Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

Hipertensi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS TK.II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan

Pembimbing :
dr. Burham, Sp.PD, M.Kes

Disusun Oleh :
Deby Maharani (1808320059)
Arif Azhari Nasution (1808320048)
Khalisa Tsamarah (1808320061)
Fandy Novrian (1808320089)
Dinda Atika Suri (1808320058)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU KESDAM I/BB MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UMSU
MEDAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul HIPERTENSI. Kendala dalam
pembuatan laporan kasus dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui
bimbingan dan dukungan banyak pihak.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Burham, Sp.PD,
M.Kes selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran, pendapat,
koreksi, dan tanggapan yang membangun guna perbaikan selanjutnya.

Medan, Oktober 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 2

2.1 Definisi Hipertensi ................................................................................... 2

2.2 Etiologi Hipertensi ................................................................................... 2

2.3 Faktor Resiko Hipertensi .......................................................................... 3

2.4 Klasifikasi Hipertensi ............................................................................... 3

2.5 Diagnosis Hipertensi ................................................................................ 5

2.6 Patogenesis & Patofisiologi Hipertensi .................................................... 7

2.7 Tatalaksana Hipertensi ........................................................................... 11

2.8 Komplikasi ............................................................................................. 21

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara global WHO (World Health Organization) memperkirakan penyakit
tidak menular menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh
dunia. Perubahan pola struktur masyarakat dari agraris ke industri dan perubahan
gaya hidup, sosial ekonomi masyarakat diduga sebagai suatu hal yang
melatarbelakangi meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular, sehingga angka
kejadian penyakit tidak menular semakin bervariasi dalam transisi epidemiologi.
Salah satu penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit tidak menular
tersebut yaitu hipertensi.
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada
dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang.
Menurut American Heart Association (AHA), penduduk Amerika yang
berusia diatas 20 tahun menderita hipertensi telah mencapai angka hingga 74,5 juta
jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi
merupakan silent killer dimana gejala dapat bervariasi pada masing-masing
individu dan hampir sama dengan gejala penyakit lainnya. Gejala-gejalanya itu
adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo), jantung berdebar-debar,
mudah lelah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan mimisan.
Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan menggunakan obat-
obatan ataupun dengan cara modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup dapat
dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak lebih dari ¼ - ½ sendok teh (6
gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari minuman berkafein, rokok, dan
minuman beralkohol. Olahraga juga dianjurkan bagi penderita hipertensi, dapat
berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit dengan frekuensi 3-5x
per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan mengendalikan stress.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi hipertensi

Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC
(Joint National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan
sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (JNC VII)

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas di


Indonesia, sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat
umum dilakukan diberbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini
disusun untuk memudahkan para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani
hipertensi terutama yang berkaitan dengan kelainan jantung dan pembuluh darah
(PERKI 2015)

2.2 Etiologi hipertensi

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan dasar


patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi essensial.
Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik
mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, reaktivitas
pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi insulin dan lain-lain.
Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara lain diet, kebiasaan merokok,
stress emosi, obesitas dan lain-lain (Nafrialdi, 2009).

Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya
hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi.
Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian

2
pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih
(obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer (Guyton,
2008).

Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit


komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik
secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah (Oparil, 2003). Hipertensi yang
penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan dengan beberapa penyakit
misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan kelainan sistem saraf pusat (Sunardi,
2000).

2.3 Faktor risiko hipertensi (PERKI 2015)

Faktor risiko pada penderita hipertensi dibagi dua berdasarkan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia, jenis kelamin,
keturunan (genetik). Faktor risiko yang dapat diubah adalah kegemukan (obesitas),
psikososial dan stress, merokok, olahraga, konsumsi alkohol berlebih, konsumsi
garam berlebihan, hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.

2.4 Klasifikasi hipertensi (JNC VII)

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-
rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis
(Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal
tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80
mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke

3
klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi,
dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).

Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi
(American Diabetes Association, 2003).

