Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rinitis dan sinusitis merupakan salah satu penyakit yang banyak


dialami baik anak maupun dewasa. Indonesia adalah salah satu negara
berkembang yang angka kejadian terjadinya infeksi pada hidung, sinus
masih tinggi. Selain itu, adanya saluran-saluran yang menghubungkan
ketiga organ ini yang dapat menyebabkan saling terkaitnya antara
ketiganya.Sehingga ketika terjadi suatu kelainan pada hidung, kelainan ini
dapat menyebabkan kelainan pada sinus. Atas hal inilah maka penulis
memutuskan untuk membuat laporan yang berisi mengenai beberapa
kelainan pada hidung, sinus paranasalis, diantaranya rhinitis,
sinusitis.Semoga laporan ini dapat menjadi salah satu bahan atau sumber
ketika ingin memahami dan mendalami kelainan-kelaianan tersebut dan
dapat digunakan dalam dunia pembelajaran baik di fakultas maupun
universitas.

B. Tujuan

Tujuan blok 16 modul 3 ini adalah mempelajari tentang kelainan


pada hidung, sinus paranasalis dan tenggorokan terutama yang berkenaan
dengan sinusitis yag didahului oleh adanya rhinitis yang paling sering
ditemui di praktek sehari-hari. Modul 3 ini digambarkan dengan jelas di
skenario sehingga dapat mengarahkan ke learning objective yang harus
dicapai yang meliputi Rhinitis dan Sinusitis.
BAB II
PEMBAHASAN

Skenario
Pilek…
Ratna 19 tahun seorang mahasiswi kedokteran yang sedang menyelesaikan tahap
akhir perkuliahan preklinik. Proses pembelajaran yang cukup padat membuatnya
kelelahan. Ratna mempunyai riwayat atopi. Sudah sepuluh hari ini Ratna
mengalami pilek, demam dan hidung buntu yang disertai ingus yang berwarna
kuning kehijauan. Awalnya Ratna bersin-bersin kemudian disususl rhinorea,
demam dan sakit kepala. Setelah minum obat Ratna merasakan gejala berkurang,
tetapi belum sama sekali sembuh. Sekarang Ratna merasakan pipi kirinya agak
nyeri terutama bila ditekan.

STEP 1
Rhinore = Sekret/cairan yang berlebihan keluar dari hidung

STEP 2
1. Apa penyebab pilek, hidung buntu, warna ingus kuning kehijauan?
2. Apa hubungan kelelahan dengan keluhan Ratna?
3. Bagaimana hubungan riwayat atopi dengan keluhan Ratna?
4. Bagaimana dari yang awalnya bersin menjadi rhinore, demam, dan sakit
kepala?
5. Apa penyebab pipi kiri Ratna nyeri? Kenapa hanya satu sisi saja?
6. Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk mengetahui penyakit Ratna?
7. Apa diagnosis banding dari penyakit Ratna?
8. Bagaimana tatalaksana yang diberikan kepada Ratna?

