana jauh lebih mahal. Tetapi, bagaimana


in
a-

mungkin magnet daya tarik kota baru dan modern di tengah


ak

padang kosong bisa saya lewatkan?


st
pu

Embusan napas pertama saya di luar stasiun kereta api


Astana disambut rasa dingin yang menembus sampai ke sumsum
tulang. Ini dalam arti harfiah. Setiap embusan napas menimbul-
kan jejak di udara. Menarik napas pun terasa sakit, karena bulu-
bulu hidung dan segala isi hidung lainnya sudah membeku.
Bibir mengelupas, tangan selalu bergetar. Ini bukan waktu ber-
kunjung yang baik ke kota ini. Pada pertengahan Desember,
Astana sudah mendekati puncak musim dingin. Tentu saja, saya
tidak berharap bisa berlindung di kemah tembus pandang itu,
karena berita rencananya saja baru muncul kemarin. Kalau su-
dah dibangun pun, pasti dompet saya tak kuat bayar.

276
Di tengah malam yang gelap total saya menyusuri pusat kota.
Walau gembar-gembor kota modern yang dibangun oleh ter-
jangan uang Kazakhstan, Astana di mata saya tampak sebagai
kota kecil yang muram. Mungkin karena kabut yang menghalangi
pandangan atau udara dingin yang menyumbat pikiran. Yang
ada hanya barisan gedung kotak-kotak, orang-orang berjaket
bulu yang hampir semuanya berwarna hitam, dan bahasa Rusia
yang mengisi udara. Telepon umum pun banyak yang rusak.
Rasa takut juga menemani setiap langkah kaki saya. Ingat, ini
Kazakhstan. Setiap malam gelap di kota besar, bahaya siap
mengintai.
om
Namun keesokan paginya, saya dibuat ternganga. Langit ke-
t.c
labu membungkus bumi. Masih muram yang sama, tapi lebih
po

berwarna. Tampaklah gedung-gedung berbungkus kaca warna-


gs
lo

warni. Tampaklah barisan mesin derek sibuk mengangkut bilah-


.b
do

bilah beton. Tampaklah patung-patung, air mancur, bangunan


in
a-

tinggi berduyun-duyun. Kota ini benar-benar seperti dibangun


ak

hanya dalam semalam.


st
pu

Tetapi, pemandangan ini langsung berubah cuma dalam be-


berapa langkah kaki saja. Dari jalan utama memang tampak
barisan gedung mulus dengan cat berwarna-warni. Begitu me-
langkah ke dalam gang, tersembunyi tembok tua yang menge-
lupas, tak berbalut cat, terbengkalai. Dari gedung yang sama!
Gundukan sampah berserakan. Pagar berkarat. Inilah jasad
Akmola, kota kecil terpencil yang kini menjelma menjadi metro-
polis Astana.
Mengapa ibu kota harus dipindah ke sini? Presiden berkata,
ini adalah tempat paling bagus. Almaty berada jauh di selatan,
di garis batas Kirgizstan, dan hanya beberapa jengkal dari Cina.

277
Almaty pun rawan gempa. Sedangkan, bagi negara sekaya ini,
lebih mudah membangun kota modern dari nol: jalan-jalan
baru, gedung-gedung baru, bandara baru, semua baru.
Secara geografis, Astana lebih ke utara. Tepat di jantung
Kazakhstan, kalau mengutip kata-kata Presiden. Di Kazakhstan,
ras pun berpendar seperti spektrum. Daerah selatan didominasi
oleh orang-orang Asia, seperti Muslim Kazakh dan Uzbek. Se-
makin ke utara, komposisi Kazakh menurun, berganti dengan
bangsa berkulit putih seperti Rusia, Ukraina, dan Jerman. Di
ujung utara sana, orang Kazakh malah menjadi minoritas di
negaranya sendiri.
om
Stan-stan, kelima negeri Stan masing-masing untuk satu
t.c
bangsa. Uzbekistan terkenal gencar meng-Uzbek-kan negaranya.
po

Turkmenistan memperkenalkan ide-ide ”ke-Turkmen-an”. Ke-


gs
lo

tika ada ancang-ancang Kazakhstan pun akan melakukan hal


.b
do

yang sama, orang Rusia di utara berbondong-bondong mening-


in
a-

galkan negeri, atau minta bergabung dengan induk semang Fe-


ak

derasi Rusia. Kazakhstan bisa pecah. Dan, hop! Tahu-tahu ibu


st
pu

kota Kazakhstan langsung pindah ke sini. Presiden Nazarbayev


melakukan manuver hanya enam tahun setelah kemerdekaan.
Kini, ”jantung” Kazakhstan ini semakin dekat dengan bangsa
kulit putih.
Negara ini sebenarnya sudah bolak-balik pindah ibu kota,
mungkin bawaan dari karakter bangsa nomad yang berpindah
di padang luas. Ketika pertama kali dilahirkan oleh Uni Soviet,
ibu kota Kazakhstan terletak di Orenburg (sekarang wilayah
Rusia), lalu dipindahkan ke Kyzyl Orda, lalu pindah lagi ke
Almaty, dan sekarang ke Akmola. Tiga kali perpindahan yang
terjadi dalam waktu kurang dari 100 tahun! Akmola, dalam ba-

278
hasa Kazakh berarti ”batu nisan putih”, sungguh nama yang
tidak pantas untuk ibu kota negara besar masa depan. Karena
itu namanya diganti, Astana. Keren. Padahal artinya sangat se-
derhana: ibu kota. Pusat baru Kazakhstan itu hanya dinamai
”Ibu Kota”.
Dari Astana ini, Kazakhstan memandang masa depannya se-
bagai negeri modern dan makmur.

Bulan Desember, saya meratapi dingin. Kehidupan di sini pun


om
begitu asing dan dingin, seperti suhu udaranya. Orang kulit
t.c
putih berjalan terburu-buru. Tak banyak yang menggubris orang
po

asing yang kebingungan. Tidak seperti Tajikistan di mana orang


gs
lo

tak dikenal di jalan mengundang saya menginap, di sini bahkan


.b
do

untuk untuk bertegur sapa pun orang tak punya hasrat. Apakah
in
a-

modernitas, kemajuan ekonomi, kemakmuran, memang berban-


ak

ding terbalik dengan keeratan hubungan antarmanusia? Apakah


st
pu

kekayaan dan kenyamanan hidup malah menjadi sekat kita de-


ngan manusia lain?
Setidaknya, tidak semua orang ikut bermimpi di ibu kota
baru ini. Gulnara, perempuan Kazakh dengan postur kurus,
berumur 30 tahun, bekerja pada ”tempat peristirahatan” murah
bagi para penumpang kereta api di stasiun kereta api Astana.
Gajinya hanya 150 dolar per bulan, sama sekali bukan apa-apa
di sini. Gulnara bercerita bagaimana suaminya yang pekerja ka-
sar harus membanting tulang siang-malam hanya untuk meng-
hadirkan teh dan roti di atas meja rumah mereka. Sementara
di tepian jurang kelas, kaum eksekutif terus berdatangan ke

279
Astana membentuk golongan noveau riche yang berlimpah ke-
mewahan.
Di penginapan ini, harga satu tempat tidur di sebuah kamar
berisi enam ranjang, untuk sewa 24 jam, adalah 1.500 Tenge,
sekitar 12 dolar, sementara sewa kamar hotel di Astana paling
murah adalah 80 dolar. Meskipun yang menginap di stasiun
adalah orang-orang ”tanpa gengsi”—karena ini adalah pilihan
akomodasi termurah—tempat ini cukup resik.
Tetapi buat saya ini sudah mahal sekali. Saya berusaha me-
rayu Gulnara supaya boleh menginap di lobi. Gulnara mengerti
rasanya hidup jadi orang miskin. Ia jatuh iba, mengizinkan saya
om
duduk di sofa. Tengah malam, sofa yang saya tiduri itu ternyata
t.c
po

harus berubah fungsi sebagai kasurnya Gulnara. Saya diusir se-


gs

cara halus.
lo
.b

Dengan langkah gontai saya menuju ke stasiun kereta api.


do
in

Tengah malam begini masih lumayan banyak juga calon penum-


a-
ak

pang yang menunggu datangnya kereta. Astana sekarang menjadi


st

jalur perlintasan penting antara kota-kota dan negara-negara


pu

Asia Tengah dengan Rusia. Stasiun masih sibuk. Papan peng-


umuman digital tak hentinya menampilkan jam keberangkatan
kereta menuju Almaty, Moskow, Saint Petersburg, Novosibirsk,
Kiev, dan Tashkent.
Saya duduk di sudut ruang tunggu. Nyaman. Sistem pemanas
bekerja sempurna. Dengan tas punggung yang saya peluk erat,
saya berpura-pura sebagai calon penumpang yang menunggu ke-
reta. Tetapi tak pernah terlelap, karena setiap kali hampir me-
masuki alam mimpi, saya sudah disepaki polisi yang berteriak
kejam, ”Bangun! Bangun! Ini bukan tempat tidur!”

280
”Saya menunggu kereta menuju Moskow,” jawab saya lemah,
penuh kebohongan.
Polisi pergi. Saya mencoba tidur lagi.
Dua puluh menit, entah polisi yang mana lagi, datang, me-
nendang-nendang dan memukuli bangku. Memang tak mungkin
untuk tidur, tetapi saya harus melewatkan malam di sini.
Sebenarnya saya tak sendiri. Banyak juga orang seperti saya,
yang hanya mampu menjadi penonton kemegahan Astana, te-
tapi harus tersisih sebagai kaum tak berpunya di rimba kemak-
muran ini. Inilah rasanya jadi tunawisma, ternyata beginilah
deritanya orang yang tak punya zona nyaman.
om
Di tengah perjuangan berat ini, saya semakin menyadari se-
t.c
buah ungkapan filsafat Tiongkok: seni sebuah perjalanan adalah
po

manakala kita melupakan siapa diri kita. Di sini, saya memang


gs
lo

bukan siapa-siapa. Identitas dan kebanggaan yang senantiasa


.b
do

melekat di tubuh tanggal satu per satu. Setelah semua jati diri
in
a-

dan ego itu ditelanjangi habis-habisan, sekarang saya tak lebih


ak

dari gelandangan yang harus main kucing-kucingan dengan po-


st
pu

lisi hanya untuk melewatkan malam. Tak ada identitas lain yang
lebih penting, selain berjuang untuk terus bertahan.

Terpencil. Kita sering menggunakan Timbuktu28 untuk melam-


bangkan suatu tempat middle of nowhere di ujung dunia. Bagi

28
Timbuktu yang asli, letaknya di pedalaman Mali di ujung selatan Sahara luas,
di tepian Sungai Niger di Afrika Barat, sempat menjadi pusat peradaban Islam
di abad pertengahan, sekaligus kota perdagangan emas, garam, dan budak di
Afrika.

281
orang Barat, kota kuno dengan peradaban tinggi, yang kemudian
meredup dan seperti hilang ditelan bumi, menjadi kiasan penuh
romantisme untuk tanah eksotis dan terpencil di ”ujung dunia”.
Lain pula dengan orang Tiongkok. Bagi mereka, tempat terjauh
di muka bumi adalah Jawa. Begitu jauh, di tengah samudra
luas, tak tergapai, eksotis, sehingga orangtua memperingatkan
anaknya dengan berkata, ”Awas, jangan nakal! Atau kulempar
kau sampai ke negeri Jawa!”
Bagi orang Soviet, Karaganda punya karakter yang mungkin
lebih pas daripada Timbuktu atau Jawa untuk melukiskan
”ujung dunia” di tengah kekosongan yang sempurna. Karaganda
om
terletak di jantung padang stepa luas Kazakhstan—negara yang
t.c
juga didominasi oleh kekosongan. Kazakhstan adalah tempat
po

sampah raksasa yang sempurna untuk membuang orang. Mereka


gs
lo

yang terbuang ke sini umumnya tak akan kembali lagi. Terbuang,


.b
do

terlupakan, lenyap ditelan hampa. Kita tak pernah dengar ada


in
a-

kriminal yang dibuang ke Los Angeles, Paris, atau Bangkok.


ak

Tempat buangan, biasanya adalah tempat yang terlupakan. Di


st
pu

sana, lama-lama jati diri dan kepribadian akan meluruh dalam


sunyi, dingin, kesepian di tanah asing. Di Indonesia, banyak
pulau-pulau kecil yang bisa jadi tempat buangan. Rusia punya
banyak nominasi: tundra, gunung, hamparan salju Siberia, juga
padang rumput Kazakhstan.
Sang diktator Stalin menentukan nasib jutaan warganya. Tak
perlu bikin dosa besar, orang bisa tahu-tahu dikirim ke gulag—
kamp kerja paksa. Tak jarang, hanya salah ucap satu kata, orang
harus bertahun-tahun dibuang di tengah padang, menjalani hu-
kuman seperti neraka di muka bumi. Di Karaganda ini, ribuan
orang buangan membangun kota pertambangan. Batu bara dan

282
mineral bertebaran di sekitar kota ini. Sekarang, Karaganda ma-
sih terkenal di Kazakhstan. Seorang kawan mengingatkan su-
paya saya berhati-hati, karena kota ini punya angka pengidap
HIV tertinggi di seluruh negeri.
Masa lalu itu masih tidak begitu lama berlalu. Selain orang-
orang yang tidak diharapkan, Soviet juga gemar ”membuang”
sampah radioaktif dan meledakkan ratusan bom dan percobaan
nuklir di tengah padang Kazakhstan. Di atas peta, padang Ka-
zakhstan memang kosong melompong. Tetapi di sana tetap hi-
dup manusia yang terlupakan di tengah keterpencilan. Belum
lagi berbagai macam pabrik dan pertambangan yang mengotori
om
padang luas dengan zat beracun. Segala macam penyakit aneh
t.c
bermunculan: kanker, kebutaan, penyakit jantung, leukemia,
po

cacat genetis.... Kemerdekaan, bagi negeri ini, adalah hak untuk


gs
lo

menentukan nasib sendiri: melarang wilayah Kazakhstan dijadi-


.b
do

kan lahan segala jenis uji coba.


in
a-

Langit Karaganda kelabu. Sungguh muram musim dingin di


ak

kota yang hanya 200 kilometer di selatan Astana dan pernah


st
pu

bersaing sebagai kandidat ibu kota baru Kazakhstan ini. Saya


hanya menerawang kelamnya pengalaman di Kazakhstan yang
dingin dan tak bersahabat. Sekarang, Karaganda memang bu-
kan lagi ujung dunia. Industri pertambangannya semakin sibuk.
Letaknya yang dekat dengan ibu kota pun memajukan ekonomi.
Gedung-gedung tua berarsitektur balok-balok gaya Rusia berdiri
di sepanjang jalan. Teater terlihat megah, dihiasi patung-patung
musikus Rusia yang berbaris rapi di atapnya. Pengaruh Soviet,
yang melahirkan Karaganda, tidak pernah luntur di sini. Slogan-
slogan kemakmuran kaum proletariat menghiasi dinding ge-
dung-gedung. Bahkan patung Lenin pun masih berdiri gagah,

283
memandangi apartemen-apartemen padat yang berbaris muram.
Saya seperti berada di Rusia.
Tiba-tiba, sinar matahari tersembul, menyeruak dari gulungan
awan. Orang-orang mulai turun ke jalan, menikmati pancaran
secercah kehangatan di akhir pekan. Tetapi yang tampak adalah
wajah serius barisan manusia tanpa sekilas senyum pun, seolah
senyum sudah mahal sekali harganya. Di sini tak banyak pem-
bicaraan. Tak ada salam panjang bertele-tele seperti halnya di
Tajikistan dan Kirgizstan yang menanyakan kabar, kesehatan,
hewan ternak yang beranak-pinak, musim yang merambah....
Keseriusan menimbulkan rasa aneh dalam hati ketika saya ber-
om
jalan di atas trotoar berbalut salju. Tawa riang anak-anak tak
t.c
terdengar, hanya ada derap sepatu yang melangkah cepat-cepat
po

dan deru mobil yang lalu lalang di jalan licin.


gs
lo

Keseriusan pun terbawa hingga ke meja makan. Saya me-


.b
do

mesan seporsi salad di kios kecil pinggir jalan. Gadis pelayan


in
a-

Rusia yang ayu ini benar-benar teliti dalam menyiapkan ma-


ak

kanan. Pertama-tama, dia menimbang dulu piring kosong. Ang-


st
pu

ka di timbangan di set ke nol. Kemudian dia mengambil bubur


kentang. Ditimbang, 95 gram. Masih kurang, ditambahkannya
lagi sejumput bubur ke dalam piring. Ditimbang lagi. Ooops,
102 gram. Kelebihan dua gram. Dikurangi lagi pelan-pelan.
Nah, sekarang pas, seratus gram, tak kurang tak lebih.
Habis kentang, giliran saus. Ditambahkan sendok per sen-
dok, bibirnya terus menghitung berapa sendok saus yang harus
dituang. Berapa iris kubis dan berapa iris tomat, berapa lebarnya,
berapa tebalnya, semuanya ada aturannya. Berapa mililiter cuka
yang ditambahkan, berapa butir garam yang ditaburkan. Tidak
perlu diskusi, tidak perlu tawar-menawar, dan tidak perlu bikin

284
malu dengan memohon, ”Devushka29, minta sayurnya banyakan
ya.”
Sepiring salad sesuai dengan hitungan standar, tersaji di ha-
dapan saya. Saya, yang juga bingung akan aturan-aturan yang
demikian detailnya, menyantap salad itu dengan penuh khusyuk.
Tak berani saya melirik-lirik, berbicara yang tidak perlu, senyum
kanan-kiri. Jangan-jangan kelebihan senyum pun disuruh bayar.
Di sini, menu restoran pun tersaji dalam hitungan seporsi pe-
nuh, atau 0,5 dan 0,7 porsi. Mungkin suatu hari nanti, Anda
boleh pesan makanan dengan porsi sampai ketelitian tiga
desimal.
om
Bagi banyak orang, Rusia masih superior. Kebudayaannya
t.c
tinggi, bahasanya mendominasi. Di stasiun Karaganda kala me-
po

nunggu kereta menuju Almaty, saya berkenalan dengan tentara


gs
lo

muda bernama Kolya, etnis Korea, baru 18 tahun umurnya. Di


.b
do

seragam tentaranya tertempel bendera putih-biru-merahnya


in
a-

Rusia, bukan matahari terbit dan burung elangnya Kazakhstan.


ak

Ayah Kolya dengan bangga bercerita tentang anaknya yang se-


st
pu

dang mengikuti program wajib militer di Moskow. Kolya seka-


rang sudah jadi warga negara Rusia, tetapi si bapak masih me-
megang paspor Kazakhstan. Adakah Kolya bangga jadi orang
Rusia?
”Tentu saja,” kata Kolya, ”Rusia adalah negara kuat.”

29
Nona. Panggilan umum untuk perempuan muda dalam bahasa Rusia. Saya per-
nah dimarahi gara-gara memanggil pelayan restoran sebagai Sestra (kakak perem-
puan). Si gadis langsung teriak, ”Sestra! Sestra! Ya ne tvaya sestra! Aku bukan
mbak-mu!”

285
16 Desember 1991, Kazakhstan tampil sebagai negara terakhir
bekas Uni Soviet yang memproklamasikan kemerdekaannya.
Kala itu, suara yang santer terdengar di kalangan masyarakat
adalah tetap menyatu dengan Rusia. Ya, Kazakhstan bukanlah
negeri Baltik atau Uzbekistan yang gegap gempita menyambut
ambruknya Uni Soviet dan bersemangat untuk merdeka. Rusia
bukanlah selalu dipandang sebagai penjajah, tetapi terkadang
malah menjadi pembawa modernitas, pembangun negeri, dan
jiwa yang tak terpisahkan.
Siapa yang membangun kota megah ini? Siapa pula yang
membawa listrik dan pendidikan bahkan hingga ke lekuk pegu-
om
nungan paling terpencil di Tajikistan? Jujur saja, semua adalah
t.c
buah karya sang penjajah: Rusia.
po

Di antara Stan-stan lain, Kazakhstan yang paling dekat de-


gs
lo

ngan Rusia, baik secara geografis maupun kultural. Sejumlah


.b
do

besar penduduknya adalah etnis Rusia dan Eropa. Bangunannya,


in
a-

gaya hidup penduduknya, pola pikirnya, semua Rusia. Yang me-


ak

ngejutkan adalah bahkan antara sesama orang Kazakh pun me-


st
pu

reka lebih nyaman berbicara bahasa Rusia. Banyak orang Kazakh


yang tidak bisa bahasanya sendiri. Spanduk, iklan, papan baliho,
semua bahasa Rusia. Bahasa nasional malah menjadi bahasa ke-
las dua, kalah dengan aura bahasa Rusia. Kolya alias Kabul di
Almaty, dalam bahasa Rusia fasih, malah pernah berkata,
”Orang Kazakh bisa bicara bahasa Rusia bahkan lebih bagus
daripada orang Rusia sekalipun!” Herannya, dia bangga sekali
dengan hal itu.
Mungkin ada benarnya teori ini, untuk membunuh sebuah
bangsa, bunuhlah dulu bahasanya. Bangsa yang kehilangan ba-
hasa adalah bangsa yang kehilangan identitas. Bangsa itu kemu-

286
dian melebur dalam diri budaya bangsa lain yang lebih besar.
Banyak bangsa yang mengalami nasib serupa dalam Imperium
Uni Soviet. Nasionalisme mereka luruh, digusur oleh superioritas
Rusia. Bangsa-bangsa macam Tatar, Tuva, dan Kazakh meneriak-
kan kebanggaan nasionalisme dan semangat kemerdekaan, da-
lam bahasa Rusia yang fasih.
Sekarang, lima belas tahun merdeka, Kazakhstan ada di sim-
pang jalan. Negeri baru yang mencari jati diri. Ia bukan lagi
Soviet, bukan lagi Rusia. Sekarang, Kazakhstan untuk Kazakh,
walaupun banyak yang bingung apa nasionalisme Kazakh itu.
Namun, masih pentingkah rasa itu? Kebanggaan itu? Bagi se-
om
bagian orang, menjadi Kazakh tidaklah sepenting menjadi Indo-
t.c
nesia bagi kita, atau menjadi Uzbek untuk orang Uzbek. Tak
po

semua bangsa menaruh kebanggaan nasionalisme di tempat


gs
lo

yang sama tinggi, sama menggebu-gebunya, atau sama perlunya.


.b
do

Di Indonesia, orang bisa berkobar amarah dan bangkit berjuang


in
a-

jika diungkit soal nasionalisme, tentang lagu-lagu dan tari-tarian


ak

yang ”dicuri” negara lain. Tetapi akankah nasionalisme orang


st
pu

Kazakh tergugah jika negara tetangganya juga menggunakan alat


musik dombura atau makan daging kuda yang sama?
Orang bilang, nasionalisme dan kemakmuran bisa berjalan
berlawanan arah, walaupun bisa pula mengalir searah. Negara
miskin, kekurangan percaya diri, lalu melambungkan simbol-
simbol dan dogma kosong. Itulah nasionalisme, itulah kebang-
gaan. Membela simbol-simbol itu adalah patriotisme. Rakyat
berperut kosong memuja simbol-simbol dan sejarah. Mulut dan
hati tersumpal oleh kebanggaan yang mengenyangkan keham-
paan. Ada negara kaya yang kuat identitasnya, semakin makmur
semakin bertumbuh kebanggaannya. Tetapi ada pula negeri

287
makmur yang sibuk mencari jati diri karena kemerdekaan dan
tradisi sudah memudar, tergadaikan demi uang. Orang-orang
pun sibuk, bukan lagi mengejar kebanggaan dan simbol, tetapi
membanting tulang demi kemakmuran, kemewahan, jaminan
masa depan, lembaran uang, deposito di bank....
Apakah artinya menjadi sebuah Kazakhstan? Negeri ini tidak
sama dengan Armenia atau Lithuania, yang sudah berbentuk
negara merdeka jauh sebelum penjajahan Rusia. Negeri ini
bukanlah Uzbekistan, yang punya sejarah dan peradaban begitu
panjang tempatnya berpaling dalam pencarian jati diri. Konsep
negara Kazakhstan diciptakan oleh Stalin. Identitasnya direkon-
struksi oleh Moskow. om
t.c
po

Dalam peradabannya sebagai bangsa nomad yang menguasai


gs

padang luas, tidak ada batas-batas rigid ala negara modern. Pa-
lo
.b

dang luas adalah padang luas. Tak ada konsep negara, tak ada
do
in

kawat berduri dan barisan tentara yang mengawal sebuah garis.


a-
ak

Dan kini, Kazakhstan berdiri, meraba-raba identitas, bagaikan


st

bayi yang tertatih sembari menggenggam erat jemari ibu tirinya—


pu

Rusia. Ke mana ia melangkah? Ke arah simbol-simbol atau ke


arah kemakmuran? Menjadi diri sendiri, atau mengikut sang
ibu tiri yang mengajarkan bahwa menjadi Rusia adalah lambang
peradaban? Orang Uzbek punya sindiran pedas: ”Kalau ingin
menjadi Rusia, belajarlah dulu untuk menjadi Kazakh!”
Sementara itu, dunia luar bertanya-tanya, bagaimana Ka-
zakhstan sebenarnya. Borat? Sudah tentu bukan. Ketika Borat
mempermalukan negeri ini di seluruh bumi, pemerintah Ka-
zakhstan segera meluncurkan film kolosal berdana jutaan dolar
yang mempropagandakan peradabannya sebagai bangsa noma-

288
den. Tetapi tetap saja, itu Kazakhstan versi film, bukanlah Ka-
zakhstan yang asli.
Saya teringat seorang kawan orang Libanon yang bekerja di
Dubai, berkisah tentang hasil rabaannya akan Kazakhstan. Uni
Emirat Arab, seperti halnya Kazakhstan, juga adalah negeri mi-
nyak kaya yang kemakmurannya juga menyedot jutaan orang
dari seluruh pelosok bumi. Keduanya sama-sama noveau riche.
Negara kaya baru, dari negara miskin yang dipandang sebelah
mata, tahu-tahu menjadi kaya mendadak. Bedanya, Dubai jauh
lebih terkenal daripada Kazakhstan, banyak orang tak menduga
negeri Borat ini pun sangat kaya. Kawan saya, yang bekerja se-
om
bagai desainer interior, punya klien perempuan dari Kazakhstan
t.c
yang sering memberikan order untuk mendesain rumah-rumah
po

yang dibelinya di Dubai. Orang Kazakh ini membeli properti di


gs
lo

Dubai seperti beli kacang goreng saja saking seringnya. Selain


.b
do

itu, si wanita Kazakh juga merayakan ulang tahun putranya di


in
a-

Kazakhstan dengan mendatangkan grup musik terkenal 50


ak

Cent dari Amerika Serikat dan tak segan mengeluarkan duit


st
pu

satu juta dolar. Sejuta dolar! Sepuluh miliar rupiah, itu hanya
untuk musik penghiburnya saja. Belum lagi pestanya.
”Apa benar Kazakhstan sekaya itu? Bagaimana wajah negara-
nya? Apakah mereka semakmur Dubai?” tanya kawan saya tanpa
henti, masih mengerjap tak percaya.

Apakah identitas Kazakhstan itu? Kembali di Almaty, nuansa


Rusia menyeruak menggantikan dominasi padang salju. Di
mana-mana orang Rusia, atau orang Asia yang bergaya Rusia.

289
Kalau saya tak menemukan jawabnya, mungkin justru inilah
jawabannya. Roh Rusia itu yang mungkin kini menjadi karakter
Kazakh. Mungkin juga kekosmopolitannya, berbagai ras dan bu-
daya yang bercampur aduk.
Pasar sayur Zelyonii Bazaar adalah pasar ramai tempat ber-
baurnya berbagai suku bangsa. Bau acar kimchi berwarna merah
menyala yang dijual kiloan oleh ibu-ibu Korea menusuk hidung,
sementara di sudut pasar, bakmi laghman Uyghur dimasak oleh
koki asli dari negeri Cina. Orang Uzbek menawarkan roti nan,
sedangkan pekerja Tajik menyapa ramah dalam bahasa Persia
yang lembut. Jagal Rusia menjual babi berkualitas, yang ternyata
om
juga dikonsumsi oleh Muslim. Di sini, babi dan vodka bukan
t.c
po

pantangan.
gs

Di antara bangsa-bangsa lain di Asia Tengah, Kazakh adalah


lo
.b

yang terakhir mendapatkan pengaruh Islam. Hanya tiga ratus


do
in

tahun lalu seluruh bangsa nomad ini masuk Islam. Karena kul-
a-
ak

tur nomad yang tidak terikat aturan ketat, Islam pun sangat
st

longgar di sini. Minuman tradisional beralkohol kumis, dari


pu

susu kuda yang terfermentasi, tidak mungkin begitu saja dihapus


dari kultur. Nyaris tak ada umat Muslim yang bisa baca huruf
Arab atau mendirikan salat. Ramadan pun dilalui tanpa ber-
puasa. Rusia datang, pengaruh komunisme melekat, Islam ma-
kin memudar.
Tetapi, sejak kemerdekaan Kazakhstan, Islam pun perlahan-
lahan kembali sebagai bagian dari penemuan jati diri, lepas dari
bayang-bayang Uni Soviet. Arab Saudi dan Turki membangun
masjid dan sekolah, mengingatkan bagaimana seharusnya hidup
sebagai Muslim. Sekarang di Almaty sudah berdiri beberapa

290
masjid, megah di tengah kota yang semula hanya terkenal akan
gereja katedral Kristen Ortodoks-nya.
Anak-anak muda mengoleksi liontin bertuliskan huruf Allah
dan Muhammad, walaupun tidak tahu bagaimana membacanya.
Tulisan Arab hanya untuk menyatakan jati diri sebagai Muslim.
Seminggu terakhir, saya hanya melihat satu gadis berjilbab di
tengah metropolis Almaty. Beberapa pemusik muda Kazakh
yang saya temui menolak keras difoto di depan Katedral Zenkov,
gereja kuno Kristen Ortodoks yang menjadi ikon Almaty.
”Gedung ini bukan punya agama kami,” kilah seorang dari
mereka.
om
t.c
po
gs
lo

Lima belas tahun merdeka. Sungguh sebuah perjalanan yang


.b
do

panjang, naik-turun, dari keterpurukan hingga kemakmuran.


in
a-

Tibalah hari perayaan itu. Umbul-umbul warna biru dan kuning


ak

muda yang dipasang oleh para pekerja—bergambar matahari ter-


st
pu

bit, burung elang, dan lambang negara—berbaris dan berkibar


gagah di Respublika Alangy, Lapangan Republik, yang dikelilingi
gedung-gedung berbentuk kotak balok khas Rusia. Di tengahnya
berdiri Monumen Kemerdekaan, tempat bertengger lambang
kejayaan Kazakhstan: ksatria yang berdiri tegak di atas macan
tutul terbang. Ksatria ini adalah replika Altyn Adam atau Ma-
nusia Emas, patung dari zaman kuno yang disusun dari ribuan
keping emas. Emas dari zaman prasejarah! Altyn Adam, visi masa
depan Kazakhstan yang gemilang.
Mengiring kemerdekaan dan pembangunan Kazakhstan, ma-
can tutul dipilih Nazarbayev sebagai lambang kemajuan ekonomi

291
Kazakhstan. Waktu itu, keempat macan Asia—Indonesia, Ma-
laysia, Korea Selatan, dan Thailand—memukau Nazarbayev.
Daripada meniru menjadi macan, negeri ini kemudian memilih
macan tutul yang lebih garang sebagai ikon kemakmuran eko-
nominya. Lima belas tahun berselang, si macan tutul telah me-
nunjukkan taringnya sebagai negara yang makmur, sedangkan
si macan dari Indonesia ompong giginya diterjang badai eko-
nomi.
Tetapi apakah memang kemakmuran ekonomi adalah lam-
bang kemerdekaan? Kazakhstan memang jauh lebih kaya diban-
dingkan Tajikistan dan Kirgizstan. Tetapi harta kekayaan adalah
om
sebuah zona aman yang lain, yang juga memunculkan garis-garis
t.c
batas dalam bentuk lain, dengan segala manifestasi dan pengor-
po

banannya. Investor-investor dari Barat terus menyedot minyak


gs
lo

dan gas dari padang luas ini, orang-orang berbondong-bondong


.b
do

menguras kantong terjebak dalam gaya hidup hedonisme dan


in
a-

konsumerisme, seolah tak ada lagi waktu tersisa untuk meng-


ak

habiskan duit yang tak terhitung lagi jumlahnya. Merdeka dari


st
pu

kolonialisme, lalu menjadi budak materialisme.... Sementara se-


kelompok orang lainnya di luar zona itu hanya bisa memandang
dan merenungi nasib, terpinggirkan.
Saya menyusuri taman di sekitar Respublika Alangy yang kini
berlapis salju tebal. Di pinggir jalan kecil, saya melihat sesosok
tubuh manusia berbaring di atas trotoar. Eh, bukan. Ternyata
sepasang sejoli memadu cinta.
Di tempat umum seperti ini? Di udara seperti ini? Di atas
tanah di pinggir jalan ini?
Keduanya orang Kazakh. Si cowok berbaring di atas salju,
dan si gadis di atas tubuh kekasihnya. Aduhai, mereka memagut

292
bibir dengan mesra di pinggir jalan, sama sekali tidak peduli
dinginnya es dan orang-orang yang lalu lalang. Dunia hanya
milik berdua. Hangatnya asmara meluluhkan dinginnya salju
dan terpaan angin. Para pejalan kaki pun tak ambil pusing.
Mungkin pemandangan semacam ini sudah biasa terlihat.
Ya, Tuhan! Apa saya tidak salah lihat?
Seorang pemuda Almaty bercerita bahwa ia pernah ber-
ciuman selama sepuluh menit dengan kekasihnya yang laki-laki,
di depan gedung parlemen di pusat kota. Orang-orang hanya
menonton. Ada yang berdecak kagum, ada yang langsung pergi
karena jijik, tetapi kebanyakan hanya terperanjat. Berani sekali,
om
bukan? Di Uzbekistan, tindakan ini bisa berujung kurungan. Di
t.c
sini, lelaki ini malah berhasil berkenalan dengan cowok tampan
po

lainnya yang semula adalah penonton yang terpesona kemudian


gs
lo

malu-malu bertanya, ”Maaf, apakah Anda gay?”


.b
do

Saya pun jadi bertanya, maaf, apakah ini Kazakhstan?


in
a-
ak
st
pu

293
DO SVEDANIA, KAZAKHSTAN

IDENTITAS Kazakhstan mungkin memang bukan untuk dicari


di kota besar macam Almaty dan Astana. Saya menyusuri kota-
kota di selatan Kazakhstan, tempat bermukimnya kebanyakan
etnis Kazakh dan Uzbek.
Kereta yang akan membawa saya ke Turkistan merapat di
om
t.c
stasiun Almaty I. Para penumpang dengan brutal menyeruak
po

masuk. Tujuan akhir perjalanan ini adalah Manggistau, jauh


gs
lo

berada di ufuk barat sana di tepi Laut Kaspia. Jangan heran


.b
do

kalau karcis ke sana sampai sejuta rupiah. Jaraknya ribuan kilo-


in

meter, tiga hari perjalanan tanpa henti.


a-
ak

Dalam kereta ini, wajah Asia mendominasi. Senyum mereka


st
pu

meriah, menghiasi perjalanan panjang melintas padang. Nenek


Kazakh bergigi emas di hadapan saya menawarkan makanan
yang dibawa. Saya pun berbagi asinan kimchi Korea. Dua maha-
siswa dari Shymkent sudah siap dengan roti dan buah. Kami
saling cicip makanan ketika cakrawala beranjak gelap.
Pada setiap tempat duduk, yang juga berfungsi sebagai tem-
pat tidur, sudah disediakan bantal dan kasur. Menjelang gelap,
petugas kereta api membagi-bagikan seprai dan sarung bantal.
Benar-benar pelayanan yang sempurna, bukan?
Eits, tunggu dulu. Di negara kapitalis ini tidak ada yang gra-
tis. Semuanya Tenge, Tenge, dan Tenge. Pinjam seprai dan sa-

294
rung bantal pun bayar. 250 Tenge, hampir 2 dolar. Dulu waktu
ke Astana, saya berusaha menghindari biaya ini. Saya langsung
disemprot ibu petugas kereta yang judesnya bukan kepalang,
”Kalau tidak pakai seprai, kamu tidak boleh tidur di sini!” Te-
tapi di kereta ini, ibu petugas kereta berbaik hati mengizinkan
saya tidur tanpa seprai.
Ludmilla, ibu paruh baya etnis Rusia berseragam petugas,
berjalan dari gerbong ke gerbong menawarkan kaus kaki. De-
ngan penuh keheranan karena melihat ada orang asing di ger-
bong ini, dia langsung duduk di sebelah saya. Saya menunjukkan
album foto berisi kehidupan kaum miskin di India, Pakistan,
om
dan Afghanistan. Tak saya sangka, butir-butir air mata nyaris
t.c
menetes di pipi Ludmilla. Sambil sibuk melihat foto-foto dan
po

mendengar cerita saya, Ludmilla terus-menerus mengusap mata-


gs
lo

nya. ”Orang-orang malang... sekarang saya belajar bagaimana


.b
do

bersyukur kepada Tuhan. Spasibo. Terima kasih. Dengan melihat


in
a-

foto-fotomu, saya jadi tahu saya tidak layak mengeluhkan ke-


ak

hidupan di Kazakhstan.”
st
pu

Untuk ukuran kemakmuran Kazakhstan, pedagang kaus


kaki ini memang termasuk kelas bawah. Tetapi kemiskinan ti-
dak menghalanginya untuk bersyukur. Seperti ikan yang melihat
segalanya kecuali air, orang sering lupa bersyukur. Di belahan
bumi lain orang berlapar dahaga, kita yang hidup bergelimang
harta malah masih belum puas akan rezeki yang diterima.
Seorang aksakal, kakek berjenggot putih, berjubah hitam
dan bertopi tradisional, berjalan dari gerbong ke gerbong. Si
kakek membaca doa-doa berbahasa Arab. Para penumpang,
yang kebanyakan Muslim, menengadahkan tangan. ”Amin...”
doa ditutup. Para penumpang meraupkan tangan ke wajah, se-

295
raya menyediakan sedekah untuk sang kakek. Negeri ini ternyata
punya wajah yang begitu kontras, dari hedonisme dan keme-
wahan kota metropolis hingga tradisi dan religi kuno yang
mengakar.

”Permata sejarah Kazakhstan” demikianlah Turkistan dikenal.


Bekas ibu kota kesultanan Kazakh di abad ke-16 ini kini menarik
ribuan Muslim dari Asia Tengah yang menjadikannya sebagai
Mekkah kedua.
om
Matahari menampakkan wajahnya ketika saya turun dari ke-
t.c
reta di Stasiun Turkistan. Langit biru kelam, berpadu dengan
po

salju yang membungkus bumi. Makam suci Khoja Ahmad


gs
lo

Yasawi semakin tampak berkilau megah di atas hamparan salju


.b
do

yang membentang. Inilah kebanggaan Kazakhstan: sebuah ku-


in
a-

buran pemimpin agama Islam yang terletak di tepian perbatasan


ak

Uzbekistan.
st
pu

Sang Khoja lahir di Turkistan, hampir seribu tahun lalu. Dia


belajar Islam di Bukhara kemudian kembali ke Turkistan, me-
nyebarkan ajaran sufisme di sini. Islam yang dianut bangsa
Kazakh kental dengan pengaruh shamanisme, berkat toleransi
ajaran Sufisme terhadap kultur setempat. Tarekat Suwi Yasawiya
terkenal sebagai aliran Sufi yang paling memperkenankan unsur
mistis shamanisme. Makam Sang Khoja kemudian menjadi pu-
sat ziarah penting. Saking pentingnya sampai orang setempat
percaya, tiga kali berziarah ke Turkistan sama dengan sekali
naik haji ke Mekkah. Bangunan megah yang sekarang menaungi
pemakaman Yasawi ini, dibangun lebih dari 200 tahun sesudah

296
kematiannya. Sang pembangunnya adalah Amir Timur, atau
Timur Leng, atau Timur si Pincang, raja besar Asia Tengah yang
sekarang dipuja sebagai pahlawan besar di Uzbekistan.
Kubah-kubah hijau zamrud menantang langit. Lautan salju
menghampar di hadapan. Dinding berbungkus mozaik, yang ka-
lau dilihat dari dekat adalah tulisan Arab ”ALLAH” yang di-
samarkan menjadi bentuk-bentuk geometris indah. Pintu ma-
suknya tinggi sekali, seakan dibuat untuk dimasuki raksasa.
Warna hijau dan oranye berpadu indah, menghamburkan ke-
indahan arsitektur bergaya Persia. Di masa itu, selama berabad-
abad lamanya, kultur Persia adalah simbol kemajuan peradaban
om
dan kebudayaan Asia Tengah. Bagian pintu masuk mausoleum
t.c
ini tidak sempat dihias apa-apa karena sang Amir Timur sudah
po

keburu mangkat. Namun kuburan Yasawi tetap menjadi permata


gs
lo

arsitektur di padang Asia Tengah.


.b
do

Masa lalu itu begitu gemilang! Sekarang Kazakhstan tampak


in
a-

modern, kebarat-baratan, kebingungan di tengah persimpangan


ak

identitas.
st
pu

Apakah artinya menjadi Kazakh itu? Apakah itu artinya


menjadi bagian dari keluarga besar bangsa Turki? Setidaknya,
universitas Turki sudah berdiri di Turkistan—yang namanya su-
dah berarti ”Tanah Bangsa Turki”—tidak jauh dari kuburan
Yasawi.
Ataukah itu menjadi Muslim? Di Almaty sekarang sudah
ada masjid, dan satu-dua perempuan Kazakh berbangga me-
ngenakan jilbab.
Ataukah itu menjadi Rusia? Orang berbahasa Rusia, berpikir
dengan cara Rusia, termodernkan oleh budaya Rusia.
Ketika orang-orang khusyuk berziarah dan memanjatkan

297
doa-doa di pemakaman Khoja Yasawi, tempat ini juga menjadi
lokasi pemotretan pre-wedding favorit. Sang pria berjas hitam,
berdasi. Sang wanita bergaun putih ala Eropa—dengan pundak
berkulit mulus yang terbuka, bergandengan diiringi sanak ke-
luarga. Mereka memanjatkan doa di dalam makam suci, tak
lupa direkam video camera. Foto pernikahan dijepret di depan
kuburan sang guru Sufi, menjadi kenang-kenangan seumur hi-
dup pasangan pengantin.
Itulah perpaduan berbagai kultur, kepercayaan, kebanggaan,
dan harapan. Itulah Kazakhstan.

om
t.c
po

Kota Shymkent, kota terakhir Kazakhstan sebelum perbatasan


gs
lo

Uzbekistan, tampak gelap total. Seram. Tak bersahabat. Sialnya


.b
do

lagi, saya tidak bisa menyeberang ke Uzbekistan karena per-


in
a-

batasan tutup di petang hari. Tak ada pilihan, saya harus mengi-
ak

nap. Saya menghitung uang Tenge di dompet. Sisanya hanya


st
pu

koin recehan, harus cukup sampai ke Uzbekistan.


Di sudut terminal, ada sebuah penginapan sederhana. Pe-
gawainya mengusir saya. Semua kamar penuh, katanya. Bolehkah
saya tidur di bangku saja, setidaknya lebih hangat daripada tidur
di luar? Si pegawai menolak mentah-mentah.
Saya nekat menerobos masuk, malah tersasar ke ruangan bos
penginapan. Si bos terkejut mendengar bahasa Kazakh saya
yang terbata-bata. Dia gembira karena pertama kali ada orang
Indonesia sampai di sini. Harga kamar di sini 600 Tenge, tidak
mahal seharusnya, sayang semua kamar penuh. Sekali lagi, saya
mengiba supaya diizinkan tidur di kursi. Bos itu mengangguk.

298
”250 Tenge!”
Ia mengajak saya makan malam. Perut saya belum diisi apa-
apa sejak pagi tadi, tetapi saya cukup tahu diri—saya tak punya
uang lagi. Saya membaringkan diri di atas bangku-bangku yang
dijajar dan diberi selimut oleh pegawai, lalu berusaha menam-
batkan diri ke alam mimpi dengan perut keroncongan.
Hampir saja saya terlelap ketika pegawai itu datang dengan
semangkuk shorpo, sup daging hangat penuh minyak, dan se-
lembar roti nan.
”Makan saja, tidak perlu bayar!”
”Rahmat,”—terima kasih—hanya itu yang bisa saya ucapkan.
om
Saya langsung menyantap makanan itu seperti sudah berhari-
t.c
hari tak makan. Ah... alangkah nikmatnya masakan sederhana
po

ini. Kazakhstan sungguh mengajarkan saya hal terpenting dalam


gs
lo

hidup: bersyukur.
.b
do

Tidur di bangku keras di tengah dinginnya Desember Ka-


in
a-

zakhstan sungguh menyiksa. Bertualang di Kazakhstan tanpa


ak

dukungan dompet yang tebal memang menyakitkan. Saya tak


st
pu

sabar menantikan akhir semua penderitaan ini. Semoga Uzbekis-


tan di seberang gerbang sana menawarkan mimpi lain.

Perbatasan terletak beberapa puluh kilometer di selatan


Shymkent, paling murah ditempuh dengan angkot marshrutka.
Pemandangan terakhir Kazakhstan di hadapan saya adalah ham-
paran salju putih membungkus bukit-bukit sejauh mata meman-
dang.
Di dompet saya hanya ada beberapa keping seratusan Tenge

299
sekarang. Seorang penumpang, nenek Rusia dengan wajah yang
selalu cemberut, langsung menyumpahi sopir yang seenaknya
menaikkan harga secara mendadak karena sudah dekat tahun
baru. ”Bagaimana lagi? Sekarang sudah masuk hitungan liburan
Tahun Baru, di mana-mana harga naik. Kalau tak mau bayar,
turun saja,” kata sopir cuek. Uang Tenge saya langsung hanya
tersisa satu keping setelah membayar ongkos.
Desa perbatasan Zhibek Zholi—namanya berarti Jalan Sutra—
sangat sibuk. Bus-bus besar berdatangan dari penjuru. Pelintas
batas membawa barang yang berkantong-kantong—mungkin
belanjaan, mungkin dagangan—menuju Uzbekistan.
om
Perbatasan seperti pasar yang ramai dan kacau-balau. Pu-
t.c
luhan perempuan gemuk setengah baya dan berkerudung ber-
po

gerombol di sana-sini, memegang bergepok-gepok uang. Mereka


gs
lo

adalah penukar gelap. Cara mereka menarik konsumen begitu


.b
do

beringas: jaket saya dicengkeram oleh seorang ibu yang ”me-


in
a-

maksa” saya menukar uang.


ak

Dari Tenge ke Sum, seketika saya menjadi kaya. Uang logam


st
pu

100 Tenge, satu-satunya yang tersisa di kantong, langsung ber-


ubah jadi selembar uang 1.000 Sum. Beberapa tahun belakangan
ini, nilai uang Uzbekistan terus anjlok. Sekarang kursnya 1.250
Sum per dolar Amerika. Uang kertas 1.000 Sum, yang nilainya
tidak sampai satu dolar dan hanya senilai uang receh di Ka-
zakhstan, adalah pecahan mata uang terbesar di Uzbekistan.
”Ayo..., ikut saya! Jangan khawatir, saya akan bawa kamu ke
perbatasan!” tiba-tiba sepasang tangan gemuk seorang wanita
tua menggeret saya penuh semangat.
”Tidak perlu. Saya cuma ingin menukar Sum. Saya bisa me-
nyeberangi perbatasan sendiri.”

300
”Ayo! Ayo!” Nenek ini semangatnya tak kalah dengan atlet
aerobik. Dalam hitungan detik, datang tiga atau empat nenek-
nenek lainnya bergabung.
”Ayo! Ayo! Nanti menyeberang perbatasannya gampang.”
”Tidak bakal ada masalah kalau kamu pergi bersama kita.”
”Ayo! Tak perlu khawatir. Cuma kasih bir Tenge, satu Tenge,”
kata seorang nenek yang tidak kalah gendutnya.
Semuanya bicara bahasa Rusia, meluncur dari mulut yang
separuh ompong separuh bergigi emas mengilap. Memang ke-
dengarannya menarik. Satu Tenge saja? 75 rupiah saja? Murah
sekali. Tapi buat apa?
”Ayo! Ayo!” om
t.c
Sekarang sudah bukan cuma omongan lain, tetapi tangan-
po

tangan gemuk itu sudah mulai bertindak. Ada yang mendorong,


gs
lo

ada yang menyeret. Nenek-nenek berkerudung itu berusaha se-


.b
do

kuat tenaga untuk menunjukkan saya ”jalan yang benar”.


in
a-

Tahu-tahu saya didorong sampai ke gang, membelok tepat di


ak

depan pintu gerbang perbatasan. Gang ini tidak sampai satu


st
pu

meter lebarnya, membelok ke kanan, membelok lagi ke kiri, lalu


berjalan sejajar dengan perbatasan dua negara, dipisahkan oleh
barisan rumah. Saya kini berada di tengah kampung, rumah-ru-
mah sederhana berukuran rendah. Perbatasan internasional itu
tampak samar-samar di balik pagar.
Aha! Nenek-nenek desa ini ternyata ingin melintaskan saya
ke Uzbekistan dengan ”aman dan selamat”, lewat jalan tikus
yang menghindari pos imigrasi—tanpa paspor dan visa. Ini ada-
lah sebuah koridor menyeberang ke dunia paralel, bak lorong
rahasia untuk melintas dimensi zaman. Kita bisa loncat, hup,
tak terdeteksi oleh birokrasi.

301
Bagi penduduk Uzbekistan dan Kazakhstan, walaupun me-
reka tidak butuh visa, tidak semua orang punya dokumen leng-
kap. Di Uzbekistan, semua orang punya paspor, karena paspor
juga berfungsi sebagai KTP. Tetapi punya paspor tidak otomatis
bisa ke luar negeri. Paspor mereka harus dicap dulu oleh kantor
registrasi, yang meng-upgrade paspor ”lokal” menjadi paspor
”internasional”. Ini juga butuh waktu panjang, prosedur dengan
setumpuk dokumen, birokrasi berbelit-belit, dan... duit. Cuma
pemegang paspor internasional—zagrant pasport—yang boleh ke
luar negeri. Jalan tikus ini adalah ”paspor”, pass the port.
Tetapi mengapa saya juga harus diselundupkan? Saya punya
om
paspor, visa, registrasi, semua lengkap. Tidak! Saya berusaha me-
t.c
nerobos kerumunan nenek desa ini, kembali ke jalan semula.
po

Mereka sekuat tenaga menghalangi saya. Saya semakin bersema-


gs
lo

ngat melarikan diri.


.b
do

Teriakan-teriakan itu tiba-tiba berubah menjadi rengekan.


in
a-

”Tolong... satu Tenge... bayi-bayi kami masih sangat kecil. Kami


ak

kelaparan. Kami butuh uang....”


st
pu

Satu Tenge, bukan? Sekeping satu Tenge saya temukan di


dasar kantong saya. Langsung saya berikan ke seorang nenek.
Si nenek terkejut. Entah sudah berapa lama dia tidak melihat
uang satu Tenge. Keping logam satu Tenge sudah tak punya arti
sama sekali karena hitung-hitungan di Kazakhstan sudah men-
capai unit ribuan. Saking kecilnya, 1 Tenge sudah hampir meng-
hilang dari peredaran dan malah menjadi lambang kemujuran.
Uang satu Tenge itu cuma dilihat-lihat sebentar. Nenek itu
kemudian sambil tertawa mengembalikannya kepada saya. ”Ok
yo’l,” katanya, selamat jalan. ”Satu Tenge” adalah basa-basi saja
untuk minta uang dengan nilai yang lebih besar tentunya.

302
Tentara Kazakh yang sejak tadi mengamati, tertawa terbahak-
bahak. Ketika saya melintas, masih dengan menyimpan tawa,
dia menyapa, ”Hai, Brat, ada apa?” Saya pun cekikikan, mem-
bayangkan menyelundup ke Uzbekistan hanya dengan ”satu
Tenge”.
Barisan puluhan orang mengantre di depan loket imigrasi.
Tetapi karena saya orang asing, langsung disuruh memotong
antrean panjang itu. Saya merasa seperti tamu kehormatan.
”Avgustin... hmm... nama yang menarik,” kata petugas imigrasi
sambil tersenyum mengamati paspor saya.
”Paspormu bagus ya. Cantik.” Saya tak percaya kalau dia
om
mengamati paspor saya begitu lama karena terpukau gambar
t.c
Garuda di sana. Pasti karena data di paspor saya tulisan tangan
po

semua (karena diterbitkan oleh KBRI) jadi dikira palsu, ”Oke.


gs
lo

Sekarang kamu lihat kamera.”


.b
do

Klik. Foto saya langsung muncul di komputer.


in
a-

”Sekarang apa lagi ya? Oh ya... paspor harus dicap,” kata si


ak

petugas, ”Nih... visanya sudah dicap. Selamat jalan ke Uzbekis-


st
pu

tan....”
Petugas imigrasi sempat melambai ke arah saya. ”Do svedania,”
katanya, sampai jumpa.
”Do svedania, Kazakhstan,” saya membalas. Akhirnya, saya
menghirup segarnya udara Uzbekistan.

303
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Bab 4

Uzbekistan
Tarian Masa Lalu

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

Bahkan bulan pun tidak sempurna...

