Anda di halaman 1dari 51

REFLEKSI KASUS

Obstruksi Saluran Napas Atas et Causa


Carsinoma Laring Supraglotik
(Dispneu Jackson 1-2)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah R.A. Kartini

Disusun oleh :
Arini Azkha
30101507390

Pembimbing:
dr. Enny Puji Astuti, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
REFLEKSI KASUS

OBSTRUKSI SALURAN NAPAS ATAS ET CAUSA


CARSINOMA LARING SUPRAGLOTIK
(DISPNEU JACKSON 1-2)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah R.A. Kartini
Oleh :
Arini Azkha
30101507390

Jepara, 6 Juli 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Enny Puji Astuti, Sp. THT-KL


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
Obstruksi saluran napas atas merupakan salah satu keadaan kegawatdaruratan. Diagnosis
awal yang diikuti dengan pembebasan jalan napas segera dapat mencegah terjadinya henti
jantung atau kerusakan otak bersifat ireversibel yang terjadi dalam waktu hitungan menit.
Meskipun terdapat banyak penyebab obstruksi jalan napas, manajemen harus dimulai ketika
kita mengetahui adanya suatu obstruksi. Waktu pemberian intervensi, medikasi, atau
pembedahan ditentukan berdasarkan kondisi pasien. Meskipun obstruksi saluran napas atas
dapat terjadi di bagian saluran napas atas manapun, obstruksi laring membutuhkan
perhatian khusus karena laring merupakan daerah yang cukup sempit pada saluran napas
atas. Pada pasien dengan kesadaran umum kompos mentis, tanda dan gejala obstruksi
saluran napas atas, antara lain distress pernapasan, perubahan suara, disfagia, odinofagia,
tanda tersedak, stridor, pembengkakan muka, dan takikardia.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, gejala utama dari obstruksi saluran
napas atas adalah adanya ketidakmampuan untuk ventilasi dengan bag valve mask setelah
percobaan membuka jalan napas dengan teknik jaw thrust. Setelah obstruksi saluran napas
atas berlangsung beberapa menit, asfiksia dapat menyebabkan sianosis, bradikardia,
hipotensi, kolaps kardiovaskular bersifat ireversibel. Kadang-kadang obstruksi saluran
napas atas dapat berkembang secara perlahan. Obstruksi hidung atau stridor dipikirkan
sebagai tanda spefisik dari obstruksi saluran napas atas. Stridor terdengar pada semua siklus
respirasi, namun biasanya terdengar lebih intensif pada saat inspirasi dan lebih menonjol di
atas leher. Adanya stridor mengindikasikan obstruksi saluran napas yang berat (aliran udara
<5 mm), namun hal itu tidak dapat membantu penentuan lokasi obstruksi. Penyebab dari
sumbatan jalan napas ialah laringomalasia, trauma laring, tumor laring, benda asing dan
pearadangan laring (laryngitis) Manajemen untuk obstruksi saluran napas atas dibagi menjadi
intervensi medis dan intervensi pembedahan.
1.2 Tujuan

Tujuan pembuatan laporan tentang sumbatan jalan napas adalah melaporkan kasus
sehingga mengetahui dan mendiagnosa hingga mengelola penderita dengan kasus serupa, sehingga
diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan tentang sumbatan jalan napas yang dimulai
dari anamnesis,dan pemeriksaan fisik untuk penulis khususnya dan klinik pada umumnya.

1.3 Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari menegakan
diagnose tatalaksana serta komplikasi dari sumbatan jalan napas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Laring

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atasdan terletak setinggi
vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk
laring menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas
lebih besar dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal
kartilago krikoid. Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang
rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada struktur laring adalah
kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan kartilago krikoid. Os hioid terletak disebelah
superior dengan bentuk huruf U dan dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada
dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri
dari dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit
yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada
permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus
yakni prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis. Pada prosesus vokalis akan
membentuk 2/5 bagian belakang dari korda vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk
bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan
superior korda vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong makanan yang
ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua pasang kartilago kecil didalam
laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago kornikulata dan kuneiformis.

A. Kartilago Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :


1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
 Kartilago Tiroidea, 1 buah
 Kartilago Krikoidea, 1 buah
 Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
 Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
 Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
 Kartilago Epiglotis, 1 buah

a) Kartilago Tiroidea
Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding
anterior dan lateral laring, dan merupakankartilago yang terbesar. Terdiri dari 2sayap
(alae tiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di
bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s
Apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat.
Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura tiroidea, dimana
di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh
ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang
berhubungan dengan permukaanposterolateral dari kartilago krikoidea dan
membentuk artikulasio krikoidea.Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan
kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea
terdapat bagian dalam laring, yaitu:pita suara, ventrikel, otot-otot dan
ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata. Permukaan luar ditutupi
perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yangberjalan oblik dari bawah kornu
superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakantempat perlekatan muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus
inferior. Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan
tepibawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan
tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis melekat 1 cm diatasnya olehligamentum
tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 – 30tahun.

b) Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago
hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alasnya terdapat di
belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada bagian posterior.
Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior
melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio
krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum
krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi, krikotomi
atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 1993). Kartilago krikoidea pada
dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI - VIIdan pada anak-anak setinggi
vertebra servikalis III - IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
c) Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago
berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea,
sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari
piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat
melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian
anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara.
Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum
vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago
tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara.
Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glottis. Kartilago aritenoidea dapat
bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior
pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat
menyebabkan terbuka dan tertutupnya glottis.
d) Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior
aditus laringeus tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas
menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis
lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang
mendorong makanan ke sebelah laring.
e) Kartilago Kornikulata
Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan
merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.
f) Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang
terletak di dalam plika ariepiglotika

B. Otot laring
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot / muskulus ekstrinsik dan intrinsik. Otot
ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan yang terdiri dari otot ekstrinsik
suprahioid yang berfungsi menarik laring ke atas dan otot ekstrinsik infrahioid. Otot
intrinsik laring menyebabkan gerakan antara berbagai struktur laring sendiri, seperti otot
vokalis dan tiroaritenoid yang membentuk tonjolan pada korda vokalis dan berperan dalam
membentuk tegangan korda vokalis, otot krikotiroid berfungsi menarik kartilago tiroid
kedepan, meregang dan menegangkan korda vokalis dan memiliki fungsi membentuk suara
dan bernafas.
1. Otot / muskulus ekstrinsik Terbagi atas :
 Otot suprahioid / otot elevator laring, yaitu : - Stilohioideus - Geniohioideus
- Genioglosus - Milohioideus - Digastrikus - Hioglosus

 Otot infrahioid / otot depresor laring, yaitu : - Omohioideus -


Sternokleidomastoideus - Tirohioideus
2. Otot / muskulus intrinsik Terbagi atas :
 Otot adduktor : - Interaritenoideus transversal dan oblik - Krikotiroideus -
Krikotiroideus lateral
 Otot abduktor : - Krikoaritenoideus posterior.
 Otot tensor : - Tensor Internus : Tiroaritenoideus dan Muskulus Vokalis -
Tensor Eksternus : Krikotiroideu

C. Persarafan dan Perdarahan


Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus yaitu nervus laringeus superior dan nervus
laringeus inferior (nervus laringeus rekuren) kiri dan kanan .
1. Nervus Laringeus Superior
Meninggalkan nervus vagus tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke depan
dan medial di bawah arteri karotis interna dan eksterna yang kemudian akan bercabang
dua, yaitu :
• Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus pyriformis
dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
• Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi muskulus krikotiroid dan muskulus
konstriktor inferior
2. Nervus Laringeus Inferior (Nervus Laringeus Rekuren).
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring tepat dibelakang
artikulasio krikotiroidea. Nervus laringeus yang kiri mempunyai perjalanan
yangpanjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.Merupakan cabang
nervus vagus setinggi bagian proksimal subklavia dan berjalanmembelok ke atas
sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus, selanjutnya akanmencapai laring tepat
di belakang artikulasio krikotiroidea dan memberikanpersarafan :
• Sensoris, mempersarafi daerah subglotis dan bagian atas trakea
• Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali muskulus krikotiroidea Laring
mendapat perdarahan dari cabang arteri tiroidea superior dan inferiorsebagai arteri
laringeus superior dan inferior.
Perdarahan:
1) Arteri Laringeus Superior Berjalan bersama ramus interna nervus laringeus
superior menembus membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding
lateral dan dasar sinus pyriformis.
2) Arteri Laringeus Inferior Berjalan bersama nervus laringeus inferior masuk ke
dalam laring melalui area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah
muskulus konstriktor faringeus inferior, di dalam laring beranastomose dengan
arteri laringeus superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.
Sistem Limfatik
1. Daerah bagian atas pita suara sejati,
pembuluh limfe berkumpul membentuk saluran yang menembus membrana
tiroidea menuju kelenjar limfe cervikal superior profunda. Limfe ini juga
menuju ke superior dan middle jugular node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati
bergabung dengan sistem limfe trakea, middle jugular node, dan inferior
jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
sistem limfe esophagus

