Anda di halaman 1dari 10

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11

PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI INDONESIA


5-6 SEPTEMBER 2018, GRAHA SABHA PRAMANA

Tabel 3. Sifat indeks dan mekanik batuan


STA Kode w (%) ρb ρd Gs e n (%) S (%) natural dry unit saturated UCS
sampel (gram/cm3) (gram/cm3) unit weight, unit weight,
weight, γ γdry γsat
(kN/m3) (kN/m3) (kN/m3)
STA 10 BA-01 16,3 2,35 1,87 2,53 5,76 85,12 7,14 23,01 18,37 2,82 3,04

STA 30 BA-02 24,2 2,03 1,75 2,89 7,62 88,09 9,16 19,89 17,13 2,70 2,30

STA 11 BA-03 25,7 2,50 1,84 2,58 5,02 83,25 12,94 24,52 18,02 2,78 1,49

STA 4 BA-04 25,9 2,40 1,62 2,83 17,45 94,24 4,44 23,51 15,89 2,60 4,68

STA 44 BA-05 18,5 1,68 1,13 2,02 12,06 92,24 3,15 16,46 11,11 2,12 1,53

STA 37 BA-06 24,5 1,77 1,27 2,64 14,25 92,61 4,97 17,32 12,46 2,25 4,47

245
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

FORAMINIFERA BENTONIK SEBAGAI BIOINDIKATOR PERAIRAN KAWASAN


KARST PULAU MUNA SULAWESI TENGGARA BERDASARKAN FORAM INDEX

Kristopanus Patiung Lantemona1*


Arief Budiman Ustiawan2
Anis Kurniasih3
Asyuara Farah Maudysha4
Jose Prima Boang Manalu5
1
Departemen Teknik Geologi, FakultasTeknik, Universitas Diponegoro
2
Departemen Teknik Geologi, FakultasTeknik, Universitas Diponegoro
3 Departemen Teknik Geologi, FakultasTeknik, Universitas Diponegoro
4
Departemen Teknik Geologi, FakultasTeknik, Universitas Diponegoro
5
Departemen Teknik Geologi, FakultasTeknik, Universitas Diponegoro
*corresponding author: krisstopanus.pl@gmail.com

ABSTRAK

Pulau Muna merupakan salah satu pulau yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara antara 4°15’ –
5°15’ Lintang Selatan dan 122°30’ - 123°15’ Bujur Timur yang secara geologi merupakan salah satu
kawasan karst yang ada di Indonesia. Kawasan karst merupakan suatu kawasan yang umumnya
tersusun atas batugamping yang erat kaitannya dengan keterdapatan foraminifera. Selain didukung
dengan kondisi geologi tersebut, pulau yang langsung terhubung dengan laut yang berasosiasi dengan
terumbu karang menjadikan kawasan ini layak dijadikan lokasi untuk studi foraminifera baik yang
hidup di masa lampau maupun foraminifera resen. Studi foraminifera bentonik resen dapat dijadikan
sebagai bioindikator perairan yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi lingkungan terumbu
karang dalam upaya konservasi terumbu karang. Total 4 sampel sedimen resen dari perairan Pulau
Muna pada bagian utara (U1), tengah (T1, T2) dan selatan (S1) pulau diambil menggunakan grab
sampler saat kondisi laut surut pada kedalam 4-7 meter. Foraminifera bentonik dipisahkan dengan
material sedimen melalui tahap preparasi dan picking pada material yang tertahan pada ayakan mesh
100. Dari hasil analisis foraminifera bentonik menunjukkan nilai FORAM Index yang berbeda pada
tiap titik pengambilan sampel. Pada bagian utara (U1) memiliki nilai FORAM indeks 4.95, bagian
tengah (T1) bernilai 5.62, (T2) bernilai 6.7, dan bagian selatan (S1) bernilai 7.02. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa semakin ke arah selatan pulau nilai FORAM Indeks semakin besar. Semakin
besar nilai FORAM Indeks menunjukkan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan
terumbu karang atau tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu karang sehingga cocok untuk
dijadikan wilayah konservasi terumbu karang.
Kata Kunci : foraminifera bentonik, perairan pulau muna, foram index