Pada hipertensi emergensi, tekanan darah meningkat ekstrim disertai


dengan kerusakan organ target akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah
harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah kerusakan
organ lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut antara lain, encephalopathy,
pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting
aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil dan eklampsia atau hipertensi berat
selama kehamilan (Depkes 2006a,).

Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar
negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki
tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi

4
pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi
(disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension 2013)

2.5 Diagnosis hipertensi


Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan yang sering dialami,
lama hipertensi, ukuran tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan dan
kepatuhan berobat, gaya hidup, riwayat penyakit penyerta dan riwayat keluarga.
Pemeriksaan fisik terdiri dari atas pengukuran tekanan darah, pemeriksaan
umum dan pemeriksaan khusus organ serta funduskopi.
Pemeriksaan penunjang meliputi laboratorium rutin, kimia darah (ureum,
kreatinin, gula darah, kolesterol, elektrolit) dan elektrokardiografi, serta radiologi
dada. Pemeriksaan lanjut dapat dilakukan ekokardiografi dan ulrasonografi serta
pemeriksaan lanoratorium canggih lainnya.

Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah
yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,
eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan
edema pupil (edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara
lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing,
dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi
maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit

5
kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat
marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di
malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi
gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak)
yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang
mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono,
2008). Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah
intrakranial (Corwin, 2005).

Dalam menegakan diagnosis hipertensi, diperlukan beberapa tahapan


pemeriksaan yang harus dijalani sebelum menentukan terapi atau tatalaksana yang
akan diambil. Algoritme diagnosis ini diadaptasi dari Canadian Hypertension
Education Program. (The Canadian Recommendation for The Management of
Hypertension 2014).

6
2.6 Patogenesis & patofisiologi hipertensi
Regulasi tekanan darah tidak luput dengan adanya faktor hemodinamik,
dimana tekanan darah merupakan hasil dari Cardiac Output (CO) dan resistensi
total perifer ( total peripheral resistance-TPR)

BP = CO X TPR

Cardiac output merupakan hasil dari volume sekuncup (SV) dan denyut jantung
(HR).
CO = SV X HR

Volume sekuncup didapat berdasarkan kontraktilitas otot jantung, aliran balik


vena ke jantung (preload) dan resistensi dari ventrikel kiri untuk mengeluarkan
darah ke aorta (afterload). Ada 4 sistem yang mempengaruhi dan berperan penting
terhadap regulasi tekanan darah. Jantung merupakan organ utama yang berfungsi
memompa darah keseluruh tubuh, pembuluh darah merupakan organ yang
mempertahankan resistensi sistemik, ginjal berpengaruh terhadap regulasi
intravaskular volume dan hormon berpengaruh dalam memodulasi fungsi ketiga
organ lainnya.

7
Faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah jantung, tekanan
pembuluh darah perifer dan volume atau aliran darah. Faktor-faktor yang
meregulasi (mengatur) tekanan darah bekerja untuk periode jangka pendek dan
jangka panjang. Regulasi tekanan darah dibagi menjadi:

1) Regulasi Jangka Pendek terhadap Tekanan Darah Regulasi jangka pendek ini
diatur oleh:
a) Sistem Persarafan Sistem persarafan mengontrol tekanan darah dengan
mempengaruhi tahanan pembuluh perifer. Tujuan utamanya adalah: (1)
Mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan
kebutuhan bagian tubuh yang lebih spesifik. (2) Mempertahankan tekanan
arteri rata-rata (MAP) yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh
darah menyebabkan perubahan yang bermakna pada tekanan darah. Penurunan
volume darah menyebabkan konstriksi pembuluh darah seluruh tubuh kecuali
pembuluh darah yang memperdarahi jantung dan otak, tujuannya adalah untuk
mengalirkan darah keorgan-organ vital sebanyak mungkin.
b) Peranan pusat vasomotor. Pusat vasomotor yang mempengaruhi diameter
pembuluh darah adalah pusat vasomotor yang merupakan kumpulan serabut
saraf simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan vasokontriksi
menyeluruh dan meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya penurunan aktivitas
simpatis memungkinkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan
menyebabkan penurunan tekanan darah sampai pada nilai basal. Pusat
vasomotor dan kardiovaskular akan bersama-sama meregulasi tekanan darah
dengan mempengaruhi curah jantung dan diameter pembuluh darah. Impuls
secara tetap melalui serabut eferen saraf simpatis (serabut motorik) yang keluar
dari medulla spinalis pada segmen T1 sampai L2, kemudian masuk menuju otot
polos pembuluh darah terutama pembuluh darah arteriol sehingga selalu dalam
keadaan konstriksi sedang yang disebut dengan tonus vasomotor. Derajat
konstriksi bervariasi untuk setiap organ. Umumnya serabut vasomotor
mengeluarkan epinefrin yang merupakan vasokonstriktor kuat. Akan tetapi,
pada otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (Price, 2005).

