om
t.c
po
gs
lo
.b
do
Garis Batas
in
a-
ak
st
pu
AGUSTINUS WIBOWO
Penulis Kisah Perjalanan Afghanistan “Selimut Debu”
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita
untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini
tersembunyi di peta dunia.
—Andy Noya
om
Agustinus Wibowo anak muda unik. Dia bukan saja berani keluar
t.c
dari Pulau Jawa, maupun dari khayalan soal Indonesia, lalu berjalan
po
Pasal 2:
in
a-
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
ak
Ketentuan Pidana:
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
om
t.c
po
gs
Agustinus Wibowo
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
GM 401 01 11 0012
Ukuran 13,5 x 20 cm
lo
.b
Kata Pengantar ix
Prolog: Negeri Seberang Sungai om 1
t.c
Bab 1 Tajikistan - Eksistensi Negeri Merdeka 9
po
gs
Menembus Batas 11
lo
.b
Sekat Kehidupan 46
in
a-
Peta Tajikistan 10
in
a-
hanya dua tiga menit saja. Tapi saya menunggu hampir satu jam
gs
lo
seratusan lebih calon pelintas batas. Kantor ini tak kalah dengan
a-
ak
ix
ngan setumpuk dokumen perjalanan yang telah disiapkan. Ti-
dak tampak uang beredar, kecuali kepingan uang receh di ta-
ngan anak kecil yang meminta sedekah. Mereka ini adalah
anak-anak etnis Xarba yang hidup di perbatasan Tibet-Nepal,
yang hanya dipisahkan sebuah jembatan menyeberangi Sungai
Bhote Koshi. Kedua sisi jembatan ini terlihat begitu beda. Di
pangkal jembatan tentara China gagah berpatroli dengan sen-
jata lengkap, sedangkan di ujung jembatan sana tentara Nepal
duduk–duduk santai menikmati hari.
Perbedaan bagaikan bumi dan langit. Di atas jembatan yang
sama, hanya beberapa langkah kaki saja jauhnya...
om
Dalam perjalanan darat lintas batas menyeberang dari satu
t.c
negara ke negara lain, kita bisa mengamati refleksi bagaimana
po
x
pertikaian agama, ataukah garis itu hanyalah sekedar zona pem-
bagi? Ternyata dimensi garis batas tidaklah seperti segurat garis
tegas hitam memanjang yang digambarkan di legenda peta. Ada
dimensi yang berlapis-lapis, ada kesimpangsiuran, ada kesalah-
pahaman, ada pula pembantaian—sisi gelap yang jarang di-
ceritakan jika kita ber-backpacking tanpa membaca dan merenung-
kan arti perjalanan, atau menjadikan perjalanan backpacking
semata-mata seperti piknik liburan.
Backpacking atau menjadi backpacker adalah identitas yang
ingin ditempelkan ke semua pelaku perjalanan. Tapi untuk se-
orang Agustinus, backpacking adalah proses pembelajaran, bu-
om
kanlah sekadar mengunjungi tempat, hanya demi mengatakan,
t.c
”I have been there. I have done it.”
po
xi
Asia Tengah yang namanya semua berakhiran Stan. Baginya ne-
geri pecahan Uni Soviet adalah refleksi masa lalu komunisme
dan sebuah pencarian jati diri negara-negara baru, yang tertatih
dan mencoba eksis. Hampir paralel dengan perjalanan hidup
pribadinya.
Garis batas adalah pergulatan panjang antara benturan jati
diri, dan titik-titik batas yang menurutnya semu. Baginya, ilusi
garis yang memisahkan negara adalah buatan manusia, yang
terkadang tidak mengindahkan manusia-manusia yang hidup di
dalamnya. Terkadang garis batas adalah sebuah garis imajiner
yang sangat dinamis. Garis batas tidak hanya mencerminkan
om
kedinamisan manusia itu sendiri, tetapi juga melukiskan kondisi
t.c
yang mengubah seluruh sendi kehidupan.
po
xii
latar belakang demografis membuat buku ini tampil beda.
Agustinus menjelma menjadi eksplorer yang bermertamorfosis
menjadi observer. Ia memilih merangkum, memperkaya penga-
laman backpacking dan menjadikannya seorang pejalan yang
makin arif dan kaya akan pengalaman batin.
Buku Garis Batas ini adalah bagian dari perjalanannya yang
panjang lewat darat, melalui banyak titik penyeberangan yang
jarang dilewati. Sebagai pembaca, Anda akan dibawa melihat
sudut negara yang baru muncul dua puluh tahunan silam.
Carut marut, kekacauan, ketidakadilan, dan kisah-kisah yang
menawarkan petualangan. Tetapi seperti bukunya terdahulu,
om
Selimut Debu tentang Afghanistan, ia mampu melihat kecantikan
t.c
dan keindahan di balik negeri suram nan berdebu.
po
gs
lo
.b
do
Selamat membaca.
in
a-
ak
Ambar Briastuti
st
pu
xiii
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
Prolog
t.c
om
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
NEGERI SEBERANG SUNGAI
bunyi lain yang ada. Di dalam benak saya hanya terbayang ke-
matian. Siapa pun yang terjatuh ke sana, pasti akan terseret,
terempas ke bebatuan besar nan tajam, tenggelam ke dalam air-
nya yang kejam. Tetapi sungai ini juga memberi kehidupan
kepada lembah-lembah menghijau subur yang terjepit di antara
gunung-gunung cadas yang tingginya menggapai awang-awang.
Amu Darya bukanlah sungai biasa. Dari mata airnya di
1
Rustam dan Sohrab adalah tokoh penting dalam Shahnama - ”Kitab Raja-Raja”.
Epos ini ditulis pujangga Ferdowsi (940-1020), berisi perjalanan panjang bangsa
Persia atau Iran sejak zaman dewa-dewi.
3
Pamir, pegunungan atap dunia, sungai ini dihidupi oleh salju
yang menutup puncak-puncak gunung raksasa. Alirannya begitu
deras, hingga buihnya sampai melayang ke udara. Gelegar suara-
nya melantunkan nyanyian seram dari dasar jurang. Kemudian,
ratusan kilometer dari sana, air itu mengalir ke tempat saya ber-
diri sekarang ini. Meski alirannya melambat, tetapi tetap saja
mengerikan. Di sini, ia menjadi pembelah negeri. Tanah yang
saya injak adalah Afghanistan, di seberang sungai sana adalah
Tajikistan. Terus ke hilir nanti, ada secuil Uzbekistan, tempat
sungai ini berkurang garangnya, semakin melambat, tetapi men-
jadi lebar tak terkira. Kalau perjalanan diteruskan menghilir,
om
sungai ini menjadi pembatas antara padang gurun Afghanistan
t.c
ngah padang luas, dan menjadi sengketa dua negara yang men-
a-
jadikannya sebagai tapal batas. Lalu Amu Darya pun akan mem-
ak
st
4
waktu kedua tepiannya sejauh seratus tahun, plus 60 menit—
perbedaan waktu antara Afghanistan dengan Tajikistan.
Di tepi sungai ini, saya terengah-engah bersama keledai. Ti-
dak salah kalau orang menyumpah dengan menyebut ”keledai”.
Hewan ini sungguh bodoh dan keras kepala. Terkadang ia ham-
pir jatuh ke jurang. Terkadang ia memilih jalan yang paling
terjal untuk menuruni tebing, sampai saya nyaris terjungkal.
Terkadang ia berhenti mendadak waktu mendaki, atau yang pa-
ling menyebalkan, waktu menuruni jalan yang curam. Tak pe-
duli saya sudah berteriak dengan suara tenggorokan paling
dalam, ”Bkhhekhkhkhe!!!”—perintah untuk para keledai di Afgha-
om
nistan yang artinya, ”Ayo, jalan!!!”—ditambah sampai penat ta-
t.c
ngan saya memukuli pantat keledai dengan tongkat kayu, sang
po
Tak ada ruas jalan untuk mobil, tak ada listrik yang menerangi
st
pu
5
lah jembatan kayu sederhana yang melintang, saya dengan mu-
dah akan dapat menyeberang, melenggang santai menuju jalan
beraspal di sana, lalu menunggu truk di tepi jalan, menumpang,
kemudian... melejit sampai ke kota tujuan.
Tapi, tidak! Itu cuma fantasi. Seberang sungai bukanlah ta-
nah yang begitu gampangnya dipinjak. Bagi kami di sini, itu
tanah terlarang, negeri asing tempat kami melempar angan.
Saya hanya bisa memandang iri pada jalan beraspal mulus dan
rata di seberang, sambil masih harus terus mendaki tebing ter-
jal, menuruni lereng curam berkelok-kelok, terkadang kejatuhan
longsoran kerikil, sambil menyumpahi keledai bodoh.
om
Negeri apa di seberang sungai sana? Penduduk desa setiap
t.c
hari memandangi tanah seberang seperti menonton layar film
po
6
maputra, dengan keluhuran agama-agama kunonya. Mesir se-
panjang Sungai Nil. Indocina sepanjang Mekong. Di sekitar
Amu Darya, terpancar keagungan Samarkand, Bukhara, Merv,
dan Urgench, kota-kota tua dari zaman Jalur Sutra yang meng-
hidupkan fantasi seribu satu malam.
Di depan saya terpampang Amu Darya yang sama. Amu
Darya agung yang tak lekang dalam sejarah dan peradaban silih
berganti! Amu Darya hebat yang dipuja para pujangga! Amu
Darya yang menjadi arena pertempuran bangsa-bangsa! Semen-
tara saya cuma duduk di atas punggung keledai, memandang iri
ke arah iring-iringan mobil di seberang sungai.
om
t.c
po
gs
lo
kita dipengaruhi olehnya. Pola pikir kita, uang yang kita pegang,
ak
7
Bangsa-bangsa punya zona aman masing-masing, dilindungi
oleh garis batas negeri. Sering kali, pertumpahan darah tak ter-
elakkan hanya demi goresan garis-garis di atas peta. Inilah per-
jalanan hidup manusia! Sejak lahir, manusia bertumbuh, ber-
juang, bekerja demi kemapanan, bertarung, hingga datangnya
akhir hayat. Sejak awal peradaban manusia, mulai dari kehi-
dupan primitif di goa, para pemburu di hutan, kaum nomad di
padang rumput, takhta raja-raja berdarah biru, benteng-benteng
dan tembok raksasa, hingga republik modern, zona aman se-
makin kokoh dan berstruktur. Bangsa-bangsa berperang, ber-
negosiasi, berdiplomasi, bersekutu, berseteru, bertikai lagi, hing-
om
ga akhirnya hancur lebur, semua terkait urusan zona aman,
t.c
melindungi batas-batas dan kebanggaan mereka.
po
dimensi berbeda.
ak
8
Bab 1
Tajikistan
Eksistensi Negeri Merdeka
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
Pepatah Tajik
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
MENEMBUS BATAS
11
gungan, berhubungan, menjalin asmara, atau berzina. Jangankan
hal-hal yang intim seperti itu, menyebut nama perempuan pun
sudah bisa dianggap menginjak-injak martabat. Jangan memotret
perempuan! Jangan menatap ke sana, ada perempuan! Awas,
tundukkan kepalamu, ada perempuan tak bercadar lewat! Awas,
hati-hati dengan bicaramu, nanti terdengar perempuan! Jaga
candamu! Peganglah adatmu! Ingatlah batasmu!
Bagi kaum perempuan, garis batas itu lebih gamblang. Pe-
rempuan Afghan menjadi makhluk anonim tak berwajah ter-
balut burqa. Kerudung yang membungkus total dan menihilkan
identitas perempuan adalah sebuah garis batas portabel, mem-
om
batasi interaksi, mengurung manusia dalam lingkaran masing-
t.c
masing, membungkus kecantikan yang misterius.
po
hal-hal yang berada di luar garis batas itu selalu menggoda un-
tuk dijamah? Semua misteri dan tabu menarik untuk ditelusuri?
Meskipun semuanya itu pada akhirnya terbalut rasa ingin tahu,
ketakutan, tantangan, nafsu, rasa berdosa, pemberontakan? Bu-
kankah otak manusia sepertinya diciptakan untuk melawan?
Melawan aturan yang mengungkung. Melawan tindasan norma
dan adat. Melawan garis batas yang tergores keras. Menembusnya,
lalu meneriakkan pekik merdeka? Cantik, cantik, cantik, saya
kini memberanikan diri mendongakkan kepala, mengarahkan
pandangan ke arah perempuan Tajik berkulit putih ini. Saya
memandang tanpa berkedip, mungkin gara-gara terlalu lama
12
tinggal di Afghanistan. Benar-benar suatu kekurangajaran, te-
tapi, aaaah... bukankah garis batas itu sudah terlintasi?
Rambut pirangnya tergerai lepas, ayunya membuat saya ter-
sadar bahwa di Asia pun ada bangsa yang berwajah Aria. Hidung
mancungnya menjulang tinggi, bak puncak gunung raksasa yang
menyambut siapa pun yang menyeberangi Sungai Amu ke
Tajikistan. Suaranya melengking. Seragamnya berlengan pendek,
roknya hanya selutut, menampilkan kulit putih mulus. Garis
batas itu bukan hanya Sungai Amu yang memisahkan pegu-
nungan Tajikistan dari gunung-gunung yang nyaris sama persis
kepunyaan Afghanistan. Menyeberangi sungai ini, saya pun te-
om
lah menyeberangi garis batas ideologi dan spiritual, garis batas
t.c
kultur dan penjelajahan imajinasi. Kungkungan norma yang
po
13
bagian besar dipisahkan hanya selebar sungai saja. Dari sini,
penyelundupan obat terlarang menerjang, membanjiri Asia
Tengah, meluber hingga Rusia dan Eropa. Petugas imigrasi juga
sibuk mengincar peluru, bahan peledak, buku-buku religius,
mata uang asing, barang antik, bibit tanaman, ganja.... Jari-jari
terus menyusuri tumpukan baju kumal. Dari tas satu ke tas
berikutnya. Sepanjang hari. Tujuh hari seminggu. Visa distempel,
kartu deklarasi bea cukai ditandatangani, lembaran dolar
mengalir dari kantong kumal ke laci komandan, atau—sering
juga—ke balik kantong seragam petugas yang tak mau bersusah
payah memberi kuitansi. Begitulah prosedur melintasi per-
om
batasan, bagian dari birokrasi untuk melindungi garis batas.
t.c
Imigrasi adalah pagar pengawal ide-ide besar, eksistensi dari
po
14
”Dua minggu! Semua staf cuti pulang kampung.” Saya tersentak.
Dua minggu! Apakah di Tajikistan sana sedang ada perayaan
besar? Ataukah semua pegawainya tiba-tiba berhasrat melaku-
kan piknik massal? Sungguh aneh, institusi negara ini mirip
perusahaan pribadi, bisa buka-tutup sekehendak hati pemiliknya,
dan sekali libur bisa langsung seminggu, dua minggu, sebulan,
dua bulan, tergantung mood.
Tanpa pilihan lain, saya langsung memutar haluan ke arah
Kedutaan Indonesia. Kekuasaan dilawan dengan kekuasaan.
Birokrat dilawan dengan birokrat. Rakyat kecil hanya bisa ber-
main siasat.
om
Kedutaan Besar Republik Indonesia juga dikelilingi pagar,
t.c
sama-sama tinggi dan tebal. Di kota ini, pagar dan tembok ting-
po
15
bedil Kalashnikov itu berlaku hukum Tajikistan. Kompleks ge-
dung ini adalah secuil Tajikistan di tengah Afghanistan. Di da-
lam sana, ada sejumlah orang yang memiliki imunitas, tak ter-
jamah hukum yang berlaku di negeri Afghan. Bendera yang
berkibar gagah di balik keangkuhan tembok dan di hadapan
gedung mewah itu lambang kebanggaan, kekuasaan, dan keluar-
biasaan.
Namun, keluarbiasaan macam apa yang hendak dipancarkan?
Bendera itu berkibar lunglai. Tali ujung pengikat atasnya lepas,
terkait ke tiang hanya dengan satu simpul tali di bawah, bendera
berkibar terbalik. Hijau-putih-merah. Bendera Tajikistan seka-
rang terlihat seperti bendera Iran. om
t.c
Saya teringat ketika pasukan pengibar bendera di sekolah
po
adalah hal yang tabu dilihat. Aib. Simbol sakral tampil dalam
ak
16
tinggi”-nya. ”Kamu mau yang mana?” tanyanya, menawarkan
daftar menu visa Tajikistan. Waktu pengurusan tiga hari, kelas
ekonomi yang ”lambat belum tentu selamat”, 150 dolar. Dua
hari, kelas eksekutif, 200 dolar. Yang ekstrakilat, selesai hari ini
juga, dijamin beres, 250 dolar. Sebagai backpacker dengan dom-
pet tipis, tentu saya memilih yang paling murah. Tapi saya masih
ada pesanan tambahan, ”Visa ini nanti harus berlaku untuk
masuk ke provinsi GBAO di Tajikistan ya, Pak!”
Meski tidak tahu apa itu GBAO, Pak Kasim langsung me-
nyanggupi. Negosiasi kembali berlangsung di balik tembok.
Gara-gara permintaan tambahan itu, saya disuruh merogoh
om
kocek 100 dolar AS lagi. Ini harga termahal untuk secarik visa
t.c
yang pernah saya bayar, setara dengan biaya hidup saya satu
po
nya hanya seperti ini, seharusnya saya juga bisa coret-coret sen-
st
pu
diri.
”Tak pernah terbayangkan ada kedutaan macam ini, diplo-
matnya cuma pakai celana pendek,” kata Pak Kasim, ”segepok
stiker visa sudah ada di saku celana. Tinggal dikeluarkan, di-
tempel, dicoret-coret, ditandatangani. Yup! Begitulah visa Taji-
kistan dibuat.”
Proses sesederhana itu, sepersonal itu, membutuhkan banyak
biaya. Di beberapa negara tertentu, birokrasi dan korupsi me-
mang sudah nyaris bersinonim. Pemilik tanda tangan istimewa
serupa dengan pemilik pabrik uang. Cukup coret-coret saja,
uang pun mengalir ke kantong pribadi.
17
Dengan visa tertempel di paspor, saya telah menembus satu
garis batas virtual negeri itu. Saya telah dianugerahi hak khusus
untuk menembus garis batas fisik Tajikistan di utara sana. Pe-
tualangan mengungkap misteri negeri-negeri Stan pecahan Uni
Soviet akan segera dimulai.
Sebelum lima belas tahun lalu, tak banyak orang tahu tentang
negara Tajikistan. Negara ini tidak ada di peta dunia. Tajikistan,
sebagaimana juga negara-negara berakhiran ”stan” lainnya,
om
bukanlah daerah istimewa yang harus ditandai dengan garis te-
t.c
bal dan warna berbeda. Mereka adalah bagian dari raksasa Uni
po
diberi corak merah yang sama. Ketika itu, melihat Uni Soviet
.b
do
Negara apa itu? Gede banget ya.” Luas Uni Soviet sekitar 15 per-
ak
18
10 ribu kilometer, terbagi dalam sebelas zona waktu, mulai dari
kepulauan salju di Lingkar Arktik sampai ke hutan tundra
Siberia dan Pegunungan Kaukasus, dari Kamchatka hingga
Kaliningrad, dari pusat peradaban Slavik di Moskow dan Saint
Petersburg hingga ke kebudayaan Muslim Tatar yang misterius.
Jika keempat belas negara bekas Uni Soviet digabungkan jadi
satu, luasnya masih tak cukup untuk menandingi satu Rusia.
Bahkan separuhnya pun tak ada.
Rusia dan satelit-satelitnya tampak seperti tuan besar yang
dikelilingi para pembantunya. Rusia tetaplah induk semang
yang dikagumi, walau terkadang dibenci dan ditakuti. Sementara
om
Tajikistan kecil, dunia lupa siapa dia. Perang sempat berkecamuk
t.c
di negeri ini selama bertahun-tahun, tapi seakan tertelan oleh
po
2
Hamas adalah salah satu faksi yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina
dari Israel. Dalam bahasa Inggris, Palestine terdengar seperti Paleh-stan.
19
sunyian, bak kota hantu yang ditiup desingan angin gurun.
Nuansa bulan Ramadan terasa begitu kental di negeri religius
ini. Semua toko dan restoran tutup, matahari menyengat, orang
tak terlihat di jalanan. Saat suara azan Magrib terdengar, ke-
gembiraan nyata segera terlukis di wajah belasan pemuda yang
sudah tidak sabar menyeberang ke Tajikistan keesokan harinya.
Mereka adalah tipikal pemuda Afghanistan, dengan alis te-
bal, kumis tipis dan cambang klimis menempel di dagu, me-
ngenakan jubah panjang kedodoran dan celana kombor mirip
pakaian Aladdin, plus aroma kambing dari kebab yang menusuk.
Dalam benak mereka sekarang hanya ada satu impian—yang ke-
om
betulan sama dengan saya—secepat mungkin meninggalkan
t.c
Afghanistan untuk mereguk dunia berbeda, hidup baru, di
po
kaligus kedamaian.
ak
20
got, jubah, dan kopiah, identik dengan kefanatikan agama di
Afghanistan, sementara orang Tajikistan—kata ayah pemuda
itu—tidak bakal menyukainya, karena yang berlaku di sana ada-
lah modernitas ala Eropa seperti yang diperkenalkan Rusia: jas,
dasi, kemeja, sepatu, dan tas kerja.
Semua lelaki Tajik di sini memakai kemeja dan celana pan-
jang, beberapa memakai topi kecil hitam bertengger miring di
batok kepala dan mengenakan jubah tebal yang menjuntai mi-
rip jas kebesaran seorang raja. Kaum perempuan pun membiar-
kan rambut mereka tergerai. Beberapa dari mereka membungkus
rambut dengan kain kerpus, semacam syal yang dalam bahasa
om
Rusia disebut platok, dan masih memperlihatkan leher indah
t.c
yang putih dan jenjang. Jarang sekali terlihat perempuan me-
po
21
kesulitan berkomunikasi. Bahasa Dari di Afghanistan, bahasa
Tajik, dan bahasa Farsi di Iran semuanya adalah bahasa Persia,
hanya berbeda varian. Namun bahasa yang sama, begitu lewat
garis batas negara, ditulis dalam huruf berbeda. Bahasa Dari
dan Farsi ditulis dengan huruf Arab, sedangkan bahasa Tajik
ditulis dengan huruf Rusia.
Bahasa Tajik juga mengingsut. Bila dahulu bahasa Persia ada-
lah bahasa kaum beradab di Asia Tengah, lingua franca bagi
imperium yang berjalan tiga ribuan tahun, nasibnya kini hanya
menjadi bahasa lokal yang dipakai di republik tak terkenal, di-
tulis dengan huruf Sirilik3, dicabut dari akar sejarah masa lalu-
om
nya. Bahasa Tajik yang terputus dari Iran dan Afghanistan, nya-
t.c
ris tak banyak berubah sejak seabad silam. Orang Tajik sudah
po
Islam. Tak heran ketika kini pintu batas itu dibuka, sesama
in
a-
3
Alfabet Rusia
4
Istilah ”mengobrol” dalam bahasa Melayu
22
Foto besar presiden Emomali Rahmon menghiasi poster langit
biru dan barisan puncak salju. Karakter Rusia berderet, me-
nyuarakan titah sang presiden: ”Air demi Kehidupan” dan ”Taji-
kistan—Gerbang Emas Jalur Sutra”. Baliho lainnya, lagi-lagi de-
retan pegunungan salju dengan langit biru, bertuliskan ”Selamat
Datang di Tajikistan”.
Bagi mahasiswa Afghan, poster-poster itu hanyalah gambar
tanpa makna. Huruf-huruf Sirilik itu seketika mengasingkan
mereka.
Ya. Selamat datang di Tajikistan. Selamat datang di dunia
baru di seberang garis batas.
om
t.c
po
gs
lo
23
pun bisa disebut Tajikland, Uzbekland. Kita pun bisa ganti nama
jadi Indonestan, Jawastan, Balistan, Papuastan.
Sedangkan Tajik, Uzbek, Kirgiz, Kazakh, dan Turkmen ada-
lah nama etnis yang mendiami setiap negara. Sungguh ideal. Di
sini, negeri-negeri memang tercipta untuk masing-masing bang-
sa.
Kelahiran negara-negara Stan dibidani komunis Rusia yang
berhasil menduduki Asia Tengah. Dahulu kala, ini adalah tanah
legendaris bernama Turkistan, negerinya bangsa Turki, umat
Muslim dengan peninggalan kota-kota Jalur Sutra yang ber-
kilauan. Untuk memperkuat kedudukannya, setelah melahap
om
Kesultanan Bukhara dan Khiva, Rusia melakukan politik divide
t.c
et impera, memecah Islam dan Turki. Dikirimlah para ahli etno-
po
bedaan” bangsa-bangsa.
.b
do
24
negara bagi mereka. Tahun 1924, orang Uzbek dan Turkmen
masing-masing mendapat Uzbekistan dan Turkmenia. Lalu
muncullah Tajikistan, Kazakhstan, dan Kirgizia. Sebagai negara
bagian di bawah Uni Soviet, semuanya berlabel ”Republik
Sosialis Soviet”, tunduk di bawah kendali Moskow.
Setelah 60 tahun lebih berselang, barulah Tajikistan dapat
menyebut diri dengan bangga sebagai ”Republik Tajikistan”.
Merdeka!
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
25
DI BAWAH BAYANG ARWAH
MASA LALU
di telinga saya.
Orang asing yang datang ke Tajikistan, selain dipusingkan
masalah visa dan diplomat korup, masih harus pula berurusan
dengan njelimet-nya peraturan ini itu yang susah dipahami apa-
mengapanya. Dalam waktu kurang dari 3 x 24 jam sejak meng-
injakkan kaki di tanah bangsa Tajik, kita wajib mendaftarkan
diri ke kantor OVIR, alias Kantor Visa dan Registrasi. Polisi
bakal mencatat kita tinggal di mana, dengan siapa, berapa lama,
dan untuk tujuan apa. Tanpa registrasi, siap-siap merogoh kocek
sampai jutaan Rupiah untuk menyogok petugas imigrasi di per-
batasan nanti. Dan registrasi ini—tak perlu kaget—tidak gratis.
26
Untungnya, kita tak perlu repot-repot menyambangi sendiri
kantor OVIR yang terkenal angker itu. Hotel resmi juga bisa
meregistrasikan tamu asing yang menginap. Saya langsung me-
nuju Hotel Vakhsh, bangunan raksasa buruk rupa di tengah
kota yang arsitekturnya mengingatkan pada gaya birokrasi komu-
nisme: besar, membosankan, menakutkan. Padahal, namanya
sungguh indah, Vakhsh adalah nama lain sang Amu Darya.
”Sepuluh dolar!” kata wanita administrator di balik meja
besarnya dengan tegas menyatakan harga kamar. Administrator
punya kuasa penuh untuk menentukan tamu yang boleh
menginap, memeriksa dokumen, dan melaporkan kepada polisi.
om
Perempuan berwajah penuh kerut dan bertudung platok itu
t.c
begitu ketus saat menanggapi saya yang berusaha menawar.
po
27
cukup besar nilainya. Satu dolar Amerika hanya bernilai 3,45
Somoni. Tiga puluh Somoni, hampir 80.000 rupiah, mahal
sekali.
”Lima belas Somoni?”
”Dua puluh Somoni! Sudah! Tidak bisa ditawar lagi! Regis-
trasi untuk tujuh hari, tidak lebih!” katanya menutup pembi-
caraan. Sungguh berat rasanya mengeluarkan lembaran Somoni
dari dompet saya yang juga tidak tebal. Uang sebesar itu hanya
untuk sobekan kertas buram, distempel dengan cap hotel, di-
coret-coret sendiri, ditempel di halaman paspor.
Hah? Ini yang namanya registrasi? Bukankah semua orang
om
juga bisa bikin cap seperti ini? Bukankah hanya imigrasi dan
t.c
kedutaan yang berwenang mengutak-atik paspor? Sungguh he-
po
bat hotel ini. Tidak ada tanda terima, tidak ada catatan apa-apa,
gs
lo
siapa uang itu mengalir. Entah apakah cap hotel angker ini bisa
ak
28
Gadis-gadis Rusia yang berwajah aduhai, berpostur tinggi, de-
ngan rambut pirang tergerai, mendetaki perputaran waktu
Dushanbe yang lambat dengan derap hak sepatu mereka yang
menggema di antara kepungan puncak gunung salju yang me-
ngelilingi kota.
Tajikistan berbangga diri karena pegunungannya yang tak
kalah indah dari Swiss. Gambar gunung sampai masuk ke lam-
bang negara. Sekitar 93 persen wilayah Tajikistan adalah pe-
gunungan, banyak yang berketinggian sampai empat ribuan
meter lebih, menyambung terus sampai ke Himalaya. Hanya tu-
juh persen sisa wilayahnya yang bisa digunakan untuk pertanian
dan pemukiman. om
t.c
5
Hidangan mirip sate
29
ke pedalaman. Bukan hanya bisa baca tulis, tetapi sampai men-
jadi sarjana.
Pelajar di negeri ini, dari SD sampai universitas, mengenakan
pakaian ekslusif bak pebisnis internasional. ”Penampilan pen-
ting sekali di sini,” kata Alyurov Bakhriddin, seorang mahasiswa.
Harga jas yang dikenakannya tak kurang dari seratus dolar. Bu-
daya Rusia melekat di tubuhnya. Kebanggaan Tajik-nya bercam-
pur dengan kebanggaan yang dibawa peradaban Rusia. Bahkan
dalam namanya pun, ada jejak Rusia.
Di awal abad ke-20, para penguasa di Moskow memberlakukan
aturan, nama orang Tajik harus seperti orang Rusia: terdiri atas
om
nama marga, nama sebenarnya, diikuti nama ayah. Ali bin
t.c
Mahmud bin Abdullah tiba-tiba menjadi Abdullayev Ali
po
6
Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Emomalii Rahmon. Tambahan satu
huruf i adalah artikel penghubung dalam bahasa Tajik.
30
Bakhriddin juga kerja sambilan, pendapatannya masih jauh dari
cukup. Begitu pulang dari kampus, ia langsung menggantungkan
jas hitam mahalnya, melepas dasi dan kemejanya, kemudian
menjelma menjadi orang biasa. Ia harus bekerja semalam suntuk
hingga esok paginya.
Di balik jas mahal itu ternyata hidup tidak selalu indah.
7
Ejaan bahasa Tajik mentransliterasikan ”a panjang” (yang dilambangkan dengan
huruf alif dalam tulisan Arab) sebagai huruf ”o”. Misalnya, Sāmāni jadi Somoni,
Tājikistān menjadi Tojikiston, Irān menjadi Eron, dan Islām menjadi Islom
31
tongkat matahari berwarna emas, laksana pahlawan yang
membawa peradaban ke kegelapan dunia. Tingginya sampai
sebelas meter. Kepalanya bermahkotakan emas8. Dinasti Samani
terbentang dari Iran, Afghanistan, Turkmenistan, Uzbekistan,
sampai Tajikistan. Dinasti ini juga menjadi pusat peradaban
Islam, menghasilkan kota-kota agung seperti Samarkand,
Bukhara, Balkh, Herat, Mashhad, Nishapur, Merv... nama-nama
yang dibanggakan umat Muslim seluruh dunia. Kala itu, se-
jarawan, ilmuwan, matematikawan, astronom, ahli fiqih, pu-
jangga Muslim menghasilkan mahakarya yang dipuja sepanjang
masa.
om
Tajikistan begitu mencintai dinasti Samani. Masa kejayaan
t.c
Samani diklaim ”kegemilangan peradaban Tajik”. Gunung
po
Ketika mata uang Rubel Tajik hancur lebur, lahirlah mata uang
in
a-
lambang negara.
st
pu
8
Mahkota sangat spesial di negara ini. Dalam bahasa Persia dan Arab, mahkota
disebut taj, yang konon menjadi asal mula nama Tajik.
9
Bapak Kedokteran Dunia, dikenal di dunia Barat sebagai Avicenna
32
tanya bagaimana negara kecil dan terlupakan di tengah barisan
gunung ini pernah punya sejarah yang begitu agung?
Tunggu dulu! Para ”pahlawan nasional” Tajikistan ternyata
bukan cuma milik Tajikistan sendiri, tetapi juga diklaim negara-
negara lain. Ibu kota Samani dan kuburan Ismail Somoni ada
di Uzbekistan. Rumi, Rudaki, Ferdowsi, Ibnu Sina, dan
seterusnya, adalah sekaligus pahlawan di Iran, Afghanistan, di
Uzbekistan....
Orang Tajik menggebu-gebu mengisahkan betapa Rudaki
yang mereka banggakan terlahir di tanah Tajikistan, lalu mereka
mendirikan patungnya di mana-mana, sementara orang Iran
om
tertawa sinis, menyebut Rudaki adalah pahlawan kesusastraan
t.c
Persia dan Tajikistan tak lebih dari pinggiran kekuasaan Persia
po
33
kecil Dushanbe, yang namanya berarti ”Senin” karena terkenal
akan Pasar Senin-nya, dijadikan ibu kota. Namanya diganti
menjadi Stalinabad, ”kota Stalin”, dari nama sang diktator yang
menciptakan negeri-negeri ini. Kalender menunjukkan angka
1929, Tajikistan terlahir ke muka bumi.
Betapa anehnya bentuk negara Tajikistan. Dalam imajinasi
saya, seperti seekor binatang kecil yang merangkak, dengan ke-
pala yang menoleh ke arah raksasa Cina di belakang. Lehernya
sempit, rapuh, seakan nyaris terputus menyokong ”kepala” itu.
Pusat peradaban Tajik di Samarkand dan Bukhara tetap menjadi
bagian Uzbekistan, sedangkan ”kepala” di bagian utara Tajikistan
om
sebenarnya adalah daerah Leninabad yang didiami orang Uzbek
t.c
tetapi dimasukkan ke Tajikistan untuk memenuhi syarat mini-
po
dah ada sejak ribuan tahun lalu, ada bukti sejarahnya! Kau lihat
st
pu
34
Gadis itu menampakkan wajah tidak senang, rasa nasionalis-
me dan patriotisme yang membakar semangatnya seperti ter-
injak-injak. Bangsa mana yang mau negaranya disebut sebagai
negara buatan? Seperti halnya orang Indonesia mana yang rela
berterima kasih kepada Belanda yang telah mempersatukan dari
Sabang sampai Merauke? Lupakan sejarah penjajahan itu, masa
lalu yang memalukan itu. Bagi Marsha, Tajikistan sudah ada
sejak zaman Ismail Samani, sebagai negeri besar dan beradab.
Titik.
Memang aneh rasanya jika patung Stalin yang berdiri di Ja-
lan Rudaki, menggantikan Ismail Somoni. Memang aneh mem-
om
bayangkan penduduk negeri ini mengagung-agungkan diktator
t.c
dari Kaukasus itu sebagai pahlawan agung, nenek moyang me-
po
35
ribu hingga sejutaan nyawa, dan persengketaan berdarah atas
Kashmir, plus bonus terorisme, perang, ketakutan, kemiskinan,
kebencian. Pakistan dan Afghanistan dibelah garis batas Durand
buatan Inggris yang mengiris tanah bangsa Pashtun. Israel de-
ngan Palestina. Armenia dengan Azerbaijan. Kurdistan. Balu-
chistan. Negara-negara Afrika. Indonesia dan Malaysia, bukan
hanya berkonfrontasi, bersengketa soal perbatasan, tetapi juga
sejarah, adat, lagu daerah, dan ”hak paten” budaya.
Sejarah dan peradaban masa lalu bak permata dalam peti
harta karun. Setiap negara modern yang muncul saling mem-
perebutkan haknya, mengiris-iris harta itu dalam kurungan garis
om
batas. Mana punyamu, mana punyaku? Mana pahlawanku,
t.c
po
36
”Hei. Privet10. Kamu tahu sekarang bulan Ramadan? Ini mohi
sharif, bulan suci. Jadi kamu harus berbuat kebaikan.” Sebuah
gigi taring dari emas berkilau, seakan bersaing dengan gemerlap
mahkota Somoni.
Kebaikan? Kebaikan mana lagi yang diharapkannya selain
selembar uang 10 Somoni?
”Uang ini untuk orang miskin,” polisi itu berusaha meyakin-
kan. Orang miskin? Dengan menahan tawa, saya mengusap-
usap perut gendut sang polisi. ”Orang miskin” kok perutnya
besar begini?
Polisi itu tersipu. Saya mengeluarkan trik andalan: berbalik
om
menceritakan kemalangan. Siapa yang lebih memelas? Saya ber-
t.c
cerita tentang bergepok-gepok uang yang dicuri di hotel, sambil
po
air mata.
.b
do
pergi.
st
pu
10
Halo (bahasa Rusia)
37
Jalan bolong-bolong ini adalah peninggalan Rusia. Gunung-
gunung salju Tajikistan nyaris tak tertembus, tetapi para insinyur
Uni Soviet membangun jalan yang merambah hingga ke pelosok
terpencil imperium mereka. Setelah Tajikistan merdeka, ambruk
dalam perang, jalan-jalan gunung ini tetap bolong-bolong.
Ini jalan maut. Inilah ”leher” sempit yang menghubungkan
Dushanbe dengan ”kepala” di utara Tajikistan. Di atas peta,
leher itu terlihat rapuh, seperti hampir patah dan tertekuk.
Pada kenyataannya, memang hanya berupa seutas jalan curam
om
di punggung gunung yang begitu dekat di bibir kematian. Jalan
t.c
po
mobil lain, salah satunya bisa... bisa... ah... seram sekali mem-
a-
ak
bayangkannya.
st
pu
38
lainnya yang turun tangan: Cina. Negara raksasa ini sudah
membuktikan kemampuannya membangun jalan melintasi Pe-
gunungan Karakorum dan Himalaya di Pakistan, meliuk-liuk di
punggung gunung padas raksasa di tepi jurang dan sungai deras.
Cina juga mendanai ratusan proyek infrastruktur di Afghanistan,
Myanmar, Laos, Indonesia, hingga ke negara-negara Afrika. Gu-
nung-gunung raksasa Tajikistan, ah, itu sudah bukan tantangan
baru.
Sepanjang jalan, tampak pekerja Cina di mana-mana. Ada
yang menyetir traktor, mengukur jalan, ada pula pekerja kasar
yang menatah batu-batu besar. Mengapa pekerja kasar pun ha-
rus didatangkan dari luar negeri? om
t.c
”Tajikistan tidak punya cukup teknologi,” penumpang se-
po
hasil kerja orang Tajik? Atau mungkin gaji buruh Cina lebih
.b
do
39
lagi dengan gunung terjal yang lain. Di bawah sana, tampak
dunia damai—lembah hijau dengan desa kecil beserta rumah-ru-
mah kayunya.
Mobil terengah, menyemburkan gas hitam dalam interval
yang semakin lama semakin pendek. Ketika mobil harus meni-
kung di beberapa kelokan sekaligus, isi perut seperti terlempar
ke kiri, lalu ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi.
”Nihao! Nihao! Hao bu hao?” sapa penduduk desa di kaki gu-
nung setelah Puncak Anzob. Gara-gara berwajah Mongoloid,
saya sering disangka sebagai insinyur dari Tiongkok. Anak-anak
mengelilingi saya seperti tidak pernah melihat orang asing,
om
mengamati lekat-lekat, berusaha berkomunikasi dengan koleksi
t.c
kosa kata changchung... changchung, Dzhakhie Chan, kong fu, hai
po
pasar, tak ada angin tak ada hujan, langsung mengajukan per-
.b
do
40
Apa benar usia kota bisa dijadikan tolok ukur tinggi-rendah-
nya peradaban? Semakin tua, semakin maju pula peradaban me-
reka? Paris, yang dibangun sekitar 250 SM. Roma, 750 SM.
Beirut, 1500 SM. Beijing, Yerusalem, Kairo, Athena, Samarkand,
Bukhara, Merv..., dan kini, Istaravshan? Dari perspektif makhluk
fana seperti manusia, usia itu merepresentasikan simbol ke-
abadian yang sulit dicerna oleh nalar terbatas.
Istaravshan bukanlah kota kuno yang senantiasa berjaya. Ia
pernah menjadi pusat peradaban, pernah pula menghilang di-
telan zaman. Ia pernah menjadi kota Yunani zaman Iskandar
Agung, menjadi pusat kebudayaan Islam di bawah dinasti
om
Samani dan Timurid, hancur lebur di bawah keganasan pasukan
t.c
Mongol, kini menjadi kota kecil bergaya Soviet. Istaravshan ada-
po
41
Kubah-kubah terus bersinar. Keheningan menyelimuti. Apa-
kah memang seperti ini rasanya ketika berada di kota sekuno
ini? Sepi... angin berdesing, menyanyikan lagu hampa. Saya de-
ngan semangat terus mendaki.
Napas saya masih terengah-engah ketika nyaris tersungkur di
puncak bukit gundul ini. Kecewa langsung menyambut. Ini bu-
kan bangunan kuno! Bukan peradaban 2500 tahun yang men-
jadi fantasi saya di bawah bukit sana! Ini bangunan baru, tak
lebih dari sepuluh tahun umurnya, dibangun oleh pemerintah
Tajikistan untuk merayakan ulang tahun Istaravshan untuk
mengenang dan menggembar-gemborkan sejarah ribuan tahun
itu. om
t.c
Saya berjalan melintasi pintu oval yang melambung tinggi,
po
42
Nuansa Islam di bagian kota kuno Istaravshan begitu kental.
Kaum perempuan banyak yang mengenakan jilbab atau keru-
dung. Penduduknya campuran Tajik dan Uzbek. Kalau bicara
bahasa Tajik, logat Uzbek-nya kental sekali, sampai susah di-
mengerti. Nuansa Ramadan digemakan masjid-masjid kuno
yang melantunkan azan, berkontras dengan keramaian pedagang
yang menjual vodka di pinggir jalan, persis seperti di Dushanbe.
Islom, namanya berarti ”Islam”, pria empat puluh tahunan
bertubuh tambun dengan topi hitam bersudut empat yang ber-
tengger di kepala, mengundang saya berbuka puasa bersama di
suatu hari. Iftar—berbuka puasa—kata Islom adalah bagian pen-
om
ting dari kultur Tajik. Bukan cuma berbuka untuk diri sendiri,
t.c
iftar akan lebih bernilai jika berbagi makanan dengan musafir.
po
jumlahnya.”
Azan Magrib membahana. Islom mengerakkan bibirnya dan
mengucap doa sambil mengangkat kedua tangannya di udara
dengan telapak tangan terbuka. ”Bismillah irrahman irrahim,”
gumamnya seraya menyobek roti nan dan membagikannya
kepada lima pria lain yang duduk semeja dengan kami. Makanan
yang tersedia di atas meja hanya salad. Saya langsung memuji
kesederhanaan warga Tajikistan dalam ber-iftar.
”Jangan salah! Menu utamanya belum keluar!”
Secepat kalimat itu meluncur dari bibir Islom, seorang pe-
layan datang membawa senampan besar bola-bola daging yang
43
mengapung di atas saus berminyak. Masing-masingnya berukuran
satu kepalan tangan orang dewasa.
Sayang saya sudah telanjur menghantam hidangan pembuka
sehingga tak ada lagi ruang dalam perut. Masih datang pula
sajian irisan melon Asia Tengah yang termasyhur manisnya.
Begitu digigit, sepertinya cairan gula yang dingin meluber ke
seluruh penjuru mulut. Segarnya....
Sehabis makan, mengikuti kebiasaan di Asia Tengah, kami
mengucap syukur seraya mengusap wajah kami dengan kedua
tangan. ”Amin.”
Islom mengantar saya kembali ke penginapan tempat saya
om
bermalam. Jalan kota Istaravshan tampak gelap gulita, tidak ada
t.c
sumber penerangan sama sekali, membuat bulu kuduk berdiri.
po
Orang mulai kecewa dengan masa depan yang suram. Apa yang
bisa diharapkan? Perang? Kebangkrutan? Pengangguran massal?
Sekarang jangankan membangun fasilitas baru, merawat warisan
Rusia pun susah, sampai harus mengundang insinyur dan tu-
kang batu dari Cina.
Hubungan antara negara penjajah dengan negeri terjajah
adalah hubungan vertikal. Tuan di atas, hamba di bawah, yang
satu superior, lainnya inferior. Kalimat Islom yang menyalahkan
penjajah ”lupa” meninggalkan sesuatu di negara jajahannya,
membuat saya teringat teman Indonesia yang berkata, ”Ah, se-
andainya kita dijajah Inggris, bukan Belanda, pasti kita semaju
44
Malaysia atau Singapura.” Ah, mental bangsa terjajah yang di-
rundung inferiority complex, tak lagi percaya diri setelah kehinaan
begitu lama, lalu mencari kebanggaan dalam sejarah masa lalu
dan simbol-simbol abstrak belaka.
Afghanistan adalah negara yang babak belur dan hancur
lebur karena perang berkepanjangan, tetapi tidak pernah rela
dijajah dan selalu melawan dengan gigih. Di sana, ada sebuah
pepatah bijak, ”Jangan menyumpahi gelap, tapi segera nyalakan
lilin.”
Bagi Islom, masa depan Istaravshan sama gelapnya dengan
jalan yang kami lalui bersama menuju penginapan. Layaknya
om
Tajikistan yang menoleh ke masa lalu ribuan tahun bersama
t.c
Dinasti Samani, Islom pun mengenang masa pendudukan Uni
po
pahi kegelapan yang pekat. Ketika masa depan tidak lagi men-
ak
45
SEKAT KEHIDUPAN
jauh, hingga orang luar. Melalui garis batas, kita meraba dunia
luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.
Negeri-negeri pun demikian. Beberapa negara rapat-rapat
mengurung dirinya, dalam garis batas tak tertembus. Beberapa
negara lain membuka lebar-lebar pintunya. Penduduk negeri-
negeri seperti Afghanistan, Irak, dan Korea Utara semakin ter-
kucil, terkurung dalam batas negeri, karena negeri-negeri lain
merasa tak nyaman dan tak aman dengan mereka.
Afghanistan hanya di pelupuk mata, di seberang sungai
Amu Darya yang kini tampak jauh berkurang kegarangannya
seiring dengan masuknya hawa dingin bulan Oktober. Namun,
46
kenangan seberang sungai itu sungguh bagaikan masa lalu da-
lam dimensi zaman yang terpisahkan kuantum berbeda.
Jip Rusia kami terseok di atas jalan beraspal Tajikistan yang
bertabur lubang. Sejajar dengan jalan ini di seberang sungai,
terlihat jalan setapak sempit meliuk mengitari punggung pe-
gunungan cadas, sementara di bawahnya air sungai bergolak
hebat. Tak perlu ditanyakan lagi betapa bahayanya jalan yang
seolah hanya setipis benang itu. Sesekali tampak beberapa pria
berserban melintas. Di belakang mereka, keledai mengangkut
sesosok tubuh terbungkus kain putih: perempuan. Makhluk tak
kasatmata dalam burqa itu terayun-ayun pasrah di punggung
keledai. om
t.c
Itulah jalan yang dulu pernah saya lintasi sambil mengumpati
po
abad pertengahan.
Kini saya sudah berada di negeri impian seberang sungai itu,
di negeri imajinasi orang-orang Afghan. Terbayang, di tanah
paralel di seberang sungai, seorang jurnalis asing malang me-
nunggang keledai memandang iri ke arah jip yang saya tumpangi
di sini. Terbayang, rasa ingin tahu dan mimpi-mimpi muluk
warga seberang. Terbayang, derita negeri perang yang mendamba
kedamaian Tajikistan. Tak terasa, air mata saya merembes.
Kami—orang-orang Tajik dan saya—duduk berdesakan dalam
jip kuno Rusia sempit, tak pandang jenis kelamin. Tawa ceria
para gadis membahana sepanjang jalan. Di satu sisi sungai,
47
tiang listrik menjulang tinggi menggapai langit biru, berbaris
layaknya tentara penjaga. Di sisi lain, hanya ada hamparan
debu, gunung terjal, dan barisan kafilah keledai. Jarak yang di-
tempuh dalam dua, tiga jam di Tajikistan adalah perjalanan dua
hingga tiga hari dengan keledai di seberang sungai sana. Takdir
ini dipisahkan hanya oleh sungai selebar 20 meter! Betapa
dahsyatnya.
Afghanistan tampak suram, sementara penduduknya me-
natap penuh angan ke arah negeri tetangga yang hanya selebar
sungai jauhnya. Terlihat nenek tua menjemur kotoran sapi di
atas atap rumah batu. Pakaiannya berwarna ungu manyala, rok
om
panjang selutut, dan celana kombor hingga ke mata kaki.
t.c
Kepalanya ditutup kerudung putih. Senyumnya terkembang, ia
po
pernah ia kenal.
in
a-
hari. Juga mimpi tentang mobil, jalan raya, rumah bagus, listrik,
st
pu
48
makhluk tak berdaya, sekecil semut di hadapan raksasa men-
julang. Tak salah jika penduduk mengklaim kampung halaman
mereka sebagai bom-i-dunyo, Atap Dunia.
Ketika Uni Soviet runtuh dan Tajikistan merdeka, perang
saudara langsung meletus. GBAO menuntut untuk memisahkan
diri dari Dushanbe. Pemerintah Tajikistan kemudian mengisolasi
semua rute akses keluar-masuk provinsi ini. Bagaimana provinsi
gunung ini mau merdeka? Mereka terkurung daratan. Lebih pa-
rah lagi, mereka terkurung gunung. Dan kini, mereka terkurung
oleh pemerintah negaranya sendiri. Penduduk jatuh miskin, ke-
laparan, bahkan banyak yang nekat menyeberang sungai untuk
om
mengungsi ke Afghanistan. Padahal, Afghanistan juga diamuk
t.c
perang dan penduduknya pun mengungsi ke negara lain. Tapi
po
49
enam botol minuman soda, dan seplastik permen. Padahal ini
bulan suci.
”Ibu mertuaku puasa, istriku puasa, anakku juga puasa—jadi
aku tidak usah puasa,” kata Bakhtiyor. ”Kalau aku ikut puasa,
siapa yang kerja mencari uang? Tuhan pasti bisa mengerti ke-
adaan kami.” Puasa sembilan hari saja di bulan Ramadan sudah
cukup, tambahnya. Tiga hari di awal bulan, tiga di tengah, tiga
di akhir. Itu pun masih bisa dihitung patungan bersama anggota
keluarga yang lain. Kalau ibu dan istrinya sudah puasa masing-
masing tiga hari, maka bagiannya cukup tiga hari saja. Bakhtiyor
juga minum vodka. Kalau tidak minum, malah tak bisa konsen-
om
trasi menyetir, katanya. Semoga kami semua bernasib baik di
t.c
po
50
rintahan yang seret butuh minyak pelumas untuk melancarkan
perputaran rodanya—uang, uang, uang.
51
hanya dengan bayaran beberapa lembar Somoni, lalu ditinggal
begitu saja dan otomatis menjadi ”janda”.
Jip kami mogok berkali-kali. Jalan tak mudah, meliuk-liuk
naik-turun gunung. Tak jarang kami menembus awan dan ka-
but. Barang bagasi luar biasa banyaknya, mulai dari televisi sam-
pai lemari, diikat di atas mobil. Brek... berkali-kali barang bo-
yongan mirip bedol desa ini ambrol dari ikatannya, berceceran
di jalan. Di bawah rintik hujan, si ibu tua dan Samsiah dengan
sigap memunguti barang, mengikatkannya kembali di kap
mobil, bahkan turut serta mendorong dengan garang ketika jip
mogok.
om
Jalan besar yang menghubungkan Dushanbe dan Khorog,
t.c
po
52
”Kamu suka pekerjaanmu?” saya bertanya kepada tentara itu,
mengalihkan perhatian.
”Suka?” tentara itu menatap saya dengan pandangan aneh.
”Apanya yang suka? Di sini hanya ada gunung—coba, kamu li-
hat... gunung semua! Di sini gunung, di sana gunung! Pisdets11!
Aku rindu istriku. Di sini tidak ada apa-apa! Huh!” Ia me-
ludah.
Saking asyiknya mengeluh, ia lupa memungut sogokan. Mo-
bil kami melenggang ke arah gunung-gunung gelap.
om
t.c
Matahari pagi mengusap wajah, saya membuka mata. Seluruh
po
tubuh ini terasa ciut, seperti ikan mungil di tengah luasnya sa-
.b
do
11
Umpatan bahasa Rusia
53
tembus. Menakjubkan, karena di banyak tempat dunia, memer-
cayai orang lain sudah menjadi hal langka. Mungkin satu-satu-
nya keributan yang merusak keheningan di sini adalah anjing
besar yang berkeliaran mengejar sapi malang.
Namun, potret kehidupan masyarakat Khorog yang tenang
dan damai adalah ironi. Empat tahun lamanya mereka dikurung
di tengah pegunungan selama perang saudara, sementara hasil
ladang pun tak banyak. Tanpa pergerakan ekonomi, uang pun
kehilangan arti. Rubel Tajik terus anjlok, bahkan sempat meng-
hilang di pasaran. Masyarakat melakukan praktik dagang zaman
purba: barter.
om
Siapa yang menyelamatkan mereka dari keterpurukan yang
t.c
mengenaskan? Penduduk hampir selalu menjawab dengan satu
po
Pakistan.
”Syukur kepada Allah, syukur kepada Aga Khan, atas segala
kemurahan mereka,” ujar Mamadrayonova Khurseda, seorang
nenek 60 tahun, mantan jurnalis. Rambutnya memutih. Kulit-
nya penuh bercak. Tetapi senyumnya selalu ceria. Ia baru men-
dapatkan pekerjaan baru: menerima turis asing yang bertandang
ke pegunungan ini. Organisasi kemanusiaan milik Aga Khan
telah memberinya pelatihan dan merestui rumahnya untuk di-
inapi para backpacker, traveler, biker, explorer, dan segala jenis ma-
nusia asing lainnya. Dapur Khurseda pun kini sibuk mengepul.
Hidupnya seperti bersinar kembali.
54
Putra sulungnya, Timur, berusia 35 tahun, baru-baru ini me-
nikah. Seperti sebagian besar penduduk Khorog lainnya, Timur
dan istrinya sama-sama penganggur. Adik Timur dulu bekerja
sebagai pilot di Dushanbe, tetapi gajinya pun tak lebih dari 40
Somoni, 15 dolar sebulan. Pilot negara mana yang mau dibayar
semurah itu? Sekarang ia menjadi tenaga kasar di Moskow.
Betapa Khurseda merindukan Uni Soviet, ketika semua ber-
jalan normal dan teratur. Semua orang tak perlu pusing me-
mikirkan uang, semua orang bekerja, semua orang terjamin.
Ah... masa lalu yang berbunga-bunga....
Semua tinggal sejarah begitu Soviet bubar. Tabloid tempatnya
om
bekerja hilang dari peredaran karena bangkrut. Membeli tabloid
t.c
tentunya jadi prioritas terakhir masyarakat yang masih bergulat
po
55
Kucium semerbak aroma Sungai Mulyan
Ia mengingatkan akan cintaku yang manis
Kerikilnya dan kerasnya
Terasa laksana sutra yang lembut di bawah kakiku
56
kat negeri-negeri. Orang bilang, sungai dan gunung adalah garis
batas yang paling natural, paling masuk akal. Peta Asia Tengah
sekilas tampak lebih ”alami” dibandingkan Amerika Utara dan
Timur Tengah yang berbataskan garis-garis lurus dan mulus. Te-
tapi di tapal batas ini, semuanya justru tampak begitu tidak
natural di hadapan saya. Saya memandangi Afghanistan di se-
berang, hanya sejengkal jauhnya, namun terselubung dalam
tirai misteri.
”Uni Soviet memperingatkan kami untuk selalu menjaga ja-
rak dengan Afghanistan,” kata Mohammad, penumpang jip.
”Orang Afghanistan berbahaya, begitu katanya. Jangankan pergi
om
ke sana, bahkan menatap, melambai, atau menunjuk ke arah
t.c
barisan gunung di seberang sungai pun dilarang.” Dengan in-
po
57
Afghanistan, di mata Sharif, tidak ada istimewanya, kecuali
di sana uang berlimpah ruah. Gaji sehari di Afghanistan hampir
setara dengan gaji sebulan di sini. Tajikistan mungkin memang
idaman orang Afghanistan yang mendamba kemajuan peradaban
dan kebebasan. Tetapi, di sini, ternyata kenyataan tak seindah
impian dari seberang sungai.
Pasar Ishkashim-nya Tajikistan sungguh mengenaskan. Tak
lebih dari dua puluh perempuan menggelar tumpukan baju di
pinggiran. ”Toko-toko” itu menawarkan barang yang lebih mirip
koleksi daripada dagangan. Kaus, celana jins biru, salep kulit,
odol dari Rusia, limun soda dari Uzbekistan, vodka dari Ka-
om
zakhstan, sabun dari Cina, baterai, paku payung, campur aduk
t.c
digelar tak beraturan di atas papan kayu. Jumlah stok barang
po
hanya satu, dua, atau paling banyak selusin. Seorang ibu cuma
gs
lo
pilihan baju di mal. Di sini, tak ada lagi yang bisa dipilih.
Pendapatan sangat rendah, sementara harga barang begitu
mahal. Semua barang didatangkan dari negara tetangga, ter-
masuk dari Afghanistan yang sedang perang itu. Produksi dalam
negeri cuma shashlik yang asapnya semerbak serta gorengan sam-
busa yang sudah dingin dan melempem.
58
Alisher. Ia mengundang saya ke rumahnya di Ishkashim. ”Meng-
inaplah,” kata pria kurus tinggi itu, ”berapa hari pun engkau
mau, rumah kami selalu terbuka bagimu.”
Saya terkesima oleh keindahan ruangan ini. Lantainya ter-
buat dari kayu, dipelitur mengilap. Pilar-pilar berjajar. Warna
kayu yang cokelat terang mendominasi, membuatnya semakin
benderang oleh pantulan sinar matahari. Dindingnya dari tem-
bok yang dicat terang, diselimuti permadani besar. Terpajang
pula foto keluarga dan gambar Aga Khan yang dimuliakan—ben-
da wajib di rumah pengikut sekte Ismaili. Saya teringat keluarga
Ismaili di Afghanistan, tepat di seberang sungai sana, penuh
om
takzim menciumi foto Aga Khan, seperti mencintai benda ke-
t.c
po
59
huruf. Orang yang berpendidikan akan berpikir rasional, dan
selalu berusaha maju.”