Pepatah Uzbek
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
BUKAN NEGARA NORMAL

GARIS batas itu berupa kehangatan yang menyambut. Tak sam-


pai seratus meter dari Kazakhstan, hamparan tebal salju putih
sudah menjadi kenangan. Di seberang gerbang, Uzbekistan di-
hias rumput kering dan kerumunan ramai. Ibu-ibu gemuk men-
jajakan dagangan di pinggir pasar yang sibuk. Sopir taksi ber-
om
t.c
teriak mencari penumpang. Riuh rendah.
po

Barisan minibus itu.... Pria-pria berteriak itu.... Keramaian itu....


gs
lo

Seketika trauma kenangan buruk menggerayangi. Saya ber-


.b
do

gidik di depan gerbang perbatasan.


in

Tahskent, dua tahun lalu. Bom-bom meledak serentak, salah


a-
ak

satunya tak jauh dari Kedutaan Indonesia. Presiden langsung


st
pu

mengumumkan keadaan darurat. Negeri ini diserang teroris,


katanya. Semua panik. Takut. Cemas. Kedamaian seketika han-
cur.
Uzbekistan mengisolasi diri. Berada di tempat yang salah
pada waktu yang salah, saya terjebak dalam ingar-bingar negeri
yang diguncang paranoia. Visa saya hampir habis, tetapi saya
terkurung. Tak bisa keluar, tinggal pun tak boleh. Saya harus
pergi dari Uzbekistan, tapi Kazakhstan tak membuka pintu.
Dalam mobil penyelundup ini saya menyerahkan nasib.
Sopir menjanjikan tak bakal ada masalah. ”Kazakhstan? Setiap
hari saya juga ke sana. Tak perlu kau khawatir,” serunya. Saya

307
tidak perlu melewati barisan tentara, tak perlu menyerahkan
paspor dan visa. Menginjak Kazakhstan, itu bukan mimpi, ka-
wan. Ada seribu jalan, dan kini kita sudah menuju ke sana.
Mobil mengarah ke padang liar, melintasi semak belukar,
menyelinap menuju tanah tak bertuan, hingga tembus ke Ka-
zakhstan. Tunggu. Pergi ke Kazakhstan memang mudah, tetapi
bagaimana nanti keluarnya? Tanpa prosedur resmi, bisa-bisa saya
dijebloskan ke penjara sebagai penyelundup gelap. Ah, mimpi
pun tak terbayangkan. Tersadar oleh kebodohan ini, saya men-
jerit hampir menangis, ”Turunkan aku!!!” Di sekeliling adalah
padang belukar. Sejauh mata memandang hanya kekosongan.
om
Sopir tersentak. Penumpang lain berusaha menenangkan.
t.c
po

Tidak bakal apa-apa, kata mereka, Kazakhstan bukan negeri se-


gs

seram itu.
lo
.b

Saya tidak mau. Lebih baik terkurung di Uzbekistan daripada


do
in

harus menjadi buronan di Kazakhstan.


a-
ak

Apa daya? Sopir terus melarikan mobilnya di padang kosong.


st

Ini bukan kisah ibu-ibu yang hanya meminta satu Tenge, dan
pu

hanya menyeret saya melintasi gang kecil. Ini adalah mobil pe-
nyelundup. Saya sebenarnya bisa saja lompat keluar, tetapi ba-
rang bawaan saya semua ada di bagasi. Lebih sial lagi, paspor
saya ada di genggaman sopir. Tanpa paspor, saya bagaikan TKI
yang disandera majikannya. Nasib saya ada di tangannya.
”Kamu mau saya kasih 100 dolar?” saya tiba-tiba mengubah
ekspresi, memasang wajah semanis mungkin, sambil memamer-
kan satu-satunya lembaran dolar di dompet, ”Kita kembali lagi
ke perbatasan yuk. Kamu minta tentara teman kamu untuk me-
ngecap paspor saya, lalu kita kembali lagi ke Kazakhstan lewat

308
jalan ini. Tanpa cap itu, saya tidak bisa berangkat. Saya ini
orang asing, kamu tahu, kan.”
Sopir tercenung. Srrrrt... mobil berputar ke kiri, seratus de-
lapan puluh derajat. Tubuh saya terambing, tetapi hati saya
puas. Begitu mobil kembali ke pasar di seberang gerbang per-
batasan, saya melongokkan kepala ke luar jendela, berteriak ke
arah kerumunan pedagang pinggir jalan, mendeklamasikan
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 sekencang-kencangnya.
Sungguh, hafalan dari zaman SLTP itu ternyata adalah man-
tra bermukjizat. Si sopir ketakutan.
om
Dengan gemetaran, ia mengembalikan paspor. Sopir hanya
t.c
meminta ongkos bensin karena sudah mengantar saya ”jalan-
po

jalan”. Saya menolak mentah-mentah. ”Jalan-jalan” setengah


gs
lo

jam itu sudah bikin jantung hampir copot. Saya langsung ngibrit
.b
do

ke arah KBRI yang kemudian membantu menerbangkan saya ke


in
a-

Kazakhstan.
ak

Dua tahun berselang. Saya menghela napas lega, perbatasan


st
pu

ini akhirnya tertembus juga. Kehangatan menyambut, sementara


gerbang bertuliskan O’zbekiston semakin jauh di balik punggung.

”Kamu bisa bawa aku ke negaramu? Kamu dari Indonesia, kan?


Kamu bisa bantu carikan pekerjaan di Hotel Tata? Aku tahu
Hotel Tata, itu hotel bintang lima kepunyaan orang Indonesia,
kan? Aku dulu pernah ke sana. Aku mau kerja, tapi mereka tak
mau aku....”
Kata-katanya terdengar bagaikan seorang sahabat lama yang

309
sudah memendam rindu. Kami berjalan bersama, menyusuri
trotoar bolong-bolong.
”...Hidup di Uzbekistan ini susah. Tiap hari, yang ada cuma
tambah parah dan makin parah. Kami tak punya uang....”
Kini sang sahabat mengeluh, menumpahkan unek-unek ten-
tang hari yang suram. Kami bersama setapak demi setapak me-
nuruni tangga menuju kereta api bawah tanah Tashkent.
”...Apa benar sih di Kazakhstan gaji mereka besar? Apa?
Lima ratus dolar per bulan? Aku juga mau. Tapi aku tak kenal
siapa-siapa di sana. Bisa tidak ya, aku dapat kerja di Kazakhstan?”
Matanya mengerjap berkali-kali. Ada harapan yang mem-
om
bungkus kesuraman hidupnya. Perempuan ini menghalangi saya
t.c
menyerahkan uang ke loket. Tidak, saya adalah seorang tamu,
po

katanya. Mulutnya tak henti bicara, mengalirkan kalimat-kalimat


gs
lo

Rusia bernada berat.


.b
do

”...Di sini gaji cuma lima puluh dolar, kadang malah tidak
in
a-

dibayar sama sekali, berbulan-bulan tanpa gaji. Suamiku pergi


ak

ke Rusia cari kerja. Aku bermimpi, kehidupanku bakal berubah,


st
pu

tetapi sekarang apa jadinya?”


Bukannya seharusnya hidupnya jauh lebih baik?
”...Tidak! Suamiku tidak pernah kirim kabar sama sekali.
Dia hilang! Ke mana dia? Tak ada yang tahu! Hilang begitu saja.
Aku juga tak tahu. Kasihan ibunya. Sekarang hidup kami susah
sekali. Bagaimana caraku menemukannya kembali...?”
Saya sebenarnya tak kenal siapa dia. Saya hanya berjumpa
perempuan ini lima menit lalu di jalanan Yunusobod. Tapi
tahu-tahu curahan perasaannya meluber bak air bah.
Gulmira namanya, baru 25 tahunan umurnya. Tetapi beban
hidupnya membuatnya tampak sepuluh tahun lebih tua. Kerut-

310
kemerut di sudut mata itu menggambarkan betapa keras hidup
yang dijalaninya.
Semua tragedi hidupnya yang disesakkan ke otak saya dalam
sepuluh menit ini sudah membuat saya khawatir air matanya
bakal tumpah. Namun, bukannya air mata, melainkan senyum
kikuk yang terus terkembang di wajah sayunya.
Tashkent tampak kelabu. Dari Kazakhstan yang makmur,
saya langsung tersontak oleh kemiskinan yang begitu gamblang,
hanya beberapa langkah saja dari perbatasan. Kakek tua me-
ngorek bak sampah pinggir jalan, dan bocah-bocah pengemis
mengganduli lengan saya. Baru pertama kali saya melihat penge-
om
mis bule di negara Asia. Di Tajikistan yang miskin, pengemis
t.c
po

hampir tak terlihat. Sementara di ibu kota Uzbekistan ini, pe-


gs

ngemisnya malah kebanyakan orang kulit putih: orang Rusia.


lo
.b

Uzbekistan terkenal sebagai salah satu pecahan Soviet yang


do
in

paling anti Rusia. Kenangan tentang ”penjajahan” Rusia sebisa


a-
ak

mungkin dihapuskan. Memori dilupakan. Patung-patung pahla-


st

wan komunis ditumbangkan. Nama pahlawan Rusia digusur


pu

dari papan jalan, digantikan oleh pahlawan Uzbek. Bahasa


Rusia diganti bahasa Uzbek. Begitu merdeka, etnis Rusia ter-
gusur kedudukannya. Yang dulunya penguasa sekarang menjadi
warga kelas dua. Keturunan Rusia sulit mendapat pekerjaan,
banyak yang terpaksa jadi pemulung dan pengemis.
Seperti pembalasan dendam, kata Aleks, seorang teman
Rusia yang bekerja sebagai dokter gigi di Tashkent. Tubuhnya
kurus dan matanya cekung. Apartemennya remang-remang dan
kumuh di pinggiran kota. Bau busuk menusuk. Bahan pem-
bicaraan favoritnya adalah bagaimana caranya keluar dari negara

311
ini. Ia tak henti-hentinya menanyakan prospek kerja di Malaysia
dan Thailand. Hidupnya kini dirundung kemurungan.
”Bahkan waktu naik bus aku pernah diteriaki orang, ’Pulang
sana ke Rusia!’ Tetapi Rusia bukan rumahku. Kakekku lahir di
sini. Ayah-ibuku lahir di sini. Bagaimana mungkin aku pulang
ke Rusia?” Di sini ia ditolak, dan ia sudah tahu, di tanah le-
luhurnya itu pun ia bakal ditolak. Penolakan demi penolakan
merundung hidupnya, membuatnya berpikir untuk lepas dari
semua identitas yang mengekang. Malaysia dan Thailand hanya-
lah pelarian, fantasinya untuk melepaskan diri dari semua ini.
Aleks mengenang betapa bergengsinya dulu sekolah Rusia,
om
”Hanya anak-anak kulit putih dan kaum elite Uzbek yang bisa
t.c
masuk. Sekarang, sekolah-sekolah itu malah bangkrut.”
po

Kebencian. Kebencian. Kebencian. Bukankah dulu orang


gs
lo

Rusia yang membangun Tashkent, memuluskan jalan raya,


.b
do

membikin gedung kotak-kotak di sana-sini, mendirikan patung


in
a-

dan taman kota, menyekolahkan orang-orang sehingga semua


ak

bisa baca-tulis, sampai membangun jaringan kereta api bawah


st
pu

tanah satu-satunya di seluruh Asia Tengah? Tak tanggung-tang-


gung, metro Tashkent dirancang untuk tempat persembunyian
kalau ada bom atom menyerang, masih dihiasi dekorasi etnis
sekaligus futuristis pula. Tak peduli. Rusia tetaplah Rusia,
penjajah tetaplah penjajah.
Aleks hanyalah rakyat jelata, tetapi kulitnya, rasnya, sukunya,
menjadikannya diidentikkan dengan penguasa Rusia yang
”menjajah” Uzbekistan. Walaupun bukan ia sendiri yang me-
nindas Uzbek, namun ia dipandang sebagai bagian dari kekuatan
kolonial itu. Inilah yang sering kali menjadi penyebab genosida
di dunia: orang-orang tak berdosa dibantai hanya karena men-

312
jadi bagian suatu ras, suku, bangsa, agama, atau kelompok ter-
tentu. Dari negeri yang tertindas, Uzbekistan bangkit menjadi
negeri merdeka, dan seketika orang-orang seperti Aleks kehi-
langan kehormatannya.
Temur Mirzaev, mahasiswa Uzbek yang belajar bahasa Indo-
nesia, menyimpulkan, di Uzbekistan sekarang orang Rusia ha-
nya tinggal dua kelompok: yang sangat miskin dan yang sangat
kaya. Mereka yang terlalu kaya tentunya tak merasa perlu untuk
meninggalkan zona nyaman mereka di sini. Kekayaan mereka—
rumah mewah, mobil, perusahaan, kemakmuran—masih mampu
mengimpasi tatap benci orang-orang. Mereka tak perlu naik bus
atau belanja di pasar, bukan? Sedangkan yang terlalu miskin,
om
sudah tak bisa ke mana-mana lagi, bertahan hidup dengan
t.c
po

mengais sampah dan mengemis. Kelas menengah jumlahnya se-


gs

dikit, kebanyakan sudah kabur ke luar negeri, ”pulang” ke


lo
.b

Rusia.
do

Uzbekistan sebenarnya bukan negara miskin. Sumber energi


in
a-

melimpah, tanah pertanian menghampar, bahkan emas pun ter-


ak
st

kandung di bawah buminya. Tetapi justru wajah kelabu yang


pu

tampak di hari pertama saya di negeri ini. Di jalanan Almaty


atau Bishkek, orang Rusia tampil dengan jas bulu mahal, sepatu
impor, gelimang kekayaan. Di Tashkent, bocah-bocah manis
berkulit pucat, bermata biru bening, mengorek sampah yang
dibuang orang Uzbek.

”Ingat, Gus,” kata Rosalina Tobing, staf bidang politik KBRI,


”kalau sudah masuk Uzbekistan, jangan kamu berpikir lagi ada
di negara normal. Di sini semuanya bisa terjadi.”

313
Hari pertama di Uzbekistan, saya sudah disuruh memper-
panjang visa. Kata Rosalina, waktu tunggu perpanjangan visa
satu bulan, itu pun belum tentu dapat. Visa saya juga cuma satu
bulan. Jadi, selama satu bulan ini saya akan berkeliaran di ne-
gara ini dengan dirundung ketidakpastian, sampai hari H nanti,
takdir saya akan ditentukan, bak judi di kasino dengan proba-
bilitas kemenangan yang lumayan tipis. Kalau dapat visa, boleh
tinggal lebih lama. Kalau tidak dapat, saya harus minggat dan
bayar denda.
”Itu memang cara mereka mencari duit,” jelas Rosalina. ”Be-
berapa tahun lalu, mantan Duta Besar RI berkunjung lagi ke
om
Uzbekistan sebagai tamu. Beliau pun langsung memperpanjang
t.c
visa begitu datang. Setiap hari pihak Uzbek bilang tidak ada
po

masalah. Semua lancar. Silakan bersenang-senang. Sampai... be-


gs
lo

berapa hari sesudah visanya kedaluwarsa, beliau diberitahu


.b
do

bahwa perpanjangan visanya ditolak.” Gotcha! Seorang tamu ter-


in
a-

hormat harus meninggalkan negara ini dalam keadaan yang


ak

sangat tidak nyaman, terbirit-birit untuk mendapatkan pener-


st
pu

bangan plus bayar denda ratusan dolar. Sementara, bisa kita


bayangkan, imigrasi Uzbek tersenyum bangga penuh keme-
nangan.
”Itu belum apa-apa,” kata Murtie Djuffan, staf konsuler
KBRI, ”dibandingkan kejadian tahun lalu ketika banyak orga-
nisasi asing ditutup paksa dan personelnya dideportasi semua
setelah kejadian Andijan Berdarah. Mereka hanya diberi waktu
24 jam angkat kaki dari Uzbekistan, tanpa kompromi. Cuma 24
jam, gila nggak?!”
Andijan Berdarah, pada tahun 2005, polisi memuntahkan
tembakan ke arah demonstran di Andijan, ujung timur Lembah

314
Ferghana dekat Kirgizstan. Tidak pasti berapa jumlah korban
tewas. Konon sampai ribuan, kebanyakan rakyat jelata. Menurut
pemerintah korban cuma seratusan orang, semuanya ”pembe-
rontak”. Dunia mengecam. Uzbekistan tak ambil pusing. Istilah-
nya, kafilah menggonggong, anjing tetap berlalu. Semua jaringan
komunikasi diblokir, internet tak bisa diakses, jurnalis dan
pengamat HAM asing dienyahkan. Dalam semalam, NGO asing
ditutup dan personelnya dideportasi. Sukarelawan Peace Corps
tak bakal kembali lagi. Hubungan Uzbekistan dengan Amerika
Serikat dan Uni Eropa memburuk, pangkalan militer Amerika
langsung ditutup. Uzbekistan mesra kembali dengan Rusia.
om
”Bukan negara normal,” kata-kata itu terus berdengung da-
t.c
lam benak saya. Murtie bercerita tentang KBRI yang mengajukan
po

protes ke bandara Tashkent. Di mana-mana, di seluruh dunia,


gs
lo

korps diplomatik mendapat perlakuan istimewa. Dengan santai


.b
do

pihak bandara menjawab, ”Itu, kan dunia. Ini Uzbekistan. Ka-


in
a-

lau mau seperti itu, ya sudah kamu ke dunia saja.”


ak

Kata-kata yang sama saya dengar dari mulut guide Indonesia


st
pu

yang memandu wisata turis ke Uzbekistan. Negara ini langsung


membuatnya kapok, dan bersumpah tak bakal lagi membawa
turis ke negara ini. Birokrasi njelimet, tidak jelas, dan gila duit.
Ceritanya, ia mendapat tips dari para tamunya, sampai 3.000
dolar jumlahnya. Begitu sampai di bandara, petugas memintanya
mengeluarkan semua uangnya. Polisi Uzbek mana yang tidak
ngiler lihat uang sebanyak ini? Langsung saja disita. Kawan kita
ini tidak terima, mengadu ke KBRI.
Ternyata, di Uzbekistan memang ada peraturan: uang yang
dibawa keluar Uzbekistan tidak boleh lebih dari uang yang di-
bawa masuk. Ini bisa dipantau dari lembar deklarasi yang diisi

315
orang asing waktu melintas batas. Semua harus ditulis jelas,
mulai dari jumlah baju, tas, laptop, kamera, Dolar, Sum, Rubel,
semuanya! Logika mereka sederhana, selisih uang itu adalah
hasil kerja ilegal si ”pelaku” di Uzbekistan. Padahal zaman mile-
nium begini orang kan bisa menerima transfer, menggunakan
kartu kredit dan debit internasional, atau dapat utangan dari
teman. Tapi itu sama sekali tak berarti buat polisi Uzbek.
”Itu kan dunia. Ini Uzbekistan.”
Uang. Uang. Uang. Sejak Uni Soviet bubar, kenangan ten-
tang Rubel semakin pupus, warga Asia Tengah jadi terbiasa ber-
hitung dengan dolar Amerika Serikat—mata uang mantan mu-
om
suh bebuyutan mereka waktu Perang Dingin. Setiap negara
t.c
membentuk mata uang sendiri, tetapi tidak semua berjaya. Kurs
po

Sum Uzbek terus anjlok, semakin lama semakin seperti sampah.


gs
lo

Murtie berkeluh kesah, dalam beberapa tahun terakhir, barang-


.b
do

barang di Uzbekistan semakin mahal. Tetapi lupakan kartu kre-


in
a-

dit, kartu debit, dan berbagai fantasi futuristik lainnya. Di ne-


ak

gara ini yang dihargai cuma uang kontan, ke mana-mana kita


st
pu

harus membawa uang Sum. Tetapi nilai Sum terlalu kecil, pe-
cahan terbesar saja tak sampai US$1, itu pun susah mendapat-
kannya. Bayangkan membeli laptop hanya dengan uang kertas
seribuan rupiah. Kalau beli tiket pesawat selembar saja, uangnya
sampai bertas-tas. Jari-jemari kasir supermarket sangat fleksibel
dan lincah, menari bersama bunyi gress... gress... gress... lembaran
Sum yang bergepok-gepok.
Setidaknya, mereka tidak perlu khawatir ada uang palsu, ka-
rena memalsukan uang setidak berharga ini tentunya malah ba-
kal rugi. Orang sini bilang, mata uang mereka begitu kuat. Mak-
sudnya, mata uang yang bikin orang kuat, karena untuk belanja

316
pun mereka harus menggotong uang berkilo-kilogram ke mana-
mana.
”Orang Jawa bilang, wong mati kabotan duit30,” kata Murtie,
”di sini, orang bisa mati sungguhan karena keberatan duit. Di
Uzbek, mau belanja tiket pesawat buat sekeluarga, bawa uang
satu kardus gede, terus jatuh, menimpa badan... mati.”
Pergi belanja pun menjadi urusan serius.

Di Tashkent, jangan pernah menganggap polisi adalah sahabat.


om
Mereka justru adalah makhluk yang paling ditakuti sekaligus
t.c
dibenci. Masih ingat bagaimana saya nyaris dirampok polisi di
po

Kirgizstan? Polisi di Uzbekistan selevel, atau malah lebih ganas.


gs
lo

Hobi mereka menghentikan orang asing, menyita paspor,


.b
do

”menghitung” uang di dompet, dan minta sogokan. Bahkan se-


in
a-

orang polisi tak segan memeras pembawa acara jalan-jalan tele-


ak

visi asing, tak malu direkam kamera dan disiarkan ke seluruh


st
pu

dunia. Penduduk setempat malas berhubungan dengan polisi,


terlebih lagi saya yang menginap ilegal di rumah Temur Mirzaev
di dekat pasar Yunusobod. Menurut peraturan, turis harus ting-
gal di hotel, dan dicatat oleh kantor registrasi. Kalau saya sampai
tertangkap polisi, urusannya bakal panjang.
Daerah pasar ini adalah tempat menyeramkan sepanjang
hari. Di siang hari, polisi berkeliaran mencari mangsa. Di ma-
lam hari, giliran penjahat. Di sudut kota ini, sumber penerangan

30
Ungkapan Jawa, ”orang tewas karena uang yang terlalu berat”, melukiskan
orang yang kaya sekali tetapi terlalu pelit, dan meninggal karena kekikirannya.

317
hanya dari rembulan temaram. Terdengar teriakan serak dalam
bahasa Rusia memecah kesunyian. ”Bratishka! Bratishka! Adik
kecil! Berhenti!” Malam begini, saya tidak nafsu bicara dengan
orang asing. Lagi pula, sejak kapan saya punya kakak di
Uzbekistan?
Tiba-tiba, dua pasang tangan kuat menyeret saya ke koridor
apartemen yang suram. Begitu kuatnya, saya tak kuasa berontak.
Mereka adalah dua pemuda Uzbek yang tinggi kekar.
”DI MANA KAMU TINGGAL?” terdengar teriakan sese-
orang. Dia mengenakan jaket putih dan topi musim dingin.
Saya ketakutan, tak kuasa menjawab.
om
Sekelebat tangan, dalam posisi menonjok, melayang di
t.c
udara.
po

”AAAAAAHHHH!”
gs
lo

Sebuah lengan meraih saya, mencengkeram.


.b
do

”APA INI?” Lelaki berjaket putih menarik tali kalung telepon


in
a-

genggam. Tarikan itu mencekik leher. Untung telepon saya ma-


ak

sih terkunci aman di dalam saku jaket.


st
pu

Bajingan itu terkejut, saya tersedak. Saya terus berteriak se-


perti kesetanan. Saya mencoba meraih pegangan tangga aparte-
men. Gemetaran, kaki pun terlalu lemah untuk menapaki anak
tangga. Berkali-kali saya terpeleset. Tangan-tangan para begundal
itu berusaha meraih saya. Jeritan melengking adalah senjata
satu-satunya.
Wajah saya pucat seperti mayat setelah dengan susah payah
saya mencapai rumah Temur di lantai dua. Sepupunya yang
membukakan pintu segera menenangkan saya. Jantung saya ma-
sih berdegup kencang seperti atlet lari Olimpiade. Orang-orang
itu sudah kabur rupanya.

318
”Gus, saya sudah tidak tahu lagi mesti marah atau kasihan
kepada kamu,” kata Rosalina melalui telepon, ”tetapi kamu itu
ya, ceroboh sekali. Kita sudah berulang kali dapat peringatan
dari polisi Uzbek, jangan sekali-sekali menelepon di jalan! Ini
Uzbekistan, Gus, bukan Indonesia....”
Ekonomi tidak keruan, angka pengangguran terus melonjak,
jurang sosial melebar, hidup semakin susah. Semua gambar mu-
ram ada di sini, menjadikan kota yang tampak ceria dan ber-
sahabat di siang hari menjadi kota hantu di waktu malam. Se-
orang kawan Prancis pernah kerampokan di apartemen. Laptop,
TV, uang, semua benda berharga ludes disikat. Pelakunya bawa
om
senjata api dan korbannya sampai disekap. Kalau mengalami
t.c
kejadian seperti itu, saya mungkin bisa trauma sepanjang hayat.
po

”Ada dua kemungkinan orang mengalami kejadian seperti


gs
lo

ini di Tashkent,” kata si ekspatriat Prancis, ”terlalu ceroboh,


.b
do

atau terlalu apes.” Tampaknya saya adalah gabungan keduanya:


in
a-

si ceroboh yang apes. Kalau menurut Rosalina, probabilitas ter-


ak

besar adalah karena saya kurang amal.


st
pu

Langit mulai gelap ketika saya dan Temur berjalan di pusat


Tashkent. Semua bus penuh sesak oleh pegawai yang pulang
kerja. Mendapatkan tumpangan bus sungguh tak mudah. Kami
sudah menunggu cukup lama.
PRANGGGGG!!!
Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah dari kios di sebelah
halte. Seorang pria Rusia berbadan kekar terhuyung-huyung ke-
luar dari kios sambil memegangi kepalanya. Ia berteriak marah,

319
mengumpatkan kata-kata jorok. Otak lelaki mabuk itu tak ter-
kontrol. Ia kembali masuk kios. Terjadi pertempuran dahsyat.
Adu jotos, kaca pecah, umpatan najis memekakkan telinga. Ia
keluar sambil memegang pecahan botol kaca yang kalau disayat-
kan ke wajah bisa meninggalkan bekas luka seumur hidup.
Saya tercekat. Temur pun terkejut, tak pernah ia menyaksikan
kejadian seperti ini. Orang-orang lewat seakan tak peduli.
Tiba-tiba muncul seorang jagoan, pria kekar yang berani me-
lerai, menyergap si pemabuk dari belakang dan menyeretnya
pergi. Beberapa orang lain memanggil polisi. Pria mabuk itu
semakin menjadi-jadi kemarahannya. Suaranya mengambang,
diombang-ambing alkohol. om
t.c
Dua polisi Uzbek harus bersusah payah meringkus pemabuk
po

itu. Malam ini ia mungkin akan menginap di hotel prodeo. Tak


gs
lo

sampai dua menit, pemilik kios menyapu pecahan kaca yang


.b
do

berserakan. Tak sampai lima menit, para pejalan kembali lalu


in
a-

lalang, seperti tak ada kejadian apa-apa. Ekspresi mereka datar.


ak

Tak sampai tujuh menit semuanya kembali seratus persen


st
pu

normal. Tashkent kembali jadi Tashkent. Gelap dan hening.


Sejak itu, saya tak berani lagi keluar malam sendirian.

Kelas kosong melompong. Tak ada mahasiswa yang datang. Ini


adalah pemandangan biasa di jurusan bahasa Indonesia di
Tashkent State Institute of Oriental Studies. Di sini, Temur
Mirzaev mendalami bahasa kita, dan mengundang saya untuk
bertatap muka dengan para pelajar.
Rosalina, staf KBRI yang juga datang ke Institut untuk

320
mengajar, sering mengeluhkan betapa malasnya siswa di sini.
Kalimat andalannya untuk memotivasi para mahasiswa, ”Jangan
malas-malas kalau kamu tidak ingin seperti Indonesia!” Tapi
tampaknya tidak berhasil. Bahkan ada mahasiswa yang sudah
belajar bahasa Indonesia empat tahun tapi masih berhitung dari
”satu” sampai ”sepuluh” dengan bantuan jari.
”Sebagian mahasiswa ini belajar karena terpaksa. Ada yang
sama sekali tidak tertarik, tetapi tak punya pilihan. Ada yang
hanya mengejar gelar saja. Bahasa Indonesia tidak bisa dipakai
di Uzbekistan,” Temur beralasan.
Sedangkan Temur belajar bahasa Indonesia karena benar-
om
benar tertarik pada budaya Indonesia. Karena prestasinya, ta-
t.c
hun lalu ia mendapat beasiswa Dharmasiswa, belajar di Surabaya
po

selama setahun. ”Saya sangat suka Surabaya, Mas Jagoan,”


gs
lo

Temur bercerita, ”saya suka kulturnya, budayanya, alamnya....”


.b
do

Kebetulan nama Temur, dibaca ”Timur”, pas sekali dengan pro-


in
a-

vinsi Jawa Timur. Di Surabaya, Temur kos di gang tengah kam-


ak

pung dan menghadiri acara pernikahan tradisional di Kediri.


st
pu

Kehidupan kampung yang sederhana dan kental adat istiadat


menjadi kenangan istimewa. Temur terbiasa makan nasi putih,
mi instan, dan sambal. Tetapi nasi tentunya tidak dapat meng-
geser kerinduannya akan roti. Buat orang Uzbek, tiada hari tan-
pa roti, tak ada yang bisa menandingi kelezatan roti panggang
nan. Begitu kembali ke negerinya, yang pertama kali dilahapnya
dengan penuh haru dan mata berkaca-kaca adalah nan buatan
nenek.
Pengalaman Temur membuat saya merenungkan bagaimana
dua kultur berbeda berinteraksi dan saling meraba. Saya dari
Indonesia, berusaha meraba Uzbekistan dari sekelumit penga-

321
laman saya di negeri ini. Bagi saya, Uzbekistan mungkin adalah
tempat terjauh dan terpencil dari sudut pandang orang Indo-
nesia. Sementara Temur juga terpesona oleh eksotisme Indonesia
yang begitu jauh dan terpencil dari kacamata Asia Tengah. Na-
mun di setiap tempat ”jauh” dan ”terpencil” pastilah hidup
bangsa-bangsa dengan kultur mereka, masa lalu, bahasa, tarian,
kebanggaan mereka. Setiap sudut di atas peta bumi sebenarnya
menyimpan kisah-kisah indah. Tentang manusia. Tentang per-
juangan. Tentang peradaban dan kebudayaan. Nilai dan norma,
walaupun mungkin bernama sama, tetapi definisinya bisa ber-
beda pada setiap wilayah yang dikelilingi garis batas.
om
Di Indonesia, selain sempat belajar bahasa Arab, Temur juga
t.c
belajar melihat Islam dari sisi lain. Seperti umumnya Muslim
po

Asia Tengah, Temur belum pernah berpuasa. Alasan klasik: tak


gs
lo

ada waktu. Saat Ramadan di Surabaya, seorang mahasiswi Je-


.b
do

pang ikut berpuasa, sementara Temur kukuh dengan kebiasaan-


in
a-

nya, sampai ia tersipu ditegur satpam Indonesia, ”Masa kamu


ak

yang Muslim kalah dengan orang Jepang itu? Apa artinya men-
st
pu

jadi Muslim?”
Belajar bahasa itu bukan cuma belajar berkomunikasi. Ke-
sempatan belajar bahasa di Surabaya memberikan sudut pan-
dang baru bagi Temur. Orang bilang, belajar satu bahasa asing,
maka kita akan mendapat satu kepribadian baru. Bahasa punya
daya magis untuk memengaruhi pola pikir seseorang, wataknya,
budayanya. Bahasa juga bisa menyebar melintasi batas-batas
fisik antarnegeri, mengarungi dimensi waktu, melebarkan hege-
moni. Bahasa Inggris, disebarkan ke seluruh penjuru bumi oleh
sejarah kolonial, lalu dimantapkan dengan kemajuan teknologi.
Generasi muda di pedalaman Indonesia pun kini piawai me-

322
nyanyikan lagu-lagu pop Amerika, dan setiap kali kita menelusuri
laman internet, kita tak pernah lepas dari bahasa ini—mulai dari
sistem operasi, browser, mesin pencari, layanan e-mail, berita ter-
baru, hingga jaringan pertemanan. Masa sekarang, bisakah kita
melewatkan satu hari tanpa melihat satu kata pun dari bahasa
Inggris?
Bahasa Rusia, mengarungi ribuan kilometer padang rumput
dan gurun, kini menjadi bahasa pemersatu bagi orang Uzbek,
Kirgiz, Tajik, Kazakh, di pedalaman Asia Tengah. Bahasa ini
mempersatukan bangsa gembala nomad Muslim dengan para
kamerad Slavik di Moskow sana. Bahasa ini pula yang memisah-
om
kan mereka dari masa lalu: Arab, Persia, Turki, dan Islam. Pada
t.c
zaman keemasannya, bahasa Persia pernah menjadi lingua franca
po

di Asia Tengah, sebagai bahasa peradaban dan pengetahuan.


gs
lo

Beribu syair indah karya para pujangga, memuji kedahsyatan


.b
do

Samarkand dan Bukhara, tertulis dalam bahasa Persia yang


in
a-

menggetarkan hati. Bahasa Arab menyebar bersama Islam. Ba-


ak

hasa Sanskerta bersama Hindu dan Buddha ribuan tahun lalu.


st
pu

Bahasa Cina oleh perdagangan dan diaspora. Bahasa Jepang


melalui anime dan manga.
Semakin besar pengaruh dan peradaban sebuah bangsa, se-
makin luas penyebaran bahasanya, semakin banyak karya sastra-
nya yang diterjemahkan dan dibaca oleh masyarakat dunia, se-
makin berlomba-lomba orang untuk mempelajarinya. Bahasa
itu menerjang, menembus berbagai garis batas, memengaruhi
pola pikir berbagai bangsa yang mempelajarinya. Bahasa kita
memang sudah menembus hingga ke negeri Uzbek walaupun
cuma jadi jurusan ”buangan”.
Tetapi, jangan keburu bangga dulu, karena bangsa yang be-

323
sar juga adalah bangsa yang selalu belajar, termasuk belajar ba-
hasa asing. Kalau Uzbekistan yang kecil dan terpencil saja punya
jurusan bahasa Indonesia, adakah tempat kita di Indonesia un-
tuk belajar bahasa Uzbek dan Tagalog?
Bangsa yang tak menguasai bahasa asing akan terkurung da-
lam dunianya sendiri, terjebak dalam sekat yang diciptakannya
sendiri. Bangsa ini tak banyak tahu tentang dunia luar, hanya
jadi penonton di panggung diplomasi dunia. Sementara bangsa
besar yang mau belajar bahasa asing punya jaringan informan
dan intelijen yang kuat (jangan kaget kalau ada mata-mata Israel
di Indonesia), menguasai saluran informasi (banyak kantor be-
om
rita, radio, dan televisi asing di Indonesia), dan semakin men-
t.c
dominasi karena berhasil menembus berbagai garis batas.
po
gs
lo
.b
do
in
a-

Negeri ini seharusnya menjadi pusat dunia. Tengoklah atlas,


ak

perhatikan, mana ada negara lain yang seperti Uzbekistan?


st
pu

Letaknya pas sekali di jantung Eurasia, terkurung daratan di


seluruh penjuru. Hebatnya lagi, semua negara yang mengelilingi
Uzbekistan juga sama-sama tidak punya lautan. Jadi, Uzbekistan
adalah negara yang terkurung oleh negara-negara yang juga ter-
kurung daratan.
Tetapi bukan berarti orang yang hidup di sini terkucil dari
dunia. Dulu di Tajikistan, yang juga terpencil di pedalaman gu-
nung, saya terkesima oleh pengetahuan penduduk desa tentang
Indonesia. Di Samarkand, saya mengagumi gadis-gadis Uzbek
yang gemulai menarikan berbagai tarian tradisional dari Nusan-
tara.

324
Namanya Ozoda Kosimova, 31 tahun, berdarah campuran
Uzbek dan Tajik. Bahasa Indonesia-nya begitu fasih, padahal dia
cuma belajar sendiri dari buku. ”Senang sekali Anda datang ke
sini,” sambutnya, sambil sibuk mendandani murid-muridnya
dengan pakaian tradisional Indonesia. Kecintaan Ozoda pada
budaya Indonesia bermula dari teman sekamarnya yang kuliah
bahasa Indonesia. ”Bahasa itu terdengar halus, lembut, merdu
sekali,” katanya, ”jadi saya belajar. Tidak ada guru, jadi saya
cuma belajar dengan menghafal kamus. Lalu KBRI membantu
dengan memberi buku dan bimbingan lewat e-mail.”
Ozoda pun jadi sering berkunjung ke KBRI. Murtie Djuffan,
om
staf KBRI lulusan Institut Seni Indonesia dan diundang sebagai
t.c
guru tari dan duta seni budaya, mengajak Ozoda menonton
po

video tarian Indonesia. Mungkin bagi kita itu adalah pertunjukan


gs
lo

biasa, tetapi bagi Ozoda, gerakan-gerakan lemah gemulai itu lak-


.b
do

sana sihir. Seketika ia terkesima.


in
a-

Memang dasarnya sudah berbakat sebagai penari Uzbek, tak


ak

perlu waktu lama Ozoda sudah menguasai banyak tarian Indo-


st
pu

nesia di bawah bimbingan Mbak Murtie. Pulang ke Samarkand,


Ozoda memamerkan kemampuannya menari Yapong dan Ba-
dinding di hadapan murid-muridnya. ”Mereka senang sekali,”
katanya bangga, ”Mereka bilang tarian Indonesia bagus, cantik.
Semua mau belajar.”
Ia membuka kelas tari-tarian Indonesia, dan dalam sekejap
lahirlah generasi muda Samarkand yang jago menarikan Badin-
ding, Sukaria, Piring, Batik, Puspito, dan Yapong. Sebagai orang
Indonesia sendiri, sungguh malu rasanya saya tak tahu satu pun
tarian ini. Utkir Utanov, suaminya yang penyanyi itu, juga fasih
menyanyikan Setangkai Anggrek Bulan dan Kisah Kasih di Sekolah,

325
berpadu dengan dengan petikan rebab yang mengharmonisasikan
denting melodi Timur Tengah dengan mendayunya musik
rayuan pulau kelapa. Dalam konser terakhir, murid-murid Utkir
juga mahir menyanyikan lagu-lagu ini, sampai penonton seperti
terhipnotis, ikut berdiri, dan mengayun badan mengikuti irama.
Penonton pun tak kalah sibuknya dengan para penari dan pe-
nyanyi di panggung.
”Sekarang orang Uzbek hanya tahu tentang India, musik
dan tariannya. Masih belum banyak yang tahu Indonesia, saya
hanya ingin suatu hari semua orang di Samarkand, juga di selu-
ruh Uzbekistan, bisa menari dan menyanyi tarian dan lagu
Indonesia.” om
t.c
Inilah kebanggaan kita. Inilah tari-tarian kita. Saya teringat
po

catatan buku harian di Tajikistan dulu, yang kini saya pandang


gs
lo

dengan perspektif berbeda. Walau saya pun tak mengenal tari-


.b
do

tarian dan lagu-lagu ini, tetapi ada rasa bangga ketika menyaksi-
in
a-

kan bagian budaya yang dilabeli ”Indonesia” ini tampil di atas


ak

panggung seni Uzbekistan. Ada rasa ikut memiliki. Ada ego


st
pu

yang ikut bergemuruh.


Sejak kecil saya sudah disuapi berbagai pemahaman, betapa
dunia memuja negeri kita yang indah permai, betapa dunia me-
ngagumi tanah kita yang gemah ripah loh jinawi. Tetapi sejujur-
nya, di luar garis batas Indonesia, tak banyak orang yang menge-
tahui hal itu, apalagi mengagumi sampai memujanya. Orang di
pedalaman Uzbekistan dan Afghanistan malah lebih fasih ber-
dendang jinggel Truly Asia daripada menyebut nama negara
kita dengan benar. Sering kali bahkan Indonesia itu dikira sama
dengan, atau malah bagian dari, Malaysia. Promosi gencar dari
negeri tetangga membuat kita terbakar ”nasionalisme”-nya, me-

326
lancarkan demonstrasi, sampai menyerukan perang. Ada rasa
terjajah, rasa tersaingi. Kebudayaan kita tercuri, oh, tari-tarian,
lagu-lagu, pakaian, sampai makanan tradisional kita telah me-
lintas batas hingga ke negeri jiran.
Kebanggaan itu membuat kita sudah tak peduli lagi pada
kenyataan bahwa batas-batas negeri kita itu sama artifisialnya,
bikinan dari bangsa-bangsa nun jauh di Eropa sana. Kebanggaan
itu sudah membuat kita tak lagi peduli, Malaysia hari ini adalah
bagian dari Nusantara di masa lalu, tarian dan lagu-lagu bebas
melintas ke seluruh penjuru Nusantara, menjadi khazanah per-
adaban bangsa yang besar. Tetapi kini, nasionalisme terus di-
om
gaungkan, mengukuhkan garis-garis batas pemecah belah ben-
t.c
tukan bangsa kolonial. Bangsa besar itu kini digantikan oleh
po

bangsa-bangsa kecil yang saling berebut demi eksistensi.


gs
lo

Padahal, bukankah justru bangsa yang besarlah yang punya


.b
do

kebudayaan yang dipakai di mana-mana? Toh Cina juga tidak


in
a-

pernah memprotes kita yang ”mengklaim” bakmi Jawa, tahu


ak

campur, pangsit, siomay, bubur ayam, nasi goreng, lontong Cap


st
pu

Go Meh, atau menuntut hak cipta karena kita makan dengan


sumpit dan mangkuk.
Tari-tarian itu, kegemulaian dan kelemahlembutan itu, ma-
lah menghadirkan wajah kekerasan dan amarah. Bakar-bakar
bendera. Seruan perang. Ancaman penculikan. Bambu run-
cing....
Inilah tarianku. Inilah kebanggaanku. Dan kalau boleh saya
menambah, inilah nasionalismeku. Inilah egoku.
Di mata Ozoda, semua itu nisbi. Tak perlulah ia peduli de-
ngan segala kebanggaan, aroganisme yang sekaligus membalut
kerendahdirian kita. Baginya, yang ada hanya kegemulaian dan

327
kelemahlembutan. Gamelan terus mengalun di gedung kesenian
Samarkand, tak jauh dari gedung-gedung raksasa yang berdiri
megah sejak zaman Jalur Sutra.

Tari-tarian kuno Uzbekistan bergema bukan hanya di gedung


kesenian, tetapi juga oleh kemilau sejarah tua negeri ini.
Uzbekistan bagi saya begitu luar biasa—sungguh bukan negara
normal. Sejak zaman kafilah dan para saudagar melintas, meng-
hubungkan Timur dan Barat lewat perdagangan darat berabad
om
silam, kota-kota kuno Uzbekistan sudah berpendar oleh ke-
t.c
majuan peradaban dan ilmu pengetahuan. Abad pertengahan,
po

inilah pusat dunia, tempat para ilmuwan dan seniman berkum-


gs
lo

pul menghasilkan karyatama yang dikenang sepanjang masa.


.b
do

Hasilnya adalah kota Samarkand dan Bukhara, yang mendengar


in
a-

namanya pun cukup membuat hati bergetar.


ak

Perjalanan menuju Bukhara sebenarnya tidak terlalu sulit,


st
pu

terlepas jaraknya yang lumayan jauh. Negeri ini bukanlah


Tajikistan yang dirundung kemalangan, hingga tak mampu me-
nyediakan transportasi bagi warganya. Terminal bus Sabir
Rahimov di selatan Tashkent teramat sibuk menjelang senja ke-
tika kawanan bus siap berangkat ke barat. Dari Tashkent hingga
ke Republik Karakalpakstan di ujung barat Uzbekistan terben-
tang dataran luas menghampar, juga gurun Pasir Merah yang
kering dan monoton.
Begitu naik bus menuju Navoi dekat Bukhara, saya letakkan
ransel di bawah bangku, memeluk tas kamera mungil, dan lang-
sung tertidur sembari menyandarkan kepala ke jendela yang di-

328
ngin. Mulut menganga tanpa sadar. Kenikmatan tidur di bus
malam membuat air liur tak berhenti menetes.
Gelap gulita. Hanya suara deru mesin kendaraan kuno ini
yang terdengar mengisi malam. Perjalanan panjang sepuluh jam
tak akan terasa kalau dilewatkan hanya dengan tidur.
Tiba-tiba, tidur lelap saya terganggu. Ada orang yang mencoba
membuka tas kamera di pelukan. Siapa penumpang kurang ajar
ini? Saya memicingkan mata, menatap lelaki gendut di sebelah,
lalu mendengus kesal. Kantuk memaksa saya melanjutkan kem-
bali mimpi indah.
Orang normal butuh suasana tenang untuk tidur, sementara
om
dalam bus yang berguncang justru ketenangan mendadak yang
t.c
membuat saya terbangun. Mesin bus berhenti. Terdengar te-
po

riakan, ”Navoi! Navoi! Bangun!” Perhentian terakhir.... Berat


gs
lo

rasanya membuka mata. Saya mengusap daerah sekitar bibir


.b
do

yang lembap. Ah, tidak pernah rasanya tidur sesedap ini. Saya
in
a-

meraba saku celana, mencari-cari telepon untuk menghubungi


ak

Suhrat, kawan di Bukhara.


st
pu

Aduh... telepon tak lagi di saku! Baru bangun, saya langsung


dihadapkan pada kepanikan, kelimpungan meraba kolong kur-
si, koridor, jingkrak ke sana-ke sini, sampai membuat marah
sopir bus yang kesal karena penumpang terakhir ini bukannya
turun, malah bikin ribut.
Pukul empat pagi, Navoi gelap sempurna tanpa lampu jalan.
Taksi berbaris dekat perhentian bus. Sopir taksi agresif berebutan
penumpang. Saya terduduk lesu dalam taksi yang teronggok di
terminal.
”Brat. Kamu kasih lima puluh dolar, saya jamin telepon
kamu pasti kembali,” kata sopir. Telepon saya sudah kuno dan

329
ketinggalan zaman, tetapi banyak nomor penting di dalamnya.
Saya langsung mengangguk setuju. Sopir temannya yang duduk
di jok belakang langsung menyanggah, ”Nyet. Lima puluh dolar
tak cukup. Seratus dolar baru bisa.”
Bodohnya saya, kenapa tadi tidak menawar dulu. Saya se-
benarnya tak punya uang sebanyak itu, tetapi masih saja rasa
penasaran menghantui.
Bagaimana mereka bisa menemukan telepon yang dicuri?
Keduanya kebetulan kenal dengan pentolan mafia terbesar di
kota ini. Bukan sembarang kenalan, beliau adalah bos semua
maling di Navoi. Satu sopir akan meluncur ke rumah bos untuk
om
merayunya mengembalikan telepon saya, sementara sopir satu-
t.c
nya menunggu dalam taksi bersama saya.
po

”Taruh uangmu di sini, jadi nanti kalau teleponmu kembali


gs
lo

kita bisa langsung membayar,” kata sopir. Saya memang bodoh,


.b
do

tetapi tidak sebodoh itu. Rekannya sudah pergi membawa mobil


in
a-

memecah kesenyapan malam. Si sopir tidak sabar, ”Hei! Dengar


ak

ya, kami bukan pencuri, bukan pula teman mereka. Kami cuma
st
pu

ingin bantu kamu!”


Menit demi menit merayap begitu lambat. Dari penumpang
bahagia yang tertidur nyenyak dibuai mimpi, saya kini jadi kor-
ban pencurian yang terjebak dalam taksi gelap dengan sopir tak
dikenal, plus jaringan mafia yang begitu misterius. Apakah tele-
pon saya akan kembali? Kalaupun kembali, apakah saya bisa
kabur dari mobil ini?
Sepuluh menit berselang, sopir datang dengan tangan ko-
song. Sang bos maling menyesal tidak bisa membantu. Saya tak
tahu harus senang atau sedih. Telepon hilang, tetapi uang tak
melayang. Kedua sopir minta dibayar untuk jerih payah mereka,

330
tetapi kebetulan bus menuju Bukhara datang. Saya langsung
menyambar tas, bak kesetanan, melompat ke arah bus yang ha-
nya berhenti kurang dari semenit itu.
Seperti kata pepatah, memikirkan kesialan akan mendatang-
kan kesialan lain. Kamera saya terloncat dari dalam tas, dan
lintasannya membentuk kurva hiperbola sebelum membentur
lantai bus yang sudah karatan. Lensa kamera saya sekarang
menghasilkan gambar-gambar kabur.
Sekabur itulah pandangan saya sekarang tentang hari-hari
berikutnya yang akan saya lewati di negeri ini.

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

331
JALAN EMAS

”LIHATLAH Bukhara kami!” Mata Suhrat berbinar. Suaranya


melengking, penuh kebanggaan. Kami melintasi halaman masjid
kuno Bukhara kala subuh. Gelap, sunyi, namun tak bisu. Masjid
kuno berhadapan dengan madrasah besar yang tak kalah uzur.
Gedung-gedung tua menyinarkan keluhuran peradaban masa
om
t.c
lalu. Menara masjid tinggi menjulang, bersinar dibilas purnama.
po

Siapa yang tak terpekur di sini?


gs
lo

”Ya, Bukhara kita,” kata saya lemah. Ketakutan akibat mafia


.b

Uzbekistan tiba-tiba langsung meredup. Degup jantung melam-


do
in

bat. Segala kesusahan dan penderitaan rasanya tinggal separuh


a-
ak

begitu menatap kemukjizatan Bukhara tua. Suhrat membawa


st
pu

saya ke rumahnya, di pusat kota kuno. Sekarang saya bisa se-


makin lekat memandang wajahnya. Garis rupanya begitu kuat,
khas orang Tajik yang sangat kentara karakter Eropa-nya. Postur
tubuhnya tinggi dan kekar, berbalut jaket tebal dan bercelana
jins ketat. ”Sudahlah, istirahat dulu,” katanya, ”kamu sudah me-
lewati malam yang begitu berat.”
Saya terbaring lemah di sofa, mengambil sembarang buku
dari ransel, berusaha membaca untuk menenangkan kekalutan.
Mungkin memang takdir, buku yang terambil adalah Sang
Alkemis karya Paulo Coelho.
”Semua ini adalah pertanda alam,” tulisnya. Mudah sekali

332
bagi saya untuk masuk ke dunia sang tokoh utama, si gembala
Spanyol yang bercita-cita mencapai Piramida Mesir. Petualangan-
nya panjang, jalannya berliku. Ia menjalani takdirnya, melepas-
kan keterikatan dari benda-benda, dan mendengar bahasa alam
untuk menggapai mimpi.
Saya tersadar, bukankah memang seperti itu arti perjalanan
hidup? Bukankah tidur menggelandang di stasiun Kazakhstan
sudah mengajarkan betapa nisbinya arti identitas duniawi? Saya
sungguh tak malang. Keberuntungan tidak meninggalkan saya,
justru takdir sedang menuntun saya—petualang kecil yang ingin
menggapai cita-citanya.
om
Di Bukhara saya terjaga. Mungkin inilah ”piramida Mesir”
t.c
dalam perjalanan spiritual saya.
po
gs
lo
.b
do
in
a-

Shokir, ayah Suhrat, adalah pedagang sepatu. Bukan sembarang


ak

sepatu, tetapi yang tradisional, dari kulit, berujung lancip ber-


st
pu

hias sulaman. ”Bukhara adalah pusat budaya dan peradaban.


Ini kota para seniman. Seni adalah napas dan detak jantung
kehidupan.”
Seperti anaknya, Shokir pun berhidung mancung, bermata
besar, alis tebal dan tajam. Tatapannya menghunus. Sebagaimana
mayoritas penduduk Bukhara, mereka adalah orang Tajik. Me-
reka bicara bahasa Persia yang terdengar melengking, tercampur
dengan aksen dan tata bahasa Uzbek, dan suka berseru, ”Ibi...
ibi...” kalau terkejut. Saya merasa seperti kembali ke Tajikistan,
bebas lagi berbagi cerita dengan bahasa Tajik yang jauh lebih
saya kuasai daripada bahasa Rusia atau Uzbek.

333
Musim dingin adalah musim sepi bagi Bukhara yang meng-
andalkan pariwisata kota kuno. Toko-toko tutup sepanjang mu-
sim. Shokir menghabiskan waktu di rumah, mengecat dinding
kamar. Shokir berhati-hati menyapukan kuas kecil, seperti anak
sekolah melukis dengan cat air di buku gambar. Tetapi buku
gambar Shokir seluas tembok, di keempat sisi kamar. Diameter
kuasnya seukuran batang lidi, ujungnya nyaris lancip sempurna.
Kebudayaan Persia berkutat pada detail. Kuasnya tidak per-
nah besar, setitik demi setitik dioleskan penuh perasaan. Bunga,
bintang, bulan, sulur-suluran, dedaunan, mozaik, semuanya ter-
bentuk dari olesan kuas mungil. Warna-warni berharmoni
om
indah, berimprovisasi, menari-nari. Biru langit bersilang dengan
t.c
bintang merah muda dan hijau, bertabur di kelamnya langit.
po

Bunga-bunga putih, merah, dan jingga, merayap manis di atas


gs
lo

sulur hijau tua. Setiap coretan adalah ibadah dan doa tulus se-
.b
do

orang manusia jelata. Kaligrafi Persia mengular indah.


in
a-

Di dinding tertulis huruf Arab Persia:


ak

”Ya Rabi, berikan keselamatan bagi kekasih hatiku


st
pu

Dan dari kungkungan penjara dunia bebaskanlah diriku.”