Fisiologi

Laring berfungsi sebagai proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan,


emosi dan fonasi. Fungsi laring untuk proteksi adalah untukmencegah agar
makanan dan benda asing masuk kedalam trakea dengan jalanmenutup aditus
laring dan rima glotis yang secara bersamaan. Benda asing yangtelah masuk ke
dalam trakea dan sekret yang berasal dari paru juga dapatdikeluarkan lewat
reflek batuk. Fungsi respirasi laring dengan mengaturbesar kecilnya rima glotis.
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara maka didalam traktus trakeo-
bronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah tubuh.Oleh karena itu laring
juga mempunyai fungsi sebagai alat pengatur sirkulasidarah. Fungsi laring
dalam proses menelan mempunyai tiga mekanisme yaitugerakan laring bagian
bawah keatas, menutup aditus laringeus, serta mendorongbolus makanan turun
ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring.Laring mempunyai
fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti berteriak,mengeluh, menangis dan
lain-lain yang berkaitan dengan fungsinya untuk fonasidengan membuat suara
serta menentukan tinggi rendahnya nada (Lee, 2003; Woodson, 2001)

A. Sumbatan Jalan Napas


Obstruksi saluran napas atas merupakan salah satu keadaan kegawatdaruratan.
Diagnosis awal yang diikuti dengan pembebasan jalan napas segera dapat mencegah
terjadinya henti jantung atau kerusakan otak bersifat ireversibel yang terjadi dalam waktu
hitungan menit. Meskipun terdapat banyak penyebab obstruksi jalan napas, manajemen
harus dimulai ketika kita mengetahui adanya suatu obstruksi salah satunya adalah
obstruksi laring dapat bersifat total ataupun parsial. Obstruksi total di laring akan
menimbulkan keadaan gawat, dan apabila tidak ditatalaksana dalam 4 menit akan
menyebabkan kematian akibat asfiksia. Obstruksi parsial di laring dapat menyebabkan
gejala suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang disertai sesak, odinofagia, mengi,
sianosis, hemoptisis dan rasa subjektif benda asing.
Obstruksi laring dapat disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain radang akut, dan
radang kronis, benda asing, trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri
dengan senjata tajam, trauma akibat tindakan medis, tumor laring, dan kelumpuhan nervus
rekuren bilateral.
Prinsip penanggulangan sumbatan laring ialah menghilangkan penyebab sumbatan
dengan cepat atau membuat jalan nafas baru yang dapat menjamin ventilasi . Tindakan
pada pasien dengan obstruksi laring dilakukan sesuai dengan derajat obstruksi. Untuk
derajat ringan yang disebabkan peradangan dapat diberikan tindakan konservatif berupa
pemberian obat-obatan. Sedangkan untuk derajat berat diperlukan tindakan operatif yang
memerlukan keterampilan dan peralatan khusus.
Laring di lapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang di lapisi
oleh sel epitelium berlapis. Pita suara ini berjumlah dua buah di bagian atas adalah pita
suara palsu dan tidak mengeluarkan suara yang di sebut dengan ventrikularis di bagian
bawah adalah pita suara yang sejati yang membentuk suara yang di sebut vokalis, terdapat
dua otot. Oleh gerakan dua buah otot ini maka pita suara dapt bergetar dengan demikian
pita suara (rima glotidis) dapat melebar dan mengecil, sehingga di sini terbentuknya suara.

Fungsi laring sebagai proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk kedalam trakea, dengan jalan menutup auditus laring dan rima glotis secara
bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas
akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak
kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. Selanjutnya mariepigloitika
berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis karena adduksi plika vokalis. Kartilago
ariteniod kiri dan kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik. Gejala dan tanda
sumbatan laring secara umum ialah :
1. Suara serak (disfonia) sampai afoni
2. Sesak nafas (dispnea)
3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger ).
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
7. Dispneu Jackson membagi sumbatan laring yang progressif dalam 4 stadium dengan
tanda dan gejala.
a. Stadium 1.
1. Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal
2. Stridor pada waktu inspirasi
3. Pasien masih tampak tenang
b. Stadium 2
1. Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam
2. Cekungan di daerah epigastrium
3. Stridor terdengar pada waktu inspirasi
4. Pasien mulai tampak gelisah.
c. Stadium 3
1. Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklvikula dan
disela-sela iga.
2. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi
3. Pasien sangat gelisah dan dispnea.
d. Stadium 4
1. Cekungan – cekungan diatas bertambah jelas,pasien sangat gelisah, tampak sangat
ketakutan dan sianosis.
2. Pasien dapat kehabisan tenaga,pusat perafasan paralitik karena hiperkapnea.
3. Pasien lemah dan tertidur,akhirnya mninggal karena asfiksia.
Jika keadaan ini berlangsung terus, terjadilah hiperkapnea yang akan
menyebabkan paralitik pusat pernafasan. Selain itu pasien akan kehabisan tenaga
dan letargi. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.

B. Penyebab Obstruksi Jalan Napas


Obstruksi laring disebabkan oleh:
1. Trauma laring
a) Definisi
Trauma pada laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka
sayat, luka tusuk,dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat
merusak struktur laring juga menyebabkan cedera pada jaringan lunak seperti otot,
saraf, pembuluh darah, dll. Hal ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti
leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher membentur dash board dalam kecelakaan
mobil, tertendang atau terpukul waktu berolah raga bela diri, berkelahi, dicekik, atau
usaha bunuh diri dengan menggantung diri (strangulasi) atau seseorang pengendara
motor terjerat tali di jalan (clothesline injury).
b) Etiologi
Ballanger membagi penyebab trauma laring atas:
1. Trauma mekanik eksternal (trauma tumpul, trauma tajam, komplikasi trakeostomi
atau krikotirotomi) dan mekanik internal (akibat tindakan endoskopi, intubasi
endotrakea, atau pemasangan pipa nasogaster).
2. Trauma akibat luka bakar oleh panas (gas atau cairan yang panas) dan kimia (cairan
alkohol, amoniak, natrium hipoklorit, dan lisol) yang terhirup.
3. Trauma akibat radiasi pada pemberian radioterapi tumor ganas leher.
4. Trauma otogen akibat pemakaian suara yang berlebihan (vokal abuse) misalnya
akibat berteriak, menjerit keras, atau bernyanyi dengan suara keras.
c) Patofisiologi
Trauma laring dapat menyebabkan edema dan hematoma di plika ariepiglotika dan
plika ventrikularis, oleh karena jaringan submukosa di daerah ini mudah membengkak.
Selain itu mukosa faring dan laring mudah robek, yang akan diikuti dengan
terbentuknya emfisema subkutis di daerah leher. Infeksi sekunder melalui robekan ini
dapat menyebabkan selulitis, abses, atau fistel. Tulang rawan laring dan persendiannya
dapat mengalami fraktur dan dislokasi. Kerusakan pada perikondrium dapat
menyebabkan hematoma, nekrosis tulang rawan, dan perikondritis yang
mengakibatkan penyempitan lumen laring dan trakea. Robekan mukosa yang tidak
dijahit dengan baik, yang diikuti oleh infeksi sekunder, dapat menimbulkan
terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis, dan akhirnya stenosis.
d) Manifestasi Klinis
Pasien trauma laring sebaiknya dirawat untuk observasi dalam 24 jam pertama.
Timbulnya gejala stridor yang perlahan-lahan yang makin menghebat atau timbul
mendadak sesudah trauma merupakan tanda adanya sumbatan jalan napas. Gejala-
gejala berikut menunjukkan adanya kelainan pada struktur laring: 1) meningkatnya
obstruksi jalan napas dengan adanya sesak napas (dispnoe) 2) disfonia atau afonia 3)
batuk 4) hemoptisis dan hematemesis 5) nyeri pada leher 6) disfagia dan odinofagia.
Gejala awal mungkin disertai dengan tanda-tanda klinis berikut:
1) deformitas leher
2) emfisema subkutis
3) nyeri tekan laring
4) krepitasi tulang.
Suara serak (disfoni) atau suara hilang (afoni) timbul bila terdapat kelainan pita
suara akibat trauma seperti edema, hematoma, laserasi, atau parese pita suara. Emfisema
subkutis terjadi bila ada robekan mukosa laring atau trakea, atau fraktur tulang-tulang
rawan laring hingga mengakibatkan udara pernapasan akan keluar dan masuk ke jaringan
subkutis leher. Emfisema leher dapat meluas sampai ke daerah muka, dada, dan abdomen
dan pada perabaan terasa sebagai krepitasi kulit. Hemoptisis dan hematemesis dapat
terjadi akibat laserasi mukosa jalan napas dan bila jumlahnya banyak dapat menyumbat
jalan napas. Perdarahan ini biasanya terjadi akibat luka tusuk, luka sayat, luka tembak,
maupun luka tumpul. Disfagia (sulit menelan) dan odinofagia (nyeri menelan) dapat
timbul akibat ikut bergeraknya laring yang mengalami cedera pada saat menelan. Gejala
luka tertutup tergantung pada berat ringannya trauma. Pada trauma ringan gejalanya
dapat berupa nyeri pada waktu menelan, waktu batuk, dan waktu bicara. Di samping itu
mungkin terdapat disfonia, tetapi belum terdapat sesak napas.Pada trauma berat dapat
terjadi fraktur dan dislokasi tulang rawan serta laserasi mukosa laring. Sehingga
menyebabkan gejala sumbatan jalan napas (stridor dan dispnea), disfonia atau afonia,
hemoptisis, hematemesis, disfagia, odinofagia serta emfisema yang ditemukan di daerah
leher, muka, dada, dan mediastinum.
e) Diagnosis
Terdapatnya salah satu manifestasi klinik di atas merupakan dasar perkiraan adanya
trauma yang berat dan merupakan indikasi untuk melakukan pemeriksaan laringoskopi
indirek, laringoskopi langsung dan bronkoskopi untuk menentukan adanya
edema,hematoma, mukosa dan tulang rawan yang bergeser dan paralisis pita suara.
Rontgen foto leher dan dada harus dilakukan untuk mendeteksi adanya fraktur laring
dan trauma trakea Diagnosis luka terbuka di laring dapat ditegakkan dengan adanya
gelembung-gelembung udara pada daerah luka, oleh karena udara yang keluar dari
trakea. Berbeda dengan luka terbuka, diagnosis luka tertutup pada laring lebih sulit.
Diagnosis ini penting untuk menentukan sikap selanjutnya, apakah perlu dilakukan
eksplorasi atau cukup dengan pengobatan konservatif dan observasi saja.
f) Penatalaksanaan
Sebagai terapi awal pada trauma laring akut ialah dengan mempertahankan aliran
udara adekuat, mungkin diperlukan tindakan trakeostomi. Kemudian dilanjutkan
dengan penilaian terhadap trauma dan menentukan apakah terapi definitif harus
dilakukan dengan segera atau perlu ditunda, yang tergantung pada keadaan klinisnya.2
Luka terbuka dapat disebabkan oleh trauma tajam pada leher setinggi laring, misalnya
oleh pisau, celurit, dan peluru. Kadang-kadang pasien dengan luka terbuka pada laring
meninggal sebelum mendapat pertolongan, oleh karena perdarahan atau terjadinya
asfiksia. Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan
saluran napas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan yang segera harus
dilakukan ialah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon,
sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Tindakan intubasi endotrakea tidak dianjurkan
karena dapat menyebabkan kerusakan struktur laring yang lebih parah. Setelah
trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah
yang cedera serta memperbaiki struktur laring dengan menjahit mukosa dan tulang
rawan yang robek.Untuk mencegah infeksi dan tetanus dapat diberikan antibiotika dan
serum anti tetanus.
g) Komplikasi
Komplikasi trauma laring dapat terjadi apabila penatalaksanaanya kurang tepat dan
cepat. Komplikasi yang dapat timbul antara lain:
1. Terbentuknya jaringan parut dan terjadinya stenosis laring
2. Paralisis nervus rekuren
3. Infeksi luka dengan akibat terjadinya perikondritis, jaringan parut, dan stenosis
laring dan trakea.

3. Penyakit infeksi pada laring

1) Laryngitis akut
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis (common
cold). Pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan pada orang dewasa tidak
secepat pada anak. Penyebabnya adalah bakteri yang menyebabkan radang lokal dan
virus yang menyebabkan radang sistemik. Gejala dan tanda-tandanya berupa demam,
malaise, suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau berbicara, batuk kering yang lama
kelamaan disertai dahak kental dan gejala sumbatan laring.
2) Laringitis kronik
Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis, dan penyalah gunaan suara (ocal abuse), sinusitis, reflux, dan polusi
lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok
sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang
menebal.
3) Croup
a) Definisi
Infeksi menular melalui inhalasi, masuk melalui hidung dan nasofaring. Infeksi
menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan trakea. Meskipun saluran pernafasan
lebih rendah, mungkin akan terpengaruh. Peradangan dan edema pada laring dan trakea
subglotik, khususnya yang dekat dengan tulang rawan krikoid, yang paling klinis
signifikan. Virus Para influenzae mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat
penyerapan natrium melintasi epitel trakea, berkontribusi terhadap edema jalan napas.
Ini adalah bagian paling sempit dari saluran napas anak. Dengan demikian,
pembengkakan dapat secara signifikan mengurangi diameter, membatasi aliran udara.
Ini menyebabkan aliran udara turbulen dan stridor, retraksi dada, dan batuk. kerusakan
endotel dan hilangnya fungsi silia terjadi Eksudat fibrin memenuhi sebagian lumen
trakea. Selain itu terdapat penurunan mobilitas dari pita suara karena edema. Pada
penyakit yang berat, eksudat fibrinous dan pseudo membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas yang lebih besar. Hipoksemia dapat terjadi karena penyempitan
lumen yang progresif, ventilasi alveolar yang terganggu dan ketidak seimbangan
ventilasi-perfusi.
b) Etiologi
Pada supraglotitis akut etiologinya seringkali. Sedangkan pada langiritis subglotis akut
etiologinya seringkali adalah virus.
c) Manifestasi Klinis Secara klinis

Gejalanya yaitu stridor inspirasi atau bifase, demam subfebril, batuk (terutamapada
malam hari), suara serak. Definisi Croup adalah suatu penyakit infeksi laring yang
berkembang cepat, menimbulkan stridor dan obstruksi jalan nafas. Walaupun dapat
terjadi pada usia berapapun, bahkan pada dewasa, croup terutama menyerang pada anak
di bawah usia 6 tahun. Croup dapat dibedakan menjadi laringitis supraglotis (epiglotitis)
akut dan laringitis subglotis akut. Meskipun keduanya dapat bersifat akut dan berat,
namun epiglotitis cenderung lebih hebat, seringkali berakibat fatal dalam beberapa jam
( 6-12 jam) tanpa terapi. Sedangkan perjalanan penyakit dari langiritis subglotis akut
berlangsung dalam beberapa hari (2-3 hari) hingga beberapa minggu.
Manifestasinya adalah pasien gelisah, cemas, stridor, retraksi dan sianosis namun
terdapat beberapa perbedaan ringan. Anak dengan epiglotitis cenderung duduk dengan
mulut terbuka dan dagu mengarah ke depan, tidak serak dan cenderung tidak disertai
dengan batuk croupy, namun kemungkinan besar mengalami disfagia. Karena nyeri
untuk menelan, maka anak cenderung mengiler. Disfagia pada epiglotitis dapat
merupakan pertanda kolaps. Kolaps merupakan akibat perluasan inflamasi sepanjang
mulut esofagus, dan berarti proses inflamasi telah menyebabkan pembengkakan
epiglotis yang nyata.Anak dengan laringitis subglotis akut biasanya serak dengan batuk
croupy (menggonggong) dan kering. Serangan batuk biasanya terjadi pada malam hari.
Tidak ada gejala disfagia dan mengiler. Makin berat penyakit pasien, terjadi
peningkatan stridor yang disertai dengan cekungan supraklavikula, interkosta dan
daerah epigastrium. Masa inspirasi memanjang dan kemudian mengi pada ekspirasi
akan timbul. Anak tampak sangat membutuhkan udara dan hipoksia, dengan wajah
cemas, gelisah, menolak makan dan minum serta berbicara. Sianosis mungkin terjadi
pada kasus yang berat.

d) Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan penemuan klinis dan riwayat perjalanan
penyakit. Pada epiglotitis, foto Rontgen jaringan lunak leher dapat memperlihatkan
pembengkakan yang khas pada daerah supraglotik memenuhi saluran nafas. Sedangkan
pada laringitis subglotis akut foto Rontgen lateral leher akan memperlihatkan
penyempitan di infraglotik.

Apusan dan biakan dari sekret laring harus dilakukan untuk menentukan organisme
penyebab. Manfaatnya sedikit untuk perencanaan terapi awal, tetapi berguna jika
organisme tersebut resisten terhadap terapi awal itu. Pada laringitis subglotis akut,
kadar serum antibodi mungkin menolong untuk mendiagnosis adanya infeksi virus,
terutama bila terdapat kenaikan titer
e) Penatalakasanaan
Pasien perlu diamati secara cermat dan dipertimbangkan untuk trakeostomi atau
intubasi. Indikasi bantuan pernapasan adalah kemunduran meskipun telah diberikan
kelembaban, antibiotik dan steroid. Pemantauan croup termasuk denyut nadi, frekuensi
pernapasan, derajat kegelisahan dan kecemasan, penggunaan otot asesorius pada
pernapasan, derajat sianosis, derajat retraksi dan kemunduran pasien secara
menyeluruh. Jika pasien dapat tidur, bantuan jalan napas tidak diperlukan. Sebaliknya,
frekuensi pernapasan diatas 40 kali/menit, denyut nadi diatas 160 kali/menit, dan
kegelisahan serta retraksi yang makin hebat mengindikasikan perlunya bantuan
pernapasan.

4. Tumor laring

a) Pengertian

Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma, kondroma, mioblastoma
sel granuler, hemangioma, lipoma, dan neurofibrom . Tumor ganas laring diantaranya
tumor supraglotik, tumor glotik, tumor subglotik, dan tumor ganas transglotik. Kanker
laring diklasifikasikan dan diterapi berdasarkan lokasi anatomisnya. Kanker laring (kotak
suara) dapat terjadi pada glotis (pita suara sejati), struktur supraglotis (di atas pita suara)
atau struktur subglottis (di bawah pita suara).

American Cancer Society memperkirakan 8.900 kasus baru kanker laring setiap tahun,
kebanyakan terjadi pada pria. Akan tetapi insiden kanker laring pada wanita terus
meningkat. Jika tidak diobati, kanker laring sangat fatal, 90% penderita yang tidak di terapi
akan meninggal dalam 3 tahun. Kanker ini sangat mungkin dapat disembuhkan jika
terdiagnosis dan diterapi lebih awal.
b) Etiologi

karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa
perokok, peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan risiko tinggi
terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa hal
yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol,
dan terpajan oleh sinar radioaktif. Faktor risiko tambahan meliputi paparan pekerjaan
terhadap asbes, debu kayu, gas mustard, dan produk petroleum/minyak dan inhalasi
asap beracun lain. Laringitis kronis dan penggunaan suara yang berlebihan juga dapat
berkontribusi. Penelitian menunjukkan kaitan antara paparan tembakau dan mutasi gen
p53 pada karsinoma sel skuamosa dari kepala dan leher

c) Patofisiologi

Karsinoma sel skuamosa adalah tumor ganas paling sering menyerang laring, yang
timbul dari membran pelapis saluran pernapasan. Metastasis kanker epiglotis tidak lazim
terjadi karena aliran limfatik yang jarang berasal dari pita suara (plika vokalis). Kanker di
laring akan menyebar lebih cepat karena terdapat banyak pembuluh limfe. Penyakit
metastasis dapat dipalpasi sebagai masa leher. Metastasis jauh juga dapat terjadi di paru.

Faktor predisposisi

(alkohol, rokok, radiasi)

proliferasi sel laring

Diferensiasi buruk sel laring

Ca. Laring

Metastase Plica vocalis Menekan/ Obstruksi jalan


supraglotik ↓ mengiritasi serabut napas
↓ Suara parau syaraf ↓
↓ ↓
Obstruksi lumen Afonia Nyeri Mengiritasi sel
oesophagus ↓ dipersepsikan laring
↓ Gangg. ↓ ↓
Disfagia progresif Komunikasi Gangg. Rasa Infeksi
↓ verbal nyaman : nyeri ↓
Intake < Akumulasi
↓ sekret
BB ↓ ↓
Stridor
↓ Bersihan jalan
Gangg.Pemenuhan napas tak efektif
nutrisi

d) Manifestasi Klinis
Tanda peringatan awal kanker laring bergantung pada lokasi tumor. Secara umum
suara parau atau serat yang berlangsung lebih dari 2 minggu harus dievaluasi. Serak terjadi
ketika tumor menginvasi otot dan kartilago di sekitar laring, menyebabkan kekakuan pita
suara. Kebanyakan klien menunggu sebelum mencari pertolongan karena diagnosis serak
kronis.Tumor pada glotis mencegah penutupan glotis selama berbicara yang akan
menyebabkan suara serak atau perubahan suara. Tumor supraglotis dapat menyebabkan
nyeri pada tenggorok (terutama saat menelan), aspirasi saat menelan, sensasi benda asing
di tenggorok, massa leher, atau nyeri yang menjalar ke telinga melalui nervus vagus dan
glosofaringeus. Tumor subglotis dapat tidak menunjukkan manifestasi klinis sampai lesi
tumbuh dan mengonstruksi jalan napas.
e) Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik
Diagnosa kanker laring dibuat dengan pemeriksaan visual pada laring dengan
menggunakan laringoskopi direk/ langsung atau direk/tidak langsung. Nasofaring dan
palatum molle posterior diinspeksi secara tidak langsung dengan kaca kecil atau instrumen
menyerupai teleskop. Saat kaca kecil dimasukan, tekanan ringan diberikan pada lidah dan
klien diminta mengucapkan "ei" lalu "i" yang akan mengangkat palatum molle. Instrumen
sebaiknya tidak menekan lidah karena klien akan muntah.

Nasofaring diinspeksi untuk melihat adanya cairan perdarahan, ulserasi, atau massa.
Visualisasi langsung laring dapat dilakukan dengan penggunaan instrumen berbeda,
kebanyakan perangkat ini adalah endoskopi dengan cahaya. Klien diinstruksikan untuk
menjulurkan lidah dan pemeriksa dengan perlahan menahan lidah dengan spon kassa lidah
dan menariknya ke depan. Kaca laringeal atau endoskop telescopic diinsersikan ke
orofaring; sekali lagi, hindari menekan kuat lidah. Klien diminta bernapas keluar masuk
melalui mulut atau "terengah-engah seperti anak anjing". Terengah-engah menurunkan
sensasi muntah akibat pemeriksaan. Selama pernapasan tenang, dasar lidah, epiglotis, dan
pita suara diperiksa untuk melihat adanya infeksi atau tumor. Klien diinstruksikan untuk
mengucapkan “I” bernada tinggi untuk menutup pita suara. Pemeriksa mengamati gerakan
pita suara warna membran mukosa dan adanya lesi. Sebelum terapi definitif untuk tumor
perlu dilakukan panendoskopi dan biopsi untuk menentukan lokasi pasti, ukuran, dan
penyebaran tumor primer. CT atau MRI digunakan untuk membantu proses ini. Analisis
laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, penentuan kadar elektrolit serum
meliputi kalsium, dan uji fungsi ginjal dan hati. Data ini membantu menentukan kesiapan
klien secara fisik untuk menjalani pembedahan. Oleh karena jalan nafas akan terganggu
setelah operasi, klien membutuhkan pengkajian menyeluruh pada paruh dengan analisis
gas darah arterial untuk identifikasi gangguan paru yang akan mengganggu pernapasan.
Klien yang menjalani laringektomi parsial harus memiliki cadangan paruh yang adekuat
untuk menghasilkan batuk yang efektif pascaoperasi. Operasi juga berhubungan dengan
peningkatan resiko aspirasi, dan klien harus dapat batuk untuk menghindari aspirasi pada
saluran pernapasan. Untuk memastikan penyebaran tumor atau tumor primer lain, perlu
dilakukan radiografi dada dan dengan kontras barium peroral atau esofagografi.

Setelah tumor dapat diidentifikasi, dan dilakukan biopsi, tumor dapat ditentukan
stadiumnya. Penentuan stadium ini penting untuk pilihan terapi dan prognosis. Penting
untuk menentukan luas tumor untuk memilih intervensi yang paling tepat. Penentuan
stadium dapat dilakukan dengan (1) mengukur ukuran tumor primer, (2) menentukan
adanya kelenjar getah bening yang membesar, (3) menetukan adanya metastasis jauh.

f) Penatalaksanaan Medis
Ada 3 cara penanggulangan yang lazim dilakukan, yakni pembedahan, radiasi,
obat sitostatika ataupun kombinasinya tergantung pada stadium penyakit dan keadaan
umum pasien. Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan
radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi
dengan rekonstruksi, bila masih memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi.
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis ataupun parsial, tergantung lokasi dan
penjalaran tumor, yang sering dilakukan adalah laringektomi totalis karena beberapa
pertimbangan, sedangkan laringektomi parsial jarang dilakukan, karena teknik sulit untuk
mentukan batas tumor. Selain itu dilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat
penjalaran ke kelenjar limfa leher. Pemakaian sitostatika belum memuaskan, biasanya
jadwal pemberian sitostatika tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk,
disamping harga obat ini yang relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh pasien.

Para ahli berpendapat, bahwa tumor laring ini mempunyai prognosis yang paling
baik di antara tumor-tumor daerah traktur aero-digestivus, bila dikelola dengan tepat,
cepat dan radikal. Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring
menyebabkan cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita
suara yang ada di dalamnya, maka pasien akan menjadi afonia dan bernapas melalui
stoma permanen di leher. Untuk itu diperlukan rehabilitasi terhadap pasien, baik yang
bersifat umum, yakni agar pasien dapat memasyarakat dan mandiri kembali, maupun
rehabilitasi khusus yakni rehabilitasi suara agar pasien dapat berbicara, sehingga
berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu
suara, yakni semacam vibrator yang ditempelkan di daerah sub mandibula, ataupun
dengan suara yang dihasilkan dari esofagus (esophageal speech) melalui proses belajar.
Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi suksesnya rehabilitasi suara ini, yakni faktor
fisik dan faktor psiko-sosial.

5. Epiglotitis

Epiglotitis akut (kadang disebut supraglotitis) adalah radang pada epiglotis dan atau jaringan
supraglotis disekeliling epiglotis, termasuk plika ariepiglotika, jaringan aritenoid dan kadang-
kadang uvula.

Etiologi

 Haemophillus Influenzae tipe B merupakan organisme dominan penyebab epiglotitis akut.


Vaksinasi HiB telah menurunkan jumlah kasus sehubungan dengan infeksi organisme ini.
 Staphylococcus aureus
 Streptococcus pneumoniae
 Traumatik epiglotitis yang disebabkan oleh trauma langsung maupun thermal injury
Patofisiologi

Menurut sejarah, epiglotitis akut disebabkan oleh infeksi pada stuktur supraglotis
oleh kuman Haemophillus influenza tipe B. Sejak penggunaan vaksin HiB tersebar luas,
insiden dan agen penyebab epiglotitis akut mengalami perubahan. Haemophillus influenza
tipe B dan Streptococcus pneumoniae membentuk koloni pada faring anak yang sehat
melalui transmisi udara. Bakteri-bakteri ini akan menembus mukosa masuk ke dalam aliran
darah sehingga menyebabkan bakteriemia dan menyerang epiglotis beserta jaringan-
jaringan disekitarnya. Bakteriemia juga dapat mengakibatkan infeksi pada meningen,
kulit, paru-paru, air mata dan sendi.

Infeksi bakteri pada epiglotis dapat menyebabkan acute inflammatory edema,


dimulai dari permukaaan lingual epiglotis dimana submukosa terikat longgar.
Pembengkakan jaringan menyebabkan penyumbatan saluran udara, kemudian plika
ariepiglotika, aritenoid dan seluruh supraglotik laring edema. Ikatan kuat epithelium pada
pita suara membatasi edema pada level ini. Aspirasi sekret orofaring ataupun mucus plug
bisa menyebabkan henti napas.

Radang yang terjadi pada struktur di sekitar epiglotis terjadi karena peradangan
akibat trauma, mekanis, termal maupun kimia. Pernah juga ada kasus epiglotitis akut yang
dilaporkan karena trauma tumpul pada leher.

Manifestasi klinik

Riwayat

Epiglotitis akut biasanya timbul secara cepat dan tiba-tiba dengan demam, nyeri
tenggorokan, disfagia, gangguan pernapasan, drooling dan cemas. Gambaran klasik pada
anak yakni demam dan mungkin mengeluh nyeri tenggorokan, anak menolak untuk makan.
Sesuai dengan perkembangan penyakitnya, pasien mungkin tidak dapat mejaga jalan
napasnya dan hal ini menyebabkan obstuksi jalan napas.

 Gambaran klasik berupa trias drooling, disfagia, dan gangguan pernapasan.


Demam dengan gangguan pernapasan dan kekurangan oksigen sering terjadi. Pada
80 % kasus didapatkan drooling.
 Umur pasien, permulaan infeksi, jenis batuk dan derajat toksisitas mempunyai
kontribusi untuk membedakan epiglotitis akut dari severe croup. Biasanya croup
terjadi pada anak kecil dan memiliki gejala-gejala penyakit virus.Yang terpenting
pada anak-anak dengan croup terdapat batuk yang meletup dan jarang terlihat
toksik.
 Bila penyebab epiglotitis tidak infeksius, gejalanya bervariasi. Anak dengan
gangguan saluran napas atas tanpa demam ataupun sebab yang jelas harus
ditanyakan kemungkinan menelan cairan toksik atau panas, peristiwa traumatik
seperti kejatuhan benda pada saat mulut terbuka, tertelan dan pengeluaran benda
asing.

Gejala klinis

 Pada epiglotitis akut klasik, pasien tampak sangat kesakitan, gelisah


 Karena nyeri pada daerah supraglotik, sekresi tidak dapat ditahan dan anak sering
mengeluarkan air liur
 Pada awal penyakit terdapat stridor, tetapi sesuai dengan perkembangan penyakit
suara napas mungkin menghilang. Tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas atas
yang jelas seperti retraksi interkostal, suprasternal dan subkostal
 Pada anak yang lebih tua nyeri dapat dinilai pada pergerakan tulang hyoid.
 Walaupun tidak direkomendasikan, gambaran epiglotis pada anak yang dicurigai
epiglotitis akut tampak bengkak dan berwarna merah cherry.
 Pada kasus lanjut, terdapat gagal nafas dan syok

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium

 Mengamankan jalan napas adalah prioritas utama. Evaluasi lebih lanjut


harus terus diikuti
 Kultur darah dan kultur lendir tenggorokan dilakukan setelah jalan
napasnya aman
 Peningkatan jumlah sel darah putih sebanyak 15.000-45.000 sel/uL
 Pada kasus epiglotitis akut yang disebabkan oleh Haemophillus influenzae
tipe B, kultur darah memberikan hasil positif sekitar 15 %.
 Kultur yang berasal dari permukaan epiglotis yang didapatkan melalui
intubasi endotrakeal memberikan hasil positif pada 75 % kasus
Pemeriksaan radiologis

 Jika epiglotitis akut dianggap serius, tidak diperlukan pemeriksaan


radiologist.
 Dalam beberapa kasus yang tidak jelas, pemeriksaan radiologis dapat
membantu menegakkan diagnosa atau menyingkirkan epiglotitis akut.
 Jika epiglotitis akut dipikirkan sebagai diagnosa banding, anak tidak boleh
ditinggalkan sendiri walaupun gambaran radiologisnya sedang diperoleh,
anak harus selalu ditemani oleh orang yang mampu mendapatkan akses
jalan napas dengan cepat bila diperlukan
 Pada foto lateral leher akan tampak pembesaran epiglotis yang menonjol
dari dinding anterior hipofaring yang dikenal dengan istilah thumb sign

Pengobatan

Terapi antibiotic diperlukan tapi pemberiannya setelah jalan napas terkendali.