Itulah jasa Uni Soviet yang membangun jaringan pendidikan
di seluruh negeri. Rusia menyekolahkan orang-orang di Asia
Tengah, mendidik mereka untuk menjadi orang Rusia, ber-
peradaban Rusia, berpola pikir Rusia. Tetapi, kata Alisher, dulu
orang-orang di tepian sungai sempat meratapi kenyataan bahwa
mereka harus berada di bawah Rusia yang keras, sedangkan
saudara-saudara seberang sungai hidup di bawah pengaruh
Inggris. ”Zaman itu mereka mengira betapa beruntungnya se-
berang sungai sana. Berada di bawah Inggris tentunya akan le-
bih baik daripada kami yang dijajah Rusia.”12 om
t.c
”Seperti apa mereka, bagaimana hidup mereka, kami tak
po
maju.”
ak
12
Afghanistan pada abad ke-20 masih berupa kerajaan, adalah bidak utama dalam
pertarungan dua imperialis raksasa—Inggris dan Rusia. Inggris ingin mem-
pertahankan Afghanistan dalam pengaruh hegemoninya, sehingga kekuasaan
Rusia jangan sampai datang terlalu dekat ke daerah cengkeramannya di India
dan Iran. Raja Afghanistan yang bermain mata dengan Rusia langsung di-
turunkan, digantikan dengan raja yang pro Britania. Itulah sebabnya generasi
kakek Alisher menganggap Afghanistan adalah negara boneka Inggris.
60
”Di seberang sana, tak ada listrik. Itu adalah listrik yang di-
hasilkan genset pribadi. Sekarang, tepat pada waktu ini, seluruh
negeri sedang menonton sinetron India tentang mertua dan
anak menantu. Coba kita berada di sana sekarang, pastinya bi-
sing sekali, karena suara genset di tiap rumah itu sungguh me-
mekakkan telinga.” Penjelasan saya membuat Alisher terdiam,
seolah terhancurkan fantasinya tentang negeri seberang.
Tetapi saya tahu, tak lebih dari lima tahun lalu, yang tampak
di sana adalah hitam pekat yang sempurna. Kini ratusan cahaya
berkelap-kelip, berkat generator listrik, televisi, dan fantasi pe-
rempuan garang dari sinetron India. Tanah Afghan pun ikut
berputar bersama roda zaman. om
t.c
Orang-orang di Ishkashim Afghanistan memuji betapa bebas
po
oleh imajinasi akan sebuah dunia lain di luar sana. Saya berdiri
in
a-
61
matras tebal menjulang di sudut. Televisi berisik menyampaikan
berita internasional dalam bahasa Rusia yang terdengar cepat
dan kasar. Bayi menangis. Bocah kecil bermain mobil-mobilan.
Suara letupan minyak panas terdengar nyaring mengiringi
ceplokan telur di atas wajan logam yang datar permukaannya.
Ibu Alisher menyiapkan tikar.
Seperti halnya di Afghanistan, orang Tajik juga makan de-
ngan bersila di tanah. Tikar yang terbuat dari kain atau plastik
berfungsi sebagai meja makan. Roti Tajik berbentuk bulat ge-
peng dan tebal, terhidang di atas tikar. Diameternya sekitar dua
puluh sentimeter, bagian tengahnya cekung. Roti ini dibuat dari
om
adonan tepung gandum yang dipanggang di oven—juga diper-
t.c
po
choy, teh susu,” jelas Alisher, ”dibuat dari teh hitam dicampur
a-
ak
num teh susu yang dicampur garam dan mentega. Uuh... mi-
pu
62
Tetapi gambaran ketenangan ini tidak selamanya ada di
Ishkashim. Alisher bercerita, waktu perang saudara meletus di
Tajikistan, kehidupan di GBAO sangat berat. Orang lapar, tak
ada uang, harapan menguap. Dan orang yang lapar sangat mu-
dah terbakar emosi. ”Orang Shehgnon, Wakhan, Pamir, Ish-
kashim... mereka yang berasal dari suku-suku berbeda dan bi-
cara berbagai bahasa berbeda pula, semua lapar dan marah,”
kata Alisher. Identitas—atau mungkin lebih pantas dibilang
ego—dari tiap kelompok mencuat, bergesekan, dan berujung
pada pertikaian. Saat itu, berkunjung ke desa tetangga pun
orang tak berani.
om
Di negara yang kacau, semua permasalahan yang dulunya
t.c
bisa diredam tahu-tahu meletus bersamaan. Perbedaan-per-
po
63
ngan atap dunia Pamir di timur sana. Panjangnya sampai 120
kilometer, mulai dari Ishkashim sampai Langar di timur.
Air mengalir dari ribuan mata air nun jauh di pegunungan
tinggi Pamir, bercampur lelehan salju dari puncak-puncak gu-
nung, memenuhi sungai dan jeram kecil. Aliran air menyusuri
kedua sisi pegunungan tinggi, berlomba-lomba mencapai Amu
Darya. Di musim panas, Amu Darya meluap sampai lebih dari
seratus meter lebarnya. Airnya deras dan bergolak, tak mungkin
diseberangi tanpa jembatan atau perahu. Tetapi, di musim di-
ngin, Amu Darya mengering, seiring dengan matinya jeram ke-
cil yang menjadi sumber kehidupannya. Gunung diselimuti
om
salju yang semakin tebal, merata dari puncak hingga kakinya,
t.c
Amu Darya menjadi jinak, mengalir perlahan. Ia menciut. Ban-
po
tahun tidak diisi bensin karena mahal dan tak ada penumpang.
st
pu
64
tidak pergi ke Mekkah untuk naik haji,” tutur Aliboy, ”pemimpin
agama kami, Yang Mulia Aga Khan, mengatakan, bahwa me-
nyediakan tempat tinggal dan makanan bagi seorang musafir
yang membutuhkan bantuan adalah ibadah haji kami. Selain
itu, bukankah lebih baik jika uang untuk naik haji itu digunakan
untuk menolong orang atau memajukan komunitas?” Penganut
Ismaili percaya, menolong musafir wajib hukumnya, sekalipun
dapur tak lagi mengepul. Konsep tamu, mehman, mengakar kuat
dalam kehidupan masyarakat pegunungan ini. Tak ada yang me-
nandingi kebanggaan dan kebahagiaan untuk bersikap hormat
dan melayani tamu, karena tamu adalah anugerah kiriman
Tuhan. om
t.c
Aliboy tinggal bersama orangtua, istri, saudara, dan anak-
po
pesona lambatnya aliran waktu. Ibu Aliboy yang sudah tua itu
st
pu
65
luar biasa. Manusia dalam kefanaannya mendamba keabadian.
Tetapi adakah yang abadi di dunia ini? Gunung-gunung tinggi?
Tradisi kuno dan adab keramahtamahan? Bahasa-bahasa dari
zaman Jalur Sutra? Aliran sungai yang terus menderu? Di ha-
dapan semua itu, setetes nyawa manusia tak banyak berarti.
66
terkubur. Manusia memang fana, tetapi guratan pena dan pe-
mikirannya boleh jadi abadi.
Filsuf Tiongkok menggambarkan kehidupan laksana sungai
panjang yang mengalir tanpa henti. Kita, manusia, adalah sosok-
sosok penumpang yang naik kapal di satu titik, turut berlayar,
lalu turun di tempat lain. Beberapa penumpang turun, beberapa
penumpang naik. Sungai terus mengalir, kapal terus berlayar,
penumpang datang dan pergi. Demikianlah manusia-manusia
di tepian sungai abadi Amu Darya ini, datang dan pergi, dalam
berbagai wujud rupa, bangsa, bahasa, agama, dan kebanggaan,
dan semuanya, tanpa kecuali, adalah makhluk fana.
om
Di reruntuhan tembok Yamchun saya merenungkan per-
t.c
po
67
Orang-orang itu kembali berlompatan ke jip Rusia, debu beter-
bangan lagi, dan benteng kuno kembali ke dalam kesunyian.
Apakah benteng itu telah melalui masa ribuan tahunnya se-
perti ini? Manusia datang dan pergi, menebarkan sedikit debu
ke sana kemari, lalu pergi tanpa bekas. Generasi musafir pe-
nerus Marco Polo zaman sekarang, dengan senjata kamera, jip
tangguh, peta lengkap, GPS, telepon satelit, melakukan pengem-
baraan dan mengabadikan kenangan. Sementara dari benteng
terlihat negeri di seberang sungai, Afghanistan yang tersekap
dalam kungkungan zaman. Tepat di seberang sana, pengelana
masih harus menunggang keledai dan kuda, penduduk masih
om
mencandu opium, dan membungkus diri dengan baju tradisional
t.c
warna-warni yang berat.
po
68
pok lelaki berendam tanpa dibalut seutas benang pun. Tua,
muda, kakek, ayah, suami, bocah kecil, semua berenang telan-
jang bulat dalam kolam yang sama. Tak ada yang aneh, tak ada
yang merasa risi.
Saya mencelupkan tangan ke air. Aih! Panas sekali! Namanya
juga pemandian air panas, tetapi saya tak menyangka sepanas
ini.
Mereka mengajak saya bergabung. Tetapi, ketelanjangan
buat saya sudah di luar batas. Mungkin pikiran kotor meng-
hantui? Mungkin rasa takut—yang juga muncul dari pikiran
kotor? Atau mungkin budaya dan tradisi yang mendekap men-
om
jadi penghalang dan batas penyekat antara saya dan mereka?
t.c
”Kakak,” saya berseru ke arah para pemandi, ”suka sekali ya
po
”Masa kau tak tahu? Ini adalah hari Idul Fitri. Hari raya
st
pu
69
hari kemenangan yang dirayakan di akhir bulan suci yang tanpa
haus dan dahaga.
70
ledai atau kuda, melintasi tebing, jeram, dan bukit. Di sana,
saya pernah merasa, betapa hidup berada di ujung tanduk. Pe-
nyakit ringan seperti diare dan disentri ternyata bisa menjadi
pembunuh yang fatal.
Tetapi, semua manusia pasti punya masalah. Mereka di Taji-
kistan sini memang tidak dihantui momok diare atau disentri,
namun uang begitu seret. Akhmed bercerita tentang gajinya
yang cuma 50 Somoni, sekitar 150.000 rupiah per bulan. Saya
bertanya, apakah itu pengabdian ala Ibnu Sina? Sekali lagi, ia
tersenyum.
Miskin, tak punya uang, bukanlah tolok ukur peradaban. Di
om
Tajikistan, jangan memandang rendah orang miskin. Seorang
t.c
penganggur di Vrang, lima kilometer ke arah hulu dari Tughoz,
po
satu lagi... hmmm... apa ya?” Ia berpikir, lalu berseru, ”Oh ya,
in
a-
71
Ternyata Sarandip itu bukan Indonesia (sayang sekali!), me-
lainkan Srilanka. Sarandip ini yang menjadi asal kata bahasa
Inggris serendipity, yang berarti rentetan keberuntungan yang se-
mua terjadi secara kebetulan. Kata ini digunakan pertama kali
oleh penulis Inggris, Horace Walpole, yang mengisahkan do-
ngeng tentang Tiga Pangeran dari Sarandip yang bertualang ke-
liling dunia. Dalam setiap perjalanan, mereka menemukan
sesuatu yang luar biasa, meskipun semuanya terjadi karena
kebetulan semata.
Seperti tokoh utama dalam legenda Sarandip, saya pun
mengalami keberuntungan tak terduga yang beruntun. Pria ini
om
hanyalah sembarang orang di jalan, penasaran mengamati orang
t.c
asing yang datang ke kampungnya, sekarang ia menawari saya
po
72
berkunjung. Hanya lelaki dewasa dan anak lelaki tertua yang
boleh makan bersama tamu.”
Khurshid duduk bertumpu lutut di sudut ruangan. Mulutnya
komat-kamit, melantunkan lagu merdu. Suaranya lembut,
mengalun, lalu meninggi. Nada-nada mengisi ruang hening. Ke-
dua tangannya dikatupkan di depan dada, seperti orang meng-
haturkan sembah, diayunkan ke kiri dan kanan.
Baru pertama kali saya melihat orang Ismaili mendirikan
salat. Sungguh berbeda dengan salat umat Muslim kebanyakan.
Seluruh ritual hanya dilakukan dalam posisi duduk, dengan lan-
tunan doa-doa yang begitu asing di telinga. Ritual sembah yang
om
kata Khurshid disebut sebagai imam didar—penghormatan ke-
t.c
pada imam, terdengar begitu menghanyutkan.
po
Siapa sangka, di dusun yang ramah tamah ini saya justru di-
gelandang polisi?
Pemilihan umum Tajikistan semakin dekat. Saya tertarik me-
lihat sedikit kesibukan di balai desa yang teramat kontras de-
73
ngan lengangnya jalanan. Tiga lelaki berdiri antusias di hadapan
pengumuman berisi daftar nama para kandidat. Di dalam ge-
dung kayu, petugas perempuan tersenyum, menampilkan gigi
bersepuh emas. Di sampingnya ada kotak suara.
Ah, inikah suasana pemilihan umum di negeri yang konon
paling demokratis di Asia Tengah ini? Sunyi sekali, tak ada riuh
rendahnya kampanye. Tak ada poster para calon. Tampaknya,
tanpa pemilu pun, semua orang sudah yakin siapa yang bakal
menjadi pemenang.
Tetapi saya datang ke sini mengemban misi istimewa. Staf
politik Kedutaan Besar Indonesia di Uzbekistan meminta saya
om
mencarikan buku yang berjudul ”101 Pertanyaan dan Jawaban
t.c
tentang Pemilihan Presiden Tajikistan”. Walaupun judul buku
po
Negara”, tetapi buku ini susah sekali dicari. Saya sudah keluar-
masuk semua toko buku di Dushanbe, tak ada yang menjual.
Malah saya mendapat sorot mata curiga setengah mengejek, se-
akan bertanya, ”Untuk apa cari buku itu?”
Tak dinyana, justru di pojokan gedung sepi ini, saya
menemukan sejilid buku tipis itu tergeletak di meja kayu.
”Berapa harganya?” saya bertanya, lupa ini bukan toko buku.
”Tidak,” kata perempuan bergigi emas itu, ”buku ini tidak
dijual. Di seluruh desa ini cuma ada satu. Kalau mau, baca saja
di sini.” Buku ini tertulis dalam bahasa Rusia dan Tajik, semua-
nya menggunakan huruf Sirilik yang membuat pening. Saya tak
74
berniat menghabiskan buku tipis ini di sini, lagi pula 101
pertanyaan yang bergelut di benak saya tak satu pun sebenarnya
yang berkaitan dengan pemilihan presiden.
”Boleh saya pinjam untuk difotokopi?” saya menawarkan
solusi. Fotokopi? Bukankah itu pertanyaan bodoh? Si ibu itu
sampai tertawa. Mana ada mesin fotokopi di sini, katanya.
Jangan-jangan, untuk fotokopi pun, saya mesti ke ibu kota
Dushanbe.
Baiklah, tak ada rotan, akar pun jadi. Tak ada fotokopi, ka-
mera digital pun boleh. Klik. Saya memotret sampul. Klik. Ha-
laman satu. Klik. Halaman dua. ”Hei! Hei!!!” Ibu itu berteriak
histeris, ”Apa yang kaulakukan?!” om
t.c
Aduhai, teriakannya mendatangkan dua polisi berseragam.
po
suram.
ak
tapi saya ingin sekali memiliki buku itu.” Saya mencoba men-
jelaskan tentang pesanan kedutaan. Ibu itu mengernyitkan
dahi, ”Apa buktinya? Apakah kamu punya surat izin yang di-
keluarkan oleh Kementerian Penerangan di Dushanbe? Apakah
kamu sudah diizinkan Presiden Tajikistan?”
Saya menggeleng. Bahkan untuk mendapat buku tipis dela-
pan halaman itu pun saya harus menjalani birokrasi panjang
dengan Bapak Presiden segala. Sepertinya sungguh repot men-
jadi presiden di negara ini. Ibu kepala desa itu mulai membuka
buku tebal, mungkin akan menorehkan catatan kriminal saya
di sana. Interogasinya dimulai. ”Kamu tinggal di mana?”
75
”Rumah Khurshid,” jawab saya, ”di ujung desa ini.”
Tiba-tiba ia berseru, ”Ya khudo! Astaga! Khurshid itu adikku.
Jadi kamu orang asing yang menginap di rumah kami? Jadi
kamu tamuku.” Tiba-tiba sikapnya berubah. Ia mengeluarkan
telepon kuno. Ia memutar nomor, menelepon bosnya, entah
bupati atau gubernur, mulai dari Ishkashim hingga ke Khorog.
Ia memohon-mohon, memelas-melas, demi sebuah buku.
”Sayang sekali,” ia menggeleng, ”buku itu sudah dibatasi,
satu desa cuma kebagian satu jilid. Saya sungguh ingin membantu
karena kamu adalah tamu kami. Tetapi apa daya? Mungkin
kamu bisa coba di kota lain?”
om
Saya hanya tamu yang singgah semalam di rumah Khurshid,
t.c
tetapi saya sudah seperti bagian rumah itu. Ketika saya pergi
po
juga barang suci yang harus dihormati. Nan bagi musafir adalah
in
a-
76
Tentara muda Tajik berdiri tegap di bawah tiang bendera dan
lambang negara, juga terbuat dari papan kayu bergambar. Sung-
guh lebih mirip gapura masuk kampung di pedusunan Indonesia
daripada sebuah gerbang negeri, perbatasan internasional.
Sunyi. Kecuali burung yang tak peduli dengan perbatasan,
tak ada lagi makhluk yang bisa menyeberang bebas. Di seberang
jembatan sana, Afghanistan tampak berupa barisan bukit gun-
dul, cadas, dan pasir. Harapan yang ditawarkan oleh negeri te-
tangga itu sama gundul dan gersangnya dengan yang terlihat
dari sini.
Tetapi ini tentunya suasana yang sama sekali berbeda ketika
om
tiga bulan lalu diadakan bazaar mushtarak—pasar bersama dua
t.c
negara, tepat di pinggir jembatan ini. Kebetulan, saat itu saya
po
13
Perihal bazaar mushtarak bisa dibaca di Selimut Debu (Agustinus Wibowo,
Gramedia Pustaka Utama, 2010)
77
sebelumnya: sulaman manik-manik, jubah kumal, serban pan-
jang, butir-butir batu untuk hiasan perempuan, sampai beras
dan tepung dibuntal karung yang baunya mirip keledai.”
Tetapi tentunya, bukan jual-beli barang-barang ajaib ini yang
memikat Yodgor. Pembukaan jembatan itu membuatnya ter-
kenang akan kisah kakek-neneknya tentang kedamaian lembah
ini seratus tahun lalu. Jembatan ini merealisasikan imajinasi
tentang negeri seberang sungai. Sekarang, bayang-bayang sekele-
bat manusia yang tampak dari kejauhan berupa titik-titik hitam
yang menggiring kawanan domba dan ternak, kini datang,
begitu dekat, terjamah, terdengar. Mereka bukan lagi makhluk
om
fantasi. Suara gelak tawa mereka menggelegar. Ternyata, tawa
t.c
po
dan sukaria yang sama dengan orang biasa di sini. Dan, ah, me-
gs
78
Mengapa sesama manusia ini, yang hanya hidup di kedua
sisi sungai, terpisah dalam kehidupan yang jauh berbeda?
Ini adalah kisah yang dihafal semua orang. Walaupun sudah
puluhan tahun sungai ini ditetapkan sebagai perbatasan antara
Rusia dan Afghanistan, baru pada tahun 1938, pasukan Rusia
datang ke bantaran sungai, mengamankan tapal batas imperium
mereka. Sungai disegel. Orang tak boleh lagi bebas menyeberang.
Datang pula barisan Tentara Merah, membanjirkan buku-buku
merah Leninisme, Marxisme, dan Stalinisme. Pola pikir, ideo-
logi, mata uang, zona waktu, sistem pemerintahan, dan tetek
bengek lainnya adalah urusan Moskow. Penduduk sekarang
om
menjadi ”orang Rusia”. Mereka tidak lagi sama dengan warga
t.c
seberang sungai sana. Mereka bukan lagi Ismaili, Tajik Pamiri,
po
Afghan”.
ak
79
Yodgor memperkirakan bibinya pasti sudah meninggal. Te-
tapi bagaimana wujud rupa keturunannya? Anaknya? Cucunya?
Bagaimana ternak-ternak mereka? Rumah mereka? Siapakah ba-
yangan hitam yang terlihat dari sini? Jangan-jangan itu sepupu,
atau jangan-jangan, itu malah bibinya yang dikaruniai umur
panjang? Jangan-jangan sang bibi setiap hari datang ke bantaran
sungai, memandang ke sini, mencari-cari bayangan ayahnya dan
kakak-adiknya? Apakah mereka punya fantasi yang sama?
Legenda tinggallah legenda, fantasi bergulat dengan fantasi, te-
tapi tak terjamah oleh kejamnya sekat perbatasan yang memisah-
kan.
om
Dan takdir ini ditentukan oleh orang-orang tak dikenal, tak
t.c
terbayangkan, namun tak terlupakan nun jauh di Moskow sana.
po
gs
lo
.b
do
in
a-
80
lah handycam barunya. Orang ini tentu bukan orang sem-
barangan.
”Ya! Itu Wali Jon! Wali Jon!” seru Gulchera. ”Ia sudah jadi
kepala kampung di Ghoz Khan!”
Siapakah Wali Jon? Tiga bulan lalu, ketika saya berada di
Afghanistan menyaksikan pembukaan bazaar mushtarak, saya
menginap di Ghoz Khan. Keramahtamahan orang Ismaili
Afghan, sama seperti orang Tajik di sini, membuka pintu se-
lebar-lebarnya bagi musafir yang berkelana. Saya tak kenal Wali
Jon, tetapi ia menawarkan saya menginap di rumahnya. Ia ter-
senyum, tentu saja dengan gigi taring emasnya itu, menunjukkan
om
betapa megah rumah barunya sekarang. ”Saya akan membuka
t.c
hotel untuk turis asing di sini,” serunya bangga, ”lihat, apakah
po
81
rumahnya akan mengembalikan kenangannya tentang nostalgia
negeri seberang. Gulchera mengusap layar kamera saya, lekat-
lekat memandangi foto Wali Jon yang sedang tersenyum.
Ghoz Khan memang tampak hanya di seberang sungai,
tetapi foto ini telah berjalan ribuan kilometer untuk sampai ke
sini. Dari lereng dan tebing, perjalanan naik-turun kuda dan
keledai, hingga gerbang kedutaan Tajikistan yang dipenuhi biro-
krasi korup, deru perahu yang menyeberangi Amu Darya, kota
Dushanbe yang berbau Rusia, puncak gunung-gunung di
Khorog, lalu lembah Wakhan yang dipenuhi penganggur, hingga
sampai di sini. Ya. Tidak kurang dari dua ribu kilometer telah
om
saya lalui hanya untuk mencapai seberang sungai. Jarak memutar
t.c
yang luar biasa jauh hanya untuk menyeberang dua puluh
po
lainnya di sini, dua puluh meter lebar sungai itu adalah jarak
tak tertembus. Afghanistan di seberang sana adalah dunia lain.
Garis batas membuat hidup manusia penuh warna. Berkat
garis batas, ada negeri-negeri berbeda, bangsa-bangsa berbeda,
beribu bahasa dan makanan khas, adat-istiadat.... Bayangkan
jika dunia ini dihuni oleh semua orang yang sama persis, ber-
wajah sama, berbahasa sama, punya impian dan agama yang
sama, berjenis kelamin sama, semua sama makmur, sama sem-
purna, sama pintar, selalu bersama-sama pergi ke sini dan ke
sana... betapa membosankannya.
Garis batas memang adalah kodrat manusia. Tetapi tepat
82
berada di tepian garis batas ini, di tepian sang Amu Darya, me-
nyaksikan semua absurditas dan kemustahilan yang tercipta
olehnya, saya pun ikut mempertanyakan, mengapa semua ini
harus ada.
Inikah air mata dan senyum yang sama ketika Gulchera me-
nerima untaian kalung dari Wali Jon? Betapa Gulchera rindu
Wali Jon. Betapa Gulchera bahagia melihat foto-foto Wali Jon
dengan bayi kecilnya. Betapa Gulchera ingin berteriak kepada
para petinggi itu, untuk terus membuka pasar bersama ini tiap
bulan, kalau bisa tiap minggu, tiap hari. Betapa Gulchera..., oh,
tak ada habis-habisnya foto-foto Wali Jon mengaduk-aduk pe-
rasaannya. om
t.c
po
gs
lo
.b
do
83
sekarang tereduksi menjadi buruh bangunan atau penjaga kios
pasar di Moskow.
Keadaan ini membangkitkan tanda tanya, apa yang membuat
orang begitu antusias dengan pembukaan pasar internasional di
Langar? Di sebelah sini adalah desa terpencil penuh pengang-
guran. Di seberang sana adalah dusun yang masih hidup dalam
buntalan masa lalu. Apa yang bisa diperdagangkan? Langar dan
Ghoz Khan sama-sama terpencil dan miskin. Pasar terdekat di
sisi Afghanistan dua hari perjalanan berkuda. Di sisi Langar,
pasar terdekat ada di Ishkashim—itu pun kalau layak disebut
pasar.
om
Kenyataannya pasar ini disambut dengan gembira oleh se-
t.c
po
84
memotret wajahnya dari kejauhan, kini duduk di hadapannya,
di dalam rumahnya, di hadapan meja makan yang sama.
Ia semakin tergugah kebanggaannya akan negerinya yang
menjadi tanah impian orang-orang Afghan dari seberang. ”Se-
karang, Tajikistan sudah kuat. Kamu lihat, tentara Tajikistan
dengan gagah berpatroli di sepanjang sungai. Gaji saya seratus
dolar per bulan. Semua tentara mendapat seragam dan makan
gratis, selain upah.”—Tak perlulah ia menekankan bahwa upah
pasukannya hanya sekitar 2 dolar per bulan—”Kami sudah kuat.
Dan Afghanistan juga sudah kuat.”
Negeri yang kuat punya garis batas yang jelas. Tilo menyebut-
om
kan sejumlah nama penyelundup Afghan, penyeberang sungai
t.c
po
dibagi dua, satu untuk Barat, satu untuk Timur. Tembok Berlin
pu
85
takutan, bermimpi menyeberang ke Berlin Barat yang berlimpah
makanan dan kebebasan.
Akhirnya, komunisme runtuh. Tembok pun runtuh. Lautan
manusia membeludak menyeberangi batas yang semula tak ter-
tembus. Timur dan Barat lenyap. Bangsa yang terpecah kini
bersatu. Manusia boleh membangun tembok. Semakin tinggi,
semakin angkuh, semakin kejam dan dingin, demi melindungi
zona aman mereka. Kelak semua itu akan ambrol, hancur ber-
keping-keping, menghunjam dan mengubur diri mereka sendiri.
Daun-daun kuning keemasan terus berguguran, menyelimuti
jalan beraspal. Negeri ini sudah kuat. Rasa bangga seorang ten-
om
tara Tajikistan itu terus terngiang-ngiang dalam benak saya.
t.c
Benar, sungai di hadapan saya adalah sebuah batas kokoh, tem-
po
86
DI ATAS RERUNTUHAN IMPIAN
memang ada jalan raya. Memang ada mobil. Tapi tak ada ben-
gs
lo
hari.
in
87
harga bensinnya,” sopir itu keukeuh. Transportasi di Pamir se-
makin susah dan mahal. Menunggu angkutan umum butuh ke-
sabaran yang laksana menunggu turunnya hujan di Gurun
Taklamakan.
Harga itu tidak bisa ditawar. Saya tak punya uang sebanyak
itu.
”Harga bensin di Khorog.... Harga bensin di Vrang....”
Saya mendesah, putus asa.
”Harga bensin di Dushanbe.... Harga bensin di Ishkashim...,
di Alichur... di Langar... di Murghab....”
Setelah setengah jam lebih berceramah tentang formula hu-
om
bungan antara harga bensin dan ketinggian permukaan bumi,
t.c
po
88
siap berangkat, menerjang ke gunung-gunung, meninggalkan
Wakhan.
Tapi apa gunanya kalau hanya saya seorang diri yang siap?
Tak ada mobil, kawan! Sejak kabut masih menggelayut di se-
luruh lembah, hingga sekarang matahari bersinar cerah, mobil
masih belum datang juga. Semua calon penumpang gelisah.
Saya sudah telanjur mengucap salam perpisahan dengan semua
orang yang saya kenal di desa, termasuk Tilo sang komandan
yang kalau pagi berubah menjadi penggembala kambing. Tengah
hari, semua bertanya kenapa saya masih terus beredar di Langar.
Daripada menunggu percuma, saya ikut Yodgor, sang khalifa,
om
menjalankan fungsinya sebagai pemuka agama.
t.c
Kami mengunjungi sebuah rumah baru. Bau pelitur masih
po
menyeruak.
Kedatangan Yodgor sudah lama dinantikan. Sebagai pemuka
agama, Yodgor sangat dihormati. Orang bergantian menyalami
dan menciuminya. Yodgor memimpin doa. Semua menenga-
dahkan tangan, mengamini. Sebenarnya ini bukan tugas khalifa,
tetapi pemuka agama Ismaili di kampung cuma dia seorang.
”Sekarang semua urusan, mulai dari sembahyang, pemberkatan
rumah, akad nikah, sampai sengketa semuanya menjadi tugas
saya,” kata Yodgor, sembari mengemasi bungkusan nasi dan roti
yang dipersembahkan pemilik rumah.
Yodgor, yang merangkap sebagai guru, masih sempat mem-
89
bawa saya ke sekolah tempatnya mengajar. Lantai kayu berderik-
derik ketika saya melangkah. Bapak kepala sekolah mengantar
saya berkeliling, mengunjungi kelas demi kelas. Saya merasa se-
perti kembali ke zaman komunisme—slogan patriotisme ber-
taburan, foto pahlawan berderet, ditambah bendera dan lam-
bang negara di sana-sini. Bedanya, dulu semuanya berbau merah
komunis, sekarang sudah berganti dengan kejayaan Republik
Tajikistan, mulai dari keemasan Jalur Sutra hingga kemegahan
gunung-gunung Pamir.
om
t.c
Kejayaan gunung-gunung Pamir yang sebenarnya terus terpam-
po
90
mengakhiri doa. Hawa perkabungan menyayat, semakin berat
oleh angin pegunungan yang berdesing menampar wajah.
Kematian, dalam kebanyakan kultur di dunia, diratapi de-
ngan tangisan dan kesedihan. Di antara semua garis batas, garis
yang memisahkan hidup dan mati adalah garis yang paling ti-
dak tertembus. Siapa pun yang telah melintas garis itu, akan
terpisah dengan kita di alam fana ini, selamanya. Perpisahan
abadi itulah yang membawa ratapan dan penyesalan.
Kami melanjutkan perjalanan. Suara sesenggukan di dalam
mobil semakin membuat suasana berkabung terasa berat. Jalan
terus menanjak. Langit kelabu tertutup kabut, seakan melukiskan
om
perasaan. Jip berjalan perlahan, tak kuasa melawan kecuraman
t.c
bukit Pamir. Jalan kemudian berbelok ke utara, tak lagi berada
po
91
Jip kami baru sampai di Alichur ketika langit sudah gelap
sempurna. Pemukiman seperti titik-titik putih yang bertaburan
di atas kertas hitam. Anjing gembala menggonggong tanpa
henti, bak serigala kelaparan. Warung gelap. Cahaya lampu mi-
nyak menyamarkan wajah-wajah garang para lelaki. Mata mereka
sipit, mengingatkan pada garis mata Genghis Khan dari negeri
Mongol. Bibir tebal terkatup rapat. Kalau bicara, bibir-bibir itu
sepertinya tak perlu terbuka sempurna. Hasilnya adalah suara
mendesis-desis. Terkadang mereka memonyongkan bibir, meng-
hasilkan suara-suara aneh yang seakan menggaruk kerongkongan.
Ini sudah bukan Tajikistan lagi rasanya. Negeri yang semula
om
sangat akrab kini berubah menjadi asing sama sekali. Orang-
t.c
orang berbicara dalam bahasa yang tak saya mengerti. Wajah-
po
wajah sangar ini adalah milik para sopir truk dari Republik
gs
lo
92
gopoh si nyonya pemilik warung. Vodka bergemerecik dituang
ke cawan, diteguk, dan disebarkan aromanya ke seluruh sudut
ruangan oleh mulut bau para sopir.
Setidaknya saya masih cukup beruntung, di tengah belasan
orang Kirgiz di warung ini ada seorang Tajik. Dudkhoda, pria
kurus tinggi yang menumpang gratis truk orang Kirgiz sampai
ke Murghab. Dudkhoda berjanji akan ”menyelipkan” saya turut
serta bersama sopir-sopir Kirgiz esok pagi.
Dengan bahasa Rusia seadanya plus gurauan-gurauan konyol,
saya berkomunikasi dengan para sopir. Mereka menawari vodka,
tetapi saya lebih tertarik belajar bahasa Kirgiz. Wanita gemuk
om
dan galak pemilik stolovaya meminjamkan buku pelajaran anak-
t.c
nya yang masih duduk di bangku SD.
po
yang judes pun ikut tersenyum. Buku mungil itu sudah kumal
st
pu
93
tangga. Bocah-bocah kecil ini pada saat bersamaan memupuk
cinta pada dua negeri berbeda.
Dudkhoda. Tak tahu apa artinya pelukan ini. Mungkin dia su-
gs
lo
embusan napas yang lebih cepat dari biasanya. Bau vodka ter-
in
a-
94
Pening mengawali hari saya. Malam seram berganti pagi dingin
yang kelabu. Kabut tipis masih menyelimuti Alichur ketika
matahari mulai menampakkan dirinya. Langit biru kelam me-
naungi barisan gunung dan padang rumput yang menghampar.
Rumah-rumah yang bentuknya seragam, kotak-kotak sederhana,
satu demi satu mengepulkan asap melalui cerobong panjang.
Anjing-anjing berukuran besar berkeliaran, melolong, berlarian.
Pemukiman ini adalah desa orang Kirgiz, bangsa penggembala.
Padang yang mulai mengering di bulan Oktober terhampar
om
menyerupai permadani hijau yang indah menyelimuti bumi.
t.c
po
95
kayu bakar—ke bak terbuka. Sopir Kirgiz juga sudah sibuk me-
meriksa kendaraannya dari tadi. Membuka kap mobil, meng-
hidupkan mesin, melemparkan asap hitam ke pelukan langit
biru. Semua truk buatan Rusia, berlabel besar—KAMA3, dibaca
Kamaz. Mereka datang jauh-jauh dari Kirgizstan membawa batu
bara untuk dijual di Tajikistan. Batu bara adalah bahan bakar
yang sangat dibutuhkan di pegunungan, apalagi di musim
dingin. Setelah barang mereka terjual, para sopir kemudian
membeli sapi, kambing, dan domba untuk dijual di negeri
Kirgiz sana.
Menjelang tengah hari, barulah ketiga truk beranjak ber-
om
iringan meninggalkan Alichur. Saya bersorak girang. Di samping
t.c
saya duduk Dudkhoda, yang masih membuat saya enggan bi-
po
96
berbungkus selimut, memeriksa dokumen-dokumen kami.
Wajahnya kuyu, dengan guratan keras dan dalam. Ekspresinya
marah.
Tanpa seragam tentara, lelaki di hadapan kami ini tak ada
bedanya dengan pengangguran yang dilihat di pasar-pasar. Te-
tapi, seragam itu, memberinya kekuasaan tinggi atas kami se-
mua, terlihat dari aroganisme suaranya yang perlahan, berat,
dan matanya yang setengah terpejam ketika berbicara. Pakaian,
lengkap dengan segala lencana, renda-renda, dan pernak-pernik-
nya, adalah sebuah garis batas. Serdadu, kolonel, jenderal,
polisi, hakim, pelayan hotel, diplomat, ulama, tukang sapu ja-
om
lanan, semua dalam pakaian mereka masing-masing, menjalankan
t.c
peranan masing-masing. Kedudukan, wewenang, jabatan, ke-
po
97
denda, masing-masing 20 Somoni. Si sopir gempal menitikkan
air mata.
Apa daya, Brat? Tajikistan memang hidup dari gemeresik
roda birokrasi.
98
ngin di Murghab, dalam tiga hari hanya satu hari yang berlistrik.
Itu pun beberapa jam saja.
Dudkhoda duduk bersila, menghadap meja makan yang ha-
nya selutut tingginya. Ia juga tinggal bersama istri dan bocah
lelakinya. Selain lemari, rak buku, oven usang yang tersambung
langsung dengan cerobong, tumpukan matras, perlengkapan
makan, radio kecil, tak ada lagi yang bisa dijejalkan di sini. ”Jus-
tru rumah begini yang bagus,” kata Dudkhoda sambil menye-
ruput teh, ”musim dingin di sini terlalu dingin. Kalau rumah
kecil malah kita merasa lebih hangat. Orang-orang di sini pasti
lebih suka memilih rumah seperti ini daripada rumah besar
om
yang mewah.” Dudkhoda sebenarnya tak punya pilihan. Hanya
t.c
di sini ia dan keluarganya bisa tinggal.
po
kenapa lagi.
st
pu
99
cawan-cawan yang tak boleh kering. Istrinya—yang tidak pernah
diperkenalkan namanya—duduk bertumpu lutut di pinggiran,
tersenyum puas memandangi para tamu. Kedua anaknya hanya
menatap.
”Ayo, makan bersama kami,” saya berkata kepada putra
Dudkhoda yang masih sepuluhan tahun umurnya. Bocah itu
duduk di sudut, menggendong kucing di pangkuan. ”Sudah
makan.” Ia menggeleng, tersenyum tipis. Pandangan matanya
kosong. Saya tahu, ia bohong.
Tak sampai lima menit semua makanan ludes. Tersisa hanya
sedikit tetesan minyak. Sopir-sopir masih mengoleskan potongan
om
roti nan hingga piring itu benar-benar licin mengilap. Hanya
t.c
berucap sepatah ”Spasiba! Terima kasih!” Mereka beranjak pergi,
po
100
kinan akan ada pekerjaan penelitian di pegunungan. Tetapi ia
sudah menanti di sini bertahun-tahun, mendamba datangnya
”hari baik” yang konon akan membarengi membaiknya per-
ekonomian Tajikistan. Dia masih mendapat kiriman gaji dari
Dushanbe. Besarnya 250 Somoni, sekitar 70 dolar. Per tahun!
Apa yang bisa diharapkan dari uang sejumlah itu? Semua di sini
serbamahal, dan Murghab bukanlah tempat bersahabat, apalagi
di musim dingin. Setidaknya, pemerintah masih menyediakannya
satu ruangan di kompleks ”rumah hantu” ini dan Dudkhoda
bersyukur karena itu.
Tajikistan, yang pernah menjadi bagian dari sebuah negeri
om
adikuasa, kini teronggok di jajaran sepuluh negara termiskin
t.c
dunia. Dulu, setiap Republik Sosialis Soviet diciptakan hanya
po
101
usaha. Tetapi, bisnis apa yang bisa dimulai dengan modal sekecil
itu? Untuk biaya angkutan barang dari Khorog pun tak cukup.
Usahanya langsung kandas di tengah kepungan gunung. Seka-
rang tinggal istrinya yang menjadi tulang punggung keluarga.
Malam larut. Sinar bulan menerobos ruangan, membagikan
sedikit terang ke temaramnya ruangan yang kini hanya disinari
sebatang lilin. Istri Dudkhoda, wanita yang sudah keriput meski
usianya masih muda, sibuk menyiapkan adonan tepung. Ia
bekerja sampai tengah malam. Esok subuh-subuh ia sudah harus
bangun untuk memanggang adonan roti ini dengan oven tua di
sudut kamar. Roti nan buatannya bakal dijualnya sendiri di
om
pasar kota Murghab. Dalam sehari ia bisa membuat sepuluh
t.c
roti, masing-masing dihargai satu Somoni.
po
istri Dudkhoda hanya bisa menjual tiga bilah roti setelah me-
in
a-
102
kembali. Hidup memang berat, tetapi aku yakin, inilah yang
terbaik untuk masa depan Pamir.”
Rumah Dudkhoda memang kecil dan kumuh, tetapi ia
bangga akan kehangatannya. Hidup Dudkhoda memang miskin
dan sengsara, tetapi Dudkhoda tetap bersyukur dan berjuang.
Tajikistan-nya Dudkhoda masih tertatih-tatih di atas kebobrokan
ekonomi, tetapi Dudkhoda bersikukuh bahwa hidup ini masih
lebih baik daripada kejayaan adikuasa Uni Soviet.
Apakah ini kebanggaan yang muncul dari kebebasan, ke-
mandirian, ataukah keterpaksaan yang tak memberi pilihan?
Atau sekadar pelipur kekurangan seperti ketika ia beralasan ru-
om
mah kecilnya lebih baik daripada rumah besar karena hangat di
t.c
musim dingin? Benarkah kemerdekaan, sekalipun harus ditebus
po
ekspresi?
in
a-
103
ulas senyum, meskipun terasa sangat getir dan kering. Lebih
sering kedua kata itu diucapkan dalam kalimat datar dan lam-
bat. ”Hidup di sini qiyin dan bichara. Sekarang harga tepung
sudah 70 Somoni,”—sementara gaji bulanannya sebagai guru se-
kolah dasar hanya 80 Somoni—”itu pun tidak cukup untuk se-
bulan. Kalau beras jauh lebih mahal lagi. Aku suka makan nasi,
tetapi sudah lama sekali aku tidak pernah memasak nasi lagi.”
”Harga beras... harga kentang... harga gula... harga teh dulu...
harga teh sekarang...,” daftar harga barang-barang menerjang
bak rentetan pistol dari mulut Gulnoro.
Sejak Tajikistan merdeka, teh menjadi hambar, santapan
om
menjadi gersang, satu per satu menu favorit lenyap dari meja
t.c
makan penduduk. Bertahan dalam kehidupan yang qiyin dan
po
104
lupa menitipkan kentang, kayu, dan kebutuhan lainnya. Dengan
kiriman dari kampung, Gulnoro tetap bisa bertahan di kota ini.
”Mahal! Semua mahal! Dan gajiku cuma 80 Somoni! Hidup
ini qiyin dan kita orang bichara!”
Murghab adalah kota yang didirikan di atas mimpi—kota
perbatasan imperium Uni Soviet di puncak pegunungan atap
dunia Pamir, berhadapan dengan Republik Rakyat Cina, raksasa
komunisme lainnya di sebelah timur. Berabad silam, siapa yang
menyangka kalau padang penggembalaan para pengembara
Kirgiz ini bisa berubah menjadi sebuah kota? Orang-orang kulit
putih dari utara datang membawa perombakan besar. Kota di-
om
bangun, jaringan dan sistem kehidupan ditata. Lahirlah
t.c
Murghab, kota baru pada ketinggian yang tidak biasa.
po
105
pir sepuluh tahun setelah perang berakhir, keadaan di Murghab
masih sangat menyedihkan. Harga barang melangit, seiring de-
ngan meroketnya harga minyak dunia. Penduduk di sini tak ada
sangkut pautnya dengan embargo ekonomi Iran atau perang
yang berkecamuk di Irak, tetapi gonjang-ganjing dunia terbawa
angin globalisasi hingga ke pegunungan terpencil ini. Ekonomi
mati, pendapatan tak ada. Mereka di sini tak seberuntung warga
desa yang masih bisa menyumpal perut dari hasil ladang. Di
Murghab, orang umumnya hanya punya sepetak rumah. Tak
ada uang berarti tak ada makanan.
Tekanan ekonomi yang berat mendorong banyak pria
om
Tajikistan berbondong-bondong meninggalkan negeri mereka,
t.c
mencari harapan baru di seberang perbatasan negara. Pria Tajik
po
106
dipandang rendah sebagai manusia kelas dua karena kemiskinan
dan pekerja migrannya yang membeludak. Masih ditambah
pula dengan geng mafia berkepala botak—kaum neo Nazi—yang
tak segan menyiksa dan membantai orang asing. Bukannya ter-
angkat hidupnya, beberapa keluarga pekerja yang menanti di
pegunungan Tajikistan malah mendapat kiriman jasad suami
atau putra mereka, langsung dari Moskow.
Sejak setahun lalu Beig kembali lagi ke Murghab dan men-
jalani hidup seperti layaknya kebanyakan orang di sini—sebagai
penganggur. Cukup sudah penderitaan karena harga diri yang
terinjak-injak. Tak perlu lagi ia memikirkan pandangan sinis
om
dan perlakuan semena-mena. Tak perlu pula ia tidur di lantai
t.c
dingin, karena rumah kayunya yang luas sungguh nyaman. Di
po
107
terus bergelut dengan kelaparan, potret Turkmenistan yang
ditampilkan televisi ini sungguh merupakan gambaran ke-
makmuran yang diimpikan.
”Lihatlah Turkmenistan,” kata Beig, ”betapa kayanya mereka
sekarang. Mereka sekarang yang paling makmur di Asia Tengah.
Setelah Turkmenistan, masih ada Kazakhstan yang juga kaya
minyak. Uzbekistan dan Kirgizstan pun kaya. Hanya Tajikistan
yang miskin.” Beig tidak pernah mengunjungi negara-negara te-
tangga ini. Gambaran kaya-miskinnya negeri-negeri Stan di se-
keliling tercitra oleh siaran berita televisi yang selalu ia tonton.
Komunisme runtuh. Republik-republik yang dulunya di bawah
om
naungan bendera merah Uni Soviet kini menempuh jalan
t.c
hidupnya masing-masing. Ada yang semakin berjaya dengan
po
108
terlahir dengan cedera otak. Tingkat kecerdasannya sekarang
hanya setara dengan bocah dua tahun. Hadisa bertubuh kurus,
tinggi, dan berambut tebal. Ia berbalut sweter merah panjang.
Hadisa tak bisa jalan, sepanjang hari hanya merangkak. Pan-
dangan matanya selalu kosong. Emosinya tak stabil. Kadang
diam, kadang menangis keras-keras, kadang tertawa tanpa henti.
Ia suka sekali makan permen, tetapi masih belum bisa membuka
sendiri bungkusnya. Sering kali permen yang masih terbungkus
dimasukkan ke dalam mulut, segera saja air liur menetes deras
membasahi seluruh tubuhnya.
Gadis ini terkunci di dalam dunianya sendiri.
om
Namun, ada garis tak kasatmata yang menghubungkan du-
t.c
nia Hadisa dengan dunia kita. Ketika ia melihat orang tak di-
po
109
mengajaknya bermain bersama hewan-hewan. Hadisa tertawa
riang di atas punggung kambing, memakai topi bersulam warna
merah milik Akim yang kebesaran di kepalanya. Tawa gadis itu
menjadi tawa seluruh keluarga. Hadisa, bukan beban yang di-
tangisi, tetapi berkah Tuhan yang disyukuri.
Biarlah gadis itu tetap hidup dalam dunianya. Tak perlu ia
tersadar tentang realita bagaimana kisah sebilah roti terhidang
di hadapannya setiap hari. Tak perlu ia dibangunkan oleh ke-
laparan dan keluh kesah Murghab. Tak perlu ia merasakan
cemas para pemuda yang kebingungan mencari kerja di pasar,
atau menambah kerut-kerut dan uban seperti ayah-ibunya.
om
t.c
po
gs
lo
mana anak-anak ini tumbuh dua puluh tahun kelak. Olim ber-
in
a-
110
Ketika anak-anak di belahan dunia lain bercita-cita menjadi
dokter, insinyur, dan presiden, bocah Murghab ini malah ingin
jadi sopir. ”Aku juga ingin jadi sopir,” sahut Tursunboy, lebih
mantap lagi.
Beig yang mendengar langsung berubah raut wajahnya. ”Apa-
apaan ini? Aku tak ingin punya anak yang cita-citanya cuma
ingin jadi sopir. Mau jadi apa hidup ini nanti? Tak ada harapan!”
Beig sebelumnya sudah marah-marah karena anaknya tidak ada
yang tahu nama ibu kota Ukraina, Azerbaijan, Kirgizstan, dan
Uzbekistan—negara-negara yang dulunya pernah senasib dengan
Tajikistan sebagai bagian Uni Soviet. ”Aku dulu menjadi tentara
om
di Kiev. Sekarang anak-anakku malah tidak tahu Kiev itu di
t.c
mana! Cita-cita cuma jadi sopir? Dunia ini bukan cuma Taji-
po
kistan, tahu?”
gs
lo
111
lebih tinggi lagi—pergi ke luar angkasa.... Orang-orang kaya ber-
lomba untuk jadi turis antariksa. Entah apa lagi yang perlu di-
cari manusia di sana.
Murghab tak hanya punya satu Hadisa. Hari demi hari saya di
Murghab, semakin banyak Hadisa-Hadisa lain yang bermunculan.
Biasanya mereka tersembunyi di sudut rumah masing-masing,
tersimpan rapat dari sapuan pandangan awam. Tetapi sesekali,
malaikat-malaikat mungil itu bermunculan, menebarkan tawa
dan jeritan di tengah sunyi gunung cadas. om
t.c
Ketika matahari baru mulai menyingsing, Murghab dibilas
po
112
mereka pun rata-rata sama, terlahir ketika GBAO dilanda ke-
laparan dan isolasi perang. Apakah ini memang nasib tragis
anak-anak yang harus menderita karena perilaku generasi orang-
tuanya?
Seringai gigi bolong-bolong anak-anak cedera otak adalah
wajah Murghab yang senantiasa tergurat di benak saya. Ke-
sedihan tempat ini juga digemakan langkah-langkah gontai dari
warga yang hanya membuang waktu untuk menghabiskan sisa
hidup. Tak ada pekerjaan, dan sepertinya impian pun sudah
membeku.
Betapa mengenaskannya pasar Murghab, pusat kegiatan per-
om
ekonomian kota ini. Tak banyak yang berjualan, pembeli pun
t.c
nyaris tak ada. Penduduk memang suka ke pasar, walaupun ha-
po
itu pun sudah cukup untuk melipur impian. Banyak pula yang
.b
do
113
mendominasi pemandangan, berkeliaran bagai zombie yang ha-
nya melewatkan hari, menjalani takdir, tanpa harapan. Apa
gunanya barisan digit data statistik dan angka fantastis?
Nuansa Murghab semakin absurd oleh polisi dan agen ra-
hasia yang beredar di mana-mana, menimbulkan keheningan
dan keangkeran di tengah hari yang cerah. Represif. Sebagai
kota perbatasan, Murghab adalah daerah sensitif. Setiap orang
asing yang datang ke sini harus dicatat data-datanya oleh polisi,
yang kantornya tepat di seberang kantor dinas keamanan na-
sional yang lebih sering diplesetkan sebagai keturunan KGB
zaman Uni Soviet. Arwah-arwah komunisme masih hidup, ha-
om
nya berganti kedok saja. Patung Lenin kecil berwarna putih ber-
t.c
diri di pinggir jalan utama, meyakinkan bahwa komunisme per-
po
114
Saya terdampar di Murghab. Walaupun terhitung sebagai ”kota
besar”, Murghab sungguh bukan tempat ideal untuk menunggu
tumpangan. Sudah dua hari saya menghabiskan waktu di pasar
yang sepi dan malas, tiada hasil. Saya tidak sendiri, untungnya.
Masih ada dua backpacker lain, dari Israel dan Amerika Serikat.
Mereka dalam keadaan lebih sulit karena si pemuda Amerika
yang jangkung itu visanya akan segera kedaluwarsa. Jika dia ti-
dak berhasil mencapai Kirgizstan malam ini juga, nasibnya akan
berakhir di tangan-tangan rakus tentara Tajik, atau mungkin ia
malah harus meringkuk di penjara gelap. om
t.c
po
115
Si turis Israel mulai mengumpat, ”Dasar organisasi bodoh.
Apa gunanya orang-orang bodoh yang ditempatkan di kota bo-
doh ini? Untuk merampok turis-turis? Bodoh! Bodoh! Bodoh!”
Ia masih sengit karena sebuah LSM Prancis mematok 250 dolar
untuk angkutan ke Kirgizstan.
”Tetapi bukankah organisasi-organisasi itu tidak hanya
bekerja bagi turis? Mereka juga menyediakan program kredit
lunak bagi penduduk untuk merintis usaha,” saya menyanggah.
Turisme sebenarnya adalah satu dari dari sekian banyak program
organisasi kemanusiaan asing, bertujuan untuk menggerakkan
roda perekonomian penduduk di kota pegunungan yang se-
benarnya sangat cantik ini. om
t.c
”Hah? Kredit lunak? Kalau mereka beri aku kesempatan, aku
po
Misalnya?
in
a-
116
Orang-orang asing terkubur dalam ketidakacuhan, tersinggung
karena merasa tidak diistimewakan di tempat yang kesehariannya
sendiri pun sudah tidak ada istimewanya lagi. Sopir rakus ter-
tawa girang. Masih ditambah pemabuk dan pelaku kriminal
yang terus mengintai di sudut pasar. Di bawah matahari yang
melegamkan kulit, penantian panjang di pasar sepi kota mulai
membakar emosi.
Dibandingkan penderitaan penduduk, frustrasi turis asing
sama sekali tidak ada apa-apanya. Kami hanya datang melongok-
longok sebentar, mengagumi gunung-gunung indah, merasa
bosan, lalu boleh pergi sewaktu-waktu. Kendaraan susah, tetapi
om
bukan berarti tidak ada. Asal ada uang, kami masih bebas me-
t.c
langkah. Tajikistan hanya akan menjadi beberapa lembar co-
po
117
KELUARKAN AKU
DARI TAJIKISTAN
118
Rang Kul pastilah masuk daftar tempat paling terpencil di
dunia, teronggok di sudut pegunungan negara yang juga ter-
pencil di muka bumi. Rang Kul, artinya danau berwarna, me-
rujuk pada danau cantik yang barusan tampak di tengah padang.
Di ujung danau ada perkampungan kecil dan gersang dengan
rumah-rumah kayu yang tersebar jarang-jarang, juga dinamai
sama: Rang Kul.
Setelah penantian panjang dan prosesi tawar-menawar sengit
di pasar Murghab, turis Israel dan Amerika memang berhasil
mencapai persetujuan dengan sopir. Ongkos angkut sampai ke
Kirgizstan 140 dolar, tetapi sopir akan membawa keluarganya
om
ikut serta dalam mobil. Kedua turis asing juga mengizinkan saya
t.c
po
semuanya gemuk dan kekar juga ikut naik. Hop, cekatan mereka
lo
.b
om, dan tante lain seperti yang ada di iklan mobil di Indonesia.
a-
ak
119
yang cuma untuk mengangkut bibi-bibi itu. Turis Amerika di-
basahi keringat dingin. Wajahnya jelas tegang. Kirgizstan masih
jauh, Brat. Dari Rang Kul, mobil harus berbalik ke Murghab—
sekitar satu jam—baru membelok ke utara ke Kirgizstan melintasi
jalan beraspal mulus Pamir Highway. Padahal, tepat tengah ma-
lam ini, Tajikistan sudah akan menjadi tanah ilegal baginya.
Sepanjang jalan ke utara menuju Kirgizstan, di sebelah ka-
nan tiang-tiang kayu berpagar kawat berbaris. Di belakang pagar
itu hanyalah gunung-gunung batu.
”Ada apa di balik pagar?” saya bertanya. ”Itu Cina. Ini per-
batasan Cina,” ujar turis Israel sok tahu. Saya tak percaya, ”Saya
tak melihat apa-apa di balik sana.” om
t.c
po
nyeberang.
st
120
Ya. Zona aman. Mungkin itulah yang membuat dada saya
bergejolak sekarang. Berada dalam mobil yang menyusuri pagar
panjang, hanya lima meter jauhnya dari garis batas, ada rasa tak
nyaman. Sifat dasar manusia, sepertinya memang untuk men-
jauhi garis batas. Meninggalkan zona aman, seperti balita yang
merangkak sendirian meninggalkan pagar rumahnya menye-
berang jalan raya. Seperti lelaki yang sendirian meninggalkan
kampung halamannya mengembara di laut lepas dan gurun ger-
sang. Zona aman itu adalah rumah. Halaman. Kampung.
Negara. Perbatasan memang mengurung zona nyaman manusia,
tetapi berada di dekatnya, malah kecemasan yang menyelimuti.
om
Karena lewat garis ini, zona aman sudah menguap. Tak ada lagi
t.c
perlindungan. Manusia berdiri di alam liar.
po
peraturan baru, negara baru, sistem baru, mata uang baru. Se-
st
pu
mua serba asing. Yang di balik pagar itu adalah calon negara
adikuasa masa depan, ukurannya setara dengan 70 kali Taji-
kistan. Tujuh puluh kali! Membayangkannya saja sudah cukup
membuat bergidik.
Di belakang pagar kayu sederhana itu memang bukan Cina.
Mana mungkin negara macam Cina punya perbatasan ko-
song dan mudah dipanjat seperti ini? Ribuan tahun lalu saja
mereka sudah membangun perbatasan yang kokoh: Tembok
Besar, yang pernah menjadi garis batas antara bangsa beradab
dan bangsa biadab, serta diklaim dalam sejarah nasional mereka
sebagai satu-satunya bangunan buatan manusia yang terlihat
121
dari bulan14. Jarak ke Cina setidaknya masih sekitar 15 kilometer
dari sini, sejajar dengan pagar kawat yang memisahkan jalan
raya dari daerah sensitif perbatasan Tajikistan. Di belakang pa-
gar, tentu saja masih Tajikistan yang itu-itu juga. Daerah ini
sensitif karena dekat perbatasan tiga negara—Tajikistan, Kir-
gizstan, dan Cina. Zona aman Tajikistan sudah hampir berakhir
di sini.
