Disusun oleh :
Arini Azkha
30101507390
Pembimbing:
dr. Enny Puji Astuti, Sp. THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2019
REFLEKSI KASUS
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Obstruksi saluran napas atas merupakan salah satu keadaan kegawatdaruratan. Diagnosis
awal yang diikuti dengan pembebasan jalan napas segera dapat mencegah terjadinya henti
jantung atau kerusakan otak bersifat ireversibel yang terjadi dalam waktu hitungan menit.
Meskipun terdapat banyak penyebab obstruksi jalan napas, manajemen harus dimulai ketika
kita mengetahui adanya suatu obstruksi. Waktu pemberian intervensi, medikasi, atau
pembedahan ditentukan berdasarkan kondisi pasien. Meskipun obstruksi saluran napas atas
dapat terjadi di bagian saluran napas atas manapun, obstruksi laring membutuhkan
perhatian khusus karena laring merupakan daerah yang cukup sempit pada saluran napas
atas. Pada pasien dengan kesadaran umum kompos mentis, tanda dan gejala obstruksi
saluran napas atas, antara lain distress pernapasan, perubahan suara, disfagia, odinofagia,
tanda tersedak, stridor, pembengkakan muka, dan takikardia.
Pada pasien dengan penurunan kesadaran, gejala utama dari obstruksi saluran
napas atas adalah adanya ketidakmampuan untuk ventilasi dengan bag valve mask setelah
percobaan membuka jalan napas dengan teknik jaw thrust. Setelah obstruksi saluran napas
atas berlangsung beberapa menit, asfiksia dapat menyebabkan sianosis, bradikardia,
hipotensi, kolaps kardiovaskular bersifat ireversibel. Kadang-kadang obstruksi saluran
napas atas dapat berkembang secara perlahan. Obstruksi hidung atau stridor dipikirkan
sebagai tanda spefisik dari obstruksi saluran napas atas. Stridor terdengar pada semua siklus
respirasi, namun biasanya terdengar lebih intensif pada saat inspirasi dan lebih menonjol di
atas leher. Adanya stridor mengindikasikan obstruksi saluran napas yang berat (aliran udara
<5 mm), namun hal itu tidak dapat membantu penentuan lokasi obstruksi. Penyebab dari
sumbatan jalan napas ialah laringomalasia, trauma laring, tumor laring, benda asing dan
pearadangan laring (laryngitis) Manajemen untuk obstruksi saluran napas atas dibagi menjadi
intervensi medis dan intervensi pembedahan.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan laporan tentang sumbatan jalan napas adalah melaporkan kasus
sehingga mengetahui dan mendiagnosa hingga mengelola penderita dengan kasus serupa, sehingga
diharapkan dapat memberikan masukan pengetahuan tentang sumbatan jalan napas yang dimulai
dari anamnesis,dan pemeriksaan fisik untuk penulis khususnya dan klinik pada umumnya.
1.3 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam mempelajari menegakan
diagnose tatalaksana serta komplikasi dari sumbatan jalan napas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atasdan terletak setinggi
vertebra cervicalis IV - VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk
laring menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih terpancung dan bagian atas
lebih besar dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas kaudal
kartilago krikoid. Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang
rawan, baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada struktur laring adalah
kartilago tiroid yang berbentuk seperti perisai dan kartilago krikoid. Os hioid terletak disebelah
superior dengan bentuk huruf U dan dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada
dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri
dari dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit
yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada
permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah prosesus
yakni prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis. Pada prosesus vokalis akan
membentuk 2/5 bagian belakang dari korda vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk
bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan
superior korda vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis
tengah tunggal yang berbentuk seperti bola pimpong yang berfungsi mendorong makanan yang
ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain itu juga terdapat dua pasang kartilago kecil didalam
laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago kornikulata dan kuneiformis.
a) Kartilago Tiroidea
Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding
anterior dan lateral laring, dan merupakankartilago yang terbesar. Terdiri dari 2sayap
(alae tiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di
bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s
Apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat.
Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura tiroidea, dimana
di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh
ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang
berhubungan dengan permukaanposterolateral dari kartilago krikoidea dan
membentuk artikulasio krikoidea.Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan
kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea
terdapat bagian dalam laring, yaitu:pita suara, ventrikel, otot-otot dan
ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata. Permukaan luar ditutupi
perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yangberjalan oblik dari bawah kornu
superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakantempat perlekatan muskulus
sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus
inferior. Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan
tepibawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan
tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis melekat 1 cm diatasnya olehligamentum
tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 – 30tahun.
b) Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago
hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alasnya terdapat di
belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada bagian posterior.
Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior
melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio
krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum
krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi, krikotomi
atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 1993). Kartilago krikoidea pada
dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI - VIIdan pada anak-anak setinggi
vertebra servikalis III - IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.
c) Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago
berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea,
sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari
piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat
melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian
anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara.
Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum
vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis tengah kartilago
tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau vibratorius pada pita suara.
Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glottis. Kartilago aritenoidea dapat
bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior
pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat
menyebabkan terbuka dan tertutupnya glottis.
d) Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior
aditus laringeus tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas
menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis
lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang
mendorong makanan ke sebelah laring.
e) Kartilago Kornikulata
Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan
merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.
f) Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang
terletak di dalam plika ariepiglotika
B. Otot laring
Gerakan laring dilakukan oleh kelompok otot / muskulus ekstrinsik dan intrinsik. Otot
ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan yang terdiri dari otot ekstrinsik
suprahioid yang berfungsi menarik laring ke atas dan otot ekstrinsik infrahioid. Otot
intrinsik laring menyebabkan gerakan antara berbagai struktur laring sendiri, seperti otot
vokalis dan tiroaritenoid yang membentuk tonjolan pada korda vokalis dan berperan dalam
membentuk tegangan korda vokalis, otot krikotiroid berfungsi menarik kartilago tiroid
kedepan, meregang dan menegangkan korda vokalis dan memiliki fungsi membentuk suara
dan bernafas.
1. Otot / muskulus ekstrinsik Terbagi atas :
Otot suprahioid / otot elevator laring, yaitu : - Stilohioideus - Geniohioideus
- Genioglosus - Milohioideus - Digastrikus - Hioglosus
Fisiologi
Fungsi laring sebagai proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk kedalam trakea, dengan jalan menutup auditus laring dan rima glotis secara
bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas
akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak
kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. Selanjutnya mariepigloitika
berfungsi sebagai sfingter. Penutupan rima glotis karena adduksi plika vokalis. Kartilago
ariteniod kiri dan kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik. Gejala dan tanda
sumbatan laring secara umum ialah :
1. Suara serak (disfonia) sampai afoni
2. Sesak nafas (dispnea)
3. Stridor (nafas berbunyi) yang terdengar pada waktu inspirasi
4. Cekungan yang terdapat pada waktu inspirasi di suprasternal, epigastrium,
supraklavikula dan interkostal
5. Gelisah karena pasien haus udara (air hunger ).
6. Warna muka pucat dan terakhir menjadi sianosis karena hipoksia.
7. Dispneu Jackson membagi sumbatan laring yang progressif dalam 4 stadium dengan
tanda dan gejala.
a. Stadium 1.
1. Cekungan tampak pada waktu inspirasi di suprasternal
2. Stridor pada waktu inspirasi
3. Pasien masih tampak tenang
b. Stadium 2
1. Cekungan pada waktu inspirasi didaerah suprasternal makin dalam
2. Cekungan di daerah epigastrium
3. Stridor terdengar pada waktu inspirasi
4. Pasien mulai tampak gelisah.
c. Stadium 3
1. Cekungan selain di suprasternal, epigastrium juga terdapat di infraklvikula dan
disela-sela iga.
2. Stridor terdengar pada waktu inspirasi dan ekspirasi
3. Pasien sangat gelisah dan dispnea.
d. Stadium 4
1. Cekungan – cekungan diatas bertambah jelas,pasien sangat gelisah, tampak sangat
ketakutan dan sianosis.
2. Pasien dapat kehabisan tenaga,pusat perafasan paralitik karena hiperkapnea.
3. Pasien lemah dan tertidur,akhirnya mninggal karena asfiksia.
Jika keadaan ini berlangsung terus, terjadilah hiperkapnea yang akan
menyebabkan paralitik pusat pernafasan. Selain itu pasien akan kehabisan tenaga
dan letargi. Pasien lemah dan tertidur dan akhirnya meninggal karena asfiksia.
1) Laryngitis akut
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelanjutan dari rinofaringitis (common
cold). Pada anak dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas dan pada orang dewasa tidak
secepat pada anak. Penyebabnya adalah bakteri yang menyebabkan radang lokal dan
virus yang menyebabkan radang sistemik. Gejala dan tanda-tandanya berupa demam,
malaise, suara parau sampai afoni, nyeri menelan atau berbicara, batuk kering yang lama
kelamaan disertai dahak kental dan gejala sumbatan laring.
