Anda di halaman 1dari 24

Borang Portofolio Kasus Obgyn

Topik : Retensio Plasenta


Tanggal (kasus) : 16 Sept 2014 Presenter : dr. Juan Setiaji
Tanggal Presentasi : 19 Sept 2014 Pendamping : dr. Aan Widhi Aningrum
Tempat Presentasi : Ruang Komite Medik RSUD H Damanhuri Barabai
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Ny. S, 24 th, ari-ari belum lahir sejak setengah jam post partum
Penegakan diagnosis dan pengobatan awal sesuai etologi serta mencegah
□ Tujuan :
komplikasi
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Data Pasien : Nama : Ny. S, 24 th No. Registrasi : -
Nama Klinik : RSUD Damanhuri Barabai Telp : Terdaftar sejak : 16 Sept 2014
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis : Retensio plasenta, OS dengan keluhan ari-ari belum lahir
sejak setengah jam post partum, nyeri pada perut bagian bawah.
2. Riwayat Pengobatan : -
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya.
4. Riwayat Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan seperti pasien
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Tidak diketahui
7. Riwayat Imunisasi : -
8. Lain-lain : -
Daftar Pustaka :
1. Cunningham, F.Gary, Norman F. Gant, et all. Williams Obstetrics international edition. 21 st
edition. Page 619-663.
2. Wainscott, Michael P. Pregnancy, Postpartum Hemorrhage. http://www.eMedicine.com. May
30, 2006
3. Smith, John R , Barbara G. Brennan. Postpartum Hemorrhage. http://www.eMedicine.com.
June 13, 2006
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan diagnosis Retensio Plasenta
2. Pengobatan Retensio Plasenta berdasarkan etiologi
3. Mengenali gejala awal Retensio Plasenta

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1
1. Subjektif :

• Keluhan Utama: Ari-ari tidak lahir sejak setengah jam post partum

• Nyeri pada perut bagian bawah

2. Objektif :

Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum : tampak sakit sedang

 Kesadaran : CM

 Tekanan Darah : -

 Nadi : 92x/menit

 Frekuensi Nafas : 26 x/ menit

 Suhu : Tidak di ukur

STATUS GENERALIS

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 92 x/menit, reguler, cukup, simetris kanan kiri

Suhu : tidak di ukur

Pernapasan : 26 x/menit, teratur

Kulit : Sawo matang, ikterik (-), sianosis (-), turgor normal,


kelembaban normal

Kepala dan Leher

Kepala : Normosefali, ubun-ubun normal, rambut warna hitam,

2
distribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-

Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping


hidung -/-, sekret -/-,

Mulut : Bibir merah muda, kering (-), sianosis (-), trismus (-),
halitosis (-)

Lidah : Tidak dinilai

Tonsil : Tidak dinilai

Tenggorokan : Tidak dinilai

Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak


teraba membesar, trakea letak normal

Thorax

Paru

Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris, pulsasi abnormal (-),


gerak pernapasan simetris, irama normal, tipe
abdomino-thorakal, retraksi (-)

Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris

Perkusi : Sonor di semua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba, thrill (-)

Perkusi : Sonor

Auskultasi : SISII reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : Datar

Palpasi : Teraba supel, nyeri tekan (-)

3
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), sianosis (-), pucat, CRT


kurang 2 detik

PEMERIKSAAN OBSTETRIK

Status Lokalis Abdomen

1. Inspeksi : tampak datar, striae gravidarum (+), linea nigra (+),


terlihat tali pusat dengan panjang kurang lebih 5 cm di depan vagina dan
diklem
2. Palpasi : Kontraksi (+), TFU teraba 2 jari di bawah pusat
3. Auskultasi : tidak dilakukan
Pemeriksaan Dalam (Vaginal Toucher)

Teraba tali pusat keluar dari ostium uteri externa, stolcel +, portio terbuka

Pemeriksaan Pelvimetri

Tidak dilakukan

3. Assesment (penalaran klinis) :

Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua


wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun
angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan
post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika
Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional
Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post
partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas
penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara
berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup,
dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan
post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.
Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL
setelah persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan
dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum

4
primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post
partum sekunder.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di
R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di
negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.
Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa
plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan
darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.

A. PERDARAHAN POST PARTUM


I. Definisi
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi
lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Kondisi dalam
persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka
batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana
telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung,
berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi >
100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL.
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum
hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala
III.
b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum
hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada
masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.

II. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain:
- Atonia uteri
- Luka jalan lahir
- Retensio plasenta

5
- Gangguan pembekuan darah

III. Insidensi
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan
adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di
negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:
- Atonia uteri 50 – 60 %
- Sisa plasenta 23 – 24 %
- Retensio plasenta 16 – 17 %
- Laserasi jalan lahir 4 – 5 %
- Kelainan darah 0,5 – 0,8 %

Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab


Perdarahan Post Partum
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
- Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek. Bekuan darah pada
Perdarahan segera setelah anak serviks atau posisi
lahir telentang akan
menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir Lemah
Uterus berkontraksi dan keras Menggigil
Plasenta lengkap
Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibatRetensio plasenta
menit traksi berlebihan
Perdarahan segera Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras tarikan
Perdarahan lanjutan
Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksiRetensi sisa plasenta
tidak lengkap tetapi tinggi fundus tidak
Perdarahan segera berkurang
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri

6
Lumen vagina terisi massa Pucat dan limbung
Tampak tali pusat (bila
plasenta belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
Nyeri tekan perut bawah dan Demam fragmen plasenta
pada uterus (terinfeksi atau tidak)
Perdarahan sekunder

IV. Kriteria Diagnosis


 Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil,
ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus
 Pemeriksaan obstetri
Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan
mungkin karena luka jalan lahir
 Pemeriksaan ginekologi:
Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada
pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi sisa
plasenta

V. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar
hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.
 Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode
antenatal.
 Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
b. Pemeriksaan radiologi
 Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan
penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium
atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat
adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta.
 USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan
resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan

7
spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.

VI. Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
 Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat
memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu
dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling
tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan
dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam
volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses
intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang
ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko
terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat
dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada
penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu
penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang
intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan
penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan
post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post
partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan
infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak,
biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek
yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan
NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian
koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
 Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan

8
akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun
telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen
yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang
dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100
mL NS pada masing-masing unit.

Jenis uterotonika dan cara pemberiannya


Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 LIM atau IV (lambat):Oral atau rektal 400
pemberian awal larutan garam0,2 mg mg
fisiologis dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1LUlangi 0,2 mg IM400 mg 2-4 jam
larutan garam setelah 15 menit setelah dosis awal
fisiologis dengan 40Bila masih
tetes/menit diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4 jam
Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 LTotal 1 mg (5 dosis) Total 1200 mg atau 3
per hari larutan fisiologis dosis
Kontraindikasi Pemberian IV secaraPreeklampsia, vitiumNyeri kontraksi
atau hati-hati cepat atau bolus kordis, hipertensi Asma

VII. Penyulit
Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah :
 Syok ireversibel
 DIC
VIII. Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III
dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum. Penanganan
aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
 Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
 Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat
 Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi

9
dengan baik

IX. Penilaian Klinik derajat syok

Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok


Volume
Tekanan Darah
Kehilangan Tanda dan Gejala Derajat Syok
(sistolik)
Darah
500-1.000 mL Palpitasi,
Normal Terkompensasi
(10-15%) takikardia, pusing
1000-1500 mL Penurunan ringan (80-Lemah, takikardia,
Ringan
(15-25%) 100 mm Hg) berkeringat
1500-2000 mL Penurunan sedang (70-Gelisah, pucat,
Sedang
(25-35%) 80 mm Hg) oliguria
2000-3000 mL Penurunan tajam (50-Pingsan, hipoksia,
Berat
(35-50%) 70 mm Hg) anuria

10
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan berbagai macam hal,
diantaranya adalah atonia uteri, laserasi jalanl ahir dan retensio plasenta.

A. ATONIA UTERI

I. Definisi
Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk

11
berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang
paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan.
Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok
hipovolemik.

II. Etiologi
Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor
terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin
makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan
struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah
di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir.
Lemahnya kontraksi miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan
lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat
pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti
agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat,
beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu plasenta letak rendah, toksin bakteri
(korioamnionitis, endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada abruptio
plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru menyebutkan bahwa
grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan
post partum.
PREDISPOSISI TERHADAP ATONIA UTERI

1. Grandemultipara.

2. Uterus yang terlalu regang (hidramion, hamil ganda, anak sangat besar/ BB > 4000

gram).

3. Kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas operasi).

4. Plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan ante partum).

5. Partus lama

6. Partus presipitatus.

7. Hipertensi dalam kehamilan.

8. Infeksi uterus.

12
9. Anemia berat.

10. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus).

11. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat manual plasenta.

12. Pimpinan kala III yang salah dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus

sebelum plasenta terlepas.

III. Penatalaksanaan
 Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri
 Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan
perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
 Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang
tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
 Kompresi bimanual eksternal
Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan
kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang
keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi
bimanual internal
 Kompresi bimanual internal
Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan
dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai
pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi.
Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga
uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi
aorta abdominalis
 Kompresi aorta abdominalis
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak
lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan
yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi
 Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba

13
prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap
2 atau 3 jam sesudahnya.
 Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap
> 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik
(khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali)
 Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.

Penilaian Klinik Atonia Uteri

B. RETENSIO PLASENTA

14
I. Definisi
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih
dari 30 menit setelah bayi lahir. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta
disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus

II. Klasifikasi
Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain:
 Plasenta adhesiva adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih
dalam.sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
 Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian
lapisan miometrium sampai ke serosa
 Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati
lapisan miometrium
 Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan
miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus
 Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan
oleh konstriksi ostium uteri

Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta


Separasi / akretaPlasenta
Gejala Plasenta akreta
parsial inkarserata
Konsistensi Kenyal Keras Cukup
uterus
Tinggi fundus Sepusat 2 jari bawah pusat Sepusat
Bentuk uterus Diskoid Agak globuler Diskoid
Perdarahan Sedang-banyak Sedang Sedikit/tidak ada
Tali pusat Terjulur sebagian Terjulur Tidak terjulur
Ostium uteri Terbuka Konstriksi Terbuka
Separasi Lepas sebagian Sudah lepas Melekat seluruhnya
plasenta
Syok Sering Jarang Jarang sekali
III. Penatalaksanaan
Retensio plasenta dengan separasi parsial
 Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan
diambil
 Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak
terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.

15
 Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila
perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak
menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan
plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
 Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara
hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
 Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
 Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria /
oral)
 Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik

Plasenta inkarserata
 Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan
 Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan konstriksi serviks
dan melahirkan plasenta
 Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20
IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan
kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut
 Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan
manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik
(Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada
tabung suntik yang terpisah

Sisa Plasenta
 Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan
pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin
dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah
 Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral
dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral
 Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau
jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa
plasenta dengan dilatasi dan kuretase
 Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL, berikan sulfas
ferosus 600 mg/hari selama 10 hari

Plasenta akreta
 Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau

16
korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta
karena implantasi yang dalam
 Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan
diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini
memerlukan tindakan operatif

17
Penilaian Klinik Plasenta Akreta

18
C. LASERASI JALAN LAHIR

I. Klasifikasi
- Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
Tingkat perlukaan perineum dapat dibagi dalam:
o Tingkat I: bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit
perineum
o Tingkat II : adanya perlukaan yang lebih dalam dan luas ke vagina dan
perineum dengan melukai fasia serta otot-otot diafragma urogenital
o Tingkat III : perlukaan yang lebih luas dan lebih dalam yang menyebabkan
muskulus sfingter ani eksternus terputus di depan
- Robekan serviks

II. Faktor Resiko


- Makrosomia
- Malpresentasi
- Partus presipitatus
- Distosia bahu

III. Penatalaksanaan
Ruptura perineum dan robekan dinding vagina
 Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
 Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
 Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap
 Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari operator

Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian rektum) dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sbb:
 Setelah prosedur aseptik-antiseptik, pasang busi pada rektum hingga ujung
robekan
 Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul submukosa,
menggunakan benang poliglikolik no.2/0 (Dexon/Vicryl) hingga ke sfingter ani.

