Hipertensi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS TK.II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan
Pembimbing :
dr. Burham, Sp.PD, M.Kes
Disusun Oleh :
Deby Maharani (1808320059)
Arif Azhari Nasution (1808320048)
Khalisa Tsamarah (1808320061)
Fandy Novrian (1808320089)
Dinda Atika Suri (1808320058)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul HIPERTENSI. Kendala dalam
pembuatan laporan kasus dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui
bimbingan dan dukungan banyak pihak.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada dr. Burham, Sp.PD,
M.Kes selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior Ilmu Penyakit Dalam.
Dalam penulisan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa masih jauh
dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan saran, pendapat,
koreksi, dan tanggapan yang membangun guna perbaikan selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hipertensi lebih dikenal dengan istilah penyakit tekanan darah tinggi. Batas
tekanan darah yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan normal atau
tidaknya tekanan darah adalah tekanan sistolik dan diastolik. Bedasarkan JNC
(Joint National Comitee) VII, seorang dikatakan mengalami hipertensi jika tekanan
sistolik 140 mmHg atau lebih dan diastolik 90 mmHg atau lebih (JNC VII)
Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya
hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan hipertensi.
Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang berlebih dan penelitian
2
pada berbagai populasi menunjukkan bahwa kenaikan berat badan yang berlebih
(obesitas) memberikan risiko 65-70 % untuk terkena hipertensi primer (Guyton,
2008).
Faktor risiko pada penderita hipertensi dibagi dua berdasarkan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia, jenis kelamin,
keturunan (genetik). Faktor risiko yang dapat diubah adalah kegemukan (obesitas),
psikososial dan stress, merokok, olahraga, konsumsi alkohol berlebih, konsumsi
garam berlebihan, hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC VII untuk pasien dewasa berdasarkan rata-
rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis
(Tabel 1). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal
tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80
mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi
mengidentifikasikan pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke
3
klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi,
dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat (JNC VII, 2003).
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan
darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah
terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120
mmHg, dikategorikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi
(American Diabetes Association, 2003).
Hampir semua consensus/ pedoman utama baik dari dalam walaupun luar
negeri, menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki
tekanan darah sistolik ≥ 140
mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan yang
berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi
4
pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi
(disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension 2013)
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah
yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan,
eksudat, penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat dapat ditemukan
edema pupil (edema pada diskus optikus). Menurut Price, gejala hipertensi antara
lain sakit kepala bagian belakang, kaku kuduk, sulit tidur, gelisah, kepala pusing,
dada berdebar-debar, lemas, sesak nafas, berkeringat dan pusing (Price, 2005).
Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita hipertensi
maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal hipertensi yaitu sakit
5
kepala, gelisah, jantung berdebar, perdarahan hidung, sulit tidur, sesak nafas, cepat
marah, telinga berdenging, tekuk terasa berat, berdebar dan sering kencing di
malam hari. Gejala akibat komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi
gangguan penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak)
yang mengakibatkan kejang dan pendarahan pembuluh darah otak yang
mengakibatkan kelumpuhan dan gangguan kesadaran hingga koma (Cahyono,
2008). Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun adalah nyeri kepala saat terjaga, kadang-
kadang disertai mual dan muntah yang disebabkan peningkatan tekanan darah
intrakranial (Corwin, 2005).
6
2.6 Patogenesis & patofisiologi hipertensi
Regulasi tekanan darah tidak luput dengan adanya faktor hemodinamik,
dimana tekanan darah merupakan hasil dari Cardiac Output (CO) dan resistensi
total perifer ( total peripheral resistance-TPR)
BP = CO X TPR
Cardiac output merupakan hasil dari volume sekuncup (SV) dan denyut jantung
(HR).
CO = SV X HR
7
Faktor utama yang mempengaruhi tekanan darah adalah curah jantung, tekanan
pembuluh darah perifer dan volume atau aliran darah. Faktor-faktor yang
meregulasi (mengatur) tekanan darah bekerja untuk periode jangka pendek dan
jangka panjang. Regulasi tekanan darah dibagi menjadi:
1) Regulasi Jangka Pendek terhadap Tekanan Darah Regulasi jangka pendek ini
diatur oleh:
a) Sistem Persarafan Sistem persarafan mengontrol tekanan darah dengan
mempengaruhi tahanan pembuluh perifer. Tujuan utamanya adalah: (1)
Mempengaruhi distribusi darah sebagai respon terhadap peningkatan
kebutuhan bagian tubuh yang lebih spesifik. (2) Mempertahankan tekanan
arteri rata-rata (MAP) yang adekuat dengan mempengaruhi diameter pembuluh
darah menyebabkan perubahan yang bermakna pada tekanan darah. Penurunan
volume darah menyebabkan konstriksi pembuluh darah seluruh tubuh kecuali
pembuluh darah yang memperdarahi jantung dan otak, tujuannya adalah untuk
mengalirkan darah keorgan-organ vital sebanyak mungkin.
