Anda di halaman 1dari 17

Bagaimana hubungan usia, status kehamilan dengan kasus?

(primigravida dan cukup


bulan)
Pada kasus usia ibu, primigravida dan masa gestasi bukan faktor utama terjadinya sepsis.
Berat lahir memegang peran penting pada terjadinya sepsis neonatal.usia ibu tidak termasuk
usia ekstrim dalam kehamilan (20-35 tahun ).sepsi biasanya juga terjadi di persalinan preterm
Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas dari:
A. BB 10 1
3000 gram (normal)

B. PB
50 cm(normal)
C. Abdomen 10 1
Abdomen lemas dengan bising usus normal interpretasinya normal, distensi
abdomen biasanya di sebabkan oleh penggelembungan abdomen oleh cairan
atau udarabisa di sebabkan salah satunya oleh obstruksi.

D. Pewarnaan mekoneum pada tali pusat dan kulit


Menandkan bayisudah terhirup cairan mekonium yang telah bercampur
dengan air ketuban.

Bagaimana gejala klinis dari penyakit pada kasus? 10 1


Menurut Surasmi (2003), tanda dan gejala sepsis neonatorum biasanya tidak jelas dan non
spesifik. Tanda dan gejala dari sepsis neonatorum berupa tanda dan gejala umum seperti
hipertermia atau hipotermi bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak tampak sakit, berat badan
menurun tiba-tiba, terdapatnya tanda dan gejala gangguan saluran pernapasan seperti dispnea,
takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernapasan, merintih, mengorok, dan pernapasan cuping
hidung. 11
Neonatus memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria risiko mayor atau satu kriteria risiko
mayor ditambah dua kriteria minor. Faktor risiko mayor yaitu ketuban pecah dini>18 jam,
demam intrapatum >38 °C, korioamnionitis, ketuban berbau, denyut jantung janin >160x/menit.
Faktor risiko minor yaitu ketuban pecah dini>12 jam, demam intrapartum >37°C, skor APGAR
rendah, BBLSR, usia kehamilan <37 minggu, gemeli / kembar, keputihan dan infeksi saluran
kencing (Wilar, 2010).
Bayi didiagnosis sepsis berdasarkan adanya gejala klinik seperti letargi, reflek hisap menurun,
merintih, iritabel, kejang, terdapat gangguan kardiovaskuler, gangguan hematolitik, gangguan
gastrointestinal, gangguan respirasi waktu pengosongan lambung memanjang dan pemeriksaan
laboratorium seperti CRP>10mg/L, IT ratio≥0,25, leukosit <5000/μL atau >30.000/ μL dengan atau
tanpa biakan darah positip (Wilar, 2010).

Bagaimana tatalaksana dari penyakit pada kasus? 1 10


Penanganan awal adalah dengan membersihkan jalan nafas, jalan nafas dibersihkan dari
lendir atau sekret yang dapat menghalangi jalan nafas selama diperlukan, serta memastikan
pernafasan dan sirkulasi yang adekuat.Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan
menggunakan pulse oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi
dan ventilasi.Semua bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus
mendapatkan tambahan oksigen.Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan
telah dihangatkan Tujuan utama dalam penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin
kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah dengan komplikasi yang seminimal
mungkin.Hal ini dapat dicapai dengan menangani dan mengatasi etiologi gagal nafas.
Indikasi untuk memulai ventilasi mekanis pada pasien yang mengalami gagal nafas
biasanya didasari atas menetap atau memburuknya keadan klinis akibat proses pertukaran
gas di paru-paru yang terganggu
Sepsis neonatorum +tatalaksana