2) Laringitis kronik
Dapat disebabkan oleh sinusitis kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau
bronkitis kronis, dan penyalah gunaan suara (ocal abuse), sinusitis, reflux, dan polusi
lingkungan. Gejalanya adalah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok
sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret karena mukosa yang
menebal.
3) Croup
a) Definisi
Infeksi menular melalui inhalasi, masuk melalui hidung dan nasofaring. Infeksi
menyebar dan akhirnya melibatkan laring dan trakea. Meskipun saluran pernafasan
lebih rendah, mungkin akan terpengaruh. Peradangan dan edema pada laring dan trakea
subglotik, khususnya yang dekat dengan tulang rawan krikoid, yang paling klinis
signifikan. Virus Para influenzae mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat
penyerapan natrium melintasi epitel trakea, berkontribusi terhadap edema jalan napas.
Ini adalah bagian paling sempit dari saluran napas anak. Dengan demikian,
pembengkakan dapat secara signifikan mengurangi diameter, membatasi aliran udara.
Ini menyebabkan aliran udara turbulen dan stridor, retraksi dada, dan batuk. kerusakan
endotel dan hilangnya fungsi silia terjadi Eksudat fibrin memenuhi sebagian lumen
trakea. Selain itu terdapat penurunan mobilitas dari pita suara karena edema. Pada
penyakit yang berat, eksudat fibrinous dan pseudo membran dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas yang lebih besar. Hipoksemia dapat terjadi karena penyempitan
lumen yang progresif, ventilasi alveolar yang terganggu dan ketidak seimbangan
ventilasi-perfusi.
b) Etiologi
Pada supraglotitis akut etiologinya seringkali. Sedangkan pada langiritis subglotis akut
etiologinya seringkali adalah virus.
c) Manifestasi Klinis Secara klinis
Gejalanya yaitu stridor inspirasi atau bifase, demam subfebril, batuk (terutamapada
malam hari), suara serak. Definisi Croup adalah suatu penyakit infeksi laring yang
berkembang cepat, menimbulkan stridor dan obstruksi jalan nafas. Walaupun dapat
terjadi pada usia berapapun, bahkan pada dewasa, croup terutama menyerang pada anak
di bawah usia 6 tahun. Croup dapat dibedakan menjadi laringitis supraglotis (epiglotitis)
akut dan laringitis subglotis akut. Meskipun keduanya dapat bersifat akut dan berat,
namun epiglotitis cenderung lebih hebat, seringkali berakibat fatal dalam beberapa jam
( 6-12 jam) tanpa terapi. Sedangkan perjalanan penyakit dari langiritis subglotis akut
berlangsung dalam beberapa hari (2-3 hari) hingga beberapa minggu.
Manifestasinya adalah pasien gelisah, cemas, stridor, retraksi dan sianosis namun
terdapat beberapa perbedaan ringan. Anak dengan epiglotitis cenderung duduk dengan
mulut terbuka dan dagu mengarah ke depan, tidak serak dan cenderung tidak disertai
dengan batuk croupy, namun kemungkinan besar mengalami disfagia. Karena nyeri
untuk menelan, maka anak cenderung mengiler. Disfagia pada epiglotitis dapat
merupakan pertanda kolaps. Kolaps merupakan akibat perluasan inflamasi sepanjang
mulut esofagus, dan berarti proses inflamasi telah menyebabkan pembengkakan
epiglotis yang nyata.Anak dengan laringitis subglotis akut biasanya serak dengan batuk
croupy (menggonggong) dan kering. Serangan batuk biasanya terjadi pada malam hari.
Tidak ada gejala disfagia dan mengiler. Makin berat penyakit pasien, terjadi
peningkatan stridor yang disertai dengan cekungan supraklavikula, interkosta dan
daerah epigastrium. Masa inspirasi memanjang dan kemudian mengi pada ekspirasi
akan timbul. Anak tampak sangat membutuhkan udara dan hipoksia, dengan wajah
cemas, gelisah, menolak makan dan minum serta berbicara. Sianosis mungkin terjadi
pada kasus yang berat.
d) Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat berdasarkan penemuan klinis dan riwayat perjalanan
penyakit. Pada epiglotitis, foto Rontgen jaringan lunak leher dapat memperlihatkan
pembengkakan yang khas pada daerah supraglotik memenuhi saluran nafas. Sedangkan
pada laringitis subglotis akut foto Rontgen lateral leher akan memperlihatkan
penyempitan di infraglotik.
