Anda di halaman 1dari 10

TUGAS

ILMU PRODUKSI TERNAK POTONG DAN KERJA

STATUS FAALI PADA TERNAK

Oleh :

Nama : Muhd. Fathurrahman

NIM : B1D018193

Kelas : 3B2

PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN


UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
FISIOLOGI TERNAK STATUS FAALI

Status faali yang meliputi respirasi, pulsus, dan temperatur rektal merupakan
suatu parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi atau keadaan
kesehatan suatu ternak yang dapat dilakukan dengan percobaan langsung.
Kondisi status faali ternak merupakan indikasi dari kesehatan dan adaptasi
ternak terhadap lingkungannya. Ternak akan selalu beradaptasi dengan
lingkungan tempat hidupnya, apabila lingkungan dengan suhu dan kelembapan
yang tinggi dapat menyebabkan stres (cekaman) karena sistem pengaturan
panas tubuh dengan lingkungannya menjadi tidak seimbang. Ternak domba
termasuk hewan homoitherm yang memiliki kemampuan untuk mempertahankan
suhu tubuhnya agar tetap stabil, sehingga terjadi keseimbangan antara panas
yang diproduksi dengan panas yang dikeluarkan kesekelilingnya (Schmidt,
1997).

Respirasi

Respirasi meliputi semua proses kimia dan fisik dimana organisme


menukar udara atau gas dengan lingkungannya. Prinsip pertukaran udara
meliputi oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), dimana oksigen diambil dari
atmosfer yang diperlukan jaringan tubuh untuk metabolisme dan oksidasi,
sedangkan karbondioksida merupakan produk akhir yang penting dari
metabolisme dan harus dibuang dari tubuh (Kustono et al., 2008). Respirasi pada
unggas digunakan juga sebagai media pembuangan panas (Yuwanta, 2004).

Kustono et al., (2008) menyatakan bahwa istilah pernafasan yang lazim


digunakan menyangkut dua proses, yaitu external respiration (pernafasan luar),
yaitu pertukaran udara yang terjadi di dalam paru-paru, penyerapan O2 dan
pengeluaran CO2 dari tubuh secara keseluruhan. Internal respiration (pernafasan
dalam), yaitu pertukaran udara yang terjadi pada jaringan-jaringan, penggunaan
O2 dan pembentukan CO2 oleh sel-sel tubuh.

Frekuensi respirasi adalah jumlah perputaran atau jumlah pernafasan tiap


menit. Frekuensi respirasi merupakan indikator yang baik untuk mengetahui
status kesehatan, tetapi harus mengira dengan sepatutnya karena ini
dipengaruhi beberapa variasi. Alat-alat pernafasan pada mamalia terdiri dari
paru-paru dan saluran-saluran udara (lubang hidung, cavum nasalis, pharynx,
trakhea, dan bonkus) (Kustono et al., 2008).
Isnaeni (2006), menyatakan bahwa hewan yang memiliki tingkat
perkembangan lebih tinggi biasanya mempunyai aktivitas metabolisme yang
lebih tinggi dan ukuran tubuh lebih besar. Hewan dengan tingkat perkembangan
yang tinggi memerlukan O2 dalam jumlah lebih besar pula. Faktor yang
mempengaruhi pernapasan yaitu aktivitas tubuh, emosi, rasa sakit, takut, impuls
aferen dan pengendalian secara sadar (Gabriel, 1996). Kisaran normal beberapa
hewan ternak dapat diamati pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Kisaran respirasi normal pada ternak

Spesies Kisaran Respirasi (kali/menit)

Sapi 24-42
Kambing 26-54
Domba 26-32
Kelinci 25-37
Ayam 18-23

(Frandson, 1996).

Pulsus

Pulsus merupakan denyut jantung. Suhu siklus jantung menghasilkan


sekali denyutan jantung. Ritme denyut jantung dikendalikan oleh catat kontraksi
dan relaksasi serambi dan bilik jantung yang berlangsung secara bergantian
(Isnaeni, 2006). Campbell et al., (2002) menyatakan bahwa jantung adalah organ
pemompa darah keseluruh tubuh yang memiliki gugus sel untuk menunjukkan
laju dan waktu ketika semua otot sel berkontraksi. Aktivitas jantung dalam
melaksanakan tugasnya dipengaruhi oleh sistem saraf. Sistem ini bekerja
dengan kombinasi tertentu dan fungsional. Saraf misalnya eferen, saraf cardial
anhibitory dan saraf accelerate. Kecepatan denyut jantung dapat dipengaruhi
oleh temperatur ternak, aktivitas tubuh, letak geografis, dan penyakit atau strees
(Dukes, 1995). Kisaran normal pulsus beberapa hewan ternak dapat diamati
pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Kisaran normal pulsus ternak


Spesies Kisaran pulsus (kali/menit)

Sapi 60-70
Domba 70-135
Kelinci 125-304
Ayam 180-450

(Schmidt, 1997).