Dunia adalah penjara. Garis-garis batas adalah penjara kita.
Ini adalah dobaiti—puisi dua bait—terkenal dari pujangga besar
Hafez Shirazi, filsuf sufi Persia abad ke-14 yang termasyhur ka-
rena karyanya yang mistis, meleburkan cinta, anggur, dan mukji-
zat. Puisi Hafez adalah perpaduan kehidupan spiritual dengan
kenikmatan duniawi, penuh simbol tersembunyi. Di Iran, Hafez
adalah pujangga yang paling lekat di hati. Saking cintanya me-
reka terhadap Hafez, ketika punya persoalan pelik dalam hidup,
mereka akan mengambil kitab puisi Hafez, memejamkan mata,
mendirikan niat, lalu membuka kitab itu secara acak. Bait puisi

334
yang tertampil itu diimani sebagai jawaban dari sang pujangga.
Setiap puisi Hafez penuh makna yang berangkap-rangkap, dan
di sanalah letak misteri keindahannya. Bahkan, begitu hebatnya
pujangga ini, hingga sang Amir Timur, raja kejam dari Samar-
kand dan penguasa Bukhara, juga menyayangi dan mengagumi-
nya.
Puisi adalah bagian penting budaya Persia. Ungkapan pe-
rasaan melantun melalui cantiknya kata-kata dan untaian sajak.
Daya sihirnya luar biasa, membius nurani. Bahasa Persia me-
mang indah. Bahasa ini pernah jadi simbol peradaban Asia Te-
ngah, dari Istanbul, Esfahan, Shiraz, Bukhara, Kabul, bahkan
om
sampai ke Lahore dan Delhi. Kesusastraan Persia berkembang
t.c
sampai puncaknya. Omar Khayam dengan rubayyat-nya, Amir
po

Khusro dengan ghazal-nya, Sa’di dengan ayat-ayat indahnya, dan


gs
lo

Ferdowsi dengan epos Shahnama yang merasuki peradaban


.b
do

bangsa-bangsa. Dalam percakapan sehari-hari, orang Tajik sering


in
a-

menyitir bait-bait pujangga ternama. Sering pula saya ditantang


ak

untuk melantunkan puisi Indonesia, yang cuma bisa saya balas


st
pu

dengan senyum malu. Ah, sungguh tak ada artinya lagu-lagu


pop dan hip-hop yang biasa saya dengar dibandingkan dengan
peradaban kuno mereka. Di sini, mereka menghafal puisi sejak
masih balita. Kesusastraan adalah kebanggaan peradaban, mem-
bedakan mereka dari gembala nomad di padang rumput.
”Ini mimpiku sejak dulu, menciptakan karya seni agung se-
lagi aku hidup,” katanya. Tiap goresan kuas menyiratkan pe-
rasaan hatinya. Segaris demi segaris, kamar ini kelak akan men-
jadi peninggalan sejarah. Bukan sekadar dinding sebuah rumah
sederhana di tengah kota kuno, tetapi mural raksasa geometri
dan kaligrafi Persia. Setidaknya butuh waktu setahun penuh un-

335
tuk menyelesaikan mahakaryanya ini. Mengiringi tiap guratan,
Shokir menyalakan kaset yang terus melantunkan doa-doa.

Keagungan kota suci terpancar dari Masjid Kalon yang berdiri


megah mendominasi pemandangan. Kalon dalam bahasa Tajik
berarti besar, sebesar keagungan itu. Takzim menyelimuti sanu-
bari siapa pun yang berziarah.
Menara Kalon, hampir seribu tahun usianya, menjulang
tinggi, berselimut ukiran dan detail indah. Bentuknya sedikit
om
mengerucut, dan dari puncaknya kita bisa lihat kota kuno
t.c
Bukhara terhampar. Keindahan menara ini bahkan menggugah
po

hati Genghis Khan, sang penakluk Mongol yang terkenal bengis,


gs
lo

membantai semua manusia dan hewan, serta menghancurkan


.b
do

segala peninggalan peradaban musuh. Keganasan Genghis Khan


in
a-

diibaratkan sebagai ”bom atom” pada zamannya. Dikisahkan


ak

lebih dari 30.000 orang dibantai di Bukhara, kepala manusia


st
pu

sampai membentuk piramida. Namun di depan Menara Kalon,


Genghis Khan terpekur. Menara ini dibiarkannya tetap berdiri
sebagai pertanda rasa hormatnya.
Ketika Bukhara dipimpin para khan, Menara Kalon menjadi
tempat eksekusi. Khan terkenal kejam, sering melemparkan
pelaku kriminal dari puncak menara. Bayangkan para korban
malang yang dilempar dari puncak sana. Bluk.... Dalam sekejap,
darah membanjiri dasar menara.
Dibandingkan dengan menaranya, Masjid Kalon relatif
muda, ”baru” sekitar 500 tahun umurnya. Masjid aslinya dihan-
curkan Genghis Khan. Pintu gerbang masjid membentang ting-

336
gi, berhadapan dengan madrasah kuno, seperti jiplakan cermin
tembus pandang. Gerbang utama berbentuk kotak, bertabur
mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tinggi, bertakhta-
kan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang
disamarkan dalam ornamen. Dinding cokelatnya menyiratkan
kejayaan masa lalu, berkilau diterpa mentari senja. Pekarangan
masjid berbentuk persegi. Di tengah halaman sebatang pohon
besar meneduhkan, tumbuh dalam kesunyian.
Sunyi tentunya adalah kata yang tak terbayangkan kala
Bukhara menjadi kota paling modern di tengah padang
Turkestan. Ribuan pria berserban dan berjubah dari seluruh
om
penjuru padang datang menimba ilmu fikih dan sains. Imam
t.c
Bukhari, putra Bukhara dari abad ke-9, mengembara ke negeri-
po

negeri Muslim, mengumpulkan sejarah peradaban Islam dan


gs
lo

riwayat Nabi Muhammad, dan mengompilasikannya dalam


.b
do

hadis sahih Bukhari. Ibnu Sina, bapak kedokteran dari zaman


in
a-

dinasti Somoni, juga mempelajari ilmu filsafat dan kedokteran


ak

di Bukhara. Sang pujangga Rudaki menghasilkan karya-karya


st
pu

agungnya di sini. Betapa banyak bait dan puja-puji yang dilantun-


kan dari kota kuno ini.
Kini, masjid besar ini lengang. Orang-orang hanya datang ke
masjid waktu sembahyang, dan dalam sekejap kosong melom-
pong setelah usai. Sesekali ada rombongan turis datang, potret
sana-sini, lalu pergi, diiringi bocah-bocah yang gencar menawar-
kan kartu pos dan cendera mata. Masjid yang dulunya mercusuar
peradaban Muslim jadi gudang biasa di zaman Soviet. Dua
puluhan ribu masjid yang ada di Uzbekistan ditutup oleh Stalin,
dan ketika Uzbekistan merdeka, tak sampai seratus masjid yang
tersisa. Salah satunya adalah masjid ini. Walaupun kini sudah

337
beroperasi kembali sebagai masjid yang sebenar-benarnya, tetapi
sukar untuk kembali lagi ke masa berabad silam. Masa kejayaan
itu sudah berlalu. Saya hanya mengelus dada ketika menyaksikan
bagaimana seorang backpacker Eropa melangkah mengendap-
endap demi menghindari tiket masuk yang seharga tiga dolar,
lalu dihardik keras oleh penjaga masjid, ”Kalau tidak mau bayar,
pergi!!!”
Islam menjadi masa lalu yang misterius. Ada kebanggaan di
sana, tetapi terbungkus ketidaktahuan. Tradisi Islam terputus
oleh puluhan tahun pemerintah komunis. Salat, puasa, huruf-
huruf Arab, azan, begitu jauh dari kehidupan banyak penduduk
om
yang mengaku Muslim di sini. Di Tashkent, sering kali setelah
t.c
po

saya mengucap assalamualaikum, lelaki Uzbek begitu terpesona,


gs

lalu berseru, ”Wah! Hebat! Kamu bisa bahasa Uzbek!” Mereka


lo
.b

menjadikan salam Islami itu sebagai ”Halo!” dalam bahasa


do
in

Uzbek, mengira doa ini adalah monopoli kultur Uzbek. Seabad


a-
ak

lebih di bawah Rusia, peradaban yang dibanggakan itu meredup


st

dan nyaris musnah, walaupun sekarang pelan-pelan dibangkitkan


pu

lagi dengan cara dan tujuan berbeda.


Muhammad, putra Imam besar, berwajah seperti orang
Eropa, mengenyam pendidikan di madrasah Bukhara. Bola
matanya biru kehijauan, kulitnya putih bersih, dan rambutnya
sedikit pirang. Tubuhnya agak kurus, namun tetap gagah ber-
selimut jubah tebal. Kepalanya tak lepas dari kopiah putih ber-
hias sulaman tradisional.
”Kopiah ini dari Indonesia,” ujarnya bangga, ”oleh-oleh
Ayah waktu ke sana dulu.” Perjalanan sang Imam mengunjungi
masjid dan madrasah di Jawa adalah sebuah perjalanan feno-

338
menal. ”Di rumah ada foto-foto Indonesia,” Muhammad melan-
jutkan, ”negara kamu benar-benar indah.”
Tetapi baginya tak ada tempat yang bisa mengalahkan
Bukhara. Inilah tempat ia menghabiskan seumur hidupnya.
Dulu, akunya, ia adalah anak nakal, suka bermain perempuan
dan berhura-hura. Tetapi kini, di halaman masjid, ia bercerita
betapa hidupnya berbalik ke kedamaian. ”Entah mengapa,
justru panggilan untuk kembali menjalani hidup yang diridhoi
Tuhan itu muncul setelah menikah. Aku merasa kebesaran
Tuhan tiada tara, ketika lantunan doa menggema dari rongga
masjid. Panggilan hati, sering kali datang di saat yang tak ter-
duga.” om
t.c
po

”Dan, aku juga akan selalu berdoa, suatu hari nanti Allah
gs

akan mengetuk hatimu,” kata lelaki gendut pedagang karpet di


lo
.b

sebelahnya, menambahkan, ”Insya Allah, kamu akan jadi Mus-


do
in

lim!”
a-
ak

Lelaki ini bernama Suhrat. Suhrat yang lain lagi, bukan


st

Suhrat anak Shokir si pengrajin sepatu. Dengan bahasa Ing-


pu

gris yang lancar ia berkisah. ”Kamu lihat, di Bukhara sekarang


masih ada peninggalan Yahudi. Di kota kuno, sinagoga Ya-
hudi masih berdiri. Saya juga punya banyak teman Yahudi, te-
tapi saya tidak pernah percaya mereka. Dulu, dulu sekali, ada
seorang ulama Muslim yang dipuja warga Bukhara. Tetapi
ulama ini punya kebiasaan aneh, setiap habis bersalat, ia se-
lalu menyepak ujung sajadahnya. Semua pengikutnya bingung,
tetapi turut pula kebiasannya itu, menyepak ujung sajadah se-
sudah salat. Sampai pada suatu hari, barulah terkuak rahasia-
nya. Ternyata di balik sajadah itu ada tulisan Allah dan

339
Muhammad. Astaghfirullah.... Ia menghinakan umat Muslim.
Ia adalah rabi Yahudi, mata-mata yang mau mengajarkan ke-
sesatan kepada Muslim!”
Cerita-cerita ”alkisah”, ”konon”, ”legenda” ini sukar sekali
dibuktikan kebenarannya. Seorang guru Yahudi, seorang Sufi, se-
orang kawan, kawannya kawannya kawan, semua tokohnya tak ter-
definisikan. Kapan? Di mana? Mengapa? Tak tahu, cerita seperti
ini hanya untuk ditelan begitu saja, tanpa dipertanyakan kem-
bali. Kisah-kisah yang diwariskan turun-temurun ini, dari mulut
ke mulut, ditambah dan dikurang, dibumbu-bumbui, makin
lama makin mencuatkan garis batas dan pengotak-ngotakkan.
om
Yahudi Bukhara sudah termasyhur sebagai kalangan saudagar
t.c
po

kaya, penukar uang, dan pemilik bank di zaman keemasan


gs

Bukhara. Mereka membangun rumah-rumah mewah dengan


lo
.b

arsitektur kuno yang begitu detail. Sampai seabad yang lalu,


do
in

mereka masih golongan kaya yang eksklusif, tapi kini ke mana


a-
ak

mereka? Saya pernah menyaksikan bintang David di langit-


st

langit rumah kuno yang kini ditinggali keluarga Muslim. Ini


pu

mengingatkan saya pada rumah-rumah haveli mewah bekas mi-


lik orang Hindu yang kini diambil alih penduduk Muslim di
Pakistan setelah orang Hindu ramai-ramai meninggalkan negeri
itu. Yahudi di Bukhara ini kini sudah jadi minoritas, miskin,
nyaris menghilang. Sebagian besar beremigrasi ke Israel dan
Eropa begitu Uzbekistan merdeka, ketakutan kalau fundamen-
talisme dan nasionalisme buta menggerayangi republik baru ini.
Yang tersisa pun melebur habis-habisan, melesapkan jati diri ke
dalam dominasi mayoritas. Sudah tidak ada lagi orang Yahudi
Bukhara yang bisa bahasa Yahudi, bahkan ketika membaca ki-

340
tab suci di sinagoga pun, huruf-huruf Ibrani sudah ditransliterasi-
kan dalam huruf Rusia, seperti halnya Muslim Asia Tengah
yang membaca doa-doa bahasa Arab dalam huruf Sirilik.
”...Karena itulah, jangan percaya Yahudi. Hitler adalah pah-
lawan umat Muslim! Hanya dia yang berani membantai Yahudi.
Yahudi memang harus dimusnahkan dari muka bumi...” Suhrat
terus berceloteh. Konspirasi Yahudi. Lagi-lagi teori konspirasi
Yahudi. Kemelaratan, keterbelakangan, perang, penderitaan, te-
rorisme, semua ada kambing hitamnya: Yahudi.
”Bukhara adalah Bukhara, Bukhara kami yang megah,” Mu-
hammad berseru, segala perasaan kebanggaannya membuncah.
om
Suhrat langsung menyambung, ”Bahkan, kamu harus tahu, ba-
t.c
po

hasa Bukhara adalah asalnya bahasa Persia di Iran dan Afghanis-


gs

tan! Bahasa Bukhara adalah yang paling murni! Peradaban kami


lo
.b

jauh lebih tinggi daripada Iran dan Uzbekistan!”


do
in

Menjelang senja, para santri dan anak-anak dari kampung


a-
ak

sekitar bermain sepak bola di depan masjid. Kehidupan yang


st

tertutup di balik tembok madrasah, kini berubah menjadi tawa


pu

ceria bocah-bocah yang berusaha ”membenturkan” bola ke ga-


wang—sebuah coretan berbentuk kotak persegi di tembok. Di-
terpa sinar keemasan mentari senja, di sudut masjid, seorang
calon imam sedang khusyuk membaca Al Quran. Jubah hitam
membungkus tubuhnya, dengan kepala berbalut serban. Ke-
khusyukan yang mahatinggi, berpadu dengan siluet lengkung-
lengkung kubah.
Akankah kejayaan peradaban Islam itu bersinar kembali se-
telah pudar oleh kolonisasi dan komunisme Rusia? Kalaupun
kembali, seperti apa wujudnya? Fundamentalisme Afghanistan?

341
Teokrasi ala Iran? Sekularisme Turki? Atau komunisme yang
sekadar berganti nama saja?
Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab.

Masjid Kalon sudah ramai sejak pagi buta. Semalaman salju


mengguyur, menyelimuti permukaan tanah dengan lapisan pu-
tih bersih. Muhammad mengajak saya menunggu di ruang pe-
tugas, bersama anak-anak Imam, murid-murid madrasah, dan
petugas masjid menghangatkan tubuh di samping samovar—
om
penghangat ruangan, sambil menyeruput teh hijau panas. Pukul
t.c
delapan, perlahan langit menyemburatkan terang. Langit kelabu
po

menggelayut, menambah dinginnya pekarangan berlapis salju.


gs
lo

Padahal hari ini adalah hari istimewa—Qurban Bairam, alias Idul


.b
do

Adha.
in
a-

Tetapi, ini tidak mengurungkan niat ribuan orang yang da-


ak

tang ke masjid besar untuk bersembahyang. Kaum pria mengena-


st
pu

kan chapan panjang, jubah tebal tradisi orang Tajik dan Uzbek.
Kakek-kakek memakai topi hitam kecil dari karton tebal. Banyak
juga yang mengenakan topi bulu musim dingin, hangat menutup
telinga. Perempuan tak terlihat sama sekali. Koridor masjid su-
dah penuh dengan umat, kebanyakan datang dengan membawa
sajadah masing-masing. Sudah tidak ada tempat lagi selain ha-
laman masjid yang dibungkus salju. Petugas masjid mulai meng-
gelar matras tebal, bersaf-saf. Perlahan matahari mulai memancar-
kan cahaya pagi, masjid berkilau seperti emas di tengah putihnya
padang salju.
Allahuakbar... Allahuakbar....

342
Hening menyelimuti pelataran, dengan ribuan umat yang
serempak bersujud. Dingin menusuk tulang. Asma Allah di-
agungkan di salah satu tempat tersuci bagi umat Muslim dunia.
Allahuakbar... Allahuakbar....
Saya diselimuti keharuan luar biasa menyaksikan ribuan
orang takzim, serempak, berserah di hadapan Yang Kuasa.
”Eid mobarak! Bairam mobarak!” Salat Ied berakhir dengan
rangkul-rangkul penuh tawa keceriaan. Perayaan Ied sudah da-
tang. Bairam yang penuh kegembiraan akan dimulai. Ribuan
orang memenuhi pekarangan masjid, sibuk mengucapkan se-
lamat. Di Asia Tengah, perayaan Idul Kurban jauh lebih meriah
daripada Idul Fitri. om
t.c
”Avgustin Aka31, ayo ke rumahku,” kata si kecil Omid, bocah
po

sebelas tahun yang dengan penuh semangat menyeret saya. ”Di


gs
lo

rumah ada bairam. Ayo... itu, Ayah di sana.”


.b
do

Kami menerobos kerumunan ribuan orang, menuju rumah


in
a-

di gang kecil belakang benteng kuno Arg. Omid membantu


ak

ayahnya menyembelih kambing. Ibunya dan wanita-wanita lain


st
pu

sibuk menyiapkan bumbu. Di kepala Omid bertengger topi hi-


tam kecil, membuat wajahnya semakin manis. Bocah ini kemu-
dian memakai jubah ungu milik ayahnya, juga telpek—topinya
orang Turkmen yang mirip rambut kribo raksasa.
Omid suka sekali difoto. Setelah puas berpose dengan ber-
bagai macam pakaian tradisional, difoto waktu salat, juga sambil
membaca Al Quran, kini ia minta difoto dengan pohon Natal.
Pohon Natal di hari raya Idul Qurban?

31
Kakak lelaki dalam bahasa Uzbek. Orang Tajik di Bukhara banyak menggunakan
kata-kata bahasa Uzbek.

343
”Ini pohon Tahun Baru!” seru si bocah kesal. Ekspresinya
persis seperti Kolya di Almaty, Kazakhstan. Satu pelajaran pen-
ting: jangan sekali pun menyebut pohon ini sebagai pohon Na-
tal. Tetapi, di mata saya memang tak ada bedanya, pohon ce-
mara kecil plastik di sudut ruang tamu, dengan lampu
berkelap-kelip disertai pernak-pernik Sinterklas dan bintang
Majus. Si bocah berlarian sambil membawa tongkat Sinterklas,
mirip penyihir cilik yang sedang girang tiada kepalang.
Orang Rusia membawa adat perayaan Tahun Baru ke negeri-
negeri Stan sehingga pergantian tahun Masehi menjadi peri-
ngatan penting. Kota kuno Bukhara juga dihiasi spanduk ber-
om
bahasa Rusia, ”Selamat Tahun Baru 2007”. Sinterklas tak
t.c
pernah absen, di sini disebut sebagai ”Kakek Tahun Baru” atau
po

”Kakek Salju”. Menu wajib perayaan adalah kue tart dan vodka.
gs
lo

Ketika masih dipimpin oleh Khan, sebelum ditaklukkan


.b
do

Tsar Rusia, Bukhara terkenal dengan tradisi Islam konservatif,


in
a-

dan hidup dalam dunianya sendiri sebagai negara-kota. Penguasa


ak

Rusia lalu ”memaksa” perempuan untuk melepas kerudung


st
pu

burqa dan memperkenalkan sistem pendidikan Barat. Seperti


penggembala Kazakh yang dijauhkan dari padang gembala,
orang Tajik pun dijauhkan dari agama. Masjid berubah jadi gu-
dang, agama dilarang, ulama dibungkam.
Kultur Rusia jauh lebih mendominasi. Padahal, pada akhir
abad ke-10, Pangeran Vladimir Agung dari Rusia pernah mem-
pelajari berbagai agama dunia untuk memilih agama yang cocok
bagi bangsa Rusia. Ia sempat mempertimbangkan Islam, tetapi
Islam tidak jadi dipilih karena banyak pantangan. Ucapan
Vladimir yang terkenal, ”Minum adalah kebahagiaan orang
Rusia, dan orang Rusia tidak akan bisa hidup tanpa minum

344
(alkohol).32” Sekarang, justru sukar sekali membayangkan Uz-
bekistan yang Muslim ini hidup tanpa vodka. Minuman keras
itu sudah ikut mengalir bersama darah orang Uzbek, seperti
halnya teh yang dibawa orang Cina ribuan tahun lalu pada
masa Jalur Sutra.
Santapan bairam terhidang. Kambing-kambing malang yang
tadi mengembik penuh iba kini sudah disulap jadi sepiring be-
sar daging kebab lezat bersiram bumbu berwarna hitam. Keluarga
besar Omid duduk mengitari meja makan. Ayah membagikan
irisan roti, ibu-ibu menyiapkan mangkuk dan gelas, kami meng-
awali bersantap dengan bismillah.
om
Tiba-tiba, televisi menyampaikan kejutan. Saddam Hussein,
t.c
mantan presiden Irak, dieksekusi tepat ketika umat Muslim du-
po

nia sedang merayakan Idul Kurban. Kemuraman seketika me-


gs
lo

nyeruak. Mengapa harus hari ini? Saddam memang kejam, te-


.b
do

tapi kenapa harus ”disembelih” bersamaan dengan daging


in
a-

kurban? Kaum pria di rumah ini ikut berdebat, emosi.


ak

Tapi tak lama. Diskusi panas tak perlu diteruskan, karena


st
pu

pesta belum usai. Bahkan vodka belum dituang, masih belum


ada yang mabuk di hari religius ini. Mereka kembali larut dalam
ingar-bingar perayaan. Bau alkohol menyeruak, berpadu aroma
kebab dan seruan Allahuakbar.

Di negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini, Islam justru

32
Geoffrey Hosking. Russia and the Russians—From Earliest Times to 2001.
Penguin History (2001)

345
menjadi hal yang sangat sensitif. Pada zaman Uni Soviet, Islam
dianggap sebagai ancaman. Setelah Uzbekistan merdeka, se-
benarnya keadaan tidak terlalu jauh berbeda. Masjid terus di-
kontrol pemerintah, azan tidak boleh dikumandangkan, isi
kotbah harus sejalan dengan kebijakan pusat, dan orang-orang
yang dicurigai ditangkapi. Dalam bus Bukhara, saya duduk di
samping polisi. Ia penasaran melihat buku yang saya baca. Saya
tunjukkan judulnya: Militan Islam di Asia Tengah, tulisan jurnalis
kenamaan Pakistan Ahmed Rashid. Polisi itu terloncat kaget,
melihat nama-nama ”musuh negaranya” tercantum dalam buku
itu, seperti Gerakan Islam Uzbekistan, Hizbut Tahir, dan Juma
om
Namangani—buronan teroris nomor satu. Dalam sekejap, polisi
t.c
yang semula akrab itu berubah sikap, diam seribu bahasa.
po

Mungkin sibuk mengira-ngira apakah saya ini kawan atau an-


gs
lo

caman nasional
.b
do

Hampir seratus tahun berada di bawah rezim komunis dan


in
a-

sekuler, karakter Islam di Uzbekistan banyak berubah. Madrasah


ak

menjadi museum atau toko, masjid menjadi tempat wisata. Pa-


st
pu

sangan muda-mudi asyik bergandengan dan berpelukan menik-


mati keindahan arsitektur Islam. Bayangkan, ratusan tahun
lalu, kota ini begitu konservatif dan tradisional, kaum perem-
puannya terbungkus kain tebal paranja yang menutup wajah
dan tidak pernah keluar rumah. Tetapi kini gadis-gadis Tajik
dan Uzbek berpakaian sangat trendi ala Barat, mengenakan rok
mini, hak tinggi, dan stoking tembus pandang, bergandeng ta-
ngan dan menari dengan lelaki idaman hati. Tak jauh dari
masjid Bukhara juga dibangun diskotik bawah tanah, dimiliki
oleh anggota keluarga presiden Islam Karimov—nama yang juga
mengandung kata ”Islam”.

346
Tetapi bagaimana mungkin menyangkal Islam dari umat
Muslim? Pemerintah pun tetap perlu figur Islam yang ditampil-
kan. Wajah Islam yang moderat dan toleran, Islam yang meng-
utamakan kesejukan dan kedamaian, Islam yang jadi pilar
utama. Bahauddin Naqshabandi diangkat sebagai pahlawan na-
sional. Ia adalah pendiri aliran Sufi Naqshabandi, yang dari
Bukhara menyebar hingga ke Afghanistan dan India.
Tak jauh dari Bukhara, desa Kasri Orifon kini menjadi
ziarah penting. Bangunan megah dengan arsitektur Persia, ger-
bang diwan berbentuk persegi bersambung dengan tembok pan-
jang mengelilingi bangunan utama. Di pintu masuk, terdapat
om
prasasti dengan tulisan dalam bahasa Inggris: ”Kompleks Arsi-
t.c
tektur Bohauddin Nakshband direstorasi atas inisiatif Presiden
po

Pertama Republik Uzbekistan Islam Karimov, Oktober 2003.”


gs
lo

Sejak zaman dahulu tempat ini sudah menjadi kunjungan ziarah


.b
do

umat Muslim, tetapi kemudian ditutup oleh Stalin dan sempat


in
a-

dijadikan Museum Atheisme. Pusat kegiatan religius disulap


ak

menjadi tempat pameran dogma tanpa Tuhan!


st
pu

Komunisme Uni Soviet memang menggempur habis-habisan


tradisi dan kepercayaan agama di Asia Tengah. Orang dibuat
takut untuk memegang kepercayaannya sendiri, dan dipaksa
mengimani agama baru: komunisme. Islam meredup, tetapi ti-
dak mati sama sekali. Sedikit, teramat sedikit, dari mereka ma-
sih sembunyi-sembunyi belajar mengaji di rumah. Mullah, atau
guru Islam, masih diam-diam memberikan pendidikan informal.
Pemakaman orang suci masih diziarahi. Islam masih berdetak
di bawah tekanan.
Setelah Uni Soviet memudar, Islam kembali bangkit. Umat
Muslim berusaha menemukan kembali identitas mereka, ”akar”

347
yang telah terputus begitu lama. Kebebasan telah datang, tetapi
pencarian bukanlah sebuah jalan lurus. Ada bermacam-macam
negara Islam, sistem kemasyarakatan yang berlainan, kepercayaan
dan tradisi yang tumpang-tindih. Iran, Turki, Saudi Arabia,
Pakistan, Afghanistan, negeri-negeri Muslim melangkah ke arah
yang berbeda-beda. Hendak ke mana Asia Tengah sekarang?
Tajikistan langsung ambruk diamuk perang dalam perjalanan
pencarian jati dirinya. Negeri-negeri ini seperti orang buta yang
seketika dibukakan matanya, bersorak girang karena bebas dari
kegelapan, tetapi langsung pingsan karena kebingungan melihat
keruwetan dunia yang bukan sesimpel hitam pekat yang selama
ini ia kenal. om
t.c
”Orang Islam sekarang sudah bebas,” saya teringat kata
po

Suhrat si pedagang karpet di sebelah masjid kuno Bukhara, ”su-


gs
lo

dah tidak penting lagi siapa Tajik, siapa Uzbek, mana Kirghiz
.b
do

dan mana Tatar. Kami semua adalah Muslim! Itu yang ter-
in
a-

penting!”
ak

Mungkin inilah yang justru menjadi karakter Islam di sini—


st
pu

simpel namun misterius. Memasuki pemakaman Naqshbandi,


kita harus melangkahkan kaki kiri terlebih dahulu. Di bagian
pelataran ada batang pohon yang sudah tumbang. Konon po-
hon ini hidup bersamaan dengan sang guru besar, sehingga di-
keramatkan. Nenek-nenek dari desa berbaris mengitari batang
pohon berlawanan arah jarum jam. Di satu sisinya, batang po-
hon membujur sangat rendah, hampir mencapai tanah, sehingga
orang harus jongkok nyaris merayap. Mereka percaya, mengitari
batang pohon ini tiga kali adalah seremoni wajib, akan membawa
nasib baik.
Di Asia Tengah, ajaran Sufi begitu kuat, agama berharmoni

348
dengan budaya dan tradisi. Tak jarang orang merancukan mana
yang Islam, mana yang budaya. Shokir si tukang sepatu, misal-
nya, pernah mengingatkan saya, ”Agama kami bilang, kalau ti-
dur harus memakai celana panjang. Kalau pakai celana pendek,
haram hukumnya.”
Islam menjadi identitas yang meruntuhkan tembok-tembok
nasionalisme, sekat-sekat pemecahbelahan yang dibikin Uni
Soviet. Islam menjadi simbol perlawanan terhadap represi.
Islam ditemukan kembali. Islam menjadi kebanggaan yang di-
gali dari tradisi masa lalu yang sempat terputus. Semangat yang
dibungkam ini langsung membeludak, menggebu-gebu, mener-
om
jang seperti air bah dari bendungan bobol. Tetapi seberapa
t.c
kuat? Suhrat si pedagang karpet meyakini, masa keemasan Islam
po

akan segera kembali di Asia Tengah.


gs
lo
.b
do
in
a-
ak

Kembali ke Bukhara, lorong-lorong kota kuno meliuk bak


st
pu

labirin, membawa eksotisme dunia seribu satu malam. Ratusan


madrasah, masjid, hamam, bazaar, semuanya berukuran raksasa,
bertaburan. Saya terdampar di Madrasah Abdul Aziz Khan. Ge-
dung kuno ini—senasib dengan bangunan kuno Islami lainnya—
sekarang jadi toko cendera mata. Seorang ibu Tajik bertubuh
subur dan bergigi emas, gembira sekali berjumpa saya yang dari
Indonesia. ”Ikut saya,” ajaknya, ”saya punya kejutan.”
Saya dibawa ke sebuah kamar gelap, berdinding putih, de-
ngan mihrab di ujungnya. Di kiri kanan mihrab, ornamen
berupa lekuk-lekuk cekungan di dinding menguatkan karakter
arsitektur Persia.

349
Tampaknya tak ada yang istimewa. Sampai si ibu Tajik ini
mengarahkan senternya ke sudut. Ajaib, dalam kegelapan yang
disinari pancaran senter, lekuk-lekuk itu berubah wujud. Sebuah
wajah seram tergambar di sudut tembok: pria berjenggot lebat
dan beserban, seakan terkekeh melihat saya.
”Abdul Aziz Khan, pendiri madrasah ini,” kata perempuan
Tajik itu.
Islam melarang penggambaran wujud hewan dan manusia,
tapi sang guru ingin dirinya tetap dikenang. Ia menyembunyikan
potretnya dalam lekuk-lekuk sudut tembok, sebuah teknik khu-
sus yang hanya bisa dilihat dengan cara yang khusus pula. Kita
om
mungkin terpukau oleh keindahan gedung kuno Bukhara, ter-
t.c
po

bayang akan kemegahan zaman itu, tentang peradaban pen-


gs

duduknya. Fantasi melayang, membayangkan wujud rupa me-


lo
.b

reka. Foto-foto dan lukisan dari Khan Bukhara bak mesin waktu
do
in

yang membalik putaran roda zaman. Pria-pria berjubah dan be-


a-
ak

serban tebal, kaum perempuan tanpa wajah, kawanan unta di


st

tepi oase. Masa lalu, peradaban, kejayaan, adalah fantasi indah.


pu

Tetapi ketika menyaksikan bagaimana seseorang dari zaman itu,


Abdul Aziz Khan, mewariskan wujud rupanya hingga terpatri
melintasi lima abad, bulu kuduk saya langsung berdiri.
Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggal-
kan nama. Abdul Aziz, wajahnya tertambat abadi dalam ke-
gelapan.

”Bulan lebih berfaedah daripada matahari,” kata Hoja Nas-

350
ruddin, ”karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada
waktu siang.”
Sinar rembulan terpantul di atas riak-riak air kolam Lyabi-
Hauz, di tengah kota tua Bukhara. Air kolam tak banyak. Angsa
berenang melintasi pantulan purnama. Sinarnya membilas pa-
tung perunggu di pinggir kolam—patung seorang kakek tua ter-
senyum manis, dengan tangan kanan tertangkup di dada dan
tangan kiri melambai, duduk gembira di atas keledai.
Inilah Hoja Nasruddin, sang mullah cerdik dalam legenda
hikayat Islami. Patung keledai ini mengingatkan pada cerita
Nasruddin yang paling tersohor. ”Wahai, Nasruddin, mengapa
om
engkau menunggangi keledaimu terbalik?” kata seorang lelaki
t.c
yang heran melihat Nasruddin mengendarai keledai dengan
po

menghadap ke belakang. ”Bukan aku yang terbalik,” kata Nas-


gs
lo

ruddin, ”tetapi keledaiku menghadap ke arah yang salah!”


.b
do

Ah, betapa lugunya. Saya jadi teringat bagaimana saya me-


in
a-

maki-maki keledai bodoh di tepian Amu Darya. Ternyata sejak


ak

zaman Nasruddin dulu, keledai malang memang sudah menjadi


st
pu

bulan-bulanan ejekan manusia. Tetapi, lihatlah, betapa kebe-


naran itu relatif. Benar, salah, tergantung dari mana kita me-
mandang. Bahkan Nasruddin dan keledai pun punya logika
sendiri-sendiri.
Mullah Nasruddin mengajarkan berbagai kebijaksanaan de-
ngan humornya. Walaupun selalu digambarkan bodoh dan
lugu, Nasruddin selalu punya jawaban, mengajak kita menertawa-
kan dunia. Itulah seorang sufi, kebenaran tidak melulu datang
dari ayat-ayat kitab suci. Kebijaksanaan bisa ditemukan di balik
kebodohan dan kelucuan Nasruddin.
Apakah Nasruddin berasal dari Bukhara? Tak ada yang tak

351
tahu pasti. Setidaknya lusinan negara mengaku sebagai tanah
air sang mullah. Di Turki, ada kuburan Nasrettin Hoca dan se-
tiap tahun digelar festival internasional memperingatinya.
Orang Iran dan Afghanistan yakin bahwa Molla Nasruddin
berasal dari Khorasan. Uzbekistan punya patungnya di Bukhara.
Uyghur dan Cina menyebutnya Afandi. Di Arab ia dikenal se-
bagai Juha, dan di Armenia sebagai Pulu Pugi. Hoja juga hidup
dalam hikayat Yunani, Bulgaria, Serbia, sampai India. Hoja
Nasruddin menemani perjalanan hidup manusia, menjadi be-
nang merah yang mempersatukan beragam bangsa yang terpisah-
kan oleh garis-garis batas.
om
Saya duduk di atas dipan, di depan patung Nasruddin dan
t.c
keledainya, menyeruput teh hijau hangat menemani daging ke-
po

bab. Di hadapan saya, seorang kakek Tajik. Wajahnya berkerut-


gs
lo

kerut, dihias jenggot putih tipis. Jubahnya yang bergaris-garis


.b
do

dua warna membuatnya mirip Nasruddin.


in
a-

Melihat penampilannya, saya jadi ingat hikayat Nasruddin di


ak

Afghanistan: Suatu hari, seorang penduduk desa yang buta hu-


st
pu

ruf minta tolong Nasruddin membacakan surat. Nasruddin ter-


nyata juga buta huruf. ”Maaf, saya tidak baca,” ujarnya. Si pen-
duduk desa sangat kecewa, ”Benar-benar memalukan! Kamu
seharusnya malu pada serbanmu itu!” Di zaman itu, serban ada-
lah simbol alim ulama, orang yang berpendidikan. Nasruddin
kemudian melepaskan serbannya, dan ditaruhnya di atas kepala
orang desa itu. ”Serban lambang kepintaran, bukan? Sekarang
kamu juga pakai serban. Kalau kamu jadi pintar gara-gara ser-
ban, coba sekarang kamu baca sendiri!”
Jangan melihat orang dari bajunya, demikian kebijaksanaan
diajarkan. Walaupun kita masih bisa tergelak-gelak mendengar

352
keluguan Nasruddin, apakah kita juga sama tergelaknya mener-
tawakan dunia sekitar kita, di mana baju dan perhiasan mem-
bungkus dan mengaburkan hakikat diri yang sebenarnya? ”Baju”
bisa pula berwujud segala identitas, konsep, status, ideologi, na-
sionalisme, kepercayaan yang kita kenakan. Itulah jubah kebang-
gaan kita, yang menutup dan membalut diri kita yang sebenarnya.
Di Bukhara, legenda tetap hidup bersama gedung-gedung
kuno yang bertahan melintasi derasnya aliran waktu. Bukhara
bak pintu zaman yang membawa angan saya ke dongeng Nas-
ruddin, Aladdin, Ali Baba. Globalisasi telah menjadi kata kunci
dewasa ini, tetapi Bukhara tetap hidup dalam dunia yang khas.
om
Klak, klik, klak, klik, kakek-kakek tua berjubah duduk di
t.c
pinggir jalan, berkonsentrasi penuh pada sebuah papan, dengan
po

dadu dan keping-keping bundar. Permainan ini bernama nardi,


gs
lo

salah satu permainan papan terkuno di dunia, yang sudah me-


.b
do

rakyat di Asia Tengah sejak zaman raja-raja dalam hikayat


in
a-

Shahnama tulisan sang pujangga Ferdowsi.


ak

Apakah dulu Mullah Nasruddin juga menghabiskan hari-


st
pu

harinya dengan papan nardi, di pasar-pasar hiruk-pikuk di tengah


ruwetnya Bukhara? Entah. Jangan terlalu banyak berpikir ten-
tang dimensi waktu yang hanya akan membuat pusing. Biarlah
hidup ini berlalu apa adanya, sederhana, sesukanya bersama
waktu yang terus mengalir, seperti petuah Nasruddin tentang
kiamat. ”Ada dua macam kiamat, kiamat besar dan kiamat
kecil,” kata sang Mullah, ”Kiamat kecil yaitu kalau istriku mati.
Kiamat besar ketika giliran aku yang mati.”

353
Jalan emas menuju Samarkand. Nama itu begitu besar, begitu
membahana. Mendengar Samarkand, langsung terbayang ke-
megahan Jalur Sutra: barisan unta di gurun berjalan lambat
menggapai oase, lalu tertambat di kota padang pasir yang mak-
mur, di mana ribuan saudagar dari penjuru dunia berkumpul.
Bagi saya, jalan menuju Samarkand sungguh berliku, setelah
menembus berbagai gedung kedutaan dan garis batas negara,
naik-turun gunung hingga berjumpa segala macam penjahat dan
mafia, akhirnya sampai juga saya di hadapan kemegahan yang
tak berbanding. Samarkand!
Kota kuno ini bukanlah seperti Bukhara yang terisolasi da-
om
lam pintu zaman. Bukan kemonotonan, jalan-jalan batu, rumah-
t.c
rumah kelabu, keagungan sejarah, fantasi masa lalu, bebas dari
po

deru mobil dan modernitas. Keagungan masa lalu itu tidaklah


gs
lo

sendiri. Samarkand adalah sebuah kemegahan, taburan gedung


.b
do

raksasa menjulang memantulkan warna lazuardi yang berkilau,


in
a-

tepat di sebelah jalan raya dengan mobil lalu lalang dan ba-
ak

ngunan blok-blok apartemen ala Soviet. Ilusi masa lalu yang


st
pu

dibenturkan dan diretakkan oleh polusi materialisme era mo-


dern.
Tiga bangunan raksasa diselimuti mozaik warna-warni berdiri
gagah mengelilingi lapangan besar Registan di pusat Samarkand.
Salju berpadu dengan kerlap-kerlip dinding gedung-gedung
kuno bak permadani Persia. Masjid dibangun dengan mihrab
dan langit-langit yang berlapis emas murni. Di hadapan keme-
gahan ini, manusia hanya bagaikan debu pasir yang datang dan
pergi diembus angin.
Keindahan Samarkand adalah warisan sang Amir Timur
dari abad ke-14, penakluk besar yang meninggalkan ba-

354
nyak bangunan megah. Sang raja adalah tokoh kontroversial. Di
Asia Tengah, ia membangun kota-kota mewah dengan cita rasa
seni tinggi. Para pematung, pengrajin batu dan pualam didatang-
kan dari negeri-negeri taklukan seperti Azerbaijan, Esfahan,
Delhi, Shiraz, dan Damaskus. Samarkand sampai penuh sesak
oleh seniman. Sang Amir membangun kota megah bertabur ba-
ngunan-bangunan kelas dunia. Ia menjadikan Samarkand se-
bagai metropolis pada zamannya, sebuah pusat dunia, sebuah
kosmopolitan, sebuah pameran akan kekuasaan dan tiraninya.
Namun di daerah jajahan, ia adalah penghancur yang kejam.
Kota-kota yang melawannya dihancurkan total, penduduknya
om
dibantai tanpa sisa. Peninggalan peradaban bangsa asing dirata-
t.c
kan. Kekejiannya sesuai namanya: Timur berarti besi.
po

Kalimat yang saya baca dalam buku pelajaran bahasa Persia:


gs
lo

”Timur-Leng adalah salah satu raja terburuk dalam sejarah


.b
do

dunia.” Esfahan dan Baghdad dibakar habis. Orang Iran dan


in
a-

Afghan tidak menyebutnya sebagai Amir (raja), melainkan selalu


ak

Timur-Leng—Timur si Pincang, raja barbar, penghancur per-


st
pu

adaban. Ia juga senantiasa dikenang sebagai bajingan di Afgha-


nistan, India, Turki, Kaukasus, dan Arab.
Timur seolah antitesis dari tulisan Ferdowsi dalam legenda
Shahnama, Kisah Raja-Raja, yang selalu menggambarkan negeri
Iran sebagai bangsa beradab, dan Turan sebagai biadab—bangsa
budak. Lihatlah, pada abad ke-15, Timur, orang Turki dari ta-
nah Turan itu bangkit, menghancurkan kota-kota Persia dan
balik menjadikan mereka sebagai budak. Ia mempersatukan
berbagai negeri di bawah panji-panji yang sama. Persatuan, be-
tapa indahnya kata itu. Perluasan garis batas hampir selalu di-
barengi dengan pertumpahan darah, mayat-mayat manusia yang

355
dibantai, hasil peradaban yang hancur lebur, bahasa yang di-
singkirkan, kebudayaan yang diasimilasi, otak yang dicuci untuk
dipersatukan. Persatuan.... Gajah Mada tentunya tidak memper-
satukan Nusantara hanya dengan imbauan dan ajakan. Belanda
mempersatukan Hindia—cikal bakal Indonesia—dengan pertem-
puran di mana-mana. Genghis Khan mempersatukan Eurasia,
menghasilkan negeri raksasa terbesar dalam sejarah, juga dengan
pedang dan kekejian yang diratapi berbagai bangsa hingga seka-
rang.
Heroisme memang bersifat relatif. Pahlawan bagi sebagian
orang adalah teroris bagi yang lain. Pejuang kemerdekaan adalah
om
pemberontak dan separatis. Nasionalisme adalah pembang-
t.c
kangan. Di Uzbekistan, Timur dipuja sebagai pahlawan besar.
po

Ia adalah pelindung rakyat, pembawa peradaban ke negeri-ne-


gs
lo

geri biadab, sang pencerah, pengawal ilmu pengetahuan. Ke-


.b
do

kejiannya tak lagi diingat. Nama jalan dan taman Amir Timur
in
a-

muncul di hampir semua kota. Patung Amir Timur berdiri di


ak

Tashkent, menggantikan Karl Marx yang digulingkan, diroboh-


st
pu

kan, diinjak-injak. Di tengah kota Samarkand, patungnya duduk


penuh wibawa di atas singgasana. Presiden Islam Karimov men-
jadikan Amir Timur sebagai simbol dalam keseriusannya meng-
gilas Islam radikal. Padahal, Amir Timur juga bukan orang
Uzbek, melainkan orang Mongol, dan dinasti keturunannya di-
kenal sebagai Moghul. Justru nenek moyang bangsa Uzbek-lah
yang menyerang Raja Babur keturunan Amir Timur.33

33
Gara-gara diserang orang Uzbek, Babur sampai melarikan diri dari Samarkand
ke Kabul, dan keturunannya mendirikan Taj Mahal di India, peninggalan di-
nasti Moghul yang paling dikenal dunia. Ironisnya, sekarang Babur pun di-
kenang sebagai pahlawan besar bangsa Uzbek.

356
Betapa subjektifnya sejarah itu! Bangsa-bangsa menulis se-
jarah dengan diri sendiri sebagai pusat dunia, pusat peradaban.
Sejarah begitu mudah dibuat, diputarbalikkan. Kebiadaban sen-
diri bisa digubah menjadi kepahlawanan. Pembantaian bisa di-
puja sebagai pembelaan tanah air. Penjajahan bisa diagungkan
sebagai pembebasan dan penyatuan. Kebodohan berganti kisah
menjadi keluhuran peradaban. Kegagalan bisa dicari kambing
hitamnya. Memori bisa dicipta atau dihapus, kata-kata tinggal
ditorehkan. Siapa kawan, siapa lawan, begitu jelas. Sesimpel
hitam-putih dan benar-salah.
Sejarah adalah ikon kebanggaan bangsa. Negara-negara
om
bikinan Uni Soviet mendapat kado dari Moskow berupa sejarah
t.c
masing-masing. Tetapi, ”nasionalisme” adalah kata tabu. Siapa
po

yang mendengungkan ”nasionalisme” akan ditangkap dan


gs
lo

dikirim kerja paksa atau dieksekusi.


.b
do

Amir Timur adalah penakluk besar yang dimiliki oleh daerah


in
a-

taklukan. Berbahaya sekali jika orang-orang jajahan ini mem-


ak

punyai idola seorang penakluk yang sanggup meruntuhkan du-


st
pu

nia. Namanya hanya disebut beberapa baris saja di buku sejarah.


Apa jadinya jika orang-orang jajahan ini, menyerap semangat
sang penakluk, lalu bangkit dan balik melawan? Apa jadinya
Uni Soviet nanti jika bangsa-bangsa minoritas ini tergugah ke-
banggaan ”nasionalisme” mereka, lalu bangkit melawan, men-
dobrak identitas Homo sovieticus, dan berseru, ”Kami adalah
Uzbek... Muslim... Turki... Mongol... Tajik...”? Seperti halnya
Jenghiz Khan bagi orang Mongol, Timur-Leng pun dihapuskan
dari memori Uzbek. Para penakluk ini terlalu ”besar” untuk
dipuja oleh bangsa-bangsa ”kecil” yang kini berada di bawah
kendali Moskow. Begitu Uzbekistan merdeka, nasionalisme ke-

357
Uzbek-an dibangun, dan mereka berpaling pada pahlawan
agung masa lalu. Timur dipatenkan Uzbekistan. Apa pun cerita-
nya, ia adalah kebanggaan Uzbek, Uzbek, dan tetap Uzbek, se-
lama-lamanya.
Ada kisah menarik tentang Timur. Pada tahun 1941, para
arkeolog Rusia bersuka cita menemukan kuburan Timur—ba-
ngunan megah berkubah oval yang tak jauh dari Registan di
Samarkand. Tangan-tangan mereka sudah tak sabar membuka
peti mati dari sang raja penakluk yang ditakuti itu. Menurut
hikayat—entah benar tidaknya—di atas peti tertulis, barangsiapa
berani mengganggu jenazah sang Amir Timur, akan ”dihancur-
om
kan oleh musuh yang lebih beringas daripadanya.” Hanya be-
t.c
po

berapa jam sesudahnya, pasukan Hitler menyerbu dan menakluk-


gs

kan Uni Soviet.


lo
.b

Sang arkeolog Rusia itu, Garasimov, melukiskan Amir Timur


do
in

berdasarkan tengkoraknya: lelaki tinggi besar dan gagah, dengan


a-
ak

kaki kanan yang pincang serta secabik otot dan jenggot masih
st

tersisa di jasadnya. Dari sanalah, pelan-pelan figur Amir Timur


pu

digambarkan. Sepasang mata yang menghunus tajam, alis mata


yang menghardik, otot pipi yang begitu keras, wajah yang me-
nampilkan kekuasaan dan kekejaman. Patung Amir Timur yang
duduk anggun memegang pedang di atas singgasananya, kini
berada permanen di tengah jalan raya Samarkand, dan menjadi
tempat favorit foto pernikahan para pengantin baru.
Roh Amir Timur melekat di Samarkand. Ia adalah kebang-
gaan. Kegagahannya adalah tauladan. Masa lalunya adalah se-
jarah nasional. Kota peninggalan Amir Timur ini begitu penting
artinya bagi nasionalisme Uzbekistan. Tak mungkin menyerah-

358
kan Samarkand kepada Tajikistan, sekalipun di sini hidup
orang-orang berbahasa Tajik.

Bangsa Tajik dan Uzbek sudah sejak dulu berinteraksi dan ber-
asimilasi. Perkawinan campuran sangat lazim. Kalau bapaknya
Uzbek, ibunya Tajik, anaknya bingung ikut siapa. Tak jarang
saya menjumpai kakaknya mengaku Uzbek, adiknya mengaku
Tajik. Percampuran seperti ini berlangsung turun-temurun.
Dulu orang tidak peduli, tetapi setelah ras dibagi-bagi, garis ba-
om
tas dan ”kotak” ditentukan, manusia pun harus mengetahui
t.c
”kotak”-nya masing-masing. Jati diri pun menjadi dilema.
po

Samarkand pernah menjadi puncak peradaban yang tak ada


gs
lo

bandingannya. Asia Tengah menjadi ”pabrik” ilmuwan, filsuf,


.b
do

dan pujangga. Bahkan dunia Barat pun terkesima, tertuang da-


in
a-

lam bait pujangga James Elroy Flecker, ”Mari melangkah di Ja-


ak

lan Emas menuju Samarkand.”


st
pu

Konsep-konsep baru mengikis kepercayaan lama. Madrasah-


madrasah Registan yang dulunya universitas kelas dunia, kini
tereduksi jadi museum-cum-pertokoan yang dikerubuti oleh tiga
jenis manusia: pedagang cendera mata, wisatawan, dan satpam
pemeriksa karcis. Pusat dunia itu pernah hampa, terlupakan,
lalu kini pelan-pelan beralih fungsi menjadi pusat wisata. Di
musim panas setiap malam, madrasah kuno Registan dibilas si-
nar laser warna-warni, diiringi hikayat sejarah Samarkand dalam
bahasa Inggris, Jepang, dan Prancis. Relung-relung madrasah,
tempat dulunya santri dan ilmuwan belajar, kini menjadi toko
cendera mata. Mihrab Masjid Emas sudah dirambah karpet dan

359
boneka yang digelar para pedagang. Registan kini menjadi tem-
pat uang berputar.
Nozim, seorang kawanTajik, menawarkan kerajinan yang di-
beli dari para seniman Uzbek di desa-desa sekitar. Sejak zaman
Jalur Sutra dulu, para pedagang Sogdian, bangsa Persia kuno di
Asia Tengah, sudah terkenal sebagai saudagar piawai yang mem-
bangun kota makmur Samarkand. Konon, bayi-bayi mereka su-
dah disuapi gula sejak masih orok, sehingga senantiasa bermulut
manis. Keluarga Nozim pun hidup dari perdagangan.
Musim dingin, jarang pengunjung, orang asing cuma satu-
dua, kebanyakan backpacker miskin—termasuk saya. Sesekali ter-
om
lihat turis necis dari ibu kota Tashkent yang hanya mau ber-
t.c
bahasa Rusia. Ada pula rombongan Uzbek dari desa, dengan
po

mode pakaian plus tingkah laku yang benar-benar kampungan.


gs
lo

Saya langsung unjuk kebolehan membantu Nozim sebagai pen-


.b
do

jaja barang. Marhamat! Savdo keling! Silakan! Ayo beli! Bukannya


in
a-

sibuk belanja, orang-orang desa itu malah melongo melihat


ak

orang asing yang tersasar menjadi pedagang kerajinan. Perem-


st
pu

puan pemilik toko sebelah berkata, ”Ah, percuma saja. Kalau


orang Uzbek, jangan ditawari. Mereka tidak bakal beli. Paling
cuma bertanya, ’Berapa? Berapa?’, langsung pergi. Kita di sini
jualan barang, bukan melayani tukang survei!”
Bangsa Uzbek dan Tajik hidup bersama, tetapi saling curiga.
Waktu di Tashkent, seorang kawan Uzbek mengingatkan saya
untuk berhati-hati di Samarkand, karena orang Tajik itu begini,
begini, dan begini. Nozim si pemuda Tajik dan kawan-kawannya
merendahkan orang Uzbek yang begini, begini, dan begini. Semua
begini adalah stereotipe klasik, seperti ”tidak bisa dipercaya”,
”pembohong”, ”penipu”, ”pemalas”, ”arogan”....

360
Tajikistan masih meratapi Samarkand yang dicaplok
Uzbekistan. Uzbekistan mengeramatkan Samarkand sebagai pu-
sat peradaban dan kebanggaan sejarah. Bagi Nozim, semua itu
nihil. Nada suaranya meninggi, ”Samarkand adalah Samarkand!
Bukan Uzbekistan! Bukan pula Tajikistan!” Di mana letak ke-
banggaan Nozim? Apakah ia bangga sebagai Uzbek? Tajik? Atau
menjadi Muslim? ”Uuurgh...” Nozim butuh waktu beberapa
detik untuk berpikir, ”Samarkand! Hanya Samarkand!”
Ia ibarat seorang sufi yang berteriak lantang, ”Aku adalah
aku! Aku bukanlah warga negaramu! Aku bukanlah bangsamu!
Aku tak mau sejarahmu!” Lepas, lepaslah sang sufi dari semua
om
identitas dan pertikaian duniawi yang mengungkung manusia.
t.c
po

Tapi sayang, ini masihlah alam fana yang sama, tempat kotak-
gs

kotak, garis batas, bangsa, negara, sejarah, kepercayaan, aroganis-


lo
.b

me..., semua masih terus berlaku.


do
in

Registan bukan lagi Marakanda-nya bangsa Iskandar Agung,


a-
ak

Samarkand-nya Omar Khayyam, atau Registan-nya Amir Timur.


st

Bukan pula ”Jalan Emas” fantasi James Elroy. Ia adalah Registan


pu

yang telah jadi museum dan barisan toko, lengkap memamerkan


superioritas ras-ras produk rekaan Uni Soviet yang berebutan
kotak pandora sejarah, serta tidak lupa pula kesenangan duniawi
lainnya.
”Mister, Mister, murah! Hanya dua puluh dolar,” kata pe-
muda Tajik kurus berhidung mancung di depan gerbang mauso-
leum Guri Amir. Dalam bahasa Inggris yang fasih, ia berusaha
terus meyakinkan saya, ”Kamu mau yang mana? Gadis Uzbek?
Gadis Tajik? Atau gadis Rusia? Kalau kemahalan, kamu bayar
separuh, aku separuh, kita main sama-sama. Atau, jangan-ja-

361
ngan, kamu mau laki-laki? Bisa aku carikan, ada stoknya, orang
Rusia. Tapi, iiiih, menjijikkan sekali....”
Kubah-kubah Registan berkilau keemasan dibilas mentari
senja. Meredup, lalu gelap dan hening. Pusat dunia itu kini se-
nyap.

