Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

Kelenjar saliva merupakan organ yang terbentuk dari sel-sel khusus yang
mensekresi saliva. Saliva adalah cairan oral yang kompleks dan tidak berwarna yang terdiri
dari campuran sekresi dari kelenjar besar dan kelenjar kecil (mayor dan minor) yang ada
pada mukosa oral.

Fungsi saliva itu sendiri adalah:

1. Melicinkan dan membasahi rongga mulut sehingga membantu proses mengunyah dan
menelan makanan
2. Membasahi dan melembutkan makanan menjadi bahan setengah cair ataupun cair
sehingga mudah ditelan dan dirasakan
3. Membersihkan rongga mulut dari sisa-sisa makanan dan kuman
4. Mempunyai aktivitas antibacterial dan sistem buffer
5. Membantu proses pencernaan makanan melalui aktivitas enzim ptyalin (amilase ludah)
dan lipase ludah
6. Berpartisipasi dalam proses pembekuan dan penyembuhan luka karena terdapat faktor
pembekuan darah dan epidermal growth factor pada saliva
7. Jumlah sekresi air ludah dapat dipakai sebagai ukuran tentang keseimbangan air dalam
tubuh.
8. Membantu dalam berbicara (pelumasan pada pipi dan lidah).

1.1 Saliva
Saliva adalah cairan kompleks yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mempunyai
peranan yang sangat penting dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem didalam
rongga mulut. Saliva merupakan hasil sekresi dari beberapa kelenjar saliva, dimana 93%
dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva mayor yang meliputi kelenjar
parotis, submandibular, sublingual sedangkan sisa 7 % lainnya disekresikan oleh kelenjar
saliva minor yang terdiri dari kelenjar bukal, labial, palatinal, glossopalatinal dan lingual.
Kelenjar-kelenjar minor ini menunjukan aktivitas sekretori lambat yang berkelanjutan, dan
juga mempunyai peranan yang penting dalam melindungi dan melembabkan mukosa oral,
terutama pada waktu malam hari ketika kebanyakan kelenjar-kelenjar saliva mayor bersifat
inaktif.

1
1.2 Anatomi Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva dapat dibedakan atas kelenjar parotis, kelenjar submandibularis,
kelenjar lingualis, dan kelenjar assesoris.
1.2.1 Kelenjar saliva mayor.
a. Kelenjar parotis
 Terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula (antara prossesus
mastoideus dan ramus mandibula) .
 Mengandung sejumlah besar enzim antara lain amilase lisozim, fosfatase asam,
aldolase, dan kolinesterase. Merupakan kelenjar serous pada manusia dewasa
sekresi yang kaya akan air. Pada anak-anak masih mengandung kelenjar mukus.
Saliva terdiri dari 25% sekresi kelenjar parotis
 Merupakan kelenjar terbesar dibandingkan dengan kelenjar saliva lainnya dengan
berat 20-30 gram, panjang duktus 35-40 mm, dengan diameter 3 mm
 Terletak dibagian bawah telinga dibelakang ramus mandibula meluas ke lengkung
zygomaticum di depan telinga dan mencapai dasar dari musculus masseter
 Duktus parotis yakni duktus stensen yang berjalan menyilang permukaan otot
masseter. Duktus kelenjar ini berjalan menembus pipi dan bermuara pada
vestibulum oris pada lipatan antara mukosa pipi dan gusi dihadapan molar 2 atas.

Kelenjar parotis terletak pada bagian samping, di atas m. masseter. Bagian inferior
menempel pada m. sternocleidomastoideus, dan pada bagian posterior, kelenjar ini terletak
di atas venter posterior m. digastricus. Kelenjar ini dipisahkan dari kelenjar
submandibularis oleh ligamentum stylomandibularis, sedangkan bagian dalam, yaitu
perluasan retromandibular berhubungan dengan rongga parafaringeal .
Cabang dan terminal n. facialis berjalan di dalam substansi kelenjar tersebut. Duktus
parotikus, misalnya duktus stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula dari aspek
anterior kelenjar, melintasi m. masseter, menembus m. buccinator, dan memasuki rongga
mulut pada regio molar pertama atau molar kedua rahang atas.

Gambar 1. Duktus Stensen pada Mukosa Bukal Kiri (Burkett, 2012).

2
b. Kelenjar Submandibularis
 Terletak di bawah ramus mandibular
 Merupakan kelenjar saliva terbesar ke dua dengan berat 8-10 gram
 Bentuk oval seperti kacang, terletak di trigonum submandibular
 Duktus submandibular disebut duktus Wharton
 Duktus muncul dari permukaan bagian dalam kelenjar dan berjalan sampai
mencapai dasar mulut, kemudian bermuara pada caruncula sublingualis di dekat
frenulum lidah.
 Panjang duktus 40-50 mm, diameter lebih kecil dari kelenjar parotis
 Kelenjar submandibula 75% bersifat serosa dan 25% mukus

Kelenjar submandibula terletak di segitiga submandibula yang dibatasi oleh


muskulus digastrikus anterior – posterior dan inferior dari os. mandibula. Posisi kelenjar
submandibula terletak di medial dan inferior ramus mandibula. Bagian posterior kelenjar
submandibula sebagian berada di atas dan sebagian di bawah dari mandibula posterior.
Kelenjar ini berbentuk seperti huruf “C” mengelilingi batas anterior dari muskulus
milohioid kemudian menjadi dua lobus, superfisial dan profunda. Lobus bagian profunda
lebih besar dari lobus superfisialisnya.
Kelenjar submandibula mendapatkan inervasi dari dua sumber, yaitu simpatis dan
para simpatis. Inervasi saraf simpatis dari ganglion cervikalis superior melalui n. lingualis,
dan inervasi saraf parasimpatis dari ganglion submandibula yang diberi makan oleh arteri
lingualis. Bagian dalam kelenjar submandibula mendapat vaskularisasi dari cabang
submental arteri dan vena fasialis yang kemudian berjalan sampai bagian superfisial
melalui tepi inferior mandibula. Limfonodi pada kelenjar submandibula terdiri dari;
superfisial, anterior, posterior, dan submental.
Duktus submandibula (wharton’s duct) berada di permukaan medial dari kelenjar
dan berjalan di antara lateral muskulus milohioid dan muskulus hioglosus dan di atas
muskulus genioglosus, membentuk belokan tajam di lateral m.milohioid (sering menjadi
tempat kalkulus). Duktus ini bermuara ke dalam rongga mulut, lateral dari frenulum
lingualis yang terlihat di bagian depan dasar mulut. Panjangnya rata-rata sekitar 5 cm.
Duktus Submandibula mendapat inervasi dari n. lingualis dan n. hipoglosus yang berjalan
di bawah dan mengikuti duktus.

3
Gambar 2. Duktus Wharton pada Dasar Mulut (Burkett, 2012).

c. Kelenjar Sublingualis
 Terletak dibawah lidah dan dibawah membran mukosa mulut
 Merupakan kelenjar terkecil dari kelenjar saliva mayor
 Kelenjar ini bentuknya memanjang dengan berat 2-3 gram
 Duktus kelenjar ini yaitu duktus Bartholin
 Kelenjar sublingual hampir seluruhnya mukus dengan sedikit serosa

Kelenjar sublingual menempati rongga sublingual bagian anterior dan karena itu
hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki rongga mulut melalui
sejumlah muara yang terdapat sepanjang plika sublingualis. yaitu suatu mukosa
anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur dan duktus submandibularis atau
melalui duktus utama yaitu duktus bartholin) yang berhubungan dengan duktus
mandibularis.
Kelenjar saliva minor terletak pada submukosa atau mukosa bibir, permukaan lidah
bawah, posterior palatum durum dan mukosa bukal. Pengetahuan atau pengenalan lokasi
kelenjar minor ini dibutuhkan karena banyak proses penyakit yang terdapat di kelenjar
saliva mayor juga mengenai kelenjar assesorius ini Kemungkinan penyakit kelenjar saliva
memberikan diagnosis altematif untuk patologis yang terhadap pada regio ini.

Gambar 3. Anatomi Kelenjar saliva (Benjamin dan Michael,2006).

4
1.2.2 Kelenjar saliva Minor

Kelenjar saliva minor terdiri dari:

1. Kelenjar Labial Superior inferior


2. Kelenjar Bucalis Minor
3. Kelenjar Palatina
4. Kelenjar Lingualis anterior
5. Kelenjat Lingualis Posterior
6. Kelenjar Glossopalatinus

Kelenjar saliva minor terdiri dari 1000 kelenjar yang tersebar pada lapisan mukosa
rongga mulut, terutama di mukosa pipi, palatum, baik palatum durum maupun palatum
molle, mukosa lingual, mukosa bibir, dan juga terdapat di uvula, dasar mulut, bagian
posterior lidah, dasar atau ventral lidah, daerah sekitar retromolar, daerah peritonsillar, dan
sistem lakrimal. Kelenjar saliva minor terutama menghasilkan cairan mukus, kecuali pada
glandula Von Ebner’s (Kelenjar yang berada pada papilla circumvalata lidah) yang
menghasilkan cairan serus .

1.3. Fisiologi Kelenjar Saliva

Secara rata-rata, sekitar 1 sampai 2 liter air liur disekresikan perhari, berkisar dari
kecepatan basal spontan yang konstan sebesar 0,5 ml/mnt sampai kecepatan maksimum
5ml/mnt sebagai respon rangsangan yang kuat, misal ketika makan jeruk lemon. Bahkan
tanpa ada rangsangan yang jelas, disebabkan oleh stimulus konstan tingkat rendah ujung-
ujung saraf parasimpatis yang berakhir dikelenjar air liur. Sekresi basal berfungsi agar
tenggorokan dan mulut tetap basah.

Selain sekresi yang bersifat kontan dan bersifat sedikit tersebut, sekresi air liur
tersebut dapat ditingkatkan melalui dua jenis reflek saliva yang berbeda. Refleks saliva
sederhana atau terkondisi dan refrek saliva didapat atau terkontrol. Refrek saliva sederhana
(tidak terkondisi) terjadi sewaktu kemoreseptor atau reseptor tekanan adanya makanan.
Sewaktu diaktifkan, reseptor tersebut memulai impuls melalui saraf otonom ekstrinsk ke
kelenjar air liur untuk meningkat sekresi air liur. Tindakan-tindakan gigi merangsang air
liur walaupun tidak terdapat makanan karena adanya manipulasi terhadap reseptor tekanan
terhadap mulut.

5
Pada refleks saliva di dapat (terkondisi), pengeluaran air liur terjadi tanpa
rangsangan orang hanya berfikir melihat, membaui, atau mendengar suatu makanan yang
lezat dapat memicu pengeluaran air liur. Refleks ini dipelajari berdasarkan pengalaman
sebelumnya. Masukan yang berasal dari luar mult dan secara mental berkaitan dengan
kenikmatan makanan bekerja melalui korteks sereblum untuk merangsang saliva di
medula.

Pusat saliva mengontrol derajat pengeluaran air liur melalui saraf-saraf otonom
yang mempersarafi kelenjar liur. Tidak seperti saraf otonom di tempat lain, respon simpatis
dan parasimpatis tidak saling bertentangan. Baik stimulasi simpatis atau parasimpatis,
keduanya meningkatkan sekresi air liur, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme yang
berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis, yang berperan dominan dalam sekresi air liur,
menyebabkan pengeluaran air liur encer dalam jumlah besar dan kaya akan enzim.
Stimulasi simpatis, di pihak lain mengeluarkan air liur yang lebih sedikit dengan
konsistensi kental dan kaya mukus. Karena rangsanagan simpatis menyebabkan sekresi air
liur dalam jumlah lebih sedikit, mulut terasa lebih kering dari biasanya selama sistem
simpatis yang dominan, misalnya dalam keadaan stres.

1. Produksi Saliva

Kelenjar saliva berperan memproduksi saliva, dimulai dari proksimal oleh asinus
dan kemudian dimodifikasi di bagian distal oleh duktus. Kelenjar saliva memiliki unit
sekresi yang terdiri dari asinus, tubulus sekretori, dan duktus kolektivus. Sel-sel asini dan
duktus proksimal dibentuk oleh sel-sel mioepitelial yang berperan untuk memproduksi
sekret. Sel asini menghasilkan saliva yang akan dialirkan dari duktus interkalasi menuju
duktus interlobulus, kemudian duktus intralobulus dan berakhir pada duktus kolektivus.
Kelenjar submandibula dan parotis mempunyai sistem tubuloasiner, sedangkan kelenjar
sublingual memiliki sistem sekresi yang lebih sederhana. Kelenjar parotis hanya memiliki
sel-sel asini yang memproduksi sekret yang encer, sedangkan kelenjar sublingual memiliki
sel-sel asini mukus yang memproduksi sekret yang lebih kental. Kelenjar submandibula
memiliki kedua jenis sel asini sehingga memproduksi sekret baik serosa maupun mukoid.
Kelenjar saliva minor juga memiliki kedua jenis sel asini yang memproduksi kedua jenis
sekret.

2. Inervasi autonom dan sekresi saliva

6
Sistem saraf parasimpatis

Sistem saraf parasimpatis menyebabkan stimulasi pada kelenjar saliva sehingga


menghasilkan saliva yang encer. Kelenjar parotis mendapat persarafan parasimpatis dari
nervus glosofaringeus (N.IX). Kelenjar submandibula dan sublingualis mendapatkan
persarafan parasimpatis dari korda timpani (cabang N.VII).

Sistem saraf simpatis

Serabut saraf simpatis yang menginervasi kelenjar saliva berasal dari ganglion servikalis
superior dan berjalan bersama dengan arteri yang mensuplai kelenjar saliva. Serabut saraf
simpatis berjalan bersama dengan arteri karotis eksterna yang memberikan suplai darah
pada kelenjar parotis, dan bersama arteri lingualis yang memberikan suplai darah ke
kelenjar submandibula, serta bersama dengan arteri fasialis yang memperdarahi kelenjar
sublingualis. Saraf ini menstimulasi kelenjar saliva untuk menghasilkan sekret kental yang
kaya akan kandungan organik dan anorganik.

