Skenario 3
Sengatan Lebah
Seorang perempuan 22 tahun sedang kemping di Gunung Bromo datang ke
poliklinik dengan keluhan nyeri pada tangan kanannya karena disengat lebah. Setelah
dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada daerah gigitan, tampak
kemerahan, dan bengkak.
1) Lambat
2) Jejas sering berat dan progresif
3) Gejala tidak bias dirasakan
- Inflamasi serosa : epididimis terpisah
- Inflamasi fibrinosa : ekstravaskuler
- Inflamasi supuratif : eksudat
- Inflamasi ulserasi : ulkus
- Yang berperan dalam inflamasi :
1) Sel darah
2) Protein plasma
3) Dinding pembuluh darah
Mind Map
Mekanisme Tanda
INFLAMASI Radang
Lokal Sistemik
1. Rubor
Jenis 2. Tumor
3. Kalor
4. Dolor
5. Fungsiolesa
Akut Kronis
5
Belajar mandiri.
Gambar 1. Komponen respons radang akut dan kronik serta fungsi utamanya.1
Kedua jenis radang ini bisa timbul bersama-sama, dan banyak variabel
menentukan perjalanan serta gambaran histologisnya. Radang diinduksi oleh
mediator kimia yang dihasilkan oleh sel tubuh untuk merespons stimulus yang
merugikan. Ketika mikroba masuk ke dalam jaringan atau jaringan menjadi cedera,
infeksi atau kerusakan diketahui oleh sel tubuh, terutama makrofag, tapi juga sel
dendrit, sel mast, dan sel lainnya. Sel-sel tersebut mensekresi molekul (sitokin dan
mediator lain) yang menginduksi dan mengatur respons radang selanjutnya. Mediator
radang juga diproduksi dari protein plasma yang bereaksi dengan mikroba atau
terhadap jaringan yang cedera. Beberapa mediator akan menyebabkan aliran plasma
dan pengumpulan leukosit yang beredar menuju tempat di mana agen yang
mengganggu berada. Leukosit akan diaktifkan dan akan menghilangkan agen yang
mengganggu melalui fagositosis. Efek samping yang merugikan akibat pengaktifan
leukosit adalah kerusakan pada jaringan normal.
Respons radang akut ialah terkumpulnya leukosit dan protein plasma di
tempat jejas. Sampai di tempat tersebut, leukosit akan memusnahkan agen penyebab
dan memulai proses pencernaan dan pembersihan jaringan nekrotik. Radang akut
mempunyai dua komponen utama:
7
Stimulus radang akut reaksi radang akut dapat dipicu oleh berbagai stimulus:
o Infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit) merupakan penyebab radang tersering
dan terpenting dalam klinis.
8
o Trauma (tumpul atau tajam) dan berbagai agen fisis dan kimia (misalnya jejas
termal, seperti luka bakar atau luka pembekuan; radiasi; toksisitas akibat
pengaruh kimia lingkungan) akan mencederai sel tubuh dan memicu reaksi
radang.
o Nekrosis jaringan (akibat semua sebab), termasuk iskemia (seperti pada infark
miokardium) dan jejas fisis dan kimia.
o Benda asing (serpihan, kotoran, jahitan, deposit kristal). • reaksi imun (juga
disebut reaksi hipersensitif) terhadap substansi lingkungan atau terhadap
jaringan "sendiri". Karena stimulus untuk respons radang ini tidak dapat
dieliminasi atau dicegah, maka reaksi itu cenderung menetap, dengan
gambaran reaksi radang kronik. Istilah "penyakit radang akibat reaksi imun"
dipergunakan untuk kelompok kelainan ini.
A. Perubahan Vaskuler
Perubahan pada pembuluh terjadi segera setelah infeksi atau jejas namun
kecepatan terjadinya berbeda, tergantung pada jenis dan beratnya stimulus
awal peradangan.
