Wajo
SEJARAH KABUPATEN WAJO
Sedikit bercerita tentang kota kelahiranku. Wajo merupakan sebuah kabupaten di Sulawesi
Selatan yang beribukota di Sengkang. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.056,19 km² dan
berpenduduk sebanyak kurang lebih 400.000 jiwa. Bupati Wajo saat ini adalah Drs. Andi
Burhanuddin Unru, MM.
Ibu Kota Kabupaten Wajo letaknya kurang lebih 250 km dari Makassar Ibukota Provinsi
Sulawesi Selatan. Kota ini dikenal sebagai kota niaga karena masyarakatnya yang sangat
piawai dalam berdagang. Berbagai macam kebutuhan hidup konon memiliki harga yang
relatif murah jika dibandingkan di daerah lainnya. Selain kota niaga, kabupaten Wajo juga
dikenal sebagai kota Sutera. Aktivitas masyarakat Wajo dalam mengelola kain sutera telah
dilakukan secara turun-temurun dan dapat ditemukan hampir di setiap kecamatan yang ada
di kabupaten Wajo
Arti Sengkang. Menurut beberapa sumber arti kata sengkang adalah tempat atau
daerah persinggahan, kedatangan, dan bersama-sama datang. Sehubungan dengan
makna sengkang tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah Sengkang merupakan
tempat strategis yang membuat orang-orang jika melewatinya akan singgah karena
adanya sesuatu yang istimewa dan menarik di tempat ini.
Ada versi lain tentang terbentuknya Wajo, yaitu kisah We Tadampali, seorang putri dari
Kerajaan Luwu yang diasingkan karena menderita penyakit kusta. Beliau dihanyutkan
hingga masuk daerah Tosora. Kawasan itu kemudian disebut Majauleng, berasal dari kata
maja (jelek/sakit) oli' (kulit). Konon kabarnya beliau dijilati kerbau belang di tempat yang
kemudian dikenal sebagai Sakkoli (sakke'=pulih; oli=kulit) sehingga beliau sembuh.
Saat beliau sembuh, beserta pengikutnya yang setia ia membangun masyarakat baru, hingga
suatu saat datang seorang pangeran dari Bone (ada juga yang mengatakan Soppeng) yang
beristirahat di dekat perkampungan We Tadampali. Singkat kata mereka kemudian menikah
dan menurunkan raja-raja Wajo. Wajo adalah sebuah kerajaan yang tidak mengenal
sistem to manurung sebagaimana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan pada umumnya.
Tipe Kerajaan Wajo bukanlah feodal murni, tetapi kerajaan elektif atau demokrasi terbatas.
Terjemahkan
Kebesaran tanah Wajo pada masa dahulu, termasuk kemajuannya di bidang pemerintahan,
kepemimpinan, demokrasi dan jaminan terhadap hak-hak rakyatnya. Adapun konsep
pemerintahan adalah :
1. Kerajaan
2. Republik
3. Federasi, yang belum ada duanya pada masa itu
Hal tersebut semuanya ditemukan dalam LONTARAK SUKKUNA WAJO. Sebagaimana yang
diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam
mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
Dan masih banyak lagi nama-nama yang berjasa di Wajo yang menjadi peletak dasar
kebesaran dan kejayaan Wajo.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tahun dari pada Hari Jadi Wajo ialah versi Boli,
yakni pada waktu pelantikan Batara Wajo pertama LATENRI BALI Tahun 1399, dibawah
pohon besar (pohon Bajo). Tempat pelantikan sampai sekarang masih bernama Wajo-Wajo,
di daerah Tosora Kecamatan Majauleng.