7
BAB II

KELAINAN KELENJAR SALIVA

Terdapat beberapa kelainan pada kelenjar saliva antara lain; mucocele, ranula,
sialadenitis, sjorgen syndrome dan sialorrhea.

2.1. Mucocele

2.1.1 Definisi

Mucocele merupakan istilah klinis yang digunakan untuk menggambarkan


pembengkakan yang disebabkan akumulasi saliva pada duktus kelenjar saliva minor yang
mengalami trauma atau obstruksi. Mukokel merupakan lesi mukosa oral yang terbentuk
akibat rupturnya duktus glandula saliva minor dan penumpukan mucin pada sekeliling
jaringan lunak. Umumnya sering diakibatkan oleh trauma lokal atau mekanik.

Mukokel merupakan kista benigna, tetapi dikatakan bukan kista yang


sesungguhnya, karena tidak memiliki epithelial lining pada gambaran histopatologisnya.
Lokasinya bervariasi, bibir bawah merupakan bagian yang paling sering terkena, yaitu
lebih dari 60% dari seluruh kasus yang ada, umumnya terletak di bagian lateral mengarah
ke midline. Beberapa kasus ditemui pada mukosa bukal dan ventral lidah, mukosa bukal,
anterior lidah, dasar mulut dan jarang terjadi pada bibir atas. Banyak literatur yang
menyebut mukokel sebagai mucous cyst. Kebanyakan kasus melaporkan insidensi tertinggi
mukokel adalah usia muda tetapi hingga saat ini belum ada studi khusus pada usia yang
spesifik.

2.1.2 Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, patogenesis dan histologi mukokel dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu mukokel ekstravasasi mukus yang sering disebut sebagai mukokel
superfisial dimana etiologinya trauma lokal atau mekanik, dan mukokel retensi mukus atau
sering disebut kista retensi mukus dimana etiologinya terjadi akibat sialolith, tumor atau
inflamasi pada mukosa mulut yang menyebabkan duktus glandula saliva tertekan dan
tersumbat secara tidak langsung.

Tipe ekstravasasi lebih umum terjadi walaupun seringkali diistilahkan dengan kista
mukus retensi. Mucocele extravasasi tidak memiliki lining epitelial atau border yang jelas.
Pembentukan extravasai dipercaya merupakan hasil dari trauma duktus ekskretori kelenjar

8
saliva minor. Laserasi duktus menghasilkan pengumpulan saliva pada jaringan submukus
yang berdekatan dan menimbulkan pembengkakan. Tipe retensi mucocele disebabkan oleh
destrukdi duktus kelenjar saliva minor seringkali oleh sialolith periductal atau adanya
tumor, dimana blokade aliran saliva menimbulkan akumulasi saliva dan dilatasi duktus.

Gambar 4. Fenomena mukus ekstravasasi (kiri) menunjukkan mucin di submukosa dan


kista retensi mukus (kanan) yang menunjukkan mucin yang tertahan di
saluran ekskretori saliva karena tersumbat oleh sialolit (Regezi, 2012)
Literatur lain mengklasifikasikan mukokel menjadi tiga, yaitu superficial mucocele
yang letaknya tepat di bawah lapisan mukosa dengan diameter 0,1-0,4 cm, classic
mucocele yang letaknya tepat di atas lapisan submukosa dengan diameter lebih kecil dari 1
cm, dan deep mucocele yang letaknya lebih dalam dari kedua mukokel sebelumnya.
Dikenal pula tipe mukokel kongenital yang etiologinya trauma pada proses kelahiran bayi.

2.1.3 Etiopatogenesis

Mukokel melibatkan kelenjar saliva minor dengan etiologi yang tidak begitu jelas,
namun diduga terbagi atas dua, pertama diakibatkan trauma, baik trauma lokal atau
mekanik pada duktus glandula saliva minor, untuk tipe ini disebut mukus ekstravasasi.
Trauma lokal atau mekanik dapat disebabkan karena trauma pada mukosa mulut hingga
melibatkan duktus kelenjar saliva minor akibat pengunyahan, atau kebiasaan buruk seperti
menghisap mukosa bibir diantara dua gigi yang jarang, menggigit-gigit bibir, kebiasaan
menggesek-gesekkan bagian ventral lidah pada permukaan gigi rahang bawah (biasanya
pada anak yang memiliki kebiasaan minum susu botol atau dot), dan lain-lain.

Mucocele terjadi karena pada saat air liur kita dialirkan dari kelenjar air liur ke
dalam mulut melalui suatu saluran kecil yang disebut duktus, dimana terkadang bisa terjadi
sumbatan pada ujung duktus tersumbat atau karena trauma misalnya bibir sering tergigit
secara tidak sengaja, sehingga air liur menjadi tertahan tidak dapat mengalir keluar dan

9
menyebabkan pembengkakan (mucocele). Mucocele juga dapat terjadi jika kelenjar ludah
terluka. Manusia memiliki banyak kelenjar ludah dalam mulut yang menghasilkan ludah
yang dikeluarkan melalui saluran kecil yang disebut duktus. Terkadang salah satu duktus
ini terpotong, kemudian ludah mengumpul pada titik yang terpotong itu dan menyebabkan
pembengkakan, atau mucocele. Pada umumnya mucocele didapati di bagian dalam bibir
bawah. Namun dapat juga ditemukan di bagian lain dalam mulut, termasuk langit-langit
dan dasar mulut, akan tetapi jarang didapati di atas lidah. .

Mucocele dapat diakibatkan trauma pada proses kelahiran bayi, misalnya trauma
akibat suction untuk membersihkan saluran nafas sesaat setelah bayi dilahirkan, ataupun
trauma yang disebabkan karena ibu jari bayi yang dilahirkan masih berada dalam posisi
sucking (menghisap) pada saat bayi melewati jalan lahir. Ketiga contoh trauma pada proses
kelahiran bayi akan mengakibatkan mukokel kongenital. Setelah terjadi trauma yang
dikarenakan salah satu atau beberapa hal di atas, duktus glandula saliva minor rusak,
akibatnya saliva keluar menuju lapisan submukosa kemudian cairan mukus terdorong dan
sekresinya tertahan lalu terbentuk inflamasi (adanya penumpukan jaringan granulasi di
sekeliling kista) mengakibatkan penyumbatan pada daerah tersebut, terbentuk
pembengkakan lunak, berfluktuasi, translusen kebiruan pada mukosa mulut yang disebut
mukokel.

Kedua diakibatkan adanya genangan mukus dalam duktus ekskresi yang tersumbat
dan melebar, tipe ini disebut mukus retensi. Genangan mukus dalam duktus ekskresi yang
tersumbat dan melebar dapat disebabkan karena plug mukus dari sialolith atau inflamasi
pada mukosa yang menekan duktus glandula saliva minor lalu mengakibatkan terjadinya
penyumbatan pada duktus glandula saliva minor tersebut, terjadi dilatasi akibat cairan
mukus yang menggenang dan menumpuk pada duktus glandula saliva, dan pada akhirnya
ruptur, kemudian lapisan subepitel digenangi oleh cairan mukus dan menimbulkan
pembengkakan pada mukosa mulut yang disebut mukokel

2.1.4 Gambaran Klinis dan Histopatologi

Mukokel memiliki gambaran klinis yang khas, yaitu massa atau pembengkakan
lunak yang berfluktuasi, permukaan halus, berwarna translusen kebiruan apabila massa
belum begitu dalam letaknya, kadang-kadang warnanya normal seperti warna mukosa
mulut apabila massa sudah terletak lebih dalam, apabila dipalpasi pasien tidak terasa sakit.

10
Massa berdiameter 1 mm hingga beberapa sentimeter, beberapa literatur menuliskan
bahwa diameter mukokel umumnya kurang dari 1 cm.

Lesi bervariasi dalam ukuran dari waktu ke waktu, superfisial mucocele mengalami
drainase dan deflasi, mucocele yang terus mengalami trauma cenderung kambuh dan
menimbulkan ulserasi permukaan, perkembangan lesi kebiruan setelah trauma sangat
menandakan suatu mucocele.
Extravasasi mucocele paling sering terjadi pada bibir bawah dimana trauma sering
terjadi. Mukosa bukal, lidah, dasar mulut, regio retromolar merupakan daerah yang dapat
mengalami trauma dimana ekstravasasi mukosa dapat ditemukam. tipe ini seringkali
terlihat pada emaja dan anak-anak. Glandula Blandin-Nuhn yang terletak pada permukaan
ventral lidah juga rentan terhadap pembentukkan mucocele, dimana secara umum tampak
seperti massa polipoid dengan fluktuasi yang lembut.
Kista retensi mukus sering terlihat pada bibir atas, palatum, mukosa bukal, dasar
mulut dan jarang pada bibir bawah, umumnya mengenai pasien yang lebih tua
dibandingkan mucocele ekstravasasi. Penyempitan duktus dihubungkan dengan
penggunaan hidrogen peroksida yang sering digunakan sebagai obat kumur dan psta gigi
tartar kontrol.

a. b.
Gambar 5. a. Mucocele pada anterior median line permukaan ventral lidah yang
melibatkan blandin-nuhn. b. Mukokel pada bibir bawah. (Thu Ha and Thang
2010)

Gambaran histopatologi mukokel tipe ekstrsavasasi mukus berbeda dengan tipe


retensi mukus. Tipe ekstravasasi gambaran histopatologinya memperlihatkan glandula
yang dikelilingi oleh jaringan granulasi. Sedangkan tipe retensi menunjukkan adanya
epithelial lining (Gambar 6).

11
Gambar 6. Fenomena mukus ekstravasasi menunjukkan mucin bebas (atas) dikelilingi
granulasi yang meradang dan jaringan ikat dan jaringan kelenjar ludah.
(Regezi, 2012).

2.1.5 Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa mucocele dilakuakan prosedur-prosedur yang
meliputi beberapa tahap. Pertama melakukan anamnesa dan mencatat riwayat pasien, pada
pasien anak dilakukan aloanamnesa yaitu anamnesa yangdiperoleh dari orang terdekat
pasien. Pada pasien dewasa dengan autoanamnesa yaitu yang diperoleh dari pasien itu
sendiri. Kedua melakukan pemeriksaan terhadap pasien dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan fisik dengan tujuan melihat
tanda-tanda yang terdapat pada pasien, yaitu pemeriksaan keadaan umum mencakup
pengukuran temperatur dan pengukuran tekanan darah, pemeriksaan ekstra oral mencakup
pemeriksaan kelenjar limfe, pemeriksaan keadaan abnormal dengan memperhatikan
konsistensi, warna, dan jenis keadaan abnormal, kemudian pemeriksaan intra oral yaitu
secara visual melihat pembengkakan pada rongga mulut yang dikeluhkan pasien dan
melakukan palpasi pada massa tersebut. Diperhatikan apakah ada perubahan warna pada
saat dilakukan palpasi pada massa. Ditanyakan kepada pasien apakah ada rasa sakit pada
saat dilakukan palpasi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan pendukung meliputi
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiografi.
Pemeriksaan laboratorium sangat membantu dalam menegakkan diagnosa. Pada
kasus mukokel, cairan diambil secara aspirasi dan jaringan diambil secara biopsi,
kemudian dievaluasi secara mikroskopis untuk mengetahui kelainan-kelainan jaringan
yang terlibat. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan radiografi, meliputi pemeriksaan
secara MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT Scan (Computed Tomography Scan),
ultrasonografi, sialografi, dan juga radiografi konfensional.
Diagnosis mukokel bisa secara langsung dari riwayat penyakit, keadaan klinis dan
palpasi. Langkah-langkah mendiagnosa :
 Melakukan anamnesa lengkap dan cermat

12
 secara visual
 Bimanual palpasi intra & extraoral
 Aspirasi
 Melakukan pemeriksaan laboratories
 Pemeriksaan radiologis dengan kontras media
 Pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan biopsi / PA

2.1.6 Diagnosa Banding


Beberapa penyakit mulut memiliki kemiripan gambaran klinis dengan mukokel,
diantaranya hemangioma, lymphangioma, pyogenic granuloma (apabila letaknya pada
bagian anterior lidah), salivary gland neoplasm, dan lain-lain.1 Untuk dapat membedakan
mukokel dengan penyakit-penyakit tersebut maka dibutuhkan riwayat timbulnya massa
dan gambaran klinis yang jelas yang menggambarkan ciri khas mukokel yang tidak
dimiliki oleh penyakit mulut lain, dan dibutuhkan hasil pemeriksaan fisik dan hasil
pemeriksaan pendukung lain yang akurat seperti pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiografi.