b. Pengaktifan Leukosit
Setelah leukosit dikumpulkan pada tempat infeksi atau nekrosis jaringan,
leukosit tersebut harus diaktifkan agar melaksanakan fungsinya. Stimulus
untuk pengaktifan termasuk mikroba, produk sel nekrotik, dan beberapa
mediator yang akan dibicarakan kemudian. Seperti dibahas sebelumnya,
leukosit menggunakan berbagai reseptor untuk mendeteksi keberadaan
mikroba, sel mati dan jaringan asing. Pemakaian reseptor tersebut akan
menimbulkan berbagai respons pada leukosit yang merupakan bagian dari
14
Radang Kronis
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul
menyusul radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang
akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda,
disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses
penyembuhan normal. Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses
primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan
penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi
15
Rubor (Kemerahan)
Kemerahan biasanya merupakan pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Seiring dengan dimulainya reaksi
peradangan,arteriol yang memasok daerah tersebut berdilatasi sehingga
memungkinkan lebih banyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi
local. Kapiler-kapiler yang semula kosong atau sebagian meregang,secara
cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut hyperemia atau
kongesti, menyebabkan kemerahan local pada peradangan akut. Tubuh
mengontrol produksi hyperemia pada awal reaksi peradangan baik secara
neurologis maupun kimiawi melalui pelepasan zat-zat seperti histamin.2
Kalor (Panas)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan
akut sebenarnya panas secara khas hanya merupakan reaksi peradangan
yang terjadi pada permukaan tubuh. Yang secara normal lebih dingin dari
37 derajat celcius yang merupakan suhu inti tubuh.daerah peradangan di
kulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya karena lebih banyak darah
dialirkan dari dalam tubuh ke permukaan daerah yang terkena
dibandingkan dengan ke daerah yang normal.
16
Dolor (Nyeri)
Nyeri pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan dalam
berbagai cara. Perubahan PH local atau konsentrasi local ion-ion tertentu
dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama pelepasan zat –zat
kimia tertentu seperti histamine atau zat-zat kimia bioaktif lain dapat
merangsang saraf.
Tumor (Pembengkakan)
Aspek paling mencolok pada peradangan akut mungkin adalah
tumor,atau pembengkakan local yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel
yang berpindah dari aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan
dan sel-sel ini yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
Fungsio Laesa (Perubahan Fungsi)
Perubahan fungsi merupakan bagian yang lazim pada reaksi
perdangan. Sepintas mudah dimerti,bagian yang bengkak,nyeri,disertai
sirkulasi abnormal dan lingkuungan kimiawi local yang
abnormal,seharusnya berfungsi secara abnormal. Akan tetapi,cara
bagaimana fungsi jaringan yang meradang itu terganggu tidak dipahami
secara terperinci.2
17
Tiap orang yang pernah menderita penyakit virus (misal influensa) mengalami
efek radang sistemik, disebut reaksi fase akut atau sindrom respons sistemik radang.
Sitokin TNF, IL-1, dan IL-6 merupakan mediator terpenting pada reaksi fase akut.
Sitokin ini diproduksi oleh leukosit (dan sel lain) merespons infeksi atau reaksi imun
dan dikeluarkan secara sistemik. TNF dan IL-1 mempunyai aksi biologis yang mirip,
walaupun agak berbeda sedikit. IL-6 menstimulasi sintesa sejumlah protein plasma
pada hati.1
18
Respon fase akut terdiri dari berbagai kelainan klinis dan patologis.
Demam
dibanding butir darah merah yang terlepas lepas. Hal ini menjadi dasar
pengukuran lanju endap darah (ESR) sebagai tes sederhana untuk
mengetahui respons sistemik inflamasi, yang disebabkan oleh berbagai
jenis stimulus, termasuk LPS. Pemeriksaan serial ESR dan CRP dipakai
untuk menilai respons pengobatan pada penderita dengan gangguan
inflamasi misalnya artritis rematoid. Peningkatan kadar serum CRP
dipakai sebagai pertanda untuk meramalkan peningkatan risiko infark
miokardium atau stroke pada pasien dengan penyakit vaskular
aterosklerotik. Diperkirakan inflamasi berperan pada timbulnya
aterosklerotik, dan peningkatab CRP merupakan tanda inflamasi.
Leukositosis
Leukositosis merupakan reaksi radang yang umum dijumpai.
Khususmya apabila disebabkan oleh infeksi bakteri. Jumlah leukosit
biasanya meningkat menjadi 15.000 hingga 20.000 sel/mL, tetapi pada
keadaan tertentu dapat mencapai 40.000 hingga 100.000 sel/mL.
Peningkatan yang ekstrem ini disebut reaksi leukemoid karena mirip
seperti terlihat pada leukemia. Leukositosis biasanya terjadi karena
pengeluaran sel yang dipercepat (dibawah pengaruh sitokin, termasuk
TNF dan IL-1) dari tempat cadangan pasca mitosis sumsum tulang. Kedua
jenis neutrofil matur dan imatur dapat dijumpai didarah; dijumpainya sel
imatur yang beredar disebut “pergeseran ke kiri”. Infeksi yang
berkelanjutan juga merangsang faktor stimulasi koloni (CSF), yang akam
menigkatkan output leukosit, untuk mengkompensasi pemakaian sel
tersebut pada reaksi radang. Infeksi bakteri umumnya akan menimbulkan
peningkatan neutrofil darah, disebut neutrofilia. Infeksi virus, misalnya
mononukleosis infeksiosa, parotitis, dan German measles, dikaitkan
dengan peningkatan limfosit (limfositosis). Asma bronkial, hay fever, dan
infestasi parasit semua melibatkan naiknya jumlah eosinofil absolut,
menyebabkan eosinofilia. Beberapa infeksi (demam tifus dan infeksi
disebabkan oleh beberapa virus, riketsia, dan protozoa tertentu) dikaitkan
20
dengan situasi berlawanan yaitu menurunnya jumlah sel darah putih yang
beredar (lekopenia), agaknya karena sekuestrasi limfosit dikelenjar getah
bening akibat induksi sitokin.