Temperatur Rektal

Temperatur rektal digunakan sebagai ukuran temperatur suhu


tubuh karena suhu rektum merupakan suhu yang paling optimal. Hewan
homoitherm sudah mempunyai pengatur panas tubuh yang telah
berkembang biak (Dukes, 1995). Ayam adalah hewan homoiterm yaitu
hewan yang mempunyai pengatur panas tubuh konstan, meskipun hewan
tersebut hidup pada temperatur lebih rendah atau lebih tinggi dari
temperatur tubuhnya (Yuwanta, 2004). Hewan homoiterm terus-menerus
memproduksi panas yang dapat memberikan panas tubuh pada
lingkungannya, apabila suhu lingkungan naik, maka suhu tubuhnya juga
naik, begitu pula sebaliknya (Dukes, 1995).
Yuwanta (2004), menyatakan bahwa temperatur tubuh pada unggas
berkisar antara 39oC sampai 41oC. Suhu kurang dari 80oC pembuangan panas
tubuh dilakukan dengan radiasi, konveksi, konduksi, dari seluruh permukaan
tubuh ayam. Sebaliknya apabila temperatur udara lingkungan lebih dari 80oC,
pembuangan panas dilakukan dengan penguapan air lewat saluran pernafasan
yang dilakukan secara cepat.

Thermoregulasi adalah proses yang terjadi pada hewan untuk mengatur


suhu tubuhnya supaya tetap konstan sehingga tubuh tidak mengalami
perubahan suhu yang terlalu besar. Mekanisme thermoregulasi yang dilakukan
hewan ialah mengatur keseimbangan antara perolehan dan kehilangan panas.
Suhu tubuh yang konstan diperlukan karena perubahan suhu dapat
mempengaruhi konformasi protein dan aktivitas enzim yang menyebabkan
aktivitas sel pun akan terganggu (Isnaeni, 2006). Temperatur rektal pada ternak
dipengaruhi beberapa faktor yaitu temperatur lingkungan, aktivitas, pakan,
minuman, dan pencernaan, produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung
tergantung pada makanan yang diperolehnya dan banyaknya persediaan
makanan dalam saluran pencernaan (Dukes, 1995). Kisaran temperatur rektal
pada hewan ternak dapat diamati pada tabel di bawah ini.

Tabel 3. Kisaran normal temperatur rektal ternak

Spesies Kisaran temperatur rektal (oC)

Sapi 36,7-39,1
Domba 38,5-39,9
Kelinci 38,5-40,1
Ayam 41,5-41,9

(Schmidt, 1997).

