Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

DISUSUN OLEH:
JOSEPH KRISTOPHER KUN
LUKY ADLINO

PENGUJI:
Dr Billy Massie, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT


RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI-FEBRUARI 2019
TANGERANG
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

Tidur merupakan merupakan proses biologis yang aktif dan terorganisir yang
memegang peranan penting dalam kehidupan.1 Menurut National Sleep Foundation,
patokan untuk kualitas tidur yang baik adalah : tidur di kasur (85% dari total tidur),
proses dari mulai tidur sampai terlelap kurang dari 30 menit, terbangun saat tidur
tidak lebih dari satu kali per tidur, serta untuk proses bangun dari tidur kurang dari 20
menit. Penyakit obstructive sleep apnea (OSA) masuk ke dalam klasifikasi gangguan
tidur (sleep disorders) karena dapat menurunkan kualitas tidur dengan cara
menghambat jalur saluran pernapasan atas dan menyebabkan terjadinya episode apnu.

Apnu secara general didefinisikan sebagai episode penghentian napas yang


berdurasi minimal 10 detik dan dapat diklasifikasikan sebagai obstruktif (tidak ada
aliran udara walaupun sudah dengan usaha bernapas secara berkelanjutan), sentral
(tidak ada aliran udara dan tidak ada usaha bernapas), atau campuran (di inisiasi
dengan apnu tipe sentral, dengan usaha bernapas yang muncul pada akhir dari
episode).

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah keadaan repetitif dari obstruksi saluran
pernapasan atas selama tidur dan oleh karena itu merupakan salah satu bagian dari
sleep-disorder breathing syndrome. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan
kejadian OSA adalah obesitas, riwayat OSA dalam keluarga, kelainan anatomis dan
penyakit endokrin. Menurut The International Classification of Sleep Disorders,
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk
menegakan diagnosis OSA. Hingga saat ini, cara yang efektif dan merupakan baku
emas dalam tatalaksana OSA adalah continuous positive airway pressure (CPAP).2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

● Definisi

Apnu didefinisikan oleh The American Academy of Sleep Medicine (AASM) sebagai
penghentian aliran udara dalam proses pernapasan untuk minimal selama 10 detik.
Sedangkan hipopnu didefinisikan sebagai pengurangan, namun bukan penghentian
seutuhnya, dari proses bernapas dalam waktu 10 detik atau lebih.

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah keadaan repetitif dari obstruksi saluran
pernapasan atas selama tidur. OSA dapat ditegakkan apabila skor apnea-hypopnea
index (AHI) lebih dari sama dengan 5 kejadian/jam, dengan kejadian obstruktif atau
campuran meliputi lebih dari 50% dari total. OSA biasanya disertai dengan keluhan
mengantuk berlebihan pada siang hari, tidur yang tidak menyegarkan, dan lemas.

AHI adalah suatu indeks yang digunakan untuk mengukur severitas kejadian apnu
saat tidur. Severitas apnu tersebut direpresentasikan dengan jumlah kejadian apnu dan
hipopnu per jam selama tidur. Apnu dapat di klasifikasikan menjadi ringan, sedang
dan berat dengan acuan skor AHI. Skor AHI 5-15 adalah apnu ringan, 15-30 adalah
apnu sedang, di atas 30 adalah apnu berat.2

● Epidemiologi

Pasien dengan skor apnea-hypopnea index (AHI) > 5 di inklusikan sebagai pasien
OSA. Prevalensi OSA pada populasi umum yang disertai dengan kelelahan hebat
pada siang hari adalah 3-7% untuk laki-laki dewasa dan 2-5% untuk perempuan
dewasa.3 Prevalensi OSA lebih tinggi pada pasien yang mengalami obesitas dan
meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi OSA pada benua Amerika, Eropa,
Australia, dan Asia tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Tingkat prevalensi
OSA terhitung setara, pada negara maju ataupun berkembang.4

● Anatomi
Anatomi Rongga Mulut
Rongga mulut (oral cavity) terdiri dari 2 bagian yaitu vestibulum oris dan rongga
mulut sesungguhnya. Vestibulum oris adalah ruang celah antara gigi dan gusi
dengan bibir dan pipi. Vestibulum oris terkoneksi dengan lingkungan luar melalui
lubang mulut (oral fissure). Ukuran dari lubang mulut dikontrol oleh otot-otot
disekitar mulut (peri-oral), seperti m. orbicularis oris, m. buccinator, m. risorius,
dan otot depresor serta elevator dari bibir.

Rongga mulut sesungguhnya (proper oral cavity) adalah ruang antara arkus
dentalis atas dan bawah. Atap dari proper oral cavity merupakan suatu struktur
bangunan yang disebut dengan palatum. Di bagian posterior, proper oral cavity
berhubungan langsung dengan orofaring. Saat mulut dalam kondisi tertutup dan
beristirahat, proper oral cavity dipenuhi oleh lidah.
Palatum membentuk atap dari rongga mulut sekaligus dasar dari rongga
hidung. Palatum membatasi rongga mulut dengan rongga hidung dan
nasofaring. Permukaan palatum yang mengahadap ke rongga mulut dilapisi
oleh mukosa oral (dipenuhi kelenjar). Palatum terdiri atas 2 bagian, palatum
durum (keras) di bagian anterior dan palatum mole (lunak) di bagian
posterior.
Palatum durum mempunyai bentuk yang konkaf, biasanya dipenuhi oleh lidah
pada saat beristirahat. Palatum durum yang dibentuk oleh tulang sehingga
bersifat tetap, tidak bisa digerakan. Sedangkan palatum mole, yang tidak
mempunyai struktur tulang, dapat bergerak. Pada bagian postero-inferior
palatum mole terdapat suatu penonjolan anatomis yang disebut dengan uvula
palatina.

