Anda di halaman 1dari 7

Pemberitaan lontara mengenai datangnya raja pertama yang disebut TOMANURUNG, karena

tidak di ketahui asal usul dan namanya. Tulisan lontara yang bersifat Religius magis, seperti kepercayaan
pra-sejarah. Ungkapan misterius lontara tersebut, dikatakan bahwasebelum datangnya Tomanurung,
pada suatu hari terjadi kilat sambar menyambar,petir berbunyi sambung menyambung, Guntur
bergemuruhdibarangi hujan tercurah dari langitserta terjadi gempa bumi, kejadian ini berlangsung
sepekan. Setelah peristiwa alam ini jadi tenang, tiba-tiba muncul bayangan seorang duduk diatas batu
papan, berpakaian kuning, diapit oleh tiga orang. Seorang memayunginya dengan paying warna kuning
keemasan, seorang memegang kipas dan seorang lagi memegang celana-puan (selendreng).

Tomanung datang ditengah kelompok masyarakat yang sedang bermusuhan satu dengan yang
lainnya, masyarakat yang khoas tdk ada yang taat aturan dan peri kemanusian. Siendre baleni tauwe
(orang saling membunuh sesamanya), komunitas jadi kacau,yang kuat memaksa yang lemah,kekerasan
terjadi di mana-mana. Kekacauan ini berlangsung lama sehingga beberapa pimpinan atau Matowa-
Matowa wanua (desa) penyadari pentingnya tokoh masyarakat. Peristiwa alan yang terjadi dan
datangnya Tomanurung, mereka berangkat ke tempat yang namanya Matajang, disana menghadap
pada Tomanurung, salah seorang Matowa tampil berkata:

Ya Tuanku, yang kami hormati, Kami dating menghadap dengan penuh pengharapan,kami
memohon kitanya Tuanku tidak balik lagi ke kayangan. Tinggalah Tuanku di negeri kai ini agar
Tuankulah merajai kami semua. Segala kehendak Tuanku , kami laksanakan.Walaupun anak kami, istri
kami,jika Tuanku tidak menginginkannya, kami juga ikut tidak menyukainya.Sekiranya Tuanku teap
bersama kami,maka Tuankulah yang kami jadikan raja diantara kami.

Tujuh Matowa bersama menghadap Tomanurung, Yaitu Matowa Ujung, Tibojiong, matowa Ta’,
Tanete Riattang Tanete Riawang, Ponceng dan Macege. Jawab Tomanurung kepada matowa, “Tidakkah
engkau semua mendua hati dan tidak pula engkau akan ingkar”.

Mendengar ucapan Tomanurung, gembiralah hati orang banyak. Mereka melihat Tomanurung
ini mempunyai sifat-sifat yang baik. Tomanurung dipandangsebagai Tokoh yang baik budi bahasanya.
Sepakatlah semua Matowa, yaitu Matowa ujung tampil kedepan atas nama orang banyak mengadakan
janji serta mengangkat sumpah setia dihadapan bakal Raja, berkata;

Angiko kiraukkaju;

Rio miri’ rie Mutappalireng;

Elo’mu elo rekkeng

Adammu kua, pattujumu jaji;

Mattampa ko kilao, mellaukko kiabbere,millikko kisawe;

Mau’ni ana’ meng na Pattarommeng kitaei kuteatoisa;

Lakiya ampirikkeng tammadinging.

Artinya;

Engkau angina sedang kami daun kayu

Kemana berhembus kesana kami terikut;


Kehendakmu menjadi, kehendak kami semua

Ucapanmu jadi, rencanamu terlaksanan;

Engkau mengundang kami dating, Engkau meminta kami memberi,

Engkau memanggil kami datang;

Walaupun anak kami dan istri kami tak disenangi, kami juga tak menyayanginya

Akan tetapi Tuan pimpin kami agar tidak kacau.

Tomanurung menjawab;

Ujujunguparibotte ulu ada-adammu tomaegae

Upate’ ripakka-pakka ulaweng abebbirenna ada-adammu

Riwettu mabbulo sipeppa’ murimaelo’ mu pancajika arung.

Artinya;

Saya junjung tinggi diatas batok kepalaku kata-katamu hai orang banyak. Saya panjatkan ke atas
ranting-ranting emas kemulian kata-katamu. Padas sat kamu sekalian bersatu padu ingin menjadikan
saya arung (raja).

Dialog antara Matowa dengan colon raja, jelas dipahami seruan bersambutan, adanya “Kontrak
pemerintahan”(depeloment contrac), diangkat dari kontrak social dikangan para Matowa. Rakyat
menyerahkan dirinya, memberikan kepercayaan penuh kepada raja dan sebaliknya raja sebagai
pemerintahanberkewajiban melindungi dan memakmurkan mereka. Sumpah setia dan kontrak
pemerintahan inidiulangi bila terjadi pelantikan raja Bone berikutnya.

Sesudah bela pihak menyetujui janji dan kotrak ini, maka beramai-ramilah orang banyak
memindahkan Tomanurung pergi ke Bone yang pada saat itu berpusat di KAWERANG. Dengan demikian
sudah resmi Tomanurung menjadi Raja pertama dari kelompok masyarakat yang selalu bermusuhan.
Diperkirakan kejadian ini dalam tahun 1330 M. Ketujuh Matoa Wanua (desa) tadi yang terlibat dalam
kontrak pemerintahan , membentuk sebuah badan musyawarah bertujuh, yaitu Dewan Matoa PituE
yang mendampingi Tomanurung menjalankan pemerintahan dan memberikan nasehat dalam hal urusan
pemerintahan. Matoa pituE ini, disamping sebagai anggota pemerintahan Kawerang, mereka pula tetap
menjalankan pemerintahan pada Wanuanya sendiri secara otonom.

Apabila ditinjau dari pengangkatan pimpinan dalam keadaan chaos adalah suatu “Kearifan
Lokal”sesuai masanya dan situasi kepercayaan masyarakat.Tomanurung yang dianggap berasal dari
khayangan atau benua atas yang memang sumber atas tersebut dia anggap termulia, tidak dikatakan
oleh lontara dari Wanua (desa) lain.Mmungkin saja kearifan local ini dibuat sedemikian rupa untuk
meneguhkan kepercayaan masyarakat. Datangnya Tomanurung sebagai calon raja, didahului peristiwa
alam dan pakaian Tomanurung yang mengagumkan, adalah salah satu cara untuk menghormati raja,
karena dianggap suatu keluarbiasaan sesuai tingkat kepercayaan masyarakat masa itu, Demikian pula
dialog antara orang banyak dengan Tomanurung yang melahirkan kontrak pemerintahan, memberi
makna bahwa pemimpin diangkat berdasarkan Kedaulatan Rakyat, bukan kedaulatan Raja.
Setelah Pelantikan Tomanurung kama resmilah ia menjadi raja pertama. Segera diadakan
musyawarah dan duduk bersama para Matoa PituE bersama Tomanurung. Kekuasaan raja masih
berkisar tujuh wanua dan musyawarah menghasilkan beberapa aturan normayang akan mengikat
semua warga wanua. Dalam proses pemerintahan, belum diketahui nama Tomanurung tersebut,hanya
melihat sifat dan keahliannya jika melihat sekelumpulan orang disuatu lompo, segera beliau mengetahui
jumlah orang pada lompo tersebut. Rakyat banyak memberikan nama pada rajanya, yaitu MATA
SILOMPOE berdasarkan keahliannya.

Aturan (norma-norma) yang dihasilkan musyawarah adalah

1. Mapolo Leteng; berarti titipan patah yang dimaksud:


a. Perihal ganti-gantian antar kedua bela pihak tentang pemilikan suatu barang yang diakui
oleh lebihdari satu orang, ditetapkan menjadi milik mereka yang telah memegang
barang itu dan tidak dibicarakan lagi.
b. Bahwa seorang ahli waris, lebih dahulu meninggal daripada orang tuanya, sehingga ahli
waris ini tidak berhak lagi, memperoleh warisan dari orang tuanya. Ayahnya yang
merupakan titipanharta warisan, tetapi ia sudah tidak ada lagi.

Inilah makna “polo letong”yang sampai sekarang masih di gunakan dalam system
pembagian warisan menurut adat-istiadat.

2. Mapolo Bicara; artinya bentuk keputusan, maksudnya penggarisan yang harus


ditaati;Keputusan yang sama harus dipersamakan dengan yang lain dengan kasusyang serupa,
harus diserupakan pula , ini merupakan undang-undang peradilan.
3. Ade’ ; artinya ketaatan pada aturan, maksudnya untuk membentuk tatanan hidupyang harus
dipatuhi oleh semua pihak , agar keterlibatansosial tidak terganggu. Hal ini merupakan aturan
dalam lembaga social.

Selain menetapkan aturan-aturan untuk memperbaiki tatanan social raja ini mempunyai lambing
kerajaan, berupa bendera bernama “WeromporongngE”.

Sesudah raja pertama ini memerintah selama 4 bulan pariyama, beliau mengumpulkan seluruh
rakyatnya, lalu beliau berkata kepada mereka, “Tudang aja umareulleng, iyana ritu anakku riasengE La
Ummasa Tolawa, iyatona upattenningakkukuadangetta to Bone”. Artinya duduklah semua kianya tidak
kurang sesuatu apapun. Itulah anakku yang bernama La Ummasa menggantikan saya, dialah juga
kuberikan memegang perjanjian yang pernah kita ikrarkan.

Tomanurung Mata SilompoE tidak pernah terdengan atau dapat diketahui nama aslinya ,kecuali
tingkah lakunya menjadi dasar pemberian gelaran padanya. Mata SitompoE ri Matajang kawin dengan
manurungiE ri Tora yang tidak disebut pula namanya. Permaisurinya ini melahirkan 5 orng anak, yatu;

1. La Ummasa
2. We Tenrirorang ( I Sama teppa)
3. I Patanra Wanua
4. We Tendrisaloga atau We Tendri Salongeng
5. We Arattiga

Sebelum TomanurungMata SilompoE diganti oleh putranyabeliau melettakan dasar-dasar penataan


kekuasaan ketujuh Matoa Wanua ,
1. Menetapkan ketujuh Matowa kedalam satu majelis. Mata SitompoE yang menjadi ketuanya.
2. Dari jauh matowa wanua itu diikat dalam satu persektuan yang disebut Kawerang yang
berbentuk compederasi.
3. Kawerang itu sebagai pusat pemerintahan yang dibantu oleh tujuh Matowa Wanua sebagai
Dewan Pemerintahan.
4. Tiap MAtowa tetap memegang jabatannya di Wanuanya dan mengikuti aturan dari pimpinan
Kawarang.
5. Tiap Matowa Wanua apat memberikan penggabungan negeri-negeri baru yang bersedia
berhubungan pada kawerang, namun hanya tujuh Wanua itu saja yang duduk dalam majelis.

Setelah raja pertama mempersiapkan pergantiannya, yaitu puteranya sendiri dan sudah
mengatur struktur pemerintahan, beberapa hari kemudian tiba-tiba datang petir sambar-
menyambar, saat itulah raja tidak tampak lagi di tempat duduknya. Beliau mairat bersama
permaisurinya,termasuk ikut mairat paying kuning keemasan yang memang dibawa serta ketika
ditermukan oleh rakyat. Sama pada waktu datangnya tidak ketahui bagaimana datangnya , begitu
pula menghilangnya tidak diketahui kemana perginya. Itulah yang terlukis dalam lontara Bone
tentang Tomanurung pertama ini.

Saatnya sekarang untuk meninjau kembali posisi Tomanurung dan konsep kerakyatan, bahwa
datangnya Tomanurung merupakan awal terbentukya system politik yang lebih teratur dan
terbentuknya organisasi social yang mengantarkan kaum-kaum pada keselamathan hidup. Sebelum
itu, manusia hidup secara berkelompok berbentuk perkauman menurut kelompokkekerabatan
dipimpim oleh yang tertua, yang berani dan beribawa , menempati suatu wilayah tertentu dan
menguasai wilayah area tanahsekitarnya.Mereka mengembangkan tradisi megalitikyang bernuansa
agraris, setiap kaum mengikuti garis keturunan parental (bilenial)dengan tokoh ayah yang memberi
charisma wija atau mappabatti’. Hal ini diperlukan, karena permusuhan diantara kaumsering terjadi
oleh perkara gengsi,martabat dan penguasaan sumber-sumber mata pencaharian.

Tomanurung diartikan orang turun dari kayangan atau botinglangi’ diutus olehDewata sanwaE
untuk menyebarkan tata tertib bagi kemanusian dan kesejahteraan manusiadalam perkauman
mereka. Periode Tomanurung berada pada stadia berpikir kedewasaan yang cenderung mengatur
sebuah struktur pemerintahan, sebagaimana struktur kedewasaan terdiri atas orang pemimpin dan
beberapa pembantu.

Dalam sejarah sosial di Sulawesi Selatan pada era Tomanurung diketahui adanya kelompok
perkauman yang tersebar diberbagai tempat, saling bermusuhan dan perang tidak ada hentinya.
Seringkali perang dan damai saling bergantian. Perdamaian diakan oleh kesepakatan mereka
menghadapi musuh atau adanya tujuan bersama. Saling kawin mawin antara kaum, merupakan cara
terbaik untuk menghilangkan permusuhan dan membentuk perkauman yang lebih besar.
Tomanurung datang untuk mempersatukan mereka dan mencegah kekacauan, oleh karena itu
dikatakan bahwa datangnya Tomanurung ditandai dengan adanya kekacauan atau disebut sianre
balei tauwe.

Tomanurung di Sulawesi Selatan ditandai diberbagai tempat, misalnya Tomanurung Tamboro


Langi’ di Tana Toraja, Tomanurung Batara Guruh di Luwu, Tomanurung di Tamalate Gowa,
Tomanurung di Sekka Nyili dan GowarieE soppeng, Tomanurung di Tanete, Sawitto, Camba, Sinjai
,Balangnipa, dan Tomanurung di Matajangdan Toro di Bone.
Pada umumnya, cerita tentang datangnya Tomanurug karena adanya kekacauan, ia diTemukan
oleh kaum dalam wilayah mereka sendiri, jenis kelamin wanita yang kemudian kawin dengan salah
seorang pria dari kalangan kaum dan melahirkan anak sebagaimana manusia biasanya. Adakalanya
pula, suami dari tokoh wanita Tomanurung itu, dianggap pula sebagai Tomanurung yang turun di
tempat laindalam wilayah sendiri hamper bersamaan waktunya. Tokoh Tomanurung sebagi peletak
dasar dan cakal budaya dikerajaan di Sulawesi Selatan, kemudian dilanjutkan oleh cucunya, sebagai
raja-raja kemudian diperlakuakan sebagai tetesan dewa, sebagimana halnya Tomanurung yang
berasal dari Dewa tertinggi.Tomanurung datang bersama peralatannya berupa tombak, keris,
salempang, panji dan sebagainya. Kemudian benda-benda tersebut diperlakukan sebagai alat-alat
kerajaan (attribute of the kindom)yang membrikan khasiat dan wibawa kepada raja ,pleh karena
benda-benda tersebut secara simbolik adalah pemberian dewa dan mewakilinya,Alat-alat kerajaan
(Arajang)dipelihara dan dirawat oleh kelompok Bissu, ahli mantra dalam berhubungan deng
penguasa alam semesta.

Cerita tomanurung tersebut dalam lontara, kusus Tomanurung di Matajang Bone bergelar mata
SimpoE ,Saat terjadinya dialog antar kaum-kaum(rakyat )dengan Tomanurung yang berakhir dengan
sesuatu kesepakatan berupa kontrak sosial.

Sumpah setia bersama Tomanurung, maka lahirlah sebuah ikrar dan kesepakatanbersanma atas
kehendakrakyat untuk membangunnegeri yang aman dan sentosa. Lontara sebagai sumber sejarah
menyampaikan pada kita, bahwa semua tomanurung di Sulawesi selatan menempuh pola yang
sama yaitu mengadakan kontrak sosial dengan rakyatdan atas kesepakatan rakyat ia diangkat
menjadi Raja.

Apa yang menarik perhatian kita atas kehadiran tokoh Tomanurung, adalah terbentuknya
pemerintahan kerajaan yang bersifat kerakyatan menurut tingkat berfikir pada zamannya. Meskipun
harus dilihat, behwa kontrak tersebut secara konsepsional mesih sederhana, namun diakui bahwa
sifat kerakyatan tersebut merupakan akar budaya Sulawesi Selatan.

Kontrak sosial yang tercipta antara Tomanurung dengan rakyat, mewejudkan suatu
pemerintahandengan system politik yang berpusat pada kepemimpinan Tomanurung sebagai raja,
konsep kerakyatan yang menjadi dasar dari seistem pemerintahan, adalah karakteristik yang dimiliki
oleh manusia Bugis dan Makassar.

Hal ini terlihat dari isi perjanjian, bahwa rakyat telh menyerahkan diri secara sukarela untuk
dipimpin oleh Tomanurung (raja), tanpa disebutkan hak-hak istimewa bagi raja atau kepada
kelompok penguasa tertentu. Raja mempunyai kewajiban memimpin rakyat dan haknya sebagai
penguasa telah dibatasi, hanya yang mungkin diberikan oleh rakyat tas persetujuannya.

Raja pertama (Tomanurung) segera mempersatukan seluruh kaum dengan mengangkat


Matowa-matowa sebagai wakil dan pembantu raja. Segala sesuatu diputuskan atas musyawarah
bersama dengan wakil-wakil kaum, kemudian dibentuk pembagian tugas masing-masing matowa
menyangkut struktur pemerintah. Konsolidasi dan stabilitas sosial menjadi sasaran pertama untuk
diperbaiki, kemudian perbaikan ekonomi rakyat.

Sistem politik dan organisasi sosial lainnya senantiasa mengacu pada isi penjanjian (kontrak
sosial), yaitu kesepakatan bersama, musyawarah dengan ikhlas,menghormati manusia dan hak
miliknya, dan perlakuan adil tanpa semena-mena. Isi perjanjian ini, kemudian tampak pula diurai
pada berbagai lontara bugis, terutama dalam pesan-pesan Kajao Laliddong. Melihat isi kesepakatan
antara rakyat dengan Tomanurung (raja pertama), dari kontrak sosial (sosial contrak) menjadi
kontrak pemerintahan (govermental contrac) jelas terjadi peletakan suatu nilai budaya yang
mengagungkan, bahwa konsep demokrasi telah berhasil dilahirkan manusia bugis dan kejadian ini
merupakan peristiwa budaya paling penting di Nusantara. Selain sifat demokrasi yang menafasi
seluruh jaringan pemerintahan, politik dan organisasi sosial, konsep ini pula merupakan aturan
permainan antara pemimpin dan rakyat serta sikap demokratis antara individu.

Dengan demikian, ketahanan dan keamanan yang berupa kondisi dinamik yang mengandung
keuletan, ketangguhan dan kemampuan mengembangkan diri dalam menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, hambatan dan gangguan, baik dari dalam maupun dari luar persekutuan hidup
mereka, dapat diselesaikan atas landasan jiwa demokrasi tersebut.

Kondisi dinamik ini terbentuk, oleh karena jiwa kerakyatan diteruskan lewat organisasi sosial
dan lembaga-lembaga sosial, sehingga pada akhirnya mempengaruhi tingkah laku anggota
masyarakat. Meskipun perkembangan dan kesejarahan masing-masing wilayah mengalami
pergeseran nilai, akibat pengaruh penjajahan sejak th 1905, namun ciri khas dan sifat
kerakyatannya. Hal ini disebabkan ajaran islam yang dianut oleh kebanyakan orang Bugis, turut
mengakarkan nilai-nilai demokrasi tersebut ke segenap jaringan-jaringan sosial. Inilah yang menarik
perhatian kita untuk membicarakan mitos Tomanurung guna menggali nilai-nilai luhur yang bisa
menunjang pengalaman pancasila.

Masalh pemimpin dan kepemimpinan mempunyai tempat utama dalam tradisi lontara orang
Bugis, oleh karena seorang pemimpin atau raja adalah tempat berlindungnya orang lemah dan
tempat lemahnya orang kuat. Konsep kepemimpinan berlandasakan demokrasi yang menempatkan
posisi manusia sebagai mahkluk sosial pada tempat terhormat yang diusahakan selalu untuk
dilindungu hidupnya oleh penguasa atau pemimpin. sebaliknya juga, rakyat harus senantiasa
memberi kepada pemimpin kewenangan bertindak sepanjang ketentuan adat atau pangngadereng.
Ketentuan pangngadereng dipegang teguh oleh rakyat dan pemimpin, maka tercipta tertib sosial.
Memang nampaknya, setiap orang terikat adat istiadat yang berlaku secara tradisional, namun
harakat dan martabat manusia dalam struktur orang Bugis dihargai sepenuhnya sebagai pribadi,
menjadikan adat istiadat itu bersifat dinamis.

Seorang pemimpin tanpa rakyat tidak akan jadi penguasa dan sebaliknya rakyat yang terikat
dalam organisasi sosial selalu menunjuk seorang pemimpin. Pada hakekatnya, rakyatlah yang
menunjukan adanya Negara. Demikian budaya kepemimpinan masyarakat bugis, sebagaimana pula
untukapan yang mengatakan ;

Rusa’ taro arung, tenrusa’ taro ade’

Rusa’ tari ade’, tenrusa’ taro anang

Rusa’taro anang, tenrusa’ taro to maega

Artinya;

Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat

Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum

Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan rakyat


Jelas tergambar dalam tradisi lontara tersebut, bagaimana peranan dan makna manusia dalam
bermasyarakat dan kehidupan bernegara. Seorang pemimpin memperoleh kekuasaan, wewenang dan
pengakuan atasamanat rakyat, oleh karena itu kepentiangan rakyat atau masyarakat lebih diutamakan
daripada kepentingan pribadi. Adat dan atura-aturan (norma-norma) yang mengikat kebersamaan itu
harus ditaati oleh setiap orang dalam mengurus kesejahteraan dan keamanan.

Sistem politi dan kepemimpinan menurut kebudayaan orang Bugis,tampak jelas unsur-unsur
pancasila, yakni sila kemanusiaan dan sila kerakyatan yang dipimpin oleh nikmat kebikjaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Makin digali nilai-nilai luhur dalam kebudayaan orang bugis yang
menyangkut kepemimpinan, makin ditemukan unsur-unsur asli yang mungkin meramu pembinaan
Kebudayaan nasional.

Anda mungkin juga menyukai