A. Status Faali Domba


Daging domba merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak
dikonsumsi masyarakat, terutama di pulau Jawa. Domba banyak dipelihara di
pedesaan dalam pemeliharaan skala kecil maupun besar. Konsumsi protein
hewani masyarakat perkotaan lebih tinggi bila dibandingkan masyarakat
pedesaan, sehingga memungkinkan adanya transportasi dari desa menuju kota
untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani.
Transportasi dapat menyebabkan suatu kondisi stres yang berdampak terhadap
produktivitas dan perubahan kondisi fisilogis. Domba akan mengalami stres
fisiologis seperti rasa lapar dan rasa haus, stres psikologis karena adanya
guncangan pada saat transportasi hingga stres akibat lingkungan yang berbeda
seperti perubahan iklim dan suhu. Perbedaan iklim dan suhu pada daerah yang
dilalui saat transportasi akan mengakibatkan domba melakukan proses
homeostasis, yaitu suatu cara untuk mempertahankan keadaan suhu tubuhnya agar
relatif konstan.
Temperatur tubuh, frekuensi pernapasan, dan denyut jantung merupakan hal
penting dalam upaya mempertahankan status fisiologi. Meningkatnya suhu
lingkungan dapat meningkatkan frekuensi pernapasan dalam upaya melepaskan
panas tubuh. Proses tersebut terjadi karena pada umumnya ternak tidak
mempunyai cukup kelenjar keringat untuk membuang panas melalui penguapan
(Soeharsono dkk., 2010).
Peningkatan aktivitas pernapasan sebagai akibat suhu lingkungan merupakan
suatu upaya untuk memelihara suhu badan pada tingkat yang normal. Selain
peningkatan frekuensi pernapasan, terjadi juga proses vasodilatasi yaitu
pembesaran pembuluh darah sehingga darah beredar dengan cepat dan dapat
meningkatkan denyut jantung. Domba sebagai ternak homeotherm akan berusaha
untuk mempertahankan temperatur tubuh agar realtif konstan. Temperatur tubuh,
frekuensi pernapasan dan denyut jantung menjadi indikator ideal untuk penilaian
stres pada ternak.
Saat pengeluaran panas tubuh melalui keringat, kehilangan cairan tubuh
urinasi dan defekasi tidak hanya mengeluarkan air tetapi juga mengeluarkan ion-
ion seperti Na+, K+, dan Cl- yang terdapat dalam tubuh. Ion-ion tersebut berperan
penting sebagai elektrolit pada cairan tubuh. Kehilangan cairan tubuh selama
transportasi dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi yang dapat mengakibatkan
kehilangan bobot badan (Kassab dan Mohammed, 2014). Upaya untuk
menghindari terjadinya kehilangan cairan tubuh beserta ion-ion yang penting (Na
dan K) dapat dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit alami yang
mempunyai kandungan yang sama dengan cairan tubuh.
Akumulasi stres akibat tingginya perubahan lingkungan dan minimnya
ketersediaan air, dapat memacu produksi radikal bebas seiring dengan
meningkatnya kerja mitokondria. Upaya yang dapat dilakukan untuk menangkal
radikal bebas adalah dengan pemberian antioksidan. Antioksidan dapat
menghambat pembentukan radikal bebas sehingga mencegah terjadinya kerusakan
pada sel-sel dalam tubuh.
Pemberian cairan elektrolit dan antioksidan yang berasal dari bahan alami
memiliki keunggulan lebih aman dibandingkan bahan sintesis (Pokorny, 2007).
Air kelapa merupakan elektrolit alami yang kandungannya mirip dengan cairan di
dalam tubuh. Kandungan yang terdapat dalam air kelapa, berupa ion Na+ dan K+.
Kandungan Na+ dan K+ yang terkandung pada air kelapa yaitu masing-masing
105 mg/l dan 312 mg/l (Yong, dkk., 2009). Rosela sebagai antioksidan alami
dapat dimanfaatkan karena memiliki kandungan antioksidan tinggi. Antioksidan
yang terkandung dalam rosela yaitu senyawa fenolik, antosianin, Vitamin C,
polifenol, dan flavonoid (Sharwan, 2011 dalam Jung, dkk., 2013), sedangkan
berdasarkan hasil analisis kelopak rosela di Laboratorium Penelitian dan
Pelayanan Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Padjadjaran (2014), dalam 100 gram kelopak rosela kering terdapat
asam askorbat sebanyak 250,75 mg.
B. Status Faali Kambing
Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat,
maka bertambah pula pengetahuan masyarakat akan pentingnya nilai gizi yang
menyebabkan peningkatan konsumsi produk-produk ternak. Peningkatan ini
terlihat pada konsumsi daging, salah satu daging yang meningkat kebutuhannya