Lidah merupakan suatu organ otot yang dapat bergerak, dilapisi dengan
membran mukosa. Lidah mempunyai akar/pangkal, badan, dan apeks. Mukosa
pada sisi anterior lidah mengandung banyak sekali lingual papillae, sedangkan
mukosa pada sisi posterior lidah tidak terdapat lingual papillae. Namun,
nodul-nodul limfoid pada daerah posterior ini memberikan gambaran
cobblestone appearance, yang akhirnya secara kolektif disebut sebagai tonsila
lingua.

Otot penyusun lidah terdiri dari 4 otot intrinsik dan 4 otot ekstrinsik. Otot
intrinsik berfungsi untuk mengubah bentuk lidah, berbeda dengan otot
ekstrinsik yang berfungsi untuk mengubah posisi lidah. Otot intrinsik lidah
yaitu otot superior longitudinal, inferior longitudinal, transverse, dan vertical.
Sedangkan otot ekstrinsik lidah yaitu m. genioglosus, m. hioglosus, m.
stiloglosus, dan m. palatoglosus. Semua otot lidah kecuali m. palatoglosus,
dipersarafi oleh nervus hipoglosus (CN XII). M. palatoglosus sendiri akan
diinervasi oleh nervus vagus (CN X).5

Anatomi Faring

Faring merupakan suatu struktur anatomis di regio kepala dan leher, terletak
dibelakang rongga hidung dan rongga mulut serta berada diatas laring dan
esofagus, dan merupakan bagian dari traktus respiratorius dan traktus
digestivus. Berdasarkan lokasinya, faring dibagi menjadi 3 bagian besar yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring.6

Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan bagian dari faring yang berhubungan langsung dengan


rongga hidung melalui koana. Pada nasofaring terdapat beberapa struktur
anatomis yang penting yaitu tonsila faringeal (atau disebut adenoid) dan
tonsila tuba yang merupakan massa dari jaringan limfoid, serta pembukaan
tuba eustasius dari telinga tengah (torus tubarius).7

Anatomi Orofaring

Pada bagian lateral dari palatum mole adalah dinding dari faring yang
disambungkan dengan lidah dan faring menggunakan arkus palatoglosal dan
palatofaringeal berturut-turut. Struktur anatomis ini merupakan penghubung
antara rongga mulut dengan orofaring, yang sering disebut dengan isthmus
faucium.5
Orofaring disebut juga dengan mesofaring. Dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis, batas depan adalah
rongga mulut, dan batas belakang adalah vertebra servikal. (Rusmarjono dan
Bambang Hermani, 2007; Rospa Hetharia, 2011).

Pada orofaring, terdapat sepasang tonsila palatina, yaitu suatu massa dari
kelompok jaringan limfoid yang berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh.
Masing-masing tonsil terletak pada tonsillar sinus (fossa), berada diantara
arkus palatoglosal dengan arkus palatofaringeal.

Selain tonsila palatina, sepasang tonsila lingua juga termasuk kedalam


struktur anatomi di dalam orofaring.5

Anatomi Laringofaring (Hipofaring)

Laringofaring berada di posterior dari laring, dimulai dari batas superior


epiglotis sampai dengan batas inferior dari kartilago krikoid, dimana akan
menyempit dan menjadi satu kesatuan dengan esofagus. Sebelah posterior dan
lateral dari laringofaring dibentuk oleh otot konstriktor faringeal bagian
tengah dan bawah. Pada bagian dalam, dindingnya tersusun atas otot m.
palatofaringeus dan m. stilofaringeus. Laringofaring berkomunikasi dengan
laring melalui laryngeal inlet di bagian dinding anteriornya.5

Anatomi Patensi Airway

Saluran napas atas harus selalu terbuka/terjaga patensinya, baik selama


keadaan terjaga maupun tertidur. Berbagai struktur anatomis yang dimulai
dari rongga mulut hingga ke saluran napas faringeal berkontribusi terhadap
patensi saluran napas atas tersebut. Beberapa struktur yang mempengaruhi
patensi tersebut adalah bentuk dan ukuran rahang (maksila dan mandibula),
bentuk dan ukuran lidah, bentuk dan ukuran tonsil (palatina, lingua), bentuk
dan ukuran adenoid, serta aktivitas otot dilator faringeal.

Bentuk dan ukuran rahang digolongkan menjadi rata, konveks, atau konkaf.
Apabila semakin konveks, maka rongga mulut akan semakin terbatas/sempit
untuk mendapat aliran ventilasi maksimal.

Bentuk dan ukuran lidah (dinilai dengan penilaian mallampati), tonsil


(palatina, lingua), dan adenoid yang semakin besar maka akan menutup
rongga pernapasan, sehingga menghambat ventilasi udara.
Saluran napas faringeal dimulai dari nasal koana hingga ke epiglotis, yang
dimana saluran ini sebagian besar tidak disokong oleh struktur tulang,
sehingga sangat rentan terhadap kolaps akibat tekanan udara negatif selama
inspirasi.8

Faringeal kolaps pada pasien OSA diperkirakan terjadi akibat individu


memiliki anatomi saluran napas atas yang sempit/kecil (Schwab et al., 1995;
Schwab, 2003; Strohl, 2003). Meskipun demikian, pasien dapat bernapas
secara normal dan menjaga tekanan gas darah normal selama keadaan terjaga
(Mezzanotte et al., 1992). Kondisi demikian dinilai dipengaruhi oleh kerja
otot dilator saluran napas atas. Pada saat pasien tertidur, aktivitas otot dilator
saluran napas atas berkurang dan menyebabkan OSA pada pasien (Fogel et
al., 2005).

Ada beberapa otot yang mengelilingi saluran napas faringeal dan


mempengaruhi patensi saluran ini. Otot-otot ini dapat secara aktif mendilatasi
saluran napas atau secara pasif mendilatasi saluran napas dengan menarik
struktur jaringan lunak sekitar sehingga tidak mudah jatuh ketika tekanan
udara negatif sedang berlangsung. Otot-otot yang memiliki relevansi terbesar
adalah m. genioglosus, otot-otot palatal (m. tensor veli palatini, m. levator veli
palatini, m. uvula, m. palatoglosus, dan m. palatofaringeus), otot-otot
konstriktor faringeal, dan otot yang mempengaruhi posisi tulang hyoid (m.
milohyoid, m. geniohyoid, m. stilohyoid, m. tirohyoid, dan m. sternohyoid).

M. genioglosus adalah otot ekstrinsik lidah dan merupakan otot dilator saluran
udara atas yang terbesar. Kontraksi dari m. genioglosus menggerakan lidah ke
arah anterior dan kemudian melebarkan saluran napas orofaringeal
(Kobayashi et al., 1996).

Otot-otot palatal mengontrol kekakuan (m. tensor palatini) dan posisi dari
palatum (m. levator veli palatini), lidah (m. palatoglosus), faring (m.
palatofaringeus), dan sekaligus bentuk dari uvula (m. uvula). Otot-otot ini
juga penting dalam menjaga patensi dari saluran napas atas karena biasanya
pada pasien OSA sering terjadi penutupan saluran napas di daerah
velofaringeal.

Otot konstriktor faringeal terdiri dari 3 bagian (bawah, tengah, dan atas) yang
biasanya teraktivasi ketika proses menelan sedang berlangsung. Otot-otot ini
berperan dalam menguatkan dinding posterior faring sehingga tidak terjadi
kolaps walaupun berakibat pada penyempitan saluran udara.

Otot-otot hyoid mempengaruhi posisi tulang hyoid. Cara kerja otot-otot


tersebut adalah antara menarik maju dan naik (kerja m. geniohyoid dan
milohyoid) atau turun ke kaudal (kerja m. sternohyoid dan m. tirohyoid).
Aktivasi dari otot-otot tersebut akan menghasilkan dilatasi dari saluran napas
(Van de Graaff et al., 1984).

● Fisiologi
Fisiologi Tidur

Tidur adalah suatu kondisi hilangnya kesadaran manusia yang reversibel,


ditandai dengan adanya penurunan respons, penurunan aktivitas motorik dan
aktivitas metabolisme tubuh. Tidur dapat dibagi menjadi 2 fase yang disebut
dengan Rapid Eye Movement (REM) dan Non-Rapid Eye Movement (NREM)
dimana dapat dibedakan melalui pemeriksaan aktivitas otak menggunakan
elektroensefalografi (EEG) dan pemeriksaan aktivitas otot dengan
elektromiografi (EMG).9

Fase REM, yang sering disebut dengan tidur aktif, adalah fase tidur yang
dikarakteristikan oleh amplitudo rendah (kecil), gelombang frekuensi yang
tinggi (cepat), dan ritme alfa pada gambaran EEG. Selain itu, ditandai juga
dengan aktivitas pergerakan bola mata, dimana dari kondisi tersebut lah nama
fase ini diambil. Menurut para ekspert, pada fase REM ini lah manusia
bermimpi. Berdasarkan studi-studi, responden yang terbangun ketika fase
REM akan mengatakan bahwa mereka baru saja bermimpi, yang terkadang
terasa sangat jelas. Yang menarik kemudian adalah bahwa pada fase REM,
otot-otot pada lengan dan tungkai paralisis/atonia secara temporer.

Fase NREM adalah fase tidur yang dimana akan dibagi lagi menjadi tahap
N1, N2, dan N3. Dalam proses dari N1 menuju N3, gelombang otak bergerak
semakin perlahan dan lebih tersinkronisasi, sedangkan bola mata tetap diam
tidak bergerak. Fase N3 merupakan fase tidur terdalam, ditandai dengan
amplitudo tinggi (besar) dan gelombang frekuensi yang rendah (lambat) pada
gambaran EEG. Tahap ini sering disebut dengan tidur yang dalam (deep
sleep) atau tidur gelombang lambat (slow-wave sleep).
Kedua fase tersebut berjalan bergantian selama manusia tertidur. Siklus tidur
normal selalu dimulai dari fase NREM tahap 1 (N1) dan terus berlanjut
hingga fase REM dan kemudian kembali mengulang dengan durasi setiap
tahap yang memanjang.

Tahap pertama (N1) terjadi beberapa detik atau menit setelah seseorang mulai
tertidur dan biasanya akan bertahan selama 1-7 menit. Tahap kedua (N2)
mempunyai durasi yang lebih panjang yaitu sekitar 10-25 menit. Sedangkan
tahap ketiga (N3) mempunyai durasi rata-rata 20-40 menit. Semakin dalam
seseorang masuk kedalam fase NREM, maka akan semakin sulit untuk
membangunkan individu tersebut. Selama progesi fase NREM, terjadi
perubahan pada aktivitas otak yang digambarkan oleh EEG.

Setelah fase N3, manusia akan masuk kedalam fase REM. Episode fase REM
yang pertama hanya memakan waktu sekitar 1-5 menit, namun durasi ini akan
terus bertambah panjang selama proses tidur. Setelah fase REM selesai, maka
manusia akan masuk kembali kedalam fase pertama NREM (N1). Proses
siklus NREM-REM akan berlangsung sepanjang malam. Durasi total siklus
pertama NREM-REM berada pada kisaran waktu 70-100 menit, dimana akan
memanjang pada siklus-siklus berikutnya dengan rata-rata sekitar 90-120
menit persiklusnya.
Belum diketahui pasti mengenai tujuan dan fungsi fisiologis tubuh dalam
mengatur siklus tidur NREM-REM, namun beberapa ekspert berspekulasi
bahwa siklus tersebut penting untuk pemulihan secara fisik dan mental, serta
kepentingan konsolidasi memori.10

