Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

MORBUS HANSEN

Disusun Oleh:
Yohanes Edwin Budiman 0906508541
Farah Asyuri Yasmin 0906552611
Christopher Rico Andrian 0906554251
Deriyan Sukma Widjaja 0906554270

Narasumber:
dr. Aida Suryadiredja, SpKK(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO
MEI 2013

0
BAB I
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Alamat : Rappang Barat, Kec. Mapilli
Suku Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pelajar SMP
Tanggal masuk RS : 29 Desember 2015

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan di UGD RSUD POLMAN pada tanggal 29 Desember
2015, pukul 11.40 WITA secara autoanamnesis dan alloanamnesis.

Keluhan Utama:
Baal, bercak kemerahan sekitar 7 bulan yang lalu dan luka-luka pada seluruh
badan, kedua tangan dan kedua kaki yang semakin meluas serta keluarnya rembesan
darah dari sekitar kulit yang tersasa baal tersebut sejak 4 bulan sebelum masuk
Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien mengatakan sejak bulan Mei 2015, ia merasakan terdapat bercak putih
pada perut, bercak tersebut dikatakan pasien tidak terasa gatal atau pun nyeri, dan
menyebar keseluruh tangan dan kaki. Gatal dirasakan pasien tidak dipengaruhi oleh
keluarnya keringat. Kemudian, sekitar bulan Agustus 2015 pasien menyadari bercak
tersebut terkelupas dan mengeluarkan darah. Lama-kelamaan, luka tersebut semakin
membesar dan terus mengeluarkan darah. Pasien sudah berobat ke Puskesmas, dan
diberikan obat paket untuk penyakit kusta, tetapi pasien tidak rutin minum obat
tersebut.
Pasien mengatakan di lingkungan sekitarnya tidak ada yang memiliki keluhan
serupa dengan pasien. Aktivitas sehari-hari pasien adalah sekolah dan bermain bola di
lapangan sekolah yang terbuat dari semen. Pasien dalam sehari mandi 1 kali,
1
menggunakan sabun mandi, dan setiap kali selesai mandi menggunakan baju bersih.
Riwayat penggunaan alat mandi atau handuk bersama dengan anggota keluarga
lainnya tidak ada. Sehari-hari pasien tidak memelihara binatang atau pun berkontak
dengan binatang. Riwayat bercocok tanam, berkebun, atau bermain di tempat tanah
dikatakan pasien tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pada keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.

STATUS GENERALIS
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak sakit
Tekanan Darah : 120/80 MmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 38,5°C
Kepala : Mata :Konjungtiva Anemis -/- Sklera ikterik: -/-
Leher : Trakea ditengah, pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : SI-II normal, Bising (-)
Paru : Suara pernapasan bronkovesikuler, ronki -/-,
wheezing -/-
Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal, nyeri epigastrium (-)
Hepar/Lien : tidak teraba membesar
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

STATUS NEUROLOGIS
- GCS : 15 (E4M6V5)
- Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
- Kekuatan motorik : 5555 5555
5555 5555
+2 +2
- Refleks fisiologis: +2 +2

2
- Pemeriksaan saraf perifer:
o Nervus aurikularis magnus : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
o Nervus ulnaris : ada pembesaran, ada nyeri
o Nervus poplitea lateralis : ada pembesaran, ada nyeri
o Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
- Pemeriksaan sensorik: terdapat hipestesi pada lesi di perut, dada, tangan,
punggung, dan kaki

STATUS DERMATOLOGIKUS

Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip,
dan persebarannya diskret.

3
Pada regio tangan kanan dan kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi
eritematosa, multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval,
diberbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret, disertai juga ulkus dan pus.

Pada regio kaki kanan dan kiri terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi eritematosa,
multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval, diberbatas
sirkumskrip, dan persebarannya diskret, disertai juga ulkus dan pus.

4
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Laboratorium tgl 29-12-2015 (UGD)
WBC 26.0 x 103/Ul
RBC 2.01 x 106/Ul
HGB 5.6 g/dl
PLT 330x103 /Ul
GDS 84 mg/dl

Diagnosis: MH - MB + anemia

RESUME
Pasien laki-laki, 19 tahun, dengan keluhan bercak putih pada perut, bercak tersebut
tidak terasa gatal atau pun nyeri, dan menyebar keseluruh tangan dan kaki. Gatal
dirasakan pasien tidak dipengaruhi oleh keluarnya keringat. Kemudian, sekitar bulan
Agustus 2015 pasien menyadari bercak tersebut terkelupas dan mengeluarkan darah.
Lama-kelamaan, luka tersebut semakin membesar dan terus mengeluarkan darah.
Pasien sudah berobat ke Puskesmas, dan diberikan obat paket untuk penyakit kusta,
tetapi pasien tidak rutin minum obat tersebut. Sehari-hari pasien tidak memelihara
binatang atau pun berkontak dengan binatang. Riwayat bercocok tanam, berkebun,
atau bermain di tempat tanah dikatakan pasien tidak ada.