adalah daging kambing. Kambing sebagai salah satu penghasil protein hewani
mempunyai peranan yang cukup penting bagi peternak kecil karena harga ternak
lebih terjangkau oleh daya beli, mudah dalam pemeliharaan dan murah dalam
biaya produksi.
Ternak kambing mempunyai beberapa kelebihan dibanding ternak lain.
Menurut Harmadji (1978), kambing mempunyai sifat alami yang menguntungkan
antara lain dapat beranak dua atau tiga ekor per kelahiran. Disamping itu, masa
kebuntingan lebih pendek dibandingkan dengan ternak besar, sehingga dalam
waktu yang dekat kambing mampu meningkatkan populasi yang lebih dari pada
ternak sapi.
Produktivitas kambing dipengaruhi oleh faktor geenetik dan lingkungan.
Kondisi lingkungan yang terlalu panas atau terlalu dingin serta kelembaban yang
tinggi dapat memengaruhi respon fisiologi ternak.
Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas ternak ialah
iklim. Iklim satu lokasi adalah satu rantaian keadaan sistem iklim yang lebih
besar, maka perubahan dalam suatu iklim akan mengakibatkan perubahan kepada
sistem iklim yang lebih besar yang secara nyata mempengaruhi respon fisiologis
ternak, seperti suhu rektal, frekuensipernapasan, dan denyut jantung (Purwanto et
al.,1991).
Ketinggian suatu tempat berpengaruh sangat nyata terhadap respon fisiologis
kambing. Rata-rata suhu rektal, denyut jantung dan respirasi kambing di dataran
rendah (P1) sebesar 39,33 0C±0,8470C, 84±0,407 kali/menit, dan 42±0,054
kali/menit dan rata-rata suhu rektal, denyut jantung dan respirasi kambing di
dataran tinggi (P2) sebesar 39,110C ±0,563 0C, 74±0,877 kali/menit, dan
31±0,078 kali/menit.
C. Status Faali Sapi
Suhu tubuh pada ternak dipengaruhi oleh suhu lingkungan, aktivitas, pakan,
minuman, dan pencernaan. Produksi panas oleh tubuh secara tidak langsung
tergantung pada makanan yang diperoleh dan banyaknya persediaan makanan
dalam saluran pencernaan (Dukes, 1995). Suhu tubuh pedet sapi bali yang
diperoleh berada dalam kisaran 38-39°C. Suhu ini mirip dengan yang dilaporkan
pada bangsa sapi lain seperti sapi perah 38,5- 40,0°C (Bayer, 1984). Secara
fisiologi, suhu tubuh akan meningkat hingga 1,5ºC pada saat setelah makan, saat
partus, terpapar suhu lingkungan yang tinggi, dan ketika hewan banyak
beraktivitas fisik maupun psikis (Kelly, 1984).
Menurut Collier et al., (1982) bahwa ternak homeoterm dalam kondisi suhu udara
yang tinggi akan mengadakan penyesuaian metabolisme sehingga dicapai kondisi
yang seimbang. Suhu tubuh merupakan parameter dasar yang dipakai untuk
menduga daya adaptasi ternak (Amakiri dan Funsho, 1979).
Frekuensi respirasi pedet umur empat dan lima bulan antara pagi, siang, dan sore
hari tidak berbeda, sedangkan untuk pedet umur enam bulan frekuensi
respirasinya mengalami perbedaan yang nyata antara pagi dengan siang, maupun
pagi dengan sore, namun antara siang dengan sore tidak berbeda. Hal ini
disebabkan karena pakan pedet umur enam bulan sudah didominasi rumput jika
dibandingkan umur empat dan lima bulan. Ada perbedaan frekuensi pernafasan
dengan pemberian ransum dengan kualitas yang berbeda. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan peningkatan kualitas ransum yang diberikan pada ternak
menambah beban panas. Keadaan ini disebabkan adanya aktivitas ternak dalam
mencerna pakan, karena proses pencernaan menghasilkan energi yang diubah
menjadi panas. Aktivitas dalam tubuh yang semakin besar membutuhkan oksigen
lebih banyak dan kebutuhan oksigen didapat dari luar tubuh dengan jalan
peningkatan frekuensi pernafasan (Purwanto et al.,1995).
Perubahan frekuensi pernafasan sejalan dengan peningkatan suhu udara, hal
tersebut menyebabkan ternak meningkatkan frekuensi pernafasan untuk
melepaskan panas (Purwanto et al., 1995). Frekuensi pernafasan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, di antaranya adalah ukuran tubuh, umur, aktivitas fisik,
kegelisahan, suhu lingkungan, kebuntingan, adanya gangguan pada saluran
pencernaan, kondisi kesehatan hewan, dan posisi hewan (Kelly, 1984).
Peningkatan respirasi juga digunakan sebagai indikator dalam peningkatan suhu
(Gaughan et al., 2000).
Perubahan frekuensi pulsus pedet umur empat dan lima bulan pada pagi,
siang, dan sore tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena pedet umur empat