Sepsis Neonatorum
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia 0 sampai 28 hari. Neonatus dibagi menjadi dua
yaitu neonatus dini bayi baru lahir sampai berumur 7 hari dan neonatus lanjut bayi yang berumur
8-28 hari.
Definisi sepsis adalah sindrom/kumpulan gejala respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatary
Respons Syndrome-SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit
(Aminullah, 2014). Departemen Kesehatan RI (2007) mendefinisikan sepsis neonatus adalah
suatu sindrom klinis dari penyakit sistemik karena infeksi selama satu bulan pertama kehidupan
bayi yang disebabkan antara lain oleh bakteri, virus, jamur dan protozoa (Mohtar, 2005).
Sepsis neonatorum merupakan sindrom klinis bakteremia yang ditandai gejala dan tanda sistemik
terutama pada bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum dibedakan menjadi dua jenis yaitu
Sepsis Awitan Dini (SAD) timbul dalam 72 jam pertama kehidupan dan Sepsis Awitan Lambat
(SAL) yang timbul setelah 72 jam kehidupan (Jain, 2003).
Infeksi pada neonatus dapat terjadi pada saat fase antenatal yaitu infeksi yang berasal dari ibu
melewati plasenta dan umbilikus yang masuk ke janin, disebabkan oleh Streptococcus group B
(SGB). Infeksi disebabkan oleh virus 10
menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalokoksaki, influesa, parotitis.
Bakteri yang dapat melewati plasenta antara lain malaria, sipilis dan toxoplasma. Infeksi pada
fase intranatal yaitu infeksi yang berasal dari vagina yang sering menyebabkan ketuban pecah
dini lebih dari 18-24 jam. Hal ini dapat menyebabkan bayi terkontaminasi kuman melalui saluran
pernapasan ataupun saluran cerna (Aminullah, 2014). Cara lain yaitu saat persalinan, dimana
infeksi terjadi pada janin melalui kulit bayi atau port de entre yaitu saat bayi melewati jalan lahir
yang terkontaminasi oleh kuman misalnya herpes genetalia, candida albicans dan gonorrhea.
Infeksi yang didapat saat pascanatal yaitu infeksi yang terjadi sesudah kelahiran yang disebabkan
infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim (melalui alat-alat penghisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman (dot). Perawat atau tenaga kesehatan yang
bertugas memberikan asuhan kepada bayi, dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
Infeksi ini juga dapat melalui luka umbilikus (Surasmi, 2003).
2.2 Gejala Sepsis
Menurut Surasmi (2003), tanda dan gejala sepsis neonatorum biasanya tidak jelas dan non
spesifik. Tanda dan gejala dari sepsis neonatorum berupa tanda dan gejala umum seperti
hipertermia atau hipotermi bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak tampak sakit, berat badan
menurun tiba-tiba, terdapatnya tanda dan gejala gangguan saluran pernapasan seperti dispnea,
takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernapasan, merintih, mengorok, dan pernapasan cuping
hidung. 11
Neonatus memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria risiko mayor atau satu kriteria risiko
mayor ditambah dua kriteria minor. Faktor risiko mayor yaitu ketuban pecah dini>18 jam,
demam intrapatum >38 °C, korioamnionitis, ketuban berbau, denyut jantung janin >160x/menit.
Faktor risiko minor yaitu ketuban pecah dini>12 jam, demam intrapartum >37°C, skor APGAR
rendah, BBLSR, usia kehamilan <37 minggu, gemeli / kembar, keputihan dan infeksi saluran
kencing (Wilar, 2010).
Bayi didiagnosis sepsis berdasarkan adanya gejala klinik seperti letargi, reflek hisap menurun,
merintih, iritabel, kejang, terdapat gangguan kardiovaskuler, gangguan hematolitik, gangguan
gastrointestinal, gangguan respirasi waktu pengosongan lambung memanjang dan pemeriksaan
