Anda di halaman 1dari 5

Critical Book Report

Dosen Pengampuh Syahrul Nizar, M. Si

Oleh

Joel natalius sinaga

3173121018

PENDIDIKAN SEAJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MEDAN

2019
RINGKASAN BUKU

BAB 1

penulis menjelaskan apa latar belakang yang menyebabkan paham Wujudiyah begitu ditentang
di Kesultanan Aceh yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri dengan muridnya syeh Syamsuddin
As-Sumatrani. Tentunya Islam juga menjadi salah satu bagian dari Aceh yang mempengaruhi
ekonomi budaya sosial maupun. penulis buku mencoba untuk mengidentifikasi permasalahan
yang terjadi terhadap paham Wujudiyah yang dicap sebagai penganut ajaran sesat serta dianggap
kafir. Terdapat juga batasan serta rumusan masalah yang menjadi pedoman bagi penulis supaya
penulisan lebih berfokus kepada permasalahan paham wujudiyah di Aceh. Tidak ketinggalan
pula metode penilitian sejarah berupa Heuristik, kritik atau verifikasi, dan interpretasi untuk
memaksimalkan pengungkapan fakta-fakta sejarah mengenai paham Wujudiyah di masa Sultan
Iskandar Muda maupun setelahnya serta sistematika penguraian buku supaya berhubungan satu
sama lain sehingga tidak membingungkan para pembaca.

BAB II

menjelaskan tentang kondisi politik di kedua kepemimpinan yaitu kepemimpinan di masa Sultan
Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani, dan Sultanah Syafiatuddin. Politik merupakan bagian
vital dalam proses penyebaran paham wujudiyah sebab politik berhubungan terhadap penguasa
dan penguasa bisa mempengaruhinya. Pada masa Sultan Iskandar Muda dimana masa itu
merupakan masa keemasan kesultanan Aceh. Di semua bidang mengalami kemajuan, di bidang
ekonomi mengalami kemajuan karena perdagangan yang bisa dimonopoli sehingga para
pedagang dari luar bisa berdagang di pelabuhan Kesultanan Aceh, di bidang sosial yang
membantu fakir miskin, membangun mesjid-mesjid, serta bertindak tegas terhadap orang yang
melakukan kemaksiatan. Tidak ketinggalan pula kemajuan di bidang ilmu pengetahuan yang
pesat, namun kelemahannya adalah banyak orang-orang yang gemar mempelajari ilmu-ilmu
yang berkembang seperti paham wujudiyah, teologi, dan ilmu agama lainnya yang berkembang
pesat. Namun, tidak disertai dengan pengamalan dan pengalaman yang baik dan benar.
Walaupun paham Wujudiyah pada saat itu menjadi paham yang dilindungi oleh Kesultanan, dan
Hamzah Fansuri pun juga banyak mengkritik perlakuan-perlakuan Sultan tidak hanya Sultan
tetapi juga masyarakat yang salah memahami paham Wujudiyah maupun ilmu tasawuf sehingga
lebih terkenal kritikan beliau daripada pemahaman aliran beliau. Meski begitu ada baiknya
melakukan kritikan dengan tujuan mengingatkan Sultan dan masyarakat kepada hal-hal yang
dilupakan dan pemikiran yang salah.

Setelah berakhirnya masa Kesultanan Iskandar Muda maka Kesultanan selanjutnya adalah Sultan
Iskandar Tsani yang banyak mengalami masa-masa sulit. Diawali dari datangnya bangsa-bangsa
Eropa ke Nusantara, yaitu Portugis dan Belanda. Yang membangun komoditi-komiditi
perdagangan untuk mengambil banyak keuntungan. Sehingga banyak para pedagang dari luar
lebih tertarik untuk bergabung dengan Portugis dan Belanda daripada di Kesultanan Aceh yang
menyebabkan kalah bersaing dengan bangsa Portugis dan Belanda. Selanjutnya melakukan
politik ekspansi terhadap wilayah-wilayah Kesultanan Aceh yang akhirnya berada di bawah
kekuasaan bangsa Belanda. Mau tidak mau Sultan Iskandar Tsani hanya memfokuskna
perjuangan politiknya dengan terus menyebarkan dakwah Islam ke berbagai daerah.Kemudian di
masa Sultanah Syafiatuddin semakin merajalelanya bangsa Eropa dengan melakukan
imperialisme yang harus dihadapi oleh ratu Tajul Alam, namun beliau tetap mempertahankan
Kesultanan Aceh dari imperialisme barat bukan hanya itu saja. Konflik dari dalam negeri seperti
konflik terhadap aliran-aliran Tasawuf juga masih belum mereda. Sehingga semakin menambah
pekerjaan rumah Sultanah Syafiatuddin. jelas sekali digambarkan mengenai kondisi politik di
masa tiga kepemimpinan. Yaitu Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani, dan Sultanah
Syafiatuddin. Namun, penjelasan mengenai paham yang disebarkan oleh ar-Raniry pada masa
pemerintahan Iskandar Tsani serta Sultanah Syafiatuddin tidak berada di bab ini melainkan di