2.1.7 Terapi

Mucocele adalah lesi yang tidak berumur panjang, bervariasi dari beberapa hari
hingga beberapa minggu, dan dapat hilang dengan sendirinya. Namun banyak juga lesi
yang sifatnya kronik dan membutuhkan pembedahan eksisi. Pada saat di eksisi, dokter gigi
sebaiknya mengangkat semua kelenjar liur minor yang berdekatan, dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis untuk menegakkan biopsi dan menentukan apakah ada
kemungkinan tumor kelenjar liur. Selain dengan pembedahan, mucocele juga dapat
diangkat dengan laser. Beberapa dokter saat ini ada juga yang menggunakan menggunakan
injeksi kortikosteroid sebelum melakukan pembedahan, hal ini terkadang dapat meredakan
pembengkakan. Jika berhasil, maka tidak perlu dilakukan pembedahan. Penatalaksanaan
mukokel biasanya dilakukan dengan eksisi mukokel dengan modifikasi teknik elips. yaitu
setelah pemberian anesthesi lokal dibuat dua insisi elips yang hanya menembus mukosa,
kemudian lesi dipotong dengan teknik gunting lalu dilakukan penjahitan.
Pada umumnya pasien yang berkunjung ke dokter gigi dan meminta perawatan,
memiliki ukuran mukokel yang relatif besar. Perawatan mukokel dilakukan untuk
mengurangi dan menghilangkan gangguan fungsi mulut yang dirasakan pasien akibat

13
ukuran dan keberadaan massa. Sejumlah literatur menuliskan beberapa kasus mukokel
dapat hilang dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan terutama pada pasien anak-
anak. Perawatan yang dilakukan meliputi penanggulangan faktor penyebab dan
pembedahan massa.
Penanggulangan faktor penyebab dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
rekurensi. Umumnya mukokel yang etiologinya trauma akibat kebiasaan buruk atau trauma
lokal dan mekanik yang terjadi terus menerus dapat menyebabkan terjadinya rekurensi
mukokel. Karena jika kebiasaan buruk atau hal yang menyebabkan terjadinya trauma tidak
segera disingkirkan atau dihilangkan, maka mukokel akan dengan mudah muncul kembali
walaupun sebelumnya sudah dilakukan perawatan bedah. Pembedahan massa dibagi atas
tiga jenis, yaitu eksisi, marsupialisasi, dan dissecting. Pemilihan teknik pembedahan
tergantung kepada ukuran dan lokasi massa.

2.1.8 Diferesial Diagnosa


Differential diagnosis dari mukokel adalah sebagai berikut :
1. Adenoma Pleomorfik
Suatu nodula keras kebiru-biruan
2. Kista Nasolabial
Suatu nodula berfluktuasi pada palpasi
3. Kista Implantasi

2.2 Ranula
2.2.1 Definisi
Ranula adalah istilah yang digunakan untuk menyebut mukokel yang letaknya di
dasar mulut. Kata ranula yang digunakan berasal dari bahasa latin “RANA” yang berarti
katak, karena pembengkakannya menyerupai bentuk tenggorokan bagian bawah dari katak.
Ranula merupakan pembengkakan dasar mulut yang berhubungan dan melibatkan glandula
sublingualis, dapat juga melibatkan glandula salivari minor. Ukuran ranula dapat
membesar, dan apabila tidak segera diatasi akan memberikan dampak yang buruk, karena
pembengkakannya dapat mengganggu fungsi bicara, mengunyah, menelan, dan bernafas.
Ranula merupakan fenomena retensi duktus pada glandula sublingualis (yang
kadang-kadang menunjukkan adanya lapisan epitel), dengan gambaran khas pada dasar
mulut. Mukosa di atasnya terlihat tipis, meregang, dan hampir transparan. Pembesaran

14
yang disebabkan oleh cairan ini kadang menyebabkan terangkatnya lidah khususnya pada
anak-anak.

2.2.2 Etiologi
Etiologinya tidak diketahui namun diduga ranula terjadi akibat trauma, obstruksi
kelenjar saliva, dan aneurisma duktus glandula saliva. Post traumatic ranula terjadi akibat
trauma pada glandula sublingual atau submandibula yang menyebabkan ekstravasasi
mukus, sehingga terbentuk pseudokista. Ranula juga dikatakan berkaitan dengan penyakit
kelenjar saliva dan anomali kongenital dimana duktus saliva tidak terbuka.
Ranula terbentuk sebagai akibat normal melalui duktus ekskretorius major yang
membesar atau terputus atau terjadinya rupture dari saluran kelenjar terhalangnya aliran
liur yang sublingual (duktus Bartholin) atau kelenjar submandibuler (duktus Wharton),
sehingga melalui rupture ini air liur keluar menempati jaringan disekitar saluran tersebut.
Selain terhalangnya aliranliur, ranula bisa juga terjadi karena trauma dan peradangan.
Ranula mirip dengan mukokel tetapi ukurannya lebih besar. Bila letaknya didasar mulut,
jenis ranula ini disebut ranula superfisialis. Bila kista menerobos dibawah otot milohiodeus
dan menimbulkan pembengkakan submandibular, ranula jenisini disebut ranula Dissecting
atau Plunging.
Menurut Robert P. Langlais & Craig S. Miller, Ranula terbentuk sebagai akibat
terhalangnya ductus saliva yang normal melalui ductus ekskretorius mayor yang membesar
atau terputus dari glandula sublingualis (ductus Bartholin) atau glandula submandibularis
(ductus Wharton), sehingga melalui rupture ini saliva keluar menempati jarigan disekitar
ductus tersebut. Walau terjadinya ranula yang ditulis dalam literature hingga saat ini
masih simpang siur, namun diperkirakan penyebabnya dikarenakan :
 Adanya penyumbatan sebagian atau total sehingga terjadi retensi saliva
sublingualis atau submandibularis
 Karena suatu trauma
 Adanya peradangan atau myxomatous degenerasi ductus glandula sublingualis

2.2.3 Klasifikasi Ranula


Ranula diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :
1. Ranula superfisial / simple ranula / sublingual
Merupakan kista retensi yang sesungguhnya. Besarnya terbatas pada dataran oral
musculus mylohyoideus. Tampak sebagai suatu pembengkakan lunak, dapat
15
ditekan, timbul dari dasar mulut. Kista ini dindingnya dilapisi epitel dan terjadi
karena obstruksi ductus glandula saliva .

Gambar 7. Ranula pada kelenjar saliva sublingual (Burket, 2012)

2. Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula profunda


Merupakan pseudokista, terjadinya karena ekstravasasi (kebocoran) saliva pada
jaringan, pada sepanjang otot dan lapisan fasia dasar mulut dan leher. Ekstravasasi
(kebocoran) tersebut disebabkan karena trauma yang kecil, dimana tidak pernah
diingat oleh penderita. Kista ini menerobos di bawah musculus mylohyoideus dan
menimbulkan pembengkakan submental. Kista jenis ini dindingnya tidak dilapisi
epitel.

Gambar 8. Plunging ranula (Ambika Gupta1 and F. R. Karjodkar, 2011)

3. Sublingual plunging ranula


Kista ini menerobos di bawah musculus mylohyoideus dan menimbulkan
pembengkakan submental disertai pembengkakan lunak dapat ditekan pada dasar
mulut

2.2.4 Patogenesis
Terdapat dua konsep patogenesis ranula superfisial. Pertama pembentukan kista
akibat obstruksi duktus saliva dan kedua pembentukan pseudokista yang diakibatkan oleh
injuri duktus dan ekstravasasi mukus. Obstruksi duktus saliva dapat disebabkan oleh

16
sialolith, malformasi kongenital, stenosis, pembentukan parut pada periduktus akibat
trauma, agenesis duktus atau tumor.
Ekstravasasi mukus pada glandula sublingual menjadi penyebab ranula servikal.
Kista ini berpenetrasi ke otot milohioideus. Sekresi mukus mengalir ke arah leher melalui
otot milohioideus dan menetap di dalam jaringan fasial sehingga terjadi pembengkakan
yang difus pada bagian lateral atau submental leher. Sekresi saliva yang berlangsung lama
pada glandula sublingual akan menyebabkan akumulasi mukus sehingga terjadi
pembesaran massa servikal secara konstan.
Trauma dari tindakan bedah yang dilakukan untuk mengeksisi ranula menimbulkan
jaringan parut atau disebut juga jaringan fibrosa pada permukaan superior ranula, sehingga
apabila kambuh kembali ranula akan tumbuh dan berpenetrasi ke otot milohioideus dan
membentuk ranula servikal. Sekurang-kurangnya 45% dari ranula servikal terjadi setelah
eksisi ranula superfisial

2.2.5 Gambaran Klinis


 Bentuk dan rupa kista ini seperti perut kodok yang menggelembung keluar
(Rana=Kodok)
 Dinding sangat tipis dan mengkilap
 Warna translucent
 Kebiru-biruan
 Palpasi ada fluktuasi
 Tumbuh lambat dan expansif

2.2.6 Diagnosis
Diagnosis mukokel bisa secara langsung dari riwayat penyakit, keadaan klinis dan
palpasi. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ranula:
1. Melakukan anamnesa lengkap dan cermat
 Secara visual
 Bimanual palpasi intra dan extra oral
 Punksi dan aspirasi
2. Melakukan pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis dengan kontras media, tanpa kontras media tidak
berguna

17
 Pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan biopsy.

Simple Ranula gambaran kliniknya relatif lebih khas sehingga diagnosa mudah
ditegakkan. Tampak sebagai suatu tonjolan berdinding tipis, licin, kebiruan dan transparan.
Pada palpasi terasa lunak dan fluktuasi. Kista ini terletak dibawah lidah, pada bagian depan
mulut. Plunging ranula lebih sulit menegakkan diagnosanya, karena gambarannya mirip
dengan banyak struktur kistik atau pembengkakan glandula yang lain pada leher.

Tidak ada tes diagnostik khusus untuk membedakan lesi-lesi tersebut. Maka
diagnosa plunging ranula hanya tergantung pada adanya hubungan anatomi kista dengan
glandula saliva dan gambaran histopatologis dinding kista sesudah eksisi. Gambaran
histopatologis simple ranula yaitu dinding kista dilapisi epitel, sedangkan plunging ranula
dinding kista tanpa dilapisi epitel.

Gambar 9. Gambar histopatologis memperlihatkan pengumpulan musin pada lumen


dibatasi oleh jaringan ikat dengan adanya sel-sel inflamatori (Ambika Gupta and
F. R. Karjodkar).

2.2.7 Diferensial Diagnosis


1. Differential Diagnosis Ranula superficial atau simple ranula
a. Batu kelenjar liur (Sialolith)
Pembentukan batu terjadi karena pengerasan kompleks kalsium di dalam glandula
saliva yang dapat menyumbat ductus saliva sehingga menyebabkan pembengkakan di
dasar mulut. Penyumbatan aliran saliva oleh batu akan mengakibatkan pembengkakan
dasar mulut yang keras, nyeri dan sakit. Gejala klinis yang khas adalah rasa sakit yang
hebat pada saat makan, menelan dan disertai adanya pembengkakan glandula saliva dan
sangat peka jika di palpasi.
b. Kista Dermoid

18
Terjadi akibat pembengkakan jaringan lunak yang berasal dari degenerasi kistik
dari epitel yang terjebak selama perkembangan embrionik. Kista dermoid dapat
dijumpai di mana saja di kulit, tetapi mempuyai kecenderungan timbul di dasar mulut.
Secara klasik tampak seperti kubah, tidak sakit, muncul di dasar mulut. Mukosa di
atasnya merah muda, lidah sedikit terangkat dan palpasi memberi konsistensi seperti
adonan. Pasien mengeluh sukar makan dan bicara.
c. Hemangioma
Hemangioma adalah tumor jinak vaskuler yang sering terjadi pada rongga mulut.
Etiologinya diduga berhubungan dengan abnormalitas proliferasi dari sel-sel
endotelium. Gambaran Hemangioma menyerupai kista ranula yang menunjukkan
adanya pembuluh darah.
2. Differential Diagnosis Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula profunda
a. Laryngocele
Laryngocele adalah penonjolan selaput lendir laring (kotak suara). Terjadi karena
tekanan intralaringeal meningkat. Laryngocele yang menonjol ke arah luar
(Laryngocele eksterna) menyebabkan benjolan di leher. Penderita juga bisa mengalami
disfagia (gangguan menelan), batuk atau merasakan adanya sesuatu di tenggorokannya.
Pada CT scan, Laryngocele tampak licin dan berbentuk seperti telur.
b. Sialadenitis
Terjadi karena peradangan dari glandula saliva dengan gambaran klinis :
 Malnutrition
 Mulut terasa kering
 Rasa sakit pada mulut atau wajah, terutama ketika makan
 Kulit kemerahan di samping wajah atau leher
 Pembengkakan pada wajah terutama di depan telinga, di bawah
rahang, atau di bawah lidah.
c. Cystic Hygroma
Terjadi karena anomali kongenital limfatik. Cystic Hygroma cenderung di bawah
musculus mylohyoideus dan dapat melibatkan segitiga anterior dan posterior dari leher.
Kista biasanya besar, halus dan berdinding tebal, berwarna pucat, serta transiluminasi
(berkas chaya akan melewati cairan). Perlu diketahui bahwa kulit di atas kista kadang-
kadang berwarna kebiruan.

19
d. Abses leher
Abses leher merupakan kumpulan nanah dari infeksi di ruang antara struktur leher.
Terjadi karena infeksi bakteri atau virus dikepala atau leher. Gejala yang ditimbulkan
yaitu :
 Demam
 Merah, bengkak tenggorokan, sakit, kadang-kadang hanya satu sisi.
 Tonjolan di bagian belakang tenggorokan
 Nyeri leher
 Sakit telinga
 Tubuh sakit
 Panas dingin
 Kesulitan menelan, berbicara atau bernapas
e. Ductus Thyroglossal Cyst
Kista ini biasanya terletak di garis tengah leher. Ditandai dengan terabanya massa
leher yang membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista.
Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri,
warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan
lidah. Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadang-kadang lebih besar. Bila
terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Beberapa orang mengeluh nyeri saat menelan
dan kulit di atasnya berwarna merah
f. Kista Kelenjar Paratiroid atau Tiroid
Kista ini berisi cairan bening atau darah dan biasanya bermanifestasi sebagai
massa leher tanpa gejala. Epitel kista ini berbentuk kubus atau kolumnar.
g. Cervical Thymic Cyst
Lesi dari mediastinum anterior leher. Gejala utamanya adalah kesulitan menelan
dan bernafas. Tanda yang paling sering ditemukan adalah adanya massa di leher
bagian lateral.
h. Pleomorphic adenoma
Tumor kelenjar liur jinak yang paling umum. Meskipun pleomorphic adenoma
paling sering terjadi pada kelenjar parotis, tumor ini kemungkinan juga ditemukan
dalam kelenjar liur submandibularis, sublingualis. Gambaran tumor biasanya
mulus, tetapi kadang-kadang muncul nodul di sepanjang permukaan tumor

20
2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ranula biasanya dilakukan dengan cara marsupialisasi ranula atau
pembuatan jendela pada lesi. Biasanya menggunakan anestesi blok lingual ditambah
dengan infiltrasi regional. Di sekitar tepi lesi ditempatkan rangkaianjahitan menyatukan
mukosa perifer dengan mukosa lesi danjaringan dasar lesi. Kemudian dilakukan juga
drainase dengan penekanan lesi. Setelah itu dilakukan eksisi pada atap lesi sesuai dengan
batas penjahitan kemudian lesi ditutup dengan tampon.