STEP 3
1. Hidung pilek terjadi karena banyaknya sekret yang dikeluarkan secara
berlebihan. Keluarnya sekret berlebih terakait reaksi inflamasi karena
infeksi, alergi ataupun lainnya. Reaksi inflamasi juga menyebabkan oedem
pada konka sehingga terjadilah hidung buntu. Sekret berlebih pada mukosa
hidung dapat menjadi tempat bagi bakteri untuk berkembang biak
sehingga warna sekretnya akan menjadi kuning kehijauan.
2. Kelelahan merupakan faktor dapat menyebabkan penurunan imun pada
Ratna. Hal ini berkaitan pada dengan segitiga infeksi dimana kelelahan
termasuk dalam faktor host.
3. Riwayat atopi dapat dikaitkan dengan rhinitis alergi, dimana rhinitis ini
berkaitan dengan pajanan alergen pada penderita dengan manifestasi
berupa peradangan pada hidung.
4. Bersin merupakan mekanisme mengeluarkan benda asing pada saluran
napas atas. Apabisa dengan bersin benda asing tidak bisa dikeluarkan,
maka akan ada kesempatan pada benda asing ersebut untuk membuat
peradangan pada hidung sehingga munculah rhinorea sebagai manifestasi
dari reaksi peradangan tersebut. Demam menandakan bahwa benda asing
tersebut adalah sebuah mikroorganisme yang melepaskan pirogen eksogen
yang kemudian ditangkap oleh sel-sel leukosit yang kemudian melepaskan
pirogen endogen untuk merubah set point pada hipotalamus sehingga
munculnya demam. Peradangan pada hidung dapat meluas ke daerah
sinus-sinus di sekitar hidung sehingga dapat menyebabkan sakit kepala,
tentunya keluhan sakit kepalanya harus digali lebih dalam lagi untuk
menentukan karakteristik dan jenis sakit kepalanya.
5. Produksi sekret yang berlebih dapat diarahkan tempat-tempat yang
terdekat, salah satunya sinus maksilaris yang berada di pipi. Ketika sinus
ini terisi oleh sekret ditambah oedem yang menyebabkan muara sinus
tersumbat, sehingga oksigenisasi ke daerah tersebut berkurang
menyebabkan mikroorganisme di daerah tersebut lebih agresif kemudian
menyebabkan peradangan. Sebenarnya kedua sisi sinus maksilaris
mengalami peradangan, hanya saja yang lebih meradanglah yang lebih
nyeri.
6. Dari anamnesis yang kuat pada keluhan Ratna, kita sudah dapat
mengarahkan pada beberapa diagnosis pada rhinitis dan sinusitis.
Ditambah dengan beberapa pemeriksaan lainnya seperti rhinoskopi,
transiluminasi, skin prick test.
7. Diagnosis bandingnya meliputi rhinitis (akut, alergi, vasomotor) dan
sinusitis (akut, kronis)
8. Pemberiat terapi suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh Ratna dan
mempercepat proses penyembuhan. Terapi kausatif untuk mengeradikaasi
penyebab dari penyakit Ratna, dan terapi simtomatis untk mengurangi
keluhannya.

STEP 4

STEP 5
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan dari:
1. Rhinitis akut
2. Rhinitis kronik
3. Sinusitis akut
4. Sinusitis kronik
STEP 6
Masing-masing anggota diskusi kelompok kecil melakukan belajar secara mandiri
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan dan mencari learning
objectives dari berbagai referensi. Belajar mandiri dilaksanakan sejak berakhirnya
DKK 1 pada 16 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016.

STEP 7
RINITIS AKUT

A. Definisi

Rinitis adalah definisi dari kondisi inflamasi yang mempengaruhi mukosa


nasal. Gejala rinis termasuk obsuktri nasal, hiperiribilitas, dan hipersekresi.
Rinitis bisa disebabkan oleh berbagai jenis alergi dan juga non alergi. Insiden
rinitis meningkat sejak revolusi industri.

Rhinitis akut adalah radang akut mukosa nasi yang ditandai dengan
gejala-gejala rhinorea, obstruksi nasi, bersin-bersin dan disertai gejala umum
malaise dan suhu tubuh naik.

B. Etiologi

Etiologi ada 2 jenis mikroorganisme yang menimbulkan rhinitis akut:

1. Virus ditentukan oleh Kruse tahun 1914


2. Bakteri terutama Haemophylus Influensa, Steptococcus, Pneumococcus,
dan sebagainya.
Pertama kali terjadi invasi virus yang merusak pertahanan
mukosa, Rinitis virus sangat umum dan sering dihubungkan dengan
gejala sakit karena virus termasuk sakit kepala, malaise, dan batuk.
Kemudian bakteri mengadakan infeksi sekunder. Penularan lewat droplet
infeksi dan kontak langsung dengan penderita. Di samping virulensi ,
faktor predisposisi memegang peranan penting.
Predisposisi

1. Faktor luar (enviroment)


a. Pengaruh atmosfer yaitu angin, suhu udara, humidity, hujan dan
sebagainya. Humudity optimal 45%, terlalu kering misalnya salju. Mukosa
kering, terlalu lembab, keringat banyak, berangin-angin, kedinginan.
Common cold virus hidup lebih baik pada humidity tinggi.
b. Ventilasi ruangan kurang yaitu ruangan kecil, tertutup, penuh orang-orang
sakit, serumah ketularan.
c. Debu dan gas.
d. Yang terpenting adalah faktor dingin atau perubahan temperatur dari panas
ke dingin yang mendadak, karena dingin menimbulkan reflex
vasokonstrinsik  iskemia jaringan, daya tahan terhadap infeksi menurun.
2 Faktor dalam
a. daya tahan tubuh yang menurun
- kelelahan, bekerja terlalu keras, belajar sampai larut malam
- kurang makanan bergizi
- defisiensi vitamin A, C, dan D
b. daya tahan lokal cavum nasi
- alergi hidung
- obstruksi nasi kronis contoh adenoid, septum deviasi
3. Penyakit excanthemata
Rhinit akut merupkan gejala prodromal misalnya morbili, variola, varecolla,
dan scarlet fever.