Fisiologi Patensi Airway

Secara natural, patensi dari jalur napas manusia akan selalu dipertahankan,
terutama ketika manusia sedang dalam kondisi tertidur. Struktur yang
berperan penting dalam proses mempertahankan jalur napas ini disebut
dengan faringeal dilator. Faringeal dilator terdiri atas beberapa struktur
penting yaitu m. genioglosus, otot-otot palatal (m. tensor veli palatini, m.
levator veli palatini, m. uvula, m. palatoglosus, dan m. palatofaringeus), otot-
otot konstriktor faringeal, dan otot-otot yang menjaga posisi hyoid (m.
milohyoid, m. geniohyoid, m. stilohyoid, m. tirohyoid, dan m. sternohyoid).
Dari keseluruhan struktur tersebut, otot genioglosus lah yang dinilai
mempunyai fungsi paling signifikan dalam menjaga patensi jalur napas
selama manusia tertidur.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa selama proses inspirasi,
tekanan disepanjang jalur pernapasan bernilai negatif, sehingga struktur
anatomis disepanjang jalur tersebut cenderung tertarik saling mendekat dan
menutup saluran napas. Pada proses inilah faringeal dilator berperan dengan
cara berkontraksi melawan tekanan negatif atau dengan mempertahankan
jaringan halus disekitar saluran agar berada tetap pada tempatnya.

Aktivitas neuromuskular dalam menjaga patensi jalur napas selama manusia


tertidur juga sangat penting. Aktivitas neuromuskular tersebut dipengaruhi
oleh beberapa stimulus kimia dan mekanis. Stimulus kimia, diperoleh dari
keadaan hipoksia atau hiperkapnia, sedangkan stimulus mekanis, diperoleh
dari meningkatnya resistensi di dalam jalur pernapasan. Ketika sistem
neuromuskuler terstimulasi, maka aktivitas pernapasan dan kontraksi otot-otot
jalur pernapasan akan ditingkatkan, sehingga akan terjadi suatu kompensasi
dari status hipoksia atau hiperkapnia, atau memperkecil resistensi jalur napas
dengan melakukan dilatasi diameter saluran napas.11

● Etiologi

OSA biasanya dapat disebabkan karena adanya kelainan struktur anatomi antara lain
karena elongasi fasial, kompresi fasial posterior, kelainan rahang; hipoplasia
mandibular (retrognathia, micrognathia), serta kelainan bentuk palatum (terlalu datar
atau terlalu konveks). Gangguan obstruksi retropalatal, retroglosal, makroglosia,
hipertrofi tonsil (palatina, lingua), hipertrofi adenoid, kelainan yang terdapat pada
Pierre-Robin Syndrome dan Down syndrom dapat menyebabkan terjadinya
mendengkur ataupun OSA.

Sedangkan penyebab OSA tersering berdasarkan non struktur adalah obesitas,


penggunaan alkohol, obat-obatan bersifat sedatif, dan kebiasaan merokok. Obesitas
dilaporkan merupakan faktor utama terjadinya OSA, terutama pada anak-anak. Dalam
penelitian dikatakan, indeks masa tubuh (IMT) > 30 kg/m2 memiliki prevalensi
terjadinya OSA lebih dari 50%.

Jenis kelamin laki-laki, wanita yang postmenopause, usia, serta posisi supinasi saat
tidur juga dapat merupakan suatu faktor risiko terjadinya mendengkur dan OSA.

Kondisi lain yang dapat menyebabkan terjadinya mendengkur dan OSA termasuk
beberapa jenis penyakit kronis, antara lain hipotiroidisme, diabetes, dan gagal
jantung.12

● Faktor Resiko

Faktor resiko dari OSA terdiri dari obesitas, gender, riwayat OSA dalam keluarga,
kelainan anatomis pada kraniofasial, dan penyakit endokrin seperti hipotiroid atau
akromegali.13

Obesitas

Berdasarkan penelitian yang menggunakan teknik pencitraan, pasien OSA dengan


obesitas (IMT > 30 kg/m2 , atau lingkar leher > 17 inch untuk laki-laki dan > 16
untuk perempuan) memiliki struktur jaringan lunak yang lebih tebal dibandingkan
dengan orang dengan IMT normal. Berdasarkan penelitian, IMT juga berkorelasi
dengan persentase penumpukan lemak pada lidah sehingga bisa menyebabkan
kecenderungan terjadinya OSA.2

Gender
Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi laki - laki lebih besar untuk terdiagnosa
OSA 2 sampai 3 kali dibandingkan perempuan. Perbedaan gender pada prevalensi
OSA berkorelasi dengan perbedaan distribusi lemak tubuh. Distribusi lemak tubuh
pada laki-laki cenderung merupakan distribusi sentral, termasuk pada leher. Hal ini
meningkatkan resiko untuk penyempitan saluran pernapasan atas.2

Riwayat OSA pada keluarga

Beberapa penelitian menunjukan adanya tendensi bahwa kejadian OSA sering terjadi
dalam satu silsilah keluarga. Berdasarkan studi meta-analisis, terdapat 1 variasi gen
TNFArs1800629 yang secara signifikan berasosiasi dengan OSA, yang diturunkan
dari orang tua ke anaknya.14 Kelainan anatomis pada kraniofasial juga dilaporkan
diturunkan pada keturunan pertama dalam keluarga.

Kelainan anatomis pada kraniofasial

Kelainan anatomis pada kraniofasial yang bersifat diturunkan dapat berupa posisi
rahang bawah (retroposed mandible), ukuran rahang bawah (micrognathia),
malposisi dari tulang hyoid, serta penyempitan dari palatum durum. Struktur jaringan
lunak pada saluran pernapasan atas yang meliputi volume lidah, dinding faring
lateral, dan jaringan ikat total juga dapat secara independen atau bersamaan
meningkatkan resiko OSA.15

Kelainan endokrin

Hipotiroid yang disertai dengan myxedema berasosiasi dengan OSA serta central
sleep apnea karena dapat menyebabkan gangguan fungsi otot serta respons ventilasi
yang tumpul. Goiter meningkatkan resiko pasien terkena OSA sedangkan lobektomi
/ tiroidektomi total dapat memperbaiki gejala OSA seperti mendengkur dan
mengantuk pada siang hari.16 Makroglosia berasosiasi dengan hipotiroid yang
berperan dalam meningkatkan resiko OSA. Contoh lain dari kelainan endokrin yang
dapat menyebabkan kejadian OSA adalah berlebihnya hormon pertumbuhan.17 OSA
seringkali dialami pada pasien dengan akromegali karena perbedaan pada jaringan
lunak dan oseus yang diduga dapat mempersempit saluran pernapasan atas.