19
Jepit kedua sfingter ani dengan klem dan jahit dengan benang no. 2/0
 Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan submukosa dengan benang
yang sama (atau kromik 2/0) secara jelujur
 Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara submukosal dan subkutikuler
 Berikan antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g dan metronidazol 1 g per oral).
Terapi penuh antibiotika hanya diberikan apabila luka tampak kotor atau dibubuhi
ramuan tradisional atau

Robekan serviks
 Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang terjulur akan
mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan oleh kepala bayi
 Bila kontraksi uterus baik, plasanta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan
banyakmaka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan dari portio
 Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga perdarahan
dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan tidak dijumpai robekan
lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke
arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
 Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri
dan perdarahan pasca tindakan
 Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
 Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%, berikan
transfusi darah

Penilaian Klinik Perdarahan Oleh Karena Persalinan Trumatika

20
D. KELAINAN DARAH

21
I. Etiologi
Pada periode post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus untuk
mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan penjendalan darah
memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari setelah persalinan. Kelainan pada
daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi
dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan.
Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma
HELLP sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja terjadi,
tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun sering tak
terdiagnosis.
Abnormalitas sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa
hipofibrinogenemia familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya
yang menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio plasenta,
sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen meningkat pada
saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal seperti pada wanita yang tidak
hamil harus mendapat perhatian. Selain itu, koagulopati dilusional dapat terjadi setelah
perdarahan post partum masif yang mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan,
yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini terdapat
peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta pemanjangan waktu
trombin (thrombin time).

II. Penatalaksanaan
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan
post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan post
partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada kehamilan, IUFD, emboli
air ketuban dan septikemia.
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan
trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu unit
trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 – 10.000/mm 3. Dosis biasa
sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan telah jelas atau bila hitung
22
trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit
10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau
diperkirakan diperlukan suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan
karena masa paruh trombosit hanya 3 – 4 hari.
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X
dan fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian
donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima. Bila ditemukan
koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan
harus dipakai secara empiris.
Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen,
dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand.
Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu pembekuan, serta
bervariasi menurut keadaan klinis.
4. Plan :

DIAGNOSIS KERJA
Retensio Plasenta

Rencana Diagnostik:
 Observasi tanda vital, keadaan umum, perdarahan pervaginam dan jumlah
urin.
Rencana Terapi:
 Oksigen 2 liter/menit dengan kanul oksigen
 IVFD D5% dengan drip oxytocin 1 amp 12 tetes per menit
 Memasang kateter urin
 Melahirkan plasenta dengan teknik perengangan tali pusat. Apabila plasenta
telah lahir, diperiksa apakah plasenta lengkap. ( kotiledon dan selaput ketuban
lengkap). Dieksplorasi untuk memastikan tiada sisa plasenta atau selaput
ketuban.
 Jika plasenta tidak berhasil lahir dengan teknik ini, dilakukan manual plasenta.
Sebelumnya dipastikan dahulu apakah portio serviks terbuka. Jika masih
tertutup, teknik manual plasenta tidak dapat dilakukan. Pasien diberikan
nitrogliserin untuk relaksasi serviks supaya portio terbuka dan tangan bisa
dimasukkan ke dalam uterus.

23
 Sebelum dikerjakan penderita disiapkan pada posisi litotomi. Operator berdiri
atau duduk dihadapan vulva, lakukan desinfeksi pada genitalia eksterna begitu
pula tangan dan lengan bawah si penolong (setelah menggunakan sarung
tangan). Kemudian labia dibeberkan dan tangan kanan masuk secara obstetris
ke dalam vagina. Tangan luar menahan fundus uteri. Tangan dalam sekarang
menyusun tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten. Setelah
tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan pergi ke pinggir plasenta dan
sedapat-dapatnya mencari pinggir yang sudah terlepas. Kemudian dengan sisi
tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan ialah antara bagian plasenta
yang sudah terlepas dengan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar
dengan dinding rahim. Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang
dan dengan perlahan-lahan ditarik keluar. Diperiksa apakah plasenta dilahirkan
lengkap.
 Diperiksa lagi apakah terdapat penyebab lain perdarahan masih tidak berhenti.
Contohnya terdapat trauma pada serviks atau vagina atau kontraksi yang
masih belum baik. Jika terdapat laserasi, luka dijahit dan jika kontraksi masih
belum baik, dicoba dulu dengan massase uterus, pemberian oksitosin,
methylergometrin dan misoprostol.
 Cefotaxime injeksi 3x1 gr IV

Pendidikan :

Kepada pasien dan keluarganya dijelaskan penyebab timbulnya penyakit yang


dideritanya dan menjelaskan perjalanan penyakit nantinya serta komplikasi yang akan
timbul kemudian harinya

24

Anda mungkin juga menyukai