Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KASUS PELAKU UJARAN KEBENCIAN DALAM MEDIA SOSIAL

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Patologi Sosial

Disusun oleh

Khabib Qhoiril Akbar

NIM: 180910301046

Dosen Pengampu

Dr. Hadi Prayitno, M.Kes.

NIP:196106081988021001

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2019.2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................................i

BAB I KASUS UJARAN KEBENCIAN......................................................................................1

1.1 Contoh Kasus Ujaran Kebencian..........................................................................................1

BAB II ANALISIS UJARAN KEBENCIAN...............................................................................3

2.1 Hubungan Pengertian Ujaran Kebencian dengan Contoh Kasus ........................................3

2.2 Hubungan Teknologi dengan Contoh Kasus Ujaran Kebencian..........................................4

2.3 Hubungan Pidana dengan Contoh Kasus Ujaran Kebencian...............................................5

2.4 Analisis Studi Kasus dengan Teori Patologi Sosial..............................................................7

2.5 Penanganan terhadap Kasus Ujaran Kebencian...................................................................8

BAB III PENUTUP.......................................................................................................................9

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................10

i
BAB I
KASUS UJARAN KEBENCIAN
1.1 Contoh Kasus Ujaran Kebencian

Kronologi Pria di Trenggalek Ditangkap Polisi Diduga Melakukan Ujaran Kebencian


terhadap Tokoh Agama

Selasa, 26 Maret 2019 18:33

Sutrisno
dikawal
polisi
keluar
ruang
tahanan
Polres
Trenggalek,
Selasa
(26/3/2019)

SURYA.CO.ID | TRENGGALEK - Mengumbar kata-kata kasar di Facebook, Sutrisno (40)


warga Desa Sukorame, Kecamatan Gandusari ditetapkan sebagai tersangka, Selasa (26/3/2019).
Tersangka dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).Kejadian
bermula saat seorang Kiai Musyaroh (50) membagikan link berita di akun Facebook miliknya
pada Kamis (15/3/2019). Berita yang dibagikan terkait caleg sebuah parpol diduga mencabuli
anak kandungnya.

Ternyata unggahan itu dianggap menyinggung perasaan Sutrisno. Di kolom komentar, Sutrisno
menulis kalimat yang dianggap tidak sopan. "Bukan hanya tidak sopan, tersangka juga diduga
menyebarkan ujaran kebencian. Sebab ditulisan yang dia unggah, ada ajakan membakar
pesantren korban," terang Kapolres Trenggalek, AKBP Didit Bambang Wibowo S, Selasa
(26/3/2019).

1
Dalam unggahan lewat akun bernama Ridwan S, Sutrisno menyebut Musyaroh sebagai kiai
yang tidak paham hukum agama.

"Seandainya besok ada kabar, kyai Musyaroh mencabuli santri 15 bagaimana?" tulis Sutrisno
dalam Bahasa Jawa.

Tidak terima dengan unggahan Sutrisno, Musyaroh melapor ke Polres Trenggalek. Polisi yang
melakukan penyelidikan mendapatkan lima tangkapan layar komentar Sutrisno.

"Komentarnya melanggar kesusilaan dan pencemaran nama baik, serta ujaran kebencian," tegas
Didit.

Untuk menindaklanjuti laporan ini, Satreskrim Polres Trenggalek melakukan penyelidikan


gabungan Unit Resmob dan Unit Pidana Khusus (Pidsus). Lewat penyelidikan panjang, polisi
akhirnya menangkap Sutrisno pada Kamis (21/3/2019) sekitar pukul 09.00 WIB. Polisi menyita
ponsel merek Xiaomi milik Sutrisno. Dari pemeriksaan, dipastikan ponsel itu terhubung dengan
akun Ridwan S yang mengomentari unggahan Musyaroh.

"Tersangka akan dikenakan Pasal 45A Ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang
ITE. tersangka terancam hukuman penjara maksimal 6 tahun," pungkas Didit.

Meski sudah ditangkap polisi, tidak ada rona penyesalan di wajah Sutrisno. Pandangannya tetap
nanar seolah tidak bersalah. Saat ditanya, Sutrisno mengaku tidak melakukan penghinaan
terhadap Musyaroh. "Saya hanya mengingatkan," ucapnya santai.1

Sehingga berdasarkan kasus tersebut bahwa penyebab seseorang melakukan kejahatan ujaran
kebencian (Hate Speech) dalam media sosial karena dari dalam diri ataupun luar diri seseorang
tersebut yang kemungkinan kemajuan dari informasi yang dapat diakses secara cepat dan efektif
melalui berbagai media. Dengan demikian teknologi bisa dikatakan juga merupakan faktor
kriminogen yaitu faktor yang menyebabkan timbulnya keinginan orang untuk berbuat jahat atau
memudahkan orang untuk melakukan kejahatan, seperti kejahatan dalam hal ini Ujaran
Kebencian (Hate Speech)melalui media sosial.

1Dikutip dari http://surabaya.tribunnews.com/2019/03/26/kronologi-pria-di-trenggalek-


ditangkap-polisi-diduga-melakukan-ujaran-kebencian-terhadap-tokoh-agama,tanggal
31/03/2019,pukul 17.18
2
BAB II

ANALISIS UJARAN KEBENCIAN

2.1 Hubungan Pengertian Ujaran Kebencian dengan Contoh Kasus

Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah “tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu
individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi
seksual kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Dalam arti hukum Ujaran Kebencian adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya
tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun
korban dari tindakan tersebut. Kejahatan ujaran kebencian diatas dapat dilakukan melalui
berbagai media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media
sosial, penyampaian pendapat dimuka umum(demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa
cetak ataupun elektronik dan pamflet.2

Kata “hate speech” atau dalam bahasa Indonesia sering disebut “ujaran kebencian” adalah
istilah yang berkaitan erat dengan minoritas dan masyarakat asli, yang menimpa suatu komunitas
tertentu dan dapat menyebabkan mereka sangat menderita, sementara (orang) yang lain. tidak
peduli. Ia dapat memunculkan penderitaan psikis maupun fisik, yang dalam praktiknya banyak
menimpa kelompok minoritas dan masyarakat asli. Beberapa contoh terakhir menunjukkan
bahwa ujaran kebencian telah menimbulkan kekerasan terhadap kelompok tertentu, seperti pada
Kristen Koptik di Mesir, Muslim di Myanmar dan para imigran di Yunani, serta peristiwa
genosida di Rwanda yang hingga kini terus diperingati sebagai salah satu kejahatan kemanusiaan
terpenting dalam sejarah dunia modern.3

2
A. Yudha Prawira, Upaya Kepolisian dalam Menanggulangi Kejahatan Ujaran Kebencian (Hate
Speech) Berdasarkan Surat Edaran Kapolri NO.SE/06/X/2015, Skripsi (Bandar Lampung: Universitas
Lampung, 2016), hlm.7
3
M. Choirul Anam dan Muhammad Hafiz, Surat Edaran Kapolri Tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia (Jakarta: Jurnal Keamanan Nasional Pusat
Kajian Keamanan Nasional, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 2015), hlm. 345.

3
Ujaran Kebencian (Hate Speech) bisa diartikan juga segala bentuk ekspresi (tulisan, ucapan,
bahasa tubuh, pidato) yang menganjurkan kebencian atas dasar identitas tertentu seperti
kebangsaan, ras, agama, yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan,
atau kekerasan.4

Dalam contoh kasus diatas dikatakan sebagai bentuk Ujaran Kebencian (Hate Speech) karena
pelaku telah memberikan bentuk ekspresi kebencian terhadap korban dengan melakukan perilaku
mencoba menggiring opini melalui media sosial untuk menghakimi korban walaupun belum
mempunyai bukti tuduhan yang jelas.meskipun ajakan pelaku untuk menghakimi (membakar
rumah korban) hanya berbentuk tulisan saja konteks ajakan oleh pelaku untuk melakukan
penghakiman terhadap korban merupakan bentuk ujaran kebencian,intimidasi,kekerasan atas
kehadiran korban.Selain itu penyebutan pencemaran nama baik yang dilakukan pelaku terhadap
korban sebagai tokoh agama melakukan pencabulan melalui kolom komentar yang di baginya
melalui media sosial juga sebagai bentuk penguat bahwa korban telah mendapat ujaran
kebencian dari pelaku.Maka dari itu laporan dari korban dapat diproses kepada pihak yang
terkait dan tersangka akan dikenakan Pasal 45A Ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun
2016, tentang ITE. tersangka terancam hukuman penjara maksimal 6 tahun.Dan sangat jelas baha
contoh kasus diatas adalah bentuk Ujaran Kebencian (Hate Speech).