C. Patologi

Pada stadium permulaan terjadi vasokonstrinsik yang akan diikuti


vasodilatasi, udem dan meningkatnya aktifitas kelenjar seromucious dan
goblet sel, kemudian terjadi infiltrasi leukosit dan desguamasi epitel. Secret
mula-mula encer, jernih kemudian berubah menjadi kental dan lekat
(mukoid) berwarna kuning mengandung nanah dan bakteri (makopurulent).
Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam darah dan lymphe,
menimbulkan gejala-gejala umum. Pada stadium resolusi terjadi proliferasi
sel epithel yang telah rusak dan mukosa menjadi normal kembali.

D. Gambaran klinis

1. Stadium prodromal, pada hari pertama


- rasa panas dan kering pada cavum nasi
- bersin-bersin
- hidung buntu
- pilek encer jernih seperti air
:: Pemeriksaan (rhinoscopia anterior/RA)  cavum nasi sempit, terdapat
secret serous dan mukosa udem dan hyperemi
2. Stadium akut, hari kedua sampai keempat
- bersin-bersin berkurang
- obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hyposmia,
gangguan gustateris, rasa makanan tidak enak
- pilek kental kuning
- badan tak enak, sumer-sumer
:: Pemeriksaan  cavum nasi lebih sempit, secret mukopurulent. Mukosa
lebih udem hyperemis
3. Stadium Penyembuhan (resolusi) hari Kelima sampai ketujuh
Gejala-gejala ditas berkurang (udem dan hyperemis berkurang, obstruksi
berkurang, secret berkung dan mongering) kadang-kadang rhinitis akut didahului
gejala nasopharingitis (disamping itu ada gejala lain menyertai yaitu pharyngitis
akut dan laryngitis akut. Sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi
adanya pharyngitis atau laryngitis akut tidak selalu didahului oleh rhinitis akut.
Dapat pharyngitis timbul dulu atau laryngitis dulu, jadi manifestasi penyakit dapat
dimulai dimana-mana (hidung, pharing, laryng)
E. Tatalaksana

1. Lokal
Tetes hidung sel HCl Ephedrin 1% dalam glucose 5% tau P.Z berfungsi
melebarkan cavum nasi, meatus dan propilaksis terhadap sinusitis
2. Umum
a. Hindari tubuh kedinginan
- mandi air hangat
- makan hangat
- pakaian hangat, jangan terbuka
- tidur memakai selimut
- jangan berangin-angin/kipas angin
- lantai dingin memakai sandal
b. Systemik dengan acetosal
- sebagai analgetik dan antipiretik
- mempunyai efek Cortison anti radang menghilangkan odema, cara kerja
merangsang cortex adrenalis memproduksi cortisone
- keuntungan lain dapat dipakai untuk pencegahan segera, minum asetosal
sesudah kedinginan/kehujanan yaitu setengah jam sesudah kedinginan,
sesudah 2 jam tidak ada efek lagi.
- asetosal dapat menghangatkan badan karena menimbulkan vasodilatasi
perifer

F. Pencegahan

 Hindari kontak dengan penderita


 Meningkatkan daya tahan tubuh dengan hindari kelelahan dan diet bergizi
 Hidari dingin dengan minum asetosal
 Rumah sakit dengan sinar ultra violet membunuh virus

G. Komplikasi

 Otitis media akut


 Sinusitis paranasalis
 Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracho bronchitis,
pneumonia
 Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakti lain yaitu jangung dan
asma bronchial

RHINITIS KRONIK

RHINITIS ALERGI

A. Definisi

Rhinitis alergi adalah Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi


alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1968).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorhea,
rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai
oleh igE.

Prevalensi

Rhinitis alergi sangat sering terjadi di Amerika Serikat. Pada studi populasi
dilaporkan bahwa prevalensinya sekitar 14%-40% dari total populasi. Biaya yang
dikeluarkan untuk penyakit ini adalah lebih dari 6 juta dollar.