Manifestasi Lain
Manifestasi lain dari respons fase akut termasuk meningkatnya denyut
jantung dan tekanan darag, keringat menurun, terutama karena akibat
aliran darah semula dari daerah permukaan berubah mengalur ke daerah
vaskular yang letaknya lebih dalam, untuk mengurangi panas yang hilang
keluar dari kulit: dan rigor (gemetar), menggigil (persepsi rasa dingin
karena hipotalamus mengubah suhu tubuh), anoreksia, somnolen, dan
malaise, terjadi sekunder karena kerja sitokin pada sel otak.
Sepsis
Pada infeksi bakteri yang berat (sepsis), terdapatnya jumlah besar
produk bakteri didarah dan jaringan ekstravaskular menstimulasi produksi
beberapa sitokin yaitu TNF, juga IL-1 dan IL-2. TNF menyebabkan
koagulasi intravaskular diseminata (KID), gangguan metabolit termasuk
asidosis, dan syok hipotensif.1
3. MEDIATOR INFLAMASI
Mediator Kimia Peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan
rantai penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun
beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang
menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak
kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di
dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen
yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan
terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip,
tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya
menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam
21
a. Amina Vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar
histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel
mast. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel
basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang
tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus
yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal
trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE
terhadap reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a
(disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin,
neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8).
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan
permeabilitas venula, dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin
bekerja dengan mengikatkan diri pada reseptor-reseptor histamin jenis H-1
yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya dalam fenomena
vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk
22
eosinofil. Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi
inaktif oleh histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk
menghambat efek mediator dari histamin. Perlu diketahui bahwa obat
antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini peningkatan permeabilitas
vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang dipertahankan
pada peningkatan permeabilitas.
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator
vaasoaktif. Serotonin ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat
granula (bersama dengan histamin, adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin
dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin pada binatang pengerat
memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya sebagai
mediator pada manusia tidak terbukti.1
b. Protease Plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga
faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan
komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor
Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor
XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam
bentuk inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit
teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-
molecular-weight kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor
XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa
dapat membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat
protein.
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan
bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma
sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan
oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya
yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin,
bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula
23
yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor
akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan
pembentukan beberapa faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang
dilapisi antibodi.
Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai
fenomena radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan
fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan
permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara
menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur
lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat dalam netrofil dan monosit.
C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk
monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b,
apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan
memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor
C3b pada permukaannya.1
PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur
siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu.
Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga
produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit
yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal
tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang
membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat
agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur
siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan PGF2, PGD2
menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat
dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi.
Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk
bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim
metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki
karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik)
merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan
direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai
kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang
disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4),
LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen kemotaksis kuat dan
menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan LTE4 menyebabkan
vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular.
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis
menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk
lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit
dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi
baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan
antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya
menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi
perlekatan monosit.1
26
d. Produk Leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit
mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah
kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit atau
oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar dan permukaan yang
tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom menyebabkan
pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang
diperlukan untuk sintesis asam arakidonat.
Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung
bahan yang aktif untuk proses radang. Pelepasannya penting pada radang akut
dan radang kronik. Limfosit yang telah peka terhadap antigen melepaskan
limfoki n. Limfokin merupakan faktor yang menyebabkan penimbunan dan
pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting pada radang
kronik.1
e. Mediator Lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat
fagositosis dapat luruh memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa
radikal-radikal bebas yang sangat toksik meningkatkan permeabilitas vaskular
dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion superoksida dan
hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim.
Akibatnya, akan dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis.
Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit.
Hal ini karena menyebabkan agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel
mast. Selain sel mast, neutrofil dan makrofag juga dapat mensintesis aseter-
PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas vaskular, adhesi leukosit dan
merangsang neutrofil dan makrofag.1
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar, Abbas, Aster. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi ke-9. Singapore :
Elsevier; 2013.
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-8. Jakarta: EGC;
2014.
3. Sylvia PA, Wilson LC. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012.