DIAGNOSIS
MH - MB + anemia

DIAGNOSIS BANDING
Tinea korporis

5
PENGOBATAN/TATALAKSANA:
- Non-medikamentosa
o Edukasi mengenai penyakit dan rencana pengobatan bekepanjangan
o Teratur meminum obat dan kontrol setiap bulan
o Menjaga hygiene sepeti mengganti baju dan mandi setiap kali
berkeringat
o Menjaga kontak dengan orang lingkungan sekitar untuk mencegah
penularan
o Menjaga kebersihan lesi dari luka atau kotoran
- Medikamentosa
o IVFD RL 28 tpm
Ceftriaxone 1 gr/ 12 jm/ bolus
Ranitidin 1 amp/ 8 jam/ bolus
Pct 1vial/ 8 jam/ drips
Ondancentron 1 amp/8jam/bolus
Sohobion 1 amp /24 jam/ drips
o MDT-MB program WHO (12-18 bulan)
 Hari ke-1 (dari 28 hari)
 Rifampisin 1x 600 mg/hari
 DDS 1x100mg/hari
 Klofazimin 1x300mg/hari
 Hari ke-2 sampai 28 (dari 28 hari)
 DDS 1x100 mg/hari
 Klofazimin 1x50mg/hari
o Rawat luka:
Kompres Nacl
Otogenta cream
o Rencana transfusi PRC 2 bag

PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad Bonam
Ad fungsionam : dubia

6
Follow Up
Tgl S O A p Catatan
30/12-15 Luka melepuh Papul eritema, MH-MB + MDT MB Lab
di badan,kaki nodul eritem, Lucio IVFD RL 28 tpm WBC 19.7 x
dan tangan, ulkus, krusta Phenomena Ceftriaxone 1 gr/ 12 103/Ul
mual (+), + anemia jm/ bolus RBC 2.67 x
muntah(+), Ranitidin 1 amp/ 8 106/Ul
demam (-) jam / bolus HGB 7.6 g/dl
Pct 1vial/ 8 jam/ drips PLT 226x103
Ondancentron 1 amp /Ul
/8jam/bolus GDS 74 mg/dl
Sohobion 1 amp /24 Ur 17 mg/dl
jam / drips Cr 0,75 mg/dl
Rawat luka kompres SGOT 34 U/L
NaCl + otogenta SGPT 14 U/L
cream Telah masuk
Cek: SGOT/PT, PRC 2 bag
Ur/Cr
31/12-15 Luka melepuh Papul eritema, MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
(+),Demam (-) nodul eritem, Lucio
Ceftriaxone 1 gr/ 12
muntah(-) ulkus, krusta Phenomena jm/ bolus
Sohobion 1 amp /24
+ anemia
jam/ drips
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
2/1-16 Luka(+), Papul eritema, MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
Demam(-), nodul eritem, Lucio
Ceftriaxone 1 gr/ 12
muntah(-), ulkus, krusta Phenomena jm/ bolus
Sohobion 1 amp /24
kaki sulit + anemia
jam/ drips
digerakkan Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
4/1-16 Luka(+), Papul eritema, MH-MB + MDT MB Rencana
IVFD RL 28 tpm
Demam(-), nodul eritem, Lucio transfusi PRC
Ceftriaxone 1 gr/ 12
muntah(-), ulkus, krusta Phenomena jm/ bolus 2 bag
Sohobion 1 amp /24
kaki dapat + anemia
jam/ drips
digerakkan Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream

7
5/1-16 Luka(+), Papul eritema, MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
Demam(+), nodul eritem, Lucio
Ceftriaxone 1 gr/ 12
ulkus, krusta Phenomena jm/ bolus
Sohobion 1 amp /24
+anemia
jam/ drips
Pct 1vial/ 8 jam/ drips
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
6/1-16 Luka(+), Papul eritema, MH-MB + MDT MB Lab:
IVFD RL 28 tpm
Demam(+), nodul eritem, Lucio WBC 12.0 x
Ceftriaxone 1 gr/ 12
ulkus, krusta Phenomena jm/ bolus 103/Ul
Sohobion 1 amp /24
RBC 3.61 x
jam/ drips
Ibuprofen 3x1 106/Ul
Rawat luka kompres
HGB 10.3
NaCl + otogenta
cream g/dl
PLT 264x103
/Ul
7/1-16 Luka(+), Papul eritema, MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
Demam(+), nodul eritem, Lucio
Ceftriaxone 1 gr/ 12
ulkus, krusta Phenomena jm/ bolus
Sohobion 1 amp /24
jam/ drips
Ibuprofen 3x1
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
8/1-16 Luka (+) eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
mulai eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
mengering, krusta Phenomena jam/ drips
Rawat luka kompres
Demam (-)
NaCl + otogenta
cream
9/1-16 Luka (+) eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
mulai eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
mengering, krusta Phenomena jam/ drips
Rawat luka kompres
Demam (-)
NaCl + otogenta
cream
10/1-16 Luka eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
mengering, eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
kaki susah krusta Phenomena jam/ drips
Ibuprofen 3x1
digerakkan
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+

8
dan nyeri Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
11/1-16 Luka eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
mengering, eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
kaki sulit krusta Phenomena jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
digerakkan
jam/ bolus
dan nyeri Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
12/1-16 Luka eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL: Dextrose =
mengering, eritem, ulkus, Lucio
2:1 28 tpm
nafsu makan krusta Phenomena Sohobion 1 amp /24
jam/ drips
menurun, kaki
Interhistin 3x1
sulit As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
digerakkan
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
13/1-16 Nyeri kaki dan eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL: Dextrose =
sulit eritem, ulkus, Lucio
2:1 28 tpm
digerakkan krusta Phenomena Sohobion 1 amp /24
jam/ drips
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
14/1-16 Nyeri kaki dan eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
sulit eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
digerakkan krusta Phenomena jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi

9
15/1-16 Nyeri kaki dan eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
sulit eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
digerakkan krusta Phenomena jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
16/1-16 Nyeri kaki dan eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
sulit eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
digerakkan krusta Phenomena jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
18/1-16 Nyeri kaki dan eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL 28 tpm
sulit eritem, ulkus, Lucio
Sohobion 1 amp /24
digerakkan krusta Phenomena jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
19/1-16 Nyeri kaki dan eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL: Dextrose =
sulit eritem, ulkus, Lucio
2:1 28 tpm
digerakkan krusta Phenomena Sohobion 1 amp /24
jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
21/1-16 Nyeri pada eritema, nodul MH-MB + MDT MB

10
luka (+), nafsu eritem, ulkus, Lucio IVFD RL: Dextrose =
2:1 28 tpm
makan krusta Phenomena
Sohobion 1 amp /24
menurun jam/ drips
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
22/1-16 Nyeri pada eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL: Dextrose =
luka (+), nafsu eritem, ulkus, Lucio
2:1 28 tpm
makan krusta Phenomena Sohobion 1 amp /24
jam/ drips
menurun
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
23/1-16 Nyeri pada eritema, nodul MH-MB + MDT MB
IVFD RL: Dextrose =
luka (+), nafsu eritem, ulkus, Lucio
2:1 28 tpm
makan krusta Phenomena Sohobion 1 amp /24
jam/ drips
menurun
Ketorolac 1 amp/ 8
jam/ bolus
Interhistin 3x1
As. Salycil + Dexa+
Vaselin untuk kaki
Rawat luka kompres
NaCl + otogenta
cream
Fisioterapi
25/1-16 Luka-luka skuama, krusta MH-MB + MDT MB
Aff infus
sudah banyak Lucio
Neurodex 2x1
mengering, Phenomena Ranitidin 3x1
MP 4 gr 3x1
nafsu makan
Otogenta cream
baik Fisioterapi
26/-16 Luka-luka skuama, krusta MH-MB + MDT MB
Aff infus
sudah banyak Lucio
Neurodex 2x1
mengering, Phenomena Ranitidin 3x1
MP 4 gr 3x1
nafsu makan
Otogenta cream

11
baik Fisioterapi
27/1-16 Luka-luka Hipopigmentasi MH-MB + MDT MB
Aff infus
sudah (+), skuama (+) Lucio
Neurodex 2x1
mengering, Phenomena Ranitidin 3x1
MP 4 gr 3x1
nafsu makan
Otogenta cream
baik Sudah boleh pulang
Kontrol di poli kulit
kelamin