Apusan dan biakan dari sekret laring harus dilakukan untuk menentukan organisme
penyebab. Manfaatnya sedikit untuk perencanaan terapi awal, tetapi berguna jika
organisme tersebut resisten terhadap terapi awal itu. Pada laringitis subglotis akut,
kadar serum antibodi mungkin menolong untuk mendiagnosis adanya infeksi virus,
terutama bila terdapat kenaikan titer
e) Penatalakasanaan
Pasien perlu diamati secara cermat dan dipertimbangkan untuk trakeostomi atau
intubasi. Indikasi bantuan pernapasan adalah kemunduran meskipun telah diberikan
kelembaban, antibiotik dan steroid. Pemantauan croup termasuk denyut nadi, frekuensi
pernapasan, derajat kegelisahan dan kecemasan, penggunaan otot asesorius pada
pernapasan, derajat sianosis, derajat retraksi dan kemunduran pasien secara
menyeluruh. Jika pasien dapat tidur, bantuan jalan napas tidak diperlukan. Sebaliknya,
frekuensi pernapasan diatas 40 kali/menit, denyut nadi diatas 160 kali/menit, dan
kegelisahan serta retraksi yang makin hebat mengindikasikan perlunya bantuan
pernapasan.
4. Tumor laring
a) Pengertian
Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring, adenoma, kondroma, mioblastoma
sel granuler, hemangioma, lipoma, dan neurofibrom . Tumor ganas laring diantaranya
tumor supraglotik, tumor glotik, tumor subglotik, dan tumor ganas transglotik. Kanker
laring diklasifikasikan dan diterapi berdasarkan lokasi anatomisnya. Kanker laring (kotak
suara) dapat terjadi pada glotis (pita suara sejati), struktur supraglotis (di atas pita suara)
atau struktur subglottis (di bawah pita suara).
American Cancer Society memperkirakan 8.900 kasus baru kanker laring setiap tahun,
kebanyakan terjadi pada pria. Akan tetapi insiden kanker laring pada wanita terus
meningkat. Jika tidak diobati, kanker laring sangat fatal, 90% penderita yang tidak di terapi
akan meninggal dalam 3 tahun. Kanker ini sangat mungkin dapat disembuhkan jika
terdiagnosis dan diterapi lebih awal.
b) Etiologi
karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa
perokok, peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan risiko tinggi
terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologik menggambarkan beberapa hal
yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alkohol,
dan terpajan oleh sinar radioaktif. Faktor risiko tambahan meliputi paparan pekerjaan
terhadap asbes, debu kayu, gas mustard, dan produk petroleum/minyak dan inhalasi
asap beracun lain. Laringitis kronis dan penggunaan suara yang berlebihan juga dapat
berkontribusi. Penelitian menunjukkan kaitan antara paparan tembakau dan mutasi gen
p53 pada karsinoma sel skuamosa dari kepala dan leher
c) Patofisiologi
Karsinoma sel skuamosa adalah tumor ganas paling sering menyerang laring, yang
timbul dari membran pelapis saluran pernapasan. Metastasis kanker epiglotis tidak lazim
terjadi karena aliran limfatik yang jarang berasal dari pita suara (plika vokalis). Kanker di
laring akan menyebar lebih cepat karena terdapat banyak pembuluh limfe. Penyakit
metastasis dapat dipalpasi sebagai masa leher. Metastasis jauh juga dapat terjadi di paru.
Faktor predisposisi
Ca. Laring
d) Manifestasi Klinis
Tanda peringatan awal kanker laring bergantung pada lokasi tumor. Secara umum
suara parau atau serat yang berlangsung lebih dari 2 minggu harus dievaluasi. Serak terjadi
ketika tumor menginvasi otot dan kartilago di sekitar laring, menyebabkan kekakuan pita
suara. Kebanyakan klien menunggu sebelum mencari pertolongan karena diagnosis serak
kronis.Tumor pada glotis mencegah penutupan glotis selama berbicara yang akan
menyebabkan suara serak atau perubahan suara. Tumor supraglotis dapat menyebabkan
nyeri pada tenggorok (terutama saat menelan), aspirasi saat menelan, sensasi benda asing
di tenggorok, massa leher, atau nyeri yang menjalar ke telinga melalui nervus vagus dan
glosofaringeus. Tumor subglotis dapat tidak menunjukkan manifestasi klinis sampai lesi
tumbuh dan mengonstruksi jalan napas.
e) Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik
Diagnosa kanker laring dibuat dengan pemeriksaan visual pada laring dengan
menggunakan laringoskopi direk/ langsung atau direk/tidak langsung. Nasofaring dan
palatum molle posterior diinspeksi secara tidak langsung dengan kaca kecil atau instrumen
menyerupai teleskop. Saat kaca kecil dimasukan, tekanan ringan diberikan pada lidah dan
klien diminta mengucapkan "ei" lalu "i" yang akan mengangkat palatum molle. Instrumen
sebaiknya tidak menekan lidah karena klien akan muntah.