dan lima bulan mengalami tingkat kegelisahan yang tinggi ketika restrain pegang
ekor, sehingga pada pemeriksaan arteri koksigea menjadi sangat berpengaruh.
Pada umur empat dan lima bulan pengaruh suhu lingkungan tidak terlalu
berpengaruh sebab yang memberi pengaruh dominan adalah aktivitas fisik atau
tingkat kegelisahan pedet. Pada pedet umur enam bulan ada perubahan yang nyata
antara pagi dengan siang hari dan siang dengan sore hari, ini disebabkan oleh
pengaruh suhu lingkungan yang tinggi pada siang hari. Peningkatan frekuensi
pulsus seiring dengan meningkatnya suhu udara, hal ini akan berdampak terhadap
naiknya produksi panas di dalam tubuh ternak sehingga ternak berusaha
mempercepat frekuensi pulsus untuk membuang panas. Peningkatan suhu udara
dengan diikuti peningkatn frekuensi pulsus merupakan mekanisme fisiologi ternak
(Purwanto et al., 1995).
Perubahan frekuensi pulsus pedet umur empat dan lima bulan pada pagi,
siang, dan sore hari tidak jauh berbeda karena sangat dipengaruhi oleh tingkat
kegelisahan dari pedet, sedangkan pada pedet umur enam bulan yang memiliki
tingkat ketenangan lebih tinggi mengalami peningkatan frekuensi pulsus pada
siang hari dan kembali menurun pada sore hari mendekati frekuensi pagi.
Ini disebabkan karena pada siang hari suhu lingkungan lebih tinggi
jikadibandingkan pagi dan sore hari. Jika suhu lingkungan naik maka tubuh akan
beradaptasi dengan meningkatkan frekuensi denyut nadi dan frekuensi respirasi
sehingga panas tubuh akan dialirkan oleh darah lebih cepat dan dikeluarkan dari
tubuh melalui konduksi, konveksi, dan evaporasi. Frekuensi pulsus
menggambarkan kuat lemahnya kerja jantung dalam tubuh. Peningkatan frekuensi
pulsus merupakan respons tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima
ke dalam organ-organ yang lebih dingin (Anderson, 1983).
Frekuensi degup jantung pedet umur empat dan lima bulan tidak berbeda
dan pedet umur enam bulan mengalami perubahan frekuensi degup jantung yang
nyata antara pagi dengan siang hari, dan siang dengan sore hari. Ini tidak jauh
berbeda hasilnya dengan frekuensi pulsus. Frekuensi pulsus dan frekuensi degup
jantung pada hewan sehat selalu sinkron. Frekuensi pulsus yang lebih rendah dari
frekuensi degup jantung menandakan adanya insufisiensi jantung yang ditandai
dengan kelemahan ventrikular (Rosenberger, 1979).
Hal ini karena aktivitas fisik pedet umur empat bulan lebih tinggi dari pedet umur
lima dan enam bulan. Pada saat pemeriksaan terlihat pedet umur empat bulan
mempunyai tingkat kegelisahan yang lebih tinggi dari pada pedet umur lima dan
enam bulan. Selain itu, tingginya status praesen pedet umur empat bulan jika
dibandingkan dengan pedet umur lima dan enam bulan juga karena perubahan
aktivitas mikroba dan metabolisme di dalam tubuh pedet karena pada pedet umur
empat bulan terjadi peralihan pakan dari menyusu ke rumput sehingga ketika
memulai mendapatkan pakan rumput, rumen akan mulai berfungsi dan
mempengaruhi metabolisme di dalam tubuh pedet. Alat pencernaan mencapai
tahap sapi dewasa pada umur delapan minggu, namun kapasitas rumen masih
kecil sehingga belum dapat mencerna rumput atau pakan kasar lainnya secara
maksimal (Natal, 2013). Status praesen pada setiap pedet berbeda-beda tergantung
dari umur, aktivitas fisik, suhu lingkungan, pakan dan metabolisme di dalam
tubuh.
Referensi:
Aria Wiria Atmaja. Laporan Praktikum Fisiologi Ternak Acara I Status Faali.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Imam Darussalam, dkk. 2015. Perubahan Bobot Badan dan Status Faali Domba
Priangan Yang diberi Larutan Elektrolit Berbasis Air Kelapa dan Ekstrak Rosela
Sebelum Transportasi. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Hadi Pramono, dkk. 2012. Respon Fisiologis Kambing Boerawa Jantan Fase
Pascasapih di Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi. Lampung: Universitas
Lampung.
Wirul Bakti. 2018. Perubahan Fisik Dan Faali Induk Kambing Kacang Yang
Disilangkan Dengan Kambing Boer Pada Kebuntingan Trisemester Terakhir Dan
Hubungannya Dengan Tipe Kelahiran. Mataram: Universitas Mataram.
Sayu Raka Padma Wulan Sari, dkk. 2016. Status Praesen Pedet Sapi Bali.
Denpasar-Bali: Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai