Anda di halaman 1dari 5

Advokasi Sebagai Alat Pengubah Kebijakan Publik1

Pendahuluan
Advokasi adalah sebuah kata bertuah yang sangat populer sejak reformasi bergulir.
Berbagai pihak telah mempopulerkan istilah itu, mulai dari mahasiswa, aktivis LSM, dosen
hingga aparatur pemerintah. Tujuan mereka adalah untuk memberdayakan masyarakat kecil.
Berbagai program pun menyertai advokasi tersebut. Tetapi, hidup masyarakat kecil tak pernah
berubah. Mereka masih hidup seperti dulu: menderita dan tertindas. Tidak heran bila masyarakat
kecil tidak tertarik lagi mengikuti kegiatan advokasi yang diadakan oleh berbagai pihak.
Dari kaca mata akademis, advokasi adalah sebuah alat. Ia berguna buat mengubah
kebijakan publik. Sebagai gambaran, dalam tradisi penelitian kebijakan publik, paling tidak ada
dua tipe penelitian yang menggunakan kata advokasi, yakni advokasi proses dan advokasi
kebijakan. Karena itu, advokasi akan tetap menjadi kajian ilmu-ilmu sosial, termasuk juga
kebijakan publik. Persoalannya adalah, apa dan bagaimana advokasi sebagai alat pengubah
kebijakan publik? Uraian berikut akan mendiskusikan jawabannya.
Makna advokasi
Secara umum advokasi adalah aksi-aksi sosial, politik dan kultural yang dilakukan secara
sistematis dan terencana, dilakukan secara kolektif untuk mengubah kebijakan publik dalam
rangka melindungi hak-hak rakyat dan menghindari bencana buatan manusia. Menurut sosiologi,
aksi berbeda dengan perilaku. Aksi mengandung tujuan dan dilakukan secara sadar. Sedangkan
perilaku bisa terjadi tanpa tujuan dan tanpa sadar (Abercrombie et.al. 1988:2). Dari sinilah
kemudian Max Weber melahirkan teori aksi yang menjadi sebuah grand theory dalam sosiologi.
Bertolak dari pengertian di atas advokasi melibatkan berbagai strategi. Strategi ini malah
menjadi salah satu dasar pokok bagi keberhasilan advokasi. Karena itu, dalam merancang
advokasi, kita perlu mempertimbangkan dan menyusun strategi secara komprehensif.
Memang tidak mudah memilih dan menyusun strategi dalam untuk sebuah advokasi.
Semakin kompleks permasalahan yang akan diusung, semakin susah pula mencari dan menyusun
strategi. Tetapi, akan jauh lebih parah kalau kita membiarkan kebijakan publik yang merugikan
rakyat atau bahkan akan menimbulkan bencana buat rakyat. Karena itu, sekalipun sulit, berbagai
pihak tetap “nekad” melakukan advokasi.
1
Pada titik ini, barangkali timbul pertanyaan di benak kita, apakah advokasi bagian dari
rekayasa sosial (social engineering)? Dalam tetaran tertentu, ya. Sebab, menurut Jalaludin
Rakhmat, rekaya sosial adalah perubahan sosial yang direncanakan (planned social change)
(1991:46). Bukankah advokasi memang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan tertentu.
Sekalipun tujuannya untuk mengubah kebijakan publik, toh pelaksanaan kebijakan public yang
baru akan menimbulkan perubahan sosial.
Tujuan advokasi
Dari sisi sosiologi, tujuan advokasi adalah menempatkan perubahan sosial sebagai bagian
dari dinamika yang dikendalikan oleh masyarakat. Perubahan sosial sendiri gampang terjadi.
Sebab, ia bisa terjadi karena berbagai hal, seperti tekanan demografis, konflik kepentingan,
penemuan teknologi, perkembangan sistem kepercayaan, perubahan alat produksi, terbukanya
hubungan dengan dunia internasional dan sebagainya. Kalau tidak ada perubahan sosial dalam
sebuah masyarakat, maka masyarakat tersebut tidak dinamis.
Tetapi, idealnya perubahan sosial dalam satu sistem sosial dikendalikan oleh masyarakat.
Artinya, masyarakat tidak hanya jadi obyek semata dalam sebuah perubahan sosial. Masyarakat
harus menjadi subyek perubahan sosial. Kalau ini sudah terjadi, maka masyarakat bisa
mengendalikan dinamika perkembangan mereka sendiri.
Nah, advokasi mengajak masyarakat untuk menjadi subyek dalam perubahan sosial.
Advokasi mengajak masyarakat agar ikut mengendalikan perkembangan yang terjadi pada diri
mereka. Advokasi mengajak masyarakat untuk tidak bersedia “dikadalin” oleh pihak penguasa
ketika menciptakan sebuah perubahan sosial. Misi advokasi sangat sederhana: kalau ada
perubahan sosial dalam sebuah masyarakat—berapa pun luasnya, maka masyarakat harus ikut
menentukan arah perubahan itu.
Bertolak dari sini kita bisa mengatakan bahwa advokasi hanya mungkin berhasil di
negara yang demokratis. Sebab, salah satu prinsip dalam demokrasi, seperti ditulis oleh Robert
A. Dahl, adalah: demokrasi membantu rakyat melindungi kepentingan dasarnya (2001: 72).
Lewat advokasi, rakyat disadarkan bahwa mereka punya hak dan kesempatan untuk melindungi
kepentingan mereka. Rakyat digugah bahwa mereka perlu menjadi obyek dalam perubahan yang
menyangkut diri mereka sendiri.
Bidang kerja advokasi