Nasofaring diinspeksi untuk melihat adanya cairan perdarahan, ulserasi, atau massa.
Visualisasi langsung laring dapat dilakukan dengan penggunaan instrumen berbeda,
kebanyakan perangkat ini adalah endoskopi dengan cahaya. Klien diinstruksikan untuk
menjulurkan lidah dan pemeriksa dengan perlahan menahan lidah dengan spon kassa lidah
dan menariknya ke depan. Kaca laringeal atau endoskop telescopic diinsersikan ke
orofaring; sekali lagi, hindari menekan kuat lidah. Klien diminta bernapas keluar masuk
melalui mulut atau "terengah-engah seperti anak anjing". Terengah-engah menurunkan
sensasi muntah akibat pemeriksaan. Selama pernapasan tenang, dasar lidah, epiglotis, dan
pita suara diperiksa untuk melihat adanya infeksi atau tumor. Klien diinstruksikan untuk
mengucapkan “I” bernada tinggi untuk menutup pita suara. Pemeriksa mengamati gerakan
pita suara warna membran mukosa dan adanya lesi. Sebelum terapi definitif untuk tumor
perlu dilakukan panendoskopi dan biopsi untuk menentukan lokasi pasti, ukuran, dan
penyebaran tumor primer. CT atau MRI digunakan untuk membantu proses ini. Analisis
laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, penentuan kadar elektrolit serum
meliputi kalsium, dan uji fungsi ginjal dan hati. Data ini membantu menentukan kesiapan
klien secara fisik untuk menjalani pembedahan. Oleh karena jalan nafas akan terganggu
setelah operasi, klien membutuhkan pengkajian menyeluruh pada paruh dengan analisis
gas darah arterial untuk identifikasi gangguan paru yang akan mengganggu pernapasan.
Klien yang menjalani laringektomi parsial harus memiliki cadangan paruh yang adekuat
untuk menghasilkan batuk yang efektif pascaoperasi. Operasi juga berhubungan dengan
peningkatan resiko aspirasi, dan klien harus dapat batuk untuk menghindari aspirasi pada
saluran pernapasan. Untuk memastikan penyebaran tumor atau tumor primer lain, perlu
dilakukan radiografi dada dan dengan kontras barium peroral atau esofagografi.
Setelah tumor dapat diidentifikasi, dan dilakukan biopsi, tumor dapat ditentukan
stadiumnya. Penentuan stadium ini penting untuk pilihan terapi dan prognosis. Penting
untuk menentukan luas tumor untuk memilih intervensi yang paling tepat. Penentuan
stadium dapat dilakukan dengan (1) mengukur ukuran tumor primer, (2) menentukan
adanya kelenjar getah bening yang membesar, (3) menetukan adanya metastasis jauh.
f) Penatalaksanaan Medis
Ada 3 cara penanggulangan yang lazim dilakukan, yakni pembedahan, radiasi,
obat sitostatika ataupun kombinasinya tergantung pada stadium penyakit dan keadaan
umum pasien. Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan
radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan operasi, stadium 4 dilakukan operasi
dengan rekonstruksi, bila masih memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi.
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis ataupun parsial, tergantung lokasi dan
penjalaran tumor, yang sering dilakukan adalah laringektomi totalis karena beberapa
pertimbangan, sedangkan laringektomi parsial jarang dilakukan, karena teknik sulit untuk
mentukan batas tumor. Selain itu dilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat
penjalaran ke kelenjar limfa leher. Pemakaian sitostatika belum memuaskan, biasanya
jadwal pemberian sitostatika tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk,
disamping harga obat ini yang relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh pasien.
Para ahli berpendapat, bahwa tumor laring ini mempunyai prognosis yang paling
baik di antara tumor-tumor daerah traktur aero-digestivus, bila dikelola dengan tepat,
cepat dan radikal. Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring
menyebabkan cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita
suara yang ada di dalamnya, maka pasien akan menjadi afonia dan bernapas melalui
stoma permanen di leher. Untuk itu diperlukan rehabilitasi terhadap pasien, baik yang
bersifat umum, yakni agar pasien dapat memasyarakat dan mandiri kembali, maupun
rehabilitasi khusus yakni rehabilitasi suara agar pasien dapat berbicara, sehingga
berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu
suara, yakni semacam vibrator yang ditempelkan di daerah sub mandibula, ataupun
dengan suara yang dihasilkan dari esofagus (esophageal speech) melalui proses belajar.