b) Peranan pusat vasomotor. Pusat vasomotor yang mempengaruhi diameter
pembuluh darah adalah pusat vasomotor yang merupakan kumpulan serabut
saraf simpatis. Peningkatan aktivitas simpatis menyebabkan vasokontriksi
menyeluruh dan meningkatkan tekanan darah. Sebaliknya penurunan aktivitas
simpatis memungkinkan relaksasi otot polos pembuluh darah dan
menyebabkan penurunan tekanan darah sampai pada nilai basal. Pusat
vasomotor dan kardiovaskular akan bersama-sama meregulasi tekanan darah
dengan mempengaruhi curah jantung dan diameter pembuluh darah. Impuls
secara tetap melalui serabut eferen saraf simpatis (serabut motorik) yang keluar
dari medulla spinalis pada segmen T1 sampai L2, kemudian masuk menuju otot
polos pembuluh darah terutama pembuluh darah arteriol sehingga selalu dalam
keadaan konstriksi sedang yang disebut dengan tonus vasomotor. Derajat
konstriksi bervariasi untuk setiap organ. Umumnya serabut vasomotor
mengeluarkan epinefrin yang merupakan vasokonstriktor kuat. Akan tetapi,
pada otot rangka beberapa serabut vasomotor mengeluarkan asetilkolin yang
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (Price, 2005).
8
c) Refleks Baroreseptor. Refleks baroresptor merupakan reflek paling utama
dalam menentukan kontrol regulasi dan denyut jantung dan tekanan darah
(Heather, et, al, 2013). Mekanisme reflek baroreseptor dalam meregulasi
perubahan tekanan darah adalah dengan cara melakukan fungsi reaksi cepat
dari baroreceptor, yaitu dengan melindungi siklus selama fase akut dari
perubahan tekanan darah. Pada saat tekanan darah arteri meningkat dan
meregang, reseptor-reseptor ini dengan cepat mengirim impulsnya ke pusat
vasomotor dan menghambatnya yang mengakibatkan terjadi vasodilatasi pada
ateriol dan vena sehingga tekanan darah menurun (Muttaqin, 2012).
d) Refleks Kemoreseptor Apabila kandungan oksigen atau pH darah turun atau
kadar karbondioksida dalam darah meningkat, maka kemoreseptor yang akan
diarkus aorta dan pembuluh-pembuluh besar dileher mengirim impuls ke pusat
vasomotor dan terjadilah vasokontriksi yang membantu mempercepat darah
kembali ke jantung dan ke paru (Muttaqin, 2012). Dengan meningkatnya
tekanan darah akan mengakibatkan peningkatan pada potensial aksi ke pusat
pengontrolan kardiovascular (Cardiovascular Control Center: CCC). CCC
direspon oleh menurunnya imput simpatis dan meningkatnya parasimpatis ke
dalam jantung. Keadaan ini menyebabkan menurunnya cardiac output. CCC ini
juga menurunkan input simpatis kedalam pembuluh darah, terjadilah
vasodilatasi yang menyebabkan tahanan perifer yang rendah, sehingga
menyebabkan penurunan tekanan darah. Mekanisme kompensasi ini akan
memberikan respon kepada baroreseptor untuk mengembalikan tekanan darah
dalam keadaan normal dan sebaliknya.
e) Pengaruh Pusat Otak Tertinggi Reflek yang meregulasi tekanan darah
diintegrasikan pada batang otak (medula) dengan memodifikasi tekanan darah
arteri melalui penyaluran kepusat medularis.
f) Kontrol Kimia Kadar oksigen dan karbondioksida membantu meregulasi
tekanan darah melalui refleks kemoreseptor, sejumlah kimia darah juga
mempengaruhi tekanan darah dengan bekerja langsung pada otot polos atau
pusat vasomotor. Hormon yang paling penting dalam tekanan darah adalah
sebagai berikut:
9
• Hormon yang dikeluarkan medula adrenal selama masa stress adalah non
epinefrin dan epinefrin yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal ke dalam darah.
Kedua hormon ini mengakibatkan respons “fight or flight” sehingga
mempengaruhi diameter pembuluh darah dan rangsangan simpatis
• Agiotensin II terbentuk akibat adanya renin yang dikeluarkan oleh ginjal saat
perfusi ginjal tidak adekuat. Hormon ini menyebabkan vasokonstriksi yang hebat.
Sehingga demikian terjadi peningkatan tekanan darah yang cepat. Hormon ini
juga merangsang pengeluaran aldosteron yang akan meregulasi tekanan darah
untuk jangka yang panjang melalui penahanan air.
• Nitric Okside (NO) disebut juga dengan endothelium derived relaxing factor
(EDRF), merupakan vasokonstriktor yang dikeluarkan oleh sel endotel akibat
adanya peningkatan kecepatan aliran darah dan adanya mulekul-mulekul seperti
asetilkolin, bradikinin dan nitrigliserin. Hormon ini bekerja melalui cyclic GMP
second messenger, hormon ini sangat cepat dihancurkan dan efek vasodilatasinya
sangat singkat.
Pengaturan tekanan darah arteri meliputi kontrol sistem saraf yang kompleks
dan hormonal yang saling berhubungan satu sama lain dalam mempengaruhi curah
jantung dan tahanan vaskular perifer. Hal lain yang ikut dalam pengaturan tekanan
darah adalah refleks baroreseptor. Curah jantung ditentukan oleh volume sekuncup
dan frekuensi jantung. Tahanan perifer ditentukan oleh diameter arteriol. Bila
10
diameternya menurun (vasokonstriksi), tahanan perifer meningkat, bila
diameternya meningkat (vasodilatsi), tahanan perifer akan menurun.
11
Terapi dalam segi farmakologi adalah terapi yang berdasarkan penggunaan
obat-obatan yang dikonsumsi berfungsi menurunkan tekanan darah. Beberapa
prinsip pemberian obat antihipertensi sebagai berikut:
1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi.
2. Pengobatan hipertensi essensial ditunjukkan untuk menurunkan tekanan darah
denga; harapan memperpanjang umur dan mengurang timbulnya komplikasi.
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat
antihipertensi.
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan
seumur hidup.
12
Dikenal 5 kelompok obat hipertensi lini pertama yang sering digunakan untuk
pengobatan awal hipertensi, yaitu diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik ( beta
bloker), penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat
reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker- ARB), dan antagonis kalsium.
13
menunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang
nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek
hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer
(Nafrialdi,2009). Penelitian-penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi
kardiovaskular diuretik belum terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretik
dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang. Bahkan
bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka salah satunya
dianjurkan diuretik (Nafrialdi, 2009).
• Golongan tiazid: Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara
lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang
memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja dengan
menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga
ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi, 2009). Tiazid seringkali
dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: 1) dapat meningkatkan
efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda sehingga
dosisnya dapat dikurangi, 2) tiazid mencegah resistensi cairan oleh antihipertensi
lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan (Nafrialdi, 2009).
• Diuretik kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics): Diuretik kuat bekerja di ansa
Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport Na+, K+,
Cl-, menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek
diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu diuretik ini
jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi, 2009).
14
2. Penghambat Adrenergik
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang akan meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta-1 pada nodus sino-atrial dan miocardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan renin dan meningkatkan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantai aldosteron dan retensi air (Nafrialdi, 2009).
15
3. Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos
(otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena itu mengurangi
tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi refleks jantung, menyebabkan
gejala berpacu dari kontraksi miokard yang meningkat, nadi dan komsumsi
oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan angina pectoris, infark miokard atau
gagal jantung pada orang-orang yang mempunyai predisposisi. Vasodilator juga
meningkatkan renin plasma, menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping
yang tidak diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan
penyekat-β. Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan vasodilator antara
lain hidralazin, minoksidil, diakzoksid dan natrium nitroprusid. Efek samping yang
sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kepala (Depkes,
2006b).
16
mendadak mungkin terjadi, efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar
sodium rendah.
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan antagonis reseptor ATH antara
lain kandersartan, eprosartan, irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan dan
valsartan (PERKI 2015).
17
Terdapat tiga kelas CCB : dihdropiridin (nifedipin, amlodipin, veramil dan
benzotiazipin (diltiazem)). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang
merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai
efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina
(Gormer, 2008).