2.3 Sialadenititis
Sialadenitis adalah infeksi bakteri dari kelenjar salivatorius, biasanya disebabkan
oleh batu yang menghalangi atau hyposecretion kelenjar. Proses inflamasi yang melibatkan
kelenjar ludah disebabkan oleh banyak faktor etiologi. Proses ini dapat bersifat akut dan
dapat menyebabkan pembentukan abses terutama sebagai akibat infeksi bakteri.
Keterlibatannya dapat bersifat unilateral atau bilateral seperti pada infeksi virus.
Sedangkan Sialadenitis kronis nonspesifik merupakan akibat dari obstruksi duktus karena
sialolithiasis atau radiasi eksternal atau mungkin spesifik,yang disebabkan dari berbagai
agen menular dan gangguan imunologi.

2.3.1 Etiologi

Sialadenitis biasanya terjadi setelah obstruksi hiposekresi atau saluran tetapi dapat
berkembang tanpa penyebab yang jelas. Terdapat tiga kelenjar utama pada rongga mulut,
diantaranya adalah kelenjar parotis, submandibular, dan sublingual. Peradangan kronis
dapat terjadi pada parenkim kelenjar atau duktus seperti batu (sialolithiasis) yang
disebabkan karena infeksi (sialodochitis) dari Staphylococcus aureus, Streptococcus
viridians atau pneumococcus, dan berbagai bakteri anaerob. Selain itu terdapat komponen
obstruksi sekunder dari kalkulus air liur dan trauma pada kelenjar.

Faktor risiko yang dapat mengakibatkan sialadenitis antara lain dehidrasi, terapi
radiasi, stress, malnutrisi dan hiegine oral yang tidak tepat misalnya pada orang tua, orang
sakit, operasi, remaja dan dewasa muda dengan anoreksia juga rentan terhadap gangguan
ini. Sialadenitis paling sering terjadi pada kelenjar parotis dan biasanya terjadi pada pasien
dengan umur 50-an sampai 60-an, pada pasien sakit kronis dengan xerostomia, pasien

21
dengan sindrom Sjögren, dan pada mereka yang melakukan terapi radiasi pada rongga
mulut.

2.3.2 Klasifikasi Sialadenitis


a. Sialadenitis akut
Sialadenitis akut akan terlihat secara klinik sebagai pembengkakan atau
pembesaran glandula dan salurannya dengan disertai nyeri tekan dan rasa tidak nyaman
serta sering juga diikuti dengan demam dan lesu. Diagnosis dari keadaan sumbatan
biasanya lebih mudah ditentukan dengan berdasar pada keluhan subjektif dan gambaran
klinis. Penderita yang terkena sialadenitis akut seringkali dalam kondisi menderita dengan
pembengkakan yang besar dari glandula yang terkena. Regio yang terkena sangat nyeri
bila dipalpasi dan sedikit terasa lebih hangat dibandingkan daerah dekatnya yang tidak
terkena. Pemeriksaan muara duktus akan menunjukkan adanya peradangan, dan jika
terliaht ada aliran saliva, biasanya keruh dan purulen.
Pasien biasanya demam dan hitung darah lengkap menunjukkan leukositosis yang
merupakan tanda proses infeksi akut. Pemijatan glandula atau duktus (untuk mengeluarkan
secret) tidak dibenarkan dan tidak akan bisa ditolerir oleh pasien. Probing (pelebaran
duktus) juga merupakan kotraindikasi karena kemungkinan terjadinya inokulasi yang lebih
dalam atau masuknya organism lain, yang merupakan tindakan yang harus dihindarkan.
Sialografi yaitu pemeriksan glandula secara radiografis mensuplai medium kontras yang
mengandung iodine, juga sebaiknya ditunda. Bila terdapat bahan purulen, dilakukan kultur
aerob dan abaerob (Gordon, 1996).
b. Sialadenitis kronis
Infeksi atau sumbatan kronis membutuhkan pemeriksaan yang lebih menyeluruh,
yang meliputi probing, pemijatan glandula dan pemeriksaan radiografi. Palpasi pada
glandula saliva mayor yang mengalami keradangan kronis dan tidak nyeri
merupakan indikasi dan seringkali menunjukkan adanya perubahan atrofik dan kadang-
kadang fibrosis noduler. Sialadenitis kronis seringkali timbul apabila infeksi akut telah
menyebabkan kerusakan atau pembentukan jaringan parut atau pembentukan jaringan
parut atau perubahan fibrotik pada glandula.
Tampaknya glandula yang terkena tersebut rentan atau peka terhadap proses infeksi
lanjutan. Seperti pada sialadenotis akut, perawatan yang dipilih adalah kultur saliva dari
glandula yang terlibat dan pemberian antibiotic yang sesuai. Probing atau pelebaran duktus
akan sangat membantu jika sialolit ini menyebabkan penyempitan duktus sehingga

22
menghalangi aliran bebas dari saliva. Bila kasus infeksi kronis ini berulang-ulang terjadi,
maka diperlukan sialografi dan pemerasan untuk mengevaluasi fungsi glandula. Jika
terlihat adanya kerusakan glandula yang cukup besar, perlu dilakukan ekstirpasi glandula.
Pengambilan submandibularis tidak membawa tingkat kesulitan bedah dan kemungkinan
timbulnya rasa sakit sebagaimana pengambilan glandula parotidea. Karena kedekatannya
dengan n. facialis dan kemungkinan cedera selama pembedahan, maka glandula parotidea
yang mengalami gangguan biasanya dipertahankan lebih lama daripaa jika kerusakan
mengenai glandula submandibula.
c. Sialadenetis supuratif
Sialadenitis supuratif akut lebih jarang terjadi pada glandula submandibularis, dan
jika ada, seringkali disebabkan oleh sumbatan duktus dari batu saliva atau oleh benturan
langsung pada duktus. Dilakukan pemeriksaan kultur dari sekresi purulen dan terapi
antibiotic. Jika batu terletak pada bagian distal duktus (intraoral), batu harus dikeluarkan.
Jika sialolit terletak pada duktus proksimal. Kadang-kadang glandula harus dipotong untuk
mengontrol infeksi akut.

2.3.3 Gejala Umum

Meliputi gumpalan lembut yang nyeri di pipi atau di bawah dagu, terdapat
pembuangan pus dari glandula ke bawah mulut dan dalam kasus yang parah, demam,
menggigil dan malaise (bentuk umum rasa sakit). Gejala yang timbul biasanya unilateral
dan terdiri dari pembengkakan dan rasa sakit, serta trismus ringan. Pada tahap ini belum
dapat dilakukan penentuan diagnosa yang dapat ditentukan bila telah terjadi serangan
berulang kali. Pembengkakan terjadi selama 2-10 hari dan serangan terulang
kembalisetelah beberapa minggu atau bulan. Pembengkakan yang rekurens dan nyeri
didaerah kelenjar submandibula.
Demam terjadi jika timbul infeksi, menggigil, dan nyeri unilateral dan pembengkakan
berkembang. Kelenjar ini tegas dan lembut difus, dengan eritema dan edema pada kulit di
atasnya. Nanah sering dapat dinyatakan dari saluran dengan menekan kelenjar yang
terkena dampak dan harus berbudaya. Focal pembesaran mungkin menunjukkan abses.
Sekresi air liur yang sangat kental dapat dikeluarkan dari duktus dengan
melakukan penekanan pada kelenjar. Kelenjar ini dapat terasa panas dan membengkak

23
a. b.

Gambar 10. a. Pembengkakan kelenjar parotis kanan b.Sialadenitis bakteri akut dan
purulen keluar dari duktus Stensen (Burket,2015; Michael lewis 2013).

2.3.4 Patofisiologi Sialadenitis


Terjadi penurunan fungsi duktus oleh karena infeksi, penyumbatan atau trauma
menyebabkan aliran saliva akan berkurang atau bahkan terhenti. Batu ludah paling sering
didapatkan di kelenjar submandibula. Pada glandula utama, gangguan sekresi akan
menyebabkan stasis (penghentian atau penurunan aliran) dengan inspissations
(pengentalan atau penumpukan) yang seringkali menimbulkan infeksi atau peradangan.
Glandula saliva utama yang mengalami gengguan aliran saliva akan mudah mengalami
serangan organism melalui duktus atau pengumpulan organism yang terbawa aliran darah.

2.3.5 Penatalaksanaan
Perawatan awal harus mencakup hidrasi yang memadai, kebersihan mulut baik,
pijat berulang pada kelenjar, dan antibiotik intravena. Evaluasi USG atau computed
tomography (CT) akan menunjukkan apakah pembentukan abses telah terjadi. Sialography
merupakan kontraindikasi.Insisi dan drainase paling baik dilakukan dengan mengangkat
penutup parotidectomy standar dan kemudian menggunakan hemostat untuk membuat
beberapa bukaan ke dalam kelenjar, tersebar di arah umum dari syaraf wajah. Sebuah
saluran kemudian ditempatkan di atas kelenjar dan luka tertutup. Dalam beberapa kasus,
dimungkinkan untuk melakukan aspirasi jarum yang dipandu CT atau USG-pada abses
parotis, yang dapat membantu menghindari prosedur operasi terbuka. Hal ini juga untuk
diingat bahwa fluktuasi kelenjar parotis tidak terjadi sampai fase sangat terlambat karena
beberapa investasi fasia dalam kelenjar. Jadi, adalah mustahil untuk menentukan adanya
pembentukan abses awal berdasarkan pemeriksaan fisik saja.
Pada semua keadaan, lubang masuk duktus harus diperlebar dengan beberapa probe
lakrimal. Batu pada duktus dapat dikeluarkan dengan membuat insisi ke duktus dari
mukosa mulut. Batu yang terletak lebih di dalam, memerlukan insisi linear eksternal. Bila

24
faktor penyebab tidak dapat dihilangkan, sebaiknya usahakan untuk memperbesar aliran
dengan cara mengunyah permen karet. Periode akut dapat dikontrol dengan kombinasi
antibiotic dan massage kelenjar. Pada keadaan yang lebih parah, gejala yang ada dapat
dikontrol dengan pengikatan duktus atau parotidektomi permukaan.
Pengikatan duktus hanya dilakukan bila ada hiposekresi yang hebat, mialnya bila
sindrom sicca atau kerusakan kelenjar telah sangat besar. Bila kecepatan sekresi tinggi,
parotidektomi merupakan indikasi. Kadang-kadang terjadi infeksi akut pada kelenjar yang
tersumbat, dan perawatan dengan antibiotic (terutama penisilin) diperlukan sebelum
perawatan yang lebih menyeluruh dilakukan.
Langkah pertama adalah untuk memastikan pasien memiliki cukup cairan dalam
tubuh. Pasien mungkin harus menerima cairan intravena (melalui pembuluh darah).
Berikutnya, akan diberikan antibiotik untuk menghancurkan bakteri. Setelah jumlah cairan
telah dipulihkan, dokter dapat merekomendasikan permen asam tanpa gula atau permen.,
yang dapat merangsang tubuh memproduksi saliva lebih banyak. Jika infeksi tidak
membaik, mungkin diperlukan pembedahan untuk membuka kelenjar. Jika sialadenitis
disebabkan oleh batu di saluran, batu mungkin perlu dihilangkan dengan cara operasi.

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang Sialadenitis


Hasil pemeriksaan menunjukkan pembengkakan elastic yang nyeri serta pre-
aurikular, dengan kulit di atasnya normal. Lubang masuk duktus meradang dan jumlah
sekresi ludah berkurang, sedang massage kelenjar dapat menghasilkan kotorsn flokulen
kental disertai aliran ludah yang deras.
Radiograf pada bidang postero-anterior bagian depan duktus, dengan film yang
diletakkan pada pipi dapat menunjukkan batu, bila batu tersebut memang ada.
Sialograf harus dilakukan pad setiap keadaan diantara serangan akut yang satu ke
serangan berikut, dan dapat menunjukkan pembesaran duktus utama, penyempitan, cacat
radiolusen (baturadiolusen), sialektasis (sindrom sicca), atau pada keadan yang sangat
parah, ketidak teraturan yang menyeluruh. Keadaan abnormal terbatas pada cabang duktus
dan daerah-daerah yang berhubungan dengannya.
Pemeriksaan jumlah saliva yang berkurang memang dianjurkan, untuk
membandingkan aliran dari kelenjar ini dengan kelenjar lain, tetapi cara pemeriksaan ini
masih dalam penelitian. Kanula Lashley dipasang pada tiap duktus atau ludah ditampung
setelah paien mengunyah permen karet atau setelah dilakukan penyuntikan pilokarpin

25
secara intravena. Kecepatan aliran ludah yang normal 1 ml per menit dan pada sebagian
bear keadaan tersebut biasanya bersifat bilateral.
Bila terdapat sindrom sicca, dapat terjadi penurunan sekresi yang simetris.
Prognosa keadaan ini berhubungan dengan kecepatan sekresi, prognosa lebih baik bila
volume sekresi normal atau sedikit berkurang. Pembengkakan rekuren (submandibula)
disebabkan oleh neoplasma yang terletak dalam kelenjar yang menimbulkan penyumbatan
duktus. Hasil pemeriksaan menunjukkan kelenjar submandibula yang membesar, keras,
dan pembengkakan dapat dilihat dengan meminta pasien mengingat makanan yang
disenanginya atau mengiap jeruk. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan berkurangnya
aliran ludah dari duktus yang terserang.
Hasil pemeriksaan radiograf yang oblique dan oklusal dari dasar mulut
menunjukkan adanya batu. Perawatan dari keadaan ini meliputi pengeluaran batu bila batu
terletak di atas otot milohoid atau memotong kelenjar bila batu terletak di bawah daerah
yang masih dapat dicapai secara intra-oral. Pemotongan kelenjar juga perlu dilakukan bila
gejala yang hebat timbul berulang kali. Keadaan ini, seperti terlihat pada hasil sialograf,
berhubungna dengan kerusakan kelenjar yang sangat luas dan sialektasis yang mungkin
berasal dari infeksi atau penyempitan duktus.