Ada 2 faktor utama yang mempengaruhi suksesnya rehabilitasi suara ini, yakni faktor
fisik dan faktor psiko-sosial.
5. Epiglotitis
Epiglotitis akut (kadang disebut supraglotitis) adalah radang pada epiglotis dan atau jaringan
supraglotis disekeliling epiglotis, termasuk plika ariepiglotika, jaringan aritenoid dan kadang-
kadang uvula.
Etiologi
Menurut sejarah, epiglotitis akut disebabkan oleh infeksi pada stuktur supraglotis
oleh kuman Haemophillus influenza tipe B. Sejak penggunaan vaksin HiB tersebar luas,
insiden dan agen penyebab epiglotitis akut mengalami perubahan. Haemophillus influenza
tipe B dan Streptococcus pneumoniae membentuk koloni pada faring anak yang sehat
melalui transmisi udara. Bakteri-bakteri ini akan menembus mukosa masuk ke dalam aliran
darah sehingga menyebabkan bakteriemia dan menyerang epiglotis beserta jaringan-
jaringan disekitarnya. Bakteriemia juga dapat mengakibatkan infeksi pada meningen,
kulit, paru-paru, air mata dan sendi.
Radang yang terjadi pada struktur di sekitar epiglotis terjadi karena peradangan
akibat trauma, mekanis, termal maupun kimia. Pernah juga ada kasus epiglotitis akut yang
dilaporkan karena trauma tumpul pada leher.
Manifestasi klinik
Riwayat
Epiglotitis akut biasanya timbul secara cepat dan tiba-tiba dengan demam, nyeri
tenggorokan, disfagia, gangguan pernapasan, drooling dan cemas. Gambaran klasik pada
anak yakni demam dan mungkin mengeluh nyeri tenggorokan, anak menolak untuk makan.
Sesuai dengan perkembangan penyakitnya, pasien mungkin tidak dapat mejaga jalan
napasnya dan hal ini menyebabkan obstuksi jalan napas.
Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pengobatan
Antibiotik
Ceftriaxone (Rocephin)
E. Trakeostomi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakea
untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan menjadi:
1) trakeostomi letak tinggi, yaitu di cincin trakea 2-3
2) trakeostomi letak rendah, setinggi cincin trakea 4-5.
Berdasarkan letak tinggi dan rendah kira-kira setinggi ismus kelenjar tiroid, bila
melakukan trakeostomi sebaiknya letak tinggi karena:
1) letak trakea lebih superfisial
2) dekat dengan bangunan pedoman yaitu kartilago tiroid atau krikoid
3) kanul tidak mudah lepas dan bila lepas mudah dikembalikan
4) ismus atau timus pada anak tidak terganggu 5) aman, karena jauh dari pembuluh darah
besar.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam:
1) trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana yang kurang
2) trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik (lege
artis).
a. Indikasi Trakeostomi
1. Mengatasi obstruksi laring
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh oksigen yang
dihirupnya akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di ruang rugi itu. Hal ini
berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan)
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
bronkoskopi.
b. Alat-alat trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah semprit dengan
obat anlagesia (novokain), pisau (skalpel), pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul,
sepasang pengait tumpul, klem arteri, gunting kecil yang tajam serta kanul trakea yang
ukurannya cocok untuk pasien.
b. Teknik Trakeostomi
Pasien tidur terlentang, kepala di ekstensikan
Kulit dibersihkan dan ditutup kain steril
Obat anestesi disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal
Dibuat insisi horizontal atau vertikal
Lepaskan lapis demi lapisan kulit serta jaringan di bawahnya sampai kelihatan
trakea
Lakukan aspirasi
Buatlah stoma potong cincin trakea ke 3
Keterangan Gambar :
1 - Vocal cords
2 - Thyroid cartilage
3 - Cricoid cartilage
4 - Tracheal cartilage
5 – ballon cuff
Teknik trakeostomi:
Pasien tidur terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan
kepala untuk diekstensikan pada persendian atlanto oksipital. Dengan posisi seperti ini
leher akan lurus dan trakea akan terletak di garis median dekat permukaan leher. Kulit
daerah leher dibersihkan secara asepsis dan antisepsis dan ditutup dengan kasa steril. Obat
anastetikum (novokain) disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fosa suprasternal
secara infiltrasi. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dibawah krikoid
sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan
jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kirakira 2 jari dibawah krikoid
orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira 5 cm. Dengan gunting
panjang yang tumpul kulit serta jaringan dibawahnya dipisahkan lapis demi lapis dan
ditarik ke lateral dengan pengait tumpul, sampai tampak trakea yang berupa pipa dengan
susunan cincin-cincin tulang rawan yang berwarna putih. Pembuluh darah vena jugularis
anterior yang tampak ditarik ke lateral. Ismus tiroid diklem pada dua tempat dan dipotong
ditengahnya. Sebelum klem ini dilepaskan ismus tiroid diikat kedua tepinya dan disihkan
ke lateral. Perdarahan dihentikan dan jika perlu diikat.
Lakukan aspirasi dengan cara menusukkan jarum pada membran antara cincin
trakea dan akan terasa ringan waktu ditarik. Buat stoma dengan memotong cincin trakea
ke tiga dengan gunting yang tajam. Kemudian dipasang kanul trakea dengan ukuran yang
sesuai. Kanul difiksasi dengan tali pada leher pasien dengan luka operasi ditutup dengan
kasa. Hal-hal yang perlu diperhatikan, sebelum membuat lubang trakea, perlu dibuktikan
dulu yang akan dipotong itu benar-benar trakea dengan cara aspirasi dengan semprit yang
berisi novokain. Bila yang ditusuk itu trakea maka pada waktu dilakukan aspirasi terasa
ringan dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung udara. Untuk mengurangi
refleks batuk dapat disuntikan novokain sebanyak 1 cc ke dalam trakea. Untuk menghindari
terjadinya komplikasi perlu diperhatiakan insisi kulit jangan terlalu pendek agar tidak sukar
mencari trakea dan mencegah terjadinya emfisema kulit. Ukuran kanul harus sesuai dengan
diameter lumen trakea. Bila kanul terlalu kecil, akan menyebabkan kanul bergerak-gerak
sehingga terjadi rangsangan pada mukosa trakea dan mudah terlepas ke luar. Bila kanul
terlalu besar, sulit untuk memasukkannya ke dalam lumen dan ujung kanul akan menekan
mukosa trakea dan menyebabkan nekrosis dinding trakea. Panjang kanul harus sesuai pula.
Bila terlalu pendek akan mudah keluar dari lumen trakea dan masuk ke dalam jaringan
subkutis sehingga timbul emfisema kulit dan lumen kanul akan tertutup sehingga
menimbulkan asfiksia. Bila kanul terlalu panjang maka mukosa trakea akan teriritasi dan
mudah timbul jaringan granulasi.
diisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya 2 kali sehari, lalu segera
dimasukan lagi ke dalam kanul luar. Pasien dapat dirawat di ruang perawatan biasa dan
perawatan trakeostomi sangatlah penting. Bila kanul harus dipasang untuk jangka waktu
lama, maka kanul luar harus dibersihkan 2 minggu sekali. Kain kasa di bawah kanul harus
diganti setiap basah, untuk menghindari terjadinya dermatitis
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
No. CM : 000566371
2. Anamnesis
a. Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak napas
d. Riwayat Keluarga
- Riwayat keluhan serupa : disangkal
- Riwayat ISPA : disangkal
- Riwayat alergi : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat DM : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
Nadi : 80 x/menit
Napas : 28 x/menit
Suhu : 36 0C
Pemeriksaan Telinga
Bagian Auricula Dexter Sinister
Auricula Bentuk normal Bentuk normal
Nyeri tragus (-) Nyeri tragus (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Pre auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Retro auricular Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Mastoid Bengkak (-) Bengkak (-)
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Fistula (-) Fistula (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
CAE Serumen (-) Serumen (-)
Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Sekret (-) Sekret (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Membran Intak Intak
timpani Putih mengkilat Putih mengkilat
Refleks cahaya (+) Refleks cahaya (+)
Retraksi (-) Retraksi (-)
Bulging (-) Bulging (-)
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Kalkulus (-), Karies (-), Gangren (-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal
Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), posisi ditengah
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (+)
Faring Mukosa hiperemis (-), dinding rata, granular (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
Ukuran - -
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Permukaan - -
Kripte - -
Detritus - -
Peri Tonsil - -
Pilar anterior Hiperemi (-) Hiperemi (-)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium Klink Haematologi
Nilai Normal
Pemeriksaan Hasil Satuan
Perempuan
Hemoglobin 15,3 gr% 14-18
Leukosit 20.760 mm 3 4000-10000
Trombosit 258.000 mm 3 150.000-400.000
Hematokrit 41,3 % 40-48
LED 1 jam 14
mm/jam 0-15
LED 2 jam 44
eosinophil 0 % 1-3
Basophile 0 % 0-1
staf 0 % 2-6
Hasil endoskopi
RESUME
Pemeriksaan Subjektif
Pemeriksaan Objektif
DIAGNOSIS SEMENTARA
• Carcinoma laring supraglotis (Dispneu Jackson 1-2)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: Darah rutin
Endoskopi
KOMPLIKASI
Ca Laring:
a) Distress pernapasan (hipoksia, obstruksi jalan napas)
b) Metastasis ke organ sekitar
Trakeostomi:
a) Perdarahan
perdarahan mungkin terjadi waktu operasi dan lebih sering post operasi karena saat
melakukan trakeostomi sebaiknya perdarahan dicari dan pembuluh darah diikat
terutama di sekitar kelenjar tiroid.