BAB III

Pembahasan selanjutnya mengenai bab III dimana penulis buku membahas secara gamblang
mengenai paham Wujudiyah atau yang disebut dengan ajaran Wahdah al-Wujud maupun paham
yang menentangnya yaitu ahlu sunnah wal jama’ah yang disebut dengan ajaran Wahdah as-
Suhud. Dengan mengambil para tokoh yang terkenal seperti Dzun Nun al-Misri, al-Hallaj dan
Abu Yazid al-Bustami sampai kepada yang mempelajari ajaran mereka yaitu Hamzah Fansuri
dan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani. Di dalam buku ini penulis menjelaskan bahwa
paham Wahdah al-Wujud melihat wujud mutlak tuhan dari dua sisi. Pertama, wujud mutlak itu
tidak ada hubungannya dengan sifat-sifat dan nama-namaNya, tetapi menyerupai “Yang Esa”
yang tidak dapat dipikirkan. Kedua, mereka memandang bahwa wujud mutlak itu sebenarnya
tidak mutlak tetapi dikaitkan dengan sifat dan nama yang menggambarkan ‘ain (hakikat,
identitas, kepribadian, tipe, bentuk, .Kemudian ajaran ini dianggap menyimpang karena mereka
hanya sekedar mengetahui anggapan paham ini bahwa Allah pencipta alam semesta bersatu
dengan ciptaan-Nya. Dan Allah itu juga bersatu dengan manusia, baik yang kita makan maupun
yang kita minum. Sehingga ar-Raniry mencap aliran ini sesat, padahal masih ada ajaran-ajaran
Fansuri yang terpotong yang sebenarnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut. Tetapi
tidak dengan anggapan ar-Raniry yang menganggap bahwa aliran ini tidak boleh diajarkan
kepada masyarakat awam yang nantinya akan menimbulkan kebingungan dan terjadilah
pemahaman yang salah atau sesat.

Wujud ke Wahdah as-Suhud yang sering disebut dengan ajaran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.

Kekurangan terhadap penjelasan mengenai paham Wahdah as-Suhud yaitu berupa tidak
disebutkannya mengapa paham tersebut identik dengan sunni dan dari sisi mana identiknya.
Kemudian, bab III hanya menitikberatkan sanggahan-sanggahan ar-Raniry terhadap ajaran
paham wujudiyah. Padahal masih banyak yang perlu dijelaskan mengenai konsep ketuhanan
menurut paham Wahdah as-Suhud. Perbedaan diantara keduanya terlihat dalam hal tindakan,
Hamzah Fansuri lebih melihat ke jantung persoalan tasawuf kemudian mencari dan memberi
solusi kepada persoalan yang dihadapi oleh banyak orang, sementara ar-Raniry lebih bersifat
konfrontatif atau mengambil tindakan yang lebih tegas dalam menghadapinya terhadap praktek-
praktek dan amalan-amalan yang bersifat bid’ah. Adapun karya-karya tulisnya lebih condong
mengomentari paham Wujudiyah. Seperti lupjah fi da’wa al-zhilal ma’asahibihi, al-lama’an fi
takfir man qala bi qala Al-qur’an, shawarin al-siddiq li qath’l al-jindiq, dan lain sebagainya.
Tidak hanya membahas tasawuf tetapi juga membahas mengenai fiqih, hadits, teologi, dan ilmu
islam lainnya.

BAB IV

membahas mengenai bagaimana mengupayakan dekonstruksi ajaran Wujudiyah. Sesuai dengan


namanya dekonstruksi yang berarti membangun kembali pemahaman mengenai paham
Wujudiyah. Dibagi menjadi dua pembahasan yaitu syari’ah dan konsep ketuhanan dalam
konsepsi Hamzah Fansuri dan ar-Raniry. Dalam pembahasan syari’ah dalam konsepsi Hamzah
Fansuri, untuk mengetahui ma’rifat harus terlebih dahulu mengetahui syari’at. Karena untuk
mendalami ilmu ma’rifat yaitu mengetahui ketuhanan sebaiknyalah mempelajari syari’at. Karena
kedua-duanya merupakan ajaran Rasulullah. tujuannya juga untuk menghindarkan dari
pemikiran-pemikiran yang sesat.

Kelebihan buku :

Penjelasan-penjelasan mengenai bisa mempermudah para pembaca untuk memahami ajaran-


ajaran tasawuf yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri mengenai paham Wujudiyah, namun perlu
ditekankan bahwa penulis belum menjelaskan secara gamblang mengenai paham as-
Suhud sehingga pembaca hanya terfokus pada paham yang dibawakan Hamzah Fansuri.

Kelemahan buku

Mungkin secara bobot dari sebuah buku dapat di katakana berat atau sulit untuk di pahami, buku
ini termasuk di dalamnya yang sulit untuk di pahami karena memiliki aliran aliran filsafat sejarah
yang cukup kental tentunya.

Anda mungkin juga menyukai