Bulu kuduk saya berdiri. Barisan pagar membisu memancar-
kan aura agresif. Tak ada makhluk lain, kecuali kawanan domba
yang merumput di padang gersang. Setidaknya batas-batas yang
tergurat dalam benak manusia berbeda dengan batas dalam
om
alam pikir hewan. Bukannya mereka tak punya batas, hewan-he-
t.c
wan pun tahu perbatasan. Mana padang rumput. Mana hutan
po
musim dingin.
in
a-
dengar ocehan kedua turis yang tak lelah menggerutu. Saya ber-
napas lega ketika mobil kami dihentikan polisi. Semua
14
Pada tahun 2005, mitos ini dibantah sendiri oleh taikonot Cina, Yang Liwei. Ia
memang tidak sampai ke bulan, tetapi Tembok Besar Cina sudah tidak terlihat
dari antariksa. Karena pengakuan ini, pemerintah Cina sampai sibuk menulis
ulang buku-buku pelajaran sejarah yang mencantumkan klaim penuh kebanggaan
nasional dan semangat patriotisme ini.
Menariknya, sebutan taikonot pun menggambarkan sebuah garis batas lain.
Antariksawan dari blok Timur disebut kosmonot, antariksawan blok Barat
disebut astronot, dari Tiongkok disebut taikonot, berasal dari kata taikong yang
berarti angkasa. Suatu hari nanti, Indonesia bisa jadi akan menamai angkasawan-
nya sebagai antariksanot.
122
penumpang turun. Mobil digeledah. Dokumen diteliti. Barang-
barang diperiksa. Wajah-wajah ditatap. Semakin dekat ke per-
batasan, semakin tidak bersahabat. Garis batas itu, melalui biro-
krasi dan pengamanannya, seolah berteriak, ”Hai, manusia!
Jauh-jauhlah engkau dari kami! Tempatmu bukan di sini!”
Danau raksasa terhampar di kiri jalan. Gelap. Sunyi. Ngeri.
Langit bertabur jutaan bintang berkelap-kelip indah. Saya me-
mutuskan untuk berhenti di sini, meregangkan otot, mengisi
perut, sementara kedua turis melanjutkan jalan menembus ba-
tas Kirgizstan tengah malam.
Debu mengepul digilas roda jip tua. Saya membopong ransel
om
berat, berjalan terbungkuk-bungkuk. Saya tak kenal siapa-siapa
t.c
di sini. Orang Tajik yang direkomendasikan para polisi di
po
tentara, semua orang di sini adalah orang Kirgiz, dan saya sama
.b
do
untungan.
st
pu
123
tang lebih cepat di pegunungan. Nuansa mencekam membarengi
angin yang berembus kencang. Keheningan menyelimuti tepian
danau. Air beriak diterpa angin. Kawanan domba digiring para
gembala, seakan merupakan pantulan dari mega yang berarak
di langit biru. Dingin menusuk tulang. Saya membayangkan,
bagaimana ratusan tahun lalu para pengelana akbar macam
biksu Hsuan Tsang atau Marco Polo menyaksikan kesunyian
penuh misteri, dengan desir angin yang menegakkan bulu roma,
di tepian danau raksasa tanpa kehidupan ini. Terbayang pula
barisan unta para saudagar Jalur Sutra yang sesekali melintasi
pegunungan cadas dan padang penggembalaan. Kala itu tak ada
om
Tajikistan, tak ada perbatasan dan pagar-pagar kayu, tak ada
t.c
tentara yang memeriksa mobil, tak ada kampung rumah-rumah
po
segala kekosongan.
in
a-
124
spion—agen rahasia alias mata-mata, sebuah kata yang teramat
sensitif dalam nostalgia Uni Soviet. Tapi setelah yakin saya bukan
makhluk berbahaya, ia sedikit melonggarkan sabuk kewaspadaan-
nya. ”Sedang apa kamu di sini? Kalau kamu butuh tumpangan,
nanti saya bantu. Jangan khawatir, semua kendaraan yang mau
menuju Kirgizstan harus berhenti dulu di pos kami.”
Saya lebih tertarik akan pasukannya. ”Untuk apa delapan
puluh prajurit di tempat sepi seperti ini?”
”Oh, banyak sekali yang mereka lakukan di sini,” sanggahnya.
Para tentara mencatat semua kendaraan yang melintas, mengecek
dokumen semua orang, dan memeriksa bagasi kalau-kalau ada
om
obat terlarang yang diselundupkan. Dari pos patroli ini, kita
t.c
po
125
nembakkan rudal sampai ke negeri Cina.” Saya berdecak kagum,
membayangkan Tajikistan benar-benar meluncurkan rudal dari
sini ke arah Beijing. Ia tersenyum bangga, lalu melenggang
pergi.
rang sekali yang bisa berbahasa Tajik. Kalau pun ada, hanya
in
a-
126
mah di Karakul, seperti halnya di Alichur, berbentuk kotak-ko-
tak seragam, tersebar tak keruan, namun rapat.
Menjelang musim dingin, air gunung mulai membeku dan
generator tak lagi berputar sesibuk biasanya. Listrik tak menyam-
bang lagi. Orang desa terpaksa kembali ke radio transistor un-
tuk mengusir bosan. Pria Kirgiz berjaket tebal sibuk bermain
catur atau mengobrol, sementara kaum hawa memasak, me-
masukkan kayu dan batu bara ke tungku penghangat ruangan.
om
Melewatkan bertahun-tahun hidup yang berharga di tempat ini
t.c
sepertinya sungguh membosankan. Dalam dua jam hingga te-
po
127
Anak-anak sekolah berlarian riang keluar dari gedung sekolah
mungil di utara dusun. Hari ini ada pembagian susu. Aga Khan,
sang pemimpin spiritual umat Ismaili, masih menyokong ke-
hidupan masyarakat provinsi GBAO. Setiap minggu anak-anak
mendapatkan jatah susu kotak yang diproduksi di Kazakhstan.
Khurshed dengan gagahnya menghentikan anak-anak SD itu.
Bak preman Tanah Abang dia menyuruh mereka menyerahkan
kotak-kotak susu.
”Kumpulkan dari teman-temanmu yang lain, ya. Semakin
banyak semakin baik,” kata Khurshed. Mereka berlarian kembali
ke sekolah, ke habitat yang penuh bocah berjas hitam yang asyik
om
menyedot susu. Sekejap kemudian, lima bocah datang me-
t.c
nyerahkan delapan kotak susu. Masih kurang, kata Khurshed.
po
Tapi apa daya, sudah tak ada lagi. Khurshed memberi mereka
gs
lo
nya!”
in
a-
stok mingguan. Untung Aga Khan tidak ada di sini. Apa katanya
st
pu
128
arah jutaan bintang yang bertaburan pada langit kelam yang
cerah.
Bintang jatuh! Beberapa garis terang melintas di langit ke-
lam. Waktunya untuk meneriakkan permintaan.
”KELUARKAN AKU DARI TAJIKISTAN!!!”
domba dan yak. Tetapi para sopir tidak punya dokumen untuk
lo
.b
Pos tentara Tajik ini sangat kecil. Hanya dua orang bertugas
pu
dalam ruang gelap di tepi jalan gunung yang sepi. Setiap hari
ada sepuluhan mobil melintas—pekerjaan mereka kebanyakan
diisi tidur di balik selimut tebal. Asap mengepul terus-menerus
dari mulut berbau rokok. Bermain catur dan mengobrol adalah
hiburan satu-satunya. Entah sudah berapa juta set catur sudah
mereka mainkan di tengah gunung sunyi ini. Kedatangan sopir
truk menjadi kebahagiaan untuk mewarnai monotonnya hari.
Para tentara yang semula penuh senda gurau dan tawa ceria,
begitu tiba pada detik-detik paling menentukan—negosiasi uang
sogokan—langsung menyuruh saya menunggu di luar. Sepuluh
129
menit berikutnya, kedua sopir keluar dengan muka merah pa-
dam.
Mereka baru saja diperas habis-habisan.
Lepas dari mulut singa yang satu, masih banyak singa lapar
dan beringas lainnya menanti. Jalanan terus mendaki. Semakin
ke atas, sogokan yang diminta semakin besar. Hingga pada pun-
cak semua perjalanan ini, perbatasan internasional Tajikistan-
Kirgizstan di atas sebuah gunung yang bernama Kyzyl Art.
Memasuki perbatasan huruf besar Rusia tertatah di atas mo-
numen: Provinsi Otonomi Pegunungan Badakhshan Menyambut
Anda. Sambutan macam apa yang diberikan oleh tempat yang
om
lebih mirip garasi ini? Apa lagi kalau bukan sogok-menyogok
t.c
dalam ruang gelap?
po
lihat saya yang dari Indonesia. Pertama kali seumur hidup, kata-
ak
130
Tajikistan tak beda jauh dengan Indonesia—bea cukai adalah
ladang basah. Di ruang sempit, antara korban dan pejabat ber-
kuasa, tidak ada saksi lain yang melihat bagaimana uang menga-
lir dari saku ke saku. Sejurus kemudian, kawanan anjing besar
digiring untuk mengendusi ban mobil, mencari narkotika yang
diselundupkan.
Setelah pabean, sekarang imigrasi—buaya ganas berikutnya.
Kalau tadi berupa peti kemas bekas berbentuk kotak, yang ini
adalah mantan tangki truk minyak yang disulap jadi kantor.
Ruangan bundar di dalamnya mengingatkan saya pada wahana
rumah miring Dunia Fantasi di Jakarta. Siapa sangka dalam
om
tangki rongsokan ini nasib paspor saya ditentukan?
t.c
”Visa kamu habis hari ini,” kata petugas imigrasi, ”Sayang
po
sekali. Coba kamu datang besok, kamu pasti harus bayar 100
gs
lo
dolar.”
.b
do
131
sebuah negara lain mempertahankan eksistensinya. Bahasa ber-
ganti. Mata uang berganti. Bendera berganti. Kebangsaan, ke-
banggaan, sejarah, semua berganti. Saya mengucap selamat ting-
gal pada Tajikistan, saya menjejakkan kaki di dunia baru.
Dunia sekarang bernama Kirgizstan.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
132
Bab 2
Kirgizstan
Tenggelam di Atas Peta
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
Pepatah Kirgiz
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
SELUBUNG IMPRESI
135
deretan daftar panjang itu. Lima polisi mengelilingi saya. Perut
mereka gendut, mengimbangi topi mereka yang bulat besar.
Seorang menggebrak meja, seorang yang lain berteriak, sisanya
membelalak dan bersedekap.
Sungguh saya curiga apakah mereka betul berminat pada
paspor saya. Bukannya memeriksa visa Kirgizstan, polisi malah
membaca visa Laos yang penuh dengan huruf keriting, sambil
manggut-manggut tanda mengerti.
Akhirnya, setelah ritual panjang di kamar gelap, para polisi
menunjukkan niat asli mereka.
”Keluarkan dompetmu! Cepat!” katanya.
om
Trik lama. Mereka pasti beralasan di dompet saya ada uang
t.c
po
136
Untungnya, saya tidak sendiri. Di samping saya ada Mansur,
pemuda Uzbek dua puluh tahunan yang baru saya kenal di
pasar, dan sedari tadi mendampingi saya keliling untuk mem-
praktikkan bahasa Inggris. Mansur berteriak lantang di hadapan
para polisi. ”Pamanku juga polisi, kalian jangan macam-macam
ya. Kalian tahu, pamanku kenal dengan komandan kalian. Be-
rani kalian berbuat macam ini kepada dia, lihat saja, besok ka-
lian sudah tidak perlu bekerja lagi. Mau?!”
Bagai disambar geledek! Ancaman yang saya kira hanya
main-main itu ternyata manjur. Semua terjadi begitu cepat. Se-
jurus kemudian, saya dan Mansur melenggang keluar kantor
om
gelap ini. Polisi-polisi berlagak tak pernah terjadi apa-apa, lang-
t.c
po
137
nawarkan kurs beberapa tiyin15 lebih tinggi. Beberapa ibu-ibu
berkerudung memegang segepok uang Som dan kalkulator
besar, siap melakukan tawar-menawar di pinggir jalan. Dengan
selembar seratus dolar, saya mendapat setumpuk uang, ratusan
lembar. Tentu saja susah menghitungnya. Di mata saya, semua
ini tampak seperti uang monopoli yang begitu asing. Pelan-
pelan saya menghitung sambil komat-kamit.
Hah. Ternyata kurang 20 Som. Saya kembalikan lagi setum-
puk uang itu ke ibu penukar. Ia menghitung lagi pelan-pelan.
”Iya, memang kurang dua lembar,” katanya dalam bahasa Rusia,
sambil kemudian menyelipkan dua lembar uang 10 Som di de-
om
pan mata. Seperti seorang yang mengajak berkenalan, ia terus
t.c
po
15
Som, mata uang Kirgizstan. 1 Som = 100 tiyin. 1 Som kira-kira sekitar Rp250.
138
ketika berada di negeri yang sama sekali asing, kewaspadaan
bisa anjlok drastis.
Sorenya, ketika saya melangkah ke warnet, komputer yang
saya gunakan sebelumnya dipakai orang yang lupa logout dari
e-mailnya. Terpampang sebuah surat elektronik yang belum ter-
kirim, berjudul:
Privet iz Osh Goroda, ”Salam dari kota Osh.”
muka bumi, yang entah sudah berapa jumlahnya hari ini, di-
tambah lagi negara-negara baru yang terus bermunculan. Setiap
cap yang melekat di paspor adalah lambang kebanggaan—pe-
nanda keberhasilan menembus garis batas negeri. Setiap negara,
walau hanya terpandang sekejap mata, menyimpan memori un-
tuk dibagi dengan kawan-kawan di rumah. Negara A begini,
negara B begini. Begitu mudahnya negeri-negeri di balik garis
batas hanya didefinisikan dalam satu-dua kalimat, karena me-
neropongnya pun hanya dengan satu-dua hari, sering kali dari
balik jendela bus pariwisata dengan panduan tour guide yang
membawa rombongan manusia-manusia dengan tujuan sama.
139
Ada pula penikmat dunia yang melangkah perlahan-lahan,
menghabiskan waktu bertahun-tahun di setiap tempat yang di-
kunjungi, mempelajari saripati kehidupan dari berbagai lapisan
masyarakat yang dijumpai. Penikmat dunia ini tidak peduli tar-
get apa pun untuk dilihat atau disaksikan. Terkadang ia pergi
ke bukit gundul, ke tanah gersang, ke medan perang, atau ke
kampung miskin. Setiap helai daun, setiap kelopak bunga,
adalah keindahan kuasa Ilahi yang patut disyukuri. Waktu bagi-
nya, seutuhnya hanya demi menikmati alam raya.
Ada yang terpaku pada buku panduan—wajib hukumnya un-
tuk mengunjungi semua tempat yang terdaftar di buku. Ada
om
yang tak peduli sama sekali—traveling menjadi going nowhere dan
t.c
seeing nothing, keadaan tempat dan atraksi wisata menjadi tak
po
penting lagi.
gs
lo
140
kawan lama setelah terpisah bertahun-tahun. Impresi pertama
tentang Kirgizstan dulu adalah kehidupan santai dan tenang,
lembah-lembah dan padang hijau membentang di antara ke-
pungan puncak salju Tianshan—Pegunungan Surgawi, kehidupan
bangsa nomad di kemah berpindah, danau biru kelam Issyk Kol
yang memantulkan kebesaran angkasa raya, petualangan dengan
menumpang truk mengunjungi daerah-daerah terpencil di pe-
dalaman, dan menenggak arak dari susu kuda. Impresi ala ka-
darnya dari seorang turis yang terpukau hanya oleh keindahan
dunia.
Kini saya kembali lagi ke Asia Tengah, mengunjungi Kir-
om
gizstan, dalam perjalanan pencarian identitas di balik garis batas
t.c
po
141
kungkungan nostalgia zaman komunis, mereka menggusur ba-
hasa Rusia, nama kota dan jalan yang berbau Soviet diganti,
peraturan penamaan orang ala Rusia yang berakhiran ov dan
ova dihapuskan, bahkan patung-patung pun dirobohkan. Pa-
tung, monumen, adalah seonggok memori yang dikristalkan da-
lam wujud dan rupa. Ketika dewa-dewa dan berhala kebanggaan
masa lalu lenyap, ideologi yang dulu dipegang tahu-tahu hancur
lebur, orang pun berusaha sekuat tenaga melupakan masa lalu
itu. Jadilah patung-patung—berhala kebanggaan dan kepercayaan
masa lalu—dirobohkan.
Rakyat Irak ramai-ramai merobohkan patung raksasa Saddam
om
Hussein di Baghdad setelah rezim itu jatuh. Orang Rusia ramai-
t.c
po
142
Osh, Kirgizstan, patung Lenin masih berdiri gagah mengibarkan
tangan dan Jalan Lenin masihlah jalan utama di pusat kota.
Masa lalu itu belum berlalu.
kota ini lebih tua daripada Roma. Osh pernah menjadi per-
.b
do
143
di negaranya. Benar atau tidaknya kepercayaan mereka, wallahu-
alam. Namun yang jelas, tempat-tempat seperti ini selalu menjadi
tempat ziarah umat Muslim, yang sepertinya begitu antusias me-
nemukan jati diri serta menikmati kebebasan berziarah dan
beribadah setelah sekian lama agama dikekang rezim komunis
Uni Soviet.
Di Asia Tengah, sufisme tumbuh subur, Islam berpadu har-
monis dengan tradisi dan kepercayaan lokal. Ziarah tempat suci
dan makam adalah bagian penting dari kepercayaan itu. Mereka
percaya, tiga kali berziarah di Sulaeman Too setara dengan se-
kali pergi ke Mekkah. Dulu, orang harus sembunyi-sembunyi
om
untuk sembahyang di gunung ini kalau tidak ingin ditangkap
t.c
serdadu komunis dan dikirim ke kamp kerja paksa. Sekarang,
po
kesembuhan.
ak
kota kecil. Bukan hanya sekadar liang lahat dengan batu nisan,
makam di sini dihias menara, kubah, dan tembok berukir. Ba-
yangkan kalau ratusan makam bertebar tak beraturan, masing-
masing dengan dekorasi seperti itu. Dari puncak Sulaiman, ma-
kam di kaki bukit ini kelihatan bak kota kuno zaman Jalur
Sutra. Tetapi penduduk tak mengizinkan saya mendekat. Itu
tabu, kata mereka. Makam adalah tempat suci, ajang roh ber-
gentayangan, bukan tempat orang asing berwisata.
Daripada piknik di kuburan, turis sebaiknya berkunjung saja
ke pasar kuno Jayma Bazaar, atau Pasar Jumat, tempat dulu saya
dirampok polisi, tapi juga tempat para pedagang Kirgiz dan
144
Uzbek campur aduk menawarkan segala macam barang, mulai
dari topi ak kalpak, permadani shyrdak khas Kirgiz, baju sutra
tenunan atlas, dan jubah kebesaran berbenang emas khas
Uzbek, masih ada pula buku bekas, sabun, kismis, semangka,
teh, tembikar, sapu lidi, batu baterai, minuman soda, sampai
celana jins buatan Tiongkok.
Orang Uzbek yang mendominasi pasar terkenal sebagai
pekerja keras sekaligus pedagang jempolan. Di sini juga berbaur
manusia dari berbagai ras dan wujud rupa: Kirgiz, Korea,
Dungan, Rusia, Tatar, Tajik. Di zamannya, Osh pastilah kota
yang begitu kosmopolitan, ketika para pedagang dari berbagai
om
bangsa melintas: Persia, Cina, Mongol, Arab, Venesia. Tetapi
t.c
setelah negara-negara baru berdiri, mengukuhkan garis batas,
po
145
naruh sepuluh tumpuk topi ak kalpak di kepalanya, berkeliling
pasar menawarkan dagangan. Bocah-bocah sibuk menawarkan
sabun dan kondom. Barisan mesin pembuat limun sederhana—
yang menghasilkan soda dari campuran air, gula, dan pemanis—
masih menjual dengan harga yang sama: dua som per gelas. Di
bagian lain pasar, tukang besi menghasilkan pisau yang indah
ukirannya dari bunyi dentang yang memekakkan telinga dan
lidah api yang menjilat-jilat.
Tiba-tiba, seorang nenek Kirgiz berteriak, sambil tertawa
gembira menampilkan giginya yang ompong. ”Hei! Aku adalah
ibumu dari Kirgizstan! Kamu masih ingat?”
om
Saya terloncat. Nenek itu masih terlihat sehat dan gemuk.
t.c
Dua tahun lalu saya pernah memborong topi tradisional Kirgiz
po
”Ke mana saja kamu selama ini? Kenapa tidak ada kabar
st
pu
146
”Orang-orang Kirgiz begitu murah hati, padahal mereka juga
bukan orang kaya.” Lelaki kulit putih itu masih terpana, hampir
tak percaya. Inilah impresi pertama Kirgizstan baginya.
147
lebih Asia—mata sipit dan hidung pesek. Bahasa orang Uzbek
masih bersaudara dekat dengan Kirgiz, tetapi secara kultural
mereka sangat berbeda. Di sini juga banyak orang Korea yang
mendiami Asia Tengah sejak dipindah paksa dari habitat asli
mereka oleh penguasa Uni Soviet. Banyak penduduk Rusia
yang eksodus, tetapi peninggalan orang Rusia masih terasa di
sini: vodka Osh sangat tersohor kualitasnya di Asia Tengah.
Karena letaknya, cita rasa makanan Cina begitu kental di
Osh. Laghman Uyghur—bakmi tebal dan panjang, disiram de-
ngan kuah dan bumbu yang terbuat dari irisan tomat, cabai
pedas, cacahan daging empuk, dan bawang, adalah menu utama.
om
Rasanya selezat hidangan yang disajikan di tempat aslinya di
t.c
Xinjiang sana. Pengaruh kuliner Tiongkok di Asia Tengah se-
po
benarnya sudah sejak lama. Tidak ada orang sini yang bisa me-
gs
lo
148
porsinya lebih besar daripada warung sebelah. Sehabis kerja,
Fakhriddin masih meluangkan waktu untuk mengajari saya ba-
hasa Uzbek, bahkan mengundang saya menginap di apartemen-
nya yang tak jauh dari restoran. Ia tinggal serumah dengan dela-
pan pegawainya, rata-rata juru masak dan pelayan. Kebanyakan
adalah pemuda Uzbek, tetapi ada juga tiga pelayan wanita
Kirgiz. Kedua etnis bercampur, tidak masalah. Laki-laki dan pe-
rempuan tinggal serumah, juga tidak masalah. Mereka berdesak-
desakkan di apartemen tiga kamar ini.
Masakan Fakhriddin memang lezat, tetapi terus terang, ru-
mahnya bukan favorit saya. Banyak orang tinggal, semuanya si-
om
buk bekerja di tempat yang sama dengan jam kerja yang sama,
t.c
dan begitu pulang semuanya sama-sama kelelahan. Tidak ada
po
149
tut presiden berkuasa Kurmanbek Bakiyev mundur. Suasana
mencekam. Demonstrasi tampak penuh warna: ada orasi dengan
pembicara yang ngotot di hadapan ribuan pendukung, ada
tarian dan lagu-lagu, ada pula lempar-lemparan batu dan tem-
bakan senjata. Fakhriddin, Rahmatullah, dan para pegawai
restoran lainnya, bergeming menatap televisi, khawatir terjadi
kudeta.16
Tahun lalu, presiden pertama Askar Akayevich Akayev, yang
memerintah sejak Kirgizstan merdeka, dipaksa turun melalui
demonstrasi besar-besaran. Presiden ini selalu berkomitmen un-
tuk membawa pembaharuan dan reformasi total di Kirgizstan,
om
tetapi pada kenyataannya krisis ekonomi menjadi berkepan-
t.c
jangan, warga miskin semakin bertambah, dan hidup rakyat je-
po
16
Kemudian, pada tahun 2010, presiden Bakiyev benar-benar mundur akibat ku-
deta dan kerusuhan.
150
Kalau setiap tahun ganti presiden, kapan majunya? Bagi saya
siapa yang jadi presiden tidak ada bedanya. Tidak ada penga-
ruhnya sama sekali buat rakyat kecil!” Bagi koki Uzbek ini, po-
litik hanya omong kosong. Inikah kemerdekaan? Negeri baru
tetap jadi ajang rebutan kekuasaan. Orang-orang itu terlalu ting-
gi kedudukannya untuk memperhatikan nasib pedagang pasar
seperti dirinya. Yang lebih menarik perhatiannya adalah harga
bahan masakan dan apakah warungnya tetap ramai pengunjung.
Krisis kepresidenan yang meletus di Bishkek, jauh di utara
sana, tak banyak pengaruhnya di selatan sini, basis pendukung
Bakiyev. Pasar masih tetap sibuk, jalanan ramai oleh mobil dan
om
pejalan kaki, tak ada demonstrasi, warung-warung tetap ramai
t.c
seperti biasa.
po
gs
lo
.b
do
in
a-
151
hak. Bagi keluarga Uzbek tradisional, adat pernikahan gaya Sitti
Nurbaya ini masih sangat lazim.
”Tapi aku tidak mau menikah seperti itu,” sambung Mansur,
”Pernikahan itu mesti didasari cinta. Aku sendiri sudah punya
pacar. Kamu ingat kan, gadis yang dulu aku kenalkan?”
Saya tertawa membayangkan Mansur yang ternyata masih se-
tia dengan ”cinta monyet”-nya. Mansur menuang kembali teh
hijau ke dalam cawan saya. Kami duduk di atas dipan, dalam
bahasa Uzbek disebut takht—berasal dari bahasa Persia yang juga
menjadi asal kata ”takhta”. Ibu Mansur terkejut melihat saya.
”Ke mana saja kamu dua tahun ini? Waktu kami mendengar
om
ada tsunami di Indonesia, kami takut, jangan-jangan kamu jadi
t.c
korban. Kamu sama sekali tidak pernah mengirim kabar, kami
po
perti dulu.
in
a-
152
Kirgizstan. Uzbekistan begitu dekat. Perbatasan Uzbekistan ha-
nya dua puluh menit dari pusat Osh, dinamai Dostlik, dalam
bahasa Uzbek artinya ”persahabatan”—sebuah nama yang cukup
populer di bekas imperium Uni Soviet. Persahabatan dan per-
damaian dijadikan kata sakti, dan ironisnya hubungan antar-
etnis justru memancing pertikaian berdarah.
Di Asia Tengah, orang Uzbek punya populasi terbanyak, le-
bih dari 25 juta jiwa. Etnis Uzbek bukan hanya tinggal di
Uzbekistan, tetapi meluber ke negara-negara tetangga. Jumlahnya
pun sangat besar, bahkan sering kali menjadi etnis mayoritas di
kota-kota luar negeri. Osh di Kirgizstan, Khojand di Tajikistan,
om
Turkestan di Kazakhstan, Turkmenabat di Turkmenistan, bah-
t.c
kan setidaknya empat provinsi di Afghanistan utara didominasi
po
17
Kelak, pada tahun 2010, sekali lagi Osh banjir darah. Kerusuhan massal dan
pertikaian etnis merebak. Ratusan tewas, dan lebih dari 100.000 etnis Uzbek
mengungsi ke Uzbekistan. Kirgizstan kembali dilanda krisis politik dan sosial
153
Pemerintah Kirgizstan ingin memperbanyak populasi Kirgiz dan
melebarkan pengaruh Kirgiz di sini. Kebijakan rasial ini mengun-
dang kemarahan penduduk setempat. Perlawanan orang Uzbek
terhadap Kirgizisasi Osh mengingatkan saya pada pergesekan
dan resistansi etnis yang kerap muncul di daerah tujuan transmi-
grasi di Indonesia.
Bagi Kirgizstan, kota tua Osh bak permata. Ketika negeri ini
merdeka, mereka perlu kebanggaan nasional demi mengukuhkan
identitas negeri. Walaupun miskin, negara ini tak segan meng-
habiskan jutaan dolar demi merayakan peringatan 3.000 tahun
berdirinya Osh secara besar-besaran, menerakan bukti bahwa
om
negeri kecil bangsa nomad di lekukan Pegunungan Surgawi pun
t.c
punya sejarah yang begitu panjang.
po
tuk melihat bangsa Kirgiz yang baru turun gunung. Mereka pe-
st
pu
18
Raja Moghul dari Andijan di Lembah Ferghana, Uzbekistan
154
Tajikistan dan Uzbek ke Uzbekistan, sedangkan etnis Hazara
yang tak punya tanah air di mana-mana lagi menjadi mangsa
empuk pembantaian.
Kebanggaan bangsa Uzbek tidak lepas dari kenyataan bahwa
bangsa ini sudah hidup menetap jauh sebelum bangsa nomad
Kazakh dan Kirgiz ”dirumahkan” oleh penguasa Rusia. Ketika
Kirgiz masih menggembala berpindah dari lembah ke lembah,
gunung ke gunung, Uzbek dan Tajik sudah membangun kota-
kota besar yang menjadi permata peradaban Islam di abad per-
tengahan. Di Osh, kita masih menyaksikan perkampungan
Uzbek mendominasi daerah pusat kota. Rumah orang Uzbek
om
tersembunyi di balik tembok pagar tinggi. Dari luar tidak ke-
t.c
lihatan apa-apa selain tembok padat.
po
155
sudah tidak penting lagi untuk bicara bahasa Kirgiz, yang di
matanya adalah etnis dan budaya yang lebih rendah tingkatannya.
Mana rumah orang Kirgiz, mana daerah kekuasaan orang
Uzbek, mana batasnya, mana kroninya, semua tertera gamblang
di benak masing-masing orang di kota ini. Kita, orang luar, tak-
kan pernah mengerti. Tetapi bagi mereka, semua itu segamblang
hitam dan putih.
Perbedaan etnis sering kali menjadi problem di negara-ne-
gara multirasial. Ada arogansi identitas, ada isolasi, ada pula
curiga dan iri hati. Kapan dunia ini damai, bebas tanpa perang
dan penderitaan, tanpa lagi ada pembantaian manusia hanya
om
karena warna kulit, agama, dan ideologi? Mampukah manusia
t.c
meruntuhkan tembok-tembok itu? Atau, jikalau tembok-tembok
po
156
LANGIT YANG RUNTUH
157
roti yang sudah mengeras, gorengan tepung borsok yang sudah
mengerut dan hilang daya tariknya, patahan cokelat, ceceran
kacang tanah, wafer yang sudah melempem, beberapa apel dan
jeruk busuk. Campur aduk seperti sampah.
Bagi kebanyakan orang, yang tersaji di atas taplak ini paling
hanya makanan ringan di pagi hari. Makanan ini bahkan sudah
tidak layak lagi masuk perut. Tetapi justru remah-remah ma-
kanan yang entah dikumpulkan dari mana yang menjadi menu
utama di sini.
”Seperti inilah makan malamnya orang miskin,” kata si pe-
rempuan tuan rumah, ”apa lagi yang bisa kami makan selain
ini? om
t.c
Jangan ditanya rasanya. Kalau bukan untuk pengganjal pe-
po
rut, sukar sekali menelan gorengan tepung yang keras dan ham-
gs
lo
bar itu, atau menelan potongan cokelat yang sudah masam dan
.b
do
158
Karaköl ini pasti rajanya kalau soal seram-seraman. Kok ya
ndilalah, bus tua penuh karat yang saya tumpangi berhenti di
sini, melempar semua penumpang ke tengah gulita malam. Kaki
saya bergetar ketika turun. Sopir dengan angkuh meninggalkan
kendaraannya di terminal begitu saja, lenyap dalam gelap yang
pekat.
Kalau bukan karena perempuan Kirgiz yang mengundang
saya ke rumah ini, entah sudah jadi apa saya sekarang. Namanya
Gulsaira, empat puluh tahunan, wajahnya sudah mengendur,
berjalan tertatih-tatih menggendong bayi mungil dan menuntun
bocah balita yang tak pernah diam. Di sampingnya berjalan se-
orang gadis tinggi, berambut dikepang. om
t.c
”Sudah, kamu tinggal di rumah kami saja,” kata Gulsaira,
po
159
Rumah tua... bukan hanya bunyinya, bau masam pun tercium
menyergap di koridor. Rumah besar ini ditinggali delapan ke-
luarga—empat di lantai dasar dan empat di lantai atas. Gulsaira
hanya menempati satu ruangan saja.
Gadis remaja itu langsung menjerang air, menyiapkan teh.
Si bayi duduk manis, sudah reda tangisnya. Si bocah kecil ber-
main mobil-mobilan usang. Sekarang waktu makan malam,
tetapi ibu dan gadis itu tidak memasak. Bukan karena malas,
tetapi mereka sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimasak.
Gulsaira duduk di sudut, mulai berkisah.
Suaminya sudah lama meninggal. Sekarang ibu ini mengasuh
om
ketiga anaknya seorang diri. Yang paling besar namanya Guldora,
t.c
16 tahun, tubuhnya tinggi semampai. Matanya agak sipit, hi-
po
160
Ketika negeri-negeri Asia Tengah baru merdeka, Kirgizstan me-
ngejutkan dunia dengan pembaharuannya. Di antara negara-ne-
gara Asia Tengah, Kirgizstan adalah negara pertama yang mem-
proklamirkan kemerdekaannya dari Moskow. Tahun 1992, tak
sampai satu tahun merdeka, perekonomian sosialis terpusat pe-
ninggalan Soviet dirombak total menjadi sistem pasar bebas me-
lalui serangkaian privatisasi dan reformasi di bidang industri,
kepemilikan tanah, pertanian, perbankan, dan sebagainya.
Kirgizstan menjadi negara pertama Asia Tengah yang punya
om
mata uang sendiri. Kirgizstan mendapat bantuan IMF dan Bank
t.c
po
161
konsultasi ketika presiden Rusia, Ukraina, dan Belarus meng-
umumkan pembubaran Uni Soviet. Kirgizstan tidak siap, tetapi
takdir sebagai negeri berdaulat harus diterima, mau tidak mau.
Dulu, Kirgizstan harus menurut perintah Moskow. Kini, ha-
rus manut aturan globalisasi, kapitalisme, dan lembaga inter-
nasional. Dobrakan ekonomi belum tentu obat mujarab. Mata
uang Som langsung ambruk begitu diperkenalkan, inflasi me-
roket. Bank kehabisan stok Som sehingga gaji tak terbayarkan.
Program privatisasi juga tak berhasil mengundang investasi.
Kirgizstan, nyaris tak punya sumber apa-apa lagi selain hidro-
elektrik, tak banyak dilirik investor. Sungguh kontras nasibnya
om
dengan saudara terdekatnya, Kazakhstan, yang kini menikmati
t.c
kemakmuran mendadak gara-gara minyak dan gas.
po
kerjaan.
st
pu
162
laupun uang pun tak banyak. Ah.... masa lalu selalu indah, ter-
lebih ketika masa kini begitu suram. Sekarang semuanya hilang.
Pekerjaan hilang. Pendapatan hilang—bahkan untuk membeli
gandum pun ia tak lagi sanggup. Malam mencekam karena kri-
minalitas semakin menggila.
Saya menghirup teh tawar, sambil mengunyah wafer yang
sama sekali tak bisa dibilang renyah. Eldiyar masih terlalu kecil
untuk memahami kesulitan ibunya. Bukan hanya menggoda
adik bayi sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-
remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam
cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke
om
tumpukan remah-remah roti, potongan cokelat, dan permen-
t.c
permen kedaluwarsa yang menjadi menu makan malam ke-
po
163
cakapan Gulsaira yang dalam bahasa Rusia, hanya menyeringai
memamerkan gigi bolong. Bocah ini manja, selalu menangis
kalau keinginannya tidak dituruti. Potongan-potongan roti, ma-
kanan yang sangat berharga bagi keluarga ini, dilemparnya ke
tanah. Guldora memunguti remah-remah yang terhambur, sem-
bari berusaha menyembunyikan permen dari rengkuhan Eldiyar.
Saya mengeluarkan beberapa bungkus cokelat, langsung di-
sambut Eldiyar dengan kedipan mata nakal dan senyum ter-
kembang. Dalam sekejap, pipi mungilnya cemong oleh cokelat
dan giginya menjadi semakin hitam. Saking nakalnya Eldiyar,
Gulsaira sampai memanggilnya si bocah setan.
om
Rasa sayangnya tak terhingga terhadap bayi perempuan
t.c
po
164
bertahan hidup. Tetapi tak jarang, justru ia yang lebih banyak
berkorban demi para tetangga.
Salah satu tetangganya di Karaköl adalah sepasang suami-
istri pemabuk. Di kala kehidupan demikian suramnya, orang
kembali lagi ke vodka sebagai jalan keluar membebaskan diri
dari tekanan hidup. Pasangan suami-istri ini, penganggur kelas
kakap, untuk memenuhi nafsu minum-minumnya terpaksa ha-
rus menjadi pengemis. Tetapi apa gunanya mengemis kalau se-
mua orang juga sama miskinnya? Si suami kemudian menjadi
perampok di jalan. Uang hasil perasannya habis untuk berjudi
dan bermabuk-mabukan.
om
Si istri juga sudah parah penyakit mabuknya. Bahkan ketika
t.c
mengandung bayi kedua, dia terus minum-minum. Anak perem-
po
165
mabuk sering kali tak bisa dipahami jalan pikirannya. Si ibu
meloncat, meraih bohlam yang masih menyala dengan tangan-
nya. Dia tersetrum, terelektrolisis bersama vodka yang mem-
basahi bibirnya. Ibu itu ditemukan warga keesokan harinya da-
lam keadaan tak bernyawa. Si suami pun kembali ke kehidupan
normalnya, setia merangkap berbagai profesi sekaligus: pe-
mabuk, pengemis, dan penjudi.
Sesekali Gulsaira masih mengunjungi rumah itu, mengasuh
gadis malang yang tidak dipedulikan orangtuanya lagi. Gulsaira
mengaku Muslim, tetapi ia tak pernah sembahyang ataupun
belajar agama, tak tahu satu pun huruf Arab. Dia hanya tahu
om
bahwa vodka adalah nenek moyangnya setan, dan bahwa hidup
t.c
po
166
suai namanya—bertujuan mewujudkan perdamaian dunia dan
membentuk citra positif Amerika.
Jason dan Rosa mengajar bahasa Inggris di sekolah. Waktu
berlalu dengan lambat di Toktogul. Begitu lewat jam mengajar,
hampir tak ada kegiatan lagi. Tak ada bar, disko, bahkan inter-
net. Tapi justru itulah yang menjadi daya tarik kehidupan di
sini—tenang, damai, jauh dari kepusingan duniawi. ”Menghilang”
dari muka bumi, demikian Jason melukiskan kehidupannya
dari kota besar Amerika ke Toktogul yang terpencil.
Jason menyarankan saya untuk berkenalan dengan kawan
baiknya: ibu guru bahasa Inggris asli Toktogul. ”Satina namanya,”
om
kata Jason, ”kamu pasti suka berkenalan dengannya. Dia juga
t.c
pasti suka kamu.”
po
put tersembul dari balik pintu. Matanya yang kecil tampak nya-
ak
167
Satina memasak sherpo, sup Kirgiz penuh dengan minyak
dan yogurt, yang saya hirup dalam-dalam bersama potongan roti
dan bubuk lada merah. Bagi saya, rumah Satina seperti mesin
waktu. Ada dinding kayu berbalut shyrdak—permadani sulaman
kotak-kotak warna-warni khas Kirgizstan. Ada telepon yang ma-
sih menggunakan papan putar, dan selalu ber-gedek-gedek-gedek
setiap kali satu nomor diputar—model telepon di Indonesia za-
man saya masih balita dulu. Ada pula televisi hitam-putih yang
tabungnya sangat cembung. Kekunoan di rumah ini kini ber-
padu dengan bahasa Inggris, lambang modernitas dan globalisasi
yang didengungkan sejak Moskow tak lagi menjadi pemandu
hidup. om
t.c
”Ini Frunze... ini Moskow... ini Berlin... ini Kiev...” Satina
po
168
telah mengubah Satina, kawan lama dari negeri Kirgiz. Setidak-
nya, tidak banyak yang berubah di Toktogul. Saya masih ingat
betul jalan utama ini, rindangnya pohon-pohon yang berjajar,
dan lapangan besar tempat konser. Tetapi saya sudah benar-
benar lupa gang-gang kecil menuju rumah Satina.
Hari ini Minggu. Jalanan lengang, hampir tak ada orang.
Sepertinya semua orang memang menggunakan hari libur hanya
untuk tidur. Saya melihat sesosok tubuh terkapar di atas daun-
daun kuning yang berguguran. Ada juga orang tidur pulas di
pinggir jalan seperti ini?
Wanita itu bertumbuh tambun, memakai sweter hijau. Posisi
om
tidurnya sepertinya tidak nyaman sama sekali. Kakinya tertekuk.
t.c
Mulutnya menganga. Sepertinya ia tergeletak begitu saja, bahkan
po
Apa ibu ini kena serangan jantung? Saya cemas. Orang lewat
.b
do
169
tak pernah lagi terbangun. Tak peduli laki-laki atau perempuan,
vodka tak pernah pilih-pilih korbannya.
Saya tiba-tiba teringat Satina juga hobi minum. Walaupun
Satina tidak pernah mabuk-mabukan di depan saya, saya tak
berani membayangkan kalau Satina teler seperti perempuan
yang terkapar ini.
Saya tak ingat apa-apa lagi. Kata keponakan, saya menangis ter-
gs
lo
Satina pun masih ingat saya. Bagaimana mereka bisa lupa? Dua
tahun lalu, saya datang dengan kulot sedengkul dari Indonesia.
Orang-orang di sini mengira saya pakai rok, mereka tertawa ter-
pingkal-pingkal.
”Sayang Jason dan Rosa sudah pergi,” katanya, ”Jason sangat
cinta Kirgizstan. Ia ingin tinggal lebih lama. Ia ikut lomba ba-
hasa Kirgiz di Bishkek, muncul di televisi. Sayang sekali kalah.
Ia sedih.... Urgh... kepala saya masih sakit, gara-gara mabuk ke-
marin. Saya minum terlalu banyak di pesta. Bagaimana ini, se-
karang saya mesti mengajar?”
Satina datang terlambat ke Sekolah Dasar dan Menengah
170
Birimkulov. Seperti umumnya siswa di belahan lain dunia,
absennya guru disambut dengan suka cita. Murid-murid Satina
bermain riang di kebun. Seperti pasukan tempur, begitu melihat
Satina dalam hitungan detik semua siswa berlarian serempak
menuju kelas, duduk manis, membuka buku pelajaran pada ha-
laman yang sama. Satina duduk, membenarkan letak kacamata
model kuno yang lensanya besar dan tebal, kemudian mulai
mengabsen murid-muridnya satu-satu.
”Hari ini hari apa? Tanggal berapa? Bagaimana cuacanya?”
Satina mengajukan pertanyaan dalam bahasa Inggris. Murid-
muridnya diam saja. Satina menerjemahkan pertanyaan dalam
om
bahasa Kirgiz, baru ada satu-dua murid yang mengacungkan
t.c
tangan. Satina mengeluh, “My students are too much stupid.”
po
Keras sekali. Baru pertama kali ini saya mendengar guru yang
gs
lo
171
have? How many cars do you have? How many apples do you eat every-
day? Anna tergelak melihat kebingungan saya. ”Jangan khawatir,
anak-anak hari ini baru belajar how many.”
Kirgizstan memang bukan negara kaya. Tetapi saya sangat
mengagumi kualitas sekolah di desa ini. Gedungnya kokoh, ber-
lantai dua. Ada perpustakaan dengan koleksi buku-buku bahasa
Inggris. Ada museum sekolah, menampilkan pahlawan-pahlawan
Kirgiz dan lambang-lambang nasional. Ada ruang olahraga.
Kantin dan toiletnya pun bersih. Ruang-ruang kelas dibagi ber-
dasarkan mata pelajaran. Ada ruang bahasa Inggris, ruang mate-
matika, ruang geografi, dan sebagainya. Ibu Guru Satina Eje
om
cukup duduk menunggu di ruangan bahasa Inggris, murid-mu-
t.c
rid dari berbagai kelas datang silih berganti.
po
172
Bocah-bocah mungil Kirgiz ini menggeleng-gelengkan kepala,
mengasihani orangtua di Indonesia yang dianjurkan punya dua
anak saja. Mereka lebih ternganga lagi ketika mendengar di
Cina orangtua hanya boleh punya satu anak.
”Kasihan sekali kaum ibu di Indonesia. Tidak ada anak-anak
yang membantu mencuci piring,” kata seorang gadis mungil de-
ngan pita rambut merah muda seperti telinga kelinci menjulang
di atas kepalanya.
”Bapak-bapak di sana pasti sedih sekali, karena kalau anaknya
pergi sekolah, tidak ada anak yang membantunya merawat
domba,” kata bocah lain yang memakai jas hitam.
om
”Iya. Kalau anaknya sakit, jadi tidak ada yang membantu ibu
t.c
di rumah,” sambung yang lain.
po
sikap kasih sayang yang luar biasa terhadap orangtua. Dari be-
.b
do
173
Pukul dua siang, tenggorokan saya sudah hampir putus rasa-
nya. Padahal saya tidak bicara sebanyak Satina. Sampai di ru-
mah, Satina langsung sibuk menyiapkan makan malam, me-
mutar telepon, dan mengobrol ngalor-ngidul dengan tetangga.
Masih juga ia memakai telepon tua itu.
Santap malam berupa sup sherpo dan pangsit pelmen. Sudah
dua jam ini ia sibuk menipiskan kulit pangsit, mengukus, me-
nyiapkan botol limun dan vodka, tak lupa pula mengundang
seorang wanita tetangganya. Mereka berdua bercakap tanpa
henti, dalam bahasa Kirgiz yang mengalir cepat, sesekali diiringi
tawa meledak, namun terdengar berat, monoton, mengentak,
om
seperti memaki. Sesekali, mereka berseru penuh ekspresi, ”A...
t.c
mi...!” khas orang Kirgiz mengungkapkan keterkejutannya. Suku
po
174
membaca huruf Arab dari saya. Di dinding kamarnya tergantung
beberapa hiasan. Satu bertulis Allah, satu bertulis Muhammad,
dan satunya lagi Bismillahirrahmanirrahim. Seperti sebagian
besar orang Kirgiz, Satina yang Muslim tidak tahu arti bacaan
tulisan-tulisan Arab yang menghiasi kamarnya.
”Ah, saya ingin sekali bisa mengerti artinya,” keluh Satina,
”tetapi bahasa Arab kelihatannya susah sekali ya.”
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
175
KOTA BANGSA GEMBALA
ribu jiwa ini pastilah seperti buku kotak-kotak anak SD. Ruas-
in
a-
176
Bangunan paling menonjol di Bishkek adalah TsUM, alias
supermarket ”sentral”. Kota-kota besar di bekas jajahan Uni
Soviet hampir selalu punya supermarket ”sentral”, toko besar
milik negara yang menjadi pusat kegiatan ekonomi di republik
itu. Sentral. Pusat. Ah, betapa indahnya kata itu..., mem-
bangkitkan nostalgia saya akan berbagai suasana dan polemik
sulit yang langsung terbisukan dengan jawaban, ”Itu semua dari
pusat”, ”Itu keputusan pusat”, ”Itu kata pusat”, ”Menurut
aturan pusat,” atau, ”Menurut petunjuk Bapak Presiden...!”
Tak ada yang bisa melawan pusat. Tak ada kreativitas yang
bisa menaklukkan segala keteraturan ini. Bahkan gembala pa-
om
dang rumput luas pun harus dengar apa kata para komrad di
t.c
Moskow sana.
po
tokoan lima lantai ini ada semua barang, mulai dari baterai
in
a-
177
Nasionalisme kebangsaan di Kirgizstan pun menggebu ketika
mereka memutuskan mengangkat kembali bahasa Kirgiz. Peme-
rintah mewajibkan bahasa Kirgiz di sekolah dan tempat kerja.
Mereka yang tak bisa bahasa Kirgiz—kebanyakan orang Rusia
dan bangsa minoritas lainnya—harus kehilangan pekerjaan. Bu-
kankah bahasa nasional adalah bagian dari simbol-simbol yang
harus dibela?
Namun, identitas tak bisa dibuat dalam semalam. Apakah
mungkin jika misalnya pemerintah kita mengumumkan, ”Baik-
lah, Saudara-saudara sebangsa, mulai besok bahasa nasional kita
adalah bahasa Inggris,” lalu semua orang di negara kita esok
om
harinya otomatis fasih berbahasa Inggris? Atau, mampukah kita
t.c
yang selama ini mengenyam pendidikan dalam bahasa Indonesia
po
178
kan penggunaan bahasa Melayu baku di jajaran kabinet, meng-
gusur dominasi bahasa Inggris, dan abrakadabra, menteri
keturunan India dalam semalam berubah dari orang cerdas
yang pandai bersilat lidah menjadi seperti anak sekolah dasar
yang baru belajar menyusun kata-kata. Timor Leste menghabis-
kan banyak dana dan tenaga untuk menerjemahkan buku-buku
dari bahasa Indonesia ke bahasa Portugis, tetapi jadi percuma
karena kebanyakan orang tidak bisa bahasa itu. Kirgizstan ke-
hilangan banyak ilmuwan yang eksodus ke Rusia gara-gara tak
bisa bahasa Kirgiz, dan akhirnya terpaksa mengangkat lagi dera-
jat bahasa Rusia di negaranya.
om
Bagi negeri-negeri, bahasa nasional adalah perjuangan besar
t.c
untuk mempertahankan eksistensi dan jati diri. Sementara di
po
179
apalagi negara artifisial, semuanya masih harus dibikin. Kirgiz-
stan mengubek-ubek tumpukan tradisi masa lalunya sebagai
jawaban.
Sekitar 700 tahun lalu, nenek moyang bangsa Kirgiz tinggal
di tepian sungai Yenisei di Siberia sana, tak jauh dari Kutub
Utara. Bangsa ini terpaksa melakukan perjalanan jauh hingga
ke Pegunungan Tianshan gara-gara serangan bangsa Mongol.
Baru di abad ke-20, orang Rusia memberi nama bagi kumpulan
klan-klan gembala ini, menjadikan mereka sebagai sebuah
bangsa, menciptakan tanah air dan garis batas, membakukan
bahasa, menghadiahi sepaket sejarah. Selamat datang ke muka
bumi, Kirgizstan. om
t.c
Para ahli etnografi memutuskan untuk memisahkan bangsa
po
180
merdeka, Frunze diganti Bishkek, yang artinya alat pengaduk
susu kuda, minuman bangsa penggembala.
Saya tertegun di hadapan bendera Kirgiz yang berkibar tinggi
di hadapan Patung Erkindik—patung kemerdekaan—berwujud
malaikat terbang sambil membawa matahari. Di bawah bendera,
para tentara berdiri tegap dengan sikap sempurna. Ini mungkin
adalah pekerjaan yang paling membosankan sedunia, berdiri
menjaga tiang, sepanjang hari dan malam. Topi mereka yang
bundar berukuran jumbo mengingatkan, ini adalah bekas ja-
jahan Soviet. Tetapi mereka mengawal kebanggaan Kirgiz: ben-
dera merah yang berkibar di atas sana.
om
Bendera Kirgiz tak lepas dari masa lalu mereka. Wujudnya
t.c
adalah matahari kuning (atau emas?). Bagi gembala, matahari
po
19
Nama Kirgiz berasal dari kata kyrk yang berarti 40, dan kiz yang berarti gadis.
181
desain permadani Turkmen yang tersohor keindahannya. Anak-
anak sekolah di negara itu pasti kesulitan menggambar bendera-
nya sendiri.
Burana dari abad ke-11. Tempat ini pernah menjadi ibu kota
st
pu
182
yang terpanggil menghadap satu arah yang sama. Balbal, demi-
kian patung batu ini disebut, adalah peninggalan peradaban
nomadisme Turki untuk penanda kuburan.
Menara Burana dan barisan balbal adalah masa lalu Kirgiz-
stan. Kini, setelah seratusan tahun lebih berada di bawah penga-
ruh budaya Rusia, kehidupan nomad Kirgiz telah jauh berubah.
Mereka bukan lagi bangsa pengembara yang merajai padang,
menjadi orang-orang yang menetap di blok-blok apartemen ber-
gaya Rusia. Kemah Kirgiz, selain di museum dan tempat atraksi
turis, memang masih dijumpai di padang rumput, di mana adat
keramahtamahan bangsa nomad membuat mereka menawarkan
om
minuman kumis dan yogurt kepada tamu mana pun. Tetapi ke-
t.c
hidupan di padang gembala ini hanya ada pada waktu musim
po
183
Dingin menyelimuti Bishkek. Tak hanya arti harfiah saja. Di
desa-desa kecil Kirgizstan, bahkan di kota Osh di selatan pun,
saya masih cukup mudah bercakap-cakap dengan orang di jalan.
Tetapi di sini, tampaknya semua orang sibuk, dikuasai oleh ke-
pentingan masing-masing, melangkah cepat di atas jalanan yang
licin. Tidak ada waktu berleha-leha atau bersenda gurau di
jalan. Senyum sangat langka di sini.
Apa benar seperti kata stereotipe, semakin dingin tempatnya,
semakin dingin pula orangnya? Di sekitar khatulistiwa, Indonesia
dan Thailand konon termasuk bangsa yang paling murah se-
nyum di dunia. Di Vietnam, sedikit ke utara, penduduknya le-
om
bih kaku. Di negara komunis, senyum sangat mahal. Di Beijing,
t.c
po
184
Saya sulit membayangkan menitipkan bayi ke sesama penumpang
bus di Indonesia.
Terlepas dari modernisasi dan Rusianisasi, kultur nomad di
Kirgizstan sangat kuat, bahkan lebih kuat daripada Islam yang
menjadi agama mayoritas. Sementara orang Uzbek dan Tajik
mengucapkan salam dengan berkata assalamualaikum, orang
Kirgiz jarang sekali menggunakan salam ini. Sebagai gantinya,
mereka menanyakan keadaan suami, istri, anak, keluarga, hewan
ternak, tenda, dan pekerjaan. Nama orang Kirgiz pun jarang
yang diambil dari bahasa Arab, kebanyakan nama-nama lokal
yang berasal dari legenda kebanggaan Manas.
om
Lagu kebangsaan Kirgiz juga banyak berkutat pada alam, se-
t.c
perti halnya kehidupan natural bangsa pengembara. ”Gunung
po
tinggi, lembah, dan padang adalah tanah air kami yang suci. Kakek
gs
lo
moyang kita yang tinggal di tengah Ala Too selalu menjaga sang ibu
.b
do
20
Legenda kepahlawanan bangsa Kirgiz, diwariskan secara oral dan panjangnya
ribuan baris.
185
Walaupun tinggal di Bishkek, Moken masihlah Toktogulduk—
orang Toktogul—yang tak lepas dari budaya bangsa penggembala.
Rumahnya terletak pinggiran Bishkek, di daerah perumahan
Ala Too. Perumahan ini tak semegah namanya. Rumah kayu
sederhana berbaris di balik pagar, kebanyakan kumuh. Tetapi
ada pula satu-dua yang menampakkan bahwa pemiliknya ka-
langan berada. Rumah Moken termasuk jenis yang kedua. Din-
dingnya dicat bersih. Ukurannya pun sangat luas, ada tiga ba-
ngunan terpisah. Kambing-kambing Moken tak berhenti
mengembik sepanjang hari.
Siapa Toktogulduk yang tidak kenal Moken? Anak desa
om
Toktogul yang sukses hidupnya di Bishkek. Mobilnya bagus,
t.c
rumahnya besar. Dengar-dengar Moken juga punya banyak ke-
po
186
bernapas. Ibu ini berbakat menjadi atlet gulat. Ah, mungkin ini
memang keramahan bangsa penggembala. Begitu polos, begitu
terbuka, tanpa tedeng aling-aling.
Tiga hari lagi, Moken akan melangsungkan hajat besar per-
nikahan putra sulungnya. Sejak seminggu ini, sanak saudara
terus berdatangan dari Toktogul. Beberapa ikut menginap di
rumah ini, banyak pula yang membawa bayi dan bocah kecil.
Rumah besar ini ramai, penuh tawa canda, berpadu dengan
tangisan bayi, gonggongan anjing, dan suara embik kambing.
Putra Moken bernama Timur. Calon istrinya, Zarina. Keduanya
masih belum genap 20 tahun.
om
Para tamu di rumah Moken ini adalah sanak saudara, dari
t.c
saudara kandung sampai famili yang hubungannya teramat-
po
batan yang melekat pada kultur bangsa ini selama ribuan tahun.
Kakek Moken sudah teramat renta, umurnya berkepala de-
lapan, tapi masih tampak sehat. Jenggotnya putih, panjang, ha-
nya sejumput. Topi bulu hitamnya membumbung tinggi. Ini
pastilah tipe aksakal yang paling akurat. Bangsa Asia Tengah
sangat menghormati orang lanjut usia. Orang Kirgiz menyebut
mereka aksakal—sang jenggot putih, dan orang Tajik musafid—
sang rambut putih. Apa pun yang keluar dari mulut aksakal
tidak boleh dibantah. Mereka selalu mendapat tempat paling
terhormat di ruangan. Mereka harus mendapat makanan ter-
lebih dulu, dan harus yang paling lezat, misalnya kepala domba
187
dan bongkahan lemak padat dari pantat hewan itu. Aksakal juga
punya hak veto dalam pengambilan keputusan keluarga.
Nenek Moken, juga terlihat renta, namun masih lincah ke
sana ke sini menyiapkan teh untuk para tamu. Ibu Moken, ber-
jubah tebal berhiaskan tenunan benang emas, berkonsentrasi
penuh menyuling vodka dari botol ke botol. Sanak saudara dari
desa duduk di ruang tamu, menikmati hidangan bersama teh
hijau yang mengalir tiada henti dari poci-poci. Timur, si mem-
pelai, sibuk membersihkan rumah, membelah kayu bakar, me-
layani tamu, mengepas jas pengantin. Zarina memasak. Bocah
balita juga sibuk, lari-lari, bermain mobil-mobilan, berkelahi,
om
menangis, memukuli anjing, menyepaki kucing. Kambing dan
t.c
domba Moken juga tidak bisa diam. Walaupun dikurung rapat-
po
mengusir barisan hewan bau itu. Ada pula seekor kuda gagah
ak
188
membelah daging dengan kapak. Empat potong kaki tegak sem-
purna, tanpa perut dan badan, berdiri menyangga angin. Kepala,
dengan mulut menyeringai dan gigi yang terkatup rapat, terong-
gok di pinggiran. Mata hitam besar terbelalak, meneriakkan ke-
sakitan tak terperi.