8
c) Refleks Baroreseptor. Refleks baroresptor merupakan reflek paling utama
dalam menentukan kontrol regulasi dan denyut jantung dan tekanan darah
(Heather, et, al, 2013). Mekanisme reflek baroreseptor dalam meregulasi
perubahan tekanan darah adalah dengan cara melakukan fungsi reaksi cepat
dari baroreceptor, yaitu dengan melindungi siklus selama fase akut dari
perubahan tekanan darah. Pada saat tekanan darah arteri meningkat dan
meregang, reseptor-reseptor ini dengan cepat mengirim impulsnya ke pusat
vasomotor dan menghambatnya yang mengakibatkan terjadi vasodilatasi pada
ateriol dan vena sehingga tekanan darah menurun (Muttaqin, 2012).
d) Refleks Kemoreseptor Apabila kandungan oksigen atau pH darah turun atau
kadar karbondioksida dalam darah meningkat, maka kemoreseptor yang akan
diarkus aorta dan pembuluh-pembuluh besar dileher mengirim impuls ke pusat
vasomotor dan terjadilah vasokontriksi yang membantu mempercepat darah
kembali ke jantung dan ke paru (Muttaqin, 2012). Dengan meningkatnya
tekanan darah akan mengakibatkan peningkatan pada potensial aksi ke pusat
pengontrolan kardiovascular (Cardiovascular Control Center: CCC). CCC
direspon oleh menurunnya imput simpatis dan meningkatnya parasimpatis ke
dalam jantung. Keadaan ini menyebabkan menurunnya cardiac output. CCC ini
juga menurunkan input simpatis kedalam pembuluh darah, terjadilah
vasodilatasi yang menyebabkan tahanan perifer yang rendah, sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah. Mekanisme kompensasi ini akan
memberikan respon kepada baroreseptor untuk mengembalikan tekanan darah
dalam keadaan normal dan sebaliknya.
e) Pengaruh Pusat Otak Tertinggi Reflek yang meregulasi tekanan darah
diintegrasikan pada batang otak (medula) dengan memodifikasi tekanan darah
arteri melalui penyaluran kepusat medularis.
f) Kontrol Kimia Kadar oksigen dan karbondioksida membantu meregulasi
tekanan darah melalui refleks kemoreseptor, sejumlah kimia darah juga
mempengaruhi tekanan darah dengan bekerja langsung pada otot polos atau
pusat vasomotor. Hormon yang paling penting dalam tekanan darah adalah
sebagai berikut:

9
• Hormon yang dikeluarkan medula adrenal selama masa stress adalah non
epinefrin dan epinefrin yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal ke dalam darah.
Kedua hormon ini mengakibatkan respons “fight or flight” sehingga
mempengaruhi diameter pembuluh darah dan rangsangan simpatis

• Faktor natriuretik atrium. Dinding atrium jantung mengeluarkan hormon peptide


yang disebut dengan faktor natriuretik atrial yang menyebabkan volume darah
dan tekanan darah menurun. Hormon ini adalah antagonis aldosteron dan
menyebabkan ginjal mengeluarkan garam dan air yang lebih banyak dari tubuh
dengan demikian volume darah akan menurun. Hormon ini juga menyebabkan
dan menurunkan pembentukan cairan serebropinalis di otak.