2.2 Hubungan Teknologi dengan Contoh Kasus Ujaran Kebencian

Teknologi selain membawa keuntungan seperti memberi kemudahan bagi masyarakat untuk
melakukan aktivitasnya, juga menimbulkan kerugian-kerugian seperti maraknya kejahatan-
kejahatan yang dilakukan melalui teknologi informasi salah satu bentuknya Ujaran Kebencian
(Hate Speech) melalui medai sosia. Hal semacam ini juga memberikan pengaruh yang signifikan
dalam pemahaman mengenai kejahatan,diskriminasi,intoleransi,rasisme,genosida dan stereotip
yang semua akan menitik beratkan pada faktor manusia, baik secara lahir maupun psikologis.

Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan,
sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang
dan masa yang akan datang.Bentuk-bentuk kejahatan yang ada pun semakin hari semakin
bervariasi.Suatu hal yang patut diperhatikan bahwa kejahatan sebagai gejala sosial sampai

4
Tim Imparsial,Buku Pedoman Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia ,Jakarta 2017,hlm 10

4
sekarang belum diperhitungkan dan diakui untuk menjadi suatu tradisi atau budaya, padahal jika
dibandingkan dengan berbagai budaya yang ada,usia kejahatan tentu lebih tua. Kejahatan
sebenarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat.
Betapa pun kita mengetahui banyak tentang berbagai faktor kejahatan yang ada dalam
masyarakat, namun yang pasti adalah bahwa kejahatan merupakan salah satu bentuk prilaku
manusia yang terus mengalami perkebangan sejajar dengan perkembangan masayarakat itu
sendiri5.

Namun, perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun
juga memberikan dampak negatif, tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate
speech), serta penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan antar individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Tindak pidana tersebut selain menimbulkan
dampak yang tidak baik juga dapat merugikan korban dalam hal pencemaran nama baik, dengan
modus menghina korban dengan menggunakan kata-kata maupun gambar dan meme-meme kata
yang menghina dengan ujaran kebencian. Sehingga dalam kasus ini diperlukan adanya ketegasan
pada tindak pidana tersebut, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang akhirnya merugikan
masyarakat.

2.3 Hubungan Pidana dengan Contoh Kasus Ujaran Kebencian

Kemudahan yang diperoleh melalui internet dan media sosial tentunya tidak menjadi jaminan
bahwa aktivitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman atau tidak melanggar norma. Di
situlah kita harus cermat dalam melihat permasalahan yang berkembang dalam masyarakat.
Hukum pidana diyakini sebagai alat untuk memberikan kesebandingan dan kepastian dalam
pergaulan hidup. Layaknya suatu alat, hukum akan dibutuhkan jika kemudian timbul suatu
kebutuhan atau keadaan yang luar biasa di dalam masyarakat. Belum dianggap sebagai tindak
pidana jika suatu perbuatan tidak secara tegas tercantum di dalam peraturan hukum pidana
(KUHP) atau ketentuan pidana lainya. Prinsip tersebut hingga sekarang dijadikan pijakan demi
terciptanya kepastian hukum. Dalam upaya mencapai kepastian, hukum pidana juga diupayakan
untuk mencapai kesebandingan hukum. Dalam konteks inilah peran dari pembuat undang-
5
Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, PT
Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 29

5
undang dikedepankan. Fungsi legislasi dari pemerintah merupakan sarana untuk mencapai
kesebandingan hukum. Sehingga hakim dan aparat penyidik (kepolisian) tidak selalu berpegang
pada asas legalitas saja.6

Ruang lingkup kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech) tergolong ke dalam tindak pidana
terhadap kehormatan, istilah lain dipergunakan untuk tindak pidana terhadap kehormatan adalah
tindak pidana penghinaan.Dalam kasus diatas perlu adanya tindak pidana yang jelas yang
mampu menjadi efek jera bagi pelaku.Lebih umum tindakan pidana tersebut mampu menjadi
peringatan bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindakan ujaran kebencian terhadap individu
maupun golongan.Atas dasar apapun ujuaran kebencian juga membuat pencemaran nama baik
dan menimbulkan dampak psikis bagi korban ujaran kebencian. Dalam kasus diatas pencemaran
nama baik yang masuk dalam ranah ujaran kebencian yang berujung pada pelaporan pidana
sering dilakukan oleh mereka yang merasa dirugikan oleh para haters (pengikut jejaring sosial
namun dengan komentar yang menjatuhkan bahkan menghina) dengan menggunakan pasal-pasal
yang ada didalam Undang-Undang Transaksi Elektonik dan KUHP.

Sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)terkait rumusan delik yang diatur
baik dalam Pasal 156 maupun Pasal 157 ayat (1) KUHP, termasuk dalam kategori delik formil.
Artinya, tidak perlu diselidiki apakah rasa permusuhan, kebencian, atau penghinaan mempunyai
dasar-dasar nyata atau tidak. Tidak perlu dibuktikan apakah pernyataan yang dilakukan oleh
pelaku mempengaruhi khalayak ramai, sehingga mereka bersikap memusuhi, membenci, dan
merendahkan. Syarat penting dalam rumusan delik tindakan pidana ini bahwa perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku dilakukan di muka umum.7

Juga diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28
ayat (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok mengenai
intolreansi.Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah8

6
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajawali Pers, 2003, hlm. 388.
7
Tim Imparsial,Buku Pedoman Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia ,Jakarta 2017,hlm 30

8 Tim Imparsial,Buku Pedoman Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia ,Jakarta 2017,hlm 32

6
2.4 Analisis Studi Kasus dengan Teori Patologi Sosial

Penyakit sosial atau patologi sosial adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak
sesuai, melanggar norma-norma umum, adat-istiadat, hukum formal atau tidak bisa
diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum.9Perilaku menyimpang merupakan hasil dari
proses sosialisasi yang tidak sempurna.Proses sosialisasi itu lah yang menjadi pembentuk
perilaku seseorang terhadap fenomena sosial yang ada di sekitar masyarakat.

Dalam konteks kasus diatas dapat diidentifikasi seseorang melakukan penyimpangan dengan
melakukan ujaran kebencian melalui kolom komentar pada salah satu media sosial
korban.Perilaku tersebut merupakan buah dari proses sosialisasi yang tidak sempurna oleh
pelaku untuk menerima fenomena yang ada.Dapat dilihat sebab perilaku melakukan
penyimpangan dari sudut kriminologi berdasarkan teori pengendalian kebanyakan orang
meneyesuaikan diri dengan nilai dominan karena adanya penegndalian dari dalam ataupun dari
luar.Pengendalian diri dalam berupa norma yang dihayati dan nilai yang dipelajari seseorang. 10

Teori pengendalian pada dasarnya pengendalian sosial dapat dilakukan, baik secara informal
maupun formal. Pengendalian secara informal dilakukan dengan mendasarkan diri pada aturan-
aturan tidak tertulis dan tidak ada lembaga formal yang diberi tugas untuk melakukannya,
misalnya mempergunjingkan, mengolok-olok, dan mengucilkan.11

Pada contoh kasus diatas jelas bahwa pengendalian dalam diri yang lemah menjadi sebab
munculnya perilaku menyimpang(perilaku patologi).Sikap tanggap pelaku terhadap pendapat
seseorang seberapa jauh kepekaan seseorang terhadap kadar penerimaan konformis itulah yang
menjadi titik permasalahan.Minimnya tingkat kesadaran pelaku akan salah satu nilai penting
seperti toleransi perbedaan pendapat menjadikan munculnya perilaku menyimpang.

Faktor lain yang dapat menjadi pendukung teori tersebut berdasarkan kasusu diatas psikis
pelaku yang cenderung tidak peduli dengan apa yang telah diperbuat dengan mengujar kebencian
seolah-olah tidak terjadi hal yang serius.Menandakan adanya konflik dalam diri dengan korban
tentang hal masa lalu.Menilai dirinya sendiri lebih baik dari tokoh agama yang telah ia berikan
komentar pedas melalui laman media sosialnya.

9
Kartini Kartono. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Rajawali Pres, Jakarta. 1992,hlm. 4
10
Burlian,Paisol.Patologi Sosial,Bumi Aksara,Jakarta.2015,hlm.57
11
Burlian,Paisol.Patologi Sosial,Bumi Aksara,Jakarta.2015,hlm.58

7
2.5 Penanganan terhadap Kasus Ujaran Kebencian

Penanganan kasus-kasus tentang ujaran kebencian ini tidak mudah. Bahkan dalam beberapa
kasus pemidanaan yang dilakukan oleh Kepolisian, disatu sisi dianggap mengekang hak
kebebasan berekpresi dan berpendapat, sementara di sisi lain kasus yang seharusnya dibatasi
seringkali tidak tersentuh oleh hukum.