18
19
20
2.8 Komplikasi
Komplikasi tekanan darah tinggi ialah perkembangan lambat laun penyakit
dinding pembulu arteri. Pada umumnya terjadi karena stres. Yang khusus adalah
arteri-arteri otot jantung, aorta, pembuluh darah otak, pembuluh darah retina, organ
yang paling peka dibalik mata. Atheroma (suatu endapan lemak pada dinding
lapisan arteria) dan kemudian artherosclerosis berkembang. Dinding-dinding
pembuluh darah akan mengalami pengapuran dan tidak elastis. Setelah hal tersebut
terjadi, maka selanjutnya akan terjadi pembekuan (thrombus), dan inipun akan
menimbulkan komplikasi.
1. Stroke. Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah. Stroke dengan defisit neurologik
yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak.
Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah yang
menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang
mengalami oklusi (Hacke, 2003). Stroke dapat timbul akibat pendarahan
tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak
yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila
arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal,
sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-
arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga
meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).
2. Infark miokardium. Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk trombus yang menyumbat aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat
hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium
21
mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan
infark. Demikian juga, hipertrofi dapat menimbulkan perubahaan-perubahan waktu
hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan
peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).
3. Gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yang
progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah satunya pada bagian gagal
ginjal kronik oleh karena penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin
aldosteron (RAA). Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali lebih
besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan dengan orang yang tidak
mengalami hipertensi
22
BAB III
Kesimpulan
3.1 Kesimpulan
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah
sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari
sama dengan 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit
dalam keadaan cukup istirahat/tenang. Menurut The Joint Committe on Detection,
Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) dikatakan Hipertensi
grade I apabila didapatkan tekanan darah sistolik 140 - 159 mmHg, dan tekanan
diastolik 90-99 mmHg, oleh karena itu pasien pada laporan kasus ini dapat
didiagnosis menderita Hipertensi grade I. Faktor utama yang mempengaruhi
tekanan darah adalah curah jantung, tekanan pembuluh darah perifer dan volume
atau aliran darah. Faktor-faktor yang meregulasi (mengatur) tekanan darah bekerja
untuk periode jangka pendek dan jangka panjang
Etiologi pada kasus hipertensi meliputi kenaikan berat badan yang
berlebihan, gaya hidup, penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Faktor risiko pada penderita hipertensi dibagi dua
berdasarkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adalah usia,
jenis kelamin, keturunan (genetik). Faktor risiko yang dapat diubah adalah
kegemukan (obesitas), psikososial dan stress, merokok, olahraga, konsumsi alkohol
berlebih, konsumsi garam berlebihan, hiperlipidemia/hiperkolesterolemia.
23
converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin
Receptor Blocker- ARB), dan antagonis kalsium.
Komplikasi tekanan darah tinggi ialah perkembangan lambat laun penyakit
dinding pembulu arteri. Pada umumnya terjadi karena stres. Yang khusus adalah
arteri-arteri otot jantung, aorta, pembuluh darah otak, pembuluh darah retina, organ
yang paling peka dibalik mata.
24
Referensi:
1. PERKI 2015. Hal 1-14. diakses 30 september 2019
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksna_hipertensi_pada_p
enyakit_Kardiovaskular_2015.pdf
2. JNC VII. Diakses 30 september 2019
https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/01.HYP.0000107251.49515.c2
3. Corwin,E.2005. Buku saku patofisiologi. Jakarta;EGC
4. Guyton & Hall. 2008. Fisiologi kedokteran, edisi II. Jakarta; EGC
5. Depkes RI. 2006b. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Penyakit
Hipertensi.
6. Depkes RI. 2008a. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Indonesia Tahun 2007. Depkes RI. Jakarta.
7. Gormer, Beth. 2008. Farmakologi hipertensi. Jakarta.
8. Cahyono, S. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modren. Kanisius. Jakarta.
9. American Diabetes Association. 2003. Treatment of Hypertension in Adults
with Diabetes. Diabetes care 2003.
10. Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
11. Price, S.A., Wilson, L.M. 2005. Patofisiologi, Konsep Klinis dan Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. EGC. Jakarta.
12. Oparil, S., Zaman, MA., Calhoun, DA. 2003. Pathogenesis of Hypertension,
Ann Intern Med 2003.
13. Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
14. Canadian Hypertension Education Program. The Canadian Recommendation
for The Management of Hypertension 2014
15. Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika
25