Terungkap bahwa, pada mulanya LATENRI BALI bersama saudaranya bernama LATENRI
TIPPE diangkat sebagai Arung Cinnongtabi, menggantikan ayahnya yang bernama
LAPATIROI. Akan tetapi dalam pemerintahannya, LATENRI TIPPE sering berbuat sewenang-
wenang terhadap rakyatnya yang diistilahkan ”NAREMPEKENGNGI BICARA TAUWE”, maka
LATENRI BALI mengasingkan dirinya ke Penrang (sebelah Timur Tosora) dan menjadi Arung
Penrang. Akan tetapi tak lama kemudian dia dijemput rakyatnya dan diangkat menjadi
Arung Mata Esso di Kerajaan Boli. Pada upacara pelantikan dibawah pohon Bajo, terjadi
perjanjian antara LATENRI BALI dengan rakyatnya dan diakhiri dengan
kalimat ”BATARAEMANI TU MENE’ NA JANCITTA, TANAE MANI RIAWANA” (Hanya
Batara Langit di atas perjanjian kita, dan bumi di bawahnya) NARITELLANA PETTA LATENRI
BALI PETTA BATARA WAJO.
Berdasarkan perjanjian tersebut, maka dirubahlah istilah Arung Mata Esso menjadi Batara,
dan kerajaan baru didirikannya, yang cikal bakalnya dari Kerajaan Boli, menjadi Kerajaan
Wajo, dan LATENRI BALI menjadi Batara Wajo yang pertama.
Sedangkan untuk menentukan tanggal Hari Jadi Wajo, dikemukakan beberapa versi, yakni :
1. Versi tanggal 18 Maret, ketika armada Lamaddukkelleng dapat mengalahkan armada
Belanda di perairan Pulau Barrang dan Koddingareng.
2. Versi tanggal 29 Maret, ketika dalam peperangan terakhir, Lamaddukkelleng di Lagosi,
dapat memukul mundur pasukan gabungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
3. Versi tanggal 16 Mei, ketika Lasangkuru Patau bergelar Sultan Abdul Rahman Arung
Matoa Wajo, memeluk agama Islam.
4. Versi ketika Andi Ninnong Ranreng Tuwa Wajo, menyatakan di depan Dr. SAM
RATULANGI dan LANTO DG. PASEWANG di Sengkang pada Tahun 1945 bahwa rakyat Wajo
berdiri di belakang Negara Kesatuan Indonesia.
Dari versi tersebut, disepakati yang menjadi tanggal daripada Hari Jadi Wajo, ialah versi
tanggal 29 Maret, karena sepanjang sejarah belum pernah ada pejuang yang mampu
mengalahkan Belanda pada pertempuran terakhir. Peristiwa ini terjadi pada Tahun 1741.
Dengan perpaduan dua versi tersebut di atas, maka disepakati: Hari Jadi Wajo ialah
Tanggal 29 Maret 1399.
Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan
Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansitellumpoccoe untuk
membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa
dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada
gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To
Sengngeng tidak ingin menandatangani Perjanjian Bungayya.
Kontroversi
Arung Matowa Wajo masih kontroversi, yaitu:
Versi pertama, pemegang jabatan Arung Matowa adalah Andi Mangkona Datu Soppeng
sebagai Arung Matowa Wajo ke-45, setelah beliau terjadi kekosongan pemegang jabatan
hingga Wajo melebur ke Republik Indonesia.
Versi kedua hampir sama dengan yang pertama, tetapi Ranreng Bettempola sebagai legislatif
mengambil alih jabatan Arung Matowa (jabatan eksekutif) hingga melebur ke Republik
Indonesia.
Versi ketiga, setelah lowongnya jabatan Arung Matowa maka Ranreng Tuwa (H.A. Ninnong)
sempat dilantik menjadi pejabat Arung Matowa dan memerintah selama 40 hari sebelum
kedaulatan Wajo diserahkan kepada Gubernur Sulawesi saat itu, yaitu Bapak Ratulangi.
Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang
menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo".
Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [[Wajo]].
yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan
terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang
berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan
lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan
membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya
dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna
Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan
bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul
dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya
yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang
yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan
danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan
mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung
Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui,
putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung
Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La
Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan)
Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru
lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau
mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato
Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri
Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan
meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan
geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai
To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La
Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh
pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan
Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi
meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La
Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan
merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur,
berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama
swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957
pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII.
Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan,
kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Ø Pabbate Lompo = Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)
Batara Wajo
1 La Tenribali
2 La Mataesso
3 La Pateddungi to samallangi
Arung Matowa