Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian disonansi kognitif


Teori disonansi kognitif mengemukakan bahwa orang terdorong untuk
mengurangi keadaan negatif dengan cara membuat suatu keadaan sesuai dengan
keadaan lainnya. Elemen kognitif adalah sesuatu yang dipercayai oleh seseorang, bisa
berupa dirinya sendiri, tingkah lakunya atau juga pengamatan sekeliling. Pengurangan
disonansi dapat timbul baik dengan menghilangkan, menambah atau mengganti elemen-
elemen kognitif (Solomon, dalam Japariyanto, 2006).
Menurut Festinger (1957) disonansi kognitif adalah ketidak sesuaian yang terjadi
antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidak nyamanan
psikologis serta mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat
dikurangi. Istilah disonansi/disonan berkaitan dengan istilah konsonan dimana keduanya
mengacu pada hubungan yang ada antara elemen. Elemen-elemen yang dimaksud adalah
elemen kognitif (Festinger, 1957).
Hubungan antara elemen kognitif yang konsonan berarti adanya suatu kesesuaian
antara elemen kognitif manusia (Festinger, 1957 dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006).
Sedangkan hubungan yang disonan sebagaimana yang diungkapkan oleh Festinger (1957,
pg. 3) :“These two elements are in a dissonant relation if, considering these two alone, the
observe of one element would follow from the other”. Hubungan yang disonan adalah
hubungan yang berlawanan atau tidak sesuai. Contoh hubungan disonan antara elemen
kognitif yaitu pada saat seseorang berjalan-jalan di sebuah pameran melihat diskon produk
bermerk, lalu seseorang tersebut menginginkan pakaian tersebut karena menyukai model
dan harganya yang murah, akan tetapi di satu sisi ia harus mengeluarkan uang tabungan.
untuk membeli produk bermerk tersebut. Festinger juga mengatakan bahwa apabila terjadi
hubungan yang konsonan antara elemen kognitif, akan menghasilkan perasaan yang
menyenangkan. Hubungan konsonan adalah hubungan yang berjalan secara beriringan dan
sesuai, sementara hubungan yang disonan akan membuat perasaan yang tidak enak atau
tidak nyaman pada individu. Perasaan tidak nyaman yang terbentuk akibat hubungan yang
disonan tersebut akan mendorong individu untuk melakukan sesuatu agar disonansi tersebut
dapat dikurangi sehingga akan menciptakan keadaan yang seimbang atau konsonan
(Festinger, 1957).
Setiap hubungan antara elemen yang disonan tidak mempunyai besaran yang sama,
Festinger (dalam Breckler, Olson, & Wiggins, 2006) menyatakan bahwa tingkat
kepentingan dari elemen-elemen kognitif mempengaruhi besarnya disonansi yang terjadi.
Semakin penting atau semakin bernilainya suatu elemen kognitif akan mempengaruhi
besarnya hubungan yang disonan antara elemen tersebut. Breckler, Olson, & Wiggins
(2006, dalam Annisa 2013), juga menyatakan bahwa disonansi antara elemen-elemen
kognitif yang penting akan menyebabkan perasaan negatif yang lebih besar dibandingkan
disonansi pada elemen-elemen yang kurang penting. Sebagai contoh yaitu, melukai
perasaan sahabat akan lebih menimbulkan disonansi yang besar dibanding ketika melukai
perasaan orang asing.