Sejumlah ibu mencacah daging dengan pisau kecil. Yang lain
mengiris tomat dan bawang. Balita beredar riang di sekitar
bapaknya yang masih sibuk dengan kapak dan darah.
Kuda garang itu akan menjadi santapan kami semua, ma-
nusia yang berpesta pora di atas luberan darahnya. Bangsa peng-
gembala sangat tergantung pada kuda. Di padang rumput luas,
om
kuda adalah alat transportasi utama. Kuda menggiring ternak
t.c
menyeberangi sungai, melintasi lembah, mendaki gunung, men-
po
189
bantuan sepuluh jari. Orang Kirgiz, tentunya jauh lebih ber-
pengalaman, selalu sedia pisau di tangan. Mereka makan, sambil
mengirisi bongkahan daging kuda yang besar-besar. Minyak
menetes deras di ujung bibir.
Daging kuda sangat liat. Malamnya perut saya melilit. Kuda
yang tadi pagi masih menendang marah itu, kini menendang
ganas di dalam perut saya. Mungkin karma dari tatap mata
membelalak dan gigi mengatup rapat yang meneriakkan ke-
sakitan dari kepala terpenggal. Ah.... Saya kapok makan daging
kuda.
om
t.c
po
190
pengantin. Sepanjang hari kemarin, para ibu selain memasak
daging kuda juga sibuk membuat cemilan, yaitu gorengan
tepung kecil-kecil yang disebut borsok—tanpa isi, hanya tepung,
minyak, dan susu saja.
Kedua mempelai memasuki ruangan, diiringi lagu mars pe-
ngantin yang sudah tidak asing lagi di seluruh dunia. Tengteng-
tengteng... teng teng teng teng.... Semua tamu berdiri. Kedua mem-
pelai menenggak anggur sambil bersilang tangan. Di bawah
arahan Moken dan Ergetse sebagai MC, para tamu juga me-
nenggak alkohol di gelas masing-masing.
Mereka memang Muslim, tetapi vodka dan anggur adalah
om
minuman wajib, apalagi di acara sepenting ini. Susunan balon
t.c
warna-warni yang menghiasi singgasana Timur dan Zarina sudah
po
musik berdentum keras, seperti orkes desa. Paman dan bibi ke-
mudian ikut menari mengiringi musik. Para tamu yang lain pun
turun menari bersama-sama. Tua, muda, kakek, nenek, anak-
anak, semua begitu gembira. Balairung ini berubah menjadi
lantai dansa.
Betapa enaknya menyanyi di acara perkawinan Kirgiz. Para
tamu berbondong-bondong, sambil menari, menyematkan lem-
baran uang ratusan Som ke tubuh penyanyi. Di lekukan telinga,
lipatan baju, sela-sela jari, saku, rambut, bagian dalam kaus....
Penyanyi kawinan jadi terlihat seperti ondel-ondel berhiaskan
duit.
191
Moken berhasil mendatangkan Aziza, biduanita terkenal di
negara ini, tingkat kepopulerannya mungkin bisa disejajarkan
dengan Siti Nurhaliza. Saya semakin yakin bahwa Moken bukan
orang biasa. Suara Aziza mantap, mengalun merdu, langsung
menembus ke sanubari, menghipnotis oma dan opa Kirgiz yang
menari disko seperti kesetanan. Jangan heran kalau sekujur
tubuhnya kehujanan uang kertas.
Zarina, si mempelai, juga ikut berdansa, mengiringi lagu
disko Rusia yang menggebrak. Bukannya berduaan dengan sang
suami, Zarina malah asyik berdansa dengan pemuda-pemuda
lainnya. Mungkin ini kesempatan terakhirnya sebelum menjadi
istri orang. om
t.c
Semakin malam, acara semakin meriah. Tetapi tamu juga
po
192
Tangan gemuknya menempeleng wajah kedua pemuda mabuk
itu habis-habisan. Mereka sudah babak belur, tidak berdaya lagi
berkata-kata dan beralasan.
Pukul tiga malam, barulah polisi datang. Saya yang dipenuhi
tanda tanya oleh kejadian ini hanya dipuaskan dengan jawaban
singkat, ”Kakek tadi dipukul orang mabuk di jalan.”
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
193
BERAYUN DI ANTARA
TUMPUKAN IDENTITAS
194
minoritas, nyaris tenggelam oleh bangsa-bangsa lain, mulai dari
Kirgiz, Kazakh, Uzbek, Uyghur, hingga Rusia.
Tanpa mengetahui ke mana harus berjalan untuk menemukan
komunitas Dungan yang misterius itu, saya berkeliling tanpa
arah. Seorang kakek tua dengan sejumput jenggot putih dan
bertopi bulu hitam membumbung mengajak saya ke masjid.
Atap masjid ini berwarna perak, bersudut-sudut bentuknya,
mengingatkan pada arsitektur gedung durian Esplanade Theater
di Singapura.
”Tidak. Kamu tidak akan menemukan orang Dungan di
sini, karena ini masjid orang Kirgiz. Kalau mau ketemu Dungan,
om
kamu harus ke arah pasar, di sana ada masjid Dungan. Pasti
t.c
banyak orang Dungan di sana,” katanya. Wah, bahkan masjid
po
kebanggaan mereka.
Apakah perbedaan itu? Pengotak-ngotakkan itu? Garis batas
kasatmata itu? Di mata saya yang hanya musafir ini, orang-orang
di sini tak banyak berbeda. Mereka kerumunan manusia yang
berjubel di pasar, menjalani kehidupan yang begitu biasa. Tetapi
dalam alam pikir mereka tertera beda itu: siapa Kirgiz, siapa
Dungan.
Orang Dungan dan Kirgiz sama-sama Mongoloid. Mata me-
reka sipit, hidung mereka pun tidak mancung. Lalu bagaimana
menemukan orang Dungan? Saya ingat, mereka bercakap de-
ngan bahasa yang nadanya naik-turun berirama. Hanya dengan
195
mengucap beberapa kalimat Mandarin, dan mendapat respons,
maka saya pun akan berhadapan dengan manusia Dungan.
Kemal namanya, pengangguran yang menghabiskan sebagian
besar waktu di bengkel sepatu kawannya. Wajahnya mirip sekali
dengan orang dari Tiongkok sana. Bahasa Cina-nya terbata-
bata, campur aduk dengan bahasa Kirgiz dan Rusia. Ia berbaik
hati mengajak saya berkeliling melihat komunitas Dungan di
Tokmok.
”Orang Dungan sangat berbeda dengan Kirgiz,” kata Kemal,
”nenek moyang kami berasal dari Tiongkok, bukan Kirgizstan.
Kami di sini hanyalah pendatang.”
om
Identitas sebagai minoritas dari negara asing itulah yang
t.c
membuat mereka berbeda dari bangsa-bangsa lain di sini, lalu
po
menjadi sumber segala keluh kesah. ”Di sini tidak ada keadilan,”
gs
lo
196
sekitar kampung tinggalnya, bahkan harus minta ”visa” hanya
untuk pergi ke kota tetangga.
21
Onghokham, ”Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa” (Komunitas Bambu, 2009).
197
tinggal, mata pencaharian, pendidikan, hukum, semua ada yang
mengatur, berbeda-beda berdasar warna kulit, agama, bahasa.
Kotak-kotak itu terus membekas, bahkan ketika negeri terjajah
itu mengusung kemerdekaan dan kebebasan.
”Hidup kami ya seperti ini,” kata Kerim, tukang sepatu ka-
wan Kemal yang lumayan fasih berbahasa Cina, sambil mengasah
batangan logam di atas gerinda yang terus menyemburkan
pijaran api, ”di negara ini, kami cuma minoritas. Cari kerja
susah. Ekonomi berantakan sejak Soviet runtuh. Korupsi di
mana-mana. Mungkin memang ini takdir minoritas, kami selalu
jadi incaran empuk pejabat-pejabat rakus.”
om
Susah payah berbekal penghasilan yang tidak seberapa,
t.c
Kerim berhasil membesarkan anak-anaknya hingga ke sekolah
po
barat laut Republik Rakyat Cina yang juga dihuni oleh jutaan
st
pu
198
Asimilasi. Pembauran. Integrasi. Kata-kata itu melekat dalam
sanubari saya. Terlahir sebagai seorang minoritas, saya seperti
bercermin pada refleksi kehidupan Dungan di Kirgizstan.
Leluhur, kalaulah kata itu punya makna penting, memang
berada di Tiongkok sana. Saya pernah bertanya kepada ibu se-
perti apa keluarga leluhur kami. Tidak tahu, demikian jawabnya,
tidak pernah ada catatan tentang silsilah keluarga. Apakah me-
reka petani miskin? Atau saudagar sutra? Atau sarjana sastra?
Entahlah, ibunda menggeleng lagi. Masa lalu itu bagaikan lu-
om
bang hitam yang misterius. Kalaupun dikorek terus, saya hanya
t.c
berhasil menarik ke beberapa generasi saja. Kami adalah generasi
po
gs
yang hilang, tak punya banyak kisah masa lalu yang bisa di-
lo
ceritakan.
.b
do
199
kaum Tionghoa di Indonesia yang masih baru saja datang dari
negeri Tiongkok, masih kuat memegang tradisi. Mereka ber-
bahasa Tionghoa dan menganut agama leluhur. Ayah dari ne-
nek saya adalah pendiri vihara Buddha pertama di Lumajang,
kampung halaman saya. Ayah dari ibu saya adalah kepala se-
kolah Tionghoa.
Pada tahun 1966, rezim Suharto semakin mengukuhkan dis-
kriminasi kepada kaum Tionghoa yang dituding dekat dengan
komunis. Sekolah ditutup, bahasa dilarang, nama harus diganti,
tradisi dihapuskan, semua agama (termasuk Buddha dan Kong-
hucu) harus punya satu ”Tuhan Yang Maha Esa”, dan seterusnya.
om
Ini kisah klasik, tipikal bagi keturunan Tionghoa totok generasi
t.c
orangtua saya. Ibu saya putus sekolah, tak lulus SD. Kawan-ka-
po
200
para leluhur itu, tetapi begitu sukar dipahami otak saya yang
masih kanak-kanak kala itu.
tua. Di antara umat itu, hanya dua yang masih remaja. Ini tentu
.b
do
201
Lao Han yang menjadi ajang interaksi para umat. Mereka ber-
kisah tentang pengalaman sepanjang hari, mulai dari kegiatan
di pasar, gosip tetangga, sampai urusan politik. Terdengar ke-
kaguman mereka terhadap Cina, negeri leluhur itu. Masih ada
perasaan mereka terhadap masa lalu di seberang garis batas
sana. Tiongkok, negeri itu begitu dekat, namun kini hanya ter-
tambat di angan. Itulah fantasi mereka, tentang masa lalu dan
masa depan.
”Kamu lama tinggal di Cina, kamu pernah ke Urumqi?” ta-
nya seorang pria tua berjenggot putih dalam bahasa Mandarin
yang fasih. Matanya menatap saya lekat-lekat, menantikan ja-
waban. Saya mengangguk, dua detik kemudian. Saya tahu, ini
om
bakal menjadi diskusi panas. Ia melanjutkan dengan pertanyaan
t.c
po
Muslim di sana?”
lo
.b
202
man dinasti Qing yang menguasai daerah-daerah di barat untuk
memperluas batas-batas negeri mereka.
Sungguh ini adalah pertanyaan politis yang dilematis. Di-
besarkan sebagai warga minoritas dan sedang berhadapan
dengan kaum minoritas, saya mencoba menjawab juga dari
sudut pandang minoritas. Saya mulai dengan kemajuan
perekonomian Cina yang begitu pesat, juga arus migrasi besar-
besaran dari pedalaman Cina yang banyak mengubah wajah
Urumqi dan Xinjiang. Tanah perbatasan itu sekarang memang
modern, tetapi bangsa Uyghur sudah bukan lagi mayoritas di
tanah mereka sendiri, tenggelam oleh gelombang pendatang
om
Han yang mendominasi. Tulisan huruf Arab bahasa Uyghur ha-
t.c
nya seperti apendiks dari karakter Cina yang ada di mana-mana.
po
sudah bukan lagi titik sentral dari konsep ini. Tanah ini bukan
lagi ”tanah bangsa Turki”, atau ”tanah bangsa Uyghur”, hanya
”perbatasan baru”. Ya, hanya garis batas.
Saya bercerita tentang teman Uyghur yang susah mendapat
paspor ke luar negeri, apalagi kalau untuk naik haji. Hampir
mustahil bagi mereka untuk keluar dari garis batas. Anak-anak
Muslim di sana juga tidak lagi mendirikan salat. Tradisi Islam
memudar. Perkampungan kuno Uyghur tergusur oleh gedung-
gedung pertokoan modern yang mencakar langit. Kota-kota
Xinjiang pun semakin mirip dengan kota-kota Cina lainnya, se-
perti halnya Bishkek dan Dushanbe yang bernyawakan Rusia.
203
Di luar dugaan, walaupun sama-sama minoritas, orang-orang
Dungan ini bukannya bersimpati, malah mencibir terhadap
nasib Uyghur. ”Pantas mereka dibegitukan, mereka bukan
orang baik-baik. Mereka itu terbelakang dan bermental maling,”
kata yang satu. ”Pemerintah Cina memang harus begitu kalau
ingin negaranya maju,” kata yang lain. Mereka tak henti memuji
keberhasilan Beijing yang akan menggelar Olimpiade. Jauh di
desa Kirgizstan ini, hati mereka sebenarnya ada di Beijing sana.
Tak ada empati, tak ada simpati. Baru saya tahu, walaupun
sama-sama minoritas Muslim di Cina, ternyata hubungan antara
Dungan dan Uyghur memang tidak harmonis. Tetap ada garis
om
batas yang memisahkan kedua umat ini dalam curiga, bahkan
t.c
sejak zaman ratusan tahun lalu ketika Dungan dan Uyghur
po
204
Heiwazi adalah sebutan orang Dungan terhadap bangsa
Kirgiz dan Kazakh yang arti harfiahnya ”si bocah hitam”. Pada-
hal kalau dilihat dari warna kulit, sebenarnya kulit orang
Dungan juga tidak lebih putih dibandingkan orang Kirgiz.
”Ini adalah zeigue, negara maling,” kakek Lao Han menyam-
bung, ”negara bocah hitam ini penuh dengan pejabat jahat.”
Korupsi menjadi, ketidakadilan mendera. Pernah pula terjadi
kerusuhan antara minoritas Dungan ini dengan orang Kirgiz,
walaupun tidak parah seperti konflik antara orang Kirgiz dan
Uzbek di Osh sana. Tetapi tetap saja, ada benci dan curiga yang
terpendam, laksana bom waktu yang setiap saat siap meledak.
om
t.c
po
gs
lo
sebenarnya.
st
pu
205
dengan menunjuk diri kita sendiri seraya berkata, ”Inilah aku!
Akulah identitasku!” Tidak. Zaman sekarang, ”aku” telah men-
jelma menjadi kartu-kartu, buku paspor dan stiker visa, kode-
kode dan sandi-sandi itu.
Dalam diri kita, sudah sedemikian banyak identitas yang me-
lekat. Nama, jenis kelamin, kewarganegaraan, suku bangsa, war-
na kulit, bentuk wajah, tanggal lahir, tempat tinggal, pandangan
politik, pangkat, profesi, hobi, makanan kegemaran, DNA....
Orang bilang hidup adalah pencarian jati diri, tetapi bukankah
dalam tubuh kita sudah melekat begitu banyak jati diri? Bagi
saya, hidup sebenarnya tak lebih dari pengukuhan identitas.
om
Mana yang lebih penting, misalnya, sebagai warga negara Indo-
t.c
nesia, sebagai suku A, sebagai warga kota B, sebagai umat Tu-
po
206
gang. ”Ma, aku dipanggil Singkek. Mereka bilang cingcoa, cingcoa,
singkek-singkek siang-siang maling seng.” Saya yang saat itu ber-
usia enam tahun menangis tersedu-sedu di pelukan ibunda,
”Mengapa ya mereka begitu jahat? Apa salahku?” Ibunda hanya
memeluk. Singkek adalah bahasa Hokkien, berarti ”tamu baru”,
sebutan bagi orang totok yang baru datang dari Tiongkok.
”Kamu memang Singkek, mengapa harus marah?” jawabnya
lembut.
Masa kanak-kanak saya lewati tanpa percaya diri. Berjalan di
gang yang penuh dengan bocah bermain dan tertawa riang, saya
hanya bisa menundukkan kepala supaya wajah tak terlihat.
om
Tetapi mata sipit ini begitu kentara, seketika terdengar ledakan
t.c
tawa keras dan ejekan rasis. Bibir-bibir itu. Ledakan tawa itu.
po
22
Pramoedya Ananta Toer, ”Hoakiau di Indonesia” (Garba Budaya, 1998)
207
ada pertanyaan seperti ini? Mengapa harus jadi bahan tertawaan?
Bukankah nasionalisme, cinta negeri, adalah hal sakral dan ter-
hormat?
Nasionalisme, kata itu menjadi kata angker. Bagi saya kala
itu, dicap ”tidak nasionalis” sama seramnya seperti dilabeli se-
bagai komunis—merek lain yang sangat akrab dengan Tiongkok
dan Tionghoa. Yang selalu didengungkan adalah asimilasi, asi-
milasi, asimilasi. Kata yang terdengar indah dan dijadikan solusi
bagi bangsa multietnis, tetapi mengandung pengertian pemak-
saan penyangkalan terhadap diri sendiri. Lupakan leluhurmu,
lupakan kulturmu, lupakan budayamu, lupakan namamu, lupa-
kan sejarahmu, lupakan agamamu, lupakan kemeriahanmu, om
t.c
lupakan masa lalumu. Jadilah manusia baru. Jadilah Homo indo-
po
nesianicus!
gs
lo
yang murni saja. Sempurna, negara hanya terdiri atas satu bang-
st
pu
23
Pidato Sun Yat-sen soal nasionalisme, 6 Maret 1921
208
ciri-ciri wajib dan serangkaian nilai yang dikenal sebagai ”ke-
pribadian bangsa”, ”jati diri bangsa”, ”identitas nasional”, dan
menjadi pedoman penuntun hidup semua orang yang hidup di
dalamnya.
Tapi ada hal-hal yang tidak bisa diubah, dan ditakdirkan un-
tuk senantiasa melekat. Misalnya, warna kulit dan bentuk rupa
yang menjadi garis batas abadi. Bagi saya, garis batas ini mening-
galkan kenangan yang menyakitkan. Waktu perploncoan SMA,
seorang senior memanggil saya, ”Babi”. Saya tak berani berontak.
Enam belas tahun hidup seperti ini sudah membuat saya ter-
serang sindrom inferioritas. Empat huruf: C-I-N-A, cukup untuk
om
membuat saya terdiam, seolah terserang tempelengan bertubi-
t.c
tubi. Empat huruf itu, tanpa pernah saya meminta, seolah ter-
po
tera di dahi saya. Inilah label yang akan saya bawa selamanya.
gs
lo
pang pada Perang Dunia II24. Tetapi bagi saya yang terlahir se-
st
pu
24
Kata Cina sangat dekat pengucapannya dengan zhina, nama yang digunakan
Jepang untuk menyebut Tiongkok. Bagi orang Tiongkok, istilah ini bernuansa
rasis dan merendahkan, khususnya setelah meletusnya perang dengan Jepang.
Pada zaman Orde Lama, istilah yang dipakai adalah Tiongkok, namun seketika
diubah menjadi Cina oleh rezim Suharto. Bagi warga keturunan Tionghoa, ini
membangkitkan trauma tentang nuansa hinaan di balik nama itu, ingar-bingar
perpolitikan antikomunis, ditambah lagi serangkaian peraturan dan sentimen
diskriminatif atas mereka. Hingga sekarang, Republik Rakyat Cina selalu me-
mosisikan diri sebagai Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam hubungan resmi
dengan Indonesia. Media di Indonesia punya kebijakan berbeda-beda untuk
kata ini. Ada yang menggunakan Tiongkok, Cina, ataupun China. Demikian
pula untuk pelafalannya, ada yang mengucapkannya sebagai Ci-Na, ada pula
yang Chai-Na, seperti halnya dalam bahasa Inggris.
209
sudah masa itu berlalu, sebenarnya tidak ada yang salah dengan
empat huruf tabu itu. Tak ada arti istimewa di balik huruf C
yang disambung dengan I, diikuti N, diakhiri dengan A. Namun,
orangtua selalu mengatakan, kata itu buruk, tak boleh diucapkan
apalagi kalau mengganti ”A” dengan huruf ”O” pada logat Jawa
Ngoko. Saya diajar menyebut negeri itu sebagai Zhongguo, yang
dilafalkan sebagai chung-kwok. Seorang anak Tionghoa bisa di-
tempeleng orangtuanya, atau kakek-neneknya, jika nekat meng-
ucapkan kata ”Cina”. Itulah edukasi, anak-anak menyerap me-
mori generasi tua, mempelajari garis-garis batas dan
pengotak-ngotakan, mengetahui limit tabu dan larangan. Otak
om
saya pelan-pelan menyerap konsep, menelannya, dan membukti-
t.c
kannya lewat ejekan dan hinaan yang mengalir dari mulut
po
bocah-bocah gang.
gs
lo
nusia, bagi saya malah jadi hal yang memalukan. Nama Cina
in
a-
210
masing, tetapi ternyata ada pula sekelompok orang yang di-
ajarkan dan dipaksa untuk takut dan risih pada bahasa dan
budaya mereka sendiri.
Perayaan tahun baru, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah
pesta penuh kegembiraan, bagi kami adalah kesenyapan di
rumah dan di vihara. Vihara kami sempat mendapat peringatan
dari instansi pemerintah, perayaan Imlek tidak boleh menganggu
ketertiban umum. Tak ada lagu, tak ada pesta. Acara tukar kado
yang meriah seperti tahun kemarin pun ditiadakan. Sembahyang.
Sembahyang. Sembahyang. Ibunda terpekur dalam doa sepan-
jang malam di depan altar, sementara saya menguap bosan.
om
Ada kebanggaan yang pudar, semangat yang menipis, seperti
t.c
Amu Darya yang begitu deras dan dahsyat di hulu, lalu melesap
po
dan tekanan. Namun bagi saya, masa lalu dan kebanggaan lelu-
ak
211
masih kebanyakan menggunakan nama tradisional mereka, dari
hikayat dan padang penggembalaan.
”Bapak kami adalah Arab. Ia adalah agama kami, Islam. Ibu
kami adalah Cina. Ia adalah bahasa kami, kebudayaan kami,”
kata Ali, alias Ma Jinsheng, lelaki Dungan yang sudah memutih
rambutnya, seperti jenggot tipisnya yang menghiasi wajah tua-
nya. Ia mengenakan topi bulu besar khas Rusia. Nama marganya,
Ma, berupa karakter yang berarti ”kuda”, sangat lazim di ka-
langan umat Muslim Tiongkok sebagai adaptasi dari nama ”Mu-
hammad”.
Hikayat yang dipercaya orang Dungan, seperti dikisahkan
om
Ali, terjadi sekitar 800 tahun lalu ketika penyerbu Arab masuk
t.c
ke negeri leluhur di tanah Tiongkok, di balik pegunungan
po
sebagai ibu.
Di Cina, orang Dungan dikenal sebagai etnis Hui, salah satu
dari 56 suku bangsa yang diakui pemerintah. Ciri fisik mereka
terkadang hampir tidak bisa dibedakan dari bangsa mayoritas
Cina Han. Pembeda utama adalah agama. Bangsa Hui adalah
keturunan komunitas Muslim di Cina yang mengukuhkan diri
pada zaman dinasti Tang dan Yuan. Umat Muslim meliputi
kaum pedagang, tentara, ilmuwan, seniman, setelah melewati
serentetan generasi dan pernikahan campuran dengan bangsa
Cina Han, mengadopsi bahasa Cina, berasimilasi dengan kultur
Cina. Tetapi, agama masih menjadi identitas yang mereka per-
212
tahankan. Islam, agama mereka, dikenal di Cina sebagai huijiao,
yang artinya agama suku Hui.
Begitu masuk ke wilayah Uni Soviet, nama Hui tidak lagi
dikenal. ”Hui” menjadi tabu karena kata itu kebetulan sama
dengan umpatan kasar bahasa Rusia. Mereka berganti nama
menjadi Dungan. Asal-usul nama ini pun masih misteri. Ke-
banyakan orang Dungan sendiri pun tidak tahu mengapa me-
reka kini disebut Dungan.
Menurut literatur, nama Dungan berasal dari bahasa Turki
dönen, orang-orang yang berbelok atau berpulang. Dalam bahasa
Mandarin, Hui juga berarti ”pulang”. Agama Hui, Islam, secara
om
harfiah juga bisa berarti ”ajaran untuk berpulang”. Nama
t.c
Dungan mungkin juga berasal dari bahasa Mandarin dong-gan,
po
213
menjadi korban perjalanan panjang. Kalaupun mereka tak lari,
mereka bakal mati terbantai. Ribuan orang Hui berhasil men-
capai perbatasan. Sejak saat itu, mereka berganti nama, dari
Hui menjadi Dungan.
Rusia sendiri baru saja menaklukkan bangsa Kirgiz dan
Kazakh. Dengan suka hati mereka menerima para pengungsi
Muslim Cina ini dengan maksud menarik simpati kaum Muslim
Turkistan. Selanjutnya, selain pengungsi perang, kaum Muslim
Cina yang lain pun ikut menyeberang perbatasan, mencari
penghidupan yang lebih baik di tanah Rusia. Mereka adalah
kaum pedagang, gembala, petani. Gelombang pengungsi ini
om
muncul setelah Rusia dan Cina meneken perjanjian berisi
t.c
pengakuan Rusia pada kekuasaan Cina atas daerah Xinjiang
po
Rusia. Mana yang lebih baik, mati di tanah air atau bertahan
ak
214
ini umumnya lebih kaya dan lebih totok, punya identitas
Tiongkok yang kuat. ”Saya lahir di Uni Soviet. Hidup di tanah
Rusia tidak buruk, sampai tahun 1930-an, Stalin berkuasa. Kau
tahu Stalin, kan? Hidup jadi susah, tidak ada lagi kebebasan.
Karena itu banyak orang Dungan yang memutuskan kembali
menyeberang sungai, kembali ke pangkuan Tiongkok.”
Yeja mengalami perpindahan itu. Orangtuanya membawanya
yang masih balita mengungsi ke negeri Cina. Yeja dibesarkan di
Cina, menerima pendidikan berbahasa Cina, bahkan sampai
menjadi guru di sana.
Tahun 1961, pemerintah Soviet kembali membuka pintu ger-
om
bangnya bagi para mantan warga negara. Yeja ikut bersama
t.c
ribuan orang Dungan, menyeberang ke pangkuan tanah ke-
po
25
Christian Tyler, ”Wild West China—The Untold Story of a Frontier Land”.
(John Murray, 2004).
215
pendatang yang hidup di negeri asing sebagai bangsa minoritas.
Banyak di antara orang yang tercabut dari akarnya ini, masih
berilusi tentang sebuah tanah air di negeri seberang, sementara
mereka kini terlahir dan hidup di negeri lain, hanya dapat me-
mandangi tanah air fantasinya dari luar garis batas. Ketika me-
reka merasakan penolakan, rasa rindu dan romantisme akan
fantasi itu semakin menguat. Mereka, menjadi generasi yang
hilang, merindukan ”akar” nun jauh di sana.
”Waktu di Rusia, semua orang menyebut saya sebagai
hoakiau, keturunan Cina,” kata Yeja, ”tetapi waktu kembali ke
Cina, aku tetap bukanlah orang Cina. Semua menyebutku
om
sukiao, keturunan Soviet.” Di Rusia, dia adalah orang Cina. Di
t.c
Cina, dia adalah orang Rusia. Di mana-mana, ia adalah orang
po
216
bukan berarti aku tidak boleh mencintai Islam, Kirgizstan, atau
Rusia. Cinta itu bukan memilih, karena semua tempat di dunia
ini sama, seluruh penjuru adalah rumah kita.” Ia menyambung
dengan menyanyikan lagu-lagu mars komunis Tiongkok dengan
penuh semangat. Dia cinta Kirgizstan, karena negeri mungil ini
adalah tanah airnya sekarang. Tetapi kebanggaannya tak terkira
setiap kali berita dari Beijing menunjukkan kemajuan negeri
leluhur itu. ”Tiongkok semakin lama semakin kuat. Kami,
orang Hui dan seluruh keturunan Tionghoa di muka bumi,
juga ikut menjadi kuat dan bangga.”
om
t.c
po
217
Indonesia, besar di Indonesia, hidup di Indonesia, belum per-
nah menginjakkan kaki ke negeri Cina, tetapi selalu merindukan
Cina, mendambakan Cina, menganggap diri sebagai orang
Cina. Di kampung saya, ”pulang ke negeri leluhur” atau huiguo
adalah impian banyak orang Tionghoa. Di sini benar-benar di-
gunakan kata hui, ”pulang”, hui yang sama seperti pada nama
Dungan. Pulang, ke rumah yang tidak pernah dikunjungi, tetapi
terasa kerinduannya. Tanah leluhur itu laksana Mekkah. Negeri
itu menjadi sebuah tanah suci, tanah air fantasi, tumpah darah
imajiner, kecintaan yang dipenuhi romansa dan mitos... indah,
begitu indah.
om
Seperti halnya Dungan yang mengalami beberapa kali gelom-
t.c
bang perpindahan, Tionghoa di Indonesia pun mengalaminya.
po
218
Kami adalah keluarga yang dipisahkan sekat garis batas tak
tertembus, menjalani takdir masing-masing di dua negeri yang
bermusuhan. Bibi saya yang berhasil berlayar hingga negeri
Tiongkok, baru mengetahui kematian ayahnya sebulan sesudah
sang ayah dikubur, lewat kabar yang disebarkan dari mulut ke
mulut. Surat-menyurat diputus, telepon tak tersambung, kembali
ke Indonesia pun sudah tak mungkin lagi. Sebatang kara di te-
ngah derita dan kegalauan dalam kekacauan Revolusi Kebuda-
yaan, si anak hanya bisa menangisi ayahnya dari ribuan kilo-
meter. Meninggalkan negeri berarti meninggalkan semua sanak
saudara, semua memori orang-orang tercinta, kehangatan rumah
om
dan keluarga, untuk selama-lamanya. Ia menyesal, tetapi pintu
t.c
itu telah tertutup. Tertutup rapat....
po
219
dapatkan kewarganegaraan, gara-gara dia pernah menjadi kepala
sekolah Tionghoa. Saya baru punya Surat Bukti Kewarganegaraan
Republik Indonesia (SBKRI) setelah saya mendaftar di univer-
sitas negeri, yang bahkan untuk memasukinya pun ada batas
kuota untuk jumlah mahasiswa dari keturunan ras kami. Ya!
Saya masih perlu selembar surat untuk membuktikan kewarga-
negaraan saya, walaupun saya lahir di sini dari orangtua yang
sudah berwarganegaraan sini, bernapas dan berotak seperti
orang sini, menghirup oksigen dan mengunyah beras dari negeri
ini. Surat itu, selembar saja, adalah penanda resmi perbedaan
saya dengan orang-orang lain di sekeliling.
om
Sementara itu, sedikit bayangan tentang negeri leluhur su-
t.c
dah menimbulkan rasa bangga yang berdesir-desir. Ada per-
po
golakan di dalam hati, konflik antara tanah air real dengan ta-
gs
lo
kami.
Kala itu televisi masih belum boleh menayangkan sesuatu
pun yang berbau Cina. Tidak ada film kungfu, tidak ada legenda
si kera sakti Sun Gokong. Paling banter hanyalah pertandingan
badminton yang selalu ramai oleh para suporter. Li Lingwei
adalah favorit saya. Perempuan cantik yang selalu berkepang itu
tampak gagah di ajang final Uber Cup. Juga Li Yongbo, Yang
Yang, dan Huang Hua. Tahun 1989 pada final Kejuaraan Dunia
yang digelar di Jakarta, atlet Cina Yang Yang berhadapan dengan
Ardy Wiranata. Suporter Indonesia terdengar sangat ramai,
dengan ”Huuuuuuuuuuuuu”, suit-suit, dan seruan ”INA...!
220
INA...! INA...!!!” Setiap kali si atlet asing menyervis, atau me-
nangkis kok, yang terdengar adalah suit-suit dan seruan
”Huuuuuuuuuuu” yang mengagetkan. Setiap ayunan raket, jan-
tung saya berdegup kencang. Kedua atlet adalah keturunan
”naga” yang sama, kini membela negeri-negeri yang berbeda,
terpisahkan oleh garis batas berupa jaring net dan kewarga-
negaraan. Bagi penonton, ini juga adalah ajang pertarungan
membuncahnya ego, punya efek psikologis untuk menguatkan
kebanggaan, kepercayaan diri, arogansi, dan superioritas.
Saya masih berumur delapan tahun kala itu, tetapi sudah
dibuat mengenal ego kebangsaan. Jantung saya terasa berdebar
om
begitu kencang menyaksikan skor yang kejar-mengejar.
t.c
Ya, saya bersorak histeris ketika Yang Yang meraih juara.
po
gs
lo
.b
do
in
a-
221
gus, sementara kosa kata Muhammad sangat terbatas. Kalau
bercakap dengan anaknya, Muhammad menggunakan bahasa
Rusia karena si anak hampir tidak bisa bahasa Dungan.
Keluarga ini masih memegang teguh tradisi Dungan. Anak
yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua. Ikatan
keluarga sangat penting, dan anak harus bertanggung jawab un-
tuk hari tua ayah-bunda. Mereka juga kebanyakan hanya me-
nikah dengan sesama Dungan, atau paling banter dengan
Kazakh dan Kirgiz yang seagama.
Makan malam tiba. Istri Muhammad menyajikan masakan
yang aromanya sampai membuat perut saya langsung bernyanyi.
om
”Makanlah, jangan sungkan, anggap ini rumahmu sendiri,”
t.c
kata Muhammad yang berkopiah itu sambil menggendong
po
pedas dan segar. Masih ada pula pangsit dan asinan yang khas
st
pu
222
penghapusan diskriminasi perlahan-lahan menumbuhkan rasa
bangga—Indonesia-ku mau menerimaku.
Tiongkok bukan lagi tanah terlarang. Tahun 2000 saya
menginjakkan kaki untuk kali pertama di negeri Tiongkok,
bagian penting dalam perjalanan hidup saya. Saya dikirim
orangtua untuk bersekolah di Beijing. Saya membawa romantika
dan fantasi—”pulang” ke negeri leluhur yang selalu dirindukan
meski belum pernah didatangi.
Walaupun sudah menjalankan politik Pintu Terbuka, negeri
itu masih bagaikan tersembunyi di balik tirai bambu. Kuno.
Misterius. Beijing berdebu, suhu dingin -4 derajat Celcius men-
om
jadi kejutan setelah teriknya mentari Surabaya. Badai pasir me-
t.c
ngaburkan pandangan. Kuning kelabu di seluruh penjuru. Ber-
po
kesima.
ak
223
bunyi ”Hoakkkkk” yang menggelegar. Di sudut lain, ibu-ibu ber-
baju kumuh menggendong orok, sambil menawarkan dagangan
rahasia: VCD porno dan CD bajakan. Pelayan restoran begitu
judes, membentak saya yang memesan terlalu sedikit. Para pe-
numpang di bus ringsek yang panas membakar semakin terbakar
emosinya, adu jotos berdarah-darah hanya untuk berebut tempat
duduk. Semua orang berteriak, semua orang begitu kasar, se-
mua orang saling tak peduli.
Inilah wajah Tiongkok yang pertama saya lihat. Aroma pekat
dari negeri yang baru saja membuka pintunya ke dunia luar.
Lapangan Tiananmen, yang namanya berarti ”Gerbang Keda-
om
maian Surgawi”, adalah lapangan terluas di dunia yang sekaligus
t.c
menjadi ikon negeri ini. Begitu luasnya, hingga saya pun merasa-
po
224
menimbulkan gemuruh dalam batin saya. Kota Terlarang tak
lebih dari tempat wisata puluhan ribu turis untuk berfoto dan
berpose. Gedung-gedung di sekeliling Tiananmen tampak begi-
tu Eropa di mata saya yang masih berilusi tentang negeri leluhur
yang dipenuhi naga dan jagoan kungfu.
Negeri ini memperlakukan saya hanya sekadar sebagai orang
asing. Paspor Indonesia di saku saya adalah bukti otentik. Biaya
sekolah saya sama mahalnya dengan pelajar dari Senegal atau
Amerika Serikat, hampir sepuluh kali lipat pelajar lokal. Visa
dan birokrasi pun sama ribetnya. Darah leluhur itu hanya se-
kadar darah, tak terbukti oleh dokumen apa pun.
om
Budaya mereka ternyata begitu asing. Wajah mereka begitu
t.c
berbeda, tindak-tanduk pun tak pernah saya bayangkan sebelum-
po
225
nah tebersit keinginan berkunjung ke sana. Apalah tempat itu?
Tak lebih dari sebuah kota yang tak seorang pun saya kenal.
Tempat, ”akar” itu bagi saya hanya sebuah lokasi dan sebaris
sejarah. Tiongkok yang melekat dalam benak saya hanyalah
Beijing, di mana kelak saya melewatkan bertahun-tahun per-
jalanan hidup.
”Mengapa negaramu membantai orang-orang kami tahun 1998?”
”Mengapa negaramu membenci Cina?”
”Mengapa orang-orang di negaramu begitu biadab?”
Berbagai pertanyaan pedas sering saya hadapi di sini. Orang
Cina punya kesadaran kolektif yang begitu kuat, individu sering
om
dipandang sebagai wakil dari negara dan negara termanifestasi
t.c
dalam individu. Kini saya datang ke negeri ini dengan identitas
po
kacang yang lupa kulit, sudah lupakah kamu akan akarmu?” ”Kamu
in
a-
226
yang menghancurkan semua ilusi dan identitas diri yang selama
ini saya bangun: kami memang sama-sama ”keturunan sang
naga”, tetapi saya tetap bukan bagian dari mereka. Ya, mereka.
Bukan lagi kami orang Tionghoa, tetapi mereka orang Cina da-
ratan.
Penolakan, baik yang muncul dari lingkungan maupun yang
dari dalam diri sendiri, kemudian memunculkan eksklusivitas,
menumbuhkan sekat-sekat baru, meninggikan tembok pemisah.
Eksklusivitas yang membuat saya memandang kembali kehi-
dupan minoritas Tionghoa di Indonesia. Kompleks perumahan
khusus, sekolah khusus, klub khusus, tembok tinggi dan tebal,
superioritas khusus... om
t.c
po
227
matahari suram berbalut debu, saya merindukan langit biru
Indonesia.
228
merindukan ”akar” di negeri kuno. Tetapi bisakah ”akar” itu
mengalahkan tanah air baru yang membesarkan mereka? Apa-
kah mereka masih India atau sudah menjadi Kanada? Haruskah
mereka mengakui India, atau Kanada? Apakah mereka kacang
lupa kulit?
Orang Tionghoa punya perumpamaan, hidup itu bagaikan
”kota yang terkurung tembok”—orang yang di luar ingin masuk ke
dalam, orang yang di dalam ingin keluar. Bayangkan sebuah
kota kuno yang dikelilingi tembok dan gerbang yang tertutup
rapat, tidak seorang pun boleh melintas. Dari luar, kota itu ter-
lihat begitu mewah dan megah, penduduknya makmur dan ba-
om
hagia, sungguh sebuah tanah impian. Tetapi bagi yang hidup
t.c
dalam kota terkurung itu, ternyata mereka justru lelah oleh ke-
po
229
rapi. Para peludah di jalanan semakin jarang. Rumah-rumah
kumuh dirobohkan, di sana-sini bermunculan gedung tinggi
pencakar langit hanya dalam hitungan minggu.
Warga Beijing bersorak, Tiongkok bersuka cita, negara me-
reka terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2008. Kebanggaan
yang sama kelak akan saya saksikan dari pasang-pasang mata
warga Dungan di pedalaman terpencil Kirgizstan. Kebanggaan
yang sama juga muncul pada orang-orang Tionghoa perantauan
di seluruh penjuru dunia—kebanggaan menjadi bagian dari
bangsa yang besar. Kebanggaan yang muncul dari rasa ikut me-
miliki. Kebanggaan dari percaya diri bahwa mereka tidak akan
om
dihina lagi sebagai bangsa terbelakang di luar negeri.
t.c
Di tengah ingar-bingar modernisasi Beijing yang secepat ke-
po
reta ekspres, saya juga begitu merindukan tanah air saya bisa
gs
lo
mustahil, bukan?
st
pu
230
pada gambar Garuda di halaman paspor, saya temukan Indo-
nesia. Hal-hal yang sebelumnya tak pernah saya lakukan, kini
justru menjadi kegandrungan akan tanah air di seberang lautan.
Bergoyang dangdut, ke kampus dengan memakai sarung Jawa
(sempat membuat penduduk Beijing melongo melihat orang
pakai sarung naik sepeda, sampai keserimpet dan nyaris tersung-
kur pula), mengenakan peci di mana-mana (untuk menunjukkan
bahwa saya ”berbeda” dari orang Cina di sekeliling), dan ber-
tingkah bak seorang duta pariwisata (dengan membagikan se-
tumpuk brosur pariwisata Indonesia hingga ke pedalaman Tibet
dan Afghanistan). Saya juga menjadi suporter setia Tao Feike,
om
alias Taufik Hidayat. Dalam kenangan akan langit biru, hujan
t.c
po
makmur, rupiah meroket, tak ada pengemis, tak ada macet, pe-
a-
ak
gala bangsa....
Kebanggaan akan tanah air itu indah, begitu indah... semakin
sempurna bersama mengalirnya waktu.
Kesempurnaan ilusi akan tanah air itu malah membuat saya
takut. Saya tahu, Indonesia saya hanyalah Indonesia yang saya
ciptakan sendiri. Indonesia saya bukanlah Indonesia yang se-
benarnya. Saya takut berhadapan dengan realita itu, lalu mimpi
indah itu pecah berkeping-keping, bak gelas kristal mahal yang
hancur di permukaan bebatuan buruk rupa. Bisakah saya tetap
mencintai Indonesia—Indonesia yang hidup dalam fantasi saya,
231
Indonesia utopis yang begitu sempurna—tanpa harus berhadapan
dengan realitanya yang sejati? Bisakah? Atau, bolehkah?
Saya teringat seorang teman dari Jawa yang menetap di
Malaysia. Tiga puluh tahun berturut-turut ia hidup di negeri
jiran tanpa pernah menginjakkan kaki di kampung halaman. Ia
menyaksikan sendiri bagaimana Malaysia bertumbuh menjadi
negara modern. Ada kekaguman bercampur cemburu, karena
jiwanya masih merindukan ”akar” di seberang lautan sana. Per-
lahan, fantasi tentang Indonesia pun semakin memadat dalam
benaknya. Indonesia yang modern, namun ramah dan lekat
akan tradisi. Indonesia yang berjaya, dikagumi bangsa-bangsa.
om
Indonesia yang makmur, semua rakyat sejahtera. Indonesia yang
t.c
sempurna tanpa cela.
po
saudara dekat dari bude yang ini, paklik yang itu, mas yang ini,
st
pu
232
lakukan hal ini di negara kamu? Ini tidak sopan!!! Kamu tidak
takut dipenjara?” Ia menyeringai balik ke arah saya, ”Aku sudah
pengalaman ke Indonesia!”
Petugas imigrasi terlihat menerima paspor berisi uang itu de-
ngan raut muka datar. Tenang, tenang sekali, tanpa sedikit pun
rasa terkejut. Tak sampai dua menit, si orang Cina itu langsung
diizinkan melenggang tanpa satu pun pertanyaan.
Sebaliknya saya yang masih berilusi tentang tanah air yang
bebas korupsi justru digiring ke ruangan khusus. Di dalam tas
saya ditemukan dua set VCD drama Putri Huanzhu yang kala itu
juga populer di Indonesia. ”Sayang kamu masih kecil, masih
om
belum tahu artinya kata bijaksana,” kata lelaki berkumis tebal di
t.c
kursi kayu, melinting kumisnya ketika bicara, seraya menge-
po
polisi rakus.
ak
rang yang saya bawa ini adalah barang haram. Semua barang
cetakan dalam bahasa dan aksara Cina adalah satu kelompok
dengan narkotika, obat keras, senjata api, senjata, amunisi, se-
napan laser, bahan porno, pesawat penerima, dan telepon nir-
kabel. Bukankah sekarang sudah zaman reformasi yang katanya
sudah bebas dari diskriminasi? Tetapi lembar deklarasi bea
cukai masih menggolongkan huruf Cina sebagai barang ter-
larang, dan saya sudah berbohong dalam mengisi formulir itu.
”Saya hanya pelajar, Pak, saya tak punya uang,” saya memasang
wajah memelas, dengan nada bicara setengah menangis.
”Sudah! Berapa dolar yang kamu punya?”
233
”Hanya dua puluh dolar. Tak apa kan, Pak?”
Petugas itu membelalak. ”Uang apa ini???”
”Dolar Hong Kong, Pak.”
”Berapa nilainya?”
”Satu dolar, seribu rupiah, Pak.”
”Tidak cukup! Kamu jangan main-main!” Brakkk! Meja kayu
yang digebrak membuat saya nyaris terloncat. Tentunya yang di-
rindukannya adalah lembaran hijau dolar Amerika Serikat yang
bernilai jauh lebih tinggi, bukannya recehan warna-warni seperti
uang monopoli ini.
”Pak, saya baru dari Cina, hanya itu dolar yang saya punya.”
om
Saya terus merengek minta belas kasihan. Saya menjadi korban
t.c
diskriminasi dan korupsi di negeri saya sendiri.
po
pun uang saya itu katanya terlalu sedikit, tetapi tetap diambilnya
.b
do
gemetaran. Kaki ini sudah tak kuat lagi menopang tubuh, ingin
ak
ambruk rasanya. Tetapi ada rasa sakit yang lebih dahsyat lagi
st
pu
234
nah saya lintasi. Setiap perpindahan membuat saya tersadar,
garis batas bisa dibuat kaku dan mengekang, menjadi sumber
berbagai tragedi kemanusiaan. Namun bisa pula dianggap tak
ada, tembus pandang, begitu mudah didobrak dan dilintasi. Ga-
ris batas tak lebih hanyalah kotak-kotak bikinan manusia, yang
kemudian mendikte dan menentukan takdir.
Orang bilang, garis batas perlu ada untuk melindungi zona
aman manusia. Tetapi, untuk siapa? Untuk mayoritas yang ke-
takutan akan minoritas? Untuk bangsa besar yang takut akan
bangsa kecil? Untuk pemerintah yang takut akan rakyatnya? Un-
tuk agama yang takut kehilangan umat? Nasionalisme yang ta-
om
kut pudar? Budaya yang takut dicuri? Kekayaan yang takut
t.c
po
235
menjadikannya sebagai warna—kombinasi indah aneka rona
yang memanusiakan manusia.
Itulah yang saya temukan dari perjalanan. Yeja si orang
Dungan adalah musafir, seperti halnya semua manusia pada
hakikatnya adalah musafir. Hidup adalah perjalanan yang mem-
bawa sang manusia melintasi berbagai garis batas. Dalam per-
jalanan itu, manusia berulang kali mempertanyakan, menyangkal,
mengakui. Seperti halnya hakikat Dungan—”pulang”, setiap
proses ”pulang” bagi sang musafir kehidupan adalah menumbuk-
kan antara fantasi dengan realita, melucuti kebanggaan semu di
hadapan kenyataan yang sering kali buruk rupa, berhadapan
om
dengan penolakan demi penolakan, melintasi berbagai garis ba-
t.c
tas, meleburkan diri, menghilangkan perbedaan, memunculkan
po
kebanggaan dan batas sempit itu? Zona aman itu? Setiap proses
”pulang” akan membawanya melintasi perenungan akan masa
lalu, masa kini, dan masa depan. Sampai akhirnya ia tersenyum
sendiri dalam pencarian panjang sepanjang hayat. Karena kini
ia sudah menemukan jawabnya...
...yang ternyata sederhana, begitu sederhana.
236
Bab 3
Kazakhstan
Kebanggaan di Simpang Jalan
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
Pepatah Kazakh
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
REALITAS DUNIA BORAT
239
hidupan. Hanya selebar Sungai Chui, Kirgizstan yang miskin
berkontras dengan raksasa Kazakhstan di utara.
Kantor imigrasi Kirgiz adalah barisan tangker minyak karatan
yang disulap menjadi ruang kerja. Di dinding luar tangker, ter-
pampang selebaran berisi daftar negara yang bebas masuk
Kirgizstan tanpa visa: Malaysia, Jepang, Vietnam, Korea Utara,
dan beberapa pecahan Uni Soviet. Petugas mengernyitkan ke-
ning melihat paspor Indonesia. Tentunya ini bukan paspor yang
disambut dengan sukacita di negara ini. Ia malah tidak tahu
ada negara bernama Indonesia.
”Indonesia? Indonesia itu sama dengan Malaysia? Tak perlu
om
visa?” petugas bertopi bundar besar itu bertanya pada rekannya.
t.c
Tangannya membolak-balik halaman paspor dengan kasar, sam-
po
240
lagi melihat gambar garuda dan barisan huruf Rusia. Tanpa bla
bla bla lagi, paspor saya langsung distempel, saya dipersilakan
keluar.
Petugas di pintu masih sempat-sempatnya menggesek-gesek-
kan ibu jari dengan jari tengahnya, sinyal minta sogokan. Huh!
Salju terus mengguyur bumi. Sejauh mata memandang,
langit hanya kelabu. Jembatan dijaga tentara perbatasan masing-
masing negara di kedua sisinya. Warga negara Kazakhstan dan
Kirgizstan bisa saling berkunjung bebas visa, menyebabkan per-
batasan ini sibuk oleh pelintas batas yang bisa mencapai ribuan
seharinya. Di seberang jembatan, gedung imigrasi Kazakhstan
om
yang modern berdiri kokoh. Bendera biru muda Kazakhstan,
t.c
berhias matahari kuning cerah, berkibar-kibar di atas gedung
po
balok putih.
gs
lo
dipotret dulu. Saya tidak kaget kalau suatu hari nanti Kazakhstan
ak
juga akan memindai sidik sepuluh jari dan retina mata semua
st
pu
241
long milik Kirgizstan sudah tinggal kenangan. Kualitas jalan ini
sungguh bagus, sekelas dengan jalan raya di negara maju. Tetapi
di luar sana, di bawah kelabunya langit dan kabut tebal, bukit-
bukit gundul berderet diselimuti salju tebal. Tak ada manusia,
tak ada pemukiman, tak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan
rumput pun takluk di bawah suhu sedingin ini.
Putih membentang sejauh batas cakrawala. Putih. Putih. Ha-
nya putih yang mati.
om
Kekosongan dan kehampaan mengundang misteri. Dalam putih
t.c
sempurna yang begitu luas, membuat kita merenung, apakah
po
242
uang sebesar itu, di Bishkek yang hanya di seberang perbatasan
sana, saya bisa makan besar di restoran mewah.
Jari kaki saya kaku. Dingin itu kini menjalar ke mana-mana.
Hati saya pun rasanya dingin, suram, seperti kabut kelabu yang
menangkupi seluruh pandangan. Senja sudah menghadang di
Almaty. Perjalanan ini cuma enam jam, tetapi sungguh menyakit-
kan ketika ditempuh saat musim dingin begini.
Perjuangan belum berakhir. Dengan menyeret kaki dan
menggotong ransel, saya menyusuri jalan utama Töle Bi yang
hanya segaris lurus saja, bersimbah lumpur salju yang menghitam.
Mencari penginapan murah tak gampang. Dari informasi se-
om
sama backpacker, saya bergegas menuju ”hotel” bernama Kaz-
t.c
kontrakt. Kaz, pastinya singkatan Kazakhstan, dan ”Kontrakt”,
po
243
tempat menginap yang cocok untuk orang yang susah tidur.
Buku panduan menjuluki hotel sejenis di kota ini sebagai ”Shag
Palace”, alias ”istana esek-esek”. Sungguh jagoan orang yang ma-
sih bisa bercinta dalam kengerian seperti ini.
Tinggal di tempat seperti ini, bukannya memilih, saya me-
mang tak punya pilihan. Ini adalah penginapan paling murah
di Almaty. Satu malam di Kazkontrakt dua belas dolar melayang.
Bukan sekamar sendiri, tetapi hanya untuk satu kasur di kamar
dua ranjang. Saya harus siap tidur dengan tamu tak dikenal
yang bisa datang kapan saja. Pemabuk? Pelacur? Pencuri? Pria
hidung belang? Ah... seram! Aduhai nasib, apakah daya? Hanya
om
sang administrator saja yang berhak menentukan teman bermalam
t.c
saya.
po
gs
lo
.b
do
in
a-
244
ngan gajinya yang sekitar 350 dolar sebulan itu katanya sama
sekali tidak ada artinya di kota ini. Saya memandang kembali
ke ”pohon tahun baru” itu. Ada pernak-pernik boneka Sinter-
klas. Ada bintang besar di puncaknya. Dekorasi berupa bintang
dan salib menaburi permukaan pohon. Setelah dua ratusan ta-
hun Rusia bercokol di padang rumput Kazakhstan, bangsa no-
mad pun ikut merayakan Tahun Baru. Kultur asing, seperti ba-
hasa Rusia yang juga asing, sudah mengalir bersama darah
Kazakh mereka sekarang. Sudah jadi bagian identitas. Tetapi
Kolya masih punya identitas lain. Ia menunjukkan kepada saya
screensaver ponselnya yang berhias kaligrafi huruf Arab ”ALLAH”.
”Saya Muslim,” katanya bangga. om
t.c
po
”Saya tak bisa bahasa Arab. Tetapi tulisan ini tandanya orang
lo
.b
Islam!”
do
in
menjelaskannya.
pu
245
bangkit solidaritasnya melihat penderitaan dan perjuangan
Afghanistan.
Ayah Kolya seakan terbuka matanya setelah berbulan-bulan
berada di medan perang melawan kaum Mujahidin. Ia telah
mengalami proses panjang: perlintasan garis batas, penolakan
nilai-nilai, pembenturan fantasi dan realita, hingga tumbuhnya
jati diri baru. Identitas pun berbalik, dari kebanggaan bernegara
menjadi persaudaraan umat seiman. Timbul rasa cinta pada
agamanya, juga rindu yang terpendam akan hari-hari di Kabul.
Setelah satu dekade perang di Afghanistan, Uni Soviet ter-
paksa menelan pil pahit. Afghanistan yang terbelakang itu ter-
om
nyata tidak mudah ditaklukkan. Kegagalan di Afghanistan ada-
t.c
lah kegagalan Uni Soviet. Tak lama sesudah tentara Rusia
po
246
karena sudah bebas menjadi Muslim, walaupun tak tahu apa
artinya menjadi Muslim itu. Dansa-dansi, pohon Natal, aroma
vodka, tulisan ALLAH, nama Rusia, semua bercampur menjadi
satu dalam diri Kabul yang kini menjelma menjadi Kolya.
Saya kembali ke kamar dingin Kazkontrakt. Selimut tipis,
alat pemanas mati. Administrator menghadiahi saya teman se-
kamar yang mengorok bak simfoni sumbang sepanjang malam.
Belum lagi perut yang keroncongan karena dompet saya tak
kuasa menebus mahalnya makanan. Saya merenungi Kazakhstan
yang dikagumi Kolya. Saya ikut mengagumi, hanya itu yang saya
bisa. Saya tahu, saya bukan bagian dari orang-orang yang diguyur
kemakmuran ini. om
t.c
Ah, denting alunan lagu Bimbo di benak membuat saya ber-
po
Siapa yang terbayang negeri ini akan menjadi negara kaya? Dulu
yang tinggal di padang luas Kazakhstan adalah bangsa pengem-
bara. Kehidupan hanya berkutat pada rumput, ternak, sungai,
dan musim. Ketika dingin menerpa, bangsa gagah ini menung-
gang kuda, melintasi lautan salju, bersama elang raksasa bermata
tajam yang mengepak liar, mengincar serigala dan rubah di per-
bukitan.
Kehidupan yang begitu alami menjadi goyah ketika perang
melanda. Bangsa Jungaria yang mendiami daerah Xinjiang da-
tang menyerang. Di awal abad ke-18, para khan—raja suku—
Kazakh ketakutan, lalu mengundang Rusia sebagai pelindung
247
padang mereka. Para raja itu kemudian menjadi warga negara
Rusia. Lambat laun, padang luas itu pun menjadi bagian Rusia.
Kebanggaan bangsa nomad itu melesap, lebur ke dalam samudra
daratan Rusia yang membentang dari Eropa hingga ke batas
cakrawala Asia. ”Perlindungan” itu membuat padang luas de-
ngan bangsa nomadnya yang garang terlupakan, teronggok di
sudut negeri raksasa.
Almaty semula adalah padang kosong berbercak kemah yurt
bangsa gembala bersama kawanan domba dan kuda. Orang
Rusia membangun kota ini dengan nama Vernyi, sebagai ben-
teng pertahanan pada abad ke-19. Nyaris tak ada orang Kazakh
om
yang tinggal di sini, karena mereka masih tinggal di kemah-ke-
t.c
mah di padang. Tahun 1930-an, sang diktator Soviet, Joseph
po
248
dan kau akan mendapat bagianmu setelah semua hasil kerja
kerasmu dibagi rata ke seluruh negeri merah raksasa yang mem-
bentang ribuan kilometer. Sebagai upahnya, dari negara kau da-
pat makan, rumah, pendidikan, kesehatan. Dari gembala miskin
yang bebas menggerayangi padang, kini kau berubah menjadi
budak negeri ideal.
Akibatnya? Jutaan ternak mati. Penggembala memilih untuk
menyembelih ternaknya sendiri daripada harus diserahkan ke-
pada negara. Jutaan orang mati kelaparan. Dalam dua tahun
saja, bangsa Kazakh sudah hilang separuh. Kazakhstan jadi ne-
raka bagi bangsa nomad. Ratusan ribu penduduk menerjang
perbatasan Cina, mengungsi ke negeri seberang. om
t.c
Padang rumput ini begitu luas dan kosong, namun ternyata
po
26
Internasional adalah slogan yang sering didengungkan oleh kaum komunis dan
sosialis, menggambarkan solidaritas kaum proletar dari berbagai bangsa.
249
dari bulu yang mahal, berhak sepatu tinggi, menenteng tas ber-
merek dari Paris atau Italia. Kaum prianya menebarkan bau par-
fum impor, berpakaian perlente, berjas, berdasi. Pertokoan me-
wah bermunculan, menandingi daya beli yang terus meroket.
Kalangan eksklusif papan atas semakin nyata dan mapan. Saya
hanya termenung di Silkway Gipermarket—Hipermarket—yang
baru dibangun di pusat kota Almaty. Hanya terdiri atas tiga
lantai, tidak terlalu besar, tetapi ada nuansa mewah yang di-
pancarkan oleh lantai pualam mengilap, sinar lampu temaram,
serta barang-barang impor dan mahal yang ditawarkan, mulai
dari sutra, pashmina, hingga jaket bulu hewan asli, mode ter-
om
baru dari Eropa. Saya mesti menarik napas dalam-dalam melihat
t.c
label harga yang selangit. Misalnya, replika kereta api Oriental
po
jalan.
.b
do
Di food court lantai tiga, saya hanya bisa ngiler melihat menu
in
a-
250
”Kazakhstan memang mahal,” kata ekspatriat Kanada keturunan
India yang bekerja di perusahaan minyak, ”di sini ongkos hidup-
nya bahkan lebih mahal daripada di Kanada.”
”Almaty sudah sama mahalnya dengan kota saya di Amerika,”
kata ekspat lain, ”tetapi bedanya di sini, kita membayar harga
kelas dunia untuk barang kualitas dunia ketiga.” Saya menyadari
betul hal ini. Karena sudah tidak tahan lagi dengan seramnya
Kazkontrakt, saya pindah ke hotel lain. Yang paling murah ada-
lah Hotel Zhetisu. Dua tahun lalu harganya masih 20 dolar,
om
sekarang sudah jadi 40 dolar untuk sebuah ranjang kecil di
t.c
po
kamar sempit yang bau, tanpa air pula. Untuk kamar seperti ini
gs
251
keder, apalagi Atyrau. Membayangkan ke sana pun saya tak be-
rani. Makan apa nanti?
Pasha bercerita, booming minyak Atyrau sekarang menghasil-
kan dua golongan ekstrem. Kaum pendatang—eksekutif Kazakh-
stan dan mancanegara—bergelimang kekayaan. Penduduk se-
tempat—penganggur—tetap miskin, tinggal di rumah kuno
bobrok dan dingin. Kapitalisme menyambut Kazakhstan, jurang
kaya dan miskin melebar. Kecemburuan sosial merebak. Malam
hari jadi angker, perampok mengintai, bersembunyi dalam gelap
pekat.
”Aku kapok,” kata Pasha, ”suatu malam, baru keluar dari
om
disko, aku tahu-tahu dirampok di tengah jalan. Pisau sudah di
t.c
hadapan mataku, dekat sekali. Mau tak mau, aku melepas tele-
po
252
”Mama, dia ini orang yang sangat menarik. Boleh kan tinggal
di rumah?”
Dari seberang sana terdengar teriakan marah mengomel tan-
pa henti. Keras sekali. Saking kerasnya, Pasha sampai menjauhkan
telepon dari lubang telinganya.
”Tak mungkin,” katanya, ”ibuku hari ini sedang menjadi
monster.”
pribadi. Tidak usah ditanya harganya, yang jelas bagi saya sudah
a-
mungil Liana.
pu
253
tanah air, menjadi pendatang di tanah asing, ditolak di sana-
sini, lalu melesap dan meleburkan diri.
Bandingkan dengan orang Uzbek yang punya tanah air
Uzbekistan, berbahasa Uzbek, beragama Islam, hanya menikah
dengan sesama ras atau seagama. Beruntunglah bangsa-bangsa
yang punya tanah air sendiri, teritorial tempatnya mengaitkan
kebangsaannya. Bangsa tanpa tanah air adalah jiwa tanpa ”akar”,
selalu melayang-layang mencari tempat berlabuh. Bagi Pasha,
menjadi orang Korea hanya berarti penampilan fisik yang ber-
beda. Sisanya, ia adalah orang Rusia. Ia bukan, dan tak akan
pernah menjadi Kazakh yang dipandangnya rendah.
om
Saya didaulat menyanyi. Tak disangka di sini ada koleksi lagu
t.c
Indonesia lengkap, mulai dari dangdut sampai keroncong, dari
po
Pasha dan ciuman pipi dari Liana. Setengah jam berselang, da-
.b
do
Kazakh ini bergaya tak ada bedanya dengan orang Korea macam
ak
254
kenikmatan alkohol juga sudah mulai melupakan kehadiran
saya.
tawar-menawar.
in
a-
kota mahal.
Pasha tiba-tiba datang menggeret nenek tua berpostur pen-
dek. Si nenek langsung menyembur, ”Terima kasih, Tuhan...,
terima kasih! Kemarin seharian saya berdoa, ’Tuhan, kirimlah
seseorang yang benar-benar membutuhkan kamar ini.’ Dan hari
ini Tuhan benar-benar mengirim kamu.”
”Berapa?” saya bertanya pada Pasha.
”Seribu Tenge saja,”—delapan dolar—katanya, ”tapi jangan
khawatir. Nenek ini orang jujur, karena dia Kristen taat, dan
katanya pergi ke gereja yang sama denganku. Aku tidak kenal
dia, tetapi aku memercayainya.” Kesamaan agama bagi Pasha
255
adalah pengikat, seperti halnya ketika di bus ia melihat seorang
perempuan Kazakh berjilbab—pemandangan langka di Almaty—
ia langsung menghampiri sambil menuding ke arah saya, ”Orang
itu dari Indonesia, pernah tinggal di Afghanistan. Negara
Muslim juga!” Gadis itu menampakkan raut muka tidak senang,
saya pun jadi serba salah.
Si nenek Rusia langsung menggeret kami berdua ke rumah-
nya. Kami mesti naik bus dulu karena rumahnya di pinggiran
kota Almaty. Bus kota Almaty tampak baru dan mewah, impor
dari Eropa. Ukurannya besar, interiornya bersih, tempat duduk-
nya empuk dan nyaman, lajunya pun lancar sekali. Yang me-
om
ngejutkan, bus ini sebenarnya impor bekas dari Jerman. Bahkan
t.c
di kursinya masih membekas grafiti yang diwariskan oleh orang-
po
orang sana, seperti ”ich liebe dich”, ”du meine”, dan gambar waru-
gs
lo
256
Apartemen tua berlantai kayu di lantai dua itu kecil, tetapi
nyaman sekali. Rumah Lyubova persis seperti bayangan saya ten-
tang rumah rakyat jelata Rusia yang hidup di zaman komunis
Uni Soviet: kecil, sederhana, penuh ditempeli dengan foto-foto
kuno pembangkit nostalgia di dinding, dan menebarkan aroma
kehangatan keluarga. Lyubova berkali-kali minta maaf karena
rumahnya sederhana. Bagi saya ini sudah sangat mewah. Ran-
jang spring bed yang bersih dan berpegas lentur memang bukan
bandingan kamar penjara Kazkontrakt. Ruang mandi pun pe-
nuh tanaman hias dan air panas mengalir deras. Bak mandinya
khas Rusia, tidak menyatu dengan lantai, tetapi disokong oleh
om
penyangga. Di lantai tak ada lubang air. Semua adegan siram-si-
t.c
raman harus dilakukan di atas bak mandi.
po
kata Lyubova. Saya baru tahu ada sekte Kristen yang melarang
in
a-
257
kenal, setiap hari berganti-ganti pengunjung. Kalau yang meng-
inap di sini adalah mahasiswa atau pekerja kantoran yang inde-
kos, masih tak mengapa. Tetapi kalau pemabuk atau pelaku
kriminal?
Kalau mujur, dalam sebulan ia bisa mendapat dua ratusan
dolar. Tetapi kan tidak mungkin setiap hari ada orang yang da-
tang menginap. Tak jarang berhari-hari ia harus bertahan hidup
dengan uang yang apa adanya. Delapan dolar di Almaty itu tak
ada nilainya sama sekali. Apalagi Lyubova juga mesti menghidupi
putranya, Gregory, yang walaupun sudah berumur 30 tahun,
masih tergantung pada ibunya. Gregory tidak menikah dan pe-
om
nganggur juga. Hari-hari Gregory dihabiskan di pasar dan ter-
t.c
minal, menawarkan tenaga, tetapi hasilnya mengenaskan. Hi-
po
258
sebagai ruang makan sekaligus kamar tidur Gregory, membolak-
balik Alkitab bahasa Rusia sambil membacakan kisah-kisah ke-
besaran Tuhan. Karena keterbatasan bahasa Rusia, tak banyak
yang bisa saya tangkap dari ceramah religiusnya yang tanpa
henti itu. Saya ingin minta jeda, tapi tak kuasa menyela. Saya
hanya bisa duduk, menjadi pendengar yang baik.
Gregory menuang teh ke cawan, menawarkan roti khlyeb
Rusia yang tebal, keras, dan hambar. Sebenarnya tamu yang
menginap di sini hanya mendapat tempat tidur. Tetapi Lyubova
bermurah hati berbagi makanan dan minuman dengan saya.
Tetangga Lyubova semua tampak dari kelas sosial yang sama.
om
Rumah-rumah usang. Orang-orang Rusia tua berjalan terbung-
t.c
kuk di atas lapisan salju. Wajah-wajah tanpa harapan para pe-
po
259
ma dan nilai di Amerika Serikat. Film ini begitu populernya,
hingga pada tahun 2007 sang aktor, Sacha Baron Cohen, men-
dapat penghargaan Golden Globe sebagai aktor film komedi
terbaik. Kazakhstan pun kena getahnya, langsung terkenal
namanya sebagai kampung Borat yang terbelakang dan tak
beradab.
”Nama saya Borat, saya suka seks,” ujar Borat dalam bahasa
Inggris yang kental aksen Rusia-nya—berat, rendah, dan kasar—
memperkenalkan kampung halamannya yang kumuh, diikuti
puluhan laki-laki dan perempuan warga desa yang tampak udik,
”Ini negaraku—Kazakhstan, di sebelah si idiot Uzbekistan. Ini
kampungku, Kusek.” om
t.c
Satu per satu penduduk ”Kazakhstan” diperkenalkan. Adik
po
260
guyonan. Turis asing sungguhan datang ke Kazakhstan untuk
melihat negeri Borat. Orang ramai-ramai mencari Kazakhstan
di internet, ingin lihat seperti apa kebodohan di negeri terpencil
Asia Tengah itu.
Tak perlu heran, Kazakhstan dibakar kemarahan gara-gara
Borat, walaupun masih tak banyak yang berkesempatan menon-
ton film ini. Borat menjadi buah bibir hanya bagi yang ber-
pendidikan tinggi dan berbahasa Inggris, tak menarik dibincang-
kan para pedagang sayur di pasar hijau.
”Semua orang asing yang menulis tentang Kazakhstan itu
bullshit!!!” Seorang pemuda Kazakh yang sedang mabuk di dis-
om
kotek kaum gay membentak saya dalam bahasa Inggris. Tangan-
t.c
nya meremas gelas kaca yang kemudian terpelanting ke lantai.
po
kami. Borat, Borat, Borat! Dasar, orang asing gila!” Saya me-
ngerti perasaannya. Saya membayangkan kalau setting Borat di-
pindah ke Indonesia, mungkin langsung disusul demonstrasi
raksasa dengan acara bakar-bakar bendera.
Borat memang bukan Kazakhstan. Negeri Borat sesungguhnya
yang terpampang di hadapan saya adalah negeri makmur tempat
orang dari berbagai penjuru bumi berdatangan untuk mencari
peruntungan dan menikmati kekayaan yang melimpah.
Kolya, teman Pasha, adalah musikus muda. Wajah Kolya,
bagi saya, sangat eksotis. Sepasang matanya hanya segaris pan-
jang, agak miring ke atas, bila ditarik garis akan membentuk
261
huruf V. Ia mengingatkan saya pada potret Genghis Khan, sang
penakluk dari Mongol yang pernah meluluhlantakkan seluruh
Asia Tengah. Tetapi Genghis Khan versi modern ini berpakaian
modis ala Barat dan berpotongan rambut ala artis Korea.
Kampung halaman Kolya sebenarnya memang tidak jauh
dari negerinya Genghis Khan. Namanya Republik Yakut, di de-
kat Siberia di daerah Timur Jauh Federasi Rusia. Kolya adalah
seorang Chukcha, atau warga etnis Chukchi, bangsa Eskimo di
Asia Timur Laut. Nenek moyang bangsa Chukchi juga bangsa
nomad, hidup dari berburu rusa liar di tanah tundra Timur
Jauh yang sangat tidak bersahabat alamnya. Tradisi spiritual
om
Chukchi adalah shamanisme—perdukunan yang memuja ke-
t.c
kuatan alam. Nenek moyang mereka adalah perambah hutan,
po
262
Afrika Selatan, di mana kulit hitam begitu hina? Ingat Jawa Pri-
bumi dalam buku Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer,
yang dipandang bodoh, rendah, dan terbelakang? Kulit kita ada-
lah nasib kita. Kita tidak memilih dengan kulit apa kita terlahir,
tapi kulit itulah yang menentukan takdir.
Di mata orang Rusia, bangsa-bangsa Asia Tengah dan
Kaukasus sangat terbelakang. Zaman dulu, bangsa Muslim di
kawasan ini, mulai dari Uzbek, Kazakh, Tajik, sampai Azerbaijani,
semua disebut sebagai chernokozhie—si kulit hitam—ejekan yang
setara dengan ”negro”. Orang-orang Kaukasus, mulai dari
Armenia, Chechnya, Azerbaijan, Dagestan, semua dipanggil
om
khatchik, hinaan rasis yang berasal dari nama orang Armenia.
t.c
Nah, lebih terbelakang lagi yang berwajah Mongoloid, berkulit
po
tunggal dari Chukchi. Ini ejekan yang paling hina dari yang
.b
do
kali. Ini salah satu yang saya ingat. Ada orang Rusia, Swiss,
Jerman, dan seorang Chukcha berdebat tentang klaim kepah-
lawanan Lenin.
Si Rusia: Lenin lahir di Rusia, jadi dia orang Rusia.
Si Swiss: Lenin tinggal lama di Swiss, jadi dia orang Swiss.
Si Jerman: Lenin menyebarkan nilai filosofi Jerman, jadi dia
orang Jerman.
Si Chukcha: Sudah pasti Lenin itu seorang Chukcha, karena
dia pintar seperti kami.
Kisah lainnya, ada dua orang Rusia dan dua orang Chukcha,
sama-sama kecemplung sumur yang tidak begitu dalam. Kedua
263
orang Rusia tidak kehabisan akal, yang satu naik di pundak
yang lain, lalu berhasil keluar. Si orang Rusia lalu mencari tali,
dan menolong temannya, sehingga keduanya kembali melanjut-
kan perjalanan. Lalu bagaimana dengan kedua orang Chukcha
sahabat kita ini? Mereka tetap di dasar sumur, karena begitu
yang satu berusaha memanjat dinding sumur, satunya lagi akan
menyeretnya kembali ke bawah, sembari berkata, ”Jangan!!! Ka-
lau kamu keluar, nanti aku sendirian di lubang ini!”
Ini humor rasis yang tipikal. Ganti ”Rusia” dengan ”Uzbek”,
dan ganti tokoh ”Chukcha” dengan ”Kirgiz”, maka kita dapatkan
humor rasis lainnya yang menggambarkan superioritas Uzbek
om
atas Kirgiz. Ganti dengan Inggris dengan Prancis, atau Iran
t.c
po
nusia lainnya.
a-
ak
264
yang kemudian muncul di atas lambang negara kita, menjadi
kebanggaan kita, semboyan kita, Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi
siapa bilang tidak ada rasisme di Indonesia? Stereotipe tentang
suku bangsa sering kali terdengar. Orang Jawa suka pelan-pelan,
orang Madura suka besi bekas. Orang Medan begini, orang
Ambon begitu. Garis-garis batas itu sudah mendera manusia di
alam bawah sadar.
Film Borat memang fantasi, tetapi ada kebenaran yang me-
nohok. Berapa kali Borat di sana digambarkan menyumpahi
Uzbekistan sebagai negara idiot? Bahkan di depan kedutaan
Uzbekistan pun dia berani. Orang Yahudi juga ditimpuki dalam
om
festival yang penuh tawa ceria. Humor rasis memang mengun-
t.c
dang gelak tawa. Saya pun sempat tersenyum mendengar lelucon
po
Chukcha.
gs
lo
Kali ini bukan karena masalah ras, tetapi karena kantong cekak.
265
Saya direndahkan oleh Nenek Lyubova yang biasanya sederhana
dan ramah.
”Tidak ada diskusi lagi. Pergi! Kamu kumpulkan tas kamu,
barang-barang kamu, cari hotel sendiri,” teriaknya marah, sam-
pai matanya berkaca-kaca, ”Hah? Kamu kira kamu bisa mencari
hotel yang lebih murah dari seribu Tenge. Saya tahu, tidak
bakal ada.”
Kejadian ini terjadi waktu saya baru pulang dari perjalanan
tiga hari di Astana, ibu kota Kazakhstan yang jauh di utara.
Nenek Lyubova menuduh saya tidak mau bayar uang kamar,
padahal sebelum berangkat saya sudah memberinya seribu
om
Tenge. Sekarang, dia minta seribu Tenge lagi karena selama saya
t.c
di Astana tidak ada tamu lain yang datang. Sungguh tidak ma-
po
bayar lagi. Dulu saya sempat jatuh hati pada Nenek Lyubova
.b
do
kaus kaki tebal karena khawatir saya kedinginan. Setiap sore dia
st
pu
266
cucuku mau makan apa? Kamu itu punya uang! Kamu pergi
saja ke Uzbekistan dan minta uang dari kedutaanmu!” Sumpah
serapah pun keluar dari mulutnya.
Seribu Tenge membuat perilaku Nenek Lyubova berubah
drastis. Saya memutuskan untuk mengikhlaskan sebagian uang
saya yang sudah sangat sedikit.
Satu menit setelah menerima lembaran uang, amarahnya
langsung reda.
om
Dulu saya kira dengan warna kulit seperti ini, saya bisa aman
t.c
saja di Kazakhstan. Waktu di Kirgizstan dulu, orang Kirgiz se-
po
pesek, mata boleh sama sipit, tetapi hanya dengan melihat gaya
.b
do
asing di sini.
ak
267
pat saya duduk. ”READ!!!” ia berteriak kasar. Datang pemuda
lain duduk di sampingnya, berbagi komputer. Surat tertulis di
atas kertas kotak-kotak. Tulisannya pun tidak kalah jelek di-
bandingkan dengan anak SD kelas satu:
Read
thiz!
If You WaNNA LIve”
I pRoMIZZZ.
gs
lo
My NAME IZ GREGG.
in
a-
ak
27
Gejala pemakaian bahasa di kalangan generasi muda Indonesia yang mencampur-
adukkan huruf besar, huruf kecil, dan angka, serta melanggar berbagai kaidah
bahasa lainnya.
268
nunjukkan mereka berbakat menjadi anggota KGB. Saya hanya
diberi dua pilihan: hidup atau mati.
Saya bergegas meninggalkan warnet. Waktu membayar, saya
berpikir untuk memberi kode minta tolong kepada gadis pen-
jaga. Tetapi, apa daya? Bicara bahasa Inggris tak mungkin, si
gadis tak bisa berbahasa Inggris. Bahasa Rusia? Bukan kode
namanya, karena kedua pemuda jahat itu pasti bisa mengerti
artinya. Memicing-micingkan mata? Nanti malah disangka
naksir. Saya akhirnya mengambil keputusan untuk berjuang
sendiri, melepaskan diri dari kuntitan mereka.
Seorang dari mereka mengikuti saya lekat-lekat. Kali ini
om
terang-terangan. Jalan raya ramai, tetapi hati saya tak tenang.
t.c
po
Pemuda itu, entah yang bernama Greg atau bukan, terus me-
gs
269
sopir mengumpat karena saya menyeberang sembarangan. Saya
tak peduli. Saya hanya terus berlari, tanpa menengok lagi.
Sebuah bus berhenti di halte. Saya langsung meloncat, tanpa
menghiraukan bus ini dari mana hendak ke mana. Tapi tetap
saja tak ada rasa aman di sini. Seketika, semua penumpang bus
terasa seakan menjelma menjadi mata-mata yang terus mengintai.
Apakah nenek tua bungkuk yang siap-siap turun ini juga teman-
nya Greg? Apakah pria yang duduk sambil membaca koran itu
juga musuh jahat yang siap merampok? Atau anak kecil yang
baru naik, mungkin juga informan Greg? Jantung saya berdebar
kencang. Takut sekali.
om
Saya turun entah di mana. Bus ini sudah mencapai tujuan
t.c
terakhirnya, dan tinggal saya seorang penumpang yang masih
po
bertahan.
gs
lo
lagi ini?
in
a-
kriminal kecil itu. Di kantong saya hanya ada dua ribu Tenge.
st
pu
270
KAYA MENDADAK
kah Kita Jadi Miliarder?” atau ”Tips Jadi Kaya” atau ”Siapa Bi-
gs
lo
hari bolong.
a-
ak
271
tumbuhan ekonomi melejit sampai 9 persen per tahun, investasi
mengalir deras, kemakmuran membumbung. Sama-sama bekas
bagian adikuasa Uni Soviet, sama-sama merdeka berbarengan,
Kazakhstan terus memodernisasi diri, sementara Tajikistan
masih harus tabah di barisan negara termiskin dunia.
Padahal waktu baru merdeka dulu Kazakhstan juga miskin,
rakyatnya kelaparan, ekonominya amburadul. Kini lihatlah wa-
jahnya.... Mimpi apa lagi yang tak mampu diwujudkan negara
baru ini?
Kota modern di tengah padang! Ini pun sudah jadi kenyataan.
ibu kota dipindah dari kosmopolitan Almaty ke tengah padang
om
kosong yang terpencil jauh dari mana-mana. Kota baru dibangun,
t.c
po
nyaris dari nol. Bagi negara kaya, lebih mudah untuk mem-
gs
lama.
do
in
272
mindahkan Jakarta ke tengah rimba di pedalaman Kalimantan.
Solusi? Fantasi? Atau kegilaan?
para lelaki berperut besar itu orang Dungan, tetapi ternyata me-
gs
lo
reka adalah orang Cina Mongol, yang satu masih setia menjadi
.b
do
Shunde, salah satu lelaki itu, ”cukup kawin dengan orang Ka-
zakh saja kamu sudah bisa mendapat kewarganegaraan.”
Punya paspor Kazakhstan memang nyaman, setidaknya bisa
keluyuran ke negara-negara eks-Soviet tanpa visa. Apalagi seka-
rang ekonomi Rusia lagi booming. Di negara tetangga raksasa itu,
banyak kesempatan untuk mengeruk rezeki. Ye masih memegang
paspor Cina, tidak tertarik pindah kewarganegaraan karena
sudah telanjur punya keluarga di Tiongkok sana. Tetapi, alamak,
paspor Cina itu seperti penjara—ke semua negara perlu visa dan
tak gampang. Ye hari ini berencana ke Omsk, di Rusia sana,
dekat perbatasan Kazakhstan. Ia tak punya visa Rusia. Tekadnya
273
sudah bulat: menyelundup. Setelah malang melintang di Asia
Tengah dan kenyang oleh birokrasi yang mendera seperti setan,
saya baru sadar di tengah formalitas ruwet gaya Soviet dan per-
batasan yang tak bersahabat, selalu ada ”jalan belakang”. Asal
ada koneksi dan duit, paspor apa pun bukan masalah.
Tetapi kalau memang ingin paspor Kazakhstan, ada caranya.
Seperi Ye bilang, Kazakhstan sekarang lagi butuh orang. Ini ne-
gara besar, tetapi kekurangan penduduk. Kalau Anda punya da-
rah Kazakh, Anda dengan gampang bisa jadi warga Kazakhstan.
Presiden Nazarbayev memanggil semua orang Kazakh untuk
”pulang”, membangun negeri baru mereka.
om
Dalam sekejap ratusan ribu etnis Kazakh dari Cina, Uzbekis-
t.c
tan, dan Mongolia, membanjiri Kazakhstan. Aliran bangsa yang
po
274
yang sama saya rasakan sebagai etnis Cina yang ”kembali” ke
kampung halaman di Tiongkok. Integrasi total, asimilasi total,
persatuan manusia sedarah, adalah konsep teoritis.
Setidaknya, sekarang pelan-pelan orang Kazakh sudah men-
jadi mayoritas di negeri sendiri. Waktu sebelum merdeka dulu,
jumlah orang Kazakh bahkan tak sampai separuh dari jumlah
total penduduk Kazakhstan.
”Kamu mau paspor Kazakhstan? Kawin saja dengan perem-
puan ini,” katanya, menunjuk perempuan gemuk Kazakh empat
puluh tahunan yang duduk di kompartemen kami. Yang sedang
dibicarakan rupanya mengerti percakapan bahasa Mandarin
om
kami, hanya tertawa tergelak-gelak. ”Aku sudah punya anak
t.c
lho,” kata wanita itu, ”dan anakku sebesar kamu.”
po
275
persegi. Proyek arsitektural fantastik ini dinamai Khan Shatyry,
atau Tenda Besar Raja Agung, dilengkapi dengan sistem penga-
turan suhu modern yang menjaga agar temperatur di bawahnya
selalu nyaman untuk ditinggali. Di dalamnya akan ada taman,
toko, kafe, kolam renang, lapangan golf, bahkan pantai berpasir.
Sungguh impian bangsa gembala yang memasuki abad milenium.
Hebatnya lagi, kemewahan ini dibangun di Astana, ibu kota
terdingin kedua di dunia setelah Ulaanbaatar di Mongolia. Di
musim dingin suhu bisa anjlok sampai minus 40. Ketika orang-
orang di belahan lain negeri menggigil kedinginan diterjang ba-
dai salju, penduduk Astana nanti masih bisa bermain tenis dan
berjemur di bawah tenda transparan. om
t.c
Itulah yang membuat saya begitu ingin ke Astana. Saya tahu,
po
276
Di tengah malam yang gelap total saya menyusuri pusat kota.
Walau gembar-gembor kota modern yang dibangun oleh ter-
jangan uang Kazakhstan, Astana di mata saya tampak sebagai
kota kecil yang muram. Mungkin karena kabut yang menghalangi
pandangan atau udara dingin yang menyumbat pikiran. Yang
ada hanya barisan gedung kotak-kotak, orang-orang berjaket
bulu yang hampir semuanya berwarna hitam, dan bahasa Rusia
yang mengisi udara. Telepon umum pun banyak yang rusak.
Rasa takut juga menemani setiap langkah kaki saya. Ingat, ini
Kazakhstan. Setiap malam gelap di kota besar, bahaya siap
mengintai.
om
Namun keesokan paginya, saya dibuat ternganga. Langit ke-
t.c
labu membungkus bumi. Masih muram yang sama, tapi lebih
po
277
Almaty pun rawan gempa. Sedangkan, bagi negara sekaya ini,
lebih mudah membangun kota modern dari nol: jalan-jalan
baru, gedung-gedung baru, bandara baru, semua baru.
Secara geografis, Astana lebih ke utara. Tepat di jantung
Kazakhstan, kalau mengutip kata-kata Presiden. Di Kazakhstan,
ras pun berpendar seperti spektrum. Daerah selatan didominasi
oleh orang-orang Asia, seperti Muslim Kazakh dan Uzbek. Se-
makin ke utara, komposisi Kazakh menurun, berganti dengan
bangsa berkulit putih seperti Rusia, Ukraina, dan Jerman. Di
ujung utara sana, orang Kazakh malah menjadi minoritas di
negaranya sendiri.
om
Stan-stan, kelima negeri Stan masing-masing untuk satu
t.c
bangsa. Uzbekistan terkenal gencar meng-Uzbek-kan negaranya.
po
278
hasa Kazakh berarti ”batu nisan putih”, sungguh nama yang
tidak pantas untuk ibu kota negara besar masa depan. Karena
itu namanya diganti, Astana. Keren. Padahal artinya sangat se-
derhana: ibu kota. Pusat baru Kazakhstan itu hanya dinamai
”Ibu Kota”.
Dari Astana ini, Kazakhstan memandang masa depannya se-
bagai negeri modern dan makmur.
untuk untuk bertegur sapa pun orang tak punya hasrat. Apakah
in
a-
279
Astana membentuk golongan noveau riche yang berlimpah ke-
mewahan.
Di penginapan ini, harga satu tempat tidur di sebuah kamar
berisi enam ranjang, untuk sewa 24 jam, adalah 1.500 Tenge,
sekitar 12 dolar, sementara sewa kamar hotel di Astana paling
murah adalah 80 dolar. Meskipun yang menginap di stasiun
adalah orang-orang ”tanpa gengsi”—karena ini adalah pilihan
akomodasi termurah—tempat ini cukup resik.
Tetapi buat saya ini sudah mahal sekali. Saya berusaha me-
rayu Gulnara supaya boleh menginap di lobi. Gulnara mengerti
rasanya hidup jadi orang miskin. Ia jatuh iba, mengizinkan saya
om
duduk di sofa. Tengah malam, sofa yang saya tiduri itu ternyata
t.c
po
cara halus.
lo
.b
280
”Saya menunggu kereta menuju Moskow,” jawab saya lemah,
penuh kebohongan.
Polisi pergi. Saya mencoba tidur lagi.
Dua puluh menit, entah polisi yang mana lagi, datang, me-
nendang-nendang dan memukuli bangku. Memang tak mungkin
untuk tidur, tetapi saya harus melewatkan malam di sini.
Sebenarnya saya tak sendiri. Banyak juga orang seperti saya,
yang hanya mampu menjadi penonton kemegahan Astana, te-
tapi harus tersisih sebagai kaum tak berpunya di rimba kemak-
muran ini. Inilah rasanya jadi tunawisma, ternyata beginilah
deritanya orang yang tak punya zona nyaman.
om
Di tengah perjuangan berat ini, saya semakin menyadari se-
t.c
buah ungkapan filsafat Tiongkok: seni sebuah perjalanan adalah
po
melekat di tubuh tanggal satu per satu. Setelah semua jati diri
in
a-
lisi hanya untuk melewatkan malam. Tak ada identitas lain yang
lebih penting, selain berjuang untuk terus bertahan.
28
Timbuktu yang asli, letaknya di pedalaman Mali di ujung selatan Sahara luas,
di tepian Sungai Niger di Afrika Barat, sempat menjadi pusat peradaban Islam
di abad pertengahan, sekaligus kota perdagangan emas, garam, dan budak di
Afrika.
281
orang Barat, kota kuno dengan peradaban tinggi, yang kemudian
meredup dan seperti hilang ditelan bumi, menjadi kiasan penuh
romantisme untuk tanah eksotis dan terpencil di ”ujung dunia”.
Lain pula dengan orang Tiongkok. Bagi mereka, tempat terjauh
di muka bumi adalah Jawa. Begitu jauh, di tengah samudra
luas, tak tergapai, eksotis, sehingga orangtua memperingatkan
anaknya dengan berkata, ”Awas, jangan nakal! Atau kulempar
kau sampai ke negeri Jawa!”
Bagi orang Soviet, Karaganda punya karakter yang mungkin
lebih pas daripada Timbuktu atau Jawa untuk melukiskan
”ujung dunia” di tengah kekosongan yang sempurna. Karaganda
om
terletak di jantung padang stepa luas Kazakhstan—negara yang
t.c
juga didominasi oleh kekosongan. Kazakhstan adalah tempat
po
282
mineral bertebaran di sekitar kota ini. Sekarang, Karaganda ma-
sih terkenal di Kazakhstan. Seorang kawan mengingatkan su-
paya saya berhati-hati, karena kota ini punya angka pengidap
HIV tertinggi di seluruh negeri.
Masa lalu itu masih tidak begitu lama berlalu. Selain orang-
orang yang tidak diharapkan, Soviet juga gemar ”membuang”
sampah radioaktif dan meledakkan ratusan bom dan percobaan
nuklir di tengah padang Kazakhstan. Di atas peta, padang Ka-
zakhstan memang kosong melompong. Tetapi di sana tetap hi-
dup manusia yang terlupakan di tengah keterpencilan. Belum
lagi berbagai macam pabrik dan pertambangan yang mengotori
om
padang luas dengan zat beracun. Segala macam penyakit aneh
t.c
bermunculan: kanker, kebutaan, penyakit jantung, leukemia,
po
283
memandangi apartemen-apartemen padat yang berbaris muram.
Saya seperti berada di Rusia.
Tiba-tiba, sinar matahari tersembul, menyeruak dari gulungan
awan. Orang-orang mulai turun ke jalan, menikmati pancaran
secercah kehangatan di akhir pekan. Tetapi yang tampak adalah
wajah serius barisan manusia tanpa sekilas senyum pun, seolah
senyum sudah mahal sekali harganya. Di sini tak banyak pem-
bicaraan. Tak ada salam panjang bertele-tele seperti halnya di
Tajikistan dan Kirgizstan yang menanyakan kabar, kesehatan,
hewan ternak yang beranak-pinak, musim yang merambah....
Keseriusan menimbulkan rasa aneh dalam hati ketika saya ber-
om
jalan di atas trotoar berbalut salju. Tawa riang anak-anak tak
t.c
terdengar, hanya ada derap sepatu yang melangkah cepat-cepat
po
284
malu dengan memohon, ”Devushka29, minta sayurnya banyakan
ya.”
Sepiring salad sesuai dengan hitungan standar, tersaji di ha-
dapan saya. Saya, yang juga bingung akan aturan-aturan yang
demikian detailnya, menyantap salad itu dengan penuh khusyuk.
Tak berani saya melirik-lirik, berbicara yang tidak perlu, senyum
kanan-kiri. Jangan-jangan kelebihan senyum pun disuruh bayar.
Di sini, menu restoran pun tersaji dalam hitungan seporsi pe-
nuh, atau 0,5 dan 0,7 porsi. Mungkin suatu hari nanti, Anda
boleh pesan makanan dengan porsi sampai ketelitian tiga
desimal.
om
Bagi banyak orang, Rusia masih superior. Kebudayaannya
t.c
tinggi, bahasanya mendominasi. Di stasiun Karaganda kala me-
po
29
Nona. Panggilan umum untuk perempuan muda dalam bahasa Rusia. Saya per-
nah dimarahi gara-gara memanggil pelayan restoran sebagai Sestra (kakak perem-
puan). Si gadis langsung teriak, ”Sestra! Sestra! Ya ne tvaya sestra! Aku bukan
mbak-mu!”
285
16 Desember 1991, Kazakhstan tampil sebagai negara terakhir
bekas Uni Soviet yang memproklamasikan kemerdekaannya.
Kala itu, suara yang santer terdengar di kalangan masyarakat
adalah tetap menyatu dengan Rusia. Ya, Kazakhstan bukanlah
negeri Baltik atau Uzbekistan yang gegap gempita menyambut
ambruknya Uni Soviet dan bersemangat untuk merdeka. Rusia
bukanlah selalu dipandang sebagai penjajah, tetapi terkadang
malah menjadi pembawa modernitas, pembangun negeri, dan
jiwa yang tak terpisahkan.
Siapa yang membangun kota megah ini? Siapa pula yang
membawa listrik dan pendidikan bahkan hingga ke lekuk pegu-
om
nungan paling terpencil di Tajikistan? Jujur saja, semua adalah
t.c
buah karya sang penjajah: Rusia.
po
286
dian melebur dalam diri budaya bangsa lain yang lebih besar.
Banyak bangsa yang mengalami nasib serupa dalam Imperium
Uni Soviet. Nasionalisme mereka luruh, digusur oleh superioritas
Rusia. Bangsa-bangsa macam Tatar, Tuva, dan Kazakh meneriak-
kan kebanggaan nasionalisme dan semangat kemerdekaan, da-
lam bahasa Rusia yang fasih.
Sekarang, lima belas tahun merdeka, Kazakhstan ada di sim-
pang jalan. Negeri baru yang mencari jati diri. Ia bukan lagi
Soviet, bukan lagi Rusia. Sekarang, Kazakhstan untuk Kazakh,
walaupun banyak yang bingung apa nasionalisme Kazakh itu.
Namun, masih pentingkah rasa itu? Kebanggaan itu? Bagi se-
om
bagian orang, menjadi Kazakh tidaklah sepenting menjadi Indo-
t.c
nesia bagi kita, atau menjadi Uzbek untuk orang Uzbek. Tak
po
287
makmur yang sibuk mencari jati diri karena kemerdekaan dan
tradisi sudah memudar, tergadaikan demi uang. Orang-orang
pun sibuk, bukan lagi mengejar kebanggaan dan simbol, tetapi
membanting tulang demi kemakmuran, kemewahan, jaminan
masa depan, lembaran uang, deposito di bank....
Apakah artinya menjadi sebuah Kazakhstan? Negeri ini tidak
sama dengan Armenia atau Lithuania, yang sudah berbentuk
negara merdeka jauh sebelum penjajahan Rusia. Negeri ini
bukanlah Uzbekistan, yang punya sejarah dan peradaban begitu
panjang tempatnya berpaling dalam pencarian jati diri. Konsep
negara Kazakhstan diciptakan oleh Stalin. Identitasnya direkon-
struksi oleh Moskow. om
t.c
po
padang luas, tidak ada batas-batas rigid ala negara modern. Pa-
lo
.b
dang luas adalah padang luas. Tak ada konsep negara, tak ada
do
in
288
den. Tetapi tetap saja, itu Kazakhstan versi film, bukanlah Ka-
zakhstan yang asli.
Saya teringat seorang kawan orang Libanon yang bekerja di
Dubai, berkisah tentang hasil rabaannya akan Kazakhstan. Uni
Emirat Arab, seperti halnya Kazakhstan, juga adalah negeri mi-
nyak kaya yang kemakmurannya juga menyedot jutaan orang
dari seluruh pelosok bumi. Keduanya sama-sama noveau riche.
Negara kaya baru, dari negara miskin yang dipandang sebelah
mata, tahu-tahu menjadi kaya mendadak. Bedanya, Dubai jauh
lebih terkenal daripada Kazakhstan, banyak orang tak menduga
negeri Borat ini pun sangat kaya. Kawan saya, yang bekerja se-
om
bagai desainer interior, punya klien perempuan dari Kazakhstan
t.c
yang sering memberikan order untuk mendesain rumah-rumah
po
satu juta dolar. Sejuta dolar! Sepuluh miliar rupiah, itu hanya
untuk musik penghiburnya saja. Belum lagi pestanya.
”Apa benar Kazakhstan sekaya itu? Bagaimana wajah negara-
nya? Apakah mereka semakmur Dubai?” tanya kawan saya tanpa
henti, masih mengerjap tak percaya.
289
Kalau saya tak menemukan jawabnya, mungkin justru inilah
jawabannya. Roh Rusia itu yang mungkin kini menjadi karakter
Kazakh. Mungkin juga kekosmopolitannya, berbagai ras dan bu-
daya yang bercampur aduk.
Pasar sayur Zelyonii Bazaar adalah pasar ramai tempat ber-
baurnya berbagai suku bangsa. Bau acar kimchi berwarna merah
menyala yang dijual kiloan oleh ibu-ibu Korea menusuk hidung,
sementara di sudut pasar, bakmi laghman Uyghur dimasak oleh
koki asli dari negeri Cina. Orang Uzbek menawarkan roti nan,
sedangkan pekerja Tajik menyapa ramah dalam bahasa Persia
yang lembut. Jagal Rusia menjual babi berkualitas, yang ternyata
om
juga dikonsumsi oleh Muslim. Di sini, babi dan vodka bukan
t.c
po
pantangan.
gs
tahun lalu seluruh bangsa nomad ini masuk Islam. Karena kul-
a-
ak
tur nomad yang tidak terikat aturan ketat, Islam pun sangat
st
290
masjid, megah di tengah kota yang semula hanya terkenal akan
gereja katedral Kristen Ortodoks-nya.
Anak-anak muda mengoleksi liontin bertuliskan huruf Allah
dan Muhammad, walaupun tidak tahu bagaimana membacanya.
Tulisan Arab hanya untuk menyatakan jati diri sebagai Muslim.
Seminggu terakhir, saya hanya melihat satu gadis berjilbab di
tengah metropolis Almaty. Beberapa pemusik muda Kazakh
yang saya temui menolak keras difoto di depan Katedral Zenkov,
gereja kuno Kristen Ortodoks yang menjadi ikon Almaty.
”Gedung ini bukan punya agama kami,” kilah seorang dari
mereka.
om
t.c
po
gs
lo
291
Kazakhstan. Waktu itu, keempat macan Asia—Indonesia, Ma-
laysia, Korea Selatan, dan Thailand—memukau Nazarbayev.
Daripada meniru menjadi macan, negeri ini kemudian memilih
macan tutul yang lebih garang sebagai ikon kemakmuran eko-
nominya. Lima belas tahun berselang, si macan tutul telah me-
nunjukkan taringnya sebagai negara yang makmur, sedangkan
si macan dari Indonesia ompong giginya diterjang badai eko-
nomi.
Tetapi apakah memang kemakmuran ekonomi adalah lam-
bang kemerdekaan? Kazakhstan memang jauh lebih kaya diban-
dingkan Tajikistan dan Kirgizstan. Tetapi harta kekayaan adalah
om
sebuah zona aman yang lain, yang juga memunculkan garis-garis
t.c
batas dalam bentuk lain, dengan segala manifestasi dan pengor-
po
292
bibir dengan mesra di pinggir jalan, sama sekali tidak peduli
dinginnya es dan orang-orang yang lalu lalang. Dunia hanya
milik berdua. Hangatnya asmara meluluhkan dinginnya salju
dan terpaan angin. Para pejalan kaki pun tak ambil pusing.
Mungkin pemandangan semacam ini sudah biasa terlihat.
Ya, Tuhan! Apa saya tidak salah lihat?
Seorang pemuda Almaty bercerita bahwa ia pernah ber-
ciuman selama sepuluh menit dengan kekasihnya yang laki-laki,
di depan gedung parlemen di pusat kota. Orang-orang hanya
menonton. Ada yang berdecak kagum, ada yang langsung pergi
karena jijik, tetapi kebanyakan hanya terperanjat. Berani sekali,
om
bukan? Di Uzbekistan, tindakan ini bisa berujung kurungan. Di
t.c
sini, lelaki ini malah berhasil berkenalan dengan cowok tampan
po
293
DO SVEDANIA, KAZAKHSTAN
294
rung bantal pun bayar. 250 Tenge, hampir 2 dolar. Dulu waktu
ke Astana, saya berusaha menghindari biaya ini. Saya langsung
disemprot ibu petugas kereta yang judesnya bukan kepalang,
”Kalau tidak pakai seprai, kamu tidak boleh tidur di sini!” Te-
tapi di kereta ini, ibu petugas kereta berbaik hati mengizinkan
saya tidur tanpa seprai.
Ludmilla, ibu paruh baya etnis Rusia berseragam petugas,
berjalan dari gerbong ke gerbong menawarkan kaus kaki. De-
ngan penuh keheranan karena melihat ada orang asing di ger-
bong ini, dia langsung duduk di sebelah saya. Saya menunjukkan
album foto berisi kehidupan kaum miskin di India, Pakistan,
om
dan Afghanistan. Tak saya sangka, butir-butir air mata nyaris
t.c
menetes di pipi Ludmilla. Sambil sibuk melihat foto-foto dan
po
hidupan di Kazakhstan.”
st
pu
295
raya menyediakan sedekah untuk sang kakek. Negeri ini ternyata
punya wajah yang begitu kontras, dari hedonisme dan keme-
wahan kota metropolis hingga tradisi dan religi kuno yang
mengakar.
Uzbekistan.
st
pu
296
kematiannya. Sang pembangunnya adalah Amir Timur, atau
Timur Leng, atau Timur si Pincang, raja besar Asia Tengah yang
sekarang dipuja sebagai pahlawan besar di Uzbekistan.
Kubah-kubah hijau zamrud menantang langit. Lautan salju
menghampar di hadapan. Dinding berbungkus mozaik, yang ka-
lau dilihat dari dekat adalah tulisan Arab ”ALLAH” yang di-
samarkan menjadi bentuk-bentuk geometris indah. Pintu ma-
suknya tinggi sekali, seakan dibuat untuk dimasuki raksasa.
Warna hijau dan oranye berpadu indah, menghamburkan ke-
indahan arsitektur bergaya Persia. Di masa itu, selama berabad-
abad lamanya, kultur Persia adalah simbol kemajuan peradaban
om
dan kebudayaan Asia Tengah. Bagian pintu masuk mausoleum
t.c
ini tidak sempat dihias apa-apa karena sang Amir Timur sudah
po
identitas.
st
pu
297
doa-doa di pemakaman Khoja Yasawi, tempat ini juga menjadi
lokasi pemotretan pre-wedding favorit. Sang pria berjas hitam,
berdasi. Sang wanita bergaun putih ala Eropa—dengan pundak
berkulit mulus yang terbuka, bergandengan diiringi sanak ke-
luarga. Mereka memanjatkan doa di dalam makam suci, tak
lupa direkam video camera. Foto pernikahan dijepret di depan
kuburan sang guru Sufi, menjadi kenang-kenangan seumur hi-
dup pasangan pengantin.
Itulah perpaduan berbagai kultur, kepercayaan, kebanggaan,
dan harapan. Itulah Kazakhstan.
om
t.c
po
batasan tutup di petang hari. Tak ada pilihan, saya harus mengi-
ak
298
”250 Tenge!”
Ia mengajak saya makan malam. Perut saya belum diisi apa-
apa sejak pagi tadi, tetapi saya cukup tahu diri—saya tak punya
uang lagi. Saya membaringkan diri di atas bangku-bangku yang
dijajar dan diberi selimut oleh pegawai, lalu berusaha menam-
batkan diri ke alam mimpi dengan perut keroncongan.
Hampir saja saya terlelap ketika pegawai itu datang dengan
semangkuk shorpo, sup daging hangat penuh minyak, dan se-
lembar roti nan.
”Makan saja, tidak perlu bayar!”
”Rahmat,”—terima kasih—hanya itu yang bisa saya ucapkan.
om
Saya langsung menyantap makanan itu seperti sudah berhari-
t.c
hari tak makan. Ah... alangkah nikmatnya masakan sederhana
po
hidup: bersyukur.
.b
do
299
sekarang. Seorang penumpang, nenek Rusia dengan wajah yang
selalu cemberut, langsung menyumpahi sopir yang seenaknya
menaikkan harga secara mendadak karena sudah dekat tahun
baru. ”Bagaimana lagi? Sekarang sudah masuk hitungan liburan
Tahun Baru, di mana-mana harga naik. Kalau tak mau bayar,
turun saja,” kata sopir cuek. Uang Tenge saya langsung hanya
tersisa satu keping setelah membayar ongkos.
Desa perbatasan Zhibek Zholi—namanya berarti Jalan Sutra—
sangat sibuk. Bus-bus besar berdatangan dari penjuru. Pelintas
batas membawa barang yang berkantong-kantong—mungkin
belanjaan, mungkin dagangan—menuju Uzbekistan.
om
Perbatasan seperti pasar yang ramai dan kacau-balau. Pu-
t.c
luhan perempuan gemuk setengah baya dan berkerudung ber-
po
300
”Ayo! Ayo!” Nenek ini semangatnya tak kalah dengan atlet
aerobik. Dalam hitungan detik, datang tiga atau empat nenek-
nenek lainnya bergabung.
”Ayo! Ayo! Nanti menyeberang perbatasannya gampang.”
”Tidak bakal ada masalah kalau kamu pergi bersama kita.”
”Ayo! Tak perlu khawatir. Cuma kasih bir Tenge, satu Tenge,”
kata seorang nenek yang tidak kalah gendutnya.
Semuanya bicara bahasa Rusia, meluncur dari mulut yang
separuh ompong separuh bergigi emas mengilap. Memang ke-
dengarannya menarik. Satu Tenge saja? 75 rupiah saja? Murah
sekali. Tapi buat apa?
”Ayo! Ayo!” om
t.c
Sekarang sudah bukan cuma omongan lain, tetapi tangan-
po
301
Bagi penduduk Uzbekistan dan Kazakhstan, walaupun me-
reka tidak butuh visa, tidak semua orang punya dokumen leng-
kap. Di Uzbekistan, semua orang punya paspor, karena paspor
juga berfungsi sebagai KTP. Tetapi punya paspor tidak otomatis
bisa ke luar negeri. Paspor mereka harus dicap dulu oleh kantor
registrasi, yang meng-upgrade paspor ”lokal” menjadi paspor
”internasional”. Ini juga butuh waktu panjang, prosedur dengan
setumpuk dokumen, birokrasi berbelit-belit, dan... duit. Cuma
pemegang paspor internasional—zagrant pasport—yang boleh ke
luar negeri. Jalan tikus ini adalah ”paspor”, pass the port.
Tetapi mengapa saya juga harus diselundupkan? Saya punya
om
paspor, visa, registrasi, semua lengkap. Tidak! Saya berusaha me-
t.c
nerobos kerumunan nenek desa ini, kembali ke jalan semula.
po
302
Tentara Kazakh yang sejak tadi mengamati, tertawa terbahak-
bahak. Ketika saya melintas, masih dengan menyimpan tawa,
dia menyapa, ”Hai, Brat, ada apa?” Saya pun cekikikan, mem-
bayangkan menyelundup ke Uzbekistan hanya dengan ”satu
Tenge”.
Barisan puluhan orang mengantre di depan loket imigrasi.
Tetapi karena saya orang asing, langsung disuruh memotong
antrean panjang itu. Saya merasa seperti tamu kehormatan.
”Avgustin... hmm... nama yang menarik,” kata petugas imigrasi
sambil tersenyum mengamati paspor saya.
”Paspormu bagus ya. Cantik.” Saya tak percaya kalau dia
om
mengamati paspor saya begitu lama karena terpukau gambar
t.c
Garuda di sana. Pasti karena data di paspor saya tulisan tangan
po
tan....”
Petugas imigrasi sempat melambai ke arah saya. ”Do svedania,”
katanya, sampai jumpa.
”Do svedania, Kazakhstan,” saya membalas. Akhirnya, saya
menghirup segarnya udara Uzbekistan.
303
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Bab 4
Uzbekistan
Tarian Masa Lalu
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
Pepatah Uzbek
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
BUKAN NEGARA NORMAL
307
tidak perlu melewati barisan tentara, tak perlu menyerahkan
paspor dan visa. Menginjak Kazakhstan, itu bukan mimpi, ka-
wan. Ada seribu jalan, dan kini kita sudah menuju ke sana.
Mobil mengarah ke padang liar, melintasi semak belukar,
menyelinap menuju tanah tak bertuan, hingga tembus ke Ka-
zakhstan. Tunggu. Pergi ke Kazakhstan memang mudah, tetapi
bagaimana nanti keluarnya? Tanpa prosedur resmi, bisa-bisa saya
dijebloskan ke penjara sebagai penyelundup gelap. Ah, mimpi
pun tak terbayangkan. Tersadar oleh kebodohan ini, saya men-
jerit hampir menangis, ”Turunkan aku!!!” Di sekeliling adalah
padang belukar. Sejauh mata memandang hanya kekosongan.
om
Sopir tersentak. Penumpang lain berusaha menenangkan.
t.c
po
seram itu.
lo
.b
Ini bukan kisah ibu-ibu yang hanya meminta satu Tenge, dan
pu
hanya menyeret saya melintasi gang kecil. Ini adalah mobil pe-
nyelundup. Saya sebenarnya bisa saja lompat keluar, tetapi ba-
rang bawaan saya semua ada di bagasi. Lebih sial lagi, paspor
saya ada di genggaman sopir. Tanpa paspor, saya bagaikan TKI
yang disandera majikannya. Nasib saya ada di tangannya.
”Kamu mau saya kasih 100 dolar?” saya tiba-tiba mengubah
ekspresi, memasang wajah semanis mungkin, sambil memamer-
kan satu-satunya lembaran dolar di dompet, ”Kita kembali lagi
ke perbatasan yuk. Kamu minta tentara teman kamu untuk me-
ngecap paspor saya, lalu kita kembali lagi ke Kazakhstan lewat
308
jalan ini. Tanpa cap itu, saya tidak bisa berangkat. Saya ini
orang asing, kamu tahu, kan.”
Sopir tercenung. Srrrrt... mobil berputar ke kiri, seratus de-
lapan puluh derajat. Tubuh saya terambing, tetapi hati saya
puas. Begitu mobil kembali ke pasar di seberang gerbang per-
batasan, saya melongokkan kepala ke luar jendela, berteriak ke
arah kerumunan pedagang pinggir jalan, mendeklamasikan
Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 sekencang-kencangnya.
Sungguh, hafalan dari zaman SLTP itu ternyata adalah man-
tra bermukjizat. Si sopir ketakutan.
om
Dengan gemetaran, ia mengembalikan paspor. Sopir hanya
t.c
meminta ongkos bensin karena sudah mengantar saya ”jalan-
po
jam itu sudah bikin jantung hampir copot. Saya langsung ngibrit
.b
do
Kazakhstan.
ak
309
sudah memendam rindu. Kami berjalan bersama, menyusuri
trotoar bolong-bolong.
”...Hidup di Uzbekistan ini susah. Tiap hari, yang ada cuma
tambah parah dan makin parah. Kami tak punya uang....”
Kini sang sahabat mengeluh, menumpahkan unek-unek ten-
tang hari yang suram. Kami bersama setapak demi setapak me-
nuruni tangga menuju kereta api bawah tanah Tashkent.
”...Apa benar sih di Kazakhstan gaji mereka besar? Apa?
Lima ratus dolar per bulan? Aku juga mau. Tapi aku tak kenal
siapa-siapa di sana. Bisa tidak ya, aku dapat kerja di Kazakhstan?”
Matanya mengerjap berkali-kali. Ada harapan yang mem-
om
bungkus kesuraman hidupnya. Perempuan ini menghalangi saya
t.c
menyerahkan uang ke loket. Tidak, saya adalah seorang tamu,
po
”...Di sini gaji cuma lima puluh dolar, kadang malah tidak
in
a-
310
kemerut di sudut mata itu menggambarkan betapa keras hidup
yang dijalaninya.
Semua tragedi hidupnya yang disesakkan ke otak saya dalam
sepuluh menit ini sudah membuat saya khawatir air matanya
bakal tumpah. Namun, bukannya air mata, melainkan senyum
kikuk yang terus terkembang di wajah sayunya.
Tashkent tampak kelabu. Dari Kazakhstan yang makmur,
saya langsung tersontak oleh kemiskinan yang begitu gamblang,
hanya beberapa langkah saja dari perbatasan. Kakek tua me-
ngorek bak sampah pinggir jalan, dan bocah-bocah pengemis
mengganduli lengan saya. Baru pertama kali saya melihat penge-
om
mis bule di negara Asia. Di Tajikistan yang miskin, pengemis
t.c
po
311
ini. Ia tak henti-hentinya menanyakan prospek kerja di Malaysia
dan Thailand. Hidupnya kini dirundung kemurungan.
”Bahkan waktu naik bus aku pernah diteriaki orang, ’Pulang
sana ke Rusia!’ Tetapi Rusia bukan rumahku. Kakekku lahir di
sini. Ayah-ibuku lahir di sini. Bagaimana mungkin aku pulang
ke Rusia?” Di sini ia ditolak, dan ia sudah tahu, di tanah le-
luhurnya itu pun ia bakal ditolak. Penolakan demi penolakan
merundung hidupnya, membuatnya berpikir untuk lepas dari
semua identitas yang mengekang. Malaysia dan Thailand hanya-
lah pelarian, fantasinya untuk melepaskan diri dari semua ini.
Aleks mengenang betapa bergengsinya dulu sekolah Rusia,
om
”Hanya anak-anak kulit putih dan kaum elite Uzbek yang bisa
t.c
masuk. Sekarang, sekolah-sekolah itu malah bangkrut.”
po
312
jadi bagian suatu ras, suku, bangsa, agama, atau kelompok ter-
tentu. Dari negeri yang tertindas, Uzbekistan bangkit menjadi
negeri merdeka, dan seketika orang-orang seperti Aleks kehi-
langan kehormatannya.
Temur Mirzaev, mahasiswa Uzbek yang belajar bahasa Indo-
nesia, menyimpulkan, di Uzbekistan sekarang orang Rusia ha-
nya tinggal dua kelompok: yang sangat miskin dan yang sangat
kaya. Mereka yang terlalu kaya tentunya tak merasa perlu untuk
meninggalkan zona nyaman mereka di sini. Kekayaan mereka—
rumah mewah, mobil, perusahaan, kemakmuran—masih mampu
mengimpasi tatap benci orang-orang. Mereka tak perlu naik bus
atau belanja di pasar, bukan? Sedangkan yang terlalu miskin,
om
sudah tak bisa ke mana-mana lagi, bertahan hidup dengan
t.c
po
Rusia.
do
313
Hari pertama di Uzbekistan, saya sudah disuruh memper-
panjang visa. Kata Rosalina, waktu tunggu perpanjangan visa
satu bulan, itu pun belum tentu dapat. Visa saya juga cuma satu
bulan. Jadi, selama satu bulan ini saya akan berkeliaran di ne-
gara ini dengan dirundung ketidakpastian, sampai hari H nanti,
takdir saya akan ditentukan, bak judi di kasino dengan proba-
bilitas kemenangan yang lumayan tipis. Kalau dapat visa, boleh
tinggal lebih lama. Kalau tidak dapat, saya harus minggat dan
bayar denda.
”Itu memang cara mereka mencari duit,” jelas Rosalina. ”Be-
berapa tahun lalu, mantan Duta Besar RI berkunjung lagi ke
om
Uzbekistan sebagai tamu. Beliau pun langsung memperpanjang
t.c
visa begitu datang. Setiap hari pihak Uzbek bilang tidak ada
po
314
Ferghana dekat Kirgizstan. Tidak pasti berapa jumlah korban
tewas. Konon sampai ribuan, kebanyakan rakyat jelata. Menurut
pemerintah korban cuma seratusan orang, semuanya ”pembe-
rontak”. Dunia mengecam. Uzbekistan tak ambil pusing. Istilah-
nya, kafilah menggonggong, anjing tetap berlalu. Semua jaringan
komunikasi diblokir, internet tak bisa diakses, jurnalis dan
pengamat HAM asing dienyahkan. Dalam semalam, NGO asing
ditutup dan personelnya dideportasi. Sukarelawan Peace Corps
tak bakal kembali lagi. Hubungan Uzbekistan dengan Amerika
Serikat dan Uni Eropa memburuk, pangkalan militer Amerika
langsung ditutup. Uzbekistan mesra kembali dengan Rusia.
om
”Bukan negara normal,” kata-kata itu terus berdengung da-
t.c
lam benak saya. Murtie bercerita tentang KBRI yang mengajukan
po
315
orang asing waktu melintas batas. Semua harus ditulis jelas,
mulai dari jumlah baju, tas, laptop, kamera, Dolar, Sum, Rubel,
semuanya! Logika mereka sederhana, selisih uang itu adalah
hasil kerja ilegal si ”pelaku” di Uzbekistan. Padahal zaman mile-
nium begini orang kan bisa menerima transfer, menggunakan
kartu kredit dan debit internasional, atau dapat utangan dari
teman. Tapi itu sama sekali tak berarti buat polisi Uzbek.
”Itu kan dunia. Ini Uzbekistan.”
Uang. Uang. Uang. Sejak Uni Soviet bubar, kenangan ten-
tang Rubel semakin pupus, warga Asia Tengah jadi terbiasa ber-
hitung dengan dolar Amerika Serikat—mata uang mantan mu-
om
suh bebuyutan mereka waktu Perang Dingin. Setiap negara
t.c
membentuk mata uang sendiri, tetapi tidak semua berjaya. Kurs
po
harus membawa uang Sum. Tetapi nilai Sum terlalu kecil, pe-
cahan terbesar saja tak sampai US$1, itu pun susah mendapat-
kannya. Bayangkan membeli laptop hanya dengan uang kertas
seribuan rupiah. Kalau beli tiket pesawat selembar saja, uangnya
sampai bertas-tas. Jari-jemari kasir supermarket sangat fleksibel
dan lincah, menari bersama bunyi gress... gress... gress... lembaran
Sum yang bergepok-gepok.
Setidaknya, mereka tidak perlu khawatir ada uang palsu, ka-
rena memalsukan uang setidak berharga ini tentunya malah ba-
kal rugi. Orang sini bilang, mata uang mereka begitu kuat. Mak-
sudnya, mata uang yang bikin orang kuat, karena untuk belanja
316
pun mereka harus menggotong uang berkilo-kilogram ke mana-
mana.
”Orang Jawa bilang, wong mati kabotan duit30,” kata Murtie,
”di sini, orang bisa mati sungguhan karena keberatan duit. Di
Uzbek, mau belanja tiket pesawat buat sekeluarga, bawa uang
satu kardus gede, terus jatuh, menimpa badan... mati.”
Pergi belanja pun menjadi urusan serius.
30
Ungkapan Jawa, ”orang tewas karena uang yang terlalu berat”, melukiskan
orang yang kaya sekali tetapi terlalu pelit, dan meninggal karena kekikirannya.
317
hanya dari rembulan temaram. Terdengar teriakan serak dalam
bahasa Rusia memecah kesunyian. ”Bratishka! Bratishka! Adik
kecil! Berhenti!” Malam begini, saya tidak nafsu bicara dengan
orang asing. Lagi pula, sejak kapan saya punya kakak di
Uzbekistan?
Tiba-tiba, dua pasang tangan kuat menyeret saya ke koridor
apartemen yang suram. Begitu kuatnya, saya tak kuasa berontak.
Mereka adalah dua pemuda Uzbek yang tinggi kekar.
”DI MANA KAMU TINGGAL?” terdengar teriakan sese-
orang. Dia mengenakan jaket putih dan topi musim dingin.
Saya ketakutan, tak kuasa menjawab.
om
Sekelebat tangan, dalam posisi menonjok, melayang di
t.c
udara.
po
”AAAAAAHHHH!”
gs
lo
318
”Gus, saya sudah tidak tahu lagi mesti marah atau kasihan
kepada kamu,” kata Rosalina melalui telepon, ”tetapi kamu itu
ya, ceroboh sekali. Kita sudah berulang kali dapat peringatan
dari polisi Uzbek, jangan sekali-sekali menelepon di jalan! Ini
Uzbekistan, Gus, bukan Indonesia....”
Ekonomi tidak keruan, angka pengangguran terus melonjak,
jurang sosial melebar, hidup semakin susah. Semua gambar mu-
ram ada di sini, menjadikan kota yang tampak ceria dan ber-
sahabat di siang hari menjadi kota hantu di waktu malam. Se-
orang kawan Prancis pernah kerampokan di apartemen. Laptop,
TV, uang, semua benda berharga ludes disikat. Pelakunya bawa
om
senjata api dan korbannya sampai disekap. Kalau mengalami
t.c
kejadian seperti itu, saya mungkin bisa trauma sepanjang hayat.
po
319
mengumpatkan kata-kata jorok. Otak lelaki mabuk itu tak ter-
kontrol. Ia kembali masuk kios. Terjadi pertempuran dahsyat.
Adu jotos, kaca pecah, umpatan najis memekakkan telinga. Ia
keluar sambil memegang pecahan botol kaca yang kalau disayat-
kan ke wajah bisa meninggalkan bekas luka seumur hidup.
Saya tercekat. Temur pun terkejut, tak pernah ia menyaksikan
kejadian seperti ini. Orang-orang lewat seakan tak peduli.
Tiba-tiba muncul seorang jagoan, pria kekar yang berani me-
lerai, menyergap si pemabuk dari belakang dan menyeretnya
pergi. Beberapa orang lain memanggil polisi. Pria mabuk itu
semakin menjadi-jadi kemarahannya. Suaranya mengambang,
diombang-ambing alkohol. om
t.c
Dua polisi Uzbek harus bersusah payah meringkus pemabuk
po
320
mengajar, sering mengeluhkan betapa malasnya siswa di sini.
Kalimat andalannya untuk memotivasi para mahasiswa, ”Jangan
malas-malas kalau kamu tidak ingin seperti Indonesia!” Tapi
tampaknya tidak berhasil. Bahkan ada mahasiswa yang sudah
belajar bahasa Indonesia empat tahun tapi masih berhitung dari
”satu” sampai ”sepuluh” dengan bantuan jari.
”Sebagian mahasiswa ini belajar karena terpaksa. Ada yang
sama sekali tidak tertarik, tetapi tak punya pilihan. Ada yang
hanya mengejar gelar saja. Bahasa Indonesia tidak bisa dipakai
di Uzbekistan,” Temur beralasan.
Sedangkan Temur belajar bahasa Indonesia karena benar-
om
benar tertarik pada budaya Indonesia. Karena prestasinya, ta-
t.c
hun lalu ia mendapat beasiswa Dharmasiswa, belajar di Surabaya
po
321
laman saya di negeri ini. Bagi saya, Uzbekistan mungkin adalah
tempat terjauh dan terpencil dari sudut pandang orang Indo-
nesia. Sementara Temur juga terpesona oleh eksotisme Indonesia
yang begitu jauh dan terpencil dari kacamata Asia Tengah. Na-
mun di setiap tempat ”jauh” dan ”terpencil” pastilah hidup
bangsa-bangsa dengan kultur mereka, masa lalu, bahasa, tarian,
kebanggaan mereka. Setiap sudut di atas peta bumi sebenarnya
menyimpan kisah-kisah indah. Tentang manusia. Tentang per-
juangan. Tentang peradaban dan kebudayaan. Nilai dan norma,
walaupun mungkin bernama sama, tetapi definisinya bisa ber-
beda pada setiap wilayah yang dikelilingi garis batas.
om
Di Indonesia, selain sempat belajar bahasa Arab, Temur juga
t.c
belajar melihat Islam dari sisi lain. Seperti umumnya Muslim
po
yang Muslim kalah dengan orang Jepang itu? Apa artinya men-
st
pu
jadi Muslim?”
Belajar bahasa itu bukan cuma belajar berkomunikasi. Ke-
sempatan belajar bahasa di Surabaya memberikan sudut pan-
dang baru bagi Temur. Orang bilang, belajar satu bahasa asing,
maka kita akan mendapat satu kepribadian baru. Bahasa punya
daya magis untuk memengaruhi pola pikir seseorang, wataknya,
budayanya. Bahasa juga bisa menyebar melintasi batas-batas
fisik antarnegeri, mengarungi dimensi waktu, melebarkan hege-
moni. Bahasa Inggris, disebarkan ke seluruh penjuru bumi oleh
sejarah kolonial, lalu dimantapkan dengan kemajuan teknologi.
Generasi muda di pedalaman Indonesia pun kini piawai me-
322
nyanyikan lagu-lagu pop Amerika, dan setiap kali kita menelusuri
laman internet, kita tak pernah lepas dari bahasa ini—mulai dari
sistem operasi, browser, mesin pencari, layanan e-mail, berita ter-
baru, hingga jaringan pertemanan. Masa sekarang, bisakah kita
melewatkan satu hari tanpa melihat satu kata pun dari bahasa
Inggris?
Bahasa Rusia, mengarungi ribuan kilometer padang rumput
dan gurun, kini menjadi bahasa pemersatu bagi orang Uzbek,
Kirgiz, Tajik, Kazakh, di pedalaman Asia Tengah. Bahasa ini
mempersatukan bangsa gembala nomad Muslim dengan para
kamerad Slavik di Moskow sana. Bahasa ini pula yang memisah-
om
kan mereka dari masa lalu: Arab, Persia, Turki, dan Islam. Pada
t.c
zaman keemasannya, bahasa Persia pernah menjadi lingua franca
po
323
sar juga adalah bangsa yang selalu belajar, termasuk belajar ba-
hasa asing. Kalau Uzbekistan yang kecil dan terpencil saja punya
jurusan bahasa Indonesia, adakah tempat kita di Indonesia un-
tuk belajar bahasa Uzbek dan Tagalog?
Bangsa yang tak menguasai bahasa asing akan terkurung da-
lam dunianya sendiri, terjebak dalam sekat yang diciptakannya
sendiri. Bangsa ini tak banyak tahu tentang dunia luar, hanya
jadi penonton di panggung diplomasi dunia. Sementara bangsa
besar yang mau belajar bahasa asing punya jaringan informan
dan intelijen yang kuat (jangan kaget kalau ada mata-mata Israel
di Indonesia), menguasai saluran informasi (banyak kantor be-
om
rita, radio, dan televisi asing di Indonesia), dan semakin men-
t.c
dominasi karena berhasil menembus berbagai garis batas.
po
gs
lo
.b
do
in
a-
324
Namanya Ozoda Kosimova, 31 tahun, berdarah campuran
Uzbek dan Tajik. Bahasa Indonesia-nya begitu fasih, padahal dia
cuma belajar sendiri dari buku. ”Senang sekali Anda datang ke
sini,” sambutnya, sambil sibuk mendandani murid-muridnya
dengan pakaian tradisional Indonesia. Kecintaan Ozoda pada
budaya Indonesia bermula dari teman sekamarnya yang kuliah
bahasa Indonesia. ”Bahasa itu terdengar halus, lembut, merdu
sekali,” katanya, ”jadi saya belajar. Tidak ada guru, jadi saya
cuma belajar dengan menghafal kamus. Lalu KBRI membantu
dengan memberi buku dan bimbingan lewat e-mail.”
Ozoda pun jadi sering berkunjung ke KBRI. Murtie Djuffan,
om
staf KBRI lulusan Institut Seni Indonesia dan diundang sebagai
t.c
guru tari dan duta seni budaya, mengajak Ozoda menonton
po
325
berpadu dengan dengan petikan rebab yang mengharmonisasikan
denting melodi Timur Tengah dengan mendayunya musik
rayuan pulau kelapa. Dalam konser terakhir, murid-murid Utkir
juga mahir menyanyikan lagu-lagu ini, sampai penonton seperti
terhipnotis, ikut berdiri, dan mengayun badan mengikuti irama.
Penonton pun tak kalah sibuknya dengan para penari dan pe-
nyanyi di panggung.
”Sekarang orang Uzbek hanya tahu tentang India, musik
dan tariannya. Masih belum banyak yang tahu Indonesia, saya
hanya ingin suatu hari semua orang di Samarkand, juga di selu-
ruh Uzbekistan, bisa menari dan menyanyi tarian dan lagu
Indonesia.” om
t.c
Inilah kebanggaan kita. Inilah tari-tarian kita. Saya teringat
po
tarian dan lagu-lagu ini, tetapi ada rasa bangga ketika menyaksi-
in
a-
326
lancarkan demonstrasi, sampai menyerukan perang. Ada rasa
terjajah, rasa tersaingi. Kebudayaan kita tercuri, oh, tari-tarian,
lagu-lagu, pakaian, sampai makanan tradisional kita telah me-
lintas batas hingga ke negeri jiran.
Kebanggaan itu membuat kita sudah tak peduli lagi pada
kenyataan bahwa batas-batas negeri kita itu sama artifisialnya,
bikinan dari bangsa-bangsa nun jauh di Eropa sana. Kebanggaan
itu sudah membuat kita tak lagi peduli, Malaysia hari ini adalah
bagian dari Nusantara di masa lalu, tarian dan lagu-lagu bebas
melintas ke seluruh penjuru Nusantara, menjadi khazanah per-
adaban bangsa yang besar. Tetapi kini, nasionalisme terus di-
om
gaungkan, mengukuhkan garis-garis batas pemecah belah ben-
t.c
tukan bangsa kolonial. Bangsa besar itu kini digantikan oleh
po
327
kelemahlembutan. Gamelan terus mengalun di gedung kesenian
Samarkand, tak jauh dari gedung-gedung raksasa yang berdiri
megah sejak zaman Jalur Sutra.
328
ngin. Mulut menganga tanpa sadar. Kenikmatan tidur di bus
malam membuat air liur tak berhenti menetes.
Gelap gulita. Hanya suara deru mesin kendaraan kuno ini
yang terdengar mengisi malam. Perjalanan panjang sepuluh jam
tak akan terasa kalau dilewatkan hanya dengan tidur.
Tiba-tiba, tidur lelap saya terganggu. Ada orang yang mencoba
membuka tas kamera di pelukan. Siapa penumpang kurang ajar
ini? Saya memicingkan mata, menatap lelaki gendut di sebelah,
lalu mendengus kesal. Kantuk memaksa saya melanjutkan kem-
bali mimpi indah.
Orang normal butuh suasana tenang untuk tidur, sementara
om
dalam bus yang berguncang justru ketenangan mendadak yang
t.c
membuat saya terbangun. Mesin bus berhenti. Terdengar te-
po
yang lembap. Ah, tidak pernah rasanya tidur sesedap ini. Saya
in
a-
329
ketinggalan zaman, tetapi banyak nomor penting di dalamnya.
Saya langsung mengangguk setuju. Sopir temannya yang duduk
di jok belakang langsung menyanggah, ”Nyet. Lima puluh dolar
tak cukup. Seratus dolar baru bisa.”
Bodohnya saya, kenapa tadi tidak menawar dulu. Saya se-
benarnya tak punya uang sebanyak itu, tetapi masih saja rasa
penasaran menghantui.
Bagaimana mereka bisa menemukan telepon yang dicuri?
Keduanya kebetulan kenal dengan pentolan mafia terbesar di
kota ini. Bukan sembarang kenalan, beliau adalah bos semua
maling di Navoi. Satu sopir akan meluncur ke rumah bos untuk
om
merayunya mengembalikan telepon saya, sementara sopir satu-
t.c
nya menunggu dalam taksi bersama saya.
po
ya, kami bukan pencuri, bukan pula teman mereka. Kami cuma
st
pu
330
tetapi kebetulan bus menuju Bukhara datang. Saya langsung
menyambar tas, bak kesetanan, melompat ke arah bus yang ha-
nya berhenti kurang dari semenit itu.
Seperti kata pepatah, memikirkan kesialan akan mendatang-
kan kesialan lain. Kamera saya terloncat dari dalam tas, dan
lintasannya membentuk kurva hiperbola sebelum membentur
lantai bus yang sudah karatan. Lensa kamera saya sekarang
menghasilkan gambar-gambar kabur.
Sekabur itulah pandangan saya sekarang tentang hari-hari
berikutnya yang akan saya lewati di negeri ini.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
331
JALAN EMAS
332
bagi saya untuk masuk ke dunia sang tokoh utama, si gembala
Spanyol yang bercita-cita mencapai Piramida Mesir. Petualangan-
nya panjang, jalannya berliku. Ia menjalani takdirnya, melepas-
kan keterikatan dari benda-benda, dan mendengar bahasa alam
untuk menggapai mimpi.
Saya tersadar, bukankah memang seperti itu arti perjalanan
hidup? Bukankah tidur menggelandang di stasiun Kazakhstan
sudah mengajarkan betapa nisbinya arti identitas duniawi? Saya
sungguh tak malang. Keberuntungan tidak meninggalkan saya,
justru takdir sedang menuntun saya—petualang kecil yang ingin
menggapai cita-citanya.
om
Di Bukhara saya terjaga. Mungkin inilah ”piramida Mesir”
t.c
dalam perjalanan spiritual saya.
po
gs
lo
.b
do
in
a-
333
Musim dingin adalah musim sepi bagi Bukhara yang meng-
andalkan pariwisata kota kuno. Toko-toko tutup sepanjang mu-
sim. Shokir menghabiskan waktu di rumah, mengecat dinding
kamar. Shokir berhati-hati menyapukan kuas kecil, seperti anak
sekolah melukis dengan cat air di buku gambar. Tetapi buku
gambar Shokir seluas tembok, di keempat sisi kamar. Diameter
kuasnya seukuran batang lidi, ujungnya nyaris lancip sempurna.
Kebudayaan Persia berkutat pada detail. Kuasnya tidak per-
nah besar, setitik demi setitik dioleskan penuh perasaan. Bunga,
bintang, bulan, sulur-suluran, dedaunan, mozaik, semuanya ter-
bentuk dari olesan kuas mungil. Warna-warni berharmoni
om
indah, berimprovisasi, menari-nari. Biru langit bersilang dengan
t.c
bintang merah muda dan hijau, bertabur di kelamnya langit.
po
sulur hijau tua. Setiap coretan adalah ibadah dan doa tulus se-
.b
do
334
yang tertampil itu diimani sebagai jawaban dari sang pujangga.
Setiap puisi Hafez penuh makna yang berangkap-rangkap, dan
di sanalah letak misteri keindahannya. Bahkan, begitu hebatnya
pujangga ini, hingga sang Amir Timur, raja kejam dari Samar-
kand dan penguasa Bukhara, juga menyayangi dan mengagumi-
nya.
Puisi adalah bagian penting budaya Persia. Ungkapan pe-
rasaan melantun melalui cantiknya kata-kata dan untaian sajak.
Daya sihirnya luar biasa, membius nurani. Bahasa Persia me-
mang indah. Bahasa ini pernah jadi simbol peradaban Asia Te-
ngah, dari Istanbul, Esfahan, Shiraz, Bukhara, Kabul, bahkan
om
sampai ke Lahore dan Delhi. Kesusastraan Persia berkembang
t.c
sampai puncaknya. Omar Khayam dengan rubayyat-nya, Amir
po
335
tuk menyelesaikan mahakaryanya ini. Mengiringi tiap guratan,
Shokir menyalakan kaset yang terus melantunkan doa-doa.
336
gi, berhadapan dengan madrasah kuno, seperti jiplakan cermin
tembus pandang. Gerbang utama berbentuk kotak, bertabur
mozaik dekorasi yang dibuat dengan ketelitian tinggi, bertakhta-
kan huruf-huruf Arab, dan asma Allah dan Muhammad yang
disamarkan dalam ornamen. Dinding cokelatnya menyiratkan
kejayaan masa lalu, berkilau diterpa mentari senja. Pekarangan
masjid berbentuk persegi. Di tengah halaman sebatang pohon
besar meneduhkan, tumbuh dalam kesunyian.
Sunyi tentunya adalah kata yang tak terbayangkan kala
Bukhara menjadi kota paling modern di tengah padang
Turkestan. Ribuan pria berserban dan berjubah dari seluruh
om
penjuru padang datang menimba ilmu fikih dan sains. Imam
t.c
Bukhari, putra Bukhara dari abad ke-9, mengembara ke negeri-
po
337
beroperasi kembali sebagai masjid yang sebenar-benarnya, tetapi
sukar untuk kembali lagi ke masa berabad silam. Masa kejayaan
itu sudah berlalu. Saya hanya mengelus dada ketika menyaksikan
bagaimana seorang backpacker Eropa melangkah mengendap-
endap demi menghindari tiket masuk yang seharga tiga dolar,
lalu dihardik keras oleh penjaga masjid, ”Kalau tidak mau bayar,
pergi!!!”
Islam menjadi masa lalu yang misterius. Ada kebanggaan di
sana, tetapi terbungkus ketidaktahuan. Tradisi Islam terputus
oleh puluhan tahun pemerintah komunis. Salat, puasa, huruf-
huruf Arab, azan, begitu jauh dari kehidupan banyak penduduk
om
yang mengaku Muslim di sini. Di Tashkent, sering kali setelah
t.c
po
338
menal. ”Di rumah ada foto-foto Indonesia,” Muhammad melan-
jutkan, ”negara kamu benar-benar indah.”
Tetapi baginya tak ada tempat yang bisa mengalahkan
Bukhara. Inilah tempat ia menghabiskan seumur hidupnya.
Dulu, akunya, ia adalah anak nakal, suka bermain perempuan
dan berhura-hura. Tetapi kini, di halaman masjid, ia bercerita
betapa hidupnya berbalik ke kedamaian. ”Entah mengapa,
justru panggilan untuk kembali menjalani hidup yang diridhoi
Tuhan itu muncul setelah menikah. Aku merasa kebesaran
Tuhan tiada tara, ketika lantunan doa menggema dari rongga
masjid. Panggilan hati, sering kali datang di saat yang tak ter-
duga.” om
t.c
po
”Dan, aku juga akan selalu berdoa, suatu hari nanti Allah
gs
lim!”
a-
ak
339
Muhammad. Astaghfirullah.... Ia menghinakan umat Muslim.
Ia adalah rabi Yahudi, mata-mata yang mau mengajarkan ke-
sesatan kepada Muslim!”
Cerita-cerita ”alkisah”, ”konon”, ”legenda” ini sukar sekali
dibuktikan kebenarannya. Seorang guru Yahudi, seorang Sufi, se-
orang kawan, kawannya kawannya kawan, semua tokohnya tak ter-
definisikan. Kapan? Di mana? Mengapa? Tak tahu, cerita seperti
ini hanya untuk ditelan begitu saja, tanpa dipertanyakan kem-
bali. Kisah-kisah yang diwariskan turun-temurun ini, dari mulut
ke mulut, ditambah dan dikurang, dibumbu-bumbui, makin
lama makin mencuatkan garis batas dan pengotak-ngotakkan.
om
Yahudi Bukhara sudah termasyhur sebagai kalangan saudagar
t.c
po
340
tab suci di sinagoga pun, huruf-huruf Ibrani sudah ditransliterasi-
kan dalam huruf Rusia, seperti halnya Muslim Asia Tengah
yang membaca doa-doa bahasa Arab dalam huruf Sirilik.
”...Karena itulah, jangan percaya Yahudi. Hitler adalah pah-
lawan umat Muslim! Hanya dia yang berani membantai Yahudi.
Yahudi memang harus dimusnahkan dari muka bumi...” Suhrat
terus berceloteh. Konspirasi Yahudi. Lagi-lagi teori konspirasi
Yahudi. Kemelaratan, keterbelakangan, perang, penderitaan, te-
rorisme, semua ada kambing hitamnya: Yahudi.
”Bukhara adalah Bukhara, Bukhara kami yang megah,” Mu-
hammad berseru, segala perasaan kebanggaannya membuncah.
om
Suhrat langsung menyambung, ”Bahkan, kamu harus tahu, ba-
t.c
po
341
Teokrasi ala Iran? Sekularisme Turki? Atau komunisme yang
sekadar berganti nama saja?
Mungkin hanya waktu yang bisa menjawab.
Adha.
in
a-
kan chapan panjang, jubah tebal tradisi orang Tajik dan Uzbek.
Kakek-kakek memakai topi hitam kecil dari karton tebal. Banyak
juga yang mengenakan topi bulu musim dingin, hangat menutup
telinga. Perempuan tak terlihat sama sekali. Koridor masjid su-
dah penuh dengan umat, kebanyakan datang dengan membawa
sajadah masing-masing. Sudah tidak ada tempat lagi selain ha-
laman masjid yang dibungkus salju. Petugas masjid mulai meng-
gelar matras tebal, bersaf-saf. Perlahan matahari mulai memancar-
kan cahaya pagi, masjid berkilau seperti emas di tengah putihnya
padang salju.
Allahuakbar... Allahuakbar....
342
Hening menyelimuti pelataran, dengan ribuan umat yang
serempak bersujud. Dingin menusuk tulang. Asma Allah di-
agungkan di salah satu tempat tersuci bagi umat Muslim dunia.
Allahuakbar... Allahuakbar....
Saya diselimuti keharuan luar biasa menyaksikan ribuan
orang takzim, serempak, berserah di hadapan Yang Kuasa.
”Eid mobarak! Bairam mobarak!” Salat Ied berakhir dengan
rangkul-rangkul penuh tawa keceriaan. Perayaan Ied sudah da-
tang. Bairam yang penuh kegembiraan akan dimulai. Ribuan
orang memenuhi pekarangan masjid, sibuk mengucapkan se-
lamat. Di Asia Tengah, perayaan Idul Kurban jauh lebih meriah
daripada Idul Fitri. om
t.c
”Avgustin Aka31, ayo ke rumahku,” kata si kecil Omid, bocah
po
31
Kakak lelaki dalam bahasa Uzbek. Orang Tajik di Bukhara banyak menggunakan
kata-kata bahasa Uzbek.
343
”Ini pohon Tahun Baru!” seru si bocah kesal. Ekspresinya
persis seperti Kolya di Almaty, Kazakhstan. Satu pelajaran pen-
ting: jangan sekali pun menyebut pohon ini sebagai pohon Na-
tal. Tetapi, di mata saya memang tak ada bedanya, pohon ce-
mara kecil plastik di sudut ruang tamu, dengan lampu
berkelap-kelip disertai pernak-pernik Sinterklas dan bintang
Majus. Si bocah berlarian sambil membawa tongkat Sinterklas,
mirip penyihir cilik yang sedang girang tiada kepalang.
Orang Rusia membawa adat perayaan Tahun Baru ke negeri-
negeri Stan sehingga pergantian tahun Masehi menjadi peri-
ngatan penting. Kota kuno Bukhara juga dihiasi spanduk ber-
om
bahasa Rusia, ”Selamat Tahun Baru 2007”. Sinterklas tak
t.c
pernah absen, di sini disebut sebagai ”Kakek Tahun Baru” atau
po
”Kakek Salju”. Menu wajib perayaan adalah kue tart dan vodka.
gs
lo
344
(alkohol).32” Sekarang, justru sukar sekali membayangkan Uz-
bekistan yang Muslim ini hidup tanpa vodka. Minuman keras
itu sudah ikut mengalir bersama darah orang Uzbek, seperti
halnya teh yang dibawa orang Cina ribuan tahun lalu pada
masa Jalur Sutra.
Santapan bairam terhidang. Kambing-kambing malang yang
tadi mengembik penuh iba kini sudah disulap jadi sepiring be-
sar daging kebab lezat bersiram bumbu berwarna hitam. Keluarga
besar Omid duduk mengitari meja makan. Ayah membagikan
irisan roti, ibu-ibu menyiapkan mangkuk dan gelas, kami meng-
awali bersantap dengan bismillah.
om
Tiba-tiba, televisi menyampaikan kejutan. Saddam Hussein,
t.c
mantan presiden Irak, dieksekusi tepat ketika umat Muslim du-
po
32
Geoffrey Hosking. Russia and the Russians—From Earliest Times to 2001.
Penguin History (2001)
345
menjadi hal yang sangat sensitif. Pada zaman Uni Soviet, Islam
dianggap sebagai ancaman. Setelah Uzbekistan merdeka, se-
benarnya keadaan tidak terlalu jauh berbeda. Masjid terus di-
kontrol pemerintah, azan tidak boleh dikumandangkan, isi
kotbah harus sejalan dengan kebijakan pusat, dan orang-orang
yang dicurigai ditangkapi. Dalam bus Bukhara, saya duduk di
samping polisi. Ia penasaran melihat buku yang saya baca. Saya
tunjukkan judulnya: Militan Islam di Asia Tengah, tulisan jurnalis
kenamaan Pakistan Ahmed Rashid. Polisi itu terloncat kaget,
melihat nama-nama ”musuh negaranya” tercantum dalam buku
itu, seperti Gerakan Islam Uzbekistan, Hizbut Tahir, dan Juma
om
Namangani—buronan teroris nomor satu. Dalam sekejap, polisi
t.c
yang semula akrab itu berubah sikap, diam seribu bahasa.
po
caman nasional
.b
do
346
Tetapi bagaimana mungkin menyangkal Islam dari umat
Muslim? Pemerintah pun tetap perlu figur Islam yang ditampil-
kan. Wajah Islam yang moderat dan toleran, Islam yang meng-
utamakan kesejukan dan kedamaian, Islam yang jadi pilar
utama. Bahauddin Naqshabandi diangkat sebagai pahlawan na-
sional. Ia adalah pendiri aliran Sufi Naqshabandi, yang dari
Bukhara menyebar hingga ke Afghanistan dan India.
Tak jauh dari Bukhara, desa Kasri Orifon kini menjadi
ziarah penting. Bangunan megah dengan arsitektur Persia, ger-
bang diwan berbentuk persegi bersambung dengan tembok pan-
jang mengelilingi bangunan utama. Di pintu masuk, terdapat
om
prasasti dengan tulisan dalam bahasa Inggris: ”Kompleks Arsi-
t.c
tektur Bohauddin Nakshband direstorasi atas inisiatif Presiden
po
347
yang telah terputus begitu lama. Kebebasan telah datang, tetapi
pencarian bukanlah sebuah jalan lurus. Ada bermacam-macam
negara Islam, sistem kemasyarakatan yang berlainan, kepercayaan
dan tradisi yang tumpang-tindih. Iran, Turki, Saudi Arabia,
Pakistan, Afghanistan, negeri-negeri Muslim melangkah ke arah
yang berbeda-beda. Hendak ke mana Asia Tengah sekarang?
Tajikistan langsung ambruk diamuk perang dalam perjalanan
pencarian jati dirinya. Negeri-negeri ini seperti orang buta yang
seketika dibukakan matanya, bersorak girang karena bebas dari
kegelapan, tetapi langsung pingsan karena kebingungan melihat
keruwetan dunia yang bukan sesimpel hitam pekat yang selama
ini ia kenal. om
t.c
”Orang Islam sekarang sudah bebas,” saya teringat kata
po
dah tidak penting lagi siapa Tajik, siapa Uzbek, mana Kirghiz
.b
do
dan mana Tatar. Kami semua adalah Muslim! Itu yang ter-
in
a-
penting!”
ak
348
dengan budaya dan tradisi. Tak jarang orang merancukan mana
yang Islam, mana yang budaya. Shokir si tukang sepatu, misal-
nya, pernah mengingatkan saya, ”Agama kami bilang, kalau ti-
dur harus memakai celana panjang. Kalau pakai celana pendek,
haram hukumnya.”
Islam menjadi identitas yang meruntuhkan tembok-tembok
nasionalisme, sekat-sekat pemecahbelahan yang dibikin Uni
Soviet. Islam menjadi simbol perlawanan terhadap represi.
Islam ditemukan kembali. Islam menjadi kebanggaan yang di-
gali dari tradisi masa lalu yang sempat terputus. Semangat yang
dibungkam ini langsung membeludak, menggebu-gebu, mener-
om
jang seperti air bah dari bendungan bobol. Tetapi seberapa
t.c
kuat? Suhrat si pedagang karpet meyakini, masa keemasan Islam
po
349
Tampaknya tak ada yang istimewa. Sampai si ibu Tajik ini
mengarahkan senternya ke sudut. Ajaib, dalam kegelapan yang
disinari pancaran senter, lekuk-lekuk itu berubah wujud. Sebuah
wajah seram tergambar di sudut tembok: pria berjenggot lebat
dan beserban, seakan terkekeh melihat saya.
”Abdul Aziz Khan, pendiri madrasah ini,” kata perempuan
Tajik itu.
Islam melarang penggambaran wujud hewan dan manusia,
tapi sang guru ingin dirinya tetap dikenang. Ia menyembunyikan
potretnya dalam lekuk-lekuk sudut tembok, sebuah teknik khu-
sus yang hanya bisa dilihat dengan cara yang khusus pula. Kita
om
mungkin terpukau oleh keindahan gedung kuno Bukhara, ter-
t.c
po
reka. Foto-foto dan lukisan dari Khan Bukhara bak mesin waktu
do
in
350
ruddin, ”karena di malam hari kita lebih butuh cahaya daripada
waktu siang.”
Sinar rembulan terpantul di atas riak-riak air kolam Lyabi-
Hauz, di tengah kota tua Bukhara. Air kolam tak banyak. Angsa
berenang melintasi pantulan purnama. Sinarnya membilas pa-
tung perunggu di pinggir kolam—patung seorang kakek tua ter-
senyum manis, dengan tangan kanan tertangkup di dada dan
tangan kiri melambai, duduk gembira di atas keledai.
Inilah Hoja Nasruddin, sang mullah cerdik dalam legenda
hikayat Islami. Patung keledai ini mengingatkan pada cerita
Nasruddin yang paling tersohor. ”Wahai, Nasruddin, mengapa
om
engkau menunggangi keledaimu terbalik?” kata seorang lelaki
t.c
yang heran melihat Nasruddin mengendarai keledai dengan
po
351
tahu pasti. Setidaknya lusinan negara mengaku sebagai tanah
air sang mullah. Di Turki, ada kuburan Nasrettin Hoca dan se-
tiap tahun digelar festival internasional memperingatinya.
Orang Iran dan Afghanistan yakin bahwa Molla Nasruddin
berasal dari Khorasan. Uzbekistan punya patungnya di Bukhara.
Uyghur dan Cina menyebutnya Afandi. Di Arab ia dikenal se-
bagai Juha, dan di Armenia sebagai Pulu Pugi. Hoja juga hidup
dalam hikayat Yunani, Bulgaria, Serbia, sampai India. Hoja
Nasruddin menemani perjalanan hidup manusia, menjadi be-
nang merah yang mempersatukan beragam bangsa yang terpisah-
kan oleh garis-garis batas.
om
Saya duduk di atas dipan, di depan patung Nasruddin dan
t.c
keledainya, menyeruput teh hijau hangat menemani daging ke-
po
352
keluguan Nasruddin, apakah kita juga sama tergelaknya mener-
tawakan dunia sekitar kita, di mana baju dan perhiasan mem-
bungkus dan mengaburkan hakikat diri yang sebenarnya? ”Baju”
bisa pula berwujud segala identitas, konsep, status, ideologi, na-
sionalisme, kepercayaan yang kita kenakan. Itulah jubah kebang-
gaan kita, yang menutup dan membalut diri kita yang sebenarnya.
Di Bukhara, legenda tetap hidup bersama gedung-gedung
kuno yang bertahan melintasi derasnya aliran waktu. Bukhara
bak pintu zaman yang membawa angan saya ke dongeng Nas-
ruddin, Aladdin, Ali Baba. Globalisasi telah menjadi kata kunci
dewasa ini, tetapi Bukhara tetap hidup dalam dunia yang khas.
om
Klak, klik, klak, klik, kakek-kakek tua berjubah duduk di
t.c
pinggir jalan, berkonsentrasi penuh pada sebuah papan, dengan
po
353
Jalan emas menuju Samarkand. Nama itu begitu besar, begitu
membahana. Mendengar Samarkand, langsung terbayang ke-
megahan Jalur Sutra: barisan unta di gurun berjalan lambat
menggapai oase, lalu tertambat di kota padang pasir yang mak-
mur, di mana ribuan saudagar dari penjuru dunia berkumpul.
Bagi saya, jalan menuju Samarkand sungguh berliku, setelah
menembus berbagai gedung kedutaan dan garis batas negara,
naik-turun gunung hingga berjumpa segala macam penjahat dan
mafia, akhirnya sampai juga saya di hadapan kemegahan yang
tak berbanding. Samarkand!
Kota kuno ini bukanlah seperti Bukhara yang terisolasi da-
om
lam pintu zaman. Bukan kemonotonan, jalan-jalan batu, rumah-
t.c
rumah kelabu, keagungan sejarah, fantasi masa lalu, bebas dari
po
tepat di sebelah jalan raya dengan mobil lalu lalang dan ba-
ak
354
nyak bangunan megah. Sang raja adalah tokoh kontroversial. Di
Asia Tengah, ia membangun kota-kota mewah dengan cita rasa
seni tinggi. Para pematung, pengrajin batu dan pualam didatang-
kan dari negeri-negeri taklukan seperti Azerbaijan, Esfahan,
Delhi, Shiraz, dan Damaskus. Samarkand sampai penuh sesak
oleh seniman. Sang Amir membangun kota megah bertabur ba-
ngunan-bangunan kelas dunia. Ia menjadikan Samarkand se-
bagai metropolis pada zamannya, sebuah pusat dunia, sebuah
kosmopolitan, sebuah pameran akan kekuasaan dan tiraninya.
Namun di daerah jajahan, ia adalah penghancur yang kejam.
Kota-kota yang melawannya dihancurkan total, penduduknya
om
dibantai tanpa sisa. Peninggalan peradaban bangsa asing dirata-
t.c
kan. Kekejiannya sesuai namanya: Timur berarti besi.
po
355
dibantai, hasil peradaban yang hancur lebur, bahasa yang di-
singkirkan, kebudayaan yang diasimilasi, otak yang dicuci untuk
dipersatukan. Persatuan.... Gajah Mada tentunya tidak memper-
satukan Nusantara hanya dengan imbauan dan ajakan. Belanda
mempersatukan Hindia—cikal bakal Indonesia—dengan pertem-
puran di mana-mana. Genghis Khan mempersatukan Eurasia,
menghasilkan negeri raksasa terbesar dalam sejarah, juga dengan
pedang dan kekejian yang diratapi berbagai bangsa hingga seka-
rang.
Heroisme memang bersifat relatif. Pahlawan bagi sebagian
orang adalah teroris bagi yang lain. Pejuang kemerdekaan adalah
om
pemberontak dan separatis. Nasionalisme adalah pembang-
t.c
kangan. Di Uzbekistan, Timur dipuja sebagai pahlawan besar.
po
kejiannya tak lagi diingat. Nama jalan dan taman Amir Timur
in
a-
33
Gara-gara diserang orang Uzbek, Babur sampai melarikan diri dari Samarkand
ke Kabul, dan keturunannya mendirikan Taj Mahal di India, peninggalan di-
nasti Moghul yang paling dikenal dunia. Ironisnya, sekarang Babur pun di-
kenang sebagai pahlawan besar bangsa Uzbek.
356
Betapa subjektifnya sejarah itu! Bangsa-bangsa menulis se-
jarah dengan diri sendiri sebagai pusat dunia, pusat peradaban.
Sejarah begitu mudah dibuat, diputarbalikkan. Kebiadaban sen-
diri bisa digubah menjadi kepahlawanan. Pembantaian bisa di-
puja sebagai pembelaan tanah air. Penjajahan bisa diagungkan
sebagai pembebasan dan penyatuan. Kebodohan berganti kisah
menjadi keluhuran peradaban. Kegagalan bisa dicari kambing
hitamnya. Memori bisa dicipta atau dihapus, kata-kata tinggal
ditorehkan. Siapa kawan, siapa lawan, begitu jelas. Sesimpel
hitam-putih dan benar-salah.
Sejarah adalah ikon kebanggaan bangsa. Negara-negara
om
bikinan Uni Soviet mendapat kado dari Moskow berupa sejarah
t.c
masing-masing. Tetapi, ”nasionalisme” adalah kata tabu. Siapa
po
357
Uzbek-an dibangun, dan mereka berpaling pada pahlawan
agung masa lalu. Timur dipatenkan Uzbekistan. Apa pun cerita-
nya, ia adalah kebanggaan Uzbek, Uzbek, dan tetap Uzbek, se-
lama-lamanya.
Ada kisah menarik tentang Timur. Pada tahun 1941, para
arkeolog Rusia bersuka cita menemukan kuburan Timur—ba-
ngunan megah berkubah oval yang tak jauh dari Registan di
Samarkand. Tangan-tangan mereka sudah tak sabar membuka
peti mati dari sang raja penakluk yang ditakuti itu. Menurut
hikayat—entah benar tidaknya—di atas peti tertulis, barangsiapa
berani mengganggu jenazah sang Amir Timur, akan ”dihancur-
om
kan oleh musuh yang lebih beringas daripadanya.” Hanya be-
t.c
po
kaki kanan yang pincang serta secabik otot dan jenggot masih
st
358
kan Samarkand kepada Tajikistan, sekalipun di sini hidup
orang-orang berbahasa Tajik.
Bangsa Tajik dan Uzbek sudah sejak dulu berinteraksi dan ber-
asimilasi. Perkawinan campuran sangat lazim. Kalau bapaknya
Uzbek, ibunya Tajik, anaknya bingung ikut siapa. Tak jarang
saya menjumpai kakaknya mengaku Uzbek, adiknya mengaku
Tajik. Percampuran seperti ini berlangsung turun-temurun.
Dulu orang tidak peduli, tetapi setelah ras dibagi-bagi, garis ba-
om
tas dan ”kotak” ditentukan, manusia pun harus mengetahui
t.c
”kotak”-nya masing-masing. Jati diri pun menjadi dilema.
po
359
boneka yang digelar para pedagang. Registan kini menjadi tem-
pat uang berputar.
Nozim, seorang kawanTajik, menawarkan kerajinan yang di-
beli dari para seniman Uzbek di desa-desa sekitar. Sejak zaman
Jalur Sutra dulu, para pedagang Sogdian, bangsa Persia kuno di
Asia Tengah, sudah terkenal sebagai saudagar piawai yang mem-
bangun kota makmur Samarkand. Konon, bayi-bayi mereka su-
dah disuapi gula sejak masih orok, sehingga senantiasa bermulut
manis. Keluarga Nozim pun hidup dari perdagangan.
Musim dingin, jarang pengunjung, orang asing cuma satu-
dua, kebanyakan backpacker miskin—termasuk saya. Sesekali ter-
om
lihat turis necis dari ibu kota Tashkent yang hanya mau ber-
t.c
bahasa Rusia. Ada pula rombongan Uzbek dari desa, dengan
po
360
Tajikistan masih meratapi Samarkand yang dicaplok
Uzbekistan. Uzbekistan mengeramatkan Samarkand sebagai pu-
sat peradaban dan kebanggaan sejarah. Bagi Nozim, semua itu
nihil. Nada suaranya meninggi, ”Samarkand adalah Samarkand!
Bukan Uzbekistan! Bukan pula Tajikistan!” Di mana letak ke-
banggaan Nozim? Apakah ia bangga sebagai Uzbek? Tajik? Atau
menjadi Muslim? ”Uuurgh...” Nozim butuh waktu beberapa
detik untuk berpikir, ”Samarkand! Hanya Samarkand!”
Ia ibarat seorang sufi yang berteriak lantang, ”Aku adalah
aku! Aku bukanlah warga negaramu! Aku bukanlah bangsamu!
Aku tak mau sejarahmu!” Lepas, lepaslah sang sufi dari semua
om
identitas dan pertikaian duniawi yang mengungkung manusia.
t.c
po
Tapi sayang, ini masihlah alam fana yang sama, tempat kotak-
gs
361
ngan, kamu mau laki-laki? Bisa aku carikan, ada stoknya, orang
Rusia. Tapi, iiiih, menjijikkan sekali....”
Kubah-kubah Registan berkilau keemasan dibilas mentari
senja. Meredup, lalu gelap dan hening. Pusat dunia itu kini se-
nyap.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
362
AIR MATA PENGANTIN
daya.
lo
.b
363
Ini adalah tempat yang begitu asing. Temaram senja menga-
burkan pandangan. Saya hanya mengikuti Halim seperti anak
kecil mengikuti bapaknya. Gelap, memusingkan. Gang berbelok-
belok seperti benang kusut.
Halim membawa saya ke rumahnya yang besar, dengan
kebun kecil di pekarangan yang dikelilingi tembok tebal. Ba-
ngunan tampak sederhana, dinding mengelupas di sana-sini.
Beberapa bocah kecil berlarian. Di mobil tadi Halim bercerita
istrinya sedang hamil. Tetapi wanita yang sekarang di hadapan
saya ini kurus kering. Mungkin yang hamil itu istri yang lain
lagi? Entahlah. Saya tak terlalu bisa berkomunikasi dengan
om
Halim karena ia tak bisa bahasa Rusia, sedangkan bahasa Uzbek
t.c
saya terlalu minim. Percakapan kami lebih didominasi ”Ha.
po
Nyet. Da. Da. Ha. Yoq...” Campur aduk antara ”ya” dan ”tidak”
gs
lo
dalam bahasa Uzbek dan Rusia. Tak sampai dua menit, Halim
.b
do
dijanjikan mandi air panas, tidur nyenyak. Besok pagi dia akan
st
pu
364
malam ini. Saya sama sekali tak bisa menduga isi hatinya. Kalau
diibaratkan seperti buku, Halim punya sampul yang indah
menawan, namun terbungkus plastik. Apa isi di balik sampul
cantik itu, hanya penulisnya yang tahu.
”Di dalam rumah bergantunglah pada orangtua; Di luar
rumah bergantunglah pada sahabat,” demikian bunyi pepatah
Cina. Di tempat asing ini, saya hanya bisa menggantungkan na-
sib pada Halimjon. Sekarang saya hanya boleh berpikir positif:
inilah pengalaman keramahtamahan yang tak akan saya lupa-
kan.
Ferghana gelap total, tak ada lampu menerangi. Saya berjalan
om
setengah meringkuk karena dingin menyergap. Setelah berkali-
t.c
kali gonta-ganti bus dan taksi, saya hilang arah, seperti orang
po
ini?
.b
do
dari balik pintu. Wanita itu terus bicara. Saya tak mengerti apa
ak
365
yang tidak berair dan penuh hewan mungil tak lucu, saya bersila
lagi di sudut kamar.
Halim dan si perempuan hamil sibuk memasak. Aroma telur
goreng setidaknya sementara menggantikan bau apak ruangan.
Di atas tikar saya mencocol-cocolkan roti nan ke piring berisi
telur dan sosis goreng.
Siapa perempuan hamil ini? Halim bilang ini adiknya. Tetapi
bukankah tadi ia bercerita tentang istrinya yang hamil? Jangan-
jangan ini istrinya. Tetapi cara mereka bertegur sapa, berinteraksi,
tidak tampak seperti suami-istri. Justru wanita kurus kering di
Mindon tadi lebih cocok jadi istrinya. Dengan wanita hamil ini,
om
komunikasi mereka berjarak. Si perempuan dengan lembut me-
t.c
mijiti punggung Halim yang seketika tertawa senang. Meragukan.
po
masuk.
”Polisi!!!” Mereka berteriak sambil menunjukkan kartu iden-
titas. Wah, seperti di film saja. Saya masih mengucek-ngucek
mata, langsung diseret keluar. Mereka tak peduli saya berjalan
tertatih-tatih, mengerang kesakitan. Tak ada yang peduli, karena
yang ditangkap polisi itu biasanya orang-orang jahat, bukan?
Tapi apa salah saya? Halim pun ikut dibawa. Si perempuan ha-
mil diam saja, berdiri ketakutan di samping daun pintu.
Biasanya saya selalu antusias dengan berbagai macam ”penga-
laman pertama”, tapi tidak untuk merasakan sesaknya mobil
polisi Uzbekistan. Saya sudah diperlakukan seperti narapidana,
366
diapit polisi dan agen rahasia berkacamata hitam, hanya kurang
borgolnya saja.
Kantor polisi berupa ruangan kecil dengan dua meja.
”Jangan-jangan kamu ini mata-mata!” tuduh mereka. Mata-
mata? Ini bukan kali pertama saya dituduh begini. Spion—mata-
mata—kata kunci dari zaman Uni Soviet yang begitu ditakuti.
Setiap orang selalu diawasi oleh mata tak terlihat, kapan pun,
di mana pun. Spion asing yang tertangkap bakal disiksa. Orang
yang dituduh spion bisa-bisa lenyap tak berbekas, tewas misterius,
atau menghablur begitu saja ke alam raya seperti uap. Tetapi
adakah saya potongan seperti seorang mata-mata? Tas saya di-
om
geledah, yang keluar pertama-tama adalah album foto jepretan
t.c
po
ada bulir air di sudutnya. Saya tak enak, orang sebaik Halim
st
367
ngisi nasib. Saya tak berani membayangkan bagaimana jadinya
saya di rumah penuh kecoak itu kalau polisi tak datang.
Semoga ini bukan ”keramahtamahan” Ferghana yang saya
cari.
tiga iris negara di sini, tujuh provinsi, dengan luas total setara
.b
do
provinsi Bengkulu.
in
a-
368
terjangan panah. Di balik baju perang yang tebal, ternyata me-
reka mengenakan selapis kain sutra. Sutra memang lembut, tapi
seratnya kokoh, tak tertembus.
Bangsawan Yunani juga menggemari sutra. Negeri mereka
kaya, dan penduduknya makmur. Kala itu, orang Eropa masih
mengira sutra berasal dari pohon ajaib. Rahasia sutra disimpan
rapat, sehingga perdagangan Jalur Sutra mendatangkan keun-
tungan besar. Barisan kafilah melintasi gurun luas, mendaki gu-
nung berbahaya, menghadapi gerombolan bandit dan tentara
barbar, demi menjual sutra ke benua Eropa. Jalur Sutra, meng-
hubungkan Tiongkok dengan Konstantinopel, terbentang me-
lintasi Asia Tengah. om
t.c
Seperti kata pepatah, ”Banyak jalan menuju Roma”, Jalur
po
Sutra menuju negeri Romawi pun bukan cuma satu. Ada jalur
gs
lo
utama yang ramai dilewati kafilah pedagang, ada pula jalan kecil
.b
do
369
Uzbekistan dipenuhi kota berusia uzur. Dibandingkan Margilan
yang kecil ini, Jakarta masih orok.
Pabrik sutra Margilan terkenal di seantero negeri, masih
menggunakan teknik tradisional memproduksi tenunan ber-
kualitas tinggi. Nasir, seorang pegawai pabrik, mengajak saya
berkeliling.
Musim dingin, bukan musim panen kepompong ulat sutra,
pabrik pun sepi. Nasir bangga menceritakan produksi benang
sutra Uzbekistan yang sangat terkenal di dunia. Di pabrik ini,
benang dibuat dengan roda-roda tradisional dari kayu yang
terus berputar tanpa henti. Benang-benang sutra lalu diwarnai
om
dengan zat alami tradisional, misalnya kulit delima untuk me-
t.c
rah, kacang untuk menghasilkan cokelat, dan bawang untuk
po
kuning.
gs
lo
kota ini. Khan atlas, atau Sutra Raja, adalah motif sutra yang
ak
370
poster bergambar artis pop Uzbek dan aktor Bollywood—me-
nyegarkan mata para buruh di kala penat.
Sejarah ribuan tahun Margilan memang tidak bisa dipandang
enteng. Margilan dibangun dengan kesabaran, ketelitian, ke-
telatenan, dan imajinasi tinggi—serat demi serat, pintalan demi
pintalan, tenunan demi tenunan peradaban dan sejarah.
Kecantikan sutra Margilan juga seakan terlukis langsung
pada gadis-gadisnya. Mata Firuza besar dan bulat, hidungnya
mancung. Senyum selalu terkembang di bibirnya. Namanya ber-
arti batu pirus, yang biru-hijaunya menebar keanggunan dan
kemolekan kota-kota kuno Persia. Walaupun kecantikannya
om
tipikal Uzbek dan tinggal di kota kecil, Firuza bukan tipe gadis
t.c
desa. Pakaiannya modis, dengan rok sedengkul. Saya heran ba-
po
botnya tinggi, dengan hak yang tak kalah tingginya, serta jaket
.b
do
371
gala macam permen, kismis, dan manisan untuk saya. Ia terse-
nyum manis sekali, memamerkan barisan gigi emasnya. Rambut
ayah Firuza sudah memutih, walaupun sebenarnya belum terlalu
tua.
”Yakhshimisiz? Apa kabar?” sambutnya, sambil menyalami
saya dan meletakkan tangan kirinya di atas dada, bahasa tubuh
orang Uzbek melambangkan penghormatan yang terdalam.
Saya membalasnya dengan gerakan yang sama, setengah mem-
bungkuk, ”Rahmat. Terima kasih.”
Firuza masih punya seorang adik perempuan, Farangis nama-
nya. Ketika Farangis pulang, sang ayah menciuminya dengan
om
mesra. Wajah Farangis sangat mirip Firuza, bak dua permata
t.c
kembar yang tersembunyi di semrawutnya gang kuno pinggiran
po
kota. Tetapi gadis ini sangat lincah. ”Dia suka menari, nanti
gs
lo
372
warnanya dengan tebaran irisan wortel panjang, semakin sedap
rasanya dengan butir-butir kismis, semakin hangat rasanya ke-
tika dimakan bersama. Kebersamaan adalah hal utama di sini.
Mereka tidak membagi nasi plov dalam piring-piring. Ayah, Ibu,
Firuza, Farangis, dan saya makan dari piring besar yang sama,
dengan tangan kanan yang bersimbah minyak. Hening, prosesi
makan berjalan dengan khusyuk, tak ada kata-kata yang mem-
barengi suapan nasi ke dalam mulut. Sehabis makan, ibu Firuza
komat-kamit membaca doa, dan kami berlima berseru ”Amin”—
tanda syukur yang tidak boleh terlupa. Saya membantu mem-
bawa piring-piring ke dapur, sementara Firuza membungkus
sisa-sisa roti. om
t.c
Saya terbelalak. Kain pembungkus roti itu adalah kain atlas!
po
yang khas. ”Di sini semua memang dari sutra,” kata Firuza
.b
do
bangga, ”ini khas Margilan, kota sutra. Tak perlu kaget, roti pun
in
a-
373
membungkukkan badan tiga kali, mengawali hari saya yang
baru di Lembah Ferghana.
winan.
st
pu
374
Di Lembah Ferghana, tamu laki-laki dan perempuan dipisah.
Sebagai orang asing, saya sangat beruntung dengan identitas
ganda, bisa melongok bagian yang tersembunyi bagi lelaki
awam. Pekarangan rumah Uzbek lazimnya dikelilingi tembok
tinggi dan tebal, sama sekali tak terlihat dari luar. Di balik tem-
bok tebal kaum perempuan yang hampir semuanya berjilbab
menikmati kegembiraan pesta, aman dari pandangan mata le-
laki.
Kakak mempelai pria mengingatkan saya untuk kembali se-
habis Salat Jumat, karena kelin—mempelai perempuan—datang
sekitar pukul dua siang. Tuy, upacara pernikahan, dimulai se-
om
telah itu. Pengantin pria, dalam bahasa Uzbek disebut kuyov,
t.c
po
mengenakan dasi dan jas abu-abu, tak lupa topi bulunya yang
gs
375
pertunjukan ketoprak saja—acara pernikahan pun ada siaran
ulang hanya karena seorang turis datang terlambat.
Tidak ada tamu lelaki lain di sini. Menurut tradisi, lelaki
dilarang keras melihat acara ini, karena jati diri kelin dirahasiakan
dan tari-tarian kaum perempuan dalam pernikahan tabu bagi
laki-laki. Dua wanita paruh baya menabuh kendang bersahut-
sahutan, mengalunkan irama sedih. Suara melengking tinggi,
mendendangkan lagu pilu. Para wanita itu mengelilingi ling-
karan. Satu per satu mereka menari. Gerakannya sederhana,
berputar-putar dengan satu tangan di kepala dan tangan lain
terlentang. Rancaknya tarian yang berharmoni dengan kepiluan
om
musik, dengan denting khas Persia, membuat saya terhanyut.
t.c
Yig’lama qiz yig’lama, To’y saniki yor-yor.
po
34
Yor-yor berarti kekasih. Ini adalah lagu wajib dalam pernikahan Uzbek.
376
pengantin perempuan Uzbek. Bagaimana mungkin ia bisa ter-
senyum? Mulai hari ini ia akan tinggal bersama keluarga asing,
tidur di ranjang yang sama dengan lelaki tak dikenal, meninggal-
kan rumah yang selama ini menghangatkannya, meninggalkan
zona amannya. Senyum dan tawa bahagia pengantin di Indo-
nesia, lupakan itu! Setetes air mata di pipi kiri, disusul tetesan
lain di ujung mata kanan, tiada henti...
Kelin muncul diiringi sekelompok wanita tua yang semuanya
berkerudung. Wajahnya ditutup selembar kain putih transparan
yang penuh sulaman. Kedua tangannya terbuka lebar, masing-
masing memegang ujung kain yang menutupi kepalanya.
om
Kelin membungkukkan badan, perlahan. Satu kali. Ia me-
t.c
negakkan badan lagi. Begitu pelan. Tak sampai tegak sempurna,
po
377
bungkuk pun tak kuasa menahan air mata ketika menggandeng
sang menantu erat-erat.
Semua hadiah sudah dihibahkan, entah berapa ratus salom-
salom dibungkukkan, upacara diakhiri doa. Yor-yor mengalun
lagi, kelin diarak menuju pintu rumah. Untuk terakhir kali, kelin
memberikan salom-salom. Pintu ditutup. Ia resmi menjadi bagian
dari rumah ini. Tapi ingat, ini hanya versi siaran ulang, kelin
sudah menangis dan membungkuk ratusan kali tiga puluh me-
nit sebelumnya. Para tamu pun juga sudah menarikan tarian
yang sama, menumpahkan tepung yang sama, dan mencurahkan
air mata yang sama, setengah jam lalu.
om
Bagi orang Uzbek, menikahkan anak gadis bukan hanya ber-
t.c
arti memberikan putri kepada keluarga lain, tetapi juga harus
po
378
didengar tamu pria, sebelum acara nanti malam.” Senyum lebar
tersungging di bibir sang kuyov. Hari ini ia sungguh adalah le-
laki yang paling bahagia di muka bumi. Sementara di balik tem-
bok pagar tebal, di bawah kurungan cadar tipis, sang kelin me-
nangis sesenggukan mengakhiri masa gadis, perpindahan dari
sebuah zona aman ke zona lain yang begitu asing, menembus
kehidupan di balik ”kota yang terkurung tembok”.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
379
DI SINI STAN, DI SANA STAN
SAYA tak pernah melihat ruang tamu seluas ini. Dari ujung ke
ujungnya, orang harus berjalan setidaknya tiga puluh langkah
kaki. Permadani raksasa berwarna merah manyala dengan motif
sulur-suluran dan geometris yang sangat teliti menyelimuti din-
dingnya. Lampu berkedip-kedip, berjuang keras menyinari sudut
om
ruangan. Sepasang kakek dan nenek tua berwajah penuh keriput
t.c
po
tiba suram.
Listrik padam. Di musim dingin, sungai mengering dan
aliran air melambat, padamnya listrik menjadi bagian keseharian.
Tetapi masih ada sedikit cahaya kelap-kelip di ujung ruangan.
Dari tiga bohlam yang ada, satu masih bersinar temaram.
”Aduh... listrik Uzbekistan mati lagi,” kata si tuan rumah,
”tapi jangan khawatir, listrik Kirgizstan masih hidup. Di musim
dingin begini listrik Uzbekistan memang sering mati.”
Kakek Hoshimjon dan Nenek Salima Khon adalah kakek-
nenek Temur, pelajar Uzbek yang belajar bahasa Indonesia di
Tashkent. Mereka tinggal di dusun Gulshan, tepat di perbatasan
380
Uzbekistan-Kirgizstan. Temur mengundang saya ke kampungnya
ini untuk merasakan kehidupan di perbatasan. Setidaknya saya
tahu, di sini tak pernah mati lampu total, karena listriknya di-
suplai dari dua negara sekaligus.
Perbatasan. Frontier. Border post. Granitsa. Sarhad. Marz. Apa
pun namanya, kesan yang ditimbulkan biasanya sama: cemas.
Berada di limit, batas akhir sebuah spektrum kehidupan. Di
seberang garis, berlaku spektrum kehidupan yang lain. Tempat
bertemunya kedua limit itu adalah pergesekan, pertikaian,
pengamanan, birokrasi. Selama ini interaksi saya dengan garis
batas hanya sebatas pelintas. Datang dengan menggenggam
om
paspor, lalu digeledah habis-habisan oleh tentara, diwawancara,
t.c
dicap visanya, lalu, sudah, mengucap selamat tinggal pada per-
po
Tetapi, benarkah rasa cemas yang sama itu akan selalu mem-
.b
do
tenteram, kita seakan terlupa ini bukan desa biasa. Bukan hanya
st
pu
381
sini pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang identitas, loyalitas,
nasionalisme, tak banyak berarti buat Kakek dan Nenek.
Bagi mereka, menjadi orang Kirgizstan semata-mata hanya
karena rumah mereka berada di tanah Kirgizstan. Tidak lebih.
Ke-Kirgizstan-an mereka mencuat setelah negara-negara Stan ini
merdeka, garis-garis batas menjadi sekat yang nyata.
Gang kecil di depan rumah Kakek dan Nenek tak tampak
istimewa. Tanahnya berupa lempung, berdebu. Pohon besar
tumbuh di tengah jalan gang yang berkelok-kelok tak rapi. Di
sepanjang kedua sisinya, rumah penduduk bertembok padat
yang tinggi berbaris, juga tak rata mengikuti kelokan jalan gang.
om
Gang melebar dan menyempit. Paling lebarnya tak sampai lima
t.c
meter, dua mobil bisa berpapasan. Tetapi bagian yang sempit
po
382
tapi pekarangannya masuk Kirgizstan. Ada yang dapurnya di
Kirgizstan, kamar tidurnya di Uzbekistan, jadi kalau makan di
Kirgizstan, tidurnya di Uzbekistan. Hebat, kan?” Temur terkekeh.
Bagi saya, pelajaran terpenting di sini adalah, jangan sekali-se-
kali melahirkan anak di dapur atau pekarangan kalau tidak
ingin anak Anda jadi ”orang asing”.
Di sini Stan, di sana Stan, saya seakan tersesat di antara
garis-garis semu yang membelah. Sering kali saya bertanya pada
sepupu Temur, sedang berada di Kirgizstan-kah saya, atau di
Uzbekistan? Bagi saya, jalan berdebu, rumah-rumah terkurung
tembok, pepohonan rindang, padang rumput, gunung ber-
om
tudung salju, tak lebih dari sekadar jalan, rumah, pohon, rum-
t.c
put, dan gunung. Tapi bagi penduduk, jelas tergambar pem-
po
383
Seketika kota-kota Rusia berubah menjadi ”merah”, sementara
”kaum putih”—para pendukung Tsar—semakin tersudut. Penga-
ruh Bolshevik terus menyebar hingga ke padang rumput Asia
Tengah.
Pembebasan. Demikian slogan indah yang senantiasa di-
dengungkan oleh penakluk. Kaum Bolshevik pun mengumbar
janji ”pembebasan” umat Muslim Asia Tengah dari keter-
belakangan dan kungkungan imperialisme Rusia. Mayoritas
penduduk tak memercayai komunis, mereka angkat senjata dan
melawan. Lembah Ferghana menjadi ajang pertempuran.
Mereka adalah petani dan pedagang biasa di siang hari, na-
om
mun menjelma menjadi pembunuh berdarah dingin di malam
t.c
hari. Jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan
po
384
manusia yang karena kesombongannya membangun Menara
Babel dengan menciptakan aneka bahasa. Rusia menceraiberaikan
Asia Tengah dengan mendirikan republik.
Dan berhasil.
Sekarang republik-republik artifisial Stalin itu menjadi ne-
gara berdaulat penuh yang mengguratkan garis batas tegas.
Masing-masing menonjolkan perbedaan di antara mereka: iden-
titas, bahasa, etnis, sejarah. Sanak saudara terpisah dalam ku-
rungan batas-batas. Orangtua dan putra memegang paspor ber-
beda. Anak-anak belajar ideologi berbeda. Beragam mata uang
beredar, berbagai aksara menghias, slogan-slogan bertaburan.
om
Orang bilang Stalin kejam dan tak manusiawi. Tetapi, se-
t.c
benarnya, ia jenius luar biasa. Berpuluh tahun setelah kematian-
po
385
siden, ”Tiada Masa Depan Tanpa Sejarah” dan ”Allah dalam
Hati Kami, dalam Jiwa Kami”. Buku presiden, sampai 16 jilid
jumlahnya, adalah bahan ujian wajib bagi pegawai negeri, mi-
liter, agen rahasia, sampai mahasiswa pascasarjana. Di sekeliling
foto sang presiden, berjajar berbagai poster yang menggambarkan
kesuksesan pembangunan Uzbekistan.
Altar ini bernaung di bawah barisan tulisan besar, slogan
utama sang presiden yang harus dihafal semua orang: Uzbekis-
tan—Negeri Besar di Masa Depan. Janji untuk ”masa depan”
lebih mudah diucapkan, sebagai mimpi untuk mengubur derita
di masa sekarang. Tulisan ini terlihat di mana-mana di Uzbekis-
om
tan, mulai dari museum hingga pom bensin, mulai dari gerbang
t.c
masuk kota hingga spanduk pinggir jalan.
po
386
untuk Membuat Api Unggun.” Gambar pahlawan nasional mu-
lai dari zaman keemasan Bukhara sampai tokoh Uzbekistan mo-
dern berderet rapi, lengkap dengan kutipan kata mutiara ma-
sing-masing tokoh.
Memori masa lalu pendudukan Rusia berusaha dihapuskan.
Ada sejarah yang hendak dilupakan. Bahasa Rusia tidak lagi
menjadi bahasa utama. Huruf Rusia digusur oleh huruf Latin.
Pujangga Rusia Pushkin digantikan oleh Alisher Navoi35. Pah-
lawan baru diperkenalkan, ideologi baru ditanamkan, murid-
murid sibuk menghafalkan.
om
t.c
po
”otak” berbeda.
Kanak-kanak adalah masa terpenting untuk menerima
doktrin, karena apa pun yang mereka terima akan mereka
35
Sama seperti Babur dan Amir Timur, Alisher Navoi atau Alisher Herawi juga
tidak pernah mengaku sebagai orang Uzbek seumur hidupnya. Pada abad ke-15
ia terlahir di Herat, sekarang wilayah Afghanistan, belajar di Mashhad (sekarang
Iran), Herat, dan Samarkand (sekarang Uzbekistan). Ia menulis dalam bahasa
Chagatay yang diklaim sebagai cikal-bakal bahasa Uzbek modern. Ketika me-
nyebut kata ”Uzbek” dalam puisinya, ia menggunakan nada yang merendahkan.
Tetapi kini ia menjadi pahlawan Uzbek, patungnya tersebar di seluruh negeri,
dan satu kota dinamai dengan namanya. Tentu saja bukan hanya Uzbekistan
yang mengklaimnya sebagai pahlawan nasional—masih ada Iran, Afghanistan,
dan berbagai negara pengguna bahasa Turki.
387
imani, hingga mereka dewasa nanti. Di Indonesia, pendidikan
dasar menekankan perlunya moral dan agama. Saya ingat bagai-
mana dulu harus menghafal butir-butir Pancasila, UUD 1945,
program-program Repelita, nama semua menteri yang duduk di
kabinet, nama-nama agama dan kitab sucinya, sejarah penjajahan
350 tahun oleh Belanda, wawasan Nusantara dari Sabang sam-
pai Merauke, sampai jasa-jasa Presiden Suharto. Anak sekolah
di Gulshan, dicekoki slogan dan doktrin presiden. Di desa se-
berang perbatasan sana pun sama saja. Orang-orang dari kam-
pung yang sama kini hidup dalam doktrinasi berbeda.
Saidullo, sepupu Temur, menemani saya ”menyelundup” ke
om
Kirgizstan. Sebenarnya, rumah Temur memang sudah di Kir-
t.c
gizstan, tetapi kita tidak bisa ke mana-mana lagi dari sana. Un-
po
saya melintasi jalan tak beraspal dan becek. Gunung salju ber-
jajar di hadapan. ”Itu gunungnya Kirgizstan,” kata Saidullo. Wa-
laupun kelihatannya dekat, sebenarnya gunung-gunung itu sa-
ngat jauh, tak bisa dicapai dari sini. Di belakang gunung-gunung
itu adalah negara lain lagi, Tajikistan.
Kami sedang dalam misi penyelundupan. Tetapi kata
Saidullo, ini sudah biasa. ”Orang Halmiyon tidak mungkin hi-
dup tanpa Gulshan. Orang Gulshan juga tidak bisa hidup tanpa
Halmiyon. Halmiyon tak ada bedanya dengan Gulshan. Semua
orangnya sama seperti di Gulshan, orang Uzbek. Kebudayaan
mereka, rumah mereka, bahasa mereka, semua Uzbek,” katanya.
388
Bagaimana mungkin perbatasan itu memutus interaksi pen-
duduk kampung yang begitu erat terjalin? Di sini banyak sekali
keluarga campuran. Pernikahan ”internasional” itu sebenarnya
cuma perkawinan antarkampung.
Sekolah Toktogul No. 1 berdiri megah di pusat Halmiyon.
Bapak kepala sekolah, Juma Yuldeshev, menemani saya ber-
keliling. ”Di sini hampir semua muridnya orang Uzbek,” kata
bapak Juma yang satu giginya sudah berlapis emas, ”tetapi kami
sekarang giat belajar bahasa Kirgiz.” Yang dulunya bahasa asing—
bahasa suku lain—sejak lima belas tahun lalu berubah status
menjadi bahasa nasional.
om
Sekolah ini adalah sekolah bilingual. Bahasa Uzbek dan
t.c
Kirgiz diajarkan bersama-sama. Setiap kelas didesain istimewa.
po
389
tangan, sampai setrika berkarat dari zaman baheula yang alasnya
sejengkal tangan tebalnya.
Bagi saya semua ini terasa begitu asing. Tetapi bagi orang
Uzbek, barang-barang ini juga eksotik dan unik. Bangsa Uzbek
sudah lama menanggalkan kultur nomad dan membangun per-
adaban menetap. Bangsa Kirgiz, sebaliknya, masih sangat kental
budaya pengembaraannya. Saidullo hanya menggeleng-geleng
penuh kagum. Sekarang baru ia tahu, penduduk kampung te-
tangga ternyata punya ”masa lalu” yang begitu berbeda.
Di sekolah ini juga ada museum Manas, pahlawan dari hi-
kayat Kirgiz yang diturunkan secara oral dari generasi ke gene-
om
rasi. Pada perayaan seribu tahun Manas tahun 1995, Kirgizstan
t.c
tak sayang menghabiskan jutaan dolar untuk berbagai festival.
po
390
bersama, mempersatukan orang-orang yang merasa sebangsa.
Menjadi Kirgiz berarti mengimani dan mengamini Manas. Wa-
laupun nenek moyangnya berasal dari kampung sebelah, namun
karena kini orang-orang Uzbek ini tinggal di Halmiyon, memori
mereka sekarang adalah sang pahlawan nomaden Manas, bukan
lagi Amir Timur dan Samarkand-nya.
Di sekitar kita, sebenarnya banyak kisah seperti ini. Misalnya,
warga keturunan Melayu di Thailand selatan. Dulunya mereka
adalah bagian dari lingkup pengaruh Melayu, setia di bawah
kerajaan Melayu, senantiasa berbahasa Melayu, beradat dan ber-
budaya Melayu. Kemudian penjajah Inggris membuat perjanjian
om
dengan Siam, menentukan garis batas Malaya. Sejumlah kam-
t.c
pung Melayu kini menjadi bagian Thailand. Seketika, orang-
po
391
Bapak Juma bercerita, tak jauh dari sini, masih di Lembah
Ferghana, ada desa milik Tajikistan. Walaupun punya Tajikistan,
desa ini terkurung di Uzbekistan dan ditinggali orang Uzbek.
Sungguh teramat jauh jaraknya dari pengaruh Dushanbe.
Tajikistan hampir tak memedulikan wilayahnya yang terpencil
dan tak penting ini. Suatu hari, rombongan kamerad dari
Dushanbe, ibu kota Tajikistan, datang meninjau sekolah di sini.
”Anak-anak, siapa nama presiden kita?” tanya si pembesar
Tajik.
”Islam Karimov,” jawab murid-murid serempak, menyebut
presiden Uzbekistan. Jawaban ini bukan dilontarkan oleh kaum
om
separatis bermotif politik, tetapi oleh anak-anak polos yang bah-
t.c
kan tak tahu kewarganegaraan mereka sendiri. Tentu si pejabat
po
”Islam Karimov!!!”
ak
st
pu
392
nasional macam ini? Toh belanjanya juga cuma di kampung se-
belah.
”Pasar internasional” di Halmiyon sepi sekali, karena hari
ini bukan hari pasar. Kargo bekas truk disulap menjadi toko-
toko yang berbaris rapi dalam jalur dan lajur. Jangan bayangkan
ini pasar internasional yang megah. Ini cuma pasar kampung
biasa, cuma karena yang berjual-beli di sini adalah warga dua
negara berbeda, makanya disebut pasar internasional. Barang-
barang yang dijual pun kebanyakan buatan negeri Tiongkok.
Pasar internasional adalah tempat transaksi legal penduduk
dua kampung yang dipisahkan garis batas. Di sini pedagangnya
om
kebanyakan orang Uzbek, baik yang memegang paspor Uzbekis-
t.c
tan maupun Kirgizstan.
po
393
santai Uzbekistan langsung menyetop aliran gas dan rakyat
Kirgiz megap-megap. Sementara sungai terus mengalir menembus
garis batas negeri-negeri, menghidupi manusia tanpa pilih-pilih.
Kirgizstan mungil pun tentu ingin menjadikan air sebagai ko-
moditas, membuat Uzbekistan membayar untuk air yang menga-
lir dari negeri mereka. Tetapi, Uzbekistan berdalih, ”Air itu se-
perti udara, tidak ada pemiliknya.”36 Apakah nanti Kirgizstan
juga berhak menarik bayaran untuk angin dan oksigen yang
berembus dari negeri mereka melintasi garis batas ke negeri
tetangga?
Lebih memusingkan lagi, semua infrastruktur dulu dibangun
om
Uni Soviet tanpa memperhitungkan bahwa negeri-negeri ini
t.c
bakal merdeka. Jalan raya, rel kereta api, pipa gas, jaringan
po
rupsi....
ak
36
Elinor Burkett. ”So Many Enemies, So Little Time”, Perennial (2004).
37
Misalnya dari Margilan menuju Tashkent, yang sama-sama di Uzbekistan, jalur
kereta api melewati wilayah Tajikistan. Dari Tashkent menuju Samarkand,
keduanya juga di Uzbekistan, jalan raya melintasi sepotong wilayah Kazakhstan.
394
Afghan memakai burqa buatan Cina, Jawa kebanjiran batik
made in China, dan hampir tidak mungkin lagi bagi negara
mana pun di muka bumi untuk lepas dari produk buatan Cina
sama sekali.
Negeri yang insular semakin mengurung rapat-rapat pintu-
nya, melarang tariannya, sejarahnya, simbol-simbolnya menyebar
ke negeri lain, lalu berteriak menghadapi terjangan kultur asing.
Amerikanisasi, cinaisasi, arabisasi, rusianisasi.... Sementara
negeri lain kelabakan tergilas eksploitasi dan penjajahan terselu-
bung dengan dalih globalisasi—peluluhan garis batas.
Garis batas, tetaplah garis batas, yang selalu ada.
om
t.c
po
gs
lo
Setiap negara butuh jati diri untuk tetap berdiri. Setiap manusia
.b
do
395
bagi semua. Masa lalu dan kebanggaan adalah milik bersama.
Identitas, sering kali menjadi alasan utama keberpihakan, sadar
ataupun tidak. Seorang India langsung bergidik mendengar
nama Pakistan. Seseorang di pedalaman Indonesia bisa benci
setengah mati terhadap Israel, walaupun seumur hidup tak per-
nah melihat orang Yahudi ataupun Palestina. Seorang Cina
menghujat turis Jepang, terkenang pembantaian tentara Jepang
70 tahun lalu. Seorang Indonesia membakar bendera Malaysia,
seorang Malaysia keheranan mengapa Indonesia begitu beringas.
Seorang teroris meledakkan bom atas nama Irak dan Afghanistan
yang ribuan kilometer jauhnya. Seorang Kirgiz membantai se-
om
orang Uzbek yang tak dikenalnya di Osh, sementara seorang
t.c
Uzbek memandang rendah Kirgiz yang dianggap barbar. Seorang
po
396
pahlawan besar Uzbek, sedangkan sepuluh langkah saja jauhnya
dari sini, bocah-bocah dari etnis yang sama di Halmiyon
mengagungkan Manas sebagai pahlawan bangsa nomad.
Ah, betapa nisbinya nasionalisme itu.
397
dilakukan daripada penyatuan. Dulu ada Jerman Barat dan
Jerman Timur yang bersatu menjadi Jerman. Juga Vietnam,
Yaman, dan Uni Emirat Arab. Selebihnya, kita lihat sisanya ada-
lah negeri besar tercerai-berai dan negeri-negeri kecil menyorak-
kan kemerdekaan.
Sampai kapan Indonesia kita ini bertahan? Apakah Indonesia
masih sama dengan Indonesia hari ini, sepuluh tahun lagi? Dua
puluh tahun lagi? Seabad lagi? Akankah dia mengembang? Me-
ngempis? Hancur berantakan?
Tak ada yang tahu. Batas negeri-negeri senantiasa bergeser.
Peta dunia selalu diperbarui. Tetapi bolehlah kita berandai-
om
andai, mimpi buruk itu terjadi. Garis batas kita mengerut, Indo-
t.c
nesia terdisintegrasi menjadi republik-republik baru. Mari kita
po
398
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Pembelahan Asia Tengah adalah disintegrasi tingkat tinggi.
Negeri-negeri Stan memang tidak punya laut, tetapi Uni Soviet
menghadiahi mereka pulau-pulau yang bertaburan. Alih-alih
tempat berlibur, pulau-pulau di tengah gunung ini jadi sumber
masalah.
Bagi kita yang hidup di Indonesia, konsep pulau adalah da-
taran yang dikelilingi air. Di negeri-negeri Stan, pulau bukan
tercipta oleh pemisah geografis, melainkan bayangan dan imaji-
nasi mahadahsyat dari seorang diktator yang berkuasa ribuan
om
kilometer jauhnya. Ada sejumput kecil tanah Uzbekistan yang
t.c
dikelilingi oleh Kirgizstan. Ada kampung Kirgizstan yang nyasar
po
gs
400
Seperti halnya orang yang mau berpiknik ke pulau, pertama-
tama kita harus meninggalkan daratan, masuk lautan, mereng-
kuh dayung hingga kembali lagi ke daratan. Di sini, karena
lautannya berupa negara, maka kendaraannya berupa paspor
dan visa. Kebetulan paspornya saya punya, visanya tidak. Tidak
ada cara lain, saya hanya bisa menyelundup. Membayangkannya
saja sudah membuat darah berdesir deras. Selama ini, setiap
kali saya melintas perbatasan, saya selalu deg-degan. Padahal itu
dengan bersenjatakan dokumen lengkap. Apalagi ini, menye-
lundup....
”Pulau” itu bernama Shakhimardan, wilayah Uzbekistan
om
yang terkurung Kirgizstan. Untuk pergi ke sana berarti saya ha-
t.c
rus keluar Uzbekistan, masuk Kirgizstan, keluar Kirgizstan, ma-
po
nasional.
Rumah Sardor, mahasiswa sastra Arab dan Persia, terletak di
Vuadil, kota terakhir Uzbekistan sebelum menuju Shakhimardan.
Di pekarangan belakang rumahnya saja sudah terhampar
Kirgizstan. Hebat, kan? Sardor bersungguh hati menemani saya
ke Shakhimardan, menghujani saya dengan janji-janji indah tan-
pa menyadari masalah besar yang bakal dihadapinya. Kami akan
melakukan tindakan kriminal. Ia bakal menjadi human trafficker,
dan saya adalah penyelundupnya.
Namun tak satu pun sopir yang bersedia mengangkut.
Sardor angkat tangan. ”Kamu menyamar saja jadi orang Kirgiz,”
401
usulnya. Walaupun secara fisik saya bisa lolos, tetapi bahasa
Kirgiz saya hancur. Sekali buka mulut pasti ketahuan. Berpura-
pura bisu juga bukan solusi. Bagi orang Uzbekistan dan Kir-
gizstan, pergi ke Shakhimardan hanya masalah paspor. Sekarang
visa tidak lagi diperlukan, walaupun tentara perbatasan yang
korup masih sering minta sogokan. Paspor Indonesia saya ada-
lah sumber utama masalah. Saya bukan orang yang diharapkan
berkunjung ke Shakhimardan.
”Empat puluh ribu Sum saja,” kata Bakhtiyor, sopir taksi
tetangga Sardor. Kami sudah berputar-putar di pasar dan ter-
minal sampai dua jam lebih, hanya Bakhtiyor yang menawarkan
om
diri. Jarak Shakhimardan cuma 25 kilometer, 40.000 Sum atau
t.c
35 dolar cukup mahal. Dengan hubungan tetangga Sardor, plus
po
pai 20.000 Sum untuk mission impossible ini. ”Kamu harus ber-
.b
do
38
OK atau ayo, dalam bahasa Rusia
402
dari tempat kami berada sekarang! Sekali lompat pun sampai.
Mengapa harus bersusah payah lewat pos imigrasi yang menye-
ramkan di depan itu? Bakhtiyor menggiring kami berdua melin-
tasi pembatas jalan. Kami berjalan membungkuk, menyelinap
pelan-pelan, bak penyelundup Meksiko yang melintasi kawat
berduri memasuki tanah impian Amerika Serikat. Kalau sampai
terlihat tentara Uzbek, habislah kami.
Hup...! Saya melompat ke Kirgizstan, ”tanah impian” saya
hari ini.
Ke luar negeri, ternyata memang cukup satu lompatan saja.
Di jalan Kirgizstan ini sudah ada sebuah mobil hitam berkaca
om
tak tembus pandang menanti. Pemiliknya berkacamata hitam,
t.c
gagah. Orang Kirgiz tulen yang berperut buncit dan bergigi
po
403
mor Kirgiz sudah langsung boleh lewat, seolah plat mobil jadi
paspornya semua penumpang. Tingkat pengamanan perbatasan
mungkin berbanding lurus dengan tingkat ekonominya. Sekali
lagi, di jalan paralel ini, kami bak makhluk invisible yang ”me-
nembus” birokrasi imigrasi begitu saja.
Kedua jalan sejajar ini bertemu di sebuah titik tak terlalu
jauh dari pos Kirgizstan. Ini adalah pertemuan antara jalur
ilegal dengan yang legal, di mana keilegalan saya yang menembus
pos perbatasan kedua negara ”sedikit” berkurang. Saya sekarang
benar-benar berada dalam wilayah Republik Kirgizstan, tanpa
visa, berpura-pura jadi orang Kirgiz.
om
Bakhtiyor dan mobilnya datang sepuluh menit kemudian. Ia
t.c
telah melalui kedua pos imigrasi dengan selamat. Bakhtiyor me-
po
yang ”cerdas”.
Sekali lagi, saya tiba di Kirgizstan. Perasaan kali ini sungguh
berbeda dengan perjalanan sebulan lalu di Bishkek atau Osh
ketika saya bersenjatakan dokumen lengkap. Jantung terus ber-
degup kencang, campuran rasa senang, gairah, takut, gelisah,
dan bangga. Saya seperti pencuri yang mengendap-endap masuk
rumah orang. Ada perasaan bersalah, tetapi terkubur kegem-
biraan dan deru petualangan.
Qadamjoy adalah kota mungil Kirgizstan yang sibuk, ramai
mobil dan orang yang lalu lalang. Hati saya bergolak. Ingin rasa-
nya turun dari mobil dan berjalan santai. Tetapi status saya se-
404
bagai ”maling imigrasi” tak mengizinkan. Rasanya semua orang
seperti sedang mengintai, siap menangkap dan melemparkan
saya ke dalam kelamnya penjara. Dengan mulut komat-kamit
membaca doa, saya berusaha terus menikmati alam Kirgizstan.
Sejauh mata memandang, barisan gunung berhias cantik. Kon-
tras dengan Lembah Ferghana-nya Uzbekistan yang datar. Se-
cara fisik Qadamjoy tampak tidak jauh berbeda dengan Vuadil.
Tetapi wajah Mongoloid orang Kirgiz terlihat menambah variasi
etnis di jalanan. Tak lupa dengan ak kalpak, topi tradisional
Kirgiz yang menjulang tinggi, seakan terus mengingatkan bahwa
di sini Bishkek yang berkuasa.
om
Bendera Kirgizstan berkibar. Juga baliho besar propaganda
t.c
pemerintah tentang keluarga kecil sakinah. Slogan-slogan ten-
po
besar-besar, ”Tak ada yang boleh melupakan, tak ada yang ter-
in
a-
lupakan.”
ak
405
mengiris Asia Tengah menjadi negeri-negeri. Mencoret garis di
peta memang mudah, tetapi membuat perbatasan ideal yang
memenuhi keinginan semua orang tidaklah gampang.
Radcliffe yang ditugasi untuk mengiris India tahun 1947
juga buru-buru kabur karena ia sudah tahu hasilnya. Ya. Per-
tumpahan darah jutaan manusia yang mengiringi berdirinya
Pakistan. Bagaimana memisahkan Muslim dari Hindu dalam
dua negara berbeda? Bukankah kehidupan manusia yang natural
bagaikan spektrum cahaya, yang berpendar dari hitam ke putih
melalui bermiliar macam warna yang saling menyambung? Me-
nerapkan garis batas berarti membelah jalinan itu, merusaknya,
om
menyisakan serabut-serabut yang kacau-balau. Pembelahan ba-
t.c
gaikan kapak garang yang memutuskan hubungan kemanusiaan,
po
406
terkurung di Kirgizstan, tetapi dihuni penduduk etnis Tajik
yang seharusnya menjadi warga Tajikistan. Pusing, kan? Stalin
memang punya selera humor luar biasa. Tahun 2001, Sokh
menjadi sarang kegiatan militan Harakatul Islami Uzbekistan.
Pemimpin gerakan ini bercita-cita mendirikan negara Islam di
Asia Tengah, dan mendapat dukungan Al Qaeda. Mereka me-
nerapkan aturan keras gaya Taliban. Bom meledak di Tashkent,
Bukhara, Ferghana. Penculikan dan pembunuhan orang asing
marak di Kirgizstan. Sokh jadi tempat persembunyian ideal.
”Pulau” ini tak terjangkau, karena tentara Uzbek harus lewat
wilayah Kirgizstan dulu. Polisi Kirgizstan dan Tajikistan juga ti-
om
dak bisa masuk, karena ini kekuasaan Uzbekistan.
t.c
Bukannya bekerja sama, negara-negara artifisial ini malah
po
itu punya visi yang demikian jauh—Asia Tengah harus terus ter-
in
a-
407
Sepuluh menit kemudian, Sardor berbalik arah. Ia memasang
muka murung.
Saya tak berkata-kata, perjuangan kami menyelundup ber-
akhir hanya di sini, di pintu gerbang yang dingin ini. Saya hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan mengernyitkan dahi. Bagai-
mana sebuah buku kecil bernama paspor punya kuasa luar biasa
membatasi pergerakan manusia?
Melihat ekspresi pesimis di wajah saya, mendadak Sardor
tertawa lepas. Saking gembiranya, ia sampai melompat. ”Kita
boleh masuk! Kita boleh masuk!!!”
”Berapa sogokannya?”
om
”Tidak usah sama sekali,” kata Sardor, ”kamu boleh masuk
t.c
karena kamu dari Indonesia. Saya bilang kamu Muslim, dan
po
menit. Tak lebih.” Sejam lagi akan ada pertukaran tentara per-
.b
do
muda yang baik hati ini berganti giliran. Kalau sampai terlambat
ak
408
seluruh penjuru dunia. Tak ada yang tahu pasti di mana keledai
itu berhenti dan di mana jasad Hazrat Ali disemayamkan. Selain
Shakhimardan, ada juga Mazar-e-Sharif di Afghanistan sana.
Demikian sucinya Ali bagi umat Muslim, semua tempat per-
semayamannya selalu mendatangkan banyak peziarah.
Sebuah bangunan ziarah kecil dari bata cokelat merah, ber-
kubah perak dengan bulan sabit di pucuknya, didirikan di pun-
cak sebuah bukit Shakhimardan. Bangunan aslinya sudah han-
cur. Soviet bilang basmachi biang keladinya, basmachi bilang
komunis Soviet yang merusaknya. Mau percaya yang mana, ter-
serah Anda.
om
Ziarah dan kultur Sufi seperti ini adalah salah satu jati diri
t.c
yang bisa diusung menjadi kebanggaan ”nasionalisme”. Uni
po
409
ci membukakan pintu dan kami berdua duduk di sudut, di
hadapan gundukan besar berselimut kain hijau. Ia kemudian
melantunkan doa. Panjang, namun teduh.
Bagaimana jenazah seorang suci punya begitu banyak tempat
peristirahatan, tersebar di berbagai negara dan pelosok bumi?
”Sangat mungkin,” kata juru kunci, ”kalau jenazah Ali yang
demikian sucinya itu tidak hanya satu saja. Kalau jenazah Ali
ada di sini, juga ada di Afghanistan sana, juga di Najaf sekaligus,
saya percaya.” Sardor gembira sekali mendengar penjelasan sang
juru kunci, yang sepertinya menjawab keraguannya akan ke-
benaran kisah Shakhimardan, sekaligus membuat saya berkhayal
om
tentang kemukjizatan manusia yang bisa menembus batas
t.c
dimensi ruang dan waktu.
po
Tak heran di musim panas lembah ini akan berubah jadi tempat
in
a-
410
mua dipecah-pecah berdasar garis-garis semu. Sekarang yang
mereka dapatkan adalah negeri yang terpecah-belah, plus bonus
birokrasi ribet dan mahal.
Parlemen Kirgizstan sempat menuntut ”dikembalikannya”
Shakhimardan kepada mereka. Ada desas-desus yang beredar,
para petinggi Kirghiz pada zaman Soviet dulu terpaksa melepas-
kan Shakhimardan gara-gara kalah taruhan waktu main judi de-
ngan para pejabat Uzbek. Ketika hubungan Uzbekistan-Kir-
gizstan memanas, kampung ini terisolasi total. Sebelumnya,
orang Uzbek yang mau ke sini harus punya exit permit—izin un-
tuk keluar dari negaranya sendiri—plus visa mahal yang harus
om
dibeli dari Kedutaan Kirgizstan di Tashkent. Padahal Shakhi-
t.c
mardan itu wilayah Uzbekistan. Petani Shakhimardan mengeluh
po
411
Tidak semudah itu! Kedaulatan atas tanah begitu penting
artinya bagi eksistensi negeri-negeri di balik garis batas. Seperti
halnya Indonesia yang walaupun sudah memiliki 17.000 pulau
lebih, tidak akan membiarkan satu pulau pun diklaim negara
lain, sekalipun itu adalah pulau karang mungil tanpa nama, tak
berpenduduk, dan tak berharga, nun jauh di tengah samudra
luas yang orang pun tidak tahu ada di mana dan apa gunanya.
Bangsa-bangsa bisa bertarung berabad-abad hanya demi sejengkal
tanah gersang tanpa makna. Nyawa meregang, rakyat menderita
tidak masalah, perang dan pembantaian termaafkan, asalkan
bukan tanah yang hilang.
om
Saya teringat akan sebuah legenda dari padang rumput luas
t.c
Asia Tengah. Seorang khan tua memberi wejangan kepada anak-
po
lah raja yang biasa-biasa saja. Tetapi, kalau engkau sampai ke-
a-
ak
39
Alexander C. Diener dan Joshua Hagen. ”Borderlines and Boderlands:Political
Oddities at the Edge of the Nation-State”. Rowman & Littlefield Publishers,
Inc. (2010)
412
Lelaki tiga puluh tahunan berjanggut tipis menyambut kami.
Di Lembah Ferghana, janggut adalah masalah sensitif. Sudah
lama saya tak lihat pria muda yang memelihara jenggot. Ketika
isu terorisme memanas, pemerintah Uzbekistan menangkapi
orang yang dicurigai sebagai teroris, termasuk beberapa perem-
puan berhijab dan lelaki berjenggot. Sembahyang di masjid ber-
bahaya. Menyebarkan Islam dilarang, azan dibungkam. Kalau
seseorang dicurigai, ayahnya pun ikut ditangkap, karena me-
nurut Presiden Karimov, teroris adalah produk kesalahan orang-
tua mendidik anak. Penduduk Ferghana jadi takut bicara ten-
tang Islam. Agama disimpan rapat-rapat di balik tembok.
om
Sardor, seperti umumnya pemuda Uzbekistan yang hidup di
t.c
Tashkent, tidak tampak terlalu religius. Tetapi ketika sampai di
po
413
mulus, mungkin karena hati kami jauh lebih plong. Tak ada
lagi jantung berdebar, tak ada lagi ketakutan, Qadamjoy berlalu
begitu saja. Sekejap saja kami sudah sampai perbatasan Kirgiz
di mana Bakhtiyor harus memanggil taksi untuk melintaskan
kami.
Sopir taksi memandangi saya dan Sardor lekat-lekat.
”Tidak ada obat-obat terlarang? Narkotika?”
”Tidak ada,” jawab Sardor.
”Bukan teroris?”
”Bukan.”
”Lalu mengapa kamu harus pakai jalan ini?” selidik sopir
Kirgiz. om
t.c
”Karena kami tidak punya paspor.”
po
414
Jalan raya di sebelah kanan membentang adalah Kirgizstan. Di
sebelah kiri adalah perkampungan Uzbekistan, ”rumah” kami.
Sebuah pintu kayu kecil terbuka di ujung pekuburan. Pintu
reyot ini adalah gerbang menuju Uzbekistan. Kami berjingkat-
jingkat bak pencuri. Di balik pintu, kami terdampar di peka-
rangan mahalla, rukun desa Uzbek. Saya menghela napas lega,
berakhir sudah misi penyelundupan ini. Seorang kakek tua ber-
jubah memicingkan mata, melihat dua pemuda yang tahu-tahu
nongol dari pintu kayu. Mungkin baginya, kami mirip orang
dari dimensi lain yang tahu-tahu muncul dari pintu zaman.
Saya memandang ke balik pintu reyot. Kirgizstan, republik
om
itu terlihat seperti negara di pekarangan belakang Uzbekistan.
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
415
DUNIA TANPA BATAS
416
kan lebih dari 600 dolar hanya untuk visa. Tajikistan, paling
ganas, 250 dolar. Sedangkan dua bulan izin tinggal di Uzbekistan
memaksa saya merogoh kocek sampai 210 dolar. Biaya itu masih
ditambah registrasi di setiap negara. Seram sekali, bukan?
Tunggu. Yang paling horor belum muncul. Perkenalkan,
Turkmenistan. Negara ini terkenal paling tidak bersahabat
dengan orang asing. Satu-satunya jenis visa yang bisa saya per-
oleh adalah visa transit, maksimal lima hari. Untuk mendapatkan
visa turis, kita harus ikut tur yang biayanya setidaknya 200 dolar
per hari—sudah jauh di luar anggaran.
Transit pun tidak mudah. Pertama-tama, kita harus punya
om
visa Iran atau Azerbaijan. Yang disebut terakhir ini, pecahan
t.c
Uni Soviet juga, sama sulitnya untuk paspor Indonesia. Biro tur
po
417
banggakan dan kepada siapa kita harus mengabdi. Kita yang
berada di dalam kelilingan garis batas Indonesia, menjadi WNI,
dan memegang paspor Indonesia. Bagi kebanyakan kita, jadi
WNI itu bukan pilihan. Namun, kita merasa ada ikatan batin
dengan orang-orang yang memegang paspor sama dengan kita,
walaupun kita tak pernah mengenal mereka, apalagi berhu-
bungan darah. Seperti halnya seorang staf KBRI Tashkent yang
ikut mencak-mencak ketika paspor Indonesia saya dikatakan
masuk kategori ”rawan” oleh biro tur visa Azerbaijan. Atau ke-
tika para pekerja kita diperlakukan tidak adil di Malaysia, hati
kita pun ikut sesak.
om
Paspor, buku kecil yang menjadi ”jiwa” kita, adalah penanda
t.c
garis batas. Itulah takdir kita. Dengan paspor Indonesia, silakan
po
418
ribuan kilometer negeri-negeri taklukan Mongol hingga ke is-
tana kaisar di kota kuno Karakorum.
Paspor menjadi luar biasa karena di balik paspor ada ke-
kuatan yang juga luar biasa—negara. Tanah yang dikelilingi garis
batas, dengan pemerintah yang memamerkan kekuasaan, ke-
tangguhan ekonomi, kekuatan diplomasi, kemajuan peradaban....
Semakin tangguh kekuatan itu, semakin dihormati kedigdayaan
negaranya, semakin bebas warganya menjelajahi dunia. Paspor
Denmark, misalnya, boleh mengunjungi 140 negara lebih tanpa
visa. Ketika warga Jepang melenggang santai melewati imigrasi
Amerika Serikat, pemegang paspor Indonesia, bersama dengan
om
orang Pakistan dan Afghanistan, mesti digiring menjalani pe-
t.c
meriksaan intensif, ditanya ini-itu, dipindai sidik jarinya, retina-
po
419
lisi? Bagaimana kalau saya dideportasi? Atau lebih buruk, men-
dekam di penjara? Di sini tak ada kedutaan Indonesia yang
melindungi saya. Lagi pula, tanpa paspor bagaimana saya mem-
buktikan ke-Indonesia-an saya?
Hanya kehilangan paspor, dunia saya serasa runtuh. Hanya
kehilangan sebuah buku, saya seakan terpasung, hilang rasa
aman.
Seperti kata pepatah Rusia: tanpa dokumen, manusia adalah
serangga. Dengan dokumen, manusia barulah menjadi manusia—
tentunya ini hanya bagi pemilik dokumen yang ”tepat”. Sese-
orang butuh pegangan dan pelindung, kewarganegaraan tempat
om
ia mengindentifikasikan diri, kumpulan manusia sebangsa dan
t.c
po
420
Suhrat lahir di Turkmenistan, namun bersekolah di
Tashkent. Waktu itu, identitasnya jelas: warga Soviet. Tiba-tiba,
negeri pelindungnya hancur lebur. Uni Soviet dalam sekejap
mata lenyap. Tanah kelahirannya berdiri jadi negara, sementara
tempatnya bersekolah jadi negara lain. Suhrat terpisah dari
akarnya oleh garis batas antara Turkmenistan dari Uzbekistan.
Demi melanjutkan kuliahnya, Suhrat tetap tinggal di Tash-
kent. Turkmenistan, negara penggemar birokrasi, mengajukan
syarat yang berbelit-belit dan waktu tunggu sampai sepuluh
tahun bagi para mantan warganya untuk memperoleh kembali
kewarganegaraan. Uzbekistan pun tak sudi memberi kewarga-
om
negaraan untuk pendatang asing seperti dia. Saya teringat nasib
t.c
po
421
payah, take it for granted, sering kali melupakan betapa besarnya
anugerah kewarganegaraan itu. Di zaman kekaisaran Romawi,
hanya kaum ningrat dan bangsawan saja yang punya kewarga-
negaraan, sedangkan para budak dan penduduk negeri jajahan
tidak diakui. Tanpa kewarganegaraan, manusia tidak diperlaku-
kan sebagai manusia utuh. Baru pada tahun 1948, PBB men-
deklarasikan bahwa kewarganegaraan adalah hak asasi manusia.
Memegang paspor Indonesia terkadang membuat kita kesal
diperlakukan semena-mena oleh negara-negara lain dalam
urusan visa. Ada pula yang malu menjadi WNI karena merasa
disamakan dengan TKW di Timur Tengah. Di Malaysia, saya
om
berjumpa dengan WNI yang mati-matian meniru logat bicara
t.c
orang Malaysia, mengubur dalam-dalam asal-usulnya supaya ti-
po
40
Pada tahun 2007, dua wanita yang mengaku sebagai putri ”Kerajaan Sunda”
ditangkap di Brunei karena memegang paspor ”Kerajaan Sunda”. Keduanya di-
deportasi ke Malaysia dan dipenjara 1,5 tahun di Sarawak. Pihak Malaysia meng-
alami kesulitan karena kedua wanita itu tidak mengaku sebagai WNI, atau se-
bagai warga negara mana pun, kecuali Kerajaan Sunda. Kalaupun hendak
dideportasi, pengadilan Malaysia pun kebingungan harus dideportasi ke mana.
422
tina”, dan tak bisa lagi menginjakkan kaki ke tanah kelahiran-
nya41?
Seorang kawan Taiwan mencak-mencak ketika Kedutaan
Pakistan menyuruhnya meminta surat pengenal dari Kedutaan
Cina di Afghanistan.
”Tetapi saya bukan orang Cina, saya orang Taiwan!” bantah-
nya.
”Mana buktinya? Di paspormu tertulis Republic of China.
C-H-I-N-A! Mana ada kata Taiwan?” bentak petugas.
Kawan saya memungut paspornya yang dilemparkan dengan
kasar oleh pejabat itu. Benar saja. Yang ada hanya China dan
om
R.O.C. Tak ada satu pun ”Taiwan”. Tak banyak orang tahu
t.c
po
41
Seorang kawan Palestina, Mr. Gharably, berusaha mati-matian beremigrasi ke
Kanada. ”Ironis,” katanya, ”karena memegang paspor pengungsi Palestina, saya
tak bisa pulang ke Palestina. Saya menjadi orang Kanada hanya untuk bisa pu-
lang lagi ke Palestina.”
423
nyokong perjalanan saya dengan memberikan bantuan moril
dan materiil.
Sedangkan Suhrat, tak ada negeri yang melindunginya. Bah-
kan kampung halamannya pun tak menyambutnya, malah me-
mungut biaya mahal dan menghadiahinya birokrasi njelimet ha-
nya untuk pulang. Ia bukan bagian dari orang-orang yang
membanggakan gemilangnya Samarkand atau Bukhara, ataupun
gegap-gempita negeri Turkmen dalam euforia Abad Emas. Ia tak
bisa lari ke kedutaan mana pun untuk mengadu, karena, mana
ada kedutaan untuk orang-orang tak berkewarganegaraan?
Kewarganegaraan adalah ikatan mental, spiritual, identitas,
om
dan kesamaan masa lalu kita dengan saudara-saudari sebangsa.
t.c
Semuanya adalah nihilisme bagi Suhrat. Ke mana pun ia me-
po
424
cemas di Bandara Internasional Tashkent, menantikan pesawat
yang akan membawa saya terbang ribuan kilometer ke khatu-
listiwa.
Siapa sangka, di ruang tunggu bandara, mata uang Uzbekistan
ternyata sudah tidak berlaku lagi di negaranya sendiri. Saya
mencoba membeli air putih dengan uang Sum yang tersisa,
langsung ditolak mentah-mentah oleh penjual yang hanya me-
nerima dolar Amerika.
”Dasar negara aneh!” dengus seorang turis Selandia Baru
yang mengalami nasib serupa, ”Masa mereka tidak percaya de-
ngan mata uang mereka sendiri?”
om
Ini memang bukan negara normal, Brat! Saya teringat orang
t.c
Uzbek yang lebih senang menyimpan duit dolar daripada Sum.
po
karena tidak percaya pada bank. Pulsa ponsel pun dihitung de-
.b
do
ngan dolar. Ekonomi tidak sehat, tak heran kalau nilai Sum
in
a-
selalu anjlok. Untuk beli tiket pesawat ini, saya mesti bayar de-
ak
425
menjauh, mengecil, peradaban manusia di perkotaan itu teng-
gelam dalam barisan puncak gunung salju. Gagah, penuh ke-
agungan.
Kenangan saya melayang pada beratnya petualangan di Pe-
gunungan Pamir, mulai dari perjuangan mendapatkan visa Tajik
di Kabul, hingga keluarga-keluarga miskin namun murah hati
di sepanjang jalan di provinsi GBAO. Mungkin salah satu dari
keluarga tempat dulu saya menginap melihat pesawat ini terbang
melintas di atas kebun kentang mereka.
Apakah di bawah itu Tajikistan? Atau Kirgizstan? Atau
mungkin Afghanistan? Atau malah mungkin kita masih di atas
om
wilayah Uzbekistan? Di angkasa, garis-garis batas negara di muka
t.c
bumi sana menjadi tanpa arti.
po
terasa begitu lebar. Tidak ada sungai yang menjadi limit, tidak
.b
do
426
lintas perbatasan, frustrasi ketika visa hampir kedaluwarsa, atau
kesabaran menunggu berhari-hari di jalan gunung karena tidak
ada kendaraan yang lewat, atau kagetnya melihat sopir yang me-
minta dibayar pakai bensin.
Dengan kecepatan 989 kilometer per jam, bulan-bulan pe-
nuh perjuangan di Asia Tengah di atas daratan yang berkerut-
kerut sama dengan perjalanan udara beberapa menit saja.
seruan kasar.
pu
427
nampar laki-laki itu dengan majalah pesawat yang lumayan juga
tebalnya.
Orang mabuk silih berganti, memberikan kejutan aneh-
aneh. Film yang diputar pun sangat tak lazim. Ada humor Rusia
orang tampar-menampar di bioskop, sementara yang lainnya
cium-mencium dengan mesra. Ada lelucon tentang gay yang di-
kejar-kejar dan dipukuli.
Pukul sepuluh malam pesawat tiba di Bandara Internasional
Kuala Lumpur. Khursed, pelajar Uzbek yang duduk di samping
saya, terbengong-bengong melihat megahnya bandara Malaysia
yang bukan tandingan bandara mungil Tashkent. Kami segera
menuju ke imigrasi. om
t.c
”Kami ini dari Republik Kirgizia!” kata pria berwajah
po
Kirgizia.
Khursed juga mengalami nasib serupa. Paspor Uzbekistan
sama parahnya dengan paspor Kirgizstan. Walaupun Khurshed
sudah punya visa, tetapi karena ketahuan mau bekerja di Ma-
laysia, petugas imigrasi tak mengizinkannya lewat. Khurshed tak
bisa bahasa Inggris dan petugas imigrasi Malaysia tak bisa bahasa
Rusia, apalagi bahasa Uzbek.
Dunia tanpa batas, ah, itu hanya ilusi dari angkasa raya, fan-
tasi saya yang meratap setelah mengalami siksaan birokrasi Asia
Tengah. Dunia semakin modern, garis batas semakin sistematis
dan rigid. Dari zaman klan-klan padang rumput yang mem-
428
perebutkan sungai dan oase, sultan-sultan yang bertempur un-
tuk kota-kota perhentian Jalur Sutra, hingga masa sekarang,
gurun gersang dan gunung gundul pun ada pemiliknya. Semua
sudut bumi telah dibagi-bagi tak bersisa. Bahkan langit luas pun
terbelah oleh batas-batas negara yang membumbung tinggi dari
permukaan tanah hingga ke ketinggian entah berapa ribu meter.
Pesawat dari negara ini, ini, ini, tidak boleh terbang di langit
negara ini. Di bawah tanah, hingga ke pusat bumi, garis batas
pun tetap berlaku. Negara-negara di sekeliling Laut Kaspia—ter-
masuk Kazakhstan, Turkmenistan, Azerbaijan, Rusia, dan Iran—
bertikai apakah Kaspia itu ”laut” atau ”danau”, karena berpenga-
om
ruh pada bagaimana danau raksasa itu harus diiris, menentukan
t.c
negara mana yang berhak mengebor minyak di dasar danau itu.
po
Turkmenistan
Utopistan
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
Pepatah Turkmen
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
FIRDAUS TERSEMBUNYI
433
adalah persinggungan dua dunia berbeda. Di selatan, negeri
teokrasi kaum Syiah menerapkan peraturan agama yang ketat.
Di utara, negeri misterius bekas komunis mengisolasi diri dalam
pagarnya yang tak tertembus.
Turkmenistan tetap terkubur dalam misterinya, seperti nama
itu ratusan silam. Dalam sejarah Jalur Sutra, negeri ini dulu
dihuni para bandit padang pasir Turkoman yang tersohor suka
menculik, membunuh, dan memperdagangkan orang-orang
Persia—alias Iran—di pasar budak Khorezmia. Apakah negeri
Turkmenistan di balik kungkungan perbatasan yang rapat itu
masih sama dengan fantasi dari zaman seribu satu malam?
om
Saya mencoba meraba dari kantor imigrasi yang dingin.
t.c
Petugas di balik kaca menjentikkan jari pada papan tuts
po
434
beri aku sedikit? Terserah kamu berapa. Seikhlasnya. Untuk beli
makanan. Misalnya, 20.000 saja sudah cukup.”
Menurut kurs pemerintah, satu dolar Amerika setara dengan
5.500 Manat. Tetapi saya baru saja membeli Manat di pintu
gerbang. Si penjual menenteng tas plastik hitam dengan gepokan
uang berbundel-bundel dibungkus kain kumal, persis seperti
dagangan pisang goreng. Harganya pun murah meriah. Setiap
dolar Amerika dihargai 25.000 Manat, hampir lima kali lipat
kurs resmi. Pecahan terbesarnya hanya 10.000 Manat, tak sam-
pai 4.000 rupiah. Ini lebih parah daripada di Uzbekistan, kan-
tong saya langsung menggelembung dengan tumpukan uang
om
lusuh yang begitu tebal, sampai berjalan pun terasa berat. Sung-
t.c
po
435
nya-jawab dan keyakinannya. Bu dokter ini pasti salah satu dok-
ter paling efisien di dunia.
”Kamu punya Manat?” tanyanya penasaran.
Sepuluh ribu Manat saya selipkan ke dalam genggamannya.
Dia tersenyum, manis sekali.
Pos perbatasan Turkmenistan ini kosong melompong, hanya
saya dan dua orang Iran yang melintas sepanjang hari ini. Tentu
saja. Siapa yang datang ke sini, kalau untuk mengurus visa saja
orang harus memeras keringat dan air mata? Sekarang saya ma-
sih harus tersangkut di bea cukai gara-gara ransel besar.
Satu per satu barang diperiksa dengan teliti. Baju kumal.
om
Handuk kotor. Bungkusan sabun. Obat-obatan. Bahkan saku
t.c
baju dan pakaian dalam pun diperiksa dengan saksama. Sumber
po
buku saya terlalu banyak, petugas bea cukai itu akhirnya hanya
in
a-
membaca.
st
pu
436
Tiga puluh kilometer dari perbatasan, selamat datang di alam
sureal negeri Turkmen. Siapa pun pasti tergugah akan sebuah
pemahaman penting: sang penguasa yang menghiasi tiap lembar
uang itu memang bukan manusia sembarangan. Di mana-mana
terlihat wajahnya. Poster-poster, patung, gambar, lukisan, baliho,
gapura, lembaran uang.... Tak ada yang tak mengenalnya:
Turkmenbashi Sang Pemimpin Agung.
Kematiannya baru saja, tapi rohnya masih hidup. Setidaknya
bagi Rita, perempuan keturunan Rusia yang berambut pirang
om
dan bermata biru, menemani saya naik bus menuju pusat kota
t.c
po
437
besar? Di sana semua juga mahal! Kalau di sini, semua gratis
dan murah.”
Orang tak butuh uang lagi karena semua berkecukupan.
Bukankah ini dunia utopis, surga yang ingin dicapai negeri-
negeri dunia?
Ibu kota Ashgabat tampak lengang. Barisan gedung putih
dari marmer berjajar rapi. Taman hijau menambah kesejukan.
Sesekali terlihat mobil melaju kencang melewati barisan gedung
yang masih mulus, seperti baru dibangun kemarin sore. Kota
ini tampak harmonis dalam keteraturan dan kemegahan. Lupa-
kan hiruk-pikuknya Uzbekistan dan jalan bolong-bolong di Ta-
jikistan. om
t.c
”Ashgabat kota yang indah. Kamu lihat sendiri, kan? Per-
po
nahkah kamu lihat kota lain seperti ini di dunia?” seloroh Rita.
gs
lo
raya?
in
a-
438
ingatkan saya untuk tutup mulut. Tidak baik terlalu banyak bi-
cara di tempat ramai seperti ini. Di mana-mana ada ”telinga”.
439
berujar, ”Ein volk, Ein Reich, Ein Führer”—”Satu Bangsa, Satu
Negeri, Satu Pemimpin”.
Bukti bahwa Abad Emas sudah hampir tiba adalah kota
Ashgabat yang bertabur emas. Di pusat kota berdiri monumen
raksasa 75 meter. Namanya penuh semangat propaganda: Arch
of Neutrality, merayakan keputusan agung Turkmenistan men-
jadi negara netral yang konon dielukan seluruh bumi. Di atas
monumen berkaki tiga ini (karena itu juga dikenal sebagai ”Si
Kaki Tiga” alias ”Si Tripod”) berdiri patung emas raksasa sang
Turkmenbashi yang menjulang setinggi dua belas meter, mem-
bentangkan tangan seperti memberkati seluruh kota. Hebatnya,
om
patung ini bisa memutar 360 derajat mengikuti gerakan mata-
t.c
hari. Canggih, sang Turkmenbashi Emas setiap saat harus ber-
po
emas murni dari abad ke-5 SM. Turkmenistan tidak perlu pu-
sing menggali sejarah sekuno itu. Bukankah mereka sudah pu-
nya pahlawan agung yang dipuja? Turkmenbashi Emas pun ber-
diri megah.
Tetapi gambar cantik Ashgabat ini hanya berkutat di jalan-
jalan utama, perlahan-lahan memburam ketika saya melintasi
gang kecil di belakang barisan gedung pualam. Semakin jauh
dari jalan utama, semakin saya bertanya apakah benar saya ber-
ada di negeri Abad Emas. Di balik kemegahan gedung pualam
dan air mancur sepanjang jalan, rumah tua berbaris dalam
kekumuhan, seakan menantang kemakmuran Abad Emas.
440
Dunia lain ini berjalan paralel. Di sini, Abad Emas hanyalah
fantasi.
441
nama bulan-bulan di penanggalan pun diganti. Januari, paling
terhormat untuk mengawali tahun, tentu saja untuk sang Pe-
mimpin—Turkmenbashi. Jangan lupa, Tahun Baru kita jatuh
pada tanggal 1 Turkmenbashi! Bulan April untuk ibunda ter-
cinta, Gurbansoltan Eje. Jadi tanggal 1 April Anda boleh meng-
isengi teman-teman dengan mengucapkan ”Gurbansoltan Mop!”
September dinamai Ruhnama, kitab agung yang ditulisnya. Bu-
lan yang lain dinamai pahlawan nasional, seperti pujangga dan
raja penakluk. Ada pula bulan yang namanya sangat berbau pro-
paganda, seperti bulan Netralitas, Bendera, dan Kemerdekaan.
Hobi ganti-ganti nama Turkmenbashi juga merembet ke nama
om
hari. Ada hari istirahat (Minggu), hari bahagia (Rabu), dan hari
t.c
roh (Sabtu). Daftar nama bulan dan hari ini penting untuk di-
po
apa.
.b
do
bashi), hari ”setetes air adalah sejumput emas”, hari kuda, hari
puisi, hari karpet, hari melon, hari roti, hari Turkmenbashi,
hari ”bertetangga baik”, dan hari netralitas.
Orang Turkmen lebih diuji lagi memorinya karena nama ja-
lan sering berganti. Jalan utama di Ashgabat adalah Azadi (ke-
merdekaan), Magtymguly (nama pujangga), Atamyrat Niyazov
(nama ayah Turkmenbashi), Bitarap Turkmenistan (Turkmenis-
tan yang Netral), dan tak lupa tentunya, Jalan Turkmenbashi.
Nama-nama yang sudah sangat bagus ini kemudian diganti jadi
angka-angka aneh seperti 1988, 1984, 2004, 2008—mungkin un-
tuk memudahkan sang pemimpin mengingat daftar tahun
442
Olimpiade. Cuma sejarawan dan matematikawan yang bisa ber-
tahan di kota yang pemimpinnya rajin mengganti nama jalan
seperti ini.
tak peduli apa pun alasannya. Di sini, kita cuma rakyat jelata
gs
lo
”Lima belas ribu Manat,” kata ibu penjual tiket. Berapa? Apa
in
a-
443
Sabtu, atau dalam versi Turkmenistan Ruhgun—Hari Roh. Aneh,
roh saya tiba-tiba ikut bersorak menikmati kemakmuran dan
kemurahan Abad Emas.
444
bangun patung emas di seluruh penjuru kota. Wajah Turkmen-
bashi pun bermunculan, mulai dari televisi, prangko, buku, pa-
pan pengumuman, botol vodka.... Setiap kesempatan, monumen
bisa didirikan (5 tahun kemerdekaan, 8 tahun kemerdekaan, 10
tahun kemerdekaan, 15 tahun kemerdekaan...). Seorang kawan
Indonesia yang pernah bertugas di Asghabat mengeluh, ketika
ia membuka mata setiap pagi, hal pertama yang harus ia lihat
tanpa bisa ditolak adalah senyum manis sang Turkmenbashi. Di
langit-langit kamar hotel bintang lima yang ditinggalinya, se-
nyuman itu seolah mengucapkan, ”Ciluk baaa.... Selamat Pagi,
kawan!” (Aneh, bagaimana ia masih bisa tidur pulas disaksikan
oleh sang Turkmenbashi?) om
t.c
Figur ini begitu diidolakan, sehingga setiap remeh-temeh ke-
po
445
berkeliaran di kota Ashgabat. Turkmenbashi tak bisa mem-
bedakan laki-laki dan perempuan di televisi, ia melarang pem-
baca berita menggunakan tata rias. Turkmenbashi mengamati
gigi anjing kokoh karena menggerogoti tulang, ia mengimbau
generasi muda Turkmen untuk mengunyah tulang setiap hari
demi kesehatan gigi, sehingga tidak perlu memasang gigi emas.
Turkmenbashi benci balet dan opera, tak segan ia melarang se-
mua pertunjukan kesenian yang dilabeli ”tidak cukup Turkmen”.
Lelaki dilarang berambut gondrong dan berjenggot, sedangkan
perempuan dilarang berdandan atau menutup wajah dengan
cadar. Alasannya: wajah perempuan Turkmen adalah yang ter-
cantik di seluruh dunia. om
t.c
Betapa hebatnya Turkmenbashi ini, gelarnya sampai berderet-
po
446
gambarkannya kalau tidak ingin dipecat. Kita rakyat jelata tidak
akan pernah diizinkan melihat ekspresi aslinya, kodrat ke-
manusiaannya. Sang pemimpin selalu dibungkus selubung mis-
teri, dibumbui seremonial dan mitos yang semakin memperkuat
karakter kedewaannya.
Apa sebenarnya yang dicari diktator dunia? Pendewaan? Ke-
puasan batin? Kekuasaan tak berbatas? Negeri-negeri komunis
biasanya punya satu figur, yang kemudian dipuja dan didewakan
penduduk negerinya. Soviet dulu punya Lenin dan Stalin. Bah-
kan kematian Stalin yang kejam itu pun masih ditangisi oleh
jutaan rakyat yang histeris. Kepergian Kim Il Sung juga diiringi
om
isak tangis warga Korea Utara yang kehilangan arah, seperti pe-
t.c
numpang kapal karam yang kehilangan nahkoda di tengah
po
447
bagai kelompok tanpa wajah tanpa nama. Mereka hanya jutaan
figuran dalam panggung dunia, dengan para diktator sebagai
aktor utamanya. Mereka adalah makhluk lemah yang tak lepas
dari semua titah pemimpin. Ketergantungan mahadahsyat yang
membuat mereka tak berdaya tanpa sang pemimpin. Mereka
tetap anonim. Tak peduli bahwa para kawula jelata itu yang
membangun kemegahan Ashgabat, atau kedahsyatan Bukhara
dan Samarkand, tetap kita hanya tahu siapa rajanya, siapa pre-
sidennya, yang dengan tangan besi menggerakkan semua ini.
Tetapi apa yang dicari para diktator? Dengan segala upaya
mereka melakukan lobotomi pada otak semua rakyatnya: meng-
om
hapus sejarah, merekayasa ingatan, menciptakan fantasi tentang
t.c
keperkasaan dan kekuasaan yang tanpa batas. Tapi bukankah
po
448
Mempelai pria mengenakan kemeja, dasi, jas hitam, celana
panjang, seperti layaknya pegawai kantoran. Mempelai wanitanya
berpakaian merah manyala, tebal dan berat. Pakaian tradisional
itu penuh dengan detail sulaman. Wajah si mempelai wanita
sama sekali tak terlihat. Saking beratnya kerudung indah yang
membungkus rapat-rapat kepalanya, si mempelai wanita sampai
harus berjalan terbungkuk-bungkuk. Keluarga menari-nari
mengiringi pengantin. Para pemusik menabuh gendang, meniup
seruling, memainkan akordeon. Di belakang sana, patung emas
Turkmenbashi memalingkan mukanya ke atas, seolah sudah
bosan dengan hiruk-pikuk dan keriangan warga di bawah kaki-
nya. om
t.c
po
449
fantasi dan argumentasi tentang sebuah tata kota yang absurd,
aneh, sekaligus modern, kaya, rapi, sejuk, serius, misterius.
Dari atas terlihat jalan-jalan lebar dan lurus di semua pen-
juru, barisan gedung marmer dengan cita rasa arsitektur yang
megah—namun kosong, lengkap dengan taman hijau dan air
mancur. Di belakang kemegahan itu, masih ada kumpulan ru-
mah kumuh yang menjadi kontras buruk. Pola pembangunan
tipikal yang mati-matian membangun ibu kota megah dan mo-
dern, sementara kota-kota lainnya makin terlupakan dan ter-
belakang. Saya membayangkan sang Turkmenbashi sendiri ber-
diri di tempat ini, diikuti para pendukung setianya, mengeluarkan
om
dekrit-dekrit penuh mukjizat: ”Davai, kita hancurkan rumah-
t.c
rumah di sini, bangun Disneyland.... Patung-patung emas mesti
po
luar biasa. Saya masih mencoba mencari jawab akan rasa hormat
st
pu
450
berada di kota perang. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus
mengintai. Di tiap sudut jalan tentara mondar-mandir dengan
langkah tegap, menyebarkan aura keperkasaan. Tetapi aura yang
mencapai permukaan kulit justru rasa takut yang mencekam.
Setiap langkah selalu diawasi pasang-pasang mata tanpa wujud.
Setiap gerak-gerik terpantau, bahkan setiap denyut nadi dan
embusan napas di negeri ini pun sepertinya ada yang memindai.
Di negeri yang penuh nuansa represi ini, salah sedikit bisa ber-
ujung penjara.
Pusat kota Ashgabat adalah daerah yang teramat ”sensitif”.
Istana presiden yang putih mengilap berkubah emas, dikelilingi
om
puluhan gedung kementerian. Patung emas sang Turkmenbashi
t.c
adalah hiasan wajib di pintu gerbang kementerian. Juga slogan-
po
mengerikan.
st
pu
451
untuk dosa ini.) Dia melepaskan cengkeramannya. Saya meleng-
gang melanjutkan perjalanan.
Baru sampai ujung jalan, saya sudah dicegat tentara lain.
Perlakuan berikutnya sungguh tidak mengenakkan. Saya seperti
pesakitan yang digiring kasar ke kantor pusat pengamanan ke-
menterian. Seorang pejabat tinggi sudah siap di sini, menghardik,
memaksa saya menunjukkan semua isi kamera.
Untung saya sempat menghapus foto-foto ”sensitif” itu.
”Lihat, saya tidak ambil foto sama sekali!” Saya menyeringai.
Dia tidak terlalu percaya, namun tak punya bukti lain lagi.
Ah... akhirnya udara kebebasan terhirup kembali. Tapi tak
om
lama. Baru berjalan sampai ujung jalan, saya sudah ditangkap
t.c
lagi. Lagi, lagi, lagi, saya digiring ke kantor yang sama. Inikah
po
Kali ini semua data pribadi saya dicatat dengan teliti. Nama,
in
a-
452
”Kamu ngapain foto-foto di sini?” Dua tentara membentak kasar
di dekat Istana Presiden yang berkubah emas.
Berlagak bodoh. Bodoh. Bodoh. Otak saya memerintahkan
otot-otot wajah untuk melentur, memasang pandangan kosong,
berpura-pura cuma bisa melongo, lalu mengumbar senyum se-
manis madu.
”Orang Turkmenistan tinggi-tinggi ya, tidak seperti orang di
negaraku,” kata-kata bualan kosong meluncur dari bibir tebal
saya.
Berhasil! Kedua tentara tergelak-gelak, malah berbalik ber-
tanya mengapa saya pendek. Mungkin kurang makan, jawab
saya. Tawa semakin meledak. om
t.c
po
wajib militer. ”Kamu boleh potret gedung apa saja di sini. Ke-
do
in
cuali yang satu itu, yang berkubah emas. Itu istana presiden—
a-
ak
dah saya potret dari tadi, tapi tentunya saya tak bakal memberi
tahu mereka. Semoga mereka juga tidak membaca tulisan ini.
Sebagai kenang-kenangan, saya menghadiahkan lembaran uang
500 rupiah. Imbalannya, mereka berpose di depan kamera.
Cepret. Cepret. Apa lagi latar belakangnya kalau bukan istana
berkubah emas itu?
Bicara soal Abad Emas, Marat sama sekali tidak antusias. Lelaki
453
asli Ashgabat malah bosan dengan hidupnya yang biasa-biasa
saja, datar tanpa perubahan.
Baru dua puluhan umurnya, tetapi wajahnya sudah tampak
tua sekali. Mungkin kebosanan setiap hari memunculkan kerut-
kerut baru di wajahnya. ”Turkmenistan ini sama sekali bukan
tempat untuk bekerja,” keluhnya, ”tidak ada uang di sini.”
Pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Sekali mencuci mo-
bil, ia mendapat sekitar 40.000 Manat. Tidak terlalu kecil,
cukup untuk membeli tiket pesawat terbang domestik atau se-
piring nasi plov di pasar. Masalahnya, tak banyak mobil yang
bisa dicuci di ibu kota kecil ini. Apalagi sudah berapa hari ini
om
hujan turun terus. Tuhan telah memberikan layanan cuci mobil
t.c
gratis kepada para pemilik mobil, tetapi Marat berteriak ke-
po
sangat sulit, kami tak punya uang dan pekerjaan untuk bertahan
st
pu
454
dari Aral, Kaspia, hingga ke Baikal, namun kini hidupnya ter-
pasung di pojokan pasar Ashgabat.
Bangsa Rusia, sebagai penguasa, jarang tergerak mempelajari
bahasa republik yang ditinggali. Kala itu, kedudukan bahasa
Uzbek, Tajik, Turkmen, dan sebagainya adalah bahasa daerah—
bahasa kelas dua. Begitu Uni Soviet runtuh, tiba-tiba semua ba-
hasa lokal ini menjadi bahasa nasional. Bahasa kemudian men-
jadi alat diskriminasi. Bahasa nasional jadi syarat mutlak untuk
bekerja. Kebanyakan etnis Rusia otomatis kehilangan pekerjaan.
Nasionalisme di negeri-negeri Stan sungguh merupakan anti-
tesis. Padahal, masing-masing negeri itu adalah bikinan Rusia.
om
Tanpa Rusia, tak bakal lahir negeri-negeri Stan. Rusia melahirkan
t.c
republik-republik ini, menciptakan sejarah dan konsep negara.
po
Mikail. Istrinya, yang orang Turkmen asli, juga tak dapat kerja.
st
pu
455
propaganda, tentang kejayaan, masa depan yang gemilang, Abad
Emas yang membentang, welas asih Turkmenbashi, kesucian
Ruhnama, pembangunan dahsyat Turkmenistan.
Saya teringat pada ceramah pegawai kantor pos di Lumajang—
kampung halaman saya, memperkenalkan betapa pentingnya
hobi filateli bagi para pelajar di kabupaten, 15 tahun silam.
Kata filateli kini sudah semakin asing, namun pada zaman itu,
saat surat masihlah alat komunikasi utama, prangko adalah sen-
jata penting untuk memperkenalkan jati diri negara. Ingat, za-
man itu masih belum ada internet, ponsel, dan e-mail. Kesem-
patan untuk melihat negeri asing tidaklah banyak. Garis-garis
om
batas yang mengurung negeri-negeri lebih susah tertembus. Kita
t.c
hanya mendengar nama-nama negara, menghafalkan ibu kota-
po
456
Tannu Tuva, Nagaland, dan nama-nama antik lainnya yang tak
ada di peta. Gambar-gambar inilah yang begitu menginspirasi
saya untuk berkeliling dunia jika besar nanti, menginjakkan
kaki sendiri di negeri-negeri asing itu, yang semua tampak
begitu indah di atas prangko—tak ada kemiskinan, pengangguran,
kemelaratan. Utopia!
Prangko Indonesia didominasi pakaian adat dan program
Pembangunan Lima Tahun, tetapi masih kalah banyak dengan
foto Pak Presiden. Pegawai kantor pos bercerita, warga desa se-
ring menolak kalau diberi prangko yang bukan bergambar Pak
Harto, karena takut suratnya tak sampai. Kepercayaan, peng-
om
hormatan, dan penyerahan diri itu merambat sampai ke sana.
t.c
Sepertinya, Turkmenistan masih ada pada zaman itu. Inilah
po
Dengan cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar, de-
ngan penduduk hanya lima juta jiwa, dengan sifat netralitas
Turkmenistan (yang konon diagungkan oleh seluruh masyarakat
dunia), Turkmenbashi menjanjikan rakyatnya angka GDP per
kapita sama dengan Kuwait. Alih-alih menjadi Kuwait-nya Asia
Tengah, Turkmenistan malah menempuh jalan isolasi total yang
mirip dengan Korea Utara. Lebih satu dekade berselang, gaji
457
rata-rata penduduk Ashgabat masih berkutat di angka 50 dolar.
Itu pun sering terlambat berbulan-bulan. Turkmenbashi bahkan
pernah menghapuskan uang pensiun, menyebabkan para orang
tua malang terkatung-katung hidupnya. Ia juga menutup semua
perpustakaan dan rumah sakit di luar Ashgabat, menyebabkan
belasan ribu dokter kehilangan pekerjaan, dan semua pasien
harus datang ke ibu kota untuk berobat.
Ashgabat adalah showcase—kotak harta karun yang dipamer-
kan kepada sedikit orang asing yang bisa menembus ke negara
ini. Gedung-gedung pualam dan patung emas adalah wajah
yang ditunjukkan Turkmenistan ke seluruh dunia. Sedangkan
om
dunia Turkmenistan di luar kota ini begitu tertutup, nyaris tak
t.c
terjamah. Orang asing hanya boleh bepergian dengan dikawal
po
458
lah lokasi pemanjatan puja dan puji terhadap sang pemimpin
besar setiap minggu, disiarkan ke seluruh penjuru negeri oleh
televisi pemerintah. Inilah altar pemujaan, yang sepeninggal
Turkmenbashi masih terus melantunkan nyanyian pujian ke
angkasa raya.
Hari Sabtu dan Minggu sore, taman ini selalu ramai. Saya
mencoba menyelinap ke tengah kerumunan, tetapi tahu-tahu
sudah diciduk polisi.
”Hei! Kamu! Mau ke mana?” Saya mau ikut konser. Si polisi
tambah curiga, menghardik, ”Kamu dari kelas mana? Grup
mana?” tanya polisi yang satunya. Kelas? Grup? Waduh, saya
om
kan orang asing, kok ditanya grup dan kelas? Kedua polisi itu
t.c
mulai mengancam akan menjebloskan saya ke penjara. Para pe-
po
459
Turkmenistan. Para pelajar yang kebagian tugas membawa ben-
dera di tepi panggung mengumpat. Tetapi, di depan kamera TV
mereka harus tampak ganteng. Senyum terus diumbar walaupun
udara dingin menggigit.
Para pelajar Ashgabat ini, seperti halnya orang Korea Utara,
juga menyematkan bros bergambar kepala sang pemimpin di
dada kiri—lambang kesetiaan pada sang pelindung. Lagu-lagu
merdu yang mengagungkan buku suci Ruhnama berkumandang,
bergemeresik dari sound system yang suaranya sering hilang ter-
bawa angin. Gadis-gadis di barisan depan, berlengan pendek,
masing-masing memegang sekuntum bunga yang dilambaikan
om
mengikuti irama. Pasti mereka menggigil juga, tetapi hal itu ti-
t.c
dak tampak dari senyum manis yang terpancar oleh barisan gigi
po
putih.
gs
lo
Penyanyi dan penari datang silih berganti. Setiap lagu tak per-
nah lepas dari kosa kata Turkmenistan, Turkmenbashi yang
Agung, Ruhnama, Netralitas, Kemerdekaan, dan Abad Emas.
Konser ditutup dengan penampilan barisan pemuda Turk-
men yang gagah dan tinggi, mengenakan pakaian adat yang se-
perti ksatria bangsa nomad, dan semua memakai topi telpek
putih dari bulu domba yang kriwil-kriwil, persis seperti rambut
kribo Ahmad Albar. Musiknya rancak. Para penari menyepakkan
kakinya tinggi-tinggi, kuat dan perkasa, tetapi indah berharmoni.
Lalu muncul barisan gadis cantik penyebar nuansa kelembutan.
Pemuda memuja, pemudi mengumbar senyum. Tarian yang
460
demikian bersemangat, menggugah jiwa itu, diiringi musik
pujaan bagi Ruhnama dan Turkmenbashi. Kalau diterjemahkan
ke versi Indonesia, ini seperti menonton Tari Saman, tetapi di-
iringi lantunan pujian akan Pancasila, Gerakan Non-Blok, dan
Era Tinggal Landas.
Sang Turkmenbashi, yang menjadi sumber segala pemujaan
ini, tampak di mana-mana. Di belakang panggung ada poster
superbesar Turkmenbashi yang sedang bertopang dagu, terse-
nyum manis, seakan memang sedang menikmati segala puja-
puji keagungannya. Baliho bergambar buku-buku karyatama
sang Pemimpin dijajar di belakang podium, tentunya termasuk
om
Ruhnama Jilid 1 dan 2. Enam poster Turkmenbashi di panggung,
t.c
ditambah lusinan lainnya di pintu gerbang taman.
po
ada yang mengatur. Kalau diamati, para pelajar bisa dibagi lagi
st
pu
461
Kalau saja tidak ada polisi yang berpatroli di sekitar taman,
anak-anak ini pasti sudah kabur sejak tadi.
462
ahli nujum Gipsi, tersenyum manis menawarkan koleksi koin
zaman Lenin, bros palu arit, dan duit kertas Tsar.
Di tengah tanah lapang, permadani merah manyala berjajar,
ditebar dan digantung di semua sudut, membawa nuansa me-
riah pada monotonnya gurun. Karpet Turkmen, buah karya
jari-jari lincah kaum perempuan dari penjuru negeri, adalah ke-
banggaan bangsa. Desainnya berupa perpaduan warna merah
darah dengan detail ornamen geometris yang sambung-menyam-
bung. Begitu pentingnya permadani bagi bangsa ini, ada pepatah
”Bentangkanlah permadanimu, kubaca pribadimu!” Tengoklah
bendera Turkmenistan. Keindahan motif permadani pun ikut
om
muncul menghiasi dominasi hijau dan bulan bintang. Turkmen-
t.c
bashi bersabda, peradaban karpet menjadikan bendera Turkmen
po
pria Turkmen sejati tak akan pernah lepas dari telpek. Mekan
Ataliew, pedagang telpek, tersenyum lebar begitu tahu saya dari
Indonesia. ”Kamu tahu, dulu ayahku pembuat telpek terkenal di
seluruh Turkmenistan. Ayah pernah diminta Turkmenbashi un-
tuk membuat telpek istimewa untuk presidenmu ketika datang
berkunjung,” ujarnya bangga, ”Turkmenbashi menghadiahkan
telpek bikinan Ayah kepada Suharto. Sampai hari ini aku masih
menyimpan guntingan koran dan majalah tentang berita itu!”
Saya baru tahu Suharto pernah ke Turkmenistan. Ada ke-
bahagian terpancar dari bola mata Mekan, kebahagiaan karena
berkesempatan berbakti pada sang Pemimpin. Ataukah rasa
463
gembira Mekan meluap karena menemukan teman seperjuangan?
”Turkmenbashi adalah pemimpin yang baik,” kata Mekan,
”dan saya yakin Suharto juga demikian.” Karena menganggap
saya sebagai pengikut setia Suharto yang datang dari negeri se-
berang, Mekan mengikuti jejak ayahnya—menghadiahi saya
sebuah telpek kualitas tinggi, yang hangat di musim dingin dan
sejuk di musim panas.
Biarlah Mekan tetap bahagia dalam keyakinannya.
Matahari mulai meredup keperkasaannya. Tolkuchka Bazaar
pun mulai berkurang ingar-bingarnya. Para pedagang permadani
mulai menggulung tikar-tikar cantik merah manyala, mengan-
om
tarkan padang pasir ini kembali pada alamnya yang asli.
t.c
po
gs
lo
.b
do
464
sini, yang mengisi mimpi bocah-bocah Turkmen, generasi masa
depan Abad Emas, semuanya berasal dari hikayat dan khazanah
kesusastraan Turkmen yang tiada bandingnya di dunia. Saya tak
mengenal siapa itu Bovenjyk dan Akpamyk, apalagi Jabpaki dan
Khudaiberdi-gorkak. Tetapi tokoh-tokoh alam khayal Turkmen
inilah yang mengiring tidur bocah-bocah dari Ashgabat hingga
ke Turkmenabat, dari Kaspia hingga ke pedalaman gurun Ka-
rakum.
Ingin sekali hati ini ikut larut dalam kebahagiaan para bo-
cah, yang terpancar dari pekik gembira ketika roller coaster versi
Turkmen menukik tajam. Tetapi apa daya, ibu penjual tiket tak
om
mau diajak bekerja sama. Beliau dengan gagah menunjuk papan
t.c
pengumuman—harga tiket untuk ”kawan-kawan” manca negara
po
465
kemegahan ini adalah perumahan dari kota kecil di ujung ne-
geri adikuasa, apartemen kumuh dan rumah tua berderet. Seka-
rang, ke manakah orang-orang itu pergi? Menghablur ke udara
bebas?
Turkmenbashi tak perlu diajak tawar-menawar kalau soal
pembangunan, rekonstruksi, dan pengejahwantahan Abad
Emas. Semua datang seperti mukjizat Candi Loro Jonggrang.
Hari ini ilham turun, besoknya penduduknya dikosongkan, be-
soknya lagi bangunan megah sudah berdiri. Demikian Ashgabat
berganti wajah setiap hari. Ada yang gembira ria, menerobos
angin dengan kereta roller coaster ke awang-awang. Ada pula yang
om
dalam semalam langsung melarat, atas dalih kepentingan
t.c
umum, kepentingan nasional.
po
466
was membayangkan kalau pemerintah tiba-tiba punya ide fan-
tastis lain lagi.
Ini adalah dunia yang penuh fantasi. Mimpi indah bersama
tokoh-tokoh khayal peradaban agung kini menjadi nyata, men-
janjikan tawa riang generasi muda Abad Emas sebagai manusia
paling beruntung di muka bumi.
Tetapi, sayang, dunia tak seindah fantasi.
lah dunia yang nyaris sempurna. Hanya saja, rakyatku, ada satu
gs
lo
467
jika ia terlupakan dalam sejarah? Bagaimana? Bagaimana? Sejuta
bagaimana menjadi mimpi buruk setiap malam.
Dan tembok-tembok itu semakin tinggi. Garis batas semakin
menebal. Patung-patung terus berdiri. Peraturan makin menge-
kang.
Semua untuk melindungi jiwa yang menggigil ketakutan.
468
tambah teras berdiameter 10 meter, dan dikelilingi 27 patung
pahlawan yang mengiringi sejarah bangsa Turkmen. Tentu saja
yang mendominasi adalah emas mengilap: patung Turkmenbashi
dikelilingi lima elang yang masing-masing berkepala lima. Dua
tentara Turkmen mengawal patung-patung. Di ujung utara, ber-
diri piramida tinggi ala Turkmenistan, dari pualam putih, ber-
mandi air yang mengucur dari puncak kelima sisinya (yang ini
disebut sebagai ”Si Kaki Lima”). Konon ini adalah air mancur
terbesar di dunia, salah satu keberhasilan Turkmenistan di kan-
cah internasional. Padahal negeri ini adalah didominasi gurun
gersang, di mana air seharusnya lebih berharga daripada minyak,
om
tetapi air tampak meluber di berbagai penjuru kota.
t.c
Untuk siapa keajaiban-keajaiban kelas dunia ini dibangun?
po
Untuk dunia? Ah, nyaris tak ada orang asing yang datang, pintu
gs
lo
469
dunia dari Prancis. Tentu saja ini bisnis yang teramat menggiur-
kan, di mana lagi ada Pemimpin Agung punya terlalu banyak
uang untuk dihamburkan sampai bingung mau dibuang ke
mana?
Apakah ini mimpi Abad Emas itu? Lihatlah peninggalan
Turkmenbashi bagi warganya ini. Gedung-gedung megah namun
bisu. Hotel-hotel kelas dunia yang hampir selalu kosong. Patung-
patung... monumen-monumen.... Semuanya serba superbesar,
supermegah, dan supermodern.
Tetapi yang terasa cuma kesenyapan yang menggelitik bulu
roma.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
470
MARI SUCIKAN JIWA
di puncak kepalanya.
lo
.b
dolar.
ak
st
471
Ruhnama adalah jawaban akan segala hal. Turkmenbashi
mewajibkan anak sekolah hingga mahasiswa untuk menghafalkan,
menghayati, dan mengamalkan Ruhnama. Jeyhun sangat bangga
dengan pendidikan di negerinya. ”Universitas di Turkmenistan
semuanya gratis. Bukan hanya gratis, kami malah dibayar oleh
pemerintah, satu juta Manat sebulan.” Tak heran dengan gaji
yang setara dengan pendapatan rata-rata penduduk, para maha-
siswa mampu membeli jas mahal untuk meningkatkan penam-
pilan mereka.
Jeyhun tak putus menyebutkan nama-nama pahlawan agung,
seperti Oguz Khan, sang Bapa orang Turkmen yang memulai
om
peradaban dunia, juga pujangga Magtymguly dan pejuang Arp
t.c
Arslan. Dalam benaknya, seperti yang diajarkan dalam buku
po
472
kan seluruh kota, dan menewaskan hampir semua penduduknya.
Di pusat kota Ashgabat, dibangun museum untuk mengenang
tragedi besar ini. Berdiri pula monumen berwujud kerbau ga-
rang dengan tanduknya yang menyangga bumi. Bayangkan
bumi yang kita injak ini berada di ujung tanduk, tentu saja
akan bergoyang hebat. Itulah perlambang gempa Ashgabat. Di
atas bola bumi yang berguncang, duduk seorang bayi emas, yang
kemudian akan menyelamatkan umat manusia dan alam se-
mesta. Coba tebak siapa dia? Tak salah, Turkmenbashi! Sang
pemimpin selamat dari gempa mematikan, dibesarkan di panti
asuhan Soviet, menjadi sekretaris jenderal Partai Komunis,
om
kemudian bangkit memimpin umat manusia memasuki Abad
t.c
Emas.
po
Semua anak Turkmen pasti tahu kisah ini, karena ini ter-
gs
lo
berita sekilas yang lewat seperti angin lalu. Tidak ada kata Indo-
ak
473
Televisi Turkmenistan punya sajian khusus setiap hari: Pem-
bacaan dan Diskusi Ruhnama. Seorang perempuan dengan pa-
kaian tradisional berdiri di depan layar kaca, dengan sebuah
kitab tebal Ruhnama di hadapannya. Di belakangnya, bola du-
nia raksasa berputar, diiring kibaran bendera hijau berhias per-
madani Turkmenistan. Sang pembaca kitab kemudian membuka
sebuah halaman, membacakan petikan ”ayat” Ruhnama yang
mengetuk sanubari, untuk direnungkan oleh semua umat bumi
Turkmenia. Diskusi diperlukan untuk mengupas keluhuran isi-
nya, memuja keluarbiasaan sang penulisnya. Acara dilanjutkan
dengan seorang penyanyi cantik berkepang dua dan bertopi
om
tahia menyanyikan pujian, dan belasan gadis anggun lainnya
t.c
memainkan alat musik yang diresonansikan dari rongga mulut.
po
semua warnet di kota ini, dan sekarang cuma ada satu warnet
ak
474
kapitalis? Padahal sejatinya tembok dibangun untuk mengurung
warga komunis rapat-rapat dalam ”surga” mereka.
Bagi manusia yang terkurung garis batas, eksistensi garis ba-
tas itu begitu penting. Mereka siap mempertaruhkan jiwa-raga
demi batas-batas yang mereka imani. Dalam kenyataannya,
batas-batas itu tak hanya fisik, tetapi juga harus kukuh secara
spiritual. Simbol-simbol bermunculan. Bendera. Lagu kebang-
saan. Adat nasional. Sejarah. Ideologi. Pahlawan. Agama. Ke-
banggaan. Mempertahankan simbol-simbol sama pentingnya
dengan mempertahankan batas-batas. Itulah nasionalisme. Itu-
lah patriotisme.
om
Negeri-negeri otoriter tidak hanya menyegel batas-batas fisik
t.c
negeri mereka, tetapi juga batas imajiner. Pengetahuan, infor-
po
Orang hanya boleh tahu apa yang penguasa ingin mereka tahu.
.b
do
475
otak. Hidup laksana di surga itu tak lebih dari antrean panjang
orang kelaparan dengan sekeping kupon beras, sementara di
negeri asing toko-toko dibanjiri makanan.
Bagi sebagian negeri, internet adalah berkah. Bagi yang lain,
adalah momok. Beberapa negeri berusaha menyumbatnya, mu-
lai dari pemblokiran situs sampai pelarangan total. Tetapi sam-
pai kapan batas-batas yang diciptakan sejak zaman dahulu itu
mampu menahan terjangan informasi? Bukankah Tembok
Besar Cina dan Tembok Berlin, yang dulu begitu kukuh me-
misahkan, kini sudah kehilangan fungsinya sebagai garis batas?
Negeri yang tertutup malah semakin tertutup. Korea Utara
om
dan Turkmenistan mengisolasi diri, semakin memperkuat garis
t.c
batas mereka, semakin mengurung rakyatnya dalam ide-ide ne-
po
476
berabad-abad dinantikan kedatangannya. Bukan hanya ditulis
dalam bahasa Turkmen, tetapi juga ada versi terjemahan bahasa
Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Cina, Jepang, Arab, Hungaria,
Ceko, Korea, Hindi, Thai, sampai Zulu. Lebih dari 25 bahasa
dunia. Tentunya kita juga tidak sabar menantikan terbitnya
edisi bahasa Indonesia atau Jawa. Turkmenbashi juga berhasrat
cita-cita dan buah pikirannya dibaca seluruh umat manusia, se-
bagai sumbangsih negerinya pada peradaban di muka bumi. Sa-
king getolnya, penerjemahan Ruhnama seakan menjadi syarat
tak tertulis bagi perusahaan asing untuk memenangkan tender
investasi di negeri ini.
om
Turkmenbashi adalah pemimpin yang murah hati. Terjemah-
t.c
kan bukunya, maka Anda akan mendapat hibah jutaan dolar.
po
477
yang memperkenalkan nilai luhur kemanusiaan dan perdamaian
kepada dunia. ”Ruhnama harus menjadi pusat alam semesta. Dalam
semesta ini, semua masalah kosmik dari masa sekarang dan masa de-
pan terus berputar, dalam gaya tarik, gaya sentripetal, dan orbit
Ruhnama.” Demikian termaktub dalam kitab agung itu.
Sebenarnya, interaksi antara Turkmenbashi dengan dunia
antariksa sudah dimulai jauh sebelumnya. Tahun 1998 ketika
rakyat Turkmenistan sedang merayakan peringatan pengangkatan
Turkmenbashi sebagai presiden, negeri ini mendapat kado dari
angkasa luar. Sebuah meteor seberat 300 kilogram mendarat.
Para ilmuwan pun yakin ini adalah sebuah pertanda alam, se-
om
buah dukungan dari angkasa raya pada netralitas Turkmenistan.
t.c
Meteor itu pun dinamai—seperti yang Anda duga—Turkmenbashi.
po
Turkmen. Buku ini adalah buku wajib bagi semua warga negara,
in
a-
dari balita hingga orang jompo. Sudah tak terbantah lagi ke-
ak
478
dan ”Takdir Turkmen adalah Takdirku.” Pasti untuk murid-mu-
ridnya yang tidak sabar menantikan santapan rohani disuapkan
di ruang kelas.
Di masjid, selain ada Al Quran, alim ulama pun tak lupa
memberi dakwah dengan menyitir Ruhnama. Dinding masjid
berhias petikan ayat Al Quran dan kalimat-kalimat Ruhnama.
Orang diambil sumpah dengan Quran bersama Ruhnama. Ini
bukan buku biasa!
Presiden Turkmenbashi pernah bertitah, ”Saya sudah me-
minta Allah untuk mengizinkan orang yang membaca Ruhnama
tiga kali supaya langsung masuk surga.” Dalam Ruhnama,
om
Turkmenbashi berulang kali menekankan jangan sekali pun
t.c
menyamakan Ruhnama dengan Al Quran, karena Ruhnama
po
479
doa agar ilmunya dapat diresapi dan diamalkan. Mereka pun
menciumi buku ini dengan penuh perasaan.
Islam bercampur aduk dengan segala mukjizat Turkmenbashi.
Di satu sisi, saya melihat ibu-ibu tua mendirikan salat di sudut
pasar yang ramai. Di sisi lain, seorang gadis muda penjaga kafe-
teria yang bangga sebagai Muslim Turkmen mengaku tidak tahu
artinya kalimat laillahaillalah. Dengan jujur si cantik beralasan
belum belajar bahasa asing. Sementara masjid-masjid besar terus
dibangun di Ashgabat, tetapi selalu nyaris tidak ada jemaah
sama sekali.
Turkmenbashi, yang dulunya pentolan partai komunis
om
Soviet, kini mendengungkan Islam sebagai ciri khas bangsa
t.c
Turkmen. Dari seorang komunis sejati, beliau tiba-tiba berubah
po
480
ditulis dengan bantuan ilham yang dikirimkan langsung ke hatiku,
oleh Tuhan yang menciptakan alam semesta yang agung dan mampu
melakukan apa pun yang Ia inginkan, adalah kitab Ruhnama bangsa
Turkmen.”
Demikian sang Turkmenbashi memulai tulisan sepanjang
400 halaman untuk membuka jalan bagi roh-roh bangsa
Turkmen. Dalam keheningan malam, saya mulai membalik lem-
baran Ruhnama. Kitab dibuka dengan foto sang presiden
Turkmenbashi, sang penulis agung. Dilanjutkan gambar bendera
hijau Turkmenistan dengan permadaninya, dan lambang negara
dengan kuda Altheke—spesies kuda yang hanya ada di Turkme-
om
nistan. Berikutnya, lambang kepresidenan berupa elang ber-
t.c
kepala lima. Bagian utama kitab ini adalah ratusan halaman
po
481
alam Oguz Khan, Gorkut Ata, Alp Arslan, Meliksah, Sultan
Sanjar, Gorogly dan Magtymguly, nama-nama yang begitu asing
tetapi justru adalah ”nabi” suci bagi orang Turkmen. Negeri
bangsa Turkmen terbentang dari Turkmenistan sampai Armenia,
Iran, Khwarezm, Turki, Azerbaijan, dan Afghanistan. Pemimpin-
pemimpin dalam sejarah dunia, mulai dari Sultan Mahmud
Ghaznavi di Afghanistan, raja-raja Dinasti Qajar di Iran, sampai
Ottoman di Turki. Turkmen adalah pusat dunia, tak terbantah-
kan.
Nasionalisme membuat orang percaya dan bangga mempunyai
sejarah yang agung, masa lalu gemilang, negeri yang dipuja se-
om
mua bangsa, dan nenek moyang yang merambah sampai ke se-
t.c
luruh penjuru bumi.
po
42
Akhiran –ov dalam nama bergaya Rusia menjadi –ow dalam ejaan Turkmen.
482
tawanan Rusia yang komunis. Sang kakek, Annaniyaz Artyk,
mengilhami novelis Turkmen menuliskan kitab penuh puja dan
puji tentang taman surgawi buatan Annaniyaz yang menggambar-
kan perjalanan spiritual bangsa Turkmen.
Keluarga sangat penting artinya bagi Turkmenbashi. Beliau
menulis satu bab penuh tentang bagaimana keluarga Turkmen
seharusnya. Ayah punya hak-hak yang datang dari Allah. Ibu
hendaknya seperti Siti Hawa dan Bunda Maria. Anak-anak ada-
lah generasi penerus. Pesan utama Turkmenbashi, ”Senyum da-
pat mengubah lawan menjadi kawan. Ketika malaikat maut mengintai,
tersenyumlah, dan ia akan pergi meninggalkanmu, saya yakin itu.”
om
Teknik ini sudah terbukti manjur ketika saya ditangkap ten-
t.c
tara Turkmen.
po
483
jadi realita. Saat pertama kali membaca, kita mungkin masih
tergelak. Dua kali, ”Ah, masa sih?”. Sepuluh kali, kita mulai
bertanya, ”Jangan-jangan itu benar?”. Seratus kali, ”Itu semua
benar adanya...”. Setelah beribu kali membaca, dan jutaan
orang di sekeliling manggut-manggut semua, hal yang semula
tiada pun diterima menjadi fakta. Orang biasa bisa menjadi
pahlawan, negeri bobrok bisa disulap jadi negara makmur, masa
depan suram dipercaya sebagai abad gemilang. Betapa dahsyatnya
kekuatan itu! Demikian ideologi, sejarah, kebanggaan, identitas,
nasionalisme, iman tercipta.
Selama 15 tahun berkuasa, Turkmenbashi menciptakan
om
Turkmenistan yang berpusat pada dirinya. Negeri dikurung,
t.c
informasi disumbat, orang-orang dicekoki ramuan propaganda,
po
484
Majalah Diyar, corong utama suara pemerintah Ashgabat,
edisi Januari 2007 berwajah sangat muram. Isinya hanya tentang
kepergian Turkmenbashi, mulai dari pemakaman akbar di Mas-
jid Agung sampai bela sungkawa dari berbagai lapisan masya-
rakat. Juga ada puisi-puisi dari rakyat jelata yang berisi tangisan
kesedihan tiada terperi akan bencana yang tiba-tiba ditimpakan
ke atas bangsa mereka. Bendera Turkmenistan dan foto besar
Saparmurat sang pemimpin menghiasi sampul depan, yang tam-
pil dalam tiga bahasa: Turkmen, Inggris, dan Rusia.
485
KEMBALI KE ALAM NORMAL
Turkmenbashi.
gs
lo
kota, dengan wajah, sorot mata, ekspresi, dan emosi yang sangat
do
in
43
Kelak pada tahun 2010, Gurbanguly memerintahkan penurunan patung emas
Turkmenbashi yang berputar 360 derajat dan pembongkaran menara ”Si Kaki
Tiga” Arch of Neutrality.
486
Hari ini, dengan berat saya harus meninggalkan ”kota cinta”
Ashgabat. Hiruk-pikuk lautan manusia memenuhi stasiun ke-
reta. Kereta hijau panjang teronggok. Beribu calon penumpang
gelisah menunggu keberangkatan, sedang para petugas berse-
ragam masih bergeming menjaga gerbong.
Festival Navruz Bairam, yang datang besok lusa, adalah
alasan utama keramaian kerumunan ini. Navruz, dari Bahasa
Persia, berarti Hari Baru, peringatan datangnya musim semi
yang ditandai dengan posisi matahari di titik balik utara, jatuh
pada tanggal 21 Maret. Navruz adalah hari pertama dalam pe-
nanggalan Samsiah Persia, yang sudah ada sejak zaman Zarasustra
om
sebelum Islam. Ini adalah tahun barunya orang Persia, yang
t.c
kemudian juga menjadi tradisi Asia Tengah. Dari Turki hingga
po
487
sah payah saya berhasil melintas gerbong. Tempat duduk berupa
bangku kayu keras. Penumpang tak bertiket juga diizinkan naik,
tetapi ada kuotanya. Histeria pun dimulai. Ibu-ibu, anak-anak,
dan para pria mempertontonkan sisi keganasan, tak segan se-
jenak melupakan harkat kemanusiaan untuk mencapai seutas
tujuan. Tendangan, dorongan, tarikan, cakaran, teriakan nya-
ring, tangisan pilu, sumpah serapah, bercampur jadi satu.
Setelah gerbong penuh sesak, dengan dingin petugas mem-
banting pintu. Di luar sana, anak-anak dan ibu-ibu yang mena-
ngis histeris, berteriak frustrasi. Kereta mulai bergetar, bergerak
lambat-lambat. Tiba-tiba dari dalam gerbong meletus tangisan
om
bocah perempuan yang menyayat hati. Si bocah berhasil masuk,
t.c
tetapi ibunya terjebak dalam perjuangan sikut-sikutan, tertinggal
po
Ashgabat.
in
a-
488
penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya—orang
asing yang khusyuk membaca kitab suci bangsa Turkmen. Se-
orang lelaki antusias melantunkan lagu kebangsaan, ”Ciptaan
agung sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan
cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya....”
”Ssst...!!!” Penumpang lain menyuruhnya diam. Mereka ber-
bisik-bisik dalam desisan yang tidak saya pahami. Pandangan
mata mereka terhunus kepada saya, memicing, tidak bersahabat.
Apakah dosa menyanyikan lagu kebangsaan di hadapan orang
asing? Apakah kereta bukan tempat yang terhormat? Ataukah,
lagi-lagi, apakah saya dicurigai sebagai mata-mata?
om
Kereta merayap lambat. Saya terpaku di bangku kayu keras,
t.c
terimpit dan terdempet. Seorang pria dengan lugunya tertidur
po
jah saya. Dalam kegelapan dan kesesakan ini orang bisa tidur
st
pu
489
Ingat kata-kata Rita dulu, saya tak berani menjawab macam-
macam. Bukankah di sini di mana-mana ada ”telinga”? Lagi
pula, siapalah saya? Saya tak punya kuasa dahsyat macam
Turkmenbashi untuk menentukan masa depan Turkmenistan.
Yang terucap dari mulut saya hanya tiga kata, ”Saya tidak tahu.”
Ia mendesah.
Puluhan orang berbaris di depan pintu gerbang perbatasan.
Satu per satu mereka diizinkan masuk ke dalam balairung
utama. Ketika tiba giliran saya, pertanyaan-pertanyaan mengejut-
kan langsung menyergap.
”Kamu tadi baru datang dari Ashgabat, kan?” tanya polisi
perbatasan itu. om
t.c
”Benar, Pak,” jawab saya.
po
490
Perbatasan Uzbekistan harus ditempuh dengan marshrutka
saking jauhnya. Petugas imigrasi tenggelam mengamati lembar
demi lembar paspor saya. Lama sekali. Dilihat di bawah lampu
UV, diterawang di awang-awang, diamat-amati lagi. Sekarang gi-
liran bea cukai Uzbek yang sama telitinya memeriksa obat-
obatan dan ”buku-buku agama” saya.
Tak terasa, lebih dari satu jam saya masih tersangkut di per-
batasan Uzbek. Orang Turkmen melenggang begitu saja tanpa
diperiksa karena mereka adalah warga daerah perbatasan yang
hampir setiap hari melintas batas, bebas visa selama tiga hari.
Pos imigrasi ini ramai oleh pedagang dan sangat rawan penye-
om
lundupan minyak murah meriah dari Turkmenistan.
t.c
Gara-gara tersangkut di perbatasan, saya terpaksa harus naik
po
dolar.
.b
do
jauhnya.
Garis batas itu ternyata berupa ”rasa aman”. Di seberang
perbatasan sana, kebutuhan hidup tercukupi. Semua murah, se-
mua gratis. Masih ada pula seorang pemimpin yang dijadikan
panutan hati, buku suci yang jadi pegangan hidup. Otak tak
lagi bergulat, tersumbat oleh berbagai jaminan sosial. Kekha-
watiran terkubur euforia pemujaan simbol-simbol. Filosofi hi-
dup terbenam dalam doktrinasi buku panduan. Masa depan
bukan tanda tanya, melainkan kepastian Abad Emas. Rasa
aman, betapa mahalnya rasa itu, meski (memang) harus ditebus
dengan ketidaktahuan.
491
Uzbekistan menyambut saya dalam bentuk keluh kesah
lelaki penumpang taksi yang cemas dengan datangnya festival
Tahun Baru.
”Harga daging sapi sekarang.... Harga roti sekarang.... Harga
bensin sekarang....”
Terjun dari mimpi-mimpi Abad Emas dan fantasi negeri
utopis, kembali ke kegersangan dan kesengsaraan alam fana,
memang sakit. Sesakit orang yang terbangun dari mimpi yang
begitu sempurna, lalu kembali ke kehidupan yang miskin papa.
Tetapi hati ini begitu gembira, saya sudah kembali ke alam
normal!
om
”Harga kue tart sekarang.... harga vodka sekarang.... Gaji
t.c
kita sekarang.... Kamu bisa bawa aku ke negaramu, Brat?”
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
492
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
Epilog
t.c
om
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
KEMBALI
KE SEBERANG SUNGAI
om
JEMBATAN Persahabatan melintangi Amu Darya, meng-
t.c
hubungkan Uzbekistan dengan Afghanistan. Kaki saya berat
po
495
Tahun 1989, setelah sepuluh tahun pendudukan, tank ter-
akhir Soviet melintas jembatan ini. Kali ini berbalik arah, kem-
bali ke arah garis batas negeri raksasa itu. Afghanistan gagal
ditundukkan. Negeri kecil itu ternyata punya banyak pejuang
yang bertempur mati-matian ala basmachi, gerilyawan dari peda-
laman Ferghana yang dihadapi tentara Merah seratusan tahun
lalu.
Dua tahun sesudahnya, Uni Soviet runtuh. Lahirlah Taji-
kistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan,
menambah warna-warni peta dunia.
Saya termenung di hadapan Jembatan Persahabatan. Di bela-
om
kang sana, saya meninggalkan semua kenangan tentang saudara-
t.c
saudari Stan. Tentang gadis-gadis molek bergigi emas. Tentang
po
gung.
Di hadapan, di seberang sungai sana, adalah Republik Islam
Afghanistan. Semua memori tentang Afghanistan diputar kem-
bali. Gunung tandus. Selimut debu. Bongkahan mimpi. Tatap
mata tersembunyi di balik cadar. Ledakan bom. Gelap malam
yang pekat. Jubah kumal. Bocah kelaparan. Padang hijau.
Berat rasanya langkah ini. Jembatan Persahabatan, semanis
apa pun namanya, adalah ironi tentang takdir Asia Tengah yang
kini hanya menjadi bidak-bidak catur bangsa-bangsa asing. Ne-
gara, republik, etnis, suku bangsa, bahasa, sejarah masa lalu,
pahlawan nasional, nasionalisme.... Semuanya adalah konsep
496
semu, bak pakaian kebesaran yang mengaburkan hakikat ke-
manusiaan. Konsep-konsep semu ini kemudian membawa seng-
keta, kebencian dan pertumpahan darah—sebuah ”persahabatan”.
Negeri-negeri Stan mencari identitas kedaulatan, menghapus
masa lalu Soviet. Sementara Afghanistan di seberang sana juga
berjuang, merangkak bangkit dari reruntuhan perang yang di-
sulut oleh Soviet.
Persahabatan.... Ah, betapa indahnya nama itu.
Anda berdiri orang asing yang aneh. Bajunya lusuh dan kumal,
.b
do
fasihnya. Dan satu lagi, pemuda kecil ini tidak punya dokumen
lengkap. Maka yang Anda lakukan adalah:
Biarkan saja, dia turis yang mengunjungi Tajikistan.
Membantunya, menyediakan tempat yang hangat di rumah,
karena dia adalah tamu terhormat.
Mengusirnya. Orang ini berbahaya.
Tangkap. Dia itu mata-mata. Spion.
Jika Anda memilih D, maka Anda mungkin salah satu dari
sepuluhan tentara yang meringkus saya di perbatasan Tajikistan,
mengepung saya di ruang gelap, dan mengancam akan men-
jebloskan ke penjara.
497
Sebenarnya saya memulai pagi ini dengan riang gembira.
Saya kembali ke Ishkashim, kota perbatasan Afghanistan di se-
berang Sungai Amu Darya. Dua tahun berlalu, kota kecil ini
tak banyak berubah. Masih jalan berdebu yang sama, kota malas
yang sama. Sejuk, dingin, membuat ngantuk. Tetapi sekarang
lebih banyak toko berjajar, menandakan perekonomian Afgha-
nistan yang mulai menggeliat setelah bergelut perang begitu
lama.
Tetapi, hingga pukul sembilan, kota ini masih sepi. Apakah
semua penduduk di sini malas, hingga sesiang ini masih ber-
kemul selimut tebal? Bukan. Hari ini hari Minggu, hari pem-
om
bukaan pasar bersama Afghanistan dan Tajikistan. Hari Bazaar
t.c
Mushtarak. Sementara Gulchera dan Yodgor di Langar sana me-
po
498
sebagai tempat wajib dikunjungi untuk mengintip negeri miste-
rius Afghanistan. Kamera tidak berhenti memotret pria-pria ber-
serban—atraksi unik tersendiri. Afghanistan, nama itu saja su-
dah cukup untuk membangkitkan segala romantika.
Entah mengapa, ada rasa bangga bergabung bersama para
lelaki Afghan berjenggot ini. Tinggal selama dua tahun di
Afghanistan membuat saya merasa setidaknya sebagian dari diri
saya sudah menyatu dengan mereka. Ada identitas ke-Afghan-an
yang menggebu ketika saya menyapa orang-orang Tajik itu.
”Orang Afghan selalu berperang. Mereka tidak berpendidikan
dan tidak bisa baca-tulis. Tetapi sekarang, kami bisa saling me-
om
lihat, saling belajar. Tidak ada lagi batas di antara kami,” kata
t.c
perempuan Tajik dengan penuh semangat, ”mereka juga ekspre-
po
499
vodka. Vodka? Ya, inilah kesempatan orang Afghan untuk men-
cicip minuman terlarang itu.
Wanita Tajik terkenal sangat gigih menawar dan jago memaki
pedagang yang curang. Banyak di antara mereka yang memakai
kerpus, tetapi seorang perempuan muda membungkus kepalanya
rapat-rapat dengan kain hitam, mirip ninja yang hanya menyisa-
kan mata. Anehnya, leher putih mulusnya dibiarkan terbuka,
sementara tubuhnya dibalut daster biru lengan pendek.
Ia tergelak ketika saya mengamatinya. ”Tentu aku tidak ber-
pakaian seperti ini di Tajikistan. Aku cuma takut orang Afghan.
Di Afghanistan cuma ada perang. Mereka fundamentalis, aku
takut wajahku terlihat.” om
t.c
Ia lalu menatap saya lekat-lekat. ”Tunggu! Sepertinya aku
po
kenal kamu!”
gs
lo
500
Saya dikepung tentara Tajik. Kini saya menyesal karena terlalu
bersemangat sampai lupa bahwa pasar internasional ini pun
adalah ”luar negeri”. Pertemuan dengan Gulshan membuat saya
bagai terbang ke awang-awang. Begitu pulang dari pasar, saya
menyapa para tentara Tajik, ”Privet! Salom! Yakshimisiz!”
Mereka ramah, menanyai saya dari mana mau ke mana. Per-
cakapan ini campur aduk antara bahasa Rusia, Inggris, Dari,
Tajik, dan Uzbek. Tiba-tiba wajah mereka berubah. Dahi me-
ngernyit, alis menegak seperti huruf V. ”Siapa kamu?” tanya
om
pemuda kurus. Mukanya panjang. Bulu-bulu badan menyembul
t.c
dari balik dadanya, menyelinap keluar kausnya yang bergaris pu-
po
gs
501
Komandan, bernama Vali dan bekas agen KGB, membolak-
balik paspor saya. Ia memandang paspor, lalu wajah saya, lalu
ke paspor lagi, lalu ke wajah saya lagi. ”Hmmm... foto paspor
kamu tidak mirip. Kamu yakin ini paspormu?”
Sekarang ia terbelalak melihat barisan visa Iran, Afghanistan,
dan Turkmenistan.
”Avgustin! Nama yang bagus sekali. Kamu tahu, ulang tahun-
mu hanya beda satu hari dengan anakku. Kamu tahu apa artinya
itu?” Ia bercakap dengan nada yang begitu bersahabat.
”Ya. Suatu hari nanti anak Tuan juga bisa bicara banyak ba-
hasa. Orang-orang yang dilahirkan dalam hari yang sama biasa-
nya punya bakat yang sama.” om
t.c
Lelaki gendut gagah itu tergelak, menggelegar, ”Pintar sekali!
po
anak baik, tetapi apa lagi yang bisa saya lakukan? Kamu telah
.b
do
502
Visa itu adalah tiket pembukti status tamu. Saya bukan tamu.
Bahkan untuk menginjakkan kaki di atas tanah lempung ini
pun saya tak berhak. ”Tetapi, Tuan, sebelum masuk tadi,
komandan Afghan sudah mencatat nama saya. Mereka bilang
tidak ada masalah.”
”LEPASKAN DIA!!!” Lelaki berjenggot berseragam kelabu
dan bertopi pet datang tergopoh-gopoh, membentak
menggelegar. Namanya Abdul Khalil, komandan perbatasan
Afghanistan. Ialah pahlawan saya.
Vali bersikukuh. ”Tidak bisa. Orang ini melanggar batas,
masuk tanpa dokumen resmi ke bazaar mushtarak.”
om
”Orang ini punya paspor. Bagaimana kamu bilang ia
t.c
po
penyelundup?”
gs
Tidak peduli ia orang dari negara mana pun, asal punya visa
pu
503
surat dari Dushanbe, dikirim langsung ke komandan di Kabul,
menyatakan pasar ini hanya untuk orang Afghanistan dan Taji-
kistan saja. Kalau tidak ada surat itu, kamu tidak usah macam-
macam dengan tamu kami. Kamu jangan cari masalah dengan
Afghanistan!”
Abdul Khalil mendengus kesal, menggandeng saya keluar
dari kantor gelap. Perasaan saya campur aduk, antara takut,
syok, dan bangga. Konsep orang Afghan untuk melindungi
tamu ternyata bukan pemanis bibir belaka. Afghanistan telah
menyelamatkan saya.
Bazaar mushtarak adalah pertemuan dua bangsa yang ter-
om
pisah oleh garis batas. Tetapi, garis batas itu tetap ada di sana.
t.c
po
mengalir perlahan.
lo
.b
geri besar Iran dan Turan, tempat sang pahlawan Rustam mem-
st
504
kadang tenang, terkadang menggelegak marah. Terkadang lebar
bak tak berbatas, terkadang mengerut diisap dinginnya musim.
Tetapi ia terus mengalir, karena ia adalah Amu Darya sang
pemisah takdir.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
505
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Rahmat
bukumu terbit?”
ak
st
507
Sebuah proses yang begitu panjang... seakan tanpa akhir...
seakan tak berbatas.
Tetapi bagi Mama yang kuyu di hadapan saya, saya tahu,
batasnya hampir habis. Sebentar lagi ia akan terpisah dari ke-
hidupan ini. Ia akan melintasi sebuah garis batas—sebuah garis
yang rigid dan tak tertembus, garis yang biasa diiringi dengan
uraian tangis dan ratapan.
”Kapan bukumu terbit?” Mama bertanya. Saya berjuang ke-
ras menahan air mata yang membeludak di balik kelopak. Ia
berada dalam penantian panjang di tepian garis batas.
Buku ini hanyalah sebagian mikroskopis dari fragmen ke-
om
hidupan Mama. Bertahun-tahun dihabiskan dengan penantian
t.c
dan doa, mendambakan putranya yang melanglang di negeri
po
yang menitikkan air mata. Jarak adalah sebuah garis batas, te-
ak
508
ide desainnya yang luar biasa, serta Gramedia Pustaka Utama
yang bermurah hati untuk menerbitkan buku ini. Tak lupa pula
untuk Mbonk Margianto di Kompas yang tertarik untuk me-
mublikasikan perjalanan ini.
Terima kasih banyak untuk kawan-kawan dari milis Indo-
backpacker yang juga menjadi editor sukarela dari buku ini:
Ambar Briastuti, Mas Puguh Imanto, Suryatmaning Hany,
Sunaryo Broto, plus mas Qoris Tajuddin dari U-Mag. Akhirnya,
setelah dua tahun, tulisan ini terbit juga.
Tak lupa pula rasa terima kasih yang terdalam untuk Maria
Asten, yang begitu setia mengikuti perjalanan saya, dan memberi
om
bantuan yang tak terhingga baik secara materiil maupun moril
t.c
ketika saya mengalami musibah dan kejatuhan.
po
jawab visa saya; Mbak Ochal dan Bude Murti yang selalu sibuk
ak
509
menyelundupkan saya ke perbatasan, untuk keluarga Ozoda
yang membuat saya terkesima oleh tarian mereka, dan untuk
keluarga Suhrat yang membawa saya ke kota kuno Bukhara.
Terima kasih tak terhingga untuk pembaca setia blog dan
rubrik Petualang di Kompas.com, tanpa dukungan Anda mus-
tahil tulisan ini akan terwujud.
Semoga karya ini boleh dinikmati. Rahmat. Spasibo.
om
t.c
po
gs
lo
.b
do
in
a-
ak
st
pu
510
pu
st
ak
a-
in
do
.b
lo
gs
po
t.c
om
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak
kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang
selama ini tersembunyi di peta dunia. –Andy Noya
dalam
ian cerita dimuat
g
Seba i pernah
in lang”
buku lom “Petua om
di k o as .c
.komp
www
Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama
Kompas Gramedia Building
Blok I, Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29-37
Jakarta 10270
www.gramedia.com