Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nabilah Nur

Nim : F052231004

Mata Kuliah : Demokrasi dan Budaya Politik di Sulawesi Selatan & Barat

Budaya Politik Di Mandar

Awal mula munculnya budaya politik di Mandar khusunya di kerajaan


Balanipa diawali dari kepemimpinan Tomakaka-tomakaka yang ada di mandar.
Tomakaka yang dianggap sebagai orang yang dituakan memiliki kelebihan dan
kearifan yang dapat dijadikan sebagai teladan serta pelindung dan mengayomi
masyarakat. Namun dalam perkembangannya ternyata tidak melakukan tugas
semestinya ia membuat keributan dengan berlomba-lomba menjadi penguasa
diantara tomakaka lainnya. Dari kejadian inilah, mendorong sejumlah Tomakaka,
seperti Tomakaka Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-todang untuk
mempersatukan diri dalam suatu ikatan persekutuan yang dikenal Appe Banua
Kaiyang (empat negeri besar).

Dalam perkembangannya, empat tomakaka menyetujui untuk mencari sosok


pemimpin yang dapat menyelesaikan kekacauan yang telah terjadi di mandar.
Dalam proses pencarian pemimpin tersebut maka terpilihlah I Manyambungi
untuk dijadikan sebagai pemimpin bagi tomakaka dan masyarakat setempat.
Karena I Manyambungi ini menghabiskan sebagian besar karier politiknya di
Kerajaan Gowa , oleh sebab itu mereka juga harus menjalin hubungan dengan
kerajaan tersebut, suatu kerajaan yang telah membangun hegemoni kekuasaan
dijazirah selatan Sulawesi sejak awal abad ke- 16. Maka diutuslah perwakilan dari
mandar untuk menjemput I Manyambungi kembali ke negerinya, Napo. I
Manyambungi merupakan seorang panglima perang yang sangat disegani oleh
kawan dan ditakuti oleh lawan. Kepulangan I Manyambungi ke negeri asalnya
disambut baik oleh Raja Gowa pada saat itu, bahkan Raja Gowa memberikan
berupa benda-benda pusaka sebagai bentuk penghargaan juga sebagai bentuk
keakraban antara Mandar dan Gowa. Pada waktu kembalinya I Manyambungi ke
mandar, benar ia dapat menyelesaikan kekacauan yang terjadi dan berhasil
mengalahkan tomaka-tomaka yang bertindak sewenang-wenang. Atas
pencapaiannya itulah I Manyambungi diangkat sebagai mara’dia atau raja
pertama sebagai pemimpin Appe Banua Kaiyang (empat negeri besar) dan sebagai
pemegang kendala dalam sistem pemerintahan.

Sejak saat itulah merupakan awal munculnya budaya politik lokal di


Mandar khususnya Kerajaan Balanipa yang berpusat di Napo. I Manyambungi
melakukan pembenahan wilayah dengan membuat peraturan dalam berbagai
bidang, terutama pada persyaratan pengangkatan seorang mara'dia atau seorang
raja setelah pemberhentiannya. Aturan-aturan itulah yang kemudian menjadi
pola acuan yang berkelanjutan pada sistem kerajaan hingga berganti perubahan
nama dari tomakaka menjadi pepuangan atau bisa kita artikan sebagai orang-
oramg yang biasanya di panggil puang untuk masyarakat mandar sebagai
penguasa Appe Banua Kaiyang. Selain menjadi pepuangan ia juga menjadi bagian
anggota Ada’ Kaiyang (adat besar) yang berwenang dalam proses pemilihan,
pengangkatan serta pemberhentian seorang mara’dia di mandar Khususnya kerajaan
Balanipa.

I Manyambungi juga menerapkan sistem kontrak politik di dalam


kepemimpinannya yaitu ikrar dan assitalliang (perjanjian) bersama antara rakyat dan
mara’dia . Perjanjian tersebut berisikan tentang apa-apa saja yang dapat dilakukan
dan tidak dilakukan oleh rakyat dan mara’dia, baik hak maupun kewajiban mara’dia
terhadap rakyatnya. Sebaliknya, ikrar dan assitalliang dipergunakan dalam pelantikan
mara’dia berikutnya dengan cara pembacaan ikrar dan perjanjian yang diucapkan
sebagai persyaratan mutlak yang tidak dapat di tawar adanya. Dasar ikrar memiliki
makna yang dalam, berisi sifat-sifat dasar dari seseorang yang pantas dijadikan
panutan dan pedoman. Sifat itu akan menjadi pertimbangan dasar agar seseorang raja
atau mara’dia yang memerintah tidak akan diberhentikan oleh ada’ atas nama rakyat.
Ikrar dan perjanjian ini jika disamakan pada zaman sekarang merupakan sumpah
jabatan ketika seseorang akan dilantik menduduki suatu jabatan. Tapi bukan hanya
itu saja sebagai tolak ukur perangkat adat untuk mempertegas seorang mara’dia
dalam melaksanakan tugasnya, lingkungan hidup juga ikut berperan sebagai tolak
ukur yang mengendalikan lembaga ada’ dalam pemberhentian seorang mara’dia dari
hegemoninya. Dalam menilai keberhasilan seorang mara’dia di dalam
mengendalikan kepemimpinannya, kemakmuran rakyat juga kelestarian dan suburnya
lingkungan hidup menjadi standar dalam penilaian. Hal ini dikaitkan agar
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dari berbagai aspek kehidupan, termasuk
kelestarian dan terpeliharanya lingkungan hidup. Agar semua itu tercapai, seorang
mara’dia bersama seluruh perangkatnya harus berlaku jujur, adil, tidak materialisme,
pengayom serta menjadi suri tauladan dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam perkembangannya, seorang calon mara’dia harus berasal dari
kelompok sosial yang paling tinggi. Todiang Laiyanna merupakan golongan tertinggi
dan memliki starata sosial dan ekonomi yang tinggi dan biasa juga disebut dengan
istilah mandar sebagai ana’ pattola payung (semua anak bangsawan), orang-orang
yang berhak menduduki jabatan mara’dia. Namun kecil kemungkinan bukan hanya
untuk kalangan Toding Laiyanna saja yang dapat diangkat menjadi raja (mara’di)
karena persyaratan seorang calon mara’dia harus memiliki integritas, berakhlak dan
beriman, baik tutur katanya, baik tindak tanduknya, tidak kasar, menyayangi rakyat,
sehat jasmani dan rohani serta berwawasan luas. Persyaratan tersebut diambil dari
pesan yang diucapkan I Imanyambungi sebelum wafat dan itu menjadi suatu
ketentuan bagi-calon-calon mara’dia di lita’ (tanah) mandar.

“Madondong duambongi anna matea, mau ana'u mau appo'u

muannai menjari ma'dia mua' tania tonamaassayanni lita'na

tomaossayanni pa'banua. Da muannai dai di pe'uluang, mua

mesuani pulu-pulunna, mua mato'dori kedona, apa iyamo

tu'u namarurppu-ruppu lita”

dalam bahasa Indonesia:

(Besok lusa manakala saya mangkat, walaupun anak saya dan cucu saya, janganlah
hendaknya diangkat menjadi raja kalau bukan dia orang yang cinta kepada tanah air
dan rakyat kecil. Jangan pula diangkat menjadi calon raja bila mempunyai tutur sapa
yang kasar, berbuat, bertindak kasar dan kaku pula, sebab orang seperti itulah yang
akan menghancurkan negeri)

Lembaga Sappulo sokko ada’ bertugas membantu mara’dia dalam mengurus


pemerintahan serta sebagai pembuat aturan atau undang-undang juga memimpin
wilayah pada daerahnya masing-masing yang meiliki lembaga adat tersendiri. Pada
pemerintahan I Manyambungi lembaga ini beranggotakan tiga namun pada
pemerintahan mara’dia Balanipa kedua lembaga ini beranggotakan menjadi sepuluh
sehingga disebut dengan Sappulo sokko ada’. Sepuluh anggota adat inilah yang
bertahan dari masa-ke masa hingga statusnya sebagai kerajaan dihapuskan. Dalam
sistem budaya politik lokal di kerajaan Balanipa, masyarakat dapat menyampaikan
persoalan-persoalan melalui pemangku adatnya sendiri yang disebut (ada’ keccu) lalu
diserahkan kepada pemimpin untuk penyelesaian persoaalannya. Jika hal itu harus
diselesaikan ditingkat pusat maka di serahkan kepada lembaga sappulo sokko ada’
untuk kemudian dibahas dan diselesaikan, lalu hasilnya diserahkan kepada mara’dia
kemudian mara’dia menyerahkan kembali hasil pembahasan itu kepada sappulo
sokko ada’ untuk seterusnya disampaikan kepada masyarakat untuk diterapkan
pelaksanaannya. Gambaran ini menjelaskan tentang asas demokrasi yang dianut
kerajaan Balanipa bahwa kekuasaan mara’dia dibatasi oleh lembaga adat.
Daftar Referensi

Amir, Muhammad. 2019 .”Pelayaran Niaga Mandar Pada Paruh Pertama Abad Ke-
20 Mandar Commercial Shipping In The First Half Of The 20th Century”. Walasuji
10 no. 2: h.126-127.

Kila, Syahrir. 2016. Budaya Politik Kerajaan Balanipa. Cet.I; Makassar: Pustaka
Refleksi.

Anda mungkin juga menyukai