b) Emfisema
Emfisema subkutis terjdi karena luka insisi dikulit dijahit terlalu rapat pada kanula
sedangkan stoma terlalu lebar, penyebab lain karena kanula terlalu kecil dibandingkan
dengan stoma yang dibuat.
PENATALAKSANAAN
1) Non medikamentosa
Bed rest
Menghindari makanan pedas dan gorengan, makan dengan konsistensi yang lunak
Extra susu
2) Medikamentosa:
Infus tutofusin 20 tpm
Injeksi anbacim 1 gr
Inj methyl prednisolone 120 mg/12 jam
Amlodipine 1x 10 mg
3) Operatif :
Trakeostomi (tanggal 29 juni 2019)
PROGNOSIS
Ad vitam: dubia ad malam
FOLLOW UP
Tanggal Keadaan Klinis Progam / Terapi
28/06/2019 S: Pasien mengeluh batuk dan sesak
17.15 WIB O: Ku Baik, Compos mentis
A: bersihan jalan napas
P: setelah dilakukan perawatan
selama 1 x 24 jam diharapkan batuk
berkurang
Intervensi: ajarkan batuk efektif
Amlodipine 1x 10 mg
Trakeostomi cito
Amlodipine 1x 10 mg
PEMBAHASAN
Nyeri saat menelan dapat tidak menunjukkan manifestasi klinis sampai lesi
(stridor, retraksi suprasternal) Stadium I : sesak, kadang blm ada stridor, inspirasi
Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut sesuai dengan teori Carcinoma laring
supraglotis pada pasien ini didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang
yang sudah sesuai dengan teori yang ada
BAB V
KESIMPULAN
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah : Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan (8th ed.). Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda, & Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan NANDA NIC-NOC.
Jakarta. Medi Action Publishing
Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia Dari Sistem Ke Sel Edisi 8. Jakarta: EGC.
Potter dan Perry. 2010.Fundamental Keperawatan. Buku 2, Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika.
Jose C, Atul C. Upper Airway Obstruction. in: American College of Physicians: Manual of
Critical Care. Raoof S, editor. USA: McGraw-Hill, Inc; 2009. p 388-96
Aboussouan L, Stoller JK. Diagnosis and management of upper airway obstruction. Clin Chest
Med. 1994; 15(1):35-53. 5. Lee P, Elif K, Atul C. Airway Stents. Clin Chest Med. 2010;
31(1):141-50. 6
Bacon JL, Patterson CM, Madden BP. Indications and interventional options for non-
resectable tracheal stenosis. J Thorac Dis. 2014; 6(3):258-70.
Furukawa K, Kinoshita K, Saijo T, dkk. Laser therapy and airway stenting for central-type lung
cancer. Japan Med Assoc J. 2002; 128(3): 423-27. 10. Hisashi S, Kinya F, Hidemitsu T, dkk.
Outcomes of airway stenting for advanced lung cancer with central airway obstruction.
Interact Cardiovasc Thorac Surg. 2010; 425-28.
Emmet E, David W, Paul A. The Insertion of self-expanding metal stents with flexible
bronchoscopy under sedation for malignant tracheobronchial stenosis: a single-center
retrospective analysis. Arch Bronconeumol. 2012; 48(2): 43-8.
Kavanagh KR, Batti JS. Traumatic epiglottitis after foreign body ingestion. Int J Pediatr
Otorhinolaryngol. Jun 2008;72(6):901-3.
Chiou CC, Seibel NL, Derito FA, Bulas D, Walsh TJ, Groll AH. Concomitant Candida
epiglottitis and disseminated Varicella zoster virus infection associated with acute
lymphoblastic leukemia. J Pediatr Hematol Oncol. Nov 2006;28(11):757-9.