2.4 Sjorgen Syndrome


Sjorgen syndrome merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi
abnormal dari extra antibodi dalam darah yang diarahkan terhadap berbagai jaringan tubuh.
Sjorgen syndrome merupakan suatu penyakit autoimun peradangan pada kelenjar saliva
yang dapat menyebabkan mulut kering dan bibir kering.

2.4.1 Etiologi
Beberapa penelitian menunjukan bahwa sindrom sjogren merupakan suatu penyakit
autoimun yang target utamanya adalah sel epitel duktus kelenjar eksokrin. Namun
demikian, terdapat pula hiperaktivitas sel-B sistemik, seperti yang dibuktikan dengan
adanya antibody antinuclear dan RF (walaupun tanpa disertai RA). Sebagian besar pasien
sindrom sjogren primer mempunyai autoantibody terhadap antigen SS-A (RO) dan SS-B
(La) ribonukleoprotein (RNP), perhatikan bahwa antibody ini terdapat pula pada beberapa
pasien SLE sehingga tidak bersifat diagnostic untuk sindrom sjogren. Meskipun para
pasien dengan titer antibody anti-SS-A yang tinggi lebih mungkin untuk mengalami

26
manifestasi sistemik (eksraglandular), tidak terdapat bukti bahwa autoantibody tersebut
menyebabkan jejas jaringan primer.
Faktor genetik berperan dalam pathogenesis sindrom sjogren. Seperti pada SLE,
molekul MCH II tertentu yang diturunkan ajann memudahkan munculnya autoantibody
RNP yang spesifik. Serupa dengan SLE pula, penyakit tersebut mungkin diawali dengan
gilangnya toleransi dalam populasi sel-T CD4+, meskipun sifat autoantigen yang di kenali
sulit dipahami.

2.4.2 Patofisiologi

Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi SS tidak hanya sistem imun seluler
tetapi juga sistem imun selular. bukti keterlibatan sistem humoral ini dapat dilihat adanya
hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang berada dalam sirkulasi.
autoantbodi yang dapat dideteksi pada SS ini ada dua jenis :

 Antibodi spesifik organ : antibodi kelenjar saliva, tirois, mukosa, gaster, eritrosit,
pangkreas, prostat dan serat saraf. Autoantibodi ini dijumpai sekitar 60% pasien SS.

 Antibodi non spesifik organ : Faktor reumatoid, ANA, anti-RO, anto-LA

Gambaran histologi yang dijumpai pada SS adalah kelenjar eksokrin dipenuhi


infiltrasi dominan limfosit T dan B terutama daerah sekitar sluran kelenjar atau duktus
gambaran histopatologis ini dapat ditemukan pada saluran kelenjar saliva, lakrimal serta
kelenjar eksokrin yang lainnya pada kulit, saluran nafas, saluran cerna, dan vagina. Fenotif
limposot T yang mendominasi adalh sel T CD4+, sel-sel ini memproduksi berbagai
interleukin antara lain IL-2,IL-4, IL-6, IL-1a dan TNF-a. sitokin-sitokin ini merubah fungsi
epitel dalam mempersentasikan protein, merangsang apoptosis sel epitelial kelenjar melalui
regulasi Fas. Sel B selain menginfiltrasi pada kelenjar, sel B ini juga memproduksi
imunoglobulin dan autoantibodi.

Adanya infiltrasi linfosit yang mengganti sel epitel kelenjar eksokrin, menyebabkan
menurunnya fungsi kelenjar yang menimbulkan gejala klinik. pada kelenjar saliva dan
mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. Keradangan pada kelenjar eksokrin
pada pemeriksan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjar.

Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanya suatu gambaran


hipergammaglobulin. Peningkatan imunoglobulin antara lain faktor reumatoid , ANA dan

27
antibodi non spesifik organ. Pada tahun 1984 ditemukan autoantibodi terhadap Ro(SS-A)
yang dikenal sebagai ribonukleoprotein partikel yang terdiri dari hY-RNA dan 60 k Da
protein sedang anti La (SS-B) juga suatu ribonukleoprotein partikel yang dihubungkan
dengan RNA polimerase III transkrip. Adanya antibodi Ro dan anti-La ini dihubungkan
dengan gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran kelenjar parotid yang berulang.
Splenomegali, limfodenopati, dan anti-La sering dihubungkan dengan infiltrasi pada
kelenjar eksokrin minor.

Oligoklonal hiperaktiviti serta monoklonalgammopati merupakan imunologi humoral


yang dijumpai pada SS. Produksi globin dan autoantibodi melalui infiltrasi pada kelenjar
eksokrin minor, dan fenotip sel B yang mensintesis imunoglobulin adalah CD5+. Faktor
genetik, infeksi, hormonal, serta psikologis diduga berperan pada patogenesis , yang
mungkin sistem imun teraktivasi.

2.4.3 Diagnosis

Peradangan kelenjar saliva dapat dideteksi dengan radiologic scan, juga dapat
dilihat dengan berkurangnya kemampuan kelenjar saliva memproduksi air liur. Dapat juga
didiagnosis dengan cara biopsi. Untuk mendapatka sampel biopsi, biasa digunakan pada
kelenjar dari bibir bawah. Prosedur biopsi kelenjar saliva bibir bawah diawali dengan
anastesi lokal kemudian dibuat sayatan kecil dibagian dalam bibir bawah.

Banyak gejala SS yang non spesifik sehingga seringkali menyulitkan dalam


mendiagnosis. Ketepatan mebuat diagnosis diperlukan waktu pengamatan yang panjang.
Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik akhirnya American European
membuat suatu konsesus untuk menegakkan diagnosis SS criteria ini mempunyai
sensitivitas spesifisitas sebesar 95%.

Adapun kriteria tersebut:

 Gejala mulut kering


 Gejala mata kering
 Tanda mata kering dibuktikan dengan tes schemer atau tes Rose Bengal
 Tes fungis kelenjar saliva, abnormal flow rate dengan skintigrafi atau sialogram
 Biopsy kelenjar ludah minor
 Autoantibody (SS-A, SS-B)

28
SS bila memenuhi 4 kriteria, 1 di antaranya terbukti pada biopsy kelenjar eksokrin
minor atau positif autoantibody.

TES SCHIMER’S

Tes ini digunakan untuk evaluasi produksi kelenjar air mata. Tes dilakukan dengan
menggunakan kertas filter dengan panjang 30 mm, caranya kertas ditaruh dikelopak mata
bagian bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menit emudian dilihat seberapa panjang
pembasahan ari mata pada kertas filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit
maka tes positif.

2.4.4 Manifestasi Klinis


a. Manifestasi pada kulit

Manifestasi kulit merupakan gejala ekstraglandural yang paling sering di jumpai

 Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang paling sering,dan
vaskulitis merupakan petanda prognosis buruk
 Manifestasi vaskulitis bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil
 Vaskulitis darah sedang ini terkait dengan krioglobulin, dan vaskulitis darah kecil
berupa purpura
b. Manifestasi paru

 Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit bronkial dan
bronkiolar dan saluran nafas kecil yang sering kali terekena. Intersititial lung
diseasae lebih sering di jumpai pada SS primer dengan gambaran patologi infiltrasi
limfosit pada intersisial atau fibrosis yang berat.adanya pembesaran kelenjar limfe
parahiler yang sering menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma)
 Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder memberikan gambaran yang
berbeda. Pada sekunder SS, manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit
yang mendasari
c. Manifestasi pembuluh darah

 Vaskilitis ditemukan hanya sekitar 5% dapat mengenal pembuluh darah sedang


maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria yang
berulang, ulkus kulit dan mononeuritis multiplek.vaskulitis pada organ internal
jarang ditemukan. Berdasarkan infiltrasi selnya terdapat 2 macam bentuk vaskulitis,

29
vaskulitis dengan infiltrasi sel mononuklir, neutrofil, dan vaskulitis dengan tipe
infiltrasi sel neutrofil sering kali di hubungkan denganhipergammaglobulin
 Raynoud’s fenomena dijumpai pada 35% kasus dan biasanya muncul setelah
sindrom sicca terjadi sudah bartahun-tahun,dan tanpa disertai teleektasis dan
ulserasi seperti pada skleroderma
d. Manifestasi ginjal

 Keterlibatan ginjal hanya hanya ditemukan sekitar 10%. Manifestasi yang tersering
berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa
hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremik, renal tubular asidesis tipe distal.
Yang sering di jumpai di klinik gambarannya tidak jelas dan acapkali menimbulkan
komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal.
 Gejala hipokalemia sering kali di jumpai di klinik dengan manifestasi kelemahan
otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi limfosit pada jaringan intersisial
Manifestasi glomuruler kondisinya lebih serius dan biasanya terkait dengan
krioglobulinemia.
e. Manifestasi neuromuskular

 Manifestasi neurologi yaitu di akibatkan vaskulitis pada sistem saraf dengan


manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropatijuga dapat dijumpai pada SS,
gambaran klinis kranial neuropati biasanya mengenai serat saraf tunggal, misalnya
neuropati trigeminal, atau neuropati optik.
 Neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang tersering pada sindrom
Sjogren kemungkinan terjadi kerusakan neuron sensorik pada dorsal root dan
ganglia gasserian. Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot
dalam batas normal
f. Manifestasi Gastrointestinal

 Keluhan yang sering di jumpai adlah diasfagia, karena kekeringan daerah


kerongkongan, mulut dan esofagus, selain itu faktor diosmotilitas esofagus akan
menambah kesulitan proses menelan.
 Mual dan nyeri perut daerah epigastrik juga sering di jumpai. Biopsi mukosa
lambung menunjukan gastritis kronik atropik yang secara histopatolohi di dapatkan
infiltrasi limfosit. Gambaran ini persis seperti yang di dapati pada kelenjar liur. Di

30
dapatkan juga Hepatomagali, AMA positif, serta peningkatan alkali fosfatase,
sirosis bilier primer lebih sering pada tipe primer
g. Manifestasi Hematologi

 Gambaran hemetalogi tidak spesifik sperti pada penyakit autoimun lainnya. Pada
pemeriksaan rutin laboratorium hanya didapatkan anemia ringan.
 Leukopenia hanya didapatkan 10%,peningkatan LED tanpa disertai peningkatan
CRP khas pada SS primer, hipergammaglobulin di temukan hampir pada 80%.

2.4.6 Penatalaksanaan

Mulut yang kering dapat dibantu dengan minum air yang banyak dan perawatan
gigi yang baik untuk menghindari kerusakan pada gigi. Kelenjar dapat dirangsang dengan
menghisap tetesan air lemon tanpa gula atau gliserin pembersih. Perawatan tambahan
untuk gejala mulut kering adalah obat resep untuk menstimulasi air liur seperti pilocarpine
dan ceuimeline. Obat-obatan ini harus dihinari oleh orang yang berpenyakit jantung, asma,
dan glukoma. Banyak orang yang dapat mengatasi mata kering dan mulut kering yang
terkait dengan sindrom Sjogren dengan menggunakan obat tetes mata yang dijual bebas
dan minum air lebih sering. Tetapi beberapa orang mungkin membutuhkan obat-obatan
atau bahkan memerlukan tindakan operasi.
a. Obat-obatan
 Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin). Digunakan untuk terapi sicca
symptom karena merangsang reseptor M1 dan M3 pada kelenjar ludah sehingga
meningkatkan fungsi sekresi. Suatu penelitian pasien Sindrom Sjogren yang
diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu terdapat perbaikan keluhan.
Sementara itu penelitian lain menggunakan Cevimelin dengan dosis 3 x 15 mg/30
mg selama 6 minggu juga dapat memperbaiki keluhan. Sedangkan penelitian di
Loannina. pada 29 pasien SS yang mendapat Pilokarpin 2 x 5 mg selama 12 minggu juga
terdapat perbaikan keluhan. Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren
primer dan sekunder yang diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama
12 minggu terdapat perbaikan keluhan mata dan mulut kering. Pilokarpin dapat
meningkatkan produksi kelenjar saliva dan mata. Efek samping pilokarpin berupa
keringat yang berlebih, diare, rasa panas dikulit terutama disekitar wajah dan leher,
nyeri otot, ingusan dan gangguan penglihatan..

31
 Agen Biologik. Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren
primer yang diterapi dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2,
minggu 6 terdapat perbaikan keluhan. Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2
dengan prednison 25 mgi.v pada 8 pasien sindrom sjogren primer selama 12
minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut kering.
 Terapi lain. Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan
prednisolone secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS.
Hidroksiklorokuin yang digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk
penyakit autoimun dan dari penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer dapat
meningkatkan produksi kelenjar saliva setelah diterapi selama 6 bulan. Sedangkan
penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis 400 mg /hari
selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat perbaikan keluhan.

1. Obat untuk meningkatkan produksi air liur

Obat-obatan jenis ini antara lain, pilocarpine (Salagen) dan cevimeline (Evoxac) dapat
meningkatkan produksi air liur, dan kadang-kadang juga meningkatkan produksi air
mata. Efek samping yang dapat terjadi, antara lain berkeringat, sakit perut, diare, dan
sering buang air.