laboratorium seperti CRP>10mg/L, IT ratio≥0,25, leukosit <5000/μL atau >30.000/ μL dengan
atau tanpa biakan darah positip (Wilar, 2010).
2.3 Faktor Risiko Sepsis Neonaturum
2.3.1 Faktor sosiodemografi
2.3.1.1 Umur bayi
Penelitian yang dilakukan Jumah (2007), mendapatkan angka kematian akibat sepsis secara
signifikan lebih tinggi pada bayi berusia kurang dari tujuh hari dibandingkan pada bayi yang
berusia lebih dari tujuh hari (p<0,001). Lestari (2012) 12
mendapatkan proporsi kejadian sepsis di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada neonatal dini sebesar
83,3% dan pada neonatal lanjut 16,7%.
2.2.1.2 Jenis kelamin bayi
Bayi laki-laki beraktifitas lebih kuat daripada bayi perempuan, sehingga bayi laki-laki
memerlukan O2 lebih banyak, apabila kandungan O2 di dalam tubuh kurang menyebabkan
bakteri anaerob berkembang. Penelitian Simbolon (2008), tentang faktor risiko sepsis pada bayi
baru lahir di RSUD Curup Kabupaten Rejang Lebong terhadap 327 bayi lahir hidup, 117
diantaranya menderita sepsis neonatorum. Faktor risiko yang sering adalah jenis kelamin bayi
laki-laki berisiko 2 kali dibandingkan bayi perempuan OR=2.279, CI:1,143-4,546. Penelitian
Lestari (2012) menyebutkan proporsi kejadian sepsis neonatorum pada bayi dengan jenis kelamin
laki-laki 64,8% dan perempuan 35,2%.
2.2.1.3 Usia ibu
Usia ibu melahirkan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu remaja, usia produktif dan berisiko. Usia
remaja bila <20 tahun, produktif 20-30 tahun dan berisiko >35 tahun. Ibu melahirkan berusia
kurang dari 20 tahun sangat berisiko terhadap kematian bayi baru lahir, karena organ reproduksi
ibu yang berusia kurang dari 20 tahun masih matur/belum matang. Emosional juga belum stabil
serta masih tergantung pada orang lain. Kehamilan di atas usia 35 tahun tidak dianjurkan, karena
pada usia di atas 35 tahun selain sangat berbahaya juga karena usia ini ibu sering muncul
penyakit seperti hipertensi, penyakit degenerative pada persendian tulang belakang dan panggul.
Kematian terbanyak terjadi di RS Telogorejo Semarang adalah 13
pada usia ibu 30-34 tahun (37,5%) dan banyak mengalami kematian bayi. Umur ibu menjadi
faktor penting untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kematian bayi. Menurut Lestari (2012)
prosentase pasien dengan sepsis neonatorum berdasarkan karakteristik usia ibu adalah ibu dengan
umur <20 tahun 5,5%, ibu berumur 20-35 tahun 74% dan ibu berumur >35 tahun 20,4%.
2.2.1.4 Pendidikan ibu
Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di
dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Makin tinggi pendidikan seseorang,
makin tinggi pula kesadaran tentang hak yang dimilikinya, hal ini akan meningkatkan tuntutan
terhadap hak untuk memperoleh informasi, hak untuk menolak/menerima pengobatan yang
ditawarkan (Notoatmojo, 2007). Ibu dengan pendidikan yang cukup dinilai akan lebih banyak
mendapat informasi yang dibutuhkannya, sedangkan ibu berpendidikan tinggi diharapkan lebih
mudah menyerap suatu informaasi dan himbauan yang diterima. Hal tersebut memungkinkan ibu
dapat memilih serta menentukan tindakan terbaik dalam perawatan dan pemeriksaan kehamilan,
sehingga pendidikan yang paling berpengaruh dalam kehamilan adalah pendidikan ibu
(Simbolon, 2008). Sarwani (2011) mendapatkan ibu dengan pendidikan rendah mempunyai risiko
2,9 kali lebih besar bayinya mengalami kematian perinatal dibandingkan ibu yang berpendidikan
tinggi 95%CI:1,2-7,2. Penelitian Junara (2010) tentang insiden dan faktor yang berhubungan
dengan sepsis neonatus di RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan karakteristik ibu dengan
pendidikan SMA merupakan jumlah terbanyak 44,0%. 14