• ADH (hormon antidiuretik). Hormon ini diproduksi di hipotalamus dan


merangsang ginjal untuk menahan air mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air
yang berpengaruh dalam peningkatan volume dan menurunkan osmolaritas
cairan ekstra selulue (CES). Akibatnya dapat berpengaruh terhadap hemeostasis
tekanan darah.

• Agiotensin II terbentuk akibat adanya renin yang dikeluarkan oleh ginjal saat
perfusi ginjal tidak adekuat. Hormon ini menyebabkan vasokonstriksi yang hebat.
Sehingga demikian terjadi peningkatan tekanan darah yang cepat. Hormon ini
juga merangsang pengeluaran aldosteron yang akan meregulasi tekanan darah
untuk jangka yang panjang melalui penahanan air.

• Nitric Okside (NO) disebut juga dengan endothelium derived relaxing factor
(EDRF), merupakan vasokonstriktor yang dikeluarkan oleh sel endotel akibat
adanya peningkatan kecepatan aliran darah dan adanya mulekul-mulekul seperti
asetilkolin, bradikinin dan nitrigliserin. Hormon ini bekerja melalui cyclic GMP
second messenger, hormon ini sangat cepat dihancurkan dan efek vasodilatasinya
sangat singkat.

Pengaturan tekanan darah arteri meliputi kontrol sistem saraf yang kompleks
dan hormonal yang saling berhubungan satu sama lain dalam mempengaruhi curah
jantung dan tahanan vaskular perifer. Hal lain yang ikut dalam pengaturan tekanan
darah adalah refleks baroreseptor. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup
dan frekuensi jantung. Tahanan perifer ditentukan oleh diameter arteriol. Bila

10
diameternya menurun (vasokonstriksi), tahanan perifer meningkat, bila
diameternya meningkat (vasodilatsi), tahanan perifer akan menurun.

2.7 Tatalaksana hipertensi

Pada penatalaksanaan hipertensi, terdapat tatalaksana yang berdasarkan


nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Pada pasien baiknya bila mendahulukan
penatalaksanaan dalam segi nonfarmakologi seperti menjalani pola hidup sehat
yang sudah banyak terbukti dalam menurunkan tekanan darah, dan secara umum
dapat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan kardiovaskular.
Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko
kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap
awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila setelah jangka waktu
tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang diharapkan atau
didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat dianjurkan untuk
memulai terapi farmakologi.
Berikut beberapa pola hidup sehat yang dapat dilakukan pada pasien
hipertensi:

• Penurunan berat badan.


• Mengganti makanan tidak sehat dengan asupan sayuran serta buah-buahan.
Mengurangi asupan makanan yang dapat meningkatkan tekanan darah tinggi
seperti diet rendah garam.

• Olahraga disarankan secara teratur 30-60 menit/ hari, minimal 3 hari/minggu.


Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara khusus,
sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai sepeda atau
menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat kerjanya.

• Mengurangi konsumsi alkohol.


• Berhenti merokok.

11
Terapi dalam segi farmakologi adalah terapi yang berdasarkan penggunaan
obat-obatan yang dikonsumsi berfungsi menurunkan tekanan darah. Beberapa
prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut:
1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.
2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah
denga; harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan
seumur hidup.

12
Dikenal 5 kelompok obat hipertensi lini pertama yang sering digunakan untuk
pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik ( beta
bloker), penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat
reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker- ARB), dan antagonis kalsium.

1. Diuretik: Diuretik bekerja meningkatkan sekresi natrium, air dan klorida


sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut,
beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek
hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial dan
di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks
kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang

13
menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang
nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek
hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer
(Nafrialdi,2009). Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi
kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik
dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan
bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah satunya
dianjurkan diuretik (Nafrialdi, 2009).