2. Obat untuk komplikasi tertentu dari sindrom Sjogren

Jika sindrom ini berkembang menjadi gejala-gejala seperti arthritis, dapat diatasi
dengan obat nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) atau obat arthritis yang
lain. Jika terjadi infeksi jamur oleh karena keringnya rongga mulut, harus diobati
dengan obat antijamur.

3. Obat untuk mengatasi semua gejala sindrom Sjogren secara luas

Hydroxychloroquine (Plaquenil) merupakan obat yang dirancang untuk mengobati


malaria, obat ini sering membantu dalam mengobati sindrom Sjogren. Obat-obatan
yang menekan sistem kekebalan tubuh, seperti methotrexate atau siklosporin, mungkin
juga akan diresepkan oleh dokter.

b. Operasi
Untuk mengurangi kering pada mata, dapat dipertimbangkan untuk menjalani
prosedur bedah minor untuk menutup saluran air mata. Saluran air mata tersebut
merupakan saluran yang mengeluarkan air mata dari mata (punctal occlusion) dan

32
menyebabkan air mata habis, sehingga mata kering. Kolagen atau silikon dapat
dimasukkan ke dalam saluran sebagai penutup sementara. Tindakan operasi yang lain juga
dapat dengan menggunakan laser untuk menutup saluran air mata secara permanen.

2.5 Sialolitiasis / salivary calculi atau salivary stones

2.5.1 Definisi
Sialolithiasis adalah pembentukan batu (kalkulus) pada kelenjar saliva,
sialolithiasis diduga karena penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar
saliva dan mengalami proses kalsifikasi hingga terbentuk batu. Dimana komposisi batu
terbentuk dari kalsium dan fosfat yang bersifat sebagai heteropik kalsifikasi, namun kadar
serum kalsium dan fosfat didalam darah dalam batas normal, hal tersebut diketahui sebagai
“idiopatik kalsifikasi.
Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada
kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus
kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena penumpukan
bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami proses kalsifikasi
hingga terbentuk batu.
Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula
(warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari sekresi
kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada duktus
submandibula sehingga muncul sialolithiasis.

2.5.2 Epidemiologi
Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar saliva,
diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian pada laki-laki
dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara 25 tahun
sampai 50 tahun. 80-90% sialolithiasis ditemukan pada kelenjar submandibula, 6% pada
kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2% ditemukan pada kelenjar liur minor.
Terdapat dua faktor penting yang menjadi alasan tingginya kejadian sialolithiasis
pada kelenjar submandibula. Pertama, sifat saliva yang dihasilkan oleh kelenjar
submandibula mengandung banyak mucin, bahan organik, enzim fosfatase, kalsium, fosfat,
pH alkalin, karbon dioksida rendah. Kedua, faktor anatomi dimana warthon’s duct panjang

33
dan berkelok, posisi orifisium lebih tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil
dari lumennya.
Kasus terjadinya sialoltihiasis billateral pada kedua kelenjar sangat jarang terjadi
dengan angka kejadian kurang dari 3 % kasus, dan dilaporkan 88% kalkulus adalah kurang
dari 10 mm, dan sisa nya bisa melebihi dari 15 mm namun sangat jarang terjadi, dan
sialolthiasis dapat terjadi pada semua umur namun pada anak-anak sangat jarang, dan pada
dewasa antara umur 30 tahun sampai 60 tahun yang paling sering terjadi

2.5.3 Etiologi dan Patofisiologi


Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu saliva
mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus, Streptococcus
viridans) dari kelenjar, Sjögren's sindrom dan atau peningkatan kalsium, dehidrasi, yang
meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan berkurang, yang menurunkan permintaan
untuk saliva, atau obat yang menurunkan produksi saliva, termasuk anti histamin tertentu,
anti hipertensi (diuretic) dan anti psikotik, tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara
idiopatik.
Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik di
permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan debris sel.
Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Sedangkan ion
kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang menyusunnya antara
lain mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit [Ca3(PO4)]. Pengamatan dengan
menggunakan transmisi mikroskop elektron dan mikroanalisis X – ray.
Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai struktur mitokondria,
lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah satu penyebab
proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula.1 Etiologi sialolithiasis belum
diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan untuk menjelaskan terjadinya
penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intracellular microcalculi ke dalam saluran duktus
dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan adanya substansi dan bakteri dari rongga
mulut yang migrasi ke dalam duktus salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua
hipotesis ini sebagai pemicu nidus organik yang kemudian berkembang menjadi
penumpukan substansi organik dan inorganik.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya batu,
yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan menurunnya sintesis

34
glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran sel akibat proses
penuaan.

2.5.4 Diagnosa Klinis


1. Pemeriksaan Fisik

Batu dapat dideteksi dengan palpasi dan bantuan radiografi (sialography) bisa
berbentuk lonjong atau bulat, kasar atau halus dengan ukuran yang bervariasi. Batu
umumnya berwarna kuning muda yang jika dipotong akan kelihatan struktur yang
homogeny tetapi lebih sering berlapis-lapis. Beberapa kasus dilaporkan dibagian sulkus,
bibir bawah, palatum dan lidah. Biasanya merupakan massa kecil yang solid, keras, dapat
digerakkan (dapat berpindah-pindah) bisa dengan atau simtom.

Gambar 11. Sialolith pada duktus kelenjar submandibular kiri (Burkett, 2012).

Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala


apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten
merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan dengan
selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi saliva
meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehingga terjadilah
stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar.
Stagnasi yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai
sekret yang supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul
gejala infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva
yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis. Palpasi bimanual di
dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan calculi pada duktus
submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan kelenjar. Perabaan ini juga
berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva (hypofunctional atau non-functional

35
gland). Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis sialolithiasis, radiografi oklusal
berguna dalam menunjukkan batu radiopaque.

2.5.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Radiologis Imaging
Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva antara
lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan), Sialography,
Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan Nuclear Scintigraphy.
Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu dalam mengevaluasi pasien
dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang berkaitan dengan gangguan kelenjar
saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.

1. Plain - Film Radiography


Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plainfoto masih
dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini banyak
memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi sialolithiasis
submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit untuk mengevaluasi
batu di glandula atau batu yang kecil. Hanya 20% sialolith yang radiotransparent sehingga
metode ini hanya digunakan untuk skreening bila metode lainnya tidak tersedia. Untuk
memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan film dari berbagai sudut yang berbeda,
termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting untuk mendapatkan gambaran yang jelas,
dimana batu kadang-kadang tertutup oleh tulang mandibula. Sehingga perlu diambil
gambaran dari rongga mulut dan regio submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus
dengan dental-film atau anteroposterior view tulang mandibula.

Gambar 12. Plain radiografi (Philips, John danTerry, 2006).

36
2. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya pada tahun
1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia sering digunakan, karena
cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis dengan potongan tiap milimeter. Akan
tetapi CT scan tidak bisa menentukan lokasi batu yang kecil secara tepat, kadang kala
irisannya tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran hyperdense.

Gambar 13. CT Scan Kelenjar parotis dan submandibular (Philips, John dan Terry, 2006)

3. Ultrasonography (USG)
Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan dan hasil
yang didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dipendent) dan image
yang dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali dia mengerjakan
sendiri. USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis. Untuk memperjelas
hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan tranducer linier dan kontak
permukaan yang kecil. Gambar diperoleh terutama menggunakan bidang aksial
submandibula dengan setelan oblique untuk menentukan letak lesi dan menelusuri
pembuluh darah. Penekanan seminimal mungkin untuk menghindari distorsi anatomis.

Gambar 14. USG Kel. Submandibula dan USG Kel.Parotid (Ponni V, 2012).

37
4. Sialography (Sebagai Gold Standar)
Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque (opacification)
pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa water soluble
radiopaque dye secara retrograde intracanular. Cara ini dianggap sebagai gold standar
karena dapat memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu, tapi juga struktur
morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses inflamasi, dan penyakit
obstruktif lainnya. Keuntungan sialografi bisa bersifat terapeutik, dimana cairan dye
menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong keluar melalui orifisium duktus
(caruncula sublingualis). Kerugian metode ini antara lain, dapat menyebabkan nyeri,
infeksi, anafilaktik shock, dan perforasi dinding duktus, kadang-kadang justru mendorong
batu menjauhi caruncula. Oleh karena itu, sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi
infeksi akut karena akan memicu meningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini
diminimalisir dengan teknik pengembangan tanpa kontras, cukup dengan merangsang
saliva sebagai pengganti fungsi kontras (yaitu Magnetic Resonance Sialography).

Gambar 15. Sialografi (Philips, John dan Terry, 2006).

5. Magnetic Resonance (MR) Sialography


MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif baru dengan
akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91% spesifisitas 94% nilai pediksi
positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal ini lebih baik dari sialografi konvensional.
Secara teknis fungsi bahan kontras digantikan oleh saliva (natural contras) yang dirangsang
produksinya dengan orange juice, dan menggunakan imaging T2-Weighted turbo spin-
echo slides bidang sagital dan axial. Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak
menggunakan bahan kontras, tidak ada radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga
bisa mengevaluasi kelainan fungsi kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan

38
teknik ini membutuhkan waktu yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai
kontras alami, menimbulkan rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.
b. Endoskopi
Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedur noninvasif
yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk cabang sekunder dan
tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat jalan dengan menggunakan
anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi atau setengah berbaring. Fungsi
utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus diagnosis obstruksi dan striktur sistem
duktus serta pengambilan sialolith. Pada prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan
memasukkan sistem semirigid ke intraluminar duktus melalui caruncula sublingualis.
Diameter Sialendoskop yang sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi
intraluminar dan kondisi patologis dapat diamati secara langsung.8,15,16 Selain diagnostik,
metode ini bisa melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan
pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation. Indikasi
penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada kelenjar atau duktus
saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi mutlak termasuk pada
anak maupun manula, karena selain minimal invasif Sialendoskopi hanya membutuhkan
anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja.8 Pada keadaan tertentu Sialendoskopi dapat
menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi
infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).

Gambar 16. Sialoendoskopi dan Intraluminar ( Al Abri dan Maschal F, 2010).

2.5.6 Penatalaksanaan
1. Tanpa pembedahan
Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan antibiotik
dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara spontan.
pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan NSAID (e.g

39
ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria diobati dengan
antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875 mg amoxicillin dan asam
klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu minggu ) atau augmentin, cefzil,
ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam termasuk makanan dan minuman juga
dianjurkan untuk menghindari pembentukan batu lebih lanjut dalam kelenjar saliva,
sialologues (lemon tetes yang merangsang Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau
masase pada kelenjar.
Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan
tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama bila
berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering
diterapkan.

2. Pembedahan
Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk
mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,
terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10 mm),
atau lokasi yang sulit. Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa dilakukan
tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk mengeluarkannya. Pada batu
yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan diseksi pada duktus dengan
menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa dilakukan dengan anestesi lokal maupun
general, tapi sering menimbulkan nyeri berat post operative. Harus dilakukan dengan
anestesi general, bila lokasi batu berada pada gland's pelvis. Pada kasus ini harus
dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat kesulitan yang tinggi, karena harus
menghindari cabang-cabang dari n. facialis.

3. Minimal invasif
3.1 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif pada
sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan pankreas,
ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai tahun 1990an.
Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang kecil sehingga
tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan juga fragmen
calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.

40
Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula
maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis. Inflamasi
akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan merupakan kontra
indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic diathesis), kelainan
kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan kontraindikasi umum ESWL. Metode
ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah
berbaring (semi-reclining position). Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm
dan kedalaman 20mm sehingga lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang
digunakan disesuaikan dengan batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa.
Tembakan dilakukan 120 impacts per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per
menit. Setiap sesion sekitar 1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu
bulan.
Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.
Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography, echography
probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi fragmen. Beberapa
penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas keberhasilan penggunaan
ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus dimana 68% pasien terbebas dari
simptom setelah difollow up selama 3 tahun, Cappaccio et al dengan 322 kasus
melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan
menggunakan ESWL.

Gambar 17. ESWL Parotis (Katz,2004).

3.2 Sialendoskopi
Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar
saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk
diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi, striktur,
dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi merupakan complete
exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang sekunder dan tersier.

41
Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi adalah semua pembengkakan
intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya. Koch et al lebih khusus
menjelaskan indikasinya, antara lain untuk :
1) deteksi sialolith yang samar,
2) deteksi dini pembentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan profilaksis
pembentukan batu,
3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,
4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,
5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang melibatkan
kelenjar saliva,
6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.

Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive yang
hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-anak,
dewasa maupun usia lanjut. Teknik Intervensi Sialendoskopi. Sialendoskopi dilakukan
dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan bahan anestesi
(xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan bertahap dengan probe
yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter sialendoskop. Kemudian
sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva diikuti pembilasan dengan
cairan isotonik melalui probe.
Pembilasan dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar
saliva ini diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak
bisa masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Bila
didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya. Untuk
pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau < 3 mm pada
kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita masukkan ke dalam
working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan diameter 1 mm atau stone
extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan sialendoskop ditarik dengan
forcep penghisapnya .
Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser helium ke
dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-kecil. Kemudian
bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama. Sedangkan pada kasus
mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan pembilasan dan penghisapan.

42
Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus submandibula
menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu dengan tujuan 1)
menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar orifisium, dan 3)
sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva. Pemberian
hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah striktur juga dapat
mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendoskopi.

Gambar 18. Pengambilan batu dengan Sialoendoscopi (serbecti,2007).

4. Decision Tree
Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik maupun
terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi pada saluran
kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada kelenjar saliva
yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan sialendoskopi atau MR
sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi merupakan pilihan utama
pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada kasus kelenjar bilateral
direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk melihat tekstur kelenjar,
jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.