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak


dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh
karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitiskarena gejala
klinik yang tampak adalah gejala pada hidung dan mata (mata marah, gatal
disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul
intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi musiman, jadi dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama
pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen
dalam rumah (indoor) dan alergen dalam rumah (outdoor). Alergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.

Saat digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari


WHO Intiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma) tahun 2001,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang


dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemuak gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menggangu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gangguan tersebut diatas.

B. Etiologi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernafasan misalnya


tungau debu rumah (D. Pteronyssinus, D.Farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan
epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (bermuda grass) serta jamur
(Aspergillus, alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu
sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin dan sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran misalnya tungai atau debu rumah yang
memberi gejala asma bronkial dan rhinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis
besar terdiri dari :

1. Respon primer : terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi
ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak
berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons skunder.

2. Respon sekunder : reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3


kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya
dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila
Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka
reaksi berlanjut menjadi respons tertier.

3. Respon tertier : reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan bagi
tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya
eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
tuberkulin (delayed hypersensitivity).
C. Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan


tahap sensititasi yang diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu, Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell atau APC)
akan menangkap alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah
diperoses antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipersentasikan pada sel T helper
(Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepaskan sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13
dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (igE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor igE di permukaan sel
mastosit atau basosil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensititasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai igE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain histami juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglansin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5 IL6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor)) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi
Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga menjadi rhinorea. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung
saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga
terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dan granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang
tinggi.

Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penambalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan


serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
menerus/persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan menjadi perubahan
yang ireversible, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperflasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.

D. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi


dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning
process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang
pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar
ingus (rhinorea) yang encer dan banyak, hidung tersumbat hidung dan mata
gatal, yang disertai kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat


atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah
terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,
dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).

3. Pemeriksaan penunjang.

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.


Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test)
seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan igE spesifik
dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan
alergei inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggak atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen dalam berbagai konsentrasi yang
ver-tingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga
derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan
adalah intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai
baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge
Test).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai
suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

E. Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja


secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin


generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Anti histamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek
pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain antara lain defenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal
(non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinorhea,
bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada
fase lambat. Antihistamin non-sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan
menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin
yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia
ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari
peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin,
desloratadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai


sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung


akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipaki adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja
untuk mengurangi jumlah sel matosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada repon fase cepat dan
lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifitas sel netrofil, eosinofil dan monosit. hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat


untuk mengatasi rhinorea, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada
permukaan sel efektor.

Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien


(zafirlukast/monotelukast), anti igE, DNA rekombinan.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),


konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan
bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan igG blocking antibody dan penurunan igE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual

F. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasalis

RHINITIS VASOMOTOR

A. Definisi

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa


adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal ( kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin
dan obat topical hidung dekongestan)
Rhinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/allergen
spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (
anamnesis, tes cukik kulit, kadar antibody IgE spesifik serum).
Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rinorhea, nasal
vasomotor instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis.

B. Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis


telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi Rhinitis vasomotor :
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2,
menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut
simpatis melepaskan ko-transmiter nonadrenalin dan neuropeptida Y yang
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini
berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan
rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam. Keadaan ini disebut sebagai
"siklus nasi". Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk dapat
bernafas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang berubah-ubah
luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju
ganglion sfenopalatina superior menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk
n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darahdan terutama kelenjar
eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmiter asetilkolin dan
vasoaktif intestinal paptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan
vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui dengan
pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat penerima impuls
eferen, teermasuk rangsangan emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam
keadaan hidung normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rhinitis vasomotor
diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom dimukosa
hidung yang berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensori serabut C di hidung. Adanya
rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan
pelepasan neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein
yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar.
Keadaan ini menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas
hidung.
3. Nitrik Oksida
Kadar nitrik oksida (NO)yang tinggi dan persisten dilapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangsangan non spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rhinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

C. Gejala Klinik

Pada rhinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan


non- spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman yang
beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan,
perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi. Pada
keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu
tersebut.
Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan rhinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa.
Keluhan ini jarang disertai.
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena
adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok
dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan, yaitu :
1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang baik
dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topical
2. Golongan rhinorea (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti
kolinergik topikal.
3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon yang
baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.

D. Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eklusi, yaitu menyingkirkan


adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam
anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Pada pemerikasaan rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa
edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau berwarna merah tua
(karakteristik), tetapi dapat pula pucat. Hal ini dapat dibedakan dengan rhinitis
alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata). Pada rongga
hidung terdapat secret mukoid, biasanya sedikit. Tetapi pada golongan rinorea
sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
Pemerikasaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
rhinitis alergi. Kadang-kadang ditemukan eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi
dalam jumlah sedikit. Tes kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak
meningkat.

E. Penatalaksanaan

Pengobatan pada rhinitis vasomotor bervariasi, tergantung pada faktor


penyebab dan gejala yang menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam:
1. Menghindari penyebab
2. Pengobatan simtomatis, dengan obat-obatan dekongestan oral, diatermi,
kauterisasi konka yang hipetrofi dengan memakai larutan AgNO3 25%
atau triklorasetat pekat. Dapat juga diberikan kortikosteroid topikal,
misalnya budesonid, dua kali sehari dengan dosis 100-200 mikrogram
sehari. Dosisi dapat ditingkatkan sampai 400 mikrogra sehari. Hasilnya
akan terlihat setelah pemakaian paling sedikit selama 2 minggu.
Saat ini terdapat kortikosteroid topikal baru dalam larutan aqua seperti
flutikason propionate dengan pemakaian cukup 1x / hari dengan dosis 200
mcg.
3. Operasi, dengan cara bedah-beku, elektrokauter atau konkotomi konka
inferior.
4. Neurektomi n. vidianus , yaitu pemotongan n. vidianus, bila dengan cara
diatas tidak memberikan hasil. Operasi ini tidak mudah, dapat
menimbulkan komplikasi seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan
lakrimalis, neuralgia, atau anastesi infra orbita dan anestesi palatum. Dapat
juga dilakukan tindakan blocking ganglion sfenopalatina.

F. Prognosis

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan rinorea.


Oleh karena golongan rinorea mirip dengan rhinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti untuk menegakkan diagnosanya

RHINITIS MEDIKAMETOSA

A. Definisi

Adalah suatu kelainan pada hidung berupa gangguan respon normal


vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokontriktor topical dalam waktu
lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Dapat dikatakan hal ini disebabkan pemakaian obat yang berlebihan.
B. Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan


atau iritan. Obat tpikal vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan
menyababkan siklus nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila
pemakaian obat itu dihentikan.

Pemakaian vasokonstrikor yang berulang dalam waktu lama kan


menyababkan terjadinya fase dilatasi berulang setelah vasokonstriktor, sehingga
timbuk gejala obstruksi. Dengan begitu pasian akan lebih sering dan lebih banyak
menggunakan obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa
adrenergic yang tinggi di mukosa hidung yang akan diikuti dengan penurunan
sensitivitas reseptor alfa adrenergic di pembuluh darah sehingga terjadi suatu
toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi
menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung keadaan
ini disebut rebound congesti.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemeriksaan obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah :

1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukuran
3. Membrane basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan pH secret hidung
7. Lapisan submukosa menebal
8. Lapisan periosteum menebal

C. Gejala Klinis

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada


pemeriksaan tampak edema atau hipertrofi konka dengan secret hiung yang
berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak menghilang.
D. Penatalaksanaan

1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor hidung


2. Untuk mengatasi sumbatan berulang dapat digunakan kortikosteroid oral dosis
tinggi jangka pendek dan dosis diturunkan secara bertahap dengan menurunkan
dosis sebanyak 5 mg setiap hari. Dapat juga diberika kortikosteroid topical
selama 2 minggu untuk mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung
3. Obat dekongestan oral

SINUSITIS AKUT

Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut, biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas
atas yang ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, deviasi septum nasi
merupakan factor predisposisi local yang paling sering ditemukan. Deformitas
rahang-wajah, terutama palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak.
Anak-anak cenderung menderita infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan
angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi bertanggung jawab
atas sekitar 10% infeksi maksilaris akut.

Gejala
Demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas. Yang biasanya reda
dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak,
penuh dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi.
Keluarnya secret mukopurulen dari hidung, dan terkadang berbau busuk. Batuk
iritatif non-produktif seringkali ada.

Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik :
 Adanya pus dalam hidung, yang asalnya dari meatus media. Atau pus
mukopurulen dari nasofaring.
 Sinus maksilaris terasa nyeri saat di perkusi atau palpasi
 Transiluminasi berkurang, karena sinus terisi cairan

Gambaran Radiologi :
 Awal : berupa penebalan mukosa sinus, selanjutnya diikuti opasifikasi
sinus lengkap, akibat mukosa yang membengkak hebat atau akumulasi
cairan yang mengisi sinus dan terbentuknya air-fluid level pada foto tegak
sinus maksilaris.

Pemeriksaan Laboratorium :
 Hitung darah lengkap
 Apusan hidung , yang diambil dari sinus maksilaris atau dari bagian
posterior hidung dan nasofaring.

Penatalaksanaan
 Antibiotik spektrum luas : amoksisilin, ampisilin, eritromisin plus
sulfonamide, sefalosporin, sefuroksim dan trimetropin plus sulfonamide.
 Dekongestan : pseudoefedrin, tetes hidung (fenilefrin), oksimetazoline.
 Analgetik dan antipiretik ( parasetamol )
 Kompres hangat pada wajah

Pasien biasanya akan memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam dua


hari dan proses penyakitnya akan menyembuh dalam 10 hari. Kegagalan
penyembuhan pada suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organism tidak peka
lagi terhadap antibiotic, atau antibiotic gagal mencapai lokasi infeksi. Pada
keadaan ini, ostium sinus mengalami edematosa sehingga drainase sinus
terhambat dan terbentuk suatu abses. Dan harus dilakukan drainase / irigasi
segera.
Dengan irigasi antrum, melalui insersi trokar di bawah konka inferior,
setelah sebelumnya dilakukan kokainisiasi membrane mukosa. Jalur alternative
adalah melalui pendekatan sublabial dimana jarum ditusukkan lewat celah bukalis
gusi menembus fosa insisiva. Kemudian larutan salin hangat dialirkan ke dalam
antrum maksilaris melalui jalur ini, dan pus didorong keluar melalui ostium alami.
Sinusitis maksilaris dentogen
BentukPenyakit geligi-maksilaris yang kusus bertanggung jawab pada
10% kasus sinusitis yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Penyebab tersering
adalah ekstraksi gigi molar pertama, dimana sepotong kecil tulang diantara akar
gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat. Infeksi gigi lainnya seperti abses
apical atau penyakit periodontal dapat menimbulkan kondisi serupa. Gambaran
bakteriostatik sinusitis berasal dari geligi , didominasi oleh infeksi bakteri gram
negative. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk dan
akibatnya tibul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah pemberian antibiotic,
irigasi sinus dan koreksi gangguan geligi.
Faktor predisposisi lokal
Yang menyebabkan sinusitis maksilaris akut adalah suatu benda asing
dalam hidung dan deviasi septum nasi. Penganggkatan benda asing merupakan
keharusan, dan koreksi bedah septum nasi yang berdeviasi dilakukan setelah fase
akut sembuh sempurna. Karena sinusitis dapat terjadi setelah pemasangan tampon
hidung untuk menggatasi epistaksis, maka diperlukan antibiotic profilaksis pada
setiap pemasangan tampon hidung. Fraktur wajah dapat menggangu drainase
fisiologis normal dari sinus dan menyebabkan infeksi. Barotrauma menyebabkan
edema mukosa dan oklusi ostium sinus, sehingga terjadi akumulasi secret sinus
yang diikuti infeksi.
Sinusitis Etmoidalis
Sinus etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di
belakang dan diantara mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis
juga bisa menyebabkan nyeri bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera
penciuman dan hidung tersumbat.
Pada dewasa, seringkali bersama-sama dengan sinus maksilaris, serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala
berupa nyeri dan nyeri tekan diantara kedua mata dan di atas jembatan hidung,
drainase dan sumbatan hidung. Pada anak, dinding alteral labirin etmoidalis
(lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering
menimbulkan selulitis orbita.
Pengobatan sinusitis etmoidalis berupa pemberian antibiotik sistemik,
dekongestan hidung, dan obat semprot atau tetes vasokonstriktor topikal.
Ancaman terjadinya komplikasi atau perbaikan yang tidak memadai merupakan
indikasi untuk etmoidektomi. Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat
semprot hidung hanya boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena
pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan
pada saluran hidung). Untuk mengurangi penyumbatan, pembengkakan dan
peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.
Sinusitis kronis Diberikan antibiotik dan dekongestan. Untuk mengurangi
peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung steroid.
Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).

Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Faktor predisposisi infeksi sinus frontalis akut adalah sama
dengan faktor untuk infeksi sinus lainnya. Nyeri berlokasi di atas alis mata,
biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian
perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan
bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh, dan mungkin terdapat pembengkakan
supraorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri yang hebat pada palpasi atau
perkusi di daerah sinusitis. Transiluminasi dapat terganggu, dan radiogram sinus
memastikan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus menyeluruh atau
suatu air fluid lefel. Pengobatan berupa pemberian antibiotik yang tepat,
dekongsetan, dan tetes hidung vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera
atau timbulnya komplikasi memerlukan drainase sinus frontalis dengan teknik
trepanasi.
Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh
nyeri kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya.

SINUSITIS KRONIK

Definisi
Per definisi, sinusitis kronik berlangsung selama beberapa bulan atau
tahun. Pada sinusitis akut perubahan perubahan patologik membrana mukosa
berupa infiltrat polimorfonuklear, kongesti vaskular dan deskuamasi epitel
permukaan, yang semuanya reversibel. Mukosa umumnya menebal, membentuk
lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami
deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang
bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama. Pembentukan mikroabses, dan
jaringan granulasi bersama-sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara
menyeluruh, terdapat infiltrasi sel bundar dan PMN dalam lapisan submukosa.

Etiologi
Etiologi dan faktor predesposisi cukup beragam. Pada era pra-antibiotik,
sinusitis hiperplastik kronik timbul akibat sinusitis akut berulang dengan
penyembuhan yang tidak lengkap. Dalam patofisiologi siusitis kronik, beberapa
faktor ikut berperan dalam siklus dari peristiwa yang berulang.

Patofisiologi
Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis mempunyai daya tahan luar
biasa terhadap penyakit selain kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri.
Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan mukosa
sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik.
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan regenerasi epitel permukaaan bersilis yang tidak lengkap, akibatnya
terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu menciptakan
predesposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan perubahan
struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung misalnya, hipertrofi
adenoid, tumor hidung dan nasofaring, dan suatu septum deviasi. Akan tetapi,
faktor presdisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasl yang timbul pada
rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat total ostium
sinus.
Suatu bentuk polip hidung yang aneh adalah polip antrokonal yang berasal
dari mukosa di dekat ostium sinus maksilaris. Polip ini menyumbat ostium dan
membesar dengan berproliferasi dan edema menjadi suatu “struktur bilobus”. Satu
lobus tetap dalam sinus, sedangkan yang satunya masuk ke dalam hidung dan
terus ke nasofaring. Pengangkatan polip antrokoanal secara lengkap biasanya
memecahkan masalah ini dan jarang terjadi rekurens.
Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema
mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat
ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang
selanjutnya menghancurkan epitel permukaaan, dan siklus seterusnya berulang.

Gejala Klinis
Gejala sinusitis kronis tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala
mirip dengan gejala sinusitis akut. Namun di luar masa itu, gejala berupa suatu
perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang sering
mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali
tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus. Hidung biasanya sedikit
tersumbat, dan tentunya ada gejala-grjala faktor predisposisi, seperti rinitis
alergika yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang menonjol. Batu kronik
dengan laringitis kronik ringan atau faringtis seringkali menyertai sinusitis
kronis, dan gtejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter.

Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi


secara berbarengan. Di samping terapi obat-obatan yang memadai dengan
antibiotik dan dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan
obstruktif dan tiap alergi yang mungkin ada. Tindakan bedah sederhana pada
sinusitis maksilaris kronis adalah membuat suatu lubang drainase yang memadai.
Prosedur yang palim lazim adalah nasoantrostomi atau pembentukan fenestra
nasoantral.
Sepotong dinding medial meatus inferior dilepaskan guna memungkinkan
drainase gravitasional dan ventilasi, dan dengan demikian memungkinkan pula
regenerasi membrana mukosa yang sehat dalam sinus maksilaris. Suatu prosedur
yang lebih yang lebih radikal dinamakan menurut dua ahli bedah yang
mempopulerkannya, operasi Caldwell-Luc. Pada prosedur bedah ini, epitel rongga
sinus maksila diangkat seluruhnya dan pada akhir prosedur dilakukan antrostomi
untuk drainase sesuai cara yang dijelaskan sebelumnya.
Sinusitis pada dasarnya bersifat rinogenik. Pada sinusitis kronik, sumber
infeksi berulang cenderung berupa suatu daerah stenotik, biasanya infundibulum
etmoidalis dan resesus frontalis. Karena inflamasi menyebabkan saling
menempelnya mukosa yang berhadadapan dalam ruangan sempit ini, akibatnya
terjadi gangguan transpor mukosiliar, menyebabkan retensi mukus dan
memepertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar ke
sinus yang berdekatan. Karena silia sinus maksilaris menyapu ke arah ostium
alami bahkan setelah suatu lubang dibuat pada meatus inferior, maka tindakan
untuk membesar ostium alami dan mengangkat jaringan anatomik yang cacat atau
dengan radang menetap pad batas dasar membolehkan dengan teknik in,
menguntungkan dalam hal mengembalikan fungsi bersihan mukosiliar normal.
Faktor etiologi sinusitis frontal kronik serupa dengan bentuk-bentuk
sinusitis kronik lainnya. Gambaran klinis berupa nyeri kepala frontal yang bersifat
konstan, serta pembengkakan dan nyeri tekan pada kulit atas sinus.

Komplikasi
Komplikasi seperti abses subperiosteum, osteitis dan osteoimelitis lebih
sering terjadi pada sinusitis fronalis dan hal ini akan dibicarakan kemudian.

Penatalaksanaan
Pengobatan sinusitis frontalis kronik seringkali memerlukan intervensi
bedah setelah infeksi akut dan faktor lainnya diatasi. Duskus nasofrontalis
biasanya tersumbat dan tak dapat diperbaiki, sehingga teknik-teknik bedah
diarahkan untuk menciptakan suatu duktus nasofrontalis yang baru atau menutup
sinus. Suatu frontoetmoidektomi eksternal memungkinkan akses ke dalam sinus
frontalis guna mengangkat mukosa yang sakit, mengeksisi sel-sel udara etmoidalis
dan memungkinkan pembentukan duktus nasofrontalis yang baru, yaitu di sekitar
suatu selang drainase plastik yang dibiarkan di tempat berkisar dua bulan.
Prosedur bedah yang lebih radikal adalah tindakan obliterasi.
Pada operasi ini, semua membran mukosa termasuk sisa-sisa duktus
frontonasalis harus dieksisi dari sinus, yang kemudian diisi dengan cangkokan
jaringan lemak inert. Prosedur insisi bedah dapat dibuat baik melalui alis mata,
atau secara koronal melalui kulit kepala. Selanjutnya suatu cetakan sinus
berdasarkan pola radiogram, ditempelkan pada kranium, dan dibuat kontur
dinding anterior sinus. Dinding anterior dapat dinsisi dan dilipat ke depan dan
biarkan menggantung pada tepi inferior melalui perlekatannya pada periosteum.
Sinusitis sfenoidalis kronis biasanya merupakan bagian dari infeksi kronis
sinus etmoidalis dan frontal, dan tindakan bedah untuk mengatasi penyakit-
penyakit ini dengan mudah dapat meliputi eksplorasi sfenoid.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Rhinorea, bersin, hidung tersumbat, dan hidung gatal, merupakan gejala-


gejala yang biasa dikeluhkan pada penyakit rhinitis. Adapun rhinitis
merupakan peradangan dari membran pada nasal yang ditandai dengan gejala
yang telah disebutkan. Mata, telinga, sinus dan tenggorokan juga dapat
terlibat. Rhinitis yang paling sering ditemukan adalah rhinitis alergika.
Rhinitis sebenarnya dapat sembuh sendiri (self limiting desease), namun jika
sistem pertahanan tubuh rendah, atau sering terpapar dengan alergen (pada
rhinitis alergi), maka rhinitis dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius
dan rumit.

Sinusitis adalah komplikasi yang paling sering dengan gejala nyeri tekan
pada bagian sinus yang meradang. Ini terjadi oleh karena adanya penyumbatan
ostium sinus akibat adanya pembengkakan mukosa, sehingga, terjadi
transudasi serosa yang dapat menumpuk dan menjadi lokasi perkembangan
bakteri, yang berlanjut menjadi infeksi. Selain itu, otitis media pun dapat
menjadi kelainan akibat komplikasi rhinitis.

Saran

Bagi mahasiswa agar dapat mempelajari lebih dalam rhinitis, sinusitis, beserta
komplikasinya.

Bagi masyarakat agar dapat menambah pengetahuan mengenai rhinitis dan


sinusitis yang sering terjadi di masyarakat melalui makalah ini

Anda mungkin juga menyukai