2.2.1.5 Pekerjaan ibu
Tanggung jawab dan tugas ibu adalah mengelola rumah tangga, mengasuh dan merawat anak,
tetapi banyak juga yang bekerja untuk membantu menopang kehidupan keluarganya, hal ini
merupakan ciri khas di negara berkembang. Ibu yang menjadi pekerja keras dengan masukan gizi
yang kurang selama kehamilannya akan menjadikan penyebab kelahiran dengan BBLR, salah
satu risiko terjadinya sepsis (Simbolon, 2008). Sarwani (2012) pada studi kasus determinan yang
memengaruhi kematian perinatal di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto mendapatkan proporsi
ibu yang bekerja adalah 50% dan yang tidak bekerja 50%.
2.2.1.6 Kelas perawatan ibu
Pembagian kelas perawatan rawat inap berkaitan dengan faktor sosial ekonomi masyarakat.
Beberapa jenis pembayaran kelas perawatan antara lain peserta umum dan peserta BPJS (Badan
Peserta Jaminan Sosial). Kementrian kesehatan saat ini mencanangkan kelas perawatan pelayanan
rawat inap berbeda untuk kelompok masyarakat yang berbeda. Kelas pelayanan rawat inap di
rumah sakit untuk peserta BPJS terbagi atas tiga kelas untuk lima kelompok peserta. Pembagian
kelas perawatan berdasarkan besaran iuran yang dibayar oleh kelompok peserta dan golongan
pangkat. Khusus masyarakat kurang mampu, kepesertaan BPJS pembayaran iurannya oleh
pemerintah dengan layanan rawat inap yang tersedia hanya dikelas III atau kelas terendah di
rumah sakit (kemenkes, 2011). Pada penelitian Sarwani (2011) di RSUD Margono Soekarjo
Purwokerto mendapatkan 15
bahwa penghasilan keluarga rendah berpengaruh terhadap kematian perinatal OR=6,6, 95%
CI:1,2-36,6.
2.3.2 Faktor klinis
2.3.2.1 Prematuritas
Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dengan
bayi berat lahir rendah. Hasil penelitian Sianturi (2012) mendapatkan pada pasien sepsis neonatus
kurang bulan dijumpai lebih banyak meninggal (72,7%) dibandingkan bayi cukup bulan atau
lebih (27,3%). Prematur menyebabkan kematian karena kekebalan neonatus yang kurang, selain
itu bayi prematur juga memerlukan rawat inap yang cukup panjang sehingga dapat meningkatkan
risiko infeksi nosokomial (Trotman, 2006).
Leal (2012) mendapatkan bayi yang mengalami prematur (umur kehamilan ≤ 37 minggu)
berisiko 1,35 kali mengalami sepsis dengan onset yang lama dan 2,19 kali untuk onset yang cepat
jika dibandingkan dengan yang cukup bulan 95%CI:1,41-3,40 dan 95%CI:0,57-3,18. Kardana
(2011) mendapatkan bayi yang mengalami prematur berpeluang 8,5 kali mengalami kematian
akibat sepsis dibandingkan dengan bayi lahir aterm RR=8,5, 95%CI:3,19-22,62.
2.3.2.2 Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak mampu bernapas secara spontan dan teratur.
Bayi yang mengalami asfiksia biasanya dengan riwayat gawat janin sebelum lahir. Asfiksia
sangat erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah
yang memengaruhi kesejahteraan bayi 16
selama atau sesudah persalinan. Leal (2012) mendapatkan bayi yang lahir dengan Apgar Score ≤5
berpeluang 1,4 kali lebih besar untuk mengalami sepsis dibandingkan bayi dengan apgar score>5
RR=1,4, 95%CI:1,19-1,76. Kejadian asfiksia menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir dengan
asfiksia berpeluang 2,96 kali lebih besar untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak
asfiksia (95%CI:1,43-6,15 ).
2.3.2.3 Apgar Score
Apgar score dapat digunakan untuk menilai respon resusitasi tetapi tidak untuk menentukan
apakah bayi memerlukan resusitasi, langkah mana yang dibutuhkan atau kapan kita
menggunakannya. Nilai apgar yang dinilai pada pada resusitasi tidak sama dengan nilai apgar
pada bayi baru lahir yang bernapas spontan (Dharmasetiawani, 2014). Menurut Leal (2012), bayi
