Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat
menyerang berbagai organ terutama paru-paru (PUSDATIN, 2015). TB
diperkirakan sudah ada sejak 5000 tahun sebelum masehi, namun
dalam penemuan dan pengendalian penyakit ini terjadi dalam dua
abad terakhir. Sumber penularan TB paru yaitu pasien TB Bakteri
Tahan Asam (BTA) positif melalui percikan dahak yang dikeluarkan
oleh pasien tersebut. TB ditularkan melalui udara (melalui percikan
dahak pasien TB). Ketika seseorang yang sakit TB batuk, bersin,
berbicara atau meludah, mereka memercikkan kuman TB atau bacilli
ke udara. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan
menghirup sejumlah kecil kuman TB. Seseorang yang terdiagnosis TB
dengan status TB Basil Tahan Asam (BTA) positif dapat menularkan
sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya.
Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Kemenkes RI,
2013).
Sejak tahun 1993, World Health Organization (WHO)
menyatakan bahwa tuberkulosis paru (TB paru) merupakan
kedaruratan global bagi kemanusiaan (Kemenkes, 2011). Prevalensi
TB paru secara global masih tinggi yaitu 289 per 100.000 penduduk
(Kemenkes, 2009). Angka prevalensi TB paru pada tahun 2008 di
negara-negara anggota Association of Southest Asian Nation
(ASEAN) berkisar antara 27 sampai 680 per 100.000 penduduk.
Indonesia berada pada urutan ke-9 dengan prevalensi TB paru 210
per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2010).

1
Data World Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa
Asia menduduki peringkat tertinggi di dunia. Indonesia sendiri
menduduki peringkat kedua tertinggi di Asia dengan jumlah kasus
baru 60%. Berdasarkan hasil survei TB oleh Kementerian Kesehatan
RI tahun 2013, secara umum angka notifikasi BTA positif baru dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2015,
notifikasi kasus untuk semua kasus sebesar 117 kasus per 100
penduduk. Global Report WHO tahun 2010 melaporkan total seluruh
kasus TB paru tahun 2009 di Indonesia sebanyak 294.731 kasus,
dimana 169.213 adalah kasus TB paru baru Basil Tahan Asam positif
(BTA positif) (PPTI, 2012). Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
melaporkan bahwa proporsi pasien TB paru BTA positif diantara
suspek pada tahun 2011 sebesar 10% dan proporsi TB paru BTA
positif diantara seluruh pasien TB paru menurun 1,0% dari 61% di
tahun 2010 menjadi 60% pada tahun 2011 (Kemenkes, 2012).
Angka kejadian TB paru menyumbang terhadap tingginya
angka kematian di Indonesia. Berdasarkan laporan pusat data dan
surveilans epidemiologi Indonesia diketahui bahwa setiap tahun
terdapat 8 juta kasus baru penderita TB paru dan angka kematian TB
paru sekitar 3 juta orang setiap tahunnya. Sekitar 75% penderita TB
paru adalah kelompok umur yang produktif (15-50 tahun). Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20%-30%. Jika penderita TB paru meninggal akibat TB paru,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun (Kemenkes,
2010). Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun 2013
berdasarkan umur cenderung meningkat dimana umur terbanyak pada
kelompok umur lebih dari 64 tahun (prevalensi=0,8%) (Riskesdas,
2013). Perbedaan hasil berdasarkan kelompok umur ini kemungkinan
terjadi karena metode pengumpulan data dan sumber data. Data

2
laporan pusat data dan surveilans epidemiologi Indonesia didapatkan
dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia,
sedangkan data Riskesdas 2013 didapatkan dari komunitas.
Distribusi kejadian TB di Indonesia pada tahun 2013
berdasarkan jenis kelamin sebagian besar berjenis kelamin laki-laki
(prevalensi=0,4%) (Riskesdas, 2013). Berdasarkan tingkat pendidikan,
kebanyakan penderita TB paru berpendidikan rendah dan sebagian
besar tidak bekerja (Riskesdas, 2013). Proporsi kasus baru BTA positif
menurut jenis kelamin di Indonesia pada tahun 2005 sampai 2008
tidak banyak berubah, laki-laki berkisar 57- 59% dan perempuan 40-
43% (Depkes, 2008). Penelitian yang dilakukan di Pati (Rusnoto,
2008) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi umur
responden TB paru diatas 45 tahun (69,8 %) lebih besar dari usia
antara 15-45 tahun (37,7 %) baik pada kasus maupun kontrol, proporsi
pendidikan terakhir responden yang paling banyak adalah tidak tamat
SD sebesar 31,1% dan proporsi kelompok TB paru yang
berpenghasilan tidak tetap 81,1 %. Penelitian yang dilakukan di NTB
(Ketut, 2013) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa proporsi
untuk jenis kelamin lebih banyak berjenis kelamin laki-laki pada kasus
maupun pada kontrol.
Menurut Riskesdas tahun 2013, jumlah penderita TB paru di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) berada pada posisi ke 10 dari 33
Provinsi. Data Profil Kesehatan Kota Kupang tahun 2015 menyatakan
bahwa TB paru di Provinsi Nusa Tenggara Timur jika dilihat dari angka
keberhasilan pengobatan TB (succes rate) secara nasional (National
Succes rate) tidak mencapai target yang sesuai baik pada tahun 2014
(91,04%) maupun 2015 yakni (86,83%), sedangkan target nasional
adalah 100%. Jumlah seluruh kasus TB (Case Notification
Rate)/CNR di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2015, CNR