Selama menunggu hasil kultur, penggunaan antibiotic mengatasi organisme-organisme
umumnya. Bila ada trauma pada epiglottis, S. aureus dapat dicurigai. Dengan adanya
bercak-bercak putih, C. albicans yang harus dicurigai. Penggunaan obat sedasi agar
nyaman juga diperlukan.

Antibiotik

Terapi antimikroba empiris harus mencakup pathogen yang sering menyebabkan


epiglotitis akut dalam klinis sehari-hari. Pengobatan harus berlangsung selama 7-10 hari.

Ceftriaxone (Rocephin)

Dosis : Dewasa 1-2 g IV, lama kerja obat 12-24 jam

Anak-anak 75-100 mg/kg/hari IV, lama kerja obat 12-24 jam

C. Penatalaksanaan Obstruksi Jalan Napas


Prinsip Penatalaksanaan adanya benda asing disaluran napas adalah dengan segera
mengeluarkan benda asing tersebut. Bila sumbatan total berlangsung lebih dari lima menit pada
orang dewasa atau delapan menit pada anak, maka akan terjadi kerusakan pada jaringan otak
dan jantung berhenti. Oleh karena itu, diperlukan ketepatan dalam menegakkan diagnosis dan
kecepatan dalam melakukan tindakan pertolongan. Bila peristiwa ini terjadi dimana tidak
terdapat peralatan laringoskopi langsung, maka dapat dilakukan :
a. Krikotirotomi

Krikotirotomi adalah tindakan ‘life saving’ untuk mengatasi sumbatan jalan


napas dilaring. Hal tersebut dilakukan dengan cara membuka membrane krikotiroid
secara cepat. Penderita dibaringkan telentang dengan leher ekstensi. Kartilago tiroid
diraba, dibuat sayatan kulit tepat dibawahnya. Jaringan dibawah sayatan dipisahkan
tepat pada garis tengah. Setelah tepi bawah kartilago tiroid terlihat tusukan pisau dengan
arah kebawah untuk menghindari tersayatnya pita suara. Masukkan corong atau pipa
plastik sebagai ganti kanul.
Teknik krikotirotomi :
 Pasien tidur terlentang, kepala ekstensi
 Cari daerah antara puncak tulang rawan tiroid dan kartilago krikoid
 Infiltrasi dengan anastetikum
 Buat sayatan
 Tusukkan pisau dengan arah ke bawah
 Masukkan kanul atau bila tidak tersedia bisa pipa plastik untuk sementara
C. Laringoskopi
Laringoskopi merupakan cara terbaik untuk mengeluarkan benda yang tersangkut dilaring.
Oleh karena itu benda asing tersebut langsung dapat dikeluarkan dengan bantuan cunam.
Untuk tindakan ini penderita dirujuk kerumah sakit.
D. Intubasi Endotrakea
indikasi :
 Untuk mengatasi sumbatan saluran nafas bagian atas
 Membantu ventilasi
 Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeo-bronkial
 Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal dari lambung

E. Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea
untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan menjadi:
1) trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3
2) trakeostomi letak rendah, setinggi cincin trakea 4-5.
Berdasarkan letak tinggi dan rendah kira-kira setinggi ismus kelenjar tiroid, bila
melakukan trakeostomi sebaiknya letak tinggi karena:
1) letak trakea lebih superfisial
2) dekat dengan bangunan pedoman yaitu kartilago tiroid atau krikoid
3) kanul tidak mudah lepas dan bila lepas mudah dikembalikan
4) ismus atau timus pada anak tidak terganggu 5) aman, karena jauh dari pembuluh darah
besar.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam:
1) trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana yang kurang
2) trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (lege
artis).
a. Indikasi Trakeostomi
1. Mengatasi obstruksi laring
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang
dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini
berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan)
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
b. Alat-alat trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah semprit dengan
obat anlagesia (novokain), pisau (skalpel), pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul,
sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea yang
ukurannya cocok untuk pasien.
b. Teknik Trakeostomi
 Pasien tidur terlentang, kepala di ekstensikan
 Kulit dibersihkan dan ditutup kain steril
 Obat anestesi disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal
 Dibuat insisi horizontal atau vertikal
 Lepaskan lapis demi lapisan kulit serta jaringan di bawahnya sampai kelihatan
trakea
 Lakukan aspirasi
 Buatlah stoma  potong cincin trakea ke 3

Keterangan Gambar :
1 - Vocal cords
2 - Thyroid cartilage
3 - Cricoid cartilage
4 - Tracheal cartilage
5 – ballon cuff

Teknik trakeostomi:
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan
kepala untuk diekstensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan posisi seperti ini
leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit
daerah leher dibersihkan secara asepsis dan antisepsis dan ditutup dengan kasa steril. Obat
anastetikum (novokain) disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal
secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dibawah krikoid
sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan
jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kirakira 2 jari dibawah krikoid
orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5 cm. Dengan gunting
panjang yang tumpul kulit serta jaringan dibawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan
ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan
susunan cincin-cincin tulang rawan yang berwarna putih. Pembuluh darah vena jugularis
anterior yang tampak ditarik ke lateral. Ismus tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong
ditengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismus tiroid diikat kedua tepinya dan disihkan
ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat.

Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin
trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea
ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian dipasang kanul trakea dengan ukuran yang
sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dengan luka operasi ditutup dengan
kasa. Hal-hal yang perlu diperhatikan, sebelum membuat lubang trakea, perlu dibuktikan
dulu yang akan dipotong itu benar-benar trakea dengan cara aspirasi dengan semprit yang
berisi novokain. Bila yang ditusuk itu trakea maka pada waktu dilakukan aspirasi terasa
ringan dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung udara. Untuk mengurangi
refleks batuk dapat disuntikan novokain sebanyak 1 cc ke dalam trakea. Untuk menghindari
terjadinya komplikasi perlu diperhatiakan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar
mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Ukuran kanul harus sesuai dengan
diameter lumen trakea. Bila kanul terlalu kecil, akan menyebabkan kanul bergerak-gerak
sehingga terjadi rangsangan pada mukosa trakea dan mudah terlepas ke luar. Bila kanul
terlalu besar, sulit untuk memasukkannya ke dalam lumen dan ujung kanul akan menekan
mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding trakea. Panjang kanul harus sesuai pula.
Bila terlalu pendek akan mudah keluar dari lumen trakea dan masuk ke dalam jaringan
subkutis sehingga timbul emfisema kulit dan lumen kanul akan tertutup sehingga
menimbulkan asfiksia. Bila kanul terlalu panjang maka mukosa trakea akan teriritasi dan
mudah timbul jaringan granulasi.

c. Perawatan pasca trakeostomi


Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena sekret dapat menyumbat,
sehingga akan terjadi asfiksia. Oleh karena itu sekret di trakea dan kanul harus sering

diisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya 2 kali sehari, lalu segera
dimasukan lagi ke dalam kanul luar. Pasien dapat dirawat di ruang perawatan biasa dan
perawatan trakeostomi sangatlah penting. Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu
lama, maka kanul luar harus dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kasa di bawah kanul harus
diganti setiap basah, untuk menghindari terjadinya dermatitis
BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Tn. N

Umur : 53 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Bulu, Jepara

Agama : Islam

No. CM : 000566371

Tanggal Masuk : 29 Juni 2019

Tanggal Keluar : Masih rawat inap

2. Anamnesis

Autoanamnesis ( dilakukan kepada pasien ) dan Alloanamnesis (dilakukan kepada isteri


pasien) pada tanggal 29 Juni 2019 pukul 07.00 WIB di bangsal Teratai 1 RSUD R.A. Kartini.

a. Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak napas

b. Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD RA Kartini dengan keluhan sesak napas sejak 1
minggu yang lalu. Keluhan ini dirasakan terus menerus. Sesak dirasakan memperberat pada
saat tiduran dan lebih enak untuk posisi duduk. Pasien juga mengatakan keluhan tersebut
disertai dengan suara serak, batuk, demam, serta mengeluh adanya nyeri saat menelan.
Riwayat adanya gangguan pendengaran disangkal. Sebelumnya pasien adalah perokok
aktif dan memiliki riwayat asma serta hipertensi. Riwayat terpajan oleh sinar radioaktif
disangkal dan riwayat diabetes tidak ada. Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit ini
sebelumnya, pasien berobat dengan menggunakan BPJS.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan serupa : diakui (sejak 6 bulan yang lalu)
- Riwayat hipertensi : diakui
- Riwayat penyakit paru : diakui (asma)
- Riwayat ISPA : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat trauma kepala : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat sakit gigi : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal

d. Riwayat Keluarga
- Riwayat keluhan serupa : disangkal
- Riwayat ISPA : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat asma : disangkal

e. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan pelayan

Biaya pengobatan pasien menggunakan BPJS

Kesan ekonomi: cukup

PEMERIKSAAN FISIK (OBJECTIVE)


A. STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis


Status gizi : Normal

Tekanan darah : 150/90 mmHg

Nadi : 80 x/menit

Napas : 28 x/menit

Suhu : 36 0C

B. STATUS LOKALIS THT (TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN)


Kepala dan Leher
• Kepala : Normocephale
• Wajah : Simetris
• Leher : Pembesaran kelenjar limfe (tidak dilakukan)

Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dexter Sinister
Auricula Bentuk normal Bentuk normal
Nyeri tragus (-) Nyeri tragus (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Retro auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
CAE Serumen (-) Serumen (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Membran Intak Intak
timpani Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Retraksi (-) Retraksi (-)
Bulging (-) Bulging (-)

Pemeriksaan Hidung

Bagian Hidung Luar


Dextra Sinistra
Bentuk Normal Normal
Inflamasi atau tumor - -
Nyeri tekan sinus - -
Deformitas atau septum deviasi - -
Rhinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal Normal
Dasar cavum nasi Normal
Sekret - -
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Benda asing - -
Perdarahan - -
Palatal phenomen - -
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka nasi media
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Hipertrofi (-) Hipertrofi (-)
Konka nasi inferior.
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Septum Deviasi (-)
Transluminasi Tidak ada sinusitis

Rhinoskopi posterior : tidak dilakukan

Pemeriksaan Rutin Sinus Paranasal

LOKASI DEKSTRA SINISTRA

Infraorbita Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

Glabela Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

Supraorbita Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)

Nyeri ketuk (-) Nyeri ketuk (-)

Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Kalkulus (-), Karies (-), Gangren (-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), posisi ditengah
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (+)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
Ukuran - -
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Permukaan - -
Kripte - -
Detritus - -
Peri Tonsil - -
Pilar anterior Hiperemi (-) Hiperemi (-)

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Klink Haematologi
Nilai Normal
Pemeriksaan Hasil Satuan
Perempuan
Hemoglobin 15,3 gr% 14-18
Leukosit 20.760 mm 3 4000-10000
Trombosit 258.000 mm 3 150.000-400.000
Hematokrit 41,3 % 40-48
LED 1 jam 14
mm/jam 0-15
LED 2 jam 44
eosinophil 0 % 1-3
Basophile 0 % 0-1
staf 0 % 2-6
Hasil endoskopi

Interpretasi : terdapat massa hiperemis di supraglotik

RESUME
Pemeriksaan Subjektif

 Keluhan utama : sesak napas


 RPS
 Sesak napas (+) sejak 1 minggu terakhir, keluhan ini dirasakan terus menerus.
 Riwayat suara serak dan sering batuk (+)
 Tidur mengorok (+).
 RPD : keluhan serupa (+), asma (+).

Pemeriksaan Objektif

 Pemeriksaan endoskopi : tampak massa di supraglotik


DIAGNOSIS BANDING
• Carsinoma laring supraglotis (Dispneu Jackson 1-2)
• Epiglotitis
• Trauma laring

DIAGNOSIS SEMENTARA
• Carcinoma laring supraglotis (Dispneu Jackson 1-2)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium: Darah rutin
 Endoskopi
KOMPLIKASI
 Ca Laring:
a) Distress pernapasan (hipoksia, obstruksi jalan napas)
b) Metastasis ke organ sekitar
 Trakeostomi:
a) Perdarahan
perdarahan mungkin terjadi waktu operasi dan lebih sering post operasi karena saat
melakukan trakeostomi sebaiknya perdarahan dicari dan pembuluh darah diikat
terutama di sekitar kelenjar tiroid.
b) Emfisema
Emfisema subkutis terjdi karena luka insisi dikulit dijahit terlalu rapat pada kanula
sedangkan stoma terlalu lebar, penyebab lain karena kanula terlalu kecil dibandingkan
dengan stoma yang dibuat.

PENATALAKSANAAN
1) Non medikamentosa
 Bed rest
 Menghindari makanan pedas dan gorengan, makan dengan konsistensi yang lunak
 Extra susu
2) Medikamentosa:
 Infus tutofusin 20 tpm
 Injeksi anbacim 1 gr
 Inj methyl prednisolone 120 mg/12 jam
 Amlodipine 1x 10 mg
3) Operatif :
 Trakeostomi (tanggal 29 juni 2019)

Edukasi Post trakeostomi:


 Edukasi keluarga pasien perawatan kanul trakea yaitu pembersihan discharge
yang kelauar dari kanul pada saat pasien batuk
 Setelah pasien sadar penuh boleh minum sedikit- sedikit

PROGNOSIS
Ad vitam: dubia ad malam

Ad functionam: dubia ad malam

Ad sanationam: dubia ad malam

FOLLOW UP
Tanggal Keadaan Klinis Progam / Terapi
28/06/2019 S: Pasien mengeluh batuk dan sesak
17.15 WIB O: Ku Baik, Compos mentis
A: bersihan jalan napas
P: setelah dilakukan perawatan
selama 1 x 24 jam diharapkan batuk
berkurang
Intervensi: ajarkan batuk efektif

29/06/2019 S: Pasien mengeluh sesak napas Program :


09.00 WIB O: stridor +, benjolan dileher +, Infus tutofusin 20 tpm
endoskopi: tumor laring
A: tumor laring dispneu Jackson 1:2 Injeksi anbacim 1 gr/ 12 jam
P: informed conset Trakeostomi
Inj methyl prednisolone 120
mg/12 jam

Amlodipine 1x 10 mg

Trakeostomi cito

29/06/2019 S: pasien merasa sesak + dan tersa Program :


14.00 WIB tercekik + Pengawasan KU, TTV.
O: tekanan darah: 125/80 mmhg, N: Post:
88 x/mnt, spO2: 98% O2 2 L/kanal trakea
A: Post trakeostomi Diet biasa 3x
Extra susu
Medikamentosa:
Infus tutofusin 20 tpm

Injeksi anbacim 1 gr/12 jam

Amlodipine 1x 10 mg

Inj ketorolac 30mg/8 jam

30/06/2019 S : pasien merasa nyaman sesak>>


06.00 WIB O : KU baik CM, TD: 156/66 nadi :
88x/menit.
A : gangguan pola napas
P: lanjutkan intervensi

01/07/2019 S : sesak napas - Program :


09.00 WIB Infus tutofusin 20 tpm
O : KU baik CM, TD :120/80 rr : Injeksi anbacim 1 gr/12 jam
18x/menit.
Inj ketorolac 30mg/8 jam (stop)
A : Tumor laring supraglotik
Amlodipine 1x 10 mg
P: tunggu hasil PA
Rawat luka
Diet biasa
02 2 liter/mnt
03/07/2019 S : sesak napas-, dahak - Lanjut
O : KU baik CM, TD :- nadi : Stop ketorolac
88x/menit, suhu : 37 C.
A: tumor laring supraglotis post
trakeostomi
04/07/2019 S: sesak napas Tx:
O: terpasang kanul trakea terfiksir Clindamycin 3x300 mg
secret minimal, hasil PA karsinoma Syr oxopect 3x1 cth
laring Amlodipine 1x10 mg
A: carcinoma laring supraglotis post
trakeostomi
P: edukasi cara perawatan kanul
oleh keluarga
Ambil hasil PA
Rencana pulang
BAB IV

PEMBAHASAN

Anamnesis, pf, pp. Teori


Carcinoma laring supraglotis
Pasien datang ke IGD RSUD RA Anamnesis:
Kartini dengan keluhan sesak napas sejak Etiologi
1 minggu yang lalu. Keluhan ini dirasakan rokok, alkohol, dan terpajan oleh sinar radioaktif.
terus menerus. Sesak dirasakan Manifestasi Klinis
memperberat pada saat tiduran dan lebih  Suara serak (+)
enak untuk posisi duduk. Pasien juga  Sesak napas (+)
mengatakan keluhan tersebut disertai  Rasa nyeri tenggorokan (+)
dengan suara serak, batuk, kadang  Batuk (+) dan haemoptisis
disertai demam, serta mengeluh adanya  Bengkak pada leher (+)
nyeri saat menelan. Riwayat adanya  Disfagia (+)
gangguan pendengaran disangkal. Tumor supraglotis : (+)
Sebelumnya pasien adalah perokok aktif  nyeri pada tenggorok (terutama saat menelan)
dan memiliki riwayat asma serta
 aspirasi saat menelan
hipertensi. Riwayat terpajan oleh sinar
 sensasi benda asing di tenggorokan
radioaktif disangkal dan riwayat diabetes
 massa leher, atau nyeri yang menjalar ke telinga
tidak ada. Keluarga tidak memiliki
melalui nervus vagus dan glosofaringeus.
riwayat penyakit ini sebelumnya.
Tumor glotis :
Hasil anamnesis:
 Sesak napas mencegah penutupan glotis selama berbicara yang akan
 Suara serak menyebabkan suara serak atau perubahan suara.
 Batuk Tumor subglotis:

 Nyeri saat menelan dapat tidak menunjukkan manifestasi klinis sampai lesi

 Riwayat perokok aktif tumbuh dan mengonstruksi jalan napas

 Riwayat asma dan hipertensi pemeriksaan fisik:

Pf pre trakeostomi : *(tidak dilakukan  telinga: dbn

pemeriksaan)  hidung: dbn

 Terdapat sumbatan jalan napas  Sumbatan jalan napas ( Jackson):

(stridor, retraksi suprasternal) Stadium I : sesak, kadang blm ada stridor, inspirasi

 Terdapat massa di leher ringan, retraksi suprasternal tanpa sianosis ringan

Pf post trakeostomi: Stadium II (+) : Jackson 1+, stridor, terdapat retraksi

 hidung:dbn supra dan infraklavikul, sianosisi ringan, pasien gelisah.


Stadium III: Jackson 2+ retraksi intercostal,
 Telinga: dbn
epigastrium, sianosis+
Pemeriksaan penunjang:
Endoskopi: ditemukan massa berwarna merah di Stadium IV: Jackson III+ wajah tegang dan gagal napas,
mulai tampak lemah.
supraglotik
 Laringioskop indirect: ada massa hiperemis di
laring
Pemeriksaan penunjang:
 Endoskopi: ditemukan massa berwarna merah
di supraglotik

Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut sesuai dengan teori Carcinoma laring
supraglotis pada pasien ini didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
yang sudah sesuai dengan teori yang ada
BAB V

KESIMPULAN

Obstruksi saluran napas atas merupakan salah satu keadaan kegawatdaruratan.


Diagnosis awal yang diikuti dengan pembebasan jalan napas segera dapat mencegah
terjadinya henti jantung atau kerusakan otak bersifat ireversibel yang terjadi dalam waktu
hitungan menit Obstruksi total di laring akan menimbulkan keadaan gawat, dan apabila
tidak ditatalaksana dalam 4 menit akan menyebabkan kematian akibat asfiksia. Obstruksi
parsial di laring dapat menyebabkan gejala suara parau, disfonia sampai afonia, batuk yang
disertai sesak, odinofagia, mengi, sianosis, hemoptisis dan rasa subjektif benda asing.
Obstruksi laring dapat disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain radang akut dan
tumor laring. Tumor ganas laring diantaranya tumor supraglotik, tumor glotik,
tumor subglotik, dan tumor ganas transglotik. Kanker laring diklasifikasikan dan diterapi
berdasarkan lokasi anatomisnya. Kanker laring (kotak suara) dapat terjadi pada glotis (pita
suara sejati), struktur supraglotis (di atas pita suara) atau struktur subglottis (di bawah pita
suara).
American Cancer Society memperkirakan 8.900 kasus baru kanker laring setiap
tahun, kebanyakan terjadi pada pria. Akan tetapi insiden kanker laring pada wanita terus
meningkat. Jika tidak diobati, kanker laring sangat fatal, 90% penderita yang tidak di terapi
akan meninggal dalam 3 tahun. Kanker ini sangat mungkin dapat disembuhkan jika
terdiagnosis dan diterapi lebih awal Secara umum suara parau atau serat yang berlangsung
lebih dari 2 minggu harus dievaluasi. Serak terjadi ketika tumor menginvasi otot dan
kartilago di sekitar laring, menyebabkan kekakuan pita suara. Kebanyakan klien menunggu
sebelum mencari pertolongan karena diagnosis serak kronis.Tumor pada glotis mencegah
penutupan glotis selama berbicara yang akan menyebabkan suara serak atau perubahan
suara. Tumor supraglotis dapat menyebabkan nyeri pada tenggorok (terutama saat
menelan), aspirasi saat menelan, sensasi benda asing di tenggorok, massa leher, atau nyeri
yang menjalar ke telinga melalui nervus vagus dan glosofaringeus. Tumor subglotis dapat
tidak menunjukkan manifestasi klinis sampai lesi tumbuh dan mengonstruksi jalan napas.
Salah satu untuk membebaskan jalan napas ialah dengan tindakan trakeostomi
DAFTAR PUSTAKA

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan (8th ed.). Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda, & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA NIC-NOC.
Jakarta. Medi Action Publishing

Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia Dari Sistem Ke Sel Edisi 8. Jakarta: EGC.

Potter dan Perry. 2010.Fundamental Keperawatan. Buku 2, Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah

Jose C, Atul C. Upper Airway Obstruction. in: American College of Physicians: Manual of
Critical Care. Raoof S, editor. USA: McGraw-Hill, Inc; 2009. p 388-96

Aboussouan L, Stoller JK. Diagnosis and management of upper airway obstruction. Clin Chest
Med. 1994; 15(1):35-53. 5. Lee P, Elif K, Atul C. Airway Stents. Clin Chest Med. 2010;
31(1):141-50. 6

Bacon JL, Patterson CM, Madden BP. Indications and interventional options for non-
resectable tracheal stenosis. J Thorac Dis. 2014; 6(3):258-70.
Furukawa K, Kinoshita K, Saijo T, dkk. Laser therapy and airway stenting for central-type lung
cancer. Japan Med Assoc J. 2002; 128(3): 423-27. 10. Hisashi S, Kinya F, Hidemitsu T, dkk.

Outcomes of airway stenting for advanced lung cancer with central airway obstruction.
Interact Cardiovasc Thorac Surg. 2010; 425-28.

Emmet E, David W, Paul A. The Insertion of self-expanding metal stents with flexible
bronchoscopy under sedation for malignant tracheobronchial stenosis: a single-center
retrospective analysis. Arch Bronconeumol. 2012; 48(2): 43-8.

Devlin B, Golchin K, Adair R. Paediatric airway emergencies in Northern Ireland, 1990-


2003. J Laryngol Otol. Jul 2007;121(7):659-63.

Kavanagh KR, Batti JS. Traumatic epiglottitis after foreign body ingestion. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. Jun 2008;72(6):901-3.

Chiou CC, Seibel NL, Derito FA, Bulas D, Walsh TJ, Groll AH. Concomitant Candida
epiglottitis and disseminated Varicella zoster virus infection associated with acute
lymphoblastic leukemia. J Pediatr Hematol Oncol. Nov 2006;28(11):757-9.

Glynn F, Fenton JE. Diagnosis and management of supraglottitis (epiglottitis). Curr


Infect Dis Rep. May 2008;10(3):200-4

Anda mungkin juga menyukai