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

MORBUS HANSEN
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium leprae
merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol, bersifat
intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di medium
artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini.1,2

a. Patogenesis
Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit
kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan
menimbulkan manifestasi klinis. Manifestasi klinis yang ditimbulkan tergantung
dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host. Pada dasarnya, M. leprae memiliki
patogenitas dan daya invasi rendah karena penderita yang terinfeksi lebih banyak
kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang lebih parah. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh reaksi imunitas
host dibandingkan derajat infeksinya. 1,3,4,5

Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular5

13
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya
sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi
oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu
yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel
ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12
serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di
kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M.
leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.1,3,5
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag
gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara
mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang
biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra
yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta
derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). 1,3,5

Gambar 2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun4

Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai


saat ini, cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung
antarkulit yang erat dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara
inhalasi) diyakini menjadi jalur penularan penyakit ini. Masa inkubasinya

14
bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5
tahun setelah pertama kali terinfeksi.1

b. Tanda dan Gejala


Gejala klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang. Bila imunitas
baik, maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe tuberkuloid.
Sementara jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah pada tipe
lepromatosa.1,2,3
Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadi beberapa kelas sebagai
berikut:

Gambar 3. Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling

Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang
stabil dan tidak mungkin berubah. Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid
borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak
stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas. Tipe indeterminate (I)
tidak dimasukkan ke dalam spektrum. Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali
sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanya kemungkinan dapat berkembang
menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas.1,2,4
Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB).

15
Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO

Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari


pemeriksaan slit skin smear. Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah
oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar. Sementara tipe BB, BL, dan
LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam
multibasilar.1
Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia)
dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah
tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai
dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi infiltrat dengan
permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar asimetris,
kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin
mengarah ke tipe lepromatosa, lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus,
papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai
tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan
saraf biasanya lebih luas. 1,3

16
Gambar 5. Spektrum Klinis dan Respon Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra3

Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995
WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan
kerusakan saraf.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1


Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Lesi Kulit - Jumlah : 1-5 lesi - Jumlah : 1-5 lesi
(makula datar, - Warna : Hipopigmentasi / eritema - Distribusi : simetris
papul yang meninggi, - Distribusi : asimetris - Anestesia : kurang jelas
nodus) - Anestesia : jelas

Kerusakan Saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf

Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan


fisik untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada
lepra mirip dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal :
dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll)
sehingga lepra dijuluki sebagai the greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat
diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu penyingkiran diagnosis banding.

17
Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk
rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang
suhu).1,2
Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer
harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta. Fungsi
otonom dapat dinilai dengan memperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi
atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer
yang diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan
fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle
test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n.
radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.1

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan diperoleh dari kerokan kulit yang diwarnai dengan pewarnaan ziehl-
neelsen. Untuk pemeriksaan rutin, diambil sediaan dari 4-6 tempat yang lesinya
paling aktif. Dua tempat wajib untuk pengambilan sediaan adalah cuping telinga
kiri dan kanan, sementara 2-4 sediaan lainnya diperoleh dari lesi yang paling
aktif. Irisan yang dibuat harus sampai di lapisan dermis, melampaui
subepidermal clear zone yang mengandung sel virchow.
M. leprae tergolong basil tahan asam yang akan tampak berwarna merah saat
pemeriksaan mikroskopik. Perlu dihitung indeks bakteri (IB) dan indeks
morfologi (IM) dari pemeriksaan ini. Indeks bakteri merupakan jumlah
keseluruhan basil tahan asam yang ditemukan dari pemeriksaan mikroskopis,
nilainya bergradasi dari 0 hingga 6+. Sedangkan indeks morfologi merupakan
persentase bentuk basil yang solid dibandingkan dengan jumlah keseluruhan
basil (solid + nonsolid).1,3,4
 Pemeriksaan Histopatologik
Pada tipe tuberkuloid, gambaran histopatologik yang dapat ditemukan adalah
tuberkel (massa epiteloud yang berlebihan dikelilingi oleh sel limfosit), kuman
hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Sedangkan pada tipe
lepromatosa terdapat sel-sel virchow yang mengandung banyak kuman di
subepidermal clear zone.1,4