• Golongan tiazid: Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara
lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan
menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga
ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009). Tiazid seringkali
dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat meningkatkan
efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga
dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi
lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan (Nafrialdi, 2009).

• Diuretik kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics): Diuretik kuat bekerja di ansa
Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+,
Cl-, menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek
diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini
jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi, 2009).

• Diuretik hemat kalium: Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan


diuretik lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2009).

14
2. Penghambat Adrenergik

• Penghambat adrenergik beta ( β-Blocker)

Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan


menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer
dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak
(Nafrialdi, 2009).

Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miocardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan renin dan meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air (Nafrialdi, 2009).

• Penghambat Adrenoreseptor Alfa (

Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 yang digunakan


sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai
antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 (α 2) di ujung saraf adrenergik akan
meningkatkan penglepasan norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis
(Nafrialdi, 2009). Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan
venula sehingga menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi
menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah
jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada
pemberian dosis awal (fenomena dosis pertama) yang menyebabkan refleks
takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada pemakaian jangka penjang
refleks kompensasi ini akan hilang, sedangkan efek antihipertensinya akan bertahan
(Nafrialdi, 2009).

15
3. Vasodilator

Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos
(otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi
tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan
gejala berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi
oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infark miokard atau
gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga
meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping
yang tidak diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan
penyekat-β. Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator antara
lain hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping yang
sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala (Depkes,
2006b).

4. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme(ACE-inhibitor)

Angiostensin Converting Enzyme inhibitor (ACE-Inhibitor) menghambat


secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang
inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan
otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin
dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor.
Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan
berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi,
2009). Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan ACE- Inhibitor antara lain
benazepril, captopril, enalapril, fosinopril, lisinoril, moexipril, penindropil,
quinapril, ramipril, trandolapril dan tanapres. Beberapa perbedaan pada parameter
farmakokinetik obat ACE- Inhibitor. Captopril cepat diabsorbsi tetapi mempunyai
durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan apakah seorang
pasien akan berespon baik pada pemberian ACE- Inhibitor. Dosis pertama ACE-
inhibitor harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah

16
mendadak mungkin terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar
sodium rendah.

5. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)

Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1


(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama di otot
polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di ginjal, otak dan
kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek fisiologis ATII terutama
yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat di medula
adrenal dan mungkin juga di SSP, hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi,
2009). ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular dan hipertensi
genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah.
Pada pasien hipovolemia, dosis ARB perlu diturunkan (Nafrialdi, 2009). Pemberian
ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung.
Penghentian mendadak tidak menimbulkan hipertensi rebound. Pemberian jangka
panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Nafrialdi, 2009).

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan antagonis reseptor ATH antara
lain kandersartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan dan
valsartan (PERKI 2015).

6. Antagonis Kalsium ( Calcium Channel Blocker-CCB)

Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion kalsium ke dalam


sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan sel-sel otot polos pembuluh
darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,
interferensi dengan kontriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah
proses yang bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2009).

17
Terdapat tiga kelas CCB : dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan
benzotiazipin (diltiazem)). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang
merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai
efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina
(Gormer, 2008).

Terapi kombinasi antara lain :


1. Penghambat ACE dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Diuretik dan agen penahan kalium
4. Penghambat ACE dengan penghambat kalsium
5. Penghambat reseptor beta dengan diuretik
6. Agonis reseptor α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik

18
19
20
2.8 Komplikasi
Komplikasi tekanan darah tinggi ialah perkembangan lambat laun penyakit
dinding pembulu arteri. Pada umumnya terjadi karena stres. Yang khusus adalah
arteri-arteri otot jantung, aorta, pembuluh darah otak, pembuluh darah retina, organ
yang paling peka dibalik mata. Atheroma (suatu endapan lemak pada dinding
lapisan arteria) dan kemudian artherosclerosis berkembang. Dinding-dinding
pembuluh darah akan mengalami pengapuran dan tidak elastis. Setelah hal tersebut
terjadi, maka selanjutnya akan terjadi pembekuan (thrombus), dan inipun akan
menimbulkan komplikasi.

Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke, infark


miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan pregnancy- included
hypertension (PIH) (Corwin, 2005).

1. Stroke. Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah. Stroke dengan defisit neurologik
yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak.
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi (Hacke, 2003). Stroke dapat timbul akibat pendarahan
tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak
yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal,
sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-
arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).

2. Infark miokardium. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat
hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium

21
mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan
infark. Demikian juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu
hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan
peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).

3. Gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian gagal
ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin
aldosteron (RAA). Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih
besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak
mengalami hipertensi

4. Ensefalopati (kerusakan otak). Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi


terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang
sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan
mendorong ke dalam ruang intersitium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-
neuron disekitarnya kolaps yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak
jarang juga koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak
dengan hipertensi, bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap kerusakan otak
dibandingkan dengan orang yang tidak menderita hipertensi (Corwin, 2005).

22
BAB III
Kesimpulan

3.1 Kesimpulan
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari
sama dengan 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Menurut The Joint Committe on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) dikatakan Hipertensi
grade I apabila didapatkan tekanan darah sistolik 140 - 159 mmHg, dan tekanan
diastolik 90-99 mmHg, oleh karena itu pasien pada laporan kasus ini dapat
didiagnosis menderita Hipertensi grade I. Faktor utama yang mempengaruhi
tekanan darah adalah curah jantung, tekanan pembuluh darah perifer dan volume
atau aliran darah. Faktor-faktor yang meregulasi (mengatur) tekanan darah bekerja
untuk periode jangka pendek dan jangka panjang
Etiologi pada kasus hipertensi meliputi kenaikan berat badan yang
berlebihan, gaya hidup, penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Faktor risiko pada penderita hipertensi dibagi dua
berdasarkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia,
jenis kelamin, keturunan (genetik). Faktor risiko yang dapat diubah adalah
kegemukan (obesitas), psikososial dan stress, merokok, olahraga, konsumsi alkohol
berlebih, konsumsi garam berlebihan, hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.

Diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang. Pada penatalaksanaan hipertensi, terdapat tatalaksana
yang berdasarkan nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Pada pasien baiknya bila
mendahulukan penatalaksanaan dalam segi nonfarmakologi seperti menjalani pola
hidup sehat yang sudah banyak terbukti dalam menurunkan tekanan darah, dan
secara umum dapat menguntungkan dalam menurunkan risiko permasalahan
kardiovaskular. Lalu pada terapi farmakologi dikenal 5 kelompok obat hipertensi
lini pertama yang sering digunakan untuk pengobatan awal hipertensi, yaitu
diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik ( beta bloker), penghambat angiotensin

23
converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin
Receptor Blocker- ARB), dan antagonis kalsium.
Komplikasi tekanan darah tinggi ialah perkembangan lambat laun penyakit
dinding pembulu arteri. Pada umumnya terjadi karena stres. Yang khusus adalah
arteri-arteri otot jantung, aorta, pembuluh darah otak, pembuluh darah retina, organ
yang paling peka dibalik mata.

24
Referensi:
1. PERKI 2015. Hal 1-14. diakses 30 september 2019
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_p
enyakit_Kardiovaskular_2015.pdf
2. JNC VII. Diakses 30 september 2019
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/01.HYP.0000107251.49515.c2
3. Corwin,E.2005. Buku saku patofisiologi. Jakarta;EGC
4. Guyton & Hall. 2008. Fisiologi kedokteran, edisi II. Jakarta; EGC
5. Depkes RI. 2006b. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit
Hipertensi.
6. Depkes RI. 2008a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia Tahun 2007. Depkes RI. Jakarta.
7. Gormer, Beth. 2008. Farmakologi hipertensi. Jakarta.
8. Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
9. American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults
with Diabetes. Diabetes care 2003.
10. Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
11. Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.
12. Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension,
Ann Intern Med 2003.
13. Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
14. Canadian Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation
for The Management of Hypertension 2014
15. Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika

25

Anda mungkin juga menyukai