1. Pendahuluan
Pulau Muna secara administrative Terletak di ujung pulau di Sulawesi bagian
Tenggara. Pulau Ini terletak di garis khatulistiwa pada garis lintang 4º06 - 5.15° LS dan garis
Bujur 120.00° – 123.24° BT.Secara geologi,pulau ini merupakan salah satu kawasan karst
yang ada di Indonesia Kawasan karst merupakan suatu kawasan yang umumnya tersusun atas
batugamping yang erat kaitannya dengan keterdapatan foraminifera. Pulau yang langsung
terhubung dengan laut yang berasosiasi dengan terumbu karang menjadikan kawasan ini layak
dijadikan lokasi untuk studi foraminifera baik yang hidup di masa lampau maupun
foraminifera resen. Sehingga perlu adanya monitoring terhadap berbagai perubahan
lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu selain bertujuan untuk mengetahuinkandungan dan
penyebaran foraminifera bentik di lokasi penelitian dan faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhinya, penelitian ini juga dimaksudkan sebagai monitoring terhadap kondisi
lingkungan perairan sekitar Pulau Muna.
246
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Foraminifera merupakan salah satu partikel dalam sedimen dasar laut yang
keberadaannya dapat menunjukkan lingkungan tempatnya hidup. Berdasarkan ukurannya,
foraminifera dapat dibagi menjadi foraminifera bentonik kecil berukuran rata-rata 1 mm dan
foraminifera bentonik besar yang berukuran lebih dari 1 mm. Jenis-jenis foraminifera yang
berasosiasi dengan terumbu antara lain Acervulina inhaerens, Ammonia beccarii,
Amphistegina lessonii, Archaias angulatus, Clavulina tricarinata, Cibicides refulgens,
Elphidium advenum, dan Elphidium sagrum (Javaux dan Scott, 2003). Sedangkan menurut
Nobes dan Uthicke (2008) beberapa genera yang biasa terdapat pada Great Barrier Reef
antara lain Alveolinella, Amphistegina, Calcarina, Heterostegina, Marginopera, Peneroplis,
dan Sorites sebagai genera yang bersimbiosis dengan alga. Cara hidupnya adalah
menempelkan diri pada sedimen, batuan, tumbuh-tumbuhan laut dan karang yang berada di
dasar perairan. Akibatnya foraminifera bentik sangat sensitive terhadap berbagai perubahan
lingkungan seperti temperatur, salinitas, cahaya, kedalaman, kandungan oksigen, dll.
(Boltovskoy dan Wright, 1976), sehingga merupakan indicator lingkungan yang sangat
potensial lingkungan perairan sekitar terumbu karang semenjak ditemukannya formula dari
Hallock dkk., 2003 yang dikenal dengan Indeks FORAM (FI). Nilai tersebut menunjukkan
bahwa semakin ke arah utara pulau nilai FORAM Indeks semakin besar. Tujuan penelitian
untuk mengetahui tingkat kelayakan lingkungan terhadap pertumbuhan terumbu karang
berdasarkan komposisi penyebaran foraminifera bentik yang terdapat di Pulau Mauna,
Sulawesi Tenggara.

2. Metode Penelitian
Analisis sedimen resen dilakukan pada 4 titik sampel yaitu bagian utara (U1), tengah
(T1,T2) dan selatan (S1). Sampel sedimen diambil menggunakan grab sampler pada
kedalaman 4-7 meter. Sample dipreparasi dengan dicuci dan dikeringkan. Selanjutnya sample
diayak dengan mesh 100. Foraminifera bentonik dipisahkan dengan material sedimen dengan
cara picking. Setiap titik lokasi didapatkan sekitar 300 foraminifera bentonik menggunakan
mikroskop binokuler.
Dilakukan perhitungan nilai FORAM (Foraminifers in Reef Assesment and Monitoring)
Index (FI) berdasarkan formula HALLOCK drr, (2003) dan Dewi drr (2010)
FI = (10×Ps) + (Po) + (2×Ph)
Keterangan:
FI = FORAM Index
Ps = Ns/ T (“s” adalah jumlah individu genera foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu
karang: Amphistegina, Heterostegina, Alveolinella,Borelis, Sorites, Amphisorus,
Marginophora.
Po = No/T (“o” adalah jumlah individu genera foraminifera oportunis: Ammonia,Elphidium,
beberapa marga dariSuku Trochaminidae, Lituolidae,Bolivinidae, Buliminidae.
Ph = Nh/T (“h” adalah jumlah individu genera foraminifera kecil lain yang heterotrofik:
beberapa marga dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida, dan lain-lain.
T = Jumlah seluruh individu foraminifera yang didapatkan dari sampel yang diuji.

