Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis
saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi
obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses
inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier
ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau
bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi
dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya
kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson,
1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80%
- 90% kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1 dalam
25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau genetik
kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan Suchy, 1996;
Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier sebanyak 5 dari 100.000
kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6
dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari
100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan
dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia
bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia
bilier di dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%),
Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia
bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003
tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat
kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004
ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96
penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita
atresia bilier ( Widodo J, 2010).
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung
empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran
empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan
perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka
empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan
mata akibat tingginya kadar bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan
kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai
terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi
pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila dilakukan
setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik adalah mengganti
saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain itu,terdapat beberapa
intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier.
Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi
tindakan yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien.
(Donna L. Wong, 2008)

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dasar penyakit atresia bilier ?
2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit atresia bilier.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Penyakit


Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris

1. Anatomi Sistem Biliary

Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen


daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi
empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang
membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-
unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar
hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi hati.

Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus


hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke
saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus
hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu
bergabung untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang akan
mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum
di kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat sambungan
(junction) di mana duktus koledokus memasuki duodenum.

Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah


pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm,
terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati
dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun
dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat
duktus sistikus.

a. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah
pear,memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat
terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah
lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi
hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi
4 area secara anatomi yaitu fundus, leher, corpus, dan infundibulum.
Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar,
strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang
kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah
lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk Hartmann’s
pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung
kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu
dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum
dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus. Epitel yang
berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan
ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan
yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan
penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu
ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung empedu yang
menempel pada hepar. Kandung empedu dibedakan secara histologis dari
organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan muskularis mukosa dan
submukosa yang sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari
cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun
hampir selalu di temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area yang dibatasi
oleh Ductus sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas hepar (segitiga
Calot). Ketika arteri sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu,
akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena
kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju
vena besar sistika menuju vena porta. Aliran limfe kandung empedu akan
menuju kelenjar limfe pada bagian leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya
adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus
biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic
memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus vagus
memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus biliaris dan
hepar.

b. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan
dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air
dan elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat,
dan juga mengandung dalam jumlah yang berati beberapa substansi seperti
lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu
dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian
dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi
empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu
proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah
terjadi konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan
glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan
kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak
dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk proses pencernaan dan
penyerapan yang efisien. Kemudian garam empedu akan diserap kembali,
terutama dalam ileum distal, ke dalam darah portal untuk kembali ke hati
dan sekali lagi diekskresikan ke dalam empedu. Lintasan hepatosit empedu
intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit dinamakan sirkulasi
enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh
garam empedu yang masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil yang
akan diekskresikan ke dalam feses. Keadaan ini menurunkan kebutuhan
terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.

c. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh
sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari
hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi
kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat yang
membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin
terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di
dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang
sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi
lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari
urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan
diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi enterehepatik).
Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan diekskresikan oleh
ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam empedu menggambarkan
jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat
penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam
saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang
berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki
intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.

d. Fungsi Kandung Empedu


Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu.
Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang
diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama
penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding
kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat
lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan pertama
kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi
kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini
diantarai oleh sekresi hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari
dinding usus.
2. Sistem Bilier terbagi atas :

a. Intrahepatik
Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan
duktuli biliaris intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel
kuboid atau sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya
jaringan konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin
besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya.
Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
b. Ekstrahepatik
Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang
berada di dalam ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis
terdiri atas sel epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu
juga terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas
sejumlah serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf.
Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :
1) Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika
dari kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari
duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm. Biasanya
duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih mudah dilatasi
bila terjadi obstruksi di bagian distal.
2) Duktus Hepatikus Komunis
Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus
hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 %
kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah dari porta
hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.

3) Duktus sistikus
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan
bergabung dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus
sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata 1-3
mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan seperti
bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister. Valvula
ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps
dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus
dan berfungsi dalam menghambat masuknya batu empedu ke dalam
duktus koledokus.
4) Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus
dengan duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5
cm, namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang duktus
sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6
mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal.
Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan berada
di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu pada bagian
anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri hepatika
komunis ascendens.
Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama
duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan
sepanjang permukaan inferior duodenum, kemudian berpindah dari
kanan ke kiri dan berada tepat di kanan dari arteri gastroduodenal.
Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari
batas bawah dari bagian awal duodenum ke dinding posteromedial
dari bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke dalam
dinding duodenum.
Segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan
miring sepanjang dinding duodenum bersama dengan duktus
pankreatikus.
5) Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus
koledokus dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini
bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 % kasus,
sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada
pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus pada
29 % kasus.
6) Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula
dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang dikenal
sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok
serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus.
Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini
dan terjadi relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin
dan parasimpatis.

c. Sistem Vaskularisasi
Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari
beberapa tempat, diantaranya; Duktus hepatis dan segmen
supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran darah dari cabang
kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus koledokus
disuplai oleh cabang retroduodenal dan posterosuperior dari arteri
pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal
divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.

2.2 Definisi
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya
proses inflamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstrahepartik sehingga terjadi hambatan aliran empedu
(kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar, dkk, 2009).
Atresia Bilier adalah suatu penghambatan didalam pipa/ saluran-saluran yang
membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat
kelahiran. Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan
fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada
akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008).

2.2 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya
kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali organ pada
30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa
atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa
karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk
janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa,
atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup
janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat
mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
1. Infeksi virus atau bakteri
2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3. Komponen yang abnormal empedu
4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5. Hepatocelluler dysfunction
2.3 Manifestasi Klinis
Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran
serupa dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar akan
membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi lemak. Gejala
yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa: Air kemih
bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah dengan konsentrasi
tinggi masuk ke dalam urin), tinja berwarna pucat / acholic (karena kurangnya
bilirubin yang diserap), kulit berwarna kuning, berat badan tidak bertambah atau
penambahan berat badan berlangsung lambat, hati membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan, gatal-gatal, rewel, tekanan darah tinggi pada vena porta
(pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang
menyebabkan warna kuning pada kulit dan bagian putih mata.. Jaundice
disebabkan oleh hati tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah.
Biasanya, bilirubin diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu. Namun,
penyumbatan saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen lain dari empedu
terakumulasi dalam darah. Bayi akan menunjukan kondisi normal pada saat lahir
tetapi dalam perkembangannya menunjukan jaundice (kulit dan sclera mata
berubah menjadi kuning), warna aurin yang pekat, dan warna feses yang cerah
dalam minggu pertama kehidupan. Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur 1
bulan dapat dipastikan terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan darah
(diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi).
Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan kekurangan drainase , abdomen
menjadi sangat tegang, dan perbesaran dikarenakan peningkatan ukuran hati. Jika
hal ini terjadi, bayi akan menjadi rentan dan kehilangan berat badan (meskipun
pertambahan cairan akan menutupinya ).

2.4 Klasifikasi
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
1. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-
saluran ekstrahepatik empedu paten.
2. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini
dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.
Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.

Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:

1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis,
segmen proksimal paten
2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis,
duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, kandung empedu normal
4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai
ke hilus
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable)
sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non
correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

2.5 Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :
1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
2) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase (untuk
mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom
P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase
(menginduksi aliranempedu).
Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian
susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder

b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam


ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam
litokolat yang hepatotoksik.

2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides
(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat
metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan secara
efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai oleh
organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh.
Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti
vitamin A, D, E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang
mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin
dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan
langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan
pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini
hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi
untuk atresia bilier dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat
secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah
organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara alami tanpa perlu obat
dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2 bulan. Anak-anak
dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga dewasa, beberapa
bahkan telah mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan
kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak
dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang
dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus
cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian
dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver"
transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier.
Berdasarkan treatment yang diberikan :
1) Palliative treatment
Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu
dengan mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi
kegagalan hati.
2) Supportive treatment
a) Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang
berperan dalam pembekuan darah dan apabila kekurangan
vitamin K dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan
kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada selada,
kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau
tua adalah sumber terbaik vitamin ini.
b) Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia
bilier mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam usus
sehingga menyebabkan lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan makanan yang
mengandung medium chain triglycerides (MCT) seperti minyak
kelapa.
c) Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi
toksik yang menyebar ke dalam darah dan kulit yang
mengakibatkan gatal (pruiritis) pada kulit.
d) Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga
turut membantu dalam memberikan stimulasi perkembangan
dan pertumbuhan klien.

2.6 Pemeriksaan penunjang


Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya
diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui
fungsi hati (darah,urin, tinja).
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai
parenkim hati.
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang
diagnosis atresia bilier.

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar
komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia
fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji
fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak
sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali
dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu
kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis
ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak
menyingkirkan kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan
gamma-GT, bilirubin serum total atau bilirubin direk, dan
alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan
atresia bilier.
1) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya
pada pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam
urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran
empedu total.
2) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi
warna pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena
adanya sumbatan.
3) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan :
protombin time, partial thromboplastin time.
b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya
diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa
pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja.
Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu
hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah
60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum
dapat menentukan adanya atresia bilier.

2. Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan
dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada
keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau
sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia
bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal
duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya
ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier. Namun
demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan
atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.

b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital
5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada
kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung
lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia
bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus
lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis
intrahepatik yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke
duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik
(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks
hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier,
sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya
atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan
DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan
bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah
menggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c. Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA
(Hepatobiliary Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada
jalur dari empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana
ada blokade pada aliran empedu.
d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna
untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis intrahepatik.
Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan
pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini
pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.

3. Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat
diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%, sehingga dapat membantu pengambilan
keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan
untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi
Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus
hati. Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu
dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen
section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah
portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini.
Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler
(gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi
tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan
untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

2.7 Diagnosa Banding

Anda mungkin juga menyukai