2
Setidaknya terdapat dua bidang kerja yang menjadi garapan advokasi. Pertama,
ideologis. Dalam konteks ini advokasi ingin mengubah tatanan yang ada. Hanya tatanan barulah
yang dipercaya bisa menciptakan kehidupan masyarakat yang nyaman dan sejahtera. Karena
menyangkut kepercayaan, ia bisa sangat ketat, tetapi bisa juga biasa saja. Yang jelas,
kepercayaan sulit berubah. Ia sudah merupakan sumber kebenaran.
Kedua, strategis. Di sini advokasi digunakan untuk memenangkan pertarungan. Ia
dipercaya bisa memberikan kemenangan bagi pihak yang melakukannya. Karena itu, ia dipakai
sebagai usaha untuk mengcounter isu-isu yang diungkapkan oleh pihak lawan. Semakin banyak
isu yang diungkapkan oleh pihak lawan, semakin keras pula usaha mengcounternya.
Maka, pihak-pihak yang akan melakukan advokasi harus mengetahui bidang kerja
advokasi secara persis. Bidang kerja ideologis mengangankan perubahan mendasar dan
menyangkut struktur sosial dalam masyarakat. Sedangkan bidang kerja strategis lebih mengarah
pada masa sekarang dan menyangkut kepentingan praktis, seperti pajak penerangan jalan dan
sebagainya.
Bentuk-bentuk advokasi
Ada sebuah dalil yang berlaku dalam kegiatan advokasi. Yakni, untuk kegiatan advokasi,
diperlukan berbagai bentuk kegiatan. Kegiatan ini disesuaikan dengan kondisi khalayak.
Khalayak yang punya kekuatan penekan yang bisa dihandalkan tidak diajak berdemonstrasi,
melainkan membangun koalisi. Sebaliknya, khalayak di tingkat akar rumput jangan diajak
berkampanye, tetapi menciptakan tekanan massa lewat demonstrasi.
Bila dilihat lebih jauh, bentuk kegiatan advokasi terdiri atas: (i) kampanye: (ii) lobi; (iii)
mengorganisasikan kelompok korban; (iv) menciptakan tekanan massa lewat demonstrasi; dan
(v) membangun koalisi. Setiap bentuk kegiatan punya karakteristik yang khas. Ia efektif
dilakukan pada khalayak tertentu dan situasi tertentu pula.
Tetapi, di negara-negara yang sudah maju, advokasi lebih banyak dilakukan dalam bentuk
lobi, kampanye dan membentuk koalisi. Ini terasa logis. Sebab, masyarakatnya sudah memiliki
tingkat pengetahuan dan pengalaman yang memadai tentang sebuah kebijakan publik. Sementara
itu, di negara-negara berkembang seperti Indonesia, advokasi lebih mengacu pada kegiatan
mengorganisasikan kemlompok korban dan menciptakan tekanan massa lewat demonstrasi.
Konteks advokasi

3
Lalu, untuk pelayanan kesehatan, apa yang bisa diharapkan dari advokasi? Karena
advokasi merupakan alat untuk mengubah kebijakan publik dalam rangka melindungi hak-hak
rakyat dan dari bencana buatan manusia, maka pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan bisa melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan pelayanan kesehatan yang
dirasakan tidak melindungi hak-hak rakyat. Mereka bisa, misalnya berkoalisi dengan media
massa untuk menyebarkan opini bahwa kebijakan penjualan obat di Indonesia tidak
menguntungkan masyarakat. Atau mereka bisa juga melobi kalangan DPR untuk
mengamandemen UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Mungkin Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mungkin merasa tidak melakukan advokasi
untuk mengubah kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan yang dirancang oleh pemerintah
sendiri. Bukankah ia juga merupakan bagian dari pemerintah? Tetapi, sebagai pihak yang
berurusan dengan masyarakat di lapangan, bisa saja ia memiliki informasi penting tentang
efektifitas sebuah kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan. Bertolak dari sini, ia melobi
Departemen Kesehatan untuk mengubah kebijakan tersebut. Kalau kemudian kebijakan itu
berubah, maka sesungguhnya Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersangkutan sudah melakukabn
advokasi.
Dengan demikian, advokasi bukan hanya bisa dilakukan oleh aktivis LSM atau
masyarakat yang menjadi korban kebijakan publik saja, melainkan bisa juga dilakukan oleh
lembaga pemerintah. Tinggal sekarang kemauan lembaga tersebut menilai kebijakan publik
tentang pelayanan kesehatan yang merugikan hak-hak rakyat dan kesediaan melakukan advokasi
untuk mengubah kebijakan tersebut.
Penutup
Begitulah, advokasi adalah alat yang bisa dipakai untuk mengubah kebijakan publik
tentang pelayanan kesehatan yang merugikan hak-hak rakyat. Kebijakan publik sendiri
bermacam-macam, mulai dari Undang-Undang, Surat Keputusan Mennteri Kesehatan, Peraturan
Daerah hingga Instruksi Presiden. Karena keadilan adalah soal yang paling buruk di negeri ini
sampai sekarang, maka bukan mustahil kebijakan publik tentang pelayanan kesehatan yang ada
tidak menjanjikan keadilan buat rakyat. Tegasnya, kebijakan publik itu hanya menguntungkan
pihak-pihak yang sudah mapan, seperti penguasa dan pengusaha.
Kalau ini memang terjadi, sudah saatnya pihak-pihak yang terkait dengan pelayanan
kesehatan melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan tersebut. Tetapi, mereka perlu ingat

4
dengan sebuah logika politik di negara yang demokrasi adalah, suara yang banyak bisa
mengalahkan suara yang sedikit, sekalipun suara yang sedikit itu menyuarakan kebenaran.
Artinya, kalau rasa-rasanya advokasi lewar DPR atau DPRD tidak akan berhasil, bisa dipakai
cara lain, misalnya demonstrasi. Atau bisa juga mendemonstrasi anggota DPRD. Yang terakhir
ini terjadi di Kabupaten Kampar, Propinsi Riau beberapa tahun lalu. Setelah sepuluh hari lebih
masyarakat berdemonstrasi di depan Gedung DPRD Kampar, akhirnya masyarakat puas: DPRD
Kampar setuju memecat Bupati Kampar waktu itu, Jefri Noor.
Referensi
Abercrombie, Nicholas, Hill Stephen, and Turner, Bryan S. 1988. Dictionary of Sociology.
London: Penguin Books.
Dahl, Robert A. 2001. Perihal Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Rakhmat, Jalaludin. 1999. Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi. Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai