PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
Skenario
Pilek…
Ratna 19 tahun seorang mahasiswi kedokteran yang sedang menyelesaikan tahap
akhir perkuliahan preklinik. Proses pembelajaran yang cukup padat membuatnya
kelelahan. Ratna mempunyai riwayat atopi. Sudah sepuluh hari ini Ratna
mengalami pilek, demam dan hidung buntu yang disertai ingus yang berwarna
kuning kehijauan. Awalnya Ratna bersin-bersin kemudian disususl rhinorea,
demam dan sakit kepala. Setelah minum obat Ratna merasakan gejala berkurang,
tetapi belum sama sekali sembuh. Sekarang Ratna merasakan pipi kirinya agak
nyeri terutama bila ditekan.
STEP 1
Rhinore = Sekret/cairan yang berlebihan keluar dari hidung
STEP 2
1. Apa penyebab pilek, hidung buntu, warna ingus kuning kehijauan?
2. Apa hubungan kelelahan dengan keluhan Ratna?
3. Bagaimana hubungan riwayat atopi dengan keluhan Ratna?
4. Bagaimana dari yang awalnya bersin menjadi rhinore, demam, dan sakit
kepala?
5. Apa penyebab pipi kiri Ratna nyeri? Kenapa hanya satu sisi saja?
6. Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk mengetahui penyakit Ratna?
7. Apa diagnosis banding dari penyakit Ratna?
8. Bagaimana tatalaksana yang diberikan kepada Ratna?
STEP 3
1. Hidung pilek terjadi karena banyaknya sekret yang dikeluarkan secara
berlebihan. Keluarnya sekret berlebih terakait reaksi inflamasi karena
infeksi, alergi ataupun lainnya. Reaksi inflamasi juga menyebabkan oedem
pada konka sehingga terjadilah hidung buntu. Sekret berlebih pada mukosa
hidung dapat menjadi tempat bagi bakteri untuk berkembang biak
sehingga warna sekretnya akan menjadi kuning kehijauan.
2. Kelelahan merupakan faktor dapat menyebabkan penurunan imun pada
Ratna. Hal ini berkaitan pada dengan segitiga infeksi dimana kelelahan
termasuk dalam faktor host.
3. Riwayat atopi dapat dikaitkan dengan rhinitis alergi, dimana rhinitis ini
berkaitan dengan pajanan alergen pada penderita dengan manifestasi
berupa peradangan pada hidung.
4. Bersin merupakan mekanisme mengeluarkan benda asing pada saluran
napas atas. Apabisa dengan bersin benda asing tidak bisa dikeluarkan,
maka akan ada kesempatan pada benda asing ersebut untuk membuat
peradangan pada hidung sehingga munculah rhinorea sebagai manifestasi
dari reaksi peradangan tersebut. Demam menandakan bahwa benda asing
tersebut adalah sebuah mikroorganisme yang melepaskan pirogen eksogen
yang kemudian ditangkap oleh sel-sel leukosit yang kemudian melepaskan
pirogen endogen untuk merubah set point pada hipotalamus sehingga
munculnya demam. Peradangan pada hidung dapat meluas ke daerah
sinus-sinus di sekitar hidung sehingga dapat menyebabkan sakit kepala,
tentunya keluhan sakit kepalanya harus digali lebih dalam lagi untuk
menentukan karakteristik dan jenis sakit kepalanya.
5. Produksi sekret yang berlebih dapat diarahkan tempat-tempat yang
terdekat, salah satunya sinus maksilaris yang berada di pipi. Ketika sinus
ini terisi oleh sekret ditambah oedem yang menyebabkan muara sinus
tersumbat, sehingga oksigenisasi ke daerah tersebut berkurang
menyebabkan mikroorganisme di daerah tersebut lebih agresif kemudian
menyebabkan peradangan. Sebenarnya kedua sisi sinus maksilaris
mengalami peradangan, hanya saja yang lebih meradanglah yang lebih
nyeri.
6. Dari anamnesis yang kuat pada keluhan Ratna, kita sudah dapat
mengarahkan pada beberapa diagnosis pada rhinitis dan sinusitis.
Ditambah dengan beberapa pemeriksaan lainnya seperti rhinoskopi,
transiluminasi, skin prick test.
7. Diagnosis bandingnya meliputi rhinitis (akut, alergi, vasomotor) dan
sinusitis (akut, kronis)
8. Pemberiat terapi suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh Ratna dan
mempercepat proses penyembuhan. Terapi kausatif untuk mengeradikaasi
penyebab dari penyakit Ratna, dan terapi simtomatis untk mengurangi
keluhannya.
STEP 4
STEP 5
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan dari:
1. Rhinitis akut
2. Rhinitis kronik
3. Sinusitis akut
4. Sinusitis kronik
STEP 6
Masing-masing anggota diskusi kelompok kecil melakukan belajar secara mandiri
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dan mencari learning
objectives dari berbagai referensi. Belajar mandiri dilaksanakan sejak berakhirnya
DKK 1 pada 16 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016.