Kepolisian sendiri mengakui bahwa ada problem secara internal ketika menerapkan aturan
tentang ujaran kebencian ini, khususnya pada anggota kepolisian pada level bawah yang lansung
bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini diantaranya disebabkan oleh mereka yang teridentifikasi
sebagai terduga pelaku ujaran kebencian tersebut adalah tokoh atau pemimpin dari organisasi atau
kelompok masyarakat tertentu yang mempunyai anggota atau pengikut dalam jumlah yang
besar.Tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka, dikhawatirkan dapat memberikan
dampak sosial yang besar. Sementara di tingkat aturan, harus diakui memang secara unsur dan
ketegorikal, ketentuan larangan mengenai penyebaran ujaran kebencian masih membuka ruang
perdebatan penafsiran. Misalnya tentang perbuatan mana yang sebenarnya memenuhi unsur dan
kategori ujaran kebencian berdasarkan kaedah hukum internasional dan nasional.12

Namun,penanganan kasus diatas merupakan tindak tegas aparat terkait akan ujaran kebencian
antar personal dan akan berdampak pada nama baik seseorang.Atas dasar ajakan yang provokatif
tanpa dasar bukti pelaku terhadap medai sosial jelas menjadi pelanggaran sesuai dengan Pasal 28
ayat (2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA ) Setiap orang yang memenuhi
unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.

Maka jelas penanganan ujaran kebencian melalui pidana menjadi solusi tempat untuk
memberikan efek jera pada pelaku.Selain itu pencegahan juga diperlukan dalam mencegah
maraknya kasus seperti ini.Dengan sosialisasi tentang penyatakan pendapat tanpa menyebarkan
isu-isu miring dan ujaran kebencian.Perlu adanya sinergi masyarakat umum dengan pihak terkait.

BAB III

12
Tim Imparsial,Buku Pedoman Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia ,Jakarta 2017,hlm 8

8
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam kasus yang telah dipapaparkan diawal dapat ditarik kesimpulan atas relevansi nya
dengan Ujaran kebencian (Hate Speech) adalah “tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu
individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau
kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi
seksual kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Dalam arti hukum Ujaran Kebencian adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya
tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun
korban dari tindakan tersebut. Kejahatan ujaran kebencian diatas dapat dilakukan melalui berbagai
media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial,
penyampaian pendapat dimuka umum(demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak
ataupun elektronik dan pamflet.

Perkembangan teknologi tidak hanya berupa memberikan dampak positif saja, namun juga
memberikan dampak negatif, tindak pidana penghinaan atau ujaran kebencian (hate speech), serta
penyebaran informasi di media sosial yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan antar individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras
dan antar golongan (SARA) dan perlu adanya tindak pidana yang jelas yang mampu menjadi efek
jera bagi pelaku.Lebih umum tindakan pidana tersebut mampu menjadi peringatan bagi
masyarakat untuk tidak melakukan tindakan ujaran kebencian terhadap individu maupun
golongan.

Ujaaran kebencian merupakan perilaku patologi menyimpang yang merugikan orang lain ataupun
kelompok.Ajakan tentang provokatif dan diskrimintif terhadap orang lain dan menimbulkan
kecemasan bagi masyarakat.Melalui teori pengendalian merupakan dasar seseorang melakukan
ujaran kebencian kurangnya kepekaan atas perbedaan poendapat dan minimnya nilai norma yang
dimiliki.Serta dalam penanganannya dibutuhkan penegakan pidana yang jelas agar menimbulkan
efek jera dengan tidak melupakan sosialisasi pendekatan masyarakat tentang ujaran kebenciaan
ataupun ungkapan pendapat yang baik tanpa menyinggung unsur lapisan yang ada dalam
masyarakat.

9
DAFTAR PUSTAKA

A.Yudha Prawira, Upaya Kepolisian dalam Menanggulangi Kejahatan Ujaran Kebencian (Hate Speech)

Berdasarkan Surat Edaran Kapolri NO.SE/06/X/2015, Skripsi (Bandar Lampung: Universitas Lampung,

2016

M. Choirul Anam dan Muhammad Hafiz, Surat Edaran Kapolri Tentang Penanganan Ujaran Kebencian

(Hate Speech) dalam Kerangka Hak Asasi Manusia (Jakarta: Jurnal Keamanan Nasional Pusat Kajian

Keamanan Nasional, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 2015

Tim Imparsial,Buku Pedoman Penanganan Ujaran Kebencian di Indonesia ,Jakarta 2017

Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, PT

Citra Aditya Bakti, 2002

Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajawali Pers, 2003

Kartini Kartono, b. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Rajawali Pres, Jakarta 1992

Burlian Paisol,Patologi Sosial,Bumi Aksara,Jakarta. 2015

Contoh kasus dikutip dari http://surabaya.tribunnews.com/2019/03/26/kronologi-pria-di-

trenggalek-ditangkap-polisi-diduga-melakukan-ujaran-kebencian-terhadap-tokoh-agama,tanggal

31/03/2019,pukul 17.18

10

Anda mungkin juga menyukai