yang lahir dengan apgar score ≤5 berpeluang 1,4 kali lebih besar mengalami sepsis dibandingkan
bayi dengan apgar score>5 RR=1,4 95%CI:1,19-1,76. Bayi yang baru lahir dengan asfiksia
berpeluang 2,96 kali lebih besar untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak asfiksia
(95%CI:1,43-6,15).
2.3.2.4 Bayi Berat Lahir rendah / BBLR
Bayi berat lahir rendah adalah adalah bayi dengan berat lahir kurang atau sama dengan 2500
gram saat lahir. Angka kematian tertinggi dan membutuhkan perawatan dan tindakan khusus
terjadi pada bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1500 gram. Pada bayi sepsis dengan berat
lahir kurang dari 1500 gram lebih banyak meninggal 27,3% dari pada berat lahir lebih 2.500 gram
18,2% (Sianturi,2012). Menurut Leal (2012), BBLR tidak signifikan berpengaruh terhadap
terjadinya sepsis 17
neonaturum baik pada onset lama maupun cepat RR=1,34 95%CI:0,74-2,42 dan RR=0,91,
95%CI:0,63-1,32. Prevalensi bayi sepsis pada penelitian Junara (2010) sebesar 56% dengan RR
=2,66 IK=1,03-6,90 artinya bahwa berat bayi lahir rendah 2,66 kali berisiko sepsis.
2.3.2.5 Kondisi air ketuban
Air ketuban pada dasarnya steril dan memiliki sifat bakteriostatik. Beberapa mekanisme
menghubungkan mekonium dengan infeksi air ketuban, diantaranya adalah perubahan sifat
antibakteri air ketuban dan peningkatan pertumbuhan bakteri. Penurunan respons imun pejamu
melalui penghambatan fagositosis dan neutrophiloxidative burst oleh mekonium telah dilaporkan.
Hubungan antara mekonium dengan infeksi ibu menyebabkan berbagai komplikasi yaitu infeksi
intra dan post partum yang meliputi korioamnionitis dan endometritis. Penelitian Odibo (Rini,
2010) menunjukkan adanya pertumbuhan kuman F. nucleatum, Enterobacter aerogenes, Group B
Streptococcus, Alpha hemolytic Streptococcus, Candida albicans, Escherichia coli dan
Mycoplasma hominis pada air ketuban. Hasil penelitian Evadson dan Nords (Rini, 2010)
membuktikan adanya peningkatan pertumbuhan Groub B Streptococcus pada air ketuban.
Mekonium dikaitkan dengan peningkatan insiden infeksi intra amnion karena dapat mengubah
sifat bakteriostatik pada air ketuban dan menghambat pertahanan imun dari inang. Menurut
penelitian Rini (2010), bayi yang lahir dengan air ketuban keruh berisiko 10 kali lebih tinggi
mengalami sepsis OR=10, 95%CI:1,3-74,0. Adanya kuman Gram(+) berisiko menyebabkan
sepsis sebesar 1,4 (95%CI:0,3-6,8) sedangkan adanya kedua jenis 18
kuman Gram (+) dan (-) meningkatkan risiko sepsis sebesar 2,4 (95%CI:0,7-7,7). Air ketuban
mengandung biakan E coli mempunyai risiko kejadian sepsis adalah 3,8 (95%CI:0,8-17,0) dan
biakan non E coli 2,4 (95%CI:0,4-13,1). Kuman dalam biakan darah berisiko 6,3 kali lebih tinggi
mengalami sepsis (95%CI:1,4-29,3).
2.3.2.6 Usia kehamilan/ Gestasi
Usia kehamilan adalah lama kehamilan dihitung dari hari pertama haid yang terakhir yaitu 280
hari atau 40 minggu. Usia kehamilan dibedakan atas kehamilan 36-40 minggu dari haid terakhir
disebut matur/aterem/cukup bulan, usia kehamilan 28-35 minggu disebut prematur dan usia
kehamilan >42 minggu disebut serotinus. Penelitian Roeslani (2013) di divisi perinatologi RSCM
Jakarta 2012 mendapatkan usia gestasi <37 minggu dengan presentase 63,3%, OR=55,85 (15,38-
240,27) berpengaruh terhadap faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum. Menurut Lestari (2012)
proporsi bayi sepsis berdasarkan usia kehamilan ibu adalah usia kehamilan kurang bulan 49,1%,
usia kehamilan cukup bulan 46,3% dan usia kehamilan lebih bulan 4,6%.
2.3.2.7 Gravida
Wanita yang sedang hamil atau Gravida terbagi atas dua bagian yaitu wanita yang hamil untuk
pertama kalinya/primigravida dan wanita yang pernah hamil lebih dari satu kali/multigravida
(Manuaba,1998). Menurut Junara (2012), berdasarkan data karakteristik dasar pada kejadian
sepsis pada kehamilan pertama merupakan jumlah terbanyak yaitu 52,8%. Leal (2012),
mendapatkan gravida berpengaruh terhadap 19
terjadinya sepsis, dimana multigravida berpeluang 2,5 kali dibandingkan ibu non gravida
RR=2,5, 95%CI:1,14-4,80.
2.3.2.8 Ketuban Pecah Dini /KPD
Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan amnion sebelum waktunya mulai persalinan, terjadi
sekitar 7-12% kehamilan. Ketuban pecah dini sering dikaitkan dengan sepsis neonatorum karena
berhubungan dengan infeksi genetalia bawah ibu hamil. Infeksi genetalia bawah ibu hamil dapat
menyebabkan ketuban pecah dini, demikian pula ketuban pecah dini dapat memudahkan infeksi
ascendens pada bayi (Indramawan, 2012).
Menurut Sumiyoga (2007) mendapatkan insidensi sepsis neonatorum pada KPD kehamilan aterm
adalah 4,4%, Remington (2012) mendapatkan KPD merupakan penyebab terjadinya prematuritas,
sebagai faktor risiko sepsis neonatorum dan kematian perinal. Menurut Leal (2012), KPD >24
jam memiliki peluang 3,38 kali untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak mengalami
KPD (RR=3,38, 95%CI:1,80-6,32). Ibu yang mengalami KPD memiliki peluang 7,5 kali berisiko
mengalami sepsis OR=7,595 95%CI:3,593-16,058 (Simbolon, 2008).
2.3.2.9 Faktor risiko infeksi mayor/minor
Faktor risiko infeksi meliputi faktor mayor dan faktor risiko minor. Seorang bayi memiliki risiko
sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor.
Faktor risiko mayor yaitu ibu demam intrapartum >38°C, KPD>24 jam, korioamnionitis, Fetal
Distress/Denyut Jantung Janin/DJJ>160x/menit, ketuban hijau. Faktor risiko minor yaitu
KPD>12 jam, 20
asfiksia, BBLSR (1500 gr), Usia kandungan <37 minggu, lahir kembar/gemeli, keputihan,
tersangka ISK, Ibu demam>37,5°C. Pada Penelitian Wilar (2010) mendapatkan dari semua faktor
risiko mayor dan minor, hanya KPD>18 jam yang berhubungan secara signifikan dengan sepsis
RR 1,41, IK95%1,24-1,59.
2.2.3 Faktor lingkungan
2.2.3.1 Cara persalinan
Riwayat persalinan adalah cara ibu melahirkan, yaitu dibagi antara persalinan spontan dan
persalinan dengan tindakan. Persalinan spontan adalah persalinan tanpa menggunakan alat bantu,
sedangkan persalinan dengan tindakan adalah melahirkan bayi dengan menggunakan alat bantu
antara lain ekstrasi cunam/ vakum dan seksio sesaria. Bayi yang dilahirkan dengan tindakan
berisiko mengalami sepsis neonatorum karena infeksi dapat diperoleh dari lingkungannya seperti
alat-alat penolong persalinan yang terkontaminasi. Penelitian Lihawa (2013) menyebutkan
persentase jenis persalinan pada kejadian sepsis neonatorum adalah persalinan spontan 3,9%,
persalinan seksio sesarea 5,6%, persalinan dengan ekstraksi vakum 10,5%. Bayi yang lahir
dengan tindakan berisiko 2,142 kali mengalami sepsis neonatorum daripada bayi yang lahir
secara normal, OR=2,142, 95%CI:1,047-4,385 (Simbolon, 2008). Berbeda halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kardana (2011), dikatakan bahwa bayi lahir spontan dan tidak
spontan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian sepsis RR=0,84, 95%CI:0,49-1,44.
2.2.3.2 Pemeriksaan kehamilan(Ante Natal Care/ANC) 21
Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan ibu selama hamil. Ante natal care dilakukan mulai dari
trimester pertama sampai akan melahirkan bertujuan untuk memantau keadaan ibu hamil dan
janinnya, mendeteksi secara dini kelainan yang terjadi pada ibu dan janin dan menemukan ibu
hamil yang bermasalah, mempunyai risiko tinggi, agar kematian ibu dan janin dapat dihindari.
Bayi yang lahir dari ibu yang tidak melakukan ANC mempunyai kemungkinan 4 kali kematian
neonatal daripada bayi yang lahir dari ibu yang melakukan ANC OR=4,49, CI:1,39-14,44
(Sukamti, 2011).
2.2.3.3 Tempat persalinan
Banyak persalinan bayi dilakukan bukan pada fasilitas kesehatan dan tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang terlatih (penolong persalinan). Kejadian ini banyak terjadi di negara berkembang,
sedang proses persalinan yang dibantu tenaga kesehatan hanya 50 % dari semua wanita hamil
(Lawn, McCarthy & Ross, 2001). Penelitian Sukamti (2011) mendapatkan tempat presentase
terbesar adalah persalinan yang dilakukan di rumah yaitu 43,2%, persalinan di bidan praktek
sebesar 29%, pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 56,5%.
2.2.3.4 Penolong persalinan
Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan pelayanan persalinan yang aman yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penanganan medis yang
tepat dan memadai selama melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi yang bisa
menyebakan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS, BKKBN, Kemenkes& ICF
International, 2013). Komplikasi dan kematian ibu serta 22
neonatal terjadi pada masa persalinan, sehingga intervensi ditekankan pada kegiatan pertolongan
persalinan yang aman yaitu oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 2001). Djaja (2009) pada
penelitian tentang kematian neonatal di Indonesia mendapatkan bahwa proporsi ibu yang
melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 57,2% menjadi 73,6%.
2.2.3.4 Riwayat tindakan di rumah sakit
Tindakan invasif di rumah sakit adalah tindakan atau prosedur yang dilakukan baik untuk
membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan terapi yang dapat menyebabkan
pasien cukup rentan terkena infeksi nosokomial. Tindakan invasif antara lain prosedur diagnostik,
pemasangan infus, kateter urine (Utama,2006). Pada penelitian Leal (2012), mendapatkan bayi
yang mendapatkan ventilasi mekanik berpeluang untuk mengalami sepsis RR=2,71, 95%CI:1,56-
4,69. Bayi yang mengalami komplikasi pernapasan berpeluang untuk mengalami sepsis 16,36
kali, 95%CI:3,39-78,91. Bayi yang memperoleh tindakan operasi berpeluang mengalami sepsis
28,97 kali 95%C:I6,99-120. Utomo (2010), mendapatkan faktor risiko bayi yang dilakukan
suction berpeluang mengalami sepsis 1,89 kali (OR 1,895, 95%C:I2,180-3,303). Penelitian
Lestari (2012) riwayat persalinan dengan tindakan sebesar 82,6% dan persalinan normal sebesar
82,3%.
2.2.3.5 Sumber rujukan
Sumber rujukan merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan sepsis karena selama periode
rujukan menambah kemungkinan terjadinya paparan suhu lingkungan pada bayi selama
perjalanan. Bayi sepsis mempunyai komplikasi 23

hipotermi lebih besar, apalagi bila system rujukan dilakukan kurang baik dan benar. Berdasarkan
data di RSUD Kabupaten Tapanuli selatan selama tahun 2012 bayi yang dirujuk dengan sepsis
sebesar 29,5%, (Simbolon, 2008). Lestari, dkk (2012) mendapatkan karakteristik bayi dengan
sepsis neonatorum yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010-2011,
proporsi asal rujukan dari RS lain, rujukan dari bidan/klinik dan bukan rujukan yaitu masing –
masing 32,4%, 31,5% dan 36,1%. Rumah sakit umum pusat Sanglah pada bulan Agustus-
Desember 2013 terdapat 124 rujukan, sedang pada bulan Januari-Mei 2013 sebesar 68 rujukan.
Siswanto (2007) mendapatkan angka kematian bayi yang disebabkan infeksi atas septikimia
terutama pada bayi dengan berat badan lahir rendah berdasarkan dirujuk dari luar atau tidak
lebih banyak 2,2 kali pada kasus rujukan.

Anda mungkin juga menyukai