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

362
AIR MATA PENGANTIN

”PERGILAH ke kampung halamanku, Lembah Ferghana,” kata


Temur Mirzaev, ”di sana akan kautemukan keramahtamahan
orang Uzbek yang sesungguhnya. Setiap pintu akan terbuka
bagi semua tamu, bahkan bagi orang tak dikenal sekalipun.”
Konon Lembah Ferghana adalah jantung kebudayaan Uzbek.
om
Bahasa Uzbek yang paling murni berasal dari sini. Islam meng-
t.c
po

akar kuat dalam keseharian, bercampur dengan adat dan bu-


gs

daya.
lo
.b

Angkutan yang berbentuk seperti bongkahan roti tawar pe-


do
in

nuh sesak oleh penumpang yang semua berjaket tebal. Halimjon


a-
ak

Permatov adalah salah satunya. Tubuhnya menjulang tinggi bak


st
pu

tiang listrik. Rumah Halimjon di Desa Mindon, katanya tidak


jauh dari perbatasan Kirgizstan. Ternyata omongan Temur me-
mang bukan isapan jempol belaka, baru satu jam duduk di mo-
bil saya sudah diundang menginap ke rumah Halim.
Angkot melaju lambat, jalannya mendengus-dengus meman-
jat bukit. Ketika sampai di Ferghana, Halim berniat membayarkan
karcis saya. Kemudian ia membawa ke pasar, menjamu makan
siang bakmi goreng khas Uzbek. Lalu masih ke toko, memilih
baju dan celana jins, dan menghujani saya dengan hadiah-
hadiah.
Wah, sungguh agak berlebihan kemurahan hati orang ini.

363
Ini adalah tempat yang begitu asing. Temaram senja menga-
burkan pandangan. Saya hanya mengikuti Halim seperti anak
kecil mengikuti bapaknya. Gelap, memusingkan. Gang berbelok-
belok seperti benang kusut.
Halim membawa saya ke rumahnya yang besar, dengan
kebun kecil di pekarangan yang dikelilingi tembok tebal. Ba-
ngunan tampak sederhana, dinding mengelupas di sana-sini.
Beberapa bocah kecil berlarian. Di mobil tadi Halim bercerita
istrinya sedang hamil. Tetapi wanita yang sekarang di hadapan
saya ini kurus kering. Mungkin yang hamil itu istri yang lain
lagi? Entahlah. Saya tak terlalu bisa berkomunikasi dengan
om
Halim karena ia tak bisa bahasa Rusia, sedangkan bahasa Uzbek
t.c
saya terlalu minim. Percakapan kami lebih didominasi ”Ha.
po

Nyet. Da. Da. Ha. Yoq...” Campur aduk antara ”ya” dan ”tidak”
gs
lo

dalam bahasa Uzbek dan Rusia. Tak sampai dua menit, Halim
.b
do

mengajak saya keluar.


in
a-

”Kita pergi ke apartemen di Ferghana saja,” katanya. Saya


ak

dijanjikan mandi air panas, tidur nyenyak. Besok pagi dia akan
st
pu

mengantar saya jalan-jalan ke Shakhimardan, lembah yang sa-


ngat indah. ”Di apartemen hanya akan ada kamu dan aku. Le-
bih nyaman,” katanya seraya mengerling senyum. Kami naik
taksi lagi balik ke Ferghana. Hari ini Halim sudah mengeluar-
kan banyak uang ke sana ke sini hanya untuk melayani saya,
padahal kami baru beberapa jam saja saling kenal. Jujur, sebenar-
nya sekarang saya malah tak berani mengatakan saya mengenal-
nya. Orang ini begitu misterius. Sukar sekali percaya ini adalah
keramahtamahan orang Ferghana yang konon bisa mengorban-
kan apa pun demi tamu. Tetapi sekarang saya berada di bawah
kendalinya, tak bisa melepaskan diri. Ia menentukan nasib saya

364
malam ini. Saya sama sekali tak bisa menduga isi hatinya. Kalau
diibaratkan seperti buku, Halim punya sampul yang indah
menawan, namun terbungkus plastik. Apa isi di balik sampul
cantik itu, hanya penulisnya yang tahu.
”Di dalam rumah bergantunglah pada orangtua; Di luar
rumah bergantunglah pada sahabat,” demikian bunyi pepatah
Cina. Di tempat asing ini, saya hanya bisa menggantungkan na-
sib pada Halimjon. Sekarang saya hanya boleh berpikir positif:
inilah pengalaman keramahtamahan yang tak akan saya lupa-
kan.
Ferghana gelap total, tak ada lampu menerangi. Saya berjalan
om
setengah meringkuk karena dingin menyergap. Setelah berkali-
t.c
kali gonta-ganti bus dan taksi, saya hilang arah, seperti orang
po

yang ditutup matanya dan diputar-putar dalam gelap. Di mana


gs
lo

ini?
.b
do

”Halim aka...,” sambut seorang wanita hamil yang muncul


in
a-

dari balik pintu. Wanita itu terus bicara. Saya tak mengerti apa
ak

pun, hanya merasakan nada merajuk manja. Semua giginya ber-


st
pu

lapis emas. Tumpukan matras menggunung di sudut ruangan.


Aroma tak sedap menusuk hidung. Kecoak menggerayap di
sana-sini. Cat tembok terkelupas, sebagian tertutup oleh poster
bergambar ratusan ribu umat yang menyemuti Ka’ba. Di sam-
pingnya terpampang gambar pantai tropis dengan barisan po-
hon kelapa dan ombak mendebur, seperti melukiskan impian
sang penghuni rumah kumuh di negeri tanpa lautan. Di sudut
kamar ada TV tak berwarna ukuran supermini. Si wanita hamil
sibuk mengepas antena. Pembaca berita muncul dalam wujud
bintik-bintik hitam-putih. Gambarnya buram dan kecil, mungkin
butuh teropong untuk bisa menonton. Sekembalinya dari toilet

365
yang tidak berair dan penuh hewan mungil tak lucu, saya bersila
lagi di sudut kamar.
Halim dan si perempuan hamil sibuk memasak. Aroma telur
goreng setidaknya sementara menggantikan bau apak ruangan.
Di atas tikar saya mencocol-cocolkan roti nan ke piring berisi
telur dan sosis goreng.
Siapa perempuan hamil ini? Halim bilang ini adiknya. Tetapi
bukankah tadi ia bercerita tentang istrinya yang hamil? Jangan-
jangan ini istrinya. Tetapi cara mereka bertegur sapa, berinteraksi,
tidak tampak seperti suami-istri. Justru wanita kurus kering di
Mindon tadi lebih cocok jadi istrinya. Dengan wanita hamil ini,
om
komunikasi mereka berjarak. Si perempuan dengan lembut me-
t.c
mijiti punggung Halim yang seketika tertawa senang. Meragukan.
po

Segala macam pertanyaan hanya saya simpan dalam benak. Lagi-


gs
lo

lagi, bahasa jadi kendala.


.b
do

Saya berusaha tidur di atas matras, seraya berdoa semoga


in
a-

kecoak-kecoak nakal tidak sampai nyasar ke lubang telinga.


ak

Tak sampai tiga puluh menit, tiba-tiba tiga pria menyeruak


st
pu

masuk.
”Polisi!!!” Mereka berteriak sambil menunjukkan kartu iden-
titas. Wah, seperti di film saja. Saya masih mengucek-ngucek
mata, langsung diseret keluar. Mereka tak peduli saya berjalan
tertatih-tatih, mengerang kesakitan. Tak ada yang peduli, karena
yang ditangkap polisi itu biasanya orang-orang jahat, bukan?
Tapi apa salah saya? Halim pun ikut dibawa. Si perempuan ha-
mil diam saja, berdiri ketakutan di samping daun pintu.
Biasanya saya selalu antusias dengan berbagai macam ”penga-
laman pertama”, tapi tidak untuk merasakan sesaknya mobil
polisi Uzbekistan. Saya sudah diperlakukan seperti narapidana,

366
diapit polisi dan agen rahasia berkacamata hitam, hanya kurang
borgolnya saja.
Kantor polisi berupa ruangan kecil dengan dua meja.
”Jangan-jangan kamu ini mata-mata!” tuduh mereka. Mata-
mata? Ini bukan kali pertama saya dituduh begini. Spion—mata-
mata—kata kunci dari zaman Uni Soviet yang begitu ditakuti.
Setiap orang selalu diawasi oleh mata tak terlihat, kapan pun,
di mana pun. Spion asing yang tertangkap bakal disiksa. Orang
yang dituduh spion bisa-bisa lenyap tak berbekas, tewas misterius,
atau menghablur begitu saja ke alam raya seperti uap. Tetapi
adakah saya potongan seperti seorang mata-mata? Tas saya di-
om
geledah, yang keluar pertama-tama adalah album foto jepretan
t.c
po

pribadi. Para polisi tercekat dengan foto-foto India, Pakistan,


gs

dan Afghanistan. Bertambahlah kecurigaan mereka, mana ada


lo
.b

turis yang berpiknik di Afghanistan?


do
in

Keringat deras mengucur di wajah Halim. Matanya merah,


a-
ak

ada bulir air di sudutnya. Saya tak enak, orang sebaik Halim
st

jadi ikut digiring ke kantor polisi. Apa sih salahnya pergi ke


pu

apartemen dan makan sosis goreng?


Malam semakin larut. Para polisi akhirnya mau membuka
tabir rahasia mereka. Ternyata wanita hamil di rumah tadi itu
adalah pekerja seks. Rumah itu memang tempat prostitusi. Tak
heran dari tadi polisi bertanya aneh-aneh, macam ”cantik nggak
ceweknya?” atau ”kamu suka seks?”. Si wanita itu bukan hanya
pekerja seks biasa, tetapi juga pencuri, baru saja dibebaskan dari
penjara. Rumahnya masih dalam pengawasan polisi, yang tentu
saja terkejut tiba-tiba ada orang asing nyelonong masuk.
Dua jam di kantor polisi, entah harus bersyukur atau mena-

367
ngisi nasib. Saya tak berani membayangkan bagaimana jadinya
saya di rumah penuh kecoak itu kalau polisi tak datang.
Semoga ini bukan ”keramahtamahan” Ferghana yang saya
cari.

Mendung menggelayut menggiring pagi. Masih dengan jantung


berdebar, saya melanjutkan perjalanan menyusuri kota. Ferghana
adalah kota besar di Lembah Ferghana, tapi Lembah Ferghana
bukan hanya kota Ferghana. Orang yang datang ke sini pasti
om
bertanya, ”Mana lembahnya?” Sejauh mata memandang, ke se-
t.c
gala penjuru, tak tampak gunung apa pun. Lembah ini terlalu
po

luas, konon termasuk yang terluas di dunia. Bayangkan saja, ada


gs
lo

tiga iris negara di sini, tujuh provinsi, dengan luas total setara
.b
do

provinsi Bengkulu.
in
a-

Pada zaman Jalur Sutra, Ferghana adalah perhentian penting


ak

bagi kafilah unta yang berduyun melintas pegunungan raksasa


st
pu

Tianshan dan Pamir, membawa bermacam-macam komoditas


eksotik dari Tiongkok ke Eropa, terutama sutra.
Syahdan dari legenda Cina, sutra ditemukan oleh permaisuri
Kaisar Huang-ti lebih dari 5.000 tahun silam. Kepompong ulat
sutra jatuh ke dalam cawan teh sang permaisuri. Penasaran, ia
menarik serat kepompong itu perlahan. Yang muncul adalah
seutas benang panjang halus mengilap. Itulah cikal bakal sutra
yang kemudian identik dengan Tiongkok. Bangsa Mongol di
bawah komando Genghis Khan harus berterima kasih pada
sutra. Konon, para serdadu Mongol ini selain adalah penunggang
kuda yang jempolan, juga manusia ”ajaib” yang kebal terhadap

368
terjangan panah. Di balik baju perang yang tebal, ternyata me-
reka mengenakan selapis kain sutra. Sutra memang lembut, tapi
seratnya kokoh, tak tertembus.
Bangsawan Yunani juga menggemari sutra. Negeri mereka
kaya, dan penduduknya makmur. Kala itu, orang Eropa masih
mengira sutra berasal dari pohon ajaib. Rahasia sutra disimpan
rapat, sehingga perdagangan Jalur Sutra mendatangkan keun-
tungan besar. Barisan kafilah melintasi gurun luas, mendaki gu-
nung berbahaya, menghadapi gerombolan bandit dan tentara
barbar, demi menjual sutra ke benua Eropa. Jalur Sutra, meng-
hubungkan Tiongkok dengan Konstantinopel, terbentang me-
lintasi Asia Tengah. om
t.c
Seperti kata pepatah, ”Banyak jalan menuju Roma”, Jalur
po

Sutra menuju negeri Romawi pun bukan cuma satu. Ada jalur
gs
lo

utama yang ramai dilewati kafilah pedagang, ada pula jalan kecil
.b
do

pegunungan cadas yang terlupakan. Para pedagang pun tidak


in
a-

sepenuhnya berjalan belasan ribu kilometer dari Tiongkok lang-


ak

sung ke Eropa. Bak tongkat estafet, sutra merayap perlahan dari


st
pu

pedagang ke pedagang, dari kota ke kota, dari gunung ke lem-


bah, gurun ke oase, hingga ke Konstantinopel. Di negeri kuno
Uzbekistan banyak sekali tempat yang dilintasi Jalur Sutra. Lem-
bah Ferghana, Samarkand, Bukhara, adalah pos-pos penting.
Berawal dari ketertarikan pada sutra, saya menuju Margilan,
kota kecil setengah jam perjalanan dari Ferghana. Margilan
akan segera merayakan ulang tahunnya yang ke-2.000. Lagi-lagi,
angka ribuan tahun menggetarkan sejarah. Tetapi di Asia Te-
ngah ini, milenium demi milenium berlalu, ribuan tahun se-
perti hanya menjadi angka statistik yang kemudian menjadi ke-
banggaan. Sebagai tempat perlintasan sejarah dan peradaban,

369
Uzbekistan dipenuhi kota berusia uzur. Dibandingkan Margilan
yang kecil ini, Jakarta masih orok.
Pabrik sutra Margilan terkenal di seantero negeri, masih
menggunakan teknik tradisional memproduksi tenunan ber-
kualitas tinggi. Nasir, seorang pegawai pabrik, mengajak saya
berkeliling.
Musim dingin, bukan musim panen kepompong ulat sutra,
pabrik pun sepi. Nasir bangga menceritakan produksi benang
sutra Uzbekistan yang sangat terkenal di dunia. Di pabrik ini,
benang dibuat dengan roda-roda tradisional dari kayu yang
terus berputar tanpa henti. Benang-benang sutra lalu diwarnai
om
dengan zat alami tradisional, misalnya kulit delima untuk me-
t.c
rah, kacang untuk menghasilkan cokelat, dan bawang untuk
po

kuning.
gs
lo

Ferghana terkenal dengan kain sutra yang indah. Kain atlas


.b
do

dan adras semakin menambah keanggunan kaum perempuan di


in
a-

kota ini. Khan atlas, atau Sutra Raja, adalah motif sutra yang
ak

paling umum digunakan perempuan Uzbek. Merah, putih, ku-


st
pu

ning, hijau, berpadu dengan indahnya dengan motif yang se-


akan mengalir di atas sungai tenang. Sebaliknya, adras justru
menggambarkan dinamisme dan gelora amarah. Karena ditenun
dari dua arah, motif desainnya lebih rumit dan berani, sehingga
bisa menggambarkan kedahsyatan mendung menggantung—
kata Nasir. Walaupun, jujur saja, saya harus menggunakan ima-
jinasi tinggi untuk melihatnya.
Sekelompok pria bertugas mengikati pintalan sutra, lalu di-
tenun menjadi karpet dan suzana. Permadani sutra harganya
bisa berjuta-juta, walaupun pendapatan para pekerja pabrik ini
tak lebih dari dua dolar per hari. Di dinding pabrik terpampang

370
poster bergambar artis pop Uzbek dan aktor Bollywood—me-
nyegarkan mata para buruh di kala penat.
Sejarah ribuan tahun Margilan memang tidak bisa dipandang
enteng. Margilan dibangun dengan kesabaran, ketelitian, ke-
telatenan, dan imajinasi tinggi—serat demi serat, pintalan demi
pintalan, tenunan demi tenunan peradaban dan sejarah.
Kecantikan sutra Margilan juga seakan terlukis langsung
pada gadis-gadisnya. Mata Firuza besar dan bulat, hidungnya
mancung. Senyum selalu terkembang di bibirnya. Namanya ber-
arti batu pirus, yang biru-hijaunya menebar keanggunan dan
kemolekan kota-kota kuno Persia. Walaupun kecantikannya
om
tipikal Uzbek dan tinggal di kota kecil, Firuza bukan tipe gadis
t.c
desa. Pakaiannya modis, dengan rok sedengkul. Saya heran ba-
po

gaimana dia bertahan dalam udara yang sedingin ini. Sepatu


gs
lo

botnya tinggi, dengan hak yang tak kalah tingginya, serta jaket
.b
do

bulunya bergaya Eropa. Rambutnya tergerai indah, berkilau ter-


in
a-

kena sinar matahari yang menyeruak dari jendela.


ak

”Mungkin tidak lazim seorang gadis membawa laki-laki ke


st
pu

rumah,” saya mengutarakan kekhawatiran. Lembah Ferghana


adalah tempat yang paling konservatif di seluruh Asia Tengah.
Seorang gadis muda yang mengundang pria asing menginap di
rumah tentu bukan sesuatu yang sedap dipandang tetangga.
Saya masih teringat betapa ketatnya hubungan antara lelaki
asing dengan kaum perempuan di Afghanistan. ”Tidak apa-
apa,” katanya, ”keluarga kami sangat suka kedatangan tamu.
Ayah dan ibu saya pasti senang sekali berjumpa dengan kamu.”
Orang Uzbek bilang, hormatilah tamu melebihi engkau meng-
hormati ayahmu.
Ibu Firuza yang baru pulang sibuk menyiapkan teh dan se-

371
gala macam permen, kismis, dan manisan untuk saya. Ia terse-
nyum manis sekali, memamerkan barisan gigi emasnya. Rambut
ayah Firuza sudah memutih, walaupun sebenarnya belum terlalu
tua.
”Yakhshimisiz? Apa kabar?” sambutnya, sambil menyalami
saya dan meletakkan tangan kirinya di atas dada, bahasa tubuh
orang Uzbek melambangkan penghormatan yang terdalam.
Saya membalasnya dengan gerakan yang sama, setengah mem-
bungkuk, ”Rahmat. Terima kasih.”
Firuza masih punya seorang adik perempuan, Farangis nama-
nya. Ketika Farangis pulang, sang ayah menciuminya dengan
om
mesra. Wajah Farangis sangat mirip Firuza, bak dua permata
t.c
kembar yang tersembunyi di semrawutnya gang kuno pinggiran
po

kota. Tetapi gadis ini sangat lincah. ”Dia suka menari, nanti
gs
lo

suatu hari ia akan berhasil sekolah di Tashkent, masuk sekolah


.b
do

tari di sana,” jelas ayahnya. Farangis hanya tersipu.


in
a-

Tarian melekat pada kultur Uzbek, terlebih lagi di Lembah


ak

Ferghana. Begitu musik terdengar, Farangis langsung berdiri,


st
pu

berputar cepat dan menggerakkan tangan dengan lincah. Sang


ayah bertepuk tangan mengiringi, Farangis lincah melompat,
berputar-putar cepat. Bahkan si ibu yang sedang sibuk menyiap-
kan makan malam, ikut menari bersama anaknya. Saya terkesima
oleh spontanitas ini, mau tak mau ikut berdiri dan berjoget di-
iringi musik irama padang pasir.
Nasi plov terhidang di atas sebuah piring besar di atas meja
makan. Plov atau osh pilau dalam bahasa Uzbek, adalah makanan
nasional, tidak pernah absen dalam kelahiran, pernikahan, atau
perkabungan. Nasi berminyak yang menggunung tinggi, puncak-
nya ditutup oleh gumpalan daging kambing, semakin indah

372
warnanya dengan tebaran irisan wortel panjang, semakin sedap
rasanya dengan butir-butir kismis, semakin hangat rasanya ke-
tika dimakan bersama. Kebersamaan adalah hal utama di sini.
Mereka tidak membagi nasi plov dalam piring-piring. Ayah, Ibu,
Firuza, Farangis, dan saya makan dari piring besar yang sama,
dengan tangan kanan yang bersimbah minyak. Hening, prosesi
makan berjalan dengan khusyuk, tak ada kata-kata yang mem-
barengi suapan nasi ke dalam mulut. Sehabis makan, ibu Firuza
komat-kamit membaca doa, dan kami berlima berseru ”Amin”—
tanda syukur yang tidak boleh terlupa. Saya membantu mem-
bawa piring-piring ke dapur, sementara Firuza membungkus
sisa-sisa roti. om
t.c
Saya terbelalak. Kain pembungkus roti itu adalah kain atlas!
po

Dari sutra murni, berwarna-warni cerah dengan motif wajiknya


gs
lo

yang khas. ”Di sini semua memang dari sutra,” kata Firuza
.b
do

bangga, ”ini khas Margilan, kota sutra. Tak perlu kaget, roti pun
in
a-

layak dibungkus dengan sutra.” Semeter kain atlas buatan ta-


ak

ngan harganya sekitar empat dolar, sayang juga kalau dipakai


st
pu

hanya untuk membungkus roti. Tetapi bagi orang Uzbek, roti


adalah benda suci. Tidak boleh dibuang, ditaruh di tanah, atau
diletakkan tengkurap. Roti adalah sumber kehidupan yang ha-
rus dihormati.
Keesokan paginya, Firuza mengenakan pakaiannya yang pa-
ling cantik, kain atlas dari sutra. Lembut, mengilap, pakaian
longgar ini memancarkan aura. Keanggunan dan kecantikan
memang tidak harus identik dengan ketat dan modern.
Firuza dalam sekejap berubah menjadi seorang putri Uzbek
dalam fantasi saya. Topi kecil bersudut empat bertengger miring
di atas rambutnya yang hitam. ”Salom... salom...,” katanya sambil

373
membungkukkan badan tiga kali, mengawali hari saya yang
baru di Lembah Ferghana.

Salom-salom Firuza mengingatkan saya kembali pada kata-kata


Temur, di Ferghana semua pintu akan terbuka bagi tamu. Saya
tertegun ketika Firuza menyuruh saya pergi ke pesta perkawinan
untuk lebih menyelami keramahtamahan Ferghana.
”Sudah, datang saja,” kata Firuza, ”Tak masalah diundang
atau tidak. Orang Margilan sangat suka kalau acara pernikahan-
om
nya ramai. Malah kadang undangan disebar di pasar.” Undangan
t.c
ini memang hanya kertas stensilan, tanpa nama penerima, se-
po

pertinya memang ditujukan untuk siapa saja yang berminat da-


gs
lo

tang. Siapa saja! Bayangkan undangan pasar malam atau sirkus


.b
do

keliling, ”Saksikanlah! Saksikanlah! Sirkus terseru datang di


in
a-

kampung Anda!” Bedanya, di sini pertunjukannya adalah ka-


ak

winan.
st
pu

Walaupun datang sebagai tamu tak dikenal, empunya pesta


langsung tergopoh menyambut saya seperti tamu VIP. Saya di-
bawa ke tempat para lelaki berkumpul. Mereka duduk di ha-
laman yang dipasangi tenda dan berdinding karpet bermotif
indah, merah manyala. Roti nan dan teh hijau menemani
percakapan santai di atas dipan.
Saya dibawa dari dipan ke dipan. Setiap perkenalan selalu
dimulai dengan menengadahkan tangan bersama-sama, seorang
pembaca doa berkomat-kamit cepat. Setelah berputar-putar di
ruangan tamu pria, saya dibawa ke pekarangan, ke bagian ter-
larang—khusus perempuan.

374
Di Lembah Ferghana, tamu laki-laki dan perempuan dipisah.
Sebagai orang asing, saya sangat beruntung dengan identitas
ganda, bisa melongok bagian yang tersembunyi bagi lelaki
awam. Pekarangan rumah Uzbek lazimnya dikelilingi tembok
tinggi dan tebal, sama sekali tak terlihat dari luar. Di balik tem-
bok tebal kaum perempuan yang hampir semuanya berjilbab
menikmati kegembiraan pesta, aman dari pandangan mata le-
laki.
Kakak mempelai pria mengingatkan saya untuk kembali se-
habis Salat Jumat, karena kelin—mempelai perempuan—datang
sekitar pukul dua siang. Tuy, upacara pernikahan, dimulai se-
om
telah itu. Pengantin pria, dalam bahasa Uzbek disebut kuyov,
t.c
po

mengenakan dasi dan jas abu-abu, tak lupa topi bulunya yang
gs

seperti landak, mewanti-wanti saya jangan sampai terlambat.


lo
.b

Bukankah ini Uzbekistan? Elastisitas jam di sini seharusnya


do
in

tidak terlalu jauh bedanya dengan jam karet di Indonesia, bu-


a-
ak

kan? Saya sengaja datang terlambat setengah jam.


st

”Kenapa terlambat?” tuan rumah mengeluh, ”Kelin sudah


pu

datang, upacara sudah selesai!” Upacara kelin salom, disebut juga


salom-salom, pengantin wanita memberi salam kepada keluarga
pengantin pria, pertanda siap masuk kehidupan baru di rumah
suami. Ya....
Membaca kekecewaan saya, kakak kuyov langsung berkata,
”Jangan khawatir, kawan. Salom-salom memang sudah lewat. Te-
tapi demi kamu, kami bisa mengulang semua acara tadi. Seben-
tar, kamu tunggu dua puluh menit, ya. Kami akan siap-siap
lagi.”
Mata saya tak henti mengerjap, hampir tak percaya—seperti

375
pertunjukan ketoprak saja—acara pernikahan pun ada siaran
ulang hanya karena seorang turis datang terlambat.
Tidak ada tamu lelaki lain di sini. Menurut tradisi, lelaki
dilarang keras melihat acara ini, karena jati diri kelin dirahasiakan
dan tari-tarian kaum perempuan dalam pernikahan tabu bagi
laki-laki. Dua wanita paruh baya menabuh kendang bersahut-
sahutan, mengalunkan irama sedih. Suara melengking tinggi,
mendendangkan lagu pilu. Para wanita itu mengelilingi ling-
karan. Satu per satu mereka menari. Gerakannya sederhana,
berputar-putar dengan satu tangan di kepala dan tangan lain
terlentang. Rancaknya tarian yang berharmoni dengan kepiluan
om
musik, dengan denting khas Persia, membuat saya terhanyut.
t.c
Yig’lama qiz yig’lama, To’y saniki yor-yor.
po

Ostonasi tillodan, Uy saniki yor-yor.


gs
lo

Jangan menangis, gadis, jangan menangis, pernikahan ini


.b
do

adalah pernikahanmu, Sayang, Yor-yor34.... Rumah berpanggung


in
a-

emas, rumah ini adalah rumahmu, Sayang.


ak

Yor-yor..., jangan menangis, gadisku. Mengapa lagu yang


st
pu

begitu sedih harus menyertai acara pernikahan? Mengapa harus


ada tangis-tangisan dan kepiluan di sini?
Kelin, terbungkus dalam cadar tembus pandang dan pakaian
hitam, menampakkan diri di ambang pintu. Hitam, betapa mu-
ramnya. Wajahnya pun penuh kesedihan. Matanya terus mena-
tap ke bawah. Dan tak lama setelah itu, saya melihat butir-butir
air mata mengalir di pipinya.
Yor-yor..., ini adalah pernikahanmu....
Seperti kata orang, tidak pernah ada senyum terhias di wajah

34
Yor-yor berarti kekasih. Ini adalah lagu wajib dalam pernikahan Uzbek.

376
pengantin perempuan Uzbek. Bagaimana mungkin ia bisa ter-
senyum? Mulai hari ini ia akan tinggal bersama keluarga asing,
tidur di ranjang yang sama dengan lelaki tak dikenal, meninggal-
kan rumah yang selama ini menghangatkannya, meninggalkan
zona amannya. Senyum dan tawa bahagia pengantin di Indo-
nesia, lupakan itu! Setetes air mata di pipi kiri, disusul tetesan
lain di ujung mata kanan, tiada henti...
Kelin muncul diiringi sekelompok wanita tua yang semuanya
berkerudung. Wajahnya ditutup selembar kain putih transparan
yang penuh sulaman. Kedua tangannya terbuka lebar, masing-
masing memegang ujung kain yang menutupi kepalanya.
om
Kelin membungkukkan badan, perlahan. Satu kali. Ia me-
t.c
negakkan badan lagi. Begitu pelan. Tak sampai tegak sempurna,
po

membungkuk lagi, juga dengan perlahan. Dua kali. Tiga kali.


gs
lo

Inilah salom-salom yang begitu misterius dari balik kungkungan


.b
do

tembok rumah Ferghana. Kelin berbelok ke kiri, tiga kali salom-


in
a-

salom, ke kanan, tiga kali salom-salom. Kepalanya terus tertunduk.


ak

Melodi Yor-yor berat menekan batin.


st
pu

Yor-yor..., jangan mengangis, gadisku....


Selembar kain sutra atlas bermotif wajik-wajik merah, kuning,
hijau, dan putih digelar di atas tanah. Para perempuan tua
menghadiahkan karpet dan perabotan, lalu menumpahkan te-
pung ke tangan pengantin. Tepung adalah perlambang kemak-
muran, juga kepatuhan sang istri yang nantinya akan bergumul
dengan tepung menyiapkan roti nan bagi keluarga setiap hari.
Ia diingatkan akan kewajibannya, kodratnya, di rumah baru ini.
Air mata terus mengalir di pipi. Tetabuhan yor-yor tak kun-
jung henti. Kata-katanya yang sendu semakin menggugah emosi.
Mereka menangis berjamaah. Ibu mertua yang sudah tua dan

377
bungkuk pun tak kuasa menahan air mata ketika menggandeng
sang menantu erat-erat.
Semua hadiah sudah dihibahkan, entah berapa ratus salom-
salom dibungkukkan, upacara diakhiri doa. Yor-yor mengalun
lagi, kelin diarak menuju pintu rumah. Untuk terakhir kali, kelin
memberikan salom-salom. Pintu ditutup. Ia resmi menjadi bagian
dari rumah ini. Tapi ingat, ini hanya versi siaran ulang, kelin
sudah menangis dan membungkuk ratusan kali tiga puluh me-
nit sebelumnya. Para tamu pun juga sudah menarikan tarian
yang sama, menumpahkan tepung yang sama, dan mencurahkan
air mata yang sama, setengah jam lalu.
om
Bagi orang Uzbek, menikahkan anak gadis bukan hanya ber-
t.c
arti memberikan putri kepada keluarga lain, tetapi juga harus
po

mengeluarkan banyak uang untuk membayar mas kawin. Ang-


gs
lo

gapannya, semakin besar mas kawin, semakin tinggi kedudukan


.b
do

si gadis di mata keluarga suaminya, dan semakin berkurang per-


in
a-

lakuan semena-mena di rumah barunya nanti. Orangtua yang


ak

punya banyak anak perempuan bisa bangkrut. Tak heran orang


st
pu

Uzbek bilang, ”Pintu surga terbuka lebar bagi orangtua yang


punya lebih dari tiga anak gadis, membesarkan, lalu menikahkan
mereka semua.”
Kedua mempelai tidak bersanding. Sementara piring-piring
berisi nasi plov hangat dengan irisan daging kambing diedarkan
ke hadapan para tamu, sang pengantin pria justru tertawa se-
nang, berkeliling ke setiap dipan, menyapa semua orang yang
hadir. Dalam setiap senyumannya, gigi emasnya bersinar me-
nyilaukan.
”Siapa nama kelin-nya?” saya berbisik.
”Ssst... itu rahasia. Nama kelin tidak boleh diumumkan dan

378
didengar tamu pria, sebelum acara nanti malam.” Senyum lebar
tersungging di bibir sang kuyov. Hari ini ia sungguh adalah le-
laki yang paling bahagia di muka bumi. Sementara di balik tem-
bok pagar tebal, di bawah kurungan cadar tipis, sang kelin me-
nangis sesenggukan mengakhiri masa gadis, perpindahan dari
sebuah zona aman ke zona lain yang begitu asing, menembus
kehidupan di balik ”kota yang terkurung tembok”.

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

379
DI SINI STAN, DI SANA STAN

SAYA tak pernah melihat ruang tamu seluas ini. Dari ujung ke
ujungnya, orang harus berjalan setidaknya tiga puluh langkah
kaki. Permadani raksasa berwarna merah manyala dengan motif
sulur-suluran dan geometris yang sangat teliti menyelimuti din-
dingnya. Lampu berkedip-kedip, berjuang keras menyinari sudut
om
ruangan. Sepasang kakek dan nenek tua berwajah penuh keriput
t.c
po

tersenyum manis, duduk bersila di balik meja rendah berselimut


gs

tebal. Asap mengepul dari tungku tradisional samovar, menyem-


lo
.b

burkan kehangatan yang begitu berharga di tengah musim di-


do
in

ngin seperti ini.


a-
ak

Gambaran klasik dari negeri dongeng Asia Tengah ini tiba-


st
pu

tiba suram.
Listrik padam. Di musim dingin, sungai mengering dan
aliran air melambat, padamnya listrik menjadi bagian keseharian.
Tetapi masih ada sedikit cahaya kelap-kelip di ujung ruangan.
Dari tiga bohlam yang ada, satu masih bersinar temaram.
”Aduh... listrik Uzbekistan mati lagi,” kata si tuan rumah,
”tapi jangan khawatir, listrik Kirgizstan masih hidup. Di musim
dingin begini listrik Uzbekistan memang sering mati.”
Kakek Hoshimjon dan Nenek Salima Khon adalah kakek-
nenek Temur, pelajar Uzbek yang belajar bahasa Indonesia di
Tashkent. Mereka tinggal di dusun Gulshan, tepat di perbatasan

380
Uzbekistan-Kirgizstan. Temur mengundang saya ke kampungnya
ini untuk merasakan kehidupan di perbatasan. Setidaknya saya
tahu, di sini tak pernah mati lampu total, karena listriknya di-
suplai dari dua negara sekaligus.
Perbatasan. Frontier. Border post. Granitsa. Sarhad. Marz. Apa
pun namanya, kesan yang ditimbulkan biasanya sama: cemas.
Berada di limit, batas akhir sebuah spektrum kehidupan. Di
seberang garis, berlaku spektrum kehidupan yang lain. Tempat
bertemunya kedua limit itu adalah pergesekan, pertikaian,
pengamanan, birokrasi. Selama ini interaksi saya dengan garis
batas hanya sebatas pelintas. Datang dengan menggenggam
om
paspor, lalu digeledah habis-habisan oleh tentara, diwawancara,
t.c
dicap visanya, lalu, sudah, mengucap selamat tinggal pada per-
po

batasan, dan saya pun masuk ke zona aman di negara berikutnya.


gs
lo

Tetapi, benarkah rasa cemas yang sama itu akan selalu mem-
.b
do

bayang jika kita tinggal tepat di garis batas itu?


in
a-

Di rumah ini, terasa kehidupan pedesaan yang lambat dan


ak

tenteram, kita seakan terlupa ini bukan desa biasa. Bukan hanya
st
pu

listriknya yang internasional, keluarga Temur pun terdiri atas


berbagai bangsa. Kakek Hoshim dan Nenek Salima adalah war-
ga negara Kirgizstan. Temur punya paspor Uzbekistan. Sedang-
kan ayah Temur, adalah diplomat kawakan warga negara Rusia.
Berbagai macam identitas campur aduk di sini. Kalau ditanya
apakah mereka Uzbek, Kirgiz, atau Rusia, jawabannya sudah
jelas. Kakek dan nenek Temur sering menggunakan kata
Uzbeklar—orang Uzbek—untuk menyebut diri. Paspor, kewarga-
negaraan, tak lebih dari sekadar dokumen belaka. Apakah
bangsa itu? Apakah kewarganegaraan itu? Apakah artinya men-
jadi Uzbek, Kirgiz, atau sekadar jadi warga Desa Gulshan? Di

381
sini pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang identitas, loyalitas,
nasionalisme, tak banyak berarti buat Kakek dan Nenek.
Bagi mereka, menjadi orang Kirgizstan semata-mata hanya
karena rumah mereka berada di tanah Kirgizstan. Tidak lebih.
Ke-Kirgizstan-an mereka mencuat setelah negara-negara Stan ini
merdeka, garis-garis batas menjadi sekat yang nyata.
Gang kecil di depan rumah Kakek dan Nenek tak tampak
istimewa. Tanahnya berupa lempung, berdebu. Pohon besar
tumbuh di tengah jalan gang yang berkelok-kelok tak rapi. Di
sepanjang kedua sisinya, rumah penduduk bertembok padat
yang tinggi berbaris, juga tak rata mengikuti kelokan jalan gang.
om
Gang melebar dan menyempit. Paling lebarnya tak sampai lima
t.c
meter, dua mobil bisa berpapasan. Tetapi bagian yang sempit
po

hanya dua rengkuhan langkah kaki manusia dewasa.


gs
lo

Tapi gang ini bukan gang biasa. Rumah-rumah yang berderet


.b
do

di seberang gang adalah Uzbekistan. Barisan rumah di sisi yang


in
a-

sama dengan rumah Temur adalah Kirgizstan. Gang sempit ini


ak

adalah batas dua negara.


st
pu

Banyak orang Indonesia yang masih berfantasi ingin ke luar


negeri, tetapi buat orang sini ke luar negeri itu bukan hal isti-
mewa sama sekali. Bayangkan jika seberang jalan rumah Anda
adalah negara lain. Di sini, ke luar negeri cukup hanya dengan
menyeberang gang. Masihkah istimewa?
Gelombang elektromagnetik pun seakan memahami batas
yang menyekat. Di rumah Temur, telepon genggam saya yang
menggunakan kartu perdana Uzbekistan tidak bekerja. Tetapi
begitu saya menyeberang gang, hop, telepon saya aktif kembali.
”Mau keluar negeri seratus kali per hari pun tidak ada ma-
salah. Di sini, ada orang yang rumahnya masuk Uzbekistan te-

382
tapi pekarangannya masuk Kirgizstan. Ada yang dapurnya di
Kirgizstan, kamar tidurnya di Uzbekistan, jadi kalau makan di
Kirgizstan, tidurnya di Uzbekistan. Hebat, kan?” Temur terkekeh.
Bagi saya, pelajaran terpenting di sini adalah, jangan sekali-se-
kali melahirkan anak di dapur atau pekarangan kalau tidak
ingin anak Anda jadi ”orang asing”.
Di sini Stan, di sana Stan, saya seakan tersesat di antara
garis-garis semu yang membelah. Sering kali saya bertanya pada
sepupu Temur, sedang berada di Kirgizstan-kah saya, atau di
Uzbekistan? Bagi saya, jalan berdebu, rumah-rumah terkurung
tembok, pepohonan rindang, padang rumput, gunung ber-
om
tudung salju, tak lebih dari sekadar jalan, rumah, pohon, rum-
t.c
put, dan gunung. Tapi bagi penduduk, jelas tergambar pem-
po

batas—ini negaraku, itu negaramu.


gs
lo
.b
do
in
a-
ak

Mungkin hanya Stalin yang bisa menjawab mengapa Kakek dan


st
pu

Nenek Temur harus menjadi warga Kirgizstan, sementara te-


tangga seberang gang menjadi warga Uzbekistan.
Lembah Ferghana, di ujung timur Uzbekistan, adalah wila-
yah terpadat di Asia Tengah. Setidaknya sepuluh juta jiwa
tinggal di sini, atau lebih dari sepertiga penduduk Uzbekistan.
Penduduknya tradisional dan konservatif. Islam mengakar kuat
dalam kehidupan. Sejak zaman tsar Rusia, rezim komunis Uni
Soviet, sampai ke zaman kemerdekaan Uzbekistan di bawah
presiden Islam Karimov, lembah Ferghana selalu menjadi biang
masalah.
Tahun 1917, kaum Bolshevik menggelorakan revolusi Rusia.

383
Seketika kota-kota Rusia berubah menjadi ”merah”, sementara
”kaum putih”—para pendukung Tsar—semakin tersudut. Penga-
ruh Bolshevik terus menyebar hingga ke padang rumput Asia
Tengah.
Pembebasan. Demikian slogan indah yang senantiasa di-
dengungkan oleh penakluk. Kaum Bolshevik pun mengumbar
janji ”pembebasan” umat Muslim Asia Tengah dari keter-
belakangan dan kungkungan imperialisme Rusia. Mayoritas
penduduk tak memercayai komunis, mereka angkat senjata dan
melawan. Lembah Ferghana menjadi ajang pertempuran.
Mereka adalah petani dan pedagang biasa di siang hari, na-
om
mun menjelma menjadi pembunuh berdarah dingin di malam
t.c
hari. Jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan
po

Bolshevik, tetapi mereka berhasil menebar teror dengan melaku-


gs
lo

kan serangan mematikan dan membunuh para jenderal komu-


.b
do

nis. Bagi penduduk, para gerilyawan adalah pejuang yang gigih


in
a-

mempertahankan kemerdekaan. Rusia menyebut para pejuang


ak

ini sebagai basmachi—gerombolan bandit, para teroris.


st
pu

Gerakan basmachi membangkitkan semangat untuk memper-


satukan umat Muslim dan bangsa-bangsa Turki yang mendiami
Asia Tengah. Kalau kekuatan yang begitu besar ini bisa bersatu,
maka ini akan menjadi mimpi buruk bagi rezim komunis.
Stalin, pemimpin Uni Soviet bertangan besi itu, tidak kehabisan
akal. Setelah gerilyawan basmachi berhasil disudutkan hingga ke
Pegunungan Pamir, Moskow segera mengiris-iris Asia Tengah
menjadi beberapa republik, yang kemudian menjadi cikal bakal
negara-negara Stan sekarang ini.
Etnis, identitas, perbedaan, ampuh untuk memecah belah
manusia. Kisah Alkitab menuliskan, Tuhan menceraiberaikan

384
manusia yang karena kesombongannya membangun Menara
Babel dengan menciptakan aneka bahasa. Rusia menceraiberaikan
Asia Tengah dengan mendirikan republik.
Dan berhasil.
Sekarang republik-republik artifisial Stalin itu menjadi ne-
gara berdaulat penuh yang mengguratkan garis batas tegas.
Masing-masing menonjolkan perbedaan di antara mereka: iden-
titas, bahasa, etnis, sejarah. Sanak saudara terpisah dalam ku-
rungan batas-batas. Orangtua dan putra memegang paspor ber-
beda. Anak-anak belajar ideologi berbeda. Beragam mata uang
beredar, berbagai aksara menghias, slogan-slogan bertaburan.
om
Orang bilang Stalin kejam dan tak manusiawi. Tetapi, se-
t.c
benarnya, ia jenius luar biasa. Berpuluh tahun setelah kematian-
po

nya, bom waktu perbatasan itu mulai berdetak cepat. Penduduk


gs
lo

kampung Lembah Ferghana terpecah belah menjadi ”orang


.b
do

kita” dan ”orang mereka”.


in
a-
ak
st
pu

Batas ini bukan berupa pagar berjeruji, barisan tentara, kantor


imigrasi, atau sungai yang mengamuk hebat. Batas ini berupa
sekolah.
Anak-anak Uzbek yang bersekolah di Gulshan setiap hari
pasti melihat sebuah altar yang terpampang di koridor di depan
pintu utama. Bukan gambar dewa atau nabi, yang terpampang
di sini adalah foto besar Presiden Islam Karimov yang sedang
tersenyum. Di bawahnya tertulis: ”Presiden Kita, Kebanggaan
Kita”.
Di samping foto ini, berderet buku-buku karangan sang Pre-

385
siden, ”Tiada Masa Depan Tanpa Sejarah” dan ”Allah dalam
Hati Kami, dalam Jiwa Kami”. Buku presiden, sampai 16 jilid
jumlahnya, adalah bahan ujian wajib bagi pegawai negeri, mi-
liter, agen rahasia, sampai mahasiswa pascasarjana. Di sekeliling
foto sang presiden, berjajar berbagai poster yang menggambarkan
kesuksesan pembangunan Uzbekistan.
Altar ini bernaung di bawah barisan tulisan besar, slogan
utama sang presiden yang harus dihafal semua orang: Uzbekis-
tan—Negeri Besar di Masa Depan. Janji untuk ”masa depan”
lebih mudah diucapkan, sebagai mimpi untuk mengubur derita
di masa sekarang. Tulisan ini terlihat di mana-mana di Uzbekis-
om
tan, mulai dari museum hingga pom bensin, mulai dari gerbang
t.c
masuk kota hingga spanduk pinggir jalan.
po

Sepanjang koridor gedung sekolah, deretan ide nasional ter-


gs
lo

pampang di langit-langit. ”Persahabatan”. ”Perdamaian”. ”Ke-


.b
do

indahan”. Semua slogan sempurna yang sangat sering digunakan


in
a-

di zaman Uni Soviet. Sekarang, ide-ide yang sama muncul dalam


ak

bahasa yang berbeda.


st
pu

Ruang kelas pun penuh dengan slogan, mendampingi foto-


foto pahlawan, poster tentang sejarah dan pemerintah. Di de-
pan kelas, yang kalau di Indonesia ditempati foto Presiden dan
Wakil, di sini dipasangi gambar kakek tua berjenggot putih—
Alisher Navoi, sang pujangga abad pertengahan yang diagungkan
sebagai Bapak Nasional Uzbek. Di bawahnya terpampang pe-
tikan wejangannya, ”Alim Orang yang Bertanya, Zalim Orang
yang Malu Bertanya.” Ibu guru berjaket hitam tebal menulis
rumus-rumus persamaan kuadrat di papan tulis, yang juga di-
kelilingi slogan-slogan, ”Ada Sastra, Ada Alam” dan ”Sastra Le-
bih Kuat daripada Bom Atom, tetapi Jangan Hanya Dipakai

386
untuk Membuat Api Unggun.” Gambar pahlawan nasional mu-
lai dari zaman keemasan Bukhara sampai tokoh Uzbekistan mo-
dern berderet rapi, lengkap dengan kutipan kata mutiara ma-
sing-masing tokoh.
Memori masa lalu pendudukan Rusia berusaha dihapuskan.
Ada sejarah yang hendak dilupakan. Bahasa Rusia tidak lagi
menjadi bahasa utama. Huruf Rusia digusur oleh huruf Latin.
Pujangga Rusia Pushkin digantikan oleh Alisher Navoi35. Pah-
lawan baru diperkenalkan, ideologi baru ditanamkan, murid-
murid sibuk menghafalkan.

om
t.c
po

Hanya beberapa langkah dari Gulshan, kita memasuki desa


gs
lo

Halmiyon. Penduduk Halmiyon sebenarnya sama dengan


.b
do

Gulshan—etnis Uzbek dari Lembah Ferghana. Tetapi karena di


in
a-

sana yang berkibar adalah bendera merah dengan matahari


ak

emas punya Kirgizstan, orang-orang ini pun kini memiliki


st
pu

”otak” berbeda.
Kanak-kanak adalah masa terpenting untuk menerima
doktrin, karena apa pun yang mereka terima akan mereka

35
Sama seperti Babur dan Amir Timur, Alisher Navoi atau Alisher Herawi juga
tidak pernah mengaku sebagai orang Uzbek seumur hidupnya. Pada abad ke-15
ia terlahir di Herat, sekarang wilayah Afghanistan, belajar di Mashhad (sekarang
Iran), Herat, dan Samarkand (sekarang Uzbekistan). Ia menulis dalam bahasa
Chagatay yang diklaim sebagai cikal-bakal bahasa Uzbek modern. Ketika me-
nyebut kata ”Uzbek” dalam puisinya, ia menggunakan nada yang merendahkan.
Tetapi kini ia menjadi pahlawan Uzbek, patungnya tersebar di seluruh negeri,
dan satu kota dinamai dengan namanya. Tentu saja bukan hanya Uzbekistan
yang mengklaimnya sebagai pahlawan nasional—masih ada Iran, Afghanistan,
dan berbagai negara pengguna bahasa Turki.

387
imani, hingga mereka dewasa nanti. Di Indonesia, pendidikan
dasar menekankan perlunya moral dan agama. Saya ingat bagai-
mana dulu harus menghafal butir-butir Pancasila, UUD 1945,
program-program Repelita, nama semua menteri yang duduk di
kabinet, nama-nama agama dan kitab sucinya, sejarah penjajahan
350 tahun oleh Belanda, wawasan Nusantara dari Sabang sam-
pai Merauke, sampai jasa-jasa Presiden Suharto. Anak sekolah
di Gulshan, dicekoki slogan dan doktrin presiden. Di desa se-
berang perbatasan sana pun sama saja. Orang-orang dari kam-
pung yang sama kini hidup dalam doktrinasi berbeda.
Saidullo, sepupu Temur, menemani saya ”menyelundup” ke
om
Kirgizstan. Sebenarnya, rumah Temur memang sudah di Kir-
t.c
gizstan, tetapi kita tidak bisa ke mana-mana lagi dari sana. Un-
po

tuk mencapai desa Kirgizstan yang sebenarnya, ada dua jalan.


gs
lo

Yang ilegal lewat padang rumput di belakang Gulshan, yang le-


.b
do

gal lewat jalan dusun yang menghubungkan.


in
a-

Karena saya turis ilegal, kami pun memilih jalan ilegal.


ak

Saidullo mengendarai mobil Tico, made in Uzbekistan, membawa


st
pu

saya melintasi jalan tak beraspal dan becek. Gunung salju ber-
jajar di hadapan. ”Itu gunungnya Kirgizstan,” kata Saidullo. Wa-
laupun kelihatannya dekat, sebenarnya gunung-gunung itu sa-
ngat jauh, tak bisa dicapai dari sini. Di belakang gunung-gunung
itu adalah negara lain lagi, Tajikistan.
Kami sedang dalam misi penyelundupan. Tetapi kata
Saidullo, ini sudah biasa. ”Orang Halmiyon tidak mungkin hi-
dup tanpa Gulshan. Orang Gulshan juga tidak bisa hidup tanpa
Halmiyon. Halmiyon tak ada bedanya dengan Gulshan. Semua
orangnya sama seperti di Gulshan, orang Uzbek. Kebudayaan
mereka, rumah mereka, bahasa mereka, semua Uzbek,” katanya.

388
Bagaimana mungkin perbatasan itu memutus interaksi pen-
duduk kampung yang begitu erat terjalin? Di sini banyak sekali
keluarga campuran. Pernikahan ”internasional” itu sebenarnya
cuma perkawinan antarkampung.
Sekolah Toktogul No. 1 berdiri megah di pusat Halmiyon.
Bapak kepala sekolah, Juma Yuldeshev, menemani saya ber-
keliling. ”Di sini hampir semua muridnya orang Uzbek,” kata
bapak Juma yang satu giginya sudah berlapis emas, ”tetapi kami
sekarang giat belajar bahasa Kirgiz.” Yang dulunya bahasa asing—
bahasa suku lain—sejak lima belas tahun lalu berubah status
menjadi bahasa nasional.
om
Sekolah ini adalah sekolah bilingual. Bahasa Uzbek dan
t.c
Kirgiz diajarkan bersama-sama. Setiap kelas didesain istimewa.
po

Interior kelas bahasa Kirgiz mirip kemah yurt, lengkap dengan


gs
lo

siluet lubang tunduk yang menjadi lambang negara. Kelas bahasa


.b
do

Uzbek dirancang mirip rumah tradisional, lengkap dengan ba-


in
a-

risan pilar kayu berukir.


ak

Di ruang utama setelah pintu besar saya melihat tembok


st
pu

yang dipenuhi poster bergambar peta Kirgizstan, bendera, lam-


bang negara, lagu kebangsaan. Motif-motif khas bangsa nomaden
menghiasi, kultur bangsa Kirgiz yang kontras dengan dekorasi
rumit tenunan permadani dari peradaban menetap bangsa
Uzbek. Bapak Juma membawa saya ke museum sekolah, di
ruang bawah tanah. Ada alat tenun putar, sulam-sulaman shyrdak
dengan tenunan berpola kotak-kotak khas Kirgiz, pengaduk
susu untuk membuat alkohol dari susu kuda, patung purbakala
berbentuk manusia dan hewan, kunci primitif dari kayu se-
panjang lengan (lubang kuncinya lebih besar lagi), barisan alat
musik dombura dari berbagai zaman, pot air untuk membasuh

389
tangan, sampai setrika berkarat dari zaman baheula yang alasnya
sejengkal tangan tebalnya.
Bagi saya semua ini terasa begitu asing. Tetapi bagi orang
Uzbek, barang-barang ini juga eksotik dan unik. Bangsa Uzbek
sudah lama menanggalkan kultur nomad dan membangun per-
adaban menetap. Bangsa Kirgiz, sebaliknya, masih sangat kental
budaya pengembaraannya. Saidullo hanya menggeleng-geleng
penuh kagum. Sekarang baru ia tahu, penduduk kampung te-
tangga ternyata punya ”masa lalu” yang begitu berbeda.
Di sekolah ini juga ada museum Manas, pahlawan dari hi-
kayat Kirgiz yang diturunkan secara oral dari generasi ke gene-
om
rasi. Pada perayaan seribu tahun Manas tahun 1995, Kirgizstan
t.c
tak sayang menghabiskan jutaan dolar untuk berbagai festival.
po

Manas adalah kebanggaan, Manas adalah identitas. Sama se-


gs
lo

perti Uzbekistan yang mendudukkan Amir Timur sebagai ikon


.b
do

negara, Kirgizstan menjadikan Manas sebagai kebanggaan


in
a-

peradabannya. ”Manas, kini sudah menjadi bagian dari jati diri


ak

bangsa Kirgiz. Tetapi sayang, anak-anak Uzbek di sini tidak tahu


st
pu

tentang Manas, atau susah sekali membayangkannya,” kata Ke-


pala Sekolah, ”karena itu saya membuat museum di sini, supaya
anak-anak bisa mengenal sejarah masa lalu.” Yang dimaksud
”sejarah” baginya adalah sejarah Kirgiz, yang kini menjadi pa-
nutan semua orang Uzbek di kampung ini.
Legenda melahirkan bangsa. Bangsa Jepang punya legenda
tentang Amaterasu. Bangsa Kirghiz percaya sebagai keturunan
Manas. Bangsa Cina menyebut diri sebagai keturunan sang
naga. Bangsa Indonesia percaya sebagai penerus kerajaan besar
Sriwijaya dan Majapahit yang mempersatukan Nusantara.
Legenda-legenda itu, tak peduli benar tidaknya, adalah memori

390
bersama, mempersatukan orang-orang yang merasa sebangsa.
Menjadi Kirgiz berarti mengimani dan mengamini Manas. Wa-
laupun nenek moyangnya berasal dari kampung sebelah, namun
karena kini orang-orang Uzbek ini tinggal di Halmiyon, memori
mereka sekarang adalah sang pahlawan nomaden Manas, bukan
lagi Amir Timur dan Samarkand-nya.
Di sekitar kita, sebenarnya banyak kisah seperti ini. Misalnya,
warga keturunan Melayu di Thailand selatan. Dulunya mereka
adalah bagian dari lingkup pengaruh Melayu, setia di bawah
kerajaan Melayu, senantiasa berbahasa Melayu, beradat dan ber-
budaya Melayu. Kemudian penjajah Inggris membuat perjanjian
om
dengan Siam, menentukan garis batas Malaya. Sejumlah kam-
t.c
pung Melayu kini menjadi bagian Thailand. Seketika, orang-
po

orang Melayu di sana harus berubah identitas—menjadi Thai,


gs
lo

berbahasa Thai, mengidentifikasi diri dengan mayoritas penga-


.b
do

nut Buddha, memuja sang Raja, menyatakan kecintaan dan ke-


in
a-

banggaan kepada Thailand. Memori ratusan tahun langsung


ak

dirubuhkan dan dikoreksi dalam sekejap malam saja.


st
pu

Tiap negara Asia Tengah memang diciptakan masing-masing


hanya untuk satu bangsa. Idenya, garis batas negara sama de-
ngan garis batas bangsa. Homogen. Sederhana. Tajikistan untuk
Tajik, Uzbekistan untuk Uzbek, Kirgizstan untuk Kirgiz.
”Tentu saja saya cinta Kirgizstan,” kata Bapak Juma, ”karena
saya adalah warga Kirgizstan.” Walaupun terlahir sebagai Uzbek,
dibesarkan dengan pendidikan Uzbek, senantiasa bicara bahasa
Uzbek, punya lebih banyak teman Uzbek, berkerabat dengan
banyak famili di Uzbekistan, namun hanya karena tinggal di
atas tanah Kirgizstan, maka kecintaannya cuma untuk Kirgizstan.
Simpel. Nasionalisme baginya memang sesimpel itu.

391
Bapak Juma bercerita, tak jauh dari sini, masih di Lembah
Ferghana, ada desa milik Tajikistan. Walaupun punya Tajikistan,
desa ini terkurung di Uzbekistan dan ditinggali orang Uzbek.
Sungguh teramat jauh jaraknya dari pengaruh Dushanbe.
Tajikistan hampir tak memedulikan wilayahnya yang terpencil
dan tak penting ini. Suatu hari, rombongan kamerad dari
Dushanbe, ibu kota Tajikistan, datang meninjau sekolah di sini.
”Anak-anak, siapa nama presiden kita?” tanya si pembesar
Tajik.
”Islam Karimov,” jawab murid-murid serempak, menyebut
presiden Uzbekistan. Jawaban ini bukan dilontarkan oleh kaum
om
separatis bermotif politik, tetapi oleh anak-anak polos yang bah-
t.c
kan tak tahu kewarganegaraan mereka sendiri. Tentu si pejabat
po

Tajikistan langsung merah padam mukanya.


gs
lo

”Bukan. Bukan. Presiden kita adalah Emomali Rahmonov.


.b
do

Ayo kita coba lagi. Anak-anak, siapa nama presiden kita?”


in
a-

”Islam Karimov!!!”
ak
st
pu

Waspadalah dengan garis batas. Perkelahian biasa, garis batas


menyusup di dalamnya, dan jadilah kerusuhan rasial atau per-
tikaian agama. Perang saudara, dibelah garis batas, jadi konflik
internasional. Pernikahan dua kekasih, dipisahkan garis batas,
jadi pernikahan antarbangsa. Perdagangan antarkampung, di-
bumbui garis batas, naik level menjadi perdagangan antarnegara:
ada pajak internasional, bea cukai, karantina, registrasi, dekla-
rasi, izin impor, dan tetek bengek lainnya. Orang kampung
mana yang gembira dengan bonus ruwetnya birokrasi inter-

392
nasional macam ini? Toh belanjanya juga cuma di kampung se-
belah.
”Pasar internasional” di Halmiyon sepi sekali, karena hari
ini bukan hari pasar. Kargo bekas truk disulap menjadi toko-
toko yang berbaris rapi dalam jalur dan lajur. Jangan bayangkan
ini pasar internasional yang megah. Ini cuma pasar kampung
biasa, cuma karena yang berjual-beli di sini adalah warga dua
negara berbeda, makanya disebut pasar internasional. Barang-
barang yang dijual pun kebanyakan buatan negeri Tiongkok.
Pasar internasional adalah tempat transaksi legal penduduk
dua kampung yang dipisahkan garis batas. Di sini pedagangnya
om
kebanyakan orang Uzbek, baik yang memegang paspor Uzbekis-
t.c
tan maupun Kirgizstan.
po

Tampak pula banyak papan bertuliskan: Kami Menerima


gs
lo

Dolar dan Som. Penukar mata uang yang berkeliling mencari


.b
do

konsumen, membawa kresek hitam besar dan berteriak menawar-


in
a-

kan uang seperti menawarkan pisang goreng. Mata uang Sum


ak

Uzbekistan yang nilainya teramat kecil diikat bergepok-gepok,


st
pu

dibungkus kain serbet. Valuta asing di sini menjadi barang da-


gangan keliling yang dijajakan dengan suara menjerit-jerit.
Di tingkat lebih tinggi, perekonomian pun lebih ruwet gara-
gara garis batas. Kirgizstan mungil nyaris tidak memiliki sumber
apa-apa lagi selain air, yang berasal dari gunung-gunung bersalju
dan mengaliri ladang kapas Uzbekistan. Dulu, di bawah payung
Moskow dan semangat persaudaraan komunisme, Uzbekistan
menyediakan segala kebutuhan Kirgizstan—kapas, gas, minyak....
Sekarang, dengan adanya garis batas negeri yang memisahkan,
tidak ada lagi yang gratis. Kirgizstan harus membeli semua dari
Uzbekistan dengan harga pasar, dan kalau lalai, breet... dengan

393
santai Uzbekistan langsung menyetop aliran gas dan rakyat
Kirgiz megap-megap. Sementara sungai terus mengalir menembus
garis batas negeri-negeri, menghidupi manusia tanpa pilih-pilih.
Kirgizstan mungil pun tentu ingin menjadikan air sebagai ko-
moditas, membuat Uzbekistan membayar untuk air yang menga-
lir dari negeri mereka. Tetapi, Uzbekistan berdalih, ”Air itu se-
perti udara, tidak ada pemiliknya.”36 Apakah nanti Kirgizstan
juga berhak menarik bayaran untuk angin dan oksigen yang
berembus dari negeri mereka melintasi garis batas ke negeri
tetangga?
Lebih memusingkan lagi, semua infrastruktur dulu dibangun
om
Uni Soviet tanpa memperhitungkan bahwa negeri-negeri ini
t.c
bakal merdeka. Jalan raya, rel kereta api, pipa gas, jaringan
po

listrik dan air, malang melintang menembus garis batas negeri.37


gs
lo

Ini semua sekarang melibatkan setidaknya salah satu dari biro-


.b
do

krasi, imigrasi, pajak, bea cukai, prosedur, dokumentasi, ko-


in
a-

rupsi....
ak

Ketika negeri-negeri Eropa meleburkan batas-batas fisik me-


st
pu

reka, bersatu menjadi kekuatan ekonomi raksasa, dan mengizin-


kan warganya bebas bepergian, bangsa-bangsa bekas jajahan
mereka di Asia dan Afrika justru bertarung dan rela menyabung
nyawa demi batas-batas yang dibuat kaum kolonialis nun jauh
di Eropa sana. Ironis? Lebih ironis lagi ketika garis-garis batas
negeri yang dibangun susah payah kini diluberi pengaruh dan
produk asing yang datang bersama angin globalisasi. Orang

36
Elinor Burkett. ”So Many Enemies, So Little Time”, Perennial (2004).
37
Misalnya dari Margilan menuju Tashkent, yang sama-sama di Uzbekistan, jalur
kereta api melewati wilayah Tajikistan. Dari Tashkent menuju Samarkand,
keduanya juga di Uzbekistan, jalan raya melintasi sepotong wilayah Kazakhstan.

394
Afghan memakai burqa buatan Cina, Jawa kebanjiran batik
made in China, dan hampir tidak mungkin lagi bagi negara
mana pun di muka bumi untuk lepas dari produk buatan Cina
sama sekali.
Negeri yang insular semakin mengurung rapat-rapat pintu-
nya, melarang tariannya, sejarahnya, simbol-simbolnya menyebar
ke negeri lain, lalu berteriak menghadapi terjangan kultur asing.
Amerikanisasi, cinaisasi, arabisasi, rusianisasi.... Sementara
negeri lain kelabakan tergilas eksploitasi dan penjajahan terselu-
bung dengan dalih globalisasi—peluluhan garis batas.
Garis batas, tetaplah garis batas, yang selalu ada.
om
t.c
po
gs
lo

Setiap negara butuh jati diri untuk tetap berdiri. Setiap manusia
.b
do

butuh identitas untuk tetap hidup. Di bawah sadar, sebenarnya


in
a-

terpendam identitas kebangsaan kita, yang mendefinisikan de-


ak

ngan orang-orang mana saja kita bisa menyebut sebagai ”saudara


st
pu

sebangsa”. Ada pula sejarah bangsa, memori kolektif yang meng-


ikat kita dengan orang-orang dengan perasaan senasib sepenang-
gungan. Walaupun sejarah dan identitas bangsa bisa direka,
didefinisikan, dihapus, dilupakan, dimodifikasi, atau bahkan
diciptakan dari yang tak ada, tetapi tetap punya kekuatan spi-
ritual—terkadang magis—untuk mempersatukan jutaan individu
di bawah panji-panji yang sama.
Ini berkaitan dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk
sosial, yang selalu mencari kumpulan dan komunitas, tempat ia
bisa mengafiliasikan diri. Mereka berbagi perasaan, berbagi pen-
deritaan, berbagi identitas. Musuh satu anggota, adalah musuh

395
bagi semua. Masa lalu dan kebanggaan adalah milik bersama.
Identitas, sering kali menjadi alasan utama keberpihakan, sadar
ataupun tidak. Seorang India langsung bergidik mendengar
nama Pakistan. Seseorang di pedalaman Indonesia bisa benci
setengah mati terhadap Israel, walaupun seumur hidup tak per-
nah melihat orang Yahudi ataupun Palestina. Seorang Cina
menghujat turis Jepang, terkenang pembantaian tentara Jepang
70 tahun lalu. Seorang Indonesia membakar bendera Malaysia,
seorang Malaysia keheranan mengapa Indonesia begitu beringas.
Seorang teroris meledakkan bom atas nama Irak dan Afghanistan
yang ribuan kilometer jauhnya. Seorang Kirgiz membantai se-
om
orang Uzbek yang tak dikenalnya di Osh, sementara seorang
t.c
Uzbek memandang rendah Kirgiz yang dianggap barbar. Seorang
po

buruh berdemonstrasi bersama ribuan rekannya. Seorang pe-


gs
lo

rempuan terbakar amarahnya membaca ada wanita di Afrika


.b
do

dibakar hidup-hidup. Seorang suporter sepakbola bertindak


in
a-

anarkis setelah tim favoritnya kalah.


ak

Persamaan sebuah identitas bagi sekelompok orang begitu


st
pu

penting, sedangkan sekelompok orang lain sukar memahami di


mana pentingnya. Bagi saya yang pendatang, kini perbedaan
antara Uzbekistan dan Kirgizstan semakin mengabur.
Beberapa hari di Gulshan membuat saya semakin berani me-
lintas ke Kirgizstan. Tak semua perbatasan internasional adalah
dinding tak tertembus. Batas internasional Gulshan-Halmiyon
begitu longgar, begitu transparan, hingga saya pun tak takut
melintasi portal imigrasi Uzbekistan dan Kirgizstan yang me-
lintang di jalan raya utama. Namun, perbatasan selonggar ini
pun adalah batas dari jangkauan pengaruh identitas kebangsaan.
Bocah-bocah Gulshan mengagumi sang Amir Timur sebagai

396
pahlawan besar Uzbek, sedangkan sepuluh langkah saja jauhnya
dari sini, bocah-bocah dari etnis yang sama di Halmiyon
mengagungkan Manas sebagai pahlawan bangsa nomad.
Ah, betapa nisbinya nasionalisme itu.

Negeri-negeri kuno berguguran, negeri-negeri baru bermunculan.


Dunia luas terbagi-bagi, beragam bendera berkibaran. Adakah
negeri yang abadi di muka bumi ini? Iran, India, Cina, dan Me-
sir memang mengalami perjalanan panjang ribuan tahun, tetapi
om
mereka mengalami berbagai fase pergantian dinasti, perpecahan,
t.c
aneksasi, invasi, penjajahan, penyatuan, keruntuhan, pergantian
po

rezim, perubahan nama resmi. Kekaisaran Rusia bermetamorfosis


gs
lo

menjadi Uni Soviet, melebar, menjadi adikuasa dunia, lalu ter-


.b
do

cerai-berai menjadi 15 negara merdeka. Dari kerajaan kecil yang


in
a-

tersebar di pulau-pulau Nusantara, lalu muncul kerajaan besar


ak

Sriwijaya dan Majapahit, terpecah belah lagi, tertindas pen-


st
pu

jajahan berbagai bangsa, dikuasai Belanda di bawah panji


Hindia, hingga kini menjadi Republik Indonesia, negeri kita
pun mengalami rentetan perubahan wajah dan wujud. Bahkan
definisi ”Nusantara” pun meluas dan menyempit seiring ber-
lalunya zaman.
Di masa kini, garis batas negeri umumnya semakin mengerut.
Kebanyakan perang zaman sekarang adalah demi mendirikan
negara baru, bukannya untuk memperluas wilayah dengan men-
caplok negara lain, karena penjajahan—katanya—sudah dihapus
dari muka bumi. Lagi pula, perbedaan jauh lebih mudah di-
tonjolkan daripada persamaan. Pemisahan jauh lebih gampang

397
dilakukan daripada penyatuan. Dulu ada Jerman Barat dan
Jerman Timur yang bersatu menjadi Jerman. Juga Vietnam,
Yaman, dan Uni Emirat Arab. Selebihnya, kita lihat sisanya ada-
lah negeri besar tercerai-berai dan negeri-negeri kecil menyorak-
kan kemerdekaan.
Sampai kapan Indonesia kita ini bertahan? Apakah Indonesia
masih sama dengan Indonesia hari ini, sepuluh tahun lagi? Dua
puluh tahun lagi? Seabad lagi? Akankah dia mengembang? Me-
ngempis? Hancur berantakan?
Tak ada yang tahu. Batas negeri-negeri senantiasa bergeser.
Peta dunia selalu diperbarui. Tetapi bolehlah kita berandai-
om
andai, mimpi buruk itu terjadi. Garis batas kita mengerut, Indo-
t.c
nesia terdisintegrasi menjadi republik-republik baru. Mari kita
po

bayangkan, dari Sabang hingga Merauke, Anda akan melintas


gs
lo

seratusan negara. Betapa memusingkannya peta kepulauan Nu-


.b
do

santara yang penuh warna-warni dari negara-negara mikroskopis.


in
a-

Betapa lusuhnya paspor kita yang terjejali visa dan stempel.


ak

Fantasi ini terlalu seram bagi saya. Turkistan kini tercerai-


st
pu

berai menjadi negeri-negeri Stan, dan bukannya tidak mungkin


nasib itu menimpa negeri mana pun. Kelak, masihkah cucu
buyut saya ingat bahwa kakek moyangnya ini pernah berbangga
menjadi bagian dari negeri besar bernama Indonesia, tetapi
lebih mementingkan menjadi warga dunia? Atau mereka justru
semakin mengukuhkan ego, kebanggaan, sejarah, nasionalisme,
patriotisme, agama, tarian, ideologi, pahlawan nasional... dan
tak segan membantai demi keutuhan garis batas negeri-negeri
khayalan mereka—sebut saja Nasionalistan, Chauvinistan, Pa-
triotistan, Fanatistan, dan Fasistan?

398
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Pembelahan Asia Tengah adalah disintegrasi tingkat tinggi.
Negeri-negeri Stan memang tidak punya laut, tetapi Uni Soviet
menghadiahi mereka pulau-pulau yang bertaburan. Alih-alih
tempat berlibur, pulau-pulau di tengah gunung ini jadi sumber
masalah.
Bagi kita yang hidup di Indonesia, konsep pulau adalah da-
taran yang dikelilingi air. Di negeri-negeri Stan, pulau bukan
tercipta oleh pemisah geografis, melainkan bayangan dan imaji-
nasi mahadahsyat dari seorang diktator yang berkuasa ribuan
om
kilometer jauhnya. Ada sejumput kecil tanah Uzbekistan yang
t.c
dikelilingi oleh Kirgizstan. Ada kampung Kirgizstan yang nyasar
po
gs

di Uzbekistan. Beberapa dusun Tajikistan teronggok pasrah di-


lo

kelilingi musuh bebuyutan Uzbekistan. Negara-negara Stan ini


.b
do

saja sudah begitu kecil, apa lagi ”pulau-pulau”-nya. Saking rumit-


in
a-

nya, pembuat peta pun malas menggambarkannya.


ak

Bagaikan sulaman, ”pulau-pulau” Asia Tengah menghubung-


st
pu

kan berbagai negara. Bukan jalinan indah seperti sutra Margilan,


melainkan kerutan benang kusut yang susah diuraikan ujung
pangkalnya. Tak jauh dari kota Ferghana, ada satu kampung
milik Republik Kirgizstan, dihuni oleh orang-orang Kirgiz, ter-
letak di tengah-tengah daratan Uzbekistan. Penduduknya cuma
puluhan keluarga saja. Sempalan Kirgizstan ini begitu kecil,
sampai-sampai kalau naik kendaraan umum dari Ferghana, kita
tak sadar bahwa untuk beberapa detik kita sempat ”ke luar
negeri”. Bagaimana Kirgizstan bisa membangun wilayahnya
yang terkurung di wilayah negara lain, lepas dari jangkauannya?
Entahlah.

400
Seperti halnya orang yang mau berpiknik ke pulau, pertama-
tama kita harus meninggalkan daratan, masuk lautan, mereng-
kuh dayung hingga kembali lagi ke daratan. Di sini, karena
lautannya berupa negara, maka kendaraannya berupa paspor
dan visa. Kebetulan paspornya saya punya, visanya tidak. Tidak
ada cara lain, saya hanya bisa menyelundup. Membayangkannya
saja sudah membuat darah berdesir deras. Selama ini, setiap
kali saya melintas perbatasan, saya selalu deg-degan. Padahal itu
dengan bersenjatakan dokumen lengkap. Apalagi ini, menye-
lundup....
”Pulau” itu bernama Shakhimardan, wilayah Uzbekistan
om
yang terkurung Kirgizstan. Untuk pergi ke sana berarti saya ha-
t.c
rus keluar Uzbekistan, masuk Kirgizstan, keluar Kirgizstan, ma-
po

suk lagi Uzbekistan. Untuk pulangnya, harus lewat jalan yang


gs
lo

sama: keluar Uzbekistan, masuk Kirgizstan, keluar Kirgizstan,


.b
do

masuk Uzbekistan. Ribet sekali. Delapan pintu perbatasan


in
a-

bakal saya lewati tanpa dokumen apa pun. Kalau tertangkap,


ak

kasus backpacker penyelundup ini bisa menjadi problem inter-


st
pu

nasional.
Rumah Sardor, mahasiswa sastra Arab dan Persia, terletak di
Vuadil, kota terakhir Uzbekistan sebelum menuju Shakhimardan.
Di pekarangan belakang rumahnya saja sudah terhampar
Kirgizstan. Hebat, kan? Sardor bersungguh hati menemani saya
ke Shakhimardan, menghujani saya dengan janji-janji indah tan-
pa menyadari masalah besar yang bakal dihadapinya. Kami akan
melakukan tindakan kriminal. Ia bakal menjadi human trafficker,
dan saya adalah penyelundupnya.
Namun tak satu pun sopir yang bersedia mengangkut.
Sardor angkat tangan. ”Kamu menyamar saja jadi orang Kirgiz,”

401
usulnya. Walaupun secara fisik saya bisa lolos, tetapi bahasa
Kirgiz saya hancur. Sekali buka mulut pasti ketahuan. Berpura-
pura bisu juga bukan solusi. Bagi orang Uzbekistan dan Kir-
gizstan, pergi ke Shakhimardan hanya masalah paspor. Sekarang
visa tidak lagi diperlukan, walaupun tentara perbatasan yang
korup masih sering minta sogokan. Paspor Indonesia saya ada-
lah sumber utama masalah. Saya bukan orang yang diharapkan
berkunjung ke Shakhimardan.
”Empat puluh ribu Sum saja,” kata Bakhtiyor, sopir taksi
tetangga Sardor. Kami sudah berputar-putar di pasar dan ter-
minal sampai dua jam lebih, hanya Bakhtiyor yang menawarkan
om
diri. Jarak Shakhimardan cuma 25 kilometer, 40.000 Sum atau
t.c
35 dolar cukup mahal. Dengan hubungan tetangga Sardor, plus
po

wajah saya yang memelas, akhirnya kami berhasil menawar sam-


gs
lo

pai 20.000 Sum untuk mission impossible ini. ”Kamu harus ber-
.b
do

janji,” kata Bakhtiyor, ”nanti lewat pos perbatasan, sembunyikan


in
a-

kameramu. Jangan bicara apa-apa. Pura-pura bisu. Davai38?”


ak

Kami sampai di gerbang Uzbekistan, rintangan pertama.


st
pu

Bakhtiyor menyuruh kami duduk manis di mobil. Dari balik


jendela gelap, perbatasan itu tampak biasa. Sebuah jalan mem-
bentang dari kota Vuadil ke arah Qadamjoy di Kirgizstan sana.
Dua puluh meter ke depan, pos perbatasan Uzbek berdiri de-
ngan gagah setelah pintu pagar yang menandai perbatasan. Ben-
dera Uzbekistan berkibar.
Sejajar dengan jalan ini, hanya sekitar lima meter jauhnya,
ada seutas jalan lain. Jalan ini seluruhnya berada dalam wilayah
Kirgizstan. Bayangkan, Kirgizstan hanya lima meter saja jaraknya

38
OK atau ayo, dalam bahasa Rusia

402
dari tempat kami berada sekarang! Sekali lompat pun sampai.
Mengapa harus bersusah payah lewat pos imigrasi yang menye-
ramkan di depan itu? Bakhtiyor menggiring kami berdua melin-
tasi pembatas jalan. Kami berjalan membungkuk, menyelinap
pelan-pelan, bak penyelundup Meksiko yang melintasi kawat
berduri memasuki tanah impian Amerika Serikat. Kalau sampai
terlihat tentara Uzbek, habislah kami.
Hup...! Saya melompat ke Kirgizstan, ”tanah impian” saya
hari ini.
Ke luar negeri, ternyata memang cukup satu lompatan saja.
Di jalan Kirgizstan ini sudah ada sebuah mobil hitam berkaca
om
tak tembus pandang menanti. Pemiliknya berkacamata hitam,
t.c
gagah. Orang Kirgiz tulen yang berperut buncit dan bergigi
po

emas. Kami berdua ”dilempar” masuk di kursi belakang. Penye-


gs
lo

lundupan pun dimulai.


.b
do

Mobil melaju di jalan Kirgizstan. Sementara di jalan sejajar


in
a-

seberang sana, tampak pos Uzbekistan, komplet dengan ruang


ak

karantina yang dicat biru-putih-hijau, warna bendera negara itu.


st
pu

Orang berbaris untuk diperiksa identitasnya. Birokrasi Uzbekis-


tan tersohor sebagai salah satu yang terkorup, rumit berbelit
amit-amit. Beberapa lembar sum dalam lipatan paspor wajib
hukumnya. Saya, jauh lebih beruntung, hanya meluncur mulus
di jalan paralel ini, bagaikan makhluk halus yang mengamati
berputarnya roda dunia yang penuh kekotoran dan problema.
Wusss....
Sekarang giliran pos Kirgizstan, merah menyala benderanya.
Ukurannya kecil dan sederhana. Tak tampak hiruk-pikuk ma-
cam pos Uzbek. Mereka katanya juga hanya sekilas saja me-
meriksa para pelintas—asalkan berada dalam mobil berplat no-

403
mor Kirgiz sudah langsung boleh lewat, seolah plat mobil jadi
paspornya semua penumpang. Tingkat pengamanan perbatasan
mungkin berbanding lurus dengan tingkat ekonominya. Sekali
lagi, di jalan paralel ini, kami bak makhluk invisible yang ”me-
nembus” birokrasi imigrasi begitu saja.
Kedua jalan sejajar ini bertemu di sebuah titik tak terlalu
jauh dari pos Kirgizstan. Ini adalah pertemuan antara jalur
ilegal dengan yang legal, di mana keilegalan saya yang menembus
pos perbatasan kedua negara ”sedikit” berkurang. Saya sekarang
benar-benar berada dalam wilayah Republik Kirgizstan, tanpa
visa, berpura-pura jadi orang Kirgiz.
om
Bakhtiyor dan mobilnya datang sepuluh menit kemudian. Ia
t.c
telah melalui kedua pos imigrasi dengan selamat. Bakhtiyor me-
po

nyelipkan uang 8.000 Sum, sekitar enam dolar, ke dalam geng-


gs
lo

gaman sopir. Si orang Kirgiz minta lebih, Bakhtiyor tak meng-


.b
do

gubris. Sebenarnya uang sejumlah itu sudah termasuk besar


in
a-

sekali, apalagi ia cuma menyetir sejauh 200 meter saja. Beginilah


ak

bisnis penyelundupan mendatangkan pemasukan bagi mereka


st
pu

yang ”cerdas”.
Sekali lagi, saya tiba di Kirgizstan. Perasaan kali ini sungguh
berbeda dengan perjalanan sebulan lalu di Bishkek atau Osh
ketika saya bersenjatakan dokumen lengkap. Jantung terus ber-
degup kencang, campuran rasa senang, gairah, takut, gelisah,
dan bangga. Saya seperti pencuri yang mengendap-endap masuk
rumah orang. Ada perasaan bersalah, tetapi terkubur kegem-
biraan dan deru petualangan.
Qadamjoy adalah kota mungil Kirgizstan yang sibuk, ramai
mobil dan orang yang lalu lalang. Hati saya bergolak. Ingin rasa-
nya turun dari mobil dan berjalan santai. Tetapi status saya se-

404
bagai ”maling imigrasi” tak mengizinkan. Rasanya semua orang
seperti sedang mengintai, siap menangkap dan melemparkan
saya ke dalam kelamnya penjara. Dengan mulut komat-kamit
membaca doa, saya berusaha terus menikmati alam Kirgizstan.
Sejauh mata memandang, barisan gunung berhias cantik. Kon-
tras dengan Lembah Ferghana-nya Uzbekistan yang datar. Se-
cara fisik Qadamjoy tampak tidak jauh berbeda dengan Vuadil.
Tetapi wajah Mongoloid orang Kirgiz terlihat menambah variasi
etnis di jalanan. Tak lupa dengan ak kalpak, topi tradisional
Kirgiz yang menjulang tinggi, seakan terus mengingatkan bahwa
di sini Bishkek yang berkuasa.
om
Bendera Kirgizstan berkibar. Juga baliho besar propaganda
t.c
pemerintah tentang keluarga kecil sakinah. Slogan-slogan ten-
po

tang kejayaan Kirgizstan bertebaran, semua ditulis dengan huruf


gs
lo

Sirilik. Pemakaman Qadamjoy dikelilingi tembok padat bertulis


.b
do

besar-besar, ”Tak ada yang boleh melupakan, tak ada yang ter-
in
a-

lupakan.”
ak

Saya memang sedang dalam misi penyelundupan rahasia


st
pu

yang tak boleh dan tak akan terlupakan.

Enklaf adalah fenomena unik dalam penciptaan garis batas


yang memisahkan negeri-negeri. Brunei Darussalam terdiri atas
dua bagian daratan yang terpisahkan Malaysia. Dari Brunei
bagian timur ke Brunei bagian tenggara, kita bakal dapat empat
cap di paspor. Timor Leste punya enklaf Oecussi-Ambeno, di-
pisahkan oleh provinsi NTT, Indonesia.
Bagaimana enklaf tercipta? Betapa ”mulia” tugas Stalin,

405
mengiris Asia Tengah menjadi negeri-negeri. Mencoret garis di
peta memang mudah, tetapi membuat perbatasan ideal yang
memenuhi keinginan semua orang tidaklah gampang.
Radcliffe yang ditugasi untuk mengiris India tahun 1947
juga buru-buru kabur karena ia sudah tahu hasilnya. Ya. Per-
tumpahan darah jutaan manusia yang mengiringi berdirinya
Pakistan. Bagaimana memisahkan Muslim dari Hindu dalam
dua negara berbeda? Bukankah kehidupan manusia yang natural
bagaikan spektrum cahaya, yang berpendar dari hitam ke putih
melalui bermiliar macam warna yang saling menyambung? Me-
nerapkan garis batas berarti membelah jalinan itu, merusaknya,
om
menyisakan serabut-serabut yang kacau-balau. Pembelahan ba-
t.c
gaikan kapak garang yang memutuskan hubungan kemanusiaan,
po

memasukkan manusia dalam kotaknya masing-masing—negara.


gs
lo

Hasilnya, India di tengah-tengah, satu Pakistan di timur, satu


.b
do

Pakistan lain di barat. Bagaimana Pakistan mempertahankan


in
a-

negerinya, yang terpisah ribuan kilometer oleh India yang tak


ak

bersahabat? Betapa rapuhnya, identitas agama ternyata tak cu-


st
pu

kup kuat merekatkan kedua Pakistan. Tak sampai 25 tahun,


negeri itu pun terbelah, Pakistan Timur merdeka dan menjadi
Bangladesh. Bumi ketambahan lagi satu negara baru—bendera
baru, bangsa baru, garis batas baru.
Berbeda dengan enklaf yang lain, semua ”pulau” milik
negara-negara Stan seratus persen dikelilingi daratan. Sama se-
kali tak ada laut yang dapat menjadi jalur alternatif, atau ban-
dara untuk menembusnya dari angkasa. Satu-satunya jalan un-
tuk mencapai ”pulau” adalah lewat darat. Inilah sumber berbagai
masalah di Ferghana.
Contohnya Sokh, secuplik wilayah milik Uzbekistan yang

406
terkurung di Kirgizstan, tetapi dihuni penduduk etnis Tajik
yang seharusnya menjadi warga Tajikistan. Pusing, kan? Stalin
memang punya selera humor luar biasa. Tahun 2001, Sokh
menjadi sarang kegiatan militan Harakatul Islami Uzbekistan.
Pemimpin gerakan ini bercita-cita mendirikan negara Islam di
Asia Tengah, dan mendapat dukungan Al Qaeda. Mereka me-
nerapkan aturan keras gaya Taliban. Bom meledak di Tashkent,
Bukhara, Ferghana. Penculikan dan pembunuhan orang asing
marak di Kirgizstan. Sokh jadi tempat persembunyian ideal.
”Pulau” ini tak terjangkau, karena tentara Uzbek harus lewat
wilayah Kirgizstan dulu. Polisi Kirgizstan dan Tajikistan juga ti-
om
dak bisa masuk, karena ini kekuasaan Uzbekistan.
t.c
Bukannya bekerja sama, negara-negara artifisial ini malah
po

berseteru. ”Pulau” bikinan Stalin 80 tahun lalu masih sukses


gs
lo

membangkitkan konflik antartetangga. Sungguh diktator besar


.b
do

itu punya visi yang demikian jauh—Asia Tengah harus terus ter-
in
a-

pecah belah dan berkelahi, saat ini demi identitas, kebanggaan,


ak

etnisitas, arogansi, nasionalisme.


st
pu

”Tolong, kami ini peziarah,” kata Sardor memelas di hadapan


tentara Uzbek kurus dan tinggi, berseragam ketat, berselempang
bedil, ”dia datang dari Indonesia, jauh-jauh ke sini hanya untuk
melihat Raja Umat Manusia.”
Saya hanya duduk di mobil, meringkuk, berharap cemas.
Kami sudah sampai di pos terakhir petualangan kami, gerbang
imigrasi Uzbekistan di Shakhimardan. Pemeriksaan di sini sa-
ngat ketat. Kata Bakhtiyor, besar kemungkinan kami ditolak.

407
Sepuluh menit kemudian, Sardor berbalik arah. Ia memasang
muka murung.
Saya tak berkata-kata, perjuangan kami menyelundup ber-
akhir hanya di sini, di pintu gerbang yang dingin ini. Saya hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan mengernyitkan dahi. Bagai-
mana sebuah buku kecil bernama paspor punya kuasa luar biasa
membatasi pergerakan manusia?
Melihat ekspresi pesimis di wajah saya, mendadak Sardor
tertawa lepas. Saking gembiranya, ia sampai melompat. ”Kita
boleh masuk! Kita boleh masuk!!!”
”Berapa sogokannya?”
om
”Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, ”kamu boleh masuk
t.c
karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu Muslim, dan
po

kita akan pergi berziarah. Tetapi kita hanya punya waktu 45


gs
lo

menit. Tak lebih.” Sejam lagi akan ada pertukaran tentara per-
.b
do

batasan. Kami harus keluar dari Shakhimardan sebelum tentara


in
a-

muda yang baik hati ini berganti giliran. Kalau sampai terlambat
ak

dan tentara lain yang menjaga, kami tidak akan selamat.


st
pu

Ziarah, kata kunci yang menyelamatkan saya. Nama Shakhi-


mardan dalam bahasa Tajik berarti ”raja umat manusia”. Raja
yang dimaksud adalah Hazrat Ali, Ali bin Abi Thalib, sepupu
sekaligus menantu Nabi Muhammad. Ali adalah khalifah ke-
empat umat Muslim, sekaligus imam pertama bagi pengikut
Syiah.
Umumnya umat Syiah dunia percaya bahwa jenazah Ali ber-
semayam di Najaf, Irak, dan menjadi salah satu tempat ziarah
terpenting dalam mazhab mereka. Namun di Asia, setidaknya
ada tujuh tempat yang mengklaim sebagai tempat peristirahatan
Ali. Konon, jenazah Ali dibawa keledai yang mengembara ke

408
seluruh penjuru dunia. Tak ada yang tahu pasti di mana keledai
itu berhenti dan di mana jasad Hazrat Ali disemayamkan. Selain
Shakhimardan, ada juga Mazar-e-Sharif di Afghanistan sana.
Demikian sucinya Ali bagi umat Muslim, semua tempat per-
semayamannya selalu mendatangkan banyak peziarah.
Sebuah bangunan ziarah kecil dari bata cokelat merah, ber-
kubah perak dengan bulan sabit di pucuknya, didirikan di pun-
cak sebuah bukit Shakhimardan. Bangunan aslinya sudah han-
cur. Soviet bilang basmachi biang keladinya, basmachi bilang
komunis Soviet yang merusaknya. Mau percaya yang mana, ter-
serah Anda.
om
Ziarah dan kultur Sufi seperti ini adalah salah satu jati diri
t.c
yang bisa diusung menjadi kebanggaan ”nasionalisme”. Uni
po

Soviet berusaha menghapus ziarah makam Ali dari memori. Se-


gs
lo

lain makamnya yang dihancurkan (lalu dibangun lagi oleh pen-


.b
do

duduk secara diam-diam, dihancurkan lagi, dibangun lagi,


in
a-

demikian berulang-ulang), nama Shakhimardan pun sempat di-


ak

ganti menjadi Khamzaabad, dari nama Hamza Niazi, pujangga


st
pu

Uzbek yang dipilihkan Moskow sebagai pahlawan nasional


Uzbekistan karena ia mendukung Revolusi Bolshevik. Baru se-
telah Uzbekistan merdeka, Khamzaabad kembali menjadi Sha-
khimardan. Raja Umat Manusia pun kembali menjadi pusat di
lembah ini.
Kalau dibandingkan dengan Mazar-e-Sharif yang kemegahan-
nya bagaikan paradoks di tengah medan perang Afghanistan,
atau Najaf yang dibanjiri jutaan peziarah, makam Ali di Shakhi-
mardan ini sungguh terlalu sederhana untuk ukuran tokoh
yang teramat diagungkan. Sepi seperti kuburan (ini memang
kuburan!). Cuma saya dan Sardor pengunjung di sini. Juru kun-

409
ci membukakan pintu dan kami berdua duduk di sudut, di
hadapan gundukan besar berselimut kain hijau. Ia kemudian
melantunkan doa. Panjang, namun teduh.
Bagaimana jenazah seorang suci punya begitu banyak tempat
peristirahatan, tersebar di berbagai negara dan pelosok bumi?
”Sangat mungkin,” kata juru kunci, ”kalau jenazah Ali yang
demikian sucinya itu tidak hanya satu saja. Kalau jenazah Ali
ada di sini, juga ada di Afghanistan sana, juga di Najaf sekaligus,
saya percaya.” Sardor gembira sekali mendengar penjelasan sang
juru kunci, yang sepertinya menjawab keraguannya akan ke-
benaran kisah Shakhimardan, sekaligus membuat saya berkhayal
om
tentang kemukjizatan manusia yang bisa menembus batas
t.c
dimensi ruang dan waktu.
po

Turun dari puncak bukit, kami kembali ke lembah. Shakhi-


gs
lo

mardan cantik sekali, dikelilingi gunung-gunung penuh cemara.


.b
do

Tak heran di musim panas lembah ini akan berubah jadi tempat
in
a-

wisata yang ramai oleh pengunjung Uzbek. Tetapi sekarang tem-


ak

pat ini menjadi seperti kota hantu. Rumah-rumah kebanyakan


st
pu

kosong. Penduduk Shakhimardan, kata Sardor, lebih suka


menghabiskan musim dingin di Uzbekistan, daripada di desa
terpencil yang terkurung Kirgizstan ini. Mereka baru berdatangan
ketika musim ziarah tiba. Itulah musim bisnis di sini.
Pasar Shakhimardan sangat mengenaskan saking sepinya.
Ekonomi mati, toko-toko tutup. Hanya ada keledai yang meng-
angkut buah-buahan. Kalau truk harus lewat delapan pintu per-
batasan, masing-masing minta sogokan, siapa lagi yang mau ber-
dagang ke sini? Tak heran jika ditinggal pelaku jual-belinya.
Garis-garis batas internasional membuat segala sesuatu serbasu-
sah. Air, irigasi, listrik, layanan telepon, sistem pendidikan, se-

410
mua dipecah-pecah berdasar garis-garis semu. Sekarang yang
mereka dapatkan adalah negeri yang terpecah-belah, plus bonus
birokrasi ribet dan mahal.
Parlemen Kirgizstan sempat menuntut ”dikembalikannya”
Shakhimardan kepada mereka. Ada desas-desus yang beredar,
para petinggi Kirghiz pada zaman Soviet dulu terpaksa melepas-
kan Shakhimardan gara-gara kalah taruhan waktu main judi de-
ngan para pejabat Uzbek. Ketika hubungan Uzbekistan-Kir-
gizstan memanas, kampung ini terisolasi total. Sebelumnya,
orang Uzbek yang mau ke sini harus punya exit permit—izin un-
tuk keluar dari negaranya sendiri—plus visa mahal yang harus
om
dibeli dari Kedutaan Kirgizstan di Tashkent. Padahal Shakhi-
t.c
mardan itu wilayah Uzbekistan. Petani Shakhimardan mengeluh
po

tak bisa menjual hasil panennya ke pasar di Ferghana karena


gs
lo

tak bisa keluar dari kepungan. Pemerintah Uzbekistan menanam


.b
do

ranjau darat di sepanjang daerah perbatasan. Bayangkan kalau


in
a-

Anda mesti terkurung di kampung kecil, dunia yang begitu luas


ak

tahu-tahu mengingsut dan memasung, hanya selebar daun


st
pu

kelor. Inilah dunia! Inilah Shakhimardan!

Betapa merepotkannya garis batas di sini. Betapa tak berharganya


semua keruwetan ini. Kampung-kampung yang terkurung ini
begitu kecilnya, tidak membawa manfaat, malah membahayakan
keamanan negara. Tebersit pertanyaan di benak saya, mengapa
negara-negara di sini tidak membuat perjanjian saja untuk
menghapuskan semua enklaf, bertukar atau kalau perlu, saling
menghibahkan tanah mereka?

411
Tidak semudah itu! Kedaulatan atas tanah begitu penting
artinya bagi eksistensi negeri-negeri di balik garis batas. Seperti
halnya Indonesia yang walaupun sudah memiliki 17.000 pulau
lebih, tidak akan membiarkan satu pulau pun diklaim negara
lain, sekalipun itu adalah pulau karang mungil tanpa nama, tak
berpenduduk, dan tak berharga, nun jauh di tengah samudra
luas yang orang pun tidak tahu ada di mana dan apa gunanya.
Bangsa-bangsa bisa bertarung berabad-abad hanya demi sejengkal
tanah gersang tanpa makna. Nyawa meregang, rakyat menderita
tidak masalah, perang dan pembantaian termaafkan, asalkan
bukan tanah yang hilang.
om
Saya teringat akan sebuah legenda dari padang rumput luas
t.c
Asia Tengah. Seorang khan tua memberi wejangan kepada anak-
po

nya, ”Kalau engkau menambah sejengkal tanah ke negerimu,


gs
lo

engkau adalah khan yang hebat. Kalau tidak menambah se-


.b
do

jengkal, tetapi juga tidak kehilangan sejengkal pun, engkau ada-


in

lah raja yang biasa-biasa saja. Tetapi, kalau engkau sampai ke-
a-
ak

hilangan sejengkal tanah—hanya sejengkal saja—maka rakyat


st
pu

akan melaknatmu karena engkau raja yang gagal.”39


Sejengkal tanah. Hanya sejengkal saja....

”Inilah masjid terindah di seluruh negeri,” Sardor memuji mas-


jid kecil dekat pasar Shakhimardan. Pastinya Sardor belum per-
nah ke Bukhara dan Samarkand.

39
Alexander C. Diener dan Joshua Hagen. ”Borderlines and Boderlands:Political
Oddities at the Edge of the Nation-State”. Rowman & Littlefield Publishers,
Inc. (2010)

412
Lelaki tiga puluh tahunan berjanggut tipis menyambut kami.
Di Lembah Ferghana, janggut adalah masalah sensitif. Sudah
lama saya tak lihat pria muda yang memelihara jenggot. Ketika
isu terorisme memanas, pemerintah Uzbekistan menangkapi
orang yang dicurigai sebagai teroris, termasuk beberapa perem-
puan berhijab dan lelaki berjenggot. Sembahyang di masjid ber-
bahaya. Menyebarkan Islam dilarang, azan dibungkam. Kalau
seseorang dicurigai, ayahnya pun ikut ditangkap, karena me-
nurut Presiden Karimov, teroris adalah produk kesalahan orang-
tua mendidik anak. Penduduk Ferghana jadi takut bicara ten-
tang Islam. Agama disimpan rapat-rapat di balik tembok.
om
Sardor, seperti umumnya pemuda Uzbekistan yang hidup di
t.c
Tashkent, tidak tampak terlalu religius. Tetapi ketika sampai di
po

Shakhimardan, ia sangat antusias berdiskusi tentang Ali dan


gs
lo

Islam. Di dalam masjid ini, ia dengan tenang mendirikan salat.


.b
do

Padahal beberapa hari sebelumnya di pasar Ferghana, Sardor


in
a-

ragu untuk bergabung dengan para pedagang karpet yang ber-


ak

salat di atas permadani. Dalam hatinya ada konflik antara me-


st
pu

laksanakan perintah agama dengan ketakutan akan penguasa


dan rasa bersalah. Identitas-identitasnya terbelah. Nilai-nilai
yang dianutnya bentrok.
Tetapi di bawah menara masjid Shakhimardan yang ramping
ini, ia merasakan kedamaian, sejenak melupakan kekhawatiran-
nya. Di ”pulau” yang terpisah dari Uzbekistan, di dalam masjid
bertembok tebal, ada rasa aman yang ditawarkan oleh tempat
persembunyian terpencil.
Sudah waktunya meninggalkan ”zona aman” ini, kembali ke
Uzbekistan. Kami harus melewati jalan yang sama, dengan
pintu-pintu perbatasan yang sama. Perjalanan pulang jauh lebih

413
mulus, mungkin karena hati kami jauh lebih plong. Tak ada
lagi jantung berdebar, tak ada lagi ketakutan, Qadamjoy berlalu
begitu saja. Sekejap saja kami sudah sampai perbatasan Kirgiz
di mana Bakhtiyor harus memanggil taksi untuk melintaskan
kami.
Sopir taksi memandangi saya dan Sardor lekat-lekat.
”Tidak ada obat-obat terlarang? Narkotika?”
”Tidak ada,” jawab Sardor.
”Bukan teroris?”
”Bukan.”
”Lalu mengapa kamu harus pakai jalan ini?” selidik sopir
Kirgiz. om
t.c
”Karena kami tidak punya paspor.”
po

”Davai. Ayo berangkat.”


gs
lo

Tidak punya paspor itu ternyata bukan dosa, kawan!


.b
do

Kami melewati perbatasan Kirgizstan. Melintasi perbatasan


in
a-

berarti melintasi batas-batas dunia. Sistem dan birokrasi ber-


ak

ganti-ganti menurut siapa yang berkuasa di tanah yang kami


st
pu

injak. Dominasi alfabet Rusia di tanah Kirgizstan langsung di-


geser huruf Latin begitu perjalanan memasuki Uzbekistan. Lega
sekali. Akhirnya kami pulang dengan selamat.
Ooops. Uzbekistan bermula di jalan seberang sana sana, ja-
lan paralel yang membentang sejajar dengan jalan yang kami
tempuh sekarang ini. Kami sekarang masih berada di dunia
Kirgizstan. Uzbekistan hanyalah dunia maya yang terpampang
di seberang pelupuk mata.
Taksi memberhentikan kami di sebuah tanah pekuburan di
tepi jalan. Kami mengendap-endap. Kalau terlihat tentara Kirgiz,
bisa-bisa masuk penjara. Makam desa ini adalah dunia transisi.

414
Jalan raya di sebelah kanan membentang adalah Kirgizstan. Di
sebelah kiri adalah perkampungan Uzbekistan, ”rumah” kami.
Sebuah pintu kayu kecil terbuka di ujung pekuburan. Pintu
reyot ini adalah gerbang menuju Uzbekistan. Kami berjingkat-
jingkat bak pencuri. Di balik pintu, kami terdampar di peka-
rangan mahalla, rukun desa Uzbek. Saya menghela napas lega,
berakhir sudah misi penyelundupan ini. Seorang kakek tua ber-
jubah memicingkan mata, melihat dua pemuda yang tahu-tahu
nongol dari pintu kayu. Mungkin baginya, kami mirip orang
dari dimensi lain yang tahu-tahu muncul dari pintu zaman.
Saya memandang ke balik pintu reyot. Kirgizstan, republik
om
itu terlihat seperti negara di pekarangan belakang Uzbekistan.
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

415
DUNIA TANPA BATAS

ASIA TENGAH, surganya birokrasi, nerakanya backpacker, apa-


lagi untuk pemegang paspor Indonesia. Sudah tak terhitung lagi
berapa banyak waktu, biaya, pikiran, dan air mata yang tercurah
hanya untuk bisa tetap melanjutkan perjalanan ini. Ke mana-
mana saya harus menghadapi kedutaan yang garang, petugas
om
yang judes, setumpuk dokumen yang membuat malas, dan ta-
t.c
po

gihan visa yang membengkak.


gs

Orang Indonesia tidak bisa nyelonong begitu saja ke kedutaan


lo
.b

untuk minta visa. Pertama-tama, kita harus ”diundang” dulu.


do
in

Tak peduli dengan berbekal tekad bulat menjadi turis yang


a-
ak

royal, buang-buang duit di negara mereka, tetap saja kita harus


st
pu

mendapat undangan. Surat undangan itu, walaupun namanya


”undangan” tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan
keramahtamahan, bisa didapat asal ada uang dan kesabaran.
Ini belum termasuk visanya. Ingat kedutaan Tajikistan di
Kabul yang benderanya terbalik dan diplomatnya menjual visa
seperti calo tiket waktu Lebaran? Kedutaan Kirgizstan di
Dushanbe hanya buka sehari dalam seminggu, sementara ke-
dutaan Uzbekistan di Bishkek selalu mengadakan wawancara
hanya dalam bahasa Rusia. Kalau tak bisa bahasa Rusia, siap-
siap bawa penerjemah, atau dibentak-bentak dan diusir pulang.
Untuk biayanya, siap-siap tarik napas. Saya sudah menghabis-

416
kan lebih dari 600 dolar hanya untuk visa. Tajikistan, paling
ganas, 250 dolar. Sedangkan dua bulan izin tinggal di Uzbekistan
memaksa saya merogoh kocek sampai 210 dolar. Biaya itu masih
ditambah registrasi di setiap negara. Seram sekali, bukan?
Tunggu. Yang paling horor belum muncul. Perkenalkan,
Turkmenistan. Negara ini terkenal paling tidak bersahabat
dengan orang asing. Satu-satunya jenis visa yang bisa saya per-
oleh adalah visa transit, maksimal lima hari. Untuk mendapatkan
visa turis, kita harus ikut tur yang biayanya setidaknya 200 dolar
per hari—sudah jauh di luar anggaran.
Transit pun tidak mudah. Pertama-tama, kita harus punya
om
visa Iran atau Azerbaijan. Yang disebut terakhir ini, pecahan
t.c
Uni Soviet juga, sama sulitnya untuk paspor Indonesia. Biro tur
po

minta bayaran 125 dolar untuk surat undangan, padahal nor-


gs
lo

malnya 20 dolar. Alasan mereka sungguh menjengkelkan, ”Se-


.b
do

dikit lebih mahal, karena negara Anda (Indonesia) termasuk


in
a-

dalam daftar rawan.”


ak
st
pu

Ketika saya berada di tepian Sungai Amu Darya, menyaksikan


keterbelakangan dan keterpencilan Afghanistan dari tepian su-
ngai, saya merenungkan mengapa nasib manusia harus ditentu-
kan oleh garis batas.
Sungai, pagar berduri, pos tentara, bahkan gang kecil di te-
ngah desa pun bisa menjadi pembatas kebangsaan, penentu
pola pikir dan takdir bagi manusia-manusia yang hidup di se-
kitarnya. Dari berbagai garis yang menelikung di sekeliling kita,
maka ditentukanlah kewarganegaraan kita, apa yang harus kita

417
banggakan dan kepada siapa kita harus mengabdi. Kita yang
berada di dalam kelilingan garis batas Indonesia, menjadi WNI,
dan memegang paspor Indonesia. Bagi kebanyakan kita, jadi
WNI itu bukan pilihan. Namun, kita merasa ada ikatan batin
dengan orang-orang yang memegang paspor sama dengan kita,
walaupun kita tak pernah mengenal mereka, apalagi berhu-
bungan darah. Seperti halnya seorang staf KBRI Tashkent yang
ikut mencak-mencak ketika paspor Indonesia saya dikatakan
masuk kategori ”rawan” oleh biro tur visa Azerbaijan. Atau ke-
tika para pekerja kita diperlakukan tidak adil di Malaysia, hati
kita pun ikut sesak.
om
Paspor, buku kecil yang menjadi ”jiwa” kita, adalah penanda
t.c
garis batas. Itulah takdir kita. Dengan paspor Indonesia, silakan
po

bersiap menghadapi ribetnya birokrasi dan imigrasi. Namun


gs
lo

jika Anda memegang paspor Malaysia, selamat! Anda bebas ber-


.b
do

kunjung ke Kirgizstan tanpa visa, dan tak perlu repot mengurus


in
a-

surat undangan Kazakhstan. Lebih dahsyat lagi kalau Anda


ak

punya paspor Rusia, tak perlu visa untuk mengunjungi empat


st
pu

dari lima bekas jajahannya di Asia Tengah ini.


Paspor sebenarnya adalah keturunan dari lempeng emas
paiza yang digunakan pada zaman kekaisaran Mongol Kubilai
Khan, yang dianugerahkan kepada orang-orang terpilih. Di atas
lempeng ini bertuliskan bahwa pemiliknya adalah orang yang
dilindungi kaisar, siapa pun harus melindungi dan memberi
bantuan kepadanya. Pemegang lempeng ini, seperti halnya telah
mendapat anugerah titah suci kaisar, punya kebebasan untuk
mengembara ke sudut mana pun di negeri luas Pax Mongolica,
mendapat lindungan dari para penguasa, disambut bak tamu
kebesaran. Marco Polo berbekal lempeng emas ini, mengarungi

418
ribuan kilometer negeri-negeri taklukan Mongol hingga ke is-
tana kaisar di kota kuno Karakorum.
Paspor menjadi luar biasa karena di balik paspor ada ke-
kuatan yang juga luar biasa—negara. Tanah yang dikelilingi garis
batas, dengan pemerintah yang memamerkan kekuasaan, ke-
tangguhan ekonomi, kekuatan diplomasi, kemajuan peradaban....
Semakin tangguh kekuatan itu, semakin dihormati kedigdayaan
negaranya, semakin bebas warganya menjelajahi dunia. Paspor
Denmark, misalnya, boleh mengunjungi 140 negara lebih tanpa
visa. Ketika warga Jepang melenggang santai melewati imigrasi
Amerika Serikat, pemegang paspor Indonesia, bersama dengan
om
orang Pakistan dan Afghanistan, mesti digiring menjalani pe-
t.c
meriksaan intensif, ditanya ini-itu, dipindai sidik jarinya, retina-
po

nya, dan terkadang tanpa alasan apa pun langsung dideportasi.


gs
lo

Di pasar paspor ilegal, paspor Amerika Serikat, Jepang, Eropa,


.b
do

Singapura, Malaysia, bisa sampai ribuan dolar harganya. Paspor


in
a-

negara-negara itu selalu menjadi incaran pencuri. Sedangkan


ak

paspor Indonesia, mengutip gurauan seorang staf KBRI, orang


st
pu

dibayar pun belum tentu mau menerima.


Namun, tanpa perlindungan Garuda, apalah artinya kita ke-
tika berada di luar negeri? Kalimat ”Pemerintah Indonesia memohon
kepada semua pihak yang berkepentingan untuk mengizinkan kepada
pemegang paspor ini untuk berlalu secara leluasa dan memberi bantuan
dan perlindungan kepadanya” bukanlah sekadar basa-basi standar
di halaman depan. Saya ingat betapa sengsaranya hidup ketika
semalam saja saya terpisah dari buku bersampul hijau ini. Tak
sengaja paspor saya tercecer di pertokoan di Bishkek, Kirgizstan.
Saya mendadak menjadi manusia tanpa identitas, tanpa pelin-
dung. Ketakutan merundung. Bagaimana kalau tertangkap po-

419
lisi? Bagaimana kalau saya dideportasi? Atau lebih buruk, men-
dekam di penjara? Di sini tak ada kedutaan Indonesia yang
melindungi saya. Lagi pula, tanpa paspor bagaimana saya mem-
buktikan ke-Indonesia-an saya?
Hanya kehilangan paspor, dunia saya serasa runtuh. Hanya
kehilangan sebuah buku, saya seakan terpasung, hilang rasa
aman.
Seperti kata pepatah Rusia: tanpa dokumen, manusia adalah
serangga. Dengan dokumen, manusia barulah menjadi manusia—
tentunya ini hanya bagi pemilik dokumen yang ”tepat”. Sese-
orang butuh pegangan dan pelindung, kewarganegaraan tempat
om
ia mengindentifikasikan diri, kumpulan manusia sebangsa dan
t.c
po

senegara untuk berbagi rasa senasib sepenanggungan. Ketika pe-


gs

gangan itu dicabut, ia kehilangan arah, tersesat.


lo
.b

Tapi, ternyata tidak semua orang perlu kewarganegaraan. Se-


do
in

tidaknya Suhrat merasa nyaman memegang paspor berjudul


a-
ak

People with No Citizenship—paspor khusus untuk orang-orang tan-


st

pa kewarganegaraan. Seperti saya, Suhrat juga berkeluh kesah


pu

berdiri di antrean panjang di depan kedutaan Turkmenistan.


Tubuhnya gemuk, matanya sipit, hidungnya bulat. Sekilas, ia
mirip orang Kazakh. Suhrat sebenarnya orang Turkmen, tapi
bukan orang Turkmenistan. Hidup di Uzbekistan, tapi bukan
orang Uzbek.
”Saya bukan warga negara mana-mana, saya tidak punya ke-
warganegaraan,” ujarnya datar. Paspor yang dipegangnya, ber-
warna hijau bergambar burung yang mengepakkan sayap—lam-
bang negara Uzbekistan. Di sampul tertulis status pemiliknya
sebagai orang tanpa kewarganegaraan.

420
Suhrat lahir di Turkmenistan, namun bersekolah di
Tashkent. Waktu itu, identitasnya jelas: warga Soviet. Tiba-tiba,
negeri pelindungnya hancur lebur. Uni Soviet dalam sekejap
mata lenyap. Tanah kelahirannya berdiri jadi negara, sementara
tempatnya bersekolah jadi negara lain. Suhrat terpisah dari
akarnya oleh garis batas antara Turkmenistan dari Uzbekistan.
Demi melanjutkan kuliahnya, Suhrat tetap tinggal di Tash-
kent. Turkmenistan, negara penggemar birokrasi, mengajukan
syarat yang berbelit-belit dan waktu tunggu sampai sepuluh
tahun bagi para mantan warganya untuk memperoleh kembali
kewarganegaraan. Uzbekistan pun tak sudi memberi kewarga-
om
negaraan untuk pendatang asing seperti dia. Saya teringat nasib
t.c
po

mahasiswa Timor Timur di Jawa yang tahu-tahu diperlakukan


gs

sebagai pelajar asing setelah provinsi itu merdeka, menghadapi


lo
.b

dilema antara identitas atau pendidikan. Dalam keluarga saya


do
in

sendiri, orangtua dan kakek saya susah payah mendapatkan ke-


a-
ak

warganegaraan Indonesia. Status mereka tidak jelas: warga Indo-


st

nesia bukan, warga Republik Rakyat Cina pun bukan. Mereka


pu

adalah orang-orang yang ditolak dan diingkari.


Sekarang untuk kembali ke kampung halamannya sendiri,
Suhrat harus membayar visa 51 dolar hanya untuk sepuluh hari
berkunjung. Ia adalah orang asing di negaranya sendiri. Ia ada-
lah orang yang kehilangan tanah air.
Bagaimana rasanya kehilangan kewarganegaraan? Indonesia
pun pernah menciptakan banyak orang seperti Suhrat, para
pelajar di negeri komunis tahun 1960-an yang tahu-tahu tidak
bisa pulang lagi ke Indonesia karena stempel komunisme pada
diri mereka. Kita yang mendapat kewarganegaraan tanpa jerih

421
payah, take it for granted, sering kali melupakan betapa besarnya
anugerah kewarganegaraan itu. Di zaman kekaisaran Romawi,
hanya kaum ningrat dan bangsawan saja yang punya kewarga-
negaraan, sedangkan para budak dan penduduk negeri jajahan
tidak diakui. Tanpa kewarganegaraan, manusia tidak diperlaku-
kan sebagai manusia utuh. Baru pada tahun 1948, PBB men-
deklarasikan bahwa kewarganegaraan adalah hak asasi manusia.
Memegang paspor Indonesia terkadang membuat kita kesal
diperlakukan semena-mena oleh negara-negara lain dalam
urusan visa. Ada pula yang malu menjadi WNI karena merasa
disamakan dengan TKW di Timur Tengah. Di Malaysia, saya
om
berjumpa dengan WNI yang mati-matian meniru logat bicara
t.c
orang Malaysia, mengubur dalam-dalam asal-usulnya supaya ti-
po

dak direndahkan penduduk setempat.


gs
lo

Tetapi, pernahkah kita membayangkan menjadi warga se-


.b
do

buah negara yang tidak mendapat pengakuan dunia? Pernah


in
a-

Anda bayangkan kalau paspor Anda berjudul Transnistria,


ak

Abhkazia, Kerajaan Sunda40, atau bahkan ”Tanpa Kewarga-


st
pu

negaraan” seperti punya Suhrat? Atau jika Anda terlahir sebagai


orang Rohingya, sampai terkatung-katung di Indonesia, karena
dibantai dan tak diakui harkat kemanusiaannya oleh negara
asalnya di Myanmar? Atau bangsa Palestina yang kehilangan ta-
nah airnya, memegang ”Paspor Mesir untuk Pengungsi Pales-

40
Pada tahun 2007, dua wanita yang mengaku sebagai putri ”Kerajaan Sunda”
ditangkap di Brunei karena memegang paspor ”Kerajaan Sunda”. Keduanya di-
deportasi ke Malaysia dan dipenjara 1,5 tahun di Sarawak. Pihak Malaysia meng-
alami kesulitan karena kedua wanita itu tidak mengaku sebagai WNI, atau se-
bagai warga negara mana pun, kecuali Kerajaan Sunda. Kalaupun hendak
dideportasi, pengadilan Malaysia pun kebingungan harus dideportasi ke mana.

422
tina”, dan tak bisa lagi menginjakkan kaki ke tanah kelahiran-
nya41?
Seorang kawan Taiwan mencak-mencak ketika Kedutaan
Pakistan menyuruhnya meminta surat pengenal dari Kedutaan
Cina di Afghanistan.
”Tetapi saya bukan orang Cina, saya orang Taiwan!” bantah-
nya.
”Mana buktinya? Di paspormu tertulis Republic of China.
C-H-I-N-A! Mana ada kata Taiwan?” bentak petugas.
Kawan saya memungut paspornya yang dilemparkan dengan
kasar oleh pejabat itu. Benar saja. Yang ada hanya China dan
om
R.O.C. Tak ada satu pun ”Taiwan”. Tak banyak orang tahu
t.c
po

bedanya Republik Cina dengan Republik Rakyat Cina. Tak ba-


gs

nyak negara di dunia yang mengakui Taiwan sebagai negara. Ia


lo
.b

merasa terhina, jati dirinya terinjak-injak, ke-Taiwan-annya tak


do
in

dihargai oleh konsul yang mengusirnya.


a-
ak

Selama ini, saya masih punya KBRI tempat saya mengadu


st

bila kemalingan. KBRI juga membekali saya dengan surat ini-itu


pu

untuk menghadapi ruwetnya birokrasi di Asia Tengah. Para staf


dengan ramah menyediakan tempat tinggal untuk saya, dengan
penuh perhatian membantu saya untuk segala urusan remeh-
temeh. Bahkan saya pun berapa kali makan gratis di restoran
KBRI Tashkent (Baru pertama kali saya tahu ada kedutaan yang
buka rumah makan untuk umum!). Beberapa diplomat ikut me-

41
Seorang kawan Palestina, Mr. Gharably, berusaha mati-matian beremigrasi ke
Kanada. ”Ironis,” katanya, ”karena memegang paspor pengungsi Palestina, saya
tak bisa pulang ke Palestina. Saya menjadi orang Kanada hanya untuk bisa pu-
lang lagi ke Palestina.”

423
nyokong perjalanan saya dengan memberikan bantuan moril
dan materiil.
Sedangkan Suhrat, tak ada negeri yang melindunginya. Bah-
kan kampung halamannya pun tak menyambutnya, malah me-
mungut biaya mahal dan menghadiahinya birokrasi njelimet ha-
nya untuk pulang. Ia bukan bagian dari orang-orang yang
membanggakan gemilangnya Samarkand atau Bukhara, ataupun
gegap-gempita negeri Turkmen dalam euforia Abad Emas. Ia tak
bisa lari ke kedutaan mana pun untuk mengadu, karena, mana
ada kedutaan untuk orang-orang tak berkewarganegaraan?
Kewarganegaraan adalah ikatan mental, spiritual, identitas,
om
dan kesamaan masa lalu kita dengan saudara-saudari sebangsa.
t.c
Semuanya adalah nihilisme bagi Suhrat. Ke mana pun ia me-
po

langlang, ia hanyalah seorang ”Suhrat”. Tidak lebih.


gs
lo
.b
do
in
a-
ak

Walaupun formulir visa Turkmenistan saya sudah diterima, ke-


st
pu

cil kemungkinan dikabulkan. Di negara tertutup itu, sedikit saja


kejadian kecil sudah cukup jadi alasan untuk mengisolasi diri
dari dunia luar. Negeri itu mengucilkan diri dari dunia. Negeri
itu tak butuh dunia. Apalagi ini kejadian luar biasa, presiden
mereka—dewa mereka—mendadak mangkat, nyaris berbarengan
dengan Idul Qurban dan hukuman mati Saddam Hussein. Apa-
lagi dua minggu lagi, pemilu akan digelar di Turkmenistan.
Pastinya hal teramat sensitif untuk dilihat orang asing.
Kebetulan juga, tiba-tiba saya harus pulang ke Indonesia ka-
rena ada urusan keluarga yang cukup mendesak. Untuk semen-
tara, Turkmenistan harus ditunda dulu. Saya sedang menunggu

424
cemas di Bandara Internasional Tashkent, menantikan pesawat
yang akan membawa saya terbang ribuan kilometer ke khatu-
listiwa.
Siapa sangka, di ruang tunggu bandara, mata uang Uzbekistan
ternyata sudah tidak berlaku lagi di negaranya sendiri. Saya
mencoba membeli air putih dengan uang Sum yang tersisa,
langsung ditolak mentah-mentah oleh penjual yang hanya me-
nerima dolar Amerika.
”Dasar negara aneh!” dengus seorang turis Selandia Baru
yang mengalami nasib serupa, ”Masa mereka tidak percaya de-
ngan mata uang mereka sendiri?”
om
Ini memang bukan negara normal, Brat! Saya teringat orang
t.c
Uzbek yang lebih senang menyimpan duit dolar daripada Sum.
po

Juga banyak yang menyimpan uang di bawah bantal atau lemari


gs
lo

karena tidak percaya pada bank. Pulsa ponsel pun dihitung de-
.b
do

ngan dolar. Ekonomi tidak sehat, tak heran kalau nilai Sum
in
a-

selalu anjlok. Untuk beli tiket pesawat ini, saya mesti bayar de-
ak

ngan menjinjing sekantung plastik penuh uang di tangan kiri,


st
pu

dan satu lagi di tangan kanan.


Pesawat O’zbek Havayolari bernomor HY553 tinggal landas
tepat pukul 11.30 menuju Kuala Lumpur. Pesawat penuh sesak
oleh penumpang yang nyaris berkelahi berebutan kursi walaupun
masing-masing sudah memegang pas naik.
Perlahan pesawat meninggalkan daratan. Seperti orang yang
baru pertama kali terbang, saya antusias duduk di pinggir jen-
dela, menyaksikan perubahan spektrum bumi. Kota Tashkent
tampak sebagai barisan rumah beraturan sejauh mata meman-
dang. Menara Tashkent yang tinggi menjulang seperti raksasa
yang berdiri sendirian di padang luas. Semakin lama semakin

425
menjauh, mengecil, peradaban manusia di perkotaan itu teng-
gelam dalam barisan puncak gunung salju. Gagah, penuh ke-
agungan.
Kenangan saya melayang pada beratnya petualangan di Pe-
gunungan Pamir, mulai dari perjuangan mendapatkan visa Tajik
di Kabul, hingga keluarga-keluarga miskin namun murah hati
di sepanjang jalan di provinsi GBAO. Mungkin salah satu dari
keluarga tempat dulu saya menginap melihat pesawat ini terbang
melintas di atas kebun kentang mereka.
Apakah di bawah itu Tajikistan? Atau Kirgizstan? Atau
mungkin Afghanistan? Atau malah mungkin kita masih di atas
om
wilayah Uzbekistan? Di angkasa, garis-garis batas negara di muka
t.c
bumi sana menjadi tanpa arti.
po

Betapa luasnya dunia tanpa batas. Seketika alam semesta


gs
lo

terasa begitu lebar. Tidak ada sungai yang menjadi limit, tidak
.b
do

ada barisan pagar berduri, sekolah yang mengajar ideologi ini


in
a-

itu, paspor, dan visa. Bukankah demikian surga yang diidamkan


ak

manusia, ketika kita sudah menembus semua batas itu, me-


st
pu

merdekakan diri dari kungkungan? Bukankah demikian pula


surga yang dijajakan agama-agama dunia? Jika saya memejamkan
mata, membayangkan surga, yang tampak adalah kedamaian po-
hon rindang, air sungai bergemerecik, kepuasan, kebahagiaan.
Segala kebutuhan terpenuhi, penghuni surga tak perlu bekerja
lembur karena mereka berkecukupan. Serbacukup, keadaan di
mana batas-batas yang mengimpit manusia lenyap semua. Sukar
membayangkan penghuni surga harus bepergian dengan paspor
dan visa, atau berperang satu sama lain demi batas-batas negeri
dan simbol-simbol pujaan.
Di dunia fana, lain lagi realitanya. Saya teringat beratnya me-

426
lintas perbatasan, frustrasi ketika visa hampir kedaluwarsa, atau
kesabaran menunggu berhari-hari di jalan gunung karena tidak
ada kendaraan yang lewat, atau kagetnya melihat sopir yang me-
minta dibayar pakai bensin.
Dengan kecepatan 989 kilometer per jam, bulan-bulan pe-
nuh perjuangan di Asia Tengah di atas daratan yang berkerut-
kerut sama dengan perjalanan udara beberapa menit saja.

Ini pesawat terbang atau rumah sakit jiwa?


om
Bau vodka tercium menyengat. Penumpang tak henti-henti
t.c

minta dilayani alkohol. Pramugari Uzbek yang rata-rata gemuk


po
gs

harus lincah berlari ke sana-sini melayani orang-orang kasar. Tak


lo
.b

sampai dua jam, banyak penumpang sudah mabuk berat. Be-


do
in

berapa dari mereka berteriak, menghujat pramugari yang lam-


a-

ban. Pramugari pun tak mau kalah, menjerit-jerit, memakikan


ak
st

seruan kasar.
pu

Seorang gadis Rusia yang teler berat tiba-tiba berdiri di ha-


dapan semua penumpang, berteriak marah tak keruan. Gadis
cantik berambut pirang ini langsung digeret gadis lain yang me-
nempeleng pipinya. PLAK... PLAK.... Si gadis ambruk. Bluk....
Saya menatap nanar. Penumpang lainnya tak ada yang peduli.
Ini adalah pertunjukan kelas teri.
Belum reda ribut-ribut di depan, di belakang saya nyonya
Malaysia keturunan Tionghoa tiba-tiba meledak marah dengan
seorang pria yang duduk di sampingnya. Dia menjerit, meng-
hujat, disambung dengan tempelengan tiga kali. Si nyonya me-

427
nampar laki-laki itu dengan majalah pesawat yang lumayan juga
tebalnya.
Orang mabuk silih berganti, memberikan kejutan aneh-
aneh. Film yang diputar pun sangat tak lazim. Ada humor Rusia
orang tampar-menampar di bioskop, sementara yang lainnya
cium-mencium dengan mesra. Ada lelucon tentang gay yang di-
kejar-kejar dan dipukuli.
Pukul sepuluh malam pesawat tiba di Bandara Internasional
Kuala Lumpur. Khursed, pelajar Uzbek yang duduk di samping
saya, terbengong-bengong melihat megahnya bandara Malaysia
yang bukan tandingan bandara mungil Tashkent. Kami segera
menuju ke imigrasi. om
t.c
”Kami ini dari Republik Kirgizia!” kata pria berwajah
po

Mongoloid, penuh amarah karena ditolak masuk oleh petugas


gs
lo

imigrasi. ”Kami tidak butuh visa untuk datang ke Malaysia!


.b
do

Lihat paspor kami: Republik Kirgizia!” Polisi Malaysia berjilbab


in
a-

sibuk bolak-balik dari meja kedatangan ke ruang pemeriksaan,


ak

memastikan legalitas pendatang dari sebuah republik bernama


st
pu

Kirgizia.
Khursed juga mengalami nasib serupa. Paspor Uzbekistan
sama parahnya dengan paspor Kirgizstan. Walaupun Khurshed
sudah punya visa, tetapi karena ketahuan mau bekerja di Ma-
laysia, petugas imigrasi tak mengizinkannya lewat. Khurshed tak
bisa bahasa Inggris dan petugas imigrasi Malaysia tak bisa bahasa
Rusia, apalagi bahasa Uzbek.
Dunia tanpa batas, ah, itu hanya ilusi dari angkasa raya, fan-
tasi saya yang meratap setelah mengalami siksaan birokrasi Asia
Tengah. Dunia semakin modern, garis batas semakin sistematis
dan rigid. Dari zaman klan-klan padang rumput yang mem-

428
perebutkan sungai dan oase, sultan-sultan yang bertempur un-
tuk kota-kota perhentian Jalur Sutra, hingga masa sekarang,
gurun gersang dan gunung gundul pun ada pemiliknya. Semua
sudut bumi telah dibagi-bagi tak bersisa. Bahkan langit luas pun
terbelah oleh batas-batas negara yang membumbung tinggi dari
permukaan tanah hingga ke ketinggian entah berapa ribu meter.
Pesawat dari negara ini, ini, ini, tidak boleh terbang di langit
negara ini. Di bawah tanah, hingga ke pusat bumi, garis batas
pun tetap berlaku. Negara-negara di sekeliling Laut Kaspia—ter-
masuk Kazakhstan, Turkmenistan, Azerbaijan, Rusia, dan Iran—
bertikai apakah Kaspia itu ”laut” atau ”danau”, karena berpenga-
om
ruh pada bagaimana danau raksasa itu harus diiris, menentukan
t.c
negara mana yang berhak mengebor minyak di dasar danau itu.
po

Hingga di Antartika yang dihuni beruang kutub juga telah ber-


gs
lo

kibar bendera berbagai bangsa.


.b
do

Manusia, tetap terpasung dalam dunia aslinya yang terkotak-


in
a-

kotakkan oleh garis batas, persinggungan antara kebanggaan,


ak

nasionalisme, dan ego.


st
pu
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Bab 5

Turkmenistan
Utopistan

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

Barang siapa meninggalkan negerinya


akan menangis tujuh tahun
Barang siapa meninggalkan sukunya
akan menangis seumur hidup

Pepatah Turkmen
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
FIRDAUS TERSEMBUNYI

LIMA minggu berselang....


Saya kembali di hadapan gerbang negeri Stan. Di dompet
tersumpal tumpukan uang kumal warna-warni yang baru saya
dapat dari penukar ilegal. Selembar, dua lembar... semua ber-
gambar potret lelaki yang sama. Sorot matanya tajam, bibir tipis-
om
t.c
nya terkatup rapat. Ada aura kewibawaan pada wajah tua itu.
po

Di atas baliho besar di hadapan perbatasan, tampak gambar


gs
lo

lelaki menampilkan senyum dikulum, berlatarkan padang rum-


.b

put dan kota modern bertudung langit biru yang bertuliskan:


do
in

”Selamat datang di Turkmenistan! Turkmenistan yang Merdeka dan


a-
ak

Selalu Netral Menyambut Anda!”


st
pu

Saya menatap baliho itu, lalu ke tumpukan uang. Rambut


perak berogelombang bak samudra, alis hitam tebal yang ter-
gores menggambarkan karakter yang kuat. Ya, tak salah! Ini ada-
lah lelaki yang sama! Walaupun yang satu berambut putih dan
satunya tampak masih muda, walaupun yang satu cemberut dan
satunya tersenyum, tetapi sorot mata itu... begitu tajam, begitu
menyihir... tidak salah lagi.
Ini adalah perbatasan antara Turkmenistan dan Iran. Setelah
penantian panjang dua minggu lebih di Teheran dengan empat
kali menyambang kedutaan yang tak bersahabat, akhirnya saya
berhasil juga ”dianugerahi” visa transit lima hari. Perbatasan ini

433
adalah persinggungan dua dunia berbeda. Di selatan, negeri
teokrasi kaum Syiah menerapkan peraturan agama yang ketat.
Di utara, negeri misterius bekas komunis mengisolasi diri dalam
pagarnya yang tak tertembus.
Turkmenistan tetap terkubur dalam misterinya, seperti nama
itu ratusan silam. Dalam sejarah Jalur Sutra, negeri ini dulu
dihuni para bandit padang pasir Turkoman yang tersohor suka
menculik, membunuh, dan memperdagangkan orang-orang
Persia—alias Iran—di pasar budak Khorezmia. Apakah negeri
Turkmenistan di balik kungkungan perbatasan yang rapat itu
masih sama dengan fantasi dari zaman seribu satu malam?
om
Saya mencoba meraba dari kantor imigrasi yang dingin.
t.c
Petugas di balik kaca menjentikkan jari pada papan tuts
po

komputer. Nyaring sekali suaranya. Walaupun tampaknya ia su-


gs
lo

dah tersekap di balik bilik mungil itu bertahun-tahun, tapi ia


.b
do

belum jago kelihatannya, masih mengetik dengan satu jari, satu


in
a-

tombol demi satu tombol. Pertanyaan standar terucap, ”Dari


ak

mana? Mau ke mana?” disambung mesin pencetak dari milenium


st
pu

kemarin yang berderik berisik tanpa ampun.


”Dua belas dolar,” kata perempuan muda di ruangan kasir.
Di seberang perbatasan sana, perempuan Iran senantiasa di-
wajibkan mengenakan kerudung chador hitam menutup kepala.
Hanya beberapa langkah kaki saja jauhnya, perempuan muda
Turkmen mengumbar rambut indah panjang berkepang dua,
berhias topi bundar bersulam. Rasanya seperti waktu melintas
dari Afghanistan ke Tajikistan dulu, sebuah dunia lain langsung
terpampang begitu kita meloncati garis batas, menembus ger-
bang negeri-negeri.
”Kamu punya Manat?” tanya perempuan muda itu. ”Boleh

434
beri aku sedikit? Terserah kamu berapa. Seikhlasnya. Untuk beli
makanan. Misalnya, 20.000 saja sudah cukup.”
Menurut kurs pemerintah, satu dolar Amerika setara dengan
5.500 Manat. Tetapi saya baru saja membeli Manat di pintu
gerbang. Si penjual menenteng tas plastik hitam dengan gepokan
uang berbundel-bundel dibungkus kain kumal, persis seperti
dagangan pisang goreng. Harganya pun murah meriah. Setiap
dolar Amerika dihargai 25.000 Manat, hampir lima kali lipat
kurs resmi. Pecahan terbesarnya hanya 10.000 Manat, tak sam-
pai 4.000 rupiah. Ini lebih parah daripada di Uzbekistan, kan-
tong saya langsung menggelembung dengan tumpukan uang
om
lusuh yang begitu tebal, sampai berjalan pun terasa berat. Sung-
t.c
po

guh mata uang yang ”kuat”.


gs

Selembar uang lima ribuan saya sodorkan. Diambilnya uang


lo
.b

itu dari meja, dilihat-lihat sekilas, kemudian dikembalikan lagi.


do
in

Uang itu rupanya tidak membuat hatinya berkenan. ”Sudah,


a-
ak

kamu tidak usah kasih apa-apa lagi.” Ia mengibaskan tangan.


st

Di ruang lainnya, ibu dokter tua sudah menunggu untuk


pu

melanjutkan interogasi. ”Kamu baik-baik saja? Semuanya oke?”


”Ya, baik-baik saja. Saya tidak sakit kepala.”
Bu dokter tergelak, ”Aku tidak tanya. Aku sama sekali tak
peduli dengan sakit kepalamu. Aku cuma ingin tahu infeksi.
Infeksi, kamu tahu itu? Infeksi?”
”Saya kira, saya tidak ada infeksi.”
”Aha! Aku juga pikir begitu. Jadi kamu tidak perlu diperiksa
lagi, kan?”
Saya menggeleng. Dia mengambil secarik kertas, menyiapkan
surat keterangan sehat, yang seratus persen didasarkan pada ta-

435
nya-jawab dan keyakinannya. Bu dokter ini pasti salah satu dok-
ter paling efisien di dunia.
”Kamu punya Manat?” tanyanya penasaran.
Sepuluh ribu Manat saya selipkan ke dalam genggamannya.
Dia tersenyum, manis sekali.
Pos perbatasan Turkmenistan ini kosong melompong, hanya
saya dan dua orang Iran yang melintas sepanjang hari ini. Tentu
saja. Siapa yang datang ke sini, kalau untuk mengurus visa saja
orang harus memeras keringat dan air mata? Sekarang saya ma-
sih harus tersangkut di bea cukai gara-gara ransel besar.
Satu per satu barang diperiksa dengan teliti. Baju kumal.
om
Handuk kotor. Bungkusan sabun. Obat-obatan. Bahkan saku
t.c
baju dan pakaian dalam pun diperiksa dengan saksama. Sumber
po

masalah adalah buku. Saya membawa sekitar dua lusinan buku,


gs
lo

dan diminta menerangkan isinya satu per satu. Setelah tahu


.b
do

buku saya terlalu banyak, petugas bea cukai itu akhirnya hanya
in
a-

melihat sekilas, pasrah. Mungkin mereka memang tidak hobi


ak

membaca.
st
pu

Eits, belum selesai. Saya masih harus mengisi formulir dekla-


rasi. Semua dalam bahasa Rusia, membuat saya teringat ujian
bahasa Rusia di kampus dulu. Sementara itu, seorang pejabat
mengajak mengobrol. Sambil bicara, mulutnya terus meludah
seperti senapan mesin. Mata saya mengamati aktivitasnya de-
ngan tak berkedip. Sang pejabat jadi salah tingkah, kikuk me-
ngelap bibirnya dengan tisu dan menghapus ceceran ludah di
atas ubin dengan ujung sepatu hitamnya.
Para pejabat Turkmenistan ini memang punya selera humor
yang misterius. Butuh selera humor yang berbeda pula untuk
memahaminya.

436
Tiga puluh kilometer dari perbatasan, selamat datang di alam
sureal negeri Turkmen. Siapa pun pasti tergugah akan sebuah
pemahaman penting: sang penguasa yang menghiasi tiap lembar
uang itu memang bukan manusia sembarangan. Di mana-mana
terlihat wajahnya. Poster-poster, patung, gambar, lukisan, baliho,
gapura, lembaran uang.... Tak ada yang tak mengenalnya:
Turkmenbashi Sang Pemimpin Agung.
Kematiannya baru saja, tapi rohnya masih hidup. Setidaknya
bagi Rita, perempuan keturunan Rusia yang berambut pirang
om
dan bermata biru, menemani saya naik bus menuju pusat kota
t.c
po

Ashgabat. ”Lima puluh Manat.” Rita mengerling, menjawab


gs

pertanyaan saya tentang harga karcis. Hanya lima puluh Manat?


lo
.b

Apakah maksudnya lima puluh ribu Manat? Perempuan itu me-


do
in

nahan senyum, ”Bukan lima puluh ribu. Lima puluh. Hanya


a-
ak

lima puluh Manat!”


st
pu

Hanya 20 rupiah! Padahal bus di sini terhitung modern, tak


kalah kalau dibandingkan dengan Trans Jakarta. Rita mengerti
keheranan saya. Justru itu yang membuatnya bangga. Rita malah
memamerkan kemurahan hati seorang warga Turkmen dengan
membayarkan karcis saya.
”Di sini, semuanya gratis. Air, listrik, gas, layanan kesehatan.
Semuanya. Kami memang tidak punya uang, tetapi kami tidak
butuh banyak uang untuk hidup,” ujarnya. Gaji Rita sekitar 75
dolar per bulan. Sebagai pegawai di perbatasan internasional,
gajinya lebih tinggi daripada rata-rata penduduk. Rita sama se-
kali tidak iri terhadap Kazakhstan yang kaya. ”Apa guna gaji

437
besar? Di sana semua juga mahal! Kalau di sini, semua gratis
dan murah.”
Orang tak butuh uang lagi karena semua berkecukupan.
Bukankah ini dunia utopis, surga yang ingin dicapai negeri-
negeri dunia?
Ibu kota Ashgabat tampak lengang. Barisan gedung putih
dari marmer berjajar rapi. Taman hijau menambah kesejukan.
Sesekali terlihat mobil melaju kencang melewati barisan gedung
yang masih mulus, seperti baru dibangun kemarin sore. Kota
ini tampak harmonis dalam keteraturan dan kemegahan. Lupa-
kan hiruk-pikuknya Uzbekistan dan jalan bolong-bolong di Ta-
jikistan. om
t.c
”Ashgabat kota yang indah. Kamu lihat sendiri, kan? Per-
po

nahkah kamu lihat kota lain seperti ini di dunia?” seloroh Rita.
gs
lo

Apakah ini kota yang makmur dengan penduduk yang kaya


.b
do

raya?
in
a-

Rita tergelak. ”Hah. Mungkin saja. Tetapi kami tidak punya


ak

uang. Mereka yang kaya, kami tidak.” Dia menekankan intonasi


st
pu

pada kata ”mereka”.


Walaupun menjadi bangsa minoritas, Rita bangga menjadi
bagian Turkmenistan. Dengan isolasi ketatnya, paspor Turkme-
nistan memang tidak akan membawanya ke mana-mana. Kalau
umumnya negara-negara bekas Uni Soviet penduduknya bisa sa-
ling berkunjung tanpa visa, Turkmenistan seperti dikucilkan, ke
mana-mana warganya harus pakai visa, termasuk ke ”mantan”
induk semang Federasi Rusia. ”Apa gunanya ke luar negeri? Ne-
gara ini sudah bagus dan semua gratis. Saya cukup tinggal di
Turkmenistan saja,” kilah Rita.
Perlahan bus mulai penuh oleh penumpang. Rita meng-

438
ingatkan saya untuk tutup mulut. Tidak baik terlalu banyak bi-
cara di tempat ramai seperti ini. Di mana-mana ada ”telinga”.

Di mana-mana di kota Ashgabat saya melihat slogan yang ter-


tulis hanya huruf Latin, sebagai bukti tekad mahabulat untuk
membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu Uni Soviet.
Hampir setiap sepuluh langkah, tampak baliho besar lengkap
dengan slogan propaganda.
”Abad ke-21 adalah Abad Emas Bangsa Turkmen”. Slogan paling
om
populer, tulisan wajib di setiap gedung pemerintah, melambang-
t.c

kan kerinduan akan datangnya ”masa bahagia”. Abad Emas,


po
gs

surga yang dinantikan kedatangannya. Negeri gurun pasir jadi


lo
.b

berlimpah air. Kota megah, listrik menerangi kegelapan. Pen-


do
in

duduk bersuka cita karena semuanya gratis. Hidup mereka da-


a-

mai, karena ada pemimpin yang melindungi.


ak
st

”Selamat Datang di Negeri Kami yang Bermandi Sinar Matahari.”


pu

Baliho besar bergambar pemandangan Ashgabat yang cerah,


kontras dengan kenyataan mendung tebal menggelayut dan geri-
mis yang tak henti.
”Ruhnama, Jalan Hidup Kita” menjawab masalah spiritual
orang Turkmen. Ruhnama adalah nama kitab gubahan sang pe-
mimpin.
”Halk, Watan, Turkmenbashy”. Artinya ”rakyat, negeri, dan
Turkmenbashi.” Ada rakyat Turkmen, ada negara Turkmen,
dan harus ada seorang Turkmenbashi yang memimpin. Sungguh,
melihat semboyan ini saya malah teringat Hitler yang pernah

439
berujar, ”Ein volk, Ein Reich, Ein Führer”—”Satu Bangsa, Satu
Negeri, Satu Pemimpin”.
Bukti bahwa Abad Emas sudah hampir tiba adalah kota
Ashgabat yang bertabur emas. Di pusat kota berdiri monumen
raksasa 75 meter. Namanya penuh semangat propaganda: Arch
of Neutrality, merayakan keputusan agung Turkmenistan men-
jadi negara netral yang konon dielukan seluruh bumi. Di atas
monumen berkaki tiga ini (karena itu juga dikenal sebagai ”Si
Kaki Tiga” alias ”Si Tripod”) berdiri patung emas raksasa sang
Turkmenbashi yang menjulang setinggi dua belas meter, mem-
bentangkan tangan seperti memberkati seluruh kota. Hebatnya,
om
patung ini bisa memutar 360 derajat mengikuti gerakan mata-
t.c
hari. Canggih, sang Turkmenbashi Emas setiap saat harus ber-
po

mandi cahaya menghadap sang surya.


gs
lo

Kazakhstan yang juga kaya mendadak dari minyak dan gas,


.b
do

memilih ikon Altyn Adam—Sang Manusia Emas—sebagai lam-


in
a-

bang kemakmuran. Manusia Emas Kazakhstan berasal dari za-


ak

man prasejarah, patung tentara perang dari empat ribu keping


st
pu

emas murni dari abad ke-5 SM. Turkmenistan tidak perlu pu-
sing menggali sejarah sekuno itu. Bukankah mereka sudah pu-
nya pahlawan agung yang dipuja? Turkmenbashi Emas pun ber-
diri megah.
Tetapi gambar cantik Ashgabat ini hanya berkutat di jalan-
jalan utama, perlahan-lahan memburam ketika saya melintasi
gang kecil di belakang barisan gedung pualam. Semakin jauh
dari jalan utama, semakin saya bertanya apakah benar saya ber-
ada di negeri Abad Emas. Di balik kemegahan gedung pualam
dan air mancur sepanjang jalan, rumah tua berbaris dalam
kekumuhan, seakan menantang kemakmuran Abad Emas.

440
Dunia lain ini berjalan paralel. Di sini, Abad Emas hanyalah
fantasi.

Turkmenbashi berasal dari kata Turkmen dan bash—kepala,


”Pemimpin orang Turkmen”. Nama ini mirip dengan gelar sang
pembaharu Turki, Mustafa Kemal Atatürk, yang berarti ”Bapa
orang Turki”. Nama aslinya bukan Turkmenbashi, melainkan
Saparmurat Niyazov, yang menganugerahkan gelar ini pada diri-
nya sendiri tahun 1993, dan pada 1999 diangkat menjadi pre-
siden seumur hidup. om
t.c
Wajah Saparmurat Turkmenbashi menghiasi setiap sudut ja-
po

lan Ashgabat. Gedung-gedung kementerian selalu dihias patung


gs
lo

emas sang pemimpin. Siluet wajahnya mengawali setiap slogan


.b
do

dan pesan pemerintah. Semua saluran televisi juga pasti me-


in
a-

masang gambar sang Bapa Agung di pojok kanan atas. Nama


ak

desa, kota, pelabuhan, jalan, bandara, diganti dengan namanya,


st
pu

nama orangtuanya, juga konsep-konsep agung ciptaannya. Kota


pelabuhan Krasnodovsk di pinggir Laut Kaspia sekarang ber-
nama Turkmenbashi. Kota perbatasan Charjou sekarang men-
jadi Turkmenabat. Kota kecil Kerki sudah menjadi Atamurat—
ayahnya. Ibunya, Gurbansoltan Eje, sekarang menjadi pengganti
kata ”roti” dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Jadi kalau
mau beli roti sekarang kita mesti bilang, ”Saya mau beli Gur-
bansoltan Eje.”
Ketika negara-negara Asia Tengah lainnya juga gencar meng-
ganti nama jalan, kota, sekolah, lapangan, gedung yang berbau
Rusia atau Uni Soviet, Turkmenistan lebih ekstrem lagi. Bahkan

441
nama bulan-bulan di penanggalan pun diganti. Januari, paling
terhormat untuk mengawali tahun, tentu saja untuk sang Pe-
mimpin—Turkmenbashi. Jangan lupa, Tahun Baru kita jatuh
pada tanggal 1 Turkmenbashi! Bulan April untuk ibunda ter-
cinta, Gurbansoltan Eje. Jadi tanggal 1 April Anda boleh meng-
isengi teman-teman dengan mengucapkan ”Gurbansoltan Mop!”
September dinamai Ruhnama, kitab agung yang ditulisnya. Bu-
lan yang lain dinamai pahlawan nasional, seperti pujangga dan
raja penakluk. Ada pula bulan yang namanya sangat berbau pro-
paganda, seperti bulan Netralitas, Bendera, dan Kemerdekaan.
Hobi ganti-ganti nama Turkmenbashi juga merembet ke nama
om
hari. Ada hari istirahat (Minggu), hari bahagia (Rabu), dan hari
t.c
roh (Sabtu). Daftar nama bulan dan hari ini penting untuk di-
po

hafal, kalau tidak kita bisa bingung sedang berada di zaman


gs
lo

apa.
.b
do

Sang pemimpin agung juga menghujani rakyatnya dengan


in
a-

hari-hari libur nasional yang jarang kita dengar adanya di dunia


ak

”normal”. Ada hari bendera (merayakan ulang tahun Turkmen-


st
pu

bashi), hari ”setetes air adalah sejumput emas”, hari kuda, hari
puisi, hari karpet, hari melon, hari roti, hari Turkmenbashi,
hari ”bertetangga baik”, dan hari netralitas.
Orang Turkmen lebih diuji lagi memorinya karena nama ja-
lan sering berganti. Jalan utama di Ashgabat adalah Azadi (ke-
merdekaan), Magtymguly (nama pujangga), Atamyrat Niyazov
(nama ayah Turkmenbashi), Bitarap Turkmenistan (Turkmenis-
tan yang Netral), dan tak lupa tentunya, Jalan Turkmenbashi.
Nama-nama yang sudah sangat bagus ini kemudian diganti jadi
angka-angka aneh seperti 1988, 1984, 2004, 2008—mungkin un-
tuk memudahkan sang pemimpin mengingat daftar tahun

442
Olimpiade. Cuma sejarawan dan matematikawan yang bisa ber-
tahan di kota yang pemimpinnya rajin mengganti nama jalan
seperti ini.

Tahun Baru Navruz datang menjelang, sibuknya stasiun mirip


di Indonesia menjelang Lebaran. Orang-orang mengantre di ba-
nyak loket yang berjajar, saya bingung harus berbaris di mana.
Tiga puluh menit berbaris di antrean paling pendek, saya tiba
di depan loket. Baru saja membuka mulut, nona di balik kaca
om
sudah berteriak sadis menyuruh saya mengantre di loket lainnya.
t.c
Di negara bekas komunis, tak perlu kaget. Anda layak dibentak,
po

tak peduli apa pun alasannya. Di sini, kita cuma rakyat jelata
gs
lo

yang memohon karunia.


.b
do

”Lima belas ribu Manat,” kata ibu penjual tiket. Berapa? Apa
in
a-

tidak salah dengar? Kira-kira 5.400 rupiah. Ini biaya perjalanan


ak

dari Asghabat ke Turkmenabat, 600 kilometer di atas kereta


st
pu

lambat yang merambat 16 jam.


Inikah mimpi indah Abad Emas yang menjadi kenyataan?
Semua gratis, semua murah. Tiket pesawat dari Ashgabat ke
Turkmenabat harganya hanya sekitar 14.000 rupiah. Harga se-
liter bensin hanya 300 Manat, sekitar 120 rupiah. Mau isi ben-
sin full tank pun tak sampai sepuluh ribu. Wah... ini pasti yang
diimpikan semua pemilik mobil dan sepeda motor di Indonesia!
Jangan lupa karcis bus kota yang cuma 50 Manat, 20 rupiah
saja. Gas, air, listrik, semua gratis. Siapa yang tidak iri?
Saya teringat kebanggaan Rita. Untuk apa ke luar negeri,
kalau semua gratis dan murah di negeri utopis ini? Hari ini hari

443
Sabtu, atau dalam versi Turkmenistan Ruhgun—Hari Roh. Aneh,
roh saya tiba-tiba ikut bersorak menikmati kemakmuran dan
kemurahan Abad Emas.

Cukup satu figur saja untuk menggambarkan seluruh negeri


Turkmenistan, terbentang dari pesisir Laut Kaspia hingga gurun
pasir hitam Karakum, menangkupi pegunungan gersang Kopet
Dag sampai bantaran sungai Amu Darya. Cukup satu! Sang
Pemimpin Besar, Presiden pertama dan seumur hidup, Putra
om
besar dari seluruh rakyat negeri, Pendiri Turkmenistan yang
t.c
merdeka dan netral, sang Turkmenbashi....
po

Turkmenistan kini telah menjadi Turkmenbashi-stan.


gs
lo

Ashgabat, yang namanya berarti ”Kota Cinta”, dipenuhi pa-


.b
do

tung dan gambar wajah sang Turkmenbashi. Sang pemimpin


in
a-

dipatungkan dalam berbagai gaya: duduk, melambaikan tangan


ak

kanan, melambaikan kedua tangan, berdiri, menghadap mata-


st
pu

hari, membaca buku, bertopang dagu.... Para pematung rupanya


harus belajar khusus anatomi Turkmenbashi untuk membuat
figur sang pemimpin secermat-cermatnya. Patung-patung emas
Turkmenbashi dikawal oleh tentara berwajah garang, yang se-
olah sedang mengawal harta karun nasional. Mungkin takut
emasnya dicuri? Atau khawatir kehormatan sang Pemimpin di-
nodai orang?
Mendiang Turkmenbashi pernah berkata, patung-patung ini
didirikan semata karena kecintaan rakyat yang begitu besar ter-
hadap sang pemimpin. Kecintaan ini adalah mentalitas alami
bangsa Turkmen. Maka jalan keluar satu-satunya adalah mem-

444
bangun patung emas di seluruh penjuru kota. Wajah Turkmen-
bashi pun bermunculan, mulai dari televisi, prangko, buku, pa-
pan pengumuman, botol vodka.... Setiap kesempatan, monumen
bisa didirikan (5 tahun kemerdekaan, 8 tahun kemerdekaan, 10
tahun kemerdekaan, 15 tahun kemerdekaan...). Seorang kawan
Indonesia yang pernah bertugas di Asghabat mengeluh, ketika
ia membuka mata setiap pagi, hal pertama yang harus ia lihat
tanpa bisa ditolak adalah senyum manis sang Turkmenbashi. Di
langit-langit kamar hotel bintang lima yang ditinggalinya, se-
nyuman itu seolah mengucapkan, ”Ciluk baaa.... Selamat Pagi,
kawan!” (Aneh, bagaimana ia masih bisa tidur pulas disaksikan
oleh sang Turkmenbashi?) om
t.c
Figur ini begitu diidolakan, sehingga setiap remeh-temeh ke-
po

hidupannya pun harus direfleksikan ke seluruh negeri. Suatu


gs
lo

hari, Turkmenbashi yang berambut putih, tiba-tiba mengecat


.b
do

rambutnya menjadi hitam. Keesokan harinya, semua posternya


in
a-

yang dipajang di seluruh negeri harus diturunkan, diganti de-


ak

ngan poster beliau yang sudah berambut hitam. Kalau di


st
pu

Ashgabat saja ada ratusan ribu foto Turkmenbashi dengan ram-


but putih, bayangkan betapa beratnya proyek mengganti foto ini
di seluruh negeri, dari perkotaan hingga ke pedalaman padang
pasir.
Selera pribadi sang Turkmenbashi adalah jalan hidup, se-
olah lima juta penduduk Turkmen ini adalah anak kandungnya
yang harus manut seratus persen petunjuk orangtua. Suatu hari
Turkmenbashi memutuskan berhenti merokok. Di tahun yang
sama, ia mengeluarkan undang-undang yang melarang semua
menteri dan rakyatnya merokok di tempat umum. Turkmenbashi
sebal dengan anjing, ia menerbitkan peraturan melarang anjing

445
berkeliaran di kota Ashgabat. Turkmenbashi tak bisa mem-
bedakan laki-laki dan perempuan di televisi, ia melarang pem-
baca berita menggunakan tata rias. Turkmenbashi mengamati
gigi anjing kokoh karena menggerogoti tulang, ia mengimbau
generasi muda Turkmen untuk mengunyah tulang setiap hari
demi kesehatan gigi, sehingga tidak perlu memasang gigi emas.
Turkmenbashi benci balet dan opera, tak segan ia melarang se-
mua pertunjukan kesenian yang dilabeli ”tidak cukup Turkmen”.
Lelaki dilarang berambut gondrong dan berjenggot, sedangkan
perempuan dilarang berdandan atau menutup wajah dengan
cadar. Alasannya: wajah perempuan Turkmen adalah yang ter-
cantik di seluruh dunia. om
t.c
Betapa hebatnya Turkmenbashi ini, gelarnya sampai berderet-
po

deret. Presiden seumur hidup, kepala partai tunggal Turkme-


gs
lo

nistan, kepala angkatan bersenjata, ketua Perhimpunan Orang


.b
do

Turkmen Sedunia, Bapa Semua Orang Turkmen, dan pernah


in
a-

lima kali meraih medali penghargaan tertinggi Turkmenistan—


ak

”Pahlawan Turkmenistan”! Pada tahun 1990 memenangkan pe-


st
pu

milu dengan 98,3 persen suara, dan mengukir prestasi nyaris


sempurna pada tahun 1994 dengan 99,9 persen!
Begitu sempurna! Tentunya figur Pemimpin yang senantiasa
ditampilkan adalah kesempurnaannya, kehebatan pemikirannya,
kebijaksanaannya, kecerdasannya, keluarbiasaannya, welas asih-
nya, keperkasaannya, kepahlawanannya.... Tak pernah sang Pe-
mimpin terlihat bersendawa, mengantuk, menguap, melongo,
menghujat, sumringah, tertawa terbahak-bahak, sedih, kesakitan,
menenggak bir, terpeleset, mengerling mata, menangis, keseleo
lidah, atau segala macam tindak-tanduk manusiawi lainnya.
Para jurnalis dan kameraman harus berhati-hati dalam meng-

446
gambarkannya kalau tidak ingin dipecat. Kita rakyat jelata tidak
akan pernah diizinkan melihat ekspresi aslinya, kodrat ke-
manusiaannya. Sang pemimpin selalu dibungkus selubung mis-
teri, dibumbui seremonial dan mitos yang semakin memperkuat
karakter kedewaannya.
Apa sebenarnya yang dicari diktator dunia? Pendewaan? Ke-
puasan batin? Kekuasaan tak berbatas? Negeri-negeri komunis
biasanya punya satu figur, yang kemudian dipuja dan didewakan
penduduk negerinya. Soviet dulu punya Lenin dan Stalin. Bah-
kan kematian Stalin yang kejam itu pun masih ditangisi oleh
jutaan rakyat yang histeris. Kepergian Kim Il Sung juga diiringi
om
isak tangis warga Korea Utara yang kehilangan arah, seperti pe-
t.c
numpang kapal karam yang kehilangan nahkoda di tengah
po

badai samudra. Jenazah Mao Zedong dan Ho Chi Minh masih


gs
lo

diawetkan dan diziarahi di Peking dan Hanoi, puisi-puisi buah


.b
do

tangan mereka masih menjadi hafalan anak sekolah. Nicolae


in

Ceauşescu dari Romania menjadi penentu nasib warganya un-


a-
ak

tuk berpuluh tahun, hingga Elena istrinya, yang tidak tamat


st
pu

sekolah, dipuja sebagai Ibunda Ilmu Pengetahuan. Komunisme


seperti sebuah agama sendiri, dan tokoh-tokoh pemimpin se-
perti nabi, menjadi panduan hidup semua orang.
Di negeri yang bukan komunis pun diktator ada. Presiden,
raja-raja, penguasa dengan kekuasaan tak terbatas, dewan yang
bebas sekehendak hati membuat undang-undang, lalu menentu-
kan setiap detail kehidupan jutaan umat.
Sejarah manusia biasanya hanya mengenang pemimpin. Rak-
yat, ”massa”, hanyalah kawula jelata anonim. Sejarah akan
mengingat Turkmenbashi, sedangkan sisanya cuma sebagai
”orang Turkmen”, kerumunan yang akan selalu dikenang se-

447
bagai kelompok tanpa wajah tanpa nama. Mereka hanya jutaan
figuran dalam panggung dunia, dengan para diktator sebagai
aktor utamanya. Mereka adalah makhluk lemah yang tak lepas
dari semua titah pemimpin. Ketergantungan mahadahsyat yang
membuat mereka tak berdaya tanpa sang pemimpin. Mereka
tetap anonim. Tak peduli bahwa para kawula jelata itu yang
membangun kemegahan Ashgabat, atau kedahsyatan Bukhara
dan Samarkand, tetap kita hanya tahu siapa rajanya, siapa pre-
sidennya, yang dengan tangan besi menggerakkan semua ini.
Tetapi apa yang dicari para diktator? Dengan segala upaya
mereka melakukan lobotomi pada otak semua rakyatnya: meng-
om
hapus sejarah, merekayasa ingatan, menciptakan fantasi tentang
t.c
keperkasaan dan kekuasaan yang tanpa batas. Tapi bukankah
po

kekuasaan dan puja-puji itu tidaklah abadi? Patung-patung


gs
lo

Lenin digulingkan di negeri-negeri Stan. Ribuan patung Stalin


.b
do

langsung dihancurkan tak lama sesudah ia mangkat. Ceauşescu


in
a-

malah ditembak mati hanya dalam hitungan hari setelah rezim-


ak

nya jatuh. Ide Lompatan Jauh ke Depan dari Mao tenggelam


st
pu

dalam ingar-bingar kapitalisme dan Pintu Terbuka. Saddam


Hussain.... Shah Iran.... Augusto Pinochet....
Turkmenbashi tidak mengalami nasib setragis itu. Patung
emas yang bertebaran adalah perlambang kekuasaannya di ne-
geri ini, sekaligus punya arti spiritual bagi kawula jelata. Se-
pasang pengantin baru berpose di bawah patung Turkmenbashi
emas dengan selimut tersingkap, yang terletak di Taman Sepuluh
Tahun Kemerdekaan—lebih dikenal sebagai Taman Kuda karena
juga ada patung sepuluh kuda, alias Patung Kaki Empat Puluh
(entah mengapa, di Turkmenistan patung-patung lebih dikenal
dengan jumlah kakinya).

448
Mempelai pria mengenakan kemeja, dasi, jas hitam, celana
panjang, seperti layaknya pegawai kantoran. Mempelai wanitanya
berpakaian merah manyala, tebal dan berat. Pakaian tradisional
itu penuh dengan detail sulaman. Wajah si mempelai wanita
sama sekali tak terlihat. Saking beratnya kerudung indah yang
membungkus rapat-rapat kepalanya, si mempelai wanita sampai
harus berjalan terbungkuk-bungkuk. Keluarga menari-nari
mengiringi pengantin. Para pemusik menabuh gendang, meniup
seruling, memainkan akordeon. Di belakang sana, patung emas
Turkmenbashi memalingkan mukanya ke atas, seolah sudah
bosan dengan hiruk-pikuk dan keriangan warga di bawah kaki-
nya. om
t.c
po

Di Asia Tengah, foto pengantin sepertinya hampir selalu ber-


gs

latarkan patung pahlawan. Gambar pahlawan itu kemudian


lo
.b

akan dicetak besar-besar, dibingkai, dipajang di dinding, disim-


do
in

pan di album, dipamerkan dengan penuh bangga. Apakah ini


a-
ak

kebanggaan atau kesetiaan? Seperti pengantin Kazakh di Tur-


st

kistan di bawah patung ulama suci Yasawi, pengantin Uzbek di


pu

Samarkand di bawah patung sang penakluk agung Amir Timur,


para pengantin Turkmen di Ashgabat pun bergaya di bawah
patung emas sang pemimpin agung.