Interpretasi nilai FORAM Index berdasarkan HALLOCK et al. (2003) (Dewi dkk., 2010):
FI > 4 = lingkungan sangat kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang
Variasi antara 3 dan 5-6 = lingkungan menurun
2 < FI < 4= lingkungan terbatas untuk pertumbuhan terumbu karang, namun tidak cukup
untuk pemulihan
247
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

FI < 2= lingkungan tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang


3. Data
Dari seluruh titik lokasi yang dianalisis, didapatkan 18 genera. Genus dengan jumlah
keterdapatan paling banyak adalah Quinqveloculina dengan presentase 14% di lokasi U1,
Cubucides refulgen dengan presentase 10,8% di lokasi T1,Amphistegina dengan presentase
22,4% dan Cubucides refulgen di lokasi S1 . Ditemukan juga beberapa genus yang sering
ditemukan di keempat lokasi penelitian seperti Operculina dan Elphidium discoidale.
Genera yang bersimbiosisdengan terumbu karang di lokasi U1 yaitu
Alvionella,Operculina,Penerolpis proteus dan Pseudothurmina dengan total presentase 42,4%.
Genera yang termasuk dalam oportunis di lokasi U1 yaitu Elphidium discoidale, Ammonia sp,
Brizalina, Bolivina dan Nonion asterior dengan presentase 43,6%. Dan Genera yang termasuk
dalam foraminifera hetertorof di lokasi U1 yaitu Quinqveloculina dengan presentase 35%.
Genera yang bersimbiosis dengan terumbu karang di lokasi T1 yaitu Operculina,Penerolpis
proteus, Penerolpis proteus, Pseudothurmina, Cubucides refulgen, Amphistegina radiata
dengan presentase 50%. Genera yang termasuk dalam oportunis di lokasi T1 yaitu Elphidium
discoidale dengan presentase 37,6%. Dan Genera yang termasuk dalam foraminifera
hetertorof di lokasi T1 yaitu Eponides cibrorepondus, Textularia semialata, Siphotextularia
dan Ammobaculites agglutinans dengan presentase 12,4%. Genera yang bersimbiosis dengan
terumbu karang di lokasi T2 yaitu Alvionella,Operculina , Penerolpis proteus, Cubucides
refulgen, Amphistegina radiata dengan presentase 62,4%. Genera yang termasuk dalam
oportunis di lokasi T2 yaitu Elphidium discoidale dengan presentase 23,6%. Dan Genera yang
termasuk dalam foraminifera hetertorof di lokasi T2 yaitu Eponides cibrorepondu, Textularia
semialata, Amphistegina radiata dan Quinqveloculina dengan presentase 12,4%. Genera yang
bersimbiosis dengan terumbu karang di lokasi S1 yaitu Alvionella, Penerolpis proteus,
Cubucides refulgen, Calcarina dan Amphistegina radiata dengan presentase 63,6%. Genera
yang termasuk dalam oportunis di lokasi S1 yaitu Ammonia sp dengan presentase 6%. Dan
Genera yang termasuk dalam foraminifera hetertorof di lokasi S1 yaitu Eponides
cibrorepondu dan Rosalina dengan presentase 30,4%.