STEP 7
RINITIS AKUT
A. Definisi
Rhinitis akut adalah radang akut mukosa nasi yang ditandai dengan
gejala-gejala rhinorea, obstruksi nasi, bersin-bersin dan disertai gejala umum
malaise dan suhu tubuh naik.
B. Etiologi
C. Patologi
D. Gambaran klinis
1. Lokal
Tetes hidung sel HCl Ephedrin 1% dalam glucose 5% tau P.Z berfungsi
melebarkan cavum nasi, meatus dan propilaksis terhadap sinusitis
2. Umum
a. Hindari tubuh kedinginan
- mandi air hangat
- makan hangat
- pakaian hangat, jangan terbuka
- tidur memakai selimut
- jangan berangin-angin/kipas angin
- lantai dingin memakai sandal
b. Systemik dengan acetosal
- sebagai analgetik dan antipiretik
- mempunyai efek Cortison anti radang menghilangkan odema, cara kerja
merangsang cortex adrenalis memproduksi cortisone
- keuntungan lain dapat dipakai untuk pencegahan segera, minum asetosal
sesudah kedinginan/kehujanan yaitu setengah jam sesudah kedinginan,
sesudah 2 jam tidak ada efek lagi.
- asetosal dapat menghangatkan badan karena menimbulkan vasodilatasi
perifer
F. Pencegahan
G. Komplikasi
RHINITIS KRONIK
RHINITIS ALERGI
A. Definisi
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorhea,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai
oleh igE.
Prevalensi
Rhinitis alergi sangat sering terjadi di Amerika Serikat. Pada studi populasi
dilaporkan bahwa prevalensinya sekitar 14%-40% dari total populasi. Biaya yang
dikeluarkan untuk penyakit ini adalah lebih dari 6 juta dollar.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musiman, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen dalam rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :
B. Etiologi
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran misalnya tungai atau debu rumah yang
memberi gejala asma bronkial dan rhinitis alergi.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari :
1. Respon primer : terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi
ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons skunder.
3. Respon tertier : reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan bagi
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberkulin (delayed hypersensitivity).
C. Patofisiologi
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell atau APC)
akan menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah
diperoses antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipersentasikan pada sel T helper
(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (igE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor igE di permukaan sel
mastosit atau basosil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensititasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai igE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histami juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglansin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5 IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor)) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga menjadi rhinorea. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung
saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga
terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dan granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi.
Gambaran histologik
D. Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang.
In vitro :
In vivo :
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggak atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen dalam berbagai konsentrasi yang
ver-tingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga
derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
E. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
3. Operatif
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan igG blocking antibody dan penurunan igE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual
F. Komplikasi
1. Polip hidung
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasalis
RHINITIS VASOMOTOR
A. Definisi
C. Gejala Klinik
D. Diagnosis
E. Penatalaksanaan
F. Prognosis
RHINITIS MEDIKAMETOSA
A. Definisi
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemeriksaan obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah :
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukuran
3. Membrane basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan pH secret hidung
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periosteum menebal
C. Gejala Klinis
SINUSITIS AKUT
Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut, biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas
atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, deviasi septum nasi
merupakan factor predisposisi local yang paling sering ditemukan. Deformitas
rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak.
Anak-anak cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan
angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab
atas sekitar 10% infeksi maksilaris akut.
Gejala
Demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas. Yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak,
penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi.
Keluarnya secret mukopurulen dari hidung, dan terkadang berbau busuk. Batuk
iritatif non-produktif seringkali ada.
Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik :
Adanya pus dalam hidung, yang asalnya dari meatus media. Atau pus
mukopurulen dari nasofaring.
Sinus maksilaris terasa nyeri saat di perkusi atau palpasi
Transiluminasi berkurang, karena sinus terisi cairan
Gambaran Radiologi :
Awal : berupa penebalan mukosa sinus, selanjutnya diikuti opasifikasi
sinus lengkap, akibat mukosa yang membengkak hebat atau akumulasi
cairan yang mengisi sinus dan terbentuknya air-fluid level pada foto tegak
sinus maksilaris.
Pemeriksaan Laboratorium :
Hitung darah lengkap
Apusan hidung , yang diambil dari sinus maksilaris atau dari bagian
posterior hidung dan nasofaring.
Penatalaksanaan
Antibiotik spektrum luas : amoksisilin, ampisilin, eritromisin plus
sulfonamide, sefalosporin, sefuroksim dan trimetropin plus sulfonamide.
Dekongestan : pseudoefedrin, tetes hidung (fenilefrin), oksimetazoline.
Analgetik dan antipiretik ( parasetamol )
Kompres hangat pada wajah
Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Faktor predisposisi infeksi sinus frontalis akut adalah sama
dengan faktor untuk infeksi sinus lainnya. Nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan
bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh, dan mungkin terdapat pembengkakan
supraorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau
perkusi di daerah sinusitis. Transiluminasi dapat terganggu, dan radiogram sinus
memastikan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus menyeluruh atau
suatu air fluid lefel. Pengobatan berupa pemberian antibiotik yang tepat,
dekongsetan, dan tetes hidung vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera
atau timbulnya komplikasi memerlukan drainase sinus frontalis dengan teknik
trepanasi.
Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh
nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya.
SINUSITIS KRONIK
Definisi
Per definisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau
tahun. Pada sinusitis akut perubahan perubahan patologik membrana mukosa
berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel
permukaan, yang semuanya reversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk
lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami
deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang
bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama. Pembentukan mikroabses, dan
jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara
menyeluruh, terdapat infiltrasi sel bundar dan PMN dalam lapisan submukosa.
Etiologi
Etiologi dan faktor predesposisi cukup beragam. Pada era pra-antibiotik,
sinusitis hiperplastik kronik timbul akibat sinusitis akut berulang dengan
penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam patofisiologi siusitis kronik, beberapa
faktor ikut berperan dalam siklus dari peristiwa yang berulang.
Patofisiologi
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar
biasa terhadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik.
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaaan bersilis yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu menciptakan
predesposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan perubahan
struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung misalnya, hipertrofi
adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Akan tetapi,
faktor presdisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasl yang timbul pada
rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium
sinus.
Suatu bentuk polip hidung yang aneh adalah polip antrokonal yang berasal
dari mukosa di dekat ostium sinus maksilaris. Polip ini menyumbat ostium dan
membesar dengan berproliferasi dan edema menjadi suatu “struktur bilobus”. Satu
lobus tetap dalam sinus, sedangkan yang satunya masuk ke dalam hidung dan
terus ke nasofaring. Pengangkatan polip antrokoanal secara lengkap biasanya
memecahkan masalah ini dan jarang terjadi rekurens.
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaaan, dan siklus seterusnya berulang.
Gejala Klinis
Gejala sinusitis kronis tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala
mirip dengan gejala sinusitis akut. Namun di luar masa itu, gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang sering
mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali
tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit
tersumbat, dan tentunya ada gejala-grjala faktor predisposisi, seperti rinitis
alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batu kronik
dengan laringitis kronik ringan atau faringtis seringkali menyertai sinusitis
kronis, dan gtejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter.
Komplikasi
Komplikasi seperti abses subperiosteum, osteitis dan osteoimelitis lebih
sering terjadi pada sinusitis fronalis dan hal ini akan dibicarakan kemudian.
Penatalaksanaan
Pengobatan sinusitis frontalis kronik seringkali memerlukan intervensi
bedah setelah infeksi akut dan faktor lainnya diatasi. Duskus nasofrontalis
biasanya tersumbat dan tak dapat diperbaiki, sehingga teknik-teknik bedah
diarahkan untuk menciptakan suatu duktus nasofrontalis yang baru atau menutup
sinus. Suatu frontoetmoidektomi eksternal memungkinkan akses ke dalam sinus
frontalis guna mengangkat mukosa yang sakit, mengeksisi sel-sel udara etmoidalis
dan memungkinkan pembentukan duktus nasofrontalis yang baru, yaitu di sekitar
suatu selang drainase plastik yang dibiarkan di tempat berkisar dua bulan.
Prosedur bedah yang lebih radikal adalah tindakan obliterasi.
Pada operasi ini, semua membran mukosa termasuk sisa-sisa duktus
frontonasalis harus dieksisi dari sinus, yang kemudian diisi dengan cangkokan
jaringan lemak inert. Prosedur insisi bedah dapat dibuat baik melalui alis mata,
atau secara koronal melalui kulit kepala. Selanjutnya suatu cetakan sinus
berdasarkan pola radiogram, ditempelkan pada kranium, dan dibuat kontur
dinding anterior sinus. Dinding anterior dapat dinsisi dan dilipat ke depan dan
biarkan menggantung pada tepi inferior melalui perlekatannya pada periosteum.
Sinusitis sfenoidalis kronis biasanya merupakan bagian dari infeksi kronis
sinus etmoidalis dan frontal, dan tindakan bedah untuk mengatasi penyakit-
penyakit ini dengan mudah dapat meliputi eksplorasi sfenoid.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sinusitis adalah komplikasi yang paling sering dengan gejala nyeri tekan
pada bagian sinus yang meradang. Ini terjadi oleh karena adanya penyumbatan
ostium sinus akibat adanya pembengkakan mukosa, sehingga, terjadi
transudasi serosa yang dapat menumpuk dan menjadi lokasi perkembangan
bakteri, yang berlanjut menjadi infeksi. Selain itu, otitis media pun dapat
menjadi kelainan akibat komplikasi rhinitis.
Saran
Bagi mahasiswa agar dapat mempelajari lebih dalam rhinitis, sinusitis, beserta
komplikasinya.