Imajinasi Abad Emas semakin kentara ketika kita naik elevator


ke puncak Arch of Neutrality, tepat di bawah patung emas rak-
sasa Turkmenbashi yang berputar mengikuti matahari. Peman-
dangan Ashgabat yang putih dan steril bisa menggugah semua

449
fantasi dan argumentasi tentang sebuah tata kota yang absurd,
aneh, sekaligus modern, kaya, rapi, sejuk, serius, misterius.
Dari atas terlihat jalan-jalan lebar dan lurus di semua pen-
juru, barisan gedung marmer dengan cita rasa arsitektur yang
megah—namun kosong, lengkap dengan taman hijau dan air
mancur. Di belakang kemegahan itu, masih ada kumpulan ru-
mah kumuh yang menjadi kontras buruk. Pola pembangunan
tipikal yang mati-matian membangun ibu kota megah dan mo-
dern, sementara kota-kota lainnya makin terlupakan dan ter-
belakang. Saya membayangkan sang Turkmenbashi sendiri ber-
diri di tempat ini, diikuti para pendukung setianya, mengeluarkan
om
dekrit-dekrit penuh mukjizat: ”Davai, kita hancurkan rumah-
t.c
rumah di sini, bangun Disneyland.... Patung-patung emas mesti
po

dibangun di sana.... Di sini.... Di sana.... ”


gs
lo

Demikianlah wajah kota Ashgabat senantiasa berubah, setiap


.b
do

hari, setiap jam, sesuai dengan kehendak hati sang idola.


in
a-

Perubahan drastis itu tentunya butuh karisma dan kuasa yang


ak

luar biasa. Saya masih mencoba mencari jawab akan rasa hormat
st
pu

dan takzim yang tiada bandingan terhadap sang Turkmenbashi.


Apakah euforia Abad Emas itu begitu memesona? Atau mungkin
hasil cuci otak dengan bilasan ideologi? Atau rasa takut yang
tersembunyi di sudut hati dan sudah ikut mengalir bersama
aliran darah?
Takut, itulah rasa yang sebenarnya mendominasi dan terus
menghantui saya ketika menyusuri jalanan Ashgabat. Bukan,
bukan karena lalu lintas maut seperti di Jakarta. Bukan pula
karena pencopet atau pencuri. Juga bukan karena patung-pa-
tung seram. Polisi dan tentara berseragam berpatroli di mana-
mana, tanpa henti, sepanjang hari. Sungguh, saya merasa seperti

450
berada di kota perang. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus
mengintai. Di tiap sudut jalan tentara mondar-mandir dengan
langkah tegap, menyebarkan aura keperkasaan. Tetapi aura yang
mencapai permukaan kulit justru rasa takut yang mencekam.
Setiap langkah selalu diawasi pasang-pasang mata tanpa wujud.
Setiap gerak-gerik terpantau, bahkan setiap denyut nadi dan
embusan napas di negeri ini pun sepertinya ada yang memindai.
Di negeri yang penuh nuansa represi ini, salah sedikit bisa ber-
ujung penjara.
Pusat kota Ashgabat adalah daerah yang teramat ”sensitif”.
Istana presiden yang putih mengilap berkubah emas, dikelilingi
om
puluhan gedung kementerian. Patung emas sang Turkmenbashi
t.c
adalah hiasan wajib di pintu gerbang kementerian. Juga slogan-
po

slogan propaganda yang selalu menarik perhatian untuk dipotret


gs
lo

dan dicatat. Tetapi jangan lakukan ini sembarangan di Ashgabat,


.b
do

kalau Anda tidak ingin bermain-main dengan polisi, jaringan


in
a-

intelijen, tentara, angkatan perang, dan segala macam personel


ak

mengerikan.
st
pu

Di Jalan Magtymguly, tempat berderetnya gedung departemen


negara, gapura raksasa dengan patung emas Turkmenbashi ber-
diri gagah di bawah burung elang berkepala lima. Saya tergelitik
untuk mengabadikan gambar.
Cepret. Cepret.
Tiba-tiba seorang tentara menyemprit. Ia menyergap, mem-
berondongkan pertanyaan. Wajahnya merah padam, diamuk
amarah, seolah yang ditangkapnya ini adalah bajingan kelas
kakap.
Saya bersumpah, saya tidak memotret sama sekali. Sumpah!
(Tentu saja sumpah yang penuh kebohongan, semoga saya termaafkan

451
untuk dosa ini.) Dia melepaskan cengkeramannya. Saya meleng-
gang melanjutkan perjalanan.
Baru sampai ujung jalan, saya sudah dicegat tentara lain.
Perlakuan berikutnya sungguh tidak mengenakkan. Saya seperti
pesakitan yang digiring kasar ke kantor pusat pengamanan ke-
menterian. Seorang pejabat tinggi sudah siap di sini, menghardik,
memaksa saya menunjukkan semua isi kamera.
Untung saya sempat menghapus foto-foto ”sensitif” itu.
”Lihat, saya tidak ambil foto sama sekali!” Saya menyeringai.
Dia tidak terlalu percaya, namun tak punya bukti lain lagi.
Ah... akhirnya udara kebebasan terhirup kembali. Tapi tak
om
lama. Baru berjalan sampai ujung jalan, saya sudah ditangkap
t.c
lagi. Lagi, lagi, lagi, saya digiring ke kantor yang sama. Inikah
po

nasib turis di Turkmenistan? Sungguh, bolak-balik diseret se-


gs
lo

perti ini membuat saya benci tentara Turkmen.


.b
do

Kali ini semua data pribadi saya dicatat dengan teliti. Nama,
in
a-

tempat tanggal lahir, nomor paspor. Jangan kaget kalau informasi


ak

tentang ”mata-mata” yang memotret patung emas Turkmenbashi


st
pu

ini akan tersebar di seluruh negeri.


Rasanya hampir semua orang di sini dilatih teknik spionase.
Jaringan intelijennya benar-benar kuat, saya tak heran kalau me-
reka dengan mudah mengetahui di mana saya menginap dan
apa saja menu makanan saya hari ini. Bukannya paranoid kalau
saya langsung berlari menuju penginapan, merobek semua ca-
tatan di buku harian saya.
Jadi, moral cerita hari ini, hadapi tentara Turkmen dengan
tetap ramah, pelihara senyum, dan pura-pura bodoh.

452
”Kamu ngapain foto-foto di sini?” Dua tentara membentak kasar
di dekat Istana Presiden yang berkubah emas.
Berlagak bodoh. Bodoh. Bodoh. Otak saya memerintahkan
otot-otot wajah untuk melentur, memasang pandangan kosong,
berpura-pura cuma bisa melongo, lalu mengumbar senyum se-
manis madu.
”Orang Turkmenistan tinggi-tinggi ya, tidak seperti orang di
negaraku,” kata-kata bualan kosong meluncur dari bibir tebal
saya.
Berhasil! Kedua tentara tergelak-gelak, malah berbalik ber-
tanya mengapa saya pendek. Mungkin kurang makan, jawab
saya. Tawa semakin meledak. om
t.c
po

Dari tentara yang menangkap penjahat, kini mereka adalah


gs

sahabat. Keduanya masih begitu muda, 18 tahun, menjalani


lo
.b

wajib militer. ”Kamu boleh potret gedung apa saja di sini. Ke-
do
in

cuali yang satu itu, yang berkubah emas. Itu istana presiden—
a-
ak

rahasia negara,” kata mereka


st

Saya manggut-manggut. ”Rahasia negara” itu sebenarnya su-


pu

dah saya potret dari tadi, tapi tentunya saya tak bakal memberi
tahu mereka. Semoga mereka juga tidak membaca tulisan ini.
Sebagai kenang-kenangan, saya menghadiahkan lembaran uang
500 rupiah. Imbalannya, mereka berpose di depan kamera.
Cepret. Cepret. Apa lagi latar belakangnya kalau bukan istana
berkubah emas itu?

Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Lelaki

453
asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa
saja, datar tanpa perubahan.
Baru dua puluhan umurnya, tetapi wajahnya sudah tampak
tua sekali. Mungkin kebosanan setiap hari memunculkan kerut-
kerut baru di wajahnya. ”Turkmenistan ini sama sekali bukan
tempat untuk bekerja,” keluhnya, ”tidak ada uang di sini.”
Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mo-
bil, ia mendapat sekitar 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil,
cukup untuk membeli tiket pesawat terbang domestik atau se-
piring nasi plov di pasar. Masalahnya, tak banyak mobil yang
bisa dicuci di ibu kota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini
om
hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil
t.c
gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak ke-
po

hilangan sumber pemasukan. ”Masih jauh lebih mending Uzbe-


gs
lo

kistan. Orang-orang di sana lebih cerdas dan pintar, otak mereka


.b
do

berputar, tahu bagaimana caranya mencari uang.”


in
a-

Senada kisahnya dengan Mikail. ”Hidup di Turkmenistan


ak

sangat sulit, kami tak punya uang dan pekerjaan untuk bertahan
st
pu

hidup,” ia berkata dengan nada bicara yang amat berat. Sebagai


etnis Rusia, kesulitan hidupnya berlipat ganda. ”Kalau kamu
tidak bisa bahasa Turkmen, kamu tidak boleh bekerja. Dilarang
keras! Semua sekarang ditulis dalam bahasa Turkmen. Aku
cuma bisa baca huruf Rusia. Empat puluh tahun aku hidup di
sini, aku sudah bernapas bersama Turkmenistan. Hanya satu
dosaku: tak bisa bahasa Turkmen. Itu saja. Dan itulah sumber
segala penderitaan ini.”
Sungguh tragis jalan hidupnya. Dari mekanik armada laut,
Mikail kini jadi pedagang sayur. Ia pernah bertugas di berbagai
teritori laut yang menggelorakan kebanggaan Uni Soviet, mulai

454
dari Aral, Kaspia, hingga ke Baikal, namun kini hidupnya ter-
pasung di pojokan pasar Ashgabat.
Bangsa Rusia, sebagai penguasa, jarang tergerak mempelajari
bahasa republik yang ditinggali. Kala itu, kedudukan bahasa
Uzbek, Tajik, Turkmen, dan sebagainya adalah bahasa daerah—
bahasa kelas dua. Begitu Uni Soviet runtuh, tiba-tiba semua ba-
hasa lokal ini menjadi bahasa nasional. Bahasa kemudian men-
jadi alat diskriminasi. Bahasa nasional jadi syarat mutlak untuk
bekerja. Kebanyakan etnis Rusia otomatis kehilangan pekerjaan.
Nasionalisme di negeri-negeri Stan sungguh merupakan anti-
tesis. Padahal, masing-masing negeri itu adalah bikinan Rusia.
om
Tanpa Rusia, tak bakal lahir negeri-negeri Stan. Rusia melahirkan
t.c
republik-republik ini, menciptakan sejarah dan konsep negara.
po

Lalu ketika negeri-negeri ini merdeka, masing-masing mende-


gs
lo

ngungkan konsep-konsep kebangsaan bikinan Rusia untuk


.b
do

mencampakkan Rusia sendiri.


in
a-

Diskriminasi bukan hanya dirasakan etnis minoritas macam


ak

Mikail. Istrinya, yang orang Turkmen asli, juga tak dapat kerja.
st
pu

Sebabnya, ia datang dari kota Turkmenabat dan tidak dianggap


sebagai warga Ashgabat. Ia boleh mencari kerja di kota ke-
lahirannya, bukannya di ibu kota ini. Nasibnya juga berakhir
sebagai pedagang sayur di pojok pasar.
Rumah Mikail di apartemen kuno tak jauh dari pusat kota.
Lantainya dari kayu, ruangannya berbau apak. Anak laki-lakinya
berwajah Asia, faktor genetis istri Mikail yang orang Turkmen
lebih kuat. Si bocah langsung sibuk menyiapkan teh tanpa gula.
Saya tenggelam dalam lembar demi lembar koleksi prangko
Mikail. Prangko terbitan Turkmenistan sungguh indah, penuh
dengan gambar-gambar warna-warni. Hampir semuanya berisi

455
propaganda, tentang kejayaan, masa depan yang gemilang, Abad
Emas yang membentang, welas asih Turkmenbashi, kesucian
Ruhnama, pembangunan dahsyat Turkmenistan.
Saya teringat pada ceramah pegawai kantor pos di Lumajang—
kampung halaman saya, memperkenalkan betapa pentingnya
hobi filateli bagi para pelajar di kabupaten, 15 tahun silam.
Kata filateli kini sudah semakin asing, namun pada zaman itu,
saat surat masihlah alat komunikasi utama, prangko adalah sen-
jata penting untuk memperkenalkan jati diri negara. Ingat, za-
man itu masih belum ada internet, ponsel, dan e-mail. Kesem-
patan untuk melihat negeri asing tidaklah banyak. Garis-garis
om
batas yang mengurung negeri-negeri lebih susah tertembus. Kita
t.c
hanya mendengar nama-nama negara, menghafalkan ibu kota-
po

nya, dan membayangkan wujud rupanya. Semua laksana imaji-


gs
lo

nasi, sementara kita juga terkurung di dalam garis batas kita


.b
do

sendiri. Prangko menjadi solusi untuk ”keliling dunia”, mengin-


in
a-

tip dunia luar dari potret-potret mini.


ak

Kami diajak melihat koleksi prangko dari berbagai negeri.


st
pu

Kerajaan-kerajaan sering kali menampilkan wajah raja atau ratu


yang berkuasa. Negeri komunis seperti Soviet, Tiongkok, dan
Korea Utara penuh dengan slogan propaganda, revolusi, dan
pahlawan nasional. Negara-negara kecil tak dikenal—Bhutan,
Rwanda, Ras-al-Kaimah, Palau, Maladewa—mati-matian mem-
buat desain prangko raksasa, bergambar warna-warni mencolok,
memamerkan pemandangan angkasa luar, kartun Walt Disney,
dan mobil mewah, sehingga orang yang melihat terkagum-ka-
gum, sambil berseru, ”Oh, ada ya negara ini? Di mana ya?”
Prangko adalah alat politis, digunakan oleh ”negara” separatis
yang tak diakui dunia, seperti Abhkazia, Nagorno Karabakh,

456
Tannu Tuva, Nagaland, dan nama-nama antik lainnya yang tak
ada di peta. Gambar-gambar inilah yang begitu menginspirasi
saya untuk berkeliling dunia jika besar nanti, menginjakkan
kaki sendiri di negeri-negeri asing itu, yang semua tampak
begitu indah di atas prangko—tak ada kemiskinan, pengangguran,
kemelaratan. Utopia!
Prangko Indonesia didominasi pakaian adat dan program
Pembangunan Lima Tahun, tetapi masih kalah banyak dengan
foto Pak Presiden. Pegawai kantor pos bercerita, warga desa se-
ring menolak kalau diberi prangko yang bukan bergambar Pak
Harto, karena takut suratnya tak sampai. Kepercayaan, peng-
om
hormatan, dan penyerahan diri itu merambat sampai ke sana.
t.c
Sepertinya, Turkmenistan masih ada pada zaman itu. Inilah
po

wajah Turkmenistan yang ingin dipamerkan ke dunia luar, juga


gs
lo

diprogramkan ke dalam sel otak penduduknya. Mikail bercerita


.b
do

tentang putrinya yang akan menari di lapangan peringatan ke-


in
a-

merdekaan nanti sore, memuja-muja kebesaran Turkmenbashi,


ak

Ruhnama, dan Abad Emas.


st
pu

Aneh, ada sedikit nada bangga terselip di wajahnya.

Dengan cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar, de-
ngan penduduk hanya lima juta jiwa, dengan sifat netralitas
Turkmenistan (yang konon diagungkan oleh seluruh masyarakat
dunia), Turkmenbashi menjanjikan rakyatnya angka GDP per
kapita sama dengan Kuwait. Alih-alih menjadi Kuwait-nya Asia
Tengah, Turkmenistan malah menempuh jalan isolasi total yang
mirip dengan Korea Utara. Lebih satu dekade berselang, gaji

457
rata-rata penduduk Ashgabat masih berkutat di angka 50 dolar.
Itu pun sering terlambat berbulan-bulan. Turkmenbashi bahkan
pernah menghapuskan uang pensiun, menyebabkan para orang
tua malang terkatung-katung hidupnya. Ia juga menutup semua
perpustakaan dan rumah sakit di luar Ashgabat, menyebabkan
belasan ribu dokter kehilangan pekerjaan, dan semua pasien
harus datang ke ibu kota untuk berobat.
Ashgabat adalah showcase—kotak harta karun yang dipamer-
kan kepada sedikit orang asing yang bisa menembus ke negara
ini. Gedung-gedung pualam dan patung emas adalah wajah
yang ditunjukkan Turkmenistan ke seluruh dunia. Sedangkan
om
dunia Turkmenistan di luar kota ini begitu tertutup, nyaris tak
t.c
terjamah. Orang asing hanya boleh bepergian dengan dikawal
po

para guide yang akan menjelaskan pemahaman yang ”tepat”. Ba-


gs
lo

gaimana kehidupan para nomaden Turkmen di gurun, di desa-


.b
do

desa, di pedalaman gersang, di dalam tenda? Entahlah.... Saya


in
a-

hanya bisa bermain dengan imajinasi.


ak

”Hah? Kamu pikir patung itu betul-betul emas?” Mahasiswa


st
pu

Turkmen terkejut membuyarkan lamunan saya di hadapan pa-


tung emas Arch of Neutrality. ”Itu bukan emas, Brat! Setiap
tahun di bulan Januari, para pekerja harus menggosok patung
itu supaya warnanya tetap berkilau. Apakah emas tulen perlu
digosok?”
Apakah emas tulen perlu digosok? Sebuah pertanyaan yang
menggelitik dalam ingar-bingar Abad Emas.

Taman Abad Emas Saparmurat Turkmenbashi yang Agung ada-

458
lah lokasi pemanjatan puja dan puji terhadap sang pemimpin
besar setiap minggu, disiarkan ke seluruh penjuru negeri oleh
televisi pemerintah. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal
Turkmenbashi masih terus melantunkan nyanyian pujian ke
angkasa raya.
Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai. Saya
mencoba menyelinap ke tengah kerumunan, tetapi tahu-tahu
sudah diciduk polisi.
”Hei! Kamu! Mau ke mana?” Saya mau ikut konser. Si polisi
tambah curiga, menghardik, ”Kamu dari kelas mana? Grup
mana?” tanya polisi yang satunya. Kelas? Grup? Waduh, saya
om
kan orang asing, kok ditanya grup dan kelas? Kedua polisi itu
t.c
mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Para pe-
po

gawai rendahan ini ingin memamerkan kekuasaan. Saya hanya


gs
lo

ikut permainan mereka, tersenyum kecil, dan terus mengiba.


.b
do

Ketika mereka lengah saya kembali menyelinap ke kerumunan.


in
a-

Baru saya tersadar mengapa polisi-polisi itu mencegat. Semua


ak

orang yang datang ke sini ternyata berpakaian hampir sama.


st
pu

Para pria mengenakan kemeja, dasi, jas hitam kualitas tinggi,


dan topi tradisional berbentuk bundar penuh sulaman yang di-
sebut tahia. Semua masih muda, dan memang tampak seperti
pelajar. Para gadisnya berambut panjang dan berkepang dua
(pasti banyak yang palsu) dan memakai tahia mungil yang ber-
tengger vertikal menutup ubun-ubun (aneh, tidak bisa jatuh).
Cuma saya sendiri yang lain, berjaket kumal dan bercelana jins.
Pantas tadi polisi menanyakan saya dari grup dan kelas mana.
Ini membuktikan teknik menyelundup saya masih teramat me-
nyedihkan.
Angin bertiup kencang, mengibarkan barisan bendera hijau

459
Turkmenistan. Para pelajar yang kebagian tugas membawa ben-
dera di tepi panggung mengumpat. Tetapi, di depan kamera TV
mereka harus tampak ganteng. Senyum terus diumbar walaupun
udara dingin menggigit.
Para pelajar Ashgabat ini, seperti halnya orang Korea Utara,
juga menyematkan bros bergambar kepala sang pemimpin di
dada kiri—lambang kesetiaan pada sang pelindung. Lagu-lagu
merdu yang mengagungkan buku suci Ruhnama berkumandang,
bergemeresik dari sound system yang suaranya sering hilang ter-
bawa angin. Gadis-gadis di barisan depan, berlengan pendek,
masing-masing memegang sekuntum bunga yang dilambaikan
om
mengikuti irama. Pasti mereka menggigil juga, tetapi hal itu ti-
t.c
dak tampak dari senyum manis yang terpancar oleh barisan gigi
po

putih.
gs
lo

Pertunjukan berikutnya adalah jajaran gadis ayu berambut


.b
do

panjang berkepang dua, seperti kawanan dayang dari langit.


in
a-

Musik pengiring adalah denting khas padang pasir, berisi pan-


ak

jatan lagu penuh emosi memuji kebesaran sang Turkmenbashi.


st
pu

Penyanyi dan penari datang silih berganti. Setiap lagu tak per-
nah lepas dari kosa kata Turkmenistan, Turkmenbashi yang
Agung, Ruhnama, Netralitas, Kemerdekaan, dan Abad Emas.
Konser ditutup dengan penampilan barisan pemuda Turk-
men yang gagah dan tinggi, mengenakan pakaian adat yang se-
perti ksatria bangsa nomad, dan semua memakai topi telpek
putih dari bulu domba yang kriwil-kriwil, persis seperti rambut
kribo Ahmad Albar. Musiknya rancak. Para penari menyepakkan
kakinya tinggi-tinggi, kuat dan perkasa, tetapi indah berharmoni.
Lalu muncul barisan gadis cantik penyebar nuansa kelembutan.
Pemuda memuja, pemudi mengumbar senyum. Tarian yang

460
demikian bersemangat, menggugah jiwa itu, diiringi musik
pujaan bagi Ruhnama dan Turkmenbashi. Kalau diterjemahkan
ke versi Indonesia, ini seperti menonton Tari Saman, tetapi di-
iringi lantunan pujian akan Pancasila, Gerakan Non-Blok, dan
Era Tinggal Landas.
Sang Turkmenbashi, yang menjadi sumber segala pemujaan
ini, tampak di mana-mana. Di belakang panggung ada poster
superbesar Turkmenbashi yang sedang bertopang dagu, terse-
nyum manis, seakan memang sedang menikmati segala puja-
puji keagungannya. Baliho bergambar buku-buku karyatama
sang Pemimpin dijajar di belakang podium, tentunya termasuk
om
Ruhnama Jilid 1 dan 2. Enam poster Turkmenbashi di panggung,
t.c
ditambah lusinan lainnya di pintu gerbang taman.
po

Fotografer dan kameraman sibuk mengabadikan. Dalam


gs
lo

acara ini, semua harus ikut petunjuk. Lambaian, detail pernak-


.b
do

pernik pakaian, posisi duduk, tepuk tangan, pemberian bunga


in
a-

kepada penyanyi, suit-suitan, siul-siulan, semuanya, semuanya


ak

ada yang mengatur. Kalau diamati, para pelajar bisa dibagi lagi
st
pu

menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah mereka yang


”apes” terpilih duduk di bagian depan, terus-menerus tersorot
kamera televisi, dan harus mengumbar senyum, bertepuk ta-
ngan, melambaikan bunga dengan disiplin. Kelompok kedua
adalah para penggembira, untuk memenuhi layar kalau disorot
TV. Mereka cukup beruntung, bisa berdiri, jalan ke sana kemari,
mengobrol sepuasnya seperti acara reuni sekolah.
Semua universitas di kota ini wajib menampilkan pertun-
jukan, dan ada gilirannya setiap minggu. Begitu acara berakhir,
para penggembira yang tadi asyik mengobrol—seperti saya dulu
waktu upacara bendera—langsung bubar dalam hitungan detik.

461
Kalau saja tidak ada polisi yang berpatroli di sekitar taman,
anak-anak ini pasti sudah kabur sejak tadi.

Di pinggiran Ashgabat, sekitar delapan kilometer dari pusat


kota, ada sebuah pasar kuno yang termasyhur di seluruh penjuru
Asia Tengah. Tolkuchka Bazaar namanya, dalam bahasa Rusia
berarti ”Pasar Dorong”. Setiap Minggu, bazar ini menjadi lautan
manusia, bersama barisan truk dan mobil yang menyemut se-
panjang beberapa kilometer. Sesaat saya lupakan Abad Emas,
om
saya kembali ke dunia Jalur Sutra. Gambaran para saudagar
t.c

yang membawa segala macam jualan eksotis bermunculan dari


po
gs

segala penjuru padang pasir yang menghampar. Kawanan unta


lo
.b

menyergap oase segar yang riuh rendah oleh gemerencing uang


do
in

dan tawa kemakmuran. Zaman berganti. Unta-unta digantikan


a-

truk Kamaz dan taksi. Para saudagar berserban dan berjubah


ak
st

sekarang sudah digantikan oleh generasi baru Turkmenistan.


pu

Kalau dulu sutra dari Tiongkok, kini giliran barang-barang


supermurah bermutu parah dari negeri yang sama menjadi
rebutan. Mulai dari radio yang berisiknya minta ampun sampai
celana jins yang cuma bisa dipakai beberapa kali saja. Mesin
DVD dengan harga miring, atau gelas dan mangkuk cantik.
Pasar inilah shopping center bagi penduduk Turkmenistan.
Pedagang datang dari desa di pedalaman gurun, membawa
televisi bekas model tahun 1970-an dengan layar cembung dan
barisan kenop untuk memilih saluran. Benda bersejarah ini,
ajaibnya, masih berfungsi. Nenek tua yang potongannya mirip

462
ahli nujum Gipsi, tersenyum manis menawarkan koleksi koin
zaman Lenin, bros palu arit, dan duit kertas Tsar.
Di tengah tanah lapang, permadani merah manyala berjajar,
ditebar dan digantung di semua sudut, membawa nuansa me-
riah pada monotonnya gurun. Karpet Turkmen, buah karya
jari-jari lincah kaum perempuan dari penjuru negeri, adalah ke-
banggaan bangsa. Desainnya berupa perpaduan warna merah
darah dengan detail ornamen geometris yang sambung-menyam-
bung. Begitu pentingnya permadani bagi bangsa ini, ada pepatah
”Bentangkanlah permadanimu, kubaca pribadimu!” Tengoklah
bendera Turkmenistan. Keindahan motif permadani pun ikut
om
muncul menghiasi dominasi hijau dan bulan bintang. Turkmen-
t.c
bashi bersabda, peradaban karpet menjadikan bendera Turkmen
po

menjadi yang tercantik di dunia.


gs
lo

Identitas paling kentara dari kebudayaan Turkmen pun bisa


.b
do

ditemukan di sini: telpek, topi tradisional dari bulu domba yang


in
a-

tebal dan membumbung tinggi, bentuknya mirip rambut kribo


ak

ukuran jumbo. Tak peduli di musim dingin atau panas, seorang


st
pu

pria Turkmen sejati tak akan pernah lepas dari telpek. Mekan
Ataliew, pedagang telpek, tersenyum lebar begitu tahu saya dari
Indonesia. ”Kamu tahu, dulu ayahku pembuat telpek terkenal di
seluruh Turkmenistan. Ayah pernah diminta Turkmenbashi un-
tuk membuat telpek istimewa untuk presidenmu ketika datang
berkunjung,” ujarnya bangga, ”Turkmenbashi menghadiahkan
telpek bikinan Ayah kepada Suharto. Sampai hari ini aku masih
menyimpan guntingan koran dan majalah tentang berita itu!”
Saya baru tahu Suharto pernah ke Turkmenistan. Ada ke-
bahagian terpancar dari bola mata Mekan, kebahagiaan karena
berkesempatan berbakti pada sang Pemimpin. Ataukah rasa

463
gembira Mekan meluap karena menemukan teman seperjuangan?
”Turkmenbashi adalah pemimpin yang baik,” kata Mekan,
”dan saya yakin Suharto juga demikian.” Karena menganggap
saya sebagai pengikut setia Suharto yang datang dari negeri se-
berang, Mekan mengikuti jejak ayahnya—menghadiahi saya
sebuah telpek kualitas tinggi, yang hangat di musim dingin dan
sejuk di musim panas.
Biarlah Mekan tetap bahagia dalam keyakinannya.
Matahari mulai meredup keperkasaannya. Tolkuchka Bazaar
pun mulai berkurang ingar-bingarnya. Para pedagang permadani
mulai menggulung tikar-tikar cantik merah manyala, mengan-
om
tarkan padang pasir ini kembali pada alamnya yang asli.
t.c
po
gs
lo
.b
do

Negeri fantasi ini pun menciptakan sebuah Dunia Fantasi ...


in
a-

”Wahai generasi Abad Emas, engkau adalah manusia-manusia


ak

yang paling berbahagia!” Turkmenbashi yang Agung bersabda, ter-


st
pu

tulis dengan tinta emas di pintu gerbang taman bermain, meng-


ingatkan keberuntungan tiada tara putra dan putri Abad Emas,
masa depan Turkmenistan. ”Dunia Dongeng Turkmenbashi”,
demikian nama taman penuh imajinasi ini, mengantar pengun-
jung ke dunia syahibul hikayat Turkmenia, salah satu mega-pro-
yek sang pemimpin untuk merayakan 15 tahun perjalanan
Turkmenistan menyongsong Abad Emas. Tetapi penduduk
Ashgabat lebih sering menyebut tempat ini dengan nama yang
lebih keren: Turkmen Disneyland.
Lupakan Donal Bebek dan Miki Tikus, juga Cinderella dan
tujuh kurcaci. Turkmenistan bukan tempat bagi mereka. Di

464
sini, yang mengisi mimpi bocah-bocah Turkmen, generasi masa
depan Abad Emas, semuanya berasal dari hikayat dan khazanah
kesusastraan Turkmen yang tiada bandingnya di dunia. Saya tak
mengenal siapa itu Bovenjyk dan Akpamyk, apalagi Jabpaki dan
Khudaiberdi-gorkak. Tetapi tokoh-tokoh alam khayal Turkmen
inilah yang mengiring tidur bocah-bocah dari Ashgabat hingga
ke Turkmenabat, dari Kaspia hingga ke pedalaman gurun Ka-
rakum.
Ingin sekali hati ini ikut larut dalam kebahagiaan para bo-
cah, yang terpancar dari pekik gembira ketika roller coaster versi
Turkmen menukik tajam. Tetapi apa daya, ibu penjual tiket tak
om
mau diajak bekerja sama. Beliau dengan gagah menunjuk papan
t.c
pengumuman—harga tiket untuk ”kawan-kawan” manca negara
po

adalah lima dolar. Sedangkan orang Turkmen hanya membayar


gs
lo

1000 Manat, sekitar 300 rupiah.


.b
do

Saya seperti anak putus sekolah, memandangi keceriaan


in
a-

generasi penerus Turkmenistan dari balik pagar besi. Saya hanya


ak

bisa cemburu melihat antrean panjang para bocah yang tak


st
pu

sabar ingin di-”ontang-anting” dan ber-”halilintar” di hadapan


barisan gedung pualam Ashgabat. Saya juga kagum dengan wa-
hana ”bianglala” berukuran ekstrabesar, yang dari puncaknya
kita boleh menyaksikan kejayaan kota modern ini. Saya hanya
bisa tersenyum kecut ketika kereta mungil melintas, membawa
para penumpangnya berkeliling kota untuk mengagumi ke-
majuan negeri yang diselimuti semangat Abad Emas.
Taman bermain futuristik yang menghabiskan dana 50 juta
dolar bukan hanya membawa tawa ceria anak-anak. Ada ratusan
penduduk Ashgabat yang harus kehilangan tempat tinggal gara-
gara proyek-proyek penuh kejutan. Lima belas tahun lalu, semua

465
kemegahan ini adalah perumahan dari kota kecil di ujung ne-
geri adikuasa, apartemen kumuh dan rumah tua berderet. Seka-
rang, ke manakah orang-orang itu pergi? Menghablur ke udara
bebas?
Turkmenbashi tak perlu diajak tawar-menawar kalau soal
pembangunan, rekonstruksi, dan pengejahwantahan Abad
Emas. Semua datang seperti mukjizat Candi Loro Jonggrang.
Hari ini ilham turun, besoknya penduduknya dikosongkan, be-
soknya lagi bangunan megah sudah berdiri. Demikian Ashgabat
berganti wajah setiap hari. Ada yang gembira ria, menerobos
angin dengan kereta roller coaster ke awang-awang. Ada pula yang
om
dalam semalam langsung melarat, atas dalih kepentingan
t.c
umum, kepentingan nasional.
po

Apakah Turkmenbashi pernah punya istri yang bercita-cita


gs
lo

membangun Taman Mini Turkmenistan Indah yang mengoleksi


.b
do

segala macam kekayaan budaya dan peradaban zamrud padang


in
a-

pasir, lengkap dengan peta buatan Turkmenistan ukuran jumbo?


ak

Tak perlu itu pun, Turkmenbashi sudah punya ide-ide fantastis


st
pu

seperti membangun istana es lengkap dengan penguinnya (di


tengah panasnya gurun Turkmenistan!) dan tangga menuju
surga (yang harus didaki para menteri di kabinet untuk melatih
jantung sehat, sedangkan Turkmenbashi cukup menunggu di
puncaknya dengan naik helikopter).
”Negara kamu juga punya diktator?” Kakek tua pemilik ru-
mah tempat saya menginap bertanya serius. ”Di negara kamu,
orang-orang juga bisa diusir paksa oleh pemerintah?” Si kakek,
yang rumahnya tak jauh dari Disneyland, juga takut nasib yang
sama akan menimpanya suatu hari, seperti tetangga yang seka-
rang menghilang entah ke mana. Setiap hari dilalui dengan was-

466
was membayangkan kalau pemerintah tiba-tiba punya ide fan-
tastis lain lagi.
Ini adalah dunia yang penuh fantasi. Mimpi indah bersama
tokoh-tokoh khayal peradaban agung kini menjadi nyata, men-
janjikan tawa riang generasi muda Abad Emas sebagai manusia
paling beruntung di muka bumi.
Tetapi, sayang, dunia tak seindah fantasi.

Fantasi. Sang pemimpin itu berkata pada rakyatnya, ”Inilah


om
dunia yang indah. Rakyatku, engkau adalah makhluk berbahagia
t.c
karena engkau punya aku, pemimpin yang begitu hebat. Ini ada-
po

lah dunia yang nyaris sempurna. Hanya saja, rakyatku, ada satu
gs
lo

hal yang merusak kesempurnaan itu! Di luar sana musuh terus


.b
do

mengintai kebahagiaan kita.”


in
a-

Untuk itulah, tembok-tembok dibangun. Garis batas diper-


ak

kokoh. Eksistensi dipertahankan. Apa yang sebenarnya disem-


st
pu

bunyikan di belakang tembok-tembok itu, di balik garis batas


itu, di timbunan segala kebanggaan dan simbol-simbol itu?
Jauh di dasar sanubari sang manusia super itu ada rasa tidak
aman. Bagaimana kalau kebohongannya terbongkar dan semua
orang menertawakan dirinya? Bagaimana kalau kekayaannya
menguap? Bagaimana jika musuh asing menyerbu negerinya
yang rapuh? Bagaimana kalau para menterinya membelot? Bagai-
mana apabila rakyat terbangun dari buaian mimpi, lalu meng-
gerakkan revolusi? Bagaimana kalau musuh-musuhnya membalas
dendam, menyeretnya turun dari takhta dan membantai tanpa
iba? Bagaimana kalau terjadi kudeta, rezimnya kolaps? Bagaimana

467
jika ia terlupakan dalam sejarah? Bagaimana? Bagaimana? Sejuta
bagaimana menjadi mimpi buruk setiap malam.
Dan tembok-tembok itu semakin tinggi. Garis batas semakin
menebal. Patung-patung terus berdiri. Peraturan makin menge-
kang.
Semua untuk melindungi jiwa yang menggigil ketakutan.

Di selatan Ashgabat, tertebar nuansa misterius. Gedung-gedung


tinggi dari pualam putih berjajar megah, tetapi tak ada manusia
om
yang menghuni. Jalan raya beraspal mulus membentang lebar,
t.c
tetapi tak ada mobil yang melintas. Gemerecik air mancur ada-
po

lah satu-satunya kebisingan.


gs
lo

Inilah Berzengi, tempat keajaiban tingkat dunia satu per satu


.b
do

bermunculan. Inilah Berzengi, tempat bulu kuduk saya berdiri.


in
a-

Walaupun penuh dengan gedung tinggi dan mewah, tak ada


ak

kesan metropolis macam Shanghai atau New York. Gedung-ge-


st
pu

dung raksasa Ashgabat berpencaran, memberi kesan lapang. Ko-


song dan mati. Tak ada manusia di sini. Kalau ada pun tak
berbanding dengan lusinan gedung pencakar langit yang ber-
baris. Tetapi pualam-pualam raksasa terus dibangun. Para
pekerja masih sibuk menyelesaikan bagian atap apartemen me-
gah di pinggir jalan.
Monumen Kemerdekaan Turkmenistan di ujung selatan
Berzengi, menjulang tinggi dengan bentuk persis pengisap toilet,
menyembunyikan simbol-simbol yang melukiskan hari kemer-
dekaan Turkmenistan 27 Oktober 1991: menara setinggi 91
meter dengan 27 meter bagian puncak yang bersepuh emas, di-

468
tambah teras berdiameter 10 meter, dan dikelilingi 27 patung
pahlawan yang mengiringi sejarah bangsa Turkmen. Tentu saja
yang mendominasi adalah emas mengilap: patung Turkmenbashi
dikelilingi lima elang yang masing-masing berkepala lima. Dua
tentara Turkmen mengawal patung-patung. Di ujung utara, ber-
diri piramida tinggi ala Turkmenistan, dari pualam putih, ber-
mandi air yang mengucur dari puncak kelima sisinya (yang ini
disebut sebagai ”Si Kaki Lima”). Konon ini adalah air mancur
terbesar di dunia, salah satu keberhasilan Turkmenistan di kan-
cah internasional. Padahal negeri ini adalah didominasi gurun
gersang, di mana air seharusnya lebih berharga daripada minyak,
om
tetapi air tampak meluber di berbagai penjuru kota.
t.c
Untuk siapa keajaiban-keajaiban kelas dunia ini dibangun?
po

Untuk dunia? Ah, nyaris tak ada orang asing yang datang, pintu
gs
lo

gerbang negeri ini tertutup rapat. Untuk Turkmenistan? Masih-


.b
do

kah penduduk membutuhkan bangunan-bangunan ini sebagai


in
a-

bukti pengukuhan kepercayaan bahwa mereka benar-benar se-


ak

dang menikmati kemakmuran di Abad Emas?


st
pu

Monumen Ruhnama adalah keajaiban Berzengi yang lain.


Bentuknya seperti buku gubahan sang Presiden, berwarna hijau
dengan pinggiran merah jambu. Ukurannya superjumbo, men-
colok di tengah taman, dikelilingi semburan air mancur. Buku
raksasa seperti ini, siapa yang baca? Ini bukan patung biasa,
kawan! Buku raksasa ini bisa membuka, menampilkan film
yang mengelukan kebesaran sang Turkmenbashi dan sejarah
agung negeri Turkmen.
Hotel bintang lima membanjiri Berzengi, juga istana-istana
berkubah emas. Masing-masing bangunan menghabiskan dana
ratusan juta euro, dikerjakan oleh perusahaan konstruksi kelas

469
dunia dari Prancis. Tentu saja ini bisnis yang teramat menggiur-
kan, di mana lagi ada Pemimpin Agung punya terlalu banyak
uang untuk dihamburkan sampai bingung mau dibuang ke
mana?
Apakah ini mimpi Abad Emas itu? Lihatlah peninggalan
Turkmenbashi bagi warganya ini. Gedung-gedung megah namun
bisu. Hotel-hotel kelas dunia yang hampir selalu kosong. Patung-
patung... monumen-monumen.... Semuanya serba superbesar,
supermegah, dan supermodern.
Tetapi yang terasa cuma kesenyapan yang menggelitik bulu
roma.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

470
MARI SUCIKAN JIWA

NAMA Jeyhun berarti sungai Amu Darya, tetapi sekarang


Ashgabat adalah rumahnya. Jeyhun adalah mahasiswa teknik
mesin, berpakaian perlente dengan kemeja putih bersih dan
dasi yang berpadu serasi dengan jas hitam halus. Celana pan-
jangnya hitam mengilap, tak lupa pula sepatu hitam yang selalu
om
bercahaya. Masih ada tahia, topi bundar, tipis, mungil berhiaskan
t.c
po

noktah-noktah berwarna kuning dan merah teronggok miring


gs

di puncak kepalanya.
lo
.b

Berpakaian seperti ini tentunya sangat mahal untuk ukuran


do

mahasiswa. Harga jas berkualitas berkisar dari 40 sampai 100


in
a-

dolar.
ak
st

”Tidak masalah, Turkmenistan adalah negara kaya, semua


pu

orang boleh kelihatan bagus. Para pelajar di sini sangat cantik


dan tampan. Tak ada salahnya berpenampilan menarik,” kata
Jeyhun
Saya teringat betapa pakaian yang sama necisnya juga di-
pakai oleh para pelajar di Tajikistan yang jauh lebih miskin. Di
Turkmenistan sekarang orang harus mulai memperhatikan pe-
nampilan. Dalam Ruhnama, buku bacaan wajib mahakarya sang
Turkmenbashi yang Agung, termaktub jelas:
”Nabi Nuh bersabda: pakaian memperbaiki penampilan luar,
membuat orang jadi kelihatan bagus. Jadi, pilihlah pakaian yang se-
suai dengan dirimu!”

471
Ruhnama adalah jawaban akan segala hal. Turkmenbashi
mewajibkan anak sekolah hingga mahasiswa untuk menghafalkan,
menghayati, dan mengamalkan Ruhnama. Jeyhun sangat bangga
dengan pendidikan di negerinya. ”Universitas di Turkmenistan
semuanya gratis. Bukan hanya gratis, kami malah dibayar oleh
pemerintah, satu juta Manat sebulan.” Tak heran dengan gaji
yang setara dengan pendapatan rata-rata penduduk, para maha-
siswa mampu membeli jas mahal untuk meningkatkan penam-
pilan mereka.
Jeyhun tak putus menyebutkan nama-nama pahlawan agung,
seperti Oguz Khan, sang Bapa orang Turkmen yang memulai
om
peradaban dunia, juga pujangga Magtymguly dan pejuang Arp
t.c
Arslan. Dalam benaknya, seperti yang diajarkan dalam buku
po

suci itu, Turkmen adalah pusat kebudayaan dunia, nenek mo-


gs
lo

yang semua bangsa yang terbentang dari Turki hingga Afghanis-


.b
do

tan dan Mongolia. Turkmen adalah gemilangnya sejarah ma-


in
a-

nusia, dan kini menapaki jalan kemakmuran yang dikagumi


ak

semua bangsa di muka bumi.


st
pu

Semuanya itu sudah termaktub dalam Ruhnama.


”Bacalah Ruhnama, dan kau akan tahu segala hal tentang
Turkmenistan,” kata Jeyhun. Bagaimana dengan yang tak dicatat
Ruhnama? Tidak penting. Murid Turkmen lebih berkonsentrasi
belajar dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menghafal
Ruhnama daripada menekuni fisika, aljabar, geografi, biologi,
dan ilmu-ilmu ”tidak penting” lainnya. Jeyhun tak pernah de-
ngar ada negara bernama Indonesia, tak tahu apa itu tsunami,
padahal Turkmenistan sama-sama pernah dilanda gempa dah-
syat.
Pada awal abad ke-20, gempa menggoyang Ashgabat, merata-

472
kan seluruh kota, dan menewaskan hampir semua penduduknya.
Di pusat kota Ashgabat, dibangun museum untuk mengenang
tragedi besar ini. Berdiri pula monumen berwujud kerbau ga-
rang dengan tanduknya yang menyangga bumi. Bayangkan
bumi yang kita injak ini berada di ujung tanduk, tentu saja
akan bergoyang hebat. Itulah perlambang gempa Ashgabat. Di
atas bola bumi yang berguncang, duduk seorang bayi emas, yang
kemudian akan menyelamatkan umat manusia dan alam se-
mesta. Coba tebak siapa dia? Tak salah, Turkmenbashi! Sang
pemimpin selamat dari gempa mematikan, dibesarkan di panti
asuhan Soviet, menjadi sekretaris jenderal Partai Komunis,
om
kemudian bangkit memimpin umat manusia memasuki Abad
t.c
Emas.
po

Semua anak Turkmen pasti tahu kisah ini, karena ini ter-
gs
lo

masuk lembaran penting sejarah peradaban manusia. Tetapi


.b
do

tsunami yang terjadi di ujung bumi yang jauh di sana? Hanya


in
a-

berita sekilas yang lewat seperti angin lalu. Tidak ada kata Indo-
ak

nesia dalam kamus Jeyhun. Nama Indonesia sama sekali tidak


st
pu

disinggung dalam kitab suci Ruhnama. Indonesia bukan di pu-


sat dunia, bukan hal penting untuk didengar. Pengetahuan ten-
tang dunia luar tergantung apa yang dipilih dan disaring peme-
rintah.
Saya teringat betapa keluarga Gulnara di Tajikistan yang ter-
buai kemakmuran Turkmenistan dari siaran televisi. Mereka
masih menanti-nantikan datangnya pemimpin hebat yang mem-
bawa kestabilan ke negeri pegunungan mereka. Tetapi di
Turkmenistan, pertanyaan spiritual itu sudah tak perlu ditanya-
kan lagi. Identitas tak perlu dicari-cari lagi. Turkmenbashi sudah
menjadi jawabannya, sekaligus pusat dari segalanya.

473
Televisi Turkmenistan punya sajian khusus setiap hari: Pem-
bacaan dan Diskusi Ruhnama. Seorang perempuan dengan pa-
kaian tradisional berdiri di depan layar kaca, dengan sebuah
kitab tebal Ruhnama di hadapannya. Di belakangnya, bola du-
nia raksasa berputar, diiring kibaran bendera hijau berhias per-
madani Turkmenistan. Sang pembaca kitab kemudian membuka
sebuah halaman, membacakan petikan ”ayat” Ruhnama yang
mengetuk sanubari, untuk direnungkan oleh semua umat bumi
Turkmenia. Diskusi diperlukan untuk mengupas keluhuran isi-
nya, memuja keluarbiasaan sang penulisnya. Acara dilanjutkan
dengan seorang penyanyi cantik berkepang dua dan bertopi
om
tahia menyanyikan pujian, dan belasan gadis anggun lainnya
t.c
memainkan alat musik yang diresonansikan dari rongga mulut.
po

Sungguh khusyuk. Ini adalah Siraman Rohani dengan menu


gs
lo

kitab suci Ruhnama.


.b
do

Sebaliknya, internet adalah tabu. Turkmenbashi menutup


in
a-

semua warnet di kota ini, dan sekarang cuma ada satu warnet
ak

di Ashgabat. Harga aksesnya 100.000 Manat atau sekitar 38.000


st
pu

rupiah per jam, setara dengan tiket pesawat domestik pergi-pu-


lang. Semua pengunjung harus menunjukkan dokumen lengkap
dan pemerintah terus memantau laman apa saja yang dikunjungi.
Negeri-negeri membangun pagar mereka tinggi-tinggi, garis
batas begitu kokoh menyekat, mengurung, mengisolasi. Dalam
ketertutupan, penduduk dicekoki pemahaman. Presidenmu
adalah penyelamatmu. Pemimpinmu adalah pujangga terbesar.
Negerimu adalah tanah impian. Sejarahmu adalah panutan per-
adaban. Bangsamu adalah pilihan Tuhan. Bukankah katanya
Tembok Berlin dibangun untuk melindungi negeri ideal komu-
nis—impian semua umat manusia—dari infiltrasi faham kotor

474
kapitalis? Padahal sejatinya tembok dibangun untuk mengurung
warga komunis rapat-rapat dalam ”surga” mereka.
Bagi manusia yang terkurung garis batas, eksistensi garis ba-
tas itu begitu penting. Mereka siap mempertaruhkan jiwa-raga
demi batas-batas yang mereka imani. Dalam kenyataannya,
batas-batas itu tak hanya fisik, tetapi juga harus kukuh secara
spiritual. Simbol-simbol bermunculan. Bendera. Lagu kebang-
saan. Adat nasional. Sejarah. Ideologi. Pahlawan. Agama. Ke-
banggaan. Mempertahankan simbol-simbol sama pentingnya
dengan mempertahankan batas-batas. Itulah nasionalisme. Itu-
lah patriotisme.
om
Negeri-negeri otoriter tidak hanya menyegel batas-batas fisik
t.c
negeri mereka, tetapi juga batas imajiner. Pengetahuan, infor-
po

masi, ideologi, semuanya sensitif. Semuanya harus difilter dulu.


gs
lo

Orang hanya boleh tahu apa yang penguasa ingin mereka tahu.
.b
do

Mereka hanya boleh berpikir dengan arahan seperti yang di-


in
a-

kehendaki sang penguasa. ”Racun” itu berupa pengetahuan, ka-


ak

rena pengetahuan akan membuat orang tersadar realita negeri


st
pu

mereka yang tidak seindah kata-kata penguasa. Mulut ter-


bungkam, pemikiran dan keluh kesah hanya disimpan dalam
benak masing-masing.
Tapi zaman telah berubah. Dalam sekejap luberan informasi
meluap bak air bah. Hanya dengan satu ketikan, kita menjelajah
dunia, membaca segala referensi dan informasi, memilah-milah
sendiri. Propaganda dan realita, semua ada. Kepalsuan dan ke-
bohongan begitu mudah terungkap. Gerakan massa mudah di-
organisir. Sang dewa ternyata tak lebih dari orang yang haus
kekuasaan. Negeri impian tak lebih dari negeri melarat.
Nasionalisme tak lebih dari kebodohan manusia yang tercuci

475
otak. Hidup laksana di surga itu tak lebih dari antrean panjang
orang kelaparan dengan sekeping kupon beras, sementara di
negeri asing toko-toko dibanjiri makanan.
Bagi sebagian negeri, internet adalah berkah. Bagi yang lain,
adalah momok. Beberapa negeri berusaha menyumbatnya, mu-
lai dari pemblokiran situs sampai pelarangan total. Tetapi sam-
pai kapan batas-batas yang diciptakan sejak zaman dahulu itu
mampu menahan terjangan informasi? Bukankah Tembok
Besar Cina dan Tembok Berlin, yang dulu begitu kukuh me-
misahkan, kini sudah kehilangan fungsinya sebagai garis batas?
Negeri yang tertutup malah semakin tertutup. Korea Utara
om
dan Turkmenistan mengisolasi diri, semakin memperkuat garis
t.c
batas mereka, semakin mengurung rakyatnya dalam ide-ide ne-
po

geri impian. Tetapi, perlahan namun pasti, informasi terus me-


gs
lo

layang bebas, menembus garis batas.


.b
do
in
a-
ak
st
pu

”Wahai Turkmen! Segala cintaku hanya bagimu. Semua pen-


deritaan hanya untukku,” tulis sang Turkmenbashi dalam buku
panduan jiwa, Ruhnama.
Turkmenbashi adalah penulis buku terlaris di seluruh negeri.
Lihat saja toko-toko buku yang bertebaran di seluruh Ashgabat.
Hampir semua buku yang dijual adalah buah karya sang pre-
siden. Warna hijau dan merah jingga kitab suci berjudul
Ruhnama memenuhi rak-rak.
Ruhnama, dari kata ruh dan nama, artinya ”kitab jiwa”.
Tujuannya untuk mempersiapkan roh dan jiwa bangsa Turkmen
untuk menyambut datangnya era baru, Abad Emas yang telah

476
berabad-abad dinantikan kedatangannya. Bukan hanya ditulis
dalam bahasa Turkmen, tetapi juga ada versi terjemahan bahasa
Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina, Jepang, Arab, Hungaria,
Ceko, Korea, Hindi, Thai, sampai Zulu. Lebih dari 25 bahasa
dunia. Tentunya kita juga tidak sabar menantikan terbitnya
edisi bahasa Indonesia atau Jawa. Turkmenbashi juga berhasrat
cita-cita dan buah pikirannya dibaca seluruh umat manusia, se-
bagai sumbangsih negerinya pada peradaban di muka bumi. Sa-
king getolnya, penerjemahan Ruhnama seakan menjadi syarat
tak tertulis bagi perusahaan asing untuk memenangkan tender
investasi di negeri ini.
om
Turkmenbashi adalah pemimpin yang murah hati. Terjemah-
t.c
kan bukunya, maka Anda akan mendapat hibah jutaan dolar.
po

Begitu buku itu terbit, televisi akan sibuk menayangkan. ”Wahai


gs
lo

Turkmen, Prancis sekarang memuja keluhuran Ruhnama!” atau


.b
do

”Keagungan Ruhnama kini telah merambah ke pedalaman


in
a-

Afrika, Ruhnama kini telah hadir dalam bahasa Zulu!” Dan


ak

penduduk yang terisolasi dari informasi, semakin terpukau dan


st
pu

mengimani Ruhnama, bagian dari kebanggaan mereka. Di mu-


seum terpampang peta dunia, yang ditandai negara-negara mana
saja yang sudah ”menerima” Ruhnama.
Walaupun belum diterjemahkan dan diekspor ke Indonesia,
Ruhnama ternyata sudah siap dibaca oleh makhluk luar angkasa.
27 Agustus 2005, pemerintah Turkmen dengan kebanggaan
tiada tara mengumumkan, ”Ruhnama telah menaklukkan ang-
kasa luar”, ketika sebuah roket Rusia berhasil mengorbit dengan
membawa Ruhnama dan bendera nasional Turkmen. Kapsul
angkasa luar yang kelak akan populer untuk mengirim jenazah
ke antariksa itu disebut sebagai kemenangan bangsa Turkmen

477
yang memperkenalkan nilai luhur kemanusiaan dan perdamaian
kepada dunia. ”Ruhnama harus menjadi pusat alam semesta. Dalam
semesta ini, semua masalah kosmik dari masa sekarang dan masa de-
pan terus berputar, dalam gaya tarik, gaya sentripetal, dan orbit
Ruhnama.” Demikian termaktub dalam kitab agung itu.
Sebenarnya, interaksi antara Turkmenbashi dengan dunia
antariksa sudah dimulai jauh sebelumnya. Tahun 1998 ketika
rakyat Turkmenistan sedang merayakan peringatan pengangkatan
Turkmenbashi sebagai presiden, negeri ini mendapat kado dari
angkasa luar. Sebuah meteor seberat 300 kilogram mendarat.
Para ilmuwan pun yakin ini adalah sebuah pertanda alam, se-
om
buah dukungan dari angkasa raya pada netralitas Turkmenistan.
t.c
Meteor itu pun dinamai—seperti yang Anda duga—Turkmenbashi.
po

Di dalam negeri, Ruhnama mengiringi detak jantung,


gs
lo

embusan napas, dan sirkulasi darah dalam jiwa setiap manusia


.b
do

Turkmen. Buku ini adalah buku wajib bagi semua warga negara,
in
a-

dari balita hingga orang jompo. Sudah tak terbantah lagi ke-
ak

sempurnaannya. Semua harus belajar Ruhnama, dan harus siap


st
pu

dites hafalannya, pemahamannya, dan pengamalannya. Di ne-


geri ini, bahkan untuk mengambil Surat Izin Mengemudi pun
orang harus lulus ujian Ruhnama dulu. Hari Sabtu sudah di-
ganti namanya menjadi Ruhgun, Hari Ruh, hari khusus untuk
membaca Ruhnama. Tidak ada alasan tak punya waktu mem-
baca.
Ruhnama, kitab tebal dengan kualitas kertas sangat bagus
dan sampul hardcover cuma dijual dengan harga cuma 50.000
Manat, tidak sampai dua dolar. Seorang ibu guru SD memborong
lusinan buku Ruhnama, ditambah kitab-kitab lain karangan
Presiden seperti Ruhnama Jilid II, ”Engkau adalah Turkmen”

478
dan ”Takdir Turkmen adalah Takdirku.” Pasti untuk murid-mu-
ridnya yang tidak sabar menantikan santapan rohani disuapkan
di ruang kelas.
Di masjid, selain ada Al Quran, alim ulama pun tak lupa
memberi dakwah dengan menyitir Ruhnama. Dinding masjid
berhias petikan ayat Al Quran dan kalimat-kalimat Ruhnama.
Orang diambil sumpah dengan Quran bersama Ruhnama. Ini
bukan buku biasa!
Presiden Turkmenbashi pernah bertitah, ”Saya sudah me-
minta Allah untuk mengizinkan orang yang membaca Ruhnama
tiga kali supaya langsung masuk surga.” Dalam Ruhnama,
om
Turkmenbashi berulang kali menekankan jangan sekali pun
t.c
menyamakan Ruhnama dengan Al Quran, karena Ruhnama
po

bukan buku agama, juga bukan buku sejarah. Di pintu masuk


gs
lo

Masjid Turkmenbashi—masjid pualam berkapasitas puluhan


.b
do

ribuh jemaah yang dibangun di kota kelahirannya Gypjak, dan


in
a-

dijadikan lokasi pengganti naik haji ke Mekkah bagi orang


ak

Turkmen—tertulis besar-besar semboyan suci: ”Ruhnama Kitab


st
pu

yang Suci, Quran Kitabnya Allah”.


Ruhnama bagi orang Turkmen memang bukan sekadar pe-
doman hidup seperti halnya Pedoman Penghayatan dan Penga-
malan Pancasila. Sungguh mereka memperlakukan Ruhnama
seperti kitab suci. Saya dimarahi orang-orang yang histeris ketika
saya membuat catatan kecil di pojok halaman kitab itu.
”HAH!!! Apa yang kamu lakukan? Ini kitab bagus!”
”Kamu tahu Quran? Itu buku suci. Ruhnama juga begitu.
Tidak boleh disobek, ditulis-tulisi, dan harus diletakkan di tem-
pat yang tinggi,” katanya mengajari bagaimana memperlakukan
Ruhnama. Halamannya harus dibuka perlahan-lahan, diiringi

479
doa agar ilmunya dapat diresapi dan diamalkan. Mereka pun
menciumi buku ini dengan penuh perasaan.
Islam bercampur aduk dengan segala mukjizat Turkmenbashi.
Di satu sisi, saya melihat ibu-ibu tua mendirikan salat di sudut
pasar yang ramai. Di sisi lain, seorang gadis muda penjaga kafe-
teria yang bangga sebagai Muslim Turkmen mengaku tidak tahu
artinya kalimat laillahaillalah. Dengan jujur si cantik beralasan
belum belajar bahasa asing. Sementara masjid-masjid besar terus
dibangun di Ashgabat, tetapi selalu nyaris tidak ada jemaah
sama sekali.
Turkmenbashi, yang dulunya pentolan partai komunis
om
Soviet, kini mendengungkan Islam sebagai ciri khas bangsa
t.c
Turkmen. Dari seorang komunis sejati, beliau tiba-tiba berubah
po

menjadi figur agamis, pemimpin spiritual. Negeri ini cuma ber-


gs
lo

ganti nama saja. Dulu KGB yang berkuasa, sekarang dinas


.b
do

intelijen suruhan Turkmenbashi. Dulu Stalin yang menjadi


in
a-

ikon, sekarang Turkmenbashi. Orang-orang komunis yang sama,


ak

kini duduk di pemerintahan pemimpin republik merdeka,


st
pu

menggemborkan sistem baru negara berdaulat. Memang bukan


negara komunis, tetapi rasanya tetap seperti negara yang ter-
isolasi dalam utopianya sendiri. Hanya berganti label.
Saya sebenarnya juga ingin memborong Ruhnama, lumayan
untuk oleh-oleh buat kawan yang ingin dibersihkan rohnya. Te-
tapi kitab ini kelewat tebal. Alhasil saya cuma berhasil menyum-
palkan sejilid Ruhnama ke dalam tas ransel.

”Dalam nama ALLAH, yang paling termuliakan... kitab ini, yang

480
ditulis dengan bantuan ilham yang dikirimkan langsung ke hatiku,
oleh Tuhan yang menciptakan alam semesta yang agung dan mampu
melakukan apa pun yang Ia inginkan, adalah kitab Ruhnama bangsa
Turkmen.”
Demikian sang Turkmenbashi memulai tulisan sepanjang
400 halaman untuk membuka jalan bagi roh-roh bangsa
Turkmen. Dalam keheningan malam, saya mulai membalik lem-
baran Ruhnama. Kitab dibuka dengan foto sang presiden
Turkmenbashi, sang penulis agung. Dilanjutkan gambar bendera
hijau Turkmenistan dengan permadaninya, dan lambang negara
dengan kuda Altheke—spesies kuda yang hanya ada di Turkme-
om
nistan. Berikutnya, lambang kepresidenan berupa elang ber-
t.c
kepala lima. Bagian utama kitab ini adalah ratusan halaman
po

manuskrip suci, diselingi corat-coret sang Turkmenbashi dalam


gs
lo

huruf Rusia ketika menggubah karya agungnya.


.b
do

Ruhnama, sekali lagi, bukan buku agama, bukan pula buku


in
a-

sejarah, tetapi campur aduk membingungkan antara autobiografi


ak

Turkmenbashi, ajaran moral, ulasan budaya, puisi, percakapan


st
pu

monolog, sampai penulisan sejarah dunia dan Turkmen yang


mengundang seribu tanda tanya.
Dikisahkan, Turkmen, yang berasal dari kata Turk dan Iman,
adalah keturunan langsung dari Nabi Nuh. Bangsa ini tercipta
dari cahaya, dan rohnya pun adalah cahaya. Kakek moyangnya
adalah Oguz Khan, pahlawan besar yang mengawali bani-bani
pengembara Turkmen di dataran luas Asia Tengah. Turkmen,
bangsa terbesar dan terpenting di dunia, membawa peradaban
ke muka bumi. Ada pahlawan agung yang tak mungkin terlupa
dalam sejarah dunia seperti Tuluni, Atabeg, Bori, Zenni,
Jygalybeg, dan Seljuk. Ruhnama membawa pembaca menjelajah

481
alam Oguz Khan, Gorkut Ata, Alp Arslan, Meliksah, Sultan
Sanjar, Gorogly dan Magtymguly, nama-nama yang begitu asing
tetapi justru adalah ”nabi” suci bagi orang Turkmen. Negeri
bangsa Turkmen terbentang dari Turkmenistan sampai Armenia,
Iran, Khwarezm, Turki, Azerbaijan, dan Afghanistan. Pemimpin-
pemimpin dalam sejarah dunia, mulai dari Sultan Mahmud
Ghaznavi di Afghanistan, raja-raja Dinasti Qajar di Iran, sampai
Ottoman di Turki. Turkmen adalah pusat dunia, tak terbantah-
kan.
Nasionalisme membuat orang percaya dan bangga mempunyai
sejarah yang agung, masa lalu gemilang, negeri yang dipuja se-
om
mua bangsa, dan nenek moyang yang merambah sampai ke se-
t.c
luruh penjuru bumi.
po

Lalu, bangsa besar itu menurunkan seorang anak manusia


gs
lo

ke muka bumi, bernama Saparmurat Niyazow42, yang kelak


.b
do

membawa pencerahan pada kegelapan dunia. Ruhnama mengi-


in
a-

sahkan penemuan jati diri Saparmurat sang Turkmenbashi yang


ak

perlahan-lahan mendapatkan ilham untuk membawa bangsa


st
pu

Turkmenistan, dari tempat tersembunyi di ujung dunia, menuju


perjalanan untuk mengembalikan kejayaan masa lalunya.
Saya terkesima membaca kisah kepahlawanan keluarga
Turkmenbashi, mulai dari kakeknya, ibunya, bapaknya, paman-
nya, tetangganya. Ibunya yang penuh kasih sayang dan gugur
dalam gempa, dijadikan Pahlawan Wanita, sekaligus nama bu-
lan April. Atamyrat, ayahnya yang pemberani, diabadikan men-
jadi nama kota. Sang ayah, gugur sebagai kusuma bangsa, di-
tembak mati pasukan Jerman gara-gara berbagi cerutu dengan

42
Akhiran –ov dalam nama bergaya Rusia menjadi –ow dalam ejaan Turkmen.

482
tawanan Rusia yang komunis. Sang kakek, Annaniyaz Artyk,
mengilhami novelis Turkmen menuliskan kitab penuh puja dan
puji tentang taman surgawi buatan Annaniyaz yang menggambar-
kan perjalanan spiritual bangsa Turkmen.
Keluarga sangat penting artinya bagi Turkmenbashi. Beliau
menulis satu bab penuh tentang bagaimana keluarga Turkmen
seharusnya. Ayah punya hak-hak yang datang dari Allah. Ibu
hendaknya seperti Siti Hawa dan Bunda Maria. Anak-anak ada-
lah generasi penerus. Pesan utama Turkmenbashi, ”Senyum da-
pat mengubah lawan menjadi kawan. Ketika malaikat maut mengintai,
tersenyumlah, dan ia akan pergi meninggalkanmu, saya yakin itu.”
om
Teknik ini sudah terbukti manjur ketika saya ditangkap ten-
t.c
tara Turkmen.
po

Kitab ini penuh dengan ajaran-ajaran moral praktis, mulai


gs
lo

dari senyum, cara makan, bersolek, berpakaian, menghormati


.b
do

roti, bersembahyang, hingga nasionalisme.


in
a-

Turkmenbashi memang seorang penulis jempolan. Kitab ini


ak

sedemikian kuatnya sehingga saya pun tersihir. Setelah membaca


st
pu

bacaan berat tentang ketangguhan pahlawan-pahlawan Turkmen


yang tiada tara, saya pun jatuh tertidur. Di alam mimpi, saya
terlahir kembali sebagai seorang Turkmen, yang mempunyai ke-
banggaan terhadap sejarah, budaya, bahasa, hingga kecintaan
dan rasa hormat terhadap bendera, permadani, kuda, gunung,
gurun pasir, sungai, padang penggembalaan, roti, ayah, ibu, ke-
cantikan gadis, dan manisnya melon. Alam mimpi saya hanya
dipenuhi rasa syukur sebagai orang Turkmen.
Hanya dengan sekali baca! Apalagi orang-orang di negeri ini
yang harus selalu menyitir isi kitab, setiap hari, sepanjang usia.
Kebohongan yang diucapkan terus-menerus lama-lama men-

483
jadi realita. Saat pertama kali membaca, kita mungkin masih
tergelak. Dua kali, ”Ah, masa sih?”. Sepuluh kali, kita mulai
bertanya, ”Jangan-jangan itu benar?”. Seratus kali, ”Itu semua
benar adanya...”. Setelah beribu kali membaca, dan jutaan
orang di sekeliling manggut-manggut semua, hal yang semula
tiada pun diterima menjadi fakta. Orang biasa bisa menjadi
pahlawan, negeri bobrok bisa disulap jadi negara makmur, masa
depan suram dipercaya sebagai abad gemilang. Betapa dahsyatnya
kekuatan itu! Demikian ideologi, sejarah, kebanggaan, identitas,
nasionalisme, iman tercipta.
Selama 15 tahun berkuasa, Turkmenbashi menciptakan
om
Turkmenistan yang berpusat pada dirinya. Negeri dikurung,
t.c
informasi disumbat, orang-orang dicekoki ramuan propaganda,
po

bayi-bayi yang terlahir didoktrinasi. Anak-anak memang tak


gs
lo

akan terlalu banyak bertanya. Tetapi tentunya ada, dan lumayan


.b
do

banyak orang dewasa yang mampu ”berpikir”. Mereka adalah


in
a-

makhluk berbahaya. Bagi mereka, Turkmenbashi telah menyiap-


ak

kan sistem, aparatur, hukuman, kekerasan, pembunuhan, teror


st
pu

yang menekan otak manusia untuk tak lagi berani berkelana


sembarangan dan membungkam mulut rapat-rapat. Mimpi-
mimpi diciptakan, lalu diucap terus-menerus melalui propaganda
dan slogan, dan lama-lama menjadi kebenaran yang diimani.
Abad Emas terus dinantikan.
Tak heran jika kepergian sang Turkmenbashi, sang Pemimpin
Agung yang didewakan, diiringi oleh derai air mata dan ke-
galauan tak terhingga. Saparmurat Niyazov, mendadak meninggal
pada 24 Desember 2006, dipercaya karena serangan jantung.
Sebagaimana tindak-tanduknya, kematiannya pun mengejutkan
dan mengguncang seluruh bumi dan antariksa.

484
Majalah Diyar, corong utama suara pemerintah Ashgabat,
edisi Januari 2007 berwajah sangat muram. Isinya hanya tentang
kepergian Turkmenbashi, mulai dari pemakaman akbar di Mas-
jid Agung sampai bela sungkawa dari berbagai lapisan masya-
rakat. Juga ada puisi-puisi dari rakyat jelata yang berisi tangisan
kesedihan tiada terperi akan bencana yang tiba-tiba ditimpakan
ke atas bangsa mereka. Bendera Turkmenistan dan foto besar
Saparmurat sang pemimpin menghiasi sampul depan, yang tam-
pil dalam tiga bahasa: Turkmen, Inggris, dan Rusia.

”Bangsa Turkmen kini bertahan tanpa sang pengawal


Saparmurat Turkmenbashi yang Agung, om
t.c
Presiden pertama dan seumur hidup Turkmenistan
po

Anak Agung dari rakyat dan pemimpin besar mereka,


gs
lo

Pendiri negara Turkmenistan yang merdeka dan netral,


.b
do

Telah pergi meninggalkan kita semua.”


in
a-
ak
st
pu

485
KEMBALI KE ALAM NORMAL

SEPENINGGAL sang pemimpin agung, pengganti Turkmen-


bashi, Gurbanguly Berdimuhammedow, menjanjikan reformasi
besar-besaran. Orang Turkmen sudah terbiasa dengan kehidupan
macam ini bertahun-tahun, tak tampak mengharapkan peru-
bahan drastis. Ruhnama masih tetap bacaan wajib, dan foto
om
t.c
Turkmenbashi masih bertaburan. Turkmenistan masih negerinya
po

Turkmenbashi.
gs
lo

Foto-foto Gurbanguly perlahan-lahan mengisi sudut-sudut


.b

kota, dengan wajah, sorot mata, ekspresi, dan emosi yang sangat
do
in

mirip pendahulunya. Seram sekali, wajah Gurbanguly sungguh


a-
ak

persis dengan Turkmenbashi, seperti saudara. Gurbanguly dulu-


st
pu

nya adalah Menteri Kesehatan, yang menutup semua rumah


sakit di luar Ashgabat, sehingga semua warga Turkmen harus
datang ke ibu kota untuk mendapatkan perawatan kesehatan.
Kata orang, Gurbanguly akan menjadi Turkmenbashi jilid II43.
Siapa tahu?
Lima belas tahun telah menghasilkan dunia Turkmenia, du-
nia utopia penuh fantasi yang tak akan pupus begitu saja se-
peninggal sang pemimpin.

43
Kelak pada tahun 2010, Gurbanguly memerintahkan penurunan patung emas
Turkmenbashi yang berputar 360 derajat dan pembongkaran menara ”Si Kaki
Tiga” Arch of Neutrality.

486
Hari ini, dengan berat saya harus meninggalkan ”kota cinta”
Ashgabat. Hiruk-pikuk lautan manusia memenuhi stasiun ke-
reta. Kereta hijau panjang teronggok. Beribu calon penumpang
gelisah menunggu keberangkatan, sedang para petugas berse-
ragam masih bergeming menjaga gerbong.
Festival Navruz Bairam, yang datang besok lusa, adalah
alasan utama keramaian kerumunan ini. Navruz, dari Bahasa
Persia, berarti Hari Baru, peringatan datangnya musim semi
yang ditandai dengan posisi matahari di titik balik utara, jatuh
pada tanggal 21 Maret. Navruz adalah hari pertama dalam pe-
nanggalan Samsiah Persia, yang sudah ada sejak zaman Zarasustra
om
sebelum Islam. Ini adalah tahun barunya orang Persia, yang
t.c
kemudian juga menjadi tradisi Asia Tengah. Dari Turki hingga
po

ke Afghanistan, dari Kazakhstan hingga ke Iran, Navruz adalah


gs
lo

hari raya penting. Seperti Lebaran di Indonesia, semua angkutan


.b
do

di negeri-negeri ini juga fully booked. Harga karcis meroket gila-


in
a-

gilaan mencekik leher. Tetapi tetap saja, semua orang ber-


ak

semangat untuk keluar dari Ashgabat, kembali ke kampung, tak


st
pu

peduli berapa pun biayanya.


Sarana transportasi pemerintah terlalu murah, nyaris gratis.
Tetapi seperti halnya listrik, air, dan gas yang gratis tetapi sering
putus, kereta dan pesawat terbang juga tak sanggup mengangkut
semua penumpang. Para sopir taksi memetik panen besar. Ong-
kos taksi 20 kali lebih mahal daripada tiket kereta.
Begitu pintu gerbong dibuka, lautan manusia meringsek ga-
nas menyusup ke pori-pori kereta. Banyak calon penumpang tak
bertiket yang ikut masuk, mayoritas adalah ibu-ibu pekerja atau
pedagang yang membawa karung raksasa.
Saya harus menyeruak kerumunan orang yang beringas. Su-

487
sah payah saya berhasil melintas gerbong. Tempat duduk berupa
bangku kayu keras. Penumpang tak bertiket juga diizinkan naik,
tetapi ada kuotanya. Histeria pun dimulai. Ibu-ibu, anak-anak,
dan para pria mempertontonkan sisi keganasan, tak segan se-
jenak melupakan harkat kemanusiaan untuk mencapai seutas
tujuan. Tendangan, dorongan, tarikan, cakaran, teriakan nya-
ring, tangisan pilu, sumpah serapah, bercampur jadi satu.
Setelah gerbong penuh sesak, dengan dingin petugas mem-
banting pintu. Di luar sana, anak-anak dan ibu-ibu yang mena-
ngis histeris, berteriak frustrasi. Kereta mulai bergetar, bergerak
lambat-lambat. Tiba-tiba dari dalam gerbong meletus tangisan
om
bocah perempuan yang menyayat hati. Si bocah berhasil masuk,
t.c
tetapi ibunya terjebak dalam perjuangan sikut-sikutan, tertinggal
po

di stasiun. Bocah ini sekarang terbawa kereta menuju Turkme-


gs
lo

nabat, sedangkan si ibu pasti sama histerisnya di peron stasiun


.b
do

Ashgabat.
in
a-

Histeria perlahan-lahan mereda. Para penumpang sayup-sa-


ak

yup menjadi jinak, menghela napas lega setelah mencapai salah


st
pu

satu keberhasilan hidup: pulang di hari raya. Bersesak ria adalah


pengorbanan yang teramat kecil. Bangku yang saya duduki se-
harusnya untuk dua penumpang, kini dijejali lima orang.
Nenek-nenek duduk pasrah di sebelah telapak kaki saya. Tak
mungkin berpindah di kereta ini, karena lantai pun dipenuhi
tumpukan manusia.
Dalam keterjepitan, saya mengeluarkan kitab Ruhnama,
pembasuh jiwa. Ibu tua di hadapan saya tersenyum senang, me-
mamerkan deretan gigi emasnya, yang kemilaunya senada de-
ngan Abad Emas Turkmenistan.
Ruhnama sungguh punya gravitasi yang tiada duanya. Para

488
penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya—orang
asing yang khusyuk membaca kitab suci bangsa Turkmen. Se-
orang lelaki antusias melantunkan lagu kebangsaan, ”Ciptaan
agung sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan
cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya....”
”Ssst...!!!” Penumpang lain menyuruhnya diam. Mereka ber-
bisik-bisik dalam desisan yang tidak saya pahami. Pandangan
mata mereka terhunus kepada saya, memicing, tidak bersahabat.
Apakah dosa menyanyikan lagu kebangsaan di hadapan orang
asing? Apakah kereta bukan tempat yang terhormat? Ataukah,
lagi-lagi, apakah saya dicurigai sebagai mata-mata?
om
Kereta merayap lambat. Saya terpaku di bangku kayu keras,
t.c
terimpit dan terdempet. Seorang pria dengan lugunya tertidur
po

pulas dalam rangkulan. Saya terpaksa merangkulnya karena su-


gs
lo

dah tidak ada tempat lagi untuk menaruh lengan. Sedangkan di


.b
do

sekitar lubang hidung saya bertebar aroma busuk kaus kaki


in
a-

lelaki yang tanpa sadar mengumbar kakinya tepat di depan wa-


ak

jah saya. Dalam kegelapan dan kesesakan ini orang bisa tidur
st
pu

dalam segala macam posisi yang mustahil dilakukan di alam


normal.
Siksaan panjang berakhir pukul tujuh pagi, ketika kereta me-
rapat di kota Turkmenabat. Angin pagi berembus, dinginnya
membekukan bulu kuduk. Saya langsung naik taksi ke per-
batasan, sekitar 60 kilometer jauhnya melintasi jalan raya yang
lengang di tepian padang pasir, dengan ongkos cuma sedolar.
Sopir taksi mengajak mengobrol, ”Turkmenbashi sudah me-
ninggal. Apa menurutmu Turkmenistan akan bebas lagi? Me-
nurut pendapatmu, wahai orang asing, apakah Turkmenistan
akan tersambung lagi dengan dunia luar?”

489
Ingat kata-kata Rita dulu, saya tak berani menjawab macam-
macam. Bukankah di sini di mana-mana ada ”telinga”? Lagi
pula, siapalah saya? Saya tak punya kuasa dahsyat macam
Turkmenbashi untuk menentukan masa depan Turkmenistan.
Yang terucap dari mulut saya hanya tiga kata, ”Saya tidak tahu.”
Ia mendesah.
Puluhan orang berbaris di depan pintu gerbang perbatasan.
Satu per satu mereka diizinkan masuk ke dalam balairung
utama. Ketika tiba giliran saya, pertanyaan-pertanyaan mengejut-
kan langsung menyergap.
”Kamu tadi baru datang dari Ashgabat, kan?” tanya polisi
perbatasan itu. om
t.c
”Benar, Pak,” jawab saya.
po

”Kamu naik kereta, kan?”


gs
lo

”Benar.” Bagaimana dia bisa tahu?


.b
do

”Kamu tadi naik kereta murah kan, duduk di bangku keras,


in
a-

yang harga karcisnya 15.000 Manat, kan?”


ak

Hah? Bahkan setiap detail gerak-gerik saya sudah terpantau.


st
pu

Ini mungkin gara-gara saya pernah ditangkap tentara setelah


memotret patung di Ashgabat. Keluar dari Turkmenistan lebih
susah daripada waktu masuknya. Semua isi tas ransel diperiksa
dengan teliti. ”Kami takut kamu bawa buku-buku berbahaya,”
kata polisi. Lagi-lagi, buku bertulis huruf Arab membuat mereka
tercenung. Tapi senyum terpancar lagi ketika melihat Ruhnama
teronggok dalam ransel saya.
Ketatnya pemeriksaan masih berlanjut. Foto-foto dalam ka-
mera digital harus ditunjukkan semua. Mereka memantau de-
ngan cermat apa saja yang sudah saya lihat di negeri ini. Untung
saya tadi tidak iseng memotret perbatasan.

490
Perbatasan Uzbekistan harus ditempuh dengan marshrutka
saking jauhnya. Petugas imigrasi tenggelam mengamati lembar
demi lembar paspor saya. Lama sekali. Dilihat di bawah lampu
UV, diterawang di awang-awang, diamat-amati lagi. Sekarang gi-
liran bea cukai Uzbek yang sama telitinya memeriksa obat-
obatan dan ”buku-buku agama” saya.
Tak terasa, lebih dari satu jam saya masih tersangkut di per-
batasan Uzbek. Orang Turkmen melenggang begitu saja tanpa
diperiksa karena mereka adalah warga daerah perbatasan yang
hampir setiap hari melintas batas, bebas visa selama tiga hari.
Pos imigrasi ini ramai oleh pedagang dan sangat rawan penye-
om
lundupan minyak murah meriah dari Turkmenistan.
t.c
Gara-gara tersangkut di perbatasan, saya terpaksa harus naik
po

taksi ke kota Karaköl. Ongkosnya paling murah sekitar delapan


gs
lo

dolar.
.b
do

Delapan dolar! Sakitnya. Dengan uang sebesar itu, saya bisa


in
a-

pergi pulang Ashgabat-Turkmenabat empat belas kali. Tetapi ini


ak

hanya satu kali jalan ke Karaköl yang cuma beberapa kilometer


st
pu

jauhnya.
Garis batas itu ternyata berupa ”rasa aman”. Di seberang
perbatasan sana, kebutuhan hidup tercukupi. Semua murah, se-
mua gratis. Masih ada pula seorang pemimpin yang dijadikan
panutan hati, buku suci yang jadi pegangan hidup. Otak tak
lagi bergulat, tersumbat oleh berbagai jaminan sosial. Kekha-
watiran terkubur euforia pemujaan simbol-simbol. Filosofi hi-
dup terbenam dalam doktrinasi buku panduan. Masa depan
bukan tanda tanya, melainkan kepastian Abad Emas. Rasa
aman, betapa mahalnya rasa itu, meski (memang) harus ditebus
dengan ketidaktahuan.

491
Uzbekistan menyambut saya dalam bentuk keluh kesah
lelaki penumpang taksi yang cemas dengan datangnya festival
Tahun Baru.
”Harga daging sapi sekarang.... Harga roti sekarang.... Harga
bensin sekarang....”
Terjun dari mimpi-mimpi Abad Emas dan fantasi negeri
utopis, kembali ke kegersangan dan kesengsaraan alam fana,
memang sakit. Sesakit orang yang terbangun dari mimpi yang
begitu sempurna, lalu kembali ke kehidupan yang miskin papa.
Tetapi hati ini begitu gembira, saya sudah kembali ke alam
normal!
om
”Harga kue tart sekarang.... harga vodka sekarang.... Gaji
t.c
kita sekarang.... Kamu bisa bawa aku ke negaramu, Brat?”
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

492
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po

Epilog
t.c
om
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
KEMBALI
KE SEBERANG SUNGAI

om
JEMBATAN Persahabatan melintangi Amu Darya, meng-
t.c
hubungkan Uzbekistan dengan Afghanistan. Kaki saya berat
po

melangkah, bukan karena beban ransel yang belasan kilogram.


gs
lo

Uzbekistan sudah di belakang, pesisir sungai Afghanistan ter-


.b
do

bentang di hadapan. Ragu-ragu menyeruak. Siapkah saya kem-


in

bali ke negeri perang di seberang mata itu?


a-
ak

Jembatan Persahabatan. Inilah jembatan yang dibangun oleh


st
pu

Uni Soviet. ”Persahabatan” ini justru adalah kisah pahit negeri


Afghan, ”persahabatan” yang meluluhlantakkan negeri ini se-
lama sepuluh tahun, meninggalkan luka yang terus membusuk,
meledak, menyemburatkan nanah ke segala penjuru. Tahun
1982 Uni Soviet membangun jembatan ini, panjangnya 850 me-
ter, dilengkapi dengan jalan raya dan kereta api. Jembatan ini
digunakan untuk melancarkan lalu lintas tentara dan tank
Rusia, menyerbu Afghanistan. Setiap minggu, sekitar lima pu-
luh ribu tentara Soviet dan 800 kendaraan perang melintasi
Amu Darya, berarak-arak menuju Kabul dan Kandahar.
Itulah persahabatan.

495
Tahun 1989, setelah sepuluh tahun pendudukan, tank ter-
akhir Soviet melintas jembatan ini. Kali ini berbalik arah, kem-
bali ke arah garis batas negeri raksasa itu. Afghanistan gagal
ditundukkan. Negeri kecil itu ternyata punya banyak pejuang
yang bertempur mati-matian ala basmachi, gerilyawan dari peda-
laman Ferghana yang dihadapi tentara Merah seratusan tahun
lalu.
Dua tahun sesudahnya, Uni Soviet runtuh. Lahirlah Taji-
kistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan,
menambah warna-warni peta dunia.
Saya termenung di hadapan Jembatan Persahabatan. Di bela-
om
kang sana, saya meninggalkan semua kenangan tentang saudara-
t.c
saudari Stan. Tentang gadis-gadis molek bergigi emas. Tentang
po

kemakmuran dan kemelaratan. Tentang palsunya ideologi dan


gs
lo

nasionalisme. Tentang polisi perbatasan yang memeriksa dengan


.b
do

teliti hingga ke dasar sepatu dan lipatan celana dalam. Korupsi


in
a-

berpadu dengan keputusasaan. Impian, kekecewaan, tawa, ta-


ak

ngis, gurauan, ketakutan... semuanya tertinggal di balik pung-


st
pu

gung.
Di hadapan, di seberang sungai sana, adalah Republik Islam
Afghanistan. Semua memori tentang Afghanistan diputar kem-
bali. Gunung tandus. Selimut debu. Bongkahan mimpi. Tatap
mata tersembunyi di balik cadar. Ledakan bom. Gelap malam
yang pekat. Jubah kumal. Bocah kelaparan. Padang hijau.
Berat rasanya langkah ini. Jembatan Persahabatan, semanis
apa pun namanya, adalah ironi tentang takdir Asia Tengah yang
kini hanya menjadi bidak-bidak catur bangsa-bangsa asing. Ne-
gara, republik, etnis, suku bangsa, bahasa, sejarah masa lalu,
pahlawan nasional, nasionalisme.... Semuanya adalah konsep

496
semu, bak pakaian kebesaran yang mengaburkan hakikat ke-
manusiaan. Konsep-konsep semu ini kemudian membawa seng-
keta, kebencian dan pertumpahan darah—sebuah ”persahabatan”.
Negeri-negeri Stan mencari identitas kedaulatan, menghapus
masa lalu Soviet. Sementara Afghanistan di seberang sana juga
berjuang, merangkak bangkit dari reruntuhan perang yang di-
sulut oleh Soviet.
Persahabatan.... Ah, betapa indahnya nama itu.

Dua tahun kemudian, 9 Agustus 2008 om


t.c
Ishkashim, Afghanistan
po

Jika Anda adalah agen KGB Tajikistan, dan di hadapan


gs
lo

Anda berdiri orang asing yang aneh. Bajunya lusuh dan kumal,
.b
do

tetapi mulutnya terus berceloteh dalam berbagai bahasa. Bukan,


in
a-

ia bukan mengoceh sembarangan. Ia tahu soal gaji tentara Taji-


ak

kistan. Ia pun menyebut nama-nama komandan Anda dengan


st
pu

fasihnya. Dan satu lagi, pemuda kecil ini tidak punya dokumen
lengkap. Maka yang Anda lakukan adalah:
Biarkan saja, dia turis yang mengunjungi Tajikistan.
Membantunya, menyediakan tempat yang hangat di rumah,
karena dia adalah tamu terhormat.
Mengusirnya. Orang ini berbahaya.
Tangkap. Dia itu mata-mata. Spion.
Jika Anda memilih D, maka Anda mungkin salah satu dari
sepuluhan tentara yang meringkus saya di perbatasan Tajikistan,
mengepung saya di ruang gelap, dan mengancam akan men-
jebloskan ke penjara.

497
Sebenarnya saya memulai pagi ini dengan riang gembira.
Saya kembali ke Ishkashim, kota perbatasan Afghanistan di se-
berang Sungai Amu Darya. Dua tahun berlalu, kota kecil ini
tak banyak berubah. Masih jalan berdebu yang sama, kota malas
yang sama. Sejuk, dingin, membuat ngantuk. Tetapi sekarang
lebih banyak toko berjajar, menandakan perekonomian Afgha-
nistan yang mulai menggeliat setelah bergelut perang begitu
lama.
Tetapi, hingga pukul sembilan, kota ini masih sepi. Apakah
semua penduduk di sini malas, hingga sesiang ini masih ber-
kemul selimut tebal? Bukan. Hari ini hari Minggu, hari pem-
om
bukaan pasar bersama Afghanistan dan Tajikistan. Hari Bazaar
t.c
Mushtarak. Sementara Gulchera dan Yodgor di Langar sana me-
po

rindukan pasar bersama yang menyambungkan kenangan gene-


gs
lo

rasi lawas di seberang sungai, penduduk Ishkashim lebih ber-


.b
do

untung, karena bazaar mushtarak digelar rutin setiap minggu.


in
a-

Inilah tempat berbaurnya dua bangsa, tempat rakyat dua ne-


ak

gara saling meraba imajinasi tentang negeri seberang. Lapangan


st
pu

luas di delta sungai yang dikelilingi gunung-gunung cadas di


seluruh penjuru menjadi ramai oleh ratusan orang dari kedua
negara. Dari Afghanistan, hanya ada kaum adam, yang sudah
sejak pagi berbaris tidak sabar. Mereka umumnya berserban
bundar besar, berjubah panjang kumal, memanggul gulungan
karpet atau koper ukuran jumbo. Dari Tajikistan, kebanyakan
kaum perempuan, selalu mengenakan daster warna-warni yang
kontras dengan kemonotonan kelabu Afghan.
Pasar ini semakin internasional dengan adanya para turis
yang berdatangan dari Tajikistan sana, umumnya backpacker.
Rupanya pasar ini sudah masuk buku panduan Lonely Planet

498
sebagai tempat wajib dikunjungi untuk mengintip negeri miste-
rius Afghanistan. Kamera tidak berhenti memotret pria-pria ber-
serban—atraksi unik tersendiri. Afghanistan, nama itu saja su-
dah cukup untuk membangkitkan segala romantika.
Entah mengapa, ada rasa bangga bergabung bersama para
lelaki Afghan berjenggot ini. Tinggal selama dua tahun di
Afghanistan membuat saya merasa setidaknya sebagian dari diri
saya sudah menyatu dengan mereka. Ada identitas ke-Afghan-an
yang menggebu ketika saya menyapa orang-orang Tajik itu.
”Orang Afghan selalu berperang. Mereka tidak berpendidikan
dan tidak bisa baca-tulis. Tetapi sekarang, kami bisa saling me-
om
lihat, saling belajar. Tidak ada lagi batas di antara kami,” kata
t.c
perempuan Tajik dengan penuh semangat, ”mereka juga ekspre-
po

sif, mereka bicara seperti manusia.” Cuma seperti?


gs
lo

Lelaki Afghan berjenggot berusaha melukiskan Tajikistan,


.b
do

”Tajikistan memang bebas. Tetapi, aku tahu hidup di Tajikistan


in
a-

berat sekali. Semua di sana mahal. Ya, mereka punya kebebasan,


ak

tetapi apa artinya hidup hanya dengan kebebasan? Tanpa uang?


st
pu

Bagaimana kita bisa hidup seperti itu? Perempuan mereka juga


bebas berkeliaran. Tetapi di sini kami punya ulama, kami takkan
membiarkan perempuan kami belajar menjadi orang Tajik.”
Dulu orang Afghan membeli berbagai macam yang ditawar-
kan pedagang Tajik. Sekarang, sebaliknya. Pedagang Afghan se-
makin merajai bazar ini. Banyak barang unik yang dibawa orang
Afghan. Balon, boneka, ban renang (mungkin untuk berenang
di Sungai Amu?), foto pahlawan nasional Ahmad Shah Massoud,
dan VCD pengajian. Sedangkan pedagang Tajik, jumlahnya le-
bih sedikit dan hanya ada di sudut pasar, menggelar dagangan
yang lagi-lagi mirip seperti koleksi: baju perempuan, tas kresek,

499
vodka. Vodka? Ya, inilah kesempatan orang Afghan untuk men-
cicip minuman terlarang itu.
Wanita Tajik terkenal sangat gigih menawar dan jago memaki
pedagang yang curang. Banyak di antara mereka yang memakai
kerpus, tetapi seorang perempuan muda membungkus kepalanya
rapat-rapat dengan kain hitam, mirip ninja yang hanya menyisa-
kan mata. Anehnya, leher putih mulusnya dibiarkan terbuka,
sementara tubuhnya dibalut daster biru lengan pendek.
Ia tergelak ketika saya mengamatinya. ”Tentu aku tidak ber-
pakaian seperti ini di Tajikistan. Aku cuma takut orang Afghan.
Di Afghanistan cuma ada perang. Mereka fundamentalis, aku
takut wajahku terlihat.” om
t.c
Ia lalu menatap saya lekat-lekat. ”Tunggu! Sepertinya aku
po

kenal kamu!”
gs
lo

Mana mungkin? Di antara ratusan orang ini?


.b
do

”Bukankah kamu dari Indonesia? Kamu Avgustin, kan? Aku


in
a-

ini adik Alisher. Kamu ingat? Alisher! Mohammad Bodurbekov!


ak

Ingat?” Ah... sahabat lama dari Ishkashim yang mengundang


st
pu

saya menginap! Saya terkesima. Tentu saja saya tidak mengenali-


nya karena wajahnya tertutup rapat-rapat. Gulshan namanya,
tatap matanya menghunus tajam. ”Kamu kenapa di Afghanistan
lagi? Kamu sudah seperti orang Afghan sekarang! Ayo, sekarang
kamu ikut aku pulang. Alisher bulan depan menikah, kamu
datang ya?”
Sayang, kaki saya tertambat di sini. Batas negeri merintangi.
Ini adalah titik terjauh yang bisa saya rengkuh, lebih dari portal
di seberang sana adalah Tajikistan, dan saya sama sekali tidak
punya hak bahkan untuk menginjakkan kaki sekali pun.

500
Saya dikepung tentara Tajik. Kini saya menyesal karena terlalu
bersemangat sampai lupa bahwa pasar internasional ini pun
adalah ”luar negeri”. Pertemuan dengan Gulshan membuat saya
bagai terbang ke awang-awang. Begitu pulang dari pasar, saya
menyapa para tentara Tajik, ”Privet! Salom! Yakshimisiz!”
Mereka ramah, menanyai saya dari mana mau ke mana. Per-
cakapan ini campur aduk antara bahasa Rusia, Inggris, Dari,
Tajik, dan Uzbek. Tiba-tiba wajah mereka berubah. Dahi me-
ngernyit, alis menegak seperti huruf V. ”Siapa kamu?” tanya
om
pemuda kurus. Mukanya panjang. Bulu-bulu badan menyembul
t.c
dari balik dadanya, menyelinap keluar kausnya yang bergaris pu-
po
gs

tih biru. Bibirnya yang tebal mengucap bahasa Tajik dengan


lo

aksen Uzbek kental. Ia lalu berbisik pada temannya, ”Ini orang


.b
do

berbahaya. Mana ada orang bisa bicara bahasa begini banyak?


in
a-

Brat, kamu tahu, Afghanistan di mana, Tajikistan di mana? Ini


ak

Indonesia di mana? Dia pasti mata-mata!”


st
pu

Lalu ia menatap saya. ”Kamu, jangan ke Afghanistan dulu.


Ikut kami! Kita ngobrol-ngobrol yuk di kantor.”
Ruangan kayu yang gelap adalah kantor tentara perbatasan
Tajik. Di atas meja kayu yang berjajar ada tumpukan buku dan
beberapa mesin ketik. Tas saya digeledah, semua isinya dibariskan
di atas meja. Enam baterai, tujuh kartu memori, kamera besar,
lensa, kain lap, notes, bolpoin, setumpuk surat. Kamera saya
dipreteli, diketok-ketok, mungkin saya menyembunyikan narko-
tika atau alat penyadap. Rompi kumal pun diperiksa teliti. Saya
malu, mereka menemukan permen karet busuk dari rompi yang
sudah tidak dicuci tiga bulan.

501
Komandan, bernama Vali dan bekas agen KGB, membolak-
balik paspor saya. Ia memandang paspor, lalu wajah saya, lalu
ke paspor lagi, lalu ke wajah saya lagi. ”Hmmm... foto paspor
kamu tidak mirip. Kamu yakin ini paspormu?”
Sekarang ia terbelalak melihat barisan visa Iran, Afghanistan,
dan Turkmenistan.
”Avgustin! Nama yang bagus sekali. Kamu tahu, ulang tahun-
mu hanya beda satu hari dengan anakku. Kamu tahu apa artinya
itu?” Ia bercakap dengan nada yang begitu bersahabat.
”Ya. Suatu hari nanti anak Tuan juga bisa bicara banyak ba-
hasa. Orang-orang yang dilahirkan dalam hari yang sama biasa-
nya punya bakat yang sama.” om
t.c
Lelaki gendut gagah itu tergelak, menggelegar, ”Pintar sekali!
po

Tidak salah kamu jadi mata-mata. Avgustin, saya tahu kamu


gs
lo

anak baik, tetapi apa lagi yang bisa saya lakukan? Kamu telah
.b
do

menginjak tanah Tajikistan secara ilegal.”


in
a-

”Apa yang bisa Tuan lakukan?”


ak

Ia menyilangkan telunjuk dan jari tengah tangan kanannya


st
pu

dengan telunjuk dan jari tengah tangan kiri, sambil membunyi-


kan letupan dari mulutnya. Gestur itu membuat saya terbayang
bendera Kirgizstan. ”Zindan! Penjara!” tentara lain menerjemah-
kan maksud sang komandan.
Penjara? Bukankah saya masuk ke pasar ini secara legal? Bu-
kankah pulau ini ada di tengah sungai, jadi adalah tanah netral?
”Bukan! Ini sudah masuk wilayah Tajikistan. Begitu kamu
menyeberangi jembatan, kamu sudah masuk Tajikistan! Dan
kamu tidak punya visa Tajikistan! Jangan bandingkan dengan
turis-turis yang datang dari sana, mereka adalah tamu Tajikistan.
Sedangkan kamu, penyelundup di negara kami!”

502
Visa itu adalah tiket pembukti status tamu. Saya bukan tamu.
Bahkan untuk menginjakkan kaki di atas tanah lempung ini
pun saya tak berhak. ”Tetapi, Tuan, sebelum masuk tadi,
komandan Afghan sudah mencatat nama saya. Mereka bilang
tidak ada masalah.”
”LEPASKAN DIA!!!” Lelaki berjenggot berseragam kelabu
dan bertopi pet datang tergopoh-gopoh, membentak
menggelegar. Namanya Abdul Khalil, komandan perbatasan
Afghanistan. Ialah pahlawan saya.
Vali bersikukuh. ”Tidak bisa. Orang ini melanggar batas,
masuk tanpa dokumen resmi ke bazaar mushtarak.”
om
”Orang ini punya paspor. Bagaimana kamu bilang ia
t.c
po

penyelundup?”
gs

”Tapi ia tidak punya visa Tajikistan. Bazaar ini hanya terbuka


lo
.b

untuk orang Afghan dan Tajik saja.”


do
in

”Bazar ini bernama bazaar mushtarak. Kamu tahu artinya


a-
ak

mushtarak? Bersama. Netral. Artinya terbuka untuk semua.


st

Tidak peduli ia orang dari negara mana pun, asal punya visa
pu

Afghanistan dia boleh masuk.”


Wah. Masalah saya menjadi pertikaian dua negara. Diskusi
semakin memanas. Abdul Khalil menyeret tangan saya, mengajak
saya pergi.
”Lain kali, awas! Jangan bawa orang asing lagi masuk ke
bazar ini. Kita harus menjaga keamanan negara!” Vali berteriak.
”Keamanan apa? Omong kosong!!! Di sini sistemnya juga
cuma mencatat nama. Siapa pun bisa masuk. Dokumen juga
dari dulu tidak pernah diperiksa. Al Qaeda, Taliban pun kalau
mau juga tidak susah masuk ke negaramu. Tunggu sampai ada

503
surat dari Dushanbe, dikirim langsung ke komandan di Kabul,
menyatakan pasar ini hanya untuk orang Afghanistan dan Taji-
kistan saja. Kalau tidak ada surat itu, kamu tidak usah macam-
macam dengan tamu kami. Kamu jangan cari masalah dengan
Afghanistan!”
Abdul Khalil mendengus kesal, menggandeng saya keluar
dari kantor gelap. Perasaan saya campur aduk, antara takut,
syok, dan bangga. Konsep orang Afghan untuk melindungi
tamu ternyata bukan pemanis bibir belaka. Afghanistan telah
menyelamatkan saya.
Bazaar mushtarak adalah pertemuan dua bangsa yang ter-
om
pisah oleh garis batas. Tetapi, garis batas itu tetap ada di sana.
t.c
po

Ia tetaplah sebuah pemisah. Sungai Amu Darya di bawah sana


gs

mengalir perlahan.
lo
.b

Inilah sungai agung yang menjadi batas garis hidup manusia


do
in

di sini. Bukankah ribuan tahun lalu, ia menjadi tapal batas ne-


a-
ak

geri besar Iran dan Turan, tempat sang pahlawan Rustam mem-
st

bunuh anaknya sendiri dalam pertempuran dua bangsa? Bukan-


pu

kah sungai ini pula yang memecah saudara-saudara di Wakhan


menjadi warga dua negara berbeda? Bukankah sungai ini yang
menyebabkan isak tangis Gulchera ketika berjumpa dengan
Wali Jon dari negeri seberang sungai? Bukankah dari tepian su-
ngai ini orang Afghan memandangi jalan raya Tajikistan dengan
mobil berseliweran, sementara mereka harus terombang-ambing
di punggung keledai yang terengah mendaki gunung tandus?
Impian dan imajinasi menemani masa kecil, menghantui pikiran
sepanjang hidup hingga akhir hayat.
Musim berganti. Air sungai yang sama masih mengalir. Ter-

504
kadang tenang, terkadang menggelegak marah. Terkadang lebar
bak tak berbatas, terkadang mengerut diisap dinginnya musim.
Tetapi ia terus mengalir, karena ia adalah Amu Darya sang
pemisah takdir.

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

505
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Rahmat

DENGAN wajah pucat menahan sakit, dengan mata yang sudah


nyaris hilang cahayanya, Mama memandang saya. ”Kapan buku-
mu terbit?” tanyanya lemah. Saya menggeleng, hati saya ber-
gemuruh didera cemas dan sedih. Di hadapan saya, Mama ter-
om
baring lemah. Kanker yang menggerogoti tubuhnya sudah
t.c
po

begitu hebat. Sakit yang luar biasa datang menyambang setiap


gs

beberapa menit, menyiksa jiwa dan raganya hingga ketegarannya


lo
.b

pun mulai memudar.


do

Saya sungguh tak tega setiap kali Mama bertanya, ”Kapan


in
a-

bukumu terbit?”
ak
st

Buku yang hadir di hadapan Anda ini membutuhkan waktu


pu

bertahun-tahun untuk penulisannya. Dari catatan-catatan se-


buah perjalanan keliling Asia Tengah yang dimulai pada tahun
2006 dan berakhir pada tahun 2007, kisah-kisah ini pernah
muncul di blog saya di www.avgustin.net, lalu dimuat secara
harian di rubrik petualang di Kompas.com.
Tetapi untuk menjadikannya sebagai buku, masih butuh
proses sekitar dua tahun lagi. Mulai dari menyambungkan ki-
sahnya, menguatkan benang merah, menulis ulang, hingga me-
renungkan kembali arti semua perjalanan ini. Naskah di buku
ini sudah ditulis ulang sampai empat kali, lalu hilir mudik dari
meja penulis ke meja editor sampai lusinan kali.

507
Sebuah proses yang begitu panjang... seakan tanpa akhir...
seakan tak berbatas.
Tetapi bagi Mama yang kuyu di hadapan saya, saya tahu,
batasnya hampir habis. Sebentar lagi ia akan terpisah dari ke-
hidupan ini. Ia akan melintasi sebuah garis batas—sebuah garis
yang rigid dan tak tertembus, garis yang biasa diiringi dengan
uraian tangis dan ratapan.
”Kapan bukumu terbit?” Mama bertanya. Saya berjuang ke-
ras menahan air mata yang membeludak di balik kelopak. Ia
berada dalam penantian panjang di tepian garis batas.
Buku ini hanyalah sebagian mikroskopis dari fragmen ke-
om
hidupan Mama. Bertahun-tahun dihabiskan dengan penantian
t.c
dan doa, mendambakan putranya yang melanglang di negeri
po

antah berantah. Ketika berada di pedalaman pegunungan Pa-


gs
lo

mir, atau di padang stepa Kirgizstan, atau di tengah badai salju


.b
do

Kazakhstan, saya tahu ada Mama nun jauh di Lumajang sana


in
a-

yang menitikkan air mata. Jarak adalah sebuah garis batas, te-
ak

tapi jalinan perasaan adalah penembusnya.


st
pu

Mama memang tidak berkesempatan untuk menyaksikan


karya ini, tetapi untuk penantian dan dukungannya yang luar
biasalah buku ini saya persembahkan. Juga untuk Papa yang
tidak pernah berpatah asa.
Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk para
editor, Prisca dan Hetih, yang begitu sabar dan kritis dalam me-
nyelesaikan tulisan ini. Juga untuk Maggie Tiojakin yang me-
nyumbangkan begitu banyak waktu dan pikiran sebagai editor
sukarela sejak tulisan ini hadir dalam bentuk blog. Terima kasih
pula untuk Marcel, Adhit, dan Evi yang mempercantik desain
buku ini, juga untuk Farahnaz Hashim dari Malaysia untuk ide-

508
ide desainnya yang luar biasa, serta Gramedia Pustaka Utama
yang bermurah hati untuk menerbitkan buku ini. Tak lupa pula
untuk Mbonk Margianto di Kompas yang tertarik untuk me-
mublikasikan perjalanan ini.
Terima kasih banyak untuk kawan-kawan dari milis Indo-
backpacker yang juga menjadi editor sukarela dari buku ini:
Ambar Briastuti, Mas Puguh Imanto, Suryatmaning Hany,
Sunaryo Broto, plus mas Qoris Tajuddin dari U-Mag. Akhirnya,
setelah dua tahun, tulisan ini terbit juga.
Tak lupa pula rasa terima kasih yang terdalam untuk Maria
Asten, yang begitu setia mengikuti perjalanan saya, dan memberi
om
bantuan yang tak terhingga baik secara materiil maupun moril
t.c
ketika saya mengalami musibah dan kejatuhan.
po

Perjalanan ini tentunya juga tidak akan terwujud tanpa ban-


gs
lo

tuan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kabul, Tashkent,


.b
do

dan Teheran. Terima kasih Bu Sunarti yang menjadi penanggung


in
a-

jawab visa saya; Mbak Ochal dan Bude Murti yang selalu sibuk
ak

karena saya; Bang Udin yang menyediakan tempat tinggal;


st
pu

Bapak dan Ibu Poer yang senantiasa memberi semangat; Jamilya,


Pak Fadi, Mas Adi, Mas Khamdun, Pak Iding, Pak Astawi,
Bapak Duta Besar, dan semua staf dan diplomat lainnya. Sung-
guh KBRI sudah bagaikan keluarga dan bagi saya selama berada
di Asia Tengah.
Rahmat yang terdalam bagi keramahan dan kemurahan
orang-orang Asia Tengah. Keluarga Alisher di Ishkashim, ke-
luarga Yodgor di Langar, keluarga Gulnoro di Murghab, keluarga
Mansur di Osh, keluarga Satina di Toktogul, dan ratusan kawan
lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu di sini.
Terima kasih tak terhingga untuk Temur dan Sardor uka yang

509
menyelundupkan saya ke perbatasan, untuk keluarga Ozoda
yang membuat saya terkesima oleh tarian mereka, dan untuk
keluarga Suhrat yang membawa saya ke kota kuno Bukhara.
Terima kasih tak terhingga untuk pembaca setia blog dan
rubrik Petualang di Kompas.com, tanpa dukungan Anda mus-
tahil tulisan ini akan terwujud.
Semoga karya ini boleh dinikmati. Rahmat. Spasibo.

om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu

510
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak
kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang
selama ini tersembunyi di peta dunia. –Andy Noya

Negeri apa di seberang sungai sana? Penduduk desa


Afghan setiap hari memandang ke “luar negeri” yang
hanya selebar sungai jauhnya. Memandangi mobil-
mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya duduk
dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah
cantik bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan
kumuh remang-remang yang terbuat dari batu dan
lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana
jins tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka
sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian.
om
t.c
Negeri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi tiga
po

dimensi yang menemani mimpi-mimpi mereka. Fantasi orang-


gs

orang yang hidup di seberang garis batas.


lo
.b

Fantasi yang sama membawa Agustinus Wibowo bertualang ke


do

negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan.


in
a-

Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang


ak

namanya semua berakhiran “Stan”. Perjalanan ini bukan hanya


st

mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput,


pu

menyerap kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban


Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol
komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang
takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.

dalam
ian cerita dimuat
g
Seba i pernah
in lang”
buku lom “Petua om
di k o as .c
.komp
www

Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramedia.com

Anda mungkin juga menyukai