4. Hasil dan Pembahasan


Kehidupan foraminifera bentik dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan utama
antara lain kedalaman, arus, substrat, kecepatan sedimentasi, cahaya matahari dan interaksi
dengan organisme lain. Pada setiap perairan dicirikan oleh faktor-faktor lingkungan yang
sangat berperan (dominan) terhadap kehidupan foraminifera (Boltovskoy & Wright, 1976).
Dari hasil analisis foraminifera diperoleh bahwa Elphidium discoidale merupakan kelompok
penciri utama daerah penelitian, diikuti oleh Amphistegina, Operculina dan Cubucides
refulgen
4.1.Kelompok Fungsional Foraminifera
Salah satu bioindikator yang telah digunakan untuk memantau kondisi perairan sekitar
terumbu karang adalah foraminifera, organisme bersel tunggal berukuran mikroskopis.
Metode yang digunakan adalah dengan cara penghitungan FORAM (Foraminifera in Reef
Assessment and Monitoring) Index atau FI (Hallock et al., 2003). FI didasarkan pada 30 tahun
penelitian terhadap sedimen terumbu karang dan lingkungan foraminifera yang tinggal di
terumbu karang, serta kumpulan foraminifera yang didapat dari permukaan sedimen.
Foraminifera dipilih sebagai indikator lingkungan karena foraminifera memerlukan kesamaan
kualitas air dengan berbagai biota pembentuk terumbu karang, dan siklus hidupnya yang
248
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

cukup singkat sehingga dapat menggambarkan perubahan lingkungan yang terjadi dalam
waktu cepat (Hallock etal., 2003).
Indeks foraminifera atau Foraminiferal Index (FI) adalah indeks yang dihitung
berdasarkan spesies/genus foraminifera yang diklasifikasikan berdasarkan kelompok
fungsionalnya. Di daerah penelitian teridentifikasi 18 genus foraminifera bentonik dan
termasuk kedalam tiga kelompok fungsional foraminifera yaitu kelompok bersimbiosis
dengan terumbu karang, oportunis dan heteretorof.
i. Kelompok fungsional foraminifera yang bersimbiosis dengan terumbu karang.
Dari ketiga lokasi sample ditemukan 3 genus foraminifera paling dominan
yaitu Operculina, Peneroplis dan Amphistegina. Genus tersebut dapat
mengindikasikan penciri lingkungan yang berenergi tinggi.

ii. Kelompok fungsional foraminifera Oportunistik


Di keempat lokasi penelitian perairan Pulau Muna genus yang sering dijumpai
yaitu Elphidium. Menurut Jones, 1994 memiliki bathymetri Neritik hingga
Bathyal tengah. Elphidium dapat menunjukkan kondisi lingkungan perairan
dangkal dengan energi arus yang relatif tinggi. Sehingga dapat ditumbuhi populasi
terumbu karang

iii. Kelompok fungsional foraminifera Heterotrofik


Genus foraminifera heterotrofik yang sering ditemukan antara lain Eponides
dan Textularia. Textularia seperti spesies Textularia agglutinans, Textularia cf.
T.semialata dan Textularia conica dapat mencirikan daerah dengan perairan
terbuka serta arus menengah-kuat, serta sedimen penyusun lumpuran dan pasir
(Boltovskoy & Wright, 1976; Yassini & Jones, 1995, dan Rositasari &
Rahayuningsih, 2000). Sedangkan genus Eponides dan Pseuroalia dapat menjadi
karakteristik lingkungan perairan dangkal, terbuka dengan tingkat energi menengah
serta sedimen pasir lebih halus (Biswas,1976).

4.2.Foram Index
Setelah melakukan perhitungan nilai indeks FORAM (FI) di wilayah pulau
Muna,.Secara keseluruhan nilai indeks foraminifera di wilayah bagian Utara(U1) bernilai
4,95 ,Timur (T1) bernilai 5,62 , Barat(T2) ber nilai 6,72, dan Selatan (S1) bernilai 7,02.
Berdasarkan nilai indeks tersebut, maka daerah selatan (S1) yang sangat tinggi nilai indeks
foraminifera yang telah didapat. Nilai indeks foraminifera (FI) yang sangat tinggi tersebut
menunjukan kondisi lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang atau
merupakan tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu karang. Pada stasiun penelitian
berkodekan (S), presentase kelimpahan relatif kelompok fungsional foraminifera bersimbion
dengan terumbu karang mencapai 63,6 %, sementara presentase kelimpahan relatif kelompok
oportunistik mencapai 6%, dan presentasi kelimpahan relative kelompok heterotrofik
mencapai 30,4% . Untuk wilayah utara presentasi relative kelompok fungsional fungsional
foraminifera bersimbion dengan terumbu karang mencapai 42,4 %, sementara presentase
kelimpahan relatif kelompok oportunistik mencapai 43,6 %, dan presentasi kelimpahan
relative kelompok heterotrofik mencapai 14 % . Untuk wilayah Timur presentasi relative
kelompok fungsional fungsional foraminifera bersimbion dengan terumbu karang mencapai
50 %, sementara presentase kelimpahan relatif kelompok oportunistik mencapai 37,6 %, dan
presentasi kelimpahan relative kelompok heterotrofik mencapai 27,4 %. Sedangkan wilayah
Barat presentasi relative kelompok fungsional fungsional foraminifera bersimbion dengan
249
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

terumbu karang mencapai 62,4 %, sementara presentase kelimpahan relatif kelompok


oportunistik mencapai 23,6 %, dan presentasi kelimpahan relative kelompok heterotrofik
mencapai 14 %.(Diagram 2)
Foraminifera kelompok oportunistik akan berkembang pesat jika kebutuhan makanan
pada kelompok ini terpenuhi dan tidak terjadi kompetisi sumber daya makanan (Toruan dkk.
2013). Sebaliknya nilai indeks foraminifera (FI) yang tinggi dapat mengindikasikan kondisi
lingkungan perairan yang oligotrofik, sehingga membatasi perkembangan foraminifera
bentonik kelompok oportunistik maupun foraminifera kelompok heterotrof dan foraminifera
kecil lain. Kondisi lingkungan perairan yang oligotrofik mendukung untuk perkembangan
foraminifera yang termasuk kedalam kelompok bersimbion dengan terumbu karang dan alga.
Secara umum, pada kondisi lingkungan yang tidak tertekan secara ekologi, keragaman
foraminifera akan meningkat. Pada stasiun penelitian MT-144 meskipun ditemukan nilai
indeks foraminifera (FI) paling rendah akan tetapi masih tergolong dalam perairan yang
menunjukan kondisi lingkungan kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang atau merupakan
tempat yang sesuai bagi pemulihan terumbu karang. Pemantauan perairan di kawasan
terumbu karang telah dilakukan di berbagai lokasi dan dibandingkan dengan hasil penelitian
ini yang tersaji pada Tabel 2. Rumus ini pertama kali diterapkan oleh Dewi dkk., (2010) di
perairan sekitar Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Kangean (Jawa Timur) dan
Pulau Kawio (Sulawesi Utara). Hasil uji awal terhadap 10 sampel sedimen dasar laut di
sekitar pulau-pulau kecil memberi nilai Indeks FORAM yang berbeda yaitu antara 5,32 dan
9,40 namun tetap dalam kategori lebih besar dari 4. Perbedaan ini dikaitkan pada lokasi
pengambilan sampel yang bervariasi antara daerah paparan terumbu, lereng terumbu, bagian
luar dari ekosistem terumbu karang dan lain-lain.
Kemudian, Natsir dan Subkhan (2011) melakukan penelitian yang sama di perairan
Belitung dan menghasilkan nilai FI mulai dari 2,94 hingga 8,33. Dewi dkk., (2012)
mendapatkan nilai FI antara 1,22 dan 9,81 di perairan sebelah barat Pulau Lombok. Di
wilayah tersebut nilai terendah (FI=1,22) dijumpai di perairan dekat pesisir dan sebagai
lingkungan yang tidak layak bagi pertumbuhan terumbu karang. Kondisi yang sama juga
diperoleh perairan sekitar Kepulauan Banggai (Sulawesi Tengah) yang dihasilkan oleh Aulia
dkk. (2012) yaitu nilai FI antara 2,99 dan 5,54. Kondisi tersebut memberi indikasi sebagai
gambaran awal perubahan lingkungan. Selanjutnya, dengan penelitian sejenis, nilai FI cukup
bervariasi antara 2,94 dan 8,33 dihasilkan oleh Gitaputri dkk. (2013) di Gugusan Kepulauan
Natuna (Riau). Hal ini berbeda dengan hasil studi dari Toruan dkk., (2013) di Kepulauan
Seribu, nilai FI 3,89-4,17 diperoleh di perairan sekitar Pulau Karang Bongkok, Pulau
Pramuka (FI= 3,64-4,12) dan Pulau Onrust ( FI= 1.22-1,81). Nilai terendah di sekitar Pulau
Onrust berkaitan dengan tidak dijumpainya tutupan karang keras dan tidak cocok untuk
pemulihan terumbu karang. Dari beberapa data hasil penghitungan nilai indeks FORAM di
berbagai wilayah perairan nusantara tersebut, diperoleh bahwa di perairan perairan sebelah
baratdaya Pulau Morotai dan Kepulauan Kangean serta Pulau Kawio mempunyai nilai FI
lebih dari 4 hingga dari 6, dilanjutkan dengan Indeks Foraminifera di Pulau Muna yang
berkisar 4,95- 7,02 . Hal ini memberi indikasi bahwa kualitas perairannya sangat bagus dan
dan kondusif bagi pertumbuhan terumbu karang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
secara keseluruhan, wilayah Pulau Muna memiliki lingkungan yang baik dan kondusif bagi
pertumbuhan terumbu karang.
Menurut Dewi, dkk. (2001), pola arus dan gelombang merupakan faktor dominan yang
mempengaruhi distribusi foraminifera bentik di daerah perairan Pulau Muna ini. Hal ini
menerangkan mengapa pada bagian Selatan foraminifera bentik cenderung lebih berlimpah
dibandingkan bagian Utara . Salah satu faktor yang menyebabkan nilai Indeks penelitian ini
paling kecil yaitu mencapai 4,95 dikarenakan mulai banyaknya aktivitas penduduk di pulau
250
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

bagian utara dari lokasi penelitian. Selain itu, bagian timur penelitian ini juga merupakan
wilayah hutan bakau, dengan material sedimen lumpur, sehingga sangat memungkinkan bagi
terakumulasinya berbagai material termasuk foraminifera. Hutan bakau juga berperan sebagai
penyedia nutrisi bagi foraminifera sehingga populasinya sangat bagus (Djurnaliah, 2000).
Tingginya pengaruh arus dan gelombang juga ditunjukkan dengan berlimpahnya cangkang
yang rusak, dan ada beberapa genus yang tidak dapat teridentifikasi dilokasi bagian selatan
dengan kode (U1). Pada tingkat genus, Elphidium merupakan genus dominan dan tersebar
merata di daerah penelitian baik dari lokasi yang terletak tidak jauh dari pantai sampai lokasi
di laut lepas. Hal ini dapat dimengerti karena menurut Murray (1991) bahwa genus ini
merupakan genus oportunistik yang mempunyai banyak cara hidup yaitu hidup pada sedimen
(epifauna) maupun dalam sedimen (infauna). Dengan demikian pada kondisi lingkungan
berenergi tinggi dijumpai spesies tertentu dari genus ini yang dapat melekat pada butiran pasir.
Lebih berlimpahnya Elphidium di sebelah timur menunjukkan bahwa wilayah timur lebih
dipengaruhi oleh laut dangkal dibandingkan bagian barat yang sangatdipengaruhi oleh laut
dalam. Samudera Indonesia. Kandungan karbonat yang tinggi memungkinkan populasi yang
baik dari jenis Operculina, Amphistegina, dan Calcarina (Rositasari dan Rahayuningsih,
2000). Ada kecenderungan kelimpahan foraminifera bentik agak menurun pada beberapa
lokasi yang lebih dekat ke arah darat. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh
antropogenik yang semakin mening

4. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kandungan
foraminifera di dalam material sedimen permukaan perairan sekitar Pulau Muna sangat
berlimpah dan beraneka ragam. Kumpulan foraminifera yang ditemukan menunjukkan
kondisi lingkungan laut dalam dangkal dengan energi arus relatif tinggi, dengan material
sedimen yang kasar sampai lumpuran. Ada perbedaan yang signifikan antara penyebaran
foraminifera di sebelah selatan dengan di sebelah utara lokasi penelitian penelitian,
menunjukkan adanya pengaruh dari faktor arus, jenis sedimen, dan terumbu karang yang
terkonsentrasi di sekitar Pulau Muna . Karena memiliki kelimpahan foraminifera bentik yang
sangat tinggi berkisar 4,95-7,02 Perairan di sekitar Pulau Muna ini sangat cocok untuk
pertumbuhan terumbu karang dan sudah selayaknya untuk menjadi tempat konservasi
terumbu karang.

Acknowledgements
-

Daftar Pustaka
Gitaputri, K., Kasmara, H., Erawan, T.S., dan Natsir, S.M. (2013). Foraminifera Bentonik
Sebagai Bioindikator Kondisi Perairan Terumbu Karang Berdasarkan Foram Index di
Gugusan Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis 5 (1), h. 26-35.
Sidiq, A., Hadisusanto, S., Dewi, K.T. (2015). Foraminifera Bentonik Kaitannya dengan
Kualitas Perairan di Wilayah Barat Daya Pulau Morotai, Maluku Utara. Jurnal
Geologi Kelautan 14, h. 13-22.

251
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Luli, G., Usman, E. (2008). Distribusi Foraminifera Bentik Sebagai Indikator Kondisi
Lingkungan di Perairan Sekitar Pulau Batam-Riau Kepulauan. Jurnal Geologi
Kelautan 6, h. 43-52.
Luli, G., Ilahude, D. (2012). Foraminifera Bentik Dalam Sedimen Sebagai Indikator Kondisi
Lingkungan Terumbu Karang di Perairan Pulau Cemara Besar dan Cemara Kecil
Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Kelautan 10, h. 23-36.
Hasan, M.F., Santoso, W.D., Dewi K.T. (2012). Studi Pendahuluan Foraminifera Bentik
Resen Dari Sedimen Dasar Laut Sekitar Pulau Bawean, Laut Jawa. Proceedings PIT
IAGI Yogyakarta, 41 IAGI Annual Convention and Exhibition h.1-7.
Adisaputra, M.K., Hendrizan, M. (2011). Foraminifera Perairan Balikpapan, Kalimantan
Timur: Lingkungan Pengendapan dan Pengaruhnya. Jurnal Geologi Kelautan 9, h.
119-134.
Luli, G., Ilahude, D. (2012). Foraminifera Bentik Dalam Sedimen Sebagai Indikator Kondisi
Lingkungan Terumbu Karang di Perairan Pulau Cemara Besar dan Cemara Kecil
Kepulauan Karimun Jawa, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Kelautan 10, h. 23-36.
Wosabi, M.A., Mohammed, M., Basardah F. (2017). Taxonomy and Distribution of Recent
Benthic Foraminifera from Bir Ali Beach, Shabwah Governorate, Arabian Sea, Yemen.
Geological Bulletin of Turkey 60, p. 384-432.

252
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Foraminifera bentik di perairan Pulau Muna (1)Elphidium (2) Amphistegina


(3)Textularina (4) Peneroplis

Gambar 2. Peta lokasi dan sayatan

253
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Diagram 1. Presentase kelimpahan berdasarkan tiga kelompok fungsional foraminifera

Diagram 2. Presentase Foram Index di keempat lokasi

Tabel 1. Presentase kelimpahan genus di keempat lokasi

Genera Lokasi (Keterdapatan)


U1 T1 T2 S1
Bersimbiosis dengan terumbu karang
Alvionella 28 20 6
Operculina 47 14 27
Peneroplis aretanus 23 12
Peneroplis proteus 16 5 44
Pseudothurmina 15
Cubucides refulgen 27 30 53
Calcarina 15
254

Anda mungkin juga menyukai