● Patofisiologi

Kontribusi terbesar dari batas-batas saluran napas meliputi palatum mole dan lidah di
anterior, jaringan limfoid dan lemak parafaringeal di lateral, serta otot-otot konstriksi
faringeal di posterior.

Jaringan lunak dan struktur tulang kraniofasial pada daerah retropalatal dan retrogosal
berkontribusi terhadap morfologi saluran napas masing-masing individu.

Apabila terjadi kolaps dari jalur napas maka akan terjadi penurunan diameter
intraluminal dan meningkatkan resistensi saluran napas, berujung pada apnu dan
hipopnu dimana menjadi karakteristik OSA.18,19

Saluran napas bagian atas yang berada pada daerah ekstra toraks sangat kurang akan
jaringan penyokong disekitarnya (struktur tulang) dan oleh sebab itu berada dalam
resiko kolaps ketika terbentuk tekanan negatif saat proses inspirasi berlangsung. Hal
ini secara fisiologis diatasi oleh aktivitas otot dilator faringeal yang mempunyai
fungsi utama untuk menjaga patensi dari saluran napas bagian atas. Pada pasien OSA,
kolaps saluran napas biasa terjadi pada daerah retropalatal dan retroglosal.

Penderita OSA memiliki diameter lumen saluran napas yang lebih sempit
dibandingkan dengan kontrol sesaat setelah ekspirasi berlangsung (end
expiration).20,21 Hal tersebut bisa dijelaskan dengan beberapa teori misalnya yang
mengatakan bahwa pasien OSA sudah memiliki keterbatasan anatomis sebelumnya
bahkan saat kondisi terjaga sekalipun, pasien OSA memiliki saluran napas yang lebih
panjang sehingga lebih rentan mengalami kolaps, pasien OSA mempunyai lingkar
leher yang besar karena penumpukan jaringan lemak disekeliling saluran napas
(parafaringeal, dibawah mandibula, dan lidah), atau variasi morfologi kraniofasial
pada pasien OSA.

Selain itu, modulasi neural terhadap patensi saluran napas atas juga berpengaruh pada
patofisiologi OSA. Modulasi neural yang pertama, secara fisiologis, ketika manusia
dalam kondisi tertidur, aktivitas otot-otot dilator faringeal akan menurun. Salah satu
otot dilator faringeal yang paling berperan adalah m. genioglosus. Biasanya, tekanan
negatif akan dirasakan oleh mekanoreseptor dan kemudian akan segera mengaktifkan
kerja m. genioglosus. Namun refleks tersebut telah terbukti menurun ketika seorang
individu sedang tertidur terutama pada fase REM. Hal tersebut bisa terjadi karena
adanya mekanisme inhibisi motorik faringeal selama fase REM.22

Kedua, otot-otot saluran napas atas merespon input dari pusat kontrol napas di
medulla, dimana akan meningkat atau menurun sesuai dengan kebutuhan bernapas
(respiratory drive). Sedangkan kebutuhan bernapas ketika tidur akan tidak stabil,
yang menyebabkan hilangnya respon dari otot-otot saluran napas atas. 23,24

Ketiga, mekanisme neural yang mengatur kesadaran (neuron-neuron serotonergik dan


noradrenergik) mempunyai dampak eksitatori terhadap otot-otot saluran napas atas.
Ketika seseorang sedang tertidur maka mekanisme neural tersebut hilang dan input
excitatory pun akan menurun. 25,26

Oklusi saluran napas akan menyebabkan berbagai gangguan fisiologis secara akut.
Ketika terjadi OSA, usaha bernapas yang hebat akan menyebabkan penurunan
tekanan intra toraks. Hal tersebut akan menyebabkan pelepasan atrial natriuretic
peptide (ANP) dan peningkatan tekanan transmural dari ventrikel kiri, sehingga
terjadi peningkatan preload dan afterload. Terjadi peningkatan kebutuhan oksigen
oleh miokardial meskipun aliran darah ke arteri koroner menurun dan terjadi hipoksia
akibat apnu. 27

Akibat terjadinya apnu, hipoksia, dan hiperkapnu, maka terbentuk suatu respons
gelombang sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah,
bukan hanya pada saat tertidur, namun berdampak sepanjang hari pada pasien OSA.28
Hipoksemia yang berkelanjutan meningkatkan pembentukan spesies oksigen reaktif
(ROS) dan stress oksidatif, sehingga mencetuskan proses inflamasi berkelanjutan.
Hal tersebut berdampak pada rusaknya endotel dan mempromosikan pembentukan
aterosklerosis.29

Selain menyebabkan gangguan fisiologis tubuh manusia, OSA juga dapat


menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya. Gejala-gejala yang ditimbulkan
akibat buruknya kualitas tidur serta pertukaran udara selama tidur adalah rasa kantuk
yang berlebihan pada siang hari, kesulitan konsentrasi dan mengingat, perubahan
suasana hati, mudah depresi dan gelisah, bahkan dapat menyebabkan hambatan dalam
pertumbuhan apabila OSA diderita oleh anak-anak.