43
Gambar 19. Diagram Evaluasi dan ManAjemen Sialolitiasis (Franchis Marchal MD PD,
Pavel Dulguerov, 2003)

Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm parotis)
maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan ukuran > 4 mm
submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil
menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan dengan Wire Basket Extraxion.
Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup dilakukan dilatasi menggunakan metalic
dilator (main duct) atau dengan balloon catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.
Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun
minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:
1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus
2) perdarahan post operative,
3) striktur sistem duktal,
4) pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal therapy,
dan
6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan
untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

Gambar 20. Wire basket dan metalik dilator dengan balon (Al Abri dan Marcshal, 2010)

2.5.7 Komplikasi
Komplikasi meliputi obstruksi terus-menerus dari saluran, yang mengarah ke invasi
bakteri, pertumbuhan berlebih dan infeksi yang menyebabkan sialoadenitis. Segala bentuk
intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun minimal invasif dapat
menimbulkan komplikasi antara lain:
1) Kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus
2) Perdarahan post operative,

44
3) Striktur sistem duktal,
4) Pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,
5) Kutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal therapy, dan
6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.
Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih memungkinkan untuk
meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

2.6 Xerostomia

2.6.1 Definisi
Xerostomia secara harfiah “mulut kering”, berasal dari bahasa Yunani (xeros= kering;
stoma = mulut). Xerostomia adalah keluhan subyektif pada pasien berupa adanya rasa
kering dalam rongga mulutnya akibat adanya penurunan produksi daliva (hiposalivasi) dan
atau perubahan komposisi saliva. Xerostomia merupakan term konvensional yang
digunakan untuk keluhan subyektif pasien terhadap mulut kering, tetapi hiposalivasi
merupakan kondisi obyektif tentang penurunan sekresi saliva. Walaupun sebagian besar
pasien xerostomia mengalami hiposalivasi tetapi sebagian tidak demikian. Di lain sisi
pasien yang dalam pengukuran mengalami hiposalivasi tetapi tidak mengeluhkan adanya
xerostomia.

Gambar 21. Keluhan Obyektif dan Subjektif Xerostomia (Sugiya H, 2014)

2.6.2 Etiologi
Xerostomia dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain efek radioterapi, efek
farmakologis atau efek samping obat-obatan, gangguan kelenjar saliva, gangguan sistem

45
syaraf, faktor-faktor lokal seperti kebiasaan buruk, defisiensi nutrisi dan hormonal,
keadaan fisiologis serta penyakit sistemik.

1. Efek Radioterapi pada Daerah Kepala dan Leher


Gangguan fungsi kelenjar saliva setelah terapi radiasi pada daerah kepala dan leher
untuk perawatan kanker sudah banyak diketahui. Jumlah dan keparahan kerusakan
jaringan kelenjar saliva tergantung dosis dan lamanya penyinaran (Tabel).
Tabel 1. Hubungan antara dosis penyinaran dan sekresi saliva (Scully C, Bagan JV, 2004)

Pengaruh radiasi lebih banyak mengenai sel asini dari kelenjar saliva serous
dibandingkan dengan kelenjar saliva mukus. Penyinaran kelenjar saliva berakibat
berkurangnya volume saliva, dengan terjadinya gejala-gejala antara lain: kepekatan
saliva, pH saliva lebih rendah, kecepatan sekresi protein berkurang, sedang konsentrasi
protein naik, konsentrasi sekresi IgA berkurang, konsentrasi elektrolit bertambah,
jumlah mikroorganisme kariogenik naik, terutama Candida, laktobasilus dan
streptokokus.

2. Efek Samping Obat-obatan


Banyak sekali obat yang mempengaruhi sekresi saliva. Lebih dari 600 obat
dilaporkan dapat menyebabkan xerostomia sebagai efek samping. Pada tabel
dicantumkan kelompok obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya mulut kering.
Tabel 2. Obat-obatan yang menyebabkan mulut kering (Scully C, Bagan JV, 2004)

46
Obat-obat tersebut mempengaruhi aliran saliva dengan meniru aksi sistem syaraf
autonom atau dengan secara langsung beraksi pada proses seluler yang diperlukan untuk
salivasi. Oleh karena sekresi air dan elektrolit terutama diatur oleh sistem syaraf
parasimpatis, obat-obatan dengan pengaruh antikolinergik akan menghambat paling
kuat pengeluaran saliva. Obat-obatan dengan pengaruh anti β-adrenergik (yang disebut
β-bloker) terutama akan menghambat sekresi ludah mukus
Obat-obatan tersebut juga dapat secara tidak langsung mempengaruhi saliva dengan
mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit atau dengan mempengaruhi aliran darah
ke kelenjar. Kekeringan mulut akibat efek samping obat-obatan dapat hilang beberapa
bulan setelah obat-obatan tersebut dihentikan dan apabila obat tersebut digunakan
jangka panjang maka kekeringan mulut dapat bersifat irreversibel.

Tabel 3. Obat-obatan yang dihubungkan dengan xerostomia (Bereznicki L, 2011)

3 Gangguan Kelenjar Saliva


Ada beberapa penyakit lokal tertentu yang mempengaruhi kelenjar saliva dan
menyebabkan berkurangnya aliran saliva. Sialodenitis kronis lebih sering
mempengaruhi kelenjar submandibula dan parotis. Penyakit ini menyebabkan
degenerasi dari sel asini dan penyumbatan duktus. Kista-kista dan tumor kelenjar saliva,
baik yang jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur
duktus dari kelenjar saliva dan dengan demikian mempengaruhi sekresi saliva.

47
Sindroma Sjogren merupakan penyakit autoimun jaringan ikat yang dapat
mempengaruhi kelenjar airmata dan kelenjar saliva. Sel-sel asini kelenjar saliva rusak
karena infiltrasi limfosit sehingga sekresinya berkurang.

4 Gangguan Sistem Syaraf


Gangguan pada sistem syaraf pusat dan atau perifer dapat mempengaruhi kecepatan
sekresi saliva. Kelainan syaraf yang diikuti gejala degenerasi, seperti sklerosis multipel,
juga akan mengakibatkan turunnya pengeluaran atau sekresi saliva. Sebaliknya
gangguan pada sistem syaraf juga dapat mengakibatkan naiknya sekresi saliva.
Contohnya adalah penyakit Parkinson.

5 Kebiasaan Buruk
Bernafas melalui mulut biasanya disertai pembesaran dan peradangan gingiva
terutama daerah anterior, biasanya akibat maloklusi, hambatan pada nasal, deviasi
septum nasi atau pembesaran kelenjar adenoid. Kebiasan buruk penderita yang lain
adalah merokok, baik dengan menggunakan pipa, tembakau ataupun cerutu, karena
biasanya nikotin merangsang sekresi saliva, kandungan nikotin yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan terhambatnya sekresi saliva. Pola makan diet tinggi protein mempunyai
efek diuretik sehingga juga dapat menimbulkan xerostomia.

6 Defisiensi Nutrisi dan Hormonal


Defisiensi nutrisi, seperti anemia pernisiosa, anemia defisiensi zat besi, defisiensi
vitamin A dan B dapat menyebabkan xerostomia. Defisiensi hormonal, seperti
menopause dapat menyebabkan timbulnya xerostomia akibat defisiensi hormon
estrogen. Hal ini dapat terjadi selama atau sesudah menopause.

7 Kesehatan Umum Menurun dan Penyakit Sistemik


Demam, diare yang lama atau pengeluaran urine yang melampaui batas, misalnya
pada penderita diabetes atau penyakit lain yang dapat menyebabkan dehidrasi dapat
juga menyebabkan xerostomia. Gangguan dalam pengaturan air dan elektrolit yang
diikuti oleh terjadinya keseimbangan air yang negatif, dapat menyebabkan turunnya
sekresi saliva, sehingga kebutuhan pambasahan mulut meningkat.
Kesehatan umum yang menurun pada penderita-penderita lanjut usia dapat
menyebabkan berkurangnya sekresi saliva yang mengakibatkan meningkatnya resiko

48
terhadap radang mulut. Juga pada gangguan pada pengaturan elektrolit, seperti pada
penderita penyakit ginjal yang melakukan hemodialisis, dapat mengalami rasa tidak
enak karena kekeringan di mulut yang terus-menerus.

8.Keadaan fisiologis
Tingkat aliran saliva biasanya dipengaruhi oleh keadaan-keadaan fisiologis. Pada
saat berolahraga, berbicara yang lama dapat menyebabkan berkurangnya aliran saliva
sehingga mulut terasa kering. Bernafas melalui mulut juga akan memberikan pengaruh
mulut kering. Gangguan emosionil, seperti stress, putus asa dan rasa takut dapat
menyebabkan mulut kering. Hal ini disebabkan keadaan emosionil tersebut merangsang
terjadinya pengaruh simpatik dari sistem syaraf autonom dan menghalangi sistem
parasimpatik yang menyebabkan turunnya sekresi saliva. Hal ini terbukti antara lain
pada waktu ujian lisan, waktu berpidato. Banyak penyakit sistemik lain seperti
Sjogren’s syndrome, diabetes mellitus, diabetes insipidus, sarcoidosis, infeksi HIV,
graft-versus-host disease, psychogenic disorders juga dapat mengakibatkan xerostomia.

9. Usia
Keluhan mulut kering sering ditemukan pada usia lanjut. Keadaan ini disebabkan
oleh adanya perubahan atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan umur
yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah komposisinya. Seiring dengan
meningkatnya usia, dengan terjadinya proses aging, terjadi perubahan dan kemunduran
fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan
lemak, lining sel duktus intermediate mengalami atropi. Keadaan ini mengakibatkan
pengurangan jumlah aliran saliva. Selain itu, penyakit- penyakit sistemik yang diderita
pada usia lanjut dan obat-obatan yang digunakan untuk perawatan penyakit sistemik
dapat memberikan pengaruh mulut kering pada usia lanjut.

2.6.3 Patogenesis Xerostomia


Jumlah seluruh saliva tiap 24 jam diperkirakan berkisar antara 500 – 600 ml, dan
separuhnya dihasilkan dalam keadaan istirahat, di bawah pengaruh rangsangan dengan pH
sekitar 6 sampai 7. Saliva adalah sekresi eksokrin mukoserous berwarna bening dengan
sifat sedikit asam yang dihasilkan dan disekresikan oleh tiga pasang kelenjar besar saliva
yaitu kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis, serta beberapa kelenjar saliva
kecil. Kelenjar saliva dibangun dari lobus yang terdiri dari asinus, duktus interkalalata

49
(ID), dan duktus striata (DS). Hasil sekresi saliva dikumpulkan di dalam sel-sel sekretori,
yang dalam kelompok asinus, yang diatur mengelilingi lumen atau suatu lubang, dimana
produk-produk sekresi diserahkan, dan hasil sekresi ditimbun di dalam sel-sel asinar dalam
glandula sekresi. Derajat asam dan kapasitas bufer saliva sering dipengaruhi perubahan-
perubahan yang disebabkan oleh karena irama siang dan malam, diet, dan rangsangan
kecepatan sekresi.
Sekresi saliva terjadi di bawah kontrol saraf parasimpatis dan simpatis. Saraf
parasimpatis menyebabkan sekresi saliva cair, glandula parotis mengeluarkan saliva yang
encer. Rangsangan saraf simpatis menyebabkan vasokontriksi dan sekresi saliva sedikit
pada bahan organik dari kelenjar submandibula. Produksi relatif glandula submandibula
adalah 70%, dan glandula sublingualis 30%. Produksi atau sekresi setiap jenis kelenjar
saliva terhadap volume cairan sangat bergantung pada sifat rangsangan. Perasaan mulut
kering terjadi bila kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut bersama-sama dengan
penguapan air kurang dari 0,06 ml/ menit (3ml/ jam), akan timbul keluhan mulut kering.
Bila produksi saliva berkurang dari 20 ml/ hari dan berlangsung pada waktu yang lama,
maka keadaan ini disebut xerostomia.

2.6.4 Tanda dan Gejala


Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam komposisi
saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat berjalan lancar,
sehingga mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada penderita mulut kering. Gajala
klinis dan komplikasi oral yang terkait dengan xerostomia meliputi saliva yang berbusa,
kental atau bertalian, bibir kering dan pecah, rasa terbakar, lidah berfisur dan bernodul,
pipi yang kering dan pucat, kelenjar saliva bengkak dan sakit, rasa haus yang meningkat,
sulit mengunyah, sulit menelan (disfagia), sulit berbicara (disfoni) dan gangguan
pengecapan. Akibat xerostomia dapat meningkatkan infeksi oral seperti kandidiasis dan
infeksi oropharing, meningkatkan penumpukan plak penumpukan mukus, meningkatkan
insiden karies, terjadi perubahan flora normal dan perubahan mukosa di rongga mulut.
Umumnya penderita xerostomia sangat sulit untuk memakan makanan kering
seperti biskuit, pemakaian gigi palsu mempunyai masalah pada retensi gigi palsu, luka
akibat gigi palsu dan tidak lengket ke palatum, rasa terbakar kronis, halitosis dan tidak
tahan makan makanan pedas. Keluhan xerostomia umumnya lebih banyak pada malam hari
karena produksi saliva berada pada circadian level paling rendah selama tidur, dapat juga

50
disebabkan karena bernafas melalui mulut. Kesulitan berbicara dan makan dapat
mengganggu interaksi sosial dan menyebabkan menghindari pertemuan sosial.

Tabel 4. Gejala dan tanda hiposalivasi (JADA 2007)

Saliva yang digunakan membantu untuk membersihkan rongga mulut, menelan,


mengecap rasa, berbicara, dan pencernaan dapat dihubungkan pada pasien dengan
hipofungsi kelenjar saliva. Mukosa mulut dan lidah bisa tampak kering dan pecah-pecah.
Karies gigi, akumulasi plak, gingivitis, dan periodontitis adalah umum pada pasien dengan

51
hipofungsi kelenjar saliva yang signifikan. Infeksi, seperti kandidiasis mulut dan
pembesaran kelenjar ludah dari sialadenitis umumnya terlihat pada pasien dengan
hipofungsi kelenjar saliva moderat sampai berat (Gambar 22).

a. b.

c. d.
Gambar 22 . a. Lidah kering dan pecah-pecah. b.Karies gigi, akumulasi plak, gingivitis,
dan periodontitis. c. Kandidiasis mulut. d. Pembesaran kelenjar ludah
(Navazesh M, Kumar SKS, 2011).

2.6.5 Diagnosis Xerostomia


Diagnosis Xerostomia ditentukan berdasarkan anamnesis yang terarah,
pemeriksaan klinis dalam rongga mulut dan pemeriksaan laboratorium. Dalam melakukan
anamnesis dengan penderita dapat diajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan terarah yang
dapat menentukan penyebab dan mendiagnosis xerostomia. Pemeriksaan klinis dapat
dilakukan dengan melihat gajala-gejala klinis yang tampak dalam rongga mulut.
Gambaran-gambaran klinis tersebut, antara lain: hilangnya genangan saliva pada dasar
mulut, mukosa terasa lengket bila disentuh oleh jari ataupun ujung gagang instrumen.
Mukosa mulut juga terlihat memerah dan pada kasus-kasus yang lebih lanjut permukaan
dorsal lidah terlihat berfisur dan berlobul.
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium pada kelenjar saliva sebagai pemeriksaan
penunjang diagnosis. Pemeriksaan tersebut adalah: pemeriksaan jumlah sekresi saliva,
sialography, dan biopsi. Pemeriksaan jumlah sekresi saliva atau sialometri dapat dilakukan
dengan menampung saliva selama 3-5 menit dengan bantuan perangkat penampung saliva.
Laju aliran saliva normal yang tidak distimulasi dari kelenjar parotis adalah sekitar 0,4-1,5
ml/ menit. Laju aliran saliva normal yang tidak distimulasi ‘keadaan istirahat’ seluruh
saliva 0,3-0,5 ml/ menit dan yang distimulasi adalah 1-2 ml/ menit.

52
Jika laju aliran saliva kurang dari 0,1ml/ menit maka keadaan ini dikatakan sebagai
xerostomia, meskipun aliran berkurang mungkin tidak selalu dikaitkan dengan keluhan
kekeringan pada mulut.24 Sialography dan biopsi dilakukan untuk membantu diagnosis
penyebab xerostomia. Sialography merupakan gambaran radiografis dari kelenjar saliva
beserta duktusnya. Sialography dilakukan untuk memeriksa apakah ada penyumbatan atau
kerusakan pada duktus yang mengakibatkan terjadinya xerostomia. Biopsi terhadap
kelenjar saliva biasanya dilakukan untuk mambantu diagnosa xerostomia akibat Sjorgren’s
syndrome.

2.6.6 Penatalaksanaan
Pendekatan umum terapi pasien hiposalivasi dan xerostomia adalah terapi paliatif
yang berfungsi untuk mengurangi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi oral. Terapi
rehidrasi, stimulasi kelenjar saliva (masticatory, gustatory, pharmacotherapeutic), saliva
buatan, antimikrobial dan terapi fluor merupakan terapi yang dapat direkomendasikan.
Penatalaksanaan awal xerostomia dimulai dengan meredakan gejala xerostomia.
Hal ini dapat dilakukan dengan:
1) Sering meneguk air.
2) Bilasan mulut dan obat kumur, gel, semprotan dan saliva buatan.
3) Memperbanyak mengunyah permen, tetapi harus bebas gula dan non-asam. Produk yang
mengandung xylitol sebagai agen pemanis dapat disarankan.
4) Untuk bibir kering, krim atau salep Hydrating dapat membantu meringankan gejala.
5) Penggunaan produk lidah buaya atau vitamin E.
6) Diet makanan yang kaya kelembaban dan bukan makanan panas atau pedas.
Beberapa produk yang dapat digunakan pada pasien xerostomia misalnya saliva
buatan, beberapa formulasi seperti obat kumur, aerosol, permen karet dan dentifrices yang
juga dapat memicu sekresi saliva. Agen kolinergik yang menstimulasi reseptor asetilkolin
kelenjar saliva mayor, yaitu obat-obat parasimpatomimetik misalnya pilocarpin
hidrochloride walaupun pasien mengeluh kurang nyaman dengan pemakain obat ini.Jika
penanganan secara medis belum juga memberikan respon yang baik ada baiknya
disarankan menggunakan terapi alternatif seperti akupuntur.
Perawatan yang dapat dilakukan untuk pasien xerostomia digolongkan menjadi
empat kategori yaitu (1) terapi preventif. (2) perawatan simptomatik, (3) stimulasi lokal
dan topikal, (4) stimulasi saliva sistemik. Perawatan yang efektif terhadap gangguan

53
sistemik yang berhubungan dengan disfungsi kelenjar saliva dapat membantu mengatasi
keluhan dry mouth.
1. Terapi preventif. Penggunaan fluoride topikal pada pasien yang mengalami
gangguan hipofungsi kelenjar saliva sangat diperlukan untuk mengontrol karies.
Terdapat berbagai jenis terapi fluoride (antara lain over-thecounter fluoride rinses,
brush-on forms, fluoride konsentrasi tinggi yang diaplikasikan dengan sikat atau
alat khusus). Frekuensi pemakaian (harian hingga mingguan) harus dimodifikasi,
tergantung dari tingkat keparahan disfungsi salivasi dan laju perkembangan karies.
Pasien dengan dry mouth kadang mengalami peningkatan infeksi oral, khususnya
candidiasis. Dapat berupa eritematous, dan pasien mungkin mengeluhkan sensasi
rasa terbakar pada lidah dan jaringan intraoral lainnya. Diperlukan terapi antijamur
yang tepat untuk menanganinya. Pasien dengan disfungsi salivasi membutuhkan
perawatan jangka panjang dan re-treatment untuk mengatasi infeksi jamur. 20
2. Perawatan simptomatik. Terdapat berbagai macam perawatan simptomatik yang
dapat dilakukan. Air merupakan hal paling penting. Pasien disarankan untuk
mengkonsumsi air yang cukup; hal ini dapat membantu menjaga kelembapan
rongga mulut, menghidrasi mukosa, dan membersihkan debris.
3. Stimulasi salivasi. Stimulasi lokal maupun topikal. Beberapa pendekatan dapat
dilakukan untuk menstimulasi aliran saliva. Mengunyah dapat menstimulasi aliran
saliva secara efektif, sama halnya dengan penggunaan rasa manis dan asam.
Kombinasi pengunyahan dan pengecapan, dapat mengatasi gejala yang timbul pada
pasien yang masih memiliki fungsi salivasi dengan sangat efektif. Pasien dry mouth
harus diinstruksikan untuk menghindari produk dengan kandungan gula, karena
dapat meningkatkan resiko karies. Stimulasi elektrik juga telah digunakan sebagai
terapi hipofungsi salivasi, akan tetapi belum diteliti secara lebih mendalam.
4. Stimulasi sistemik. Penggunaan secretogogues sistemik untuk stimulasi salivasi
telah diteliti, dengan hasil yang bervariasi. Lebih dari 24 agen telah diajukan
sebagai stimulant alira saliva secara sistemik. Empat di antaranya telah diuji secara
klinis; antara lain bromhexine, anetholetrithione, pilocarpine hydrochloride, dan
cevimeline HCl.

54
Tabel 5. Perawatan Xerostomia dikaitkan dengan masalah yang ditimbulkan (JADA 2007)

55
BAB III
KESIMPULAN

Kelainan kelenjar saliva adalah suatu keadaan abnormal dalam kelenjar saliva yang
dapat merujuk pada kondisi yang menyebabkan pembengkakan atau nyeri. Pada kondisi
normalair liur berfungsi membasahi makanan untuk memantu mengunyah dan menelan.
Air liur juga dapat membersihkan mulut dari bakteri.
Pada gangguan kelenjar saliva seringkali ditemukan gejala seperti pembengkakan
pada wajah,pembengkakan pada telinga, sakit diwajah, kesulitan membuka mulut dan
mulut kering.
Gangguan kelenjar liur dapat dicegah sekaligus dirawat dengan mengkonsumsi
makanan atau cairan yang dapat merangsang produksi saliva seperti makanan yang asam
dan tetesan air lemon. Selain itu dapat dilakukan pijatan kelenjar liur yang dapat
meningkatkan aliran dan membantu mencegah infeksi.

56
DAFTAR PUSTAKA

Al abri R, Marchal F,2010.New era of Endoscopic approach for sialolithiasis:


Sialoendoscopy. SQU Med J.10:382-387.
Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A. Current Opinion in Sialolithiasis
Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngol Ital2005; 25:145-9
Benjamin,,Michael M,2006.Anatomy and Physiology of Salivary Glands.Byron J Bailey
Head and Neck Otolarungology. 2004; 7: 5017
Becker M, Marchal F, Becker CD, Dulguerov P, Georgakopoulos G, Lehmann W, Terrier
F,2000. Sialolithiasis and Salivary Ductal Stenosis: Diagnostic Acuracy of MR
Sialography with a Three Dimensional Extended Phase Conjugate Symmetry Rapid
Spin-Echo Sequence. RSNA Radiology; 17: 347-58

Becker TS. Salivary Glands Imaging. In: Byron J, Bailey Md, editors. Head and Neck
Surgery - Otolangology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001
Bar T, Zagury A, London D, Shacham R, Nahlieli O. 2007 ‘Calcifications Simulating
Sialolithiasis of Major Salivary Glands’.Dentomaxillofacial Radiology journal; 36:
59-62

Batori M, Mariotta G, Chatelou H, Casella G, Casella MC. 2005. Diagnostic and Surgical
Management of Submandibular Gland Sialolithiasis: Report of a Stone of Unusual
Size.Euro Med and Phar Sci; 9: 67-8

Ching ASC, Ahuja AT. 2002.’High-Resolution Sonography of the Submandibular Space:


Anatomy and Abnormalities’. Assacociatioan of Jewish Reffuges journal.179:703-8

Chu DW, Chow TL, Lim BH, Kwok SPY.2003. Endoscopic Management of
Submandibular Sialolithiasis. Springer-Verlag New York Inc. Surg Endosc, 17:
876-9

Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. 2001 Sialolithiasis (Salivary Stone). Turk J Med Sci;31:
177-9

Dent,McGurk M. 2002.’ Symptomatic Sialoadenitis and Sialolithiasis in the English


Population, an Estimate of the Cost of Hospital Traetment’. Br Dent J; 186 (9):
463-6

France Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A.2005’Current Opinion in


Sialolithiasis Diagnosis and Treatment’. Acta Otorhinolaryngology Italia,;25:145-9
Fowell C, Macbean A,2012.Giant Salivary Calculi of submandibular gland. Journal
of surgical case reports.9:6

Graney DO, Jacobs JR, 1999 Salivary Glands. p.1220 dalam Cumming CJ, (edt.).
otolangology – Head and Neck Surgery. 3rd ed. Mosby.

57
Pedersen, Gordon W. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC Haskel, R.
1990. Penyakit Mulut. Jakarta: EGC

Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M. 2000 Sialolithiasis:


MR Sialography of the Submandibular Duct – An Alternative to Conventional
Sialography and US. RSNA Radiology;216: 665-71

Katz D, Banville RT. 2004.Two Non Surgical Therapies of Salivary Lithiasis.


IEFGS Paris-France; 7: 5017

Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. 2005. ‘Possible


etiology of Calculi Formation in Salivary Glands: Biophysical Analisys of
Calculus’, Med Mol Morphol (38): 189-95 .

Marchal F, Dulguerov P. 2003 Sialolithiasis Management. Arch Otolaryngol-Head and


Neck Surg; 129: 951-956

Mouli C,Kumar M,Kailasam S,Shanmugam S,Satish S.2011.’Sialolith:Case report with


review Of Litherature’.Indian journal of multidisciplinary Densitry.2:1.

Pasquale C, Francesco O, Raffaele M, Antonio S, Bruno C. 2004.Extracorporeal


Lithotripsy for Salivary Calculi: A Long Term Clinical Experience. Laryngoscope
June; 114(6): 1069-73

Philips H,John L,Terry B,2006.Salivary gland imaging. Byron J Bailey Head and Neck
Otolarungology.

Ponni v,Pavenna M, Ramani P,Ravind A,2012.Paraotid Sialolithiasis. Int J dent Case


Reports.2(5):47-49.

Pasquale C, Francesco O, Raffaele M, Antonio S, Bruno C. Extracorporeal Lithotripsy for


Salivary Calculi: A Long Term Clinical Experience. Laryngoscope 2004 June;
114(6): 1069-73
Serbecti E, Sengor GA. Diagnostic and Interventional Siloendoscopy in Recurrent Salivary
Gland Swelling. Turk Arch Otolaryngol. 45 (2): 84-90.
Siddiqui SJ. 2002.Sialolithiasis : An Unusually Submandibular Salivary Stone. Br Dent J.
193: 89-91
Tanaka T, Ono K, Habu M, Inoue H, Tominaga K, Okabe S, Yokota M, Fukuda J,
Inenaga K, Morimoto Y. 2007.Functional Evaluation of the Parotid and
Submandibular Glands Using Dynamic Magnetic Resonance Sialography.
Dentomaxillofacial Radiology journal; 36: 218-23

Serbecti E, Sengor GA.2007.Diagnostic and Interventional Siloendoscopy in Recurrent


Salivary Gland Swelling. Turk Arch Otolaryngol. 45 (2): 84-90.

Zenk J, Constantinidis J ,Al kadah B, Iro H, 2001. Transoral Removal of Submandibular

58
stones. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 127: 432-436.
Kumar, Cotran,dan Robin. 2007. Buku Ajar Patologi Volume 1 Edisi 7. EGC: Jakarta.
Sudoyo, dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam Jilid III edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FK UI: Jakarta.

59

Anda mungkin juga menyukai