18
 Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu
diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit
tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:
- Uji MLPA
- Uji ELISA
- M. leprae dipstick test
- M. leprae flow test1

d. Reaksi Kusta
Merupakan episode akut pada perjalanan penyakit yang kronis, biasanya
terjadi setelah pengobatan dan berhubungan dengan reaksi imun. Terdapat 3 jenis
reaksi kusta, antara lain:
1. Reaksi Kusta Tipe 1
Reaksi ini umumnya terjadi pada kusta borderline dan memiliki
karakteristik neuritis akut dan atau lesi kulit dengan inflamasi. Saraf menjadi
keras disertai hilangnya fungsi sensorik dan motorik. Lesi yang telah ada
menjadi eritem atau edema dan bisa terdeskuamasi atau menjadi ulkus
(jarang). Edema wajah, tangan atau kaki jarang muncul. Reaksi tipe 1 bisa
terjadi secara spontan tetapi umumnya terjadi setelah memulai terapi atau
selama masa puerperium.1 Reaksi tipe 1 memiliki dua tipe yaitu :
a. Reaksi upgrading (reversal)
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi
spectrum TT. Reaksi ini terjadi karena imunitas seluler terhadap antigen
Mikobakterium yang baik. Terjadi peningkatan hipersensitivitas tipe
lambat terhadap M. leprae dan antigennya, menghasilkan pelepasan TNF,
IFN dan IL-2 dalam jumlah besar. Mekanisme belum sepenuhnya
diketahui tetapi ada dua hal yang terjadi yaitu peningkatan reaksi
hipersensitivitas atau peningkatan antigen yang dideteksi oleh imunitas
pada beberapa tempat.3
b. Reaksi downgrading
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline
menjadi spectrum LL. Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak

19
mendapat pengobatan. Lesi multipel yang baru muncul dan memiliki
karakteristik lesi LL yaitu lesi kecil, simetris dan tidak berbatas tegas.
BTA mungkin tampak pada lesi baru. Nodus limfe regional mungkin
membesar dan basil tampak pada Fine Needle Aspiration Cytology
(FNAC). Pasien risiko tinggi yaitu spektrum borderline dengan 10 lesi
kulit dan penebalan saraf lebih dari tiga.3
Reaksi ini dapat terjadi akibat perubahan imunitas seluler yaitu
hilangnya imunitas seluler. Keseimbangan hipersensitivitas/antigen kalah
oleh peningkatan jumlah basil. Reaksi juga dapat terjadi akibat respon
autoimun terhadap heat shock protein (protein antigen mayor pada M.
leprae - 70 kD, 65 kD, 18 kD, 18 kD dan 10 kD).3

2. Reaksi Kusta Tipe 2


Reaksi ini terjadi pada kusta tipe multibasiler (LL dan BL) secara spontan
atau selama pengobatan.2 Reaksi ini dapat terjadi 1 atau 2 tahun setelah selesai
pengobatan.3 Pengobatan monoterapi dengan dapson, 50% penderita LL
mengalami reaksi Erythema Nodosum Leprosum (ENL) tetapi dengan rejimen
pengobatan terbaru yang mengandung klofazimin, menjadi 15%. Awalnya,
serangan biasanya akut tetapi bisa memanjang dan berulang selama beberapa
tahun dan bisa tak terlihat, terutama pada mata. ENL adalah gangguan
sistemik yang menyebabkan demam dan malaise, bisa disertai uveitis,
daktilitis, arthritis, neuritis, limfadenitis, miositis dan orkitis. Neuritis dan
uveitis perifer saraf dengan komplikasinya yaitu sinekia, katarak dan
glaukoma adalah komplikasi paling serius pada ENL.2 Reaksi tipe 2 dapat
terjadi secara :7
a. Akut. Terdapat nodul merah yang nyeri (superfisial atau dalam),
berbentuk seperti kubah, batas tidaktegas, mengkilap, dan keras. Dapat
terjadi ulserasi, mengeluarkan pus kuning kental, terjadi di wajah,
ekstensor tungkai. Lesi bertahan beberapa hari dan menghilang dengan
warna keunguan dan sekitarnya mengeras.
b. Kronik. Indurasi yang kuat kebanyakan di ekstensor paha, betis dan
lengan bawah.

20
Reaksi tipe 2 memiliki dua tipe yaitu :2
a. Intermiten. Terdiri atas :
 Mild : serangan berlangsung selama 2 pekan diikuti oleh periode
bebas reaksi selama 1 bulan
 Severe : berhubungan dengan temperatur tinggi, malaise, lesi kulit
ulseratif, saraf menebal, hilang fungsi saraf, pembengkakan sendi,
albuminuria persisten, dan edema nonpitting pada tangan, wajah dan
kaki.
b. Kontinu
Lesi kulit terjadi secara cepat, tidak disertai periode bebas reaksi,
serangan parah dan kontinu. Pasien seperti ini membutuhkan steroid
selama 2 atau 3 bulan.

3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)


Reaksi Lucio terjadi pada pasien yang menderita kusta Lucio atau Latapi
Lepromatosis. Reaksi ini terjadi karena infark akibat vaskulitis kutaneus yang
dalam dan menyebabkan patch eritem ireguler yang menjadi gelap dan
sembuh, atau membentuk bula dan nekrosis, meninggalkan ulkus dalam yang
lambat sembuh.2 Reaksi ini terdiri atas infiltrasi kutaneus difus, warna
keunguan di tangan dan kaki, gambaran telangiektasis dan telangiektasis
erupsi, perforasi septum nasal, alopesia total dari alis dan bulu mata. Nodul
subkutan dapat diraba tapi tidak terlihat. Lesi terasa nyeri tetapi tidak keras
saat diraba, berkrusta dan sembuh dengan meninggalkan stellate scar.2

21
Gambar 6. Patogenesis Reaksi ENL dan Reaksi Reversal5

TATALAKSANA KUSTA
a. Obat Utama1 :
1. DDS
Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali
dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964).
Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.
2. Rifampisin
Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT
karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah
hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi
kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3. Klofazimin (lamprene)
Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi
relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau
100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu.
Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin
merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.

22
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

b. Obat alternatif:1
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan
pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi
daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg.
Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.

c. Prinsip penatalaksanaan dengan MDT6 :


1. Vaksinasi BCG
Vaksin BCG dipercaya memiliki faktor pengaruh menurunnya insidens
kusta pada populasi. BCG dikontraindikasikan terhadap ODHA.
2. Pemendekan masa pengobatan MDT (dibandingkan dengan guideline
sebelumnya)
3. Pengobatan MDT yang fleksibel
Karena daerah endemik kusta merupakan daerah-daerah yang kurang
berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang kurang baik, maka
konsumsi 1 blister pack MDT lebih dari 1 bulan dapat dilakukan, namun
pasien harus diinformasikan mengenai pentingnya penggunaan obat terkait
dosis, frekuensi, dan durasi dari regimen tersebut. Pasien juga harus
diinformasikan untuk kontrol apabila ada gejala yang muncul, atau gejala yang
tidak membaik
23
d. MDT untuk Multibasilar

Gambar 1. Contoh blister pack MDT MB dewasa.7

Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28
hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.1,8,9
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2
sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada

24
periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat
dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1
minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut
RFT (Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis
dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.

25
e. MDT untuk Pausibasilar

Gambar 2. Contoh blister pack MDT PB dewasa.7

Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan,


dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari.1,8,9 Pengonsumsian
Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan
didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan
dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan
dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis.

26
Apabila negatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC
tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan
relaps.

f. Pengobatan Lesi Tunggal


Kasus PB dengan lesi tunggal ditatalaksana dengan Rifampisin 600 mg +
Ofloksasin 400 mg + Minosiklin 100 mg (dosis tunggal).

g. Pengobatan Situasi Khusus


1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau
resisten rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
- 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah
dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan
(3) claritromisin 500 mg
- 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah
dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia,
ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti
regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400
mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen
pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS,
dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

h. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan BI sebelum pengobatan
sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan BI yang tinggi dapat diterapi
lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan
bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara

27
total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi
adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.

i. Pengobatan Reaksi kusta1,9


1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat

Tabel 1. Dosis prednisone harian menurut minggu pemberian1


Minggu pemberian Dosis prednisone harian yang dianjurkan
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan.


Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedatif juga dapat diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi
1 mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan
sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan
klofazimin dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12
minggu, dengan tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100
mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatikan bahwa untuk membaik
diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL.
j. Kecacatan1,9
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta

28
terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan
saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan
otot. Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju,
memergang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan.
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini,
mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.

Tabel 2. Derajat kecacatan1


Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea
keruh) dan/atau visus sangat terganggu

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti


penggunaan sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan
luka-luka yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung
diri lain yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan
kacamata untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit
telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang
dapat terjadi.

29
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

PEMBAHASAN
a. Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, keluhan utama pasien adalah baal, bercak kemerahan
sekitar 7 bulan yang lalu dan luka-luka pada seluruh badan, kedua tangan dan kedua
kaki yang semakin meluas sejak 4 bulan sebelum masuk Rumah Sakit
Berdasarkan lesi yang terlihat pada badan dan tubuh pasien, didapatkan
efloresensi berupa:
“Pada regio dada dan abdomen, terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan oval, berbatas sirkumskrip,
dan persebarannya diskret.”
“Pada regio tangan kanan dan kiri, terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi
eritematosa, multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval,
diberbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret, disertai juga ulkus dan pus.”
“Pada regio kaki kanan dan kiri terdapat plak hipopigmentasi dengan tepi eritematosa,
multipel, berukuran lentikular dan numular, bentuk bulat dan oval, diberbatas
sirkumskrip, dan persebarannya diskret, disertai juga ulkus dan pus.”
Maka dapat disingkirkan beberapa diagnosis yaitu:
 Kandidosis, pada kandidosis, lesi yang didapatkan adalah plak eritematosa
berbatas tegas, bersisik basah yang dikelilingi lesi satelit berupa vesikel dan
pustul dengan tempat predileksi di lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal,
lipat payudara, antara jari tangan, atau kaki, glans penis, dan umbilikus.1 Pada
pasien, lesi berada di punggung, perut dan dada, dan juga tidak didapatkan lesi
satelit.
 Erisipelas, merupakan penyakit infeksi akut, dengan lesi merah cerah berbatas
tegas, dan pinggir-pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut.1 Pada
lesi yang terdapat pada tubuh pasien tidak didapatkan tanda-tanda radang akut
yaitu panas, ataupun nyeri dan pada pasien terdapat lesi hipopigmentasi yang
tidak didapatkan pada erisipelas.
 Pitiriasis rosea, merupakan penyakit kulit yang belum diketahui penyebabnya,
dimulai dengan sebulah lesi inisal (herald patch) berbentuk eritema dan

30
skuama halus, yang kemudian disusul oleh lesi yang lebih kecil di badan,
lengan dan paha atas yang membentuk lesi sejajar dengan kostae, hingga
membentuk pohon cemara terbalik.1 Pada pasien ini tidak didapatkan bentuk
lesi tersebut.

Berdasarkan riwayat penyakit pasien, didapatkan keluhan-keluhan lain berupa;


lesi awal hipopigmentasi, dan baal. Berdasarkan keluhan-keluhan tersebut, terdapat
keluhan yang menjurus menuju penyakit MH, yaitu baal yang merupakan defisit
neurologis.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan neurologis yang mendukung
untuk gejala klinis morbus hansen yaitu pemeriksaan pembesaran saraf-saraf perifer,
kekuatan motorik dan pemeriksaan sensorik. Dari hasil yang didapatkan, terdapat
adanya pembesaran saraf-saraf perifer, nervus ulnaris dan nervus poplitea lateralis.
Penemuan klinis ini mengarah pada diagnosis morbus hansen.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis, maka didapatkan bahwa
diagnosis kerja untuk pasien ini adalah morbus Hansen denan lucio phenomen.
Pada MH, didapatkan klasifikasi Ridley-Joping, dan World Heatlh
Organization (WHO). Menurut klasifikasi Ridley-Joping,1,10 pada pasien terdapat ciri
lesi mengarah ke lepromatosa dengan lesi polimorfik, berupa plak hipopigmentasi
yang dikelilingi eritematosa, dengan jumlah lesi kurang lebih dari 5, dengan
penampakan yang terlihat sedikit madidans. Akan tetapi terdapat juga lesi yang
mengarah kearah tuberkoloid berupa lesi dengan distribus asimetris, batas jelasm dan
anestesi yang jelas. Sehingga pada pasien klasifikasi Ridley-Joping menurut
penampakan lesi berada pada klasifikasi borderline. Sedangkan menurut Klasifikasi
WHO,1,10 dari penampakannya, pasien lebih mengarah pada pausibasiler, akan tetapi
untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987, telah terjadi perubahan bahwa yang
dimaksud MH-MB adalah semua lesi MH dengan uji Basil Tahan Asam (BTA)
positif. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan BTA terlebih dahulu untuk dapat
menentukan diagnosis ini.

b. Terapi
Terapi, pada pasien ini untuk terapi nonmedikamentosa adalah dengan
mengedukasi pasien mengenai penyakit dan rencana pengobatannya yang relatif
memakan waktu lama dan memerlukan kerjasama dari pasien untuk teratur minum
31
obat dan kontrol setiap bulannya. Selain itu pasien juga harus menjaga hygiene dan
ketahanan tubuhnya karena manifestasi dari MH sangat tergantung dari sistem imun
tubuh. Pasien juga harus mencegah penularan kepada orang sekitar. Tanggap akan
keadaan lesi yang terdapat pada tubuh merupakan salah satu cara untuk mencegah
kecacatan karena akibat sensibilitas yang hilang pasien kehilangan rasa nyeri ketika
ada luka ataupun kotoran. Pasien harus tanggap tentang efek samping obat dari ringan
hingga berat dan segera kembali ke dokter tempat ia kontrol agar segera dapat
ditangani, begitu juga dengan reaksi kusta baik reaksi tipe 1 maupun tipe 2.
Menurut program WHO yaitu dilakukan dengan pengobatan MH-MB dengan
menggunakan blister, yaitu, hari pertama dengan dapson 100 mg, rifampisin 600 mg,
dan klofazimin 300 mg. Untuk obat pada hari pertama ini, pasien harus meminum
obat langsung didepan petugas kesehatannya. Sedangkan pada hari lainnya, diberikan
klofazimin 50 mg, dan dapson 100 mg, setiap hari dari hari ke-2 hingga hari ke 28,
diminum sekali sehari pada waktu dan jam yang sama. Pasien harus datang untuk
mengambil obat baru setiap hari ke-29 dan mendapatkan paket blister yang sama.
Pengobatan ini harus terus diulang hingga 12 bulan minimal dan maksimal 18 bulan.
Setiap hari pertama untuk tiap bulannya, pasien terus dilakukan pemeriksaan
neurologis ulang, disamping itu juga dilakukan pemeriksaan mata, pemeriksaan efek
samping obat dan resistensi obat serta pemeriksaan reaksi kusta.
Pada pasien ini juga diberikan terapi tambahan berupa ceftriaxone 1 gr /12jam
/bolus, ketorolac 1 ampul/ 8 jam/ bolus, dan perawatan luka dengan menggunakan
larutan NaCL dan otogenta cream.

KESIMPULAN
Pada pria berumur 19 tahun dengan baal, bercak kemerahan sekitar 7 bulan
yang lalu dan luka-luka pada seluruh badan, kedua tangan dan kedua kaki yang
semakin meluas serta keluarnya rembesan darah dari sekitar kulit yang tersasa baal
tersebut sejak 4 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Sesuai dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dapat didiagnosis sebagai Morbus Hansen dengan Lucio Phenomen.
Pasien mendapatkan terapi non-medikamentosa dan medikamentosa berupa MDT-
MB serta pengobatan tambahan simptomatik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin :


Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:
2010. hal. 73-83
2. Anonim. Louisiana Office of Public Health - Infectious Disease Control
Manual : Hansen’s Disease (Leprosy). Revised :2004. Available from:
http://dhh.louisiana.gov/assets/oph/Center-PHCH/Center-CH/infectious-
epi/EpiManual/LeprosyManual.pdf
3. Montoya D, Moddlin RL. Advance in Immunology (Vol. 105, 2010, 1-24).
Learning from Leprosy : Insight into the Hunam Innate Immune Response.
Los Angeles: Elsevier; 2010. Available from :
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0065277610050017
4. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansen’s Disease (Leprosy). Medscape
reference: 2012;32(1):27-37. Available from :
http://www.medscape.com/viewarticle/757133_4
5. Misch E A et al. Journal American Society for Microbiology (ASM) :
Microbiol. Mol. Biol. Rev. 2010;74:589-620. Available from :
http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F1.expansion.html
6. WHO Seventh Expert Committee. Leprosy elimination. [Available from :
http://www.who.int/lep/resources/expert/en/index2.html ] cited on May 4,
2013 at 5:00 pm.
7. McDougall AC, Yuasa Y. Atlas Kusta. [Avaliable from :
http://www.smhf.or.jp/data01/atlas_indonesia.pdf] cited on May 4, 2013 at
5:00 pm.
8. RSCM. Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta : RSCM, 2007. Halaman 147.
9. WHO Expert Committee on Leprosy. Eigth Report. [Available from :
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75151/1/WHO_TRS_968_eng.pdf]
cited on May 4, 2013 at 5:00 pm.
10. Daili EMSS, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. Edisi 2. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2003.

33

Anda mungkin juga menyukai