Terminasi dari episode apnu biasanya terjadi dengan kesadaran atau terbangun dari
tidur. Hal tersebut bisa terjadi karena meningkatnya usaha bernapas yang melibatkan
2 jenis stimuli yaitu kimia (hipoksia) dan mekanik (saluran yang menjadi terlalu
sempit).30

● Diagnosis

Untuk mendiagnosis OSA dapat menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Fokus pada anamnesis ditujukan kepada gejala-gejala yang biasa muncul pada OSA
yang terdiri dari gejala siang hari, gejala malam hari, gangguan fungsi kognitif, dan
gangguan suasana hati.
1. Gejala pada siang hari meliputi : sakit kepala saat bangun tidur, mulut kering
di pagi hari, dan mengantuk berlebihan pada siang hari.
2. Gejala pada malam hari meliputi : mendengkur dengan suara keras, terdapat
episode henti nafas, tersedak atau terbangun dari tidur, tidur gelisah, dan
diaforesis nokturnal.
3. Gangguan fungsi kognitif meliputi : sulit konsentrasi, sulit mengingat, sulit
belajar.
4. Gangguan suasana hati meliputi : mudah tersinggung, mudah gelisah dan
depresi, toleransi frustasi rendah.
Selain anamnesis gejala pasien, riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit
keluarga juga perlu ditanyakan. Riwayat penyakit dahulu yang penting adalah riwayat
infeksi saluran pernapasan atas dan riwayat alergi, sedangkan riwayat OSA dalam
keluarga perlu ditanyakan karena merupakan salah satu faktor resiko kejadian OSA.31

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien-pasien dengan kecurigaan OSA
adalah :
1. Pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk perhitungan Indeks Massa
Tubuh (IMT), sehingga dapat dinilai faktor resiko pasien.
2. Pemeriksaan fisik regio kraniofasial, untuk menilai apakah terdapat kelainan
pada struktur anatomis pasien, baik kongenital maupun yang didapat.
3. Pemeriksaan rongga mulut, menilai bentuk dan ukuran lidah, tonsila palatina,
tonsila lingua, uvula, dan kondisi serta posisi arkus faring.
4. Pemeriksaan spesifik nasofaring melalui rongga hidung, untuk menilai
keadaan nasofaring apakah terdapat massa abnormal, untuk menilai bentuk
dan ukuran tonsila faringeal (adenoid).

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat digunakan kuesioner atau suatu
perhitungan indeks untuk menilai seberapa besar kemungkinan terjadinya OSA pada
seorang individu. Contoh bentuk kuesioner yang dapat digunakan adalah Epworth
Sleepiness Scale (ESS), sedangkan contoh bentuk perhitungan indeks yang dapat
digunakan adalah Multivariable Apnea Prediction (MAP) Index.

Epworth Sleepiness Scale (ESS)

ESS merupakan suatu bentuk kuesioner yang berisikan pertanyaan-pertanyaan untuk


mengukur severitas dari gejala kantuk berlebihan pada pasien OSA.
Multivariable Apnea Prediction Index (MAP)

MAP merupakan suatu perhitungan analisis dimana menggunakan faktor resiko OSA
yang mencakup keluhan utama OSA, gender, usia, dan BMI untuk mendapatkan
suatu batas nilai / indeks resiko kejadian OSA. Batas nilai tersebut antara 0-1, dimana
nilai 0 menunjukan resiko terendah terjadinya OSA pada individu, sedangkan nilai 1
menunjukan resiko tertinggi untuk terjadinya OSA.2

Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakan diagnosis dan menentukan tingkat keparahan dari penyakit ini
haruslah menggunakan polisomnografi. Polisomnografi merupakan pemeriksaan
baku emas untuk menilai kualitas tidur seseorang, karena dapat menilai beragam
parameter selama pasien tertidur.

Polisomnografi (PSG)
PSG merupakan suatu tes diagnostik OSA, yang menggunakan beberapa alat seperti
ensefalografi (EEG) untuk menilai tahap tidur, elektrookulografi (EOG) untuk
menilai pergerakan bola mata, elektrokardiografi (ECG) untuk mengukur aktivitas
jantung, elektromiografi (EMG) untuk mengukur aktivitas otot, oronasal thermistor
dan nasal pressure sensor untuk menilai tekanan jalur respirasi, chest band dan waist
band untuk mengukur usaha napas dan saturasi oksigen arterial. Pengukuran ini
terintegrasi untuk dapat mengukur fase tidur, untuk menegakan diagnosis apnu,
hipopnu, dan gangguan tidur lainnya.2

Melalui PSG, pola pernapasan dan derajat apnu dapat dideteksi. Klasifikasi dari pola
pernapasan adalah sebagai berikut
1. Apnu : Pertukaran atau aliran udara menurun > 90%
2. Hipopnu : Pertukaran atau aliran udara menurun > 30%
3. Respiratory Effort-Related Arousal (RERA) : Suatu pola napas yang
menyebabkan seorang terbangun, namun tidak memenuhi syarat sebagai apnu
maupun hipopnu.
4. Hipoksemia : Saturasi oksigen < 90%

Untuk mengevaluasi dan menegakan diagnosa OSA dapat digunakan salah satu
parameter PSG yaitu apnea-hypopnea index (AHI) untuk menghitung jumlah gejala
apnu dan hipopnu per jam selama pasien tidur. Klasifikasi derajat OSA dengan acuan
AHI adalah sebagai berikut:
● Skor AHI <5 : Normal
● Skor AHI (5-15) : OSA ringan
● Skor AHI (15-30) : OSA sedang
● Skor AHI >30 : OSA berat.32

● Tatalaksana

Tatalaksana pada OSA terdiri dari perubahan pola hidup dan terapi intervensi medis.
Perubahan pola hidup yang telah terbukti secara studi dapat menurunkan kejadian
OSA adalah dengan menurunkan berat badan, menghentikan konsumsi alkohol dan
obat-obatan sedatif, tidur menyamping menghadap kepada satu sisi. Sedangkan terapi
intervensi medis terdiri dari nasal continuous positive airway pressure (CPAP), Bi
level positive airway pressure (BiPAP), terapi dengan alat mekanis, dan operasi.2
Continuous positive airway pressure (CPAP)

CPAP adalah terapi yang paling efektif dan menjadi terapi baku emas untuk OSA.
Alat CPAP terdiri dari blower yang memproduksi tekanan udara positif secara
kontinyu. Aliran udara tersebut dialirkan langsung dari hidung secara direk menuju
ke saluran pernapasan atas. Tekanan tersebut akan memperlebar celah pada daerah
retropalatal dan retroglosal, CPAP efektif untuk mempatensi saluran pernapasan atas
dengan mencegah kolapsnya jaringan lunak sekitar, mengeliminasi apnu dan hipopnu,
serta menormalisasi saturasi oksigen.

Kriteria indikasi untuk pemasangan CPAP pada pasien OSA adalah pasien dengan
skor apnea-hypopnea index (AHI) lebih dari 15. Pada pasien dengan skor AHI 5-14,
CPAP hanya di indikasikan bila ada gejala kelelahan berat pada siang hari, hipertensi,
atau penyakit kardiovaskuler.

Berdasarkan penelitian yang terdahulu, CPAP telah dibuktikan efektif mengatasi


apnu obstruktif, desaturasi oksihemoglobin, mendengkur, memperbaiki gejala
kelelahan berat pada siang hari, menurunkan tekanan darah pada pasien OSA derajat
berat, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.2

Bi-level positive airway pressure (BiPAP)

Berbeda dengan CPAP, BiPAP mengalirkan tekanan konstan pada inspirasi maupun
ekspirasi. Tekanan pada BiPAP dapat disesuaikan sehingga tekanan positif pada
inspirasi dapat mengeliminasi apnu dan pada tekanan positif ekspirasi dapat
mengeliminasi hipopnia. Kelebihan BiPAP untuk dapat mengatur tekanan inspirasi
dan ekspirasi membuat mean airway pressures lebih rendah dibandingkan dengan
CPAP. BiPAP digunakan pada pasien yang tidak dapat menggunakan CPAP yaitu
pada pasien yang mengalami kesulitan untuk ekshalasi, pasien dengan infeksi
barotrauma misalnya infeksi telinga.2
Terapi dengan alat mekanis

Walaupun terapi dengan alat mekanis tidak seefektif CPAP namun terapi mekanis di
indikasikan bagi pasien OSA ringan-sedang yang lebih memilih terapi mekanis
dibandingkan dengan CPAP dan pasien OSA yang tidak berespons baik dengan
CPAP. Tujuan dari terapi mekanis ini adalah untuk mengubah posisi dari stuktur
saluran pernapasan atas sehingga dapat melebarkan saluran pernapasan serta
menurunkan resiko kolaps jalur napas. Terapi mekanis yang sering digunakan untuk
pasien OSA adalah mandibullar advancement device yang memiliki fungsi untuk
memajukan rahang bawah ke arah depan untuk membuka jalur napas. 2

Operasi

Operasi masih merupakan salah satu pilihan terapi dari OSA namun bukan
merupakan terapi yang primer. Operasi di indikasikan apabila pasien memiliki
abnormalitas yang spesifik dan menyebabkan OSA. Operasi juga disarankan bagi
pasien yang menolak terapi non invasif, CPAP, dan terapi mekanis. Beberapa operasi
yang dapat dilakukan antara lain uvulopharingoplasty, maxilomandibullar osteotomy,
trakeostomi, dsb.2
● Prognosis

Prognosis jangka pendek dari OSA yang berhubungan dengan gejala seperti rasa lelah
berlebih pada siang hari dan mendengkur, memiliki prognosis yang bervariasi dari
baik sampai sangat baik dengan pemakaian CPAP secara rutin. Setelah 4-8 minggu
pemakaian CPAP dilaporkan bahwa ada peningkatan dari fungsi kognitif dan status
kesehatan secara general (Medical Outcome Study Short-Form 36 health survey).
OSA dengan derajat berat yang tidak di terapi dapat menyebabkan penyakit seperti
hipertensi, stroke, myocardial infarct, dan gagal jantung kongestif dalam jangka
panjang.
BAB III
KESIMPULAN

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah keadaan repetitif dari obstruksi saluran
pernapasan atas selama tidur. OSA dapat ditegakkan apabila skor apnea-hypopnea
index (AHI) lebih dari sama dengan 5 kejadian/jam, dengan kejadian obstruktif atau
campuran meliputi lebih dari 50% dari total.

OSA biasanya dapat disebabkan karena adanya kelainan struktur anatomi antara lain
karena elongasi fasial, kompresi fasial posterior, kelainan rahang; hipoplasia
mandibular (retrognathia, micrognathia), serta kelainan bentuk palatum (terlalu datar
atau terlalu konveks). Gangguan obstruksi retropalatal, retroglosal, makroglosia,
hipertrofi tonsil (palatina, lingua), hipertrofi adenoid, kelainan yang terdapat pada
Pierre-Robin Syndrome dan Down syndrom dapat menyebabkan terjadinya
mendengkur ataupun OSA.

OSA terjadi karena ketidakmampuan komponen saluran pernapasan atas melawan


resistensi akibat tekanan negatif dan relaksasi otot faringeal pada fase REM saat tidur,
sehingga saluran pernapasan atas kolaps dan menyebabkan kondisi hipoksia atau
hiperkapnia.

OSA dapat menyebabkan gangguan fisiologis seperti meningkatkan gelombang


aktivitas sistem saraf simpatis sekaligus juga menyebabkan gangguan kualitas hidup.

Diagnosis pasti penyakit ini didapatkan dari penemuan gejala dan tanda klinis yang
mengarah pada OSA, serta konfirmasi dengan pemeriksaan polisomnografi untuk
menghitung indeks apnea-hipopnea (AHI) selama pasien tidur.
CPAP adalah terapi yang paling efektif dan menjadi terapi baku emas untuk OSA.
Selain terapi CPAP, tatalaksana lain yang dapat menjadi pilihan adalah perubahan
pola hidup, terapi mekanis oral, dan terapi operasi.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Hays RD, Martin SA, Sesti AM, Spritzer KL. Psychometric properties of the
Medical Outcomes Study Sleep measure. Sleep Med. 2005;6(1):41–4.
2. Fishman A. Fishman's manual of pulmonary diseases and disorders. New
York: McGraw-Hill; 2002.
3. Senaratna C, Perret J, Lodge C, Lowe A, Campbell B, Matheson M et al.
Prevalence of obstructive sleep apnea in the general population: A systematic
review. Sleep Medicine Reviews. 2017;34:70-81.
4. Lee W, Nagubadi S, Kryger M, Mokhlesi B. Epidemiology of obstructive
sleep apnea: a population-based perspective. Expert Review of Respiratory
Medicine. 2008;2(3):349-364.
5. Moore K, Agur A, Dalley A. Essential clinical anatomy. Philadelphia:
Wolters Kluwer Health; 2015.
6. Marieb E, Jackson P. Essentials of Human anatomy & physiology laboratory manual.
7th ed. Benjamin Cummings; 2003.
7. Clinical Head and Neck and Functional Neuroscience Course Notes, 2008-
2009, Uniformed Services University of the Health Sciences School of Medicine,
Bethesda, Maryland
8. Jordan A, White D. Pharyngeal motor control and the pathogenesis of obstructive
sleep apnea. Respiratory Physiology & Neurobiology. 2008;160(1):1-7.
9. Siegel J. Sleep viewed as a state of adaptive inactivity. Nature Reviews
Neuroscience. 2009;10(10):747-753.
10. [Internet]. 2019 [cited 16 February 2019]. Available from:
http://healthysleep.med.harvard.edu
11. Xu Z, Cheuk D, Lee S. Clinical Evaluation in Predicting Childhood Obstructive Sleep
Apnea. Chest. 2006;130(6):1765-1771.
12. Roux O. Sleep related breathing disorder and cardiovascular disease.
American J med 2000; 188: 398-400
13. Young T. Risk Factors for Obstructive Sleep Apnea in Adults. JAMA.
2004;291(16):2013.
14. Varvarigou V, Dahabreh I, Malhotra A, Kales S. A Review of Genetic
Association Studies of Obstructive Sleep Apnea: Field Synopsis and Meta-
Analysis. 2019.
15. Tan H, Kheirandish-Gozal L, Abel F, Gozal D. Craniofacial syndromes and
sleep-related breathing disorders. Sleep Medicine Reviews. 2016;27:74-88.
16. Agrama M. Thyroidectomy for goiter relieves obstructive sleep apnea:
results of 8 cases. 2011;.
17. Attal P, Chanson P. Endocrine Aspects of Obstructive Sleep Apnea. The
Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 2010;95(2):483-495.
18. Hudgel D. Variable site of airway narrowing among obstructive sleep apnea patients.
Journal of Applied Physiology. 1986;61(4):1403-1409.
19. Suratt P, McTier R, Findley L, Pohl S, Wilhoit S. Changes in Breathing and the
Pharynx after Weight Loss in Obstructive Sleep Apnea. Chest. 1987;92(4):631-637.
20. MORRELL M, ARABI Y, ZAHN B, BADR M. Progressive Retropalatal Narrowing
Preceding Obstructive Apnea. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine. 1998;158(6):1974-1981.
21. Verbraecken J, De Backer W. Upper Airway Mechanics. Respiration.
2009;78(2):121-133.
22. [Internet]. Atsjournals.org. 2019 [cited 17 February 2019]. Available from:
https://www.atsjournals.org/doi/full/10.1164/rccm.201209-1654OC
23. Hudgel D, Chapman K, Faulks C, Hendricks C. Changes in Inspiratory Muscle
Electrical Activity and Upper Airway Resistance during Periodic Breathing Induced by
Hypoxia during Sleep1–3. American Review of Respiratory Disease.
1987;135(4):899-906.
24. Badr M, Toiber F, Skatrud J, Dempsey J. Pharyngeal narrowing/occlusion during
central sleep apnea. Journal of Applied Physiology. 1995;78(5):1806-1815.
25. Horner R. Impact of brainstem sleep mechanisms on pharyngeal motor control.
Respiration Physiology. 2000;119(2-3):113-121.
26. Fogel R, Trinder J, Malhotra A, Stanchina M, Edwards J, Schory K et al. Within-
Breath Control of Genioglossal Muscle Activation in Humans: Effect of Sleep-Wake
State. The Journal of Physiology. 2003;550(3):899-910.
27. Bradley T, Floras J. Pathophysiologic and therapeutic implicationsof sleep apnea in
congestive heart failure. Journal of Cardiac Failure. 1996;2(3):223-240.
28. Carlson J, Hedner J, Elam M, Ejnell H, Sellgren J, Wallin B. Augmented Resting
Sympathetic Activity in Awake Patients With Obstructive Sleep Apnea. Chest.
1993;103(6):1763-1768.
29. Xu W, Chi L, Row B, Xu R, Ke Y, Xu B et al. Increased oxidative stress is associated
with chronic intermittent hypoxia-mediated brain cortical neuronal cell apoptosis in a
mouse model of sleep apnea. Neuroscience. 2004;126(2):313-323.
30. Berry R, Gleeson K. Respiratory Arousal From Sleep: Mechanisms and Significance.
Sleep. 1997;20(8):654-675.
31. Farber J, Schechter M, Marcus C. Clinical Practice Guideline: Diagnosis and
Management of Childhood Obstructive Sleep Apnea Syndrome. PEDIATRICS.
2002;110(6):1255-1257.
32. Francis D, Sheski M. Medical thoracoscopy: equipment, procedure, and
complications. 2018; 17-9
33.

Anda mungkin juga menyukai