2.1.1 Sumber disonansi kognitif


Menurut Festinger (1957) sumber-sumber disonansi kognitif, antara lain :
1. Inkonsistensi logis (Logical Inconsistency)
Disonansi yang terjadi karena ketidaksesuaian elemen kognitif dengan hal-hal logis
yang ada. Contoh dari inkonsistensi logis adalah keyakinan seseorang dalam membaca buku
akan membuatnya pintar, secara logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa menjadi
pintar karena pengalaman dan belajar memahami sesuatu.
2. Nilai-nilai budaya (Culture Mores)
Perbedaan budaya yang menyebabkan terjadinya disonansi kognitif. Contohnya:
bertemu dengan teman lalu berpelukan dan mencium pipi di negara barat dianggap sebuah
hal yang biasa, hal ini adalah suatu hal yang konsonan, tetapi bertemu dengan teman dan
melakukan hal yang sama di Indonesia dirasakan sebagai sebuah hal yang disonan.
3. Pendapat umum (Opinion Generality)
Disonansi dapat terjadi apabila pendapat yang dianut banyak orang dipaksakan
kepada pendapat perorangan. Contohnya: seorang remaja yang menyukai menonton berita.
Hal ini menimbulkan disonansi karena pendapat umum percaya bahwa menonton berita
hanya merupakan kegemaran orang-orang tua.
4. Pengalaman masa lalu (Past Experience)
Jika kognisi tidak konsisten dengan pengetahuan pada pengalaman masa lalu, maka
akan muncul disonansi. Contoh dari pengalaman masa lalu yang menjadi sumber disonansi
kognitif adalah melanggar rambu lalu-lintas tidak akan ditilang. Keadaan ini disonan karena
tidak sesuai atau belum tentu sesuai dengan pengalaman masa lalu.
Disonansi kognitif dideskripsikan sebagai suatu kondisi yang membingungkan,
yang terjadi pada seseorang ketika elemen kognitif yang mereka punya saling bertolak
belakang atau tidak mempunyai tujuan yang sama. Kondisi ini mendorong mereka
untuk merubah pikiran, perasaan, dan tindakan mereka agar sesuai dengan
pembaharuan. Disonansi dirasakan ketika seseorang berkomitmen pada dirinya sendiri
dalam melakukan suatu tindakan yang tidak konsisten dengan perilaku dan kepercayaan
mereka yang lainnya. Menurut Festinger, teori disonansi kognitif dibentuk dalam tiga
konsep antara lain yaitu:
1. Seseorang lebih suka untuk konsekuan dengan cognitions mereka dan tidak
suka menjadi tidak konsisten dalam pemikiran, kepercayaan, emosi, nilai dan
sikap.
2. Disonansi terbentuk dari ketidaksesuaian psychological, lebih dari
ketidaksesuaian logical, dimana dengan meningkatkan ketidaksesuaian akan
meningkatkan disonansi yang lebih tinggi.
3. Disonansi adalah konsep psychological yang mendorong seseorang untuk
melakukan tindakan dan mengharapkan dampak yang bisa diukur.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat disonansi


Faktor - faktor yang dapat mempengaruhi tingkat disonansi yang dirasakan
seseorang (Zimbardo, Ebbsen &Maslach, 1977:80) :
1. Kepentingan, atau seberapa signifikan suatu
masalah, berpengaruh terhadap tingkat disonansi yang dirasakan.
2. Rasio disonansi atau jumlah kognisi disonan berbanding dengan jumlah
kognisi yang konsonan
3. Rasionalitas yang digunakan individu untuk menjustifikasikan konsistensi.
Faktor ini merujuk pada alasan yang dikemukan untuk menjelaskan mengapa
sebuah inkonsistensi muncul. Makin banyak alasan yang dimiliki seseorang untuk
mengatasi kesenjangan yang ada, maka semakin sedikit disonansi yang seseorang
rasakan

2.1.3 Dimensi disonansi kognitif


Pada penelitian yang dilakukan oleh Sweeney and Soutar (2003) menyatakan
bahwa Disonansi Kognitif dapat diukur dengan Tiga dimensi, yaitu : Emotional,
Wisdom of Purchase, dan Concern Over the Deal. Emosional adalah ketidaknyamanan
psikologis yang dialami seseorang terhadap keputusan pembelian. Wisdom of Purchase
adalah ketidak nyamanan yang dialami seseorang sebelum dan sesudah transaksi
pembelian, dimana mereka bertanya – tanya apakah mereka sangat membutuhkan
produk tersebut atau apakah mereka telah memilih produk yang sesuai. Concern Over
the Deal adalah ketidaknyamanan yang dialami seseorang setelah transaksi pembelian
dimana mereka bertanya–tanya apakah mereka telah dipengaruhi oleh tenaga penjual
yang bertentangan dengan kemauan atau kepercayaan mereka. Dimensi ini
menghasilkan 22 item yang dapat digunakan untuk mengukur disonansi kognitif.
Dari beberapa dimensi yang ada, berikut adalah definisi operasional dari
beberapa item tersebut, antara lain :
A. Emotional (emosional): berkaitan dengan situasi psikologi konsumen sebelum
dan setelah melakukan pembelian. Konsumen secara alami mempertanyakan
apakah tindakan yang dilakukannya telah tepat. Indikator dari dimensi ini antara
lain :
a. Telah membuat sesuatu yang salah,
b. Putus asa,
c. Menyesal,
d. Kecewa dengan diri sendiri,
e. Takut,
f. Hampa,
g. Marah,
h. Cemas atau khawatir,
i. Kesal dengan diri sendiri,
j. Frustasi,
k. Sakit hati,
l. Depresi,
m. Marah dengan diri sendiri,
n. Muak,
o. Merasa mendapat masalah.
B. Wisdom of purchase (kebijaksanaan): berkaitan dengan keputusan yang telah
dilakukan. Konsumen mempertanyakan apakah dia telah membeli suatu barang
yang benar-benar sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Indikator dari dimensi
ini antara lain :
a. Telah membuat pilihan yang tepat,
b. Kebutuhan,
c. Keperluan,
d. Pilihan.
C. Concern the deal (perhatian): berkaitan dengan kekecewaan konsumen
dimana pada kondisi ini konsumen cenderung kurang yakin dengan keputusan
yang telah dibuatnya. Indikator dari dimensi ini antara lain :

a. Melakukan kesalahan dengan persetujuan yang di buat.


b. Melakukan suatu kebodohan,
c. Kebingungan.

2.2 Pengertian perilaku konsumtif


Menurut Fromm (1955, dalam Arysa 2013) perilaku konsumtif adalah perilaku
dimana individu mempunyai suatu barang dengan tujuan untuk menunjukan status dari
pemiliknya dan tidak berorientasi pada fungsi atau manfaat dari barang itu sendiri.
Dan menurut Triyaningsih (2011), perilaku konsumtif adalah perilaku membeli
dan menggunakan barang yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan
memliki kecenderungan untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas, dimana individu
lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan, serta ditandai oleh adanya
kehidupan mewah dan berlebihan, penggunaan segala hal yang paling mewah yang
memberikan kepuasan dan kenyamanan fisik.
Lubis (dalam Sumartono, 2002) mengatakan perilaku konsumtif adalah perilaku
yang tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya
keinginan yang sudah mencapai taraf yang sudah tidak rasional lagi. Sedangkan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (dalam Sumartono, 2002) mengatakan perilaku
konsumtif adalah kencenderungan manusia untuk menggunakan konsumsi tanpa batas
dan manusia lebih mementingkan faktor keinginan dari pada kebutuhan.
Perilaku konsumtif tersebut merupakan suatu tindakan individu-individu
untuk mendapatkan, mengkonsumsi produk, jasa, ide dan pengalaman. Tuntuan dan
tindakan seperti inilah yang merupakan perilaku konsumtif yang dilakukan seseorang
terhadap suatu obyek yang ada di sekelilingnya (Engel, 1994).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif
adalah perilaku membeli dan menggunakan secara berlebihan dan tidak rasional
tanpa mementingkan kebutuhan.Perilaku konsumtif tidak mengenal jenis kelamin
dan umur.
2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif
Menurut Sumartono (2002), munculnya perilaku konsumtif dikalangan mahasiswa
disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Faktor Internal
Faktor internal yang berpengaruh pada perilaku konsumtif individu adalah
motivasi, harga diri, observasi, proses belajar, kepribadian dan konsep diri.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh pada perilaku konsumtif individu
adalah kebudayaan, kelas social, kelompok-kelompok social dan referensi serta
keluarga.
Berdasarkan uraian diatas, maka factor yang mempengaruhi perilaku konsumtif
dapat dibagi atas dua yakni faktor internal dan faktor eksternal.

2.2.2 Karakteristik perilaku konsumtif


Menurut Sumartono (2002), definisi konsep perilaku konsumtif amatlah variatif,
tetapi pada intinya muara dari pengertian perilaku konsumtif adalah membeli barang
tanpa pertimbangan rasional atau bukan atas dasar kebutuhan pokok. Dan secara
operasional, indikator perilaku konsumtif yaitu :
1. Membeli produk karena iming-iming hadiah.
Individu membeli suatu barang karena adanya hadiah yang ditawarkan
jika membeli barang tersebut.
2. Membeli produk karena kemasannya menarik.
Mahasiswa sangat mudah terbujuk untuk membeli produk yang
dibungkus dengan rapi dan dihias dengan warna-warna yang menarik. Artinya
motivasi untuk membeli produk tersebut hanya karena produk tersebut
dibungkus dengan rapi dan menarik.
3. Membeli produk demi menjaga penampilan diri dan gengsi.
Mahasiswa mempunyai keinginan membeli barang bermerk dengan
harga tinggi, karena pada umumnya mahasiswa mempunyai ciri khas dalam
berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya dengan tujuan agar
mahasiswa selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain.
Mahasiswa membelanjakan uangnya lebih banyak untuk menunjang penampilan
diri.
4. Membeli produk atas pertimbangan harga (bukan atas dasar manfaat atau
kegunaannya).
Mahasiswa cenderung berperilaku konsumtif yang disebabkan karena
melihat barang-barang yang dianggapnya murah, lalu membeli barang tersebut,
tanpa memikirkan manfaat dari barang tersebut.
5. Membeli produk hanya sekedar menjaga simbol status.
Mahasiswa mempunyai kemampuan membeli yang tinggi baik dalam
berpakaian, berdandan, gaya rambut, dan sebagainya sehingga hal tersebut dapat
menunjang sifat eksklusif dengan barang yang mahal dan memberi kesan berasal
dari kelas sosial yang lebih tinggi. Dengan membeli suatu produk, dapat
memberikan symbol status agar terlihat mempunyai status yang tinggi dimata
orang lain.
6. Memakai produk karena unsur konformitas terhadap model yang
mengiklankan.
Mahasiswa cenderung meniru perilaku tokoh yang diidolakannnya dalam
bentuk menggunakan segala sesuatu yang dapat dipakai tokoh idolanya.
Mahasiswa juga cenderung memakai dan mencoba produk yang ditawarkan bila
ia mengidolakan publik figur produk tersebut.
7. Munculnya penilaian bahwa membeli produk dengan harga mahal akan
Menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi.
Mahasiswa sangat terdorong untuk mencoba suatu produk karena mereka
percaya apa yang dikatakan oleh iklan yaitu dapat menumbuhkan rasa percaya
diri.
8. Mencoba lebih dari dua produk sejenis (merek berbeda).
Mahasiswa akan cenderung menggunakan produk jenis sama dengan
merek yang lain dari produk sebelumnyayang pernah ia gunakan, meskipun
produk tersebut belum habis dipakainya.

2.2.3 Dimensi perilaku konsumtif


Fromm (1955, dalam Arysa 2013) menyebutkan empat dimensi yang dapat
menyebabkan perilaku konsumtif yaitu :
A. Pemenuhan keinginan
“It relieves anxiety, because what one has cannot be taken away; but it is
also acquires one to consume even more, because previous consumption soon
losses its satisfactory character” (Fromm. 1976 : 23)
Setiap individu memiliki rasa puas yang tiada henti, dan terus mengalami
peningkatan maka dari itu ia mempunyai keinginan yang lebih untuk memenuhi
kepuasannya, walaupun barang tersebut tidak memiliki kegunaan yang sesuai
dengan kebutuhannya.
B. Barang diluar jangkauan
“Acquisition ---> transitory having and using – throwing away (or if
possible, profitable exchange for a better mode) --- > new acquisition =,
constitutes the vicious” (Fromm. 1976 : 59)
Ketika individu berperilaku konsumtif akan menimbulkan pembelian yang
kompulsif atau pembelian karena dorongan yang diakibatkan oleh keinginan dalam
memenuhi kepuasannya dan terkadang pembelian ini dapat terjadi secara tidak
rasional. Pada akhirnya individu mau mengeluarkan uang yang tidak sedikit demi
memenuhi rasa puasnya dalam mengkonsumsi barang dan jasa tersebut.
C. Barang tidak produktif
“With regard to many things, there is not even the pretense of use we
acquire them to “have: them. We are satisfied with useless possession” (Fromm.
1955:129)
Ketika individu mengkonsumsi barang/jasa secara berlebihan maka kegunaan
barang/jasa tersebut menjadi tidak jelas. Sehingga barang/produk tersebut menjadi
tidak produktif.

D. Status
“...human beings love to buy and to consume, and yet are so little attached
to what they buy, finds its most significant answer in the marketing character
phenomenon. The marketing characters' lack of attachment also makes them in
different to things” ” (Fromm. 1976 : 122)
Pada dimensi ini penggunaan barang atau jasa digunakan hanya untuk
mencapai sebuah status. Dari kegiatan ini, mengkonsumsi barang atau jasa tersebut
sudah tidak memiliki makna, karena digunakan untuk mencapai sebuah keinginan,
yaitu keinginan dalam mendapatkan sebuah status.
2.3 Pengertian remaja
Remaja berasal dari kata latin adolescence yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolescence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang
mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Pasa masa
ini sebenarnya tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan
anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua.
Seperti yang dikemukakan oleh Calon, (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa
remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum
memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak. Menurut Sri Rumini &
Siti Sundari (2004) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa
yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa.
Adolescence adalah sebuah periode perkembangan dimana terjadi transisi dari
masa anak-anak ke masa dewasa meliputi perubahan dalam biologis atau fisik, kognitif,
dan sosioemosional yang dimulai di usia 10-13 tahun dan berakhir di 18-21 tahun
(Santrock,2012).

2.4 Hubungan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif :


Dalam melakukan sebuah pembelian atau transaksi, seseorang cenderung untuk
terlebih dahulu membuat suatu keputusan yang menyebabkan terjadinya sebuah
perilaku membeli (Japarianto, 2006). Dalam membeli sebuah barang yang sangat
diinginkan, tetapi kurang dibutuhkan, maka seseorang cenderung memiliki dua elemen
kognitif yang tidak seimbang, dimana kedua elemen tersebut adalah keinginan dan
kebutuhan, maka dari itu akan terjadi disonansi kognitif yang akan mempengaruhi
seseorang dalam melakukan sebuah pembelian. Selain itu, Leon Festinger (1957)
mengungkapkan bahwa teori disonansi kognitif juga ditujukan untuk menjelaskan
kecenderungan sikap yang kadang-kadang beralih menjadi tidak konsisten terhadap
perilaku yang diperbuat. Dari hal tersebut penulis berasumsi adanya hubungan yang
cukup signifikan antara disonansi kognitif dengan perilaku konsumtif.
Menurut Festinger (1957) disonansi kognitif adalah ketidak sesuaian yang terjadi
antara dua elemen kognitif yang tidak konsisten yang menyebabkan ketidak nyamanan
psikologis serta mendorong orang untuk berbuat sesuatu agar disonansi itu dapat dikurangi,
sedangkan perilaku konsumtif merupakan perilaku membeli dan menggunakan barang
yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan memliki kecenderungan
untuk mengkonsumsi sesuatu tanpa batas, dimana individu lebih mementingkan faktor
keinginan daripada kebutuhan, serta ditandai oleh adanya kehidupan mewah dan
berlebihan, penggunaan segala hal yang paling mewah yang memberikan kepuasan dan
kenyamanan fisik, sebagaimana yang didefinisikan oleh Triyaningsih (2001).
Selalu sebelum dan sesudah melakukan sebuah hal, akan memunculkan sebuah
kognitif yang dapat terjadi secara disonan atau konsonan pada diri seseorang. Oleh
karena itu disonansi kognitif dapat muncul sesaat sebelum dan sesudah melakukan
sebuah perilaku (Festinger, 1957).

Remaj
2.5 Kerangka berpikir :
a
Kebutuhan

&
Keinginan

Kognitif yang
Keinginan >< Kebutuhan Konsonan

Disonansi Perilaku
Kognitif Konsumtif

Anda mungkin juga menyukai