3
tertinggi adalah Kota Kupang yakni 683 kasus, dengan kasus
terbanyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki. Hasil survei lima tahun
terakhir (2011-2015) menunjukkan adanya kenaikan kasus TB
yang signifikan di wilayah Kota Kupang. Menurut data oleh Dinas
Kesehatan Kota Kupang, kasus baru tuberkulosis pada tahun 2016
mencapai 343 kasus dan pada tahun 2017 kasus tuberkulosis
meningkat menjadi 359 kasus di Kota Kupang.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Derectly
Observed Treatment Short-course) sebagai strategi penanggulangan
secara ekonomis paling efektif (cost effect), yang terdiri dari 5 (lima)
elemen kunci yaitu : 1) Komitmen politis; 2) Pemeriksaan dahak
mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan jangka pendek
yang standar bagi semua kasus TB dengan tata laksana kasus yang
tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan; 4) Jaminan
ketersediaan OAT yang bermutu, dan 5) Sistem pencatatan dan
pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
TB paru merupakan penyakit dengan beberapa faktor risiko,
salah satu faktor risikonya adalah merokok. Data dari Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) menunjukkan bahwa
mereka yang merokok (termasuk mereka yang masih merokok dan
yang telah berhenti merokok) mempunyai risiko menderita TB 3 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.
Paparan tembakau baik secara aktif maupun pasif dapat
meningkatkan risiko terkena sakit TB. Risiko terkena TB akan
meningkat 9 kali lipat bila ada 1 perokok dalam satu rumah (Kemenkes
RI, 2013a). Merokok dapat mengganggu efektifitas sebagian
mekanisme pertahanan respirasi. Hasil dari asap rokok dapat
merangsang pembentukan mukus dan menurunkan pergerakan silia.

4
Dengan demikian terjadi penimbunan mukosa dan peningkatan risiko
pertumbuhan bakteri termasuk M. Tuberculosis sehingga dapat
menimbulkan infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Gajalakshmi et
al. (2003) di Chennai, India menunjukkan bahwa 50% kematian akibat
TB berhubungan dengan kebiasaan merokok pada pria dewasa.
Separuh dari kematian karena TB paru pada laki-laki disebabkan
merokok dan 3,25 dari perokok berkembang menjadi penderita
tuberkulosis paru. Merokok merupakan faktor risiko yang penting
dalam perkembangan TB. Penelitian yang dilakukan di India
(Kolappan, 2002) dengan desain kasus kontrol melaporkan bahwa
orang yang merokok tembakau memiliki risiko 2,48 kali lebih besar
terkena TB paru dibanding orang yang tidak merokok. Sedangkan
penelitian yang dilakukan di Indonesia (Rusnoto, 2008) dengan desain
yang sama melaporkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan
merokok berisiko 2,56 kali lebih besar bersiko terkena TB paru
dibanding orang yang tidak pernah merokok. Hasil penelitian lain yang
dilakukan di Afrika Selatan (Boon, 2005) dengan desain Cross
Sectional melaporkan bahwa perokok atau mantan perokok memiliki
risiko 1,99 kali lebih besar berisiko terkena TB paru dibanding orang
yang tidak pernah merokok. Penelitian yang dilakukan di Hongkong
(Leung, 2008) dengan desain Kohort melaporkan bahwa perokok
memiliki risiko 2,87 kali lebih tinggi berisiko terserang TB paru
dibanding orang yang tidak pernah merokok. Sedangkan penelitian
yang dilakukan di Kuwait (Abal, 2004) dengan desain kohort
melaporkan bahwa merokok tidak berisiko mempengaruhi konversi
BTA TB paru. Selain itu hasil penelitian Romlah (2015) tentang
hubungan merokok dan TB paru dengan desain kasus kontrol
membuktikan bahwa orang yang merokok memiliki risiko terkena TB
paru 42,2% dibandingkan yang tidak merokok

5
Berdasarkan penelitian Dewi (2016) menunjukkan bahwa angka
keberhasilan pengobatan TB paru di Puskesmas Sikumana sebesar
80,43%. Angka ini tergolong rendah dibandingkan puskesmas dengan
jumlah kasus TB paru terbanyak lainnya di Kota Kupang, seperti
Puskesmas Oesapa sebesar 84,44% dan Puskesmas Alak sebesar
88,89%(27).
Berdasarkan pemaparan di atas, secara umum ternyata
perokok lebih sering mengalami penyakit TB paru dan kebiasaan
merokok memegang peran penting.Oleh karena itu, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai hubungan kebiasaan merokok
dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas
Sikumana Kota Kupang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah
yang akan diteliti yaitu apakah ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Sikumana Kota Kupang.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian penyakit
TB paru di wilayah kerja Puskesmas Sikumana Kota Kupang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya proporsi merokok (status merokok, usia mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok, jenis
rokok) dan karakteristik (IMT, umur, jenis kelamin, tingkat

6
pendidikan dan jenis pekerjaan) pada kasus dan kontrol di
wilayah kerja Puskesmas Sikumana Kota Kupang.
2. Diketahuinya hubungan merokok (status merokok, usia
mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap, lama merokok
dan jenis rokok) dengan kejadian penyakit TB paru di
wilayah kerja Puskesmas Sikumana Kota Kupang.
3. Diketahuinya hubungan karakteristik individu (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan IMT)
dengan kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja
Puskesmas Sikumana Kota Kupang.

Anda mungkin juga menyukai